Upload
hayat-nur-isnaini-juniarti
View
24
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
ok
Citation preview
1. Judul Buku : OTONOMI DAERAH & DESENTRALISASI
2. Penulis : Utang Rosidin, SH., MH.
3. Penerbit : CV. Pustaka Setia
4. Tahun Terbit : 2010
5. Jumlah Halaman : 426 Halaman
6. Ukuran Buku : 24 x 16 cm
7. Sampul : Hitam, Coklat
8. Riwayat Pengarang. Setelah meraih gelar kesarjanaannya, pada tahun 2004
penulis memulai karir mengembangkan ilmu di perguruan tinggi sebagai tenaga pengajar
pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung,
selain itu juga tercatat sebagai tenaga pengajar di beberapa perguruan tinggi, seperti
Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Politik (STISIP) Syamsul Ulum Sukabumi, Sekolah Tinggi
Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Persis, dan Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI)
Persis Garut, serta sejak tahun 2009 tercatat sebagai tenaga pengajar pada Program
Magister (S-2) Ilmu Hukum Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Pertiba Pangkalpinang
Kepulauan Bangka Belitung. Di sela-sela kesibukannya memberikan kuliah di beberapa
perguruan tinggi, penulis menyempatkan diri untuk terlibat di beberapa organisasi
diantaranya pada Lajnah Bantuan Hukum (LBH) Persatuan Islam Kab. Garut di Lembaga
Bantuan hukum (LBH) Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati serta di Ikatan
Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Kota Sukabumi.
9. Isi Buku.
BAB I
PENDAHULUAN
Secara etimologi, kota pemerintahan berasal dari kata pemerintah, kata pemerintah
sendiri berasal dari kata perintah yang berarti menyuruh melakukan suatu pekerjaan. Akan
tetapi, kata pemerintahan sebenarnya berasal dari kata dalam bahasa Inggris yaitu
government yang diterjemahkan sebagai pemerintah dan pemerintahan. Selain itu, ada
juga yang berpendapat bahwa government tidak selalu memiliki makna pemerintahan,
Samuel Edward Finer mengartikan kata tersebut sebagai publik servant yakni pelayanan.
Penggunaan kata government dalam bahasa Inggris juga sering menimbulkan
kesalahpahaman. Banyak orang yang tidak menyadari bahwa kata itu mengandung dua
arti, yaitu arti luas dan arti sempit. Keduanya dipengaruhi oleh tradisi pemerintahan yang
berkembang di Inggris dan Amerika Serikat. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu
diperjelas perbedaan mendasar antara pengertian bentuk Negara, bentuk pemerintahan,
dan sistem pemerintahan. Ketiga istilah tersebut sebaiknya tidak dipertukarkan satu sama
lain, sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman dalam praktiknya. Perbincangan
mengenai bentuk Negara terkait dengan pilihan-pilihan antara bentuk Negara kesatuan,
bentuk Negara serikat dan bentuk konfederasi. Perbincangan mengenai bentuk
pemerintahan berkaitan dengan pilihan antara lain bentuk kerajaan (monarki) yaitu Negara
yang dikepalai oleh seorang raja dan besifat turun temurun dan menjabat untuk seumur
hidup dan bentuk republik, yaitu negara dengan pemerintahan rakyat yang dikepalai oleh
seorang presiden sebagai kepala Negara yang dipilih dari dan oleh rakyat untuk masa
jabatan tertentu dan biasanya Presiden dapat dipilih kembali sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan menyangkut sistem pemerintahan
terdapat beberapa pilihan antara lain sistem pemerintahan presidensial, sistem
pemerintahan parlementer, sistem pemerintahan campuran dan sistem pemerintahan
collegial seperti Swiss.
Dari konsep-konsep tersebut, Bangsa Indonesia sejak kemerdekaan pada tahun
1945 cenderung mengidealkan bentuk Negara Kesatuan, bentuk pemerintahan republik
dan sistem pemerintahan presidensial.
BAB II
OTONOMI DAERAH DAN FEDERASI
Sebagai konsekuensi dari Negara kesatuan, Negara Republik Indonesia membagi
wilayahnya menjadi daerah-daerah yang terdiri atas daerah provinsi, daerah kabupaten,
dan kota. Daerah-daerah ini saling berhubungan erat dengan pemerintah pusat. Sekalipun
demikian, daerah-daerah tersebut diberi kewenangan untuk menyelenggarakan
pemerintahannya sesuai dengan aspirasi masyarakat setempat. Sebagai suatu Negara
kesatuan, Indonesia menyelenggarakan sistem otonomi daerah, dengan beberapa
pertimbangan berikut :
a. Pertama, persiapan ke arah federasi Indonesia masih belum memungkinkan.
Untuk mewujudkan sebuah Negara federasi, masyarakat dan pemerintah harus
mempersiapkan konstitusi federasi yang mencakup antara lain mekanisme, check
and balances antara kekuasaan legislative, eksekutif dan yudikatif. Mekanisme
check and balances juga harus mencakup antara pemerintah nasional dan provinsi
atau Negara bagian, serta antara provinsi yang satu dan provinsi yang lainnya.
Definisi yang menyangkut self rule sebuah provinsi harus jelas. Selain itu, setiap
provinsi atau Negara bagian harus memiliki konstitusi Negara bagian yang mengatur
mekanisme penyelenggaraan pemerintahan di Negara bagian, termasuk hubungan
antara Negara bagian atau provinsi dengan kabupaten atau kota. Dengan kondisi
seperti ini, tidak realistis kalau Negara ini memiliki Negara federasi sebagai
pengganti dari bentuk Negara kesatuan. Selain itu, untuk memberlakukan sebuah
federasi, sejumlah persyaratan juga harus dapat dipenuhi, terutama yang
menyangkut perwujudan demokrasi dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini karena
federasi tanpa demokrasi yang stabil akan sangat sulit dapat terwujud. Pengalaman
di berbagai Negara berbentuk federasi telah memperlihatkan hal itu. Amerika
Serikat, Kanada, Australia, dan lainnya adalah negara-negara yang sudah stabil
demokrasinya.
b. Kedua, pilihan otonomi luas merupakan pilihan yang sangat strategis dalam
rangka memelihara nation state (Negara bangsa) yagn sudah lama dibangun dan
dipelihara. Dengan otonomi, harkat, martabat dan harga diri masyarakat di daerah
yang selama puluhan tahun telah mengalami proses marginalisasi, bahkan
merupakan alienasi dalam segala bentuk pembuatan kebijaksanaan publik, dapat
dihargai. Segala bentuk kebijaksanaan publik yang bersifat nasional ditentukan oleh
sekelompok kecil orang di pemerintah pusat, sementara masyarakat di daerah
diwajibkan untuk menyukseskannya dalam proses implementasi kebijaksanaan
tersebut.
c. Ketiga, sentralisasi terbukti gagal mengatasi krisis nasional yang terjadi pada
tahun 1997. Ekonomi Indonesia mengalami kehancuran total dengan segala
implikasinya. Pemerintah memasuki arena global yang sebenarnya tidak siap untuk
diikuti. Krisis ekonomi telah membawa dampak yang sangat buruk terhadap
kehidupan politik nasional, demikian juga sebaliknya yaitu sistem politik yang
otoritarian mengakibatkan konsentrasi sumber daya ekonomi hanya berkisar pada
segelintir orang yang ada di pemerintah pusat akibat tidak adanya control yang
membatasi kekuasaan. Oleh karena itu, otonomi daerah merupakan pilihan yang
baik bagi kepentingan bangsa dan masyarakat Indonesia. Dengan diberlakukannya
desentralisasi, daerah akan menjadi kuat. Kalau daerah sudah kuat, Negara pun
akan kuat. Adanya desentralisasi memunculkan pusat-pusat kegiatan ekonomi dan
usaha yang baru di daerah-daerah.
d. Keempat, pemantapan demokrasi politik. Demokrasi tanpa penguatan politik
local akan menjadi sangat rapuh karena sebuah demokrasi tidak mungkin dibangun
dengan hanya memperkuat elite politik nasional. Otonomi daerah akan memperkuat
basis bagi kehidupan demokrasi dalam sebuah Negara, termasuk Indonesia. Kalau
masyarakat di daerah sudah terbiasa dengan proses yang terbuka, terbiasa terlibat
dalam mekanisme membuat kebijakan publik didaerahnya, begitu ada peluang untuk
ikut berperan dalam politik nasional, mereka tidak akan canggung untuk
menghadapinya. Oleh karena itu, politik tidak seharusnya didominasi orang-orang di
kota-kota besar.
e. Kelima, keadilan. Otonomi daerah akan mencegah mengalirnya kepincangan
dalam menguasai sumber daya yang dimiliki dalam sebuah Negara. Sumber daya
daerah seharusnya dipelihara, dijaga dan dinikmati oleh masyarakat setempat.
Tanah dan hutan dengan segala hasilnya yang merupakan hak warisan dari
kalangan nenek moyang suatu masyarakat mesti dinikmati oleh masyarakat
setempat.
BAB III
SEJARAH PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH
DI INDONESIA
Penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia pada dasarnya telah dimulai sejak
masa pendudukan kolonialis Belanda sampai dengan sekarang di masa pemerintahan
pasca reformasi. Pada masa pemerintahan pasca reformasi atau periode Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004, banyak perubahan (revisi) terhadap peraturan perundang-
undangan sebagai salah satu program reformasi dibidang hukum adalah perubahan
terhadap peraturan perundang-undangan. Hal ini dilakukan dalam rangka membangun
sistem hukum nasional, yang diselaraskan dengan arah kebijakan pembangunan hukum
yang telah ditetapkan dalam RPJMN 2004-2009 yaitu sebagai berikut :
a. Menata kembali substansi hukum melalui peninjauan dan penataan peraturan
perundang-undangan untuk mewujudkan tertib perundang-undangan dengan
memperhatikan asas umum dan hierarki perundang-undangan dan menghormati
serta memperkuat kearifan local dan hukum adat untuk memperkaya sistem hukum
dan peraturan melalui yurisprudensi sebagai bagian dari upaya pembaharuan materi
hukum nasional.
b. Melakukan pembenahan struktur hukum melalui penguatan kelembagaan
dengan meningkatkan profesionalisme hakim dan staf peradilan serta kualitas
sistem peradilan yang terbuka dan transparan, menyederhanakan sistem peradilan,
meningkatkan transparansi agar peradilan dapat diakses oleh masyarakat dan
memastikan bahwa hukum diterapkan dengan adil dan memihak pada kebenaran.
c. Meningkatkan budaya hukum, antara lain melalui pendidikan dan sosialisasi
berbagai peraturan perundang-undangan serta perilaku keteladanan dari kepala
Negara dan jajarannya dalam mematuhi dan menaati hukum serta penegakan
supremasi hukum.
Dalam rangka penyelenggaraan hubungan kewenangan antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah, dalam UU Nomor 32 tahun 2004 pasal 10 ditegaskan pemerintah
daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali
urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ini ditentukan menjadi urusan pemerintah.
Dalam rangka menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah,
pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur sendiri urusan
pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.
Dalam urusan pemerintahan tersebut, pemerintah dapat menyelenggarakan sendiri
atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemeritah kepada perangkat pemerintah atau
wakil pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah dan atau
pemerintahan desa. Hal lain yang membedakan UU Nomor 32 Tahun 2004 dengan UU
Pemda sebelumnya adalah ketentuan yang mengatur pemilihan kepada daerah. Dalam
UU ini, pemilihan kepala dan wakil kepala daerah dipilih secara langsung oleh masyarakat
daerah tersebut, yang terdapat pada pasal 56 s.d. 119. Hal ini dilakukan karena pengaruh
dari sistem ketatanegaraan Indonesia, terutama mengenai pemilihan kepala Negara.
Ketentuan ini merupakan perubahan yang signifikan terhadap perkembangan demokrasi di
daerah, sesuai dengan tuntutan reformasi yang merupakan konsekuensi perubahan
tatanan kenegaraan kita akibat terjadinya amandemen UUD 1945.
BAB IV
REFORMASI KINERJA BIROKRASI PEMERINTAH DAERAH DALAM
PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH
Amandemen UUD 1945 memaknai reformasi birokrasi sebagai penataan ulang
terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan yang dijalankan aparatur pemerintah, baik
pada tingkat pemerintah pusat maupun penyelenggara pemerintah di daerah. Pendekatan
reformasi birokrasi berdasarkan amandemen UUD 1945 merupakan pendekatan sistematik
yang secara konseptual lebih mengutamakan komprehensi dibandingkan eksistensi.
Secara sistematik, keempat dimensi aspke yang perlu ditata ulang melalui rekomendasi
kebijakan yaitu kebijakan restrukturisasi, kebijakan rasionalisasi dan relokasi, kebijakan
simplifikasi dan otomatisasi serat kebijakan dekulturisasi menyentuh seluruh elemen dalam
sistem birokrasi melalui berbagai rekomendasi kebijakan pembenahan. Artinya, upaya
reformasi telah diarahkan secara tepat pada sasaran yang perlu dibenahi.
Reformasi birokrasi yang pertama kali dilaksanakan dalam Negara kesatuan
Republik Indonesia adalah pada era pemerintahan Soekarno tepatnya pada tahun 1962
yaitu dengan dibentuknya Panitia Retooling Aparatur Negara. Panitia ini dibebani tugas
untuk mengoptimalisasikan fungsi birokrasi dalam penyediaan pelayanan publik. Upaya
tersebut kandas sebab intervensi politik pada saat itu terlalu mengooptasi dalam birokrasi
sehingga bias peran birokrasi semakin mengemuka. Selanjutnya pada era pemerintahan
Soeharto tepatnya tahun 1966 melalui Keputusan Presidium Kabinet Ampera Nomor 75,
dibentuk tim penertiban aparatur dan administrasi pemerintahan atau yang dikenal dengan
Tim PAAP. Dilanjutkan kemudian pada tahun 1974 melalui Kabinet Pembangunan I
dengan dibentuknya kementrian Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara
(Menpan) yang membidangi secara khusus pembenahan administrasi dan birokrasi di
Indonesia. Pada masa Orde Baru, birokrasi di Indonesia berafiliasi dengan partai Golkar
dan militer. Sebagian kalangan menyebutnya dengan istilah ABG (ABRI, Birokrasi dan
Golkar). Bisa dibayangkan bagaimana Golkar dengan instrumen politik yang mapan saling
menguatkan dengan birokrasi yang menjadi gudang informasi sosial yang kemudian
mendapat dukungan dari kekuatan militer. Ketiga serangkai tersebut menjelma menjadi
kekuatan sosial politik yang sulit ditandingi di Republik ini pada masa tersebut. Hal inilah
yang membuka peluang bagi mereka untuk melakukan inefisiensi penggunaan anggaran
engara. Pelayanan yang diberikan birokrasi pada masa Orde Baru mendapat banyak
sorotan, terutama perlakuan istimewa terhadap daerah konsisten Golkar. Akan tetapi,
kondisi antiklimaks kemudian muncul pada tahun 1997-an dimana nilai tukar rupiah anjlok
terhadap dolar. Situasi perekonomian yang menjadi pilar kekuatan orde baru menjadi tidak
menentu. Dalam perkembangan pemerintahan berikutnya seperti Kabinet Persatuan
Nasional, Kabinet Gotong Royong ataupun Kabinet Indonesia Bersatu, upaya reformasi
birokrasi belum juga menemui harapan publik yang optimal. Berbagai kendala
bermunculan mulai dari hal-hal yang bersifat politis sampai pada hal-hal yang bersifat
praktikal.
BAB V
PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE DALAM
PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH
World Bank mendefinisikan kata governance sebagai the way state power is used in
managing economic and sosial resources for development society. Pengertian ini
menggambarkan bahwa governance adalah cara, yakni cara kekuasaan Negara untuk
mengelola sumber-sumber daya ekonomi dan sosial guna pembangunan masyarakat.
Cara ini lebih menunjukkan pada hal-hal yang bersifat teknis. Sejalan dengan pendapat
tersebut, UNDP mengemukakan definisi sebagai penggunaan atau pelaksanaan yaitu
penggunaan kewenangan politik, ekonomi dan administrative untuk mengelola masalah-
masalah nasional pada semua tingkatan. Disini, titik tekannya pada kewenangan,
kekuasaan yang sah atau kekuasaan yang memiliki legitimasi. Berdasarkan pengertian
tersebut, menurut UNDP governance didukung oleh tiga kaki yaitu politik, ekonomi dan
administrasi. Ketiga domain tersebut berada dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan
bermasyarakat. Sektor pemerintah lebih banyak berkecimpung dan menjadi penggerak
aktifitas dibidang ekonomi, sedangkan sektor masyarakat merupakan objek sekaligus
subyek dari sektor pemerintah maupuns sektor swasta. Hal ini karena didalam
masyarakatlah terjadi interaksi baik dibidang politik, ekonomi maupun sosial budaya.
Berkaitan dengan good governance, UNDP mengajukan Sembilan karakteristik yang
meliputi :
a. Partisipasi. Sebagai pemilik kedaulatan setiap warga Negara mempunyai
hak dan kewajiban untuk mengambil bagian dalam proses bernegara,
berpemerintahan serta bermasyarakat. Partisipasi tersebut dapat dilakukan secara
langsung ataupun melalui institusi intermediasi seperti DPRD, LSM dan lainnya.
Syarat utama bagi warga Negara disebut berpartisipasi dalam kegiatan berbangsa,
bernegara dan berpemerintahan yaitu :
1) Ada rasa kesukarelaan (tanpa paksaan).
2) Ada keterlibatan secara emosional.
3) memperoleh manfaat secara langsung ataupun tidak langsung dari
keterlibatannya.
b. Penegakan Hukum. Salah satu persyaratan kehidupan demokrasi adalah
adanya penegakan hukum yang adil dan tidak pandang bulu. Tanpa penegakan
hukum yang tegas, tidak akan tercipta kehidupan yang demokratis, tetapi anarkhi.
Tanpa penegakan hukum, orang secara bebas berupaya mencapai tujuannya
sendiri tanpa mengindahkan kepentingan orang lain, dengan menghalalkan segala
cara. Oleh karena itu, langkah awal penciptaan good governance adalah
membangun system hukum yang sehat, baik perangkat lunaknya, perangkat keras
maupun sumber daya manusia yang menjalankan sistemnya.
c. Transparansi. Salah satu karakteristik good governance adalah
keterbukaan. Karakteristik ini sesuai dengan semangat zaman yang serba terbuka
akibat adanya revolusi informasi. Keterbukaan tersebut mencakup semua aspek
aktifitas yang menyangkut kepentingan public, dari proses pengambilan keputusan,
penggunaan dana-dana public sampai pada tahapan evaluasi.
d. Daya Tanggap. Upaya peningkatan daya tanggap terutama ditujukan pada
sector public yang selama ini cenderung tertutup, arogan, serta berorientasi pada
kekuasaan. Untuk mengetahui kepuasan masyarakat terhadap pelayanan yang
diberikan oleh sector public, secara periodic perlu dilakukan survey untuk
mengetahui tingkat kepuasan konsumen.
e. Berorientasi Pada Konsensus. Kegiatan bernegara, berpemerintahan dan
bermasyarakat pada dasarnya merupakan aktifitas politik, yang berisi dua hal utama
yaitu konflik dan consensus. Dalam good governance, pengambilan keputusan
ataupun pemecahan masalah bersama lebih diutamakan berdasarkan consensus,
yang dilanjutkan dengan kesediaan untuk konsisten melaksanakan consensus yang
telah diputuskan bersama. Consensus bagi bangsa Indonesia sebenarnya bukanlah
hal yang baru, karena nilai dasar kita dalam memecahkan persoalan bangsa adalah
melalui musyawarah untuk mufakat.
f. Keadilan. Melalui prinsip good governance, setiap warga Negara memiliki
kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan. Akan tetapi, karena
kemampuan masing-masing warga Negara berbeda-beda, sector public harus
memainkan peranan agar kesejahteraan dan keadilan dapat berjalan seiring sejalan.
g. Efektif dan Efisiensi. Agar mampu berkompetisi secara sehat dalam
percaturan dunia, kegiatan ketiga domain dan governance harus mengutamakan
efektifitas dan efisiensi dalam setiap kegiatan. Tekanan perlunya efektifitas dan
efisiensi terutama ditujukan pada sector public karena sector ini menjalankan
aktifitasnya secara monopolistic tanpa kompetisi tidak aka nada efisiensi.
h. Akuntabilitas. Setiap aktifitas yang berkaitan dengan kepentingan public
perlu mempertanggungjawabkannya kepada public. Tanggung gugat dan tanggung
jawab tidak hanya diberikan kepada atasan saja, tetapi juga pada para pemegang
saham yaitu masyarakat luas. Secara teoritis akuntabilitas dapat dibedakan menjadi
lima macam yaitu akuntabilitas organisasi, legal, politik, professional dan moral.
i. Visi Strategis. Dalam era yang berubah secara dinamis, setiap domain
dalam good governance harus memiliki visi yang strategis. Tanpa visi semacam itu,
suatu bangsa dan Negara akan mengalami ketertinggalan. Visi itu, dapat dibedakan
antara visi jangka panjang antara 20 sampai 25 tahun serta visi jangka pendek
sekitar 5 tahun.
BAB VI
PERSOALAN-PERSOALAN YANG DIHADAPI PEMERINTAH DAERAH DAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERUBAH-UBAH
Reformasi hukum merupakan salah satu amanat penting dalam rangka pelaksanaan
agenda reformasi nasional. Didalamnya tercakup agenda penataan kembali berbagai
institusi hukum dan politik, mulai tingkat pusat sampai tingkat pemerintahan desa,
pembaharuan berbagai perangkat peraturan perundang-undangan mulai UUD 1945 sampai
tingkat peraturan desa, dan pembaruan dalam sikap, cara berfikir dan berbagai aspek
perilaku masyarakat hukum ke arah kondisi yang sesuai tuntutan perkembangan zaman.
Untuk mendukung berbagai upaya yang dilakukan ke arah itu, perencanaan dan
pembangunan hukum harus dititikberatkan pada langkah-langkah strategis dalam
meningkatkan akselerasi reformasi hukum yang mencakup materi atau substansi hukum,
baik yang tertulis maupun tidak tertulis, serta meningkatkan struktur atau kelembagaan
hukum yang juga mencakup aparatur hukum dan budaya hukum. Ketiga aspek ini
dianggap sebagai bagian-bagian yang satu sama lain saling terkait dan menjadi subsistem
dari system hukum nasional yang akan kita bangun.
Seiring dengan hal itu, sejak reformasi telah terjadi pergeseran pelaksanaan
kebijaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi yang bergulir sejak diberlakukannya UU
Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diubah menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, walaupun dalam perjalanannya menghadapi berbagai
permasalahan yang diantaranya adalah dari segi legal (peraturan perundang-undangan
yang tidak konsisten), administrasi (ketidakjelasan peran kepala daerah, pembagian urusan
baik pilihan maupun wajib di daerah, hubungan antara pemerintah pusat, pemerintah
provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, pemekaran daerah, pilkada).
Untuk menyikapi permasalahan tersebut, dilakukan perubahan-perubahan terutama
yang berkaitan dengan pengaturan tentang pelaksanaan pemilihan kepala dan wakil kepala
daerah yang dituangkan dalam UU Nomor 8 Tahun 2005 tentang penetapan peraturan
pemerintah pengganti UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas UU Nomor 32
tahun 2004 tentang pemerintahan daerah menjadi UU, kemudian ditetapkan juga
perubahan kedua terhadap UU Nomor 32 Tahun 2004 dengan ditetapkannya UU Nomor 12
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.