20
OPTIMISME PADA SISWA KORBAN BULLYING Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I pada Jurusan Psikologi Oleh : LISA SONA YOHANA F100130145 PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2017

OPTIMISME PADA SISWA KORBAN BULLYINGeprints.ums.ac.id/54750/14/NASKAH PUBLIKASI revisi.pdfperan, tugas, dan status ... (Santrok, 2003) seperti merokok, tawuran, geng motor, membolos

Embed Size (px)

Citation preview

i

OPTIMISME PADA SISWA KORBAN BULLYING

Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I pada

Jurusan Psikologi

Oleh :

LISA SONA YOHANA

F100130145

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2017

i

ii

iii

1

OPTIMISME PADA SISWA KORBAN BULLYING

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

Abstrak

Kekerasan antara siswa marak terjadi di jenjang bangku sekolah. Kekerasan

tersebut berupa secara fisik maupun verbal yang didapat dari teman sepermainan.

Bullying dapat memutus hubungan sosial korban dengan orang lain seperti

pengabaian, penjatuhan harga diri hingga pengucilan.Salah satu penentu dalam

pengendalian diri korban bullying yaitu bersikap positif. Sikap positif ini perlu

dimiliki oleh para korban bullying agar mampu survive dalam menghadapi

kesulitan nantinya. Sikap positif tersebut menunjukkan arti yang sama dengan

optimisme. Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan mendeskripsikan

optimisme pada siswa korban bullying. Metode penelitian ini yaitu kualitatif

dengan analisis isi. Informan dalam penelitian ini yaitu 6 orang siswa yang

menjadi korban bullying di SMP Muhammadiyah 1 Surakarta berdasarkan catatan

guru BK sekolah. Pemilihan informan dengan menggunakan teknik purposive

sampling. Berdasarkan hasil wawancara, seluruh siswa korban bullying memiliki

optimisme. Hasil penelitian yang diperoleh adalah tindak bullying yang diterima

seluruh subjek dijadikan sebagai suatu motivasi, kemudahan untuk menunjukkan

prestasi, dan masa lalu dijadikan pelajaran, serta akan terus mencapai tujuan

dengan terus maju tanpa melihat ke belakang. Subjek yakin akan memiliki masa

depan yang sukses dan cerah, jika mau berusaha, belajar, giat beribadah, belajar

mandiri, optimis, tidak pantang menyerah, perpikir positif, dan percaya diri untuk

mewujudkan semua mimpi. Subjek memiliki keyakinan mencapai hal tersebut,

mengabaikan pendapat miring dari orang lain, berusaha menunjukkan hasil yang

baik kepada orang sekitar, serta akan terwujud jika mau mencoba, walaupun

masih terdapat hambatan berupa kurangnya dukungan dari orangtua dan celaan

dari teman. Faktor-faktor yang mempengaruhi optimisme pada siswa korban

bullying diantaranya faktor internal berupa cara berpikir, pengendalian diri,

keinginan dan keyakinan, serta agama. Selain itu,faktor eksternal berupa

dukungan sosial.

Kata Kunci : Optimisme, Korban, Bullying, Remaja

Abstract

Violent between students happening in school level. The violence is physically

and verbally gained from a playmate.Bullying can break the victim's social

relationships with others such as neglect, self-esteem prisoning, and isolation. One

of the determinants in the self-control of victims of bullying is being positive.

This positive attitude needs to be owned by the victims of bullying in order to

survive in the face of difficulties later. This positive attitude shows the same

meaning as optimism. This study aims to understand and describe the optimism of

students bullying victims. The method of this research is qualitative with content

analysis. Informants in this research are 6 students who become victims of

bullying in SMP Muhammadiyah 1 Surakarta based on BK school teacher record.

Selection of informants by using purposive sampling technique. Based on the

2

interview results, all students of bullying victims have optimism. The result of the

research is the act of bullying received by all subjects made as a motivation,

easiness to show achievement, and the past become lesson, and will continue to

reach the goal by going forward without looking back. The subject is sure to have

a successful and bright future, if you want to try, learn, enterprising, self-study,

optimistic, not persistent, positive thinking, and confident to realize all dreams.

The subject has a belief in achieving it, ignoring the opinion of the other person,

trying to show good results to people around, and will be realized if you want to

try, although there are still obstacles such as lack of support from parents and

censure friends. Factors that influence optimism in bullying students include

internal factors such as thinking, self-control, desires and beliefs, and religion. In

addition, external factors of social support.

Keywords: Optimism, Victim, Bullying, Teenagers

1. PENDAHULUAN

Masa remaja ialah peralihan masa perkembangan antara masa kanak-

kanak ke masa dewasa yang meliputi perubahan besar pada fisik, kognitif, dan

psikososial (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Masa remaja ialah masa dimana

seseorang sedang mencari identitas. Individu dihadapkan pada begitu banyak

peran, tugas, dan status baru sebagai manusia dewasa. Identitas diri yang positif

akan tercipta apabila remaja mampu menempatkan peran barunya dengan cara

yang sehat dan pada jalan yang positif. Sebaliknya, kerancuan identitas bisa pula

muncul akibat remaja yang kurang mampu dalam menempatkan peran baru

tersebut dan tidak berada pada jalan yang positif, sehingga berdampak pada

kenakalan (Santrok, 2003) seperti merokok, tawuran, geng motor, membolos

hingga bullying.

Hidayah (2012) menjelasakan bahwa bullying merupakan kekerasan secara

fisik dan psikologis yang dilakukan individu maupun kelompok dalam jangka

waktu lama/panjang terhadap seseorang dimana seseorang yang disakiti tidak

mampu mempertahankan diri dalam situasi dimana ada hasrat untuk melukai atau

menakuti orang itu atau membuat orang tersebut tertekan. Wu dkk (2016)

menjelaskan bahwa bullying adalah perilaku yang melibatkan menyakiti orang

lain melalui status kekuatan tidak seimbang. Bullying adalah umumpada remaja.

Bullying tak lepas dari adanya perbedaan kekuatan antara korban dan

pelaku yang diikuti dengan pengulangan perilaku. Bullying terdiri dari kekerasan

secara fisik maupun verbal (bahasa) dalam menyakiti seseorang. Bullying dapat

memutus hubungan sosial korban dengan orang lain seperti pengabaian,

penjatuhan harga diri hingga pengucilan(KPAI, 2014). Menurut Coloroso (2007)

bullying ialah perbuatan yang dilakukan secara sadar, disengaja dan kejam yang

memiliki tujuan untuk menyakiti atau membuat ketakutan dengan ancaman agresi

dan terror.

3

Kekerasan terhadap anak berupa bullying masih marak terjadi di Kota

Solo, Jawa Tengah. Kasus tersebut umumya terjadi pada pelajar. Tidak sedikit

pelajar yang menjadi bahan ejekan atau olok-olok teman sebaya. Seperti yang

dijelaskan oleh Direktur Sahabat Kapas Solo, Dian Sasmita, bullying bisa berupa

fisik, verbal, relasional hingga cyber bullying. Dian juga menjelaskan bahwa jika

terdapat data yang menyebutkan bahwa ada sebanyak 25 kasus kekerasan anak

itu merupakan data mentah. Sampai saat ini masih banyak anak korban bullying

yang belum berani untuk melaporkan kasus tersebut ke pihak berwenang.

(Labibzamani, 2016)

Penelitian yang dilakukan oleh Lestari dan Karyani(2016) di beberapa

Sekolah Menengah Pertama (SMP) negeri dan swasta yang terdapat di Kota Solo,

didapatkan sebanyak 230 siswa dari 854 responden merupakan siswa yang tidak

suka apabila dibully oleh teman sekolahnya. Para siswa menuturkan bahwa siswa

tidak suka apabila nama orang tua menjadi bahan olok-olokan di sekolah, selain

itu juga ada beberapa siswa yang menuturkan bahwa mereka tidak suka apabila di

sekolah terdapat teman yang mengusik pada saat belajar di kelas, menghina, dan

merendahkan harga diri di depan teman lainnya. Tindakan bullying dilakukan oleh

teman sebaya maupun kakak kelas.

Bullying merupakan penyakit masyarakat yang selalu membuat orang

merasa terkecilkan, tidak percaya diri, bahkan merasa trauma terhadap semua

yang pernah dirasakan nantinya di kemudian hari.Namun ada seseorang yang

sering dibully bahkan bisa sukses.Korban bullying tidak ingin hidup di masa

lalunya dengan menyakitkan, tapi mencoba untuk menjadi lebih sukses (Bacinpro,

2013).

Rigby (dalam Rahmawan, 2013) berpendapat terdapat bentuk-bentuk dari

bullying diantaranya, bentuk secara fisik yaitu dengan pukulan, penganiayaan,

tendangan yang diberikan kepada orang yang lemah dan mudah untuk dikalahkan;

bentuk secara verbal yaitu hinaan, gosip, dan mengejek nama korban; bentuk

isyarat tubuh yaitu melalui ancaman dengan gertakkan dan gerakan; bentuk

berkelompok yaitu membentuk suatu gabungan dan mengajak orang lain untuk

mengucilkan pihak tertentu.

Salah satu penentu dalam pengendalian diri korban bullying yaitu bersikap

positif, yaitu merasa yakin bahwa setiap permasalahan dapat diatasi. Paling tidak

para korban harus merasa yakin akan menemukan pemecahan dalam setiap

kendala. Sikap positif ini perlu dimiliki oleh para korban bullying agar mampu

survive dalam menghadapi kesulitan nantinya. Menurut Ginting (dalam

Kurniawan, Priyatama dan Karyanta, 2015) sikap positif ini menunjukkan arti

yang sama dengan optimisme. Chang (dalam Taylor, 2009) menjelaskan bahwa

optimisme memampukan seseorang untuk menilai kejadian yang menekan secara

lebih positif dan membantu memobilisasi sumber dayanya untuk mengambil

langkah guna menghadapi stressor. Scheier &Carver (dalam Conversano,

Rotondo, Lensi, Vista, Arpone, & Reda, 2010) juga menjelaskan bahwa

optimisme adalah bagaimana cara seseorang berdamai dengan masa kini, masa

4

lalunya dan peristiwa di masa yang akan datang, seseorang tersebut tetap optimis

dalam menjalani kehidupan.

Optimisme pada siswa korban bullying ialah bagaimana cara siswa korban

bullying bersemangat mengharapkan yang terbaik dalam kehidupan yang akan

datang dan berdamai dengan masa lalu dan kejadian tidak menyenangkan yang

pernah dialami. Seseorang akan fokus pada tujuannya, serta melalui keyakinan

dan perjuangan akan mampu melewati segala hambatan ataupun kesulitan saat

menjadi korban bullying. Untuk mengetahui optimisme pada siswa korban

bullying maka peneliti melakukan wawancara.

Menurut Seligman (2008) terdapat tiga dimensi atau aspek yang

menentukan optimisme pada seseorang. Pertama, aspek permanence

(permanensi), dimana seseorang yang optimis percaya bahwa penyebab-penyebab

dari kejadian buruk hanya bersifat sementara. Permanensi berbicara mengenai

waktu, dimana seseorang akan merasa terpuruk pada kehidupannya dan akan

merasa kuat pada kehidupan selanjutnya. Kedua, aspek pervasiveness,

dimanaseseorang yang optimis akan melihat bahwa terdapat sisi positif dari suatu

kejadian buruk. Ketiga, aspek personalisasi merupakan dimensi satu-satunya yang

mudah untuk ditiru. Seseorang yang optimis akan mampu mengendalikan

perasaan dan mampu mengendalikan apa yang dilakukan, serta mengetahui kapan

harus menghilangkan rasa tidak berdaya yang dipengaruhi oleh cara pandang

positif seseorang terhadap suatu masalah yang dihadapi.

Menurut McGinnis (dalam Khalid, 2011) terdapat beberapa ciri orang

yang optimis diantaranya yaitu, tidak terkejut oleh kesulitan seperti berani

menerima kenyataan dan mempunyai penghargaan yang besar pada hari esok;

mampu mencari pemecahan masalah seperti memandang permasalahan besar

ataupun permasalahan kecil dapat terselesaikan; merasa yakin mengendalikan

masa depan mereka seperti yakin bahwa dirinya mampu menguasai keadaan;

memungkinkan terjadinya pembaharuan secara teratur seperti berhubungan

dengan orang-orang yang mempunyai harapan dan mengambil tindakan secara

sadar dan tidak sadar untuk melawan keinginannya; menghentikan pemikiran

negatif seperti, terlihat banyak hal dari segi positif dan befikir logis; meningkatkan

kekuatan apresiatif seperti menikmati apa yang terdapat di dunia; enggunakan

imajinasi untuk melatih sukses seperti mengubah kekhawatiran menjadi bayangan

positif dan membayangkan hal-hal positif untuk masa depan; selalu gembira

bahkan ketika merasa tidak bahagia seperti berperilaku ceria baik dalam keadaan

senang maupun sedih; merasa yakin bahwa punya kemampuan yang tidak terbatas

untuk diukur seperti mempunyai keyakinan yang sangat kuat; suka bertukar berita

baik seperti memandang apa yang dibicarakan dengan orang lain mempunyai

pengaruh yang penting terhadap suasana hati; membina cinta dalam kehidupan

seperti mempunyai hubungan yang sangat erat, memperhatikan orang yang sedang

dalam kesulitan dan mempunyai kemauan untuk mengagumi dan menikmati

banyak hal pada diri orang lain; serta menerima apa yang tidak bisa diubah seperti

dapat menyesuaikan diri dengan sistem baru dan mempunyai keinginan untuk

mempunyai cara baru.

5

Menurut Vinacle (dalam Ide, 2010) setiap individu memiliki cara yang

berbeda dalam menyelesaikan masalahnya, ada individu yang optimis dan ada

individu yang pesimis. Individu yang optimis selalu berpikir positif dengan

masalah yang dihadapinya tetapi individu yang pesimis cenderung mudah

menyerah terhadap masalah yang dihadapinya. Terdapat dua faktor utama yang

dapat mempengaruhi pola pikir individu. Pertama, faktor etnosentris, dimana

sikap dan cara pandang yang berawal dari lingkup masyarakat dan budaya itu

sendiri, disertai dengan sikap dan cara pandang yang memandang sebelah mata

masyarakat dan budaya lain. Faktor etnosentris berupa keluarga (dukungan,

nasehat, dorongan dari keluarga tentang apa yang kita lakukan dan persetujuan

dari anggota keluarga), struktur sosial (pergaulan, adat istiadat dan kondisi

lingkungan sekitar), jenis kelamin (laki-laki dan perempuan), agama (iman,

ketaatan dalam melaksanakan ibadah sesuai dengan agama yang dianut,

kepercayaan terhadap ajaran agama), kebangsaan dan kebudayaan (dukungan

lingkungan, adanya tanggung jawab sosial, ketaatan pada norma di

lingkungan).Kedua, faktor egosentris, dimana faktor ini ialah yang membedakan

cara pikir seseorang. Orang negatif sebenarnya tidak bahagia di dalam hati.

Biasannya disebabkan self-esteem yang rendah. Orang-orang umumnya tidak

bergerak dari luar biasa bahagia menjadi luar biasa negatif kecuali terjadi sesuatu

yang luar biasa. Sebagian orang menjadi negatif jika apa yang mereka kerjakan

tidak langsung mendatangkan hasil. Oleh karena itu, mereka perlu menemukan

lagi kebahagiaan di dalam hati.

Berdasarkan dari fenomena-fenomena di atas serta penelitian yang telah

dilakukan sebelumnya, maka peneliti menemukan rumusan masalah yang akan

diajukan yakni “Bagaimana optimisme pada siswa yang menjadi korban bullying

di sekolah?”.

2. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan yaitu metode kualitatif dengan analisis

isi. Informan dalam penelitian ini yaitu 6 orang siswa yang menjadi korban

bullyingberdasarkan catatan guru Bimbingan Konselingdi SMP Muhammadiyah 1

Surakarta diantaranya 5 orang siswa perempuan dan 1 orang siswa laki-

laki.Pemilihan informan dengan menggunakan teknik purposive sampling.

Pencarian informan dengan menghubungi guru Bimbingan Konseling memiliki

catatan mengenai siswa yang menjadi korban bullying di sekolah.Metode

pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan wawancara. Hasil

wawancara tersebut akan dianalisis dengan cara sebagai berikut: (1) mengolah

dan mempersiapkan, (2) membaca keseluruhan data, (3) menganalisis lebih detil

dengan meng-coding data, (4) analisis atau interpretasi data.

No Nama Usia Jenis Kelamin Kelas

1 FPW 12 tahun Perempuan 7

2 SF 12 tahun Perempuan 7

3 SL 12 tahun Perempuan 7

4 TM 12 tahun Laki-laki 7

5 NWN 12 tahun Perempuan 7

6 ADA 12 tahun Perempuan 7

6

3. HASIL

Tindak bullying yang diterima seluruh subjek dijadikan sebagai suatu

motivasi, kemudahan untuk menunjukkan prestasi, dan masa lalu dijadikan

pelajaran, serta akan terus mencapai tujuan dengan terus maju tanpa melihat ke

belakang. Kejadian tidak menyenangkan dalam hidup tidak dijadikan sebagai

suatu hambatan untuk mencapai apa yang diinginkan. Saat subjek mengalami

kegagalan, masalah maupun kesulitan, subjek berusaha untuk memperbaiki

kesalahan, dengan giat belajar, beribadah, berdoa agar diberi kemudahan, juga

dengan mengalihkan ke kegiatan positif, serta tidak akan menyerah dalam

menghadapi setiap masalah, namun apabila tidak bisa menyelesaikan masalah

maka akan meminta bantuan teman, guru sekolah maupun orangtua. Subjek yakin

akan memiliki masa depan yang sukses dan cerah, jika mau berusaha, belajar, giat

beribadah, belajar mandiri, optimis, tidak pantang menyerah, perpikir positif, dan

percaya diri untuk mewujudkan semua mimpi. Subjek tidak memiliki hambatan

untuk mencapai hal tersebut, karena keyakinan maka hambatan tidak akan ada,

juga dengan mengabaikan pendapat miring dari orang lain, akan berusaha

menunjukkan hasil yang baik kepada orang sekitar, serta akan bisa terwujud jika

mau mencoba, walaupun masih terdapat hambatan berupa kurangnya dukungan

dari orangtua dan celaan dari teman.

4. PEMBAHASAN

Dari keseluruhan wawancara diperoleh hasil bahwa keenam subjek

mendapat tindak bullying secara verbal dan fisik. Lima dari enamsubjek

diantaranya subjek FPW, SF, SL, ADA, dan NWN mendapat tindak bullying

sejak SD yang berlanjut hingga SMP. Namun subjek ADA tidak lagi mendapat

tindak bullying saat memasuki SMP. Tiga dari enam subjek diantaranya subjek

FPW, SF, dan NWN dibully karena kondisi fisik yang dimiliki.Subjek FPW

dibully karena memiliki postur tubuh yang tinggi berbeda dengan teman

sebayanya.Subjek SF dibully karena memiliki warna kulit yang gelap. Subjek

NWN dibully oleh teman dijuluki “munyuk”. Berbeda dengan subjek SL yang

mendapat ejekan “idiot”, hinaan maupun sindiran dikarenakan subjek enggan

memberi contekan kepada teman.Subjek TM mendapat ejekan karena memiliki

kebiasaan bermain dengan teman perempuan. Saat SD, subjek ADA diejek

dengan julukan “anak pungut”.

Tindak bullying tersebut didapat dari teman satu kelas maupun luar kelas

saat proses belajar mengajar sedang berlangsung ataupun saat jam istirahat

sekolah, baik didalam kelas maupun diluar kelas, hingga dilingkungan rumah dan

adapula melalui sosial media. Perasaan yang dirasakan subjekpun beraneka ragam

terkait kejadian yang dialami, seperti merasa malu, sedih dan kecewa. Selain itu,

subjek juga takut ejekan akan menyebar, ingin marah, kaget, jengkel, tertekan

lahir bathin, tidak ingin lagi berteman dengan teman yang mengejek.

Ketika mengalami mendapat tindak bullying, empat dari enam subjek

diantaranya subjek FPW, SF, SL, ADA, dan NWN akan tersenyum, tegar,

bersabar, berdiam diri, dan berusaha mengabaikan jika diejek oleh teman, berbeda

7

dengan subjek TM akan berusaha untuk berani ngomong jika diejek oleh teman

sekolah. Lima dari enam subjek diantaranya subjek FPW, SL, TM, ADA, dan

NWN akan melapor ke guru sekolah dan orangtua jika mendapat ejekan, berbeda

dengan subjek SF yang tidak pernah melapor kepada siapapun.

Dua dari enam subjek yaitu subjek SL dan ADA menjadi malas untuk

bersekolah karena tindak bullying yang diterima, selain itu juga berpengaruh pada

subjek ADA yang mengalami pusing dan penyakit asma kambuh karena teringat

saat dirinya diejek. Berbeda dengan subjek SF dan TM yang menjelaskan bahwa

tindak bullying tersebut tidak berpengaruh pada prestasi maupun rasa semangat

untuk bersekolah. Namun, subjek SF menjadi penyedih, malu dan kecewa

akantetapi tetap bersyukur dengan kondisi dirinya. Subjek FPW tidak begitu

memikirkan kejadian tidak menyenangkan yang dialami. Pengaruhnya subjek

akan lebih waspada jika diejek. Pada Subjek NWN, pengaruhnya saat subjek

mengikuti lomba tilawah dirinya menjadi nangis, subjek menjadi penyedih, dan

manjadi nangis dengan sendirinya jika teringat.

Keenam subjek menjelaskan bahwa kejadian tidak menyenangkan tidak

akan terus menimpa kehidupan subjek selanjutnya. Subjek SL akan berani untuk

berbicara. Subjek TM dan NWN jika bertemu dengan teman baik maka tidak akan

diejek. Subjek FPW dan SF akan memperhatikan cara bersikap dan merawat diri

agar tidak diejek lagi, juga subjek ADA akan berpikir dahulu sebelum bertindak.

Hal tersebut sesuai dengan pendapat Seligman (dalam Nurtjahjanti &

Ratnaningsih, 2011), salah satu aspek optimisme yaitu permanence,

bahwaseseorang yang optimis memiliki cara pandang yang mengartikan bahwa

segala hal yang menimpanya merupakan suatu yang berlangsung sementara dan

dapat dihindari.Lima dari enam diantaranya subjek SF, SL, TM, ADA, dan NWN

memiliki kegagalan berupa tidak mendapat peringkat sesuai yang diinginkan,

tidak mendapat nilai yang memuaskan, serta pada subjek ADA gagal dalam

menerbitkan karya tulisnya, selain itu pada subjek FPW gagal dalam

menggunakan teknik volley dan gagal menghafal surah-surah. Ketika gagal,

keenam subjek akan berusaha giat belajar untuk memperbaiki kesalahan. Subjek

FPW akan belajar dari kesalahan dan akan rajin mengikuti latihan volley. Subjek

SF akan fokus memperhatikan guru yang mengajar dan tidak menunda tugas.

Subjek SL akan berusaha memperbaiki nilai yang jelek. Subjek TM akan terus

belajar untuk mendapat nilai sesuai target, juga dengan beribadah. Subjek ADA

akan menjadikan kegagalan sebagai pelajaran, menambah durasi belajar, dan

membuat tulisan yang menarik pembaca. Subjek NWM akan giat belajar agar

tidak mengecewakan orangtua dan berdoa meminta kepada Allah agar diberi

kemudahan.

Seseorang yang optimis akan melihat bahwa terdapat sisi positif dari suatu

kejadian buruk. Menurut Seligman (dalam Nurtjahjanti & Ratnaningsih, 2011),

seseorang yang pesimis menjelaskan secara umum (pervasive) mengenai kejadian

buruk yang terdapat disekitarnya. Pervasive ialah seseorang menggeneralisasi

suatu kejadian. Sebaliknya, seseorang yang optimis akan menjelaskan dengan

lengkap dan tidak secara generalisasi. Hal tersebut sesuai dengan hasil wawancara

dimana cara beberapa subjek dalam melihat berbagai macam kesulitan, seperti

8

pada subjek NWN melakukan dzikir, doa, dan sholat agar mendapat ketenangan di

hatinya ketika mendapat ejekan. Subjek FPW mencari kekurangan yang ada pada

dirinya yang membuat orang lain mengejeknya. Subjek ADA mencoba tabah jika

diejek.Selain itu, subjek TM juga menjelaskan apabila diejek maka yang

dilakukan yaitu masuk telinga kanan keluar telinga kiri.

Ketika memiliki masalah/ kesulitan, dua dari enam diantaranya subjek SL

dan TM akan menyelesaikan masalah tersebut. Subjek SL akan berusaha tegar dan

akan menyelesaikan sendiri masalah tersebut. Subjek TM akan pasrah jika tidak

menyelesaikan, karena dibalik cobaan pasti aka nada kemudahan. Tiga dari enam

subjek diantaranya subjek SF, SL, dan ADA akan bercerita ataupun meminta

bantuan kepada teman dan guru. Subjek SF akan bercerita kepada teman terdekat

dan menerima saran dari teman untuk meringankan masalah, misal diberi saran

teman untuk mendapat nilai yang bagus, namun subjek enggan bercerita kepada

orangtua karena malu. Subjek SL saat mengalami kesulitan menyelesaikan soal

matematika, subjek berusaha terlebih dahulu, jika tidak bisa maka meminta

bantuan teman. Subjek ADA akan curhat ke teman terdekat dan orangtua, selain

itu subjek tidak begitu memikirkan masalah tersebut dan memilih untuk

melakukan kegiatan positif seperti menulis, bernyanyi, makan, olahraga shit-up

sebanyak lima belas kali, juga membantu orangtua di rumah. Berbeda dengan

subjek NWN dimana ketika memiliki masalah/kesulitan, terkadang subjek

menangis karena masalah tersebut tidak segera selesai, subjek juga bersabar,

mengambil air wudhu, sholat dan berdoa meminta ampunan kepada Allah, serta

pasrah agar diberi petunjuk ke jalan yang benar.

Ketika tidak bisa menyelesaikan suatu masalah, tiga dari enam subjek

diantaranya subjek FPW, SL dan ADA akan menyelesaikan sendiri masalah

tersebut. Subjek FPW akan menarik nafas untuk mendapat ketenangan, kemudian

menjelaskan secara perlahan mengenai kejadian yang terjadi. Subjek ada akan

mencoba berpikir secara matang agar masalah segera terselesaikan. Berbeda

dengan tiga subjek lainnya yang memilih untuk melapor kepada teman, guru dan

orangtua jika tidak bisa menyelesaikan masalah. Subjek SF akan bercerita kepada

teman dan guru agar diberi solusi. Subjek TM akan meminta bantuan orang

dewasa dengan melapor ke BP dan curhat ke orangtua, kemudian orangtua

memberi saran agar subjek merubah sikap dan berhati-hati dalam bertindak, serta

pasrah kepada Tuhan YME karena dibalik kesulitan terdapat kemudahan. Subjek

NWN akan cerita kepada sang ibu, kemudian diberi nasihat agar pantang

menyerah, bahwa suatu saat teman yang mengejek akan tahu rasanya menjadi

bahan ejekan. Subjek juga berserah diri meminta petunjuk pada Allah dan juga

agar bersabar menghadapi cobaan.

Menurut Hefferon dan Boniwell (dalam Putri, 2014) salah satu elemen dari

optimisme ialah keyakinan, bahwa seseorang memiliki keyakinan akan

memperoleh hasil yang baik. Keyakinan ini akan mempengaruhi tindakan-

tindakan yang akan dilakukan seseorang. Hal tersebut sesuai dengan hasil

wawancara bahwa keenam subjek yakin memiliki masa depan yang sukses dan

cerah jika mau berusaha, juga tidak memiliki hambatan untuk mencapai hal

tersebut. Subjek FPW akan belajar dari kesalahan dan dijadikan sebagai suatu

9

motivasi, dan akan memperlihatkan bahwa dirinya juga mampu. Subjek SF yakin

karena apabila dirinya mau berusaha giat belajar, juga dengan keyakinan maka

tidak akan hambatan, serta akan percaya diri untuk mewujudkan dan memimpikan

apa yang diinginkan dan mengabaikan pendapat orang yang meragukan. Subjek

SL menjelaskan bahwa masa depannya akan cerah dan akan lebih baik dari

sebelumnya jika sejak kecil belajar mandiri, maka akan mendapat kemudahan

ketika mendaftar kuliah dan kerja nantinya. Jika ada masalah harus diselesaikan

sendiri. Subjek yakin dan percaya bahwa dirinya bisa, percaya pada kemampuan

dan berjuang mengatasi masalah apapun, serta akan menunjukkan abhwa dirinya

bisa. Subjek TM menjelaskan jika sejak kecil selalu rajin belajar dan giat

beribadah maka akan terwujud. Selain itu, jika dimarahin maka subjek tidak

akanbantah karena hal tersebut demi kebaikan dimasa mendatang, serta apabila

bisa menghadapi setiap kesulitan, juga menuruti kata hati jika ingin melakukan

sesuatu, serta yakin bisa menyelesaikan setiap kesulitan. Subjek ADA

menjelaskan masa depan subjek akan cerah jika mau berusaha, misalnya jika ingin

menjadi penulis maka berusaha menguasai tata cara menulis, juga meminta

penilaian dan masukan dari orang lain untuk melihat kekurangan dalam tulisan

yang dibuat. Subjek juga optimis, tidak ingin putus asa, dan berpikir positif,

walaupun gagal akan bangkit memulai dari awal dan terus berusaha. Subjek NWN

ingin masa depannya sukses karena percaya diri dan pantang menyerah, misalnya

saat membuat tugas tidak akan mengumpulkan jika belum selesai, walaupun

dipengaruhi oleh teman. Subjek tidak memiliki hambatan karena apabila memiliki

masalah seberat apapun akan diselesaikan sendiri dan akan meminta bantuan

keluarga. Hal tersebut juga sejalan dengan personalisasi dalam optimisme

menurut Seligman (2008), dimana personalisasi merupakan dimensi satu-satunya

yang mudah untuk ditiru. Seseorang yang optimis akan mampu mengendalikan

perasaan dan mampu mengendalikan apa yang dilakukan, serta mengetahui kapan

harus menghilangkan rasa tidak berdaya yang dipengaruhi oleh cara pandang

positif seseorang terhadap suatu masalah yang dihadapi. Menurut Seligman

(dalam Nurtjahjanti & Ratnaningsih, 2011) seseorang yang optimis beranggapan

bahwa masalah buruk berasal dari luar dirinya, sebaliknya masalah yang baik

berasal dari dalam dirinya.Seseorang yang optimis memiliki rasa percaya diri,

dapat mengekspresikan diri, nyaman, dan memandang dunia secara positif.

Tindak bullying yang didapat oleh semua subjek tak menutup

kemungkinan untuk memiliki cita-cita setinggi mungkin. Subjek SL dan SF

berkeinginan menjadi seorang dokter. Subjek FPW dan ADA ingin menjadi

seorang penyanyi. Subjek TM ingin menjadi insinyur peternakan, juga subjek

NWN ingin menjadi seorang polwan. Adapun cita-cita lainnya yang dimiliki oleh

semua subjek diantaranya menjadi psikolog, kuliah diluar negeri, desainer, guru,

orang sukses, DJ (disk jockey), dan penulis. Hal tersebut sejalan dengan yang

dikemukakan oleh Murdoko (dalam Shofia, 2009) bahwa salah satu ciri orang

yang optimis yaitu memiliki visi pribadi, bahwa seseorang akan memiliki cita-cita

ideal. Pasalnya, dengan mempunyai visi pribadi seseorang akan memiliki

semangat untuk menjalani kehidupan tanpa harus banyak mengeluh ataupun

merenungi apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi nanti. Dengan visi

10

pribadi, individu akan mempunyai tenaga penggerak yang akan membuat

kehidupan dinamis dan berusaha untuk mewujudkan keinginan-keinginan.

Artinya, akan muncul harapan bahwa apa yang akan dilakukan itu membuahkan

hasil. Dan yang lebih penting dengan visi pribadi, individu tidak hanya berpikir

jauh ke depan (terutama mengenai tujuan hidup).

Menurut Hefferon dan Boniwell (dalam Putri, 2014), harapan merupakan

elemen yang paling penting dari optimisme karena memiliki hubungan langsung

dengan nilai harapan dalam teori motivasi yang berasumsi bahwa semua perilaku

adalah hasil dari keinginan untuk mencapai tujuan. Berdasarkan hasil wawancara,

kejadian tidak menyenangkan tidak menjadi suatu hambatan bagi subjek karena

akan dijadikan sebagai sebuah motivasi, subjek akan berusaha mencapai tujuan

dengan memberi contoh bahwa bisa mengabaikan setiap ejekan, juga akan terus

melihat kedepan dan mengubah ocehan menjadi tepuk tangan. Kejadian tidak

menyenangkan tersebut juga menjadi suatu kemudahan untuk menunjukkan

prestasi, serta subjek akan optimis, tidak akan minder, tidak takut untuk berubah

dan masa lalu dijadikan pelajaran. Melalui niat, doa, keyakinan, usaha, dan terus

melihat kedepan guna mencapai tujuan tanpa melihat ke belakang, maka akan

terwujud apa yang diinginkan.

Subjek ADA menyampaikan keinginannya kepada guru BP sekolah untuk

membentuk sebuah gerakan anti bullying guna memberantas tindak bullying

disekolah dan juga agar tidak ada lagi siswa yang bernasib serupa menjadi korban

bullying.Gerakan tersebut mendapat persetujuan dari pihak BP, hingga saat ini

gerakan tersebut aktif mencari dan melapor tindak bullying yang terjadi

dilingkungan sekolah. Hal tersebut senada dengan penjelasan Murdoko (dalam

Shofia, 2009) bahwa salah satu ciri orang optimis yaitu bertindak konkret, dimana

orang yang optimis tidak akan pernah merasa puas jika yang diinginkan cuma

sebatas kata-kata. Artinya, betul-betul mempunyai keinginan untuk melakukan

suatu tindakan konkret.Sehingga secara riil menghadapi tantangan yang mungkin

timbul.

Usaha yang dilakukan untuk mencapai masa depan sukses dan mencapai

cita-cita yang diinginkan, keenam subjek berusaha dengan bersikap dewasa,

membuat perencanaan masa depan, mencari banyak informasi, giat belajar, fokus

pada apa yang dikerjakan, berbaur dengan sekitar, dan mendengar setiap masukan

maupun komentar untuk membenahi diri, berusaha untuk menjadi yang terbaik,

mematuhi perintah orangtua, serta tak lupa untuk beribadah dan berdoa kepada

Tuhan YME agar diberi kelancaran dan kemudahan untuk mewujudkan keinginan

tersebut.

Harapan dari tiap subjek diantaranya subjek FPW dan SF yang

menginginkan agar teman tidak mengejek karena kondisi fisik yang dimiliki oleh

seseorang, namun lihatlah prestasi orang tersebut, juga harus saling

mengintrospeksi diri. Subjek SL, TM, dan NWN menginginkan agar tidak saling

mengejek, harus saling menyayangi, juga saling menyadari bahwa mengejek

merupakan perbuatan tidak baik. Selain itu, subjek ADA berharap agar kejadian

serupa tidak menimpa orang lain, juga agar teman melihat potensi seseorang

11

bukan dengan mengejek, serta subjek berharap agar dirinya menjadi pribadi yang

tahan banting.

Adapun peneliti menemukan keunikan selama melakukan penelitian,

yakni:

Berdasarkan bagan diatas, normalnya seorang korban bullying dapat

berubah menjadi pelaku bullying. Menurut Rahma (dalam Budiarti, 2013)

menjelaskan bahwa salah satu penyebab pelaku bullying melakukan tindakan

bullying ialah karena memiliki perasaan dendam yang muncul karena permusuhan

atau karena pelaku bullying pernah menjadi korban bullying sebelumnya. Namun,

hal tersebut berbeda dengan hasil wawancara dimana peneliti menemukan

keunikan dari salah satu subjek yakni pada subjek ADA yang pernah menjadi

pelaku bullying dan kemudian menjadi korban bullying.

Saat kelas 1 SD, subjek dulunya merupakan pelaku bullying karena subjek

suka memalak uang teman disekolah, kemudian subjekpun dilaporkan kepada

salah satu guru dan orang tua subjek dipanggil ke sekolah. Subjek ADA

menyadari bahwa dirinya melakukan kesalahan dan tidak ingin lagi mengulangi

perbuatan tersebut. Subjek memiliki dorongan untuk merubah diri agar tidak lagi

mengecewakan orangtua dan guru sekolah, serta agar teman-teman mau bermain

dengannya lagi. Menurut Maslow (dalam Golbe, 1987), salah satu dari lima

tingkat kebutuhan dasar ialah kebutuhan sosial yang berada pada tingkat ketiga

hierarki, dimana seseorang membutuhkan teman, afiliasi, interaksi, kasih sayang,

dicintai dan mencintai, serta diterima dalam pergaulan kelompok dan masyarakat

lingkungannya. Kebutuhan tersebut mampu merubah perilaku seseorang.

Pada saat menaiki bangku kelas 5 SD, subjek ADA malah menjadi korban

bullying teman-teman disekolah. Subjek biasanya mendapat julukan “anak

pungut”. Subjekpun sempat mengajak ibunya melakukan tes DNA akibat ejekan

yang diterimanya. Penyebab subjek bisa menjadi korban bullying ialah karena

teman-teman sekolahnya menginginkan subjek untuk merasakan bagaimana

rasanya menjadi korban bullying, karena dulunya subjek merupakan pelaku

bullying. Teman-teman ingin membalas perbuatan subjek agar merasakan hal

yang sama.

Saat menjadi korban bullying, subjek berusaha mengabaikan walaupun

dirinya peka menjadi bahan bullyan teman-teman disekolah. Apabila diejek,

subjek tidak begitu memikirkannya dan dibawa happy, salah satunya dengan

mengajak orangtuanya keluar untuk makan bersama, juga dengan melakukan

kegiatan positif seperti menyanyi dan menulis serta olahraga. Subjek menjadi

korban bullying hingga tamat dibangku SD. Saat memasuki bangku SMP, subjek

ADA menyampaikan keinginannya kepada guru BP sekolah untuk membentuk

sebuah gerakan anti bullying guna memberantas tindak bullying disekolah dan

juga agar tidak ada lagi siswa yang bernasib serupa menjadi korban bullying.

Normal:

Korban Bullying Pelaku Bullying

Keunikan Penelitian:

Pelaku Bullying Korban Bullying

12

Gerakan tersebut mendapat persetujuan dari pihak BP, dimana beranggotakan

para siswa yang berminat membantu memberantas tindak bullying. Hingga saat ini

gerakan tersebut aktif mencari dan melapor tindak bullying yang terjadi

dilingkungan sekolah. Hal tersebut senada dengan penjelasan Murdoko (dalam

Shofia, 2009) bahwa salah satu ciri orang optimis yaitu bertindak konkret, dimana

orang yang optimis tidak akan pernah merasa puas jika yang diinginkan cuma

sebatas kata-kata. Artinya, betul-betul mempunyai keinginan untukmelakukan

suatu tindakan konkret. Sehingga secara riil menghadapi tantangan yang mungkin

timbul.

Selain itu, berdasarkan hasil wawancara terhadap seluruh subjek

didapatkan bahwa dinamika pada korban bullying berjenis kelamin laki-laki dan

perempuan yaitu sama, dimana seluruh subjek menerima tindak bullying secara

verbal berupa ejekan karena kondisi fisik maupun karena suatu kebiasaan.

Namun, pada beberapa subjek juga ada yang menerima tindak bullying secara

fisik berupa pukulan. Pada subjek dengan jenis kelamin laki-laki yaitu subjek TM

yang sering kali menerima tindak bullying secara verbal berupa ejekan “bencong”

karena kebiasaannya bermain dengan perempuan. Begitu pula pada kelima subjek

lainnya dengan jenis kelamin perempuan yang juga menerima tindak bullying

secara verbal, seperti ejekan karena kondisi fisik yang dimiliki, yaitu pada subjek

FPW, NWN, dan SF. Sedangkan pada subjek SL menerima tindak bullying secara

verbal berupa sindiran karena sifat pendiam yang dimiliki juga karena subjek

tidak mau memberi contekan kepada teman sekolah. Pada subjek ADA menerima

tindak bullying secara verbal berupa ejekan “anak pungut”.

Faktor-faktor yang mempengaruhi optimisme pada siswa korban bullying

diantara faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang pertama yaitu

cara berpikir, yaitu bagaimana cara seseorang dalam memandang hal positif dan

hal negatif dalam dirinya. Berdasarkan hasil wawancara, kejadian tidak

menyenangkan, kegagalan, maupun masalah/kesulitan yang subjek alami,

membuat subjek ingin menunjukkan bahwa dirinya mampu, segala kritikan

dijadikan sebagai masukan, ejekan yang diterima dijadikan sebagai motivasi/saran

untuk memperbaiki diri, akan belajar dari kesalahan, akan menunjukkan bahwa

subjek mampu, dan akan optimis dalam menghadapi segala kesulitan.

Faktor internal yang kedua yaitu pengendalian diri, yaitu bagaimana cara

seseorang dalam mengendalikan diri ketika menghadapi situasi sesulit apapun,

misalnya melalui coping stress. Salah satu subjek melakukan kegiatan positif

untuk membantunya dalam menghadapi masalah/kesulitan, seperti bernyanyi,

menulis, makan, olahraga, dan membantu orangtua dirumah. Menurut Hilman

(2006), emotional focused coping yaitu strategi coping yang berfokus pada emosi,

seseorang mencoba menyesuaikan dengan masalah yang terjadi, fokus pada

pencarian arti dengan memiliki cita-cita, karena pencarian arti merupakan usaha

untuk menemukan kepercayaan baru atau sesuatu yang penting dari kehidupan.

Berdasarkan hasil wawancara, keenam subjek memiliki cita-cita yang beragam

seperti ingin menjadi seorang penyanyi, kuliah diluar negeri, psikolog, dokter,

desainer, orang sukses, insinyur peternakan, DJ (disk jockey), penulis, angkatan

militer, dan polwan.

13

Faktor internal ketiga, yaitu keinginan dan keyakinan, yaitu seseorang

memiliki keinginan dan keyakinan dalam merubah diri menjadi yang lebih baik

dan berpandangan positif terhadap keinginan dan keyakinan tersebut. Keenam

subjek yakin memiliki masa depan yang sukses, cerah, dan bisa membanggakan

kedua orangtua. Subjek yakin memiliki masa depan yang sukses apabila belajar

dari kesalahan, mau belajar dan berusaha, belajar mandiri, giat beribadah,

menerima masukan dari orang lain, optimis, tidak mudah menyerah, berpikir

positif dan percaya diri untuk mewujudkan semua mimpi.

Faktor internal yang terakhir yaitu agama/kepercayaan, keenam subjek tak

lupa untuk beribadah dan berdoa kepada Tuhan YME agar diberi kelancaran dan

kemudahan untuk mewujudkan segala keinginan. Selain itu, ketika menjadi

korban bully, subjek juga berdoa untuk mendapat ketenangan dan berharap teman

yang mengejek bisa berubah dan saling menyayangi. Menurut Bastaman (dalam

Hilman, 2006) ibadah adalah suatu bentuk pernyataan pengabdian kepada Allah

yang apabila dihayati dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari akan

menimbulkan perasaan tenang, aman, dan bahagia.

Selain itu juga dipengaruhi oleh faktor eksternal, berupa dukungan sosial,

diantaranya berasal dari teman dan keluarga. Dua dari enam subjek memilih

bercerita kepada teman terdekat dan kemudian mendapat saran dari sang teman

agar bersabar dan membela diri jika diejek, juga diberi saran untuk mendapat nilai

yang bagus dengan rajin belajar. Empat dari enam subjek mendapat nasihat dan

dorongan dari sang ibu yang berpesan agar menghiraukan dan pantang menyerah

jika diejek. Ibu juga berpesan apabila diejek maka harus menunjukkan bahwa

subjek harus mampu untuk menunjukkan prestasi, selain itu juga berpesan agar

terus belajar dan optimis.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan pada sebelumnya, dapat

disimpulkan bahwa siswa korban bullying memiliki optimisme. Seluruh subjek

akan mengabaikan apabila nantinya mendapat tindak bullying, juga akan berusaha

untuk berdiam diri, bersikap santai, mengabaikan, bersabar, tersenyum, dan

menghindar. Tindak bullying yang diterima seluruh subjek dijadikan sebagai suatu

motivasi, kemudahan untuk menunjukkan prestasi, dan masa lalu dijadikan

pelajaran, serta akan terus mencapai tujuan dengan terus maju tanpa melihat ke

belakang. Kejadian tidak menyenangkan dalam hidup tidak dijadikan sebagai

suatu hambatan untuk mencapai apa yang diinginkan. Saat subjek mengalami

kegagalan, masalah maupun kesulitan, subjek berusaha untuk memperbaiki

kesalahan, dengan giat belajar, beribadah, berdoa agar diberi kemudahan, juga

dengan mengalihkan ke kegiatan positif, serta tidak akan menyerah dalam

menghadapi setiap masalah, namun apabila tidak bisa menyelesaikan masalah

maka akan meminta bantuan teman, guru sekolah maupun orangtua. Subjek yakin

akan memiliki masa depan yang sukses dan cerah, jika mau berusaha, belajar, giat

beribadah, belajar mandiri, optimis, tidak pantang menyerah, perpikir positif, dan

percaya diri untuk mewujudkan semua mimpi. Subjek tidak memiliki hambatan

untuk mencapai hal tersebut, karena keyakinan maka hambatan tidak akan ada,

juga dengan mengabaikan pendapat miring dari orang lain, akan berusaha

14

menunjukkan hasil yang baik kepada orang sekitar, serta akan bisa terwujud jika

mau mencoba, walaupun masih terdapat hambatan berupa kurangnya dukungan

dari orangtua dan celaan dari teman.

Peneliti menemukan keunikan selama melakukan penelitian, yakni

terbentuknya pola baru dimana subjek yang dulunya menjadi pelaku bullying

malah menjadi korban bullying. Subjek ADA menyadari dirnya bersalah dan ingin

berubah agar tidak mengecewakan orangtua dan guru sekolah, serta serta agar

teman-teman mau bermain dengannya lagi. Menurut Maslow (dalam Golbe,

1987), salah satu dari lima tingkat kebutuhan dasar ialah kebutuhan sosial yang

berada pada tingkat ketiga hierarki, dimana seseorang membutuhkan teman,

afiliasi, interaksi, kasih sayang, dicintai dan mencintai, serta diterima dalam

pergaulan kelompok dan masyarakat lingkungannya. Kebutuhan tersebut mampu

merubah perilaku seseorang.

Selain itu, berdasarkan hasil wawancara terhadap seluruh subjek

didapatkan bahwa dinamika pada korban bullying berjenis kelamin laki-laki dan

perempuan yaitu sama, dimana seluruh subjek menerima tindak bullying secara

verbal berupa ejekan karena kondisi fisik maupun karena suatu kebiasaan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi optimisme pada siswa korban bullying

diantaranya faktor internal dan eksternal. Faktor internal berupa cara berpikir,

pengendalian diri, keinginan dan keyakinan, serta agama. Faktor eksternal berupa

dukungan sosial.

Adapun beberapa saran untuk bahan pertimbangan sebagai

penyempurnaan peneliti selanjutnya yang terkait dengan penelitian serupa.

Pertama, bagi subjek penelitian,subjek diharapkan dapat meningkatkan optimisme

agar mampu survive dalam keadaan apapun sehingga mampu meraih hasil yang

terbaik. Kedua, bagi keluarga, perlunya dukungan, nasihat, dan kasih sayang

keluarga dalam meningkatkan optimisme pada siswa korban bullying karena hal

tersebut merupakan salah satu faktor penting untuk mencapai level optimisme

yang tinggi. Orang tua siswa diharapkan lebih aktif dalam mengikuti

perkembangan anak di sekolah dan terus melakukan komunikais yang baik

dengan pihak sekolah. Ketiga, bagi pihak sekolah, agar dijadikan sebagai bahan

masukan dalam meningkatkan optimisme pada siswa korban bullying melalui

dukungan dan bimbingan, juga dengan melakukan pendekatan individual kepada

siswa. Keempat, bagi peneliti selanjutnya, diharapkan mampu menggali lebih

dalam mengenai sejauh mana optimisme pada siswa korban bullying dengan

mencari informasi dari pihak lain seperti teman, orang tua ataupun guru di

sekolah. Selain itu juga dengan mencari faktor-faktor lain yang mempengaruhi

optimisme pada siswa korban bullying.

6. DAFTAR PUSTAKA

_______. (2014, Mei 16). Retrieved Oktober 19, 2016, from KPAI:

http://www.kpai.go.id/berita/kpai-kasus-bullying-dan-pendidikan-karakter/

15

Bacinpro. (2013, Agustus 12). Retrieved Januari 08, 2017, from Kaskus:

https://www.kaskus.co.id/thread/520802973fcb178b5900001e/6-korban-

bullying-yang-kini-menjadi-sukses/

Budiarti, S. (2013).Peran Guru Pendidikan Kewarganegaraan dalam Mencegah

Terjadinya Bullying pada Siswa (Studi kasus di SMK Muhammadiyah 1

Surakarta Tahun 2013).Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Conversano, C., Rotondo, A., Lensi, E., Vista, O. D., Arpone, F., & Reda, M. A.

(2010). Optimism and Its Impact on Mental and Physical Well-Being.

Journal of Clinical Practice Epidemiology Mental Health, 6, 25-29.

Goble, F (1987). Mahzab Ketiga Psikologi Humanstik Abraham Maslow.

Yogyakarta: Kanisius

Hidayah, R. (2012). Bullying dalam Dunia Pendidikan. Ta'allum Jurnal

Pendidikan Islam, 22 (01), 97-105.

Hilman, F. (2006). Kebermaknaan Hidup pada Wanita Pasca Operasi Kanker

Payudara. Skripsi

Ide, P. 2010. Imunisasi Mental untuk Bangkitkan Optimisme. Jakarta: PT. Elex

Media Komputindo

Kurniawan, S., Priyatama, A. N., & Karyanta, N. A. (2015). Hubungan Konsep

Diri dengan Optimisme dalam Menyelesaikan Skripsi pada Mahasiswa

Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran UNS. Jurnal Ilmiah Psikologi

Candrajiwa, 3 (4).

Khalid, I. (2011). Pengaruh Self Esteem dan Dukungan Sosial Terhadap

Optimisme Hidup Penderita HIV/AIDS. Skripsi. Jakarta: Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Labibzamani. (2016, Mei 02). TribunSolo.com. Retrieved Februari 09, 2017, from

http://solo.tribunnews.com/2016/05/02/kekerasan-anak-berupa-bullying-

masih-marak-di-solo

Nurtjahjanti, H., & Ratnaningsih, I. Z. (2011). Hubungan Kepriadian Hardiness

dengan Optimisme Pada Calon Tenaga Kerja Indonesia (CTKI) Wanita

di BLKLN Disnakertrans Jawa Tengah. Jurnal Psikologi UNDIP, 10 (2).

Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2009). Human Development,

Perkembangan Manusia Edisi 10 Buku 2. Jakarta: Salemba.

Putri, V. P. (2014). Hubungan Antara Efikasi Diri dan Optimisme dengan

Keterikatan pada Karyawan PT. Bank Tabungan Negara (Persero)

Cabang Solo. Skripsi

16

Rahmawan, I. A. (2013). Hubungan Antara Pola Asuh Permisif dengan Intensi

Bullying Pada Siswa-Siswi Kelas VIII SMP Muhammadiyah 4

Yogyakarta. Jurnal Empathy, 2 (1), 5-7

Shofia, F. (2009). Optimisme Masa Depan Narapidana. Skripsi. Surakarta:

Universitas Muhammadiyah Surakarta

Taylor, S, E. 2009. Psikologi Sosial Edisi Kedua Belas. Jakarta: Kencana Prenada

Media Group

Santrok, John W. (2003). Adolescence: Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga.

Seligman, M. E. (2008). Menginstall Optimisme. Bandung: Momentum.

Wu, W.-C., Luu, S., & Luh, D.-L. (2016). Defending Behaviors, Bullying Roles,

and their Associatons with Mental Health in Junior High School Students:

a Population-Based Study. BMC Public Health .