32

OCHA, 2011

  • Upload
    hahuong

  • View
    233

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: OCHA, 2011
Page 2: OCHA, 2011

Salam hangat para pembaca Geospasial Edisi April 2016,

Pada edisi ini majalah geopasial akan membahas gerhana matahari dan pemberdayaan masyarakat.

Edisi April 2016 juga membahas mengenai geografi ekonomi dan kota.

Peran serta dosen geografi yang melakukan pemberdayaan masyarakat mengenai pertanian

perkotaan di Kota Depok. Pemanfaatan ruang perkotaan menjadi perhatian khusus untuk

pemenuhan kebutuhan sehari-hari masyarakat.

Akhir kata selamat membaca, dan sukses selalu dalam pekerjaan dan berkarya membangun bangsa

dan negara.

Salam Redaksi

DARI REDAKSI

Volume 14 / No. 1 / April 2016

TIM REDAKSI

Penasehat - Dr. Rokhmatuloh, M.Eng

Redaksi - Adi Wibowo, Iqbal Putut Ash Shidiq, Laju Gandharum, Ratri Candra,

Weling Suseno, Rendy P, Ardiansyah

Staf Ahli - Astrid Damayanti, Sugeng Wicahyadi, Supriatna, Triarko Nurlambang

Alamat Redaksi - Departemen Geografi FMIPA UI, Kampus UI Depok

Diterbitkan oleh: Forum Komunikasi Geografi Universitas Indonesia

Redaksi menerima artikel/opini/pendapat dan saran dari pembaca, utamanya berkaitan dengan masalah keruangan.

Page 3: OCHA, 2011

DAFTAR ISI

Dari Redaksi Daftar Isi - 01

Vertikultur: Inovasi Pertanian di Kawasan Urban - 02 Runtuhnya Ilmu Ekonomi Tradisional - 08

Kereta Api Cepat Dalam Perspektif Ilmu Geografi - 13 Menggapai Keberlanjutan Kota: Suatu Ulasan - 16

Maret, Bulannya

Gerhana - 24

Bincang-Bincang Bersama Dr. Djoko Harmantyo, M. S. - 26 The 13th International Asian Urbanization Conference: Rapid Urbanization and Sustainable Development in Asia - 28

Southeast Asia Geographer Association (SEAGA): Wadah Geograf di tingkat ASEAN - 29

Volume 14 / No. 1 / April 2016

Page 4: OCHA, 2011

GEOGRAFIANA

Latar Belakang

Pada saat ini, lahan di perkotaan

sudah mulai terbatas, sehingga

masyarakat di perkotaan mulai

kekurangan ruang untuk

bersentuhan dengan budidaya

pertanian. Maka dengan

perkembangan ilmu pengetahuan

yang semakin meningkat,

diciptakan sistem inovasi pertanian

baru dengan pola tanam ke atas

yaitu vertikultur. Sistem budidaya

pertanian secara vertikal atau

bertingkat ini merupakan konsep

penghijauan yang cocok untuk

daerah dengan lahan terbatas.

Misalnya, lahan 1 meter mungkin

hanya bisa untuk menanam 5

batang tanaman, dengan sistem

vertikal bisa untuk 20 batang

tanaman. Sementara itu,

vertikultur organik adalah budidaya

tanaman secara vertikal dengan

menggunakan sarana media

tanam, pupuk, dan pestisida yang

berasal dari bahan organik non

kimiawi. Tanaman organik yang

dapat dibudidayakan dan sesuai

dengan sistem vertikultur adalah

jenis tanaman sayur-sayuran dan

tanaman obat-obatan yang

memiliki perakaran yang dangkal

dan memiliki berat yang relatif

ringan sehingga tidak akan terlalu

membebani media tanam

vertikultur pada pertumbuhan

tanaman tersebut (Manurung,

Yesica Lenaria, 2014).

Kelurahan Beji ini merupakan salah

satu kelurahan di Kecamatan Beji

Kota Depok, Provinsi Jawa Barat.

Kelurahan Beji merupakan daerah

padat penduduk dengan luas

wilayah 216,710 Ha. Kelurahan Beji

terbagi ke dalam 102 RT dan 16 RW.

Sebagian besar penduduknya

berasal dari suku Jawa, Sunda dan

Betawi. Sebagian daerahnya

(sebagai contoh daerah RW 04 dan

RW 17) sekitar rumah terdapat

tumpukan sampah plastik, kardus,

serta barang bekas rumah tangga.

Kondisi saluran air atau drainase

juga kurang baik, banyak sampah

yang menyumbat saluran drainase.

Hingga saat ini, warga di Kelurahan

Beji khususnya RW 04 dan RW 17

belum memanfaatkan tanaman

sekitar rumah secara tepat baik

untuk menghasilkan produk

ekonomi maupun untuk

menunjang kebersihan lingkungan.

Kemampuan penduduk dalam

pemanfaatan lahan sekitar rumah

juga masih kurang. Belum ada

kelompok masyarakat yang

memanfaatkan lahan dan hasil

usaha dari lahan sekitar rumah.

Selain itu jaringan untuk

memasarkan hasil usaha lahan

sekitar rumah juga belum

terbentuk.

Peningkatan produktifitas dan

pengembangan produk ditentukan

oleh penguasaan, perbaikan dan

inovasi teknologi. Perbaikan dan

modernisasi teknologi merupakan

isu yang sangat krusial yang harus

diupayakan secara sungguh-

sungguh untuk mendorong proses

peningkatan kesehatan dan

pendapatan. Agar usaha

meningkatkan kebersihan dan

pendapatan berjalan secara

kesinambungan, maka diperlukan

kemitraan usaha dengan pihak lain.

(Antholt, 2001; Barton, Hugh dan

Catrherine, 2000; Susilowati dkk.,

2009, Susilowati dkk., 2013).

Mitra dalam kegiatan ini adalah ibu

-ibu PKK di Kelurahan Beji yang

sebagian besar belum

memanfaatkan lahan sekitar rumah

dengan baik.

Volume 14 / No. 1 / April 2016

Oleh: M.H. Dewi Susilowati ([email protected]), Tuty Handayani ([email protected]),

dan Ratna Saraswati ([email protected])

Page 5: OCHA, 2011

Mitra ini dipilih, karena merupakan ibu rumah tangga

yang mempunyai waktu untuk mengelola lahan sekitar

rumah. Oleh karena itu, mitra yang dipilih dari anggota

PKK dinilai tepat untuk mengembangkan program ini

melalui teknologi pertanian vertikultur di sekitar

rumah, dengan tujuan untuk kebersihan dan

meningkatkan pendapatan keluarga.

Tujuan Kegiatan

Tujuan kegiatan pengabdian masyarakat ini adalah

pembuatan dan pengembangan vertikultur pada

lingkungan perumahan di Kelurahan Beji, Kecamatan

Beji, Kota Depok, Provinsi Jawa Barat, meliputi

kegiatan:

1) Memberikan bimbingan/pelatihan cara membuat

vertikultur pada ruang sekitar rumah;

2) Membentuk kelompok kerja agar kerjasama usaha

bisa berkembang;

3) Menjalin kemitraan usaha dengan pihak lain,

seperti pemerintah lokal (Dinas Pertanian, Aparat

kelurahan, Aparat RW), PKK Kelurahan dan

Kelompok Depok Berkebun agar usaha dapat

dikembangkan dan berkelanjutan.

Manfaat Kegiatan

Manfaat yang diperoleh peserta setelah selesai

Pelatihan, antara lain:

1) Peserta mampu membuat vertikultur pada lahan

sekitar rumah, sehingga lingkungan menjadi

bersih dan hasilnya dapat dikonsumsi oleh

keluarga;

2) Peserta mampu membentuk kelompok kerja,

sehingga vertikultur dapat berkembang dan

berkelanjutan;

3) Peserta mampu bekerjasama dengan pemerintah

lokal, (Dinas Pertanian, Aparat kelurahan, Aparat

RW), PKK Kelurahan dan Kelompok Depok

Berkebun, sehingga vertikultur dapat

dikembangkan dan berkelanjutan.

Metode Kegiatan

Untuk meningkatkan ketrampilan dalam usahanya,

maka diperlukan bimbingan dan pelatihan kegiatan

cara pembuatan dan pengembangan vertikultur

maupun manajemen pengembangan usaha dengan

kemitraan. Metode kegiatan pelatihan ini adalah:

1) Metode Focus Group Discussion (FGD); FGD

mengenai teknik pembuatan dan pengembangan

vertikultur, untuk jenis tanaman yang cocok;

2) Metode ceramah untuk menjelaskan pembuatan

dan pengembangan vertikultur yang cocok untuk

lingkungan perumahan;

3) Metode Diskusi Kelompok; setiap kelompok

berdiskusi bagaimana cara pembuatan dan

pengembangan vertikultur;

4) Praktik; masing-masing peserta mempraktikkan

bagaimana cara pembuatan vertikultur.

Evaluasi terhadap keberhasilan program dengan cara

menilai kemampuan peserta pelatihan dilakukan

meliputi:

1) Evaluasi pertama (pre-test): dilakukan wawancara

lisan terhadap peserta sebelum pelatihan

(sebelum diberikan materi pelatihan), yang

bertujuan untuk mengetahui sejauh mana

pengetahuan dan pemahaman peserta sebelum

diberikan materi tentang teknologi pembuatan

vertikultur sekitar rumah. Materi pertanyaan

mengenai budidaya tanaman semusim mulai dari

persiapan peralatan, persiapan benih dan bibit,

pembuatan wadah tanaman media tanam,

pembibitan, penanaman, pemupukan,

pemeliharaan dan pemanenan.

2) Evaluasi kedua (post-test): dilakukan setelah

diberikan materi dengan ceramah, diskusi maupun

praktik, bertujuan untuk melihat seberapa jauh

peningkatan pengetahuan, pemahaman dan

ketrampilan peserta terhadap teknologi

pembuatan vertikultur sekitar rumah. Penilaian

keterampilan dilakukan dengan menilai proses

pratek dan hasil praktik. Pertanyaan post-test dibu-

at sama dengan pre-test agar diketahui sejauh ma-

na peningkatan pengetahuan dan pemahaman

diukur dengan ukuran yang sama. Penilaian

ketrampilan dilakukan dengan menilai proses

pratek dan hasil praktik.

Peningkatan kemampuan peserta dinilai dari hasil pre-

test dan post-test dan diuji dengan metode statistik,

menggunakan uji ― A Paired comparisons t Test‖.

Proses perhitungan besarnya t digunakan program

SPSS (Statistical Product and Service Solotions) dan

dapat diinterpretasikan dari output yang diperoleh.

Volume 14 / No. 1 / April 2016

Page 6: OCHA, 2011

Rumus yang digunakan, adalah

sebagai berikut (Earickson R & John

Harlin, 1994):

dimana,

, , dan

Pelaksanaan Pelatihan dan

Bimbingan

Sebelum pelaksanaan pelatihan

dimulai, diadakan FGD pada

tanggal 3 Agustus 2015 untuk

menentukan tanaman yang akan

dikembangkan di Kelurahan Beji.

Dari hasil FGD disepakati tanaman

semusim yang berupa sayuran.

Pelaksanaan pelatihan dilakukan

selama 3 hari yaitu pada tanggal

12 , 22, dan 25 Agustus 2015.

Kegiatan pelatihan dengan metode

pembelajaran kelompok, yang

dipandu oleh narasumber maupun

tim pengabdi. Pelaksanaan

pelatihan untuk ceramah

bertempat di kelurahan Beji, untuk

kegiatan praktik dilakukan di

halaman rumah ketua RT 03 (RW

04) dan ketua RW 17.

Praktik pembuatan vertikultur

dilakukan setelah peserta

mendapatkan materi ceramah dari

narasumber yang berasal dari Dinas

Pertanian maupun anggota

kelompok Depok Berkebun.

Kegiatan FGD dan pelatihan

dilakukan dalam 4 hari, dengan

rincian kegiatan sebagai berikut: (1)

Pada tanggal 3 Agustus 2015; FGD

dengan ibu-ibu PKK di Kelurahan

Beji: materi FGD meliputi

pelaksanaan pelatihan, jenis

tanaman yang diinginkan, teknik

penanaman. Pembentukan

kelompok kerja/usaha dipandu

oleh tim pengabdi dan dibantu

oleh pengurus PKK. Jumlah

kelompok ada 8, terdiri dari 4

kelompok di RW 04 dan 4

kelompok di RW 17. Ketua

kelompok dipilih yang bersedia

ditempatkan contoh vertikultur; (2)

Pada tanggal 12 Agustus 2015; ce-

ramah dan diskusi yang

disampaikan oleh narasumber dari

Dinas Pertanian dan Depok

Berkebun. Materi yang dijelaskan

dari kelomok Depok Berkebun

pada sesi pertama jam 10.00 WIB

hingga 11.30 WIB mengenai

pembuatan dan pengembangan

vertikultur. Dilanjutkan pada sesi

kedua jam 11.30 WIB hingga 13.00

WIB oleh narasumber dari Dinas

Pertanian menjelahkan program

pemanfaatan lahan pekarangan di

Kota Depok dan contoh-contoh

vertikultur yang direncanakan

untuk dikembangkan. Kemudian

sesi terakhir dilanjutkan dengan

diskusi dan tanya jawab, sekaligus

ditampilkan contoh-contoh

tanaman vertikultur; (3) Pada

tanggal 22 Agustus 2015; kegiatan

praktik di RW 17 yang dipandu oleh

narasumber dan tim pengabdi dim-

ulai pada jam 09.00 WIB. Kegiatan

yang dilakukan meliputi cara pem-

buatan wadah, media tanam, pem-

benihan, pemindahan bibit, pena-

naman hingga

pemeliharaan. (4) Pada tanggal 25

Agustus 2015; kegiatan praktik di

RW 04 yang dipandu oleh

narasumber dan tim pengabdi

dimulai pada jam 08.30 WIB.

Kegiatan yang dilakukan meliputi

cara pembuatan wadah, media

tanam, pembenihan, pemindahan

bibit, penanaman hingga

pemeliharaan.

Pendampingan Agustus –

November 2015; kegiatan

pendampingan di RW 17 maupun

RW 04 dipandu oleh tim pengabdi.

Kegiatan yang dilakukan meliputi

cara pembenihan, pemindahan

bibit, penanaman, pemeliharaan,

pemanenan dan pengembangan.

Pendampingan telah dilakukan

sejak bulan awal Agustus hingga

akhir November 2015 dengan

kegiatan pengembangan dari

penyediaan benih, penyiapan

media tanam, pembibitan,

penanaman, pemeliharaan dan

pemanenan. Pada RW 04 terdapat

satu kelompok yang belum dapat

mengembangan dengan baik,

namun tiga kelompok yang lain

dapat mengembangkan dengan

baik. Pada RW 17, semua kelompok

relatif dapat mengembangkan,

namun tedapat satu kelompok

yang pengembangannya relatif

lambat dibanding dengan ketiga

kelompok yang lain.

“Sistem

budidaya

pertanian

secara vertikal ini

merupakan

konsep

penghijauan

yang cocok

untuk daerah

dengan lahan

terbatas”

Volume 14 / No. 1 / April 2016

Page 7: OCHA, 2011

Peserta Pelatihan

Praktik Vertikultur

Kelompok Usaha

Kelompok usaha yang telah terbentuk diharapkan

dapat bersaing untuk mengembangkan usaha tanaman

yang dikelolanya, namun dalam pelaksanaan tidak

terjadi persaingan, tetapi dikerjakan secara bersama,

sehingga hasilnya juga dirasakan bersama. Sampai saat

ini hasil yang diperoleh masih pada taraf dikonsumsi

sendiri oleh penduduk setempat.

Sebelum pelatihan pembuatan dan pengembangan

vertikultur dimulai, maka dilakukan terlebih dahulu

pembentukan kelompok kerja. Rencana peserta

pelatihan 40 ibu-ibu PKK, namun dalam pelaksanaan

lebih dari 50 orang.

Dalam pemeliharaan dan pengembangan tanaman

ditetapkan 40 orang yang komitmen dalam kerjasama.

Pembagian kelompok tetap seperti rencana semula,

dipandu oleh tim pengabdi dan pengurus PKK.. Tugas

kelompok adalah pemeliharaan dan pengembangan

vertikultur. Peserta yang terpilih berjumlah 40 orang,

dibagi menjadi 8 kelompok, yang terdiri dari 4

kelompok ibu-ibu PKK RW 04 dan 4 kelompok ibu-ibu

RW 17.

Kemitraan Usaha

Untuk menjalin kemitraan usaha antara ibu-ibu PKK

dengan pemerintah lokal, maka diperlukan koordinasi

dengan dinas terkait seperti Dinas Pertanian. Peran

Dinas Pertanian ini akan memberikan penjelasan

program yang berkelanjutan dalam pemanfaatan lahan

pekarangan dan program pengembangan vertikultur,

serta menjadi narasumber dalam kegiatan

pengembangan tersebut.

Menjalin kemitraan antara ibu-ibu PKK dengan

kelompok masyarakat Depok berkebun agar usaha

pembuatan dan pengembangan vertikultur dapat

berkelanjutan. Anggota masyarakat berkebun ini

memberikan bimbingan dalam pengembangan

vertikultur.

Dalam menjalin kemitraan usaha pengembangan

vertikultur agar berkelanjutan, harus ada keterlibatan

Lurah Beji. Lurah dapat membantu dalam pemeliharaan

kelompok kerja maupun pengembangan vertikultur.

Membantu anggota PKK dalam koordinasi dengan

Dinas Pertanian maupun kelompok masyarakat Depok

berkebun. Diharapkan pengurus PKK Kelurahan dapat

menggerakkan dan memelihara kelompok kerja yang

sudah ada, agar usaha pengembangan vertikultur

dapat berkelanjutan, serta koordinasi dengan kelompok

masayrakat Depok berkebun.

Kemampuan Peserta Pelatihan

Hasil analisis dari nilai wawancara dengan wawancara

(pre-test) dan penilaian setelah kegiatan pelatihan

maupun bimbingan (post test), dapat diketahui bahwa

secara umum, pelatihan ini telah mampu memberikan

kontribusi positif kepada ibu-ibu PKK yaitu dengan

meningkatnya pengetahuan, pemahaman maupun

ketrampilan dalam pembuatan dan pengembangan

vertikultur sekitar rumah.

Apabila dibandingkan antara nilai hasil pelaksanaan pre

-test dan post-test maka diperoleh gambaran

peningkatan pengetahuan, pemahaman dan

keterampilan peserta di RW 17. Peningkatan terlihat

dari kenaikan nilai peserta dan hasil tanaman yang

diperoleh, seperti penilaian antar kelompok di RW 17,

maka kelompok I, II, IV lebih baik dibandingkan

kelompok III, terlihat dari proses persiapan wadah dan

media tanaman, persiapan benih dan bibit, penanaman,

peliharaan dan pemanenan.

Volume 14 / No. 1 / April 2016

Page 8: OCHA, 2011

Untuk penilaian antar individu di

RW 17 terlihat bahwa pada saat pre

-test, terdapat 12 orang (60 %)

mendapat nilai < 55, namun setelah

mengikuti pelattihan dan

bimbingan tidak ada yang

mendapatkan nilai < 55. Kemudian

peserta yang mendapatkan nilai

antara 65 – 74, mengalami

kenaikan dari 3 orang (15%)

menjadi 7 orang (35%). Selanjutnya

peserta yang mendapatkan nilai

antara 75 – 84, juga mengalami

kenaikan dari 3 orang (15 %)

menjadi 9 orang (45 %). Demikian

pula peserta pada saat pre test

tidak ada yang mendapatkan nilai ≥

85, setelah mengikuti pelatihan dan

bimbingan nilai post-tes terlihat

meningkat menjadi 4 orang (20 %)

yang memperoleh nilai ≥85.

Peningkatan kemampuan peserta

juga diuji dengan metode statistik,

menggunakan uji ― A Paired com-

parisons t Test‖. Hasil analisis dari

nilai wawancara (pre-test) dan

penilaian setelah kegiatan

pelatihan maupun bimbingan (post

test), dapat diketahui bahwa secara

umum, pelatihan ini telah mampu

memberikan kontribusi positif

kepada ibu-ibu PKK Kelurahan Beji.

Yaitu peningkatan pengetahuan,

pemahaman maupun ketrampilan

dalam pembuatan dan

pengembangan vertikultur sekitar

rumah atau dapat dikatakan

pelatihan meningkatkan kualitas

peserta dalam memanfaatkan

teknlogi pertanian vertikultur.

Berdasarkan output paired sample

test untuk kelompok pemanfaatan

lahan pekarangan, terlihat bahwa t

hitung sebesar 7,739 dengan

probabilitas 0.000, karena

probabilitas < 0,05, maka Ho

ditolak, atau kemampuan sebelum

dan sesudah bimbingan relatif

berbeda. Dengan kata lain,

pelatihan dan bimbingan tersebut

efektif dalam menaikan

kemampuan pembuatan dan

pengembangan vertikultur secara

nyata.

Dilakukan hal yang sama untuk RW

04 dengan membandingkan antara

nilai hasil pre-test dan post-test

maka diperoleh gambaran

peningkatan pengetahuan,

pemahaman dan keterampilan

peserta. Peningkatan terlihat dari

kenaikan nilai peserta dan hasil

tanaman yang diperoleh, seperti

penilaian antar kelompok di RW 04,

maka kelompok I, III, IV lebih baik

dibandingkan kelompok II, terlihat

dari proses persiapan wadah dan

media tanaman, persiapan benih

dan bibit, penanaman, peliharaan

dan pemanenan.

Untuk penilaian antar individu di

RW 04 terlihat bahwa pada saat pre

-test, terdapat 9 orang (45 %)

mendapat nilai < 55, namun setelah

mengikuti pelattihan dan

bimbingan tidak ada yang

mendapatkan nilai < 55. Kemudian

peserta yang mendapatkan nilai

antara 65 – 74, mengalami

kenaikan dari 4 orang (20%)

menjadi 9 orang (45%). Selanjutnya

peserta yang mendapatkan nilai

antara 75 – 84, juga mengalami

kenaikan dari 3 orang (15%)

menjadi orang (35%).

Paired Differences

t Df Sig.

(2 –tailed)

Mean Std.

Deviation

Std. Error

Mean

95% Confidence Interval of

the Difference

Lower Upper

Pair 1 PostT-PreT 26.450 15.285 3.418 19.296 33.604 7.739 19 0.000

Tabel 1. Paired Samples Test RW 17

Volume 14 / No. 1 / April 2016

Page 9: OCHA, 2011

Demikian pula peserta pada saat pre test terdapat 1 orang

(5%) yang mendapatkan nilai ≥ 85, setelah mengikuti

pelatihan dan bimbingan nilai post-tes terlihat meningkat

menjadi 4 orang (20 %) yang memperoleh nilai ≥85.

Peningkatan kemampuan peserta juga diuji dengan metode

statistik, menggunakan uji ― A Paired comparisons t Test‖.

Hasil analisis dari nilai wawancara dengan kuisioner (pre-test)

dan penilaian setelah kegiatan pelatihan maupun bimbingan

(post test), dapat diketahui bahwa secara umum, pelatihan ini

telah mampu memberikan kontribusi positif kepada ibu-ibu

PKK Kelurahan Beji. yaitu peningkatan pengetahuan,

pemahaman maupun ketrampilan dalam pembuatan dan

pengembangan vertikultur sekitar rumah atau dapat

dikatakan pelatihan meningkatkan kualitas peserta dalam

memanfaatkan teknlogi pertanian.Berdasarkan output paired

sample test untuk kelompok pemanfaatan lahan pekarangan,

terlihat bahwa t hitung sebesar 6,543 dengan probabilitas

0.000, karena probabilitas < 0,05, maka Ho ditolak, atau

kemampuan sebelum dan sesudah bimbingan relatif berbeda.

Dengan kata lain, pelatihan dan bimbingan tersebut efektif

dalam menaikan kemampuan pembuatan dan

pengembangan vertikultur secara nyata.

Kesimpulan

1) Telah dilakukan pelatihan maupun bimbingan terhadap

ibu-ibu PKK, sehingga ruang sekitar rumah telah

dimanfaatkan dengan tanaman bertingkat.

Pengembangan vertikultur telah dilakukan oleh

beberapa kelompok;

2) Telah terbentuk kelompok usaha pembuatan dan

pengembangan vertikultur, walaupun belum semua

peserta dapat mengembangkan dengan baik;

3) Telah terbentuk kerjasama antar kelompok usaha dan

pemerintah lokal, maupun kelompok Depok berkebun

agar usaha dapat berkembang dan lestari;

4) Hasil evaluasi menunjukkan bahwa terdapat peningkatan

kemampuan dalam pembuatan dan pengembangan

vertikultur dari sebelum dan sesudah pelatihan maupun

pendampingan.

Saran

1) Perlu pendampingan secara terus menerus, sehingga

pemanfaatan ruang sekitar rumah dapat berkembang

secara luas dan lestari;

2) Perlu adanya teknologi pertanian alternatif (hidroponik)

untuk lahan sekitar rumah yg lebih luas.

DAFTAR PUSTAKA

Antholt, C.H. 2001. Agricultural Extension in the Twenty-First Century. In Eicher and

Staatz International Agricultural Development. Third Edition. Johns Hopkins.

Antholt, C.H. 2001. Agricultural Extension in the Twenty-First Century. In Eicher and

Staatz International Agricultural Development. Third Edition. Johns Hopkins.

Achi 2014 Sistem Tanam Vertikultur bagi Tanaman Organik. Kategori: Berita Terkini

3.902. Sumber: Yesica Lenaria Manurung, Institut Pertanian Bogor Melalui http://

green.kompasiana.com/penghijauan/2014/05/08/sistem-tanam-vertikultur-bagi-

tanaman-organik-654915.html.

Apriyanti, Rosy Nur. 2016. Hidroponik Perkotaan. Jakarta: Trubus Swadaya.

Barton. Hugh & Catrherine Tsourou 2000. Healthy Urban Planning. London and New

York: Spon Press.

CERD, (2004). Community Empowerment for Rural Development, http://

www.cerd.or.id.

De Nooy, w, MrVar, and Batagelj, V, 2005. Exploratory Social Network Analysis With

Pajek. Cambridge University Press.

Danoesastro, Haryono. 1978. Tanaman Pekarangan dalam Usaha Meningkatkan

Ketahanan Rakat Pedesaan‖. Agro – Ekonomi.

Delivery, 2004a. Pemberdayaan Masyarakat, http://www.deliveri.org/guidelines/

policy/ pg_3/pg_3_summary.htm.

Delivery, 2004b, Pemberdayaan Masyarakat dalam Praktek, p1, http://

www.deliveri.org/ guidelines/how/hm_7/hm_7_summaryi.htm.

Earickson R & John Harlin, 1994. Geographic Measurement and Quantitative Analysis.

Macmillan College Publishing Company, New York.

Fitriana, Nur 2014. Kembali Melirik Vertikultur untuk Budidaya Sayuran . Hak Cipta © 2011-

2014 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Selatan.

Glanz. Karen, Barbara K. Rimer, K. Viswanath 2008 . Health Behavior and Health

Education. Theory, Reasearch, and Practice. USA: Jossey-Bass.

Gruber, Denis, 2008. Interduction in social Network analysis. Theoretical Approaches

and Empirical Analysis with computer-assisted progammes. State University of St.

Petersburg. Faculty of Sociology. DAAD.

Opi, Nofiandi & Tinton DP. 2015. Urban Farming Ala Indonesia Berkebun. Jakarta:

Agromedia Pustaka.

Prasetyo Bambang. 2013. Budi Daya Sayuran Organik di Pot. Yogyakarta: Lily Publisher.

Paeru R.H & Trias Qurnia Dewi. 2015. Panduan Praktis Bertanam sayuran di

Pekarangan. Jakarta: Penebar Swadaya.

Rustiadi, E. & R. Wafda. 2008. Urgensi pengembangan lahan pertanian pangan abadi

dalam perspektif ketahanan pangan. Dalam Penyelamatan tanah, air dan

lingkungan. Yayasan Obor Indonesia.

Redaksi Agromedia, 2010. Bertanam Tanaman Buah dan Sayuran. PT Agromedia

Pustaka.

Subejo dan Iwamoto, Noriaki, 2003. Labor Institutions in Rural Java: A Case Study in

Yogyakarta Province, Working Paper Series No. 03-H-01, Department of Agriculture

and Resource Economics, The University of Tokyo.

Subejo, (2004). Metodologi Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat, Fakultas Pertanian

UGM

Sukotjo, W, 1996. Kemitraan Usaha; Suatu Telaah Konsep. Media Pengkajian

Perkoperasian dan Pengusaha Kecil. INFOKOP No. 15 Tahun XII 1995/1996.

Sumarto, Sudarno, Asep Suryahadi, and Wenefrida Widyanti, 2002. Designs and

Implementation of the Indonesian Social Safety Net Programs‘ [Desain dan

Implementasi Program Jaring Perlindungan Sosial di Indonesia] dalam Developing

Economics. Susilowati MH.Dewi, Tuty H, Ratna S, D. Susiloningyas, 2009. Model Kemitraan

Pemerintah Lokal, Pengusaha, LSM Dalam Rangka Pemberdayaan Pedagang Sayur

dan Buah pada Masyarakat Miskin di Kelurahan Jatinegara dan Pulogebang,

Kecamatan Cakung, Jakarta Timur. Hibah PHKI, Universitas Indonesia.

Susilowati MH.Dewi, Tuty H, Ratna S, D. Susiloningtyas, 2010. Pemberdayaan

Pedagang Sayur dan Buah pada Masyarakat Miskin di Kelurahan Jatinegara,

Kecamatan Cakung, Jakarta Timur Melalui Pengelolaan Sisa Dangangan. Hibah

PHKI, Universitas Indonesia.

Susilowati MH.Dewi, Tuty H, Ratna S, D Susiloningtyas, 2010. Pemberdayaa Masyarakat

Desa Ngargorejo. Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah Melalui

Pemanfaatan Lahan Pekarangan. Hibah PHKI, Universitas Indonesia.

Susilowati MHD, Tuty Handayani, Ratna Saraswati 2012. Pemetaan Kantong

Kemiskinan dan Potensi Wilayah Untuk Pemberdayaan Keluarga Miskin di

Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Hibah Stranas, Universitas Indonesia.

Volume 14 / No. 1 / April 2016

Paired Differences

t Df Sig.

(2 –tailed)

Mean Std.

Deviation

Std. Error

Mean

95% Confidence Interval of

the Difference

Lower Upper

Pair 1 Post-Pre 20.000 13.669 3.056 13.603 26.397 6.543 19 0.000

Tabel 2. Paired Samples Test RW 04

Page 10: OCHA, 2011

Pendahuluan

Suatu wilayah muka bumi memiliki kerjasama dan

pengaruh dari berbagai faktor yang memperlihatkan suatu

individualitas atau homogenitas tersendiri, dan jelas dapat

dibedakan dari daerah sekitarnya. Dalam hal tersebut

berhubungan dengan kegiatan ekonomi yang terdapat di

suatu wilayah, dimana setiap wilayah memiliki

pertumbuhan ekonomi yang berbeda-beda sesuai dengan

keadaan geografis sehingga sumber daya alam yang

dihasilkan dari keadaan geografis mempengaruhi kegiatan

ekonomi dan pendapatannya.

Ekonomi di suatu wilayah dipusatkan pada pengaruh

perbedaan karateristik ruang terhadap pertumbuhan

ekonomi. Pertumbuhan ekonomi suatu region akan lebih

banyak ditentukan oleh jenis keuntungan lokasi yang

dapat digunakan oleh daerah tersebut sebagai kekuatan

ekspor. Keuntungan lokasi umumnya berbeda di setiap

wilayah. Pertumbuhan ekonomi yang berkaitan dengan

lokasi suatu wilayah menyebabkan ilmu tersebut menjadi

dasar pada program studi perencanaan wilayah dan kota,

juga dalam ekonomi pembangunan. Ruang dalam

kegiatan ekonomi merupakan hal yang penting karena

secara nyata mempengaruhi kegiatan sosial ekonomi.

Melalui aspek ruang, analisa terhadap ekonomi dapat

membantu dalam memberikan keputusan terhadap

kegiatan ekonomi.

Tidak dapat dipungkiri, bahwa ruang adalah kondisi yang

nyata dan berlaku di semua negara. Terlebih untuk negara

yang memiliki luas daerah yang cukup luas dan sangat

bervariasi geografisnya. Dalam pengambilan keputusan

ekonomi perlu mempertimbangkan keuntungan lokasi

dan pengaruh ruang ini juga eksplisit agar keputusan yang

diambil realistis dan tidak salah. Ruang (region) merupakan

hal yang sangat penting dalam pembangunan wilayah.

Konsep ruang mempunyai beberapa unsur yaitu jarak,

lokasi, bentuk, dan ukuran. Konsep ruang sangat berkaitan

erat dengan waktu, karena pemanfaatan bumi dan dengan

segala kekayaannya membutuhkan pengaturan ruang dan

waktu. Unsur-unsur tersebut di atas secara bersama-sama

menyusun unit tataruang yang disebut wilayah.

Dalam ruang terdapat unsur jarak, dimana konsep jarak

mempunyai dua pengetian: yaitu jarak absolut dan jarak

relatif yang mempengaruhi konsep ruang. Konsep jarak

dan ruang relatif ini berkaitan dengan hubungan

fungsional diantara fenomena. Dalam struktur tata ruang,

jarak relatif merupakan fungsi dari pandangan atau

persepsi terhadap jarak. Dalam konsep ruang absolut jarak

diukur secara fisik, sedangkan dalam konsep ruang relatif

jarak diukur secara fungsional berdasarkan unit

waktu, ongkos, dan usaha.

Sukirno (2006) menyatakan bahwa di dalam praktik,

apabila membahas mengenai pembangunan wilayah

maka pengertian wilayah administrasi merupakan

pengertian yang paling banyak digunakan. Lebih

populernya penggunaan pengertian tersebut disebabkan

dua faktor yaitu dalam kebijaksanaan dan rencana

pembangunan wilayah, diperlukan tindakan-tindakan dari

berbagai badan pemerintah. Dengan demikian lebih

praktis apabila pembangunan wilayah ekonomi didasarkan

pada suatu wilayah administrasi yang telah ada.

Selanjutnya wilayah yang batasnya ditentukan atas suatu

administrasi pemerintah lebih mudah dianalisis, karena

sejak lama pengumpulan data di berbagai bagian wilayah

berdasarkan pada suatu wilayah administrasi tersebut.

Adanya kelemahan dari ilmu ekonomi tradisional yang

pada umumnya mengabaikan dimensi lokasi dan ruang

(space) dalam analisisnya. Selain itu ilmu ekonomi

mengangap bahwa struktur ekonomi wilayah adalah sama

dengan struktur ekonomi nasional yang dalam kenyatan

sukar dapat diterima.

ULASAN

Oleh: Sari Dwika Ratri ([email protected])

dan Raldi Hendro Koestoer ([email protected])

Volume 14 / No. 1 / April 2016

Page 11: OCHA, 2011

Akibatnya, analisis ilmu ekonomi

tradisional cenderung menjadi

kurang realistis karena

bagaimanapun adanya unsur lokasi

dan ruang adalah jelas dan nyatanya

memengaruhi kegiatan sosial-

ekonomi. Tulisan ini berupaya

mengeksplorasi terobosan ilmu

regional dan ikutannya dalam

mengubah ilmu sektor menjadi ‗ilmu

region‘; dengan kata lain, uraian ini

mencoba menjabarkan persamaan

dan perbedaan sektor dalam ruang.

Gebrakan Ekonomi Regional

Untuk menghasilkan analisa ekonomi

di suatu wilayah yang kongkrit dan

terukur, unsur ruang dapat

ditampilkan dalam variabel ongkos

angkut yang sangat dipengaruhi oleh

jarak yang ditempuh, sedangkan

jarak dianalisis umumnya dari lokasi

bahan baku ke lokasi pabrik dan

selanjutnya ke pasar, maupun dari

daerah pemukiman ke pasar atau

tempat kerja. Sehingga biaya yang

dikeluarkan akan memengaruhi

penentuan produksi optimal maupun

daya saing produk di pasar. Sebagai

wilayah yang memperhatikan

koherensi atas kesatuan keputusan-

keputusan ekonomi, wilayah

perencanaan dapat dilihat sebagai

wilayah yang cukup besar untuk

memungkinkan terjadi perubahan–

perubahan penting dalam

penyebaran penduduk dan

kesempatan kerja, namum cukup

kecil untuk memungkinkan persoalan

-persoalan perencanaannya dapat

dipandang sebagai satu/kesatuan.

Oleh sebab itu, diperlukan adanya

ilmu yang mempelajari tentang

kebutuhan ruang dalam ekonomi

maupun ekonomi dalam suatu

wilayah seperti dalam ilmu ekonomi

regional dan ilmu geografi ekonomi.

Ilmu ekonomi regional dengan

melihat kemungkinan untuk

melakukan suatu disiplin ilmu yang

terpisah seperti yang dilakukan oleh

Professor Walter Isard (1956). Di sini

pembahasan cenderung dilakukan

dengan ruang lingkup yang lebih

luas dengan memasukkan ilmu

seperti geografi, ilmu ekonomi, ilmu

lingkungan hidup, transportasi dan

ilmu sosial. Karena pendekatan ini,

kelompok ini cenderung menamakan

dirinya dengan ilmu regional yang

bersifat multidisipliner. Penyusunan

ilmu ekonomi berdasarkan

sekelompok permasalahan spesifik

dalam bidang ekonomi yang akan

dipecahkan. Dalam hal ini ilmu

ekonomi wilayah didefenisikan

sebagai suatu ilmu yang membahas

semua persoalan yang dihadapi oleh

suatu wilayah dan kota tertentu dari

sudut pandang ilmu ekonomi.

Setelah mencoba menyusun ilmu

ekonomi wilayah secara lebih

komprehensif menuju pembentukan

teori keseimbangan umum ruang.

Dalam hal ini ilmu ekonomi wilayah

diartikan sebagai cabang ilmu

ekonomi yang menekankan

analisisnya pada aspek wilayah.

Pengertian dari ekonomi regional

adalah suatu daerah yang pada

umumnya memperlihatkan suatu

keseragaman daripada hasil kerja

segolongan penduduk di daerah itu

dalam mengambil manfaat dari

sumber-sumber alam yang ada

dengan membedakan daerah itu

dengan apa yang ada di daerah

orang lain.

Ekonomi Regional adalah cabang dari

ilmu ekonomi yang memasukkan

unsur lokasi dalam pembahasannya.

Ilmu ini juga menerapkan prinsip-

prinsip ekonomi yang terkait dengan

wilayah, sehingga lebih tepat untuk

diaplikasikan dalam berbagai

kebijakan pembangunan wilayah.

Dengan demikian, ilmu ini sangat

diperlukan dalam mengatur berbagai

kebijakan ekonomi wilayah. Ilmu

ekonomi regional termasuk salah

satu cabang yang baru dari ilmu

ekonomi. Cabang ilmu ekonomi lain

yang terakhir berkembang adalah

ilmu ekonomi lingkungan sebagai

pecahan dari ilmu ekonomi regional

dimana pemikiran ke arah ekonomi

regional secara sepotong-potong.

Namun secara umum Walter Isard

adalah orang pertama yang

dianggap dapat memberi wujud

(landasan yang kompak) atas ilmu

ekonomi regional, setelah

diterbitkannya disertasi (1956).

Penjabaran Geografi Ekonomi

Nursid (1988) mendefinisikan

geografi ekonomi sebagai cabang

geografi manusia yang bidang

studinya struktur aktivitas keruangan

ekonomi sehingga titik berat studi-

nya adalah aspek keruangan struktur

ekonomi manusia yang di dalamnya

bidang pertanian, industri,

perdagangan, komunikasi,

transportasi, dan lain sebagainya.

Geografi sebagai studi variasi

keruangan di permukaan bumi di

mana manusia melakukan aktivitas

yang berhubungan dengan produksi,

pertukaran, dan pemakaian sumber

daya demi kesejahteraannya

(Alexander,1963).

“Ruang dalam

kegiatan

ekonomi

merupakan

hal yang

penting,

karena

secara nyata

mempengaruhi

kegiatan sosial

ekonomi”

Volume 14 / No. 1 / April 2016

Page 12: OCHA, 2011

Dengan demikian perbincangan pokok Geografi Ekonomi

adalah aspek keruangan struktur ekonomi manusia antara

lain termasuk di dalamnya bidang pertanian dalam arti

luas seperti pertambangan, industri, perdagangan,

pelayanan, transportasi, dan komunikasi.

Dalam geografi ekonomi terdapat pembahasan mengenai

―Problem of making a living‖ yang mengutamakan

pembahasan aktivitas ekonomi penduduk, maka sektor

manusia menjadi titik pusat pembahasan. Manusia sebagai

pusat yang memproduksi, memindahkan, mengkonsumsi,

menghancurkan, atupun manusia sebagai man power.

Menurut Weber, tiga faktor utama penentu lokasi adalah

material dan konsumsi, kemudian tenaga kerja. Semua itu

ditimbang dengan biaya transportasi, dengan

menggunakan beberapa asumsi demikian: (a) hanya

tersedia satu jenis alat transportasi, (b) tempat berproduksi

(lokasi pabrik) hanya pada satu tempat, (c) jika ada

beberapa bahan mentah, asalnya itu dari beberapa

tempat. Dengan menggunakan tiga asumsi diatas, maka

biaya transport akan tergantung dari dua hal, yaitu bobot

barang dan jarak pengangkutan. Jika yang menjadi dasar

penentuan itu bukan bobot, melainkan volume, maka

yang menentukan biaya pengangkutan adalah volume

barang dan jarak pengangkutan (Daldjoeni, 1992).

Diskusi Inti

Ilmu Ekonomi Regional atau ilmu ekonomi wilayah adalah

suatu cabang dari ilmu ekonomi yang dalam

pembahasannya memasukkan unsur perbedaan potensi

satu wilayah dengan wilayah lain. Sebetulnya sangat sulit

meletakkan posisi ilmu ekonomi regional dalam kaitannya

dengan ilmu lain, terutama dengan ilmu geografi ekonomi

(economic geography). Hal-hal yang dibahas dalam

geografi ekonomi, antara lain mengenai teori lokasi. Dalam

geografi ekonomi menggarap kegiatan secara individual,

yaitu mempelajari dampak satu atau sekelompok kegiatan

di satu lokasi terhadap kegiatan lain di lokasi lain, atau

bagaimana kinerja kegiatan di lokasi itu sebagai akibat

dekat atau jauhnya lokasi itu dari lokasi kegiatan lain,

tetapi lokasi tersebut saling berhubungan atau

berinteraksi. Ilmu ekonomi regional tidak membahas

kegiatan individual melainkan menganalisis suatu wilayah

(atau bagian wilayah) secara keseluruhan atau melihat

berbagai wilayah dengan potensinya yang beragam dan

bagaimana mengatur suatu kebijakan yang dapat

mempercepat pertumbuhan ekonomi seluruh wilayah.

Memang baik geografi ekonomi maupun ilmu ekonomi

regional mengenal dan mempergunakan beberapa istilah

yang sama, misalnya wilayah nodal, wilayah homogen,

kota, dan wilayah belakangnya, tetapi dengan pendekatan

yang berbeda. Masalah yang pelik adalah bahwa para

pemikir pertama tentang ekonomi dan lokasi seperti Von

Thünen (1826), Weber (1909), dan Lösch (1954) dianggap

sebagai pemberi landasan teori, baik bagi ilmu bumi

ekonomi maupun bagi ilmu ekonomi regional. Walaupun

begitu, keduanya masih bisa dibedakan, yaitu yang satu

melihatnya dari segi kegiatan individual sedangkan yang

lain melihatnya dari segi wilayah. Kalaupun ada perincian

lebih lanjut hanya sebatas sektor dan bukan kegiatan

individual. Unit analisis ekonomi regional adalah sektor

dan bukan kegiatan individual. Penentuan lokasi dan

distribusi kegiatan ekonomi seperti yang diungkapkan

dalam teori lokasi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang

menyelidiki tataruang (Spatial Order) kegiatan ekonomi

atau dapat juga diartikan sebagai ilmu tentang alokasi

secara geografis dari sumberdaya yang langka, serta

hubungannya atau pengaruhnya terhadap lokasi berbagai

macam usaha atau kegiatan lain. Secara umum, pemilihan

lokasi oleh suatu unit aktivitas ditentukan oleh beberapa

faktor seperti; bahan baku lokal (Local Input), permintaan

lokal (Local Demand), bahan baku yang dapat

dipindahkan (Transferred Input), dan permintaan luar

(Outside Demand; Hoover dan Giarratani, 2007).

Weber (1909) menganalisis tentang lokasi kegiatan

industri. Menurut teori Weber pemilihan lokasi industri

didasarkan atas prinsip minimalisasi biaya. Menurut Weber

ada tiga faktor yang memengaruhi lokasi industri, yaitu

biaya transportasi, upah tenaga kerja, dan kekuatan

aglomerasi atau de-aglomerasi. Dalam menjelaskan

keterkaitan biaya transportasi dan bahan baku Weber

menggunakan konsep segitiga lokasi atau (Locational

Triangle) untuk memperoleh lokasi optimum. Untuk

menunjukkan apakah lokasi optimum tersebut lebih dekat

ke lokasi bahan baku atau pasar, Weber merumuskan

indeks material, sedangkan biaya tenaga kerja sebagai

salah satu faktor yang dapat mempengaruhi lokasi

industri dijelaskan Weber dengan menggunakan sebuah

kurva tertutup (Closed Curve) berupa lingkaran yang

dinamakan isodapan.

Munculnya ilmu ekonomi regional didahului dengan Teori

Christaller (1933) yang menjelaskan bagaimana susunan

dari besaran kota, jumlah kota, dan distribusinya di dalam

satu wilayah. Model Christaller ini merupakan suatu sistem

geometri, dimana angka 3 yang diterapkan secara arbiter

memiliki peran yang sangat berarti dan model ini disebut

sistem K=3. Model Christaller menjelaskan model area

perdagangan heksagonal dengan menggunakan

jangkauan atau luas pasar dari setiap komoditi yang

dinamakan Range dan Threshold.

Volume 14 / No. 1 / April 2016

Page 13: OCHA, 2011

Selain Christaller, Von Thünen (1826)

mengidentifikasi tentang perbedaan

lokasi dari berbagai kegiatan

pertanian atas dasar perbedaan sewa

lahan (pertimbangan ekonomi).

Menurut Von Thünen tingkat sewa

lahan adalah paling mahal di pusat

pasar dan makin rendah apabila

makin jauh dari pasar. Von Thünen

menentukan hubungan sewa lahan

dengan jarak ke pasar dengan

menggunakan kurva permintaan.

Makin tinggi kemampuannya untuk

membayar sewa lahan, makin besar

kemungkinan kegiatan itu berlokasi

dekat ke pusat pasar. Hasilnya adalah

suatu pola penggunaan lahan berupa

diagram cincin. Perkembangan dari

teori Von Thünen adalah selain harga

lahan tinggi di pusat kota dan akan

makin menurun apabila makin jauh

dari pusat kota.

Penentuan lokasi perekonomian

berdasarkan teori Lokasi dari August

Lösch melihat persoalan dari sisi

permintaan (pasar), berbeda dengan-

Weber yang melihat persoalan dari

sisi penawaran (produksi). Lösch-

mengatakan bahwa lokasi penjual

sangat berpengaruh terhadap jumlah

konsumen yang dapat digarapnya.

Makin jauh dari tempat penjual, kon-

sumen makin enggan membeli

karena biaya transportasi untuk

mendatangi tempat penjual semakin

mahal. Lösch cenderung

menyarankan agar lokasi produksi

berada di pasar atau didekat pasar.

Tumbuhnya kesadaran mengenai

terbatasnya daya penjelas teori-teori

lokasi yang tradisional dalam

menganalisis geografi ekonomi telah

mendorong munculnya paradigma

baru yang disebut geografi ekonomi

baru (new economic geography atau

geographical economics; Fujita &

Thisse, 1996). Dalam penentuan

lokasi perekonomian Krugman

mencoba menjelaskan mengapa

terjadi konsentrasi spasial di kota-

kota besar di negara sedang

berkembang membuka misteri

eksternalitas ekonomis dan secara

eksplisit memasukkan dimensi spasial

dan semangat ―proses kumulatif‖

dalam deskripsi pembangunan

perkotaan dan regional (Krugman,

1996). Meskipun dengan perspektif

yang berbeda, Michael Porter

menekankan pentingnya peranan

teknologi, strategi/organisasi, dan

geografi ekonomi dalam proses

inovasi dan upaya menjaga

keunggulan kompetitif perusahaan

secara berkelanjutan (Porter & Solvell,

1998). Porter berpendapat bahwa

derajat pengelompokan industri

secara geografis dalam suatu negara

memainkan peranan penting dalam

menentukan sektor manakah yang

memiliki keunggulan kompetitif pada

skala internasional (Porter, 1990).

Dengan demikian, paradigma yang

muncul dalam analis spasial adalah

mengkombinasikan pendekatan ilmu

ekonomi dan geografi, atau disebut

geografi ekonomi. Ilmu ekonomi arus

utama (mainstream economics)

memang cenderung mengabaikan

dimensi ―ruang‖ atau ―spasial‖. Ini

terlihat dari inti analisis ekonomi

konvensional yang cenderung

menjawab pertanyaan ekonomi

seputar what to produce (aktivitas

konsumsi), how to produce (aktivitas

produksi), dan for whom to produce

(aktivitas distribusi). Aspek-aspek

spasial tetap merupakan blind spot

bagi mayoritas ekonom karena

ketidakmampuan para ekonom

untuk menciptakan model yang

menjelaskan berbagai macam aspek

lokasi industri (Krugman, 1995: 31-7).

Gambar 1. Segi Enam Christaller

Gambar 2. Isolasi Von Thünen

Volume 14 / No. 1 / April 2016

Page 14: OCHA, 2011

Sementara geografi merupakan studi mengenai pola

spasial di atas permukaan bumi, yang menjawab

pertanyaan where (di mana aktivitas manusia berada) dan

why (mengapa lokasi berada di situ). Aspek ―spasial‖

menjadi pusat perhatian karena ilmu ekonomi arus utama

cenderung aspasial (spaceless). Perspektif geografi secara

eksplisit menjadi pusat perhatian utama dengan

digunakannya Sistem Informasi Geografi dan menjawab

pertanyaan sentral dalam ekonomi regional, yaitu ―di ma-

na‖ (where) lokasi industri berada dan ―mengapa‖ (why)

terjadi konsentrasi geografis industri manufaktur

berorientasi ekspor.

Ilmu ekonomi regional, baru menunjukkan wujudnya

setelah diterbitkannya disertasi Walter Isard di Universitas

Harvard yang berjudul Location and Space Economics

(1956). Penulis terdahulu hanya membicarakan bagian-

bagian tertentu saja dan bersifat sepotong-sepotong

serta tidak memberikan kerangka landasan yang dapat

dijadikan pedoman untuk menetapkan apakah yang

dibahas itu termasuk ekonomi regional atau tidak. Penulis

terdahulu membicarakan hal-hal yang dapat

dikategorikan sebagai bagian dari ilmu ekonomi regional,

tetapi pada saat itu dipandang dari sudut disiplin lain.

Isard adalah orang yang pertama memberi kerangka

landasan tentang apa saja yang dapat dikategorikan ke

dalam regional science, yang pada dasarnya adalah

penerapan prinsip-prinsip ekonomi untuk mempercepat

pertumbuhan ekonomi antara wilayah yang memiliki

potensi yang berbeda.

Ahli ekonomi menganggap hasil karya Walter Isard masuk

kategori ilmu ekonomi regional. Ilmu ekonomi regional

baru masuk ke Indonesia pada awal tahun 1970-an,

karena pemerintah menyadari pentingnya pembangunan

ekonomi daerah sebagai bagian dari cara untuk mencapai

tujuan pembangunan nasional. Artinya, pemerintah mulai

menyadari bahwa kebijakan ekonomi tidaklah boleh

dibuat seragam untuk semua daerah, padahal kondisi dan

potensi daerah itu tidak sama antara yang satu dengan

lainnya.

Titik Temu dalam Gagasan

Hubungan antardaerah yang cukup menarik dan

memunculkan implikasi kebijakan yang lebih

mempercepat tercapainya tujuan ekonomi nasional. Jadi

secara ringkas, persoalan utama yang dibahas dalam

ekonomi regional adalah menjawab pertanyaan dimana

sektor ekonomi yang kuat dari berbagai pilihan multi-

sektor yang ada? Pertanyaan tersebut tidak mudah

dijawab oleh ilmu ekonomi tradisional.

Jelaslah bahwa ilmu ekonomi regional timbul untuk

memecahkan masalah khusus pada sektor ekonomi;

sementara geografi ekonomi selanjutnya dapat

memberikan jawaban untuk lokasi persebaran kegiatan

ekonomi yang berhubungan antara aktivitas ekonomi

dengan ruang yang ada baik secara fisik maupun sosial.

Jadi, ilmu ekonomi regional memiliki kekhususan yang

tidak dibahas oleh ilmu ekonomi tradisional dan memiliki

prinsip yang mampu menjelaskan bidang tersebut secara

menyeluruh sehingga dapat dianggap berdiri sendiri.

Daftar Pustaka

Bagja Waluya. 2001. Perkembangan Ilmu Geografi. Bandung. FPIPS

UPI. http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/

JUR._PEND._GEOGRAFI/197210242001121-BAGJA_WALUYA/

GEOGRAFI_EKONOMI/Pendekatan_Geoekonomi.pdf. Diakses

pada 10 September 2015.

Daldjoeni. 1992. Geografi: Kesejarahan II Indonesia. Sala Tiga. IKAPI.

Emilia Imelia. 2006. Modul Ekonomi Regional. Jambi. Universitas

Jambi. https://iespfeunja.files.wordpress.com/2008/09/ekonomi-

regional.pdf. Diakses Pada 11 September 2015.

Fujita, Masahisa & Jacquez-Francois Thisse. 1996. The Economics of

Agglomeration. Journal of Japanese and International

Economics, 10: 339-78.

Hoover. M dan Giarratani. 1984. An Introduction to Regional

Economics.

Isard, Walter. 1956. Location and Space Economy. Cambridge: MIT

Press.

John W. Alexander. 1963. Economic geography. Englewood Cliffs :

Prentice-Hall.

Koestoer, Raldi Hendro. 1997. Perspektif Lingkungan Desa-Kota

Teori dan Kasus. Jakarta: UI Press.

Krugman, Paul. 1995. Development, Geography, and Economic

Theory. Cambridge and London: The MIT Press.

Krugman, Paul. 1996. Urban Concentration: The Role of Increasing

Returns and Transport Costs. International Regional Science

Review, 19(1&2): 5-30.

Oswald Sitanggang. 2014. Metode dan Pendekata7n Geografi

Ekonomi. Pendidikan Geografi UNIMED Sejarah dan Cakupan

Ilmu Ekonomi Regional. https://lookforscience.wordpress.com/

category/ekonomi-regional/. Diakses pada tanggal 12

September 2015.

Porter, Michael E. 1990. The Competitive Advantage of Nations.

New York: The Free Press.

Porter, Micahel E. & Orjan Solvell. 1998. The Role of Geography in

the Process of Innovation and the Sustainable Competitive

Advantage of Firms.In Alfred D. Chandler, Jr., Peter Hagstrom, &

Orjan Solvell, editors, The Dynamic Firm: The Role of Technology,

Strategy, Organization, and Regions. Oxford: Oxford University

Press.

Sadono Sukirno, 2006, Ekonomi Pembangunan Proses masalah dan

Dasar Kebijakan. Jakarta. Kencana.

Sumaatmadja, Nursid. 1988. Geografi pembangunan. Jakarta :

P2LPTK.

Weber, A. 1909. Theory of the Location of Industries. Chicago:

University of Chicago Press.

Volume 14 / No. 1 / April 2016

Page 15: OCHA, 2011

S eperti dapat kita amati berita di berbagai media

selama beberapa bulan terakhir sejak awal tahun

2016, isu mengenai rencana pembangunan

kereta api cepat atau high speed rail (HSR) antara

Jakarta-Bandung sepanjang kurang lebih 140 km

semakin mengemuka. Dalam rangka merealisasikan

proyek HSR tersebut telah dibentuk perusahaan Kereta

Cepat Indonesia Cina (KCIC) yang melibatkan

pendanaan dari BUMN dan perusahaan dari Cina

(Tiongkok).

Prasarana angkutan udara, laut darat termasuk kereta

api telah menjadi perhatian para geografer. Arus barang

dan manusia melalui berbagai sarana dan prasarana

telah membentuk pola spasial yang terus berubah

sehingga geografi transportasi menjadi bagian penting

dalam pengembangan ilmu geografi secara

keseluruhan. Perubahan pola spasial tersebut bukan

hanya karena keberadaan infrastruktur HSR itu sendiri

tetapi terkait juga dengan pengembangan perkotaan

dan real estates.

Dalam kaitan sebagaimana disinggung sebelumnya,

dapat dimaklumi jika sendainya HSR Jakarta Bandung

dapat direalisasikan maka akan terjadi perubahan pola

spasial urban dan flow dari arus barang dan manusia

serta perubahan lanskap muka bumi lainnya.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membahas

persoalan HSR secara komprehensif untuk kasus

Indonesia namun lebih dimaksudkan untuk melihat

sebagian kecil dari gambaran mengenai isu-isu yang

terkait dengan HSR terah dijalankan di beberapa

Negara berikut review singkat terhadap analisis atau

pandangan ahli geografi (transportasi).

Menurut Vickerman (2015), pada awalnya konsep HSR

pada esensinya adalah untuk melayani angkutan kota

ke kota yang umumnya adalah kota metropolitan pada

jarak 400-600 km dengan kecepatan di atas 250 km per

jam. Hal ini dimaksudkan agar perjalanan dari pusat

kota ke pusat kota lainnya dapat menempuh waktu

yang secara keseluruhan lebih cepat dibandingkan

melalui angkutan udara. Waktu tempuh dari pusat kota

ke Bandar udara (bandara) seringkali menjadi lebih

lama lama karena kemacetan yang akut.

Sebagai perbandingkan, dewasa ini kereta api (KA)

paling cepat di Indonesia yang melayani rute Jakarta ke

Yogyakarta, Semarang, dan Surabaya misalnya,

kecepatannya rata-rata 100km per jam. Jika kecepatan

HSR rata-rata adalah 250 km per jam maka jarak tempuh

Jakarta-Bandung akan kurang dari 1 jam.

Sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Vickerman,

Ryder (2012), seorang geografer dari Inggris

menunjukkan bahwa negara yang mempunyai

prasarana dan sarana HSR, lokasi hotel dan perkantoran

mereka umumnya terkonsentrasi di pusat kota, bukan

di daerah pinggiran. Jika mereka bepergian ke kota

jarak menengah, mereka memerlukan waktu yang

cukup panjang menuju bandara. Jadi kalau bicara dari

pusat kota ke pusat kota tujuan, KA adalah salah satu

alternatif ditambah lagi menuju bandara yang semakin

macet dan kongesti di bandara yang boleh jadi sering

menimbulkan delay.

Proyek HSR ini telah menimbulkan pro dan kontra.

Masing-masing pihak memberikan argumennya

khususya dilihat dari aspek finansial, ekonomi dan

lingkungan termasuk dampaknya terhadap

pertumbuhan daerah yang dilewati HSR.

OPINI

Oleh: Nuzul Achjar

Volume 14 / No. 1 / April 2016

Page 16: OCHA, 2011

Pihak yang pro berpendapat

bahwa pembangunan infrastruktur

ini akan mendorong

perkembangan ekonomi di

sepanjang koridor Jakarta-Bandung

serta mempercepat jarak tempuh

kedua daerah, mengatasi

kemacetan, ditambah lagi dengan

potensi penyerapan tenaga kerja

salama proyek berlangsung.

Pengembalian investasi memang

tidak seluruhnya berasal dari tiket

namun melalui apa yang disebut

sebagai value creation di daerah

yang dilewati termasuk

pengembangan kota baru. Value

creation yang dimaksud antara lain

adalah naiknya harga tanah di

sekitar stasiun pemberhentian.

Pihak yang kontra berpendapat

bahwa pembangunan infrasruktur

HSR terlalu dipaksakan, belum

diperkuat dengan kajian analisis

dampak lingkungan. Analisis

finansial yang dibuat oleh

konsultan untuk kepentingan

proyek ini tidak dibuka secara

transparan. Intinya, infrastruktur

HSR belum saatnya dibangun saat

ini karena infrastruktur yang ada

sudah cukup memadai. Walaupun

tidak dibiayai oleh APBN,

pembangunannya akan

membutuhkan biaya besar yang

berisiko tidak akan menutup biaya

investasi yang pada gilirannya akan

berdampak pada berkurangnya

aset BUMN yang terlibat dalam

proyek tersebut karena didanai

melalui utang korporasi.

Di luar kontroversi mengenai

apakah HSR ini perlu mendapat

prioritas atau tidak, barangkali kita

coba lihat bagaimanakah kira-kira

gambaran atau pandangan para

ahli khususnya geografer dalam

menganalisis berbagai aspek yang

terkait dengan HSR ini di Journal of

Transport Geography (JTG), sebuah

jurnal akademik geografi

terkemuka.

Sebagaimana halnya dengan ilmu

pengetahuan yang terus

berkembang dinamis, demikian

juga halnya dengan geografi

transportasi. Ada benang merah

yang dapat ditarik bahwa sejak

lama bahwa geografi transportasi

memberi perhatian terhadap arus

(flow) manusia dan barang melalui

berbagai prasarana seperti bandar

udara, pelabuhan laut, stasiun

berikut sarananya. Goetz dan L.

Budd (2014) misalnya menulis buku

yang membahas dampak

transportasi udara terhadap

masyarakat, lingkungan, geopolitik

ekonomi dan sosial. Sebelumnya

aspek maritim telah sejak lama

menjadi perhatian ahli geografi.

Untuk memberikan sedikit

gambaran tentang cakupan

geografi transportasi, Jean-Paul

Rodrigue memberikan pengertian

mengenai Geografi Transportasi1:

Transport geography is a sub-

discipline of geography concerned

about the mobility of people,

freight and information. It seeks to

understand the spatial organization

of mobility by considering its

attributes and constraints as they

relate to the origin, destination,

extent, nature and purpose of

movements.

Jika kita amati, banyak sekali

pergeseran dalam pendekatan

yang dilakukan dalam analisis

geografi transportasi dari masa ke

masa. Hal ini tidak terlepas dari

perkembangan teknologi

transportasi yang juga merubah

pola pergerakan menurut moda

angkutan.

Dengan mengambil contoh HSR di

Eropa dan Asia, menurut

pengamatan Perl (2015), terdapat

tiga jenis model pengembangan

koridor HSR yaitu: a) koridor

eksklusif (exclusive corridors)

seperti di Jepang; b) Jaringan

hybrid nasional seperti di Prancis

dan Jerman; jaringan hybrid

internasional seperti di Uni Eropa;

dan c) Jaringan komprehensif

nasional (comprehensive national

networks) seperti China and

Spanyol. Koridor HSR Jakarta Ban-

dung mungkin kurang lebih seperti

jalur eksklusif Shinkansen di Jepang

atau mungkin juga jalur

komprehensif nasional.

―HSR pada

esensinya adalah

untuk melayani

angkutan kota ke

kota yang

umumnya adalah

kota metropolitan

pada jarak 400-

600 km dengan

kecepatan di atas

250 km per jam

(Vickerman,

2015)‖

1https://people.hofstra.edu/geotrans/eng/ch1en/conc1en/ch1c1en.html

Volume 14 / No. 1 / April 2016

Page 17: OCHA, 2011

Catatan menarik lainnya adalah tulisan dari Wu et al

(2014) mengenai evaluasi terhadap HSR yang ada.

Sejauh ini belum ada pembuktian bahwa HSR di Cina

secara ekonomi menguntungkan. Pembangunan HSR

Beijing-Shanghai menimbulkan kontroversi karena

solusi permasalahan meningkatnya volume angkutan

manusia dan barang bukan dengan HSR. Biaya

pembangunan HSR jauh lebih tinggi dibandingkan KA

konvensional. Akibatnya utang pemerintah menjadi

membengkak untuk pembangunan infrastrktur ini.

Value time masyarakat Cina sebenarnya masih rendah

dibandingkan dengan masyarakat di Eropa, apalagi

melihat kenyataan bahwa penduduk China masih

banyak yang miskin.

Bagi pengguna HSR untuk jarak jauh di Cina. Motivasi

mereka menggunakan sarana ini umumnya tidak

dimotivasi agar cepat sampai di tempat tujuan, namun

lebih pada kesempatan untuk tidur di KA sampai di

tempat tujuan.

Pembangunan infrastruktur besar-besaran di China

memang terlihat memberikan dampak besar bagi

perekonomian antara lain munculnya aglomerasi baru.

Pertanyaannya apakah munculnya aglomerasi baru itu

karena disebabkan oleh HSR?

Sejauh ini pelajaran apa yang dapat kita tarik dari

kontroversi rencana pembangunan HSR Jakarta

Bandung dilihat dari best practice yang ada.

Pertama, biaya investasi HSR sangat besar sehingga dari

aspek financial pembangunan HSR mempunyai resiko

tinggi. Best practice di banyak Negara, pembangunan

HSR dibiayai atau ditangung negara, sementara HSR

Jakarta-Bandung justru didorong oleh pihak swasta.

Kedua, dari sekian banyak jalur HSR dunia, di antaranya

tercatat dua jalur yang dianggap menguntungkan yaitu:

Lyon – Paris dan Tokyo – Osaka.

Ketiga, pembangunan HSR Jakarta Bandung tidak

seluruhnya dibuat dalam rangka mengatasi persoalan

kemacetan koridor Jakarta Bandung, tetapi lebih pada

penguasaan lahan tertentu untuk pengembang. Dapat

pula dimengerti jika isu pertanahan akan semakin

menjadi persoalan krusial tidak hanya karena persoalan

perubahan lahan tetapi tersingkirnya pemilik lahan

skala kecil yang perlu dicarikan solusinya.

Keempat, budaya berkereta api sudah sangat tinggi di

Jepang dan Eropa. Tidak terlalu sulit bagi masyarakat di

Negara tersebut berpindah dari KA biasa ke HSR.

Harapan kita adalah agar review singkat terhadap

beberapa artikel dalam jurnal geografi transportasi ini

akan membuka pandangan kita bahwa HSR punya

kaitan erat dengan isu pola spatial yang menjadi

perhatian para ahli geografi. Ada isu tentang value

creation, pembangunan kota baru, perubahan landuse,

pergeseran tenaga kerja secara spasial, masalah

lingkungan dan banyak lainnya.

Lebih luas dari isu HSR, materi pelajaran Geografi

Tranportasi perlu terus di update dengan

perkembangan yang ada. Paling tidak, pelajaran

geografi transportasi diharapkan memberi arah yang

lebih tegas untuk pencapaian kompetensi lulusan geo-

grafi khususnya yang tertarik dibidang ini.

Pada akhirnya kita harapkan akan muncul generasi

muda ahli geografi transportasi yang mumpuni

sehingga dapat memberikan kontribusi pemikirannya

untuk kebijakan, tidak hanya untuk angkutan KA atau

HSR tetapi juga moda angkutan lainnya. Hal seperti ini

perlu dibahas oleh organisasi profesi seperti IGI

sehingga geograf Indonesia mempunyai kompetensi

dan minat khusus tertentu di bidang geografi

transportasi.

DAFTAR PUSTAKA

Goetz, Andrew R, dan Lucy Budd. (2014). Air Transport

Revolution: Socio-economic Impact and Open

Questions: The Geographies of Air Transport .

Ashgate, UK.

Perl, Anthony D., dan A.R. Goetz. (2015). Corridors, hybrids

and networks: three global development strategies

for high speed rail. Journal of Transport Geography

42: 134–144.

Ryder, Andrew. (2012). High speed rail. Journal of Transport

Geography 22 : 303–305.

Vickerman, Roger. (2015). High-speed rail and regional

development: the case of intermediate stations.

Journal of Transport Geography 42:157–165.

Wu, Jianhong; Chris Nash, dan Dong Wang. (2014). Is high

speed rail an appropriate solution to China‘s rail

capacity problems? Journal of Transport Geography

40: 100–111.

Volume 14 / No. 1 / April 2016

Page 18: OCHA, 2011

Pendahuluan

Makalah yang ditulis oleh Daniel L. Childers, Steward T.A.

Pickett, J Morgan Grove, Laura Ogden, dan Allison Whitmer

(2014) berjudul: ―Advancing Urban Sustainability Theory

and Action : Challenges and Opportunities‖ diterbitkan

oleh Elsevier, dalam Jurnal Landscape and Urban Planning.

Beranjak dari pemahaman dasar tentang konsep

Pembangunan berkelanjutan. Konsep tersebut dipahami

sebagai konsep pembangunan yang memenuhi

kebutuhan masa sekarang tanpa membahayakan

kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi

kebutuhannya. Tantangan pembangunan berkelanjutan

adalah menemukan cara untuk meningkatkan

kesejahteraan sambil menggunakan sumberdaya alam

secara arif, sehingga sumber daya alam terbarukan dapat

dilindungi dan penggunaan sumber alam yang dapat

habis (tidak terbarukan) pada tingkat dimana kebutuhan

generasi mendatang tetap akan terpenuhi.

Konsep pembangunan berkelanjutan muncul ketika terjadi

‗kegagalan‘ pembangunan, dimana proses yang terjadi

bersifat top-down (arus informasi yang terjadi hanya satu

arah dari atas ke bawah) dan jika ditinjau dari sisi

lingkungan, sosial, dan ekonomi proses pembangunan

yang terjadi ternyata tidak berkelanjutan. Pelaksanaan

konsep ini diperkuat lagi dengan kesepakatan para

pemimpin bangsa yang dinyatakan dalam hasil-hasil

negosiasi internasional, antara lain Deklarasi Rio pada KTT

Bumi tahun 1992, Deklarasi Milenium PBB tahun 2000, dan

Deklarasi Johannesburg pada KTT Bumi tahun 2002.

Konsep inilah yang kini menjadi satu jargon yang terus

didengungkan sebagai konsep untuk perbaikan kualitas

hidup manusia di dunia.

Makalah Childers, et al. (2014) merupakan sebuah usaha

untuk menjawab tantangan pembangunan berkelanjutan

berikut dengan masalah yang muncul dalam ekologi

perkotaan dalam menjembatani teori keberlanjutan

perkotaan dengan praktek di lapangan. Hal tersebut,

dilakukan melalui sebuah kerangka kerja yang

memperhatikan teori-teori yang ada untuk menciptakan

solusi dengan dua kriteria sebagai berikut: mampu

memodifikasi sistem yang berlaku sebagai bentuk

adaptasi, atau transformasi sistem perkotaan yang bahkan

memerlukan pembentukan sistem baru. Ulasan ini

dimaksudkan utk mengeksplorasi konsep tersebut dan

transisi perkotaan dari kota industri menjadi kota yang

berkelanjutan, dengan melihat realita tantangan seperti

ledakan penduduk, keterbatasan infrastruktur, distorsi

ekonomi dan lingkungan yang kemudian dicoba-

analogikan dalam konteks Indonesia.

Pemahaman Umum

Dengan pengarusutamaan prinsip pembangunan

berkelanjutan, dunia mengalami proses perubahan wajah

pembangunan yang semula dikenal mekanis, menjadi

suatu proses yang holistik. Pembangunan berkelanjutan

sebagai sebuah prinsip, pertama kali dikemukakan dalam

sebuah laporan yang berjudul ―Our Common

Future‖ (Brundtland, 1987) yang didefinisikan sebagai

sebuah proses pembangunan yang memenuhi kebutuhan

manusia, tanpa mengurangi kemampuan generasi

berikutnya untuk memenuhi kebutuhan yang sama.

Prinsip inilah yang kini menjadi ‗nyawa‘ pembangunan dan

kemudian hendak diterapkan di Indonesia. Ulasan ini

didasarkan untuk melihat kerangka kerja pembangunan

berkelanjutan pada posisi transisi kota industri ke model

kota berkelanjutan, dengan merujuk berbagai masalah

sosial penduduk, ekonomi dan lingkungan yang pernah

dikemukakan oleh Birch dan Wachter (2008); Naess (2011);

dan Register (2006).

ULASAN

MENGGAPAI KEBERLANJUTAN KOTA: SUATU ULASAN

Oleh: Dimas Hokka Pratama Soebekti dan Raldi Hendro Koestoer

Judul Asli:

Advancing Urban Sustainability Theory and Action: Challenge and

Opportunities

Oleh Daniel L. Childers, Steward T. A. Pickett, J. Morgan Grove, Laura

Ogden, dan Alison Whitmer

Journal of Landscape and Urban Planning, 2014

doi:10.1016/j.landurbplan.2014.01.022

Volume 14 / No. 1 / April 2016

Page 19: OCHA, 2011

Dalam pelaksanaan konsep tersebut,

Childers et al. (2014) berargumentasi

bahwa model pengamatan dan

penyelesaian masalah perlu

difokuskan kepada perbandingan

antar kota, dan penggunaan inersia

perkotaan dalam institusi,

infrastruktur dan komponen sosial

dalam. Pandangan ini kemudian

secara konsisten dan menarik

ditunjukkan dalam pembangunan

sebuah kerangka kerja yang

membandingkan sistem perkotaan

yang diharapkan dapat menjadi

pembanding permasalahan

perkotaan melalui tiga tahapan yaitu:

kota tidak sehat, sehat, dan berlanjut,

dengan faktor perubahan endogen

berupa inersia dan faktor eksogen

berupa bencana. Childers et al.,

2014).

Ekologi Perkotaan Indonesia

Indonesia merupakan salah satu

negara yang kaya akan biodiversitas

dengan tipe hutan yang bervariasi,

sehingga Indonesia dikenal sebagai

negara ‖mega biodiversity‖ ketiga

setelah Brazil dan Zaire.

Keanekaragaman yang tinggi ini

didukung oleh wilayah yang luas

dengan banyak kepulauan dan

berada di daerah tropis yang

memiliki pedoagroklimat yang

sesuai. Indonesia memiliki sekitar

17.508 pulau dengan panjang pantai

sekitar 81.000 km, dan masing-

masing mempunyai ciri khas

tersendiri dan memiliki potensi

sumberdaya yang produktif.

Diperkirakan Indonesia juga memiliki

90 tipe ekosistem, baik di daratan

maupun perairan dan terdapat 15

formasi hutan alam yang tersebar

dari ujung barat di Sabang sampai

ujung Timur di Merauke yang

merupakan habitat utama banyak

spesies tumbuhan dan hewan

(Tuheteru dan Mafhudz, 2012).

Namun, seiring dengan laju

pertambahan penduduk dan

dinamika pembangunan regional

yang tidak taat asas kelestarian

lingkungan hidup, tipe hutan

tersebut akhir-akhir ini mulai

mengalami kerusakan yang berarti.

Data menunjukkan bahwa luas

vegetasi pantai dari tahun ke tahun

cenderung menurun, jika pada tahun

1996 luas vegetasi pantai mencapai

180.000 hektar sampai tahun 2004

hanya tersisa 78.000 hektar

(Kementrian Kehutanan, 2012),

apabila proses pembangunan terus

diabaikan, hutan Indonesia

dikhawatirkan akan terus mengalami

kerusakan dan mengakibatkan

bencana ekologis bagi kehidupan

dan hajat hidup rakyat Indonesia.

Permasalahan lingkungan perkotaan

Indonesia dapat digolongkan

menjadi suatu permasalahan yang

sangat kompleks dengan banyak

lapisan dan subsistem permasalahan

lingkungan yang cukup rumit.

Permasalahan tersebut disebabkan

oleh kesalahan pengelolaan

lingkungan dan penataan kota yang

tidak disesuaikan dengan kaidah

sistem ekologis di Indonesia. Hal ini

menunjukkan bahwa perkotaan di

Indonesia memiliki permasalahan

spesifik karena ekosistem yang

menjadi pondasi pembangunan di

Indonesia merupakan satu ekosistem

yang sangat unik.

Secara umum, ekosistem Indonesia

merupakan ekosistem hutan hujan

tropis dengan karakteristik yang

sangat berbeda dengan hutan hujan

tropis di daerah lain. Hutan alam

tropis yang masih utuh di Indonesia

mempunyai jumlah spesies

tumbuhan yang sangat banyak, dan

cenderung mencapai keseimbangan

pada ekosistem dengan

keanekaragaman yang tinggi. Hutan

di Kalimantan mempunyai lebih dari

40.000 spesies tumbuhan, dan

merupakan hutan yang paling kaya

spesiesnya di dunia. Di antara 40.000

spesies tumbuhan tersebut, terdapat

lebih dari 4.000 spesies tumbuhan

yang termasuk golongan pepohonan

besar dan penting.

“Pembangunan

berkelanjutan

didefinisikan sebagai

sebuah proses

pembangunan yang

memenuhi

kebutuhan manusia,

tanpa mengurangi

kemampuan

generasi berikutnya

untuk memenuhi

kebutuhan yang

sama”

(Brundtland, 1987)

Gambar 1. Konsep Transisi Ekosistem Perkotaan Sumber: (Childers, et al. 2014)

Volume 14 / No. 1 / April 2016

Page 20: OCHA, 2011

Di dalam setiap hektar hutan tropis seperti tersebut

mengandung sedikitnya 320 pohon yang berukuran garis

tengah lebih dari 10 cm (Soerianegara dan Indrawan,

1988). Namun demikian, dalam kurun waktu 1993-2001,

telah terjadi penyusutan luas hutan di Indonesia sebesar

tujuh juta Ha, di antaranya disebabkan oleh desakan

perkembangan kota (Kementrian Lingkungan Hidup,

2004), contohnya pada hutan Kalimantan sebagaimana

digambarkan oleh Ahlenius dan Radday (2005).

Ahlenius dan Radday (2005), melihat dalam proyeksi hutan

Kalimantan di tahun 2020, kerusakan hutan di Kalimantan

dalam skala yang sangat besar, memberikan tekanan yang

sangat besar terhadap keanekaragaman hayati dan

spesises seperti orangutan yang ditemukan di Kalimantan.

Dalam dekade terakhir habitat orangutan sudah sangat

menyusut sedang perkotaan terus berkembang

bersamaan dengan perkebunan kelapa sawit, di mana

secara ekosistem, perkebunan kelapa sawit hanya mampu

mendukung 20% dari kemampuan lahan sebelum lahan

tersebut dikonversi. Kerusakan dan pembangunan yang

terjadi bukan lagi terjadi akibat inersia, sebagaimana

dipostulasikan oleh Childers, et al. (2014) namun sudah

terjadi pada tingkat kerusakan hutan secara sistemik yang

membuktikan bahwa dalam konteks Indonesia, ekosistem

hutan hujan yang menjadi basis pembangunan sangat

sensitif terhadap perubahan fungsi lahannya.

Penggundulan hutan dan kerusakan ekosistem hutan

secara langsung merusak manfaat dan jasa lingkungan

yang dinikmati oleh manusia, sebagaimana diidentifikasi

Mahfudz (2012) melalui dua indikator. Pertama, adalah

dalam konteks perubahan iklim, di mana Hutan berperan

penting dalam menjaga kestabilan iklim global. Proses

pencegahan perubahan iklim hutan dikenal melalui peran

hutan sebagai penyerap dan penyimpan kelebihan karbon

atmosfer dalam bentuk biomassa dan jika hutan

mengalami kerusakan maka hutan juga akan menjadi

sumber peningkatan Gas Rumah Kaca (GRK) dengan

menyuplai emisi karbon. Secara kimiawi, vegetasi hutan

akan menyerap gas karbon (CO2) melalui proses

fotosintesis. Jika hutan terganggu maka siklus CO2 dan O2

(udara bersih) di atmosfer akan terganggu. Tidak

terkendalinya gas CO2 di atmosfer, bersama-sama dengan

uap air, gas CFC, metana dan gas-gas rumah kaca lainnya,

berpotensi meningkatkan menimbulkan perubahan iklim.

Perubahan iklim adalah proses terjadinya perubahan

kondisi rata-rata parameter iklim seperti rata-rata suhu

udara, curah hujan, kelembaban udara, dimana perubahan

tidak terjadi dalam suhu atmosfir bumi yang dapat waktu

yang singkat. Kedua, yaitu peran sektor kehutanan tidak

hanya menyumbang devisa dan pendapatan negara tetapi

sektor ini juga berperan dalam pengembangan pusat-

pusat pertumbahan ekonomi regional, khususnya daerah

pedalaman dan terpencil yang tercermin dari sumbangan

terhadap infrastruktur di daerah, antara lain sarana

transportasi jalan trans sepanjang 46.000 km dengan biaya

Rp. 1,9 trilyun, pembangunan sarana pendidikan sekolah

sebanyak 6.750 buah serta rumah ibadah dan balai desa

masing-masing kurang lebih 1.800 buah.

Di samping itu, Hutan Rakyat di Jawa berpotensi memasok

bahan baku kayu sampai 40% dari kebutuhan nasional

yang kini mencapai 43 juta meter kubik per tahun. Dengan

potensi produksi sampai 16 juta meter kubik per tahun,

kontribusi hutan rakyat di Jawa yang luasnya mencapai

2.799.181 ha cukup signifikan terhadap kebutuhan kayu

nasional (Antara news, 2010), di samping juga merupakan

penyangga pertanian dengan fungsi pengendalian hama

dan penyuburan tanaman melalui penyerbukan yang vital

bagi baik daerah pertanian maupun daerah perkotaan

tempat pemasaran hasil bumi. Dengan fungsi ekologis

yang sangat rumit seperti ini, jelas ekosistem Indonesia

dengan berbagai macam varian hutan menjadi sangat

kompleks dan memainkan peranan yang sangat unik

dalam kehidupan ekologis perkotaan Indonesia.

Secara umum, praktik konversi lahan di Indonesia

memiliki kecenderungan untuk pembangunan kawasan

yang cenderung ekspansif dan menyebar (sprawling), serta

mengkonversi ruang ruang alami yang memilki fungsi

ekologis seperti hutan, situ, daerah aliran sungai,

ekosistem mangrove (Mukaryanti et al. 2006). Di lain

kelangsungan fungsi ekologis pada ruang alami tersebut

membentuk sistem makro lingkungan yang bisa

menyebabkan reaksi berantai manakala sistem ekologis di

satu unit ekologis akan merambah ke daerah lain. Gambar 2. Laju Penggundulan hutan di Kalimantan

(Sumber: Ahlenius dan Radday, 2005)

Volume 14 / No. 1 / April 2016

Page 21: OCHA, 2011

Sebagai contoh, Nurrizqi dan Suyono

(2010) menunjukkan bahwa

perubahan penggunaan lahan di

hulu sungai Brantas menyebabkan

adanya perubahan kondisi debit

banjir DAS di Batu. Akibat adanya alih

fungsi lahan, air hujan yang jatuh

lebih berpotensi menjadi aliran

permukaan daripada terserap oleh

permukaan tanah. Dalam kurun

waktu 4 tahun (2003 - 2007)

penggunaan lahan di Sub DAS

Brantas hulu mengalami penurunan

luas hutan sebesar 6% dan sawah

sebesar 6% dari tahun 2003 ke tahun

2007. Peningkatan secara signifikan

pada luas lahan adalah permukiman

sebesar 9% dari 29,18 km2 menjadi

31,81 km2 dan perkebunan sebesar

7% dari 13,80 km2 menjadi 14,82 km2.

Curah hujan pada tahun 2003 dan

tahun 2007 tidak memiliki

perbedaan, sedangkan debit puncak

banjir terjadi perbedaan secara

signifikan ditahun 2007

dibandingkan tahun 2003.

Perubahan penggunaan lahan pada

tahun 2003-2007 mempunyai

dampak yaitu berubahnya respon

DAS terhadap hujan yaitu debit

puncak banjir tahun 2003 dengan

rata-rata debit puncak banjir sebesar

96,79 m3/dtk menjadi 189,19 m3/dtk

pada tahun 2007. Penelitian Nurrizqi

dan Suyono, beserta dengan

fenomena banjir Jakarta yang

disebabkan oleh perubahan lahan di

hulu (Gunung Gede Pangrango dan

Cibogo) yang menyebabkan efek

domino mulai dari peningkatan

kekeruhan air sungai, yang

menyebabkan perikanan sungai

rusak, banjir, dan ekosistem terumbu

karang di teluk Jakarta.

Sehingga kerusakan ekosistem

perkotaan Indonesia adalah sistem

kompleks yang saling bertumpuk

satu sama lain, dalam konteks

pemodelan Childers et al. (2014) hal

ini disimplifikasikan sedemikian rupa,

sehingga faktor unit ekologi dalam

konteks Indonesia, perlu dilakukan

penyesuaian. Hal ini dikarenakan

karena paradigma Childers et al. yang

cenderung melihat ekosistem

perkotaan sebagai satu sistem dan

bukan sebagai satu subsistem dalam

sebuah unit ekologi. Hal ini juga

dinyatakan oleh Pickett et al. (2001)

yang menyatakan bahwa mosaik

spasial beragam daerah metropolitan

dapat ditelisik guna melihat interaksi

antar berbagai kasus ekologis untuk

struktur ekologis dan dinamikanya

dalam lingkungan perkotaan dengan

daerah penyangganya. Sebagai

contoh, beberapa kondisi di kota-

kota analog dengan prediksi

perubahan iklim global. Peningkatan

suhu, perubahan pola curah hujan,

dan pengeringan tanah

mengantisipasi tren diproyeksikan

untuk beberapa tanah yang telah

terbuka. Pemeriksaan pada daerah

urban dapat menunjukkan

hubungan antar komponen

ekosistem. Sehingga lahan perkotaan

hanya dapat dikatakan sebagai satu

komponen dalam ekosistem

perkotaan, dengan kompleksitasnya

sendiri. Meneliti suksesi di

penggunaan tanah kosong dapat

menginformasikan manajemen

vegetasi praktis dan dapat digunakan

dalam penyusunan strategi untuk

mengubah penggunaan tanah

sebagaimana kepadatan manusia

dan bangunan menurun di beberapa

pusat kota.

Ekologi seluruh kota sebagai suatu

sistem diwakili oleh penelitian yang

berkaitan kekayaan spesies dengan

karakteristik kota. Misalnya, jumlah

spesies tumbuhan di daerah

perkotaan berkorelasi dengan ukuran

populasi manusia. Jumlah spesies

meningkat dengan jumlah log

penduduk manusia, dan hubungan

yang lebih kuat daripada sekedar

korelasi dengan luas kota (Klotz,

1990). Kota-kota kecil memiliki 530-

560 spesies , sementara kota-kota

yang memiliki 100.000 hingga

200.000 penduduk memiliki atas

1000 spesies (Sukopp, 1998). Usia

kota ini juga mempengaruhi

kekayaan spesies; kota tua memiliki

spesies tanaman lebih dari besar

kota, lebih muda (Sukopp, 1998; Ko-

warik, 1990). Kumpulan tanaman ini

merupakan karakteristik yang khas di

seluruh Eropa, dengan 15 % dari

spesies dibagi di antara kota-kota

(Sukopp, 1998). Mengingat

kompleksitas ekosistem Indonesia,

mungkin jabaran teori di atas perlu

dikembangkan lebih lanjut untuk

menjawab kompleksitas kombinasi

sistem ekosistem makro dan mikro di

Indonesia, khususnya dengan variasi

biodivesitas ekosistem yang terdapat

di Indonesia, bahkan mencakup

perbedaan ekosistem dalam satu

wilayah unit ekologis yang sama.

Sifat spesifik ekosistem Indonesia

inilah yang membuat kerangka kerja

Childers et al. (2014) menjadi terlalu

sederhana dalam menggambarkan

kompleksitas sistem perkotaan

Indonesia.

“Perubahan iklim

adalah proses

terjadinya

perubahan

kondisi rata-rata

parameter iklim

seperti rata-rata

suhu udara, curah

hujan,

kelembaban

udara”

Volume 14 / No. 1 / April 2016

Page 22: OCHA, 2011

Pembangunan Berkelanjutan di Perkotaan Indonesia

Dalam ―Our Common Future‖, (Brundtland, 1987)

disebutkan bahwa pada pergantian abad ke 21, hampir

setengah dunia akan tinggal di daerah perkotaan, dari kota

-kota kecil ke besar kota-kota besar, sistem ekonomi dunia

semakin satu urban, dengan tumpang tindih jaringan

komunikasi, produksi, dan perdagang. sistem, dengan arus

informasi, energi, modal, perdagangan, dan orang-orang,

menyediakan tulang punggung bagi pembangunan

nasional. Prospek sebuah kota sangat bergantung pada

lokasinya dalam sistem perkotaan, nasional dan

internasional. Demikian pula dengan posisi hinterland

pedalaman dengan pertaniannya; kehutanan, dan

pertambangan, di mana sistem perkotaan bergantung.

Sehingga pembangunan kawasan perkotaan sangat perlu

ditinjau kembali agar dapat bersinergi secara optimum

dengan lingkungan dan dengan demikian mampu

menciptakan ekosistem perkotaan berlanjut.

Brundtland (1987) menyatakan bahwa konsep

pembangunan berkelanjutan menyiratkan batas-batas,

yang bersifat tidak mutlak namun keterbatasan tersebut

ditetapkan oleh kondisi sekarang teknologi dan organisasi

sosial pada lingkungan dan sumber daya oleh kemampuan

biosfer untuk menyerap efek dari aktivitas manusia.

Namun demikian, teknologi dan organisasi sosial dapat

dikelola dan ditingkatkan untuk membuat jalan bagi era

baru pertumbuhan ekonomi. Dalam laporan Brundtland,

dipercayai bahwa kemiskinan yang meluas tidak dapat

dihindari. Kemiskinan tidak hanya merupakan kejahatan

dalam dirinya sendiri, tetapi juga pembangunan

berkelanjutan memerlukan pemenuhan kebutuhan dasar

dari semua serta untuk semua kesempatan guna

memenuhi aspirasi mereka untuk kehidupan yang lebih

baik. Sebuah dunia di mana kemiskinan endemik akan

selalu rentan terhadap bencana ekologi dan lainnya.

Dalam konteks Indonesia, argumentasi Brundtland dapat

diartikan bahwa batas pembangunan Indonesia,

khususnya dengan keunikan alam Indonesia sebagaimana

telah dibahas di depan, adalah fakta bahwa teknologi yang

muncul sekarang dalam rangka pembangunan ekonomi,

maupun perkotaan dan pedesaan beserta kawasan lain

sebagai living space, tidak cukup untuk memitigasi efek

dari dampak lingkungan akibat ulah manusia. Hal ini

ditunjukkan oleh Hilman (2010) melalui identifikasi

permasalahan terkait perubahan iklim di Indonesia karena

karakteristik geografis dan geologisnya yang sangat rentan

terhadap perubahan iklim, yaitu sebagai negara kepulauan

(memiliki 17.500 pulau kecil), memiliki garis pantai yang

panjang (81.000 km), memiliki daerah pantai yang luas dan

besarnya jumlah penduduk yang tinggal di daerah pesisir,

memiliki hutan yang luas namun sekaligus menghadapi

ancaman kerusakan hutan, rentan terhadap bencana alam

dan cuaca ekstrim, memiliki tingkat pencemaran yang

tinggi di daerah urban, memiliki ekosistem yang rapuh

seperti area pegununan dan lahan gambut, melakukan

kegiatan ekonomi yang sangat tergantung pada bahan

bakar fosil dan produk hutan, serta memiliki kesulitan

untuk alih bahan bakar ke bahan bakar alternatif.

Hal ini kemudian dipastikan melalui data bencana yang

dikeluarkan oleh Bappenas dan Bakornas Penanggulangan

Bencana (2006) di mana, dalam rentang pengamatan 2003

-2005 terjadi 1429 bencana, dan sekitar 53% memiliki

sebab hidrometeorologis dengan dominasi banjir sebagai

bencana yang paling sering terjadi (34%), diikuti oleh

longsor (16%). Perubahan iklim juga akan menimbulkan

kekeringan dan curah hujan ekstrim, yang pada gilirannya

akan menimbulkan resiko bencana iklim yang lebih besar

(2007; Indonesia Country Report, 2007). Laporan United

Nations Office of Coordination of Humanitarian Affairs

mengindikasikan bahwa Indonesia merupakan salah satu

negara yang rentan terhadap bencana terkait dengan iklim

(OCHA, 2011). Dengan demikian dapat dilihat dengan jelas

bahwa dengan kerentanan ekosistem harus diperhatikan

demi kelangsungan proses perkembangan berkelanjutan

di Indonesia.

Diskusi

Dalam paradigma Childers et al. (2014), inersia digunakan

untuk menjelaskan berbagai macam fenomena inersia

atau keengganan struktural dalam menerima perubahan

paradgma pembangunan. Cara pandang ini

mengakibatkan pembangunan perkotaan yang

berkelanjutan adalah sebuah proses yang bertumpu pada

proses nilai uang menggambarkan preferensi masyarakat,

dengan resiliensi perkotaan sebagai nilai utamanya.

Namun, rekayasa dalam resiliensi secara inheren bersifat

kaku dan terfokus dalam stabilitas yang statis; sementara

resiliensi sistem perkotaan yang baik bergantung pada

sistem yang dinamis dan adaptif yang beroperasi dalam

komponen sosial (sebagaimana dipostulasikan oleh Yohe

dan Tol, 2002) dan Biofisik (Gunderson dan Pritchard, 2002;

Walker et al. 2004) serta pada keadaan dan distribusi

spasial dari kerentanan. Tidak lepas dari hal tersebut,

strategi pembangunan ekologis perkotaan versi Childers et

al. masih sangat terbatas mengulas sisi adaptasi ekosistem

perkotaan. Padahal dalam konteks Indonesia, adaptasi

merupakan salah satu strategi yang harus

dipertimbangkan, mengingat posisinya sebagai negara

kepulauan.

Volume 14 / No. 1 / April 2016

Page 23: OCHA, 2011

Mempertimbangkan bahaya bencana

yang terjadi di Indonesia, strategi

resiliensi perlu juga dibarengi

dengan adaptasi yang berorientasi

pada sistem yang memperhatikan

dinamika lingkungan.

Kepentingan pembangunan menurut

ekosistem yang berlaku ditunjukkan

oleh Van Leeuwen et al. (2013) di

mana bencana yang terjadi di

perkotaan Indonesia terjadi sebagai

akibat dari jasa ekosistem yang

diabaikan dan degradasi lingkungan,

serta memahami saling

ketergantungan yang erat antara tata

guna lahan dan ekosistem.

Kesejahteraan manusia dan pola

risiko, merupakan inti dari resiliensi.

Dalam hal ini, langkah-langkah untuk

memperbaiki tata guna tanah dan

mempertahankan kesehatan

ekosistem di tingkat lansekap

memberikan landasan bagi praktik

pengurangan risiko di mana

ditanamkan pendekatan yang lebih

bersifat lokal. Tidak

mempertimbangkan pendekatan

lansekap umumnya akan cenderung

mengarah pada perbaikan jangka

pendek dan menghambat

tercapainya hasil jangka panjang

yang memiliki nilai berkelanjutan.

Karena alasan inilah, untuk

mengatasi permasalahan lingkungan

dari risiko bencana, wajib dilakukan

apabila seseorang ingin benar-benar

memupuk resiliensi masyarakat.

Laros, (2013) menyatakan bahwa

pemahaman yang didasarkan pada

analisis biaya dan manfaat dan trade-

off antara pilihan-pilihan adaptasi

yang berbeda sangat penting bagi

para pembuat keputusan. Saat ini

pemerintah, khususnya dalam hal ini

pemerintah Indonesia memiliki

informasi yang sangat sedikit guna

mendasarkan keputusan mereka

dalam pembangunan, dan tidak

benar-benar menilai analisis biaya

dan manfaat serta trade-off yang

menjelaskan mengapa tindakan

pembangunan berbasis ekosistem

yang sering diabaikan. Biaya rendah

dan/atau strategi adaptasi hemat

biaya dan langkah-langkah yang

dapat mencegah banyak potensi

kerugian dapat diterapkan, apabila

pemerintah menerapkan sistem

pembangunan berbasis ekosistem,

tetapi itupun hanya jika pemerintah

paham menerapkan bagaimana

langkah-langkah ini diterapkan.

Mengingat ancaman terhadap

ekosistem di satu sisi beberapa

manfaat bagi masyarakat karena jasa

ekosistem di sisi lain, dan pentingnya

adaptasi terhadap perubahan ling-

kungan, maka diperlukan adanya

kapasitas kritis untuk: i ) tren laporan

dalam kuantitas dan kualitas jasa

ekosistem, dan sesuai dengan

lingkungan setempat kemajuan

dalam mempertahankan ekosistem

sekitar ; ii ) memahami bagaimana

adaptasi berperan dalam

pembangunan berkelanjutan; dan iii)

bagaimana biaya bersifat dan

keadilannya terhadap kaum miskin.

Ini adalah tantangan besar karena

adaptasi dalam rencana dan

kebijakan yang sekarang muncul

―masih dalam tahap awal dan relatif

belum teruji" (Spearman & McGray

2011).

Paradigma tersebut sangat masuk

akal, dan memang kota harus

dibangun agar bersesuaian dengan

sifat ekologis untuk memungkinkan

adaptasi dan resiliensi serta mitigasi

terhadap efek perubahan iklim.

Namun, pembangunan

berkelanjutan harus tetap dapat

dijadikan pegangan yang rasional

dalam pembentukan kebijakan,

khususnya dalam pengaturan

kawasan perkotaan. Sehingga para

pengambil kebijakan tidak

mengambil kebijakan yang ekstrim

dalam rangka pembangunan

berkelanjutan. Lomborg (2012)

menjabarkan mengenai suatu

fenomena environmental alarmism di

mana menurut Lomborg, fenomena

Environmental alarmism menarik

banyak perhatian, tapi jarang

mengarah ke solusi cerdas untuk

masalah nyata, sesuatu yang

membutuhkan pertimbangan tenang

serta analisis biaya dan manfaat dari

berbagai tindakan.

Gambar 3. Skema Pembangunan Perkotaan Berkelanjutan (Sumber: Van Leeuwen et al. 2013)

“Indonesia

merupakan salah

satu negara yang

rentan terhadap

bencana terkait

dengan iklim”

(OCHA, 2011)

Volume 14 / No. 1 / April 2016

Page 24: OCHA, 2011

Dengan menyiratkan bahwa masalah wajah dunia yang

begitu besar dan begitu mendesak sehingga maslaah

masalah ini hanya dapat ditangani oleh intervensi

langsung yang biasanya bersifat besar dan pengorbanan

yang biasanya secara politik tidak mungkin dan karenanya

tidak pernah dipraktekkan dalam kebijakan. Fenomena

alarmism memberikan suatu ilusi rasionalitas dalam

pengambilan kebijakan dan mengakibatkan adanya

kesalahan dalam pengambilan kebijakan yang akhirnya

melemahkan sendiri ketiga pilar pembangunan

berkelanjutan dengan memperkecil prioritas porsi

pembangunan ekonomi dan sosial dalam rangka

membangun yang lebih baik.

Hal inilah yang menjadi keterbatasan dalam paradigma

Childers et al. (2014) yang cenderung hanya melihat sistem

ekologi perkotaan dalam permasalahan inersia, dengan

pembangunan argumentasi yang sangat mengacu kepada

kota kota besar di negara negara maju, sehingga secara

konsep, mengidentifikasi pertumbuhan ekonomi sebagai

masalah inti pembangunan perkotaan melalui penjelasan

inersia dan keengganan masyarakat sebagai intitusi sosial

dan bagaimana perbandingan solusi negara maju.

Diagnosis tersebut, menurut Lomborg, hanya dapat

diselesaikan oleh negara negara kaya, penduduk nyaman

dalam negara yang sangat maju, yang sudah memiliki

akses mudah ke kebutuhan hidup dasar. Sebaliknya, ketika

seorang wanita yang sangat miskin di negara berkembang

tidak bisa mendapatkan cukup makanan untuk

keluarganya, alasannya adalah bukan bahwa dunia tidak

dapat memproduksinya tapi dia tidak mampu

membelinya. Ketika anak seorang miskin sakit akibat

menghirup asap dari pembakaran kotoran sebagai bahan

bakar, jawabannya adalah bukan sekedar untuk mereduksi

kotoran dan kemudian memiliki sertifikat ramah

lingkungan, tapi juga untuk meningkatkan standar hidup

nya cukup untuk membeli bahan bakar bersih dan lebih

nyaman. Kemiskinan, dalam jangka pendek, adalah salah

satu masalah yang terbesar dari semua pembunuh dan

pertumbuhan ekonomi adalah salah satu cara terbaik

untuk mencegahnya adalah dengan pembangunan yang

mengedepankan lingkungan. Tentunya ini akan dengan

mudah menyembuhkan penyakit masih membunuh 15

juta orang setiap tahun dan menyelesaikan kemiskinan

untuk menciptakan proses yang efisien. Sehingga dalam

konteks Indonesia, pembangunan berbasis ekosistem

adalah suatu solusi yang memadai apabila kebijakannya

dapat ditegakkan melalui sistem hukum yang kuat.

Implementasi kebijakan dalam level praktis di Indonesia

dijabarkan oleh Mukaryanti et al. (2006) melalui kajian

penerapan konsep penataan ruang berbasis keberlanjutan

ekologis, khususnya dalam kawasan perkotaan. Mukaryanti

(2006) kemudian berarguentasi bahwa dengan adanya

batas ekologis berupa kelangkaan sumber daya alam dan

degradasi lingkungan. Sehingga, pemanfaatan ruang kota

tidak lagi dapat dilakukan mengikuti kecenderungan

perkembangan kota, namun perlu dibatasi dan diarahkan

pada ruang-ruang yang memiliki kapasitas rendah untuk

menunjang fungsi ekologis. Selain itu, kapasitas alamiah

ruang kota dalam melangsungkan fungsi fungsi ekologis

juga perlu dikenali dan dipahami, sehingga selain upaya

konservasi, dapat pula dilakukan upaya optimalisasi

kapasitas tersebut. Namun, usaha implementasi ini juga

tidak bisa berhenti di sini, mengingat perkembangan kota

yang dinamis, pemanfaatan lahan tidak boleh merubah

fungsi ekosistem, dan oleh sebab itu perlu kajian yang

mendetail mengenai daerah ekologis suatu ecological unit

dalam suatu daerah dalam rangka melestarikan fungsi

ekosistem dan menerapkan prinsip efisiensi dalam

pembangunan.

Penutup

Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan

jenis flora dan fauna dengan tipe hutan yang bervariasi di

dunia, sehingga Indonesia dikenal sebagai negara ‖mega

biodiversity‖ ketiga setelah Brazil dan Zaire.

Keanekaragaman yang tinggi ini didukung oleh wilayah

yang luas dengan banyak kepulauan dan berada di daerah

tropis yang memiliki pedoagroklimat yang sesuai.

Indonesia memiliki sekitar 17.508 pulau dengan panjang

pantai sekitar 81.000 km, dan masing-masing mempunyai

ciri khas tersendiri dan memiliki potensi sumberdaya yang

produktif. Sehingga kerusakan ekosistem perkotaan

Indonesia adalah sistem kompleks yang saling bertumpuk

satu sama lain, dalam konteks pemodelan Childers dkk., hal

ini disederhanakan sedemikian rupa, sehingga faktor unit

ekologi dalam konteks Indonesia, tidak dapat diterepkan

secara langsung. Hal ini dikarenakan karena paradigmanya

yang cenderung melihat ekosistem perkotaan sebagai satu

sistem dan bukan sebagai satu subsistem dalam sebuah

unit ekologi. Pada akhirnya, pengulas dapat

menyimpulkan bahwa makalah Childers et al. (2014) tidak

dapat digunakan dalam konteks Indonesia, mengingat

keunikan Indonesia dan ketidaksesuaian teori inersia

terhadap dinamika sistem perkotaan di Indonesia.

Volume 14 / No. 1 / April 2016

Page 25: OCHA, 2011

Adapun proses yang dipilih dalam pembangunan

Indonesia baiknya harus mendasarkan diri dalam

pembangunan ekosistem Indonesia dalam rasionalitas dan

priotitisasi yang baik, merujuk pada Lomborg, sehingga

pembangunan yang dilakukan menjauhi fenomena

Environmental alarmism yang menarik banyak perhatian,

tetapi jarang mengarah ke solusi cerdas untuk masalah

nyata, di mana pembangunan berkelanjutan dalam

konteks Indonesia sesuatu yang membutuhkan

pertimbangan tenang serta analisis biaya dan manfaat dari

berbagai tindakan. Fenomena alarmism memberikan suatu

ilusi rasionalitas dalam pengambilan kebijakan dan

mengakibatkan adanya kesalahan dalam pengambilan

kebijakan yang akhirnya melemahkan sendiri ketiga pilar

pembangunan berkelanjutan dengan memperkecil

prioritas porsi pembangunan ekonomi dan sosial dalam

rangka membangun yang lebih baik.

Pada akhirnya pembangunan perkotaan di Indonesia

haruslah menciptakan suatu proses yang efisien secara

ekonomi, ramah lingkungan, dan berkeadilan sosial,

mengingat perkembangan komponen kota yang dinamis.

Oleh sebab itu pemanfaatan lahan tidak boleh merubah

fungsi ekosistem yang akan berdampak kepada

indikator indikator lain, dan oleh sebab itu perlu kajian

yang mendetail mengenai daerah ekologis suatu

ecological unit dalam suatu daerah dalam rangka

melestarikan fungsi ekosistem dan melakukan efisiensi

dalam pembangunan baik secara ekonomi, lingkungan

maupun keadilan sosial.

DAFTAR PUSTAKA

Ahlenius, Hugo dan Radday, M. 2005. Extent of Deforestation

in Borneo 1950-2005, Projection Toward 2020, diakses

dari http://maps.grida.no/go/graphic/extent-of-

deforestation-in-borneo-1950-2005- and-projection-

towards-2020 pada 24 April 2014.

Antaranews. 2010. Hutan Rakyat Jawa Suplai 40% Kebutuhan

Kayu Indonesia diakses dari http://www.antaranews.com/

berita/207780/hutan-rakyat-jawa-pasok-40-kebutuhan-

kayu pada 9 Mei 2014.

Brundtland Report. 1987, Our Common Future. New York:

Oxford University Press.

BNPB. 2006. Bencana Alam di Indonesia. BNPB: Jakarta

Birch, E. L., & Wachter, S. M. 2008, Growing greener cities:

Urban sustainability in the twenty-first century.

Philadelphia: University of Pennsylvania Press.

Childers, D. L., Steward T.A. Pickett, J Morgan Grove, Laura

Ogden, dan Allison Whitmer, Advancing urban

sustainability theory and action: Challenges and

opportunities. Landscape Urban Plan. Elsevier.

Kementrian Kehutanan, 2012, Laporan Kinerja Kementerian

Kehutanan Tahun 2012 Jakarta: Kementrian Kehutanan.

Kementrian Lingkungan Hidup, 2004, Laporan Perkembangan

Penceapaian Tujuan Pembangunan MIlenium Indonesia,

Kemantrian Lingkungan Hidup: Jakarta.

Klotz, S. 1990. Species/area and species/ inhabitants relations

in European cities dalam Pickett (2001).

Kowarik, I. 1990. Some responses of flora and vegetation to

urbanization in Central Europe. dalam Pickett (2001).

Laros et al. 2013. Ecosystem-based approaches to building

resilience in urban areas: towards a framework for

decision-making criteria ICLEI: Johannesburg.

Lomborg, Bjorn (2012). Environmental Alarmism: Then and

Now, Foreign Affairs Edisi Juli Agustus 2012 diakses

online dari http://www.foreignaffairs.com/

articles/137681/bjorn-lomborg/environmental-alarmism-

then-and-now pada 10 Mei 2014.

Mukaryanti, A,M. Zain, dan N. Suwedi. 2006. Keberlanjutan

Fungsi Ekologis Sebagai Basis Penataan Ruang Kota

Berkelanjutan Jurnal Teknolohi Lingkungan P3TL-BPPT

halaman 7-15.

Naess, P. (2001). Urban planning and sustainable

development. European Planning Studies, 9, 503–524.

OCHA. 2011. Indonesia: natural Hazard Risks. OCHA Regional

Office Asia Pacific: Jakarta.

Nurrizqi, E.H. dan Suyono. 2010. Pengaruh Perubahan

Penggunaan Lahan Terhadap Perubahan Debit Puncak

Banjir Di Sub Das Brantas Hulu, Universitas Gajah Mada:

Jogjakarta.

Pickett, STA. M,L. Cadenasso, J.M. Grove, C.M. Nilau, R.V.

Pouyat, W.C. Zipperer and R. Costanza. 2001. Urban Eco-

logical Systems: Linking Terrestrial Ecological, Physical,

and Socioeconomic Components of Metropolitan Areas.

Annual Ecology System, hal. 127-157.

Register, R. (2006). Ecocities: Rebuilding cities in balance with

nature. Gabriola Island, BC: New Society Publishers.

Soerianegara, I dan Indrawan, A. 1988. Ekologi Hutan

Indonesia. Laboratorium Ekologi. Fakultas Kehutanan.

Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sukopp, H. 1998. Urban Ecology—Scientific and Practical As-

pects. Dalam Pickett (2001).

Tuheteru, FD dan Mahfudz. 2012. Ekologi, Manfaat &

Rehabilitasi, Hutan Pantai Indonesia. Balai Penelitian

Kehutanan Manado. Manado, Indonesia. 178 hal.

Van Leeuwen, M, R. A Jiménez, P. van Eijk, dan Vervest. M,J.

2013. Mengintegrasikan ekosistem ke dalam praktik

resiliensi: Kriteria untuk Pengurangan Risiko Bencana dan

Adaptasi Perubahan Iklim Cerdas-Ekosistem Wetlands

International: Jakarta.

Volume 14 / No. 1 / April 2016

Page 26: OCHA, 2011

GEOGRAFIANA

B ulan Maret 2016, hampir di sebagian

wilayah Indonesia terjadi dua

fenomena yang cukup langka.

Kedua fenomena tersebut yaitu gerhana

matahari total pada tanggal 9 Maret serta

gerhana bulan penumbra yang terjadi tak

sampai tiga minggu kemudian, tepatnya

pada tanggal 23 Maret.

Menjelang gerhana matahari total, tak ayal

seluruh media baik cetak maupun

elektronik menjadikan peristiwa langka

tersebut menjadi tajuk berita hingga hari H.

Hal ini bahkan menggenjot sektor

pariwisata di mana Palembang, Belitung,

Palangkaraya, Balikpapan, Sampit, Luwuk,

Ternate, Tidore hingga Halmahera menjadi

tujuan para pelancong dan peneliti yang

akan menyaksikan fenomena langka ini.

Selain kota dan pulau tersebut di atas,

sebenarnya gerhana matahari masih bisa

disaksikan. Hanya saja gerhana matahari

yang dilihat tidak dalam fase yang

sempurna tetapi gerhana matahari

sebagian atau nama kerennya partial solar

eclipse.

MARET, BULANNYA GERHANA

Oleh: Anggi Kusumawardhani

Foto: Candra Manan Mangan

Volume 14 / No. 1 / April 2016

Page 27: OCHA, 2011

Gambar 1. Gerhana Matahari Parsial

Gambar 2. Gerhana Bulan Penumbra

Kebetulan saya sedang tinggal di Kota Medan

sehingga hanya bisa menyaksikan gerhana

matahari sebagian saja. Walaupun begitu

mengingat siklus gerhana matahari yang lewat di

Indonesia yang terhitung jarang-jarang dalam

kurun tiga dekade terakhir terakhir tentunya hal ini

tidak akan bisa dilewatkan begitu saja.

Lain hal dengan gerhana matahari, ketika saya

mengabadikan gerhana bulan penumbra pada

tanggal 23 Maret, merupakan sesuatu yang tidak

disengaja. Saat itu bulan purnama terlihat

paripurna. Namun ternyata jika dilihat lebih teliti,

terdapat bayangan kehitaman pada permukaan

bulan yang tampak. Belakangan saya ketahui

kemudian jika hal tersebut merupakan

kenampakan dari gerhana bulan penumbra.

Beberapa hasil pengambilan gambar gerhana

matahari serta bulan penumbra sebagai berikut

yang diambil dari Kota Medan.

Foto: Alfi Syahrin

Volume 14 / No. 1 / April 2016

Page 28: OCHA, 2011

GEOGRAFIANA

A pril 2015 menjadi satu

peristiwa penting,

karena Bapak Dr. Djoko

Harmantyo, M.S. yang

merupakan dosen geografi

pertama yang meraih gelar

doktor, akan memasuki masa

pensiun dari PNS. Peristiwa ini

bertepatan pula dengan hari

ulang tahun Pak Djoko

(panggilan akrabnya) yang ke 65

tahun. Masa pengabdian yang

panjang dan masih bisa terus

menjadi dosen tidak tetap di

Departemen Geografi,

terutamanya ditingkat magister

geografi. Pada kesempatan itu

atas inisiatif Pak Djoko dan

dibantu Senat Mahasiswa, De-

partemen Geografi FMIPA UI

mengadakan acara ―Bincang-

Bincang dengan Pak Djoko‖.

BINCANG-BINCANG BERSAMA:

DEPARTEMEN GEOGRAFI, FMIPA UI, 20 APRIL 2016

Oleh: Adi Wibowo

Volume 14 / No. 1 / April 2016

Page 29: OCHA, 2011

Acara dikemas dengan santai

berisikan cerita tentang awal

Pak Djoko kuliah hingga men-

jadi dosen, hingga pada tahun

2015 dengan menjabat sebagai

Ketua Departemen Geografi.

Pengalaman beliau mengelola

sebuah lembaga pendidikan

komputer juga bisa menjadi

inspirasi kreatif dalam berkarya.

Dalam acara ini pula pak Djoko

menginformasikan ada buku

yang sedang disusun dan akan

segera diterbitkan. Di awal acara

juga ada komentar perwakilan

dari mahasiswa tentang Pak

Djoko dan Geografi di masa

kepemimpinan Pak Djoko

sebagai Ketua Departemen.

Terakhir acara ditutup dengan

hadiah kue ulang tahun dari

mahasiswa dan makan nasi

tumpeng bersama.

Volume 14 / No. 1 / April 2016

Page 30: OCHA, 2011

GEOGRAFIANA

S eminar International di Yogyakarta pada bulan-

Januari 2016 membuat beberapa sub tema un-

tuk didiskusikan yaitu Rural-Urban Transfor-

mation, Urban Resilience, Risk and Disaster Manage-

ment,

Urbanization, Employment and Urban Poverty, Urban

Planning and Urban Governance, Socio-economic

impacts of urbanizations, Urban Future and Aspirations

Natural Resources Governance and Urbanizations,

Natural Resources Governance and Urbanizations,

Community and the Asian City, dan Land Urban

development and housing in Asia.

Sebagai pembicara utama adalah:

Prof. Ashok K. Dutt (Founding Members of Asian

Urban Research Associations, Professor Emeritus in

Public Administrations and Urban Studies,

Geography and Planning University of Akron)

Prof Dr. Annelies Zoomers (Professor International

Development Studies-Chair of LANDac,

Department Human Development and Planning,

Faculty Geoscience, Utrecht University,

Netherlands)

Prof. Dr. Frauke Krass (Professor for Human

Geography, Chair-Institute of Geography, University

of Cologne, Germany (Mega) Urban Research of

Southeast Asia)

Peserta yang hadir mewakili antara lain:

The University of Akron, USA

University of Cologne, Germany

Utrecht University, the Netherland

Shippensburg University, USA

University of Bucharest, Romania

Banaras Hindu University, India

University of Helsinki, Finland

National University of Singapore, Singapore

University of Malaya, Malaysia

Khon Kaen University, Thailand

Western Washington University, USA

Group (AGSP), Universitas Gadjah Mada, Indonesia

University Indonesia, Indonesia

AAG (Association of American Geographer)

AGSG (The Asian Geography Specialty Group)

The Regional Development and Planning Specialty

(RDPSG)

Forum for Urban Future in Southeast Asia

Network of Southeast Asian and German Expert

(Forum)

Ikatan Geograf Indonesia

Asosisasi Sekolah Perencanaan Indonesia.

The 13th International Asian Urbanization Conference:

AND SUSTAINABLE DEVELOPMENT IN ASIA

Oleh: Adi Wibowo

Volume 14 / No. 1 / April 2016

Page 31: OCHA, 2011

outh East Asia Geographer Association (SEAGA)

adalah asosiasi yang mewadahi kegiatan

akademik para peminat bidang ilmu geografi,

terutama di kawasan Asia Tenggara. Namun secara

faktual, para penggiat di asosiasi ini bukan hanya

peneliti dari Asia Tenggara namun juga mereka yang

melakukan penelitian di kawasan ini. Banyak peneliti

dari Eropa, Amerika Serikat, Australia dan juga Asia

Timur, Selatan dan Barat, yang melakukan penelitian

dan mempublikasikan hasil penelitian mereka di

berbagai jurnal, tentang Asia Tenggara. Beberapa

universitas di luar Asia Tenggara memiliki program yang

mengkhususkan diri dalam kajian Asia Tenggara.

Karena itu, konferensi yang diadakan setiap dua tahun

sekali selalu diramaikan oleh peminat bidang ilmu

geografi dari berbagai penjuru dunia.

Selain para geograf, konferensi ini juga dihadiri oleh

para guru bidang ilmu geografi, terutama dari

Singapura. Diskusi yang berkembang di antara para

guru adalah yang terkait dengan metode pembelajaran

pada aras pendidikan dasar dan menengah. Sementara

para dosen banyak melakukan diskusi yang terkait

dengan kegiatan praktikum dan kulaih lapangan.

Sekretariat SEAGA yang berada di Singapore dan

diketuai oleh Assoc. Prof. Dr. Chang Chew Hung, yang

saat ini aktif mendorong para peneliti untuk

mempublikasikan hasil penelitiannya di jurnal

bereputasi. Salah satu program kerjanya adalah

mendorong lebih banyak makalah yang layak

dipublikasikan pada jurnal bereputasi, pada konferensi

SEAGA ke-13 yang akan diselenggarakan di Universitas

Indonesia, pada tahun 2017. Sebagai penyelenggara

konferensi pada tahun 2017, Departemen Geografi

menyusun peta jalan penelitian yang kuat, agar dapat

memenuhi target yang ditetapkan oleh Sekretariat di

Singapura.

Volume 14 / No. 1 / April 2016

GEOGRAFIANA

SOUTHEAST ASIA GEOGRAPHER ASSOCIATION

WADAH GEOGRAF DI TINGKAT ASEAN

Oleh: Widyawati

Page 32: OCHA, 2011