11
TUGAS HUKUM DAN KEBIJAKAN LINGKUNGAN HARMONISASI PERUMUSAN POLITIK HUKUM PEMBANGUNAN SOSIAL DALAM PENGEMBANGAN ENERGI NUKLIR NASIONAL Oleh Ayu Steffina Oktavianti 1306501236 Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia Program Studi Ilmu Lingkungan Gedung C FKG Lantai V Kampus UI Salemba Jl. Salemba Raya No.4, Jakarta 10430 [email protected] Abstrak Kebijakan pengembangan energi nuklir Nasional yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2014 memiliki tendensi kuat untuk multitafsir dan politisasi kebijakan. Indonesia cepat atau lambat akan beralih ke energi nuklir sebagai alternatif terakhir. Namun, wacana tersebut telah lama menjadi kontroversi. Hampir seluruh masyarakat Indonesia menolak wacana tersebut karena dinilai tidak dapat mewujudkan kemakmuran rakyat secara tepat guna seperti yang dijelaskan pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Para pemangku kepentingan pun masih memahami kebijakan pengembangan energi tersebut secara parsial demi mewujudkan kepentingan tertentu. Pemahaman yang parsial timbul sebagai konsekuensi dari pluralisme penafsiran atau multitafsir yang tidak mempertimbangkan pembangunan hubungan sosial secara timbal-balik antara penyelenggara negara dan masyarakat. Hubungan antara lembaga penguasa dan masyarakat menjadi tidak seimbang sehubungan dengan lemahnya prinsip kesetaraan dan penegakan hukum yang diterapkan. Kelemahan tersebut tentunya 1

Outline Hukum Lingkungan_Ayu Steffina_Psil 32 B Khusus

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Hukum dan kebijakan lingkungan

Citation preview

TUGAS HUKUM DAN KEBIJAKAN LINGKUNGANHARMONISASI PERUMUSAN POLITIK HUKUM PEMBANGUNAN SOSIALDALAM PENGEMBANGAN ENERGI NUKLIR NASIONAL

OlehAyu Steffina Oktavianti1306501236

Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia Program Studi Ilmu LingkunganGedung C FKG Lantai V Kampus UI Salemba Jl. Salemba Raya No.4, Jakarta [email protected]

AbstrakKebijakan pengembangan energi nuklir Nasional yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2014 memiliki tendensi kuat untuk multitafsir dan politisasi kebijakan. Indonesia cepat atau lambat akan beralih ke energi nuklir sebagai alternatif terakhir. Namun, wacana tersebut telah lama menjadi kontroversi. Hampir seluruh masyarakat Indonesia menolak wacana tersebut karena dinilai tidak dapat mewujudkan kemakmuran rakyat secara tepat guna seperti yang dijelaskan pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Para pemangku kepentingan pun masih memahami kebijakan pengembangan energi tersebut secara parsial demi mewujudkan kepentingan tertentu. Pemahaman yang parsial timbul sebagai konsekuensi dari pluralisme penafsiran atau multitafsir yang tidak mempertimbangkan pembangunan hubungan sosial secara timbal-balik antara penyelenggara negara dan masyarakat. Hubungan antara lembaga penguasa dan masyarakat menjadi tidak seimbang sehubungan dengan lemahnya prinsip kesetaraan dan penegakan hukum yang diterapkan. Kelemahan tersebut tentunya mencerminkan hukum negara yang tidak formal sehingga masih sulit untuk mewujudkan stabilitas ketahanan Nasional seperti yang dijelaskan pada UU No. 3 Tahun 2002 Pasal 1 ayat (2). Politisasi kebijakan energi nuklir Nasional justru dapat menjadi ancaman besar terhadap pembangunan lingkungan dan sosial. Masyarakat meragukan ketepatan guna dari pemanfaatan kekayaan alam energi nuklir dan terutama pakta integritas dari para penyelanggara atau penguasa negara. Para penguasa negara cenderung menerapkan postivisme hukum yang memposisikan masyarakat sebagai kaum permisif. Hukum pembangunan yang digunakan cenderung tidak didasarkan pada kepastian hukum (The rule of law) dan kaidah sosial sebagai hukum yang hidup (The living law). Kebijakan pengembangan energi nuklir yang berkelanjutan harus dibangun berlandaskan pada konsep politik hukum pembangunan yang progresif dan integratif melalui pendekatan BSE (Bureucratic and Social Engineering) yang memposisikan hukum sebagai sarana pembangunan (Law as a tool of social engineering).Kata Kunci: politisasi kebijakan,pengembangan energi nuklir berkelanjutan,BSEA. Pendahuluan Wacana mengenai pemgembangan energi nuklir sebagai salah satu energi alternatif Nasional pengganti energi fosil mengundang banyak kontroversi. Energi nuklir sangat potensial untuk dijadikan pembangkit listrik Nasional karena energi nuklir merupakan salah satu sumber energi baru dan terbarukan di Indonesia yang dapat menghasilkan energi dalam jumlah yang besar dan minim polusi udara. Pengembangan energi nuklir sebagai pembangkit energi listrik Nasional yang berkelanjutan memerlukan kerjasama di bidang ekonomi, lingkungan, dan sosial secara terpadu. Kebijakan mengenai pengembangan energi nuklir untuk menciptakan kemandirian dan ketahanan energi nasional telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Berdasarkan pernyataan dalam PP No. 79 Tahun 2014 Pasal 11 ayat (3), energi nuklir dipertimbangkan sebagai pilihan terakhir sehubungan dengan bahaya radiasi nuklir yang ditimbulkan terhadap lingkungan dan umat manusia walaupun energi nuklir memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Namun, pada dasarnya pengembangan energi nuklir diperbolehkan apabila muncul kepentingan nasional yang sifatnya mendesak. Pernyataan tersebut tentunya dapat ditafsirkan secara berbeda-beda (Multitafsir) oleh para pemangku kepentingan. Multitafsir menciptakan pemahaman yang tidak holistik (utuh dan terkait) atau hanya dalam konteks yang parsial (sebagian) bergantung pada kepentingan yang ingin dicapai. Multitafsir terhadap kebijakan dan peraturan mencerminkan hukum negara yang tidak formal sehingga dapat menciptakan negara yang rendah stabilitas ketahanan nasionalnya. Hukum yang tidak formal atau yang sering disebut dengan ketidakpastian hukum memiliki sifat yang tidak adil, tidak jelas, dan tidak tegas sehingga mudah dipolitisasi. Positivisme hukum pun tidak dapat dihindari.Kebijakan pengembangan energi nuklir di Indonesia yang ekonomis, ekologis, dan berwawasan sosial secara normatif mengacu pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Oleh karena itu, seluruh kekayaan alam yang dikuasai oleh negara termasuk energi nuklir dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Namun, pada kenyataannya kebijakan pengembangan energi nuklir di Indonesia masih bersifat multitafsir sehingga belum dapat mewujudkan isi dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 secara holistik. Negara yang rendah stabilitas Nasionalnya sulit untuk mewujudkan masyarakat yang makmur karena pemanfaatan kekayaan alam yang tidak tepat guna dan pakta integritas yang meragukan dari para pemegang kekuasaan. Para pemegang kekuasaan cenderung melegalkan praktek positivisme hukum sebagai media politisasi kebijakan. Politisasi kebijakan pemanfaatan kekayaan alam secara implisit untuk tujuan lain dapat mengorbankan pertahanan negara. Hal tersebut tentunya bertentangan dengan UU No. 3 Tahun 2002 Pasal 1 ayat (2) tentang Sistem Pertahanan Negara yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya Nasional dalam rangka menciptakan stabilitas Negara dan melindungi keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman. Dalam rangka mewujudkan pemanfaatan energi nuklir yang tepat guna maka diperlukan politik hukum pembangunan yang berlandaskan pada prinsip hukum progresif dan integratif dengan pendekatan BSE (Bureucratic and Social Engineering).

B. Rumusan MasalahKebijakan pengembangan energi nuklir secara umum yang dituangkan pada PP No. 79 Tahun 2014 dapat memberikan peluang untuk multitafsir dan tendensi politisasi kebijakan oleh penyelenggara negara. Sebagian besar masyarakat Indonesia pun masih menolak pengembangan energi nuklir sebagai energi Nasional sehubungan dengan belum adanya rasa kepercayaan yang timbul dan keselarasan (harmonisasi) pemahaman dengan penyelenggara atau penguasa negara. Masyarakat beranggapan bahwa kebijakan pengembangan energi nuklir yang dibuat oleh penyelenggara negara hanya mementingkan tujuan ekonomi semata tanpa mementingkan konteks pengelolaan lingkungan hidup terkait keberlanjutan aspek lingkungan dan sosial. Selain itu, masyarakat beranggapan pula bahwa pakta integritas dari para penyelenggara negara sebagai perumus kebijakan cenderung sangat rendah sehingga ketaatan hukumnya pun diragukan. Kebijakan pengembangan energi nuklir di Indonesia diharapkan dapat dirumuskan dan dihubungkan dengan persepsi yang selaras atau harmonis antara pihak penyelenggara negara dan masyarakat dalam konteks pengelolaan lingkungan hidup. Selain itu, kebijakan tersebut harus disertai dengan bukti ketaatan dan penegakan hukum yang tinggi sehingga multitafsir dan tendensi politisasi kebijakan dapat diminimalisasi. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah kebijakan pengembangan energi nuklir sebagai energi Nasional masih ditafsirkan secara berbeda-beda dan cenderung dipolitisasi padahal rumusan kebijakan energi nuklir yang dibuat seharusnya sudah merupakan wujud keselarasan politik hukum pembangunan sosial melalui kesatuan pemahaman antara penyelenggara negara dan masyarakat yang disertai dengan bukti ketaatan dan penegakan hukum yang tinggi. Kebijakan pengembangan energi nuklir pun seharusnya sudah menyertakan kajian mendalam mengenai konteks pengelolaan lingkungan hidup yang memerhatikan keberlanjutan aspek sosial dan lingkungan.C. Metode PenelitianPenelitian ini menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif yang meneliti tentang bagaimana cara merumuskan kebijakan lingkungan hidup dalam rangka pengembangan energi nuklir Nasional yang selaras dan minim multitafsir serta tendensi politisasi kebijakan. Cara-cara perumusan kebijakan pengembangan energi nuklir yang selaras dimulai dengan membangun hubungan sosial antara penyelenggara negara dan masyarakat. Pembangunan persepsi dan hubungan sosial yang selaras dapat ditempuh dengan konsep politik hukum pembangunan lingkungan hidup yang progresif dan integratif melalui pendekatan BSE (Bureucratic and Social Engineering). Pendekatan BSE sebagai sarana pembangunan sosial mempertimbangkan beberapa aspek penting tekait yaitu kesetaraan posisi lembaga penguasa dan masyarakat dihadapan hukum (equality before the law) dan penegakan hukum dengan cara yang tidak bertentangan dengan hukum (due process of law) ditinjau dari fungsi dan peranan hukum yang mengatur hubungan antara lembaga penguasa dan masyarakat dalam mengelola lingkungan hidup. Politik hukum pembangunan lingkungan hidup yang progresif dan integratif dipandang sebagai produk politik hukum yang dirumuskan berdasarkan hasil pertimbangan aspirasi masyarakat terhadap kebijakan pengembangan energi nuklir di Indonesia.Hasil telaah teori, konsep, prinsip, dan peraturan perundangan yang berhubungan dengan aspek kesetaraan hubungan dan penegakan hukum antara penyelenggara negara dan masyarakat dalam mengelola lingkungan hidup akan dijadikan bahan dalam perumusan kebijakan lingkungan hidup yang selaras dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dalam rangka pengembangan energi nuklir Nasional yang berkelanjutan. Bahan-bahan dalam perumusan kebijakan lingkungan hidup terkait pengembangan energi nuklir Nasional didapat dari hasil telaah penelitian-penelitian terkait yang telah diterbitkan sebelumnya dalam bentuk buku dan jurnal ilmiah yang tertera di daftar pustaka. D. PembahasanPenelitian ini membahas mengenai hasil telaah pustaka terkait:1. Kesetaraan dan Penegakan Hukum antara Penyelenggara Negara dan MasyarakatDalam rangka menciptakan kesetaraan serta penegakan hukum maka pemahaman terkait hubungan peranan dan fungsi hukum antara lembaga penguasa dan masyarakat harus berjalan dengan baik yaitu hukum harus dipandang pula sebagai sarana yang membatasi wewenang dan perilaku pejabat penguasa negara, hukum sebagai sarana pembaharuan birokrasi, kegunaan hukum harus dipandang pula dari sisi kepentingan korban (victims), pendekatan fungsi hukum dalam masyarakat rentan melalui sistem preventif, represif, rehabilitatif, dan restoratif dipandang sebagai sarana untuk mengubah sikap, cara berpikir, dan perilaku. Prinsip penegakan hukum dalam rangka mewujudkan supremasi hukum dicapai melalui parameter terkait berupa dominasi aturan-aturan hukum untuk menentang dan meniadakan kesewenang-wenangan dan kewenangan bebas atau privatisasi yang begitu luas dari pemerintah sehingga hak-hak masyarakat lebih dijamin oleh konstitusi. Penjaminan hak-hak masyarakat tersebut harus diimbangi pula dengan penegakan hukum terhadap para penguasa melalui instrumen pakta integritas. Pakta Integritas adalah instrumen pencegahan tindak kejahatan publik yang mengikat individu atau institusi untuk berintegritas. Pakta integritas mensyaratkan tiga elemen dasar yaitu adanya kesepakatan dan pernyataan integritas oleh pejabat publik, adanya pengakuan publik dan terbuka, adanya sanksi dan arbitrase sebagai konsekuensi dan resolusi konflik. Integritas sistem memiliki dua lingkup yaitu di dalam dan di luar institusi. Pengondisian di dalam institusi mencakup pengakuan nilai, perubahan kebijakan, kontrol, dan sanksi. Pengondisian di luar institusi mensyaratkan adanya institusi pengawasan independen dan kebebasan media untuk mengontrol integritas sistem. Selain itu, perlu pengondisian di masyarakat dalam bentuk pendidikan integritas agar dapat melawan sikap permisif atau tunduk publik terhadap tindakan yang tak berintegritas. 2. Politik Hukum Pembangunan Progresif dan IntegratifHukum sebagai sarana pembangunan (Law as a tool of social engineering) memposisikan peraturan hukum sebagai alat pengatur atau sarana pembangunan yang menyalurkan arah kegiatan manusia kearah yang dikehendaki oleh pembangunan dalam rangka menjamin adanya kepastian dan ketertiban hukum (order). Hukum pembangunan progresif dan integratif dengan pendekatan BSE (Bureucratic and Social Engineering) atau hukum sebagai rekayasa sosial dapat tercapai apabila pemahaman terhadap kesetaraan dan penegakan hukum antara lembaga dan masyarakat dapat berjalan secara efektif. Pendekatan BSE menekankan pada Tripate character of the Indonesian legal theory of social and bureaucratic engineering. Konsep tersebut mendorong lembaga penguasa untuk dapat menggerakkan tiga hakikat komponen hukum yaitu sistem norma, perilaku, dan nilai dengan sense of public service berdasarkan pengolahan unsur-unsur hukum terkait seperti substansi, struktur, budaya, dan birokrasi agar tercipta rule of recognition.E. KesimpulanUraian singkat di atas menjelaskan secara garis besar bahwa kebijakan pengembangan energi nuklir Nasional yang saat ini diberlakukan cenderung multitafsir dan dipolitisasi. Oleh karena itu, perumusan kebijakan lingkungan hidup terkait pengembangan energi nuklir Nasional seharusnya dapat terjalin selaras dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum oleh penyelenggara negara dan masyarakat. Kebijakan lingkungan hidup terkait pengembangan energi nuklir Nasional yang selaras dan tegak hukum dapat dirumuskan dengan konsep politik hukum pembangunan lingkungan hidup yang progresif dan integratif melalui pendekatan BSE. Pendekatan BSE sebagai sarana pembangunan sosial mempertimbangkan aspek kesetaraan hubungan dan penegakan hukum antara penyelenggara negara dan masyarakat sehingga dapat meminimalisasi multitafsir dan tendensi politisasi kebijakan. Dengan demikian, keselarasan persepsi dan penegakan hukum terhadap kebijakan pengembangan energi nuklir berkelanjutan secara ekonomi, lingkungan, dan sosial dapat terwujud.

DAFTAR PUSTAKA

Amarini, Indriati. 2012. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Atmasasmita, Romli. 2012.Teori Hukum Integratif: Rekonstruksi terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif.Yogyakarta: Genta Publshing.Atmasasmita,Romli. 2010. Tiga Paradigma Hukum Pembangunan Nasional,Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung. Fuady, Muady.2009.Teori Negara Hukum Modern (Rehctstaat), Refika Aditama, Bandung.Hakim Nusantara,Abd. G. dan Nasroen Yasabari.1980.Beberapa Pemikiran Pembangunan Hukum di Indonesia,Bandung: Alumni.Hart, H.L.A.1961.The Concept of Law.Oxford: Oxford University Press.Helmi.Kedudukan Izin Lingkungan dalam Sistem Perizinan di Indonesia.Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 2, No. 2. 2013.Indonesian Center for Environmental Law (ICEL). Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia. Vol. 1. Issue 1, Januari 2014.Jurnal Kajian LEMHANAS RI. Pengembangan Teknologi Nuklir Guna Pemanfaatan Energi Terbarukan dalam Rangka Meningkatkan Ketahanan Energi Nasional. Edisi 16. November 2013.Lubis,Abubakar.Energi Terbarukan dalam Pembangunan Berkelanjutan. Jurnal Teknik Lingkungan. Vol. 8,No.2, Jakarta. Mei 2007:155-162.Made Hendra,Wijaya.2013. Keberadaan Konsep Rule by Law di dalam Teori Negara Hukum The Rule of Law. Universitas Udayana.Manan, Bagir. 1999. Pembinaan Hukum Nasional. Dalam Mieke Komar, Etty R. Agoes, & Eddy Damian. Eds.Mochtar Kusumaatmadja: Pendidik dan Negarawan (Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahun Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M.). Bandung: AlumniOtje Salman dan Eddy Damian,Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan,Bandung: Alumni, 2002.Perdana, R. Herlambang dan Bernard Stenly.2007.Gagasan Pluralisme Hukum dalam Konteks Gerakan Sosial.Rahardjo, Satjipto.2003.Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.Rahardjo, Satjipto.2006.Membedah Hukum Progresif.Jakarta: Penerbit Buku Kompas.Rahardjo, Satjipto. 2009.Hukum dan Perubahan Sosial: Suatu Tinjauan Teoretis serta Pengalaman-Pengalaman di Indonesia.Yogyakarta: Genta Publishing.Rasjidi, Lili & I.B. Wyasa Putra. 1993. Hukum sebagai suatu Sistem. Bandung: Remaja Rosdakarya.Silalahi, Daud.1992.Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Bandung: Alumni.Sutrisno. Politik Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jurnal Hukum No. 3, Vol. 18, Juli 2011:444-464.Triatmojo, Fery. 2013. Dinamika Kebijakan Diversifikasi Energi di Indonesia:Analisis Kebijakan Pengembangan Energi Terbarukan di Indonesia.Wignjosoebroto,Soetandyo. Masalah Pluralisme dalam Pemikiran dan Kebijakan Perkembagan Hukum Nasional.

3