13
Oseana, Volume XVII, Nomor 3 : 97-109 ISSN 0216-1877 PENYU SISIK DI INDONESIA oleh Ismu Sutanto Suwelo 1) , Widodo Sukohadi Ramono 2) dan Ating Somantri 2) ABSTRACT In the global conservation, hawksbill turtle-Eretmochelys imbricata is catego- rized as endangered species. In Indonesia, however this species is not legalty protected yet. The extensive harvesting of its eggs, consumption of its meat as well as utilization of its skin seemed to accelerate in decreasing the population of this species. This article reviews certain biological information of hawksbill turtle including morpho- logy, reproduction and spawning season, geographical distribution, the evidence of overexploitation as well as efforts is conserving this species. The authors hope that, in the near future, a legislation would be issued to regulate the sustainble utilization and conservation of this species. PENDAHULUAN Perkembangan jumlah penduduk ting- kat kesejahteraan, ilmu pengetahuan dan teknologi memberikan juga dampak negatif terhadap keberadaan sumberdaya alam haya- ti di negara kita, baik yang ada di daratan maupun di laut, terutama jenis yang secara alami memang tidak banyak jumlahnya. Salah satu jenis fauna laut adalah penyu sisik, Eretmachelys imbricata yang didalam dunia konservasi populasinya di alam telah dikatagorikan "nyaris punah" atau "en- dangered" menurut IUCN Red Data Book (1970). Di Indonesia penyu sisik belum ter- masuk yang dilindungi undang-undang kon- servasi hayati, oleh karena itu selain telur- nya yang dipungut habis di tempat-tempat persarangannya, binatangnya ditangkap dan dibunuh untuk diambil kulit sisiknya. Nilai kulit sisik (tortoise shell) penyu sisik lebih tinggi bila dibandingkan dengan penyu hijau atau jenis penyu yang lain karena le- bih tebal atau warnanya lebih bagus. Para pehgrajin kulit, baik di dalam negeri dan terlebih4ebih di Jepang cenderung memilih kulit sisik penyu sisik sebagai bahan baku pembuatan barang-barang kerajinan untuk perhiasan badan maupun hiasan rumah tang- 1) Marine Turtle Specialist Group of SSC-IUCN; Widyaiswara pada Pusat Pendidikan dan Latflian Pegawai Departemen Kehutanan, Bogor. 2) Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Departemen Kehutanan, Bogor. 97 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Oseana, Volume XVII No. 3, 1992

Oseana, Volume XVII, Nomor 3 : 97-109 ISSN 0216-1877oseanografi.lipi.go.id/dokumen/oseana_xvii(3)97-109.pdf · di tempat hidup berbagai jenis binatang avertebrata yang menjadi makanan

Embed Size (px)

Citation preview

Oseana, Volume XVII, Nomor 3 : 97-109 ISSN 0216-1877

PENYU SISIK DI INDONESIA

oleh Ismu Sutanto Suwelo 1), Widodo Sukohadi Ramono 2)

dan Ating Somantri 2)

ABSTRACT

In the global conservation, hawksbill turtle-Eretmochelys imbricata is catego-rized as endangered species. In Indonesia, however this species is not legalty protected yet. The extensive harvesting of its eggs, consumption of its meat as well as utilization of its skin seemed to accelerate in decreasing the population of this species. This article reviews certain biological information of hawksbill turtle including morpho-logy, reproduction and spawning season, geographical distribution, the evidence of overexploitation as well as efforts is conserving this species. The authors hope that, in the near future, a legislation would be issued to regulate the sustainble utilization and conservation of this species.

PENDAHULUAN

Perkembangan jumlah penduduk ting-kat kesejahteraan, ilmu pengetahuan dan teknologi memberikan juga dampak negatif terhadap keberadaan sumberdaya alam haya-ti di negara kita, baik yang ada di daratan maupun di laut, terutama jenis yang secara alami memang tidak banyak jumlahnya. Salah satu jenis fauna laut adalah penyu sisik, Eretmachelys imbricata yang didalam dunia konservasi populasinya di alam telah dikatagorikan "nyaris punah" atau "en-dangered" menurut IUCN Red Data Book (1970).

Di Indonesia penyu sisik belum ter-masuk yang dilindungi undang-undang kon-servasi hayati, oleh karena itu selain telur-nya yang dipungut habis di tempat-tempat persarangannya, binatangnya ditangkap dan dibunuh untuk diambil kulit sisiknya. Nilai kulit sisik (tortoise shell) penyu sisik lebih tinggi bila dibandingkan dengan penyu hijau atau jenis penyu yang lain karena le-bih tebal atau warnanya lebih bagus. Para pehgrajin kulit, baik di dalam negeri dan terlebih4ebih di Jepang cenderung memilih kulit sisik penyu sisik sebagai bahan baku pembuatan barang-barang kerajinan untuk perhiasan badan maupun hiasan rumah tang-

1) Marine Turtle Specialist Group of SSC-IUCN; Widyaiswara pada Pusat Pendidikan dan Latflian Pegawai Departemen Kehutanan, Bogor.

2) Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Departemen Kehutanan, Bogor.

97

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Oseana, Volume XVII No. 3, 1992

ga. Akibatnya penyu sisik diburu di alam dan kulit sisiknya diperdagangkan sebagai barang ekspor (PHPA 1990).

Gejala-gejala yang mencemaskan itu telah menambah kekhawatiran para ahli pelestarian alam, khususnya Kelompok Spe-sialis Penyu, karena jenis ini belum menda-pat perlindungan mutlak lewat undang-undang. Pengaturan yang cukup kuat untuk mengendalikan pemungutan telur, pengenda-lian penangkapan penyu dewasa dan dorong-an untuk melakukan "ranching" yaitu budi-daya selaras dengan asa kelestarian alam juga belum ada.

S1FAT PENYU SISIK

Morfologi Penyu sisik dikenal di beberapa tem-

pat dengan nama penyu genteng, penyu kembang, penyu katungkara, wau atau kadang-kadang disebut sisik saja. Dalam is-tilah Inggris dikenal dengan sebutan "hawks-bill turtle" yang artinya penyu berparuh elang. Nama ilmiahnya Eretmochely s imbri-cate Linnaeus, 1766 dengan sinonim Che-lonia imbricata Boulenger, 1889.

Marga Eretmochelys dan Chelonia da-lam klasiflkasi dapat dibedakan dengan ke-lompok penyu lainnya yaitu adanya empat buah sisik kostal pada karapasnya. Di sam-ping itu sisik nukhal tidak berhubungan dengan sisik kostal (Gambar 1). Untuk mem-bedakan Eretmochelys dengan Chelonia da-pat dilihat dengan memperhatikan sisik kepala prefrontal. Pada Eretmochelys sisik tersebut terdiri dua pasang sedangkan pada Chelonia satu. Sisik karapas tersusun secara

tumpang tindih (imbricate) seperti susunan genteng. Susunan tumpang tindih ini makin tua umur penyu menjadi kurang nyata sehingga hampir mirip karapas penyu hijau. Tidak seperti susunan sisik marginal mulai dari ujung bagian belakang (posterior) me-rupakan gerigi yang jelas meskipun pada bagian depan (anterior) tidak begitu keli-hatan.

Lengannya berbentuk dayung dan masing-masing dilengkapi dengan dua pasang kuku (cakar); kadang-kadang ada yang ha-nya satu kuku. Tengkorak kepala bagian depan (anterior) sempit dan bentuk rahang atas seperti sebuah paruh yang bengkok dan sempit.

Warna kulit sisik pada karapas penyu dewasa sangat mencolok, biasanya kuning sawo dengan bercak-bercak coklat kemerah-merahan, coklat kehitam-hitaman dan ku-ning tua. sedang warna kulit sisik pada bagian perut (plastron) kuning muda yang kadang-kadang dihiasi juga dengan bercak-bercak coklat kehitam-hitaman.

Pada tukik karapasnya berwarna hitam atau kecoklat-coklatan dan pada jalur-jalur membujur yang menonjol pada sisik pinggir dan pada lengan warnanya kuning atau co-klat muda; demikian juga pada daerah sebelah luar bagian atas leher.

Penyu sisik dewasa memiliki ukuran panjang total karapas 82,5 cm sampai 91 cm dengan berat tubuh maksimum 82,5 kg.

Habitat dan makanan Penyu adalah binatang melata laut

yang hampir sepanjang hidupnya berada di dalam laut. Hanya penyu betina dewasa yang naik ke daratan pada waktu-waktu tertentu untuk bertelur. Penyu sisik keba-nyakan hidup di daerah terumbu karang.

98

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Oseana, Volume XVII No. 3, 1992

Gambar 1. Morfoiogi penyu sisik

99

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Oseana, Volume XVII No. 3, 1992

Habitatnya adalah bagian laut yang tidak begitu dalam, dekat daerah pantai peneluran dengan perairan laut yang ditumbuhi alga laut dan lamun. Daerah ini juga menja-di tempat hidup berbagai jenis binatang avertebrata yang menjadi makanan utama penyu sisik. Beberapa jenis lamun dan alga yang tumbuh di daerah seperti ini misalnya Thallasia sp., Gracilaria spp. dan Sargassum spp.(SILALAHI et al. 1981).

Daerah ekosistem terumbu karang dengan keanekaragaman tumbuhan laut dan binatang laut agaknya sesuai sebagai tempat hidup penyu sisik yang bersifat karnivor itu (SUWELO 1988). Penyu sisik memakan binatang laut seperti ascidia, moluska, udang-udangan, ubur-ubur dan sebagainya. Ada sementara ahli yang mengemukakan bahwa penyu sisik yang masih muda lebih banyak bersifat omnivor sedangkan yang dewasa karnivor.

Dalam buku ”Pedoman Jenis Satwa Yang Diperdagangkan, Vol. I : Mamalia, Reptilia dan Amphia" yang diterbitkan Ditjen PHPA Departemen Kehutanan, Pro-yek Pembinaan Kelestarian Sumberdaya Alam Hayati di Pusat, Bogor (1985)disebut bahwa makanan penyu sisik terdiri dari bunga karang, bulu babi, ubur-ubur, ikan kecil dan ganggang laut.

Biologi Reproduksi dan Musim Bertelur. Pada umur berapa penyu sisik dewasa

mulai ma tang kelamin untuk kemudian bertelur, di kalangjin para ahli masih belum ada kesatuan pendapat karena belum di-teliti. Di tempat penangkapan, penyu sisik mulai matang kelamin dan bertelur pada umur 3 - 7 tahun (WITZELL 1983). Di alam para pakar menduga, seperti pada penyu hijau,lebih dari 15 tahun.

Pada umumnya daerah tempat berte-lurnya penyu sisik adalah pantai pasir di pulau-pulau di perairan laut yang tidak da-lam. Tidak seperti pada penyu hijau, penyu sisik umumnya bertelur di pulau-pulau kecil pada pantai yang tidak luas dengan tekstur pasir yang kasar bercampur pecahan batu karang dan cangkang moluska; sarang-nya dangkal berada di dekat batas vegetasi pantai.

Induk penyu bertelur pada malam hari, kebanyakan terjadi antara pukul 20.00 sampai menjelang fajar menyingsing. Lama-nya penyu bertelur biasanya berkisar antara 1 — 2 jam, jauh lebih cepat waktunya bila dibandingkan dengan penyu hijau. Jumlah setiap kali bertelur lebih dari 150 butir. Telurnya kecil dengan diameter + 38 cm. Kebiasaan penyu yang bertelur adalah kem-bali ke lokasi yang sama untuk bertelur setelah jangka waktu tertentu.Penyu sisik bertelur secara individual atau kelompok kecil tidak seperti penyu-penyu lain yang berkelompok besar. Waktu inkubasi telur tampaknya tidak berbeda dengan penyu hijau yakni antara 50 dan 60hari.

Mengenai musim bertelur penyu sisik, dari pengamatan di Indonesia tampak sim-pang siur. Di beberapa lokasi dimana penyu hijau bertelur, dilaporkan bahwa penyu sisik bertelur bersamaan waktunya dengan penyu hijau. Tetapi laporan lainnya menya-takan waktunya bergantian, biasanya jatuh pada musim angin bar at. Di Belitung dan Kepulauan Seribu musim bertelur penyu sisik adalah dari Desember hingga April.

Catatan Red Data Book, IUCN(1970) penyu sisik bertelur di Teluk Guinea (Afri-ka Timur) pada bulan Desember hingga Februari di Kepulauan Seycheles bulan September hingga Nopember. Di Laut Cina Selatan antara Desember hingga Maret

100

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Oseana, Volume XVII No. 3, 1992

dan tidak pernah drjumpai bertelur pada bulan Juni.

Sebaran Geografis Penyu sisik dahulu mempunyai daerah

sebaran geografi yang luas meliputi per-airan Laut Tengah, Atlantik, Pasifik dan Samudera Hindia. Namun sejak dua dekade terakhir penyu sisik dilaporkan hanya di-ketemukan dalam populasi yang kecil di perairan Laut Tengah; pantai peneluran dijumpai di pulau-pulau kecil di Laut Cina Selatan dan di Utara Mozambik serta Teluk Guinea (Afrika Timur) serta Kepulauan Seycheles. Populasi yang kecil didapati di Laut Karibia dan Teluk Meksiko sebelah selatan. Di Australia masih agak luas dan dilaporkan bertelur di pantai Queensland dan pulau-pulau di Selat Tores.

Di perairan Indonesia ada beberapa keterangan mengenai diketemukannya pe-nyu sisik bertelur (Gambar 2). Beberapa pengamat menyatakan bahwa pada umum-nya daerah peneluran penyu sisik berbaur dengan penyu hijau. Walaupun demikian ada daerah-daerah utama dimana penyu sisik dalam jumlah yang banyak memiliki pulau-pulau karang yang terletak di per-airan pedalaman Indonesia,

Catatan mengenai diketemukannya penyu sisik bertelur antara lain oleh PO-LUNIN (1975) yaitu di Sumatera Selatan, Pulau Lingga, Kepulauan Riau, Laut Flores, Maluku, Laut Banda, Timor dan Irian Jay a. Sementara itu NUITJA (1982) menyebut-kan daerah sebaran atas dasar keterangan lokasi sarang adalah perairan Kepulauan

Mapia, Raja Ampat, P. Wasanii, P. Bunaken, Kepulauan Karimunjawa, Kepulauan Seribu, Pantai Baluran, Bali Barat, Kepulauan Komodo—Pader—Rince, P. Moyo, P. Tan-jungapi dan Pananjung Pangandaran.

SUWELO et al (1987) menyatakan bahwa konsentrasi populasi penyu sisik yang bertelur (breeding population) terdapat di pulau-pulau sekitar Belitung, Sulawesi Selatan dan di Maluku. Dalam buku "Pe-doman Pengenalan Jenis Satwa Yang Diper-dagangkan, Vol. I : Mamalia, Reptilia dan Amphibia" yang diterbitkan Direktorat Jen-dral Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Departeman Kehutanan, Proyek Pem-binaan Kelestarian Sumberdaya Alam Hayati di Pusat, Bogor (1985) sebaran penyu sisik meliputi Kepulauan Maluku, Kepulauan Belitung, Sumatera Selatan dan Utara, Sulawesi, Kepulauan Sunda Kecil dan Berau (Kaltim).

Data paling akhir yang dihimpun SALM & HALIM (1984), kemudian oleh SCHULZ (1984, 1987, 1989) dan REI-CHART (1988), para pakar FAO/UNDP dan WWF/IUCN yang bekerja untuk Ditjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Departemen Kehutanan, menyajikan infor-masi tentang sebaran penyu sisik di Indo-nesia dengan perkiraan besar populasi yang bertelur di 17 daerah adalah antara 19.920 dan 23520 ekor (Tabel 1.). SALM (1984) memperkirakan jumlah populasi penyu sisik di Indonesia adalah lebih dari 1 juta ekor. Perkiraan produksi telur mini-mal 665.500 butir.

101

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Oseana, Volume XVII No. 3, 1992

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Oseana, Volume XVII No. 3, 1992

Tabel 1. Perkiraan jumlah telur dan populasi penyu sisik untuk semua tempat peneluran di Indonesia (SUWELO et al 1987).

JAWA BARAT — Pantai selatan Jawa Barat - 50

103

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Oseana, Volume XVII No. 3, 1992

104

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Oseana, Volume XVII No. 3, 1992

PEMANFAATAN BERLEBfflAN

A. Kulit sisik Menu rut penelitian badan onservasi

dunia, semua jenis penyu sebenarnya sudah dianggap terancam punah (threatened spe-cies), baik karena kerusakan habitat maupun pemanfaatan. Tingkat katagori kelangkaan adalah sebagai berikut:

Dermochelys coriacea :

Caretta caretta :

Lepidochelys olivaceae :

Lepidochelys kempi :

Chelonia my das :

Eretmochelys imbricata:

Dalam apendiks CITES dimasukkan ke dalam katagori I (satu).

Dari enam jenis penyu yang terdapat di Indonesia, penyu hijau, penyu pipih dan penyu sisik adalah jenis-jenis yang be-lum dilindungi undang-undang. Dasar per-timbangannya waktu itu adalah bahwa penyu sisik dan penyu hijau mempunyai sebaran yang luas di perairan nusantara dan secara tradisi dimanfaatkan oleh masyara-kat setempat dengan pengaturan oleh Pemerintah Daerah. Namun mengingat ke-adaan dalam beberapa tahun belakangan ini, terutama dari hasil studi lalulintas/per-dagangan kulit sisik penyu, kini sudah saat-nya penyu sisik juga ditetapkan sebagai jenis binatang yang dilindungi undang-undang.

Kulit sisik dari penyu sisik yang di-kenal dalam dunia perdagangan sebagai "tortoise's shell" atau "bekko" dalam baha-

sa Jepang, dan jarahan (opsetan) penyu ada-lah produk-produk yang secara luas diper-dagangkan di Indonesia untuk ekspor, terutama ke Jepang. Importir bekko di Jepang melaporkan bahwa kebanyakan hu-bungan dagang dengan Indonesia adalah dengan alamat di Ujung Pandang. MILLI-KEN & TOKUNAYA (1987) dan MILLI-KEN (1990) menyebut bahwa Indonesia merupakan pemasok terbesar kulit sisik penyu sisik ke Jepang sejak 1970. Impor berkurang mulai 1980 dan berhenti sejak 1988 karena desakan internasional. Melalui resolusi CITES Nomor Resolution Conv. 4.25, negara anggota CITES dilarang mem-perdagangkan jenis penyu dalam reseivasi. Resolusi ini dihasilkan dalam konferensi ke4 negara CITES tahun 1983. Para impor-tir Jepang akhirnya setuju untuk menahan diri tidak mengimpor bekko dari Indonesia, dan diikuti keputusan pemerintah Jepang baru-baru ini yang melarang impor produk penyu dari semua negara.

Endangered (nya-ris punah) Vulnerable (me-nurun tajam) Endangered (nya-ris punah) Endangered (nya-ris punah) Endangered (nya-ris punah) Endangered (nya-ris punah)

Dalam masa 17 tahun yakni antara 1970 dan 1986 diketahui bahwa Jepang telah mengimpor dari Indonesia sekurang-kurangnya 105.479 kg kulit sisik penyu sisik dan 493.188 kg jarahan, di samping kulit sisik,jarahan, kulit samakan dan daging penyu hijau. Jumlah tersebut kalau dikon-versikan berarti pembunuhan terhadap lebih dari 560.000 penyu sisik dewasa (MILLI-KEN 1990).

SALM (1984) melaporkan bahwa sejak 1978 hampir 55 % atau 593 ton dari hasil penyu yang diekspor Indonesia dikirim oleh Ujung Pandang yang sebagian besar adalah produk penyu sisik. Ekspor kulit penyu sisik telah dihentikan sejak 1988, namun pengumpulan kulit sisik penyu masih terus berlangsung. Pada bulan Desem-ber 1986 inventarisasi atas stok kulit sisik

105

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Oseana, Volume XVII No. 3, 1992

di Ujung Pandang mendapatkan angka 10.600 kg. Pada akhir 1988 angka tersebut menjadi lebih dari 12 ton dan pertengahan 1990 naik lagi menjadi 18 ton (SUWELO 1990).

B. Telur Dipungut Habis Sekalipun tidak dilindungi undang-

undang, usaha melestarikan penyu sisik (dan penyu hijau) sebenarnya sudah dilak-sanakan sejak jaman penjajahan Belanda. Hal ini terlihat dari langkah-langkah penga-turan pemanfaatan misalnya dengan adanya larangan menangkap penyu bila induk penyu sedang bertelur di suatu daerah pantai peneluran, serta pengaturan-pengaturan telur tidak sepanjang tahun yang diberlakukan di seluruh daerah. Ordonansi Perburuan Binatang Liar 1931 yang kini sudah dica-but dengan keluarnya undang-undang nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Hayati, ikut membantu melestarikan penyu sisik di Indonesia melalui peraturan penangkapan.

Pada kenyataannya larangan tersebut tidak diberlakukan oleh pemerintah-peme-rintah daerah yang mempunyai kewenangan untuk mengatur misalnya tentang pemungut-an telur penyu. Tidak semua pemerintah daerah membuat peraturan (Perda misal-nya) untuk melestarikan penyu dengan mengatur pemungutan telur. Pemerintah daerah yang memiliki Perda tentang penga-turan telur. Pemerintah daerah yang memi-liki Perda tentang pengaturan pemungutan telur pun belum mencantumkan aspek-aspek pelestarian, antara lain penutupan waktu mengunduh telur tidak sepanjang tahun, pengambilan telur hanya sebagian atau kewajiban membuat penetasan telur penyu.

Daerah-daerah seperti Kabupaten Beli-tung, Kabupaten-kabupaten di Propinsi Sula-wesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku dan Iain-lain yang memiliki pantai-pantai

peneluran penyu sisik tidak mempunyai peraturan tentang pengaturan pemungutan telur dan larangan menangkap penyu sisik. Padahal daerah-daerah tersebut adalah meru-pakan tempat konsentrasi penyu sisik di kawasan ini.

USAHA KONSERVASI

Usaha untuk mengurangi menurunnya populasi penyu sisik di alam, sejak beberapa tahun belakangan ini sudah mulai dilakukan yaitu dengan jalan menetaskan sejumlah telur. Setelah tukiknya dipelihara sampai umur tertentu, baru dilepaskan ke laut. Cara ini disebut "head starting" (SCHULZ 1984). Secara skematis program pelestarian ini disajikan pada Tabel 2. Pengelolaan popu-lasi penyu sisik dengan cara demikian di-lakukan masih secara terbatas di beberapa daerah yaitu Kepulauan Batu (Sibolga) dan Sulawesi Selatan oleh masyarakat nela-yan serta oleh Ditjen PHPA di P. Serangan, Belitung dan Tainan Nasional Kepulauan Seribu.

Di Taman Nasional Kepulauan Seribu penetasan telur penyu sisik (dan penyu hijau) secara semi alami telah dilakukan sejak 1984 dan terus berlangsung hingga kini. Pada tahun-tahun pertama telah dite-taskan tidak kurang dari 6.000 butir telur dengan tingkat keberhasilan menetas sekitar 85 %. Jumlah tukik yang dilepas ke laut jumlahnya sekitar 12.000 ekor (Taman Nasional Kepulauan Seribu). Usaha "head starting" yang sifatnya insidentil ini tidak memadai bila ditinjau dari besarnya keme-rosotan populasi penyu sisik di alam. Oleh karena itu perlu ada pengaturan agar setiap kegiatan pemungutan telur harus disertai dengan kegiatan penetasan. Pemungutan telur hanya diijinkan 30 %, sisanya dibiar-kan tetap menetas secara alami (LIMPUS 1984; SCHULZ 1987).

106

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Oseana, Volume XVII No. 3, 1992

Tabel 2. Proyek pilot "ranching" penyu yang berazaskan pelestarian di Suriname.

Sumber : REICHART (1988) Farming and Ranching as Strategy for Sea Turtle Conservation; World Conference on Sea Turtle Costa Rica.

107

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Oseana, Volume XVII No. 3, 1992

Habitat penyu baik habitat peneluran maupun tempat penyu mencari makan perlu dilindungi dan dikelola dalam bentuk suaka alam atau taman pelestarian alam. Kawasan-kawasan konservasi alam ini harus cukup banyak sehingga setidak-tidaknya 70 % dari jumlah penyu dapat dengan aman bertelur di pantai-pantai peneluran; telurnya berkesempatan menetas dan tukik-tukiknya dengan bebas meliar ke laut.

DAFTAR PUSTAKA

IUCN (INTERNATIONAL UNION FOR CONSERVATION OF NATURE AND NATURAL RESOURCES), 1970. Red Data Book : Hawksbill Turtle. July. 2 pp.

LIMPUS, C, 1984. Report on Observation on Sea Turtle in Indonesia : 1 8 - 3 1 August. Queensland National Park and Wildlife Service, Townsville. 11 pp.

MILLIKEN, T., 1990. Apects of Sea Turtle Exploitation in Indonesia. Prepared by Greenpeace and Traffic Japan. 57 pp.

MILLIKEN, T. and T. TOKUNAGA 1987. The Japanese Sea Turtle Trade 1970 -1986. A Special Report Prepared by Traffic (Japan), Centre for Environmen-tal Education, Washington, DC. 171 pp.

NUITJA, LN.S. dan I.S. SUWELO, 1986. Ekologi dan Budidaya Penyu Laut di Indonesia. Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional IV, LIPI. Jakarta 8 - 1 2 Sep-tember.

PHPA (DIREKTORAT JENDERAL PER-LINDUNGAN HUTAN DAN PELESTA-RIAN ALAM), 1990. Laporan Program Pembangunan Penangkapan Penyu Sisik, Eretmochelys imbricata di Indonesia.

Kerjasama Departemen Kehutanan de-ngan Nippon Turtle Shell Associated Federation. 81 pp.

POLUNIN, N.V.C. 1975. SeaTurtle, Report on Thailand, West Malaysia and Indone-sia, with a synopsis of Data on the Con-servation Status of Sea Turtles in the West Pasific Region. IUCN Mimeo report. Morges, Switzerland.

REICHART, H.A., 1983. Farming and Ranching as Strategy for Sea Turtle Conservation. World Conference on Sea Turtle, Costa Rica.

SALM, R.V., 1984. The Critical Need for Action to Save Turtles in Indonesia. IUCN/WWF,Bogor.

SALM, R.V. and H.M. HALIM, 1984. Marine Conservation Data Atlas. Plan-ning for Survival of Indonesia's Seas and Coast, IUCN/WWF, Bogor.

SCHULZ, J.P. 1987. Report on Observation Sea Turtle in Indonesia. IUCN, Conser-vation Monitoring Centre. 57 pp.

SCHULZ, J P. 1989. Report on Observation on Sea Turtle in East Indonesia (With Note on Nature Conservation in Gene-ral). IUCN and van Tienhoven Founda-tion. 85 pp.

SILALAHI, S; M. EIDMAN and I.S. SUWE-LO, 1990. Hawksbill Turtle, Eretmo-chelys imbricata L. : Its Potential and Management in Indonesia. Symposium on the Resource Management of the Hawksbill Turtle, Nagasaki 1 9 - 2 2 November. 9 pp.

SUWELO, I.S., 1988. Hawksbill Turtle Pro-tection and Utilization. Turtle Workshop. Himeji, 2 - 3 August. 6 pp.

SUWELO, LS., 1990. Hawksbill Turtle in Indonesia. Symposium on the Resour-ce Management of the Hawksbill Turtle. Nagasaki 19-22 November.

108

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Oseana, Volume XVII No. 3, 1992

SUWELO, I.S.; A. SOMANTRI; A.W. YAMASAKl, K. 1990. Office Report on TAUFIK dan S. MAN AN 1987. Kearah the. Trip to Belitung and Bali. JICA Penyusunan "Strategi Konservasi Penyu Expert on Sea Turtles. Directorate di Indonesia". Seminar Laut II Jakarta, General of PHPA. Bogor, 20 September 27- 30 ML 41 pp. 52 pp.

109

sumber:www.oseanografi.lipi.go.id

Oseana, Volume XVII No. 3, 1992