11
1. Judul Buku : OTONOMI DAERAH & DESENTRALISASI 2. Penulis : Utang Rosidin, SH., MH. 3. Penerbit : CV. Pustaka Setia 4. Tahun Terbit : 2010 5. Jumlah Halaman : 426 Halaman 6. Ukuran Buku : 24 x 16 cm 7. Sampul : Hitam, Coklat 8. Riwayat Pengarang. Setelah meraih gelar kesarjanaannya, pada tahun 2004 penulis memulai karir mengembangkan ilmu di perguruan tinggi sebagai tenaga pengajar pada Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, selain itu juga tercatat sebagai tenaga pengajar di beberapa perguruan tinggi, seperti Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Politik (STISIP) Syamsul ‘Ulum Sukabumi, Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Persis, dan Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Persis Garut, serta sejak tahun 2009 tercatat sebagai tenaga pengajar pada Program Magister (S-2) Ilmu Hukum Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Pertiba Pangkalpinang Kepulauan Bangka Belitung. Di sela-sela kesibukannya memberikan kuliah di beberapa perguruan tinggi, penulis menyempatkan diri untuk terlibat di beberapa organisasi diantaranya pada Lajnah Bantuan Hukum (LBH) Persatuan Islam Kab. Garut di Lembaga Bantuan hukum (LBH) Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati serta di Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Kota Sukabumi. 9. Isi Buku. BAB I PENDAHULUAN Secara etimologi, kota pemerintahan berasal dari kata pemerintah, kata pemerintah sendiri berasal dari kata perintah yang berarti menyuruh melakukan suatu pekerjaan. Akan tetapi, kata pemerintahan sebenarnya berasal dari kata dalam bahasa Inggris yaitu government yang diterjemahkan sebagai pemerintah dan pemerintahan. Selain itu, ada juga yang berpendapat bahwa government tidak selalu memiliki makna pemerintahan, Samuel Edward Finer mengartikan kata tersebut sebagai publik servant yakni pelayanan. Penggunaan kata government dalam bahasa Inggris juga sering menimbulkan kesalahpahaman. Banyak orang yang tidak menyadari bahwa kata itu mengandung dua arti, yaitu arti luas dan arti sempit. Keduanya dipengaruhi oleh tradisi pemerintahan yang berkembang di Inggris dan Amerika Serikat. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu

otda__desentralisasi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

ok

Citation preview

  • 1. Judul Buku : OTONOMI DAERAH & DESENTRALISASI

    2. Penulis : Utang Rosidin, SH., MH.

    3. Penerbit : CV. Pustaka Setia

    4. Tahun Terbit : 2010

    5. Jumlah Halaman : 426 Halaman

    6. Ukuran Buku : 24 x 16 cm

    7. Sampul : Hitam, Coklat

    8. Riwayat Pengarang. Setelah meraih gelar kesarjanaannya, pada tahun 2004

    penulis memulai karir mengembangkan ilmu di perguruan tinggi sebagai tenaga pengajar

    pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung,

    selain itu juga tercatat sebagai tenaga pengajar di beberapa perguruan tinggi, seperti

    Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Politik (STISIP) Syamsul Ulum Sukabumi, Sekolah Tinggi

    Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Persis, dan Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI)

    Persis Garut, serta sejak tahun 2009 tercatat sebagai tenaga pengajar pada Program

    Magister (S-2) Ilmu Hukum Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Pertiba Pangkalpinang

    Kepulauan Bangka Belitung. Di sela-sela kesibukannya memberikan kuliah di beberapa

    perguruan tinggi, penulis menyempatkan diri untuk terlibat di beberapa organisasi

    diantaranya pada Lajnah Bantuan Hukum (LBH) Persatuan Islam Kab. Garut di Lembaga

    Bantuan hukum (LBH) Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati serta di Ikatan

    Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Kota Sukabumi.

    9. Isi Buku.

    BAB I

    PENDAHULUAN

    Secara etimologi, kota pemerintahan berasal dari kata pemerintah, kata pemerintah

    sendiri berasal dari kata perintah yang berarti menyuruh melakukan suatu pekerjaan. Akan

    tetapi, kata pemerintahan sebenarnya berasal dari kata dalam bahasa Inggris yaitu

    government yang diterjemahkan sebagai pemerintah dan pemerintahan. Selain itu, ada

    juga yang berpendapat bahwa government tidak selalu memiliki makna pemerintahan,

    Samuel Edward Finer mengartikan kata tersebut sebagai publik servant yakni pelayanan.

    Penggunaan kata government dalam bahasa Inggris juga sering menimbulkan

    kesalahpahaman. Banyak orang yang tidak menyadari bahwa kata itu mengandung dua

    arti, yaitu arti luas dan arti sempit. Keduanya dipengaruhi oleh tradisi pemerintahan yang

    berkembang di Inggris dan Amerika Serikat. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu

  • diperjelas perbedaan mendasar antara pengertian bentuk Negara, bentuk pemerintahan,

    dan sistem pemerintahan. Ketiga istilah tersebut sebaiknya tidak dipertukarkan satu sama

    lain, sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman dalam praktiknya. Perbincangan

    mengenai bentuk Negara terkait dengan pilihan-pilihan antara bentuk Negara kesatuan,

    bentuk Negara serikat dan bentuk konfederasi. Perbincangan mengenai bentuk

    pemerintahan berkaitan dengan pilihan antara lain bentuk kerajaan (monarki) yaitu Negara

    yang dikepalai oleh seorang raja dan besifat turun temurun dan menjabat untuk seumur

    hidup dan bentuk republik, yaitu negara dengan pemerintahan rakyat yang dikepalai oleh

    seorang presiden sebagai kepala Negara yang dipilih dari dan oleh rakyat untuk masa

    jabatan tertentu dan biasanya Presiden dapat dipilih kembali sesuai dengan peraturan

    perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan menyangkut sistem pemerintahan

    terdapat beberapa pilihan antara lain sistem pemerintahan presidensial, sistem

    pemerintahan parlementer, sistem pemerintahan campuran dan sistem pemerintahan

    collegial seperti Swiss.

    Dari konsep-konsep tersebut, Bangsa Indonesia sejak kemerdekaan pada tahun

    1945 cenderung mengidealkan bentuk Negara Kesatuan, bentuk pemerintahan republik

    dan sistem pemerintahan presidensial.

    BAB II

    OTONOMI DAERAH DAN FEDERASI

    Sebagai konsekuensi dari Negara kesatuan, Negara Republik Indonesia membagi

    wilayahnya menjadi daerah-daerah yang terdiri atas daerah provinsi, daerah kabupaten,

    dan kota. Daerah-daerah ini saling berhubungan erat dengan pemerintah pusat. Sekalipun

    demikian, daerah-daerah tersebut diberi kewenangan untuk menyelenggarakan

    pemerintahannya sesuai dengan aspirasi masyarakat setempat. Sebagai suatu Negara

    kesatuan, Indonesia menyelenggarakan sistem otonomi daerah, dengan beberapa

    pertimbangan berikut :

    a. Pertama, persiapan ke arah federasi Indonesia masih belum memungkinkan.

    Untuk mewujudkan sebuah Negara federasi, masyarakat dan pemerintah harus

    mempersiapkan konstitusi federasi yang mencakup antara lain mekanisme, check

    and balances antara kekuasaan legislative, eksekutif dan yudikatif. Mekanisme

    check and balances juga harus mencakup antara pemerintah nasional dan provinsi

    atau Negara bagian, serta antara provinsi yang satu dan provinsi yang lainnya.

    Definisi yang menyangkut self rule sebuah provinsi harus jelas. Selain itu, setiap

  • provinsi atau Negara bagian harus memiliki konstitusi Negara bagian yang mengatur

    mekanisme penyelenggaraan pemerintahan di Negara bagian, termasuk hubungan

    antara Negara bagian atau provinsi dengan kabupaten atau kota. Dengan kondisi

    seperti ini, tidak realistis kalau Negara ini memiliki Negara federasi sebagai

    pengganti dari bentuk Negara kesatuan. Selain itu, untuk memberlakukan sebuah

    federasi, sejumlah persyaratan juga harus dapat dipenuhi, terutama yang

    menyangkut perwujudan demokrasi dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini karena

    federasi tanpa demokrasi yang stabil akan sangat sulit dapat terwujud. Pengalaman

    di berbagai Negara berbentuk federasi telah memperlihatkan hal itu. Amerika

    Serikat, Kanada, Australia, dan lainnya adalah negara-negara yang sudah stabil

    demokrasinya.

    b. Kedua, pilihan otonomi luas merupakan pilihan yang sangat strategis dalam

    rangka memelihara nation state (Negara bangsa) yagn sudah lama dibangun dan

    dipelihara. Dengan otonomi, harkat, martabat dan harga diri masyarakat di daerah

    yang selama puluhan tahun telah mengalami proses marginalisasi, bahkan

    merupakan alienasi dalam segala bentuk pembuatan kebijaksanaan publik, dapat

    dihargai. Segala bentuk kebijaksanaan publik yang bersifat nasional ditentukan oleh

    sekelompok kecil orang di pemerintah pusat, sementara masyarakat di daerah

    diwajibkan untuk menyukseskannya dalam proses implementasi kebijaksanaan

    tersebut.

    c. Ketiga, sentralisasi terbukti gagal mengatasi krisis nasional yang terjadi pada

    tahun 1997. Ekonomi Indonesia mengalami kehancuran total dengan segala

    implikasinya. Pemerintah memasuki arena global yang sebenarnya tidak siap untuk

    diikuti. Krisis ekonomi telah membawa dampak yang sangat buruk terhadap

    kehidupan politik nasional, demikian juga sebaliknya yaitu sistem politik yang

    otoritarian mengakibatkan konsentrasi sumber daya ekonomi hanya berkisar pada

    segelintir orang yang ada di pemerintah pusat akibat tidak adanya control yang

    membatasi kekuasaan. Oleh karena itu, otonomi daerah merupakan pilihan yang

    baik bagi kepentingan bangsa dan masyarakat Indonesia. Dengan diberlakukannya

    desentralisasi, daerah akan menjadi kuat. Kalau daerah sudah kuat, Negara pun

    akan kuat. Adanya desentralisasi memunculkan pusat-pusat kegiatan ekonomi dan

    usaha yang baru di daerah-daerah.

  • d. Keempat, pemantapan demokrasi politik. Demokrasi tanpa penguatan politik

    local akan menjadi sangat rapuh karena sebuah demokrasi tidak mungkin dibangun

    dengan hanya memperkuat elite politik nasional. Otonomi daerah akan memperkuat

    basis bagi kehidupan demokrasi dalam sebuah Negara, termasuk Indonesia. Kalau

    masyarakat di daerah sudah terbiasa dengan proses yang terbuka, terbiasa terlibat

    dalam mekanisme membuat kebijakan publik didaerahnya, begitu ada peluang untuk

    ikut berperan dalam politik nasional, mereka tidak akan canggung untuk

    menghadapinya. Oleh karena itu, politik tidak seharusnya didominasi orang-orang di

    kota-kota besar.

    e. Kelima, keadilan. Otonomi daerah akan mencegah mengalirnya kepincangan

    dalam menguasai sumber daya yang dimiliki dalam sebuah Negara. Sumber daya

    daerah seharusnya dipelihara, dijaga dan dinikmati oleh masyarakat setempat.

    Tanah dan hutan dengan segala hasilnya yang merupakan hak warisan dari

    kalangan nenek moyang suatu masyarakat mesti dinikmati oleh masyarakat

    setempat.

    BAB III

    SEJARAH PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH

    DI INDONESIA

    Penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia pada dasarnya telah dimulai sejak

    masa pendudukan kolonialis Belanda sampai dengan sekarang di masa pemerintahan

    pasca reformasi. Pada masa pemerintahan pasca reformasi atau periode Undang-Undang

    Nomor 32 Tahun 2004, banyak perubahan (revisi) terhadap peraturan perundang-

    undangan sebagai salah satu program reformasi dibidang hukum adalah perubahan

    terhadap peraturan perundang-undangan. Hal ini dilakukan dalam rangka membangun

    sistem hukum nasional, yang diselaraskan dengan arah kebijakan pembangunan hukum

    yang telah ditetapkan dalam RPJMN 2004-2009 yaitu sebagai berikut :

    a. Menata kembali substansi hukum melalui peninjauan dan penataan peraturan

    perundang-undangan untuk mewujudkan tertib perundang-undangan dengan

    memperhatikan asas umum dan hierarki perundang-undangan dan menghormati

    serta memperkuat kearifan local dan hukum adat untuk memperkaya sistem hukum

    dan peraturan melalui yurisprudensi sebagai bagian dari upaya pembaharuan materi

    hukum nasional.

  • b. Melakukan pembenahan struktur hukum melalui penguatan kelembagaan

    dengan meningkatkan profesionalisme hakim dan staf peradilan serta kualitas

    sistem peradilan yang terbuka dan transparan, menyederhanakan sistem peradilan,

    meningkatkan transparansi agar peradilan dapat diakses oleh masyarakat dan

    memastikan bahwa hukum diterapkan dengan adil dan memihak pada kebenaran.

    c. Meningkatkan budaya hukum, antara lain melalui pendidikan dan sosialisasi

    berbagai peraturan perundang-undangan serta perilaku keteladanan dari kepala

    Negara dan jajarannya dalam mematuhi dan menaati hukum serta penegakan

    supremasi hukum.

    Dalam rangka penyelenggaraan hubungan kewenangan antara pemerintah pusat

    dan pemerintah daerah, dalam UU Nomor 32 tahun 2004 pasal 10 ditegaskan pemerintah

    daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali

    urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ini ditentukan menjadi urusan pemerintah.

    Dalam rangka menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah,

    pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur sendiri urusan

    pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.

    Dalam urusan pemerintahan tersebut, pemerintah dapat menyelenggarakan sendiri

    atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemeritah kepada perangkat pemerintah atau

    wakil pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah dan atau

    pemerintahan desa. Hal lain yang membedakan UU Nomor 32 Tahun 2004 dengan UU

    Pemda sebelumnya adalah ketentuan yang mengatur pemilihan kepada daerah. Dalam

    UU ini, pemilihan kepala dan wakil kepala daerah dipilih secara langsung oleh masyarakat

    daerah tersebut, yang terdapat pada pasal 56 s.d. 119. Hal ini dilakukan karena pengaruh

    dari sistem ketatanegaraan Indonesia, terutama mengenai pemilihan kepala Negara.

    Ketentuan ini merupakan perubahan yang signifikan terhadap perkembangan demokrasi di

    daerah, sesuai dengan tuntutan reformasi yang merupakan konsekuensi perubahan

    tatanan kenegaraan kita akibat terjadinya amandemen UUD 1945.

    BAB IV

    REFORMASI KINERJA BIROKRASI PEMERINTAH DAERAH DALAM

    PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH

  • Amandemen UUD 1945 memaknai reformasi birokrasi sebagai penataan ulang

    terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan yang dijalankan aparatur pemerintah, baik

    pada tingkat pemerintah pusat maupun penyelenggara pemerintah di daerah. Pendekatan

    reformasi birokrasi berdasarkan amandemen UUD 1945 merupakan pendekatan sistematik

    yang secara konseptual lebih mengutamakan komprehensi dibandingkan eksistensi.

    Secara sistematik, keempat dimensi aspke yang perlu ditata ulang melalui rekomendasi

    kebijakan yaitu kebijakan restrukturisasi, kebijakan rasionalisasi dan relokasi, kebijakan

    simplifikasi dan otomatisasi serat kebijakan dekulturisasi menyentuh seluruh elemen dalam

    sistem birokrasi melalui berbagai rekomendasi kebijakan pembenahan. Artinya, upaya

    reformasi telah diarahkan secara tepat pada sasaran yang perlu dibenahi.

    Reformasi birokrasi yang pertama kali dilaksanakan dalam Negara kesatuan

    Republik Indonesia adalah pada era pemerintahan Soekarno tepatnya pada tahun 1962

    yaitu dengan dibentuknya Panitia Retooling Aparatur Negara. Panitia ini dibebani tugas

    untuk mengoptimalisasikan fungsi birokrasi dalam penyediaan pelayanan publik. Upaya

    tersebut kandas sebab intervensi politik pada saat itu terlalu mengooptasi dalam birokrasi

    sehingga bias peran birokrasi semakin mengemuka. Selanjutnya pada era pemerintahan

    Soeharto tepatnya tahun 1966 melalui Keputusan Presidium Kabinet Ampera Nomor 75,

    dibentuk tim penertiban aparatur dan administrasi pemerintahan atau yang dikenal dengan

    Tim PAAP. Dilanjutkan kemudian pada tahun 1974 melalui Kabinet Pembangunan I

    dengan dibentuknya kementrian Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara

    (Menpan) yang membidangi secara khusus pembenahan administrasi dan birokrasi di

    Indonesia. Pada masa Orde Baru, birokrasi di Indonesia berafiliasi dengan partai Golkar

    dan militer. Sebagian kalangan menyebutnya dengan istilah ABG (ABRI, Birokrasi dan

    Golkar). Bisa dibayangkan bagaimana Golkar dengan instrumen politik yang mapan saling

    menguatkan dengan birokrasi yang menjadi gudang informasi sosial yang kemudian

    mendapat dukungan dari kekuatan militer. Ketiga serangkai tersebut menjelma menjadi

    kekuatan sosial politik yang sulit ditandingi di Republik ini pada masa tersebut. Hal inilah

    yang membuka peluang bagi mereka untuk melakukan inefisiensi penggunaan anggaran

    engara. Pelayanan yang diberikan birokrasi pada masa Orde Baru mendapat banyak

    sorotan, terutama perlakuan istimewa terhadap daerah konsisten Golkar. Akan tetapi,

    kondisi antiklimaks kemudian muncul pada tahun 1997-an dimana nilai tukar rupiah anjlok

    terhadap dolar. Situasi perekonomian yang menjadi pilar kekuatan orde baru menjadi tidak

    menentu. Dalam perkembangan pemerintahan berikutnya seperti Kabinet Persatuan

    Nasional, Kabinet Gotong Royong ataupun Kabinet Indonesia Bersatu, upaya reformasi

    birokrasi belum juga menemui harapan publik yang optimal. Berbagai kendala

  • bermunculan mulai dari hal-hal yang bersifat politis sampai pada hal-hal yang bersifat

    praktikal.

  • BAB V

    PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE DALAM

    PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH

    World Bank mendefinisikan kata governance sebagai the way state power is used in

    managing economic and sosial resources for development society. Pengertian ini

    menggambarkan bahwa governance adalah cara, yakni cara kekuasaan Negara untuk

    mengelola sumber-sumber daya ekonomi dan sosial guna pembangunan masyarakat.

    Cara ini lebih menunjukkan pada hal-hal yang bersifat teknis. Sejalan dengan pendapat

    tersebut, UNDP mengemukakan definisi sebagai penggunaan atau pelaksanaan yaitu

    penggunaan kewenangan politik, ekonomi dan administrative untuk mengelola masalah-

    masalah nasional pada semua tingkatan. Disini, titik tekannya pada kewenangan,

    kekuasaan yang sah atau kekuasaan yang memiliki legitimasi. Berdasarkan pengertian

    tersebut, menurut UNDP governance didukung oleh tiga kaki yaitu politik, ekonomi dan

    administrasi. Ketiga domain tersebut berada dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan

    bermasyarakat. Sektor pemerintah lebih banyak berkecimpung dan menjadi penggerak

    aktifitas dibidang ekonomi, sedangkan sektor masyarakat merupakan objek sekaligus

    subyek dari sektor pemerintah maupuns sektor swasta. Hal ini karena didalam

    masyarakatlah terjadi interaksi baik dibidang politik, ekonomi maupun sosial budaya.

    Berkaitan dengan good governance, UNDP mengajukan Sembilan karakteristik yang

    meliputi :

    a. Partisipasi. Sebagai pemilik kedaulatan setiap warga Negara mempunyai

    hak dan kewajiban untuk mengambil bagian dalam proses bernegara,

    berpemerintahan serta bermasyarakat. Partisipasi tersebut dapat dilakukan secara

    langsung ataupun melalui institusi intermediasi seperti DPRD, LSM dan lainnya.

    Syarat utama bagi warga Negara disebut berpartisipasi dalam kegiatan berbangsa,

    bernegara dan berpemerintahan yaitu :

    1) Ada rasa kesukarelaan (tanpa paksaan).

    2) Ada keterlibatan secara emosional.

    3) memperoleh manfaat secara langsung ataupun tidak langsung dari

    keterlibatannya.

    b. Penegakan Hukum. Salah satu persyaratan kehidupan demokrasi adalah

    adanya penegakan hukum yang adil dan tidak pandang bulu. Tanpa penegakan

  • hukum yang tegas, tidak akan tercipta kehidupan yang demokratis, tetapi anarkhi.

    Tanpa penegakan hukum, orang secara bebas berupaya mencapai tujuannya

    sendiri tanpa mengindahkan kepentingan orang lain, dengan menghalalkan segala

    cara. Oleh karena itu, langkah awal penciptaan good governance adalah

    membangun system hukum yang sehat, baik perangkat lunaknya, perangkat keras

    maupun sumber daya manusia yang menjalankan sistemnya.

    c. Transparansi. Salah satu karakteristik good governance adalah

    keterbukaan. Karakteristik ini sesuai dengan semangat zaman yang serba terbuka

    akibat adanya revolusi informasi. Keterbukaan tersebut mencakup semua aspek

    aktifitas yang menyangkut kepentingan public, dari proses pengambilan keputusan,

    penggunaan dana-dana public sampai pada tahapan evaluasi.

    d. Daya Tanggap. Upaya peningkatan daya tanggap terutama ditujukan pada

    sector public yang selama ini cenderung tertutup, arogan, serta berorientasi pada

    kekuasaan. Untuk mengetahui kepuasan masyarakat terhadap pelayanan yang

    diberikan oleh sector public, secara periodic perlu dilakukan survey untuk

    mengetahui tingkat kepuasan konsumen.

    e. Berorientasi Pada Konsensus. Kegiatan bernegara, berpemerintahan dan

    bermasyarakat pada dasarnya merupakan aktifitas politik, yang berisi dua hal utama

    yaitu konflik dan consensus. Dalam good governance, pengambilan keputusan

    ataupun pemecahan masalah bersama lebih diutamakan berdasarkan consensus,

    yang dilanjutkan dengan kesediaan untuk konsisten melaksanakan consensus yang

    telah diputuskan bersama. Consensus bagi bangsa Indonesia sebenarnya bukanlah

    hal yang baru, karena nilai dasar kita dalam memecahkan persoalan bangsa adalah

    melalui musyawarah untuk mufakat.

    f. Keadilan. Melalui prinsip good governance, setiap warga Negara memiliki

    kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan. Akan tetapi, karena

    kemampuan masing-masing warga Negara berbeda-beda, sector public harus

    memainkan peranan agar kesejahteraan dan keadilan dapat berjalan seiring sejalan.

    g. Efektif dan Efisiensi. Agar mampu berkompetisi secara sehat dalam

    percaturan dunia, kegiatan ketiga domain dan governance harus mengutamakan

    efektifitas dan efisiensi dalam setiap kegiatan. Tekanan perlunya efektifitas dan

  • efisiensi terutama ditujukan pada sector public karena sector ini menjalankan

    aktifitasnya secara monopolistic tanpa kompetisi tidak aka nada efisiensi.

    h. Akuntabilitas. Setiap aktifitas yang berkaitan dengan kepentingan public

    perlu mempertanggungjawabkannya kepada public. Tanggung gugat dan tanggung

    jawab tidak hanya diberikan kepada atasan saja, tetapi juga pada para pemegang

    saham yaitu masyarakat luas. Secara teoritis akuntabilitas dapat dibedakan menjadi

    lima macam yaitu akuntabilitas organisasi, legal, politik, professional dan moral.

    i. Visi Strategis. Dalam era yang berubah secara dinamis, setiap domain

    dalam good governance harus memiliki visi yang strategis. Tanpa visi semacam itu,

    suatu bangsa dan Negara akan mengalami ketertinggalan. Visi itu, dapat dibedakan

    antara visi jangka panjang antara 20 sampai 25 tahun serta visi jangka pendek

    sekitar 5 tahun.

    BAB VI

    PERSOALAN-PERSOALAN YANG DIHADAPI PEMERINTAH DAERAH DAN

    PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERUBAH-UBAH

    Reformasi hukum merupakan salah satu amanat penting dalam rangka pelaksanaan

    agenda reformasi nasional. Didalamnya tercakup agenda penataan kembali berbagai

    institusi hukum dan politik, mulai tingkat pusat sampai tingkat pemerintahan desa,

    pembaharuan berbagai perangkat peraturan perundang-undangan mulai UUD 1945 sampai

    tingkat peraturan desa, dan pembaruan dalam sikap, cara berfikir dan berbagai aspek

    perilaku masyarakat hukum ke arah kondisi yang sesuai tuntutan perkembangan zaman.

    Untuk mendukung berbagai upaya yang dilakukan ke arah itu, perencanaan dan

    pembangunan hukum harus dititikberatkan pada langkah-langkah strategis dalam

    meningkatkan akselerasi reformasi hukum yang mencakup materi atau substansi hukum,

    baik yang tertulis maupun tidak tertulis, serta meningkatkan struktur atau kelembagaan

    hukum yang juga mencakup aparatur hukum dan budaya hukum. Ketiga aspek ini

    dianggap sebagai bagian-bagian yang satu sama lain saling terkait dan menjadi subsistem

    dari system hukum nasional yang akan kita bangun.

    Seiring dengan hal itu, sejak reformasi telah terjadi pergeseran pelaksanaan

    kebijaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi yang bergulir sejak diberlakukannya UU

    Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diubah menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang

    Pemerintahan Daerah, walaupun dalam perjalanannya menghadapi berbagai

  • permasalahan yang diantaranya adalah dari segi legal (peraturan perundang-undangan

    yang tidak konsisten), administrasi (ketidakjelasan peran kepala daerah, pembagian urusan

    baik pilihan maupun wajib di daerah, hubungan antara pemerintah pusat, pemerintah

    provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, pemekaran daerah, pilkada).

    Untuk menyikapi permasalahan tersebut, dilakukan perubahan-perubahan terutama

    yang berkaitan dengan pengaturan tentang pelaksanaan pemilihan kepala dan wakil kepala

    daerah yang dituangkan dalam UU Nomor 8 Tahun 2005 tentang penetapan peraturan

    pemerintah pengganti UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas UU Nomor 32

    tahun 2004 tentang pemerintahan daerah menjadi UU, kemudian ditetapkan juga

    perubahan kedua terhadap UU Nomor 32 Tahun 2004 dengan ditetapkannya UU Nomor 12

    Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang

    Pemerintahan Daerah.