Upload
haphuc
View
219
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
L a p o r a n N u s a n t a r a | 1
OKTOBER 2013
VOLUME 8 NOMOR 3
L a p o r a n N u s a n t a r a | 2
I. Ringkasan Perkembangan dan Prospek
Ekonomi Regional 4
II. Perekonomian Kawasan Timur Indonesia 10
IIII. Perekonomian Kawasan Jawa 16
IV. Perekonomian Kawasan Jakarta 24
V. Perekonomian Kawasan Sumatera 34
VI. Isu Strategis: Membangun Struktur Produksi yang Kokoh di Nusantara Menuju Negara Maju
42
Boks 1. Fenomena Offshoring Produksi Barang Kompleks dalam Rantai Nilai Global dan Implikasinya pada Necara Perdagangan
Informasi lebih lanjut dapat menghubungi: Bank Indonesia Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Grup Asesmen Ekonomi Divisi Asesmen Ekonomi Regional Ph. 021-29818161, 29818868 Fax. 021-3452489, 2310553
Lampiran II – Inflasi Daerah
Lampiran I – Pertumbuhan Ekonomi Daerah
Lampiran III – Profil Struktur Perekonomian Wilayah
L a p o r a n N u s a n t a r a | 3
Di dalam proses perumusan kebijakan moneter, Bank Indonesia mempertimbangkan seluruh aspek
perekonomian termasuk berbagai dinamika ekonomi dalam perspektif kewilayahan. Pembahasan
menyeluruh tentang perkembangan perekonomian terkini dan berbagai isu strategis yang
mengemuka di daerah dilakukan secara periodik antara Dewan Gubernur dengan para Kepala
Perwakilan Bank Indonesia seluruh Indonesia. Hasil dari pembahasan dimaksud menjadi bagian
penting yang melengkapi pemahaman Bank Indonesia terhadap kondisi makroekonomi dengan
berbagai aspek risiko yang berkembang.
Secara umum, perkembangan berbagai indikator makro ekonomi di daerah cenderung melambat
pada triwulan III 2013. Perkembangan ekonomi global yang masih diliputi ketidakpastian yang tinggi
menyebabkan perbaikan ekspor di daerah relatif terbatas di tengah indikator konsumsi domestik
dan investasi yang diperkirakan cenderung melemah. Sementara itu, perkembangan tekanan inflasi
pada akhir triwulan III 2013 mulai mereda setelah pada dua bulan pertama triwulan laporan
meningkat cukup tinggi terkait dampak kenaikan BBM bersubsidi dan tekanan inflasi pangan. Upaya
untuk membawa inflasi kembali ke arah sasarannya akan terus dilakukan melalui koordinasi yang
kuat antara Bank Indonesia dan Pemerintah, baik di tingkat Pusat maupun Daerah.
Buku Laporan Nusantara ini menguraikan secara lengkap asesmen kondisi terkini dan prospek
perekonomian daerah. Dalam publikasi Laporan Nusantara edisi kali ini juga diuraikan pembahasan
yang lebih mendalam terkait aspek struktural dalam mendorong pembangunan struktur produksi
yang lebih kokoh di daerah. Penyusunan buku ini dilakukan secara berkolaborasi antara Departemen
Kebijakan Ekonomi dan Moneter, Kantor Perwakilan Wilayah II, Kantor Perwakilan Wilayah VI, dan
Kantor Perwakilan Wilayah VIII.
Akhir kata, kami berharap buku Laporan Nusantara ini dapat menjadi referensi para pemangku
kepentingan dan pemerhati ekonomi daerah, serta menjadi salah satu kontribusi Bank Indonesia di
dalam pembangunan ekonomi daerah.
Jakarta, 8 Oktober 2013 Departemen Kebijakan Ekonomi
dan Moneter
Dody Budi Waluyo Direktur Eksekutif
L a p o r a n N u s a n t a r a | 4
Bagian I
Ringkasan Perkembangan dan Prospek Ekonomi Regional
Berbagai indikator ekonomi daerah pada triwulan III 2013 secara agregat cenderung melambat.
Indikasi perbaikan ekspor yang mulai terlihat di sebagian besar daerah tertahan oleh masih relatif
rendahnya harga komoditas di pasar global sehingga diperkirakan belum dapat mengimbangi
perlambatan yang terjadi pada konsumsi rumah tangga dan investasi. Melambatnya pertumbuhan
ekonomi diprakirakan terjadi terutama di sebagian besar daerah di Sumatera dan Jakarta,
sedangkan Jawa dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) terindikasi dapat tumbuh sedikit meningkat.
Sementara itu, inflasi di seluruh daerah tercatat lebih tinggi pada triwulan laporan sebagai dampak
dari kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada akhir Juni 2013 dan
terjadinya gangguan pasokan pangan. Meskipun demikian, tekanan inflasi mulai mereda pada akhir
triwulan laporan seiring dengan mulai teratasinya kendala pasokan pangan, terutama untuk
komoditas bawang merah dan cabai, serta adanya tambahan pasokan impor daging. Pada akhir
triwulan, tekanan inflasi pangan yang lebih rendah bahkan terjadi di beberapa daerah di Sulawesi,
Maluku, dan Nusa Tenggara karena disertai koreksi harga yang dalam pada komoditas ikan segar.
Pertumbuhan Ekonomi
Perkembangan berbagai indikator ekonomi di berbagai daerah hingga kuartal ketiga tahun 2013
secara agregat cenderung mengindikasikan arah pertumbuhan ekonomi nasional yang melambat.
Kondisi ini tidak terlepas dari dinamika perekonomian global yang masih dibayangi ketidakpastian
yang tinggi sehingga menyebabkan lambatnya tempo perbaikan pertumbuhan ekonomi dan volume
perdagangan dunia, serta turut memicu tekanan terhadap nilai tukar rupiah sepanjang triwulan
laporan. Indikasi perbaikan ekspor yang mulai terlihat di sebagian besar daerah tertahan oleh masih
relatif rendahnya harga komoditas di pasar global sehingga diperkirakan belum dapat mengimbangi
konsumsi rumah tangga dan investasi yang diperkirakan tumbuh melambat.
Gambar I.1. Peta Pertumbuhan Ekonomi Daerah, Triwulan III 2013*)
*) Angka Estimasi Pertumbuhan PDRB bersumber dari Kantor Perwakilan BI di masing-masing daerah **)Rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional 2010 – 2013 = 6,3%
L a p o r a n N u s a n t a r a | 5
Melambatnya pertumbuhan ekonomi diprakirakan terutama terjadi di sebagian besar daerah di
Sumatera dan Jakarta. Hal ini terindikasi pada berbagai indikator terkait konsumsi rumah tangga
yang cenderung melemah seperti nilai tukar petani, impor barang konsumsi dan kredit konsumsi.
Masih terbatasnya perbaikan harga komoditas hasil-hasil perkebunan dan tingginya kenaikan inflasi
pangan diperkirakan berdampak pada melambatnya konsumsi domestik. Peningkatan kinerja ekspor
yang mulai terlihat di berbagai daerah di Sumatera tertahan oleh terbatasnya perbaikan harga
komoditas di pasar global (Grafik I.1 dan Grafik I.2). Di samping itu, produksi hasil perkebunan juga
terindikasi tumbuh lebih rendah karena pengaruh iklim dan minimalnya insentif harga jual.
Sementara itu, perekonomian Jakarta menghadapi tekanan dari melemahnya kinerja investasi
terkait mulai meningkatnya suku bunga pinjaman dan depresiasi nilai tukar rupiah.
Grafik I.1. Pertumbuhan Volume Ekspor Kawasan
Grafik I.2. Kontribusi Pertumbuhan Nilai Ekspor
Kawasan
Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi Jawa dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) terindikasi sedikit
meningkat yang terutama didukung oleh perbaikan kinerja ekspor dan masih relatif stabilnya
konsumsi domestik. Membaiknya kinerja ekspor terjadi di sebagian besar daerah di Jawa seperti
Jawa Barat dan Jawa Timur yang merupakan daerah basis ekspor manufaktur. Demikian halnya
dengan kinerja ekspor KTI yang cenderung meningkat pada triwulan laporan, terutama untuk barang
tambang seperti nikel, batu bara, dan tembaga, di tengah masih terbatasnya perbaikan harga di
pasar global. Di samping itu, kembali normalnya aktivitas produksi tambang tembaga di Papua
setelah sempat terhenti selama beberapa waktu turut berkontribusi pada membaiknya
pertumbuhan ekonomi di KTI. Namun, laju pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat di Jawa tertahan
oleh perkembangan kinerja investasi yang diperkirakan masih cenderung lemah.
Secara keseluruhan, konsumsi pemerintah diperkirakan mengalami peningkatan di berbagai daerah
seiring dengan penyaluran gaji ke-13 yang baru terealisasi pada awal triwulan III 2013 dan adanya
upaya percepatan realisasi penyelesaian proyek infrastruktur. Rilis Kementerian Keuangan
memprakirakan pengeluaran belanja APBD secara agregat hingga Agustus 2013 mencapai Rp358,6
triliun atau 50,6% dari total APBD1.
1 Publikasi Estimasi Realisasi Belanja Pemerintah Daerah Agustus 2013, Dirjen Perimbangan Keuangan Daerah,
Kementerian Keuangan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 6
Pembiayaan Perbankan
Masih cukup kuatnya pertumbuhan ekonomi di sebagian daerah tersebut tidak terlepas dari
dukungan penyaluran kredit perbankan yang diperkirakan masih relatif stabil hingga akhir triwulan
III 2013. Pertumbuhan penyaluran kredit pada triwulan laporan berada pada kisaran 15,7% dan
23,4% (Grafik I.3). Masih relatif stabilnya penyaluran kredit di Jawa, KTI, dan Sumatera terutama
ditopang oleh masih cukup kuatnya pertumbuhan penyaluran kredit modal kerja dan konsumsi.
Menguatnya penyaluran kredit untuk modal kerja bahkan dapat mendorong pertumbuhan
penyaluran kredit perbankan di Jakarta sehingga secara umum cenderung meningkat selama
triwulan laporan. Sementara itu, dana pihak ketiga (DPK) perbankan cenderung tumbuh meningkat
di berbagai daerah sejalan dengan indikasi peningkatan suku bunga simpanan, khususnya pada suku
bunga deposito (Grafik I.4).
Grafik I.3. Perkembangan Kredit Lokasi Proyek
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8
2011 2012 2013
% yoySumatera Jakarta
Jawa KTI
Grafik I.4. Perkembangan Dana Pihak Ketiga
0
5
10
15
20
25
30
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8
2011 2012 2013
% yoy
Sumatera Jakarta Jawa KTI
Pertumbuhan kredit UMKM secara nasional hingga triwulan laporan tumbuh lebih tinggi dibanding
posisi Juni 2013. Kenaikan pertumbuhan kredit UMKM terutama dikontribusi dari pertumbuhan
penyaluran kredit UMKM di Jawa, diikuti KTI dan Sumatera. Sementara itu, kontribusi penyaluran
kredit UMKM di Jakarta justru cenderung tumbuh melambat. Hingga periode Agustus 2013, pangsa
penyaluran kredit UMKM terhadap total kredit berada di kisaran 20% dan diharapkan sejalan
dengan target pangsa penyaluran kredit UMKM sampai dengan akhir tahun 2013 sebesar 20%.
Dalam kaitan ini, berbagai langkah telah didorong oleh Bank Indonesia untuk terus mendorong
aksesibilitas masyarakat terhadap perbankan.
Grafik I.5. Kontribusi Pertumbuhan Kredit UMKM
(10)
(5)
0
5
10
15
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8
2011 2012 2013
%,yoy
Sumatera DKI Jakarta
Jawa KTI
Grafik I.6. Pangsa Kredit UMKM Triwulan III 2013
Ket: Data s.d. Agustus 2013
L a p o r a n N u s a n t a r a | 7
Inflasi Daerah
Inflasi pada triwulan III 2013 di semua wilayah tercatat lebih tinggi dibanding periode akhir triwulan
sebelumnya. Hal ini tidak terlepas dari dampak kebijakan kenaikan bahan bakar minyak (BBM)
bersubsidi pada akhir Juni 2013. Di samping itu, tekanan kenaikan inflasi juga dipengaruhi oleh
terjadinya gangguan pasokan bahan pangan – terutama bawang merah, cabai, daging ayam, daging
sapi – di tengah meningkatnya permintaan menjelang perayaan hari raya Idul Fitri. Jakarta dan
beberapa kota di Jawa Barat yang merupakan penyangga Jakarta seperti Depok, Tangerang, dan
Bekasi tercatat mengalami lonjakan kenaikan inflasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah
lainnya pada bulan pertama setelah implementasi kenaikan harga BBM bersubsidi. Tekanan
pelemahan nilai tukar rupiah sejak Juli 2013 juga turut meningkatkan harga berbagai barang.
Tekanan inflasi mulai mereda pada akhir triwulan laporan seiring dengan membaiknya pasokan
pangan, terutama bawang merah dan cabai, serta adanya tambahan pasokan impor daging.
Beberapa daerah di Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara pada September 2013 bahkan secara
bulanan dapat mencatat inflasi yang lebih rendah dibandingkan dengan daerah lainnya karena
koreksi harga yang dalam juga terjadi untuk komoditas ikan segar. Meski demikian, terdapat
beberapa daerah yang masih mencatat inflasi hingga di kisaran 10%, antara lain Sumatera Barat,
Papua Barat, Maluku Utara, Kalimantan Timur, dan Banten.
Gambar I.2. Peta Inflasi Daerah (%,yoy) – September 2013
Prospek Perekonomian Daerah
Prospek pertumbuhan ekonomi di berbagai daerah pada triwulan IV 2013 secara agregat
diprakirakan akan kembali melambat dibandingkan dengan triwulan III 2013. Pemulihan ekonomi
global yang berjalan lambat disertai tingginya ketidakpastian ekonomi global masih akan
membayangi prospek pertumbuhan ekonomi daerah. Perlambatan ekonomi diprakirakan terjadi di
Kawasan Jawa dan KTI. Di Kawasan Jawa, perlambatan disebabkan oleh pertumbuhan konsumsi
masyarakat dan investasi yang menurun. Sementara itu, melambatnya pertumbuhan ekonomi di KTI
pada triwulan mendatang dipengaruhi oleh kinerja investasi yang terhambat oleh belum adanya
perbaikan harga komoditas yang berarti dan terbatasnya pemulihan ekspor.
Hingga akhir 2013, perkembangan neraca perdagangan luar negeri di daerah, terutama Jawa dan
Jakarta, secara keseluruhan diperkirakan mencatat defisit neraca perdagangan luar negeri yang lebih
besar dibandingkan dengan periode tahun 2012. Hal ini terjadi seiring dengan terbatasnya
Inf ≤ 6,80%
8,00% < inf ≤ 8,50%
Inf > 8,50%
6,80% < inf ≤ 8,00%
L a p o r a n N u s a n t a r a | 8
pemulihan kinerja ekspor dan masih cukup besarnya kebutuhan impor. Ke depan, tekanan neraca
perdagangan di daerah perlu diatasi melalui kebijakan struktural yang diarahkan untuk memperkuat
kapabilitas sektor industri sehingga mampu mengimbangi kebutuhan domestik yang semakin
kompleks. Kebijakan penguatan tersebut merupakan prasyarat bagi kesinambungan migrasi
Indonesia menuju ke negara maju. Dampak kebijakan pada basis penciptaan pendapatan per kapita
dapat lebih optimal jika diiringi pula dengan kebijakan yang mendorong Nusantara sebagai salah
satu lokasi utama dalam pembuatan barang jadi dan komponennya yang bersifat kompleks di
sepanjang rantai nilai global.
Dari sisi inflasi, tekanan inflasi yang mereda pasca penyesuaian terhadap kenaikan harga BBM
bersubsidi masih juga dibayangi beberapa risiko yang dapat memengaruhi perkembangan harga-
harga umum di daerah pada triwulan mendatang. Pengaruh dari depresiasi nilai tukar rupiah
terhadap harga-harga umum menjadi salah satu faktor risiko yang cukup besar dan dapat membawa
tekanan inflasi kembali meningkat. Risiko tekanan inflasi juga berasal dari komoditas pangan yang
harganya mudah bergejolak (volatile food), antara lain terkait dengan masa paceklik di berbagai
daerah sentra produksi padi dan baru akan kembali memasuki masa panen pada awal tahun 2014,
serta tekanan permintaan pada komoditas daging seiring dengan perayaan hari raya Idul Adha dan
akhir tahun. Di samping itu, implementasi kenaikan tarif listrik tahap keempat yang akan berlaku
pada Oktober 2013, kemungkinan terjadinya kenaikan harga LPG 12 Kg, serta kenaikan tarif
angkutan udara seiring dengan siklus akhir tahun (peak season) merupakan risiko yang perlu
diwaspadai dampaknya pada kenaikan inflasi umum.
Menghadapi masih besarnya risiko kenaikan inflasi, Bank Indonesia dan Pemerintah di tingkat Pusat
dan Daerah terus memperkuat koordinasi dalam upaya pengendalian inflasi khususnya melalui Tim
Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) di berbagai daerah. Dalam jangka pendek, TPID perlu diarahkan
untuk secara intensif mengatasi beberapa hal utama, yakni menurunkan inflasi pangan (volatile
food) yang saat ini berada di kisaran 14% (yoy), meredam dampak depresiasi nilai tukar rupiah
terhadap kenaikan harga-harga umum, serta menjamin ketersediaan dan kelancaran distribusi
pasokan pangan.
Laporan Nusantara ini disarikan dari hasil pertemuan Dewan Gubernur Bank Indonesia dengan Kepala-Kepala Perwakilan Bank Indonesia Wilayah di seluruh Indonesia pada 3 Oktober 2013 di Jakarta. Pertemuan dilakukan setiap triwulannya untuk membahas perkembangan terkini dan berbagai isu strategis yang menjadi perhatian di daerah sebagai bahan pertimbangan
penting dalam perumusan kebijakan moneter di Bank Indonesia
L a p o r a n N u s a n t a r a | 9
Bagian II
Perekonomian Kawasan Timur Indonesia
Perekonomian Kawasan Timur Indonesia (KTI) pada triwulan III 2013 diprakirakan tumbuh di kisaran
5,1%-5,5%, terutama didorong oleh daerah-daerah yang merupakan basis produksi tambang, seperti
Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan. Perbaikan ekonomi tersebut didorong
oleh kinerja ekspor yang membaik dan konsumsi yang masih cukup kuat. Di samping itu, selama
triwulan laporan aktivitas produksi tambang kembali meningkat setelah sempat terkendala pada
triwulan II 2013.
Sementara itu, inflasi pada triwulan laporan meningkat tinggi sebagai dampak dari kenaikan harga
BBM bersubsidi dan terbatasnya pasokan pangan. Tingginya permintaan di tengah terbatasnya
pasokan dan cuaca ekstrem yang menghambat produksi dan distribusi di berbagai provinsi di KTI
mendorong kenaikan tekanan inflasi. Namun, tekanan inflasi pada akhir triwulan III 2013 mulai
mereda seiring mulai lancarnya pasokan komoditas pangan dan mulai menurunnya dampak
kenaikan harga BBM bersubsidi.
Pertumbuhan Ekonomi
Konsumsi
Konsumsi Rumah Tangga
Konsumsi rumah tangga diprakirakan masih tumbuh cukup kuat pada triwulan III 2013, sedikit
meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (Grafik II.1). Meningkatnya konsumsi
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pembayaran tunjangan hari raya (THR), realisasi
penyaluran gaji ke-13 bagi PNS, masuknya tahun ajaran baru dan perayaan hari besar keagamaan.
Selain itu, masih kuatnya konsumsi juga dipengaruhi oleh meningkatnya penyelenggaraan meeting,
incentive, conference, exhibition (MICE) berskala besar di berbagai daerah di KTI seperti APEC dan
Miss World 2013 di Bali, Sail Komodo di NTT, Festival Derawan di Kalimantan Timur, serta Darwin-
Ambon Yacht Race di Maluku. Di samping itu, meningkatnya konsumsi rumah tangga terindikasi dari
penyaluran kredit konsumsi yang masih cukup kuat disertai melambatnya pertumbuhan dana pihak
ketiga perbankan. (Grafik II.2).
Konsumsi Pemerintah
Konsumsi pemerintah di KTI pada triwulan III 2013 diprakirakan meningkat dibandingkan dengan
triwulan yang sama tahun sebelumnya. Hal tersebut dipengaruhi antara lain oleh penyerapan
belanja APBD yang lebih tinggi menjelang akhir tahun sesuai dengan pola tahunannya. Kenaikan
belanja pemerintah juga dipengaruhi oleh penyelenggaraan MICE dengan sumber dana dari fiskal
daerah baik di tingkat kabupaten maupun provinsi, yang diperkirakan dapat memengaruhi konsumsi
pemerintah pada triwulan laporan. Berdasarkan rilis Kementerian Keuangan, hingga periode Agustus
2013, beberapa daerah di KTI seperti Gorontalo, Maluku, dan Sulawesi Utara mencatat realisasi
penyerapan APBD yang lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 10
Grafik II.1. Pertumbuhan Konsumsi KTI
5.0
5.5
6.0
6.5
7.0
7.5
8.0
I II III IV I II III IV I II IIIp
2011 2012 2013
% yoy
Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi
Ket: P proyeksi Bank Indonesia
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik II.2. Pertumbuhan Tabungan dan Deposiito
-
5
10
15
20
25
30
I II III IV I II III IV I II III*
2011 2012 2013
% (yoy) Deposito
Tabungan
Investasi
Investasi di KTI diprakirakan tumbuh sedikit meningkat dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya. Meningkatnya kegiatan investasi ini bersumber dari masih berlangsungnya
pembangunan proyek-proyek berskala besar di berbagai daerah baik yang bersifat multiyears
maupun yang dimulai pada triwulan laporan. Beberapa pembangunan infrastruktur yang dilakukan
antara lain penyelesaian infrastruktur pendukung terkait persiapan penyelenggaraan APEC di Bali,
jalan layang di Banjarmasin, dan pembangkit listrik (PLTU) Donggi Senoro di Sulawesi Tengah. Selain
itu, terdapat beberapa proyek investasi swasta yang direalisasikan selama triwulan laporan,
terutama investasi terkait pertambangan dan industri pengolahan seperti pembangunan smelter
tambang di Sulawesi Tengah, penambahan pabrik Pupuk Kaltim, pabrik alumina di Kalimantan Barat,
industri garam di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Bosowa Energi di Sulawesi Selatan. Peningkatan
investasi ini juga terindikasi dari penyaluran kredit investasi di KTI yang pada Agustus 2013 yang
masih cukup tinggi yakni mencapai 38,2% (yoy) walaupun cenderung melambat dibandingkan
dengan periode akhir triwulan sebelumnya (Grafik II.3).
Permintaan Ekspor
Kinerja ekspor KTI diperkirakan cenderung meningkat pada triwulan III 2013 terutama didorong
oleh ekspor barang hasil tambang (Grafik II.4). Peningkatan ekspor barang tambang, terutama
batubara, dipengaruhi oleh adanya kenaikan permintaan dari China dan India. Hal ini terindikasi dari
volume stok batubara di Pelabuhan Transit Taboneo, Kalimantan Selatan, (Grafik II.5) yang
menunjukkan berkurangnya penumpukan batubara yang sempat terjadi pada beberapa bulan
sebelumnya dan secara bertahap telah diserap oleh pasar mancanegara. Di samping itu, hasil liaison
kepada beberapa perusahaan tambang besar mengindikasikan adanya upaya perluasan pasar atau
ekspansi negara tujuan ekspor batu bara ke ASEAN dan Indo-China, seperti pasar Filipina dan
Vietnam, yang diperkirakan turut mendukung peningkatan ekspor batubara.
Komoditas utama ekspor di KTI lainnya, yaitu nikel dan tembaga, juga tumbuh meningkat pada triwulan
III 2013. Hal ini antara lain didukung oleh kembali normalnya aktivitas produksi tembaga di Papua setelah
sempat terhenti selama beberapa waktu pada triwulan II 2013 dan berakhirnya proses pemeliharaan
pabrik pengolahan feronikel di Sulawesi Tenggara (Grafik II.6).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 11
Grafik II.3. Penyaluran Kredit Investasi – KTI
0
20,000
40,000
60,000
80,000
100,000
120,000
140,000
160,000
I II III IV I II III IV I II III*
2011 2012 2013
-
10
20
30
40
50
60Miliar Rp % yoyKredit Investasi
gKredit Investasi (rhs)
Grafik II.4. Ekspor Pertambangan KTI
2,375
(40)
(30)
(20)
(10)
0
10
20
30
40
0
500
1,000
1,500
2,000
2,500
3,000
3,500
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7
2012 2013
% yoyJuta USD Ekspor Pertambangan
gEkspor Pertambangan (rhs)
Grafik II.5. Stok Batubara Taboneo
(40)
(20)
0
20
40
60
80
100
120
0
1
2
3
4
5
6
7
8
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8
2011 2012 2013
% yoyJuta tonStok Batubara di Pelabuhan Transit Taboneo
gStok Batubara di Pelabuhan Transit Taboneo (rhs)
Sumber: KSOP Banjarmasin
Grafik II.6. Produksi Konsentrat Tembaga
-100
-50
0
50
100
150
200
250
0
50
100
150
200
250
300
I II III IV I II III IV I II III*
2011 2012 2013
% yoyJuta Pounds Produksi Konsentrat Tembaga
gProduksi Konsentrat Tembaga (rhs)
Sumber: Data perusahaan, diolah
Sektor Pertambangan
Sektor pertambangan pada triwulan III 2013 tumbuh meningkat dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya. Produksi batubara di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur pada triwulan III 2013
diprakirakan tumbuh meningkat di tengah masih relatif rendahnya harga batubara di pasar global
(Grafik II.7). Hal ini diperkirakan terkait dengan pemenuhan kontrak jangka panjang dengan negara
mitra dagang. Meski demikian, perkembangan terakhir mengindikasikan risiko terkait adanya upaya
renegosiasi kontrak oleh India karena melemahnya nilai tukar rupee dan pemberlakuan bea masuk
impor batu bara lignite oleh China pada akhir Agustus 2013.
Grafik II.7. Indeks Produksi Batubara
0
5
10
15
20
25
80
100
120
140
160
180
200
220
240
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7
2011 2012 2013
% yoyIndeks Produksi Batubara gProduksi Batubara (rhs)
Sumber: Data Perusahaan, diolah
Grafik II.8. Produksi Biji Nikel
(20)
0
20
40
60
80
100
0
200
400
600
800
1,000
1,200
1,400
I II III IV I II III IV I II IIIP
2011 2012 2013
% yoyRibu Ton Produksi Biji Nikel gProduksi Biji Nikel (rhs)
Ket: P angka proyeksi
Sumber: Data Perusahaan, diolah
L a p o r a n N u s a n t a r a | 12
Kembali pulihnya aktivitas tambang dan optimalisasi produksi tambang menjelang diberlakukannya
UU Minerba pada tahun 2014 turut mendorong peningkatan produksi tambang. Aktivitas tambang
tembaga di Papua yang sempat terhenti selama beberapa waktu pada triwulan sebelumnya, telah
kembali normal. Demikian pula dengan aktivitas tambang nikel (Grafik II.9) dan hasil olahannya yaitu
feronikel di Sulawesi kembali meningkat. Di samping itu, meningkatnya kinerja produksi tambang
turut dipengaruhi oleh adanya relaksasi kebijakan ekspor mineral sebagai bagian dari Paket
Kebijakan Pemerintah sampai dengan akhir tahun 2013.
Industri Pengolahan
Sektor industri pengolahan diprakirakan akan kembali tumbuh positif setelah triwulan
sebelumnya mengalami kontraksi pertumbuhan yang cukup besar. Peningkatan tersebut didorong
oleh kembali meningkatnya kinerja produksi LNG di Papua Barat dan diperkirakan tumbuh membaik
meskipun masih mengalami pertumbuhan negatif sebagai dampak keterbatasan pasokan gas (feeding
gas) yang merupakan bahan baku utama produksi LNG. Membaiknya kinerja industri pengolahan LNG
ditunjukkan oleh membaiknya target pengapalan LNG di triwulan III 2013 yang mencapai 44 cargo
(Grafik II.9). Peningkatan di sektor ini juga didorong oleh peningkatan produksi kilang minyak seiring
terealisasinya investasi beberapa peralatan produksi.
Selain itu, industri pengolahan makanan juga diproyeksikan dapat tumbuh menguat pada triwulan
laporan. Hal ini tercermin dari tingkat produksi tepung terigu dari produsen utama di Sulawesi
Selatan yang menunjukkan peningkatan seiring permintaan yang meningkat dalam menghadapi
masa puasa dan hari raya Idul Fitri sejak Juli 2013 (Grafik II.10).
Grafik II.9. Target Produksi Pengilangan LNG
(30)
(25)
(20)
(15)
(10)
(5)
0
0
10
20
30
40
50
60
70
80
I II III IV I II III IV I II III*
2011 2012 2013
% yoyCargo
Target Pengapalan LNG gTarget Pengapalan LNG (rhs)
Ket: P proyeksi
Sumber: Data perusahaan, diolah
Grafik II.10. Produksi Terigu
(25)
(20)
(15)
(10)
(5)
0
5
10
15
20
25
0
20,000
40,000
60,000
80,000
100,000
120,000
140,000
160,000
180,000
200,000
I II III IV I II III IV I II IIIP
2011 2012 2013
% yoyRibu TonProduksi Terigu gProduksi Terigu (rhs)
Sumber: Data perusahaan, diolah
Perdagangan, Hotel dan Restoran (Pariwisata)
Sektor perdagangan, hotel dan restoran (PHR) diperkirakan tumbuh membaik pada triwulan III
2013. Peningkatan kinerja sektor PHR didorong oleh meningkatnya industri pariwisata yang tercermin
dari meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan domestik maupun mancanegara. Hal tersebut
dipengaruhi oleh masuknya masa liburan sekolah serta perayaan hari besar keagamaan. Selain itu,
selama triwulan laporan terdapat banyak penyelenggaraan kegiatan berskala besar seperti APEC dan
Miss World 2013 di Bali, Sail Komodo di NTT, Festival Derawan di Kalimantan Timur, serta Darwin-
Ambon Yacht Race di Maluku pada triwulan III 2013. Data kunjungan wisatawan mancanegara di
L a p o r a n N u s a n t a r a | 13
beberapa pintu utama kedatangan internasional tercatat meningkat tinggi hingga 32,4% (yoy) selama
periode Juli-Agustus 2013 (Grafik II.11). Di samping itu, beberapa penyelenggaraan Pilkada baik di
tingkat kabupaten maupun provinsi di KTI juga diperkirakan turut mendukung kinerja sektor PHR.
Grafik II.11. Kunjungan Wisatawan Mancanegara
(50)
(40)
(30)
(20)
(10)
0
10
20
30
40
50
60
I II III IV I II III IV I II III*
2011 2012 2013
% yoyKTI Ngurah Rai
Sam Ratulangi Makassar
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Pertanian
Sektor pertanian pada triwulan III 2013 diperkirakan tumbuh melambat dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya. Melambatnya sektor pertanian terindikasi baik pada sub sektor perkebunan
maupun sub sektor tananaman bahan makanan (tabama). Indikasi melambatnya kinerja subsektor
perkebunan tercermin dari penurunan produksi tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di wilayah
Kalimantan (Grafik II.12) sebesar 12,58% (yoy). Penurunan ini dipengaruhi oleh kondisi tanaman
sawit yang mengalami masa trek, yaitu kondisi tanaman kelapa sawit yang tidak dapat berproduksi
secara optimal karena mengalami gugur bunga. Selain itu produksi kakao di Sulawesi Tengah juga
terganggu akibat curah hujan yang tinggi, hama penyakit dan usia tanaman yang tidak produktif.
Pada subsektor tabama, penurunan terlihat untuk produksi tabama di berbagai daerah sentra
produksi di Sulawesi-Maluku-Papua karena adanya faktor cuaca (Grafik II.13). Indikasi lain terlihat
dari pertumbuhan kredit ke sektor pertanian yang tumbuh melambat pada triwulan laporan (28,2%,
yoy) dibandingkan dengan periode triwulan sebelumnya (32,5%, yoy).
Grafik II.12. Produksi Sawit - Kalimantan
-20
-10
0
10
20
30
40
0
200
400
600
800
1,000
1,200
1,400
1,600
I II III IV I II III IV I II III
2011 2012 2013
% yoy(juta ton) Produksi TBS Sawit G Produksi TBS Sawit (rhs)
Sumber: Dinas Perkebunan di Kalimantan, diolah
Grafik II.13. Produksi Padi - Sulampua
-4
-2
0
2
4
6
8
10
6.4
6.6
6.8
7.0
7.2
7.4
7.6
7.8
8.0
8.2
8.4
2009 2010 2011 2012 2013*
% yoyJuta Ton
Produksi Padi Sulampua gProduksi Padi Sulampua (rhs)
Sumber: Kementerian Pertanian, diolah
L a p o r a n N u s a n t a r a | 14
Pembiayaan Perbankan
Pada triwulan III 2013, penyaluran kredit perbankan relatif tumbuh melambat. Meski melambat,
kredit perbankan berada pada level yang cukup tinggi, yakni sebesar 23,1% dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya sebesar 25,4% (Grafik II.14). Perlambatan kredit terutama terjadi pada kredit
investasi dan konsumsi, sedangkan modal kerja mengalami sedikit peningkatan. Secara sektoral,
penyaluran kredit ke sektor utama masih terjaga baik untuk sektor pertanian, pertambangan, industri
pengolahan, maupun perdagangan besar dan eceran (Grafik II.15). Sementara itu, kualitas kredit yang
disalurkan (non performing loans, NPL) di KTI masih terjaga pada batas aman sekitar 1,9% meskipun
mengalami sedikit peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 1,8%. Penyaluran
kredit UMKM masih tumbuh tinggi, dengan mayoritas kredit dikucurkan untuk skala mikro dan kecil
dengan proporsi 56,3% dari penyaluran kredit UMKM. Penggunaan kredit UMKM dialokasikan untuk
jenis modal kerja (71%), dengan penyaluran difokuskan untuk kegiatan perdagangan besar dan
eceran (61%). Secara keseluruhan, peran intermediasi perbankan di KTI yang terindikasi dari rasio
kredit terhadap dana pihak ketiga (loan to deposit ratio, LDR) masih terjaga di kisaran 118%.
Grafik II.14. Penyaluran kredit KTI
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
0
100
200
300
400
500
600
I II III IV I II III IV I II III*
2011 2012 2013
% yoyTriliun Rp
Kredit gKredit (rhs)
Grafik II.15. Kredit Sektor Ekonomi di KTI
0
10
20
30
40
50
60
70
Pertanian Pertambangan IndustriPengolahan
PerdaganganBesar dan Eceran
% yoyI-12 II-12 III-12 IV-12
I-13 II-13 III-13*
Inflasi
Seluruh wilayah KTI mengalami tekanan kenaikan inflasi yang cukup tajam pada triwulan III 2013
(Grafik II.16). Inflasi KTI tercatat sebesar 8,01% (yoy), meningkat dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya (5,30% yoy). Peningkatan tersebut terutama dipengaruhi oleh kenaikan harga bahan
bakar minyak (BBM) bersubsidi yang memicu penyesuaian tarif transportasi dan juga
memengaruhi kelompok volatile food (Grafik II.17). Di sisi lain, kuatnya tekanan eksternal terutama
akibat melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar dan membaliknya tren penurunan harga
emas juga memberikan sumbangan pada tekanan inflasi di periode ini.
Dilihat dari kelompok barang dan jasa, inflasi kelompok bahan makanan berada pada tingkat yang
cukup tinggi. Subkelompok bumbu-bumbuan mengalami lonjakan harga yang paling tinggi
dibandingkan dengan rata-rata inflasi selama tiga tahun terakhir, yakni mencapai sekitar 65%. Hal
ini terutama disebabkan oleh kebijakan kenaikan harga BBM dan tingginya permintaan menjelang
hari raya. Sementara itu, pasokan mengalami hambatan karena adanya pembatasan impor produk
hortikultura dan gagal panen di beberapa daerah sentra penghasil.
Tingginya inflasi bumbu-bumbuan akibat kebijakan tersebut juga menjadi perhatian pemerintah
daerah dan Kantor Perwakilan Bank Indonesia melalui wadah Tim Pengendalian Inflasi Daerah
L a p o r a n N u s a n t a r a | 15
(TPID). Terdapat beberapa upaya yang dilakukan untuk meningkatkan swasembada pangan di
daerah, misalnya melalui pengembangan klaster pangan di hampir seluruh daerah, pengembangan
urban farming/rumah pangan Lestari (sebagian besar provinsi), desa binaan hortikultura dan
pembukaan resi gudang (Gorontalo), penyediaan cold storage (Maluku), pengembangan Pusat
Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS), serta perbaikan fasilitas infrastruktur dan sarana
pendukung lainnya.
Grafik II.16. Perkembangan Inflasi KTI
0
2
4
6
8
10
12
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III
2009 2010 2011 2012 2013
% yoy
Inflasi Nasional
Inflasi KTI
Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik II.17. Disagregasi Inflasi KTI
(5)
0
5
10
15
20
1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9
2009 2010 2011 2012 2013
% yoy Inflasi IHK (yoy)
Inti
Volatile FoodAdm Price
Prospek Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi KTI pada triwulan IV 2013 diprakirakan melambat dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya. Melambatnya pertumbuhan dipicu oleh melemahnya kinerja beberapa
sektor utama di KTI seperti industri pengolahan dan PHR. Produksi LNG di KTI untuk keseluruhan
2013 diperkirakan lebih rendah 13% dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya.
Keterbatasan pasokan dari ladang gas merupakan faktor yang menyebabkan menurunnya produksi
sepanjang tahun 2013. Di samping itu, kinerja ekspor diperkirakan masih menghadapi tantangan
dari terbatasnya perbaikan harga komoditas di pasar global, termasuk implikasi dari adanya upaya
renegosiasi kontrak dari negara mitra dagang utama karena dalamnya depresiasi nilai tukar.
Pertumbuhan ekonomi KTI untuk keseluruhan tahun 2013 diprakirakan berada di kisaran 5,1%–5,5%
(yoy), melambat dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Tekanan inflasi KTI pada triwulan IV 2013 diperkirakan kembali meningkat, dipengaruhi oleh
tekanan kenaikan harga pangan. Masuknya masa paceklik di sejumlah daerah sentra produksi dan
mulai tingginya curah hujan diperkirakan berdampak pada kenaikan harga pangan, khususnya beras
dan ikan-ikanan. Di samping itu, meningkatnya tekanan permintaan seiring perayaan hari besar
keagamaan dan libur akhir tahun, serta rambatan dampak pelemahan rupiah dan kenaikan harga
emas dunia diperkirakan turut mendorong peningkatan inflasi pada triwulan IV 2013. Beberapa
rencana implementasi kebijakan harga seperti kenaikan harga LPG 12 Kg dan tarif tenaga listrik juga
menjadi hal yang turut memengaruhi inflasi pada triwulan mendatang. Memperhatikan
perkembangan inflasi hingga triwulan III 2013 dan faktor risiko ke depan, inflasi KTI pada triwulan IV
2014 diprakirakan berada pada kisaran 8,0%-8,5% (yoy).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 16
Bagian III
Perekonomian Kawasan Jawa
Perekonomian kawasan Jawa pada triwulan III 2013 diprakirakan tumbuh sekitar 6,4%–6,7% (yoy).
Pertumbuhan ekonomi pada periode ini terutama ditopang oleh perbaikan kinerja ekspor manufaktur
dan masih cukup kuatnya konsumsi domestik. Di sisi lain, inflasi mengalami peningkatan yang cukup
tinggi hingga mencapai 8,6% (yoy) pada akhir triwulan III 2013. Kenaikan inflasi terutama didorong oleh
tekanan kelompok volatile food sebagai akibat kebijakan importasi produk hortikultura dan kuota daging
sapi, struktur pasar beberapa komoditas strategis yang cenderung oligopoli, dan kurang optimalnya
upaya penyelesaian permasalahan logistik khususnya di sektor pertanian.
Pertumbuhan Ekonomi
Konsumsi
Konsumsi Rumah Tangga
Konsumsi rumah tangga berbagai daerah di Kawasan Jawa diprakirakan masih cukup kuat
sebagaimana terindikasi dari perkembangan sejumlah indikator (Grafik III.1). Berdasarkan hasil
survei, Indeks Pengeluaran Konsumen saat ini di kawasan Jawa (Grafik III.2), Indeks Penjualan Eceran
(Grafik III.3) dan Indeks Tendensi Konsumen (Grafik III.4) mengindikasikan pengeluaran konsumen
yang masih kuat terutama untuk pengeluaran kelompok bahan makanan dan kelompok makanan
jadi, minuman, dan tembakau. Hasil liaison terhadap beberapa perusahaan ritel besar dan
perusahaan produsen consumer goods, personal care, dan toileteries juga mengonfirmasi penjualan
ritel yang meningkat pada triwulan III 2013. Penjualan otomotif juga terindikasi mengalami kenaikan
baik untuk kendaraan roda dua maupun roda empat.
Konsumsi Pemerintah
Pada triwulan III 2013, konsumsi pemerintah diperkirakan meningkat seiring dengan percepatan
realisasi berbagai proyek pemerintah. Berbagai persiapan pengadaan yang telah dilakukan pada
awal hingga pertengahan tahun memungkinkan pelaksanaan proyek maupun termin pembayaran
telah dimulai pada triwulan III 2013. Hal ini mendukung terlaksananya akselerasi realisasi belanja
pemerintah pada triwulan ini.
Di samping itu, realisasi beberapa proyek pembangunan infrastruktur berskala besar diperkirakan
turut mendorong adanya percepatan realisasi anggaran. Pembangunan dan perbaikan infrastruktur di
Jawa Barat dipercepat setelah Idul Fitri, antara lain pembangunan jalan penghubung antara Jawa Barat
Selatan dan Banten Selatan. Di Jawa Timur, pemerintah pusat dan Kabupaten Pamekasan tengah
menyelesaikan proyek pembangunan pelabuhan nasional di pesisir pantai utara Pamekasan yang
telah dimulai sejak tahun 2006. Pembangunan pelabuhan nasional tersebut diperkirakan selesai
pada akhir tahun 2013. Proyek pembangunan jalan lingkar selatan Jawa Timur juga terus
dilanjutkan. Jalan tersebut akan melintasi Kabupaten Banyuwangi, Jember, Lumajang, Malang,
Blitar, Tulungagung, Trenggalek, dan Pacitan.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 17
Grafik III.1. Pertumbuhan Konsumsi dan
Konsumsi Rumah Tangga - Jawa
5.5 5.65.9
0
1
2
3
4
5
6
7
8
I II III IV I II III IV I II III *
2011 2012 2013
% yoy Konsumsi Konsumsi Rumah Tangga
Ket: Perkiraan Bank Indonesia Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik III.2. Indeks Pengeluaran Konsumsi – Jawa
161.84
166.27 169.35
145
150
155
160
165
170
175
180
185
190
I II III IV I II III
2012 2013
Indeks Indeks Pengeluaran Konsumen
Grafik III.3. Pertumbuhan Indeks Penjualan Riil
0
20
40
60
80
100
120
I II III IV I II III IV I II III *
2011 2012 2013
% yoyJawa Barat
Jawa Tengah
Jawa Timur
Ket: Data s.d. Agustus 2013
Grafik III.4. Indeks Tendensi Konsumen Jawa
105.76
110.06
112.99
94
96
98
100
102
104
106
108
110
112
114
I II III IV I II III IV I II III *
2011 2012 2013
Indeks
Investasi
Investasi swasta di Jawa pada triwulan III 2013 diperkirakan cenderung tumbuh melambat. Kondisi
ini dipengaruhi oleh adanya indikasi perilaku industri yang cenderung menahan realisasi investasinya
terkait perkembangan nilai tukar rupiah dan stabilitas politik menjelang Pemilu tahun 2014. Meski
demikian, beberapa pelaku industri juga terpantau melakukan ekspansi usaha untuk menjaga
tingkat kapasitas utilisasi sebagai antisipasi meningkatnya kembali permintaan. Indikator penyaluran
kredit investasi perbankan di Jawa juga cenderung tumbuh melambat (Grafik III.5). Demikian pula
halnya dengan perkembangan impor barang modal yang cenderung tumbuh melambat (Grafik III.6).
Meski demikian, beberapa perusahaan di Jawa terindikasi melakukan ekspansi usaha berupa
pembangunan pabrik baru. Di Jawa Bagian Barat, industri kimia membangun pabrik baru yang
hasilnya diharapkan dapat memenuhi kebutuhan industri di Jawa. Pembangunan pabrik baru dan
perluasan pabrik juga dilakukan oleh beberapa industri di Jawa Bagian Timur dan Jawa Bagian
Tengah, seperti industri logam, industri pupuk, dan industri makanan dan minuman, dan industri
migas. Beberapa bentuk investasi yang dilakukan oleh dunia usaha ditunjukkan oleh Tabel III.1.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 18
Grafik III.5. Kredit Investasi Kawasan Jawa
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
0
20
40
60
80
100
120
140
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8
2012 2013
% yoyTriliun Rp Kredit Investasi gKredit Investasi (rhs)
Grafik III.6. Impor Barang Modal Kawasan Jawa
(40)
(20)
0
20
40
60
80
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8
2012 2013
% yoyJuta USD
Impor Barang Modal gImpor Barang Modal (rhs)
Tabel III.1. Bentuk Investasi
Sektor Investasi
Pertanian Pemanfaatan lahan instansi dan teknologi (hand tractor ), pembangunan kandang ayam
Industri TPT Peremajaan mesin, pembangunan pabrik dan toko, pembelian mesin
Industri Otomotif Pembelian mesin baru yang terotomasi, pembangunan lini produksi baru, dan pabrik ban sepeda
motorIndustri Kimia Peremajaan mesin, pembangunan cracker dan pabrik butadiene
Industri Makanan dan Minuman Peremajaan mesin dan penambahan lini produksi baru, pembangunan pabrik
PHR - Perdagangan Pembukaan jaringan toko di daerah saat ini dan lain
Jasa Pengangkutan Perbaikan infrastruktur, penambahan armada dan jaringan kantor
Sumber: Hasil Liaison Bank Indonesia
Permintaan Ekspor
Kinerja ekspor kawasan Jawa pada triwulan III 2013 diperkirakan cenderung tumbuh relatif stabil
(Grafik III.7 dan Grafik III.8). Di wilayah Jawa Bagian Barat (Jabagbar), kinerja ekspor dipengaruhi
oleh melambatnya permintaan dari negara tujuan terutama Asia (Jepang, Hong Kong, Timur Tengah)
untuk produk elektronik dan Eropa untuk produk ban. Ekspor kayu ke Timur Tengah pun menurun
karena adanya gejolak politik di wilayah tersebut. Namun, ekspor di wilayah Jawa Bagian Tengah
(Jabagteng) dan Jawa Bagian Timur (Jabagtim) ke Amerika masih meningkat, sehingga diperkirakan
mampu mendukung kinerja ekspor seluruh Jawa. Secara umum, dampak dari melemahnya nilai
tukar rupiah mulai dirasakan oleh pelaku usaha dari sisi kenaikan biaya produksi, terutama yang
memiliki kandungan impor tinggi. Meski demikian, mempertimbangkan kondisi pasar yang belum
stabil, produsen cenderung menekan margin usahanya daripada menaikkan harga jual produknya.
Grafik III.7. Ekspor dan Impor LN Jawa
(1,000)
0
1,000
2,000
3,000
4,000
5,000
6,000
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
USD Juta Net Ekspor-Impor Ekspor Impor
Tren Ekspor Tren Impor
Grafik III.8. Total Volume Ekspor LN Jawa
(20)
(15)
(10)
(5)
0
5
10
15
20
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8
2012 2013
% yoyJuta USD
Total Ekspor gEkspor (rhs)
L a p o r a n N u s a n t a r a | 19
Industri Pengolahan
Kinerja industri pengolahan pada triwulan III 2013 diperkirakan masih tumbuh relatif stabil seiring
dengan masih kuatnya konsumsi domestik dan adanya perbaikan kinerja ekspor. Membaiknya
perkembangan industri terutama terindikasi pada industri otomotif, tekstil dan produk tekstil (TPT),
dan elektronik. Pada industri otomotif, kenaikan penjualan mobil disertai pula dengan telah
diterbitkannya aturan teknis terkait kebijakan Low Cost Green Car (LCGC). Penjualan motor juga
terindikasi mulai ada perbaikan walaupun masih terbatas (Grafik III.9 dan Grafik III.10).
Pada industri tekstil, kinerja ekspor TPT tumbuh lebih tinggi daripada yang diperkirakan di awal
tahun (Grafik III.11). Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) memperkirakan kenaikan ekspor TPT untuk
keseluruhan tahun 2013 diperkirakan berada di kisaran 5%. Lebih baiknya perkembangan ekspor TPT
ini antara lain dipengaruhi oleh adanya pengalihan permintaan TPT negara maju dari Bangladesh ke
Indonesia terkait insiden runtuhnya pabrik besar di negara tersebut dan beberapa isu lainnya. Meski
demikian, perkembangan industri TPT menghadapi tantangan terkait persaingan produk impor
sejenis di pasar domestik.
Industri hulu petrokimia mengalami peningkatan dan menjadi unggulan dalam investasi industri
pengolahan. Investasi berupa pembangunan pabrik petrokimia mendorong pertumbuhan positif bagi
industri ini. Paket insentif fiskal dari pemerintah dipercaya memberikan respons sentimen positif
untuk penanaman investasi pada industri pengolahan domestik (Grafik III.12).
Grafik III.9. Penjualan Mobil
-40
-20
0
20
40
60
80
100
120
40
50
60
70
80
90
100
110
120
130
140
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8
2011 2012 2013
% yoyunit (ribu) Penjualan Mobil
Sumber: Gaikindo
Grafik III.10. Penjualan Sepeda Motor
-50
-30
-10
10
30
50
70
350
450
550
650
750
850
950
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8
2011 2012 2013
% yoyunit (ribu)Penjualan Sepeda Motor
gPenjualan Sepeda Motor (rhs)
Sumber: Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia
Grafik III.11. Ekspor Tekstil dan Produk Tekstil
(20)
(15)
(10)
(5)
0
5
10
15
20
25
30
-
200
400
600
800
1,000
1,200
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8
2012 2013
% yoyJuta USD Ekspor TPT gEkspor TPT (rhs)
Tren Ekspor
Grafik III.12. Perkembangan Ekspor Kimia
-30
-25
-20
-15
-10
-5
0
5
10
440
460
480
500
520
540
560
580
600
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8
2012 2013
% yoyJuta USD
Ekspor Kimia gEkspor Kimia (rhs) Tren Ekspor
L a p o r a n N u s a n t a r a | 20
Pertanian
Kinerja sektor pertanian diperkirakan tumbuh meningkat pada triwulan III 2013. Perbaikan kinerja
sektor pertanian didorong oleh masuknya masa panen raya beras di berbagai daerah sentra
produksi Jawa disertai dukungan cuaca yang kondusif dan minimalnya gangguan hama. Demikian
pula halnya dengan produksi beberapa komoditas hortikultura, terutama bawang merah, yang
meningkat di Jawa Tengah. Melimpahnya panen pada triwulan III 2013 diperkirakan terkait dengan
terjadinya perubahan pola tanam dan panen akibat terjadinya pergeseran musim. Namun.
perkembangan terakhir mengindikasikan beberapa daerah sentra produksi mengalami penundaan
musim tanam karena belum stabilnya iklim. Di samping itu, ARAM I BPS mengindikasi laju
peningkatan produksi beras untuk keseluruhan tahun 2013 diperkirakan lebih rendah dibandingkan
dengan produksi di Luar Jawa.
Grafik III.13. Produksi Padi Grafik III.14. Perkembangan Penumpang Kereta Apii
dan Kapal Laut di Tj. Perak
-200
-100
0
100
200
300
400
500
0
100
200
300
400
500
600
700
800
900
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8
2011 2012 2013
% yoyRibu TonProduksi Padi gProduksi Padi (rhs)
Sumber: Dinas Pertanian Cirebon, Majalengka,
Indramayu, Kuningan, diolah
0
20
40
60
80
100
120
0
1
2
3
4
5
6
7
8
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8
2011 2012 2013
ribu orangribu orang Penumpang Kereta Api
Penumpang Kapal (rhs)
Sumber: BPS, PT Kereta Api, Kantor Administrasi
Pelabuhan, diolah
Pengangkutan dan Komunikasi
Sektor pengangkutan penumpang meningkat drastis dua pekan menjelang hari raya, baik untuk
angkutan darat, laut, maupun udara yang diakibatkan oleh tradisi mudik dan musim liburan sekolah.
Bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya jumlah penumpang yang datang dan pergi pada saat
arus mudik dan balik pada tahun ini meningkat sebesar 30%. Sementara itu, jumlah penumpang
melalui bandar udara di D.I. Yogykarta terus mengalami peningkatan sejalan dengan libur musim
panas di Eropa dan kegiatan Meeting, Incentive, Conference, and Exhibition (MICE) di kota
Yogyakarta yang mulai meningkat pascalebaran. Salah satu kegiatan internasional yang
diselenggarakan pada September 2013 adalah Festival Ramayana Internasional di Candi Prambanan
yang diikuti oleh perwakilan kontingen dari 9 negara di Asia.
Pembiayaan Perbankan
Fungsi intermediasi perbankan di Kawasan Jawa masih berjalan dengan baik. Loan-to-deposit ratio
(LDR) perbankan pada triwulan III 2013 mencapai 89,5%, sedikit lebih tinggi dari triwulan
sebelumnya sebesar 89,2%. Hal ini masih sejalan dengan rencana diberlakukannya ketentuan LDR
dari Bank Indonesia sebesar 92% mulai 2 Desember 2013. NPL sedikit meningkat dari 2,3% pada
L a p o r a n N u s a n t a r a | 21
triwulan II 2013 menjadi 2,4% pada triwulan III 2013. Dibandingkan dengan triwulan II 2013, Kredit
Modal Kerja (KMK) mengalami peningkatan, sedangkan Kredit investasi (KI) dan Kredit Konsumsi
(KK) mengalami penurunan. Dari jenis penggunaannya, pangsa KMK tercatat sebesar 49,3% dan KK
sebesar 36,2%.
Penyaluran kredit kepada pelaku usaha mikro, makro, kecil, dan menengah menunjukkan
peningkatan. Kredit untuk UMKM tumbuh dari 16,6% (yoy) pada triwulan II 2013 menjadi 21,1%
(yoy). Pangsa kredit kepada UMKM perbankan Kawasan Jawa pada periode laporan adalah sebesar
29,3% atau mencapai Rp231,8 triliun. Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang disalurkan kepada kawasan
Jawa pada triwulan III 2013 tumbuh meningkat 24,8% (yoy) atau menjadi Rp20,0 triliun. Pangsa
kredit kepada UMKM perbankan Kawasan Jawa pada periode laporan adalah sebesar 2,6% atau
mencapai Rp20,0 triliun.
Suku bunga kredit dan deposito di Jawa bergerak relatif stabil, namun masih dalam tren yang
menurun (Grafik III.15). Suku bunga deposito stabil dibandingkan dengan triwulan II 2013, yaitu
sebesar 3,3%, dengan suku bunga tertinggi di Banten dan terendah di D.I. Yogyakarta. Sementara
itu, suku bunga kredit mengalami sedikit peningkatan menjadi 12,6% pada triwulan III 2013 dengan
suku bunga tertinggi di Banten dan terendah di Jawa Timur. Dampak dari kenaikan BI Rate mulai
nampak pada Agustus 2013 sebagaimana tercermin dari mulai terjadinya penyesuaian suku bunga
baik deposito maupun kredit.
Tabel III.2. Indikator Perbankan Jawa
Nominal
(Triliun Rp)
Growth
(yoy)
Nominal
(Triliun Rp)
Growth
(yoy)
Aset 1.117 15,7% 1.156 16,5%
Kredit Lok. Proy. 1.040 23,6% 1.079 24,8%
Kredit Lok. Bank 764 23,5% 790 24,5%
DPK 856 14,7% 883 16,0%
LDR 89,2% - 89,5% -
NPL 2,3% - 2,4% -
Tw II Tw III *
Indikator Utama
Grafik III.15. Suku Bunga Kredit vs Deposito di Jawa
2
3
4
5
6
9
10
11
12
13
14
15
16
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8
2011 2012 2013
%%Suku Bunga Kredit Suku Bunga Deposito (rhs)
Grafik III.16. Perkembangan Kredit UMKM
-15
-10
-5
0
5
10
15
20
25
30
100
120
140
160
180
200
220
240
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8
2011 2012 2013
% yoyRp Triliun Kredit UMKM gUMKM (rhs)
Grafik III.17. Perkembangan Kredit Usaha Rakyat
0
5
10
15
20
25
0
1
2
3
4
5
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7
2011 2012 2013
Rp Triliun %KUR NPL KUR (rhs)
L a p o r a n N u s a n t a r a | 22
Inflasi
Inflasi di seluruh daerah di Jawa meningkat tinggi. Inflasi tercatat meningkat cukup signifikan, yaitu
dari 6,3% (yoy) pada triwulan II 2013 menjadi 8,6% (yoy) pada akhir triwulan III 2013. Secara
wilayah, Jabagbar mengalami inflasi tertinggi di antara wilayah Kawasan Jawa lainnya karena
terhambatnya pasokan bahan pangan. Faktor penyebabnya antara lain yaitu: (i) adanya
Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) sehingga pintu masuk impor yang semakin jauh; (ii)
permasalahan di sentra produksi karena faktor anomali cuaca dan pembenihan yang tidak tepat;
(iii) dugaan kartel pada komoditas daging ayam ras dan terhambatnya pasokan impor daging sapi
karena izin rekomendasi belum keluar; (iv) rantai tata niaga yang panjang ditambah dengan aliran
pasokan yang mengutamakan daerah dengan daya beli lebih tinggi seperti Jakarta; (v) beberapa
daerah penyangga Ibukota RI (Bekasi, Tangerang, Depok, Bogor) yang bukan merupakan basis
produksi mengalami inflasi yang lebih tinggi dari Jakarta karena pasokan diperoleh dari Jakarta.
Peningkatan laju inflasi pada triwulan III 2013 terutama disebabkan oleh kelompok volatile food dan
kelompok administered price. Pasokan komoditas pangan seperti daging sapi, bawang merah, dan
cabe merah masih terbatas di saat permintaan yang tinggi pada periode puasa, lebaran, dan liburan.
Namun, pada akhir triwulan III 2013, pasokan komoditas hortikultura sudah membaik seiring
dengan panen yang melimpah di sentra produksi. Tekanan inflasi kelompok volatile food juga
disebabkan oleh tingginya harga DOC. Akibatnya harga daging ayam ras melonjak. Sejauh ini, kendali
harga DOC masih dipegang oleh perusahaan breeder, dan ada dugaan praktek kartel yang perlu
ditindaklanjuti oleh pihak yang berwenang. Sementara itu inflasi yang tinggi pada kelompok
administered price terjadi akibat kenaikan harga BBM yang diikuti dengan kenaikan tarif angkutan
dalam kota dan disertai dengan kenaikan tarif listrik.
Tekanan pada kelompok inflasi inti mulai meningkat pada triwulan laporan. Ekspektasi masyarakat
cenderung meningkat seiring dengan kenaikan harga BBM bersubsidi, musim lebaran, liburan, dan
tahun ajaran baru. Pelemahan nilai tukar rupiah yang semakin tajam pada triwulan III 2013 juga
turut mendorong peningkatan ekspektasi harga pada berbagai komoditas yang diimpor, seperti
kedelai, daging sapi, dan berbagai produk manufaktur berbahan baku impor. Kelompok makanan
jadi seperti nasi dan ayam goreng juga turut mendorong inflasi inti pada triwulan ini. Sementara itu,
berbagai kelompok jasa seperti pendidikan, rekreasi, kecantikan, pertukangan, dan sewa rumah juga
mengalami inflasi untuk menyesuaikan terhadap kenaikan harga BBM dan listrik.
Grafik III.18. Disagregasi Inflasi Jawa
0
5
10
15
20
25
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9
2011 2012 2013
% yoy Inflasi IHK Volatile foods
Administered Prices Core
Grafik III.19. Inflasi Bahan Makanan Kawasan Jawa
(40)
(20)
0
20
40
60
80
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9
2011 2012 2013
% yoyPadi-padian
Daging-dagingan
Bumbu-bumbuan
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
L a p o r a n N u s a n t a r a | 23
Prospek Perekonomian
Perekonomian Jawa pada triwulan IV 13 diprakirakan melambat pada kisaran 6,1% - 6,5% (yoy).
Tekanan ekonomi eksternal di tengah ketidakpastian yang tinggi menjadi risiko yang dapat
berdampak pada melambatnya ekonomi Jawa. Dari sisi permintaan, risiko melambatnya konsumsi
dan investasi pada triwulan mendatang diperkirakan turut memberi tekanan terhadap kinerja
perekonomian keseluruhan. Perlambatan ekonomi triwulan IV 2013 juga dipengaruhi oleh
pertumbuhan impor bahan baku yang cenderung masih meningkat seiring dengan tingginya
kebutuhan industri. Dari sisi penawaran, kinerja sektor industri pengolahan diperkirakan masih
mengalami pertumbuhan, sedangkan sektor PHR dan pertanian diperkirakan akan mengalami
perlambatan.
Laju inflasi Kawasan Jawa pada triwulan IV 2013 diperkirakan akan meningkat dari 8,6% (yoy)
menjadi pada kisaran 9,1% - 9,5% (yoy). Kondisi tersebut terjadi karena ketersediaan pasokan bahan
pangan yang masih terbatas, khususnya daging sapi, daging ayam ras, cabe merah, dan bawang
merah. Harga komoditas daging ayam ras di wilayah Jawa Barat masih mendapatkan tekanan dari
kenaikan harga DOC (anak ayam umur sehari) dan pakan. Permintaan yang meningkat terhadap
daging sapi sehubungan dengan hari raya Idul Adha, Natal dan Tahun Baru 2014 juga diperkirakan
akan mendorong kenaikan harga. Sementara itu, memasuki periode musim tanam beberapa
pasokan komoditas tanaman pangan akan menjadi terbatas. Risiko tekanan inflasi lainnya
bersumber dari rencana kebijakan terkait harga antara lain kenaikan tarif listrik, gas, tarif PAM dan
cukai rokok.
Menghadapi besarnya risiko tekanan inflasi, beberapa langkah upaya ditempuh oleh TPID. Dalam
jangka pendek, mengarahkan ekspektasi masyarakat melalui penyampaian data dan informasi
perkembangan harga dan ketersediaan pasokan secara intensif, baik melalui media massa, dialog
interaktif, maupun iklan layanan masyarakat di media televis. Dalam jangka panjang, upaya yang
dilakukan dimaksudkan untuk menjaga ketahanan pangan berdasarkan rantai nilai hulu ke hilir yang
meliputi rantai produksi, distribusi dan sistem logistik, serta perdagangan. Koordinasi antara Satuan
Kerja Perangkat Daerah (SKPD) anggota TPID dan koordinasi antar TPID lintas kabupaten/kota dan
provinsi akan diintensifkan. Beberapa hal lain yang ditempuh oleh TPID di berbagai daerah di Jawa
antara lain memperluas akses masyarakat terhadap informasi harga, menginisiasi pengembangan
pertanian rumah tangga, revitalisasi terminal agribisnis, dan memperkuat pengembangan resi
gudang.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 24
Bagian IV
Perekonomian Kawasan Jakarta
Perekonomian Kawasan Jakarta pada triwulan III 2013 diprakirakan tumbuh 5,8%-6,2% (yoy),
melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 6,3% (yoy). Perlambatan tersebut
terutama disebabkan oleh melambatnya pertumbuhan investasi dan ekspor terkait dengan faktor
masih tingginya ketidakpastian global yang berdampak pada perekonomian domestik. Di sisi lain,
konsumsi diperkirakan dapat tumbuh sedikit lebih tinggi terkait adanya faktor Lebaran. Secara
sektoral, kinerja sektor perdagangan, hotel dan restoran (PHR), sektor pengangkutan dan
komunikasi diprediksi meningkat. Namun, sektor konstruksi serta sektor jasa keuangan, persewaan,
dan jasa perusahaan diperkirakan mengalami perlambatan. Dari sisi perkembangan harga, tekanan
inflasi di Kawasan Jakarta mengalami peningkatan signifikan di awal triwulan terkait dengan
kenaikan harga BBM dan masih tingginya tekanan inflasi pangan. Meskipun demikian, pada akhir
triwulan tekanan inflasi mulai mereda.
Pertumbuhan Ekonomi
Konsumsi
Konsumsi Rumah Tangga
Konsumsi rumah tangga di Kawasan Jakarta pada triwulan III 2013 diprakirakan tumbuh sedikit
lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada
triwulan laporan didukung oleh meningkatnya permintaan, khususnya bahan makanan dan sandang
menjelang Lebaran sebagaimana pola musimannya. Peningkatan belanja rumah tangga tersebut juga
didorong oleh adanya pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR) atau gaji ketigabelas dan pemberian
Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Selain
itu, masuknya tahun ajaran baru juga mendorong peningkatan konsumsi rumah tangga.
Beberapa indikator konsumsi rumah tangga pada triwulan laporan mengindikasikan peningkatan.
Hasil survei penjualan eceran menunjukkan adanya peningkatan, walaupun tidak setinggi periode
yang sama pada tahun 2012 (Grafik IV.1). Masih kuatnya konsumsi rumah tangga tercermin dari
meningkatnya penjualan eceran pasca Lebaran secara signifikan. Hal tersebut antara lain terindikasi
dari transaksi penjualan di pameran Indonesia International Motor Show (IIMS) 2013 pada
September 2013 yang lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Perkiraan meningkatnya
pertumbuhan konsumsi pada triwulan laporan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya juga
ditunjukkan oleh meningkatnya penyaluran kredit konsumsi pada triwulan laporan di wilayah
Jakarta. Pertumbuhan kredit konsumsi terutama terindikasi pada Kredit Pemilikan Rumah (KPR),
Kredit Pemilikan Apartemen (KPA), dan kredit kendaraan bermotor (Grafik IV.2). Penyaluran kredit
konsumsi secara nominal tertinggi terjadi pada Juli dan Agustus 2013.
Di sisi lain, beberapa indikator hasil survei mengindikasikan potensi terbatasnya pertumbuhan
konsumsi rumah tangga. Survei Konsumen memperlihatkan berlanjutnya pesimisme atau persepsi
negatif dari konsumen Jakarta terhadap kondisi perekonomian secara umum (Grafik IV.3).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 25
Hal tersebut dipengaruhi oleh peningkatan inflasi, depresiasi nilai tukar, potensi kenaikan suku
bunga kredit yang akan menekan daya beli dan konsumsi rumah tangga. Indeks penghasilan
konsumen dan ketersediaan lapangan kerja juga mengalami penurunan (Grafik IV.4).
Konsumsi Pemerintah
Konsumsi Pemerintah diprakirakan mengalami peningkatan dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya. Perbaikan kinerja konsumsi Pemerintah pada triwulan III 2013 diperkirakan cukup
signifikan terkait dengan realisasi gaji ketigabelas bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) baik di pusat
maupun di daerah. Sesuai dengan pola musimannya, pencairan gaji ke-13 menjelang Lebaran
mendukung realisasi belanja pemerintah. Secara khusus, pencairan gaji ke-13 akan mendorong
signifikan peningkatan konsumsi pemerintah terkait dengan porsi belanja Pemerintah Pusat yang
dominan di Jakarta. Selain itu, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah juga ditengarai
melakukan berbagai upaya untuk mendukung realisasi belanja yang masih kurang optimal pada
semester I 2013.
Grafik IV.1. Indeks Penjualan Eceran
Grafik IV.2. Pertumbuhan Kredit Konsumsi
Grafik IV.3. Indeks Keyakinan Konsumen
Grafik IV.4. Indeks Penghasilan Konsumen dan
Ketersediaan Lapangan Kerja
Investasi
Kinerja investasi di Jakarta diprediksi melambat signifikan pada triwulan III 2013. Melambatnya
kinerja investasi di Jakarta disebabkan oleh faktor eksternal maupun domestik. Dari sisi eksternal,
adanya rencana pengurangan program stimulus fiskal (pembelian obligasi) oleh Bank Sentral
Amerika Serikat diperkirakan menahan realisasi investasi khususnya dari sumber Penanaman Modal
Asing (PMA). Hal ini diindikasikan oleh besarnya dana asing yang keluar dari pasar modal. Selain
berdampak pada jasa keuangan, penurunan investasi juga berpotensi memengaruhi investasi
L a p o r a n N u s a n t a r a | 26
bangunan di Jakarta. Sementara itu, prospek investasi dari sisi domestik dipengaruhi oleh kenaikan
suku bunga dan pelemahan nilai tukar rupiah. Kondisi demikian diperkirakan berpengaruh terhadap
realisasi investasi terutama Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Tantangan yang dihadapi
investor domestik adalah peningkatan harga-harga barang dan jasa akibat tingginya inflasi dan biaya
bunga. Depresiasi rupiah juga menyebabkan terjadinya penyesuaian harga barang modal yang
berasal dari impor. Selain itu, biaya investasi di Jakarta juga dipengaruhi oleh faktor upah tenaga
kerja yang cukup tinggi.
Investor cenderung menahan realisasi investasi mengingat adanya potensi risiko yang meningkat
di tengah iklim investasi yang kurang kondusif. Adapun paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan
pada akhir Agustus 2013, ditengarai belum cukup mendukung investasi di Jakarta, meskipun
terdapat dua kebijakan strategis terkait investasi. Kebijakan strategis berupa pemberian insentif
pada industri padat karya untuk menopang pertumbuhan diyakini tidak terlalu berpengaruh ke
industri di Jakarta yang lebih berorientasi pada padat modal. Demikian pula dengan kebijakan
strategis yang memangkas perizinan investasi juga lebih mengarah pada perizinan di sektor migas
daripada sektor jasa yang dominan di Jakarta.
Investasi nonbangunan yang utamanya pada sektor industri dan jasa diprakirakan tumbuh stagnan
pada triwulan laporan. Hal ini terlihat dari pertumbuhan volume impor barang modal dan kredit
investasi (Grafik IV.5 dan IV.6). Hasil liaison ke sejumlah perusahaan yang bergerak di sektor industri
pengolahan, yaitu industri kimia, kertas, dan bahan-bahan pendukung proses industri, menunjukkan
pertumbuhan investasi yang terbatas. Sementara itu, investasi di sektor jasa keuangan, jasa
pembiayaan termasuk perbankan, dan jasa perdagangan yang sebagian besar bersumber dari PMA
diperkirakan melambat pada triwulan laporan. Demikian pula investasi bangunan, diprediksi tumbuh
terbatas pada triwulan laporan terkait dengan penundaan proyek properti baru di Jakarta.
Penundaan tersebut dipengaruhi oleh depresiasi nilai tukar rupiah yang mendorong sentimen
negatif konsumen dalam melakukan investasi di properti, terlebih lagi dengan adanya risiko krisis
properti apabila kondisi perekonomian terus memburuk. Ekspektasi kenaikan suku bunga Kredit
Pemilikan Rumah (KPR) terkait dengan depresiasi rupiah dan inflasi juga merupakan salah satu faktor
yang berpengaruh. Melambatnya investasi bangunan diperkirakan terjadi pada properti komersial
terutama ruang ritel.
Grafik IV.5. Pertumbuhan Volume Impor
Grafik IV.6. Pertumbuhan Kredit Investasi
L a p o r a n N u s a n t a r a | 27
Permintaan Ekspor Luar Negeri
Ekspor produk Jakarta diprediksi tumbuh melambat pada triwulan III 2013. Hal itu dipengaruhi oleh
faktor global, pelemahan konsumsi domestik dan relokasi industri pakaian jadi. Perlambatan ekspor
Jakarta terindikasi baik secara volume maupun nilai (Grafik IV.7). Melambatnya ekspor tersebut
terkait dengan turunnya kinerja ekspor produk Jakarta sejalan dengan masih terbatasnya permintaan
global. Selain itu, penurunan ekspor juga dipengaruhi oleh adanya gangguan keluar masuk barang di
Pelabuhan Tanjung Priok serta relokasi industri pakaian jadi (garmen) yang mengalami kesulitan
dalam memenuhi persyaratan UMP di Jakarta.
Perlambatan ekspor manufaktur Jakarta terindikasi pada sejumlah produk ekspor utama seperti
kendaraan bermotor, pakaian jadi, makanan olahan, dan alat listrik. Ekspor kendaraan bermotor
roda empat tumbuh negatif secara tahunan (yoy) terkait dengan masih terbatasnya permintaan
global. Adapun perlambatan yang lebih signifikan terjadi pada ekspor kendaraan bermotor roda dua.
Potensi peningkatan ekspor kendaraan roda empat berasal dari realisasi ekspor kendaraan jenis
Sport Utility Vehicle (SUV) ke Amerika Latin. Selain ekspor ke negara Saudi Arabia, Thailand, dan
Filipina untuk jenis kendaraan penumpang dan ekspor kendaraan niaga ke Jepang, diversifikasi
ekspor ke pasar Amerika Latin tersebut diprediksi akan berpengaruh pada kinerja ekspor industri
otomotif Jakarta pada triwulan mendatang. Di sisi lain, juga telah dilakukan langkah diversifikasi
ekspor suku cadang kendaraan bermotor ke negara-negara Eropa.
Melambatnya ekspor Jakarta juga disebabkan oleh penurunan ekspor pakaian jadi yang cukup
dalam. Ekspor pakaian jadi yang merupakan produk ekspor dengan pangsa terbesar kedua di Jakarta
mengalami kontraksi pertumbuhan cukup dalam pada Agustus 2013 (Grafik IV.8). Kontraksi yang
cukup dalam tersebut adalah dampak dari relokasi dan penutupan sejumlah pabrik pakaian jadi
(garmen) yang berorientasi ekspor di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) di Cakung. Koreksi ekspor
yang cukup dalam pada Agustus juga terjadi pada produk ekspor Jakarta lainnya, yakni produk
makanan olahan dan alat listrik (generator dan komponen listrik).
Salah satu faktor terbatasnya pertumbuhan ekspor di Jakarta pada triwulan laporan juga terkait
dengan gangguan keluar masuk barang di Pelabuhan Tanjung Priok. Gangguan tersebut terjadi
pada akhir Juli sebagai dampak dari keterlambatan pengeluaran barang impor dan pengangkutan
barang ekspor di terminal peti kemas Tanjung Priok. Tingginya impor menjelang Lebaran sesuai pola
musiman tidak diantisipasi dengan baik, sehingga terjadi penimbunan peti kemas dalam jumlah
signifikan. Selain itu, volume angkutan barang yang telah melebihi kapasitas pelabuhan Tanjung
Priok serta antrian panjang truk akibat buruknya kondisi akses jalan pelabuhan dan kemacetan lalu
lintas menjadi penyebab utama terhambatnya distribusi barang impor maupun pengangkutan
barang ekspor. Namun, secara keseluruhan impor pada triwulan laporan diperkirakan tumbuh stabil
khususnya terkait dengan tingginya impor barang konsumsi untuk pemenuhan kebutuhan Lebaran.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 28
Grafik IV.7. Pertumbuhan Nilai dan Volume Ekspor
Grafik IV.8. Nilai Ekspor LN Produk Manufaktur
Industri Pengolahan
Sektor industri pengolahan Jakarta diprakirakan tumbuh melambat pada triwulan III 2013.
Melambatnya kinerja sektor industri Jakarta terutama dipengaruhi oleh penurunan ekspor luar
negeri. Adapun sektor industri pengolahan yang diprediksi mengalami perlambatan adalah pada
industri kendaraan bermotor dan pakaian jadi (garmen). Penurunan kinerja industri kendaraan
bermotor tercermin dari penurunan penjualan kendaraan bermotor di pasar domestik (Grafik IV.9).
Di sisi lain, potensi perbaikan kinerja terdapat pada industri suku cadang terkait dengan investasi
dari Jepang dan diversifikasi produk untuk mendukung industri otomotif di Jakarta. Hal ini
berpotensi mengurangi ketergantungan impor suku cadang kendaraan bermotor dalam jangka
panjang. Penurunan kinerja industri pakaian jadi dipengaruhi oleh relokasi dan penutupan sejumlah
pabrik pakaian jadi (garmen) berorientasi ekspor di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) di Cakung,
Jakarta Timur. UMP 2013 yang tinggi di Jakarta serta peningkatan biaya produksi terutama biaya
logistik dan distribusi merupakan faktor yang memengaruhi de-industrialisasi tersebut. Dampak dari
penutupan usaha oleh investor asing tersebut adalah dilakukannya PHK dalam jumlah yang cukup
signifikan.
Perdagangan, Hotel dan Restoran (PHR)
Kinerja sektor PHR khususnya perdagangan di Jakarta pada triwulan III 2013 diprakirakan
meningkat dalam level moderat. Hal ini terlihat dari meningkatnya indeks penjualan eceran pada
awal triwulan laporan berdasarkan Survei Penjualan Eceran Bank Indonesia. Berbagai kegiatan
promosi penjualan menjelang Lebaran turut mendukung pertumbuhan subsektor perdagangan pada
triwulan laporan. Kenaikan omzet diprakirakan sekitar 30%, sementara kenaikan harga secara
bertahap sebagai dampak dari penyesuaian harga BBM di kisaran 10%-15% (Asosiasi Pengusaha Ritel
Indonesia/Aprindo). Meskipun demikian, kontak liaison perusahan consumer goods, yang cukup
dominan di pasar, cenderung untuk melakukan penyesuaian harga produk setelah Lebaran.
Pengurangan margin dianggap sebagai pilihan yang lebih baik untuk mempertahankan volume
penjualan. Indikasi peningkatan sektor perdagangan juga tercermin dari peningkatan penjualan
kendaraan bermotor menjelang Lebaran (Grafik IV.9) dan kenaikan volume impor barang konsumsi
(Grafik IV.10). Meskipun demikian, kegiatan bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok mengalami
kontraksi pada bulan Juli terkait dengan adanya gangguan keluar masuk barang (Grafik IV.11).
Di sisi lain, relatif moderatnya pertumbuhan sektor perdagangan juga tercermin dari beberapa
indikator lain. Jumlah wisatawan dan tingkat hunian hotel di Jakarta menurun pada triwulan laporan
yang ditengarai sebagai pengaruh dari terbatasnya belanja konsumen (Grafik IV.12). Demikian pula
L a p o r a n N u s a n t a r a | 29
dengan pendapatan restoran diperkirakan mengalami penurunan sejalan dengan melambatnya
perekonomian serta kenaikan biaya bahan baku (bahan makanan) dan biaya operasional (listrik,
upah pekerja).
Grafik IV.9. Penjualan Kendaraan Bermotor
Sumber: CEIC
Grafik IV.10. Impor Barang Konsumsi
Grafik IV.11. Kegiatan Bongkar Muat di Tj. Priok
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik IV.12. Indikator Subsektor Pariwisata
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Konstruksi
Sektor konstruksi di Jakarta diprediksi tumbuh melambat pada triwulan III 2013. Hal tersebut
tercermin dari melambatnya volume konsumsi semen yang cukup drastis (Grafik IV.13) sebagai
pengaruh permintaan yang menurun berdasarkan hasil liaison ke perusahaan semen. Demikian pula
dengan penjualan bahan bangunan mengalami penurunan pada triwulan laporan (Grafik IV.14).
Penundaan pembangunan properti baru diprediksi terkait dengan sentimen negatif terhadap
perkembangan perekonomian terkini. Secara khusus, penundaan realisasi proyek konstruksi
tersebut dipengaruhi oleh sentimen terhadap kenaikan suku bunga kredit dan depresiasi nilai tukar
rupiah. Kenaikan suku bunga kredit memiliki pengaruh terhadap penjualan properti dan menjadi
pertimbangan pengembang dalam merealisasikan pembangunan. Sementara itu, melemahnya nilai
tukar berdampak pada peningkatan biaya konstruksi terutama untuk proyek pembangunan yang
banyak menggunakan komponen bahan bangunan impor, yakni properti yang tergolong premium
(mewah).
Proyek konstruksi Pemerintah diperkirakan tumbuh stabil. Sepanjang triwulan laporan tidak
terlihat adanya indikasi proyek pembangunan fisik Pemerintah yang cukup besar. Meski demikian,
beberapa persiapan proyek pembangunan Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta telah berjalan seperti
L a p o r a n N u s a n t a r a | 30
pelebaran jalan dan persiapan pekerjaan terminal Dukuh Atas. Pekerjaan pembangunan MRT dan
Monorel direncanakan pada bulan Oktober 2013. Dalam skala yang lebih kecil, Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta juga merealisasikan proyek peremajaan pasar (Blok G Pasar Tanah Abang) dan fasilitas
publik lainnya, termasuk di dalamnya juga pembenahan waduk dan perumahan rakyat.
Grafik IV.13. Konsumsi Semen
Sumber: Asosiasi Semen Indonesia
Grafik IV.14. Indeks Penjualan Bahan Bangunan
0
5
10
15
20
25
30
60
80
100
120
140
160
180
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8
2011 2012 2013
IndeksIndeks
Bahan konstruksi dari logam
Bahan konstruksi dari kayu
Bahan konstruksi dari tanah liat (rhs)
Jasa Keuangan
Sektor jasa keuangan, persewaan dan jasa perusahaan di Jakarta pada triwulan III 2013
diperkirakan mengalami perlambatan signifikan. Perlambatan tersebut terutama berasal dari
subsektor jasa keuangan yaitu penurunan kinerja pasar modal. Indeks Harga Saham Gabungan
(IHSG) mengalami tekanan yang signifikan pada triwulan laporan. Kekhawatiran pengurangan
program stimulus fiskal Amerika Serikat mendorong keluarnya dana asing dari pasar modal.
Sementara itu, inflasi yang cukup tinggi dan pelemahan nilai tukar turut memperburuk persepsi
pelaku pasar.
Sementara itu, kinerja perbankan di Jakarta diprediksi tumbuh terbatas pada triwulan III 2013.
Terbatasnya pertumbuhan perbankan terkait dengan melambatnya penyaluran kredit yang
berpotensi menurunkan laba perbankan. Selain itu, kenaikan BI rate untuk mengantisipasi tekanan
inflasi ke depan ditengarai menaikkan beban bunga yang dibayarkan ke penyimpan (depositor). Di
tengah ketatnya persaingan antarbank saat ini, beberapa bank diperkirakan cenderung membatasi
kenaikan suku bunga kredit yang berisiko pada pengurangan laba. Pendapatan bunga serta provisi
dan komisi (fee) perbankan diperkirakan menurun di triwulan III 2013. Potensi penurunan kinerja
perbankan pada triwulan laporan terutama diprediksi bersumber dari menurunnya pendapatan
bunga. Sementara itu, penerimaan provisi dan komisi perbankan diperkirakan masih terjaga dengan
keberlangsungan kegiatan bisnis di Jakarta.
Kinerja perusahaan pembiayaan yang memiliki fokus pada pembiayaan kredit kendaraan
bermotor dan barang konsumsi diprediksi mengalami penurunan. Penurunan kredit kendaraan
bermotor dan barang konsumsi (elektronik dan alat komunikasi) terutama terjadi pasca-Lebaran
sejalan dengan menurunnya permintaan. Sama halnya dengan perbankan, kenaikan suku bunga
kredit dan melemahnya nilai tukar rupiah diperkirakan turut menekan realisasi kredit oleh
perusahaan pembiayaan.
Pertumbuhan subsektor persewaan (real estate) dan jasa perusahaan diperkirakan mengalami
perlambatan pada triwulan III 2013. Perlambatan tersebut terkait dengan terbatasnya penjualan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 31
properti baik dari sisi permintaan maupun penawaran proyek properti baru. Sementara itu,
perlambatan kinerja jasa perusahaan diperkirakan sebagai akibat dari kenaikan biaya jasa-jasa serta
kecenderungan konsumen dan perusahaan untuk membatasi belanja jasa yang tidak tergolong
utama atau yang dapat ditunda realisasinya.
Pembiayaan Perbankan
Pembiayaan perbankan di Jakarta pada triwulan III 2013 terjaga pada level yang stabil.
Berdasarkan jenis penggunaan, kenaikan penyaluran kredit terutama diprediksi berasal dari kredit
modal kerja (Grafik IV.15). Sementara itu, penyaluran kredit investasi (Grafik IV.6) dan kredit
konsumsi (Grafik IV.2). Penyaluran kredit modal kerja ke korporasi turut memberikan andil pada
kinerja pertumbuhan beberapa sektor utama Jakarta pada triwulan laporan. Adapun penyaluran
kredit sektoral di Jakarta masih difokuskan ke sektor manufaktur, konstruksi, PHR, pengangkutan
dan komunikasi, serta jasa. Adapun Dana Pihak Ketiga (DPK) di perbankan mengindikasikan adanya
tren peningkatan yang ditengarai sebagai pengaruh dari peningkatan suku bunga simpanan. Non-
performing-loan (NPL) secara umum terjaga, namun terdapat kekuatiran peningkatan risiko gagal
bayar sebagai imbas dari melemahnya perekonomian.
Pembiayaan perbankan ke UMKM diperkirakan masih dalam tren melambat (Grafik IV.16). Pangsa
kredit UMKM di Jakarta sendiri baru mencapai 9,6% dari total kredit. Pemberian kredit terhadap
UMKM juga dimaksudkan untuk menopang pertumbuhan perekonomian Jakarta, mengingat
fleksibilitas UMKM dalam melakukan penyesuaian usaha di tengah tekanan kondisi perekonomian.
Meskipun demikian, ekspansi kredit UMKM juga memerhatikan aspek risiko. Dalam hal ini
perbankan masih memiliki preferensi untuk memberikan kredit ke korporasi non-UMKM.
Grafik IV.15. Kredit Modal Kerja
0
5
10
15
20
25
30
35
40
-
100
200
300
400
500
600
700
800
900
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8
2011 2012 2013
% (yoy)Rp Triliun
Modal Kerja g Kredit Modal Kerja
Grafik IV.16. Indikator Perbankan
Inflasi
Inflasi Jakarta pada triwulan III 2013 tercatat sebesar 0,21% (mtm) atau 8,38% (yoy). Realisasi
inflasi tersebut lebih tinggi dibandingkan perkiraan sebelumnya. Tingginya inflasi pada kelompok
administered prices dan volatile food merupakan dampak dari kenaikan BBM dan masih tingginya
harga beberapa komoditas hortikultura. Kenaikan BBM menyebabkan inflasi (yoy) subkelompok
transpor pada Juli 2013 mencapai 22,95%, lebih tinggi dibandingkan kenaikan BBM pada tahun 2008.
Selain kenaikan BBM, inflasi juga bersumber dari kelompok bahan makanan. Kenaikan harga
kelompok bahan makanan disebabkan oleh pasokan beberapa komoditas hortikultura yang belum
L a p o r a n N u s a n t a r a | 32
memadai dan tidak terlepas dari faktor Lebaran. Komoditas dalam kelompok bahan makanan yang
memberikan andil inflasi tertinggi yaitu bawang merah dengan inflasi sebesar 211,72% (yoy).
Kenaikan harga bawang merah disebabkan oleh pasokan dari daerah penghasil (Brebes, Jawa
Tengah) dan realisasi impor yang terbatas.
Inflasi inti juga menunjukkan peningkatan pada triwulan laporan. Peningkatan terutama
bersumber dari komoditas emas perhiasan, sewa dan kontrak rumah. Tekanan inflasi inti tersebut
tidak terlepas dari faktor pelemahan nilai tukar rupiah yang terjadi semenjak Juli 2013.
Grafik IV.17. Disagregasi Inflasi
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik IV.18. Subkelompok Inflasi
0.00
5.00
10.00
15.00
BAHANMAKANAN
MAKANAN JADI
PERUMAHAN
SANDANGKESEHATAN
PENDIDIKAN
TRANSPORTASI
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Prospek Pertumbuhan
Pertumbuhan ekonomi Jakarta pada triwulan IV 2013 diprakirakan sedikit membaik menjadi 5,8%-
6,2% (yoy). Prospek perekonomian Jakarta masih dibayangi oleh faktor global terutama penundaan
pengurangan program stimulus fiskal oleh Bank Sentral Amerika Serikat yang berpotensi menekan
nilai tukar rupiah. Di satu sisi, depresiasi rupiah memberikan kesempatan Jakarta untuk melakukan
ekspansi ekspor sejalan dengan semakin kompetitifnya produk Jakarta. Di sisi lain, berbagai masalah
domestik berpotensi menjadi faktor penghambat pertumbuhan ekonomi Jakarta, di antaranya
stabilitas harga, defisit neraca perdagangan, serta ekspektasi kenaikan UMP Jakarta tahun 2014.
Kondisi demikian berpotensi mengakibatkan stagnasi pertumbuhan ekspor, investasi, dan konsumsi
di Jakarta pada triwulan IV 2013. Namun, pelaku pasar juga masih cukup optimis menyikapi potensi
perlambatan konsumsi masyarakat (Grafik IV.19).
Secara sektoral, pertumbuhan ekonomi Jakarta pada triwulan IV 2013 diprakirakan bersumber
dari sektor industri pengolahan dan sektor konstruksi. Hal itu sejalan dengan perbaikan kinerja
ekspor dan pembangunan proyek infrastruktur pemerintah dalam skala besar yang direncanakan
pada triwulan akhir tahun 2013. Di sisi lain, sektor jasa keuangan, real estate, dan jasa perusahaan
yang memiliki pangsa terbesar di Jakarta, diprakirakan masih tumbuh melambat. Hal ini terkait
ketidakpastian dan volatilitas pasar modal serta keterbatasan penyaluran kredit perbankan.
Demikian pula pertumbuhan sektor PHR serta sektor pengangkutan dan komunikasi diprakirakan
tumbuh lebih lambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebagai dampak dari melambatnya
konsumsi rumah tangga. Meskipun demikian, faktor musiman akhir tahun diyakini turut menopang
kegiatan perekonomian di Jakarta terutama di sektor PHR. Di samping itu, peningkatan belanja
kampanye Pemilu tahun 2014 yang diperkirakan akan dimulai pada triwulan IV 2013 akan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 33
mendukung kinerja sektor PHR, subsektor telekomunikasi, dan sektor jasa. Kontak liaison
perusahaan penyiaran televisi mengonfirmasi potensi peningkatan belanja iklan pada akhir tahun
2013.
Tekanan inflasi Jakarta pada triwulan IV 2013 diprakirakan mulai mereda sejalan dengan
ketersediaan pasokan. Ketersediaan pasokan khususnya bahan pangan baik dari sumber domestik
maupun impor menjadi faktor meredanya tekanan inflasi Jakarta. Namun masih terdapat risiko yang
cukup besar terkait dengan depresiasi nilai tukar. Relatif tingginya komponen impor dalam menjaga
ketersediaan pasokan menjadi masalah di saat terjadi pelemahan mata uang rupiah seperti saat ini.
Kenaikan harga-harga secara umum juga masih berpotensi terjadi sebagai dampak dari penyesuaian
akhir Tarif Tenaga Listrik (TTL) dan tarif tol. Ekspektasi inflasi juga masih berada pada tren meningkat
terkait dengan kondisi makroekonomi, utamanya defisit neraca perdagangan dan pelemahan nilai
tukar Rupiah (Grafik IV.20). Hal tersebut berpotensi untuk menekan pertumbuhan ekonomi di
Jakarta dan menurunkan daya saing Jakarta sebagai tujuan investasi dalam lingkup nasional maupun
internasional. Merujuk pada perkembangan dan faktor-faktor risiko tersebut, inflasi Jakarta pada
akhir tahun 2013 diprakirakan sebesar 8,8% - 9,2% (yoy).
Grafik IV.19. Indeks Ekspektasi Konsumen
Grafik IV.20. Indeks Ekspektasi Inflasi
L a p o r a n N u s a n t a r a | 34
Bab V V
Perekonomian Kawasan Sumatera
Perekonomian Sumatera pada triwulan III 2013 diprakirakan tumbuh melambat dibandingkan
dengan triwulan sebelumnya. Perlambatan pertumbuhan bersumber dari melemahnya konsumsi
rumah tangga sejalan dengan penurunan daya beli. Selain itu, investasi juga tumbuh melambat
terkait meningkatnya biaya produksi, tingkat upah, dan harga barang modal impor. Di sisi lain,
kinerja ekspor mengalami perbaikan meski masih terbatas.
Sementara itu, inflasi pada akhir triwulan III 2013 tercatat lebih tinggi dibandingkan triwulan II 2013.
Dampak kenaikan harga BBM bersubsidi memberikan tekanan kenaikan inflasi dan mencapai
puncaknya pada Juli 2013. Tekanan inflasi kembali mereda pada akhir triwulan laporan seiring
dengan kembali membaiknya pasokan pangan.
Pertumbuhan Ekonomi
Konsumsi
Konsumsi Rumah Tangga
Konsumsi rumah tangga di kawasan Sumatera pada triwulan III 2013 diprakirakan tumbuh
melambat. Perlambatan tersebut sejalan dengan penurunan daya beli masyarakat akibat tingginya
tingkat inflasi. Indikasi perlambatan konsumsi rumah tangga tercermin dari Indeks Penjualan Eceran
yang cenderung menurun (Grafik V.1) dan Indeks Keyakinan Konsumen (Grafik V.2), serta
perlambatan pertumbuhan kredit konsumsi. Selain itu, Nilai Tukar Petani (NTP) juga lebih rendah
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (Grafik V.3). Hal itu terkait dengan penurunan
pendapatan petani, khususnya pada petani perkebunan rakyat, sebagai implikasi tren penurunan
harga komoditas perkebunan di pasar internasional yang berdampak pada menurunnya harga jual di
pasar domestik. Di sisi lain, biaya produksi dan biaya hidup meningkat pasca kenaikan harga BBM
bersubsidi.
Konsumsi Pemerintah
Konsumsi pemerintah diprakirakan tumbuh lebih tinggi sejalan dengan pola realisasi belanja
konsumsi pemerintah daerah yang cenderung meningkat menjelang akhir tahun. Sebagian besar
realisasi belanja pemerintah daerah di kawasan Sumatera hingga Agustus 2013 diprakirakan baru
sekitar 51% (Grafik V.4). Indikasi dari peningkatan realisasi belanja konsumsi pemerintah terlihat
pada menurunnya jumlah simpanan pemerintah daerah dalam bentuk giro di perbankan di
Sumatera.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 35
Grafik V.1. Survei Penjualan Eceran
(30)
(20)
(10)
0
10
20
30
40
50
60
70
80
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9
2011 2012 2013
% (yoy)
Grafik V.2. Indeks Keyakinan Konsumen
80
90
100
110
120
130
I II III IV I II III IV I II III
2011 2012 2013
Indeks
Indeks Keyakinan Konsumen
Indeks Kondisi Ekonomi Saat ini
Indeks Ekspektasi Konsumen
Grafik V.3. Nilai Tukar Petani
50
60
70
80
90
100
110
120
130
Ace
h
Sum
ut
Sum
ba
r
Ria
u
Jam
bi
Sum
sel
Be
ng
kulu
Lam
pu
ng
Ba
be
l
Ke
p. R
iau
Sum
ate
raIndeks II-2013 III-2013
Sumber: Badan Pusat Statistik
Grafik V.4. Realisasi APBD – Agustus 2013
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Ace
h
Su
mu
t
Su
mb
ar
Ria
u
Jam
bi
Su
mse
l
Be
ng
ku
lu
Lam
pu
ng
Ba
be
l
Ke
p. R
iau
Su
ma
tera
% III-2012 III-2013*
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Investasi
Pertumbuhan investasi di Sumatera diprakirakan melambat pada triwulan laporan dibandingkan
dengan triwulan sebelumnya. Hal itu dipengaruhi oleh melemahnya permintaan dan cenderung
naiknya biaya barang bahan baku serta barang modal yang berasal dari impor terkait depresiasi nilai
tukar rupiah. Indikasi perlambatan realisasi investasi terlihat pada impor barang modal (capital
good) yang mengalami penurunan (Grafik V.5). Hasil liaison menunjukkan bahwa sebagian besar
pelaku usaha cenderung menahan rencana belanja investasinya setidaknya dalam satu tahun ke
depan (Grafik V.6). Selain itu, beberapa permasalahan lain seperti keterbatasan lahan perkebunan,
belum adanya kontrak baru pada pelaku industri perkapalan dan konstruksi pertambangan, serta
kapasitas produksi terpakai yang masih terbatas pada hampir semua sektor kegiatan usaha
menyebabkan pelaku usaha tidak banyak melakukan kegiatan investasi besar pada triwulan laporan.
Investasi yang dilakukan hanya berupa investasi rutin yang diperuntukkan guna menunjang
operasional produksi seperti perawatan dan penggantian mesin-mesin industri.
Kenaikan suku bunga kredit dan regulasi pemerintah terkait lahan turut berkontribusi pada
tertahannya kegiatan investasi. Kenaikan BI rate yang sudah direspon oleh kenaikan suku bunga
berdampak pada penyaluran kredit investasi yang mulai cenderung tumbuh melambat. Berdasarkan
hasil liaison, pelaku usaha juga mencermati kepastian regulasi pemerintah terkait penetapan
Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW), serta tingginya kenaikan Upah Minimum Propinsi
(UMP)/Upah Minimum Kota (UMK) di tengah melambatnya permintaan eksternal.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 36
Grafik V.5. Volume Impor Bahan Baku dan Barang
Modal
0
50
100
150
200
250
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8
2011 2012 2013
Ribu TonRibu Ton Bahan Baku (LHS) Barang Modal (RHS)
Grafik V.6. Kapasitas Terpakai dan Investasi 1 Tahun
ke Depan
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
1.4
1.6
I II III IV I II III
2012 2013
SBTInvestasi Investasi 1 thn ke depan Kapasitas terpakai
Grafik V.7. Nilai Ekspor Impor Sumatera Grafik V.8. Volume Ekspor Impor Sumatera
0
1
2
3
4
5
6
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7
2011 2012 2013
Miliar USD
Ekspor Impor Net Ekspor
-1
1
3
5
7
9
11
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7
2011 2012 2013
Juta Ton
Ekspor Impor Net Ekspor
Ekspor
Ekspor diprakirakan sedikit membaik dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Pengaruh
perlambatan ekonomi China terhadap ekspor non-migas Sumatera dapat sedikit terkompensasi oleh
adanya diversifikasi ke beberapa negara tujuan ekspor lainnya (Grafik V.9). Hasil liasion
mengkonfirmasi bahwa perlambatan ekonomi China belum banyak berdampak signifikan terhadap
kinerja ekspor (Grafik V.10). Sebagian pelaku usaha, seperti pelaku industri pengolahan kelapa sawit
melakukan perubahan orientasi dari ekspor ke pasar domestik. Selain itu, sebagian eksportir di
industri lainnya mulai menjajaki pasar ekspor negara-negara lainnya seperti ke Afrika Selatan.
Sepanjang tiga tahun terakhir, kontribusi China terhadap total volume ekspor non-migas Sumatera
mulai menurun dan bergeser ke negara-negara tujuan ekspor lainnya. Depresiasi nilai tukar rupiah
juga belum memberikan dampak yang signifikan bagi peningkatan ekspor non-migas.
Sementara itu, impor diprakirakan tumbuh melambat akibat semakin tingginya harga barang
impor baik bahan baku maupun barang modal. Melambatnya impor di Sumatera diperkirakan
terkait dengan melemahnya kinerja industri perkapalan dan industri konstruksi pertambangan
sebagaimana terindikasi dari cukup besarnya penurunan impor besi dan baja. Sementara itu,
kebutuhan impor pupuk masih terlihat cukup besar terutama untuk memenuhi kebutuhan pada
masa pemupukan perkebunan kelapa sawit.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 37
Grafik V.9. Kontribusi Volume Ekspor Non Migas Berdasarkan Negara Tujuan
25.1 25.7 25.4
20.4 20.1 20.9
17.1 16.9 17.2
11.6 11.7 11.711.0 12.4 10.79.1 8.0 8.75.7 5.2 5.4
2011 2012 2013*
Japan
USA
China
India
Europe
Others
ASEAN
Grafik V.10. Hasil Survei Dampak Pengaruh Perlambatan Ekonomi China terhadap Ekspor
15%45%
85%55%
Dampak Pengaruh Perlambatan Ekonomi Cina
terhadap Ekspor
Ketersediaan Substitusi Impor
Ada Tidak Ada
Grafik V.11. Nilai dan Volume Ekspor Minyak Kelapa
Sawit (CPO)
-
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
-
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7
2011 2012 2013
Juta TonMiliar USD Volume (rhs) Nilai
Grafik V.12. Nilai dan Volume Ekspor Karet Mentah
(Crude Rubber)
0
50
100
150
200
250
300
350
400
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7
2011 2012 2013
Ribu TonMiliar USD
Volume (RHS) Nilai (LHS)
Sektor Pertambangan
Sektor pertambangan diprakirakan masih tumbuh negatif terkait masih terus menurunnya
produksi minyak bumi dan timah. Lifting produksi minyak bumi di Riau terus menurun seiring
dengan usia sumur yang semakin tua (Grafik V.13). Perbaikan metode dan teknologi eksplorasi oleh
perusahaan kontraktor minyak bumi juga belum dapat mendorong kenaikan volume poduksi secara
signifikan. Sementara itu, eksplorasi minyak dan gas bumi di Blok Natuna, Kepulauan Riau belum
dapat mendorong perbaikan kinerja sektor pertambangan di Sumatera. Produksi timah di Bangka
Belitung juga terus menurun. Berdasarkan hasil liaison, selama periode Januari-Juli 2013, produsen
timah hanya mampu berproduksi sebesar 50% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Hal ini disebabkan oleh sulitnya mencari timah yang memenuhi standar ekspor akibat banyaknya
tempat penambangan ilegal. Kebijakan standarisasi timah untuk ekspor melalui bursa timah melalui
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 32 tahun 2013 mewajibkan pelaku usaha timah memenuhi
kualitas dan spesifikasi standar timah yang tinggi dengan kandungan stannum (sn) sebesar 99,9%.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 38
Grafik V.13. Lifting Produksi Minyak Bumi Grafik V.14. Harga Minyak Dunia
(15)
(10)
(5)
0
5
10
15
20
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8
2011 2012 2013
% (yoy)Ribu Barel/Hari
Lifting Produksi (LHS) Pertumbuhan (RHS)
-20
-10
0
10
20
30
40
0
20
40
60
80
100
120
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8
2011 2012 2013
% (yoy)USD/barel
Harga Minyak Dunia (LHS) Pertumbuhan (RHS)
Sumber: Perusahaan Minyak Bumi di Riau Sumber: Bloomberg
Pembiayaan Perbankan
Beberapa indikator perbankan seperti aset dan Dana Pihak Ketiga (DPK) tumbuh melambat.
Perkembangan aset perbankan di Sumatera pada triwulan laporan tumbuh melambat dari 14,3%
(yoy) menjadi 13% (yoy). DPK juga tumbuh melambat dari 9,5% (yoy) menjadi 8,0% (yoy).
Perlambatan pertumbuhan terutama bersumber dari penurunan simpanan dalam bentuk giro, salah
satunya giro milik pemerintah daerah seiring dengan mulai banyaknya realisasi belanja konsumsi
APBD menjelang akhir tahun. Namun di sisi lain, tabungan dan deposito tumbuh meningkat dipicu
oleh peningkatan suku bunga simpanan.
Sementara itu, pertumbuhan kredit meningkat didorong oleh kredit modal kerja yang tumbuh
meningkat. Penyaluran kredit kepada debitur di wilayah Sumatera pada triwulan laporan tumbuh
17,6% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tumbuh 16,8% (yoy).
Peningkatan pertumbuhan terutama terjadi pada penyaluran kredit modal kerja, dari semula
tumbuh 9,3% (yoy) menjadi 12,1% (yoy). Hal ini diperkirakan sebagai dampak perilaku pelaku
perbankan di Sumatera yang mulai membatasi kredit di subsektor perkebunan, dan mengalihkan
kredit kepada pedagang pengumpul yang lebih berisiko kecil. Indikasi pergeseran penyaluran kredit
dari semula kepada subsektor perkebunan ke subsektor perdagangan yang umumnya berupa kredit
modal kerja mulai terlihat.
Berbeda halnya dengan kredit modal kerja, perkembangan kredit konsumsi dan kredit investasi
justru cenderung tumbuh lebih lambat. Kredit konsumsi tercatat hanya tumbuh 12,2% (yoy), lebih
rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang mencapai 13,0% (yoy). Perlambatan ini
sejalan dengan konsumsi rumah tangga yang juga tumbuh melambat. Penyaluran kredit investasi
juga tumbuh melambat dari semula 36,5% (yoy) menjadi 35,9% (yoy). Hal ini terkait dengan
terbatasnya kegiatan investasi pada triwulan laporan (Grafik V.15). Dari sisi kualitas kredit, angka
rasio Non Performing Loans (NPL) masih terjaga di kisaran yang cukup rendah walaupun mulai
terdapat sedikit peningkatan dibanding posisi akhri triwulan II 2013.
Akses masyarakat terhadap jasa keuangan perbankan menunjukkan perbaikan. Membaiknya akses
layanan jasa perbankan terlihat pada rasio jumlah rekening simpanan terhadap 1.000 penduduk
yang dalam tiga tahun terakhir terus meningkat (Tabel V.1). Kendati demikian, sebaran alat
penunjang pelayanan perbankan dan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK) relatif masih
L a p o r a n N u s a n t a r a | 39
belum merata. Hal ini terlihat dari rasio jumlah mesin ATM per 10 ribu penduduk dewasa di
Sumatera yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan kawasan-kawasan lainnya (Tabel V.2).
Grafik V.15. Pertumbuhan Kredit Jenis Penggunaan
Menurut Lokasi Proyek Grafik V.16. Pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK)
0
5
10
15
20
25
30
35
40
I II III IV I II III*
2012 2013
% (yoy)
Total Kredit
Modal Kerja
Investasi
Konsumsi
0
5
10
15
20
25
I II III IV I II III*
2012 2013
% (yoy)
DPK
Giro
Tabungan
Deposito
Tabel V.1. Rasio Jumlah Rekening Simpanan per 1.000
Penduduk Tabel V.2. Rasio Jumlah Mesin ATM per 10 Ribu
Penduduk Dewasa 2013
Kawasan/Wilayah 2011 2012 2013*
Sumatera 39.9 44.7 46.5
Sumbagut 42.1 47.4 48.2
Sumbagteng 48.3 52.1 54.5
Sumbagsel 30.7 36.0 38.3
Provinsi/Kawasan Rasio
Aceh 2.29
Sumut 2.44
Sumbar 2.32
Riau 3.17
Jambi 2.41
Kepri 6.74
Babel 3.34
Sumsel 2.53
Bengkulu 1.90
Lampung 1.62
Sumatera 2.54
Jawa 3.54
KTI 3.10
Ket: Penduduk dewasa adalah penduduk Usia 15-64 Tahun
Inflasi
Inflasi Kawasan Sumatera pada triwulan III 2013 meningkat signifikan. Inflasi Kawasan Sumatera
mencapai 8,27% (yoy), jauh lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 5,58%
(yoy) (Grafik V.17). Kombinasi kenaikan harga BBM bersubsidi dan gejolak harga pangan
menyebabkan sebagian besar provinsi di Sumatera mengalami inflasi tahunan lebih dari 7%.
Realisasi inflasi tertinggi terjadi di Sumatera Barat, yaitu sebesar 10,03% (yoy), dan yang terendah
terjadi di Aceh yaitu sebesar 5,70% (yoy) (Grafik V.18).
Tekanan inflasi di Sumatera terutama berasal dari kelompok administered prices dan volatile
food. Meningkatnya tekanan inflasi kelompok administered price terkait dengan kenaikan harga
BBM bersubsidi pada akhir triwulan II. Namun, besaran kenaikan inflasi tidak setinggi pada periode
kenaikan BBM tahun 2008. Hal ini dipengaruhi oleh level harga yang relatif sudah berada pada level
yang cukup tinggi. Sementara itu, tekanan inflasi volatile food terutama bersumber dari gangguan
pasokan pada beberapa komoditas strategis seperti cabe merah dan bawang merah, terlambatnya
realisasi impor daging sapi, serta pergeseran masa tanam produksi padi. Sebagian besar daerah di
L a p o r a n N u s a n t a r a | 40
Sumatera mengalami defisit produksi bawang merah dan cabe merah. Kondisi ini menyebabkan
pergerakan harga dipengaruhi oleh daerah penghasil utama, khususnya di Jawa.
Grafik V.17. Disagregasi Inflasi Sumatera
0
2
4
6
8
10
12
14
16
I II III IV I II III IV I II III
2011 2012 2013
% (yoy)Core
Volatile Foods
Adm. Prices
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik V.18. Inflasi Sumatera Triwulan III 2013
5.4
9.39.0
10.0
7.77.3
8.0 8.2
7.2
9.5
7.77.4 7.6
8.3
% (yoy)
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Prospek Pertumbuhan
Pertumbuhan ekonomi Sumatera pada triwulan IV 2013 diprakirakan relatif stabil dengan
kecenderungan sedikit meningkat. Peningkatan pertumbuhan terjadi di semua wilayah baik
Sumbagut, Sumbagteng maupun Sumbagsel. Hal itu didukung oleh perkembangan kinerja sektor
utama di Sumatera yang sebagian besar diperkirakan membaik. Sektor pertanian pada triwulan IV
diprakirakan mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi seiring dengan masuknya masa panen
tanaman perkebunan. Sektor industri pengolahan diprakirakan juga tumbuh meningkat, didukung
oleh panen kelapa sawit dan karet yang diperkirakan akan meningkatkan pasokan bahan baku untuk
industri pengolahan kelapa sawit dan karet. Sementara itu, sektor pertambangan diprakirakan tidak
mengalami banyak perbaikan dan masih tumbuh negatif sejalan dengan volume produksi minyak
bumi yang menurun dan produksi timah yang juga diprakirakan masih mengalami penurunan..
Secara kumulatif pertumbuhan ekonomi Sumatera pada tahun 2013 diprakirakan tumbuh lebih
rendah dibandingkan dengan pencapaian tahun sebelumnya. Faktor utama perlambatan ekonomi
terjadi akibat melambatnya pertumbuhan sektor pertanian. Hal ini sejalan dengan lebih rendahnya
produksi tanaman bahan makanan dan perkebunan seiring anomali cuaca dan penurunan insentif
produksi kelapa sawit dan karet terkait harga di pasar dunia yang terus menurun. Di samping itu,
volume lifting minyak bumi dan produksi timah yang terus menurun berdampak pada kinerja sektor
pertambangan.
Inflasi Sumatera pada triwulan IV diprakirakan meningkat. Peningkatan inflasi diprakirakan terjadi
di semua wilayah Sumatera. Namun, dampak kenaikan harga BBM terhadap inflasi semakin mereda.
Dari sisi core inflation, potensi risiko terhadap peningkatan inflasi bersumber dari nilai tukar rupiah
yang terus terdepresiasi dan berdampak pada meningkatnya harga barang impor (imported
inflation). Dari sisi volatile food, potensi peningkatan inflasi selain dari gejolak harga pangan produksi
domestik, juga diprakirakan berasal dari komoditas pangan impor seperti kedelai, daging sapi dan
bawang putih. Sementara dari sisi administered price, potensi peningkatan inflasi berasal dari
rencana kebijakan menaikan harga gas elpiji non-subsidi 12 kg serta kelanjutan kenaikan secara
bertahap Tarif Tenaga Listrik (TTL).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 41
Bagian VI – Isu Strategis
Membangun Struktur Produksi yang Kokoh
di Nusantara untuk Bermigrasi Menjadi Negara Maju1
Prasyarat bagi kesinambungan migrasi menuju ke negara berpenghasilan tinggi adalah kapabilitas
industrial. Asesmen terhadap struktur produksi di berbagai wilayah menunjukkan bahwa masih
terdapat ruang yang luas bagi Indonesia untuk memperkuat kapabilitas tersebut terutama untuk
barang jadi dan komponennya yang bersifat kompleks. Penguatan kapabilitas industrial secara
langsung dapat memperbaiki struktur neraca perdagangan dan pola penyerapan tenaga kerja
sehingga akan memperkuat basis bagi penciptaan pendapatan per kapita. Agar dampak positif dari
pembangunan kapabilitas industrial dapat optimal, Indonesia perlu bersaing untuk menjadi salah
satu lokasi utama dalam pembuatan barang jadi dan komponennya yang bersifat kompleks di
sepanjang rantai nilai global. Secara spasial, Kawasan Jawa dapat dipromosikan sebagai lokasi
tersebut.
Indonesia Sebagai Negara Berpenghasilan Menengah
Awal abad 21 ini ditandai oleh fakta bahwa Indonesia telah memantapkan diri dalam kategori
negara berpenghasilan menengah. Sejak tahun 2004, pendapatan per kapita rata-rata penduduk
Indonesia yang dihitung berdasarkan Gross National Income (GNI, Atlas Method – Bank Dunia) telah
berhasil melampaui USD1.025 atau di batas bawah untuk negara berpenghasilan rendah2. Capaian
tersebut menandai keberhasilan Indonesia menghindari jebakan kemiskinan akibat krisis Asia
1998/99. Pada tahun 2012 lalu pendapatan per kapita rata-rata penduduk Indonesia telah mencapai
sebesar ±USD3.500/orang/tahun.
Grafik VI.1. Perkembangan Kelas Menengah di
Indonesia
Sumber: PovcalNet Bank Dunia, diolah
Grafik VI.2. Konsumsi Kelompok Kelas Menengah
dan Miskin/Hampir Miskin
1 Kajian Grup Riset Ekonomi, Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter, Bank Indonesia.
2 Klasifikasi negara berdasarkan pendapatan per kapita oleh Bank Dunia membagi negara atas empat kategori,
yaitu: (1) Negara berpenghasilan rendah (low income country) dengan Gross National Income (GNI) per kapita < USD1.035, (2) Negara berpenghasilan menengah bawah (lower middle income country) dengan GNI per kapita antara USD1.036 sampai USD4.085 (3) Negara berpengasilan menengah atas (upper middle income country) dengan GNI per kapita antara USD4.086 sampai USD12.615 dan (4) negara berpenghasilan tinggi (high income country) dengan GNI per kapita diatas > USD12.615.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 42
Sejalan dengan peningkatan pendapatan per kapita tersebut, jumlah penduduk Indonesia yang
dapat dikategorikan sebagai penduduk kelas menengah meningkat pesat (Grafik VI.1)3. Sampai akhir
tahun 2010 setidaknya 5 dari 10 penduduk Indonesia tidak dapat lagi dikategorikan sebagai
penduduk miskin. Kondisi ini kontras dengan dekade tahun 1990-an yang mayoritas penduduknya
dapat dikategorikan sebagai penduduk miskin atau hampir miskin. Perkembangan ini memberi
implikasi positif berupa pasar domestik yang semakin membesar dan permintaan barang dan jasa
yang semakin beragam (Grafik VI.2).
Peningkatan pendapatan per kapita dan ekspansi kelas menengah diperkirakan dapat terus berlanjut
di masa mendatang. Perkiraan ini tidaklah berlebihan. Salah satu dampak dari peningkatan ukuran
dan keragaman permintaan barang terkait ekspansi kelas menengah adalah adanya potensi
hubungan timbal balik positif dengan aktivitas penyerapan tenaga kerja dan investasi. Perbandingan
dengan negara-negara lain menunjukkan bahwa total pasar konsumsi domestik Indonesia pada
tahun 2012 menjadi salah satu yang terbesar di Asia (Grafik VI.3). Tidak mengherankan jika rasio
investasi domestik sampai dengan akhir 2012 merupakan yang tertinggi dalam dua dekade terakhir.
Grafik VI.3. Perbandingan Pasar Konsumsi: BRIC, Indonesia dan Negara Lainnya
Sumber: World Development Indicators, Bank Dunia, diolah
Prasyarat Migrasi Menuju Perekonomian Berpenghasilan Tinggi
Capaian positif di atas menyimpan pesan penting untuk menjaga kesinambungan migrasi Indonesia
dari negara berpenghasilan menengah ke negara berpengasilan tinggi (high income country). Dalam
perspektif historis, tidak banyak perekonomian yang mampu menjaga kesinambungan migrasi
tersebut. Sebagaimana diilustrasikan pada Grafik VI.4, negara-negara yang berangkat dengan tingkat
pendapatan per kapita yang relatif sama pada tahun 1970, tidak seluruhnya mampu konvergen
menjadi High Income Country (HIC). Di Asia Timur, hanya beberapa negara saja yang mampu
mengejar ketertinggalan, misalnya Korea Selatan, Singapura, dan Hong Kong4. Sementara itu, untuk
3 Analisa di ADB (2010) membagi penduduk atas setidaknya tiga kelompok besar, yaitu (1) kelompok penduduk miskin dan hampir miskin dengan pendapatan < USD2 per hari, (2) kelompok kelas menengah bawah (lower middle class)/baru keluar dari kemiskinan dengan pendapatan antara USD2 – USD4 per hari, dan (3) kelompok kelas menengah-menengah dan kelas atas dengan pendapatan > USD4 per hari.
4 Dalam keseluruhan sejarah umat manusia, Korea Selatan adalah negara yang paling cepat bermigrasi dari low menjadi high income country, yaitu dalam 19 tahun. Singapura dan Hong Kong telah termasuk dalam kategori negara berpengasilan menengah bawah (lower middle income) di tahun 1970.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 43
negara-negara lain di kawasan Asia dan juga di belahan bumi yang lain, terdapat suatu fenomena
yang memperlihatkan bahwa peningkatan pendapatan per kapita negara-negara cenderung tertahan
dan berada di kategori middle income untuk waktu yang sangat lama. Negara-negara tersebut
berpotensi mengalami jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap)5.
Salah satu pembeda utama yang memisahkan negara yang mampu dengan cepat bermigrasi ke HIC
dan yang masih tertinggal adalah kapabilitas industrial, yaitu kemampuan memproduksi barang jadi
yang kompleks dan komponen barang jadi yang bersifat kompleks6. Kemampuan manufaktur
domestik (baik PMDN, PMA, maupun joint ventures) dalam suatu negara untuk memproduksi barang
jadi yang kompleks dan komponen-komponen kompleks dari suatu barang jadi mencerminkan
kapabilitas industrial yang tinggi (atau ketergantungan teknologi yang rendah). Kapabilitas industrial
tersebut selanjutnya akan tercermin pada jenis-jenis barang berteknologi menengah dan tinggi yang
mampu diekspor oleh negara tersebut dan/atau yang mampu untuk diproduksi di dalam negeri
(tanpa harus mengimpor). Terkait hal ini, beberapa peneliti menyimpulkan bahwa peningkatan
kapabilitas industrial sangat memengaruhi kemampuan suatu negara untuk bermigrasi menuju
negara berpenghasilan tinggi. Oleh karena itu, peningkatan kapabilitas industrial merupakan
prasyarat yang harus dipenuhi agar sebuah perekonomian tidak berlama-lama berada di kategori
middle income7.
5 Lihat Paus, Eva (2011, 2012).
6 Barang kompleks dapat didefinisikan secara generik sebagai barang yang memiliki banyak komponen didalamnya. Komponen tersebut sangat beragam dari sisi fungsinya, serta saling terintegrasi agar barang tersebut dapat berfungsi secara utuh (Lihat Sosa E.M., et al (2007)). Barang kompleks dapat pula didefinisikan sebagai barang-barang yang dihasilkan oleh industri-industri berteknologi menengah dan tinggi, sementara barang sederhana adalah barang-barang yang dihasilkan oleh industri-industri berteknologi rendah. Contoh barang kompleks adalah turbin, gen-set, chip, microprocessor, laptop, smart-phone, mesin, transmisi dan mobil, sementara contoh barang sederhana adalah sepatu, baju, furnitur, tusuk gigi, air kemasan dan ember plastik.
7 Lihat tulisan Ricardo Hausmann, Jason Hwang dan Dani Rodrik (2005) dan Hausmann et al (2011).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 44
Grafik VI.4. Evolusi Pendapatan Per Kapita di Berbagai Negara
Sumber: World Development Indicators, Bank Dunia, diolah
Asesmen Kapabilitas Industrial di Nusantara
Indonesia sebagai sebuah negara berpenghasilan menengah memiliki banyak ruang untuk
memperkuat kapabilitas industrial dan menurunkan tingkat ketergantungan teknologi. Asesmen
terhadap struktur produksi dan neraca perdagangan di berbagai wilayah di Nusantara setidaknya
memberi indikasi ke arah itu. Grafik VI.5 secara ilustratif memberi gambaran tentang tingkat
ketergantungan teknologi di berbagai wilayah di Nusantara, yang diukur dari ekspor neto atau impor
neto yang tercatat di wilayah tersebut menurut empat kategori produk. Kategori produk tersebut
merujuk pada klasifikasi dari United Nations Industrial Development Organization (UNIDO, 2004),
yaitu: (1) produk SDA (non-migas), (2) produk industri berteknologi rendah, (3) produk industri
berteknologi menengah dan (4) produk industri berteknologi tinggi. Khusus untuk produk industri
berteknologi rendah dilakukan lagi pembagian menjadi produk industri berteknologi rendah padat
karya dan produk industri berteknologi rendah padat modal.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 45
Dapat dilihat pada Grafik VI.5 bahwa di berbagai wilayah di Nusantara terdapat ketergantungan
teknologi yang cukup tinggi yang tercermin dari kondisi impor neto untuk produk-produk dalam
kategori hasil industri berteknologi rendah padat modal, menengah, dan tinggi. Intensitas
ketergantungan terhadap produk-produk industri berteknologi tinggi terlihat kuat di Jabagbar,
Jabagtim dan Sumbagteng, yang terkait dengan impor neto (a) produk-produk kompleks barang
antara dan modal untuk keperluan industri manufaktur di Jawa dan aktivitas ekstraktif padat SDA
(non-migas) di luar Jawa, dan (b) barang jadi yang kompleks bernilai tambah tinggi untuk konsumsi
di seluruh Nusantara. Grafik VI.5 juga memberi gambaran tentang kondisi kapabilitas industrial di
Nusantara. Produk industri berteknologi rendah padat karya di Kawasan Jawa, Bali-Nustra, dan
Sumbagut tercatat mengalami ekspor neto. Sementara itu, di Jabagbar juga tercatat ekspor neto
untuk produk industri berteknologi rendah padat modal. Terkait industri-industri padat SDA non-
migas, Nusantara mencatat ekspor neto untuk aktivitas ekstraktif. Kinerja sektor SDA ini terlihat
paling kuat di Sulampua dan Sumbagteng.
Grafik VI.5. Ketergantungan Teknologi dan Kapabilitas Industrial di Nusantara
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa kapabilitas industrial di Nusantara sangat kuat untuk
produk-produk sederhana hasil industri teknologi rendah padat karya dan berbasis SDA. Kondisi ini
menggambarkan bahwa Nusantara adalah sebuah perekonomian berbasis tenaga kerja
berketerampilan rendah-sedang (Kawasan Jawa) dan warisan SDA yang melimpah di luar Jawa
(Kawasan Sumatera dan KTI)8.
Selanjutnya, Indonesia juga terindikasi masih memiliki ruang yang besar untuk membangun
kapabilitas industrial untuk barang kompleks. Barang yang dimaksud terutama: (a) mesin (rotating
machinery and equipment) dan (b) barang elektronik berbasis semi konduktor. Barang-barang ini
merupakan barang antara untuk industri barang jadi, baik yang produknya kompleks (bernilai
8 Teori Perdagangan Hecksher-Ohlin misalnya mengatakan bahwa sebuah negara akan mendapat keunggulan
komparatif pada factor endowments yang tersedia melimpah sehingga industri-industri yang mampu bersaing dalam perdagangan global adalah industri-industri yang basis faktor produksinya selaras dengan endowments yang melimpah tersebut.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 46
tambah tinggi) maupun sederhana. Hal ini ditunjukkan pada Grafik VI.6 yang menggambarkan
informasi mengenai total nilai perdagangan ekspor ditambah impor (total trade size) dari suatu
produk berdasarkan klasifikasi Standard International Trade Code (SITC) 3 digit dan rasio penetrasi
impor dari produk tersebut (impor dibagi total nilai perdagangan). Dapat dicermati pada Grafik VI.6
bahwa penetrasi impor sangat tinggi (dengan rasio > 0.8 dari total trade size) di berbagai wilayah di
Nusantara terutama untuk kategori produk-produk berteknologi menengah-tinggi, terutama jenis
rotating machinery dan komponen berbasis semi-konduktor. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam
struktur produksi domestik, masih terdapat ruang kosong (middle hollow) untuk industri produsen
barang dengan karakteristik dan tingkat teknologi tersebut. Implikasinya adalah penetrasi impor
yang sangat tinggi terhadap total nilai perdagangan. Lebih lanjut, fakta bahwa tidak semua rasio
penetrasi impor bernilai satu menunjukkan pula bahwa pada derajat tertentu terdapat perdagangan
intra-industri pada produk-produk tersebut, walaupun dengan pola yang kemungkinan vertikal
karena masih adanya ketergantungan teknologi yang cukup tinggi. Dengan kata lain, produk impor
yang juga mampu diproduksi di dalam negeri, tingkat muatan teknologi dan kualitasnya cenderung
lebih tinggi dibandingkan dengan produk sejenis yang berorientasi ekspor.
Grafik VI.6. Ketergantungan Teknologi dan Penetrasi Impor di Berbagai Wilayah
Berdasarkan Klasifikasi Produk
Ket: Klasifikasi produk berdasarkan UN Industrial Development Organization (UNIDO, 2004) SITC 3 digit.
Klasifikasi wilayah berdasarkan pembagian wilayah kerja Bank Indonesia di Nusantara.
Sumber: COGNOS, SITC 3 digit, DSTa, BI, diolah.
Sementara itu, dari sisi yang lain, observasi terkait barang yang memiliki penetrasi ekspor tinggi,
yaitu rasio ekspor terhadap total nilai perdagangan > 0.8 menunjukkan bahwa kapabilitas industrial
di Nusantara sangat kuat untuk produk sederhana hasil industri berteknologi rendah, khususnya di
Kawasan Jawa. Hal ini dapat dicermati pada Grafik VI.7. Karakteristik produk dengan penetrasi
L a p o r a n N u s a n t a r a | 47
ekspor tinggi tersebut mayoritas merupakan produk yang proses produksinya membutuhkan
rotating machinery/equipment, dan/atau peralatan yang berbasis semi-konduktor dengan penetrasi
impor di kedua jenis produk ini sangat tinggi, sebagaimana yang telah ditunjukkan pada Grafik VI.6.
Semua observasi di atas menegaskan bahwa kapabilitas industrial Indonesia secara umum sangat
kuat untuk industri berteknologi rendah padat karya berketerampilan rendah sampai sedang.
Sementara itu, masih terdapat banyak ruang untuk penguatan dan pembangunan lebih lanjut terkait
industri barang kompleks dengan tingkat teknologi menengah dan tinggi, yang merupakan prasyarat
migrasi menuju negara maju.
Grafik VI.7. Kapabilitas Industrial dan Penetrasi Ekspor di Berbagai Wilayah Berdasarkan Klasifikasi Produk
Ket: Klasifikasi produk berdasarkan UN Industrial Development Organization (UNIDO, 2004) SITC 3 digit.
Klasifikasi wilayah berdasarkan pembagian wilayah kerja Bank Indonesia di Nusantara.
Sumber: COGNOS, SITC 3 digit, DSTa, BI, diolah.
Deskripsi lebih detil untuk setiap wilayah di Indonesia terkait ketergantungan teknologi dan
kapabilitas industrial disampaikan di Lampiran III. Sebagaimana yang dapat dipelajari di Lampiran III
kapabilitas industrial di Nusantara terlihat menonjol pada industri terkait tekstil, produk tekstil, alas
kaki dan furniture, terutama di seluruh wilayah di Jawa (IV, V, dan VI). Industri-industri tersebut
adalah industri berteknologi rendah padat tenaga kerja berketerampilan rendah sampai sedang.
Sementara itu, ketergantungan teknologi untuk produk industri berteknologi menengah dan tinggi
terlihat beragam secara spasial sesuai dengan basis produksi wilayah. Sebagai ilustrasi, Wilayah
Kalimantan misalnya, banyak mengimpor barang berteknologi menengah dan tinggi untuk
menopang kegiatan ekstraktif berbasis SDA, yaitu peralatan konstruksi sipil dan kapal/struktur
terapung untuk barang teknologi menengah, kemudian mesin rotating elektrik dan peralatan
pengukuran/pengendali untuk barang teknologi tinggi. Struktur ketergantungan teknologi di
L a p o r a n N u s a n t a r a | 48
Kalimantan ini terlihat mirip dengan struktur ketergantungan teknologi di Sumbagteng sebagai
wilayah yang basis ekonominya juga sangat sarat aktivitas ekstraktif berbasis SDA. Hal ini terlihat
dari produk yang mengalami impor neto di Sumbagteng yang secara umum mirip dengan yang
tercatat di Kalimantan (Lampiran III).
Sementara itu untuk Kawasan Jawa, ketergantungan teknologi terlihat dari impor neto mesin untuk
industri tekstil padat karya di Jabagteng, dan produk padat komponen berbasis semikonduktor di
Jabagteng dan Jabagtim (peralatan telekomunikasi). Ketergantungan terhadap barang teknologi
padat modal juga terlihat di Kawasan Jawa sebagaimana ditunjukkan oleh impor neto produk baja di
Jabagteng dan Jabagtim, serta impor neto barang input berteknologi menengah, seperti pupuk di
Jabagtim. Sementara, di Jabagbar dan Jabagtim, tercatat impor neto produk padat rotating
machinery serta semikonduktor sebagai barang modal untuk sektor transportasi. Produk dalam
kategori ini terutama adalah pesawat terbang, yang merupakan barang modal untuk mendukung
ekspansi sektor transportasi udara seiring dengan ekspansi kelas menengah.
Tabel VI.1. Faktor-Faktor Penopang Pendapatan Per Kapita
Regresi Cross-Section 27 Provinsi di Nusantara(data: Rerata 2005-2010, sumber: BPS & DSta)
Variabel Dependen : Pendapatan Per Kapita
Variabel Independen
Ketergantungan Teknologi Impor (High Tech + Med Tech + Capital Intensive)
Total Impor
Human CapitalPangsa Pendidikan ≥ SMA
Total Jumlah Penduduk
Infrastruktur & Pasokan Energi Kapasitas Listrik Terpasang
Infrastruktur Jalan Rasio Panjang Jalan
Infrastruktur Pelabuhan Jumlah Bongkar Muat
Total Perdagangan
Akumulasi Kapital Fisik Investasi
PDRB
Konstanta
-0,64 ***
1,68 ***
0,42 ***
-0,38 **
0,12 **
0,55 ***
8,57 ***
R-Kuadrat Yang Sudah Disesuaikan
Standar Error Dari Regresi
Statistik - F
Probabilitas (Statistik - F)
Heteroskedastisitas White :
Probabilitas F (6,19)
0,87
0,27
21,12
0,00
0,82
Ket: Signifikansi pada tingkat * (10%) ; ** (5%) ; *** (1%)
Memperkuat Migrasi Menuju Perekonomian Maju
Untuk memperkuat migrasi ke negara berpenghasilan tinggi, Indonesia dapat memanfaatkan ruang
yang masih terbuka luas bagi peningkatan kapabilitas industrial (penurunan ketergantungan
teknologi) terkait produksi barang kompleks berteknologi menengah dan tinggi. Regresi cross section
di 27 provinsi di Nusantara menunjukkan bahwa penurunan ketergantungan teknologi (diproksi dari
rasio impor barang berteknologi menengah-tinggi dan barang padat modal terhadap total impor)
merupakan faktor yang sangat penting dalam memengaruhi pendapatan per kapita (Tabel 1). Hasil
regresi juga menunjukkan faktor produksi komplementer yang perlu disediakan untuk menopang
peningkatan pendapatan per kapita dari waktu ke waktu, yaitu (a) peningkatan jumlah modal
L a p o r a n N u s a n t a r a | 49
manusia dengan pendidikan setidaknya sekolah menengah atas, (b) akumulasi modal fisik (investasi),
dan (c) penguatan infrastruktur, khususnya infrastruktur listrik dan konektivitas maritim9.
Dari sisi spasial, peningkatan kapabilitas industrial secara nasional dapat diawali dengan
memperkuat kapasitas dan kapabilitas industrial di Kawasan Jawa, mengingat saat ini Jawa adalah
wilayah dengan kapabilitas industrial yang lebih baik dibandingkan dengan wilayah lain di
Nusantara. Sebagaimana dilaporkan di Lampiran III, di Jabagbar sudah terdapat industri barang
kompleks berteknologi tinggi yang mengalami ekspor neto seperti mesin pembangkit listrik dan
permesinan kantor, serta industri barang kompleks berteknologi menengah yang berbasis
semikonduktor seperti industri konverter gambar dan suara (elektronik). Di Jabagteng, terdapat
industri barang kompleks berteknologi menengah dan tinggi yang mengalami ekspor neto seperti
mesin rotating elektrik dan peralatan distribusi listrik. Sementara itu, di Jabagtim terdapat industri
barang kompleks teknologi menengah yang mengalami ekspor neto seperti komponen dan aksesoris
kendaraan bermotor dan industri teknologi rendah padat modal, misalnya logam dasar. Dinamika
sektoral ini menunjukkan bahwa kapabilitas industrial di Kawasan Jawa berpotensi untuk dapat
diperkuat dan diperluas lebih lanjut.
Lebih dari itu, Kawasan Jawa juga memiliki ketersediaan faktor produksi komplementer yang relatif
lebih memadai dibandingkan dengan wilayah lain di Nusantara dalam rangka menopang
pembangunan kapabilitas industrial di Indonesia. Terdapat dua hal penting terkait ketersediaan
faktor produksi komplementer di Kawasan Jawa yang dapat memperkuat pertimbangan konsentrasi
spasial pembangunan industrial di Nusantara. Pertama, tersedianya institusi-institusi pendidikan
tinggi di bidang riset dan IPTEK yang bersaing secara global. Faktor produksi komplementer ini
sangat penting mengingat produksi barang kompleks berteknologi menengah dan tinggi akan sangat
padat dalam menyerap tenaga kerja terampil (padat modal manusia)10.
Kedua, Jawa adalah lokasi dari dua pelabuhan bongkar muat utama di Indonesia, yaitu Tanjung Priok
di Jakarta dan Tanjung Perak di Surabaya yang menjadi penopang utama (hub) aliran perdagangan
antarwilayah di Nusantara dan antar-Nusantara dengan dunia, sehingga penempatan aktivitas
industri di kedua lokasi tersebut dapat menurunkan biaya transportasi dan perdagangan
internasional11.
Akhirnya, pembangunan kapabilitas industrial untuk komponen kompleks berteknologi menengah
dan tinggi di Kawasan Jawa perlu memerhatikan fakta tentang adanya fenomena global offshoring
yang semakin menguat dalam rantai nilai global (lihat Boks 1). Fenomena ini mengirim pesan bahwa
peningkatan kapabilitas industrial di Kawasan Jawa mensyaratkan bahwa produsen global barang
9 Hasil yang kontraintuitif terkait rasio panjang jalan mungkin mengindikasikan bahwa produktifitas marjinal dari
penambahan jalan akan cenderung menurun jika di suatu wilayah konektivitas transportasi daratnya telah jenuh, sehingga penguatan kualitas infrastruktur jalan menjadi relevan. Terkait ini, penelitian oleh Maryaningsih dkk (2012, WP DKEM, BI) dengan metodologi panel data untuk di-33 provinsi menyimpulkan bahwa konektifitas maritim dan ketersediaan sarana/prasarana listrik merupakan faktor-faktor terkait infrastruktur yang kuat pengaruhnya pada peningkatan pendapatan per kapita disamping infrastruktur jalan. Oleh karenanya, secara keseluruhan hasil-hasil empiris ini menunjukkan pentingnya kebijakan pengembangan infrastruktur maritim disamping infrastruktur kontinental.
10 Dalam konteks ini pula, pembangunan kapabilitas industrial terkait barang berteknologi menengah dan tinggi akan dengan cepat mendorong terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan menyejahterakan.
11 Terkait aliran perdagangan antar-pulau di Indonesia, lihat kajian MHA Ridhwan dkk (2012, WP – DKEM, BI) dengan
menggunakan tabel I/O regional.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 50
kompleks berteknologi menengah-tinggi membangun rantai produksi barang antara dan
komponennya di Kawasan Jawa. Tanpa prasyarat ini, ketergantungan teknologi akan tetap menjadi
kendala utama bagi migrasi yang lebih cepat ke kelompok negara berpenghasilan tinggi. Dalam
kaitan ini, pembangunan kapabilitas industrial mensyaratkan pula adanya implementasi strategi
kebijakan industri, kebijakan pengembangan wilayah, dan penanaman modal yang selaras dan
kompetitif terhadap kebijakan di negara-negara pesaing. Negara-negara tersebut saat ini
merupakan lokasi produksi dan menjadi bagian penting dari rantai nilai produsen global barang
kompleks berteknologi menengah dan tinggi, misalnya China, Taiwan (Provinsi ROC), Malaysia, dan
Thailand.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 51
BOKS 1. Fenomena Offshoring Produksi Barang Kompleks dalam Rantai Nilai Global dan Implikasinya pada Necara Perdagangan
Perdagangan dunia Abad 21 sudah jauh berbeda dari era pra-Revolusi Industri. Pada era itu, biaya
transportasi dan komunikasi masih sangat mahal, sehingga produk biasanya diproduksi dekat
dengan pasarnya dan perdagangan dunia didominasi pertukaran antar-barang jadi (finished goods).
Biaya transportasi dan komunikasi yang rendah di era global Abad 21 menyebabkan “time & space
compression” sehingga memungkinkan fragmentasi (offshoring) proses produksi, termasuk
spesialisasi produksi untuk barang antara di berbagai lokasi yang berbeda12. Fenomena global
offshoring (trade in tasks) tersebut dapat diilustrasikan pada Gambar A.1 tentang rantai produksi
global untuk produk gadgets. Timah mentah yang diekstraksi di Provinsi Bangka dan Belitung akan
diekspor ke pasar global untuk kemudian diproses oleh produsen global kabel timah dan solder yang
selanjutnya digunakan oleh produsen komponen global (Global Vendor) di berbagai negara.
Gambar A.1. Rantai Nilai Global Produk-Produk Gadgets Sebagai Barang Kompleks Berbasis Semikonduktor
Sumber: Dipinjam dan disadur dari FOE (2012) dan Xing (2013)
12 Lihat eksposisi di Gene M. Grossman and Esteban Rossi-Hansberg (2006) dan juga tulisan oleh Thomas Friedman (2005); dan Alan Blinder (2006). Fragmentasi atau offshoring lokasi spesialisasi produksi komponen tersebut kerap pula disebut sebagai fenomena trade in tasks. Lihat juga publikasi WTO (2012) tentang global offshoring (trade in tasks) industri manufaktur.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 52
Gambar A.2. Distribusi Nilai Komponen-Komponen dari Sebuah Mobil sebagai Barang Jadi Kompleks
Sumber: Dipinjam dan diolah dari BoA Merryl Lynch Automotive Survey (2012) untuk mobil yang dipasarkan di AS
Komponen-komponen kompleks yang diproduksi di berbagai negara selanjutnya akan dikirim ke
China untuk perakitan akhir smartphone, tablet PC dan music player, yang kemudian didistribusikan
ke konsumen di seluruh dunia melalui rantai distribusi global, termasuk ke Indonesia. Diagram 1 juga
memberi indikasi tentang distribusi nilai nominal komponen yang diproduksi di berbagai negara
tersebut termasuk nilai tambah dari perakitan akhir di China.
Beberapa implikasi terkait neraca perdagangan barang kompleks dan penyerapan tenaga kerja dapat
dilihat dari Ilustrasi pada Gambar A.1 diatas. Pertama, walaupun China hanya menambah sekitar
USD6,5 dari proses perakitan akhir, tapi fakta bahwa produk jadi akhir selanjutnya di ekspor dapat
menopang neraca perdagangan China untuk produk gadgets tersebut. Jepang, Jerman, dan AS
mendapat keuntungan yang terbesar dari seluruh negara produsen komponen, karena sebagian
besar nilai tambah komponen kompleks dari gadgets diproduksi di ketiga negara tersebut. Ini berarti
pula bahwa di kedua negara tersebut terdapat penyerapan tenaga kerja sains dan teknik dengan
keahlian dan keterampilan tinggi (skilled workers) yang terbesar sementara di China terjadi
penyerapan tenaga kerja dengan keterampilan sedang. Dampak dari pola penyerapan tenaga kerja
ini menunjukkan bahwa kenaikan pendapatan per kapita akan tetap kuat di negara penghasil
komponen kompleks, sementara di China akan terjadi peningkatan pendapatan per kapita terkait
penyerapan tenaga kerja berketrampilan menengah yang semakin luas.
Indonesia sebagai pemasok bahan baku timah untuk industri global produsen mendapat bagian dari
hasil ekspor bahan mentah dan penyerapan tenaga kerja berketrampilan rendah sampai sedang.
Akan tetapi karena Indonesia adalah salah satu negara dengan konsumen terbesar produk akhir
gadgets, maka secara total Indonesia mengalami defisit dalam keseluruhan rantai nilai. Defisit
tersebut akan dapat menurun jika Indonesia mampu menjadi perakit akhir yang selanjutnya
melakukan ekspor. Akan tetapi jika pasar domestik Indonesia yang besar menjadi orientasi
pemasaran produk akhir, maka defisit neraca perdagangan hanya dapat diturunkan secara signifikan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 53
jika Indonesia menjadi lokasi produksi untuk komponen-komponen kompleks dari produk-produk
gadgets tersebut, misalnya sebagai lokasi produksi untuk flash memory, processor, display module
dan layar sentuh.
Hal yang sama juga berlaku untuk produk kompleks lain, misalnya mobil sebagaimana yang
diilustrasikan di Gambar A.2. Indonesia akan menguasai nilai tambah terbesar dari produk mobil bila
lokasi produksi untuk komponen kompleks jenis rotating machinery / equipment dan yang berbasis
semikonduktor ada di Indonesia. Kedua jenis komponen kompleks ini secara total membentuk
sekitar 60% dari nilai tambah. Dengan kombinasi muatan lokal yang besar dan mayoritas konsumsi
oleh pasar domestik, maka defisit neraca perdagangan terkait produk mobil dapat ditekan pada
level yang rendah.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa penempatan lokasi produksi komponen kompleks di
Indonesia oleh produsen global akan memberi dampak positif pada neraca perdagangan. Selain itu
akan terdapat pula dampak tambahan berupa penyerapan tenaga kerja berketerampilan tinggi dan
pekerja sains/teknologi yang lebih besar. Hal ini akan memperkuat basis penciptaan pendapatan per
kapita Indonesia. Akhirnya, dalam keseluruhan konteks diskusi di atas dapat pula disimpulkan bahwa
kesinambungan migrasi Indonesia menuju high income country mensyaratkan agar Indonesia
menjadi lokasi produksi untuk barang kompleks dan komponen-komponennya serta meningkatkan
partisipasinya di dalam rantai nilai global. Dalam ulasan di atas, fokus spasial dari lokasi produksi
tersebut dapat dimulai dari Kawasan Jawa sebagai kawasan dengan kapabilitas industrial and
ketersediaan faktor produksi komplementer yang telah selangkah lebih maju dibanding kawasan-
kawasan lain di Nusantara.
Daftar Pustaka Blinder, A. (2006), “Offshoring – The Next Industrial Revolution?” Foreign Affairs. March/April BoA Merryl Lynch (2012), “Who Makes the Car – 2012,” diunduh dari http://ftalphaville.ft.com/2012/04/26/975171/the-sum-of-a-cars-parts tanggal 07 Oktober 2013 Friedman, T. (2005), “The World is Flat – A Brief History of the 21
st Century,” Farrar, Straus, & Giraux
Grossman, G.M. dan Rossi-Hansberg, E. (2006), “The Rise of Offshoring: It’s Not Wine for Cloth Anymore,” Princeton University Hausmann, R., Hwang, J., dan Rodrik, D. (2005), “What You Export Matters,” NBER Working Paper 11905. Hausmann, R., Hidalgo, C., et al (2011), “The Atlas of Economic Complexity, Mapping Paths to Prosperity, Harvard University Center for International Development, Harvard Kennedy School & MIT Media Lab. FOE (2012), “Mining for Smartphones: The True Cost of Tin,” Maryaningsih, N., Hermansyah, O., Savitri, M. (2012), ”Konvergensi Antarwilayah dan Pengaruh Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia,” DKEM, Working Paper Paus, Eva (2011), “Latin America’s Middle Income Trap,” Americas Quarterly, winter 2011.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 54
Paus, Eva (2012), “Confronting the Middle Income Trap. Insights from Small Latecomers,” Studies in Comparative International Development, 2012, 47: 115-138 Ridhwan, M.H.A., Ibrahim, Indawan, F., Karlina, I (2012), “Perdagangan Antar Daerah, Distribusi, Transportasi, dan Pengelolaan Stok Komoditas Pangan Strategis di Indonesia”, DKEM, Working Paper Sosa, M.E., Eppinger, S.D., dan Rowles, C.M. (2007), “A Network Approach to Define Modularity of Components in Complex Products,” Conference Paper UNIDO (2004), “Inserting Local Industries into Global Value Chains and Global Production Networks: Opportunities and Challenges for Upgrading with a Focus on Asia”. World Trade Organization & IDE-JETRO (2011), “Trade Patterns and Global Value Chains in East Asia – From Free Trade to Trade in Tasks”. Xing, Y. (2013), “The Supply Chain of the iPhone and Trade in Value Added,” Asia Development Bank Institute, Regional Conference on Integrating Domestic Industries with Global Production Networks and Supply Chains
ag
L a p o r a n N u s a n t a r a | 55
Lampiran I – Pertumbuhan Ekonomi Daerah
I II III IV Total I II IIIf IVf Total
1 ACEH 2.6 5.2 5.1 5.3 5.2 5.2 5.2 4.8 3.9 3.9 - 4.3 4.0 - 4.4 4.1 - 4.3
2 SUMATERA UTARA 6.4 6.6 6.3 6.2 6.3 6.1 6.2 6.1 6.2 5.5 - 5.9 5.5 - 5.9 5.8 - 6.0
3 SUMATERA BARAT 5.9 6.3 4.7 6.6 6.7 7.4 6.3 7.2 6.1 5.4 - 5.8 5.5 - 5.9 6.0 - 6.2
4 RIAU 4.2 5.0 4.5 3.5 3.9 2.4 3.5 1.2 2.7 1.9 - 2.3 1.7 - 2.1 1.9 - 2.1
5 JAMBI 7.3 8.6 6.1 7.1 7.3 9.1 7.4 8.4 7.3 6.7 - 7.1 6.7 - 7.1 7.3 - 7.5
6 SUMSEL 5.8 6.5 7.0 6.1 5.5 5.5 6.0 6.2 6.1 5.6 - 6.0 5.6 - 6.0 5.9 - 6.1
7 BENGKULU 6.1 6.5 7.2 6.7 6.7 6.0 6.6 5.5 5.1 4.8 - 5.2 5.2 - 5.6 5.2 - 5.4
8 LAMPUNG 6.0 6.4 5.7 6.4 6.4 7.4 6.5 5.8 6 5.6 - 6.0 6.1 - 6.5 5.9 - 6.1
9 BANGKA BELITUNG 6.0 6.5 5.8 5.9 5.1 6.1 5.7 6.1 5.5 5.1 - 5.5 5.1 - 5.5 5.4 - 5.6
10 KEPULAUAN RIAU 7.2 6.7 7.6 7.2 8.6 9.5 8.2 8.3 5.2 5.7 - 6.1 6.1 - 6.5 6.2 - 6.4
11 DKI JAKARTA 6.5 6.7 6.4 6.7 6.4 6.5 6.5 6.5 6.3 5.8 - 6.2 5.8 - 6.2 6.0 - 6.4
12 JAWA BARAT 6.2 6.5 6.3 6.5 6.6 5.5 6.2 5.9 5.7 6.0 - 6.4 5.8 - 6.2 6.0 - 6.2
13 JAWA TENGAH 5.8 6.0 6.5 6.6 6.0 6.3 6.3 5.7 6.1 5.9 - 6.3 5.8 - 6.2 5.8 - 6.0
14 DI YOGYAKARTA 4.9 5.2 7.1 6.0 4.1 4.3 5.3 5.1 5.7 5.6 - 6.0 5.7 - 6.1 5.5 - 5.7
15 JAWA TIMUR 6.7 7.2 7.3 7.3 7.4 7.1 7.3 6.6 7 6.9 - 7.3 6.7 - 7.1 6.8 - 7.0
16 BANTEN 6.1 6.4 6.3 6.5 5.9 5.9 6.1 5.8 5.7 6.0 - 6.4 6.0 - 6.4 5.9 - 6.1
17 BALI 5.8 6.5 6.1 6.8 6.8 6.9 6.7 6.7 6.1 6.1 - 6.5 6.2 - 6.6 6.3 - 6.5
18 NUSA TENGGARA BARAT 6.3 -3.2 -2.4 2.8 -3.7 -0.8 -1.1 4.7 3.5 3.9 - 4.3 3.4 - 3.8 4.1 - 4.3
19 NUSA TENGGARA TIMUR 5.3 5.6 5.4 4.9 5.9 5.5 5.4 5.4 5.4 5.4 - 5.8 4.9 - 5.3 5.3 - 5.5
20 KALIMANTAN BARAT 5.5 6.0 5.7 6.1 6.2 5.4 5.8 5.8 5.5 5.3 - 5. 7 5.0 - 5.4 5.3 - 5.5
21 KALIMANTAN TENGAH 6.6 6.8 6.2 6.8 7.1 6.6 6.7 6.4 7.5 6.8 - 7.2 6.3 - 6.7 6.8 - 7.0
22 KALIMANTAN SELATAN 5.6 6.1 6.4 5.9 4.7 6.0 5.7 5.6 5.5 5.1 - 5.5 5.6 - 6.0 5.4 - 5.6
23 KALIMANTAN TIMUR 5.1 4.1 6.1 5.4 2.5 2.0 4.0 0.2 1.1 2.4 - 2.8 2.6 - 3.0 1.8 - 2.0
24 SULAWESI UTARA 7.2 7.4 7.5 7.2 8.2 8.4 7.9 7.6 7.2 7.3 - 7.7 6.3 - 6.7 7.1 - 7.3
25 SULAWESI TENGGARA 8.2 9.4 10.1 10.7 11.3 7.8 9.9 9.7 7.1 10.2 - 10.7 7.2 - 7.6 8.6 - 8.8
26 SULAWESI SELATAN 8.2 7.6 8.0 8.1 8.8 2.0 8.4 7.8 6.4 7.1 - 7.5 6.5 - 6.9 7.0 - 7.2
27 SULAWESI TENGAH 8.8 9.1 10.0 9.4 6.6 11.0 9.3 10.6 11.2 10.0 - 10.4 7.2 - 7.6 9.8 - 10.0
28 GORONTALO 7.6 7.7 8.4 8.3 6.6 7.6 7.7 7.6 7.7 6.2 - 6.6 7.9 - 8.3 7.4 - 7.6
29 SULAWESI BARAT 11.9 10.3 15.6 8.9 4.0 8.2 9.0 8.4 10 10.6 - 11.0 7.4 - 7.8 8.9 - 9.1
30 MALUKU 6.5 6.1 7.6 11.7 7.9 4.3 7.8 3.2 1.9 4.2 - 4.6 6.1 - 6.5 3.9 - 4.1
31 MALUKU UTARA 8.0 6.4 7.3 7.3 6.3 5.8 6.7 6.0 6.3 5.4 - 5.8 6.2 - 6.6 6.0 - 6.2
32 PAPUA BARAT 29.8 25.8 35.8 24.6 3.9 5.2 15.8 9.9 3.6 5.5 - 5.8 5.9 - 6.3 6.1 - 6.3
33 PAPUA -3.2 -5.4 -11.2 -3.3 1.3 18.9 1.1 16.2 0.3 0.0 - 0.3 1.7 - 2.1 4.2 - 4.4
Sumber: BPS Provins i
f Proyeks i Kantor Perwaki lan Bank Indones ia
2013NO PROVINSI 2010 2011
2012
L a p o r a n N u s a n t a r a | 56
Lampiran II – Inflasi Daerah
Mar Jun Sep Des Mar Jun Sep
1 Lhokseumawe 7.19 3.55 4.15 5.92 2.47 0.39 3.19 3.66 5.63
2 Banda Aceh 4.64 3.32 3.22 3.28 1.67 0.06 1.29 3.26 5.12
3 Pdg Sidempuan 7.42 4.66 4.12 6.50 3.90 3.54 4.29 4.33 7.47
4 Sibolga 11.83 3.71 3.74 7.12 4.91 3.30 6.26 6.44 8.11
5 Pmtg Siantar 9.68 4.25 4.67 7.11 5.26 4.73 6.68 6.62 9.44
6 Medan 7.65 3.54 3.75 5.20 2.47 3.79 5.78 6.76 9.51
7 Padang 7.84 5.37 3.95 6.19 4.74 4.16 6.50 7.94 10.03
8 Pekanbaru 7.00 5.09 4.20 5.68 4.21 3.35 5.36 5.56 7.79
9 Dumai 9.05 3.09 2.75 4.39 3.47 3.21 5.56 6.28 7.53
10 Batam 7.40 3.76 3.27 3.41 1.98 2.02 3.02 3.59 6.66
11 Tanjung Pinang 6.17 3.32 2.73 3.37 4.25 3.92 5.08 6.11 9.96
12 Jambi 10.52 2.76 3.90 6.80 4.43 4.22 6.06 5.24 7.96
13 Bengkulu 9.08 3.96 3.65 4.80 4.14 4.61 7.44 7.89 9.54
14 Palembang 6.02 3.78 3.82 3.94 2.60 2.72 5.23 4.74 7.21
15 Pangkal Pinang 9.36 5.00 5.15 5.47 5.83 6.57 8.80 9.38 7.35
16 Bandar Lampung 9.95 4.24 3.42 4.66 4.32 4.30 6.81 5.29 7.68
17 Jakarta 6.21 3.97 4.13 4.12 3.97 4.52 5.70 5.67 8.37
18 Serang 6.18 2.78 3.92 5.28 4.60 4.41 7.57 7.13 10.13
19 Cilegon 6.12 2.35 2.76 4.08 4.86 3.91 6.94 6.77 8.28
20 Tangerang 6.08 3.78 3.98 4.42 4.54 4.44 6.65 7.00 9.98
21 Tasikmalaya 5.56 4.17 4.61 4.92 5.07 3.87 5.11 4.97 6.97
22 Bandung 4.53 2.75 3.76 4.00 5.13 4.02 5.11 6.08 8.40
23 Cirebon 6.70 3.20 3.59 4.04 4.28 3.36 6.29 6.38 8.25
24 Bogor 6.57 2.85 2.55 2.17 4.45 4.06 6.61 7.76 8.92
25 Sukabumi 5.43 4.26 4.69 5.25 4.20 3.98 5.56 5.55 8.38
26 Bekasi 7.88 3.45 3.26 4.28 4.99 3.46 5.42 6.80 9.55
27 Depok 7.97 2.95 2.85 4.51 4.61 4.11 6.85 7.02 10.43
28 Purwokerto 6.04 3.40 3.75 4.24 4.70 4.73 6.23 6.77 8.16
29 Surakarta 6.65 1.93 3.39 4.40 3.19 2.87 6.20 5.41 8.08
30 Semarang 7.11 2.87 3.63 4.85 5.09 4.85 6.66 5.67 7.89
31 Tegal 6.73 2.58 2.41 3.75 3.49 3.09 4.01 3.19 5.79
32 Yogyakarta 7.38 3.88 3.44 4.27 3.91 4.31 6.36 5.66 7.60
NO2012
PROVINSI 2010 20112013
L a p o r a n N u s a n t a r a | 57
Lampiran II – Inflasi Daerah (Lanjutan)
Mar Jun Sep Des Mar Jun Sep
33 Jember 7.09 2.43 2.49 4.14 4.40 4.49 6.51 5.39 7.77
34 Kediri 6.80 3.62 4.33 5.04 5.25 4.63 6.70 6.06 7.79
35 Malang 6.70 4.05 3.77 4.42 4.59 4.60 7.01 6.46 8.16
36 Surabaya 7.33 4.72 4.19 4.69 4.30 4.39 6.63 5.88 7.76
37 Sumenep 6.75 4.18 5.09 5.45 6.05 5.05 7.42 5.56 6.76
38 Probolinggo 6.68 3.78 3.19 4.67 5.56 5.88 8.20 6.40 8.02
39 Madiun 6.54 3.49 3.36 3.94 3.91 3.51 6.04 5.10 7.22
40 Pontianak 8.52 4.91 5.71 6.83 5.82 6.62 6.49 6.96 8.80
41 Singkawang 7.10 6.72 6.34 7.77 3.90 4.21 4.41 3.73 5.43
42 Palangkaraya 9.49 5.28 7.59 6.87 4.95 6.73 6.45 6.34 6.97
43 Sampit 9.53 3.60 5.54 5.61 4.53 4.69 5.56 5.81 7.87
44 Banjarmasin 9.06 3.98 6.03 5.51 5.14 5.96 5.25 4.74 7.09
45 Balikpapan 7.38 6.45 6.17 4.80 5.67 6.41 6.84 7.03 7.95
46 Samarinda 7.00 6.23 5.56 4.43 4.38 4.81 5.61 6.64 10.17
47 Tarakan 7.92 6.43 5.41 6.28 8.08 5.99 6.98 9.80 11.50
48 Manado 6.28 0.67 0.95 3.73 5.23 6.04 6.83 4.95 7.73
49 Palu 6.40 4.47 2.50 4.99 6.78 5.87 5.97 3.89 7.29
50 Makassar 6.82 2.87 4.10 3.91 4.61 4.57 4.76 4.54 7.41
51 Watampone 6.74 3.94 5.69 4.42 3.94 3.65 2.90 3.28 6.72
52 Parepare 5.79 1.60 2.00 2.54 3.78 3.49 4.67 4.50 7.41
53 Palopo 3.99 3.35 4.27 3.99 4.15 4.11 4.34 3.04 5.33
54 Kendari 3.87 5.09 5.10 4.65 2.03 5.25 3.02 3.76 7.30
55 Gorontalo 7.43 4.08 5.91 5.95 5.40 5.31 5.18 3.59 3.39
56 Ambon 8.78 2.85 8.65 6.25 7.07 6.73 2.58 1.70 9.86
57 Ternate 5.32 4.52 4.54 4.30 3.87 3.29 3.97 2.93 9.66
58 Jayapura 4.48 3.40 1.94 1.80 2.94 4.52 5.46 6.07 8.58
59 Manokwari 4.68 3.64 3.45 5.78 3.78 4.88 7.11 5.30 5.38
60 Sorong 8.13 0.90 1.72 3.69 5.98 5.12 7.76 5.91 10.80
61 Mamuju 5.12 4.91 3.81 3.24 3.71 3.28 4.19 4.30 5.86
62 Denpasar 8.10 3.75 4.52 4.32 4.37 4.71 6.47 5.47 7.91
63 Mataram 11.07 6.38 9.14 8.76 6.13 4.10 4.92 5.44 7.73
64 Bima 6.35 7.19 7.71 7.56 7.22 3.61 6.22 5.62 9.68
65 Kupang 9.97 4.32 3.11 4.37 4.66 5.10 7.06 5.56 8.88
66 Maumere 8.48 6.59 6.21 8.45 8.07 6.49 7.38 3.73 5.32
Sumber: Badan Pusat Statistik
2013NO PROVINSI 2010 2011
2012
L a p o r a n N u s a n t a r a | 58
Lampiran III – Profil Struktur Perekonomian Wilayah
[Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat]SULAMPUA
Indikator UtamaPendapatan per kapita 2010 ……….. $1.718,63Rerata pertumbuhan PDRB 2009-2012 … 6,5%Rerata inflasi 2009-2012 ……………………... 5,1%Rerata GINI Ratio 2009-2012 ……………….. 0,38Jumlah penduduk 2010 …………. 23,5 Juta JiwaRerata lama sekolah 2010…………………….. 7,67
I
Neraca Perdagangan Wilayah
Impor (M) Neto & Ekspor (X) Neto Utama
Untuk Setiap Klasifikasi Industri Karakteristik Daya Saing
Rerata 2009-2012 Untuk SITC 3, Dibagi Berdasarkan Klasifikasi Barang Non-Migas UNIDO
Pendidikan Tenaga KerjaKomposisi Berdasarkan Tingkat Pendidikan (2011)
SITC 3, Berdasarkan Klasifikasi Barang Non-Migas UNIDO
[Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur]KALIMANTAN
Indikator UtamaPendapatan per kapita 2010 ……….. $3.869,67Rerata pertumbuhan PDRB 2009-2012 … 5,1%Rerata inflasi 2009-2012 ……………………... 6,3%Rerata GINI Ratio 2009-2012 ……………….. 0,36Jumlah penduduk 2010 …………. 13,8 Juta JiwaRerata lama sekolah 2010…………………….. 7,74
II
Neraca Perdagangan Wilayah
Karakteristik Daya Saing
Rerata 2009-2012 Untuk SITC 3, Dibagi Berdasarkan Klasifikasi Barang Non-Migas UNIDO
Pendidikan Tenaga KerjaKomposisi Berdasarkan Tingkat Pendidikan (2011)
SITC 3, Berdasarkan Klasifikasi Barang Non-Migas UNIDO
Impor (M) Neto & Ekspor (X) Neto Utama
Untuk Setiap Klasifikasi Industri
(X-M) Neraca Perdagangan Non-Migas (Miliar USD)
(X-M) Neraca Perdagangan Non-Migas (Miliar USD)
[X-M]Neraca
PerdaganganNon-Migas
(Miliar USD)
[X-M]Neraca
PerdaganganNon-Migas
(Miliar USD)
SDA
N
on
-Mig
as
Tekn
olo
gi
Ren
dah
P
adat
Kar
ya
Tekn
olo
gi
Ren
dah
P
adat
Mo
dal
Tekn
olo
gi
Men
enga
hTe
kno
logi
Ti
ngg
i
SDA
No
n-M
igas
Tekn
olo
gi
Ren
dah
P
adat
Kar
ya
Tekn
olo
gi
Ren
dah
P
adat
Mo
dal
Tekn
olo
gi
Men
enga
hTe
kno
logi
Ti
ngg
i
SDA
Teknologi Rendah
Teknologi Menengah
Total Neraca PerdaganganNon-Migas
TeknologiTinggi
SDA
Teknologi Rendah
Teknologi Menengah
Total Neraca Perdagangan Non-Migas
TeknologiTinggi
Sumber Data : BPS & DSta-BI, diolah
Neraca Perdagangan WilayahSITC 3, Berdasarkan Klasifikasi Barang Non-Migas UNIDO
[Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur]BALINUSTRA
Indikator UtamaPendapatan per kapita 2010 ……….. $1.217,16Rerata pertumbuhan PDRB 2009-2012 … 4,3%Rerata inflasi 2009-2012 ………………………. 6,3%Rerata GINI Ratio 2009-2012 ………………... 0,37Jumlah penduduk 2010 …………….. 13 Juta JiwaRerata lama sekolah 2010……………………….. 7,0
III
Karakteristik Daya Saing
Rerata 2009-2012 Untuk SITC 3, Dibagi Berdasarkan Klasifikasi Barang Non-Migas UNIDO
Pendidikan Tenaga KerjaKomposisi Berdasarkan Tingkat Pendidikan (2011)
[Jawa Timur]JABAGTIM
Indikator UtamaPendapatan per kapita 2010 ……….. $2.286,81Rerata pertumbuhan PDRB 2009-2012 … 7,0%Rerata inflasi 2009-2012 ……………………... 5,0%Rerata GINI Ratio 2009-2012 ……………….. 0,35Jumlah penduduk 2010 …………. 37,5 Juta JiwaRerata lama sekolah 2010………………………. 7,0
IV
Neraca Perdagangan Wilayah
Karakteristik Daya Saing
Rerata 2009-2012 Untuk SITC 3, Dibagi Berdasarkan Klasifikasi Barang Non-Migas UNIDO
Pendidikan Tenaga KerjaKomposisi Berdasarkan Tingkat Pendidikan (2011)
SITC 3, Berdasarkan Klasifikasi Barang Non-Migas UNIDO
Impor (M) Neto & Ekspor (X) Neto Utama
Untuk Setiap Klasifikasi Industri
Impor (M) Neto & Ekspor (X) Neto Utama
Untuk Setiap Klasifikasi Industri
(X-M) Neraca Perdagangan Non-Migas (Miliar USD)
(X-M) Neraca Perdagangan Non-Migas (Miliar USD)
[X-M]Neraca
PerdaganganNon-Migas
(Miliar USD)
[X-M]Neraca
PerdaganganNon-Migas
(Miliar USD)
SDA
N
on
-Mig
as
Tekn
olo
gi
Ren
dah
P
adat
Kar
ya
Tekn
olo
gi
Ren
dah
P
adat
Mo
dal
Tekn
olo
gi
Men
enga
hTe
kno
logi
Ti
ngg
i
SDA
N
on
-Mig
as
Tekn
olo
gi
Ren
dah
P
adat
Kar
ya
Tekn
olo
gi
Ren
dah
P
adat
Mo
dal
Tekn
olo
gi
Men
enga
hTe
kno
logi
Ti
ngg
i
SDA
Teknologi Rendah
Teknologi Menengah
Total Neraca PerdaganganNon-Migas
TeknologiTinggi
SDA
Teknologi Rendah
Teknologi Menengah
Total Neraca PerdaganganNon-Migas
TeknologiTinggi
Sumber Data : BPS & DSta-BI, diolah
[Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta]JABAGTENG
Indikator UtamaPendapatan per kapita 2010 ………... $1.505,85Rerata pertumbuhan PDRB 2009-2012 … 6,0%Rerata inflasi 2009-2012 ………………………. 4,7%Rerata GINI Ratio 2009-2012 ………………... 0,38Jumlah penduduk 2010 ………….. 35,8 Juta JiwaRerata lama sekolah 2010……………………... 7,79
V
Neraca Perdagangan Wilayah
Karakteristik Daya Saing
Rerata 2009-2012 Untuk SITC 3, Dibagi Berdasarkan Klasifikasi Barang Non-Migas UNIDO
Pendidikan Tenaga KerjaKomposisi Berdasarkan Tingkat Pendidikan (2011)
SITC 3, Berdasarkan Klasifikasi Barang Non-Migas UNIDO
[Jawa Barat dan Banten]JABAGBAR
Indikator UtamaPendapatan per kapita 2010 ……….. $1.934,22Rerata pertumbuhan PDRB 2009-2012 … 6,3%Rerata inflasi 2009-2012 ………………………. 4,5%Rerata GINI Ratio 2009-2012 ……………….. 0,39Jumlah penduduk 2010 …………. 53,7 Juta JiwaRerata lama sekolah 2010……………………… 7,87
VI
Neraca Perdagangan Wilayah
Karakteristik Daya Saing
Rerata 2009-2012 Untuk SITC 3, Dibagi Berdasarkan Klasifikasi Barang Non-Migas UNIDO
Pendidikan Tenaga KerjaKomposisi Berdasarkan Tingkat Pendidikan (2011)
SITC 3, Berdasarkan Klasifikasi Barang Non-Migas UNIDO
Impor (M) Neto & Ekspor (X) Neto Utama
Untuk Setiap Klasifikasi Industri
Impor (M) Neto & Ekspor (X) Neto Utama
Untuk Setiap Klasifikasi Industri
(X-M) Neraca Perdagangan Non-Migas (Miliar USD)
(X-M) Neraca Perdagangan Non-Migas (Miliar USD)
[X-M]Neraca
PerdaganganNon-Migas
(Miliar USD)
[X-M]Neraca
PerdaganganNon-Migas
(Miliar USD)
SDA
N
on
-Mig
as
Tekn
olo
gi
Ren
dah
P
adat
Kar
ya
Tekn
olo
gi
Ren
dah
P
adat
Mo
dal
Tekn
olo
gi
Men
enga
hTe
kno
logi
Ti
ngg
iSD
A
No
n-M
igas
Tekn
olo
gi
Ren
dah
Pad
at
Kar
ya
Tekn
olo
gi
Ren
dah
P
adat
Mo
dal
Tekn
olo
gi
Men
enga
hTe
kno
logi
Ti
ngg
i
SDA
Teknologi Rendah
Teknologi Menengah
Total Neraca PerdaganganNon-Migas
TeknologiTinggi
SDA
Teknologi Rendah
Teknologi Menengah
Total Neraca PerdaganganNon-Migas
TeknologiTinggi
Sumber Data : BPS & DSta-BI, diolah
[Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, dan Kepulauan Bangka Belitung]SUMBAGSEL
Indikator UtamaPendapatan per kapita 2010 ………... $1.904,90Rerata pertumbuhan PDRB 2009-2012 … 3,2%Rerata inflasi 2009-2012 ………………………. 5,3%Rerata GINI Ratio 2009-2012 ………………... 0,34Jumlah penduduk 2010 ………….. 19,7 Juta JiwaRerata lama sekolah 2010……………………... 7,56
VII
Neraca Perdagangan Wilayah
Karakteristik Daya Saing
Rerata 2009-2012 Untuk SITC 3, Dibagi Berdasarkan Klasifikasi Barang Non-Migas UNIDO
Pendidikan Tenaga KerjaKomposisi Berdasarkan Tingkat Pendidikan (2011)
SITC 3, Berdasarkan Klasifikasi Barang Non-Migas UNIDO
[Sumatera Barat, Jambi, Riau, dan Kepulauan Riau]SUMBAGTENG
Indikator UtamaPendapatan per kapita 2010 ……….. $2.178,24Rerata pertumbuhan PDRB 2009-2012 … 5,6%Rerata inflasi 2009-2012 ………………………. 4,9%Rerata GINI Ratio 2009-2012 ……………….. 0,33Jumlah penduduk 2010 …………. 15,1 Juta JiwaRerata lama sekolah 2010……………………… 8,28
VIII
Neraca Perdagangan Wilayah
Karakteristik Daya Saing
Rerata 2009-2012 Untuk SITC 3, Dibagi Berdasarkan Klasifikasi Barang Non-Migas UNIDO
Pendidikan Tenaga KerjaKomposisi Berdasarkan Tingkat Pendidikan (2011)
SITC 3, Berdasarkan Klasifikasi Barang Non-Migas UNIDO
Impor (M) Neto & Ekspor (X) Neto Utama
Untuk Setiap Klasifikasi Industri
Impor (M) Neto & Ekspor (X) Neto Utama
Untuk Setiap Klasifikasi Industri
(X-M) Neraca Perdagangan Non-Migas (Miliar USD)
(X-M) Neraca Perdagangan Non-Migas (Miliar USD)
[X-M]Neraca
PerdaganganNon-Migas
(Miliar USD)
[X-M]Neraca
PerdaganganNon-Migas
(Miliar USD)
SDA
N
on
-Mig
as
Tekn
olo
gi
Ren
dah
P
adat
Kar
ya
Tekn
olo
gi
Ren
dah
P
adat
Mo
dal
Tekn
olo
gi
Men
enga
hTe
kno
logi
Ti
ngg
iSD
A
No
n-M
igas
Tekn
olo
gi
Ren
dah
P
adat
Kar
ya
Tekn
olo
gi
Ren
dah
P
adat
Mo
dal
Tekn
olo
gi
Men
enga
hTe
kno
logi
Ti
ngg
i
SDA
Teknologi Rendah
Teknologi Menengah
Total Neraca PerdaganganNon-Migas
TeknologiTinggi
SDA
Teknologi Rendah
Teknologi Menengah
Total Neraca PerdaganganNon-Migas
TeknologiTinggi
Sumber Data : BPS & DSta-BI, diolah
[Sumatera Utara dan Nangroe Aceh Darussalam]SUMBAGUT
Indikator UtamaPendapatan per kapita 2010 ………... $2.230,95Rerata pertumbuhan PDRB 2009-2012 … 5,9%Rerata inflasi 2009-2012 ………………………. 5,1%Rerata GINI Ratio 2009-2012 ………………... 0,32Jumlah penduduk 2010 ………….. 17,4 Juta JiwaRerata lama sekolah 2010……………………... 8,66
IX
Neraca Perdagangan Wilayah
Karakteristik Daya Saing
Rerata 2009-2012 Untuk SITC 3, Dibagi Berdasarkan Klasifikasi Barang Non-Migas UNIDO
Pendidikan Tenaga KerjaKomposisi Berdasarkan Tingkat Pendidikan (2011)
SITC 3, Berdasarkan Klasifikasi Barang Non-Migas UNIDO
[Daerah Khusus Ibukota Jakarta]DKI JAKARTA
Indikator UtamaPendapatan per kapita 2010 ……….. $9.875,89Rerata pertumbuhan PDRB 2009-2012 … 5,9%Rerata inflasi 2009-2012 ………………………. 5,1%Rerata GINI Ratio 2009-2012 ……………….. 0,32Jumlah penduduk 2010 …………. 13,7 Juta JiwaRerata lama sekolah 2010……………………… 8,6
Neraca Perdagangan Wilayah
Karakteristik Daya Saing
Rerata 2009-2012 Untuk SITC 3, Dibagi Berdasarkan Klasifikasi Barang Non-Migas UNIDO
Pendidikan Tenaga KerjaKomposisi Berdasarkan Tingkat Pendidikan (2011)
SITC 3, Berdasarkan Klasifikasi Barang Non-Migas UNIDO
Impor (M) Neto & Ekspor (X) Neto Utama
Untuk Setiap Klasifikasi Industri
Impor (M) Neto & Ekspor (X) Neto Utama
Untuk Setiap Klasifikasi Industri
(X-M) Neraca Perdagangan Non-Migas (Miliar USD)
(X-M) Neraca Perdagangan Non-Migas (Miliar USD)
[X-M]Neraca
PerdaganganNon-Migas
(Miliar USD)
[X-M]Neraca
PerdaganganNon-Migas
(Miliar USD)
SDA
N
on
-Mig
as
Tekn
olo
gi
Ren
dah
P
adat
Kar
ya
Tekn
olo
gi
Ren
dah
P
adat
Mo
dal
Tekn
olo
gi
Men
enga
hTe
kno
logi
Ti
ngg
i
SDA
No
n-
Mig
as
Tekn
olo
gi
Ren
dah
P
adat
Kar
ya
Tekn
olo
gi
Ren
dah
P
adat
Mo
dal
Tekn
olo
gi
Men
enga
hTe
kno
logi
Ti
ngg
i
SDA
Teknologi Rendah
Teknologi Menengah
Total Neraca PerdaganganNon-Migas
TeknologiTinggi
SDA
Teknologi Rendah
Teknologi Menengah
Total Neraca PerdaganganNon-Migas
TeknologiTinggi
Sumber Data : BPS & DSta-BI, diolah
Editor
Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter
Kontributor
Kantor Perwakilan Wilayah II – Kalimantan
Kantor Perwakilan Wilayah VI – Jawa Bagian Barat
Kantor Perwakilan Wilayah VIII – Sumatera Bagian Tengah
L a p o r a n N u s a n t a r a