42
OPTIMALISASI PELESTARIAN HUTAN BERBASIS PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DENGAN METODE AGROFORESTRY DALAM RANGKA PENGENTASAN KEMISKINAN DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Zaqi Mubarok, M. Faqih Hidayatullah Universitas Negeri Malang [email protected], [email protected] ABSTRAK: Hutan merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia, karena hutan mempunyai peranan yang penting terhadap kelangsungan hidup manusia yaitu memberikan sumber kehidupan bagi kita semua. Hancurnya hutan dapat pula bermakna hancurnya kelangsungan hidup manusia dan akan muncul kemiskinan. Oleh karena itu, perlu adanya pengelolaan hutan yang baik dan pelestarian hutan yang tepat untuk menjamin kelangsungan multi manfaat yang disediakan oleh hutan guna menjamin berbagai kebutuhan manusia demi kelangsungan hidupnya. Pengelolaan hutan bagi kesejahteraan masyarakat merupakan hal yang perlu menjadi perhatian bersama, baik oleh pemerintah, masyarakat, maupun dunia usaha. Pemanfaatan nilai ekonomis hutan harus seimbang dengan upaya perlestarian lingkungan hidup sehingga hutan tetap dapat dimanfaatkan secara adil dan berkelanjutan. Dalam hal ini, pelestarian hutan tentunya akan melibatkan masyarakat, sehingga perlu adanya pemberdayaan masyarakat dalam upaya pelestarian hutan dengan metode agroforestry. Agroforestry sebagai pengelolaan hutan berbasis masyarakat dengan perpaduan antara pertanian dan proses pengembangan lingkungan atau kondisi hutan. Hal ini akan menitik beratkan dalam pembangunan pertanian secara berkelanjutan adalah masyarakat secara mandiri dalam pengelolaan hutan yang berkelanjutan yang terus menerus dan memiliki konsep berkeadilan.

OPTIMALISASI PELESTARIAN HUTAN BERBASIS PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DENGAN METODE AGROFORESTRY.docx

Embed Size (px)

Citation preview

OPTIMALISASI PELESTARIAN HUTAN BERBASIS PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DENGAN METODE AGROFORESTRY DALAM RANGKA PENGENTASAN KEMISKINANDAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Zaqi Mubarok, M. Faqih HidayatullahUniversitas Negeri [email protected], [email protected]

ABSTRAK: Hutan merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia, karena hutan mempunyai peranan yang penting terhadap kelangsungan hidup manusia yaitu memberikan sumber kehidupan bagi kita semua. Hancurnya hutan dapat pula bermakna hancurnya kelangsungan hidup manusia dan akan muncul kemiskinan. Oleh karena itu, perlu adanya pengelolaan hutan yang baik dan pelestarian hutan yang tepat untuk menjamin kelangsungan multi manfaat yang disediakan oleh hutan guna menjamin berbagai kebutuhan manusia demi kelangsungan hidupnya. Pengelolaan hutan bagi kesejahteraan masyarakat merupakan hal yang perlu menjadi perhatian bersama, baik oleh pemerintah, masyarakat, maupun dunia usaha. Pemanfaatan nilai ekonomis hutan harus seimbang dengan upaya perlestarian lingkungan hidup sehingga hutan tetap dapat dimanfaatkan secara adil dan berkelanjutan. Dalam hal ini, pelestarian hutan tentunya akan melibatkan masyarakat, sehingga perlu adanya pemberdayaan masyarakat dalam upaya pelestarian hutan dengan metode agroforestry. Agroforestry sebagai pengelolaan hutan berbasis masyarakat dengan perpaduan antara pertanian dan proses pengembangan lingkungan atau kondisi hutan. Hal ini akan menitik beratkan dalam pembangunan pertanian secara berkelanjutan adalah masyarakat secara mandiri dalam pengelolaan hutan yang berkelanjutan yang terus menerus dan memiliki konsep berkeadilan.

Keyword : Pelestarian Hutan, Pemberdayaan Masyarakat, Agroforestry, Pengentasan Kemiskinan, Pembangunan Berkealnjutan

Hutan merupakan paru-paru bumi tempat berbagai satwa hidup, pohon-pohon, hasil tambang dan berbagai sumberdaya lainnya yang bisa kita dapatkan dari hutan yang tak ternilai harganya bagi manusia. Hutan juga merupakan sumberdaya alam yang memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan manusia, baik manfaat tangible yang dirasakan secara langsung, maupun intangible yang dirasakan secara tidak langsung. Manfaat yang dirasakan secara langsung seperti penyediaan kayu, satwa, dan hasil tambang. Sedangkan manfaat tidak langsung yang dapat dirasakan seperti manfaat rekreasi alam, perlindungan dan pengaturan tata air, pencegahan erosi.Dengan luas total kawasan hutan sekitar 133,46 juta ha atau sekitar 70% dari total luas wilayah daratan, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kawasan hutan tropis terluas ketiga di dunia setelah Brazil dan Zaire (Republik Demokrasi Kongo). Hutan di Indonesia terdiri dari Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam (19,88 juta ha), Hutan Lindung (31,55 juta ha), Hutan Produksi Terbatas (22,43 juta ha), Hutan Produksi Tetap (36,75 juta ha), Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (22,68 juta ha), dan Taman Buru (167,6 ribu ha)[footnoteRef:1]. [1: Kementrian Kehutanan. 2010. Pemantauan Hutan Indonesia. Kemenhut]

Hutan Indonesia memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi yang meliputi: 16% spesies burung, 11% spesies tumbuhan dunia, 10% spesies mamalia, termasuk mamalia yang paling berharga di dunia, yaitu orangutan, harimau, badak, dan gajah, 7% spesies reptilia, 6% ikan air tawar, dan 6% amfibi[footnoteRef:2]. Namun karena pengelolaan hutan yang kurang bijak, maka selama 50 tahun terakhir banyak kawasan hutan yang rusak atau bahkan pada beberapa daerah ada yang sudah tidak memiliki tutupan pohon/vegetasi sama sekali sehingga mengakibatkan beberapa spesies flora dan fauna terancam punah. [2: FWI/GFW. 2001. Keadaan Hutan Indonesia. Bogor, Indonesia: Forest Watch Indonesia dan Washington D.C.: Global Forest Watch. Hlm. 46]

Di sisi lain, di dalam dan sekitar hutan tinggal masyarakat yang kehidupannya sangat tergantung pada hutan dan dikategorikan sebagai penduduk miskin. Bagi mereka, hutan merupakan sumber kehidupan, di mana mereka memanfaatkan berbagai jenis produk hasil hutan, baik kayu maupun non kayu[footnoteRef:3] (Suhartini, 1991). Mereka umumnya hidup dalam kelompok-kelompok kecil yang terpencar di daerah yang terisolir dan jauh dari jangkauan berbagai fasilitas pelayanan pemerintah. Akibatnya, kerusakan sumberdaya hutan merupakan suatu bencana bagi mereka karena sumber kehidupan mereka terganggu. Dengan kata lain rusaknya hutan dapat pula bermakna hancurnya kelangsungan hidup manusia dan akan muncul kemiskinan. Karena bagaimanapun hutan mempunyai peranan yang sangat penting terhadap kelangsungan hidup manusia yaitu memberikan sumber kehidupan bagi kita semua. [3: Suhartini. Kajian Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 16 Mei 2009. Hlm. 219]

Hampir semua lahan di Indonesia pada awalnya merupakan hutan alam yang secara berangsur dialih-fungsikan oleh manusia menjadi berbagai bentuk penggunaan lahan lain seperti pemukiman dan pekarangan, pertanian, kebun dan perkebunan, hutan produksi atau tanaman industri, dan lain-lain. Alih fungsi guna lahan itu terjadi secara bertahap sejak lama dan sampai sekarangpun terus terjadi dengan demikian luas lahan hutan di Indonesia semakin berkurang. Perluasan lahan pertanian dan/atau penggembalaan ternak. Dalam skala nasional, dalam kurun waktu tiga dekade terakhir, setidaknya terdapat dua trend utama proses alih fungsi lahan yang menonjol, yakni proses deforestasi dan urbanisasi-suburbanisasi[footnoteRef:4]. Proses deforestasi terutama sebagai akibat dari aktifitas loging, pengembangan areal pertanian dan pemukiman baru (transmigrasi). Pada umumnya pembukaan lahan pertanian baru oleh petani kecil atau tradisional adalah dengan cara tebas bakar (tebang dan bakar/slash and burn). Selain itu adanya permintaan pasar dan nilai ekonomi kayu. Pohon di hutan ditebang, diambil kayunya untuk diperdagangkan, baik skala kecil maupun skala besar (commercial logging), sehingga sampai terjadi pula illegal logging. Penebangan bisa dilakukan secara selektif tetapi tidak jarang juga dilakukan tebang habis, pemukiman. tempat penampungan air, penggalian bahan tambang bencana alam. Pada daerah-daerah seputar perkotaan ekspansi aktifitas urban (suburbanisasi) merupakan faktor utama terjadinya alih fungsi lahan-lahan pertanian ke aktifitas urban. Dengan demikian sebagian besar magnitude proses alih fungsi lahan berlangsung di kawasan perdesaan, khususnya pada kawasan-kawasan perbatasan kota-desa dan perbatasan kawasan budidaya-non budidaya. [4: Ernan Rustiadi. Alih Fungsi Lahan Dalam Perspektif Lingkungan Perdesaan. (Disampaikan pada Lokakarya Penyusunann Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Lingkungan Kawasan Perdesaan di Cibogo, Bogor, tanggal 10-11 Mei 2001). Hlm 1.]

Kini kawasan hutan di Indonesia tercatat hanya seluas 104.876.635 atau sekitar 54,6% dari keseluruhan total luas daratan. Rinciannya, kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam perairan 5.085.209 hektar (terdiri atas 27 unit) dan daratan 18.154.507 hektar (339 unit). Kawasan hutan tersebut terbagi dalam dua kategori. Pertama, kawasan suaka alam yang terdri atas cagar alam 2.283.142 hektar (168 unit) dan suaka margasatwa 3.612.323 hektar (4 unit). Sementara kawasan hutan pelestarian alam meliputi Taman Wisata 299.117 hektar (75 unit), Taman Buru 248.932 hektar (13 unit), Taman Nasional 11.458.993 hektar (30 unit) dan Taman Hutan Raya 252.089 hektar (11 unit). Selain kawasan suaka alam dan pelestarian alam, luas dan distribusi kawasan hutan juga terdiri atas hutan lindung seluas 30.581.753 hektar yang terdiri atas 472 Daerah Aliran Sungai (DAS). 62 DAS diantaranya termasuk DAS prioritas I, 232 DAS prioritas II dan 176 DAS prioritas III. Terakhir, kawasan hutan produksi yang terdiri atas Hutan Produksi Terbatas (HPT) 17.063.682 hektar, Hutan Produksi Tetap (HPT) seluas 28.675.881 hektar dan Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas 13.717.786 hektar[footnoteRef:5] (Nugraha, 2004). [5: Agung Nugraha. 2004. Menyonsong Perubahan Menuju Evitalisasi Sektor Kehutanan. Jakarta : Wirma Aksara. Hlm. 58-59]

Di Indonesia sendiri hutan yang telah beralih fungsi berjumlah 125.000 hektar untuk kebutuhan masyarakat setiap tahunnya. hutan yang dialihfungsikan untuk kebutuhan masyarakat seperti pembangunan permukiman, pembukaan lahan perkebunan maupun untuk kebutuhan industri tersebut telah membuat hutan di negara ini semakin berkurang dari tahun ke tahun. Hal ini membuat hutan sebagai paru-paru dunia di negara ini semakin berkurang dan mengancam kelestarian lingkungan. Sementara itu, berdasarkan data Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2008 kawasan hutan yang telah dialihfungsikan seluas 270.375,135 ha terdiri atas penggunaan tambang seluas 270.183,58 ha, stasiun klimatologi oleh BMG seluas 0.03 ha, sebagaian besar (85.6%) areal pertambangan berada di dalam hutan lindung. Semenjak krisis ekonomi 1997-1998 banyak sekali perubahan penggunaan lahan yang terjadi di Indonesia terutama terjadi di kota-kota besar. Lahan-lahan hutan yang dulunya produktif tak lagi ada fungsinya sebagai penghasil sumber daya ekonomi yang produktif. Kebanyakan lahan dikomersilkan untuk kebutuhan pembangunan. Menurut Firman (1997) lebih dari 500-30.00 ha lahan di Jakarta diproyeksikan menjadi kawasan Jakarta Metropolitan Area[footnoteRef:6] (Firman, 2000:14). Di Surabaya yang merupakan kota terbesar kedua di Indonesia tercatat 200-1000 ha sawah telah terkonversikan menjadi lahan kawasan permukiman, komersil area yang meliputi hotel, kantor, bank, dan swalayan[footnoteRef:7]. [6: Tommy Firman. 1997. Rural to urban land conversion in Indonesia during boom and bust periods. Land Use Policy 17 (2000), 13-20. Hlm. 14] [7: Ahmad Budiman, Verbenasari, A., Salim, W., 1996. The identi"cation of phenomenon of Gerbangkertasusila mega-urban region and Malang-Surabaya Corridor. Undergraduate Thesis. Department of Regional and City Planning. Institute of Technology. Bandung, (in Indonesian), seperti dikutip oleh Tommy Firman. 1997. Rural to urban land conversion in Indonesia during boom and bust periods. Land Use Policy 17 (2000). Hlm 14.]

Hutan merupakan sistem penggunaan lahan yang tertutup dan tidak ada campur tangan manusia. Masuknya kepentingan manusia secara terbatas misalnya pengambilan hasil hutan untuk subsisten tidak mengganggu hutan dan fungsi hutan. Tekanan penduduk dan ekonomi yang semakin besar mengakibatkan pengambilan hasil hutan semakin intensif (misalnya penebangan kayu) dan bahkan penebangan hutan untuk penggunaan yang lain misalnya perladangan, pertanian atau perkebunan. Gangguan terhadap hutan semakin besar sehingga fungsi hutan juga berubah. Tekanan penduduk dan ekonomi ini terjadi dikarenakan adanya pertambahan penduduk yang secara alami terus meningkat merupakan salah satu faktor pendorong terjadinya alih fungsi kawasan hutan. Peningkatan jumlah penduduk berpengaruh nyata terhadap alih-fungsi lahan. Kebutuhan terhadap lahan baik untuk pertanian maupun pemukiman meningkat dengan meningkatnya jumlah penduduk. Perubahan kepadatan penduduk, khususnya di daerah pedesaan, akan meningkatkan permintaan lahan untuk kebutuhan pertanian. Kondisi ini diperparah dengan tidak jelasnya sistem kepemilikan lahan sehingga mendorong penduduk untuk membuka kawasan hutan. Disamping itu juga kebijakan pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah dari pertanian dan pembangunan jalan akan mendorong migrasi penduduk ke daerah pedesaan (Shoutgate et al dalam Djaenudin). Tekanan terhadap sumberdaya hutan tidak hanya oleh penduduk pedesaan. Penduduk kota turut berkontribusi dalam pembukaan kawasan hutan. Mahapatra and Kant (2005) dalam Djaenudin menjelaskan bahwa dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, kebutuhan akan kayu untuk pertukangan akan meningkat pula, hal ini akan mendorong penebangan kayu di hutan. Fraser (1996) dalam Sunderlin dan Resosudarmo (1996) menyimpulkan bahwa pertumbuhan penduduk berkontribusi terhadap deforestasi di Indonesia[footnoteRef:8]. Tutupan kawasan hutan berkurang sebesar 0,3 persen untuk setiap peningkatan jumlah penduduk satu persen. [8: Sunderlin, Resosudarmo. Laju dan Penyebab Deforestasi di Indonesia: Penelaahan Kerancuanan dan Penyelesaiannya. Vol. 1 No.9 Maret 1997. Hlm. 10]

Berbagai upaya rehabilitasi dan penanggulangan kerusakan hutan telah dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan banyak pihak, tetapi belum memberikan hasil yang memuaskan. Hal ini terjadi karena pada awalnya kegiatan rehabilitasi hutan menggunakan pendekatan yang lebih menekankan aspek teknis dan kurang memperhatikan aspek sosial ekonomi dan kelembagaan, sehingga kurang memberikan manfaat bagi masyarakat. Selain itu, program kegiatan umumnya bersifat rigid/kaku dengan pendekatan yang top-down serta umumnya tidak berkesinambungan. Kenyataan inilah yang kemudian mengilhami lahirnya UU 41 tahun 1999 tentang kehutanan setelah era reformasi digulirkan. Semangatnya, harus ada pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan dan adanya akses yang memadai terhadap hutan. Kementerian Kehutanan sudah memiliki pola/konsep pemanfaatan sumberdaya hutan secara lestari dengan melibatkan masyarakat di bawah payung besar social forestry atau Perhutanan Sosial yang diatur pada pasal 3 Undang-Undang No. 41/1999 tentang kehutanan. Pemanfaatan sumberdaya hutan melalui pola ini pada dasarnya memberikan peluang bagi masyarakat untuk mengelola, mengusahakan dan mamanfaatkan sumberdaya hutan dengan tujuan agar sumberdaya hutan tetap lestari dan masyarakat sejahtera[footnoteRef:9] (Suhartini, 2009). Memperhatikan kondisi seperti tersebut diatas, maka penulis memiliki suatu gagasan atau ide yang dimuat dala sebuah karya tulis yang berjudul optimalisasi pelestarian hutan berbasis pemberdayaan masyarakat dengan metode agroforestri dalam rangka pengentasan kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan dengan besar harapan untuk kelestarian hutan di Indonesia dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Menjamin pelestarian hutan berarti menjamin kelangsungan multi manfaat yang disediakan oleh hutan guna menjamin berbagai kebutuhan manusia demi kelangsungan hidup masyarakat. [9: Suhartini. Kajian Kearifan Lokal Masyarakat. Seminar Nasional FMIPA UNY. 16 Mei 09, hlm 207]

Optimalisasi Agroforestri di IndonesiaAgroforestri merupakan suatu program penanganan pengelolaan hutan yang ditujukan untuk efisiensi garapan lahan dengan cara mengkombinasikan sistem kehutanan dengan sistem bertani dengan memperhatikan kondisi lingkungan fisik, sosial ekonomi dan budaya masyarakat yang berperan serta. Dalam beberapa hal agroforestri juga sering dilihat sebagai upaya untuk melindungi dan melestarikan hutan dengan melibatkan masyarakat dalam setiap kegiatannya. Hal ini tidak lain karena latar belakang rakyat Indonesia yang merupakan masyarakat agraris. Pada masa lalu pertanian sering digunakan untuk membabat habis hutan yang oleh karenanya sistem seperti ini (ladang berpindah) juga sudah mulai dilarang praktiknya. Oleh karena itu muncullah program-program kreatif seperti agroforestri. Namun dalam beberapa tahun garapan agroforestri saat ini belum dianggap memberi dampak nyata pada kehidupan sosial masyarakat sekitar. Berbagai program pengelolaan kawasan hutan berbasis masyarakat telah dikembangkan Kementerian Kehutanan, seperti Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Pada tahun 2011, Kementerian Kehutanan meluncurkan program Pengembangan Perhutanan Masyarakat Pedesaan Berbasis Konservasi (PPMPBK) berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P66/Menhut-II/2011.33 Strategi Nasional Penelitian Agroforestri 2013-2030 Program tersebut bertujuan untuk mendukung peningkatan pertumbuhan (pro growth), pengurangan kemiskinan (pro poor), penyerapan tenaga kerja (pro job) dan sekaligus menjaga kelestarian lingkungan hidup (pro environment)[footnoteRef:10]. Program dilaksanakan dengan cara memberikan bantuan langsung masyarakat (BLM) sebesar maksimal Rp 50 juta kepada masing-masing kelompok masyarakat, dengan target sasaran di 32 provinsi dan total sebanyak 2.000 kelompok, yang akan dilaksanakan sampai tahun 2014. Menurut Herawati (2011) faktanya program tersebut juga mengalami kegagalan dikarenakan putusan yang sentralistik dari lembaga kepemimpinan di tingkat atas tanpa mengetahui konteks di lapangan. [10: BPTA Ciamis. Tanpa tahun. Tantangan dan Peluang dalam Penelitian Agroforestri. BPTA Ciamis. Ciamis. Hlm.33]

Dalam suatu proses pengelolaan maupun pelestarian lingkungan, tentunya terdapat suatu parameter atau indicator untuk menilai perubahan yang cepat dalam lingkungan dan memberikan beberapa langkah-langkah dari suatu ekosistem, yaitu Geoindicators. Geoindicators mengukur perubahan lingkungan dengan cara yang dapat dianggap signifikan dalam rentang waktu dipertimbangkan, serta mengungkapkan parameter lingkungan dan proses yang mampu berubah dengan atau tanpa intervensi manusia.Menurut Jayakumar dan Liu K Terdapat 27 Geoindicators perubahan lingkungan yaitu dampak dari pengaruh alam dan manusia, serta keperluan untuk memulihkan kembali lingkungan.Tabel 2. 27 Geoindicators perubahan lingkungan yang dipengaruhi oleh alam, manusia, dan pemulihan lingkungan.NoGeoindicatorsPerubahanPengaruh AlamPengaruh ManusiaPemulihan

1.Mineral dan pola pertumbuhanSuhu air permukaan, salinitasHHH

2.Lapisan permukaan gurun pasir dan retakanKegersanganHML

3.Formasi gumuk pasir dan reaktivasiKecapatan arah angina, kelembaban, kekeringa, dan ketersediaan sedimenHMM

4.Badai yang besar, berdurasi lama dan frekuensi tinggiPengangkutan debu, aridification, dan penggunaan lahanHMM

5.Aktifitas pembekuan tanahHidrologi, gerakan lereng bawah terutama di lapisan aktifHMH

6.Fluktuasi GlacierHujan, insolasi dan run-offHLH

7.Kimia air tanah di zona tak jenuhPelapukan, penggunaan lahanHHH

8.Tingkatan air tanahAbstraksi, mengisi ulangMHL

9.Kualitas air tanahIndustri, plusi pertanian dan perkotaan, pelapukan batuan dan tanah, penggunaan lahan, curah hujan asam, radioaktivitasMHL

10.Kegiatan karstKimia air tanah dan aliran, tutupan vegetasi, proses fluvialHMH

11.Telaga dan salinitasPenggunaan lahan debit sungai, aliran air tanahHHM

12.Permukaan laut relativePenurunan dan pengangkatan pesisir, penarikan cairan, transportasi sedimen, dan deposisiHMH

13.Urutan dan komposisi sedimenPenggunaan lahan, erosi dan pengendapanHHH

14.GempaAlam dan manusia yang disebabkan adanya tekanan bumiHML

15.Posisi garis pantaiErosi pantai, penggunaan lahan, permukaan air laut, transportasi sedimen dan deposisiHHH

16.Kerusakan lereng, longsorStabilitas lereng, gerakan massa, penggunaan lahanHHM

17.Tanah dan erosi sedimenLimpasan permukaan, angin, kualitas penggunaan lahanHHM

18. TanahPenggunaan lahan, kimia, biologi dan proses fisik tanahMHH

19.Aliran sungaiHujan, lembah discharge, penggunaan lahanHHL

20.Aliran dan saluran morfologiBeban sdimen, laju aliran, iklim, penggunaan lahan, perpindahan permukaanHHL

21.Aliran penyimbanan ban sedimenBeban sedimen, laju aliran, iklim, penggunaan lahan, lembah dischargeHHM

22.Suhu rezim di bawah permukaan tanahAliran panas, penggunaan lahan, tutupan vegetasiHMH

23.Pemindahan permukaanPengangkatan dan penurunan tanah, kekurangan, ekstraksi kualitas cairanHMM

24.Kualitas permukaan airPenggunaan lahan, interaksi air tanah batuan, laju aliranHHL

25.Gemuruh volcanicGerakan permukaan magma, aliran panas, magmatic degassingHLH

26.Memperluas tanah yang subur, struktur dan hidrologiPenggunaan lahan, produktifitas biologi, aliran sungaiHHH

27.Erosi anginaPenggunaan lahan, tutupan vegetasiHMM

Keterangan : H = Sangat dipengaruhi; M = Dipengaruhi; L = Pengaruh rendah[footnoteRef:11] [11: Jayakumar, Ramasamy and Liu Ke. 2007. Geo-indicators in Sustainable Management of Geoparks. Natural Sciences Sector in,UNESCO. Geoparks Newsletter : Beijing. Hlm 1-9]

Dari tabel Geoindicators diatas, dapat disimpulkan bahwa perubahan lingkungan dapat dipengaruhi oleh alam, manusia dan pemulihan kembali lingkungan tersebut yang signifikan, karena alam bersifat dinamis yang selalu berubah dalam ruang dan waktu tergantung ada campur tangan manusia atau tidak, karena manusia merupakan bagian integral dari alam.

Pemberdayaan MasyarakatPemberdayaan berarti meningkatkan kemampuan atau meningkatkan kemandirian. Pemberdayaan masyarakat desa hutan merupakan tindakan sosial dimana penduduk sebuah komunitas masyarakat desa hutan mengorganisasikan diri dalam membuat perencanaan dan tindakan kolektif untuk memecahkan masalah sosial atau memenuhi kebutuhan sosial sesuai dengan kemampuan dan sumberdaya yang dimiliki.Selama ini, disadari ataupun tidak, sumber daya hutan kurang memberikan manfaat sesuai dengan harapan masyarakat. Hal ini memicu timbulnya tindakan yang bertentangan dengan kaidah kelestarian hutan. Akibatnya adalah tidak adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan masyarakat akan mencari alternatif usaha lain. Kondisi seperti ini akan menimbulkan kecemburuan sosial terhadap kelompok lain yang mendapatkan manfaat dari sumber daya hutan, karena harapan masyarakat pedesaan memperoleh manfaat dari sumber daya hutan tidak terpenuhi, maka akhirnya dapat mendorong terjadinya urbanisasi.Isu sumber daya hutan juga berkaitan erat dengan ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya hutan. Di satu sisi, tingginya ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya hutan mengakibatkan eksploitasi sumber daya hutan semakin besar dan hutan semakin rusak. Namun di sisi lain, dengan tingginya ketegantungan masyarakat terhadap sumber daya hutan maka diharapkan kesadaran masyarakat menjaga, memelihara, dan melestarikan kelestarian sumber daya hutan juga semakin besar.Kurangnya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan pelestarian sumber daya hutan menyebabkan tidak adanya rasa memiliki sumber daya hutan dan sulit mencapai pengelolaan hutan yang lestari. Kurangnya keterlibatan masyarakat juga dapat memicu konflik dalam pengelolaan sumber daya hutan atau bahkan sebaliknya masyarakat justru apatis dalam pengelolaan sumber daya hutan dan masyarakat semakin tidak berdaya. Oleh karena kurang bermanfaat bagi masyarakat di dalam dan sekitar hutan.Seringkali terjadi pemberian pemahaman yang keliru dan cenderung membodohi masyarakat, bahkan masyarakat dijadikan kendaraan politis untuk kepentingan suatu kelompok. Sehingga yang terjadi adalah bukannya untuk mensejahterakan masyarakat lokal, tetapi melainkan menyengsarakan masyarakat lokal sendiri. Inilah yang harus diperhatikan agar kepentingan yang ada benar-benar murni mewakili kepentingan masyarakat, bukan kepentingan beberapa orang yang mengatas namakan masyarakat yang ada di dalam dan sekitar hutan.Kenyataan yang ada selama ini untuk menjadikan renungan berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan adalah :a. Proyek-proyek yang berorientasi pada pengembangan swadaya masyarakat baik yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun lembaga-lembaga kerja sama lainnya menunjukkan bahwa lembaga/organisasi yang dibentuk dalam rangka proyek tersebut tidak dapat berkembang dan bahkan hanya mampu bertahan selama adanya proyek.b. Lembaga-lembaga pelaksana pembangunan yang menyeponsori pembentukan organisasi baru di masyarakat (sebagai wadah pengembangan swadaya masyarakat) cenderung menerapkan peraturan dan kebijakan sesuai dengan skema proyek dengan menetapkan struktur terstandarisasi.c. Banyak pihak tidak memahami perbedaan antara pengorganisasian dan pengembangan lembaga dengan pembentukan organisasi.Suhardjito (2012) mengemukakan bahwa, pada sisi lain masyarakat desa hutan hidup miskin dan infrastruktur sosial ekonominya belum terbangun sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat hutan. Berdasarkan data PODES (Potensi Desa) tahun 2006 dan 2008, jumlah desa hutan yang tersebar di 32 provinsi sebanyak 19.410 desan atau 26,7 %. Jumlah penduduk desan hutan mencapai lebih dari 37 juta jiwa atau 17,1 % dari penduduk Indonesia (Badan Planologi Kehutanan dan Badan Pusat Statistik, 2007).Melihat kenyataan diatas, kondisi di lapangan menunjukkan demikian tingginya sinergitas keterkaitan dan ketergantungan antara masyarakat dengan alam. Akhirnya, permasalahan penting tersebut harus segera diatasi tentunya dengan kebijakan atau program yang lebih efektif. Dalam hal ini, pengelolaan hutan dengan metode agroforestri dirasa paling efektif, karena agroforestri merupakan sistem pemanfaatan lahan secara optimal berasaskan kelestarian lingkungan dengan mengusahakan atau mengkombinasikan tanaman kehutanan dan pertanian (perkebunan, ternak) sehingga dapat meningkatkan perekonomian petani di pedesaan. Selain itu, metode ini pun dilakukan dengan memberdayakan masyarakat sekitar hutan. Terdapat pula beberapa program kehutanan di lingkup Kementerian Kehutanan dalam pengelolaan dan pelestarian hutan berbasis pemberdayaan masyarakat yang dapat dimanfaatkan dan dilakukan, karena untuk mendukung program pengadaan pangan nasional pula, diantaranya adalah Hutan Tananman Industri, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Desa, Rehabilitasi Lahan Kritis dan Usaha Tani Konsevasi dan Hutan Rakyat.Pemberdayaan masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan hutan lestari dengan metode agroforestri merupakan suatu kegiatan dalam memberdayakan masyarakat agar masyarakat dapat ikut andil, berperan serta, dan berpartisipasi mengelola hutan secara langsung. Suatu kegiatan dilakukan yang implementasinya diharapkan dapat mengurangi tingkat kemiskinan masyarakat di sekitar hutan yang terbatas tingkat pendidikan, kesehatan dan akses. Selain itu juga dapat tetap menjaga kelestarian hutan dan pengoptimalan dalam pengelolaan hutan. Karena karakteristik sosial masyarakat sekitar hutan pada umumnya mengikuti adat istiadat yang membudaya dan masih menjadi kebiasaan di kehidupan mereka, sehingga masih menyatu dengan alam.Kegiatan pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan menjadi sebuah keharusan agar seluruh program yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat dalam lingkup kehutanan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Skema pemberdayaan masyarakat berdasarkan UU seperti tergambar di bawah ini.

UU 32/2004PP 38/2007UU 41/1999PP 6/2007 Jo PP 3/2008

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SEKITAR HUTAN

HUTAN KEMASYARAKATANPERMENHUT.NO.P.37/MENHUT-II/2007

HUTAN DESAPERMENHUT.NO.P.49/MENHUT-II/2008

KEMITRAAN

Gambar 1. Pemberdayaan Masyarakat berdasarkan Peraturan Sektor KehutananPenekanannya lebih kepada menciptakan kemandirian di masyarakat agar mempunyai posisi yang lebih diperhitungkan. Dengan pengetahuan dan keterampilan yang diajarkan diharapkan mereka mampu mendiskusikan permasalahan-permasalahan dengan pihak-pihak luar, dan mereka tidak hanya sebagai pendengar, tapi juga memberikan ide atau gagasan dalam rangka memecahkan suatu masalah. Dengan memberikan pemahaman yang betul-betul tepat sasaran, maka masyarakat memang akan mampu memberikan kontribusi yang cukup signifikan didalam suatu pengelolaan sumberdaya alam. Namun juga harus digaris bawahi, bahwa pemahaman tersebut juga harus dibarengi dengan pengetahuan-pengetahuan dasar, sehingga pandangan-pandangan mereka tetap dengan arah yang positif.Pengembangan konsep agroforestri marupakan salah satu solusi dalam menyelesaikan permasalahan pertanian dan masalah kehutanan di Indonesia. Hal ini karena sektor pertanian telah lebih berorientasi pada komoditas tanaman pangan, holtikulturan dan perkebunan, sehingga pangsa pasarnya sangat besar. Sementara sektor kehutanan masih berorientasi pada potensi otoritas kawasan dan hasil hutan saja dan sangat lemah dalam hal tata kelolanya sehingga banyak kawasan hutan yang tidak dikelola yang menyebabkan masyarakat masuk dan mengelola untuk kepentingan usaha taninya. Disarankan pula agar pada lahan terlantar dan kawasan hutan yang tidak produktif untuk mengembangkan Desa Agroforesti.

Budaya dan Peran Serta Masyarakat dalam AgroforestriPersepsi masyarakat tentang hutan yang begitu beragam, akan mewarnai sikap masyarakat yang beragam pula terhadap keberadaan hutan, dan akan membentuk perilaku masyarakat dalam memandang keberadaan hutan. Sebagian warga masyarakat menyatakan bahwa hutan berfungsi sebagai sumber kehidupan manusia, berperilaku eksploitatif terhadap hutan, yakni hanya memanfaatkan hutan untuk diambil hasilnya saja. Dan sebagian lagi hanya mengambil manfaat hutan dengan mengolah hutan serta mengolah lahan di hutan, namun juga menjaga keletarian hutan dengan menambah jenis tanaman yang sudah ada. Persepsi masyarakat tentang hutan serta pemahaman masyarakat perihal fungsi hutan, kemudian perilaku masyarakat terhadap hutan yang cenderung eksploitatif, mengakibatkan terjadinya kerusakan hutan.Namun pada dasarnya masyarakat sekitar hutan lebih mampu mengelola dan melestarikan kekayaan alam yang ada di dalam hutan. Pemanfaatan hutan yang dilakukan oleh masyarakat pada umumnya berdasarkan warisan dari Nenek moyang secara turun temurun. Konsep agroforestri secara keseluruhan menempatkan masyarakat sebagai subjek, yang secara aktif berupaya dengan daya dan kapasitas yang dimiliki untuk turut memecahkan permasalahan kebutuhan, menghadapi tantangan, dan memanfaatkan peluang kehidupan. Mengolah lahan beserta unsur lingkungan hayati dan non-hayati lainnya dari sekedar elemen alami menjadi sumber daya yang bernilai, bertujuan menjaga eksistensi dan meningkatkan taraf kehidupan pribadi, keluarga dan komunitasnya.Oleh karena itu, implementasi agroforestri selama ini juga memiliki peranan penting dalam aspek sosial budaya masyarakat setempat. Tentu saja, aspek sosial budaya tersebut akan lebih erat dijumpai pada praktek-praktek agroforestri yang telah berpuluh-puluh tahun bahkan ratusan tahun sudah ada di tengah masyarakat atau biasa dikenal dengan agroforestri tradisional, dibandingkan pada sistem agroforestri yang baru diperkenalkan dari luar. Karena praktek-praktek agroforestri tradisonal merupakan produk pemikiran dan pengalaman yang telah berjalan lama di masyarakat dan teruji sepanjang peradaban masyarakat setempat dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya, serta produk dan fungsi-fungsi yang dihasilkan oleh komponen penyusun agroforestri tradisional memiliki manfaat bagi implementasi kegiatan budaya masyarakat yang bersangkutan[footnoteRef:12]. [12: Widianto, Kurniatun Hairiah, Didik Suharjito dan Mustofa Agung Sardjono. 2003. Fungsi dan Peran Agroforestri. World Agroforestry Centre (ICRAF) : Bogor. Hlm 26.]

Widianto, dkk (2003), mengemukakan meskipun fungsi sosial budaya agroforestri diakui lebih banyak dijumpai pada sistem yang tradisional, akan tetapi perlu digaris bawahi pula bahwa hal tersebut tidak merupakan faktor pembatas yang bersifat mutlak, dikarenakan:a. Budaya suatu masyarakat pada hakekatnya tidak pernah bersifat statis, tetapi senantiasa bersifat dinamis sesuai dengan perkembangan waktu serta kebutuhan. Dalam mengembangkan agroforestri seringkali disebutkan tidak berarti kembali ke jaman batu, dengan mengulang berbagai teknik pemanfaatan lahan kuno, tetapi juga harus progresif dan oleh karenanya memerlukan inovasi dan pengetahuan modern. b. Setiap pengenalan sistem atau teknologi agroforestri baru juga penting memperhatikan sosial budaya setempat, misalnya dalam pemilihan jenis pohon, desain dan teknologi. Hal ini dimaksudkan guna meningkatkan kemampuan masyarakat lokal untuk mengimplementasikannya sesuai dengan kondisi sosial budaya yang dimiliki.c. Tingkat adopsi yang tinggi terhadap suatu sistem atau teknologi agroforestri, akan meningkatkan produktivitas dan sustainabilitas sebagai kriteria penting lainnya dari agroforestri itu sendiri.Dalam konteks perkembangan dan pelestarian hutan rakyat, terdapat beberapa nilai budaya positif sebagai sebuah manifestasi nilai keberanian dan kebesaran jiwa yang tinggi pada masyarakat. Beberapa bentuk budaya positif masyarakat tersebut antara lain, budaya ikhlas dan sabar, budaya kreatif dan bekerja keras, budaya usaha tani campuran (agroforestri), berwawasan ke depan, gotong royong dan realistis. Budaya positif tersebut tentunya saling berkesinambungan, terlebih lagi pada budaya agroforestri. Selain budaya positif, terdapat pula nilai budaya negatif yang ada pada komunitas atau masyarakat desa didalam dan sekitar hutan, yaitu masyarakat desa didalam dan sekitar hutan pada umumnya memiliki tingkat pendidikan yang rendah, dikarenakan mereka tidak memiliki cukup biaya untuk dapat menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan akses jalan yang biasanya cukup sulit menjangkau suatu sekolah tempat sarana pendidikan. Selain itu, budaya masyarakat desa memiliki kecenderungan hanya beradaptasi dan kurang menonjolkan adanya suatu pembaharuan, serta bekerja keras dalam sektor pertanian.Aspek topografi mendasari bagaimana kearifan lokal masyarakat adat yang tinggal di sekitar hutan dalam pengelolaannya. Berikut ini merupakan konsep topografi yang digunakan oleh masyarakat adat Baduy dalam pengelolaan hutan.

Gambar 2. Profil pengelolaan agroforestri masyarakat adat Baduy.Berdasarkan keletakannya (topografi), menurut penjelasan dari para narasumber dan informan (Permana et al, 2011)[footnoteRef:13], hutan Baduy terbagi atas tiga bagian: [13: Permana, RCE., Nasution, IP,. Gunawijaya, J. 2011. Kearifan lokal tentang mitigsi bencana pada masyarakat Baduy. Jurnal Makara, Sosial Humaniora: Volume 15 Nomor 1. Hlm. 24]

1. Hutan tua (leuweung kolot), Hutan tua disebut juga hutan titipan (leuweung titipan) terdapat pada puncak-puncak bukit atau gunung. Pohon-pohon yang terdapat di hutan tua ini tidak boleh dibuka untuk ladang (huma) dan tidak boleh ditebang, kecuali diambil kayunya secara terbatas untuk kayu bakar. Kearifan dari konsepsi budaya ini bahwa pohon-pohon besar di puncak bukit akan menjadi payung yang menaungi bukit itu agar tidak terjadi erosi atau tanah longsor ketika hujan turun. Pohon-pohon di atas bukit juga berguna untuk menyimpan air sehingga ketersediaan air tanah tidak kekurangan dan kesuburan tanah tetap terjaga (Permana et al 2011) 2. Hutan ladang (leuweung reuma) 3. Hutan kampung (leuweung lembur). Pembagian hutan tersebut ditinjau dari kearifan lokal merupakan bentuk pengetahuan yang turun temurun agar sumberdaya hutan lestari dan berkelanjutan. Sehingga pembagian hutan tersebut berdasarkan fungsi dari ekologi, ekonomi dan sosial dari masyarakat adat Baduy tersebut, jika ditinjau secara ilmiah bahwasanya pengelolaan lingkungan secara lestari (sustainibility environment) telah diterapkan dalam kearifan lokal itu sendiri.Agroforestri yang bersifat tradisional sebagai sistem atau teknologi penggunaan lahan memiliki kaitan yang erat dengan berbagai aspek sosial budaya di masyarakat. Upaya untuk mempertahankan nilai-nilai sosial budaya yang positif di masyarakat serta mengembangkannya guna pencapaian tujuan pelestarian lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat tidak berarti harus mempertahankan pola-pola agroforestri pada bentuk atau praktek aslinya. Hal ini seringkali justru menjadi tidak efektif dan efisien, karena pola yang statis justru sulit untuk memenuhi tuntutan dinamika sosial budaya dan tentunya termasuk aspek ekonomi masyarakat yang demikian pesat berkembang. Praktek pola-pola pengelolaan hutan oleh masyarakat dengan mengutamakan pengetahuan masyarakat yang kreatif dan dinamis hasil proses belajar dari kehidupan sehari-hari. Sehingga memiliki berbagai manfaat bagi masyarakat dan lingkungan setempat, baik secara ekonomi, sosial budaya, religi dan lingkungan ekologis setempat (Suharjito dkk, 1999 dalam Hakim dkk, 2010). Perkembangan aspek sosial ekonomi dan budaya saat ini memang jauh lebih cepat dibandingkan dengan perubahan fisik lingkungan alam, seperti contohnya peningkatan jumlah populasi manusia, perubahan pola pikir, dan sebagainya. Dalam kaitan ini setiap pengembangan agroforestri tradisional atau teknologi agroforestri baru harus senantiasa mencoba untuk menyesuaikan tidak hanya dengan lingkungan alam dan kebutuhan masyarakat, tetapi juga fenomena sosial ekonomi dan budaya yang berkembang di masyarakat yang terkait dengan pelestarian nilai-nilai sosial budaya itu sendiri, serta tentunya terkait pula dengan pelestarian hutan. Hubeis (1990), menambahkan bahwa bentuk peran serta masyarakat akan sangat dipengaruhi oleh latar belakang lingkungan budaya di mana mereka bertempat tinggal. Kearifan lokal merupakan salah satu manifestasi kebudayaan sebagai sistem yang cenderung memegang erat tradisi sebagai sarana untuk memecahkan persoalan yang kerap dihadapi oleh masyarakat lokal. Dalam hal ini masyarakat bekerjasama dengan masyarakat sekitar hutan yang berada di daerah lain untuk saling tukar pikiran dan pengalaman tentang pengelolaan hutan, pengawasan pelestarian fungsi hutan agar generasi yang akan datang dapat menikmati keanekaragaman kehidupan didalam hutan dan pemanfaatan kekayaan sumber daya alam bisa diselamatkan dengan cara pengelolaan hutan secara berkelanjutan oleh masyarakat setempat dan keamanan yang terjamin demi kelangsungan hidup masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar hutan.

Jenis Agroforestri yang Proposional yang Dapat Diterapkan di IndonesiaAgroforestri pada dasarnya digunakan untuk meminimalisir pemakaian lahan serta untuk memperoleh hasil yang maksmimal dari usaha kehutanan yang dilaksanakan. Bentuk agroforestri sederhana yang paling banyak dibahas di Jawa adalah tumpangsari. Sistem ini, dalam versi Indonesia, dikenal dengan taungya yang diwajibkan di areal hutan jati di Jawa dan dikembangkan dalam rangka program perhutanan sosial dari Perum Perhutani. Pada lahan tersebut petani diijinkan untuk menanam tanaman semusim di antara pohon-pohon jati muda. Hasil tanaman semusim diambil oleh petani, namun petani tidak diperbolehkan menebang atau merusak pohon jati dan semua pohon tetap menjadi milik Perum Perhutani. Bila pohon telah menjadi dewasa, tidak ada lagi pemaduan dengan tanaman semusim karena adanya masalah naungan dari pohon. Jenis pohon yang ditanam khusus untuk menghasilkan kayu bahan bangunan (timber) saja, sehingga akhirnya terjadi perubahan pola tanam dari sistem tumpangsari menjadi perkebunan jati monokultur. Sistem sederhana tersebut sering menjadi penciri umum pada pertanian komersialPengklasifikasian agroforestri dapat didasarkan pada berbagai aspek sesuai dengan perspektif dan kepentingannya. Pengklasifikasian ini bukan dimaksudkan untuk menunjukkan kompleksitas agoroforestri dibandingkan budidaya tunggal (monoculture; baik di sektor kehutanan ataupun di sektor pertanian). Akan tetapi pengklasifikasian ini justru akan sangat membantu dalam menganalisis setiap bentuk implementasi agroforestri yang dijumpai di lapangan secara lebih mendalam, guna mengoptimalkan fungsi dan manfaatnya bagi masyarakat atau para pemilik lahan. Klasifikasinya dapat dibagi ke dalam beberapa bentuk yakni:

a. AgrisilvikulturAgrisilvikultur adalah sistem agroforestri yang mengkombinasikan komponen kehutanan (atau tanaman berkayu/woody plants) dengan komponen pertanian (atau tanaman non-kayu). Tanaman berkayu dimaksudkan yang berdaur panjang (tree crops) dan tanaman non-kayu dari jenis tanaman semusim (annual crops). Dalam agrisilvikultur, ditanam pohon serbaguna atau pohon dalam rangka fungsi lindung pada lahan-lahan pertanian (multipurpose trees/shrubs on farmlands, shelterbelt, windbreaks, atau soil conservation hedges Nair, 1989; dan Young, 1989)[footnoteRef:14]. [14: Young, Anthony. 1989. Agroforestry for Soil Conservation. CAB International: Wallingford, Inggris. Hlm. 47]

Seringkali dijumpai kedua komponen penyusunnya merupakan tanaman berkayu (misal dalam pola pohon peneduh gamal/Gliricidia sepium pada perkebunan kakao/Theobroma cacao). Sistem ini dapat juga dikategorikan sebagai agrisilvikultur (Shade trees for plantation crops Nair, 1989). Pohon gamal (jenis kehutanan) secara sengaja ditanam untuk mendukung (pelindung dan konservasi tanah) tanaman utama kakao (jenis perkebunan/pertanian). Pohon peneduh juga dapat memiliki nilai ekonomi tambahan. Interaksi yang terjadi (dalam hal ini bersifat ketergantungan) dapat dilihat dari produksi kakao yang menurun tanpa kehadiran pohon gamal. Keunggulan agrisilvikultur adalahproduktifitas total agrisilvikultur jauh lebih tinggi dibandingkan monokultur, sehingga mengurangi tingkat kegagalan panen serta dapat menghasilkan diversitas (keragaman) yang tinggi, baik menyangkut produk maupun jasa. Di sisi lain system ini juga memiliki kelemahan di mana memerlukan biaya yang lebih bsar dari pertanian monokultur[footnoteRef:15] (http://diarbeauxhommez.blogspot.com/). [15: Anonim, Sistem Budidaya Agroforestry Agrisilvikultur di Dusun Manggis, Desa Sukorambi, Kabupaten Jember. Internet. http://diarbeauxhommez.blogspot.com/2012/04/normal-0-false-false-false-in-x-none-x_02.html. Diakses tanggal 22 Juli 2014]

b. SilviopasturalSistem agroforestri yang meliputi komponen kehutanan (atau tanaman berkayu) dengan komponen peternakan (atau binatang ternak/pasture) disebut sebagai sistem silvopastura. Beberapa contoh silvopastura, antara lain: Pohon atau perdu pada padang penggembalaan (Trees and shrubs on pastures), atau produksi terpadu antara ternak dan produk kayu[footnoteRef:16]. [16: Anonim. Jenis Agroforestri. Internet. acehpedia.org, diakses tanggal 22 Juli 2014]

Kedua komponen dalam silvopastura seringkali tidak dijumpai pada ruang dan waktu yang sama (misal: penanaman rumput hijauan ternak di bawah tegakan pinus, atau yang lebih ekstrim lagi adalah sistem cut and carry pada pola pagar hidup/living fences of fodder hedges and shrubs; atau pohon pakan serbaguna/multipurpose fodder trees pada lahan pertanian yang disebut protein bank). Meskipun demikian, banyak pegiat agroforestri tetap mengelompokkannya dalam silvopastura, karena interaksi aspek konservasi dan ekonomi (jasa dan produksi) bersifat nyata dan terdapat komponen berkayu pada manajemen lahan yang sama. Keunggulan dari system ini adalah diversifikasi jenis usahanya yang lebih banyak sehingga partisipasi masyarakat juga dapat lebih maksimal. Namun di sisi lain persaingan antara tanaman kayu daan pakan dapat mengurangi kesuburan tanah selain itu pengembalaan ternak juga akan dapat merusak tanaman muda yang asih dalam pembibitan[footnoteRef:17]. [17: Masnyur,dkk. Silvapastura sebagai Suatu Jawaban untuk Penyediaan Hijauan Pakan dalam Pengembangan Sapi Perah. Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas 2020. Universitas Padjajaran Bandung. Tanpa Tahun]

c. AgrosilvipasturaTegakan hutan alam bukan merupakan sistem agrosilvopastural, walaupun ketiga komponen pendukungnya juga bisa dijumpai dalam ekosistem dimaksud. Pengkombinasian dalam agrosilvopastura dilakukan secara terencana untuk mengoptimalkan fungsi produksi dan jasa (khususnya komponen berkayu/kehutanan) kepada manusia/masyarakat (to serve people). Tidak tertutup kemungkinan bahwa kombinasi dimaksud juga didukung oleh permudaan alam dan satwa liar. Interaksi komponen agroforestri secara alami ini mudah diidentifikasi. Interaksi paling sederhana sebagai contoh, adalah peranan tegakan bagi penyediaan pakan satwa liar (a.l. buah-buahan untuk berbagai jenis burung), dan sebaliknya fungsi satwa liar bagi proses penyerbukan atau regenerasi tegakan, serta sumber protein hewani bagi petani pemilik lahan.Yang dibutuhkan dalam sistem agroforestri saat ini adalah sistem yang mengakomodir kepentingan rakyat yakni melibatkan berbagai elemen masyarakat terutama masyarakat dekat hutan. Dengan kata lain agroforestri dikatakan sistem yang ampuh jika juga dapat menyerap tenaga kerja serta menguntungkan secara ekonomis. Untuk itu jika dilihat lebih lanjut sistem agroforestri membutuhkan skema pengambilan keputusan yang matang agar nantinya diperoleh hasil yang maksimal. Kenali kesesuaian penggunaannya menurut jenis wilayahPahami keuntungan dan kekurangan dari masing-masing sistem

Pilih jenis agrofores system yang ingin di-aplikasikanHubungkan dengan Geo-Indikator mengenai pengaruh yang ditimbulkan manusia di dalamnya

Evaluasi aplikasi agroforest system

Gambar 3: Skema pengambilan keputusan Agroforest SystemSeperti yang tercatat dalam geo-indikator bahwasanya faktor manusia juga merupakan elemen penting dalam mensukseskan program agroforestri yang ada sehingga menimbulkan efek retasan yang bagus dimana tercipta partisipasi yang aktif dari masyarakat. Oleh karenanya aspek kebudayaan harus dapat ditarik lebih ke dalam pelaksanaan program agroforestri. Menurut Herawati (2011) pada awal-awal penerapan program ini telah terungkap bahwasanya kebijakan yang dibuat oleh Kementrian Kehutanan justru membingungkan dan sulit dilaksanakan pada tahap praktek[footnoteRef:18]. [18: BPTA Ciamis. Tanpa tahun. Tantangan dan Peluang dalam Penelitian Agroforestri. BPTA Ciamis. Ciamis. Hlm 34]

Sebenarnya terdapat beberapa contoh Agrosilvopastura di Indonesia, baik yang berada di Jawa maupun di luar Jawa. Contoh praktek agrosilvopastura yang luas diketahui adalah berbagai bentuk kebun pekarangan (home-gardens), kebun hutan (forest-gardens), ataupun kebun desa (village-forest-gardens), seperti sistem Parak di Maninjau (Sumatera Barat) atau Lembo dan Tembawang di Kalimantan, dan berbagai bentuk kebun pekarangan serta sistem Talun di Jawa[footnoteRef:19]. [19: Anonim. Jenis Agroforestri. Internet. acehpedia.org, diakses tanggal 22 Juli 2014]

KesimpulanPengembangan konsep agroforestri marupakan salah satu solusi dalam menyelesaikan permasalahan pertanian dan masalah kehutanan di Indonesia. Pengembangan agroforestri mempunyai prospek yang cukup baik dalam kontribusinya terhadap kesejahteraan masyarakat didalam dan sekitar hutan, serta menjaga keamanan dan kelestarian hutan bersama masyarakat didalam dan sekitar hutan. Konsep ini dilakukan dengan memberdayakan masyarakat sekitar hutan dengan budaya kearifan lokal. Kegiatan pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan menjadi sebuah keharusan agar seluruh program yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat dalam lingkup kehutanan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Konsep agroforestri secara keseluruhan menempatkan masyarakat sebagai subjek, yang secara aktif berupaya dengan daya dan kapasitas yang dimiliki untuk turut ikut aktif berperan serta dalam memecahkan permasalahan kebutuhan, menghadapi tantangan, dan memanfaatkan peluang kehidupan dalam pengelolaan dan pelestarian hutan.Sistem tumpangsari atau agroforestri yang diatur dengan baik akan meningkatkan kesuburan lahan yang berdampak pada peningkatan produktifitas tanaman. Sulitnya perluasan areal tanam dengan penambahan luas baku lahan terutama di Pulau Jawa, membuat kebijakan ini merupakan salah satu alternatif dalam perluasan areal pertanaman pangan, terutama di wilayah yang dominasi arealnya merupakan areal hutan. Agroforestri pada dasarnya digunakan untuk meminimalisir pemakaian lahan serta untuk memperoleh hasil yang maksmimal dari usaha kehutanan yang dilaksanakan untuk pembangunan berkelanjutan. Implementasi agroforestri selama ini juga memiliki peranan penting dalam aspek sosial budaya masyarakat setempat. Diharapkan dapat mengurangi tingkat kemiskinan masyarakat di sekitar hutan yang terbatas tingkat pendidikan, kesehatan dan akses.

SaranDalam implementasi agroforestri, masih dijumpai beberapa permasalahan yang perlu mendapat perhatian baik terkait dengan aspek teknis maupun sosial dan budaya. Misalnya saja budaya masyarakat desa didalam dan sekitar hutan pada umumnya memiliki kecenderungan yang hanya beradaptasi dan kurang menonjolkan adanya suatu pembaharuan, serta bekerja keras dalam sektor pertanian. Walaupun nilai postitif budaya suatu masyarakat pada hakekatnya tidak pernah bersifat statis, tetapi senantiasa bersifat dinamis sesuai dengan perkembangan waktu serta kebutuhan. Namun setidaknya beberapa kearifan lokal atau karakter budaya di Jawa baik nilai positif maupun negatif yang perlu diperhatikan berkaitan dengan kepedulian masyarakat hutan dapat dilihat sebagai berikut:Tabel 3. Karakter budaya di Jawa baik nilai positif maupun negatifSuku BangsaNilai PositifNilai Negatif

JawaAnggapan hutan merupakan daerah yang angker sehingga masyarakat dilarang melakukan hal-hal disosiatif disana. Selain itu tradisi nyadran tiap tahun yang diadakan untuk membersihkan lingkungan sekitar merupakan ciri khas masyarakat Jawa mencintai lingkungannya. Bahkan berkaitan dengan agroforestry masyarakat Jawa punya sistem tani talun yang berguna jika dikembangkan (acehpedia.org).Budaya komersialisasi lahan dengan anggapan bahwa semua pemberian Tuhan harus diolah secara nyata yang mengakibatkan banyak lahan-lahan yang mungkin subur namun memiliki kemiringan tinggi dibuat untuk pertanian dan budidaya sayuran

Orang SaminPandanganmasyarakatSaminterhadap lingkungan sangat positif, mereka memanfaatkanalam(misalnya mengambilkayu) secukupnya saja dan tidak pernah mengeksploitasi. Hal ini sesuai dengan pikiran masyarakat Samin yang cukup sederhana, tidak berlebihan dan apa adanya.Tanahbagi mereka ibarat ibu sendiri, artinya tanah memberi penghidupan kepada mereka. Sebagaipetani tradisionalmaka tanah mereka perlakukan sebaik-baiknya. Dalam pengolahan lahan (tumbuhan apa yang akan ditanam) mereka hanya berdasarkanmusimsaja.

Sunda dan Badui Hukum adat pikukuh merupakan tulang punggung utama masyarakat badui dalam membangun hubungan dengan lingkungan sekitarnya. Contoh nyatanya adalah pelarangan masuk hutan larangan (leuweung kolot) untuk menebang pohon, membuka ladang atau mengambil hasil hutan lainnya. Serta melarang menebang jenis pohon-pohon tertentu (anonim, 2009).Pelarangan teknologi kimia, misalnya menggunakan pupuk, dan obat pemberantas hama penyakit dan menuba atau meracuni ikan mungkin akan mengurangi produktivitas dari pertanian itu sendiri.

Dari ketiga suku bangsa atau adat yang ada di Jawa tersebut, masing-masing suku bangsa memiliki nilai budaya positif dan negatif yang berbeda-beda, tetapi dapat di sinkronisasi. Hal tersebut merupakan karakter budaya yang perlu untuk diperhatikan agar dampak positifnya akan jauh lebih besar bagi pembangunan berkelanjutan dan peningkatan pengentasan kemiskinan demi kesejahteraan masyarakat didalam hutan dan sekitar hutan. Dengan kata lain masyarakat bekerjasama dengan masyarakat sekitar hutan yang berada di daerah lain untuk saling tukar pikiran dan pengalaman tentang pengelolaan hutan, pengawasan pelestarian fungsi hutan agar generasi yang akan datang dapat menikmati keanekaragaman kehidupan didalam hutan dan pemanfaatan kekayaan sumber daya alam bisa diselamatkan dengan cara pengelolaan hutan secara berkelanjutan oleh masyarakat setempat dan keamanan yang terjamin demi kelangsungan hidup masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar hutan. Selain itu, perlu juga adanya sinkronisasi dengan program dari pemerintah pusat maupun daerah.

DAFTAR PUSTAKABukuBPTA Ciamis. Tanpa tahun. Tantangan dan Peluang dalam Penelitian Agroforestri. BPTA Ciamis. CiamisBudiman, A., Verbenasari, A., Salim, W., 1996. The identi"cation of phenomenon of Gerbangkertasusila mega-urban region and Malang-Surabaya Corridor. Undergraduate Thesis. Department of Regional and City Planning. Institute of Technology. Bandung, (in Indonesian).Djaenuddin, Deden. Beberapa Penyebab Terjadinya Alih Fungsi Kawasan Hutan Ke Non Hutan. Staff Peneliti Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan.Firman, Tommy. 1997. Rural to urban land conversion in Indonesia during boom and bust periods. Land Use Policy 17 (2000), 13-20.FWI/GFW. 2001. Keadaan Hutan Indonesia. Bogor , Indonesia: Forest Watch Indonesia dan Washington D.C.: Global Forest WatchHakim I, dkk. 2010. Social Forestry Menuju Restorasi Pembangunan Kehutanan Berkelanjutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Kampus Balitbang Kementerian Kehutanan : Bogor.Jayakumar, Ramasamy and Liu Ke. 2007. Geo-indicators in Sustainable Management of Geoparks. Natural Sciences Sector in,UNESCO. Geoparks Newsletter : Beijing.Kitamura, T. and E. Rustiadi. 1997. Indonesia Model. Center for Global Environmental Research. ISSN 1341-4356. CGER-1027-97.Nugraha, Agung. 2004. Menyonsong Perubahan Menuju Evitalisasi Sektor Kehutanan. Jakarta : Wirma AksaraSumargo, Wirendro.dkk.2011. Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode Tahun 2000-2009. Forest Watch Indonesia: JakartaSupriadi, 2011. Hukum Kehutan dan Hukum Perkebunan Di Indonesia. Jakarta : Sinar GrafikaWidianto, Kurniatun Hairiah, Didik Suharjito dan Mustofa Agung Sardjono. 2003. Fungsi dan Peran Agroforestri. World Agroforestry Centre (ICRAF) : Bogor.Young, Anthony. 1989. Agroforestry for Soil Conservation. CAB International: Wallingford, Inggris.

MakalahMasnyur,dkk. Silvapastura sebagai Suatu Jawaban untuk Penyediaan Hijauan Pakan dalam Pengembangan Sapi Perah. Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas 2020. Universitas Padjajaran Bandung. Tanpa TahunSuhartini. Kajian Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 16 Mei 2009.

JurnalFP UB. Pengembangan dan Penguatan Agroforestri Berbasis Pemberdayaan Masyarakat. Soemarno. Tanpa TahunPermana, RCE., Nasution, IP,. Gunawijaya, J. 2011. Kearifan lokal tentang mitigsi bencana pada masyarakat Baduy. Jurnal Makara, Sosial Humaniora: Volume 15 Nomor 1.Sunderliin, Resosudarmo. Laju dan Penyebab Deforestasi di Indonesia: Penelaahan Kerancuanan dan Penyelesaiannya. Vol. 1 No.9 Maret 1997

InternetAnonim, Sistem Budidaya Agroforestry Agrisilvikultur di Dusun Manggis, Desa Sukorambi, Kabupaten Jember. Internet. http://diarbeauxhommez.blogspot.com/2012/04/normal-0-false-false-false-in-x-none-x_02.html. Diakses tanggal 22 Juli 2014Anonim. Jenis Agroforestri. Internet. acehpedia.org, diakses tanggal 22 Juli 2014