192
FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BERAT BADAN TIDAK NAIK (2T) PADA BADUTA GAKIN SETELAH PEMBERIAN PROGRAM MP-ASI KEMENKES DI KECAMATAN PANCORAN JAKARTA SELATAN TAHUN 2011 Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H / 2011 M

Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

  • Upload
    ngodat

  • View
    229

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BERAT BADAN TIDAK NAIK (2T)

PADA BADUTA GAKIN SETELAH PEMBERIAN PROGRAM MP-ASI KEMENKES

DI KECAMATAN PANCORAN JAKARTA SELATAN

TAHUN 2011

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

Oleh :

M. ARBI RAMADHAN

NIM : 107101001526

PEMINATAN GIZI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1432 H / 2011 M

Page 2: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

ii

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

PEMINATAN GIZI

Skripsi, September 2011

M.Arbi Ramadhan, 107101001526

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Berat Badan Tidak Naik (2T) Pada Baduta

Gakin Setelah Pemberian Program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran

Jakarta Selatan Tahun 2011

xx + 122 halaman, 28 tabel, 2 bagan, 1 gambar, 1 diagram, 8 lampiran

ABSTRAK

Program Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) Kemenkes bertujuan untuk

meningkatkan status gizi bayi dan baduta yang mengalami gizi kurang maupun gizi

buruk dari keluarga miskin. MP-ASI yang diberikan berupa bubur untuk 6-11 bulan

dan berupa biskuit untuk 12-24 bulan. Jumlah baduta yang mengalami berat badan

tidak naik (2T) di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan sebanyak 60 baduta.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Faktor-faktor yang mempengaruhi

berat badan tidak naik (2T) pada baduta gakin setelah pemberian program MP-ASI

Kemenkes. Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder, dimana sampel

penelitian ini adalah 82 ibu baduta yang mendapatkan MP-ASI Kemenkes (biskuit)

untuk periode November 2010- Februari 2011. Penelitian ini menggunakan metode

kuantitatif dengan desain studi case control (1:1). Adapun variabel dependennya

yaitu berat badan tidak naik (2T) sedangkan variabel independennya yaitu ASI

Eksklusif, Lamanya pemberian MP-ASI Kemenkes, Riwayat penyakit infeksi dan

Pola Konsumi Makan (makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati,sayuran,buah dan

susu).

Hasil penelitian ini terdapat hubungan antara ASI Eksklusif dengan OR 3,485

CI 95% (1,380-8,798), Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes dengan OR 0,299 CI

95% (0,095-0,939), Riwayat Penyakit Infeksi dengan OR 3,071 CI 95% (1,174-

8,028) dan Pola Konsumsi Susu dengan OR 0,233 CI 95% (0,069-0,791) dengan

berat badan tidak naik (2T). Namun tidak terdapat hubungan antara Pola Konsumsi

Makan (makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayuran dan buah) dengan berat

badan tidak naik (2T). Adapun faktor yang paling dominan mempengaruhi yaitu ASI

Eksklusif (B = 6,152).

Sebaiknya adanya sosialisasi yang menyeluruh dan jelas terhadap program

MP-ASI Kemenkes, selain itu diperlukan personal hyiegene ibu, pengetahuan pola

makan yang baik dan bergizi serta kebersihan lingkungan rumah dalam

Page 3: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

ii

meningkatkan derajat kesehatan serta peningkatan frekuensi minum susu dan

pemberian ASI Eksklusif.

Daftar bacaan : 73 (1988-2011)

Page 4: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

ii

FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES

PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM

NUTRITION DEPARTEMENT

Undergraduate Thesis, September 2011

Ramadhan M.Arbi, NIM 107101001526

The Factors Influence No Weight Gain (2T) Improvement of Baduta’s Gakin

After Giving Complementary Feeding Program (MP-ASI) Ministry of Health

(Kemenkes) at Pancoran District South Jakarta Year 2011

xx + 122 pages, 28 tables, 2 charts, ,1 picture, 1 diagram, 8 attachments

ABSTRACT

Complementary Feeding Program (MP-ASI) Ministry of Health aims to improve the

nutritional status of infants and baduta who experience malnutrition from poor

families. Complementary Feeding Program (MP-ASI) Ministry of Health provided in

the form of porridge for 6-11 months and biscuits for 12-24 months. The number of

that baduta (2T) at Pancoran District South Jakarta reaches 60 babies.

The purpose of this study is to determine the factors influence no weight gain

improvement of Baduta’s Gakin after treatment of Complementary Feeding Program

(MP-ASI) Ministry of Health. This study used primary and secondary data, where

the sample of this study were 82 mothers who got Complementary Feeding Program

(MP-ASI) Kemenkes’s biscuit for the period November 2010 - February 2011. This

study used quantitative methods with case-control study design (1:1). The dependent

variable is no weight gain improvement while the independent variable is exclusive

breastfeeding, duration of MP-ASI Kemenkes, history of infectious diseases and

eating habit (staple food, animal side dish, vegetables, fruit and milk).

The results of this study is a relationship between exclusive breastfeeding with OR

3.485 and 95% CI (1.380 to 8.798), duration of provision of Complementary feeding

program (MP-ASI) Kemenkes with OR 0.299 and 95% CI (0.095 to 0.939), History

of Infectious Diseases with OR 3.071 and 95% CI (1.174 - 8.028) and the Pattern of

Milk Consumption with OR 0.233 and 95% CI (0.069 to 0.791) with no weight gain

improvement. But there is no relationship between Eating habit (staple foods, animal

side dishes, vegetables and fruits) with no weight gain improvement. The most

dominant factor affecting the exclusive breastfeeding (B = 6,152).

Page 5: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

ii

We recommend a thorough socialization of the program such as the clear goals of

MP-ASI Kemenkes, time frame providing porridge and biscuits and other clues as

well as the required personal hygienic for mother, knowledge of nutritious food and

hygienic environment in other to improve the health of society with the increasing

frequency of drinking milk and exclusive breastfeeding.

Reading List : 73 (1988-2011)

Page 6: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Judul Skripsi

FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BERAT BADAN TIDAK NAIK (2T)

PADA BADUTA GAKIN SETELAH PEMBERIAN PROGRAM MP-ASI KEMENKES

DI KECAMATAN PANCORAN JAKARTA SELATAN

TAHUN 2011

Telah disetujui, diperiksa dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi

Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, September 2011

Mengetahui,

Ratri Ciptaningtyas, SKM,S.Sn.Kes Dr.H. Arif Sumantri, SKM M.Kes

Pembimbing I Pembimbing II

Page 7: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Jakarta, 29 September 2011

Penguji I,

Ratri Ciptaningtyas, SKM, S.Sn.Kes

Penguji II,

Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M.Kes

Penguji III,

Dr. Helda, M.Kes

Page 8: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

iv

Riwayat Hidup Penulis

Data Pribadi

Nama Lengkap : M. Arbi Ramadhan

Tempat Tanggal Lahir : Bandar Lampung, 8 April 1989

Alamat Rumah : Jl. Dr. Samratulangi No. 15/52 Penengahan Tanjung

Karang Pusat Bandar Lampung 35112

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Islam

Email : [email protected]

Telepon : 085693514198 / 021-94119217

Riwayat Pendidikan

1995 – 2001 SD Kartika II-5 Bandar Lampung

2001 – 2004 SMP Negeri 2 Bandar Lampung

2004 – 2007 SMA Negeri 2 Bandar Lampung

2007 – 2011 Peminatan Gizi, Kesehatan Masyarakat, Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

Page 9: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

v

Pengalaman Organisasi

2004 – 2005 OSIS SMA Negeri 2 Bandar Lampung

2005 – 2006 OSIS SMA Negeri 2 Bandar Lampung

2007 – 2008 BEM Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta

2008 – 2009 BEM Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta

Pengalaman Bekerja

2004 – 2006 Penyiar Radio “Sore Ceria “ RRI Pro 2 Bandar Lampung

Februari 2011 Magang - Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan

Sie. Bagian Gizi Kesmas

Page 10: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

vi

LEMBAR PERSEMBAHAN

Dengan segala cinta dan ketulusan,

kupersembahkan karya sederhana ini untuk:

”... Allah akan Meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang

yang diberi ilmu pengetahuan beberapa Derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang

kamu kerjakan...”

(QS. Al-Mujadilah [58]:11)

“ Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…”

(QS.Al-Baqarah [2]:286)

Mama dan Papa tersayang yang telah membimbing dan mendoakanku di setiap sujudnya,

Mbak Diyan, Mbak Tyas dan Mbak Astrid yang selalu memberikan dukungan,

Almamaterku Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Page 11: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, atas

segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

ini yang berjudul “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Berat Badan Tidak Naik

(2T) Pada Baduta Gakin Setelah Pemberian Program MP-ASI Kemenkes di

Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011”. Shalawat dan salam senantiasa

tecurahkan kepada Rasulullah SAW yang telah menjadi suri tauladan bagi umatnya.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada :

1. Kedua orang tua, mama dan papa tersayang yang tak hentinya selalu memberikan

kasih sayang, semangat dan mendoakan saya di setiap waktunya.

2. Mbak Diyan dan Mas Anto, Mbak Tyas dan Mas Dedy, Keponakanku tersayang

R.Abid dan Mbak Astrid yang juga memberikan doa dan semangat.

3. (Alm) Mbah H.Sajadi yang memberikan doa dan pesan terakhir untuk penulis agar

melanjutkan pendidikan ke Strata (S-2). Insya Allah Mbah.

4. Prof. Dr (hc). dr. M. K. Tadjudin, Sp.And selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan

Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Bapak dr. Yuli Prapanca Satar, MARS selaku Kepala Program Studi Kesehatan

Masyarakat FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Ibu Ratri Ciptaningtyas, SKM,S.Sn.Kes selaku Pembimbing I yang telah

memberikan banyak arahan dan masukan serta bimbingannya.

7. Bapak Dr.H.Arif Sumantri,SKM,M.Kes selaku Pembimbing II yang memberikan

masukan dan arahan.

Page 12: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

viii

8. Dr. Helda, M.Kes selaku penguji yang banyak memberikan ilmu dan masukan.

9. Ibu Meilani, M.Epid yang banyak memberikan bantuan dan masukan.

10. Ibu Febrianti, M.Si selaku penanggung jawab peminatan gizi dan seluruh dosen

Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

11. Seluruh Seksi Kesmas Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan, Kepala Puskesmas

Kecamatan Pancoran, Ibu Merry selaku penanggung jawab gizi PKM Kecamatan

Pancoran serta semua kader kesehatan PKM Pancoran dan Posyandu-Posyandu

yang telah memberikan banyak bantuan.

12. Semua ibu baduta yang berkenan menjadi responden dan sangat membantu dalam

penelitian kali ini.

13. Besties Siska untuk bantuannya saat penyebaran kuesioner penelitian.

14. Besties Yuni, Tamalia, Pipit, dan Ika untuk persahabatan dengan suka duka canda

tawa, bantuan, semangat dan doa selama ini.

15. Sobat Nancy, S.Ked, Mareisca, SE, dan Ardela yang memberikan doa, bantuan

dan semangat, serta rekan Ami Najmi untuk semua bantuannya.

16. OPUS’ Oktober 2011 (Pipit, Ika, Memeng, Zulfa, Rian, Ami, Fitri, Ida, Meli, Lisa,

Ratih, Ovi, Bella, Aan, dan Agung) suka duka, semangat kita membuahkan hasil

“Wisuda Pertama Angkatan 2007”

17. Teman-teman seperjuangan; Gizi dan K3 angkatan 2007 tetap semangat dan sabar,

yakinlah dibalik kesulitan pasti ada kebahagiaan yang telah menanti kita semua.

Ayo segera menyusul kawan !!!

18. ALDN untuk doa dan semangatnya, terima kasih.

Page 13: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

ix

19. Dan semua pihak yang belum sempat disebutkan satu per satu , terima kasih atas

bantuannya dan segalanya.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih sangat jauh dari

sempurna, dengan segala kerendahan hati penulis menerima kritik dan saran demi

kemajuan dimasa yang akan datang. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua

pihak. Amin..

Jakarta, September 2011

Penulis

Page 14: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

x

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PERNYATAAN…………………………………………… i

ABSTRAK .............................................................................................. ii

PERNYATAAN PERSETUJUAN……………………………………. iii

RIWAYAT HIDUP PENULIS………………………………………… iv

LEMBAR PERSEMBAHAN ................................................................

KATA PENGANTAR ………………………………………………….

vi

vii

DAFTAR ISI …………………………………………………………… x

DAFTAR TABEL ……………………………………………………… xiv

DAFTAR BAGAN ……………………………………………………...

DAFTAR GAMBAR ...............................................................................

DAFTAR GRAFIK .................................................................................

DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................

xvii

xviii

xiv

xx

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………… 1

1.1 Latar Belakang ………………………………………….....

1.2 Rumusan Masalah ................................................................

1.3 Pertanyaan Penelitian ...........................................................

1

7

8

1.4 Tujuan …………………………………………………….. 9

1.2.1 Tujuan Umum …………………………………….... 9

1.2.2 Tujuan Khusus …………………………………….. 9

1.5 Manfaat…………………………………………………… 10

1.6 Ruang Lingkup Penelitian .................................................... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………….....

12

2.1 Berat Badan ......……………………………………………. 12

2.1.1 Pertumbuhan dan Perkembangan …………………… 12

2.1.2 Berat Badan Menurut Umur (BB/U)..………….......... 13

2.2 Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) …………………… 14

2.2.1 Tujuan Pemberian MP-ASI……………….................. 15

2.2.2 Resiko Pemberian MP-ASI Terlalu Dini .................... 16

2.3 Prosedur Mutu MP-ASI Kemenkes ……………………….. 19

2.3.1 Sasaran MP-ASI ……………………………………. 19

Page 15: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

xi

2.3.2 Pengadaan MP-ASI ……………………………….... 19

2.3.3 Pemberian MP-ASI......................................................

2.3.4 Spesifikasi MP- ASI Bubur & Biskuit ........................

2.3.8 Cara Menghidangkan MP-ASI ...................................

19

20

29

2.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Status Gizi Balita……

2.4.1 Karakteristik Keluarga ...............................................

a. Pendidikan Ibu ........................................................

b. Pendapatan Keluarga ..............................................

2.4.2 Pola Asuh ....................................................................

a. Pemberian ASI ........................................................

b. ASI Eksklusif .......................................................

2.4.3 Karakteristik Anak ....................................................

a. Cakupan Imunisasi ..................................................

b. Penimbangan .........................................................

2.4.4 Penyakit Metabolisme Bawaan ...............................

2.4.5 Pola Konsumsi Makanan (Asupan Zat Gizi) ..............

2.4.6 Riwayat Penyakit Infeksi ............................................

30

30

30

32

33

33

37

39

39

43

44

45

45

2.5 Penilaian Konsumsi Makanan .......………….......................

2.6 Kerangka Teori .....................................................................

47

50

BAB III Kerangka Konsep……………………….................................. 53

3.1 Kerangka Konsep ...................................………………....... 53

3.2 Definisi Operasional .....................……………....................

3.3 Hipotesis ................................................................................

55

57

BAB IV Metodologi Penelitian .............................................................. 58

4.1 Desain Penelitian ................................................................... 58

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................

4.3 Populasi .................................................................................

4.4 Sampel Penelitian ..................................................................

4.5 Pengumpulan Data ................................................................

4.6 Instrumen Penelitian .............................................................

4.7 Uji Coba Kuesioner ............................................................

4.8 Pengolahan Data ...................................................................

4.9 Analisis Data .........................................................................

1. Univariat .............................................................................

2. Bivariat ...............................................................................

3. Multivariat ..........................................................................

58

58

59

62

63

63

66

67

67

67

68

Page 16: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

xii

BAB V Hasil Penelitian ...........................................................................

5.1 Gambaran Umum Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan.......

5.2 Analisis Univariat .................................................................

5.2.1 Gambaran ASI Eksklusif ............................................

5.2.2 Gambaran Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes

5.2.3 Gambaran Riwayat Penyakit Infeksi ..........................

5.2.3 Gambaran Pola Konsumsi Makan ..............................

a. Makanan Pokok ......................................................

b. Lauk Hewani ..........................................................

c. Lauk Nabati ............................................................

d. Sayuran ...................................................................

e. Buah ........................................................................

f. Susu ........................................................................

5.3 Analisis Bivariat ....................................................................

5.3.1 Hubungan antara ASI Eksklusif dengan 2T ................

5.3.2 Hubungan Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes

dengan 2T ...................................................................

5.3.3 Hubungan Riwayat Penyakit Infeksi dengan 2T ........

5.3.4 Hubungan Pola Konsumsi Makan dengan 2T ............

a. Makanan Pokok ......................................................

b. Lauk Hewani ..........................................................

c. Lauk Nabati ............................................................

d. Sayuran ...................................................................

e. Buah ........................................................................

f. Susu ........................................................................

5.4 Analisis Multivariat ............................................................

5.4.1 Pemilihan Kandidat Multivariat .................................

5.4.2 Pembuatan Model .....................................................

5.4.3 Pengujian Interaksi ......................................................

5.4.4 Tahap Akhir ..............................................................

BAB VI Pembahasan .............................................................................

6.1 Keterbatasan Penelitian .........................................................

6.2 Gambaran 2T di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan ........

6.3 Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi 2T pada

Baduta Gakin Setelah Pemberian Program MP-ASI

Kemenkes di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun

2011 ......................................................................................

6.3.1 Hubungan antara ASI Eksklusif dengan 2T ................

71

71

72

72

73

73

74

75

75

76

76

77

77

77

78

79

80

82

82

83

84

85

86

88

89

89

90

90

91

94

94

95

96

96

Page 17: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

xiii

6.3.2 Hubungan Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes

dengan 2T ...................................................................

6.3.3 Hubungan Riwayat Penyakit Infeksi dengan 2T ........

6.3.4 Hubungan Pola Konsumsi Makan dengan 2T ............

a. Makanan Pokok ......................................................

b. Lauk Hewani ..........................................................

c. Lauk Nabati ............................................................

d. Sayuran ...................................................................

e. Buah ........................................................................

f. Susu ........................................................................

6.4 Analisis Faktor Yang Paling Dominan Mempengaruhi 2T

pada Baduta Gakin Setelah Pemberian Program MP-ASI

Kemenkes di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun

2011 .................................................................................

BAB VII Penutup .................................................................................

7.1 Kesimpulan .....................................................................

7.2 Saran ...................................................................................

98

101

105

108

109

109

110

111

111

115

119

119

121

Daftar Pustaka…………………………………………………………..

Page 18: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Kandungan Zat Gizi MP-ASI Bubur 21

Tabel 2.2 Kandungan Zat Gizi MP-ASI Biskuit 25

Tabel 4.1

Tabel 4.2

Tabel 5.1

Tabel 5.2

Tabel 5.3

Tabel 5.4

Tabel 5.5

Tabel 5.6

Tabel 5.7

Tabel 5.8

Tabel 5.9

Tabel 5.10

Pemilihan Sampel di Kecamatan Pancoran Jakarta

Selatan Tahun 2011

Hasil Uji Validitas dan Rebilitas Kuesioner

Luas Wilayah dan Jumlah RT/RW se-Kecamatan

Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2010

Jumlah KK dan Jumlah Penduduk se-Kecamatan

Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2010

Distribusi ASI Eksklusif di Kecamatan Pancoran

Jakarta Selatan Tahun 2011

Distribusi Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes

di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011

Distribusi Riwayat Penyakit Infeksi di Kecamatan

Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011

Distribusi Pola Konsumsi Makanan Pokok di

Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011

Distribusi Pola Konsumsi Lauk Hewani di

Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011

Distribusi Pola Konsumsi Lauk Nabati di Kecamatan

Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011

Distribusi Pola Konsumsi Sayuran di Kecamatan

Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011

Distribusi Pola Konsumsi Buah di Kecamatan

Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011

62

65

71

72

72

73

74

75

75

76

76

77

Page 19: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

xv

Tabel 5.11

Tabel 5.12

Tabel 5.13

Tabel 5.14

Tabel 5.15

Tabel 5.16

Tabel 5.17

Tabel 5.18

Tabel 5.19

Tabel 5.20

Distibusi Pola Konsumsi Susu di Kecamatan

Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011

Analisis Hubungan ASI Eksklusif dengan Berat

Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran

Jakarta Selatan Tahun 2011

Analisis Hubungan Lamanya Pemberian MP-ASI

Kemenkes dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) di

Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011

Analisis Hubungan Riwayat Penyakit Infeksi dengan

Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran

Jakarta Selatan Tahun 2011

Analisis Hubungan Pola Konsumsi Makanan Pokok

dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan

Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011

Analisis Hubungan Pola Konsumsi Lauk Hewani

dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan

Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011

Analisis Hubungan Pola Konsumsi Lauk Nabati

dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan

Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011

Analisis Hubungan Pola Konsumsi Sayuran dengan

Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran

Jakarta Selatan Tahun 2011

Analisis Hubungan Pola Konsumsi Buah dengan

Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran

Jakarta Selatan Tahun 2011

Analisis Hubungan Pola Konsumsi Susu dengan

Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran

Jakarta Selatan Tahun 2011

77

78

79

81

82

83

84

86

87

88

Page 20: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

xvi

Tabel 5.21

Tabel 5.22

Tahap 5.23

Tahap 5.24

Hasil Analisis Multivariat Regresi Logistik Berganda

Tahap Pertama

Hasil Analisis Multivariat Regresi Logistik Berganda

Tahap Kedua

Hasil Analisis Uji Interaksi

Model Akhir Multivariat Regresi Logistik Berganda

89

90

91

92

Page 21: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

xvii

DAFTAR BAGAN

Halaman

2.1

3.1

Kerangka Teori

Kerangka Konsep

52

54

Page 22: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

xviii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

2.1

Gambar MP-ASI Kemenkes (biskuit)

24

Page 23: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

xix

DAFTAR DIAGRAM

Halaman

6.1

Diagram Proporsi Sampel Baduta 2T dan Non 2T di

Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011

96

Page 24: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

xx

DAFTAR LAMPIRAN

1 Surat Pengajuan Penelitian ke Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan

2

3

4

Surat Penelitian ke Puskesmas Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan

Kuesioner Penelitian

Form FFQ Kualitatif

5 Hasil Output SPSS Univariat

6 Hasil Output SPSS Bivariat

7 Hasil Output SPSS Multivariat

8 Daftar Nama Register Pendistribusian MP-ASI Kemenkes Kecamatan

Pancoran Jakarta Selatan (November 2010-Februari 2011)

Page 25: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tantangan utama dalam pembangunan suatu bangsa adalah pembangunan

sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas yang sehat, cerdas dan produktif.

Pencapaian pembangunan manusia yang diukur dengan Indeks Pembangunan

Manusia (IPM) belum menunjukkan hasil yang menggembirakan dalam tiga

dasawarsa terakhir. Pada tahun 2003, IPM Indonesia masih rendah yaitu berada

pada peringkat 112 dari 174 negara, lebih rendah dari negara-negara tetangga.

Rendahnya IPM ini sangat dipengaruhi oleh rendahnya status gizi dan status

kesehatan penduduk. Hal ini antara lain terlihat dari masih tingginya angka

kematian bayi sebesar 35/100.000 kelahiran hidup dan angka kematian balita

sebesar 58/100.000 kelahiran hidup serta angka kematian ibu 307/100.000 kelahiran

hidup. Lebih dari separuh kematian bayi dan anak balita disebabkan oleh buruknya

status gizi anak balita (Azwar, 2004).

Arah dan kebijakan pembangunan bidang kesehatan, diantaranya

menyebutkan bahwa pembangunan kesehatan diarahkan untuk mempertinggi derajat

kesehatan. Salah satu faktor yang menentukan tingkat kesehatan dan kesejahteraan

manusia adalah gizi. Gizi merupakan faktor penting yang memegang peranan dalam

Page 26: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

2

siklus kehidupan manusia terutama bayi dan anak yang nantinya akan menjadi

generasi penerus bangsa (Depkes, 2002).

Bayi atau balita yang kurang gizi memiliki resiko kematian yang tinggi dan

jika dapat bertahan hidup sering mengalami sakit dan perkembangan fisik maupun

mentalnya terganggu. Kurang gizi merupakan penyebab tingginya kematian balita

sebesar 60% dari kematian balita setiap tahunnya. Dua per tiga dari kematian ini

berkaitan dengan kebiasaan makan yang tidak benar yang terjadi pada tahun

pertama umur bayi (WHO dan UNICEF, 2003).

Secara nasional prevalensi gizi kurang dan gizi buruk di Indonesia masih

tinggi. Pada tahun 2005 tercatat 1,03% dari jumah penduduk mengidap gizi buruk,

kemudian naik menjadi 2,10% pada tahun 2006, dan kembali melonjak menjadi

3,48% pada tahun 2007 (Depkes, 2008).

Dari hasil beberapa penelitian menyatakan bahwa keadaan kurang gizi pada

bayi dan anak disebabkan karena kebiasaan pemberian Makanan Pendamping ASI

yang tidak tepat. Ketidaktauan tentang cara pemberian makanan bayi dan anak serta

adanya kebiasaan yang merugikan kesehatan, secara langsung dan tidak langsung

menjadi penyebab utama terjadinya masalah kurang gizi pada anak, khususnya pada

anak (baduta) usia dibawah 2 tahun (Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan

Sosial RI, 2000).

Dalam Global Strategy for Infant and Young Child Feeding untuk mencapai

tumbuh kembang optimal, WHO/UNICEF (2001) merekomendasikan empat hal

penting yang harus dilakukan yaitu, pertama memberikan ASI kepada bayi segera

dalam waktu 30 menit setelah bayi lahir, kedua memberikan hanya ASI saja atau

Page 27: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

3

pemberian ASI secara eksklusif sejak lahir sampai bayi berusia 6 bulan, ketiga

memberikan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) sejak bayi berusia 6 bulan

sampai 24 bulan, dan keempat meneruskan pemberian ASI sampai anak berusia 24

bulan atau lebih (Depkes, 2006).

WHO dan UNICEF menganjurkan ibu untuk tetap menyusui anaknya sampai

usia 2 tahun. Penelitian yang dilakukan pakar-pakar laktasi di WHO

mengungkapkan bahwa pemberian ASI di saat anak > 1 tahun tetap memberikan

nutrisi yang tidak ternilai harganya. Karena pemberian ASI pada batita memberikan

manfaat seperti: 31% kebutuhan energi anak, 38% kebutuhan protein anak, 45%

kebutuhan vitamin A anak, 95% kebutuhan vitamin C anak (WHO, 2003).

Menurut WHO (2009) cara terbaik dalam mencegah kekurangan nutrisi dan

kematian para bayi dan anak- anak adalah dengan memastikan mereka telah

memperoleh ASI dimulai dalam jangka 1 (satu) jam setelah kelahiran, lalu ASI

Ekslusif (tanpa disertai makanan atau cairan maupun air sekalipun selain hanya ASI

saja) hingga usia 6 (enam) bulan, kemudian dilanjutkan dengan pemberian ASI yang

disertai tambahan makanan pelengkap yang tepat hingga 2 (dua) tahun atau lebih.

Bahkan dalam situasi darurat pun, pemberian ASI tetap terus dianjurkan diberikan

secara berkala dan berkesinambungan hingga sedikitnya usia 2 (dua) tahun. Hal

tersebut telah sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al-Quran sebagai berikut:

Page 28: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

4

“ Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh,

bagi yang ingin menyusui dengan sempurna....... (QS. Al-Baqarah: 233).

Berdasarkan Kitab Tafsir Tafsir Al-wasith, karya Muhammad Sayid

Thonthowi, Juz 1 hal 532, yang dimaksud dengan dua tahun penuh yaitu seperti

yang dikatakan Al-Raghib yaitu merubah sesuatu dan melepaskannya (menyapih).

Batasan dua tahun bukan merupakan batasan kewajiban karena masih

diperbolehkan menyapih sebelum dua tahun. Pada ayat yang ini, para ibu hendaklah

menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh. Telah jelas bahwa merupakan

bentuk perlindungan dari Allah kepada manusia sejak kelahirannya. Bahkan sejak

manusia dibentuk di perut ibunya menjadi sebuah janin. Maka Allah memerintahkan

kepada manusia untuk menyusui anaknya selama dua tahun. Karena ASI adalah

sebaik-baiknnya makanan bagi anaknya. Serta berguna untuk menjaga kesehatan

dan melindungi dari serangan penyakit karena bayi rentan terserang berbagai

penyakit baik penyakit jasmani, rohani, dan jiwa.

Pada usia 0-24 bulan merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang

pesat, sehingga sering diistilahkan sebagai periode emas sekaligus periode kritis.

Periode emas dapat diwujudkan apabila pada masa ini, bayi dan anak memperoleh

asupan gizi yang sesuai untuk tumbuh kembang optimal. Sebaliknya apabila bayi

dan anak pada masa ini tidak memperoleh makanan sesuai kebutuhan gizinya, maka

Page 29: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

5

periode emas akan berubah menjadi periode kritis, yang akan menggangu tumbuh

kembang bayi dan anak, baik pada saat ini maupun masa selanjutnya (Depkes,

2006).

Dalam mencapai target Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan

Menengah Nasional (RPJPMN) bidang Kesehatan, dilakukan sejumlah kegiatan

yang bertumpu kepada perubahan perilaku dengan cara mewujudkan Keluarga

Sadar Gizi (Kadarzi). Melalui penerapan perilaku Keluarga Sadar Gizi, keluarga

didorong untuk memberikan ASI eksklusif pada bayi sejak lahir sampai berusia 6

bulan dan memberikan MP-ASI yang cukup dan bermutu kepada bayi dan anak usia

6-24 bulan. Bagi keluarga mampu, pemberian MP-ASI yang cukup dan bermutu

relatif tidak bermasalah. Pada keluarga miskin, pendapatan yang rendah

menimbulkan keterbatasan pangan di rumah tangga yang berlanjut kepada

rendahnya jumlah dan mutu MP-ASI yang diberikan kepada bayi dan anak. Maka

Depkes RI membagikan MP-ASI berupa bubur dan biskuit pada balita gakin yang

mengalami kekurangan gizi maupun gizi buruk di seluruh Indonesia, dengan tujuan

untuk meningkatkan status gizinya balita tersebut (Depkes, 2009).

Program perbaikan gizi yang bertujuan meningkatkan jumlah dan mutu MP-

ASI, selama ini telah dilakukan, diantaranya pemberian MP-ASI kepada bayi dan

anak usia 6 sampai 24 bulan dari keluarga miskin. Secara umum terdapat dua jenis

MP-ASI yaitu hasil pengolahan pabrik atau disebut dengan MP-ASI pabrikan dan

yang diolah di rumah tangga atau disebut dengan MP-ASI lokal (Depkes, 2006).

Dari beberapa penelitian dinyatakan bahwa keadaan kurang gizi pada bayi dan

anak disebabkan karena kebiasaan pemberian MP-ASI yang tidak tepat dan

Page 30: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

6

ketidaktahuan ibu tentang manfaat dan cara pemberian MP-ASI yang benar

sehingga berpengaruh terhadap pemberian MP-ASI. Selain itu faktor lain seperti

cakupan imunisasi, pendidikan ibu, status pekerjaan, dukungan keluarga serta peran

petugas kesehatan juga berpengaruh terhadap pemberian MP-ASI (Depkes, 2006).

Selain itu pemberian MP-ASI yang terlalu dini kepada bayi (kurang dari 6

bulan) akan memberikan beberapa resiko kepada bayi. Menurut Rahardjo (2006)

dalam Utami (2011) penyakit infeksi saluran nafas dan diare merupakan penyebab

utama kematian bayi. Hal tersebut dapat dicegah dengan pemberian MP-ASI secara

benar atau dengan kata lain menunda pemberian MP-ASI dini pada bayi.

Hasil survei Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta (2008) menunjukkan

bahwa beberapa faktor penyebab terjadinya gangguan tumbuh kembang bayi usia 6-

11 bulan dan anak usia 12-24 bulan (Baduta) di Indonesia adalah rendahnya mutu

Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) dan pola asuh pemberian makan

yang tidak tepat sehingga kebutuhan zat gizi tidak tercukupi khususnya energi dan

zat gizi mikro seperti Zat Besi (Fe) dan Seng (Zn).

Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan melakukan program MP-ASI menurut

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan

melakukan pendistribusian MP-ASI ke 10 kecamatan yang ada di wilayah Jakarta

Selatan kepada bayi berumur 6-11 bulan dan baduta berumur 6-24 bulan dari

keluarga miskin (Gakin) yang mengalami kasus gizi buruk maupun gizi kurang.

Sehingga setelah dilakukan program pemberian MP ASI diharapkan status gizi bayi

dan baduta tersebut menjadi lebih baik dengan melihat kenaikan berat badannya.

Tetapi pada kenyataannya masih adanya baduta yang berat badannya tidak naik (2T)

Page 31: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

7

dan ada pula yang berat badannya naik setelah pemberian MP-ASI Kemenkes

(Sudin Kesehatan Jakarta Selatan, 2011).

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Februari 2011

terhadap data sekunder mengenai laporan MP-ASI di Suku Dinas Kesehatan Jakarta

Selatan, di 10 kecamatan se- Jakarta Selatan. Prevalensi kasus baduta 2T tertinggi di

wilayah Pancoran sebesar 31,58% (60 baduta), Kebayoran Baru sebesar 27,84% (27

baduta), Kebayoran Lama sebesar 26,67% (48 baduta), Tebet sebesar 13,16% (5

baduta), Setiabudi sebesar 12,9% (4 baduta), Mampang sebesar 6,56% (4 baduta),

Jagakarsa sebsesar 5,08% (10 baduta), Pasar Minggu sebesar 3,45% (5 baduta),

Cilandak sebesar 3,33% (2 baduta) dan prevalensi terendah di wilayah

Pesanggrahan sebesar 3,12% (5 baduta). Sehingga penelitian dilakukan di

Kecamatan Pancoran dengan persentase terbesar yaitu 31,58%.

1.2 Rumusan Masalah

Pemberian ASI dan Makanan Pendamping ASI yang kurang tepat dapat

mengakibatkan kurang gizi pada balita. Sekitar 6,7 juta (27,3%) dari sejumlah balita

di Indonesia yang menderita kurang gizi dan 1,5 juta diantaranya menderita gizi

buruk sehingga Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengadakan program

MP-ASI kepada bayi dan baduta kepada keluarga miskin di Indonesia (Depkes,

2008).

Menurut Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta (2008), latar belakang

dilaksanakan pengadaan MP-ASI adalah angka kematian yang tinggi karena

penyakit infeksi yang diperberat dengan keadaan gizi buruk, krisis ekonomi,

Page 32: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

8

Standar Pelayanan Minimal (SPM) 100% dan untuk melindungi masyarakat dari

kekurangan gizi serta meningkatkan status gizi khususnya bayi dan balita umur 6-24

bulan dari keluarga miskin.

Keadaan gizi buruk dan kurang pada baduta yang tidak ditangani segera akan

berdampak buruk yang nantinya dapat berujung kematian. Sehingga dengan adanya

program MP-ASI Kemenkes diharapkan dapat memperbaiki status gizi baduta

gakin, terutama terhadap kenaikan berat badan. Tetapi pada kenyataanya di dalam

satu kecamatan masih terdapat baduta yang mengalami kenaikan berat badan dan

terdapat pula baduta yang tidak mengalami kenaikan berat badan dua bulan

berturut-turut atau dikenal dengan istilah 2T. Prevalensi tertinggi se-Jakarta Selatan

pada bulan November 2010- Februari 2011 untuk kasus 2T berada di wilayah

Pancoran yaitu sebesar 31,58% (60 baduta).

Sehingga melalui uraian tersebut, membuat peneliti tertarik meneliti Faktor-

faktor yang mempengaruhi berat badan tidak naik (2T) pada baduta gakin setelah

pemberian program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan

Tahun 2011.

1.3 Pertanyaan Penelitian

Apa saja yang menjadi Faktor-faktor yang mempengaruhi berat badan tidak

naik (2T) pada baduta gakin setelah pemberian program MP-ASI Kemenkes di

Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011 ?

Page 33: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

9

1.4 Tujuan

1.4.1 Tujuan Umum

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Faktor-faktor yang

mempengaruhi berat badan tidak naik (2T) pada baduta gakin setelah

pemberian program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta

Selatan Tahun 2011.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Diketahuinya gambaran pemberian ASI Eksklusif pada baduta setelah

pemberian program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta

Selatan Tahun 2011

2. Diketahuinya gambaran lamanya pemberian program MP-ASI Kemenkes

pada baduta gakin di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011

3. Diketahuinya gambaran riwayat penyakit infeksi pada baduta gakin

setelah pemberian program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran,

Jakarta Selatan Tahun 2011

4. Diketahuinya gambaran pola konsumsi makan (makanan pokok, lauk

hewani, lauk nabati, sayuran, buah dan susu) pada baduta gakin setelah

pemberian program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta

Selatan Tahun 2011

5. Diketahuinya hubungan antara pemberian ASI Eksklusif dengan berat

badan tidak naik (2T) pada baduta gakin setelah pemberian program MP-

ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011

Page 34: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

10

6. Diketahuinya hubungan antara lamanya pemberian program MP-ASI

Kemenkes dengan berat badan tidak naik (2T) pada baduta gakin di

Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011

7. Diketahuinya hubungan antara riwayat penyakit infeksi dengan berat

badan tidak naik (2T) pada baduta gakin setelah pemberian program MP-

ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011

8. Diketahuinya hubungan antara pola konsumsi makan (makanan pokok,

lauk hewani, lauk nabati, sayuran, buah dan susu) dengan berat badan

tidak naik (2T) pada baduta gakin setelah pemberian program MP-ASI

Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011.

9. Diketahuinya faktor yang paling dominan mempengaruhi berat badan

tidak naik (2T) pada baduta gakin setelah pemberian program MP-ASI

Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Bagi Peneliti

Menambah wawasan, pengetahuan dan pengalaman serta sebagai sarana

bagi peneliti dalam mengaplikasikan berbagai ilmu di bidang kesehatan

masyarakat yang telah didapat selama bangku kuliah.

1.5.2 Bagi Institusi

Memberikan tambahan informasi dan bahan pertimbangan bagi peneliti

lain yang berminat untuk penelitian serupa di masa yang akan datang.

Page 35: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

11

1.5.3 Bagi Masyarakat

Memberikan informasi penting bagi masyarakat agar lebih

memperhatikan status gizi anaknya, dikhususkan pada keluarga miskin

(gakin) setelah pemberian MP-ASI terutama dalam hal kenaikan berat

badannya.

1.6 Ruang Lingkup

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui Faktor-faktor yang mempengaruhi

berat badan tidak naik (2T) pada baduta gakin setelah pemberian program MP-ASI

Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011. Pelaksanaan

penelitian ini dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2011 dengan subyek yang akan

diteliti yaitu ibu baduta dan baduta yang mendapatkan program MP-ASI Kemenkes

di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan. Data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah data primer dan data sekunder dari Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan

dan Puskesmas Kecamatan Pancoran. Penelitian ini dapat dijadikan bahan evaluasi

terhadap keberhasilan program MP-ASI Kementerian Kesehatan RI untuk wilayah

Jakarta Selatan, khususnya Pancoran. Karena di wilayah Pancoran paling banyak

jumlah baduta yang mengalami berat badan tidak naik (2T) setelah pemberian

program MP-ASI Kemenkes dibandingkan kecamatan lain se-Jakarta Selatan.

Penelitian yang dilakukan menggunakan metode kuantitatif dengan desain studi

case control.

Page 36: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Berat Badan

Berat badan dikatakan sebagai berat bobot (massa) tubuh seseorang. Berat

badan merupakan ukuran antropometri yang terpenting dan paling sering digunakan

pada bayi baru lahir. Berat badan digunakan untuk mendiagnosa bayi normal atau

BBLR. Pada masa bayi-balita, berat badan dapat dipergunakan untuk melihat laju

pertumbuhan fisik maupaun status gizi. Berat badan menggambarkan jumlah dari

protein, lemak, air dan mineral pada tulang (Supariasa, 2001).

Setiap manusia yang hidup mengalami proses tumbuh kembang. Proses

tumbuh kembang anak terdiri atas dua proses yang tidak dapat dipisahkan karena

saling mempengaruhi, yaitu proses pertumbuhan yang ditandai oleh semakin

besarnya ukuran tubuh (berat, tinggi badan, lingkar lengan atas, dan lainnya) dan

proses perkembangan yang ditandai oleh semakin bertambahnya kemampuan anak

(koordinasi gerakan, bicara, kecerdasan, pengendalian perasaan, interaksi dengan

orang lain dan sebagainya) (Santoso, 1999).

2.1.1 Pertumbuhan dan Perkembangan

Pada masa tumbuh kembang seorang anak, faktor genetik yang

dianggap sebagai penentu potensi bawaan berpengaruh dengan faktor

lingkungan yaitu antara lain infeksi, gizi, sosial, emosional, kultural, dan

politik (Santoso, 1999).

Page 37: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

13

Ada dua determinan yang saling berinteraksi dalam mempengaruhi

pertumbuhan bayi dan balita, yaitu faktor bawaan (genetic factor atau nature)

dan faktor lingkungan (environmental factors atau nurture). Faktor bawaan

mengacu pada faktor statik yang menyertai anak sejak pembuahan, sedangkan

faktor lingkungan lebih banyak terfokus pada kecukupan gizi dan kesehatan

bayi dan balita (Satoto, 1997).

Pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran fisik (anatomi) dan struktur

tubuh. Pertumbuhan lebih ditekankan pada pertambahan fisik seseorang, yaitu

menjadi lebih besar atau lebih matang bentuknya, seperti pertambahan berat

badan, tinggi badan, dan lingkar kepala (Nursalam, 2005). Berdasarkan

definisi The British Medical Dictionary, pertumbuhan merupakan

perkembangan progresif dari makhluk hidup dari tahap paling awal sampai

dewasa, termasuk pertambahan dalam ukuran (Hurlock, 1997).

Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dan struktur/fungsi

tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur, dapat diperkirakan, dan

diramalkan sebagai hasil dari proses diferensiasi sel, jaringan tubuh, organ-

organ, dan sistemnya yang terorganisasi (IDAI, 2002 dalam Nursalam, 2005).

2.1.2 Berat Badan Menurut Umur (BB/U)

Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran

massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang

mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu

makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Berat badan

Page 38: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

14

adalah parameter antropometri yang sangat labil. Dalam keadaan normal,

dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi dan

kebutuhan zat gizi terjamin, maka berat badan berkembang mengikuti

pertambahan umur. Sebaliknya dalam keadaan yang abnormal, terdapat dua

kemungkinan perkembangan berat badan, yaitu dapat berkembang cepat atau

lebih lambat dari keadaan normal. Berdasarkan karakteristik berat badan ini

maka indeks berat badan per umur digunakan sebagai salah satu cara

pengukuran status gizi. Mengingat karakteristik berat badan yang labil, maka

indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini (Supariasa,

2001).

2.2 Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)

Makanan Pendamping ASI adalah makanan atau minuman yang mengandung

zat gizi, yang diberikan pada bayi atau anak usia 6-24 bulan guna memenuhi

kebutuhan gizi selain ASI (Depkes, 2006).

MP-ASI merupakan makanan peralihan dari ASI ke makanan keluarga.

Pengenalan dan pemberian MP-ASI harus dilakukan secara bertahap baik bentuk

maupun jumlahnya, sesuai dengan kemampuan bayi atau anak. Pemberian MP-ASI

yang cukup kualitas dan kuantitasnya penting untuk pertumbuhan fisik dan

perkembangan kecerdasan anak yang sangat pesat pada periode ini, tetapi sangat

diperlukan hygienitas dalam pemberian MP-ASI tersebut (Depkes, 2000).

Page 39: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

15

Menurut Brown et al.,(1998) sanitasi dan hygienitas MP-ASI yang rendah

memungkinkan terjadinya kontaminasi mikroba yang dapat meningkatkan risiko

atau infeksi lain pada bayi.

2.2.1 Tujuan Pemberian MP-ASI

MP-ASI diberikan sebagai pelengkap ASI sangat membantu bayi dalam

proses belajar makan dan kesempatan untuk menanamkan kebiasaan makan

yang baik. Pemberian makanan pelengkap bertahap dan bervariasi dari sari

buah segar, makanan lumat, makanan lembek dan akhirnya makanan padat

(Husaini, 1999 dalam Utami, 2011). Tujuan pemberian MP-ASI adalah untuk

menambah energi dan zat-zat gizi yang diperlukan bayi karena ASI tidak

dapat memenuhi kebutuhan bayi secara terus menerus. Dengan demikian

makanan tambahan diberikan untuk mengisi kesenjangan antara kebutuhan

nutrisi total pada anak dengan jumlah yang didapatkan dari ASI (WHO,

2003).

Menurut Ziegler et al.,(2000) pemberian MP-ASI pemulihan sangat

dianjurkan untuk penderita KEP, terlebih bayi berusia enam bulan ke atas

dengan harapan MP-ASI ini mampu memenuhi kebutuhan gizi dan mampu

memperkecil kehilangan zat gizi.

Adapun tujuan pemberian Makanan Pendamping ASI adalah (Persagi,

1994):

1. Melengkapai zat gizi yang kurang terdapat dalam ASI

Page 40: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

16

2. Mengembangkan kemampuan bayi untuk menerima bermacam

makanan dengan berbagai tekstur dan rasa

3. Mengembangkan kemampuan bayi untuk mengunyah dan menelan

4. Melakukan adaptasi terhadap makanan yang mengandung kalor

energi yang tinggi

2.2.2 Resiko Pemberian MP-ASI Terlalu Dini

Menurut Siahaan (2005), pemberian MP-ASI harus memperhatikan

angka kecukupan gizi (AKG) yang dianjurkan berdasarkan kelompok umur

dan tekstur makanan yang sesuai perkembangan usia balita. Terkadang ada

ibu-ibu yang sudah memberikannya pada usia dua atau tiga bulan. Padahal di

usia tersebut kemampuan pencernaan bayi belum siap menerima makanan

tambahan. Akibatnya banyak bayi yang mengalami diare.

Menurut Jahari et all. (2000), masalah gangguan pertumbuhan pada usia

dini yang terjadi di Indonesia diduga kuat berhubungan dengan banyaknya

bayi yang sudah diberi MP-ASI sejak usia satu bulan, bahkan sebelumnnya.

Pemberian MP-ASI terlalu dini juga akan mengurangi konsumsi ASI,

dan bila terlambat akan menyebabkan bayi kurang gizi. Sebenarnya

pencernaan bayi sudah mulai kuat sejak usia empat bulan. Pada bayi yang

mengonsumsi ASI, makanan tambahan dapat diberikan setelah usia enam

bulan. Selain cukup jumlah dan mutunya, pemberian MP-ASI juga perlu

Page 41: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

17

memperhatikan kebersihan makanan agar ank terhindar dari infeksi kuman

yang membuat gangguan pencernaan (Siahaan, 2005).

Umur yang paling tepat untuk memperkenalkan MP-ASI adalah enam

bulan. Pada umumnya kebutuhan nutrisi bayi yang kurang dari enam bulan

masih dapat dipenuhi oleh ASI. Tetapi, setelah berumur enam bulan bayi

umumnya membutuhkan energi dan zat gizi yang lebih untuk tetap bertumbuh

lebih cepat sampai dua kali atau lebih darti itu, disamping itu pada umur enam

bulan saluran cerna bayi sudah dapat mencerna sebagian makanan keluarga

seperti tepung (Albar, 2004).

Anshori (2002), dalam Utami (2011) melaporkan bahwa bayi yang

mendapat MP-ASI < empat bulan akan mengalami risiko gizi kurang lima kali

lebih besar dibandingkan bayi yang mendapatkan MP-ASI pada umur empat-

enam bulan setelah dikontrol oleh asupan energi dan melakukan penelitian

kohort selama empat bulan melaporkan pemberian MP-ASI terlalu dini (<

empat bulan) berpengaruh pada gangguan pertambahan berat badan bayi,

meskipun tidak berpengaruh pada gangguan pertambahan panjang bayi.

Pemberian makanan tambahan terlalu dini kepada bayi sering ditemukan

dalam masyarakat seperti pemberian pisang, madu, air tajin, air gula, susu

formula, dan makanan lain sebelum bayi berusia 6 bulan (Azwar, 2002).

Adapun resiko pemberian makanan tambahan terlalu dini, yaitu: jangka

pendek dan jangka panjang.

Page 42: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

18

1. Resiko Jangka Pendek

Resiko jangka pendek yang terjadi seperti mengurangi keinginan bayi

untuk menyusui sehingga frekuensi dan kekuatan bayi menyusui berkurang

dengan akibat produksi ASI berkurang. Selain itu pengenalan serelia dan

sayur-sayuran tertentu dapat mempengaruhi penyerapan zat besi dan ASI,

walaupun konsentrasi zat besi dalam ASI rendah, tetapi lebih mudah.

Pemberian makanan dini seperti pisang, nasi di daerah pedesaan di

Indonesia sering menyebabkan penyumbatan saluran cerna/diare serta

meningkatnya resiko terkena infeksi (Azwar, 2002)

2. Resiko Jangka Panjang

Resiko jangka panjang dihubungkan dengan obesitas, kelebihan

dalam memberikan makanan adalah resiko utama dari pemberian makanan

yang terlalu dini pada bayi. Konsekuensi pada usia-usia selanjutnya adalah

terjadi kelebihan berat badan ataupun kebiasaan makan yang tidak sehat.

Kandungan natrium dalam ASI yang cukup rendah (± 15mg/100ml)

namun, jika masukan dari diet bayi dapat meningkat drastis jika makanan

telah dikenalkan. Konsekuensi di kemudian hari akan menyebabkan

kebiasaan makan yang memudahkan terjadinya gangguan hipertensi. Selain

itu, belum matangnya sistem kekebalan dari usus pada umur yang dini

dapat menyebabkan alergi terhadap makanan (Azwar, 2002).

Page 43: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

19

2.3 Prosedur Mutu Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) Kemenkes

Adapun prosedur mutu untuk Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI)

bagi bayi 6-11 bulan dan baduta 12-23 bulan, BGM Gakin menurut Dinas

Kesehatan Provinsi DKI Jakarta Tahun 2008 adalah sebagai berikut:

2.3.1 Sasaran MP-ASI

Adapun sasaran pemberian MP-ASI yaitu:

1. Sasaran pemberian MP-ASI bubur adalah bayi usia 6-11 bulan dari

keluarga miskin

2. Sasaran pemberian MP-ASI biskuit adalah anak usia 12-24 bulan dari

keluarga miskin

3. Penentuan keluarga miskin sesuai kriteria keluarga miskin yang berlaku

2.3.2 Pengadaan MP-ASI

Pengadaan MP-ASI dapat dilakukan di tingkat Provinsi,

Kota/Kabupaten Administrasi, Puskesmas dan pihak lain yang tidak mengikat.

Sebagian dasar perencanaan pengadaan MP-ASI adalah data Baduta keluarga

miskin yang ada di suatu wilayah kerja Puskesmas Kecamatan/Kelurahan.

2.3.3 Pemberian MP-ASI

Jangka waktu pemberian MP-ASI diberikan selama 90 hari. Adapun

jumlah MP-ASI yang diberikan:

1. Untuk sasaran bayi umur 6-11 bulan akan mendapat MP-ASI

bubur sebanyak 100 gr/hari yang diberikan dalam 3 kali penyajian

per hari

Page 44: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

20

2. MP-ASI bubur dikemas dalam sachet ukuran 200 gram. Setiap

satu sachet dapat dikonsumsi selama 2 hari

3. Untuk sasaran anak umur 12-24 bulan akan mendapat MP-ASI

biskuit sebanyak 120 gr/hari

4. Biskuit dikemas dalam sachet roll dengan berat bersih 120 gr.

Setiap 7 rol dibungkus dalam satu palstik bertuliskan “untuk

dikonsumsi 1 minggu”

5. Sisa MP-ASI harus disimpan dengan baik, di ikat dan disimpan

dalam wadah yang kering dan bersih (kaleng, stoples atau lainnya)

2.3.4 Spesifikasi MP-ASI

2.3.4.1 MP-ASI Bubur

1. Nilai Gizi

Takaran saji = 30 gr ( 3 sendok makan )

Dalam 1 sachet 200 gr untuk 6 saji selama 2 hari

Komposisi:

a. Tepung Kedelai

b.Tepung beras putih

c. Sukrosa

d. Skim milk

e. Powder

f. Garan beryodium

g. Mineral

Page 45: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

21

h. Premix vitamin dan aroma rasa

Tabel 2.1

Kandungan Zat Gizi MP-ASI Bubur

Zat Gizi

Satuan

Kandungan

Per 100 gr Per saji

Energi Kkal 438,87 131,66

Protein Gram 19,62 5,89

Lemak Gram 12,4 3,72

Karbohidrat Gram 62,26 18,68

Air Gram 1,37 0,41

Vitamin

Vitamin A RE 335 100,5

Vitamin D µg 8,5 2,55

Vitamin E µg 3,6 1,08

Vitamin K µg 8,36 2,51

Vitamin B1 Mg 0,33 0,1

Vitamin B2 Mg 0,45 0,14

Vitamin B6 Mg 0,5 0,15

Vitamin B12 µg 0,09 0,03

Vitamin C Mg 31 9,3

Asam Folat µg 28,27 8,48

Niasin Mg 3,5 1,05

Asam Panthotenat Mg 1,75 0,53

Mineral

Besi Mg 10,55 35,22

Selenium µg 13,8 27,6

Seng Mg 5,2 26

Natrium Mg 245 21

Kalsium Mg 392 23,52

Iodium µg 62 18,6

Fosfor Mg 234 17,55

Sumber : Depkes, 2008

Page 46: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

22

2. Karakteristik Produk

a. Bentuk

MP-ASI bubuk instan berbentuk bubuk dengan distribusi partikel

95% lolos uji penyaringan 600 micrometer dan 100% lolos uji

penyaringan 1000 micrometer.

b. Konsistensi

MP-ASI bubuk instan bila dicampur dengan air akan

menghasilkan bubur halus tanpa gumpalan dengan kekentalan

yang memungkinkan pemberian dengan sendok.

c. Rasa

MP-ASI bubuk instan mempunyai tiga rasa yang disukai oleh

bayi yaitu : beras merah, kacang hijau dan pisang.

d. Kadaluarsa

MP-ASI bubuk instan aman dikonsumsi dalam waktu 24 bulan

setelah tanggal produksi.

3. Keamanan Pangan

a. Cemaran Mikro

Total Plate Count (TPC) atau Angka Lempeng

1.Total : tidak lebih dari 1,0 x 104 koloni per gram

Page 47: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

23

2.Coliforms : Most Probable Number (MPN) tidak

> 20/gr

3.Escheria coli : negatif/gr

4.Salmonella : negatif dalam 25 gr

5.Staphylococcus : negatif/gr

b. Cemaran Logam

1.Timbal : tidak lebih dari 1,14 ppm

2.Timah : tidak lebih dari 152 ppm

3.Raksa : tidak lebih dari 0,114 ppm

4.Tembaga : tidak lebih dari 5,0 ppm

5.Arsen : tidak lebih dari 0,38 ppm

4. Kemasan

1. Jenis kemasan adalah Metalized Plastic Food Grade

2. Berat bersih tiap kemasan 200 gr

3. Setiap 15 kemasan yang terdiri dari 3 rasa yaitu Beras Merah,

Kacang Hijau, dan Pisang masing-masing 5 kemasan @ 200 gr

dikemas lagi dalam satu kotak kardus

4. Pada kotak kardus terdapat keterangan: nama produk, tanggal

kadaluarsa, jumlah kemasan, petunjuk penyimpanan, petujuk

penanganan

Page 48: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

24

2.3.4.2 MP-ASI Biskuit

1. Nilai Gizi

Takaran saji = 40 gr (4 keping)

Dalam 1 sachet 120 gr untuk 3 saji selama 1 hari

Komposisi:

a. Tepung Terigu

b. Gula

c. Minyak nabati (antioksidan: askorbilpamitat, tokoferol)

d. Susu bubuk

e. Bahan pengembang (natrium bikarbonat, amonium bikarbonat)

f. Pengemulsi (lesitin kedelai)

f. Garam

g. Perasa susu

h. Premix vitamin

i. Mineral

Gambar 2.1

MP- ASI Kemenkes berupa biskuit

Page 49: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

25

Tabel 2.2

Kandungan Zat Gizi MP-ASI Biskuit

Zat Gizi

Satuan

Kandungan

Per 100 gr Per saji

Kalori Kkal 460 180,00

Lemak Total Gram 14,86 6

Asam Linoleat Gram 1,4 0,5

Karbohidrat Total Gram 72,31 29

Serat Makanan Grm 4,9 2

Gula Gram 15 6

Protein Gram 8,29 3

Vitamin

Vitamin A RE 350 140

Vitamin D µg 5 2

Vitamin E Mg 5 2

Thiamin µg 0,6 0,24

Riboflavin Mg 0,5 0,24

Niacin Mg 8 3,2

Vitamin B6 Mg 0,8 0,32

Asam Folat µg 40 16

Vitamin B12 µg 1 0,4

Mineral

Natrium Mg 80 32

Kalsium Mg 250 80

Besi Mg 6 2,4

Seng Mg 3 1,2

Selenium Mg 13 5,2

Iodium µg 70 28

Sumber: Depkes, 2008

2. Karakteristik Produk

a. Bentuk

MP-ASI biskuit berbentuk keping bundar berdiameter 5 s/d 6

cm, berat 10 gram per keping. Pada permukaan atas biskuit

tercantum tulisan “MP-ASI”

Page 50: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

26

b. Tekstur

MP-ASI Biskuit bertekstur renyah yang bila dicampur air

menjadi lembut.

c. Rasa

MP-ASI Biskuit mempunyai rasa manis gurih yang disukai anak.

d. Kadaluarsa

MP-ASI biskuit aman dikonsumsi dalam waktu 24 bulan setelah

tanggal produksi.

3. Keamanan Pangan

a. Cemaran Mikro

Total Plate Count (TPC) atau Angka Lempeng

1.Total : tidak lebih dari 1,0 x 104 koloni per gram

2.Coliforms : Most Probable Number (MPN) tidak

> 3/gr

4.Salmonella : negatif dalam 25 gr

5.Staphylococcus : tidak lebih dari 1,0 x 102 koloni per gram

b. Cemaran Logam

1.Timbal : tidak lebih dari 0,3 ppm

2.Timah : tidak lebih dari 40,0 ppm

3.Raksa : tidak lebih dari 0,03 ppm

Page 51: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

27

4.Tembaga : tidak lebih dari 5,0 ppm

5.Arsen : tidak lebih dari 0,1 ppm

4. Kemasan dan Label

1. Jenis kemasan adalah Metalized Plastic Food Grade

2. Berat bersih Tiap Kemasan 120 gram atau 12 keping

3. Setiap kemasam berisi 12 keping biskuit yang disusun dalam tray

yang mempunyai 2 ruang dengan ukuran diameter sesuai dengan

ukuran biskuit. Tray terbuat dari Polyetilen Food Grade

4. Setiap 7 kemasan @ 120 gr dikemas dalam satu plastik bening

bertuliskan “Untuk dikonsumsi 1 minggu”

5. Setiap 8 kemasan plastik bening kering berisi 7 kemasan @120

gram kemasan tersebut dikemas lagi dalam 1 kotak kardus. Pada

kotak kardus tercantum keterangan tentang: nama produk,

tanggal kadaluwarsa, jumlah kemasan, petunjuk penyimpanan,

petunjuk penanganan dan tulisan

“MP-ASI mengandung 10 vitamin dan 7 mineral yang

dibutuhkan anak”

6. Pelabelan harus sesuai dengan PP No.60 Tahun 1999 tentang

Label dan Iklan Pangan. Pada kemasan primer Metalized Plastic

Food Grade harus diacantumkan:

a. Nama produk Logi DEPKES RI dan tulisan “DEPKES” serta

tulisan “MP-ASI BISKUIT”. Urutan pencantuman dimulai

Page 52: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

28

dengan tulisan “Depkes”dibagian tengah atas, diikuti dengan

Logo Depkes RI dan tulisan “MP-ASI BISKUIT”.

Keseluruhan tulisan tersebut dicantumkan pada bagian utama

label dan menggunakan 1/3 bagian permukaan kemasan.

Selanjutnya semua tulisan didalam label berwarna hitam

kecuali lambang dan tulisan Depkes RI berwarna hijau

b. Keterangan tentang berat bersih, dicantumkan pada bagian

utama label

c. Daftar bahan yang digunakan

d. Informasi nilai gizi, mencantumkan nilai energi, lemak,

protein, karbohidrat, vitamin, dan mineral. Keterangan

tersebut dicantumkan per 100 gram dan per takaran saji, %

Anjuran Kecukupan Gizi (AKG) dicantumkan per takaran

saji. Format informasi gizi sesuai Pedoman Pencantuman

Informasi Nilai Gizi (BPOM RI, 2004)

e. Petunjuk penyiapan dalam bentuk gambar dan tulisan yang

jelas dan dimengerti

f. Petunjuk penyimpanan sebelum kemasan dibuka

g. Petunjuk penyimpanan setelah kemasan dibuka

h. Tanggal kadaluwarsa:”Baik digunakan sebelum Tanggal XX

Bulan XX Tahun XXXX. Penulisan tanggal kadaluwarsa

harus permanen (tidak bisa dihapus)

i. Kode produksi

Page 53: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

29

j. Nomor pendaftaran pangan (registrasi) mencantumkan tulisan

“BPOM RI MD : .....”

k. Pesan: “Berikan MP-ASI dan teruskan pemberian Air Susu

Ibu sampai anak usia 24 bulan”

l. Pesan: “ Hanya untuk usia 12-24 bulan” pada bagian utama

label

m. Pesan: “GRATIS”

n. Tulisan: “Halal” pada bagian utama label

o. Penjelasan tentang: “Tanda-tanda produk sudah tidak layak

konsumsi”

p. Cantumkan tulisan: “Mengandung 12 Vitamin dan 7 Mineral”

pada bagian utama label

q. Pesan: “Berikan MP-ASI dan teruskan pemberian Air Susu

Ibu sampai anak usia 24 bulan”

2.3.5 Cara Menghidangkan MP-ASI

a. MP-ASI Bubur

1. Cuci tangan dengan sabun terlebih dahulu

2. Persiapkan alat-alat dengan bersih

3. Tuangkan air matang hangat (kurang lebih 100 ml) dalam mangkok

kering dan bersih, lalu campurkan ± 30 gr MP-ASI atau sekitar 3

sendok makan

4. Aduk hingga rata

Page 54: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

30

5. Setiap hidangan hanya untuk 1 kali makan, apabila terdapat sisa harus

dibuang (jangan berikan pada waktu makan berikutnya)

6. Selama pemberian MP-ASI bubur, ASI dan makanan lainnya tetap

diberikan

b. MP-ASI Biskuit

1. Cuci tangan dengan sabun terlebih dahulu

2. Biskuit dapat langsung dikonsumsi atau terlebih dahulu ditambah air

dalam mangkok bersih sehingga dikonsumsi dengan menggunakan

sendok

3. Setiap 120 gr biskuit harus dihabiskan dalam sehari, jumlah dan waktu

pemberian pada setiap kali makan disesuaikan dengan kondisi dan

kemampuan anak

4. Selama pemberian MP-ASI biskuit, ASI dan makanan lainnya tetap

diberikan

2.4 Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Balita

2.4.1 Karakteristik Keluarga

a. Pendidikan Ibu

Tingkat pendidikan merupakan jenjang pendidikan terakhir yang

ditempuh seseorang dimana tingkat pendidikan merupakan suatu wahana

untuk mendasari sesorang berperilaku secara ilmiah. Pendidikan

merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan kecerdasan dan

keterampilan. Tinggi rendahnya pendidikan ibu erat kaitannya dengan

Page 55: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

31

tingkat pengertiannya terhadap perawatan kesehatan, pemberian makanan,

higyene, serta kesadaran terhadap kesehatan anak-anaknya (Ebrahim,

1996).

Menurut Kartono (1993), tingkat pendidikan ibu berpengaruh

terhadap keadaan gizi anak. Semakin tinggi pendidikan ibu semakin

cenderung mempunyai anak dengan keadaan gizi baik dan sebaliknya

semakin rendah pendidikan ibu semakin cenderung mempunyai anak

dengan keadaan gizi buruk.

Kurang pengetahuan dari orangtua mengenai pemberian makanan

yang banyak untuk tumbuh dan berkembang dengan baik membuat

anaknya tidak mendapat cukup protein dan energi. Karena keluarga dengan

tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah seringkali anaknya harus

puas dengan makanan seadanya yang tidak memenuhi kebutuhan gizi balita

hanya pada kualitas pengasuhan anak (Biddulph, et al. 1999).

Berdasarkan penelitian Sari (1999), terdapat hubungan bermakna

antara pendidikan ibu dengan status gizi balita. Status gizi kurang balita

lebih banyak terdapat pada ibu yang tidak tamat SD (45,7%) daripada ibu

yang tamat SMP (18,3%). Hal ini serupa juga didapatkan dari hasil

penelitian Hadi (2005), bahwa proporsi balita yang mengalami kekurangan

gizi lebih banyak ditemukan pada ibu balita yang mempunyai tingkat

Page 56: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

32

pendidikan rendah (32,8%) dibandingkan ibu balita dengan tingkat

pendidikan menengah (10%).

b. Pendapatan Keluarga

Pekerjaan ayah yang tetap, tingkat pendapatannya berbeda dengan

pekerjaan ayah yang tidak tetap. Menurut Hermina (1992), pendapatan

yang rendah menyebabkan keterbatasan dalam pemilihan dan penyediaan

konsumsi pangan keluarga dan balitanya.

Penghasilan keluarga akan turut menentukan hidangan keluarga baik

kualitas atau kuantitas (Supariasa, 2001). Di berbagai negara berkembang

termasuk Indonesia, masalah gizi kurang banyak diderita oleh penduduk

terutama golongan miskin, hal ini dikarenakan pekerjaan kepala

keluarganya tidak tetap dan pendapatan mereka tidak cukup untuk membeli

makanan yang bergizi.

Muthmainah, dkk (1996) menyatakan bahwa orang tua yang

berpenghasilan rendah cenderung mempunyai anak kekurangan gizi dan

tidak sehat. Hal ini didukung oleh penelitian Sihadi (1999), yang

menyatakan ada kaitan antara keadaan gizi balita dengan ekonomi rumah

tangga.

Page 57: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

33

2.4.2 Pola Asuh

a. Pemberian ASI

Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan yang paling cocok bagi bayi

serta mempunyai nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan makanan

bayi yang dibuat manusia ataupun susu hewan seperti susu sapi. Air susu

ibu sangat menguntungkan ditinjau dari berbagai segi, baik segi gizi,

kesehatan, ekonomi, maupun sosio-psikologis (Suharyono,dkk. 1992).

ASI merupakan makanan yang sempurna untuk bayi dan tidak ada

produk makanan pengganti ASI yang kualitasnya menyamai ASI. Hal ini

disebabkan karena ASI sehat, tidak mengandung kuman, memenuhi

sebagian kebutuhan metabolik bayi dan dapat mengurangi kemungkinan

sakit perut dan peradangan secara umum (Yenrina, 2006).

Menurut Depkes (1992), ASI mampu melindungi bayi dari penyakit

infeksi terutama diare karena ASI mempunyai kelebihan dibandingkan

dengan makanan pengantinya yaitu:

1. ASI bebas kontaminasi sehingga aman dikonsumsi bayi

2. Mengandung immunoglobulin yang dapat melumpuhkan bakteri

E.coli

3. Mengandung sel darah putih

4. Mengandung faktor bifidus, yaitu sejenis karbohidrat yang

mengandung nitrogen dan berperan untuk menunjang pertumbuhan

bakteri lactobacillus bifidus. Bakteri ini menjaga juga keasaman

Page 58: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

34

usus bayi dan berguna menghambat pertumbuhan bakteri yang

merugikan

Komposisi zat gizi yang terkandung dalam ASI dapat dijelaskan sebagai

berikut:

1. Lemak

ASI maupun susu sapi mengandung lemak yang cukup tinggi yaitu

sekitar 3,5%. Namun, keduanya mempunyai susunan lemak yang

berbeda. ASI lebih banyak mengandung asam lemak tak jenuh

sedangkan susu sapi lebih banyak mengandung asam lemak rantai

pendek dan asam lemak jenuh. Selain itu ASI mengandung asam

lemak omega-3 yang dibutuhkan untuk perkembangan otak. Alat

pencernaan bayi akan lebih cepat menyerap asam lemak tak jenuh

dibandingkan menyerap asam lemak jenuh. Oleh karena itu, lemak

ASI lebih cepat diserap oleh usus bayi dibandingkan lemak susu sapi

(Pudjiadi, 2000).

2. Protein

Kualitas protein dalam makanan tergantung pada susunan asam

amino dan mutu cernanya. Berdasarkan hasil penelitian, protein susu,

telur, daging dan ikan memiliki nilai gizi yang paling tinggi. Protein

susu dibagi menjadi dua golongan yaitu caseine dan whey.

Kebutuhan protein ASI pada bayi sekitar 1,8/kg berat badan. Sekitar

Page 59: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

35

80% susu sapi terdiri atas caseine yang sifatnya sangat mudah

menggumpal di lambung sehingga sulit untuk dicerna oleh enzim

proteinase (Yenrina, 2006).

3. Karbohidrat

Peranan karbohidrat terutama diperlukan untuk memenuhi kebutuhan

energi. Laktosa merupakan salah satu sumber karbohidrat yang

terdapat dalam ASI maupun susu sapi. ASI mengandung laktosa

sekitar 70% sedangkan kandungan laktosa dalam susu sapi hanya

sekitar 4,4% kadar laktosa yang tinggi mengakibatkan terjadinya

pertumbuhan Lactobacillus yang terdapat dalam usus utuk mencegah

terjadinya infeksi (Soetjingsih, 1997).

4. Mineral

Kandungan mineral dalam ASI lebih kecil dibandingkan dengan

kandungan mineral dalam susu sapi (1:4). Karena kandugan mineral

yang tinggi pada susus akan menyebabkan terjadinya beban osmolar

yaitu tingginya kadar mineral dalam tubuh (Pudjiadi, 2000).

5. Vitamin

Kadar vitamin dalam ASI diperoleh dari asupan makanan ibu yang

harus cukup dan seimbang. Kekurangan vitamin tersebut dapat

Page 60: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

36

mengakibatkan terganggunya kesehatan dan dapat menimbulkan

penyakit tertentu (Almatsier, 2001).

Kegunaan ASI dikarenakan kandungan zat kekebalan dan zat gizinya

bagi bayi, sehingga bisa mencegah anak dari gizi buruk atau infeksi. Zat

gizi dalam ASI cukup untuk memenuhi kebutuhan bayi dan sesuai dengan

saluran pencernaan, tidak ada bahaya alergi dan komposisi sesuai untuk

bayi. Bayi yang baru lahir sampai beberapa bulan pertama kehidupan

belum dapat membuat kekebalan sendiri secara sempurna. ASI merupakan

subtansi bahan hidup yang memberikan perlindungan baik secara aktif

maupun melalui pengaturan imunologis yang menyediakan perlindungan

yang unik terhadap infeksi dan alergi serta menstimuli perkembangan

sistem imunologi bayi itu sendiri serta bayi yang diberikan ASI jarang sakit

(WHO, 1999).

Terjadinya kurang gizi, erat kaitanya dengan produksi ASI maupun

lamanya pemberian ASI. Tidak diberikannya atau terlalu cepatnya bayi

disapih akan memperbesar kemungkinan keadaan gizi kurang. Bayi hanya

diberi ASI saja pada usia 0-6 bulan karena produksi ASI pada periode

tersebut sudah dapat mencukupi kebutuhan bayi untuk tumbuh kembang

yang sehat (Depkes, 2003).

Pada keadaan normal, ASI mampu memberikan zat gizi yang cukup

bagi pertumbuhan bayi sampai umur enam bulan. Tetapi untuk mengetahui

Page 61: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

37

cukup tidaknya kemampuan produksi ASI, tidak hanya menggunakan

ukuran volume atau banyaknya ASI. Tanda-tanda lapar atau kepuasan anak

khususnya,dengan melihat laju pertumbuhan berat badan merupakan

indikator yang lebih baik untuk mengetahui cukup tidaknya ASI (Yenrina,

2006).

Menurut WHO (1998) dalam Mutiara (2006), bayi sampai umur

enam bulan tetap tumbuh normal dan sehat dengan hanya diberi ASI.

Setelah bayi umur enam bulan MP-ASI harus diberikan karena kebutuhan

gizi bayi semakin meningkat dan tidak dapat dipenuhi hanya dari ASI.

Bentuk MP-ASI harus disesuaikan dengan kemampuan pencernaan bayi

dan harus mengandung cukup energi, protein serta vitamin dan mineral

secara cukup.

b. ASI Eksklusif

Jika kita membahas mengenai Makanan Pendamping (MP-ASI),

maka tidak akan lepas dari pembahasan mengenai pemberian ASI

Eksklusif. Dimana bila yang satu dilaksanakan, maka satu hal yang lain

pasti dapat dilakukan.

Pemberian ASI Eksklusif adalah memberikan hanya ASI saja tanpa

memberikan makanan dan minuman lain kepada bayi sejak lahir sampai

berusia enam bulan, kecuali obat dan vitamin (Depkes, 2003).

Page 62: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

38

Roesli (2000) menyatakan pemberian ASI eksklusif adalah bayi

hanya diberi ASI saja tanpa tambahan cairan lain seperti: susu formula,

jeruk, madu, air teh, air putih, dan tanpa tambahan makana padat seperti:

pisang, pepaya, bubur susu, biskuit, bubur nasi dan nasi tim.

Kegagalan pemberian ASI Eksklusif akan menyebabkan

berkurangnya sel-sel otak bayi sebanyak 15-20% sehingga dapat

menghambat perkembangan kecerdasan bayi tahap selanjutnya (Depkes,

2003).

Berdasarkan penelitian Oktaviyanti (2007), terdapat hubungan

bermakna antara pemberian ASI Eksklusif dengan status gizi balita. Akan

tetapi proporsi anak yang kurus ternyata lebih tinggi pada anak yang

mendapat ASI Eksklusif dibandingkan dengan anak yang tidak

mendapatkan ASI Eksklusif. Dari hasil tabulasi silang antara pemberian

ASI Eksklusif dengan konsumsi energi dan protein anak, diketahui bahwa

proporsi anak yang konsumsi energi dan proteinnya kurang, lebih tinggi

pada anak yang mendapatkan ASI Eksklusif. Hal ini menunjukkan bahwa

anak yang mendapat ASI Eksklusif, tetapi konsumsi energi dan proteinnya

kurang dapat menyebabkan anak tersebut menjadi kurang gizi karena

kebutuhan energi dan proteinya untuk pertumbuhannya tidak adekuat.

Berdasarkan penelitian Widodo dkk, (2005), berdasarkan indeks

antropometri BB menunjukkan bahwa sejak usia 2 – 4 bulan kenaikan rata-

Page 63: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

39

rata BB bayi yang diberi ASI Eksklusif daripada bayi yang diberi MP-ASI

sebelum usia 4 bulan. Tetapi hasil penelitian tersebut berbeda dengan

penelitian Eregie dan Abraham (1997) dan Heinig, et all., (1993) yang

menunjukkan bahwa pertumbuhan bayi yang diberi ASI Ekslusif dan yang

tidak diberi ASI Ekslusif tidak berbeda.

2.4.3 Karakteristik Anak

a. Cakupan Imunisasi

Imunisasi merupakan salah satu cara untuk memberikan kekebalan

pada bayi dan anak terhadap berbagai penyakit, sehingga dengan imunisasi

diharapkan bayi dan anak tetap tumbuh dalam keadaan sehat (Alimul,

2009).

Bayi dan anak tergolong ke dalam kelompok yang rawan terhadap

penularan penyakit. Oleh sebab itu, imunisasi dilakukan dengan

menyuntikkan vaksin ke dalam tubuh anak. Vaksin adalah bibit penyakit

yang telah dilemahkan. Banyak penyakit infeksi yang dapat dicegah

melalui pemberian imunisasi (Lestari, 1996). Penyakit infeksi banyak

menyebabkan kematian pada anak-anak khususnya balita. Tubuh bisa

melindungi diri dari kuman-kuman penyebab penyakit infeksi bila orang

tersebut diimunisasi. Oleh karena itu, tujuan dari imunisasi adalah

memberikan kekebalan pada bayi agar tidak mudah tertular penyakit

seperti Hepatitis B, Difteri, batuk rejan, Tetanus, Polio dan Campak

Page 64: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

40

(Depkes, 2000). Adalah manfaat imunisasi adalah melindungi anak dari

serangan penyakit tertentu yang berbahaya, anak yang tidak diimunisasi

lebih besar kemungkinan menderita kekurangan gizi, cacat, dan meninggal

dunia (Depkes, 2000).

Ada lima jenis imunisasi untuk balita yang diwajibkan, yakni

(Cynthia, 2009):

1. Vaksin Bacillus Calmette-Guerin (BCG)

Berupa bakteri tuberculosis bacillus yang telah dilemahkan yang

digunakan untuk mencegah penyakit Tuberkulosis (TBC). Vaksin

BCG terbukti 80% efektif mencegah TBC selama 15 tahun,

namun efeknya bergantung pada keadaan geografis. Imunisasi

BCG hanya dilakukan sekali yakni ketika bayi berusia 0-11 bulan.

2. Vaksin DPT/DTP

Merupakan campuran dari tiga vaksin yang diberikan untuk

memberikan kekebalan pada tubuh terhadap penyakit difteri,

pertusis, dan tetanus. Vaksin ini diberikan tiga kali pada bayi usia

2-11 bulan dengan jarak waktu antar pemberian minimal empat

minggu. Kemudian diberikan lagi pada usia 18 bulan dan 5 tahun.

Page 65: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

41

3. Vaksin Polio

Vaksin ini dibuat dari poliovirus yang dilemahkan. Biasanya

diberikan kepada anak-anak dengan meneteskannya ke dalam

mulut untuk mencegah terjadinya penularan virus polio dari

lingkungan. Imunisasi pertama kali dilakukan setelah bayi lahir

dilanjutkan pada usia 2, 4, 6, dan 18 bulan. Yang terakhir, vaksin

polio dapat diberikan saat berumur 4 hingga 6 tahun. Vaksin polio

ini dapat dikombinasikan dengan vaksin DPT.

4. Vaksin Campak

Penyakit campak hanya menyerang satu kali dalam seumur hidup.

Imunisasi ini dilakukan satu kali pada bayi berusia 9-11 bulan

dengan menyuntikkannya pada bagian lengan atas. Imunisasi ini

memiliki efek samping seperti ruam pada tempat suntikan dan

panas. Angka kejadian campak juga sangat tinggi dalam

mempenegaruhi angka kesakitan dan kematian pada anak.

5. Vaksni Hepatitis B

Imunisasi hepatitis B merupakan imunisasi yang digunakan untuk

mencegah terjadinya penyakit hepatitis. Karena hepatitis B

merupakan jenis hepatitis yang paling berbahaya dan dapat

menyebabkan kematian. Vaksin ini sangat penting untuk diberikan

sebagai pencegahan, mengingat hingga sekarang belum ditemukan

Page 66: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

42

obat untuk mengobati orang yang telah terjangkit. Berupa virus

yang dilemahkan dan biasanya diberikan tak lama setelah bayi

dilahirkan.

Adapun jadwal pemberian imunisasi adalah sebagai berikut (Alimul,

2009):

a. Umur 0 bulan : Hepatitis B

b. Umur 1 bulan : BCG,Polio 1

c. Umur 2 bulan : DPT/HB 1, Polio 2

d. Umur 3 bulan : DPT/HB 2, Polio 3

e. Umur 4 bulan : DPT/HB 3, Polio 4

f. Umur 9 bulan : Campak

Berdasarkan hasil Riskesdas 2010, Provinsi DKI Jakarta sebanyak

89,3% mendapat imunisasi BCG, sebanyak 68,6% mendapat imunisasi

Polio, sebanyak 62,5% mendapat imunisasi DPT-HB dan sebanyak 76,7%

mendapat imunisasi Campak sedangkan sebanyak 53,2% mendapat

imunisasi lengkap, sebanyak 41,1% mendapat imunisasi tidak lengkap dan

sebanyak 5,7% tidak mendapat imunisasi.

Hasil penelitian Oktaviyanti (2007), status gizi kurus lebih banyak

terjadi pada balita yang imunisasinya tidak lengkap (7,5%) daripada balita

Page 67: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

43

yang imunisasi lengkap (5,9%). Berdasarkan tabulasi silang antara

pemberian imunisasi dengan penyakit infeksi diketahui bahwa proporsi

anak yang terkena penyakit infeksi lebih tinggi pada anak yang

imunisasinya tidak lengkap (100%). Hal ini menunjukkan bahwa anak yang

mendapatkan imunisasi yang tidak lengkap memiliki kekebalan yang

rendah terhadap penyakit infeksi sehingga anak akan sering sakit.

b. Penimbangan

Penimbangan balita merupakan salah satu upaya dari pemeriksaan

kesehatan balita untuk melihat tumbuh kembang anak. Pertumbuhan anak

dapat diamati dengan menggunakan Kartu Menuju Sehat (KMS). Kartu ini

berfungsi sebagai alat bantu pemantauan gerak pertumbuhan, bukan

menilai status gizi (Arisman, 2004).

KMS adalah kartu dimana dicatat berat badan anak yang ditimbang.

KMS dapat menggambarkan pertumbuhan anak sampai usia 5 tahun,

dengan berpedoman pada KMS maka dapat diketahui apakah anak

tergolong sehat atau tidak (Depkes, 2003).

Berdasarkan penelitian Feddelia (2006), proporsi balita berstatus gizi

(kurang dan buruk) lebih tinggi pada balita yang menimbang secara tidak

rutin (45,2%) dibandingkan balita yang menimbang rutin (40%).

Page 68: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

44

2.4.4 Penyakit Metabolisme Bawaan (Inborn Errors of Metabolisme)

Kelompok penyakit ini diturunkan dari orang tua kepada anaknya secara

genetik (melalui genes), dan bermanifestasi sebagai kelainan dalam proses

metabolisme zat gizi tertentu. Metabolisme zat gizi diatur oleh sistem enzim

dan enzim termasuk kelompok protein yang disintesa didalam tubuh (sel

tubuh). Mekanisme untuk sintesa protein dikuasai oleh genes yang

mengandung kodon bagi jenis protein enzim yang akan disintesanya.

Terkadang terjadi gangguan pada sintesa protein ini, sehingga terbentuk enzim

yang berlainan dengan yang biasa. Akibatnya terjadi proses metabolisme yang

berbeda pada zat gizi tertentu. Perubahan metabolisme ini menyebabkan

gejala-gejala biokimiawi maupun klinis (fungsional).

Penyakit-penyakit yang telah dikenal tergolong dalam jenis ini antara

lain: cicle cell anemia, lactose intolerance, phenylketonuria, dan sebagainya.

Meskipun telah dikenal dasar patogenesis dari berbagai penyakit ini, tidak

selalu dapat diusahakan pengobatannya yang memuaskan, karena pengobatan

tidak causal memperbaiki kesalahan yang terdapat pada gene tersebut. Tetapi

untuk beberapa diantaranya, pendekatan pengobatan dietetik sudah

memberikan hasil yang cukup memuaskan, meskipun pengobatan ini harus

dilakukan seumur hidup (Sediaoetama, 2006).

Menurut Hauvast et all.,( 2000), gangguan stunting pada balita dapat

juga disebabkan faktor genetik dari orang tua yang menurun kepada anaknya

Page 69: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

45

seperti adanya penyakit metabolisme bawaan. Dimana faktor genetik tersebut

bersifat klinis.

2.4.5 Faktor Makanan (Asupan Zat Gizi)

Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang.

Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup

zat-zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan

pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan

secara umum pada tingkat setinggi mungkin.

Status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu atau

lebih zat-zat gizi esensial. Asupan zat gizi makanan diperoleh dari makanan

sehari-hari seperti: makanan pokok, lauk, sayuran, buah, dan susu

(Almatsier, 2001).

2.4.6 Riwayat Penyaki Infeksi (Sanitasi)

Penyakit infeksi merupakan penyakit yang disebabkan oleh

mikroorganisme seperti virus, bakteri, parasit pathogen yang berkembang biak

dalam tubuh dan menyebabkan penyakit seperti TBC, Malaria, Diare dan

sebagainya (Hull, 1994).

Telah lama diketahui adanya interaksi sinergis antara malnutrisi dan

infeksi. Derajat infeksi atau apapun dapat memperburuk keadaan gizi.

Malnutrisi walaupun masih ringan, mempunyai pengaruh negatif terhadap

daya tahan tubuh terhadap infeksi. Hubungan ini sinergis, sebab malnutrisi

Page 70: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

46

disertai infeksi pada umumnya dapat memperburuk keadaan gizi (Pudjiadi,

1997 dalam Mutiara, 2006).

Kehadiran penyakit infeksi dalam tubuh anak mengakibatkan anak

kehilangan nafsu makan, sehingga anak sering menolak makanan yang

diberikan ibunya. Penolakan terhadap makanan berarti berkurangnya

pemasukan zat gizi ke dalam tubuh anak (Moehyi, 1988). Infeksi juga

menyebabkan penghancuran jaringan tubuh, baik oleh bibit penyakit maupun

oleh tubuh sendiri untuk memperoleh protein untuk daya tahan tubuh.

Jelasalah kalau infeksi dalam bentuk apapun akan memperburuk status gizi

anak ke arah gizi buruk. Keadaan gizi buruk tadi melemahkan kemampuan

anak untuk melawan infeksi, kuman-kuman yang tidak berbahaya pun

menyerang anak akan menimbulkan penyakit yang berbahaya bahkan

kematian pada anak yang menderita gizi buruk (Moehyi, 1988).

Riwayat penyakit infeksi berhubungan dengan sanitasi lingkungan dan

personal hygiene. Lingkungan dan personal hygiene merupakan salah satu

faktor yang mempengaruhi status kesehatan. Meningkatnya industrialisasi,

emisi kendaran bermotor, pariwisata, dan lain sebagainya menyebabkan

degradasi lingkungan. Kualitas udara di daerah perkotaan dan industrial jauh

melebihi standar yang telah ditentukan. Air di permukaan dan di dalam tanah

di beberapa daerah tercemar oleh sisa air industri yang tidak diolah. Masalah

lingkungan yang besar telah menyebabkan masalah kesehatan, termasuk

Page 71: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

47

sistem pernapasan, kulit, dan penyakit perut (WHO, 2000 dalam Mutiara,

2006).

Keadaan sanitasi lingkungan yang kurang baik memungkinkan

terjadinya berbagai jenis penyakit antara lain diare, kecacingan, dan infeksi

saluran pencernaan (Supariasa, 2001). Salah satu ruang lingkup kesehatan

lingkungan yaitu penyediaan air bersih. Kebutuhan manusia akan air sangat

kompleks antara lain untuk minum, masak, mandi, cuci-mencuci, dan

sebagianya (Notoatmodjo, 2003).

Berdasarkan penelitian Sukmadewi (2003), menunjukkan bahwa anak

yang berstatus gizi buruk lebih banyak disertai dengan riwayat penyakit buruk

(pernah menderita penyakit ISPA, diare, atau demam dalam satu bulan

terakhir) yaitu 7,6% daripada anak yang gizi buruk dengan riwayat penyakit

baik (tidak pernah menderita penyakit ISPA, diare, atau demam dalam satu

bulan terakhir) yaitu sebesar 2,3% dan terdapat hubungan yang bermakna

antara status gizi balita dengan riwayat penyakit (p.value 0,0017).

2.5 Penilaian Konsumsi Makanan

Penilaian konsumsi makanan dimaksudkan untuk mengetahui kebiasaan

makan dan gambaran tingkat kecukupan bahan makanan dan zat gizi pada tingkat

kelompok, rumah tangga, dan perorangan, serta faktor-faktor yang berpengaruh

terhadap konsumsi makanan tersebut (Supariasa, 2001).

Page 72: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

48

Menurut Supariasa (2001), survei konsumsi pangan adalah metode penentuan

status gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan zat gizi yang

dikonsumsi. Pengumpulan data konsumsi makanan dapat memberikan gambaran

tentang konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat, keluarga dan individu. Survei

ini mengidentifikasikan kelebihan dan kekurangan zat gizi.

Metode pengukuran konsumsi makanan berdasarkan jenis data yang diperoleh

dibedakan menjadi:

1. Metode Kualitatif

Metode yang bersifat kualitatif biasanya untuk mengetahui frekuensi

makan, frekuensi konsumsi menurut jenis bahan makanan dan menggali

informasi tentang kebiasaan makan (food habits) serta cara-cara

memperoleh bahan makanan tersebut. Metode metode pengukuran

konsumsi makanan yang bersifat kualitatif, seperti: metode frekuensi

makanan (food frequency), metode dietary history, metode telepon, dan

metode pendaftaran makanan (food list) (Supariasa, 2001).

2. Metode Kuantitatif

Metode secara kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui jumlah makanan

yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung konsumsi zat gizi dengan

menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM), atau daftar lain

yang diperlukan seperti Daftar Ukuran Rumah Tangga (URT), Daftar

Konversi Mentah-Masak (DKMM) dan Daftar Penyerapan Minyak.

Page 73: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

49

Metode-metode untuk pengukuran konsumsi secara kuantitaif antara lain:

Metode recall 24 jam, perkiraan makanan (estimated food records),

penimbangan makanan (food weighing), metode food accounts, metode

inventaris (inventory method), dan pencatatan (household food records)

(Supariasa, 2001).

Metode frekuensi makanan adalah untuk memperoleh data tentang frekuensi

konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode tertentu

seperti hari, minggu, bulan atau tahun. Selain itu dengan metode frekuensi makanan

dapat memperoleh gambaran pola konsumsi bahan makanan secara kualitatif, tetapi

karena periode pengamatannya lebih lama dan dapat membedakan individu

berdasarkan ranking tingkat konsumsi zat gizi, maka cara ini paling sering

digunakan dalam penelitian epidemiologi gizi (Supariasa, 2001).

Menurut Supariasa (2001), kuesioner frekuensi makanan memuat tentang

daftar bahan makanan atau makanan dan frekuensi penggunaan makanan tersebut

dalam periode tertentu. Bahan makanan yang ada dalam daftar kuesioner tersebut

adalah yang dikonsumsi dalam frekuensi yang cukup sering oleh responden.

Adapun langkah-langkah metode food frequency adalah:

a. Responden diminta untuk memberi tanda pada daftar makanan yang

tersedia pada kuesioner mengenai frekuensi penggunaannya dan ukuran

porsinya

Page 74: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

50

b. Lakukan rekapitulasi tentang frekuensi penggunaan jenis-jenis bahan

makanan terutama bahan makanan yang merupakan sumber-sumber zat

gizi tertnetu selama periode tertentu pula

Kelebihan metode food frequency adalah:

a. Relatif murah dan sederhana

b. Dapat dilakukan sendiri oleh responden

c. Tidak membutuhkan latihan khusus

d. Dapat membantu untuk menjelaskan hubungan antara penyakit dan

kebiasaan makan

Kekurangan metode food frequency adalah:

a. Tidak dapat untuk menghitung intake zat gizi sehari

b. Sulit mengembangkan kuesioner pengumpulan data

c. Cukup menjemukan bagi pewawancara

d. Perlu membuat percobaan pendahuluan untuk menentukan jenis bahan

makanan yang akan masuk dalam daftar kuesioner

e. Responden harus jujur dan mempunyai motivasi tinggi.

2.6 Kerangka Teori

Masalah gizi buruk secara langsung disebabkan oleh konsumsi makanan

sehari-hari, pola asuh dan penyakit infeksi penyerta yang terdapat pada balita.

Karakteristik anak dapat berpengaruh langsung terhadap keadaan gizi balita, tetapi

dapat juga berpengaruh terhadap kesehatan balita terlebih dahulu dengan terkenanya

Page 75: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

51

penyaki infeksi yang akhirnya berakibat pada masalah gizi. Karakteristik keluarga

secara umum berhubungan dengan konsumsi makanan yang bila tidak mencukupi

atau tidak tepat akan berakibat kepada masalah gizi. Gangguan stunting pada balita

dapat juga disebabkan faktor genetik dari orang tua yang menurun kepada anaknya

(Hauvast et all.,2000) seperti adanya penyakit metabolisme bawaan. Dimana faktor

genetik tersebut bersifat klinis.

Dari penjelasan sebelumnya maka disusunlah sebuah kerangka teori yang

merupakan modifikasi teori dari Unicef (1998); Azwar (2004) : Karakteristik

Keluarga, Pola Asuh, Konsumsi Makanan dan Penyakit Infeksi (santitasi), Mutiara

(2006) : Karakteristik Anak dan Konsumsi Makanan serta teori Sediaoetama (2006):

Metabolisme Bawaan. Sehingga disusunlah kerangka teori dalam bagan 2.1

dibawah ini:

Page 76: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

52

Sumber: Modifikasi Unicef, 1998; Azwar, 2004, Mutiara, 2006 dan Sediaoetama, 2006

Bagan 2.1

Kerangka Teori Faktor- Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Balita

Penyakit Infeksi

(sanitasi)

Pola Asuh:

- ASI Eksklusif

- Lama ASI

- Jenis MP-ASI - Frekuensi Pemberian MP-ASI

Karakteristik Anak:

- Imunisasi - Penimbangan

Status Gizi Balita

Karakteristik Keluarga:

- Pendidikan Ibu

- Pendapatan

Keluarga

Konsumsi Makanan

( Asupan Zat Gizi)

Metabolisme Bawaan

Page 77: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

53

BAB III

KERANGKA KONSEP

3.1 Kerangka Konsep

Berdasarkan kerangka teori gabungan yang ada di tinjauan pustaka

mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi balita dari Unicef (1998);

Azwar (2004), Mutiara (2006) dan Sediaoetama, 2006, maka variabel dalam

penelitian ini terdiri atas variabel independen (variabel bebas) dan variabel

dependen (variabel terikat).

Variabel independen yang akan diteliti terdiri atas pola asuh, riwayat

penyakit infeksi, dan pola konsumsi makan. Pola asuh meliputi pemberian ASI

Eksklusif dan lamanya pemberian MP-ASI Kemenkes. Sedangkan untuk

variabel dependen yaitu berat badan tidak naik (2T). Sehingga dalam

menentukan kerangka konsep dipilih yang berpengaruh secara langsung

terhadap berat badan tidak naik (2T) pada baduta dengan kata lain variabel

independen yang dialami langsung oleh baduta.

Page 78: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

54

Variabel Independen Variabel Dependen

Bagan 3.1 Kerangka Konsep

Pada penelitian ini hanya diteliti faktor yang secara langsung berpengaruh

pada baduta terhadap berat badan tidak naik (2T). Didalam penelitian ini ada

beberapa variabel dari kerangka teori yang tidak diteliti secara mendalam dan

tidak dijadikan kerangka konsep, seperti karakteristik keluarga karena variabel

tersebut merupakan faktor demografi yang tidak berpengaruh secara langsung

dan rata-rata datanya akan homogen. Faktor karakteristik anak (imunisasi) tidak

diteliti karena berdasarkan Riskesdas 2010, wilayah Jakarta Selatan sebanyak

53,2% sudah mendapatkan imunisasi lengkap dan untuk penimbangan datanya

sudah ada dari kader kesehatan. Untuk faktor penyakit metabolisme bawaan juga

tidak diteliti karena merupakan penelitian klinis (medis) yang membutuhkan

waktu yang lama dan dana yang besar.

Pola Asuh :

1. ASI Eksklusif

2. Lamanya Pemberian

MP- ASI Kemenkes

3. Riwayat Penyakit Infeksi

4. Pola Konsumsi Makan

Berat Badan

Tidak Naik (2T)

Page 79: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

55

3.2 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala

Variabel Dependen

1

Berat Badan

Tidak Naik (2T)

Hasil penimbangan tidak

naik 2 bulan berturut-turut

(2T) dengan melihat

BB/U pada baduta

Observasi

Data KMS

0. non 2T

1. 2T

(Dinkes DKI

Jakarta, 2008)

Ordinal

Variabel Independen

1

Pemberian ASI

Eksklusif

Suatu kegiatan pemberian

ASI saja kepada balita

sampai balita berusia 6

bulan tanpa disertai

makanan tambahan

apapun

Wawancara

Kuesioner

1.Ya, jika diberikan

ASI saja sampai usia

6 bulan

2.Tidak, jika tidak

diberikan ASI saja

sampai usia 6 bulan

(Depkes, 2003)

Ordinal

2

Lamanya Pemberian

MP-ASI Kemenkes

Jangka waktu lamanya

pemberian MP-ASI

Kemenkes yang

ditetapkan Kementrian

Kesehatan RI

Wawanacara

Kuesioner

1. ≥ 90 hari

2. < 90 hari

(Depkes, 2008)

Ordinal

Page 80: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

56

No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala

3

Riwayat Penyakit

Infeksi

Penyakit infeksi yang

diderita baduta selama

pemberian MP-ASI

Kemenkes, yang dapat

mempengaruhi status

gizinya.

Wawancara

Kuesioner

1.Tidak

2.Ya

(Depkes, 2002)

Ordinal

4

Pola Konsumsi Makan

Metode penentuan status

gizi secara tidak langsung

dengan melihat frekuensi

makanan yang

dikonsumsi selama

periode tertentu seperti :

makanan pokok, lauk

hewani, lauk nabati,

sayuran, buah dan susu.

Wawancara

Kuesioner FFQ

kualitatif

0. Sering

(≥ 2x/hari)

1. Jarang

(<2x/hari)

(PGS, 2010)

Ordinal

Page 81: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

57

3.3 Hipotesis

1. Ada hubungan antara pemberian ASI Eksklusif dengan berat badan tidak

naik (2T) pada baduta gakin setelah program pemberian MP-ASI Kemenkes

di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011

2. Ada hubungan antara lamanya pemberian MP-ASI dengan berat badan tidak

naik (2T) pada baduta gakin setelah program pemberian MP-ASI Kemenkes

di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011

3. Ada hubungan antara riwayat penyakit infeksi dengan berat badan tidak naik

(2T) pada baduta gakin setelah program pemberian MP-ASI Kemenkes di

Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011

4. Ada hubungan antara pola konsumsi makan dengan berat badan tidak naik

(2T) pada baduta gakin setelah program pemberian MP-ASI Kemenkes di

Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011

5. Ada faktor paling dominan mempengaruhi berat badan tidak naik (2T) pada

baduta gakin setelah program pemberian MP-ASI Kemenkes di Kecamatan

Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011

Page 82: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

58

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain studi case

control. Penelitian dilakukan secara retrospektif yang dimulai dengan

mengidentifikasi efek atau penyakit tertentu yang disebut sebagai kasus serta

kelompok tanpa efek yang disebut kontrol. Selanjutnya, kelompok kasus

dibandingkan dengan kelompok kontrol untuk mengetahui seberapa besar faktor

resiko berpengaruh terhadap terjadinya kasus yang diteliti (1:1).

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan yang terdiri dari

8 kelurahan: Pengadegan, Cikoko, Kalibata I, Kalibata II, Pancoran, Rawajati I,

Rawajati II, dan Duren Tiga. Penelitian dilakukan pada bulan Juli- Agustus 2011.

4.3 Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh baduta yang berusia 12-24 bulan

yang mendapatkan program MP-ASI Kemenkes berupa biskuit di Kecamatan

Pancoran, Jakarta Selatan pada periode November 2010- Februari 2011. Jumlah

populasi dalam penelitian ini berjumlah 190 baduta.

Page 83: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

59

4.4. Sampel Penelitian

Sampel pada penelitian adalah semua ibu baduta yang ada di 8 Kecamatan

Pancoran Jakarta Selatan yang mendapatkan program MP-ASI Kemenkes berupa

biskuit selama periode November 2010- Februari 2011 yang dikonsumsi sebanyak

120 gr/hari.

Perhitungan sampel pada penelitian ini menggunakan rumus uji hipotesis odds

ratio dengan arah uji statistik 2 arah (2 tail) sebagai berikut:

Rumus P1:

Rumus P:

Page 84: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

60

Rumus n:

Keterangan:

P : Proporsi rata-rata

P1 : Proporsi baduta yang memiliki status gizi buruk dan kurang yang

mengkonsumsi energi defisit dan kurang pada penelitian sebelumnya

(Sulistyowati, 2007)

P2 : Proporsi baduta yang memiliki status gizi baik dan lebih yang

mengkonsumsi energi defisit dan kurang pada penelitian sebelumnya =

7% (Sulistyowati, 2007)

n : jumlah sampel penelitian

Z 1-1/2 α : tingkat kemaknaan 95% = 1,96

Z 1-β : kekuatan uji 80%

Page 85: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

61

Setelah dihitung jumlah sampel yang didapatkan sejumlah 37 sampel. Untuk

menghindari sampel yang drop out maka besar sampel ditambah 10%, maka total

sampel penelitian ini sebanyak 41 baduta. Jadi pada penelitian ini diperlukan sampel

41 baduta 2T sebagai kasus dan 41 baduta non 2T sebagai kontrol.

Kriteria inklusi kasus dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki baduta

yang berusia 12-24 bulan (November 2010-Februari 2011) yang berada di wilayah

kerja Puskesmas Pancoran yang mendapatkan MP-ASI Biskuit, serta yang diasuh

oleh ibu kandung dan mengalami 2T.

Kriteria inklusi kontrol dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki baduta

yang berusia 12-24 bulan (November 2010-Februari 2011) yang berada di wilayah

kerja Puskesmas Pancoran yang mendapatkan MP-ASI Biskuit, serta yang diasuh

oleh ibu kandung dan tidak mengalami 2T.

Kriteria ekslusi yang tidak masuk dalam penelitian ini adalah ibu yang tidak

memiliki baduta yang berusia 12-24 bulan (November 2010-Februari 2011) yang

berada di wilayah kerja Puskesmas Pancoran dan baduta yang berpindah tempat

tinggal saat dilakukan penelitian.

Page 86: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

62

Tabel 4.1

Pemilihan Sampel di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan

Tahun 2011

No Kelurahan Jumlah Kasus

(2T)

Jumlah Kontrol

(non 2T)

1 Pengadegan 1 1

2 Cikoko 5 5

3 Kalibata I 2 2

4 Kalibata II 5 5

5 Pancoran 10 10

6 Rawajati I 5 5

7 Rawajati II 4 4

8 Duren Tiga 9 9

TOTAL 41 41

Untuk memilih sampel pada penelitian ini, di delapan kelurahan wilayah

Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan dilakukan secara acak menggunakan (simple

random sampling) dengan memperhitungkan proporsi pada tiap kelurahan.

4.5 Pengumpulan Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini berupa data primer dan data

sekunder. Data primer yang diperoleh diantaranya data tentang Pola Asuh (ASI

Page 87: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

63

Eksklusif dan lamanya pemberian MP-ASI Kenkes), Riwayat Penyakit Infeksi dan

data tingkat konsumsi makan baduta (form FFQ).

Data sekunder berasal dari Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan yaitu data

baduta berusia 12-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Pancoran yang mengalami

berat badan 2 bulan tidak naik berturut-turut (2T) dan yang mengalami kenaikan

berat badan (non 2T), data sekunder dari Puskesmas Kecamatan Pancoran, KMS

Baduta, KTP/Kartu Keluarga serta data sekunder lain yang dibutuhkan.

Untuk data mengenai konsumsi makan baduta tidak diobservasi mendetail

secara langsung hanya menggunakan kuesioner FFQ yang dianggap dapat

menggambarkan asupan makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayuran, buah

dan susu pada baduta sebulan terakhir (saat dilakukan penelitian).

4.6 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner. Kuesioner digunakan

untuk menilai Pola Asuh (ASI Eksklusif dan lamanya pemberian MP-ASI), Riwayat

Penyakit Infeksi, dan tingkat konsumsi pangan responden (form FFQ), serta data

lain yang diperlukan dalam penelitian ini.

4.7 Uji Coba Kuesioner

Data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer dan

data sekunder. Sebelum dilakukan pengumpulan data primer, peneliti telah

melakukan uji kuesioner terlebih dahulu di tempat yang berbeda terhadap 10 ibu

baduta di wilayah Pasar Minggu, Jakarta Selatan dengan karakteristik ibu baduta

Page 88: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

64

yang sama dengan karakteristik ibu baduta di Kecamatan Pancoran, Jakarta

Selatan. Uji Kuesioner ini untuk mengetahui tingkat validitas dan reliabilitas

instrumen penelitian dengan metode Pearson. Kuesioner dikatakan valid bila

instrumen atau alat ukur yang dibuat bisa tepat mengukur objek yang akan diukur

atau mampu mengukur apa yang harus diukur. Sedangkan kuesioner dikatakan

reliabel bila instrumen menghasilkan ukuran yang konsisten walaupun instrumen

tersebut digunakan untuk mengukur berkali-kali. Dalam penelitian ini langkah-

langkah uji validitas dan reliabilitas akan dijelaskan sebagai berikut:

a. Validitas Kuesioner

Pertanyaan dikatakan valid jika r hitung > r tabel (0,707). Jumlah

pertanyaan kuesioner awalnya berjumlah 30 pertanyaan, setelah dilakukan uji

validitas ternyata terdapat 6 pertanyaan yang tidak valid, sehingga 4 pertanyaan

yang tidak valid dihapus dan 2 pertanyaan yang tidak valid, tetapi dianggap

penting dilakukan perbaikan kalimat namun tidak merubah isi pertanyaan (E

18, r tabel = 0, 650) dan (D22, r tabel = 0, 453).

b. Reabilitas Kuesioner

Kuesioner dinyatakan reliabel bila nilai r alpha Cronbach > r tabel

(0,7). Berdasarkan dari hasil analisis uji coba kuesioner pada tabel 4.2 didapat

bahwa kuesioner alpha Cronbach (0,976) > 0,7 sehingga kuesioner ini

dikatakan realibel.

Page 89: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

65

Tabel 4.2

Hasil Uji Validitas dan Reabilitas Kuesioner

No

Pertanyaan Nilai r tabel

Alpha

Cronbach Keterangan

A1 .806

.976

Valid

A2 .796 Valid

A3 .818 Valid

A4 .796 Valid

A5 .806 Valid

B6 .806 Valid

C10 .806 Valid

C11 .806 Valid

C12 .795 Valid

D13 .806 Valid

D14 .795 Valid

D17 .806 Valid

D18 .650 Tidak Valid *sudah

diperbaiki

E19 .774 Valid

E20 .806 Valid

E22 .453 Tidak Valid * sudah

diperbaiki

E24 .774 Valid

E25 .806 Valid

Page 90: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

66

4.8 Pengolahan Data

Setelah data diperoleh maka dilakukan pengolahan data dengan dengan urutan

sebagai berikut:

1. Coding

Proses pemberian kode kepada setiap variabel yang telah dikumpulkan

untuk memudahkan dalam pengelolaan lebih lanjut.

2. Editing

Dilakukan untuk memeriksa kelengkapan dan kebenaran data seperti

kelengkapan pengisian, kesalahan pengisian, konsistensi pengisian setiap

jawaban kusioner.

3. Entry

Memasukkan data dalam program software komputer berdasarkan

klasifikasi.

4. Cleaning

Pengecekan kembali data yang telah dimasukkan untuk memastikan data

tersebut tidak ada yang salah, sehingga dengan demikian data tersebut

telah siap diolah dan dianalisis.

Page 91: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

67

4.9 Analisis Data

Analisis data yang dalam penelitian ini meliputi:

1. Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk menyajikan dan mendiskripsikan

karakteristik data setiap variabel yang diteliti. Penyajian data univariat

berupa distribusi dan frekuensi variabel tersebut.

2. Bivariat

Analisis biavariat dilakukan untuk menguji dan menjelaskan hubungan

antara variabel dependen dan variabel independen. Analisis bivariat

dilakukan dengan menggunakan uji Chi-Square dengan Confident Interval

(CI) 95% atau α= 0,05

Pada analisa ini digunakan uji chi square dengan rumus:

DF = (k-1)(b-1)

Keterangan:

X2 = Chi square

O = Nilai observasi

E = Nilai Ekspektasi

k = Jumlah kolom

Page 92: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

68

b = Jumlah baris

Penentuan Odds Ratio (OR). Odd Ratio (OR) yaitu penilaian berapa sering

terdapat paparan pada kasus dibandingkan dengan kontrol.

Interpretasi nilai OR dan 95% CI :

a) Bila OR > 1 menunjukkan bahwa faktor yang diteliti merupakan faktor

resiko.

b) Bila OR = 1 menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara faktor

yang diteliti dengan faktor resiko

c) Bila OR < 1 menunjukkan bahwa faktor yang diteliti merupakan faktor

protektif.

Jika nilai CI 95%, batas bawah (lower) dan batas atas (upper), keduanya

< 1 atau keduanya > 1 maka terdapat hubungan. Jika jarak antara batas

bawah (lower) dan batas atas (upper), melewati nilai 1 maka tidak ada

hubungan, dengan kata lain jika batas bawah < 1 dan batas atas > 1.

3. Multivariat

Analisis ini dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel independen

mana yang paling berpengaruh hubungannya dengan variabel dependen.

Page 93: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

69

Analisis ini dilakukan menggunakan uji regresi logistik ganda dengan

model prediksi dimana semua variabel dianggap penting, untuk

memperoleh hasil terbaik untuk memprediksi kejadian variabel dependen.

Langkah-langkah dalam melakukan analisis multivariat, yaitu:

a. Seleksi kandidat model multivariat

Analisis ini dimulai dengan melakukan analisis bivariat antara masing-

masing variabel independen dengan variabel dependen. Bila hasil uji dari

analisis bivariat mempunyai nilai p ≤ 0,25 maka variabel tersebut dapat

masuk ke dalam kandidat model multivariat. Sebaliknya, jika p > 0,25

maka variabel tersebut dikeluarkan dari kandidat model multivariat.

Namun, bisa saja dengan nilai p> 0,25 tetap ikut ke kandidat model bila

variabel tersebut secara substansi berhubungan.

b. Pemodelan multivariat

Setelah didapatkan kandidat model multivariat, selanjutnya variabel-

variabel yang telah masuk ke dalam kandidat model tersebut di analisis

secara bersamaan. Variabel yang masuk ke dalam model adalah variabel

yang memiliki p ≤ 0,05. Sedangkan variabel yang memiliki p > 0,05 maka

akan dikeluarkan dari model. Pengeluaran variabel dilakukan secara

bertahap dimulai dari variabel yang memiliki p value paling besar.

c. Uji Interaksi

Page 94: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

70

Setelah memperoleh model yang memuat variabel-variabel penting, maka

langkah terakhir adalah memeriksa apakah ada interaksi antar variabel

independen. Interaksi atau efek modifikasi merupakan heterogenitas efek

dari satu pajanan pada tingkat pajanan yang lain. Jadi efek satu pajanan

pada kejadian variabel dependen berbeda pada kelompok pajanan lainnya.

Tidak adanya efek modifikasi, berarti efek pajanan homogen. Modifikasi

efek merupakan konsep yang penting dalam analisis, kita harus

menentukkan apakah akan melaporkan efek bersama (yang terkontrol

konfounder) atau efek yang terpisah untuk masing-masing strata.

Setelah dilakukan uji interaksi, maka didapatkan model fit (akhir) dari

setiap variabel independen yang berpengaruh besar terhadap variabel

dependen. Setelah semua langkah tersebut selesai dan berdasarkan hasil

analisis multivariat secara keseluruhan, maka persamaan regresi diperoleh.

Keterangan:

P = probabilitas untuk terjadinya suatu kejadian

e = bilangan natural = 2,7

y = konstanta + a1x1 + a2x2 + … + aixi

a = nilai koefisien tiap variabel

x = nilai variabel bebas

Page 95: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

71

BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1 Gambaran Umum Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan

Kecamatan Pancoran merupakan salah satu dari sepuluh kecamatan yang

ada di wilayah Jakarta Selatan dengan luas wilayah 852,79 ha serta batas-batas

wilayah sebagai berikut :

a. Sebelah utara : Kecamatan Tebet

b. Sebelah barat : Kecamatan Mampang Prapatan

c. Sebelah selatan : Kecamatan Pasar Minggu

d. Sebelah timur : Kecamatan Kramat Jati

Tabel 5.1

Luas Wilayah dan Jumlah RT/RW se-Kecamatan Pancoran

Jakarta Selatan Tahun 2010

No Kelurahan Luas (Ha) RW RT

1 Pancoran 121,80 5 60

2 Durentiga 192,40 7 77

3 Pengadegan 94,30 8 83

4 Cikoko 71,69 5 42

5 Rawajati 144,00 8 84

6 Kalibata 228,60 10 133

Jumlah 852,79 43 479

Sumber : Puskesmas Kecamatan Pancoran Tahun 2011

Page 96: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

72

Tabel 5.2

Jumlah KK dan Jumlah Penduduk se-Kecamatan Pancoran

Jakarta Selatan Tahun 2010

No Kelurahan Jml KK L % P % Total

1 Pancoran 4600 13969 52,45 12535 47,55 26504

2 Durentiga 6505 10710 46,22 12692 53,78 23402

3 Pengadegan 4233 11356 51,43 10642 48,57 21998

4 Cikoko 2440 6250 53,42 5298 46,58 11548

5 Rawajati 4288 10071 51,88 9140 48,12 19111

6 Kalibata 6864 23459 51,56 21950 48,44 45409

Jumlah 28930 75715 51,04 72257 48,96 147972

Sumber : Puskesmas Kecamatan Pancoran Tahun 2011

5.2 Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui gambaran variabel

dependen. Dimana variabel dependen pada penelitian ini antara lain: ASI

Eksklusif, Lamanya MP-ASI Kemenkes, Riwayat Penyakit Infeksi, dan Pola

Konsumsi Makan (makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayuran, buah dan

susu).

5.2.1 Gambaran ASI Eksklusif

Gambaran ASI Eksklusif dikategorikan menjadi dua, yaitu ya, jika

diberikan ASI saja sampai usia 6 bulan dan tidak, jika tidak diberikan ASI

saja sampai usia 6 bulan. Adapun hasilnya dapat dilihat pada tabel 5.3

dibawah ini:

Tabel 5.3

Distribusi ASI Eksklusif di Kecamatan Pancoran

Jakarta Selatan Tahun 2011

ASI Eksklusif Jumlah %

Ya 48 58,5

Tidak 34 41,5

Total 82 100

Page 97: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

73

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar ibu-

ibu baduta di Kecamatan Pancoran memberikan ASI Eksklusif dengan

jumlah 48 orang (58,5%) dan yang tidak memberikan ASI Eksklusif

dengan jumlah 34 orang (41,5%). Hal tersebut menunjukkan bahwa ibu-

ibu di Kecamatan Pancoran sudah mengetahui pentingnya pemberian ASI

Eksklusif bagi anaknya.

5.2.2 Gambaran Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes

Gambaran lamanya pemberian MP-ASI Kemenkes, dikategorikan

menjadi dua, yaitu ≥ 90 hari dan < 90 hari. Adapun hasilnya dapat dilihat

pada tabel 5.4 dibawah ini:

Tabel 5.4

Distribusi Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes di

Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011

Lamanya MP-ASI Kemenkes Jumlah %

≥ 90 hari 64 78

< 90 hari 18 22

Total 82 100

Berdasarkan tabel 5.4 dapat diketahui bahwa sebanyak 64 baduta

(78%) diberikan MP ASI ≥ 90 hari dan sebanyak 18 baduta (22%)

diberikan MP-ASI < 90 hari. Data tersebut menunjukkan bahwa sebagian

baduta sudah mendapatkan MP-ASI Kemenkes berupa biskuit sesuai

dengan yang ditetapkan Kemenkes RI.

5.2.3 Gambaran Riwayat Penyakit Infeksi

Gambaran riwayat penyakit infeksi dikategorikan menjadi dua, yaitu

ya, jika pernah menderita penyakit selama pemberian MP-ASI Kemenkes

Page 98: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

74

dan tidak, jika tidak pernah menderita penyakit selama pemberian MP-ASI

Kemenkes. Adapun hasilnya dapat dilihat pada tabel 5.5 dibawah ini:

Tabel 5.5

Distribusi Riwayat Penyakit Infeksi di Kecamatan Pancoran

Jakarta Selatan Tahun 2011

Riwayat Penyakit Infeksi Jumlah %

Tidak 28 34,1

Ya 52 65,9

Total 82 100

Berdasarkan tabel 5.5 dapat diketahui bahwa sebanyak 28 baduta

(34,1%) tidak pernah mengalami riwayat penyakit infeksi sedangkan

sebanyak 52 baduta pernah mengalami riwayat penyakit infeksi selama

pemberian MP-ASI Kemenkes. Hal tersebut menunjukkan bahwa masih

banyak baduta di wilayah Pancoran yang mengalami penyakit selama

massa pemberian MP-ASI Kemenkes.

5.2.4 Gambaran Pola Konsumsi Makan

Gambaran pola konsumsi makan dikelompokkan menjadi: makanan

pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayuran, buah dan susu. Pola konsumsi

makan tersebut dikategorikan menjadi dua, yaitu: sering ≥ 2x/hari dan

jarang < 2x/hari. Adapun hasilnya dapat dilihat pada tabel-tabel dibawah

ini:

Page 99: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

75

a. Makanan pokok

Tabel 5.6

Distribusi Pola Konsumsi Makanan Pokok di Kecamatan

Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011

Makanan Pokok Jumlah %

Sering 55 67,1

Jarang 27 32,9

Total 82 100

Berdasarkan tabel 5.6 dapat diketahui bahwa sebanyak 55 baduta

(67,1%) dikategorikan sering mengkonsumsi makanan pokok ≥ 2x/hari

sedangkan 27 baduta (32,9%) dikategorikan jarang mengkonsumsi

makanan pokok < 2x/hari. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian

besar baduta sering mengkonsumsi makanan pokok ≥ 2x/hari.

b. Lauk Hewani

Tabel 5.7

Distribusi Pola Konsumsi Lauk Hewani di Kecamatan

Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011

Lauk Hewani Jumlah %

Sering 18 22

Jarang 64 78

Total 82 100

Berdasarkan tabel 5.7 dapat diketahui bahwa sebanyak 18 baduta

(22%) dikategorikan sering mengkonsumsi lauk hewani ≥ 2x/hari

sedangkan 64 baduta (78%) dikategorikan jarang mengkonsumsi lauk

hewani < 2x/hari. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar baduta

jarang mengkonsumsi lauk hewani ≥ 2x/hari.

Page 100: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

76

c. Lauk Nabati

Tabel 5.8

Distribusi Pola Konsumsi Lauk Nabati di Kecamatan

Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011

Lauk Nabati Jumlah %

Sering 21 25,6

Jarang 61 74,4

Total 82 100

Berdasarkan tabel 5.8 dapat diketahui bahwa sebanyak 21 baduta

(25,6%) dikategorikan sering mengkonsumsi lauk nabati ≥ 2x/hari

sedangkan 61 baduta (74,4%) dikategorikan jarang mengkonsumsi lauk

nabati < 2x/hari. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar baduta

jarang mengkonsumsi lauk nabati ≥ 2x/hari.

d. Sayuran

Tabel 5.9

Distribusi Pola Konsumsi Sayuran di Kecamatan

Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011

Sayuran Jumlah %

Sering 35 42,7

Jarang 47 57,3

Total 82 100

Berdasarkan tabel 5.9 dapat diketahui bahwa sebanyak 35 baduta

(42,7%) dikategorikan sering mengkonsumsi sayuran ≥ 2x/hari sedangkan

47 baduta (57,3%) dikategorikan jarang mengkonsumsi sayuran < 2x/hari.

Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar baduta jarang

mengkonsumsi sayuran ≥ 2x/hari.

Page 101: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

77

e. Buah

Tabel 5.10

Distribusi Pola Konsumsi Buah di Kecamatan Pancoran

Jakarta Selatan Tahun 2011

Buah Jumlah %

Sering 48 58,5

Jarang 34 41,5

Total 82 100

Berdasarkan tabel 5.10 dapat diketahui bahwa sebanyak 48 baduta

(58,5%) dikategorikan sering mengkonsumsi buah ≥ 2x/hari sedangkan 34

baduta (41,5%) dikategorikan jarang mengkonsumsi buah < 2x/hari. Hal

tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar baduta sering mengkonsumsi

buah ≥ 2x/hari.

f. Susu

Tabel 5.11

Distribusi Pola Konsumsi Susu di Kecamatan Pancoran

Jakarta Selatan Tahun 2011

Susu Jumlah %

Sering 17 20,7

Jarang 65 79,3

Total 82 100

Berdasarkan tabel 5.10 dapat diketahui bahwa sebanyak 17 baduta

(20,7%) dikategorikan sering mengkonsumsi susu ≥ 2x/hari sedangkan 65

baduta (79,3%) dikategorikan jarang mengkonsumsi susu < 2x/hari. Hal

tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar baduta jarang mengkonsumsi

susu ≥ 2x/hari.

5.3 Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel

independen dengan variabel dependen dengan uji statistik. Sehingga dapat

Page 102: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

78

diketahui nilai Odds Ratio (OR) dimana untuk penelitian case control, nilai OR

menunjukkan seberapa besar faktor resiko yang diteliti terhadap terjadinya berat

badan tidak naik (2T). Selain itu didapat pula nilai interval estimate OR pada

derajat kepercayaan sebesar 95% CI (Confident Interval).

5.3.1 Hubungan antara ASI Ekskulsif dengan Berat Badan Tidak Naik (2T)

Analisis hubungan antara ASI Eksklusif dengan Berat Badan Tidak

Naik (2T) diperoleh dengan menggunakan uji crosstabs untuk melihat

nilai OR. ASI Eksklusif dikategorikan menjadi dua, yaitu ya, jika

diberikan ASI saja sampai usia 6 bulan dan tidak, jika tidak diberikan ASI

saja sampai usia 6 bulan. Adapun hasil uji yang diperoleh dapat dilihat

pada tabel 5.12 dibawah ini:

Tabel 5.12

Analisis Hubungan antara ASI Eksklusif dengan Berat Badan

Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran

Jakarta Selatan Tahun 2011

ASI

Eksklusif

Berat Badan Tidak Naik (2T)

OR CI

(95%) 2T Non 2T Jumlah

N % N % N %

Ya 18 43,9 30 73,2 48 58,5

3,485 1,380-

8,798 Tidak 23 56,1 11 26,8 34 41,5

Total 41 100 41 100 82 100

Berdasarkan hasil uji diatas, dapat diketahui bahwa dari 48 ibu yang

memberikan ASI Eksklusif, yang mengalami 2T sebanyak 18 baduta

(43,9%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 30 baduta (73,2%).

Sedangkan dari 34 ibu yang tidak memberikan ASI Eksklusif yang

mengalami 2T sebanyak 23 baduta (56,1%) dan yang tidak mengalami 2T

sebanyak 11 baduta (26,8%).

Page 103: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

79

Berdasarkan uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 3,485

dimana pada penelitian case control nilai OR > 1 maka faktor yang diteliti

merupakan faktor resiko, artinya ibu yang tidak memberikan ASI

Eksklusif kepada anaknya berisiko 3,485 kali mengalami 2T dibandingkan

ibu yang memberikan ASI Eksklusif. Selain itu didapat nilai CI 95%

(1,380-8,798) yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara faktor ASI

Eksklusif dengan berat badan tidak naik (2T).

5.3.2 Hubungan Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes dengan Berat

Badan Tidak Naik (2T)

Analisis hubungan antara lamanya pemberian MP-ASI

Kemenkes dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) diperoleh dengan

menggunakan uji crosstabs untuk melihat nilai OR. Lamanya pemberian

MP-ASI Kemenkes dikategorikan menjadi dua, yaitu ≥ 90 hari dan < 90

hari . Adapun hasil uji yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 5.13

dibawah ini:

Tabel 5.13

Analisis Hubungan antara Lamanya Pemberian MP-ASI

Kemenkes dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan

Pancoran Jakarta Selatan Tahun 2011

Lama

MP-ASI

Kemenkes

Berat Badan Tidak Naik (2T)

OR CI

(95%) 2T Non 2T Jumlah

N % N % n %

≥ 90 hari 36 87,8 28 68,3 64 78

0,299 0,095-

0,939 < 90 hari 5 12,23 13 31,7 18 22

Total 41 100 41 100 82 100

Berdasarkan hasil uji diatas, dapat diketahui bahwa dari 64 baduta

yang memakan MP-ASI Kemenkes ≥ 90 hari, yang mengalami 2T

Page 104: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

80

sebanyak 36 baduta (87,8%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 28

baduta (68,3%). Sedangkan dari 18 baduta yang memakan MP-ASI

Kemenkes < 90 hari, yang mengalami 2T sebanyak 5 baduta (12,23%) dan

yang tidak mengalami 2T sebanyak 13 baduta (31,7%).

Berdasarkan uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 0,299

dimana pada penelitian case control nilai OR < 1 maka faktor yang diteliti

merupakan faktor protektif, artinya baduta yang memakan MP-ASI

Kemenkes < 90 hari hari berisiko 1/0,299 atau 3,34 kali mengalami 2T

dibandingkan baduta yang memakan MP-ASI Kemenkes ≥ 90 hari. Selain

itu didapat nilai CI 95% (0,095-0,939) yang menunjukkan bahwa ada

hubungan antara lamanya MP-ASI Kemenkes dengan berat badan tidak

naik (2T).

5.3.3 Hubungan Riwayat Penyakit Infeksi dengan Berat Badan Tidak Naik

(2T)

Analisis hubungan antara riwayat penyakit infeksi dengan Berat

Badan Tidak Naik (2T) diperoleh dengan menggunakan uji crosstabs

untuk melihat nilai OR. Riwayat penyakit infeksi dikategorikan menjadi

dua, yaitu ya, jika pernah menderita penyakit selama pemberian MP-ASI

Kemenkes dan tidak, jika tidak pernah menderita penyakit selama

pemberian MP-ASI Kemenkes. Adapun hasil uji yang diperoleh dapat

dilihat pada tabel 5.14 dibawah ini:

Page 105: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

81

Tabel 5.14

Analisis Hubungan antara Riwayat Penyakit Infeksi dengan

Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran Jakarta

Selatan Tahun 2011

Riwayat

Penyakit

Infeksi

Berat Badan Tidak Naik (2T)

OR CI

(95%) 2T Non 2T Jumlah

n % N % n %

Tidak 9 22 19 46,3 28 34,1

3,071 1,174-

8,028 Ya 32 78 22 53,7 54 65,9

Total 41 100 41 100 82 100

Berdasarkan hasil uji diatas, dapat diketahui bahwa dari 28 baduta

yang tidak mengalami riwayat penyakit infeksi, yang mengalami 2T

sebanyak 9 baduta (22%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 19

baduta (46,3%). Sedangkan dari 54 baduta yang mengalami riwayat

penyakit infeksi, yang mengalami 2T sebanyak 32 baduta (78%) dan yang

tidak mengalami 2T sebanyak 22 baduta (53,7%).

Berdasarkan uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 3,071

dimana pada penelitian case control nilai OR > 1 maka faktor yang diteliti

merupakan faktor resiko, artinya baduta yang mengalami riwayat penyakit

infeksi memiliki resiko 3,071 kali mengalami 2T dibandingkan baduta

yang tidak mengalami riwayat penyakit infeksi. Selain itu didapat nilai CI

95% (1,174-8,028) yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara riwayat

penyakit infeksi dengan berat badan tidak naik (2T).

Page 106: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

82

5.3.4 Hubungan Pola Konsumsi Makan dengan Berat Badan Tidak Naik

(2T)

a. Makanan Pokok

Analisis hubungan antara pola konsumsi makanan pokok dengan

Berat Badan Tidak Naik (2T) diperoleh dengan menggunakan uji

crosstabs untuk melihat nilai OR. Pola konsumsi makanan pokok

dikategorikan menjadi dua, yaitu sering , jika ≥ 2x/hari dan jarang, jika

< 2x/hari Adapun hasil uji yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 5.15

dibawah ini:

Tabel 5.15

Analisis Hubungan antara Pola Konsumsi Makanan Pokok

dengan Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran

Jakarta Selatan Tahun 2011

Makanan

Pokok

Berat Badan Tidak Naik (2T)

OR CI

(95%) 2T Non 2T Jumlah

n % N % N %

Sering 29 70,7 26 63,4 55 67,1

0,717 0,284-

1,810 Jarang 12 29,3 15 36,6 27 32,9

Total 41 100 41 100 82 100

Berdasarkan hasil uji diatas, dapat diketahui bahwa dari 55 baduta

yang sering mengkonsumsi makanan pokok, yang mengalami 2T sebanyak

29 baduta (70,7%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 26 baduta

(63,4%). Sedangkan dari 27 baduta yang jarang mengkonsumsi makanan

pokok, yang mengalami 2T sebanyak 12 baduta (29,3%) dan yang tidak

mengalami 2T sebanyak 15 baduta (36,6%).

Page 107: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

83

Berdasarkan uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 0,717

dimana pada penelitian case control nilai OR < 1 maka faktor yang diteliti

merupakan faktor protektif, artinya baduta yang jarang mengkonsumsi

makanan pokok memiliki resiko 1/0,717 atau 1,39 kali mengalami 2T

dibandingkan baduta yang sering mengkonsumsi makanan pokok. Selain

itu didapat nilai CI 95% (0,284-1,810) yang menunjukkan bahwa tidak

hubungan antara pola konsumsi makanan pokok dengan berat badan tidak

naik (2T).

b. Lauk Hewani

Analisis hubungan antara pola konsumsi lauk hewani dengan Berat

Badan Tidak Naik (2T) diperoleh dengan menggunakan uji crosstabs

untuk melihat nilai OR. Pola konsumsi lauk hewani dikategorikan menjadi

dua, yaitu sering , jika ≥ 2x/hari dan jarang, jika < 2x/hari Adapun hasil uji

yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 5.16 dibawah ini:

Tabel 5.16

Analisis Hubungan antara Pola Konsumsi Lauk Hewani dengan

Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran Jakarta

Selatan Tahun 2011

Lauk

Hewani

Berat Badan Tidak Naik (2T)

OR CI

(95%) 2T Non 2T Jumlah

n % N % n %

Sering 8 19,5 10 24,4 18 22

1,331 0,465-

3,806 Jarang 33 80,5 31 75,6 64 78

Total 41 100 41 100 82 100

Berdasarkan hasil uji diatas, dapat diketahui bahwa dari 18 baduta

yang sering mengkonsumsi lauk hewani, yang mengalami 2T sebanyak 8

baduta (19,5%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 10 baduta

Page 108: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

84

(24,4%). Sedangkan dari 64 baduta yang jarang mengkonsumsi lauk

hewani yang mengalami 2T sebanyak 33 baduta (80,5%) dan yang tidak

mengalami 2T sebanyak 31 baduta (75,6%).

Berdasarkan uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 1,331

dimana pada penelitian case control nilai OR > 1 maka faktor yang diteliti

merupakan faktor resiko, artinya baduta yang jarang mengkonsumsi lauk

hewani memiliki resiko 1,331 kali mengalami 2T dibandingkan baduta

yang sering mengkonsumsi lauk hewani. Selain itu didapat nilai CI 95%

(0,465-3,806) yang menunjukkan bahwa tidak hubungan antara pola

konsumsi lauk hewani dengan berat badan tidak naik (2T).

c. Lauk Nabati

Analisis hubungan antara pola konsumsi lauk nabati dengan Berat

Badan Tidak Naik (2T) diperoleh dengan menggunakan uji crosstabs

untuk melihat nilai OR. Pola konsumsi lauk nabati dikategorikan menjadi

dua, yaitu sering , jika ≥ 2x/hari dan jarang, jika < 2x/hari Adapun hasil uji

yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 5.17 dibawah ini:

Tabel 5.17

Analisis Hubungan antara Pola Konsumsi Lauk Nabati dengan

Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran Jakarta

Selatan Tahun 2011

Lauk

Nabati

Berat Badan Tidak Naik (2T)

OR CI

(95%) 2T Non 2T Jumlah

n % N % n %

Sering 10 24,4 11 26,8 21 25,6

1,137 0,421-

3,067 Jarang 31 75,6 30 73,2 61 74,4

Total 41 100 41 100 82 100

Page 109: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

85

Berdasarkan hasil uji diatas, dapat diketahui bahwa dari 21 baduta

yang sering mengkonsumsi lauk nabati, yang mengalami 2T sebanyak 10

baduta (24,4%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 11 baduta

(26,8%). Sedangkan dari 61 baduta yang jarang mengkonsumsi lauk nabati

yang mengalami 2T sebanyak 31 baduta (75,6%) dan yang tidak

mengalami 2T sebanyak 30 baduta (73,2%).

Berdasarkan uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 1,137

dimana pada penelitian case control nilai OR > 1 maka faktor yang diteliti

merupakan faktor resiko, artinya baduta yang jarang mengkonsumsi lauk

nabati memiliki resiko 1,137 kali mengalami 2T dibandingkan baduta yang

sering mengkonsumsi lauk nabati. Selain itu didapat nilai CI 95% (0,421-

3,067) yang menunjukkan bahwa tidak hubungan antara pola konsumsi

lauk nabati dengan berat badan tidak naik (2T).

d. Sayuran

Analisis hubungan antara pola konsumsi sayuran dengan Berat

Badan Tidak Naik (2T) diperoleh dengan menggunakan uji crosstabs

untuk melihat nilai OR. Pola konsumsi sayuran dikategorikan menjadi dua,

yaitu sering , jika ≥ 2x/hari dan jarang, jika < 2x/hari Adapun hasil uji

yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 5.18 dibawah ini:

Page 110: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

86

Tabel 5.18

Analisis Hubungan antara Pola Konsumsi Sayuran dengan

Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran Jakarta

Selatan Tahun 2011

Sayuran

Berat Badan Tidak Naik (2T)

OR CI

(95%) 2T Non 2T Jumlah

n % N % n %

Sering 17 41,5 18 43,9 35 42,7

1,105 0,460-

2,652 Jarang 24 58,5 23 56,1 47 57,3

Total 41 100 41 100 82 100

Berdasarkan hasil uji diatas, dapat diketahui bahwa dari 35 baduta

yang sering mengkonsumsi sayuran, yang mengalami 2T sebanyak 17

baduta (41,5%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 18 baduta

(43,9%). Sedangkan dari 47 baduta yang jarang mengkonsumsi sayuran

yang mengalami 2T sebanyak 24 baduta (58,5%) dan yang tidak

mengalami 2T sebanyak 23 baduta (56,1%).

Berdasarkan uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 1,105

dimana pada penelitian case control nilai OR > 1 maka faktor yang diteliti

merupakan faktor resiko, artinya baduta yang jarang mengkonsumsi

sayuran memiliki resiko 1,105 kali mengalami 2T dibandingkan baduta

yang sering mengkonsumsi sayuran. Selain itu didapat nilai CI 95%

(0,460-2,652) yang menunjukkan bahwa tidak hubungan antara pola

konsumsi sayuran dengan berat badan tidak naik (2T).

e. Buah

Analisis hubungan antara pola konsumsi buah dengan Berat Badan

Tidak Naik (2T) diperoleh dengan menggunakan uji crosstabs untuk

Page 111: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

87

melihat nilai OR. Pola konsumsi buah dikategorikan menjadi dua, yaitu

sering , jika ≥ 2x/hari dan jarang, jika < 2x/hari Adapun hasil uji yang

diperoleh dapat dilihat pada tabel 5.19 dibawah ini:

Tabel 5.19

Analisis Hubungan antara Pola Konsumsi Buah dengan Berat

Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan

Tahun 2011

Buah

Berat Badan Tidak Naik (2T)

OR CI

(95%) 2T Non 2T Jumlah

N % N % n %

Sering 25 61 23 56,1 48 58,5

0,818 0,339-

1,971 Jarang 16 39 18 43,9 34 41,5

Total 41 100 41 100 82 100

Berdasarkan hasil uji diatas, dapat diketahui bahwa dari 48 baduta

yang sering mengkonsumsi buah, yang mengalami 2T sebanyak 25 baduta

(61%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 23 baduta (56,1%).

Sedangkan dari 34 baduta yang jarang mengkonsumsi sayuran yang

mengalami 2T sebanyak 16 baduta (39%) dan yang tidak mengalami 2T

sebanyak 18 baduta (41,5%).

Berdasarkan uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 0,818

dimana pada penelitian case control nilai OR < 1 maka faktor yang diteliti

merupakan faktor protektif, artinya baduta yang jarang mengkonsumsi

buah memiliki resiko 1/0,818 atau 1,22 kali mengalami 2T dibandingkan

baduta yang sering mengkonsumsi buah. Selain itu didapat nilai CI 95%

(0,339-1,971) yang menunjukkan bahwa tidak hubungan antara pola

konsumsi buah dengan berat badan tidak naik (2T).

Page 112: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

88

f. Susu

Analisis hubungan antara pola konsumsi susu dengan Berat Badan

Tidak Naik (2T) diperoleh dengan menggunakan uji crosstabs untuk

melihat nilai OR. Pola konsumsi susu dikategorikan menjadi dua, yaitu

sering , jika ≥ 2x/hari dan jarang, jika < 2x/hari Adapun hasil uji yang

diperoleh dapat dilihat pada tabel 5.20 dibawah ini:

Tabel 5.20

Analisis Hubungan antara Pola Konsumsi Susu dengan Berat

Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan

Tahun 2011

Susu

Berat Badan Tidak Naik (2T)

OR CI

(95%) 2T Non 2T Jumlah

N % n % n %

Sering 13 31,7 4 9,8 17 20,7

0,233 0,069-

0,791 Jarang 28 68,3 37 90,2 65 79,3

Total 41 100 41 100 82 100

Berdasarkan hasil uji diatas, dapat diketahui bahwa dari 17 baduta

yang sering mengkonsumsi susu, yang mengalami 2T sebanyak 13 baduta

(31,7%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 4 baduta (9,8%).

Sedangkan dari 65 baduta yang jarang mengkonsumsi susu yang

mengalami 2T sebanyak 28 baduta (68,3%) dan yang tidak mengalami 2T

sebanyak 37 baduta (90,2%).

Berdasarkan uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 0,233

dimana pada penelitian case control nilai OR < 1 maka faktor yang diteliti

merupakan faktor protektif, artinya baduta yang jarang mengkonsumsi

susu memiliki resiko 1/0,233 atau 4,29 kali mengalami 2T dibandingkan

Page 113: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

89

baduta yang sering mengkonsumsi buah. Selain itu didapat nilai CI 95%

(0,069-0,791) yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara pola

konsumsi susu dengan berat badan tidak naik (2T).

5.4 Analisis Multivariat

Analisis multivariat bertujuan untuk mendapatkan satu model terbaik dalam

melihat determinan terhadap berat badan tidak naik (2T). Tahapan analisis

multivariat terdiri dari:

5.4.1 Pemilihan Kandidat Multivariat

Berdasarkan hasil analisis bivariat, variabel yang secara teoritis

berhubungan dengan variabel dependen atau nilai p ≤ 0,25 dianggap

potensial untuk dimasukkan ke dalam analisis regresi logistik

berganda.

Dari 9 variabel independen yang dianalisis, terdapat 4 variabel

yang memenuhi syarat untuk dimasukkan dalam analisis multivariat.

Keempat variabel tersebut adalah ASI Eksklusif , Lamanya Pemberian

MP-ASI Kemenkes, Riwayat Penyakit Infeksi dan Pola Konsumsi

Susu. Adapun keempat variabel tersebut disajikan pada tabel 5.21

Tabel 5.21

Hasil Analisis Multivariat Regresi Logistik Berganda Tahap Pertama

No Variabel Independen P-value

1 ASI Eksklusif 0,007

2 Lamanya Pemberian MP-ASI

Kemenkes

0,030

3 Riwayat Penyakit Infeksi 0,019

4 Pola Konsumsi Susu 0,012

Page 114: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

90

5.4.2 Pembuatan Model

Setelah variabel independen dimasukkan ke dalam proses

pemodelan, kemudian dilakukan eliminasi variabel dimulai dengan

mengeluarkan variabel yang mempunyai nilai p paling besar (standar

p ≤ 0,05). Hasil analisis dapat dilihat pada tabel 5.22

Tabel 5.22

Hasil Analisis Multivariat Regresi Logistik Berganda Tahap Kedua

Variabel Independen B Wald p-value OR 95,0% CI for EXP

(B)

ASI Eksklusif 1,194 4,997 0,026 3,302 1,156 – 9, 429

Lamanya Pemberian

MP-ASI Kemenkes

-2,008 6,772 0,009 0,134 0,030 – 0,609

Riwayat Penyakit

Infeksi

1,342 5,334 0,021 3,828 1,225 – 11,959

Pola Konsumsi Susu -1,869 6,504 0,011 0,154 0,037 – 0,649

Hasil tahapan multivariat tahap pemodelan memperlihatkan

adanya hubungan yang bermakna antara adalah ASI Eksklusif,

Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes, Riwayat Penyakit Infeksi

dan Pola Konsumsi Susu. Keempat variabel tersebut masuk ke dalam

model karena nilai p ≤ 0,05

5.4.3 Pengujian Interaksi

Pengujian interaksi dilakukan untuk mengetahui hubungan

antara variabel independen dan pengaruhnya terhadap uji regresi

logistik berganda. Berdasarkan variabel yang masuk model

multivariat, maka variabel yang diduga ada hubungan interaksi

adalah ASI Eksklusif dengan Riwayat Penyakit Infeksi, Dari hasil

pengujian interaksi ternyata terlihat adanya interaksi antara ASI

Page 115: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

91

Eksklusif dengan Riwayat Penyakit Infeksi (p-value < 0,05). Hal ini

dapat dilihat pada tabel 5.23

Tabel 5.23

Hasil Analisis Uji Interaksi

Variabel

Independen B Wald p-value OR

95,0% CI for EXP

(B)

ASI Eksklusif 6,152 6,447 0,011 469,450 4,067 – 5,419 x 10 4

Lamanya

Pemberian MP-

ASI Kemenkes

-1,963 5,871 0,015 0,140 0,209 – 0,687

Riwayat Penyakit

Infeksi 5,460 6,990 0,008 235,065 4,106 – 1,346 x 10

4

Pola Konsumsi

Susu -2,296 7,753 0,05 0,101 0,020 – 0,507

ASI Eksklusif *

Riwayat

Penyakit Infeksi

-2,874 4,659 0,031 0,056 0,004 – 0,768

5.4.4 Tahap Akhir

Setelah dilakukan tahap pengujian interaksi maka selanjutnya

dilakukan uji tahap akhir untuk mendapatkan variabel mana yang

paling dominan mempengaruhi berat badan tidak naik (2T). Pada

tahap uji interaksi diketahui adanya interaksi antara variabel ASI

Eksklusif dengan Riwayat Penyakit Infeksi (0,031 > 0,05).

Jika dilihat pada tabel 5.23 keempat variabel ( ASI Eksklusif,

Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes, Riwayat Penyakit Infeksi,

Pola Konsumsi Susu) dan interaksi antara ASI Eksklusif dengan

Riwayat Penyakit Infeksi berhubungan signifikan dengan berat

badan tidak naik (p-value < 0,05). Sehingga model akhir multivariat

dapat dilihat pada tabel 5.24

Page 116: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

92

Tabel 5.24

Model Akhir Multivariat Regresi Logistik Berganda

Variabel

Independen B Wald p-value OR

95,0% CI for EXP

(B)

ASI Eksklusif 6,152 6,477 0,011 469,450 4,067 – 5,419 x 10 4

Lamanya

Pemberian

MP-ASI

Kemenkes

-1,963 5,871 0,015 0,140 0,209 – 0,687

Riwayat

Penyakit

Infeksi

5,460 6,990 0,008 235,065 4,106 – 1,346 x 104

Pola

Konsumsi

Susu

-2,296 7,753 0,05 0,101 0,020 – 0,507

ASI

Eksklusif *

Riwayat

Penyakit

Infeksi

-2, 874 4,659 0,031 0,056 0,004 – 0,768

Konstanta -4,517 1,617 0,204 0,011

-2 Log Likelihood = 83,5489

Nagelkerke R Square = 0,410

Dari hasil analisis diperoleh nilai OR ASI Eksklusif sebesar

469,450 artinya ibu yang tidak memberikan ASI Eksklusif kepada

anaknya memiliki resiko 469,450 kali mengalami 2T dibandingkan

ibu yang memberikan ASI Eksklusif.

Variabel lamanya pemberian MP-ASI Kemenkes berdasarkan

hasil analisis diperoleh nilai OR sebesar 0,140 artinya baduta yang

memakan MP-ASI Kemenkes > 90 hari memiliki resiko 0,140 kali

mengalami 2T dibandingkan baduta yang memakan MP-ASI

Kemenkes ≥ 90 hari.

Dari hasil analisis diperoleh nilai OR Riwayat Penyakit Infeksi

sebesar 235,065 artinya baduta yang mengalami riwayat penyakit

Page 117: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

93

infeksi memiliki resiko 235,065 kali mengalami 2T dibandingkan

yang tidak mengalami riwayat penyakit infeksi.

Variabel Pola Konsumsi Susu berdasarkan hasil analisis

diperoleh nilai OR sebesar 0,101 artinya baduta yang jarang

mengkonsumsi susu memiliki resiko 0,101 kali mengalami 2T

dibandingkan baduta yang sering minum susu.

Sedangkan untuk variabel interaksi antara ASI Eksklusif

dengan Riwayat Penyakit Infeksi diperoleh nilai OR sebesar 0,056

artinya baduta yang tidak diberikan ASI Eksklusif dan mengalami

riwayat penyakit infeksi memiliki resiko 0,056 mengalami 2T

dibandingkan baduta yang diberikan ASI Eksklusif dan tidak

mengalami riwayat penyakit infeksi.

Maka dapat disimpulkan bahwa variabel ASI Eksklusif,

Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes, Riwayat Penyakit Infeksi,

Pola Konsumsi Susu dan Interaksi antara ASI Eksklusif dengan

Riwayat Penyakit Infeksi memiliki hubungan dengan berat badan

tidak naik (2T).

Dari hasil analisis multivariat, maka bentuk model regresi

logistik berganda tersebut dapat dinyatakan dalam persamaan

matematika sebagai berikut:

Logit Berat Badan Tidak Naik (2T) : - 4,517 + 6,152*ASI

Eksklusif – 1,963*Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes +

5,460*Riwayat Penyakit Infeksi – 2,29* Pola Konsumsi Susu –

2,874 (ASI Eksklusif*Riwayat Penyakit Infeksi)

Page 118: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

94

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Penelitian

Pada penelitian ini memiliki keterbatasan-keterbatasan, antara lain adanya

beberapa variabel dari kerangka teori yang tidak diteliti, seperti karakteristik

anak dan karakteristik keluarga. Serta adanya variabel metabolisme bawaan

yang tidak dijadikan variabel pada penelitian ini, karena untuk melakukan

penelitian terhadap faktor metabolisme bawaan tersebut membutuhkan waktu

yang cukup lama, biaya yang besar dan biasanya lebih difokuskan pada bidang

kedokteran. Sehingga variabel-variabel yang tidak dijadikan kerangka konsep

pada penelitian ini kemungkinan dapat mempengaruhi hasil penelitian.

Karena penelitian ini menggunakan desain case control, sehingga data-

data yang dibutuhkan adalah data masa lalu (adanya faktor jeda waktu yang

terpotong) sehingga terkadang menyulitkan responden yang harus mengingat

kembali terhadap pertanyaan-pertanyaan kuesioner, sehingga apabila responden

tidak menjawab secara jujur dapat mempengaruhi hasil penelitian. Selain itu jika

jumlah sampel lebih banyak, kemungkinan hasil penelitian pun berbeda. Dimana

jumlah responden pada penelitian ini hanya berjumlah 82 ibu baduta (1:1).

Untuk variabel konsumsi makan metode yang digunakan adalah FFQ

kualitatif, pada metode ini jawaban sangat bergantung pada kejujuran dan

kemampuan responden dalam mengingat jenis makanan yang dimakan baduta.

Pola konsumsi makan tersebut tidak di observasi mendetail satu persatu

dikarenakan keterbatasan waktu dan tenaga. Selain itu seharusnya untuk variabel

Page 119: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

95

konsumsi makan diteliti saat periode program MP-ASI Kemenkes pada bulan

November 2010- Februari 2011.

Berdasarkan penelitian dilapangan, terdapat faktor keterbatasan dari

peneliti seperti keterbatasan waktu, dana dan tenaga dan lain sebagainya.

6.2 Gambaran Berat Badan Tidak Naik (2T) di Kecamatan Pancoran, Jakarta

Selatan Tahun 2011

Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan

penggunaan zat-zat gizi (Almatsier, 2004). Depkes (2003) mengartikan status

gizi sebagai keadaan gizi seseorang yang dapat dinilai untuk mengetahui apakah

seseorang itu normal atau bermasalah (gizi salah/malnutrisi).

Status gizi dapat dibedakan menjadi gizi baik, kurang dan buruk. Gizi

buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun.

Anak balita sehat atau kurang gizi secara sederhana dapat diketahui dengan

membandingkan antara berat badan menurut umurnya dengan standar yang telah

ditetapkan (Depkes, 2005). Pada penelitian kali ini yang mengkategorikan

apakah seorang baduta tersebut 2T atau tidak adalah kader kesehatan yang

dilakukan di Posyandu. Dimana berat badan baduta tersebut tidak naik dua bulan

berturut-turut.

Dalam penelitian kali ini proporsi baduta yang dijadikan subjek penelitian

yang mengalami 2T dan tidak (non 2T) masing-masing berjumlah 41 baduta.

Adapun jumlah keseluruhan baduta 2T di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan

berjumlah 60 baduta untuk periode Program MP-ASI Kemenkes bulan

November 2010-Februari 2011.

Page 120: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

96

Diagram 6.1

Proporsi Sampel Baduta 2T dan Non 2T

di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011

6.3 Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Berat Badan Tidak Naik (2T)

Pada Baduta Gakin Setelah Pemberian Program MP-ASI Kemenkes di

Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011

Faktor-faktor yang diteliti dalam penelitian ini adalah ASI Eksklusif,

Lamanya pemberian MP-ASI Kemenkes, Riwayat penyakit infeksi dan Pola

konsumsi makan. Faktor-faktor tersebut yang secara langsung dialami oleh

baduta. Berikut ini hasil dan pembahasan terhadap faktor-faktor yang diteliti

dihubungkan dengan Berat badan tidak naik (2T).

6.3.1 Hubungan antara ASI Eksklusif dengan Berat Badan Tidak Naik (2T)

ASI Eksklusif merupakan pemberian hanya air susu ibu saja tanpa

tambahan cairan atau makan lain sampai balita berumur 6 bulan.

Terjadinya kurang gizi, erat kaitannya dengan produksi ASI maupun

lamanya pemberian ASI. Tidak diberikannya atau terlalu cepatnya bayi

disapih akan memperbesar kemungkinan keadaan gizi kurang (Depkes,

2003).

2T 50% Non 2T

50%

Proporsi Baduta

Page 121: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

97

Hasil analisis hubungan antara ASI Eksklusif dengan berat badan

tidak naik (2T) diperoleh bahwa dapat dari 48 ibu yang memberikan ASI

Eksklusif, yang mengalami 2T sebanyak 18 baduta (43,9%) dan yang tidak

mengalami 2T sebanyak 30 baduta (73,2%). Sedangkan dari 34 ibu yang

tidak memberikan ASI Eksklusif yang mengalami 2T sebanyak 23 baduta

(56,1%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 11 baduta (26,8%).

Berdasarkan uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 3,485

dengan nilai interval CI 95% (1,380-8,798), sehingga dapat disimpulkan

bahwa ada hubungan antara faktor ASI Eksklusif dengan berat badan tidak

naik (2T), dimana ibu yang tidak memberikan ASI Eksklusif kepada

anaknya berisiko 3,485 kali mengalami 2T dibandingkan ibu yang

memberikan ASI Eksklusif.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Mutiara (2006) dan

Okviyanti (2007) bahwa terdapat hubungan bermakna antara pemberian

ASI Eksklusif dengan status gizi balita. Serta sesuai dengan penelitian

Widodo dkk, (2005), berdasarkan indeks antropometri BB menunjukkan

bahwa sejak usia 2 – 4 bulan kenaikan rata-rata BB bayi yang diberi ASI

Eksklusif daripada bayi yang diberi MP-ASI sebelum usia 4 bulan.

Selain itu dari hasil penelitian ini didapatkan sebanyak 56 ibu

(63,8%) langsung memberikan ASI kepada anaknya saat lahir dan 26 ibu

(31,7%) tidak memberikan ASI secara langsung. Sebanyak 13,4%

diberikan susu formula, 11% madu, 3,7% pisang, 2,4% air putih. Bagi ibu-

ibu yang mengalami hambatan dalam menyusui sebanyak 20,7% tetap

Page 122: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

98

diberikan ASI, 23,2% diberikan susu formula dan lainnya diberikan

pisang, madu ataupun air putih. Karena zat gizi dalam ASI cukup untuk

memenuhi kebutuhan bayi dan komposisi sesuai untuk bayi (WHO, 1999).

Pada penelitian ini diketahui pula sebanyak 45 ibu (54,9%) yang

tidak memberikan ASI sampai 2 tahun sedangkan hanya 37 ibu (45,1%)

yang tetap memberikan ASI sampai 2 tahun. Padahal WHO dan UNICEF

menganjurkan ibu untuk tetap menyusui anaknya sampai usia 2 tahun.

Karena pemberian ASI pada batita > 1tahun memberikan manfaat seperti:

31% kebutuhan energi anak, 38% kebutuhan protein anak, 45% kebutuhan

vitamin A anak, 95% kebutuhan vitamin C anak (WHO, 2003).

Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberian ASI Eksklusif sangat

mempengaruhi berat badan anak tersebut, apabila anak tidak diberikan ASI

Eksklusif kemungkinan akan memperbesar keadaan gizi kurang atau

dengan kata lain mengalami ketidaknaikan berat badan.

6.3.2 Hubungan antara Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes dengan

Berat Badan Tidak Naik (2T)

Makanan Pendamping ASI adalah makanan atau minuman yang

mengandung zat gizi, yang diberikan pada bayi atau anak usia 6-24 bulan

guna memenuhi kebutuhan gizi selain ASI (Depkes, 2006).

MP-ASI merupakan makanan peralihan dari ASI ke makanan

keluarga. Pengenalan dan pemberian MP-ASI harus dilakukan secara

bertahap baik bentuk maupun jumlahnya, sesuai dengan kemampuan bayi

atau anak. Pemberian MP-ASI yang cukup kualitas dan kuantitasnya

Page 123: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

99

penting untuk pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan anak

(Depkes, 2000).

Tujuan pemberian MP-ASI adalah untuk menambah energi dan zat-

zat gizi yang diperlukan bayi karena ASI tidak dapat memenuhi kebutuhan

bayi secara terus menerus. Dengan demikian makanan tambahan diberikan

untuk mengisi kesenjangan antara kebutuhan nutrisi total pada anak

dengan jumlah yang didapatkan dari ASI (WHO, 2003).

Kementrian Kesehatan RI melakukan program pemberian MP-ASI

untuk seluruh keluarga miskin dengan sasaran pemberian MP-ASI berupa

bubur adalah bayi usia 6-11 bulan dan sasaran pemberian MP-ASI berupa

biskuit adalah anak usia 12-24 bulan. Jangka waktu pemberian MP-ASI

diberikan selama 90 hari. Adapun jumlah MP-ASI yang diberikan:

1. Untuk sasaran bayi umur 6-11 bulan akan mendapat MP-ASI

bubur sebanyak 100 gr/hari yang diberikan dalam 3 kali

penyajian per hari

2. Untuk sasaran anak umur 12-24 bulan akan mendapat MP-ASI

biskuit sebanyak 120 gr/hari

Pada penelitian kali ini yang difokuskan adalah jenis MP-ASI

Kemenkes berupa biskuit untuk baduta berumur 12-24 bulan, karena data

sekunder dari Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan didapatkan bahwa

lebih banyak baduta yang mengalami berat badan tidak naik dua bulan

berturut-turut (2T).

Page 124: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

100

Hasil analisis hubungan antara lamanya pemberian MP-ASI

Kemenkes dengan berat badan tidak naik (2T) diperoleh bahwa dari 64

baduta yang memakan MP-ASI Kemenkes ≥ 90 hari, yang mengalami 2T

sebanyak 36 baduta (87,8%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 28

baduta (68,3%). Sedangkan dari 18 baduta yang memakan MP-ASI

Kemenkes < 90 hari, yang mengalami 2T sebanyak 5 baduta (12,23%) dan

yang tidak mengalami 2T sebanyak 13 baduta (31,7%).

Dari hasil uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 0,299

dengan interval CI 95% (0,095-0,939) sehingga dapat disimpulkan bahwa

ada hubungan antara lamanya pemberian MP-ASI Kemenkes dengan berat

badan tidak naik (2T), dimana baduta yang memakan MP-ASI Kemenkes

< 90 hari berisiko 1/0,299 atau 3,34 kali mengalami 2T dibandingkan

baduta yang memakan MP-ASI Kemenkes ≥ 90 hari, dengan kata lain

dapat dikatakan bahwa pemberian MP-ASI Kemenkes ≥ 90 hari

merupakan faktor protektif.

Hasil penelitian ini sesuai dengan anjuran dari Kementrian

Kesehatan RI yang menetapkan jangka waktu pemberian MP-ASI

Kemenkes adalah 90 hari. Walaupun fakta dilapangan masih adanya

baduta yang mendapatkan MP-ASI berupa biskuit ≥ 90 hari maupun < 90

hari.

Dimana program MP-ASI Kemenkes RI ini dikhususkan untuk bayi

dan baduta dari keluarga miskin yang mengalami gizi kurang maupun gizi

buruk. Dari hasil wawancara koordinator gizi di Puskesmas Kecamatan

Page 125: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

101

Pancoran maupun kader kesehatan didapatkan fakta bahwa terkadang ibu

yang bukan dari keluarga miskin pun ikut meminta biskuit. Sehingga

alokasi biskuit berkurang untuk yang seharusnya menerima biskuit

tersebut.

Sebanyak 51,2% baduta tidak menghabiskan biskuit sesuai anjuran

yaitu 120g/hari dan 48,8% baduta menghabiskan biskuit sesuai anjuran

yang telah ditetapkan. Dari 82 baduta yang menjadi responden didapatkan

hasil sebanyak 61% biskuit tersebut tidak hanya dimakan oleh baduta dan

39% hanya dimakan oleh baduta. Rata-rata sebanyak 25,6% ikut dimakan

oleh ibu/ayah, 22% ikut dimakan oleh kakak/adik, 11% oleh saudara dan

sebanyak 2,4% ikut dimakan oleh saudara. Dari fakta tersebut seharusnya

lebih disosialisasikan mengenai program MP-ASI Kemenkes biskuit

bahwa biskuit tersebut hanya boleh dimakan oleh badutanya saja.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa lamanya pemberian MP-ASI

Kemenkes (biskuit) sangat erat kaitannya dengan berat badan tidak naik

(2T). Karena dengan adanya program MP-ASI tersebut seharusnya dapat

memperbaiki status gizi bayi dan baduta.

6.3.3 Hubungan antara Riwayat Penyakit Infeksi dengan Berat Badan

Tidak Naik (2T)

Hadirnya penyakit infeksi dalam tubuh anak akan membawa

pengaruh terhadap keadaan gizinya. Sebagai reaksi pertama akibat adanya

infeksi adalah menurunnya nafsu makan anak sehingga anak menolak

Page 126: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

102

makanan yang diberikan ibunya. Penolakan terhadap makanan berarti

berkurangnya pemasukan zat gizi ke dalam tubuh anak (Moehyi, 1988).

Penyakit infeksi dapat pula disebabkan kurangnya kesadaran untuk

menjaga kebersihan dan sanitasi. Sanitasi lingkungan yang kurang akan

mempermudah penularan penyakit infeksi.

Pada penelitian kali ini lebih banyak baduta yang pernah mengalami

riwayat penyakit infeksi sebesar 52 baduta (65,9%) dan 28 baduta (34,1%)

tidak pernah mengalami riwayat penyakit infeksi. Dimana peneliti

melakukan cross check untuk mengurangi bias terhadap sebagian besar

data responden ke posyandu/puskesmas, terhadap jawaban yang diberikan

oleh responden. Dimana terkadang ada responden yang menjawab tidak

pernah menderita penyakit infeksi selama periode pemberian MP-ASI

tetapi saat diberikan pertanyaan tentang gejala-gelaja yang pernah dialami

hasilnya pun menyatakan bahwa baduta tersebut pernah menderita

penyakit infeksi. Mungkin responden terkesan takut dengan kata penyakit

infeksi, disini peneliti melakukan bahasa yang lebih halus dan mudah

dimengerti agar data yang diharapkan sesuai dengan fakta dilapangan.

Hasil analisis hubungan antara riwayat penyakit infeksi dengan berat

badan tidak naik (2T), diperoleh bahwa dari 28 baduta yang tidak

mengalami riwayat penyakit infeksi, yang mengalami 2T sebanyak 9

baduta (22%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 19 baduta (46,3%).

Sedangkan dari 54 baduta yang mengalami riwayat penyakit infeksi, yang

Page 127: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

103

mengalami 2T sebanyak 32 baduta (78%) dan yang tidak mengalami 2T

sebanyak 22 baduta (53,7%).

Hasil uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 3,071 dengan

interval CI 95% (1,174-8,028 ) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada

hubungan antara riwayat penyakit infeksi dengan berat badan tidak naik

(2T), dimana baduta yang mengalami riwayat penyakit infeksi memiliki

resiko 3,071 kali mengalami 2T dibandingkan baduta yang tidak

mengalami riwayat penyakit infeksi.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Sukmadewi (2003) yang

menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara riwayat penyakit

infeksi dengan status gizi balita. Hal tersebut juga sesuai dengan penelitian

Hadi (2005) dan Feddelia (2006) menyatakan bahwa proporsi balita yang

mengalami kurang gizi lebih banyak ditemukan pada balita yang

mengalami infeksi berat/diare dibandingkan dengan balita yang

mengalami infeksi ringan/tidak menderita diare.

Keusch dan Scrimshaw dalam Kartika, dkk (2003), menyatakan

bahwa ada hubungan sinergis antara keadaan gizi dengan penyakit infeksi.

Penyakit infeksi dapat berpengaruh negatif terhadap daya tahan tubuh,

karena penyakit infeksi dapat menurunkan nafsu makan sehingga

konsumsi makanan menurun. Padahal kebutuhan gizi anak sewaktu sakit

justru meningkat. Di samping itu, infeksi menggangu metabolisme,

membuat ketidakseimbangan hormon dan menggangu fungsi imunitas.

Jadi anak yang terkena penyakit infeksi yang berulang dan kronis akan

Page 128: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

104

mengalami gangguan gizi dan imunitas baik secara absolut maupun relatif.

Kurang gizi walaupun masih ringan mempunyai pengaruh negatif tehadap

daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi derajat apapun dapat

memperburuk keadaam gizi. Semua akibat infeksi ini merugikan

pertumbuhan anak, sehingga pertumbuhan anak secara antropometris

terganggu.

Penyakit infeksi erat kaitannya dengan status gizi rendah. Hubungan

antara kekurangan gizi dengan penyakit infeksi antara lain dapat dijelaskan

melalui mekanisme pertahanan tubuh, dimana pada balita yang mengalami

kekurangan gizi akan mengalami kekurangan masukan energi dan protein,

sehingga kemampuan tubuh untuk membentuk protein baru berkurang. Hal

ini mengakibatkan pembentukan kekebalan tubuh seluler terganggu

sehingga tubuh menjadi rawan terhadap serangan infeksi (Jellife, 1989

dalam Hadi, 2005).

Dari hasil penelitian ini didapatkan sebanyak 18,3% diare, 12,2%

demam, 9,8% ISPA, 4,9% TBC dan 23,2% menderita penyakit lainnya

seperti batuk, pilek dan sebagainya. Dari faktwa dilapangan didapatkan

seorang anak yang menderita gizi buruk serta mengalami kelainan jantung

bawaan. Bahkan kasus anak tersebut sampai diliput oleh media. Sebanyak

68,3% ibu baduta tersebut sudah berusaha mencari pengobatan untuk

anaknya, 37,8% berobat ke RS/Klinik dan 28% berobat ke

Puskesmas/Posyandu.

Page 129: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

105

Dari hasil pengamatan dilapangan saat dilakukan penelitian memang

benar bahwa lingkungan rumah responden tidak cukup bersih, keadaan

rumah yang padat penduduk, rumah-rumah kontrakan dipusat ibukota dan

dibelakang gedung-gedung bertingkat terlihat penuh sesak, didekat rumah-

rumah tersebut masih terdapat sumber pencemar > 5m sebanyak 40,2%.

Sanitasi dan ventilasi yang kurang menyebabkan lingkungan rumah kurang

mendapatkan sirkulasi udara yang baik, sebanyak 78% sirkulasi udara

terhambat dan 22% sirkulasi udara lancar. Selain itu banyaknya keluarga

yang mengkonsumsi air kemasan isi ulang yang tingkat hygienitasnya

tidak terjamin yaitu sebesar 45,1%. Selain itu personal hygiene ibu kurang

diterapkan karena sebanyak 67,1% hanya mencuci tangan dengan air saja

saat memberikan makanan ke anak dan 12,2% tidak pernah mencuci

tangan dengan sabun atau air sekalipun. Sehingga dapat disimpulkan

bahwa lingkungan rumah dan personal hygiene pun berpengaruh terhadap

kesehatan seseorang. Dimana baduta yang mengalami riwayat penyakit

infeksi akan mempengaruhi berat badannya selain itu dapat memperburuk

status gizinya.

6.3.4 Hubungan antara Pola Konsumsi Makan dengan Berat badan Tidak

Naik (2T)

Makanan yang dikonsumsi sehari-hari berpengaruh terhadap asupan

energi yang masuk ke tubuh. Mengkonsumsi makanan yang bergizi

bermanfaat untuk meningkatkan derajat kesehatan seseorang. Konsumsi

makanan tersebut berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi

baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat

Page 130: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

106

gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan

fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum

pada tingkat setinggi mungkin.

Makanan sehari-hari seperti: makanan pokok, lauk hewani, lauk

nabati, sayuran, susu dan buah dapat mencukupi nilai gizi seseorang setiap

harinya (Almatsier, 2001).

Dari bermacam-macam makanan tersebut menghasilkan berbagai zat

gizi yang diperlukan oleh tubuh baduta. Asupan zat gizi dalam jumlah

mutlak diperlukan pada berbagai tahap tumbuh kembang manusia,

khususnya bayi dan balita. Karena intake yang kurang maupun berlebihan

secara terus-menerus akan menggangu pertumbuhan dan kesehatan

(Pudjiadi, 2000).

Dalam siklus kehidupan manusia, terutama saat tumbuh kembang

anak, makanan merupakan kebutuhan yang terpenting. Menurut

Muhammad as-Syyid (2009) disebutkan bahwa makanan seimbang adalah

makanan yang ideal, baik kuantitas maupun kualitas, bagi setiap penduduk

bumi dengan berbagai macam kepercayaannya.

Al-Qur’an telah membuat pondasi dasar yang jelas dan bijak dalam

hal makanan ini. Bahkan Nabi Muhammad SAW telah mengukuhkan

dasar tersebut sembari memberikan beberapa ketentuan dan aturan yang

menjamin realisasinya sehingga seorang muslim benar-benar dapat

mengkonsumsi makanan yang sempurna dan bergizi seimbang, jasmani

maupun rohani dan kesemuanya itu tersedia di alam, tinggal bagaimana

Page 131: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

107

manusi mengolah dan memanfaatkanny dengan sebaik-baiknya. Seperti

firman Allah SWT :

“Maka hendaklah manusia itu memerhatikan makanannya, Kamilah

yang telah mencurahkan air melimpah (dari langit), kemudian Kami belah

bumi dengan sebaik-baiknya, lalu di sana Kami tumbuhkan biji-bijian, dan

anggur dan sayur-sayuran, dan zaitun dan pohon kurma, dan kebun-kebun

(yang) rindang, dan buah-buahan serta rerumputan. (Semua itu) untuk

kesenanan kalian dan untuk hewan-hewan ternak kalian” (QS.‟Abasa: 24-

32).

Berdasarkan kitab Shofwat Al-Tafasir karya Imam Muhammad „Ali

Al-Shobuny ayat diatas dapat dijelaskan sebagai berikut: Yakni hendaknya

manusia melihat dengan pemikiran dan berangan-angan terhadap urusan

kehidupannya bagaimana dia diciptakan dan diberi kebahagiaan dengan

rahmat Allah, dan bagaimana ia menyiapkan sebab kehidupannya, serta

diciptakan bagi manusia makanan sebagai penopang kehidupannya, seperti

air dari langit, bermacam-macam tumbuhan yang subur, sayuran, biji-

bijian, pohon zaitun dan buah kurma, rerumputan. Kami jadikan dan kami

Page 132: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

108

tumbuhkan agar bermanfaat dan sebagai penopang kehidupan untukmu

para manusia dan untuk binatang-bintangmu.

Pada penelitian ini pola konsumsi makan dikelompokkan menjadi:

makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayuran, buah dan susu. Hasil

analisis terhadap masing-masing makanan adalah sebagai berikut:

a. Makanan Pokok

Hasil analisis hubungan antara pola konsumsi makan makanan

pokok dengan berat badan tidak naik (2T), diperoleh bahwa dari 55

baduta yang sering mengkonsumsi makanan pokok, yang mengalami

2T sebanyak 29 baduta (70,7%) dan yang tidak mengalami 2T

sebanyak 26 baduta (63,4%). Sedangkan dari 27 baduta yang jarang

mengkonsumsi makanan pokok, yang mengalami 2T sebanyak 12

baduta (29,3%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 15 baduta

(36,6%).

Dari uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 0,717

dimana dengan interval CI 95% (0,284-1,810), sehingga dapat

disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pola konsumsi makan

makanan pokok dengan berat badan tidak naik (2T). Nilai OR

menunjukkan bahwa baduta yang jarang mengkonsumsi makanan

pokok memiliki resiko 1/0,717 atau 1,39 kali mengalami 2T

dibandingkan baduta yang sering mengkonsumsi makanan pokok,

sehingga dengan kata lain baduta yang sering mengkonsumsi

Page 133: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

109

makanan pokok merupakan faktor protektif terhadap berat badan

tidak naik (2T).

b. Lauk Hewani

Hasil analisis hubungan antara pola makan lauk hewani dengan

berat badan tidak naik (2T), diperoleh bahwa dari 18 baduta yang

sering mengkonsumsi lauk hewani, yang mengalami 2T sebanyak 8

baduta (19,5%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 10 baduta

(24,4%). Sedangkan dari 64 baduta yang jarang mengkonsumsi lauk

hewani yang mengalami 2T sebanyak 33 baduta (80,5%) dan yang

tidak mengalami 2T sebanyak 31 baduta (75,6%).

Dari hasil uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 1,331

dengan nilai interval CI 95% (0,465-3,806), sehingga dapat

disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pola konsumsi lauk

hewani dengan berat badan tidak naik (2T). Nilai OR menunjukkan

bahwa baduta yang jarang mengkonsumsi lauk hewani memiliki

resiko 1,331 kali mengalami 2T dibandingkan baduta yang sering

mengkonsumsi lauk hewani.

c. Lauk Nabati

Hasil analisis hubungan antara pola konsumsi makan lauk

nabati dengan berat badan tidak naik (2T) diperoleh bahwa dari 21

baduta yang sering mengkonsumsi lauk nabati, yang mengalami 2T

sebanyak 10 baduta (24,4%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak

11 baduta (26,8%). Sedangkan dari 61 baduta yang jarang

Page 134: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

110

mengkonsumsi lauk nabati yang mengalami 2T sebanyak 31 baduta

(75,6%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 30 baduta (73,2%).

Dari hasil uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 1,137

dengan nilai interval CI 95% (0,421-3,067), sehingga dapat

disimpulkan tidak ada hubungan antara antara pola konsumsi lauk

nabati dengan berat badan tidak naik (2T). Nilai OR menunjukkan

bahwa baduta yang jarang mengkonsumsi lauk nabati memiliki

resiko 1,137 kali mengalami 2T dibandingkan baduta yang sering

mengkonsumsi lauk nabati.

d. Sayuran

Hasil analisis hubungan antara pola konsumsi makan sayuran

dengan berat badan tidak naik (2T) diperoleh bahwa dari 35 baduta

yang sering mengkonsumsi sayuran, yang mengalami 2T sebanyak

17 baduta (41,5%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 18 baduta

(43,9%). Sedangkan dari 47 baduta yang jarang mengkonsumsi

sayuran yang mengalami 2T sebanyak 24 baduta (58,5%) dan yang

tidak mengalami 2T sebanyak 23 baduta (56,1%).

Dari hasil uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 1,105

dengan nilai interval CI 95% (0,460-2,652), sehingga dapat

disimpulkan bahwa ada tidak hubungan antara pola konsumsi

sayuran dengan berat badan tidak naik (2T). Nilai OR menunjukkan

bahwa baduta yang jarang mengkonsumsi sayuran memiliki resiko

Page 135: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

111

1,105 kali mengalami 2T dibandingkan baduta yang sering

mengkonsumsi sayuran.

e. Buah

Hasil analisis hubungan antara pola konsumsi makan buah

dengan berat badan tidak naik diperoleh bahwa dari 48 baduta yang

sering mengkonsumsi buah, yang mengalami 2T sebanyak 25 baduta

(61%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 23 baduta (56,1%).

Sedangkan dari 34 baduta yang jarang mengkonsumsi sayuran yang

mengalami 2T sebanyak 16 baduta (39%) dan yang tidak mengalami

2T sebanyak 18 baduta (41,5%).

Dari hasil uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 0,818

dengan nilai interval nilai CI 95% (0,339-1,971) sehingga dapat

disimpulkan bahwa ada tidak hubungan antara pola konsumsi buah

dengan berat badan tidak naik (2T). Nilai OR menunjukkan bahwa

baduta yang jarang mengkonsumsi buah memiliki resiko 1/0,818

atau 1,22 kali mengalami 2T dibandingkan baduta yang sering

mengkonsumsi buah, dengan kata lain dapat dikatakan baduta yang

jsering mengkonsumsi buah merupakan faktor protektif terhadap

berat badan tidak naik (2T).

f. Susu

Hasil analisis hubungan antara pola konsumsi minum susu

dengan berat badan tidak naik (2T) diperoleh bahwa dari 17 baduta

yang sering mengkonsumsi susu, yang mengalami 2T sebanyak 13

Page 136: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

112

baduta (31,7%) dan yang tidak mengalami 2T sebanyak 4 baduta

(9,8%). Sedangkan dari 65 baduta yang jarang mengkonsumsi susu

yang mengalami 2T sebanyak 28 baduta (68,3%) dan yang tidak

mengalami 2T sebanyak 37 baduta (90,2%).

Dari hasil uji statistik diketahui bahwa nilai OR sebesar 0,233

dengan nilai interval nilai CI 95% (0,069-0,791), sehingga dapat

disimpulkan bahwa ada hubungan antara pola konsumsi minum susu

dengan berat badan tidak naik (2T). Nilai OR menunjukkan bahwa

baduta yang jarang mengkonsumsi susu memiliki resiko 1/0,233 atau

4,29 kali mengalami 2T dibandingkan baduta yang sering

mengkonsumsi buah, dengan kata lain dapat dikatakan bahwa baduta

yang sering mengkonsumsi susu merupakan faktor protektif terhadap

berat badan tidak naik (2T).

Dari berbagai jenis makanan yang diteliti hanya pola minum susu

yang berhubungan dan sesuai dengan hasil penelitian Mutiara (2006) yang

menyatakan bahwa ada hubungan antara pola asuh makan dengan kejadian

gizi buruk pada balita. Sedangkan untuk jenis makanan lain seperti,

makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayuran dan buah tidak ada

hubungan antara pola makan dengan berat badan tidak naik (2T).

Pada penelitian ini tidak terdapat hubungan yang bermakna antara

pola konsumsi makan (makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayuran

dan nabati), karena pada saat pengambilan data ada kemungkinan ibu

baduta lupa terhadap apa dan jumlah makanan yang dimakan oleh

Page 137: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

113

anaknya, karena menggunakan form FFQ sehingga hanya dilihat frekuensi

makannya saja. Selain itu, pengambilan sampel penelitian ini

menggunakan data program MP-ASI Kemenkes untuk bulan November

2010- Februari 2011 sehingga seharusnya pengambilan data mengenai

pola makan dilakukan pada masa lalu.

Pada saat dilakukan penelitian pun tidak dilakukan observasi

langsung terhadap pola konsumsi makan baduta, dikarenakan keterbatasan

waktu dan tenaga. Terkadang saat dilakukan wawancara kebetulan ada

responden yang sedang memberikan makan siang pada anaknya bersama

teman-teman anaknya. Sehingga untuk mengurangi bias, disaat itu juga

peneliti mengamati makanan yang diberikan untuk baduta, dan faktanya

sesuai dengan jawaban yang diberikan saat pengisian Form FFQ kualitatif.

Karena peneliti juga melakukan cross check data ke orang dirumah

tersebut, seperti ayah, kakek, nenek, saudara bahkan tetangga terdekat.

Dimana orang-orang tersebut mengetahui secara pasti pola konsumsi

makan baduta tersebut. Memang rata-rata baduta yang diamati badannya

kurus dan gizi kurang.

Saat dilakukan wawancara ditemukan adanya baduta yang sudah

vegetarian dari kecil, sehingga asupan lauk hewani tidak tercukupi, dimana

seharusnya saat usia tersebut pemenuhan berbagai macam zat gizi

sangatlah dibutuhkan. Responden berpendapat sudah berusaha

memberikan lauk hewani tersebut tetapi baduta tersebut tetap menolak

(tidak doyan), sehingga dimuntahkan. Sehingga daripada tidak makan

sama sekali, lebih baik makan sayuran saja.

Page 138: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

114

Sebagian responden menyatakan untuk dapat memenuhi kebutuhan

makanan bergizi sangatlah sulit karena harga barang-barang kebutuhan

pokok sangat mahal. Dikarenakan keterbatasan perekonomian mereka,

sehingga jarang sekali mereka mengkonsumsi lauk pauk yang bergizi bagi

keluarganya terlebih untuk baduta yang mengalami gizi kurang. Sehingga

dapat dikatakan perekonomian sangat erat kaitannya dengan pola

konsumsi makan.

Kemungkinan lain karena faktor dari personal personal hygiene ibu

kurang diterapkan karena sebanyak 67,1% hanya mencuci tangan dengan

air saja saat memberikan makanan ke anak dan 12,2% tidak pernah

mencuci tangan dengan sabun atau air sekalipun. Personal hygiene yang

tidak baik dapat menyebabkan balita terkena berbagai penyakit, seperti

diare atau cacingan, sehingga asupan makanan tersebut tidak menjadikan

status gizi balita menjadi lebih baik. Menurut Sahardjo (2006), parasit

dalam usus, seperti cacing gelang dan cacing pita bersaing dengan tubuh

dalam memperoleh makanan dan dapat menghalangi zat gizi ke dalam arus

darah, keadaan yang demikian membantu terjadinya kurang gizi.

Dapat disimpulkan bahwa personal hygiene, pola konsumsi makan

dan riwayat penyakit infeksi sangat erat hubungannya dengan berat badan

tidak naik (2T). Dimana faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi berat

badan baduta yang nantinya akan berpengaruh terhadap status gizinya.

Page 139: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

115

6.4 Analisis Faktor yang Paling Dominan Mempengaruhi Berat Badan Tidak

Naik (2T) Pada Baduta Gakin Setelah Pemberian Program MP-ASI

Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011

Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan

gambaran massa tubuh dan parameter antropometri yang sangat labil.

Dalam keadaan normal, dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan

antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi terjamin, maka berat badan

berkembang mengikuti pertambahan umur. Sebaliknya dalam keadaan

yang abnormal, terdapat dua kemungkinan perkembangan berat badan,

yaitu dapat berkembang cepat atau lebih lambat dari keadaan normal

(Supariasa, 2001).

Ada dua determinan yang saling berinteraksi dalam mempengaruhi

pertumbuhan bayi dan balita, yaitu faktor bawaan (genetic factor atau

nature) dan faktor lingkungan (environmental factors atau nurture). Faktor

bawaan mengacu pada faktor statik yang menyertai anak sejak pembuahan,

sedangkan faktor lingkungan lebih banyak terfokus pada kecukupan gizi

dan kesehatan bayi dan balita (Satoto, 1997).

Dalam menentukan faktor yang paling dominan mempengaruhi berat

badan tidak naik (2T) setelah pemberian program MP-ASI Kemenkes

dapat diketahui dengan melakukan analisis multivariat terhadap faktor

yang paling dominan mempengaruhi. Sehingga didapatkan hasil akhir

dalam bentuk model regresi logistik berganda, yang dinyatakan dalam

persamaan matematika sebagai berikut:

Page 140: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

116

Dengan model persamaan tersebut, maka dapat memperkirakan berat

badan tidak naik (2T) dengan menggunakan variabel ASI Eksklusif,

Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes, Riwayat Penyakit Infeksi, Pola

Konsumsi Susu dan Interaksi antara ASI Eksklusif dengan Riwayat

Penyakit Infeksi. Persamaan tersebut menunjukkan bahwa berat badan

tidak naik (2T) pada baduta akan menambahkan sebesar 6,152 kg berat

badan baduta jika diberikan ASI Eksklusif, berat badan tidak naik (2T)

pada baduta akan menurunkan sebesar 1,963 kg berat badan jika

pemberian MP-ASI > 90 hari, berat badan tidak naik (2T) pada baduta

akan menambahkan sebesar 5,460 kg berat badan jika tidak mengalami

riwayat penyakit infeksi, berat badan tidak naik (2T) pada baduta akan

menurunkan sebesar 2,29 kg berat badan jika jarang mengkonsumsi susu,

serta adanya interaksi antara ASI Eksklusif dengan riwayat penyakit

infeksi akan menurunkan 2,874 kg berat badan pada baduta yang

mengalami berat badan tidak naik (2T). Semakin besar nilai beta (B) maka

semakin besar hubungannya dengan berat badan tidak naik.

Sehingga dapat dikatakan bahwa adanya interaksi antara pemberian

ASI Eksklusif dengan Riwayat Penyakit Infeksi, yang artinya bahwa

seorang baduta yang tidak diberikan ASI Eksklusif lebih beresiko

mengalami Riwayat Penyakit Infeksi dan akhirnya menyebabkan

Logit Berat Badan Tidak Naik (2T) : - 4,517 + 6,152*ASI

Eksklusif – 1,963*Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes +

5,460*Riwayat Penyakit Infeksi – 2,29* Pola Konsumsi Susu

– 2,874 (ASI Eksklusif*Riwayat Penyakit Infeksi)

Page 141: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

117

terjadinya berat badan tidak naik (2T). Selain itu dapat diketahui faktor

yang paling dominan mempengaruhi berat badan tidak naik (2T) pada

penelitian ini adalah variabel ASI Eksklusif dengan nilai B (6,152).

Dimana didalam kandungan ASI terdapat zat kekebalan dan zat

gizinya bagi bayi, sehingga bisa mencegah anak dari gizi buruk atau

infeksi. Bayi yang baru lahir sampai beberapa bulan pertama kehidupan

belum dapat membuat kekebalan sendiri secara sempurna. ASI merupakan

subtansi bahan hidup yang memberikan perlindungan baik secara aktif

maupun melalui pengaturan imunologis yang menyediakan perlindungan

yang unik terhadap infeksi dan alergi serta menstimuli perkembangan

sistem imunologi bayi itu sendiri serta bayi yang diberikan ASI jarang

sakit (WHO, 1999).

Pada penelitian ini faktor yang paling mempengaruhi adalah

pemberian ASI Eksklusif. Seperti kita ketahui pemberian ASI Eksklusif

adalah memberikan hanya ASI saja tanpa memberikan makanan dan

minuman lain kepada bayi sejak lahir sampai berusia enam bulan, kecuali

obat dan vitamin (Depkes, 2003).

Dapat disimpulkan bahwa kejadian berat badan tidak naik (2T) pada

baduta sangat dipengaruhi oleh pemberian ASI Eksklusif. Dimana

terjadinya kurang gizi, erat kaitanya dengan produksi ASI maupun

lamanya pemberian ASI. Tidak diberikannya atau terlalu cepatnya bayi

disapih akan memperbesar kemungkinan keadaan gizi kurang. Bayi hanya

diberi ASI saja pada usia 0-6 bulan karena produksi ASI pada periode

Page 142: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

118

tersebut sudah dapat mencukupi kebutuhan bayi untuk tumbuh kembang

yang sehat (Depkes, 2003).

Menurut WHO (1998) dalam Mutiara (2006), bayi sampai umur

enam bulan tetap tumbuh normal dan sehat dengan hanya diberi ASI.

Setelah bayi umur enam bulan MP-ASI harus diberikan karena kebutuhan

gizi bayi semakin meningkat dan tidak dapat dipenuhi hanya dari ASI.

Bentuk MP-ASI harus disesuaikan dengan kemampuan pencernaan bayi

dan harus mengandung cukup energi, protein serta vitamin dan mineral

secara cukup.

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, diketahui bahwa

koefisien determinan (Nagelkerke R Square) menunjukkan nilai 0,410

artinya bahwa model regresi yang diperoleh dapat menjelaskan 41%

variasi variabel dependen yaitu berat badan tidak naik (2T). Dengan

demikian variabel ASI Eksklusif, Lamanya Pemberian MP-ASI

Kemenkes, Riwayat Penyakit Infeksi, Pola Konsumsi Susu dan Interaksi

antara ASI Eksklusif dengan Riwayat Penyakit Infeksi hanya dapat

menjelaskan variasi variabel berat badan tidak naik (2T) sebesar 41%,

sedangkan 59% dijelaskan variabel lainya yang tidak diteliti.

Page 143: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

119

BAB VII

PENUTUP

7.1 Kesimpulan

1. Gambaran pemberian ASI Eksklusif pada baduta setelah pemberian program

MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011

yaitu sebanyak 48 ibu (58,5%) memberikan ASI Eksklusif dan sebanyak 34

ibu (41,5%) tidak memberikan ASI Eksklusif.

2. Gambaran lamanya pemberian program MP-ASI Kemenkes pada baduta

gakin di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011 yaitu sebanyak 64

baduta (78%) yang mengkonsumsi MP-ASI Kemenkes selama ≥ 90 hari dan

sebanyak 18 baduta (22%) yang mengkonsumsi MP-ASI Kemenkes selama >

90 hari.

3. Gambaran riwayat penyakit infeksi pada baduta gakin setelah pemberian

program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun

2011 yaitu sebanyak 28 baduta (34,1%) tidak pernah menderita penyakit

infeksi dan sebanyak 52 baduta (65,9%) pernah menderita penyakit infeksi.

4. Gambaran pola konsumsi makan baduta pada baduta gakin setelah pemberian

program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun

2011, yaitu:

a. Sebanyak 55 baduta (67,1%) sering mengkonsumsi makanan pokok dan

sebanyak 27 baduta (32,9%) jarang mengkonsumsi makanan pokok.

b. Sebanyak 18 baduta (22%) sering mengkonsumsi lauk hewani dan

sebanyak 64 baduta (78%) jarang mengkonsumsi lauk hewani.

Page 144: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

120

c. Sebanyak 21 baduta (25,6%) sering mengkonsumsi lauk nabati dan

sebanyak 61 baduta (74,4%) jarang mengkonsumsi lauk nabati.

d. Sebanyak 35 baduta (42,7%) sering mengkonsumsi sayuran dan sebanyak

47 baduta (57,3%) jarang mengkonsumsi sayuran.

e. Sebanyak 48 baduta (58,5%) sering mengkonsumsi buah dan sebanyak 34

baduta (41,5%) jarang mengkonsumsi buah.

f. Sebanyak 17 baduta (20,7%) sering mengkonsumsi susu dan sebanyak 65

baduta jarang mengkonsumsi susu.

5. Ada hubungan antara pemberian ASI Eksklusif dengan berat badan tidak naik

(2T) pada baduta gakin setelah pemberian program MP-ASI Kemenkes di

Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011 dengan OR 3,485 dan nilai

interval CI 95% (1,380-8,798).

6. Ada hubungan antara lamanya pemberian program MP-ASI Kemenkes

dengan berat badan tidak naik (2T) pada baduta gakin di Kecamatan

Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011 dengan OR 0,299 dan nilai interval CI

95% (0,095-0,0939).

7. Ada hubungan antara riwayat penyakit infeksi dengan berat badan tidak naik

(2T) pada baduta gakin setelah pemberian program MP-ASI Kemenkes di

Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011 dengan OR 3,071 dan nilai

interval CI 95% (1,174-8,028).

8. Hubungan antara pola konsumsi makan dengan berat badan tidak naik (2T)

pada baduta gakin setelah pemberian program MP-ASI Kemenkes di

Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011, yaitu:

Page 145: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

121

a. Tidak ada hubungan antara: pola makan makanan pokok dengan berat

badan tidak naik (2T) dengan OR 0,717 dan nilai interval CI 95% (0,284-

1,810), pola makan lauk hewani dengan berat badan tidak naik (2T)

dengan OR 1,331 dan nilai interval CI 95% (0,465-3,806), pola makan

lauk nabati dengan berat badan tidak naik (2T) dengan OR 1,137 dan nilai

interval CI 95% (0,421-3,067), pola makan sayuran dengan berat badan

tidak naik (2T) dengan OR 1,105 dan nilai interval CI 95% (0,460-2,652),

pola makan buah dengan berat badan tidak naik (2T) dengan OR 0,818 dan

nilai interval CI 95% (0,339-1,971).

b. Ada hubungan antara pola minum susu dengan berat badan tidak naik (2T)

dengan OR 0,233 dan nilai interval CI 95% (0,069-0,791).

9. Adanya faktor yang paling dominan mempengaruhi berat badan tidak naik

(2T) pada baduta gakin setelah pemberian program MP-ASI Kemenkes di

Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan Tahun 2011 adalah ASI Eksklusif

dengan nilai B (6,152).

7.2 Saran

1. Meningkatkan pentingnya pemberian ASI Eksklusif untuk memberikan

imunitas terhadap penyakit infeksi

2. Untuk mengoptimalkan status gizi baduta diperlukan frekuensi minum susu

sesuai dengan Pedoman Gizi Seimbang (PGS)

3. Diperlukannya sosialisasi menyeluruh mengenai program MP-ASI

Kemenkes, baik sasaran yang jelas, jangka waktu pemberian biskuit dan

petunjuk tentang program MP-ASI Kemenkes tersebut oleh para kader,

petugas kesehatan, maupun pranata sosial.

Page 146: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

122

4. Diperlukannya personal hyiegene ibu, pengetahuan mengenai pola makan

yang baik dan bergizi, dan kebersihan lingkungan rumah dalam menjaga serta

meningkatkan derajat kesehatan keluarganya, khususnya bagi anaknya.

5. Untuk pengukuran pola konsumsi makan, sebaiknya dilakukan saat baduta

tersebut mendapatkan Program MP-ASI Kemenkes tersebut.

6. Untuk penelitian selanjutnya, disarankan untuk meneliti variabel penyakit

metabolisme bawaan, dimana faktor tersebut menyebabkan kejadian stunting

pada balita.

Page 147: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

DAFTAR PUSTAKA

Al-Shobuny, Imam Muhammad’ Ali. 1418 H. Shofwat al-Tafasir. Mekah: Dar al-

Shobuny

Albar, Hussein. 2004. Makanan Pendamping ASI. Cermin Dunia Kedokteran. No.

145:51-55. Makassar: FK UNHAS.

Alimul, Aziz Hidayat. 2009. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan

Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika

Almatsier, Sunita. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Utama.

Ariawan, Iwan. 1996. Besar dan Metode Sampel pada Penelitian Kesehatan. Depok:

Jurusan Biostatistika dan Kependududkan FKM UI.

Arisman. 2004. Gizi dalam Daur Kehidupan: Buku Ajar Ilmu Gizi. Jakarta:EGC.

As-Syyid, Abdul Muhammad. 2009. Pola Makan Rasulullah Makanan Sehat

Berkualitas Menurut Al-Quran dan As-Sunnah. Jakarta: PT. Almahira

Astari, Dwi Lita, dkk. 2006. Hubungan Konsumsi ASI dan MP-ASI serta Kejadian

Stunting Anak Usia 6-12 Bulan di Kabupaten Bogor. Bogor: Media Gizi&

Keluarga.

Azwar, Azrul. 2000. Masalah Gizi Kurang pada Balita dan Upaya Penanggulangan di

Indonesia. Jakarta: Majalah Kesehatan Masyarakat, Tahun XXVII, No. 11.

Azwar, Azrul. 2004. Aspek Kesehatan dan Gizi dalam Ketahanan Pangan. Jakarta:

Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII LIPI.

Biddulph, John, dkk. 1999. Kesehatan Anak Untuk Perawat, Petugas Penyuluhan

Kesehatan dan Bidan di Desa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Brown, K.H., K. Dewey & L. Allen 1998. Complementary Feeding of Young Children

in Developing Countries. A review of Current Scientific Knowledge. World

Health Organization, Genewa.

Cynthia. 2009. Vaksin Untuk Imunisasi Balita. (diakses tanggal 30 April 2011).

http://piogama.ugm.ac.id.

_________________. 1992. Pedoman Pemantauan Status Gizi (PSG) Melalui

Posyandu. Jakarta: Direktorat Bina Gizi Masyarakat Departemen Kesehatan

RI.

Page 148: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

_________________. 2000. Rencana Aksi Pangan dan Gizi Nasional 2001-2005.

Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

_________________. 2002. Program Gizi Makro. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina

Kesehatan Masyarakat. Direktorat Gizi Masyarakat.

_________________. 2002. Tata Cara Pemberian MP-ASI Rumah Tangga. Jakarta:

Departemen Kesehatan RI.

_________________. 2003. Pedoman Umum Gizi Seimbang (Panduan Untuk Petugas).

Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat. Direktorat Gizi

Masyarakat.

_________________. 2003. Status Gizi Ibu Hamil, Bayi dan Balita Tahun 1989-2002.

Jakarta: Pusat Data dan Informasi Departemen Kesehatan RI.

_________________. 2004. Pedoman Pelaksanaan Pendistribusian dan Pengelolaan

Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) Tahun 2004. Jakarta:

Departemen Kesehatan RI.

_________________. 2006. Pedoman Umum Pemberian Makanan Pendamping Air

Susu Ibu (MP-ASI) Lokal Tahun 2006. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

_________________. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)

Indonesia Tahun 2007. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

_________________. 2008. Prosedur Mutu Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-

ASI bagi Bayi 6-11 bulan dan Anak 12-23 bulan BGM Gakin Tahun 2008).

Jakarta: Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta.

_________________. 2009. Laporan Tahunan Program Gizi Dinas Kesehatan Provinsi

DKI Jakarta Tahun 2008 . Jakarta: Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta.

_________________. 2011. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Provinsi

DKI Jakarta Tahun 2010 . Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

_________________. 2011. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)

Indonesia Tahun 2010 . Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

_________________. 2011. Laporan Tahunan Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan

Tahun 2010. Jakarta: Sudin Kesehatan Jakarta Selatan.

_________________. 2011. Pedoman Kader Seri Kesehatan Anak. Jakarta: Kementrian

Kesehatan RI.

Direktorat Gizi Masyarakat. 2000. Buku Panduan Pengelolaan Program Perbaikan Gizi

Kabupaten/Kota. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Page 149: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

Direktorat Gizi Masyarakat. 2005. Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal (SPM)

Penyelenggraan Perbaikan Gizi Masyarakat. Jakarta: Departemen Kesehatan

RI.

Ebrahim, G.J. 1996. Air Susu Ibu.Yogyakarta: Yayasan Essentia Medika.

Eregie,C.O. and Abraham,R. 1997. Studies on Exclusive Breastfeeding: Observations on

The Adequacy of Breast Milk as Sole Nutrient for The First Six Month of Life.

International Child Health: a Digest of Current Information. An

International Pediatrics Association Publication in Collaboration with

UNICEF and WHO. VIII, 4 : 49-54.

Feddelia, Ellan. 2006. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Balita di

Lingkungan Pemulung Ciputat Tahun 2006. Depok: Skripsi FKM UI.

Kartono, Djoko, dkk. 1993. Beberapa Aspek Psiko Sosial Pada Anak Kurang Energi

Protein di Daerah Bogor. Bogor: Penelitian Gizi dan Makanan.

Hadi, Imam. 2005. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Balita di

Kelurahan Neglasari dan Kedaung Wetan Tahun 2005. Depok: Skripsi

FKM UI.

Hauvast,J.L.A., J.J.M. Toolboom, L.J.M. Heijden van der, A.K. Luneta, W.A. Staveren

van, S.M. van. Gastel. 2000. Food Consumption of Young Stunted and

Non-Stunned Children in Rural Zambia. Eur J Clin Nutr 53:50-59

[abstrak]

Heinig, J., et all,. 1993. Energy and Protein Intake of Breast-Fed and Formula-Fed

Infant During the First Year of Life and Their Association with Growth

Velocity: The DARLING Study. American Journal of Clinical

Nutrition.58:152-161.

Hermina. 1992. Keragaman Pengetahuan Gizi dan Pengetahuan Praktek Pemberian

Makanan Bayi dan Anak dari Ibu Balita Gizi Buruk di daerah Bogor dan

sekitarnya. Bogor: Penelitian Gizi dan Makanan.

Hull, David. 1994. Pedoman Bagi Orang Tua: Kesehatan Anak. Jakarta: Arcan.

Hurlock, EB. 1997. Perkembangan Anak Jilid 1. Jakarta : PT Gramedia.

Jahari,A.B.,Sandjaya,H.Sudirman, Soekirman,I. Juss’at, D. Latief & Atmarita.2000.

Status Gizi Balita di Indonesia sebelum dan sesudah krisis (Analisa data

antropometri Susenas 1989 s/d 1999). Jakarta: Widya Karya Pangan dan

Gizi

Kartika, Vita, dkk. 2003. Studi Dampak Pemberian Makanan Pendamping Air Susu Ibu.

Penelitian Gizi dan Makanan. 26 (1): 1-10.

Page 150: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

Kurniasih,dkk. 2010. Sehat dan Bugar Berkat Gizi Seimbang (PGS). Jakarta:

PT.Gramedia.

Lestari, 1996. Menjaga Kesehatan Balita. Jakarta: Puspa Swara.

Moehyi. 1988. Pemeliharaan Gizi Bayi dan Balita. Jakarta: Bhratara Karya Angkasa.

Muthmainah, Ani, dkk. 1996. Beberapa Faktor Yang Berhubungan dengan Tingkat

Kecukupan Anak Usia 2-5 Tahun. Bogor: IPB Media Gizi dan Keluarga.

Mutiara, Ira. 2006. Hubungan Pemberian Makan dan ASI serta Faktor-Faktor Lain

dengan Status Gizi Buruk Balita dengan Tanda Klinis. Depok: Tesis

FKM UI.

Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat: Prinsip-Prinsip Dasar.

Jakarta: Rineka Cipta

Nursalam, dkk. 2005. Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak (untuk Perawat dan Bidan).

Jakarta: Salemba Medika.

Oktaviyanti, Rika. 2007. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Anak

Usia 6-24 Bulan di Kelurahan Ratu Jaya Kecamatan Pancoran Mas Kota

Depok Jawa Barat Tahun 2007. Depok: Skripsi FKM UI.

Persagi dan RS Dr. Cipto Mangunkusumo. 1992. Penuntun Diit Anak. Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama.

Pudjiadi, Solihin. 2000. Ilmu Gizi Klinis pada Anak. Edisi keempat. Jakarta: Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia.

Roesli, Utami. 2000. Mengenal ASI Ekskusif Seri I. Jakarta: Trubus Agriwirdya.

Santoso, Soegeng dan Anne Lies Ranti. 1999. Kesehatan dan Gizi. Jakarta: PT. Rineka

Cipta.

Sari, Tri Novita. 1999. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Balita di

Desa Sirnagalih Kecamatan Ciomas Bogor Juli 1998. Depok: Skripsi

FKM UI.

Satoto, 1997. Fitrah dan Tumbuh Kembang Anak. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru

Besar Tetap dalam Ilmu Gizi pada Fakultas Kedokteran Universitas

Diponegoro Semarang.

Sediaoetama, Achmad Djaeni. 2006. Ilmu Gizi I untuk Mahasiswa dan Profesi Jilid 1.

Jakarta: Dian Rakyat.

Siahaan, Rinto. 2005. Pendamping ASI Cegah Kekurangan Gizi. (diakses tanggal 28

April 2011). http:// www. humanmedicine.net

Page 151: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

Sihadi. 1999. Aplikasi Analisis Survival Untuk Menentukan Beberapa Faktor Yang

Berhubungan dengan Perbaikan Gizi Anak Balita Gizi Buruk,

Pengunjung Klinik Bogor (KGB) 1982-1997. Depok : Tesis FKM UI.

Soetjiningsih. 1997. ASI Petunjuk Untuk Tenaga Kesehatan. Jakarta: EGC.

Suharyono, dkk. 1992. Air Susu Ibu Tinjauan dari Beberapa Aspek. Jakarta: FKUI.

Sukmadewi, Sari. 2003. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Balita di

Wilayah Puskesmas Bogor Tengah Kota Bogor Tahun 2003. Depok:

Skripsi FKM UI.

Sulistyowati, Heni. 2007. Hubungan antara Pengetahuan Ibu dan Pola Pemberian

Makanan Pendamping ASI dengan Status Gizi Balita Usia 4-24 Bulan di

Desa Sendangharjo Kecamatan Blora Kabupaten Blora Tahun 2007.

Semarang: Skripsi FIK UNES.

Supariasa, I Dewa Nyoman. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta : EGC.

Thonthowi, Muhammad Sayid. 1420 H. Tafsir Al-Wasith. Kairo: Dar el Haromain

Utami, Karina Dewi. 2011. Faktor- Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemberian MP-

ASI Dini Pada Bayi Kurang Dari 6 Bulan di Desa Sutopati Tahun 2011.

Ciputat: Skripsi FKIK UIN

Yenrina, 2006. Menyiapkan ASI. Jakarta: Puspa Swara

UNICEF, WHO, UNESCO, Kementrian Kesehatan RI, dkk. 2010. Penuntun Hidup

Sehat: Edisi Keempat. Jakarta : Kementrian Kesehatan RI.

WHO. 1999. Management Severe of Nutrition: a Manual for Physicians and other

Service Health Worker. Geneva.

WHO. 2003. Global Strategy for Infant and Young Child. (diakses 1 Mei 2011).

Widodo, Yekti, dkk. 2005. Pertumbuhan Bayi yang Mendapat ASI Eksklusif dan ASI

Tidak Ekskusif. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Willet, Walter. 1998. Nutritional Epidemiology. New York: Oxford University Press

Ziegler, T.R., N. Bazargan & J.R. Galloway,. 2000. Glutamine Supplemented Nutrition

Support: Saving Nitrogen and Saving Money. Clinical Nutrition: 19(6);

375-377

Page 152: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

KUESIONER

FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BERAT BADAN TIDAK NAIK

(2T) PADA BADUTA GAKIN SETELAH PEMBERIAN PROGRAM MP-ASI

KEMENKES DI KECAMATAN PANCORAN JAKARTA SELATAN

TAHUN 2011

Assalamu’alaikum Wr Wb

Perkenalkan nama saya M.Arbi Ramadhan, Mahasiswa Peminatan Gizi Jurusan

Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta. Saya sedang melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang

mempengaruhi berat badan tidak naik (2T) pada baduta setelah pemberian MP-ASI

Kemenkes. Saya akan menanyakan mengenai berbagai faktor yang berpengaruh

terhadap ketidaknaikan BB (2T). Jawaban yang ibu berikan akan dirahasiakan sehingga

tidak seorang pun yang mengetahuinya

Apakah Ibu bersedia?

Ya

Tidak

Saya mohon kesediaan Ibu untuk diwawancarai untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan

yang akan saya berikan dengan jujur.

Terima kasih atas perhatian dan kerja samanya.

NO : Ks / Kr

Page 153: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

1. IDENTITAS IBU

Nama Ibu : ..........................................................................

Umur Ibu : ..........................................................................

Suku Ibu : ..........................................................................

Suku Ayah : ..........................................................................

Pendidikan terakhir : ..........................................................................

Alamat : ...........................................................................

2. IDENTITAS BADUTA

Nama Baduta : ............................................................................

Jenis Kelamin : .............................................................................

Umur Baduta : ............................................................................

Anak ke/saudara : ............ / ..............

A. ASI Eksklusif

1 Ketika anak ibu lahir, apakah ibu langsung memberikan

ASI ?

a. Ya

b. Tidak

A 1 [ ]

2 Jika tidak, apa yang ibu berikan?

a. Susu Formula

b. Madu

c. Air Putih

d. Pisang

a. Lainnya, sebutkan .............................

A 2 [ ]

3 Apakah ada hambatan dalam menyusui ?

a. Tidak

b. Ya

A 3 [ ]

4 Bagi ibu yang mengalami hambatan menyusui (selama

0-6 bulan), apa yang ibu berikan kepada anak ?

a. Tetap memberikan ASI

b. Susu Formula

c. Madu

A 4 [ ]

Page 154: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

d. Air Putih

e. Pisang

f. Lainnya, sebutkan ...........................

5 Apakah ibu hanya memberikan ASI saja sampai umur 6

bulan?

a. Ya

b. Tidak

A 5 [ ]

B. Pasca ASI Eksklusif

6 Apakah anak ibu tetap diberi ASI sampai usia 2 tahun?

a. Ya

b. Tidak

B 6 [ ]

7 Jika tidak, sampai usia berapa anak ibu diberikan

ASI ? Alasannya ?

........................................................................

.......................................................................

C. MP-ASI Kemenkes

8 Apakah ibu mengetahui tentang MP-ASI Kemenkes ?

a. Ya

b. Tidak

C 8 [ ]

9 Berapa lama anak ibu diberikan Biskuit MP-ASI ?

a. ≥ 90 hari

b. < 90 hari

C 9 [ ]

10 Apakah biskuit tersebut rutin dimakan sesuai anjuran ?

(1 kemasan= 120 gr/hari)

a. Ya

b. Tidak

C 10 [ ]

11 Apakah biskuit tersebut hanya dimakan oleh anak ibu

saja ?

a. Ya

b. Tidak

C 11 [ ]

12 Jika tidak, dimakan oleh siapa saja?

a. Ayah/ Ibu

b. Kakak/Adik

c. Saudara

d. Teman sebaya

e. Lainnya, sebutkan ................................................

C 12 [ ]

Page 155: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

D. RIWAYAT PENYAKIT INFEKSI

13 Apakah anak ibu pernah mengalami sakit selama

pemberian MP-ASI Kemenkes?

a. Tidak

b. Ya

D 13 [ ]

14 Dalam kurun waktu tersebut, penyakit apa yang diderita

anak ibu?

a. ISPA

b. TBC

c. Diare

d. Cacingan

e. Demam

f. Lain-lain .....................................................

D 14 [ ]

15 Gejala – gejala seperti apa yang dialami oleh baduta

ibu?

..................................................................................

..................................................................................

..................................................................................

16 Berapa lama baduta ibu menderita penyakit tersebut?

...............................................................................

17 Apakah ibu sudah mencari pengobatan untuk baduta

selama menderita penyakit tersebut?

a. Ya

b. Tidak

D 17 [ ]

18 Jika Ya, kemana ibu mencari pengobatan untuk baduta?

a. Posyandu/Puskesmas

b. Rumah Sakit/Klinik

c. Pengobatan Alternatif

D 18 [ ]

E. SANITASI LINGKUNGAN & PERSONAL HYGIENE

19 Darimana sumber air yang digunakan ibu untuk

kebutuhan sehari-hari?

a. PDAM/ sejenisnya

b. Sumur

c. Air isi ulang

E 19 [ ]

20 Bagaimana kualitas fisik air minum yang sering

dikonsumsi?

a. Jernih

b. Keruh dan berwarna

c. Berbau dan berasa

E 20 [ ]

21 Bagaimana pengelolaan air sebelum diminum?

a. Dimasak/ direbus E 21 [ ]

Page 156: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

b. Disaring saja

c. Langsung diminum

22 Bagaimana saluran pembuangan air limbah dari kamar

mandi/dapur/cuci?

a. Saluran Tertutup

b. Saluran Terbuka

c. Tanpa Saluran

E 22 [ ]

23 Apakah di sekitar sumber air terdapat sumber

pencemaran (air limbah/tangki septik/sampah), apabila

ada berapa jaraknya dari sumber air tersebut?

a. Tidak ada

b. Ada, < 5 meter

c. Ada, > 5 meter

E 23 [ ]

24 Bagaimana keadaan sirkulasi udara rumah ibu?

a. Sangat lancar

b. Terhambat, karena kurangnya sarana fentilasi

E 24 [ ]

25 Apakah ibu selalu membiasakan mencuci tangan

dengan sabun sebelum memberikan makanan ke anak

ibu?

a. Ya,selalu

b. Hanya mencuci tangan dengan air bersih

c. Tidak pernah

E 25 [ ]

26 Apakah ibu selalu mencuci peralatan makan dan minum

anak dengan sabun?

a. Ya, selalu

b. Hanya mencuci dengan air bersih

c. Tidak pernah

E 26 [ ]

Form Checklist (√)

Hal yang diamati Penilaian

1. Air Minum Jernih Keruh Berbau Berwarna Berasa

2. Sirkulasi Udara Sangat

lancar Lancar Terhambat

Tidak ada

ventilasi

3. Selokan Sangat

lancar Lancar Terhambat

4. Kebersihan

Rumah Bersih

Cukup

bersih

Tidak

bersih Kotor

Sangat

kotor

Page 157: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

FORMULIR METODE FREKUENSI MAKANAN FFQ – KUALITATIF

Nama Baduta :

Umur Baduta :

Jenis Kelamin :

Tanggal Wawancara :

Nama Bahan Makanan

Frekuensi Konsumsi Keterangan

Tid

ak

Per

na

h

1x

/ha

ri

2-3

x/h

ari

4-6

x/h

ari

1x

/min

gg

u

1-3

x/m

ing

gu

2-4

x/m

ing

gu

1x

/bu

lan

1-3

x/b

ula

n

1. Makanan Pokok

dan Produk Lainnya

a. Nasi

b. Roti

c. Mie/Bihun

d. Biskuit MP-ASI

e.

2. Lauk Hewani dan

Produk Lainnya

a. Telur

b. Daging

c. Ikan

d.

f.

Page 158: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

3. Lauk Nabati dan

Produk Lainnya

a. Tempe

b. Tahu

c. Kedelai

d. Kacang Hijau

e.

4. Sayur-Sayuran

a. Bayam

b. Kangkung

c. Kacang Panjang

d.Sop

e.

5. Buah-buahan

a. Pisang

b. Jeruk

c. Apel

d. Jambu

e.

7. Susu dan Produk

Olahannya

a. Susu Sapi

b. Susu UHT

c. Ice Cream

d. Yogurt

e.

Page 159: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

Analisis Univariat

1. ASI Eksklusif

Statistics

A5

N Valid 82

Missing 0

A5

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid ya 48 58.5 58.5 58.5

tidak 34 41.5 41.5 100.0

Total 82 100.0 100.0

2. Lamanya pemberian MP-ASI Kemenkes

Statistics

C9

N Valid 82

Missing 0

C9

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid >90 hari 64 78.0 78.0 78.0

<90 hari 18 22.0 22.0 100.0

Total 82 100.0 100.0

Page 160: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

3. Riwayat Penyakit Infeksi

Statistics

D13

N Valid 82

Missing 0

D13

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid tidak 28 34.1 34.1 34.1

ya 54 65.9 65.9 100.0

Total 82 100.0 100.0

4. Pola Konsumsi Makan

a. Makanan Pokok

Statistics

makananpokok

N Valid 82

Missing 0

makananpokok

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid Sering > 2kali/hari 55 67.1 67.1 67.1

Jarang < 2kali/hari 27 32.9 32.9 100.0

Total 82 100.0 100.0

Page 161: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

b. Lauk Hewani

Statistics

laukhewani

N Valid 82

Missing 0

laukhewani

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid Sering > 2kali/hari 18 22.0 22.0 22.0

Jarang < 2kali/hari 64 78.0 78.0 100.0

Total 82 100.0 100.0

d. Lauk Nabati

Statistics

lauknabati

N Valid 82

Missing 0

lauknabati

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid Sering > 2kali/hari 21 25.6 25.6 25.6

Jarang < 2kali/hari 61 74.4 74.4 100.0

Total 82 100.0 100.0

Page 162: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

c. Sayuran

Statistics

Sayuran

N Valid 82

Missing 0

sayuran

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid Sering > 2kali/hari 35 42.7 42.7 42.7

Jarang < 2kali/hari 47 57.3 57.3 100.0

Total 82 100.0 100.0

e. Buah

Statistics

buah

N Valid 82

Missing 0

buah

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid Sering > 2kali/hari 48 58.5 58.5 58.5

Jarang < 2kali/hari 34 41.5 41.5 100.0

Total 82 100.0 100.0

Page 163: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

f. Susu

Statistics

susu

N Valid 82

Missing 0

Susu

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid Sering > 2kali/hari 17 20.7 20.7 20.7

Jarang < 2kali/hari 65 79.3 79.3 100.0

Total 82 100.0 100.0

Page 164: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

Analisis Bivariat

1. ASI Eksklusif dgn 2T

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

A5 * BB 82 100.0% 0 .0% 82 100.0%

A5 * BB Crosstabulation

BB

Total non 2T 2T

A5 Ya Count 30 18 48

% within BB 73.2% 43.9% 58.5%

Tidak Count 11 23 34

% within BB 26.8% 56.1% 41.5%

Total Count 41 41 82

% within BB 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (1-

sided)

Pearson Chi-Square 7.235a 1 .007

Continuity Correctionb 6.080 1 .014

Likelihood Ratio 7.360 1 .007

Fisher's Exact Test .013 .007

Linear-by-Linear Association 7.147 1 .008

N of Valid Casesb 82

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 17,00.

b. Computed only for a 2x2 table

Page 165: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for A5 (Ya /

Tidak) 3.485 1.380 8.798

For cohort BB = non 2T 1.932 1.133 3.292

For cohort BB = 2T .554 .360 .855

N of Valid Cases 82

Page 166: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

2. Lamanya pemberian MP-ASI Kemenkes dgn 2T

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

C9 * BB 82 100.0% 0 .0% 82 100.0%

C9 * BB Crosstabulation

BB

Total non 2T 2T

C9 >=90 hari Count 28 36 64

% within BB 68.3% 87.8% 78.0%

< 90 hari Count 13 5 18

% within BB 31.7% 12.2% 22.0%

Total Count 41 41 82

% within BB 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value Df

Asymp. Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (1-

sided)

Pearson Chi-Square 4.556a 1 .033

Continuity Correctionb 3.488 1 .062

Likelihood Ratio 4.686 1 .030

Fisher's Exact Test .060 .030

Linear-by-Linear Association 4.500 1 .034

N of Valid Casesb 82

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9,00.

b. Computed only for a 2x2 table

Page 167: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for C9 (>=90 hari

/ < 90 hari) .299 .095 .939

For cohort BB = non 2T .606 .406 .903

For cohort BB = 2T 2.025 .932 4.398

N of Valid Cases 82

Page 168: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

3. Riwayat Penyakit Infeksi dgn 2T

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

D13 * BB 82 100.0% 0 .0% 82 100.0%

D13 * BB Crosstabulation

BB

Total non 2T 2T

D13 Tidak Count 19 9 28

% within BB 46.3% 22.0% 34.1%

Ya Count 22 32 54

% within BB 53.7% 78.0% 65.9%

Total Count 41 41 82

% within BB 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (1-

sided)

Pearson Chi-Square 5.423a 1 .020

Continuity Correctionb 4.393 1 .036

Likelihood Ratio 5.514 1 .019

Fisher's Exact Test .035 .018

Linear-by-Linear Association 5.357 1 .021

N of Valid Casesb 82

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14,00.

b. Computed only for a 2x2 table

Page 169: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for D13 (Tidak /

Ya) 3.071 1.174 8.028

For cohort BB = non 2T 1.666 1.105 2.511

For cohort BB = 2T .542 .303 .971

N of Valid Cases 82

Page 170: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

4. Pola Konsumsi Makanan

a. Makanan Pokok dgn 2T

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

mkananpokok * BB 82 100.0% 0 .0% 82 100.0%

mkananpokok * BB Crosstabulation

BB

Total non 2T 2T

mkananpokok Sering > 2kali/hari Count 26 29 55

% within BB 63.4% 70.7% 67.1%

Jarang < 2 kali/hari Count 15 12 27

% within BB 36.6% 29.3% 32.9%

Total Count 41 41 82

% within BB 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (1-

sided)

Pearson Chi-Square .497a 1 .481

Continuity Correctionb .221 1 .638

Likelihood Ratio .498 1 .480

Fisher's Exact Test .639 .319

Linear-by-Linear Association .491 1 .484

N of Valid Casesb 82

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13,50.

b. Computed only for a 2x2 table

Page 171: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for mkananpokok

(Sering > 2kali/hari / Jarang

< 2 kali/hari)

.717 .284 1.810

For cohort BB = non 2T .851 .549 1.318

For cohort BB = 2T 1.186 .727 1.937

N of Valid Cases 82

Page 172: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

b. Lauk Hewani dgn 2T

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

laukhewani * BB 82 100.0% 0 .0% 82 100.0%

laukhewani * BB Crosstabulation

BB

Total non 2T 2T

laukhewani Sering > 2 kali/hari Count 10 8 18

% within BB 24.4% 19.5% 22.0%

Jarang < 2 kali/hari Count 31 33 64

% within BB 75.6% 80.5% 78.0%

Total Count 41 41 82

% within BB 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (1-

sided)

Pearson Chi-Square .285a 1 .594

Continuity Correctionb .071 1 .790

Likelihood Ratio .285 1 .593

Fisher's Exact Test .790 .395

Linear-by-Linear Association .281 1 .596

N of Valid Casesb 82

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9,00.

b. Computed only for a 2x2 table

Page 173: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for laukhewani

(Sering > 2 kali/hari / Jarang

< 2 kali/hari)

1.331 .465 3.806

For cohort BB = non 2T 1.147 .707 1.862

For cohort BB = 2T .862 .488 1.522

N of Valid Cases 82

Page 174: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

c. Lauk Nabati dgn 2T

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

lauknabati * BB 82 100.0% 0 .0% 82 100.0%

lauknabati * BB Crosstabulation

BB

Total non 2T 2T

lauknabati Sering > 2 kali/hari Count 11 10 21

% within BB 26.8% 24.4% 25.6%

Jarang < 2 kali/hari Count 30 31 61

% within BB 73.2% 75.6% 74.4%

Total Count 41 41 82

% within BB 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (1-

sided)

Pearson Chi-Square .064a 1 .800

Continuity Correctionb .000 1 1.000

Likelihood Ratio .064 1 .800

Fisher's Exact Test 1.000 .500

Linear-by-Linear Association .063 1 .801

N of Valid Casesb 82

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10,50.

b. Computed only for a 2x2 table

Page 175: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for lauknabati

(Sering > 2 kali/hari / Jarang

< 2 kali/hari)

1.137 .421 3.067

For cohort BB = non 2T 1.065 .658 1.723

For cohort BB = 2T .937 .562 1.564

N of Valid Cases 82

Page 176: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

d. Sayuran dgn 2T

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

sayuran * BB 82 100.0% 0 .0% 82 100.0%

sayuran * BB Crosstabulation

BB

Total non 2T 2T

sayuran Sering > 2 kali/hari Count 18 17 35

% within BB 43.9% 41.5% 42.7%

Jarang < 2 kali/hari Count 23 24 47

% within BB 56.1% 58.5% 57.3%

Total Count 41 41 82

% within BB 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (1-

sided)

Pearson Chi-Square .050a 1 .823

Continuity Correctionb .000 1 1.000

Likelihood Ratio .050 1 .823

Fisher's Exact Test 1.000 .500

Linear-by-Linear Association .049 1 .824

N of Valid Casesb 82

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 17,50.

b. Computed only for a 2x2 table

Page 177: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for sayuran

(Sering > 2 kali/hari / Jarang

< 2 kali/hari)

1.105 .460 2.652

For cohort BB = non 2T 1.051 .680 1.623

For cohort BB = 2T .951 .612 1.478

N of Valid Cases 82

Page 178: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

e. Buah dgn 2T

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

buah * BB 82 100.0% 0 .0% 82 100.0%

buah * BB Crosstabulation

BB

Total non 2T 2T

buah Sering > 2 kali/hari Count 23 25 48

% within BB 56.1% 61.0% 58.5%

Jarang < 2 kali/hari Count 18 16 34

% within BB 43.9% 39.0% 41.5%

Total Count 41 41 82

% within BB 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (1-

sided)

Pearson Chi-Square .201a 1 .654

Continuity Correctionb .050 1 .823

Likelihood Ratio .201 1 .654

Fisher's Exact Test .823 .411

Linear-by-Linear Association .199 1 .656

N of Valid Casesb 82

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 17,00.

b. Computed only for a 2x2 table

Page 179: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for buah (Sering

> 2 kali/hari / Jarang < 2

kali/hari)

.818 .339 1.971

For cohort BB = non 2T .905 .587 1.395

For cohort BB = 2T 1.107 .707 1.732

N of Valid Cases 82

Page 180: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

f. Susu dgn 2T

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

susu * BB 82 100.0% 0 .0% 82 100.0%

susu * BB Crosstabulation

BB

Total non 2T 2T

susu Sering > 2 kali/hari Count 4 13 17

% within BB 9.8% 31.7% 20.7%

Jarang < 2 kali/hari Count 37 28 65

% within BB 90.2% 68.3% 79.3%

Total Count 41 41 82

% within BB 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (1-

sided)

Pearson Chi-Square 6.011a 1 .014

Continuity Correctionb 4.749 1 .029

Likelihood Ratio 6.267 1 .012

Fisher's Exact Test .027 .014

Linear-by-Linear Association 5.938 1 .015

N of Valid Casesb 82

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8,50.

b. Computed only for a 2x2 table

Page 181: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for susu (Sering

> 2 kali/hari / Jarang < 2

kali/hari)

.233 .069 .791

For cohort BB = non 2T .413 .171 .999

For cohort BB = 2T 1.775 1.209 2.607

N of Valid Cases 82

Page 182: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

Analisis Multivariat

1. Kandidat Model

a. ASI Eksklusif

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 1 Step 7.360 1 .007

Block 7.360 1 .007

Model 7.360 1 .007

b. Lamanya Pemberian MP-ASI Kemenkes

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 1 Step 4.686 1 .030

Block 4.686 1 .030

Model 4.686 1 .030

c. Riwayat Penyakit Infeksi

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 1 Step 5.514 1 .019

Block 5.514 1 .019

Model 5.514 1 .019

d. Pola Konsumsi Susu

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 1 Step 6.267 1 .012

Block 6.267 1 .012

Model 6.267 1 .012

Page 183: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

2. Pembuatan Model

Logistic Regression

Case Processing Summary

Unweighted Casesa N Percent

Selected Cases Included in Analysis 82 100.0

Missing Cases 0 .0

Total 82 100.0

Unselected Cases 0 .0

Total 82 100.0

a. If weight is in effect, see classification table for the total number of

cases.

Dependent Variable

Encoding

Original

Value Internal Value

non 2T 0

2T 1

Block 0: Beginning Block

Classification Tablea,b

Observed

Predicted

BB Percentage

Correct non 2T 2T

Step 0 BB non 2T 0 41 .0

2T 0 41 100.0

Overall Percentage 50.0

a. Constant is included in the model.

b. The cut value is ,500

Page 184: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 0 Constant .000 .221 .000 1 1.000 1.000

Variables not in the Equation

Score df Sig.

Step 0 Variables A5 7.235 1 .007

C9 4.556 1 .033

D13 5.423 1 .020

Susu 6.011 1 .014

Overall Statistics 20.913 4 .000

Block 1: Method = Enter

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 1 Step 24.828 4 .000

Block 24.828 4 .000

Model 24.828 4 .000

Model Summary

Step -2 Log likelihood

Cox & Snell R

Square

Nagelkerke R

Square

1 88.848a .261 .348

a. Estimation terminated at iteration number 5 because

parameter estimates changed by less than ,001.

Page 185: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

Classification Tablea

Observed

Predicted

BB Percentage

Correct non 2T 2T

Step 1 BB non 2T 32 9 78.0

2T 21 20 48.8

Overall Percentage 63.4

a. The cut value is ,500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

95,0% C.I.for EXP(B)

Lower Upper

Step 1a A5 1.194 .535 4.977 1 .026 3.302 1.156 9.429

C9 -2.008 .772 6.772 1 .009 .134 .030 .609

D13 1.342 .581 5.334 1 .021 3.828 1.225 11.959

susu -1.869 .733 6.504 1 .011 .154 .037 .649

Constant 1.856 1.914 .940 1 .332 6.396

a. Variable(s) entered on step 1: A5, C9, D13, susu.

Page 186: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

3. Uji Interaksi

Logistic Regression

Case Processing Summary

Unweighted Casesa N Percent

Selected Cases Included in Analysis 82 100.0

Missing Cases 0 .0

Total 82 100.0

Unselected Cases 0 .0

Total 82 100.0

a. If weight is in effect, see classification table for the total number of

cases.

Dependent Variable

Encoding

Original

Value Internal Value

non 2T 0

2T 1

Block 0: Beginning Block

Classification Tablea,b

Observed

Predicted

BB Percentage

Correct non 2T 2T

Step 0 BB non 2T 0 41 .0

2T 0 41 100.0

Overall Percentage 50.0

a. Constant is included in the model.

b. The cut value is ,500

Page 187: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 0 Constant .000 .221 .000 1 1.000 1.000

Variables not in the Equation

Score df Sig.

Step 0 Variables A5 7.235 1 .007

C9 4.556 1 .033

D13 5.423 1 .020

Susu 6.011 1 .014

A5 by D13 8.071 1 .004

Overall Statistics 24.439 5 .000

Block 1: Method = Enter

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 1 Step 30.127 5 .000

Block 30.127 5 .000

Model 30.127 5 .000

Model Summary

Step -2 Log likelihood

Cox & Snell R

Square

Nagelkerke R

Square

1 83.549a .307 .410

a. Estimation terminated at iteration number 5 because

parameter estimates changed by less than ,001.

Page 188: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

Classification Tablea

Observed

Predicted

BB Percentage

Correct non 2T 2T

Step 1 BB non 2T 24 17 58.5

2T 4 37 90.2

Overall Percentage 74.4

a. The cut value is ,500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

95,0% C.I.for EXP(B)

Lower Upper

Step 1a A5 6.152 2.423 6.447 1 .011 469.450 4.067 5.419E4

C9 -1.963 .810 5.871 1 .015 .140 .029 .687

D13 5.460 2.065 6.990 1 .008 235.065 4.106 1.346E4

susu -2.296 .825 7.753 1 .005 .101 .020 .507

A5 by D13 -2.874 1.332 4.659 1 .031 .056 .004 .768

Constant -4.517 3.552 1.617 1 .204 .011

a. Variable(s) entered on step 1: A5, C9, D13, susu, A5 * D13 .

Page 189: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

4. Tahap Akhir

Logistic Regression

Case Processing Summary

Unweighted Casesa N Percent

Selected Cases Included in Analysis 82 100.0

Missing Cases 0 .0

Total 82 100.0

Unselected Cases 0 .0

Total 82 100.0

a. If weight is in effect, see classification table for the total number of

cases.

Dependent Variable

Encoding

Original

Value Internal Value

non 2T 0

2T 1

Block 0: Beginning Block

Classification Tablea,b

Observed

Predicted

BB Percentage

Correct non 2T 2T

Step 0 BB non 2T 0 41 .0

2T 0 41 100.0

Overall Percentage 50.0

a. Constant is included in the model.

b. The cut value is ,500

Page 190: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 0 Constant .000 .221 .000 1 1.000 1.000

Variables not in the Equation

Score df Sig.

Step 0 Variables A5 7.235 1 .007

C9 4.556 1 .033

D13 5.423 1 .020

susu 6.011 1 .014

Overall Statistics 20.913 4 .000

Block 1: Method = Enter

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 1 Step 24.828 4 .000

Block 24.828 4 .000

Model 24.828 4 .000

Model Summary

Step -2 Log likelihood

Cox & Snell R

Square

Nagelkerke R

Square

1 88.848a .261 .348

a. Estimation terminated at iteration number 5 because

parameter estimates changed by less than ,001.

Page 191: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

Classification Tablea

Observed

Predicted

BB Percentage

Correct non 2T 2T

Step 1 BB non 2T 32 9 78.0

2T 21 20 48.8

Overall Percentage 63.4

a. The cut value is ,500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

95,0% C.I.for EXP(B)

Lower Upper

Step 1a A5 1.194 .535 4.977 1 .026 3.302 1.156 9.429

C9 -2.008 .772 6.772 1 .009 .134 .030 .609

D13 1.342 .581 5.334 1 .021 3.828 1.225 11.959

susu -1.869 .733 6.504 1 .011 .154 .037 .649

Constant 1.856 1.914 .940 1 .332 6.396

a. Variable(s) entered on step 1: A5, C9, D13, susu.

Block 2: Method = Backward Stepwise (Wald)

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 1 Step 5.299 1 .021

Block 5.299 1 .021

Model 30.127 5 .000

Page 192: Oleh : M. ARBI RAMADHAN NIM : 107101001526 PEMINATAN GIZI

Model Summary

Step -2 Log likelihood

Cox & Snell R

Square

Nagelkerke R

Square

1 83.549a .307 .410

a. Estimation terminated at iteration number 5 because

parameter estimates changed by less than ,001.

Classification Tablea

Observed

Predicted

BB Percentage

Correct non 2T 2T

Step 1 BB non 2T 24 17 58.5

2T 4 37 90.2

Overall Percentage 74.4

a. The cut value is ,500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

95,0% C.I.for EXP(B)

Lower Upper

Step 1a A5 6.152 2.423 6.447 1 .011 469.450 4.067 5.419E4

C9 -1.963 .810 5.871 1 .015 .140 .029 .687

D13 5.460 2.065 6.990 1 .008 235.065 4.106 1.346E4

susu -2.296 .825 7.753 1 .005 .101 .020 .507

A5 by D13 -2.874 1.332 4.659 1 .031 .056 .004 .768

Constant -4.517 3.552 1.617 1 .204 .011

a. Variable(s) entered on step 1: A5 * D13 .