16
1 Pentingnya Perkembangan Financial Technology dalam Mendorong Keuangan Inklusif p. 03 Sudah Tepatkah Penurunan Tarif Pajak UMKM 0,5 Persen? p. 9 Buletin APBN Pusat Kajian Anggaran Badan Keahlian DPR RI www.puskajianggaran.dpr.go.id ISSN 2502-8685 Vol. III, Edisi 15, Agustus 2018

p. 9 · individu maupun UMKM yang tidak bankable untuk dapat ... publik pada institusi Rekomendasi Dapat dikatakan fintech merupakan ranah baru yang belum tersentuh oleh

Embed Size (px)

Citation preview

1

Pentingnya Perkembangan Financial Technology dalam Mendorong Keuangan Inklusif p. 03

Sudah Tepatkah

Penurunan Tarif Pajak UMKM 0,5

Persen? p. 9

Buletin APBNPusat Kajian AnggaranBadan Keahlian DPR RIwww.puskajianggaran.dpr.go.id ISSN 2502-8685

Vol. III, Edisi 15, Agustus 2018

2

Penanggung JawabDr. Asep Ahmad Saefuloh, S.E., M.Si.Pemimpin RedaksiRobby Alexander SiraitRedakturJesly Yuriaty PanjaitanRatna ChristianingrumMartha CarolinaAdhi Prasetyo S. W.Rendy AlvaroEditorDahiriMarihot Nasution

Terbitan ini dapat diunduh di halaman website www.puskajianggaran.dpr.go.id

Pentingnya Perkembangan Financial Technology dalam Mendorong Keuangan Inklusif

p.3

RENDAHNYA tingkat inklusif keuangan di Indonesia dapat mengancam stabilitas keuangan. Mengingat pentingnya keuangan inklusif ini maka pemerintah perlu mengambil berbagai upaya dalam meningkatkan akses keuangan seluruh lapisan masyarakat ke lembaga keuangan formal. Sulitnya akses ke lembaga keuangan konvensional saat ini oleh masyarakat menengah kebawah menjadi penyebab rendahnya keuangan inklusif di Indonesia. Untuk menjembatani permasalahan tersebut kini telah berkembang inovasi dalam sistem keuangan yang bernama financial technology (fintech).

Sudah Tepatkah Penurunan Tarif Pajak UMKM 0,5 Persen?

p.9

MELALUI penerbitan PP No 23 Tahun 2018, pemerintah menetapkan tarif pajak final untuk UMKM menjadi 0,5 persen yang berlaku per Juli 2018 dari yang semula sebesar 1 persen. Dari sisi asas keadilan, penerapan tarif yang sama bagi Usaha Mikro, Usaha Kecil maupun Usaha Menengah dalam aturan tersebut dapat dikatakan tidak tepat. Hal ini didasarkan pada perbedaan kemampuan yang dimiliki oleh setiap jenis usaha. Dari sisi asas administrasi dan Convenience of Payment, peraturan ini sebenarnya sudah sesuai dengan asas administrasi yang sederhana dan diterbitkan pada waktu yang tepat.

Update APBN

[email protected]

p.2

Asumsi Dasar Ekonomi Makro RAPBN Tahun 2019

Dewan Redaksi

Kritik/Saran

1

Update APBNAsumsi Dasar Ekonomi Makro RAPBN Tahun 2019

Sumber: Kemenkeu 2018

Asumsi Dasar Ekonomi Makro

Pertumbuhan ekonomi diproyeksikan melambat di tahun 2019 sebesar 5,3 persen dibandingkan APBN 2018 yang sebesar 5,4 persen. Inflasi diperkirakan sama dengan APBN 2018 sebesar 3,5 persen. Nilai tukar diperkirakan akan naik meningkat Rp14.400 dari APBN 2018 sebesar Rp13.400. Demikian juga, tingkat suku bunga SPN diproyeksi meningkat menjadi 5,3 persen dari 5,2 persen. Harga minyak diprediksi naik menjadi 70 USD/barrel dari 48 USD/barrel pada APBN 2018 namun lifting minyak diprediksi menurun menjadi 750 ribu barrel per hari dibandingkan APBN 2018 yang sebesar 800 ribu barrel per hari. Lifting gas diproyeksikan meningkat menjadi 1.250 ribu barrel per hari dari APBN 2018 sebesar 1.200 ribu barrel per hari.

2

Pentingnya Perkembangan Financial Technology dalam Mendorong

Keuangan Inklusifoleh

Dwi Resti Pratiwi*)

*) Analis APBN, Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian Dewan DPR RI. e-mail: [email protected]

Saat ini menjadi momentum bagi sebagian besar negara dalam menyelaraskan sistem keuangan

dengan kebutuhan pembiayaan keuangan yang inklusif. Keuangan inklusif itu sendiri ialah kondisi dimana penduduk usia kerja memiliki akses yang efektif terhadap pinjaman, tabungan, pembayaran dan asuransi dari penyedia keuangan formal. Akses yang efektif ini meliputi jasa keuangan yang nyaman dan bertanggung jawab dengan biaya yang terjangkau bagi konsumen dan berkelanjutan bagi penyedia jasa, dengan hasil bahwa konsumen akan lebih menggunakan jasa keuangan formal dibandingkan informal (CGAP-GPFI dalam BI). Hal ini menjadi tantangan mengingat jumlah penduduk dewasa diatas 15 tahun dunia yang kurang memiliki akses terhadap layanan keuangan ialah sekitar 2 miliar jiwa atau mendekati 40 persen dari total penduduk diatas 15 tahun tersebut (UNEP 2016). Hingga saat ini kondisi akses

keuangan di Indonesia dinilai belum menggembirakan yang tercermin dari rendahnya tingkat inklusi keuangan di Indonesia. Dalam laporan The Global Findex Database 2017 menunjukkan bahwa inklusi keuangan Indonesia hanya 48 persen. Dapat dilihat pada gambar 1, inklusi keuangan Indonesia masih tertinggal jauh dari beberapa negara di Asia seperti Malaysia sudah mencapai 85 persen, Thailand 81 persen bahkan Singapura sudah mencapai 98 persen (gambar 1). Di Indonesia sendiri dalam memperkuat komitmen para pihak dalam mewujudkan perluasan akses keuangan, maka Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2016 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI). Program inklusi keuangan bertujuan untuk mendorong pertumbuhan inklusif melalui penurunan angka kemiskinan, peningkatan pembangunan atau

AbstrakRendahnya tingkat inklusif keuangan di Indonesia dapat mengancam stabilitas

keuangan. Mengingat pentingnya keuangan inklusif ini maka pemerintah perlu mengambil berbagai upaya dalam meningkatkan akses keuangan seluruh lapisan masyarakat ke lembaga keuangan formal. Sulitnya akses ke lembaga keuangan konvensional saat ini oleh masyarakat menengah kebawah menjadi penyebab rendahnya keuangan inklusif di Indonesia. Untuk menjembatani permasalahan tersebut kini telah berkembang inovasi dalam sistem keuangan yang bernama financial technology (fintech). Industri fintech ini tidak hanya bergerak disektor simpan pinjam tetapi juga insuransi, pembayaran, ataupun market support. Perkembangan fintech di Indonesia cukup pesat namun belum diiringi oleh dukungan kebijakan yang mumpuni untuk melindungi pelaku bisnis dan konsumen itu sendiri. Banyaknya manfaat yang diperoleh fintech ini tentu tidak terlepas dari berbagai risiko keuangan makro maupun mikro. Oleh karena itu Pemerintah dan lembaga terkait perlu menyusun kebijakan komprehensif untuk fintech ini agar dapat berkembang dengan baik dan aman bagi stabilitas keuangan.

3

pemerataan distribusi keuangan, serta peningkatan stabilitas sistem keuangan. Penyediaan akses layanan keuangan memiliki potensi untuk mengeluarkan masyarakat miskin dari lingkaran setan kemiskinan melalui budaya menabung, penghematan, dan memungkinkan untuk terciptanya mekanisme pembayaran yang efisien dan rendah biaya (Dixit dan Ghosh 2003 dalam Dienillah 2016).

Semakin luasnya akses keuangan terhadap masyarakat maka turut mendorong kegiatan ekonomi, yang selanjutnya memberikan dampak positif bagi penerimaan negara dari aktivitas ekonomi tersebut. Penerimaan yang semakin tinggi turut memperbesar ruang fiskal dalam meningkatkan alokasi belanja negara pada anggaran kemiskinan, pendidikan, kesehatan dan ketahanan pangan demi terwujudnya APBN yang inklusif. Oleh karenanya, untuk mendorong keuangan inklusif keuangan tersebut maka diperlukan suatu inovasi dalam sistem keuangan. Pada artikel ini akan membahas pentingnya inovasi financial technology (fintech) dalam mencapai keuangan inklusif serta apa saja risiko yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan industri fintech di Indonesia.

Industri Financial Technology sebagai Pendorong Keuangan Inklusif

Gelombang revolusi dalam teknologi digital yang terus berlangsung telah telah masuk ke hampir semua aspek kehidupan dan ekonomi masyarakat dunia. Kini sektor keuangan pun tak luput dari serbuan inovasi teknologi, bahkan sektor ini disebutkan sebagai sektor yang paling terdampak atas kemajuan teknologi. Istilah financial technology (fintech) menjadi satu topik yang hangat dibicarakan, baik di tingkat nasional maupun global. Financial Stability Board (2017) mendefinisikan fintech sebagai inovasi teknologi dalam layanan keuangan yang dapat menghasilkan model-model bisnis, aplikasi, proses atau produk-produk dengan efek material yang terkait dengan penyediaan layanan keuangan. Kehadiran fintech yang terus berkembang saat ini dipicu oleh dua faktor. Pertama, krisis keuangan global yang terjadi tahun 2008 jelas menunjukkan kepada konsumen adanya kekurangan dalam sistem perbankan tradisional yang menyebabkan krisis. Kedua, munculnya teknologi baru yang membantu menyediakan mobilitas, kemudahan penggunaan, kecepatan dan biaya layanan keuangan yang lebih rendah (Anikina et al., 2016 dalam Saksonova 2017). Aktifitas dalam fintech tidak hanya sebatas pada pelayanan pinjaman atau kredit saja, tetapi mencakup beberapa aktivitas layanan keuangan yang terlihat pada gambar 2.

Peran fintech dalam peningkatan inklusi keuangan juga tercermin dalam beberapa karakter dasar fintech yang dijabarkan oleh UNEP (2016), yaitu: (1) meningkatkan akses dan desentralisasi sistem keuangan, dimana kemajuan teknologi digunakan memungkinkan inklusi komunitas individu maupun UMKM yang tidak bankable untuk dapat berperan sebagai penyedia dan pengguna dana dalam sistem keuangan; (2) meningkatkan transparansi, akuntabilitas dan kolaborasi

Gambar 1 Persentasi Penduduk diatas 15 Tahun yang Memiliki Rekening di Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya Tahun

2011, 2014 dan 2017

Sumber: Demirgüç-Kunt et al (World Bank)

4

lintas sektor, dimana teknologi dapat menyediakan transparansi, penelusuran, pertanggungjawaban, dan pembagian informasi yang lebih besar kepada pemerintah, masyarakat dan swasta untuk bekerja sama; dan (3) biaya yang lebih rendah melalui peningkatan efisiensi, kecepatan dan otomatisasi. Karakter fintech inilah yang dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat agar dapat terakses dengan layanan keuangan formal.

Perkembangan Financial Technology

Berdasarkan laporan dari Accenture menyampaikan bahwa fintech merupakan salah satu sektor ekonomi dengan pertumbuhan tercepat. Investasi dalam industri ini telah mencapai USD12,2 miliar di tahun 2014 sementara di tahun 2008 baru mencapai USD930 juta (KPMG 2016; Saksanova dan Merlino 2017). Indonesia dilaporkan sebagai salah satu negara di kawasan Asia dengan pertumbuhan pasar fintech yang cukup tinggi. Terlihat pada gambar 3 bahwa pertumbuhan pasar fintech di Indonesia mencapai 1.842 persen dari USD1,82 juta tahun 2013 menjadi USD35,35 juta di tahun 2016. Bahkan pasar fintech Indonesia lebih tinggi dibandingkan Malaysia yang hanya USD8,29 juta dan Thailand USD3,72

juta. Pergeseran perilaku masyarakat Indonesia pada aspek layanan digital serta tingginya penetrasi pengguna internet dan smartphone menjadi salah satu pemicu pesatnya perkembangan fintech di Indonesia.

Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) mencatat terdapat 144 start-up fintech yang telah bergabung. Dari berbagai jenis layanan fintech tersebut, skema yang berkontribusi paling besar dan dengan pertumbuhan tertinggi di Indonesia ialah peer to peer (p2p) business lending. Dimana aktivitas ini pada tahun 2015 hanya meraup pasar sebesar USD0,11 juta dan tumbuh pesat sebesar USD21,65 juta di tahun

Gambar 3 Total Pasar Keuangan Alternatif (Fintech) di Beberapa Negara di

Asia (dalam USD juta)

Sumber : The 2nd Asia Pasific Region Alternative Finance Industry Report 2017

Gambar 2 Jenis Layanan Keuangan Fintech dan Contohnya

Sumber : FSB 2017; Nizar 2017

5

2016 (gambar 4). Berdasarkan laporan OJK periode Juni 2018 terkait ikhtisar keuangan fintech (peer to peer lending) bahwa jumlah lender pada bulan Mei 2018 sebesar 199.539 akun atau meningkat sebesar 72 persen dari Bulan Januari 2018. Sementara itu akun borrower meningkat 461 persen dari 330.154 akun di bulan Januari 2018 menjadi 1.850.632 akun di bulan Mei 2018. Adapun akumulasi pinjaman pada Bulan Mei sebesar Rp6,16 triliun atau meningkat 105 persen dari Bulan Januari dengan rata-rata nilai pinjaman yang disalurkan sebesar Rp94.050.384 dan angka pinjaman terkecil sebesar Rp5.000.

Lalu yang menjadi pertanyaan selanjutnya ialah, apakah keberadaan fintech ini menjadi ancaman bagi lembaga konvensional yang ada saat ini?. Baik fintech maupun lembaga keuangan konvensional memiliki model bisnis yang berbeda yang apabila bersinergi akan menguatkan ekonomi nasional. Adapun sasaran layanan p2p lending adalah segmen usaha kecil-menengah (UKM) yang memiliki kapasitas untuk berkembang namun kurang pendanaan dan belum layak untuk mendapatkan kredit bank. Dimana p2p lending berperan sebagai jembatan bagi kelompok ini untuk

bertumbuh. Semakin banyak nasabah p2p lending yang lulus dari tahap creditworthy ke bankworthy, maka segmen perbankan pun otomatis akan tumbuh. Berikut contoh baik sinergi perbankan dan fintech dapat dilihat di Cina di mana sektor perbankan dan industri tekfin p2p lending-nya dapat berkembang bersama. Terlihat dalam gambar 5 bahwa layanan p2p lending di negara Cina dilaporkan tumbuh pesat antara periode 2011-2016 dan di saat yang bersamaan kredit perbankan pun tumbuh dua kali lipat.

Risiko Pelaksanaan Financial Technology bagi Stabilitas Keuangan

Meskipun manfaat dari fintech cukup banyak namun sistem inipun tak terlepas dari risiko yang berdampak pada stabilitas keuangan dan perlu menjadi perhatian bagi pemerintah dan otoritas terkait.

Pertama, risiko mikrofinansial adalah risiko yang dapat menyebabkan satu perusahaan fintech memiliki kerentanan (vulnerable) terhadap munculnya gejolak (shocks). Beberapa risiko mikrofinansial yang perlu dicermati adalah • keamanan dan penyalahgunaan

data• rentan terhadap peretasan (cyber

risks) dikarenakan Industri berbasis teknologi ini banyak bersentuhan dengan uang, transaksi keuangan maupun data penting

• tata kelola beberapa perusahaan fintech yang masih lemah

• risiko kredit macet yang terjadi ketika debitur tidak bisa mengembalikan pinjamannya

• risiko terkait likuiditas terjadi karena fintech sangat tergantung likuiditas jangka pendek dan tidak memiliki akses ke bank sentral sebagai lender of the last resort sehingga ketika likuiditas jangka pendek ini macet maka berdampak pada gagal bayar

Kedua, risiko makrofinansial adalah kerentanan secara luas yang dapat

Gambar 4 Volume Pasar Keuangan Alternatif Fintech Berdasarkan Modelnya

di Indonesia (dalam USD juta)

Sumber : The 2nd Asia Pasific Region Alternative Finance Industry Report 2017

6

menyebabkan gejolak pada sistem keuangan dan meningkatkan kemungkinan terjadinya instabilitas hingga krisis keuangan. Risiko ini dapat terjadi dikarenakan beberapa hal berikut:• contagion (penularan).

Kegagalan yang dialami oleh suatu perusahaan fintech dapat ditularkan ke institusi atau sektor lain karena terdampak langsung yang kemudian dapat berdampak sistemik yang diiringi hilangnya kepercayaan publik pada institusi

RekomendasiDapat dikatakan fintech merupakan ranah baru yang belum tersentuh oleh banyak regulasi. Saat ini sudah terdapat peraturan yang mengatur tentang kegiatan fintech yaitu Peraturan OJK No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Langsung Berbasis Teknologi Informasi dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 Tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial. Untuk meminimalisir risiko yang terjadi baik terhadap mikro maupun makrofinansial maka perlu ada kerjasama yang sinergis bagi BI dan OJK dalam menyusun regulasi terkait fintech yang lebih terintegrasi dan komprehensif. Adapun beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menyusun peraturan ataupun kebijakan terkait fintech yaitu :Pertama, edukasi terkait pentingnya fintech bagi peningkatan ekonomi masyarakat Kedua, peningkatan perlindungan konsumen melalui kebijakan yang perketat sistem registrasi dengan tujuan untuk meminimalisir penipuan dan meningkatkan kepercayaan pengguna. Ketiga, menerbitkan kode etik mengenai mekanisme pinjam meminjam online yang bertanggungjawab oleh asosiasi fintech.

atau sektor tersebut.• terdapat kecenderungan perilaku

prosikalitas yaitu keadaan perekonomian lebih cepat ketika fase ekspansi dan perekonomian memburuk ketika fase kontraksi. Dimana akan ada kemungkinan para pelaku industri fintech cenderung meningkatkan penyaluran kredit seiring dengan permintaan kredit yang naik dan cenderung mengabaikan risiko.

Gambar 5 Perbandingan Pertumbuhan Fintech dengan skema P2P Lending dan Tingkat Pinjaman Bank di Cina Tahun 2011-2015

Sumber : China’s report on P2P lending dalam Wiajaya (2017)

7

Daftar Pustaka

Bank Indonesia (BI). “Keuangan Inklusif”. Diakses dari https://www.bi.go.id/id/perbankan/keuanganinklusif/Indonesia/Contents/Default.aspx. Tanggal akses 30 Juli 2018

Demirgüç-Kunt, Asli, Leora Klapper, Dorothe Singer, Saniya Ansar, and Jake Hess. 2018. The Global Findex Database 2017: Measuring Financial Inclusion and the Fintech Revolution. World Bank: Washington, DC.

Financial Stability Board (FSB). 2017. Fintech Credit : Market Structure, Business Models And Financial Stability Implications. May 2017.

Nizar, Muhammad. 2017. Teknologi Keuangan (Fintech) : Konsep dan Implementasinya di Indonesia. Warta Fiskal Edisi 115/2017

Otoritas Jasa Keuangan . Ikhtisar Data Keuangan Fintech (Peer To Peer Lending) Periode Mei 2018

Keempat, mitigasi risiko peretasan oleh perusahaan dengan menyusun rencana kontingensi terhadap berbagai serangan cyber, menggabungkan keamanan cyber dalam desain awal sistem ataupun menggunakan jasa vendor kemananan cyber. Bagi pemerintahpun perlu meningkatkan literasi keuangan dan teknologi untuk menurunkan probabilitas kejadian cyber yang memiliki efek buruk pada stabilitas keuangan.Kelima, pemberian jaminan bertransaksi terkait dengan adanya kegagalan sistem pembayaran yang disebabkan oleh pengelola maupun penunjangnya seperti akses internet. Keenam, kerjasama dengan lembaga perbankan untuk semakin menguatkan modal dalam menguatkan likuiditas fintech itu sendiri. Ketujuh, Pemerintah dan lembaga terkait perlu terus memantau risiko-risiko terjadinya kecenderungan perilaku prosikalitas meskipun hingga saat ini belum ada tanda-tanda dampak yang sistemik dari kegiatan fintech. Terbatasnya ketersediaan data resmi dan rahasia pribadi di area fintech menjadi tantangan sendiri bagi pihak berwenang untuk melakukan penilaian terhadap implikasi fintech. Sehingga pihak berwenang perlu mengembangkan kapasitas dan menyusun kebijakan agar dapat mengakses sumber informasi yang ada dan baru terhadap pelaksanaan fintech.

Saksanva, Svetlana dan Irina Kuzmina-Merlino. 2017. “Fintech as Financial Innovation – The Possibilities and Problems of Implementation”. Europian Research Studies Journal Volume XX, Issue 3A

The 2nd Asia Pacific Region Alternative Finance Industry Report . 2017. Cultivating Growth: Asia Pacific Alternative Finance Industry. September 2017

United Nations Environment Program (UNEP). 2016. Fintech and Sustainable Development : Assessing the Implications. Desember 2016

Wijaya, Reynold. 2017. “Mitos Bank vs Fintech: Kolaborasi, Bukan Kompetisi, untuk Inklusi Keuangan Indonesia”. Asosiasi Fintech Indonesia. FintechTalk. Diakses dari https://fintech.id/ideas/ideas-detail?id=492. Tanggal akses 31 Juli 2018

8

Menteri Koperasi Usaha Kecil dan Menengah, Puspayoga

menyatakan UMKM berperan dalam pertumbuhan pembangunan ekonomi serta mampu mengurangi pengangguran. Hal ini dikuatkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyatakan kinerja sektor UMKM tidak mengalami penurunan pada saat krisis ekonomi tahun 1997-1998, bahkan terus meningkat. Pada masa itu, UMKM juga mampu menyerap tenaga kerja yang cukup besar, yakni 85 juta orang. Pada tahun 2012, daya serap tenaga kerja UMKM terus bertambah hingga mencapai 107 juta orang. Tidak berbeda jauh dengan data Kementerian Perindustrian yang menyebutkan bahwa daya serap UMKM sebesar 97,2 persen dalam lima tahun terakhir. Untuk kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 60,34 persen. Besarnya kontribusi UMKM terhadap PDB menjadi salah satu dasar pemerintah menerapkan pengenaan pajak final sebesar 1 persen dari omset yang diterima dibawah Rp4,8 miliar dalam

satu tahun pada 2013 silam. Selain upaya mengoptimalkan penerimaan pajak dari sektor UMKM, kebijakan ini juga bertujuan untuk meningkatkan basis data pajak pelaku UMKM. Akan tetapi, dalam perjalanannya banyak pelaku UMKM yang mengeluhkan tarif 1 persen tersebut. Untuk menjawab keluhan tersebut dan mendukung langkah pemerintah dalam meningkatkan basis pajak, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2018 sebagai pengganti PP No. 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Dalam PP terbaru diatur tarif pajak UMKM menjadi 0,5 persen. Selain itu, dasar pertimbangan dan tujuan pemerintah menerbitkan PP yang baru (relaksasi tarif) adalah mendorong produktivitas UMKM .

Pengenaan Pajak Terhadap UMKM

Undang-Undang No.20 Tahun 2008

Sudah Tepatkah Penurunan Tarif Pajak UMKM 0,5 persen ?

oleh Rastri Paramita*)

Laras Lintang Asmoro**)Abstrak

Melalui penerbitan PP No 23 Tahun 2018, Pemerintah menetapkan tarif pajak final untuk UMKM menjadi 0,5 persen yang berlaku per Juli 2018 dari yang semula sebesar 1 persen. Dari sisi asas keadilan, penerapan tarif yang sama bagi Usaha Mikro, Usaha Kecil maupun Usaha Menengah dalam aturan tersebut dapat dikatakan tidak tepat. Hal ini didasarkan pada perbedaan kemampuan yang dimiliki oleh setiap jenis usaha. Dari sisi asas administrasi dan Convenience of Payment, peraturan ini sebenarnya sudah sesuai dengan asas administrasi yang sederhana dan diterbitkan pada waktu yang tepat. Demikian juga dilihat dari sisi tujuan, penurunan tarif dalam PP ini tepat untuk mendorong produktivitas UMKM ditengah perekonomian yang relatif belum membaik. Namun, upaya mendorong produktivitas UMKM tidak bisa hanya melalui relaksasi tarif saja, menyelesaikan permasalahan utama UMKM seperti pemasaran, permodalan dan sumber daya manusia juga harus dilakukan pemerintah.

*) Analis APBN, Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian Dewan DPR RI. e-mail: [email protected]**) Analis APBN, Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian Dewan DPR RI. e-mail: [email protected]

9

yang merupakan WP badan hanya membayarkan 12,5 persen dari PKP (Penghasilan Kena Pajak) sampai dengan Rp4,8 miliar berdasarkan pembukuan dan koreksi fiskal. Namun, sejak diberlakukannya PP 46 Tahun 2013 untuk perhitungan pajak bagi WP Pribadi dan WP Badan dikenakan secara final yaitu dengan tarif awal sebesar 1 persen dari penghasilan bruto yang tidak lebih dari Rp4,8 miliar. Tarif bersifat final dalam hal ini artinya setelah pelunasan PPh 1 persen dari peredaran bruto setiap bulan, maka kewajiban pajak atas penghasilan tersebut dianggap selesai.

Pada Juli 2018 pemerintah memberlakukan penurunan tarif pajak UMKM menjadi 0,5 persen. Berdasarkan keterangan data Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, tarif pajak tersebut diturunkan dengan alasan; Pertama, untuk mendorong peran serta masyarakat dalam kegiatan ekonomi formal. Kedua, lebih memberi keadilan kepada masyarakat. Ketiga, memberi kemudahan dalam melaksanakan kewajiban perpajakan. Keempat, memberi kesempatan masyarakat dalam berkontribusi kepada Negara dengan ikut serta dalam kewajiban perpajakan. Kelima, adanya peningkatan pengetahuan tentang manfaat pajak bagi masyarakat. Ketentuan yang ada dalam PP No. 23 Tahun 2018 tertera dalam tabel 2.

mengklasifikasikan UMKM menurut kekayaan bersih/aset selain tanah dan bangunan usaha atau hasil penjualan/omzet (tabel 1). Tabel 1. Kriteria UMKM (dalam Rupiah)

Sumber: UU No.20 Tahun 2008

Artinya, usaha yang termasuk dalam UMKM adalah usaha yang dilakukan pribadi atau badan usaha dengan peredaran maksimum sebesar Rp50 miliar. Sebelum Juli 2013, perhitungan pajak UMKM untuk WP Pribadi dihitung secara progresif dan untuk WP Badan dikenakan tarif PPh Badan sebesar 25 persen, sebagaimana diatur dalam UU No.36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Pada pasal 31E undang-undang tersebut juga diatur terkait pengenaan PPh peredaran bruto sampai dengan Rp50 miliar mendapat fasilitas pengurangan tarif sebesar 50 persen dari tarif umum. Sehingga UMKM

No Jenis Usaha Asset Omzet

1 Usaha Mikro Maks 500 juta

Maks 300 juta

2 Usaha Kecil > 50 juta - 500 juta

>300 juta - 2,5 miliar

3 Usaha Menengah

>500 juta - 10 miliar

>2,5 miliar - 50 miliar

Tabel 2. Ketentuan PP No.23 Tahun 2018

Sumber : diolah, 2018

10

Berdasarkan pengaturan tarif pajak pada PP No. 23 Tahun 2018 (termasuk PP No. 46 Tahun 2013 terdahulu), maka kebijakan PPh final bagi UMKM ini tidak sesuai dengan asas keadilan horizontal dan vertikal. Pengenaan tarif yang sama bagi UMKM sebesar 0,5 persen bertentangan dengan asas keadilan. Dalam UU No. 28 Tahun 2008 sudah diatur pengklasifikasian usaha menurut aset dan omzet yang berbeda-beda. Artinya, kemampuan UMKM juga berbeda dan seharusnya pengenaan tarif ini juga berbeda agar sesuai dengan asas-asas perpajakan. Ketidaktepatan asas keadilan tersebut juga terlihat ketika membandingkan pengaturan tarif umum (WP Badan dan Pribadi) menurut UU No. 36 Tahun 2008 dengan Tarif PPh Final(PP No. 23 Tahun 2018). Tabel 3 merupakan simulasi perbandingan perhitungan pajak antara tarif PPh final (PP No. 23 Tahun 2018) dengan pengenaan tarif umum (WP Badan dan Pribadi) menurut UU No.36 Tahun 2008 bagi UMKM.

Dari simulasi diatas dapat disimpulkan bahwa PP 23 tahun 2018 menguntungkan bagi UMKM baik WP Pribadi maupun WP Badan, jika labanya 10 persen. Akan tetapi, jika labanya 5 persen

Alasan pemerintah sendiri dalam menurunkan tarif pajak tersebut guna memudahkan pelaku UMKM dalam melakukan perhitungan, penyetoran, dan pelaporan pajak terutang, serta meningkatkan kontribusi UMKM terhadap perekonomian. Oleh karenanya, pemerintah berharap pelaku UMKM antusias untuk turut serta dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan memiliki NPWP serta melakukan kewajibannya dengan membayar pajak sesuai ketentuan yang berlaku.

Sudah tepatkah penurunan tarif pajak UMKM 0,5 persen?

Agar kebijakan penurunan tarif yang diterbitkan tepat sasaran, pemerintah seharusnya juga memperhatikan asas-asas perpajakan. Salah satu asas yang dikenal dalam perpajakan adalah asas keadilan horizontal dan vertikal. Berkaitan dengan keadilan horizontal, PP yang dikeluarkan oleh pemerintah seharusnya mengatur bahwa UMKM yang memiliki pendapatan sama, harus membayar jumlah pajak yang sama. Sedangkan untuk keadilan vertikal, UMKM yang memiliki kemampuan berbeda harus membayar jumlah pajak yang berbeda pula.

Tabel 3. Simulasi Perhitungan Pajak Tarif Umum menurut UU 36/2008 dan PP 23/2018 (dalam rupiah)

Sumber : Aida (2014), diolah (2018)

11

pajak dan dibutuhkan kerja sama WP agar memiliki kesadaran tinggi dalam membayar pajak pasca penurunan tarif pajak tersebut.

Jika dilihat dari sisi tujuan, penurunan tarif dalam PP ini tepat untuk mendorong produktivitas UMKM ditengah perekonomian yang relatif belum membaik. Namun, upaya mendorong produktivitas UMKM tidak bisa hanya melalui relaksasi tarif saja, menyelesaikan permasalahan utama UMKM seperti pemasaran, permodalan dan sumber daya manusia juga harus dilakukan pemerintah. Sepanjang tahun 2017, pemerintah gencar dalam mengembangkan industri UMKM. Akan tetapi, masih ada beberapa permasalahan yang perlu diperhatikan. Pertama, terkait pemasaran. Pelaku UMKM mengeluhkan kesulitan dalam memasarkan produknya, karena mereka relatif menjual produknya dalam lingkup kecil seperti di sekitar rumah atau orang terdekat. Saat ini pemerintah memiliki program 8 juta UMKM go online yang mengajak UMKM untuk aktif dan terbuka dalam era digital saat ini. Dalam program tersebut pemerintah mencoba membantu UMKM dalam mempromosikan produknya, karena produk yang telah terdaftar akan dipromosikan dan ditempatkan di market place besar seperti Tokopedia, Blibli dan lain sebagainya. Dalam program tersebut UMKM juga nantinya mendapatkan peluang untuk distribusi Kredit Usaha Rakyat (KUR), serta pembuatan NPWP online. Kedua, terkait permodalan. Masalah permodalan sering menjadi kendala UMKM. Oleh karena itu, pemerintah meminta sektor perbankan memberi dukungan dalam penyaluran kredit. Agar dukungan perbankan optimal, diperlukan upaya pemerintah dalam meningkatkan basis data UMKM. Peningkatan basis data ini diharapkan dapat menambah kepemilikan NPWP, agar memudahkan pelaku UMKM dalam pengajuan kredit ke perbankan. Ketiga, terkait pelatihan SDM dalam memahami administratif perpajakan

ke bawah, WP Badan diuntungkan dan WP Pribadi dirugikan. Dengan demikian, penerapan PP tersebut lebih menguntungkan WP Badan dibandingkan WP Pribadi yang notabene adalah pelaku usaha mikro dan usaha kecil. Artinya, penerapan tarif dalam PP ini masih tidak tepat berdasarkan asas keadilan. Apalagi kemampuan usaha kecil dan mikro dalam menghasilkan laba jauh lebih kecil dibandingkan usaha menengah yang mayoritas adalah WP Badan.

Asas perpajakan lainnya adalah administrasi perpajakan sederhana. Artinya, aturan perpajakan bagi UMKM ini harus menggunakan sistem yang memudahkan WP dalam menghitung dan menyetorkan pajaknya. Dari sisi pengaturan dalam PP tersebut, sistem yang digunakan sudah menggunakan sistem yang sederhana dan boleh dikatakan tepat. Akan tetapi, yang menjadi permasalahan adalah ketidakmampuan UMKM (khususnya Usaha Mikro dan Usaha Kecil) dalam melakukan pembukuan dan perhitungan beban pajaknya. Hal ini diakui oleh Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia, Muhammad Ikhsan, yang menyebutkan bahwa UMKM sulit melakukan pembukuan dan apabila harus menyewa jasa konsultan pajak dianggap terlalu mahal . Dengan kondisi seperti ini, penerapan asas adminsitrasi yang sederhana tersebut menjadi kurang tepat.

Dari sisi asas convinience of payment (asas pemungutan pajak yang tepat waktu), penerapan PP baru ini (khususnya penurunan tarif 0,5 persen) dapat dikatakan tepat karena sektor UMKM membutuhkan kebijakan fiskal yang mampu merelaksasi dan mendorong produktivitas usahanya. Namun disisi lain, penurunan tarif pajak ini berpotensi menyebabkan penurunan penerimaan perpajakan. Akan tetapi, potensi penurunan tersebut dapat diminimalisir melalui upaya Pemerintah dalam meningkatkan basis

12

yang berkualitas serta memiliki daya saing. Secara perlahan pemerintah mencoba membenahi persoalan SDM yang ada di sektor UMKM. Namun, persoalan tersebut belum sepenuhnya terselesaikan, karena masih dalam proses pembenahan ke tahap yang lebih baik.

serta menghasilkan produk yang berkualitas. Pemerintah sudah menyiapkan program pelatihan bagi UMKM, seperti sosialisasi yang dilakukan pihak DJP kepada pelaku UMKM. Selain itu pemerintah juga memberikan pelatihan terkait bagaimana menciptakan produk

RekomendasiPemerintah harus optimis dalam meningkatkan kontribusi sektor UMKM terhadap PDB dengan lebih mengembangkan sektor unggulan Indonesia. Tanpa upaya yang cepat dan tepat, pertumbuhan UMKM bisa saja terhambat dan kalah bersaing dengan produk UMKM di dan dari luar negeri. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.

Pertama, Penerapan PP No. 23 Tahun 2018 ini seharusnya bisa dikaji lebih dalam lagi, khususnya penerapan besaran tarif yang sama bagi UMKM. Bagi WP Badan dan usaha menengah, penetapan tarif ini mungkin lebih menguntungkan. Tetapi, bagi WP pribadi (usaha mikro dan kecil) cenderung masih memberatkan. Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah menerapkan tarif PPh final yang berbeda bagi UMKM. Bahkan, pilihan penerapan tarif pajak sebesar 0 persen bagi usaha mikro dan kecil juga merupakan pilihan yang perlu dipertimbangkan.

Kedua, jika fokus pemerintah untuk meningkatkan jumlah WP dengan menarik pelaku UMKM untuk memiliki NPWP, pemerintah harus lebih sering melakukan sosialisasi terkait administrasi pajak yang berkaitan dengan pembukuan. Hal ini penting, mengingat banyak pelaku UMKM yang tetap kesulitan akan pembukuan pajak walaupun sudah diterapkan secara sederhana. Selain itu, Pemerintah juga dapat memberlakukan template pembukuan khusus yang memudahkan bagi UMKM.

Ketiga, perlunya sharing experience dan business evaluating akan menjadi hal yang menyenangkan dan menciptakan semangat dalam melakukan pengembangan diri ataupun inovasi terhadap produk UMKM dalam melakukan ekspansi usaha. Karena dengan adanya sharing experience dan business evaluating diharapkan dapat memicu satu sama lain dalam meningkatkan bisnisnya.

Keempat, jika pemerintah ingin meningkatkan penerimaan pajak sektor UMKM, maka upaya meningkatkan produktivitas UMKM menjadi keharusan. Selain kebijakan relaksasi tarif PPh Final ini, pemerintah harus memiliki upaya dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan krusial yang menghambat produktivitas UMKM. Permasalahan tersebut antara lain terkait permodalan guna mendukung bisnis UMKM, pemasaran/distribusi dan kapasitas sumber daya manusia.

13

Daftar Pustaka

Aida, Ade Nurul.2014.Evaluasi Pegenaan Kebijakan PPh Final Pada UMKM. Jakarta : Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN

Asosiasi IUMKM Indonesia. Diakses darihttp://iumkmindonesia.com/sejarah/ . Tanggal akses 03 Juli 2018

Bank Indonesia,2018. “Profil Bisnis Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Diakses dari https://www.bi.go.id/id/umkm/.../Profil%20Bisnis%20UMKM.pdf. Tanggal akses 02 Juli 2018

Badan Pusat Statistik.UMKM. Diakses dari https://www.bps.go.id/subject/35/usaha-mikro-kecil.html#subjekViewTab3 . Tanggal akses 02 Juli 2018

Detik Finance.2018. Diakses dari https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4077925/luncurkan-pajak-umkm-05-jokowi-agar-lompat-jadi-usaha-besar. Tanggal akses 13 Juli 2018

Kementrian Koperasi dan UKM.Data UMKM. Diakses dari http://www.depkop.go.id/berita-informasi/data-informasi/data-umkm/. Tanggal akses 02 Juli 2018

Kementerian Perindustrian. Diakses dari http://www.kemenperin.go.id/artikel/14200/Kontribusi-UMKM-Naik. Tanggal akses 03 Juli 2018

Pohan,Chairul Anwar.2013.“ Manajemen Perpajakan Strategi Perencanaan Pajak dan Bisnis.Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

Suci,Yuli Rahmini.2017. Perkembangan UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) di Indonesia.Balikpapan. Jurnal ilmiah Cano Ekonomi Vol.6 No 1.

Tribun Bisnis.2018. Diakses dari http://www.tribunnews.com/bisnis/2018/06/28/umkm-minta-pemerintah-ciptakan-aplikasi-permudah-pembukuan-pajak. Tanggal akses 13 Juli 2018

14

Buletin APBNPusat Kajian AnggaranBadan Keahlian DPR RI

www.puskajianggaran.dpr.go.idTelp. 021-5715635, Fax. 021-5715635

e-mail [email protected]

“Siap Memberikan

Dukungan Fungsi Anggaran Secara Profesional”