Upload
imam-bukhori
View
398
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Semenjak manusia dilahirkan, manusia telah bergaul dengan manusia
lainnya dalam wadah yang dikenal sebagai masyarakat. Mula-mula ia
berhubungan dengan orang tuanya dan setelah usiannya meningkat dewasa ia
hidup bermasyarakat, dalam masyarakat tersebut manusia saling berhubungan
dengan manusia lainnya, sehingga menimbulkan kesadaran pada diri manusia
bahwa kehidupan dalam masyarakat berpedoman pada suatu aturan yang oleh
sebagian besar warga masyarakat tersebut ditaati. Hubungan antara manusia
dengan manusia dan masyarakat diatur oleh serangkaian nilai-nilai dan
kaidah-kaidah.
Dalam setiap hubungan bermasyarakat, keamanan dan kenyamanan
dalam kehidupan sangatlah penting, sehingga demi terwujudnya keamanan
dilingkungan masyarakat maka dibuatlah sebuah peraturan hukum yang
bersifat mengatur dan memaksa setiap anggota masyarakat agar taat dan
mematuhi hukum. Setiap hubungan masyarakat tidak boleh bertentangan
dengan ketentuan-ketentuan dalam aturan yang ada dan berlaku dalam
masyarakat.
1
Sanksi yang berupa hukuman (pidana) akan dikenakan bagi
masyarakat yang melanggar peraturan hukum tersebut haruslah sesuai dengan
asas-asas keadilan dalam masyarakat, supaya peraturan hukum dapat
berlangsung terus dan diterima oleh seluruh anggota masyarakat.
Pada hakekatnya tindak pidana atau strafbaar feit adalah perilaku
yang pada waktu tertentu dalam konteks suatu budaya dianggap tidak dapat
ditolerir dan harus diperbaiki dengan mendayagunakan sarana-sarana yang
disediakan oleh hukum pidana.1 Perilaku tersebut merupakan suatu perbuatan
yang mengandung unsur perbuatan atau tindakan yang dapat dipidanakan dan
ada unsur pertanggungjawaban pidana kepada pelakunya.
Dalam hukum pidana berlaku asas Nullum Delictum Sine Praevia
Lege Poenali bahwa peristiwa pidana tidak akan ada, jika ketentuan pidana
dalam Undang-Undang tidak ada terlebih dahulu, maka pengertian tindak
pidana itu terpisah dengan yang dimaksud pertanggungjawaban tindak
pidana.2
Namun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pembuat
Undang-Undang menerima kemungkinan bahwa seseorang bisa saja telah
memenuhi segala unsur dalam rumusan delik namun tidak dikenai pidana
apapun. Didalamnya tercakup pengakuan bahwa tindak pidana dapat
dilakukan dalam situasi dan kondisi tertentu sedemikian rupa sehingga pidana
tidak perlu dijatuhkan. Dasar-dasar yang meniadakan pidana dirumuskan
1 Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal 61.
2 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (Bogor : Politeia, 1993), hal 27.
2
dalam ketentuan Pasal 44 KUHP perihal gangguan psikis, Pasal 48 KUHP
tentang daya paksa atau overmacht, Pasal 49 KUHP perihal pembelaan
terpaksa atau noodweer, Pasal 50 KUHP tentang kewajiban menjalankan
Undang-Undang dan Pasal 51 KUHP perihal perintah jabatan.
Berdasarkan beberapa dasar-dasar peniadaan pidana, maka pada
kesempatan ini pembelaan terpaksa atau noodweer yang akan menjadi bahasan
dan dianalisis lebih lanjut oleh penulis, hal ini dimaksudkan agar analisis yang
dilakukan penulis akan jauh lebih mendalam dibandingkan dengan membahas
kesemua dasar-dasar alasan peniadaan pidana.
Salah satu contoh kasus yang berkaitan dengan noodweer ini adalah
tindak penganiayaan yang dilakukan oleh Grace dan keluarga terhadap Robby
Lesmana dengan nomor Putusan Mahkamah Agung No.416 K/Pid/2009
dimana Grace dan Robby Lesmana adalah sepasang suami istri yang tengah
menjalani proses perceraian dan mempunyai seorang anak bernama Richelle
yang pengasuhannya dilakukan secara bergantian oleh Grace dan Robby.
Ketika Robby bersama Kuasa hukumnya bernama Adardam yang datang ke
rumah Grace dengan maksud menjemput anaknya Richelle berdasarkan
perjanjian hak asuh yang telah dibuat dan disepakati bersama oleh grace dan
Robby dimana saat itu tiba gilirannya Robby untuk mengasuh Richelle, pada
saat Robby menghampiri Grace yang sedang menggendong Richelle yang
berada didepan pintu rumah, Richelle menangis ketika akan dibawa pergi oleh
Robby, mendengar tangisan Richelle tiba-tiba keluar Winarno Sarkawi yang
langsung menghampiri serta mendorong dan memukul Robby, kemudian
3
diikuti dengan tindakan Grace yang juga melakukan pemukulan terhadap
Robby dengan maksud mengambil kembali anaknya Richelle yang menangis
dalam gendongan Robby.
Kuasa hukum yang berada diluar pagar kemudian menghampiri
dengan maksud melerai peristiwa pemukulan tersebut tetapi beliau juga
dipukul oleh Winarno Sarkawi dan Grace, Melihat keadaan yang tidak
kondusif itu kedua korban akhirnya langsung naik ke mobil dan pergi. Setelah
peristiwa pemukulan tersebut kemudian Robby ditemani Kuasa hukumnya
Adardam melaporkannya kepada pihak kepolisian yang akhirnya sampai pada
tingkat pengadilan.
Di Pengadilan Negeri Bandung, setelah bukti-bukti dihadirkan
dipersidangan dan membaca tuntutan pidana Jaksa Penuntut Umum kemudian
Hakim menyatakan bahwa terdakwa Winarno Sarkawi dan terdakwa Grace
telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
secara terang-terangan dan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap
orang dan menjatuhkan pidana penjara masing-masing selama 10 bulan
kepada terdakwa Winarno sarkawi dan terdakwa Grace.
Setelah putusan hakim diberikan, para terdakwa melakukan upaya
hukum banding yang kemudian pada tingkat banding Hakim Pengadilan
Tinggi Bandung menyatakan bahwa terdakwa Winarno Sarkawi dan terdakwa
Grace terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan tetapi merupakan
pembelaan darurat noodweer sehingga melepaskan kedua terdakwa dari semua
tuntutan hukum. Jaksa Penuntut Umum yang keberatan terhadap
4
pertimbangan Hakim Pengadilan Tinggi tersebut kemudian melakukan upaya
hukum kasasi dengan disertai alasan-alasan yang pada pokoknya bahwa
putusan Judex Facti Pengadilan Tinggi dalam melepaskan kedua terdakwa
dari semua tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging) karena
perbuataannya termasuk dalam apa yang diatur pada Pasal 49 ayat 2 KUHP
adalah telah salah dalam penerapan hukumnya.
Akhirnya pada Putusan Mahkamah Agung permohonan kasasi Jaksa
Penuntut ditolak dan memperbaiki amar putusan Pengadilan Tinggi sehingga
menyatakan terdakwa Winarno Sarkawi bersalah dan terbukti melakukan
tindak pidana dan dipidana penjara selama 10 bulan dan kepada terdakwa
Grace terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan tetapi perbuatan
tersebut merupakan pembelaan darurat noodweer sehingga melepaskan nya
dari semua tuntutan.
Berdasarkan uraian diatas, maka permasalahan yang akan dikaji
dalam penulisan skripsi ini berjudul: Noodweer Exces Sebagai Dasar
Peniadaan Pidana (Contoh Kasus Putusan M.A Nomor : 416 K/Pid/2009)
Terhadap Penganiayaan Suami Oleh Istri dan Keluarganya.
B. Permasalahan
Permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah:
Mengapa alasan nodweer exces dijadikan dasar pertimbangan hakim sebagai
alasan pemaaf dalam kasus Putusan M.A 416 K/Pid/2009?
5
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui alasan nodweer exces
dijadikan dasar pertimbangan hakim sebagai alasan pemaaf dalam kasus
Putusan M.A 416 K/Pid/2009.
2. Kegunaan
a. Penelitian ini merupakan kewajiban mahasiswa yang akan
menyelesaikan studi tingkat akhir dan merupakan salah satu syarat
untuk memperoleh gelar kesarjanaan atau memenuhi program S1 di
Universitas Tarumanagara. Selain itu merupakan bentuk sumbangan
pikiran yang bermanfaat bagi masyarakat khususnya dibidang ilmu
pengetahuan hukum yang berkaitan dengan bela paksa noodweer.
b. Kegunaan penelitian secara khusus yaitu merupakan suatu studi
dibidang hukum pidana di mana penulis berharap penelitian ini dapat
memberikan gambaran secara jelas perihal bagaimana seharusnya suatu
tindakan yang dihadapi seseorang dalam suatu keadaan dapat
digolongkan kedalam upaya bela paksa noodweer.
D. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan
antara konsep-konsep yang diteliti.3 Pengertian lain menyebutkan kerangka
konseptual berisi uraian konsep-konsep yang berhubungan dengan variabel
3 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Edisi III, (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 132
6
penelitian.4 Kerangka konseptual ini merumuskan definisi operasional yang
dapat dijadikan pedoman di dalam proses pengumpulan, pengolahan, analisis,
dan konstruksi data.
Kerangka konseptual dalam penulisan ini, terdapat istilah-istilah yang
dipakai oleh penulis dan untuk mempermudah pembaca mengerti akan istilah
tersebut, maka penulis memberikan definisi dari konsep-konsep yang ada
dalam judul skripsi ini yang dapat diuraikan sebagai berikut:
Nodweer adalah pembelaan diri dalam keadaan terpaksa.5 Noodweer
exces Pasal 49 ayat (2) KUHP, melampaui batas pertahanan yang sangat
perlu, jika perbuatan itu dengan seketika itu juga dilakukan karena perasaan
tergoncang dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum.6
Pidana adalah hukum, undang-undang atau hukum tentang perkara
kejahatan.7 Istilah tindak pidana adalah dimaksudkan sebagai terjemahan
dalam bahasa Indonesia untuk istilah bahasa Belanda strafbaar feit atau
delict.8 Untuk terjemahan itu, dalam bahasa Indonesia, di samping istilah
tindak pidana, juga telah dipakai dan beredar beberapa istilah lain baik dalam
buku-buku ataupun dalam peraturan tertulis, yang penulis jumpai antara lain:9
perbuatan yang dapat dihukum, perbuatan yang boleh dihukum, peristiwa
pidana, pelanggaran pidana, perbuatan pidana dan tindak pidana. Jadi dengan
4 Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Pedoman Penulisan Skripsi Bidang Hukum, (Jakarta: Peraturan Dekan FH-Untar Nomor 015-D/FHUNTAR/II/2011, 2011), Lampiran 2
5 J.C.T. Simorangkir, dkk, Kamus Hukum, Cetakan Kesebelas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal.106
6 Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 49 Ayat (2)s7 Darmansyah, Kamus Bahasa Indonesia Dengan Ejaan Yang Disempurnakan Menurut
Pedoman, Cetakan I, (Jakarta : Batavia Press, 2008), hal. 4248 K. Wantjik Saleh. Tindak Pidana Korupsi dan Suap, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1971),
hal.159 Ibid.
7
demikian ada enam istilah untuk menterjemahkan kalimat strafbaar feit atau
selict. Menurut Wantjik Saleh, di antara keenam istilah itu yang paling baik
dan tepat untuk dipergunakan adalah antara dua istilah yaitu tindak pidana
atau perbuatan pidana. Kedua istilah itu di samping mendukung pengertian
yang tepat dan jelas sebagai suatu istilah hukum, juga mudah untuk
diucapkan dan enak didengar. Pemerintah dalam beberapa peraturan
perundang-undangan selalu memakai istilah tindak pidana, seperti juga
ternyata dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Aniaya dalam Kamus Hukum berarti perbuatan menyakiti, menyiksa
atau bengis terhadap manusia atau binatang. Penganiayaan atau mishandeling
terhadap manusia adalah kejahatan sebagaimana dalam Pasal 351 KUHP,
“dengan sengaja mengurangi atau merusak kesehatan orang disamakan
dengan penganiayaan”.10 Menurut Tirtaamidjaja membuat pengertian
penganiayaan sebagai berikut: menganiaya ialah dengan sengaja
menyebabkan sakit atau luka pada orang lain, tidak dapat dianggap sebagai
penganiayaan kalau perbuatan itu dilakukan untuk menambah keselamatan
badan.11
Sarjana hukum Indonesia membedakan istilah hukuman dan pidana
yang dalam bahasa Belanda hanya dikenal satu istilah untuk keduanya, yaitu
straf12. Istilah hukuman adalah istilah umum untuk segala macam sanksi baik
10 Sudarsono, Kamus Hukum, Cetakan ke-6, (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2009), hal. 34.11 Tirtaamidjaja, Pokok-Pokok Hukum Pidana, (Jakarta : Fasco, 1955), hal 174.12 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta : Rineka Cipta, 1994), hal 27.
8
perdata, administratif, disiplin dan pidana. Sedangkan istilah pidana diartikan
sempit yang berkaitan dengan hukum pidana.13
Keluarga dalam Kamus Hukum memiliki pengertian: ibu bapak
dengan anak-anaknya; seisi rumah.14 Selain itu pengertian keluarga menurut
Abu Ahmadi sebagaimana mengutip pendapat dari beberapa ahli seperti
Sigmund Freud, keluarga itu terbentuk karena adanya perkawinan pria dan
wanita. Adler, keluarga itu dibangun berdasarkan pada hasrat atau nafsu
berkuasa. Durkheim berpendapat bahwa keluarga adalah lembaga sosial
sebagai hasil faktor-faktor politik, ekonomi dan lingkungan. Ki Hajar
Dewantara berpendapat bahwa keluarga adalah kumpulan beberapa orang
yang karena terikat oleh satu turunan lalu mengerti dan merasa berdiri sebagai
gabungan yang hakiki, esensial, enak dan berkehendak bersama-sama
memperteguh gabungan itu untuk memuliakan masing-masing anggotanya.15
E. Metode Penelitian
Penelitian yang diterapkan dalam penulisan skripsi ini menggunakan
penelitian hukum normatif, yang diteliti hanya bahan pustaka atau data
sekunder.16
Data sekunder adalah data tidak langsung yang di peroleh dari
kepustakaan, yang dibedakan atas bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, dan bahan hukum tertier, dengan penjelasan sebagai berikut :
13 Ibid, hal 27.14 Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta : Rineka Cipta, 2007), hal 217.15 Abu Ahmadi, Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hal 95.16 Roni Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Cetakan-4, (Jakarta :
Ghalia Indonesia, 1990), hal 52.
9
1. Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum yang sifatnya mengikat berupa
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ada kaitannya dengan
permasalahan yang dibahas, meliputi :
a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
b. Salinan Putusan MA No.416 K/Pid/2009
2. Bahan Hukum Sekunder adalah bahan hukum yang sifatnya
menjelaskan bahan hukum primer, dimana bahan hukum sekunder berupa
buku/ literatur, hasil karya sarjana yang berhubungan dengan penulisan
skripsi.
3. Bahan Hukum Tertier adalah merupakan bahan hukum sebagai
pelengkap dari kedua bahan hukum sebelumnya, berupa:17
a. Kamus Hukum.
b. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Pendekatan Penelitian yang dilakukan oleh penulis menggunakan
pendekatan kasus yang dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap
kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.18 Untuk
mendukung penelitian ini, penulis melakukan wawancara dengan Bapak
Amril selaku hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat dan Bapak Firman
Wijaya selaku praktisi hukum.
Adapun cakupan dalam penelitian ini yang diteliti perihal asas-asas
hukum pada Pasal 49 Ayat (2) KUHP atas pertanggungjawaban pidana
17 Ibid, hal 52.18 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cetakan ke-4, (Jakarta:Kencana, 2008), hal 94
10
terhadap perbuatan pemukulan yang menjadi dasar pemaaf karena pemukulan
tersebut dilakukan atas dasar nodweer exces (pembelaan terpaksa).
F. Sistematika Penulisan
Sistematika bertujuan agar penulisan ini dapat terarah dan sistematis,
sehingga dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi menjadi 5 (lima)
bab yaitu sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab pertama ini menguraikan latar belakang, permasalahan,
tujuan, dan kegunaan penelitian, kerangka konseptual, metode
penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II KERANGKA TEORETIS
Pada bab kedua menguraikan beberapa teori yang digunakan dalam
penulisan skripsi ini. Beberapa teori yang dapat dikemukakan
diantaranya teori pertanggungjawaban pidana, lingkup tindak
pidana penganiayaan serta dasar penghapus pidana.
BAB III DATA HASIL PENELITIAN
Pada bab ketiga mengurikan tentang data hasil penelitian yaitu
kronologi kasus penganiayaan dalam Putusan MA No.416
K/Pid/2009 dan pendapat narasumber perihal pertimbangan hakim
yang membebaskan terdakwa III Grace binti Winarno dengan
alasan noodweer exces.
BAB IV ANALISIS
11
Pada bab ini merupakan analisis yang merupakan inti dari
penulisan skripsi. Uraian analisis ini untuk menjawab permasalahan
alasan noodweer exces dijadikan dasar pertimbangan hakim
sebagai alasan pemaaf dalam kasus Putusan M.A 416 K/Pid/2009.
BAB V PENUTUP
Dalam bab terakhir ini berisikan tentang kesimpulan dan saran
penulis. Adapun isi dari kesimpulan adalah tentang jawaban dari
permasalahan yang ada dan saran yang merupakan rekomendasi
penulis sebagai alternatif penyelesaian masalah.
12
BAB II
KERANGKA TEORETIS
A. Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana sudah muncul sejak zaman Revolusi
Prancis, pada masa itu tidak saja manusia yang dapat pertanggungjawaban
tindak pidana bahkan hewan atau benda mati lainya pun dapat di
pertanggungjwabkan tindak pidana. Seseorang tidak saja mempertanggung-
jawabkan tindak pidana yang dilakukanya, akan tetapi perbuatan orang lain
juga dapat dipertanggungjawabkan karena pada masa itu hukuman tidak hanya
terbatas pada pelaku sendiri tetapi juga dijatuhkan pula pada keluarga atau
teman-teman pelaku meskipun mereka tidak melakukan tindak pidana.
Hukuman yang di jatuhkannya atas atau jenis perbuatan sangat berbeda-beda
yang disebabkan oleh wewenang yang mutlak dari seorang hakim untuk
menentukan bentuk dan jumlah hukuman.
Perihal pertanggungjawaban pidana, maka tidak dapat dilepaskan
dengan tindak pidana. Sebab tindak pidana baru bermakna manakala terdapat
pertanggungjawbaan pidana, sedangkan pengertian pertanggung-jawaban
pidana adalah diteruskannya celaan yang obyektif yang ada pada tindak
13
pidana dan secara subyektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk
dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu.19
Dasar adanya tindak pidana adalah asas legaligtas, sedangkan dasar
dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Hal ini mengandung arti
bahwa pembuat atau pelaku tindak pidana hanya dapat dipidana jika ia
mempunya kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapan seorang
dikatakan mempunyai kesalahan merupakan hal yang menyangkut masalah
pertanggungjawaban pidana. Seseorang mempunyai kesalahan bilamana pada
waktu melakukan tindak pidana, dari segi kemasyarakatan ia dapat dicela oleh
karena perbuatannya tersebut.
Pertanggungjawaban (pidana), menjurus kepada pemidanaan
pentindak, jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-
unsurnya yang telah ditentukan oleh undang-undang. Dilihat dari sudut
terjadinya suatu tindakan yang terlarang, seseorang akan dipertanggung-
jawabkan pidana atas tindakan-tindakan tersebut apabila tindakan tersebut
melawan hukum (dan tidak ada peniadaan sifat melawan hukum atau alasan
pembenar) untuk itu. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab, maka
hanya seseorang yang mampu bertanggungjawab yang akan dipertanggung-
jawabkan.
Seseorang yang mampu bertanggungjawab (teorekeningsvatbaar),
dapat diilihat dari keadaan jiwanya maupun kemampuan jiwanya, seperti:20
a. Keadaan jiwanya
19 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Cet. III, (Jakarta: Storia Grafika, 2002), hal. 235.
20 Ibid, hal. 429
14
1. Tidak terganggu oleh penyakit terus menerus atau sementara (temporer).
2. Tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, imbecile).3. Tidak terganggu karena terkejut, hipnotisme, amarah yang meluap,
pengaruh bawah sadar (reflexe beweging), melindur (slaapwander), menggigau karena demam (korst). Dengan perkataan lain harus dalam keadaan sadar.
b. Kemampuan jiwanya
1. Dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya.2. Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah akan
dilaksanakan atau tidak.3. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.
Kemampuan bertanggungjawab didasarkan keadaan dan kemampuan
jiwa (geestelijke vermogens), dan bukan keadaan dan kemampuan berpikir
(verstandrilijke vermogenas) dari seseorang. Tanggungjawab pidana
dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersangka atau terdakwa
dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana (crime) yang terjadi atau
tidak. Dengan perkataan lain apakah terdakwa akan dipidana atau dibebaskan.
Jika ia dipidana, harus terbukti bahwa tindakan yang dilakukan itu bersifat
melawan hukum dan terdakwa mampu bertanggungjawab. Kemampuan
tersebut memperlihatkan kesalahan dari petindak yang berbentuk kesengajaan
atau kealpaan. Artinya tindakan tersebut tercela dan tertuduh menyadari
tindakan yang dilakukan tersebut.21
Hubungan petindak dengan tindakannya dalam rangka
mempertanggungjawab-pidanakan petindak atas tindakannya, agar supaya
21 Ibid.
15
dapat ditententukan pemidanaan kepada petindak harus diteliti dan dibutikan
bahwa:22
1. Subyek harus sesuai dengan perumusan undang-undang.2. Terdapat kesalahan pada petindak.3. Tindakan kesalahan pada petindak.4. Tindakan itu harus bersifat melawan hukum.5. Tindakan itu dilarang dan diancam dengan piana oleh undang-
undang dalam arti luas.6. Dan dilakukannya tindakan itu sesuai dengan tempat, waktu dan
keadaan-keadaan lainnya yang ditentukan dalam undang-undang.
Pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya
seseorang telah melakukan suatu tindak pidana. Moeljatno mengatakan,
seseorang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi hukuman) kalau
dia tidak melakukan suatu tindak pidana. Dengan demikian,
pertanggungjawaban pidana pertama-tama tergantung pada dilakukannya
tindak pidana. Pertanggungjawaban pidana hanya akan terjadi jika sebelumnya
telah ada seseorang yang melakukan suatu tindak pidana. 23
B. Lingkup Bidang Tindak Pidana Penganiayaan
Kejahatan tindak pidana yang dilakukan terhadap tubuh dalam segala
perbuatan-perbuatannya sehingga menjadikan luka atau rasa sakit pada tubuh
bahkan sampai menimbulkan kematian bila kita lihat dari unsur kesalahannya,
dan kesengajaannya diberikan kualifikasi sebagai penganiayaan
(mishandeling), yang dimuat dalam BAB XX Buku II, Pasal 351 sampai
dengan Pasal 356 KUHP. Penganiayaan merupakan perbuatan dengan
22 Ibid., hal. 253.23 Khairul Huda, Dari dan Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Cet. II, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), hal.19.
16
menyebabkan sakit atau luka pada orang lain. Akan tetapi perbuatan yang
menyebabkan sakit atau luka pada orang lain, tidak dapat dianggap sebagai
penganiayaan kalau perbuatan itu dilakukan untuk menambah keselamatan
badan.24
Pasal 351 KUHP dirumuskan bahwa setiap perbuatan yang dilakukan
dengan sengaja untuk memberikan penderitaan badan kepada orang lain, atau
setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk merugikan kesehatan
badan orang lain.25
Sementara dalam ilmu pengetahuan hukum pidana atau doktrin,
penganiayaan diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan dengan sengaja
menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh orang lain. Berdasarkan doktrin
tersebut bahwa setiap perbuatan yang dengan sengaja menimbulkan rasa sakit
atau luka-luka pada tubuh merupakan penganiayaan yang terhadap pelakunya
diancam pidana. Padahal dalam kehidupan sehari-hari cukup banyak
perbuatan yang dengan sengaja menimbulkan rasa sakit ataupun luka tubuh
yang terhadap pelakunya tidak semestinya diancam dengan pidana. Sebagai
contoh dikemukakan:
a. Seorang guru yang
memukul muridnya karena tidak mengerjakan tugas
b. Seorang dokter yang
melukai tubuh pasien dalam operasi.
24 Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh, (Jakarta: Sinar Grafika, 1999), hal.5.
25 Ibid, hal.6.
17
Bertolak dari adanya kelemahan yang cukup mendasar tersebut, dalam
perkembangannya muncul yurisprudensi yang mencoba menyempurnakan
Arrest Hooge Raad tanggal 10 Februari 1902, yang sesara substansial
menyatakan:26
Jika menimbulkan luka atau sakit pada tubuh bukan menjadi tujuan,
melainkan suatu saranabelaka untuk mencapai suatu tujuan yang patut,
maka tidaklah ada penganiayaan. Contohnya dalam batas-batas yang
diperlukan seorang guru atau orangtua memukul seorang anak.
Berdasarkan yurisprudensi ini tersimpul pendapat bahwa tidak setiap
perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau
luka pada tubuh merupakan suatu perbuatan penganiayaan.
Berdasarkan Arrest Hooge Raad dan doktrin di aats, maka menurut
Adami Chazawi penganiayaan dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang
dilakukan dengan sengaja yang ditujukan untuk menimbulkan rasa sakit atau
luka pada tubuh orang lain, yang akibat mana semata-mata merupakan tujuan
si petindak.27
Berdasarkan uraian tentang penganiayaan tersebut di atas, maka
rumusan penganiayaan menurut unsur-unsur sebagai berikut:
1. Unsur kesengajaan
2. Unsur perbuatan
26 Tongat, Hukum Pidana Materil, (Jakarta: Djambatan, 2003), hal.7127 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa (Malang: Biro Konsultasi dan
Bantuan Universitas Brawijaya Malang, 1999), hal. 14.
18
3. Unsur akibat perbuatan (yang dituju) yaitu rasa sakit, tidak enak pada
tubuh dan luka tubuh.
4. Akibat mana terjadi satu-satunya tujuan si pelaku.
Untuk lebih memperjelas tindak pidana penganiayaan sebagaimana
terurai di atas, berikut ini diuraikan makna dari masing-masing unsur tersebut:
1. Unsur kesengajaan
Unsur kesengajaan dalam tindak pidana penganiayaan diartikan
sebagai kesengajaan sebagai maksud. Berbeda dengan tindak pidana lain
seperti pembunuhan, unsur kesengajaan harus ditafsirkan secara luas yaitu
meliputi kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan sebagai kepastian dan
kesengajaan sebagai kemungkinan. Penafsirannya adalah unsur
kesengajaan dalam tindak pidana ditafsir sebagai kesengajaan sebagai
maksud (opzet alsa ogmerk), maka seorang baru dapat dikatakan
melakukan tindak pidana penganiayaan apabila orang itu mempunyai
maksud menimbulkan akibat berupa rasa sakit atau luka pada tubuh. Jadi,
dalam hal ini maksud orang itu harus ditujukan pada perbuatan dan rasa
sakit atau luka pada tubuh.
Walaupun secara prinsip kesengajaan dalam tindak pidana
penganiayaan harus ditafsirkan sebagai kesengajaan sebagai maksud,
namun dalam hal-hal tertentu kesengajaan dalam penganiayaan juga dapat
ditafsirkan sebagai kesengajaan sebagai kemungkinan.28 hal ini pernah
28 Tongat, Op.Cit., hal. 73
19
dilakukan Hooge Raad dalam arresnya tanggal 15 Januari 1934, yang
menyatakan:29
Kenyataan bahwa orang telah melakukan suatu tindak pidana yang besar kemungkinan dapat menimbulkan perasaan sangat sakit pada orang lain itu merupakan suatu penganiayaan. Tidak menjadi soal bahwa dalam suatu kasus ini opzet pelaku telah tidak ditujukan untuk menimbulkan perasaan sangat sakit seperti itu melainkan telah ditujukan kepada perbuatan untuk melepaskan diri dari penangkapan oleh seorang pegawai polisi.Bertolak dari Arrest Hooge Raad di atas dapat diambul kesimpulan
bahwa terhadap terjadinya rasa sakit yang semestinya dipertimbangkan
oleh pleaku tetapi tidak dilakukannya sehingga karena perbuatana yang
dilakukan itu menimbulkan rasa sakit, telah ditafsirkan sebagai
penganiayaan. Dalam hal ini sekalipun pelaku tidak mempunyai maksud
untuk menimbulkan rasa sakit dalam perbuatannya, tetapi ia tetap
dianggap melakukana penganiayaan atas pertimbangan, bahwa mestinya ia
sadar bahwa perbuatan yang dilakukannya itu sangat mungkin
menimbulkan rasa sakit.
Namun demikian penganiayaan itu bisa ditafsirkan sebagai
kesengajaan dengan sadar akan kemungkinan, tetapi penafsiran tersebut
juga terbatas pada adanya kesengajaan sebagai kemungkinan terhadap
akibat. Artinya dimungkinkan penafsiran secara luas terhadap unsur-unsur
kesengajaan itu yaitu kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan sebagai
kemungkinan, bahkan kesengajaan sebagai kepastian hanya dimungkinkan
terhadap akibatnya. Sementara terhadap perbuatan itu haruslah merupakan
tujuan pelaku.
29 Ibid., hal.74.
20
2. Unsur perbuatan
Unsur perbuatan yang dimaksud dalam penganiayaan adalah
perbuatan dalam arti positif. Artinya perbuatan tersebut haruslah
merupakan aktivitas atau kegiatan dari manusia dengan menggunakan
(sebagian) anggota tubuhnya sekalipun sekecil apapun perbuatan itu.
Selain bersifat positif, unsur perbuatan dalam tindak pidana
penganiayaan juga bersifat abstrak. Artinya penganiayaan itu bisa dalam
berbagai bentuk perbuatan seperti memukul, mencubit, mengiris, mebacok
dan sebagainya.
3. Unsur akibat yang berupa rasa sakit dan luka tubuh
Rasa sakit dalama konteks penganiayaan mengandung arti sebagai
terjadinya atau timbulnya rasa sakit, rasa perih, tidak enak atau
penderitaan. Sementara yang dimaksud dengan luka adalah adanya
perubahan dari tubuh, atau terjadinya perubahan rupa tubuh sehingga
menjadi berbeda dari keadaana tubuh sebelum terjadinya penganiayaan.
perubahan rupa itu kisalnya lecet-lecet pada kaki kulit, putusnya jari
tangan, bengkak-bengkak pada anggota tubuh dan sebagainya.
Unsur akibat baik berupa rasa sakit atau luka dengan unsur
perbuatan harus ada hubungan kausal. Artinya harus dapat dibuktikan,
bahwa akibat yang berupa rasa sakit atau luka itu merupakan akibat
langsung dari perbuatan yang dilakukan oleh pelaku. Tanpa adanya
hubungan kausal antara perbuatan dengan akibat ini, maka tidak akan
dapat dibuktikan adanya tindak pidana penganiayaan.
21
4. Akibat mana yang menjadi tujuan satu-satunya
Unsur ini mengandung pengertian, bahwa dalam tindak pidana
penganiayaan akibat berupa rasa sakit atau luka pada tubuh itu haruslah
merupakan tujuan satu-satunya dari pelaku. Artinya pelaku memang
menghendaki timbulnya rasa sakit atau luka-luka dari perbuatan
(penganiayaan) yang dilakukannya. Jadi, untuk penganiayaan harus
dibuktikan bahwa rasa sakit atau luka tubuh itu menjadi tujuan dari pelaku.
Apabila akibat yang berupa rasa sakit atau luka bukan menjadi
tujuan dari pelaku, tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan
yang patut, maka dalam hal ini tidak terjadi penganiayaan.
Pada praktek penegakan hukum, persoalan yang muncul adalah apa
yang menjadi ukuran atau kriteria dari tujuan yang patut itu? Persoalan itu
mudah dijawab, sebab tidak ada ukuran atau kriteria umum baku yang
dapat dipakai sebagai pedoman. Oleh karena tidak ada ukuran yang
bersifat yang secara umum dapat diterapkan, maka ukuran atau kriteria
patut atau tidak patut diserahkan pada akal pikiran dan kebiasaan yang
berlaku dalam masyarakat. Sifatnya sangat kasusistis dan tergantung dari
kebiasaan dalam masyarakat setempat. Sebagai contoh perbuatan orang tua
memukul anaknya.
Menurut kebiasaan dalam masyarakat (mungkin untuk seluruh
masyarakat Indonesia) perbuatan tersebut diperbolehkan sepanjang tidak
berlebihan. Artinya sepanjang perbuatan pemukulan terhadap anak
tersebut tidak melampaui batas-batas kewajaran, maka perbuatan tersebut
22
(dianggap) tidak bertentangan dengan nilai-nilai kepatutan dalam
masyarakat.
Perbuatan pemukulan terhadap anak tersebut tidak dapat dianggap
sebagai perbuatan yang wajar dan menurut akal pikiran sudah berlebihan
dan karenanya tidak lagi dipandang sebagai perbuatan untuk mencapai
tujuan yang patut, apabila perbuatana pemukulan tersebut misalnya
dilakukan dengan menggunakan sepotong besi.
Sebagaimana yang telah dijabarkan di atas, bahwa penganiayaan
merupakan tindak pidana yang menyerang kepentingan hukum berupa tubuh
manusia. Di dalam KUHP terdapat ketentuan yang mengatur berbagai
perbuatan yang menyerang kepentingan hukum yang berupa tubuh manusia.
Adapun jenis-jenis penganiayaaan yang dimuat dalam BAB XX II,
Pasal 351 sampai dengan Pasal 355 KUHP adalah sebagai beriku:
1. Penganiayaan biasa Pasal 351
KUHP
2. Penganiayaan ringan Pasal 352 KUHP
3. Panganiayaan berencana Pasal 353 KUHP
4. Penganiayaan berat Pasal 354 KUHP
5. Penganiayaan berat Pasal 355 KUHP
Dari beberapa macam penganiayaan diatas kami mencoba untuk
menjelaskaannya satu persatu :
a. Penganiayaan biasa Pasal 351 KUHP.
Pasal 351 KUHP telah menerangkan penganiayaan ringan sebagai berikut:
23
1) Penganiayaan dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun
delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah.
2) Jika perbuatan itu menyebabkan luka-luka berat, yang bersalah
dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
3) Jika mengakibatkan mati, dipidana dengan pidana penjara paling lama
tujuh tahun.
4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak di pidana.
Kembali lagi dari arti sebuah penganiayaan yang merupakan suatu
tindakan yang melawan hukum, memang semuanya perbuatan atau
tindakan yang dilakukan oleh subyek hukum akan berakibat kepada
dirinya sendiri. Perihal penganiayaan biasa ini merupakan suatu tindakan
hukum yang bersumber dari sebuah kesengajaan. Kesengajaan ini berarti
bahwa akibat suatu perbuatan dikehendaki dan ini ternyata apabila akibat
itu sungguh-sungguh dimaksud oleh perbuatan yang dilakukan itu yang
menyebabkan rasa sakit, luka, sehingga menimbulkan kematian. Tidak
semua perbuatan memukul atau lainnya yang menimbulkan rasa sakit
dikatakan sebuah penganiayaan.
Oleh karena mendapatkan perizinan dari pemerintah dalam
melaksanakan tugas dan fungsi jabatannya, seperti contoh seorang guru
yang memukul anak didiknya, atau seorang dokter yang telah melukai
pasiennya dan menyebabkan luka, tindakan tersebut tidak dapat dikatakan
24
sebagai penganiayaan, karena ia bermaksud untuk mendidik dan
menyembuhkan penyakit yang diderita oleh pasiennya. Adapula timbulnya
rasa sakit yang terjadi pada sebuah pertandingan diatas ring seperti tinju,
pencak silat, dan lain sebagainya.
Tetapi perlu digaris bawahi apabila semua perbuatan tersebut
diatas telah malampui batas yang telah ditentukan karena semuanya itu
meskipun telah mendapatkan izin dari pemerintah ada peraturan yang
membatasinya diatas perbuatan itu, perihal orang tua yang memukili
anaknya dilihat dari ketidak wajaran terhadap cara mendidiknya.
Oleh sebab dari perbuatan yang telah melampaui batas tertentu
yang telah diatur dalam hukum pemerintah yang asalnya pebuatan itu
bukan sebuah penganiayaan, karena telah melampaui batas-batas aturan
tertentu maka berbuatan tersebut dimanakan sebuah penganiayaan yang
dinamakan dengan penganiayaan biasa. Dalam hal ini yang bersalah pada
perbuatan ini diancam dengan hukuman lebih berat, apabila perbuatan ini
mengakibatkan luka berat atau matinya si korban. Perihal tentang luka
berat dapat dilihat pada Pasal 90 KUHP. Luka berat atau mati yang
dimaksud disini hanya sebagai akibat dari perbuatan penganiayaan itu.
Perihal tindakan hukum ini yang akan diberikan kepada yang
bersalah untuk menentukan Pasal 351 KUHP telah mempunyai rumusan
dalam penganiayaan biasa dapat di bedakan menjadi :
1) Penganiayaan biasa yang tidak menimbulkan luka berat maupun
kematian.
25
2) Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat.
3) Penganiayaan yang mengakibatkan kematian.
4) penganiayaan yang berupa sengaja merusak kesehatan.
b. Penganiayaan ringan Pasal 352 KUHP.
Disebut penganiayaan ringan karena penganiayaan ini tidak
menyebabkan luka atau penyakit dan tidak menyebabkan si korban tidak
bisa menjalankan aktivitas sehari-harinya. Rumusan dalam penganiayaan
ringan telah diatur dalam Pasal 352 KUHP sebagai berikut:30
1) Kecuali yang tersebut dalam Pasal 353 KUHP dan Pasal 356 KUHP,
maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan
untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian, dipidana
sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga
bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus. Pidana
dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu
terhadap orang yang bekerja padanya atau menjadi bawahannya.
2) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana. Melihat
Pasal 352 ayat (2) KUHP bahwa percobaan melakukan kejahatan itu
(penganiayaan ringan) tidak dapat di pidana meskipun dalam
pengertiannya menurut para ahli hukum, percobaan adalah menuju
kesuatu hal, tetapi tidak sampai pada sesuatu hal yang dituju, atau
hendak berbuat sesuatu dan sudah dimulai akan tetapi tidak sampai
selesai. Disini yang dimaksud adalah percobaan untuk melakukan
kejahatan yang bisa membahayakan orang lain dan yang telah diatur
30 R. Soesilo, Op.Cit, hal 29.
26
dalam Pasal 53 KUHP ayat (1). Sedangkan percobaan yang ada dalam
penganiyaan ini tidak akan membahayakan orang lain.
c. Penganiyaan berencana Pasal 353 KUHP.
Pasal 353 KUHP perihal penganiyaan berencana merumuskan
sebagai berikut :
1) Penganiayaan dengan berencana lebih dulu, di pidana dengan pidana
penjara paling lama empat tahun.
2) Jika perbutan itu menimbulkan luka-luka berat, yang bersalah di
pidana dengan pidana penjara palang lama tujuh tahun.
3) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah di pidana
dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Arti di rencanakan lebih dahulu adalah bahwa ada suatu jangka
waktu, bagaimanapun pendeknya untuk mempertimbangkan, untuk
berfikir dengan tenang. Apabila dipahami tentang arti dari direncanakan
di atas, bermaksud sebelum melakukan penganiayaan tersebut telah di
rencanakan terlebih dahulu, oleh sebab terdapatnya unsur direncanakan
lebih dulu (meet voor bedachterade) sebelum perbuatan dilakukan,
direncanakan lebih dulu (disingkat berencana), adalah berbentuk khusus
dari kesengajaan (opzettielijk) dan merupakan alasan pemberat pidana
pada penganiayaan yang bersifat subjektif, dan juga terdapat pada
pembunuhan berencana (340 KUHP).
Perkataan berpikir dengan tenang, sebelum melakukan
penganiayaan, si pelaku tidak langsung melakukan kejahatan itu tetapi ia
27
masih berfikir dengan batin yang tenang apakah resiko atau akibat yang
akan terjadi yang disadarinya baik bagi dirinya maupun orang lain,
sehingga si pelaku sudah berniat untuk melakukan kejahatan tersebut
sesuai dengan kehendaknya yang telah menjadi keputusan untuk
melakukannya. Maksud dari niat dan rencana tersebut tidak di kuasai oleh
perasaan emosi yang tinggi, was-was/takut, tergesa-gesa atau terpaksa dan
lain sebagainya.
Penganiayaan berencana yang telah dijelaskan diatas dan telah
diatur dalam Pasal 353 KUHP apabila mengakibatkan luka berat dan
kematian adalah berupa faktor/alasan pembuat pidana yang bersifat
objektif, penganiayaan berencana apabila menimbulkan luka berat yang di
kehendaki sesuai dengan (ayat 2) bukan disebut lagi penganiayaan
berencana tetapi penganiayaan berat berencana (Pasal 355 KUHP), apabila
kejahatan tersebut bermaksud dan ditujukan pada kematian (ayat 3) bukan
disebut lagi penganiayaan berencana tetapi pembunuhan berencana (pasal
340 KUHP).
d. Penganiayaan berat Pasal 354 KUHP.
Penganiayaan berat dirumuskan dalam Pasal 354 KUHP yang
rumusannya adalah sebagai berikut :
1) Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, dipidana kerena
melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama
delapan tahun.
28
2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah di pidana
dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.
Perbuatan berat (zwar lichamelijk letsel toebrengt) atau dapat
disebut juga menjadikan berat pada tubuh orang lain. Haruslah dilakukan
dengan sengaja. Kesengajaan itu harus mengenai ketiga unsur dari tindak
pidana yaitu: pebuatan yang dilarang, akibat yang menjadi pokok alasan
diadakan larang itu dan bahwa perbuatan itu melanggar hukum.
Ketiga unsur diatas harus disebutkan dalam undang-undang
sebagai unsur dari perbuatan pidana, seorang jaksa harus teliti dalam
merumuskan apakah yang telah dilakukan oleh seorang terdakwah dan ia
harus menyebukan pula tuduhan pidana semua unsur yang disebutkan
dalam undang-undang sebagai unsur dari perbuatan pidana.
Apabila dihubungkan dengan unsur kesengajaan maka kesengajaan
ini harus sekaligus ditujukan baik tehadap perbuatannya, (misalnya
menusuk dengan pisau), maupun terhadap akibatnya, yakni luka berat.
Perihal luka berat disini bersifat abstrak bagaimana bentuknya luka berat,
kita hanya dapat merumuskan luka berat yang telah di jelaskan pada Pasal
90 KUHP yaitu luka berat berarti jatuh sakit atau luka yang tak dapat
diharapkan akan sembuh lagi dengan sempurna atau yang dapat
mendatangkan bahaya maut.
Senantiasa tidak cakap mengerjakan pekerjaan jabatan atau
pekerjaan pencaharian tidak dapat lagi memakai salah satu panca indra,
Mendapat cacat besar lumpuh (kelumpuhan), akal (tenaga pikiran) tidak
29
sempurna lebih lama dari empat minggu, gugurnya atau matinya
kandungan seorang perempuan.
Pada Pasal 90 KUHP di atas telah dijelaskan tentang golongan
yang bisa dikatakan sebagi luka berat, sedangkan akibat kematian pada
penganiayaan berat bukanlah merupakan unsur penganiayaan berat,
melainkan merupakan faktor atau alasan memperberat pidana dalam
penganiayaan berat.
e. Penganiayaan berat berencana Pasal 355 KUHP.
Penganiyaan berat berencana, dimuat dalam Pasal 355 KUHP yang
rumusannya adalah sebagai berikut :
1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu,
dipidana dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
2) Jika perbuatan itu menimbulkan kematian yang bersalah di pidana
dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Bila dilihat penjelasan yang telah ada di atas tentang kejahatan yang
berupa penganiayaan berencana, dan penganiayaan berat, maka penganiayaan
berat berencana ini merupakan bentuk gabungan antara penganiayaan berat
(Pasal 354 ayat 1) dengan penganiyaan berencana (Pasal 353 ayat 1), dengan
kata lain suatu penganiayaan berat yang terjadi dalam penganiayaan
berencana, kedua bentuk penganiayaan ini haruslah terjadi secara
serentak/bersama. Oleh karena harus terjadi secara bersama, maka harus
terpenuhi baik unsur penganiayaan berat maupun unsur penganiayaan
berencana.
30
Kejahatan atau kekerasan terhadap ketertiban umum juga diatur dalam
Pasal 170 KUHP yang menyatakan bahwa: 31)
(1) Barangsiapa yang dimuka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan.
(2) Tersalah dihukum :1. Dengan penjara selama-lamanya tujuh tahun, jika ia dengan
sengaja merusakkan barang atau jika kekerasan yang dilakukannya menyebabkan suatu luka;
2. Dengan penjara selama-lamanya sembilan tahun, jika kekerasan itu menyebabkan luka berat pada tubuh.
3. Dengan penjara selama-lamanya dua belas tahun, jika kekerasan itu menyebabkan matinya orang.
Penggunaan Pasal 170 ini tidaklah sama dengan penggunaan Pasal
351, dikarenakan dalam pasal ini pelaku adalah lebih dari satu, sedangkan
dalam Pasal 351, pelaku adalah satu orang, ataupun dapat lebih dari satu orang
dengan catatan dilakukan tidak dalam waktu yang bersamaan. Seseorang
dapat saja mendapat perlakuan kekerasan dari dua orang atau lebih tetapi para
pelaku tidak melakukannya bersama-sama atau tidak sepakat dan sepaham
untuk melakukan kekerasan itu, maka hal ini sudah memasuki ranah Pasal
351.
Kekerasan yang dilakukan sesuai Pasal 170 sudahlah tentu dilakukan
oleh para pelaku dalam waktu yang bersamaan ataupun dalam waktu yang
berdekatan dengan syarat ada kesepakatan dan kesepahaman untuk berbuat
tindakan kekerasan tersebut terhadap orang atau barang. Perbedaan yang
paling mendasar Pasal 170 dengan Pasal 351 adalah dilakukannya tindakan itu
di hadapan orang banyak atau di ruang publik terbuka, sedangkan pada Pasal
31 ?) R. Soesilo, Ibid, hal. 126
31
351 hal ini tidak dibedakan, apakah dilakukan di ruang tertutup untuk umum
ataupun di ruang publik terbuka.
Ancaman hukuman Pasal 170 ini lebih berat daripada Pasal 351.
Apabila kita bandingkan pada akibat yang ditimbulkan antara kedua pasal ini
dengan ancaman hukumannya, maka kita akan mendapati ancaman hukuman
pada Pasal 170 lebih berat daripada Pasal 351. Pada Pasal 170, jika korban
mengalami luka berat maka si pelaku diancam dengan hukuman penjara
selama-lamanya sembilan tahun, sedangkan pada Pasal 351 dengan akibat
yang sama, yaitu luka berat, pelaku diancam dengan hukuman penjara selama-
lamanya lima tahun. Jika akibat yang ditimbulkan adalah matinya korban,
Pasal 170 mengancam dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas
tahun sedangkn pada Pasal 351 ancaman hukumannya adalah hukuman
penjara selama-lamanya tujuh tahun.
Berbicara mengenai luka berat, Pasal 90 KUHP memberikan defenisi
luka berat sebagai berikut yang dikatakan luka berat pada tubuh yaitu:
penyakit atau luka, yang tak boleh diharapkan akan sembuh lagi dengan
sempurna atau yang dapat mendatangkan bahaya maut; terus-menerus tidak
cakap lagi melakukan jabatan atau pekerjaan; tidak lagi memakai salah satu
panca indera; kudung (kerompong); lumpuh; berubah pikiran (akal) lebih dari
empat minggu lamanya; menggugurkan atau membunuh anak dari kandungan
ibu.
32
C. Dasar Penghapus Pidana
Secara umum KUHP membedakan alasan-alasan yang mengecualikan
dijatuhkannya hukuman, yang dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah
strafuitsluitingsground, dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai
dasar penghapus pidana, berdasarkan alasan terjadinya penghapusan pidana itu
terhadap pelaku. Pada pokoknya strafuitsluitingsground itu dapat terjadi
karena:32
1. Rechtvaardigingsgronden, yaitu alasan-alasan yang membenarkan
tindakan pelaku, dengan menghapuskan sifat melawan hukum dari
tindakannya; atau
2. Sculduitsluitingsgronden, yaitu alasan-alasan yang menghilangkan unsur
kesalahan (dalam arti luas) pada tindakan pelaku dan memaafkan.
Alasan penghapus pidana dikenal baik dalam KUHP, doktrin mapun
yurisprudensi. Dalam ilmu hukum pidana alasan penghapus pidana dibedakan
dalam:33
1. Dasar Penghapus Pidana Umum, adalah dasar penghapus pidana yang dapat diberlakukan kepada semua tindak pidana.
2. Dasar Penghapus Khusus, adalah dasar penghapus pidana yang hanya dapat diberlakukan pada subyek hukum pidana tertentu.
Menurut Moeljatno, dalam teori hukum pidana biasanya alasan-alasan
yang menghapuskan pidana dibeda-bedakan menjadi:34
1. Alasan Pembenar, yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar.
32 Utrecht, Pidana, Jilid 1, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1999), hal. 57-58. 33 Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Penerbit Yayasan Sudarto, 1987), hal. 138. 34 Moeljatno, Asas Asas Hukum Pidana, Cet. Ke-7, (Jakarta: Rhineka Cipta, 2002), hal. 137.
33
2. Alasan pemaaf, yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum, jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi dia tidak dipidana, karena tidak ada kesalahan.
3. Alasan Penghapus Penuntutan, adalah alasan di mana pemerintah menganggap bahwa atas dasar utilitas atau kemanfaatannya kepada masyarakat, sebaiknya tidak diadakan penuntutan, yang dipertimbangkan di sini adalah kepentingan umum. Apabila perkara dituntut, tentunya yang melakukan perbuatan tidak dapat dijatuhi pidana. Misalnya Pasal 53 KUHP, jika terdakwa dengan sukarela mengurungkan niatnya untuk tidak melakukan tindak pidana.
Wiryono Prodjodikoro, menyebut alasan pemaaf dan alasan pembenar
sebagai alasan yang menghilangkan sifat tindak pidana atau menghilangkan
sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid atau onrechtmatigeheid.
Alasan yang membenarkan disebut sebagai rechtvaardigings grond, yaitu
alasan yang menghilangkan sifat melawan hukum, sehingga perbuatannya
tetap dianggap dibenarkan. Sedangkan alasan pemaaf atau strafuitsluiting
grond yaitu alasan yang menghilangkan tanggung jawab pelaku.35
Menurut Sudarto,36 llmu pengetahuan hukum pidana juga mengadakan
pembedaan lain, penghapusan pidana dapat menyangkut perbuatan atau
pembuatnya, maka dibedakan dua jenis alasan penghapus pidana:
a. Alasan Pembenar (rechtsvaardigingsgrond, fait justificatif, rechts-
fertigungsgrund), adalah menghapus sifat melawan hukumnya perbuatan,
meskipun perbuatan ini telah memenuhi rumusan delik dalam undang-
undang.
b. Alasan Pemaaf atau alasan penghapus kesalahan (schulduitsluitingsgrond,
fait d'excuse, Entsschuldigunggrund, schuldausschliesungsgrund), adalah
35 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Pidana, (Bandung : Eresco, cet ke-4, 1986), hal. 74.36 Sudarto, Op.Cit., hal. 139.
34
pelaku tidak dapat dipertanggungjawabkan atau tidak bersalah, meskipun
perbuatannya melawan hukum.
Dasar penghapus pidana umum terdapat di dalam Pasal-Pasal KUHP,
antara lain adalah Pasal 44, 48, 49, 50, 51 KUHP. Pasal 44 KUHP
menyatakan, Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau
terganggu karena penyakit, tidak dipidana. Sebagaimana kita ketahui untuk
dapat menjatuhkan pidana kepada orang yang melakukan perbuatan, berlaku
asas geen straf zonder schuld; actus non fadt reum nisi mens sir rea.
Asas ini menurut Moeljatno, tidak disebutkan dalam hukum tertulis
tapi dalam hukum yang tidak tertulis yang juga berlaku di Indonesia.37 Berarti
tanpa kesalahan seseorang tidak dapat dikenakan ancaman pidana, maka untuk
dapat meminta pertanggungan jawab pelaku, harus diketahui terlebih dahulu
kesalahan pelaku tersebut.
Kesalahan menurut Simon, merupakan adanya keadaan psikis yang
tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan
antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan yang sedemikian
rupa, hingga orang itu dapat dicela karena melakukan perbuatan tadi.38 Antar
keduanya (keadaan psikis dan hubungan tertentu) sangat erat. Keadaan psikis/
bathin orang yang melakukan perbuatan ini berhubungan dengan masalah
kemampuan bertanggung jawab. Keadaan psikis/bathiniah ini, lebih dekat
kepada keadaan jiwa pelaku. Karena itu harus diketahui, apakah keadaan jiwa
37) Moeljatno, Asas Asas Hukum Pidana, Cetakan ke-7, (Jakarta: Rhineka Cipta, 2002), hal. 153.
38 Ibid, hal. 158.
35
pelaku dalam keadaan sehat atau tidak. Jika pelaku dalam keadaan jiwa yang
tidak sehat, maka Pasal 44 KUHP dapat diberlakukan. Keadaan jiwa ini, harus
dibuktikan dalam persidangan di pengadilan, di mana harus didatangkan saksi
ahli atau ahli, guna memeriksa, apakah benar yang bersangkutan menderita
sakit jiwa atau jiwanya tidak sehat. Oleh karenanya perlu dipergunakan asas
Deskriptif analitis, di mana hakim dalam mempertimbangkan keadaan jiwa
pelaku, harus memerhatikan keterangan saksi ahli/ahli (psikiater) beserta
keyakinannya, baru dapat menentukan, apakah pelaku memiliki penyakit jiwa
atau tidak. Saksi ahli/ahli akan membuat alat bukti surat, yaitu visum et
psikiatrik, yang memuat keadaan jiwa pelaku. Apabila Hakim yakin, maka
dapat diputuskan bahwa yang bersangkutan memiliki penyakit jiwa, maka
pertanggungjawaban tidak dapat dimintakan kepada pelaku. Sehingga harus
diputus lepas dari segala tuntutan hukum.
Perihal kemampuan bertanggung jawab, maka dapat diperhatikan
pendapat ahli hukum Pidana, antara lain van Hamel, menyatakan Kemampuan
bertanggung jawab adalah suatu keadaan normalitas psychis dan kematangan
(kecerdasan) yang membawa 3 kemampuan:39
1. Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri;
2. Mampu untuk menyadari, bahwa perbuatannya itu menurut pandangan masyarakat tidak dibolehkan;
3. Marnpu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatan-perbuatannya itu.
Menurut Simons,40 kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan
sebagai suatu keadaan psychis sedemikian, yang membenarkan adanya
39 Ibid.40 Sudarto, Opc.Cit., hal. 93.
36
penerapan sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun
dari orangnya. Seseorang mampu bertanggung jawab, jika jiwanya sehat,
yakni apabila:
a. Ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya
bertentangan dengan hukum;
b. Ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut.
Menurut van Bemmelen, mampu bertanggung jawab adalah apabila
seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan ialah orang yang dapat
mempertahankan hidupnya dengan cara yang patut.41 Sedangkan menurut
Moeljatno,42 terdapat kesimpulan bahwa, untuk adanya kemampuan
bertanggung jawab harus ada:
a. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai hukum dan yang melawan hukum. Ini merupakan faktor akal (intelektual faktor) yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak.
b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi. Ini merupakan faktor perasaan atau kehendak (volitional factor) yaitu dapat menyesuaikan tingkah-lakunya dengan keinsyafan atas nama yang diperbolehkan dan mana yang tidak.
Memorie van Toelichting (memori penjelasan Wvs)/Mvt, memberikan
pengertian kemampuan bertanggung jawab secara negatif, antara lain tidak
ada kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat:43
a. Dalam hal ia tidak ada kebebasan untuk memilih antara berbuat dan tidak berbuat perihal apa yang dilarang atau diperintahkan oleh Undang-Undang;
b. Dalam hal ia ada dalam suatu keadaan yang sedemikian rupa, sehingga tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu
41 Ibid.42 Moeljatno, Op.Cit., hal.166.43 Sudarto, Loc.Cit., hal.94
37
bertentangan dengan hukum dan tidak dapat menentukan akibat perbuatannya.
Menelaah Pasal 44 KUHP, maka dapat ditelaah dari unsur-unsur
tindak pidana, yaitu terdapat salah satu unsur yang tidak terpenuhi. Unsur
subyektif adalah unsur yang terdapat dalam diri pelaku/si pembuat, yaitu
keadaan jiwa dari pelaku. Apabila pelaku/si pembuat tidak dapat
dipertanggungjawabkan, seperti halnya memiliki penyakit jiwa, maka unsur
subyektif tidak dipenuhi. Pelaku/si pembuat dalam Pasal 44 KUHP, berarti
tidak memenuhi unsur subyektif dari suatu tindak pidana. Misalnya memiliki
penyakit kleptomania, pelaku melakukan perbuatan mengambil barang
separuh atau seluruhnya milik orang lain, tanpa disadari olehnya, karena pada
waktu itu, yang bersangkutan sedang menderita kleptomania atau sedang
terjangkit kleptomania. Idiot atau volume otak tidak berkembang atau daya
pikir terganggu karena penyakit jiwa lainnya.
Orang mabuk, melakukan tindak pidana. la pada waktu melakukan
tindak pidana berada dalam keadaan tidak sadar diri. la dalam hal ini tetap
dapat dipidana. Disebabkan, logika pada waktu ia mau minum-minuman
keras, ia mengetahui kekuatan dirinya, ia harus mengukur berapa gelas yang
masih dapat ditoleran oleh tubuhnya, sehingga tidak mabuk. Maka dengan
logika ini, orang mabuk melakukan tindak pidana tetap dapat dipidana, ia
tidak dapat memakai alasan Pasal 44 KUHP.
Contoh kasus: Seorang mabuk mengendarai kendaraan bermotor,
kemudian menabrak orang hingga tewas. Jika tidak dipidana, siapa yang dapat
dimintakan pertanggungjawaban atas hilangnya nyawa korban?. Karena itu,
38
logikanya sebelum mabuk, pengendara harus mengetahui batas toleran dari
tubuhnya sendiri, supaya tidak berada dalam keadaan tidak sadar diri/ mabuk.
Cacat kemasyarakatan seperti rasa dengki, iri, dendam, cemburu,
bukan merupakan alasan yang dapat digunakan dalam Pasal 44 KUHP. Hal ini
disebabkan, cacat tersebut tidak menyebabkan pelaku tidak mampu
bertanggung jawab.
Sama halnya dengan motivasi melakukan pembunuhan, setelah
ditanyakan kepada pelaku, pelaku menjawab ia membunuh karena cemburu,
bekas pacarnya memiliki pacar baru. Memiliki pacar baru, tidak menyebabkan
seseorang tidak mampu bertanggung jawab. Demikian pula dalam kasus
mutilasi yang dilakukan oleh pelaku (Ryan), ia melakukan mutilasi terhadap
11 orang korban, dengan motivasi, karena cemburu dan ingin cepat kaya. Ia
tetap dipidana akhirnya, karena pembunuhan berencana.44)
Pada prakteknya, untuk membuktikan bahwa terdakwa atau pelaku
benar memiliki ketidakmampuan bertanggung jawab, maka harus dibuktikan
oleh ahli kedokteran psikiater atau ahli penyakit jiwa. Dokter ahli penyakit
jiwa akan memeriksa terdakwa dan membuatkan visum et psikiatrik, yang
berisi keterangan perihal keadaan jiwa terdakwa/ pelaku. Oleh sebab itu hakim
baru dapat memperoleh keyakinan, bahwa terdakwa benar telah mengalami
gangguan kejiwaan sehingga tidak mampu bertanggung jawab. Ini yang
disebut deskriptif analitis, bahwa untuk mendapatkan keyakinan hakim
tentang kesalahan terdakwa, maka hakim harus mendapatkan keterangan dari
saksi ahli perihal keadaan jiwa si pelaku/terdakwa. Saksi ahli dalam Pasal 44
44 Anonim, “Pembunuh 11 Korban Mutilasi” Republika, Maret 2009, hal. 2
39
KUHP, adalah ahli psikiater. Saksi ahli psikiater akan menggambarkan
dengan keterangannya (visum psikiatric) perihal keadaan jiwa pelaku,
sedangkan hakim memperoleh keyakinan dari hasil pemeriksaan tersebut.
Pasal 44 ayat (2) KUHP, menyatakan bahwa jika perbuatan itu tidak
dapat dipertanggungjawabkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya
cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan
supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun
sebagai waktu percobaan.
Orang yang tidak mampu bertanggung jawab karena jiwanya tidak
normal, menurut Moeljatno, mungkin dianggap berbahaya bagi masyarakat.
Karena itu hakim dalam Pasal 44 ayat (2) KUHP dapat memerintahkan untuk
memasukkan terdakwa sebagai masa memasukkan percobaan ke rumah sakit
jiwa selama 1 tahun.45
Pasal 48 KUHP, menyatakan bahwa tidak dipidana seorang yang
melakukan tindak pidana karena pengaruh daya paksa. Daya paksa atau
overmacht, tidak ditemukan pengertiannya dalam KUHP, dalam Mvt
disebutkan sebagai: setiap kekuatan, setiap paksaan atau tekanan yang tak
dapat ditahan.46
Menurut J. M. van Bemmelen,47 dalam hal daya paksa yang pertama-
tama kita memikirkan suatu kekuatan yang datang dari luar yang diakiabtkan
oleh alam sekitar kita, atau oleh orang lain. Kekuatan itu mungkin demikian
45 Sudarto, Op.Cit., hal. 170. 46 Ibid., hal.40. 47 JM. Van Bammelen, Hukum Pidana I, Cetakan ke-1, (Bandung: Bina Cipta, 1986),
hal.180.
40
kuatnya, sehingga tak dapat dilawan, misalnya angin topan yang
mengakibatkan terlemparnya seorang pengendara sepeda, sehingga ia berada
di jalur kiri jalan, atau seorang kuat, yang memegang pergelangan tangan
orang lain dan melemparkan tangan tersebut sehingga memecahkan sesuatu
barang.
Menurut Moeljatno,48 daya paksa adalah daya paksa yang dapat berupa
paksa fisik, terhadap mana orang yang terkena tak dapat menghindarkan diri,
atau merupakan paksaan psikis, dalam bathin, terhadap mana meskipun secara
fisik orang masih dapat menghindarkannya, namun daya itu sedemikian
besarnya, sehingga dapat dimengerti kalau tidak kuat menahan daya tersebut.
Daya paksa dapat dibagi menjadi:
1. Daya paksa yang absolut atau vis absoluta, adalah daya paksa yang dapat
disebabkan oleh kekuatan manusia atau alam, dalam hal ini paksaan
tersebut sama sekali tidak dapat ditahan, misalnya orang yang di bawah
pengaruh hipnotis melakukan pembunuhan, memenuhi Pasal 338 KUHP.
Perbuatan yang dilakukan pelaku adalah perbuatan yang sama sekali di
luar kehendak pelaku. Dalam hal ini harus dilihat sampai sejauh mana
pengaruh hipnotis pada pelaku. Contoh lain, adalah seorang yang tinggal
di Jakarta, dipanggil sebagai saksi di Bandung. Ketika ia berangkat dengan
kereta api, di tengah jalan, terjadi kejadian di luar kehendaknya, misalnya
rel anjlok. Maka yang bersangkutan tidak bisa tepat waktu tiba di
pengadilan untuk menjadi saksi.49
48 Moeljatno, Op.Cit., hal.139.49 Sudarto, Op.Cit., hal. 141.
41
2. Daya paksa yang relatif atau vis compulsiva, adalah paksaan yang datang
sebenarnya masih dapat ditahan, tetapi orang yang dipaksa itu tak dapat
diharapkan bahwa ia akan dapat mengadakan perlawanan. Menurut
Moeljatno, daya paksa compulsiva, adalah daya paksa yang disebabkan
oleh kekuatan fisik dan masih dapat ditahan oleh orang yang dipaksa.50
Misalnya A mengancam B seorang kasir Bank, dengan pistol di dadanya,
untuk menyerahkan uang yang disimpan oleh B dapat menolak, B dapat
berpikir dan menentukan kehendaknya, jadi tak ada paksaan absolut.
Memang ada paksaan tetapi masih ada kesempatan bagi B untuk
mempertimbangkan apakah ia melanggar kewajibannya untuk menyimpan
surat-surat berharga itu dan menyerahkannya kepada A atau sebaliknya, ia
tidak menyerahkan dan ditembak mati.51 Daya paksa - relatif, menurut
Moeljatno, merupakan daya paksa dalam arti sempit (overmacht in enge
zin), daya paksa relatif ini digunakan dalam KUHP Indonesia.
Pada daya paksa (overmacht) terdapat orang dalam keadaan terjepit
(dwangpositie). Di mana orang tersebut berada dalam keadaan yang sama
sulitnya dan sama buruknya. Hal ini disebabkan daya paksa datang dari luar
diri si pelaku dan lebih besar kekuatannya dari dirinya.52
Daya paksa berbeda dengan keadaan darurat (noodtoestand), walaupun
keduanya sama-sama dalam keadaan terjepit, dan menghadapi keadaan yang
sama buruknya dan sama sulitnya. Daya paksa dalam arti sempit disebabkan
oleh kekuatan fisik, dalam keadaan darurat, keadaan terpaksa tersebut
50 Moeljatno, Op.Cit., hal. 139.51 Ibid., hal.141.52 Ibid., hal. 142.
42
disebabkan keadaan di luar perbuatan manusia. KUHP tidak mengadakan
perbedaan tersebut.
Ada 3 kemungkinan keadaan darurat:
1. Orang yang terjepit antara dua kepentingan atau terdapat perbenturan
antara kepentingan hukum dengan kepentingan hukum. Contoh klasiknya
adalah: Papan dari Carneades. Carneades adalah seorang Yunani kuno,
ketika kapalnya tenggelam, ia berhasil menyelamatkan diri dengan cara
berpegangan pada sebuah papan kayu. Papan kayu ini ternyata hanya bisa
mengangkat satu orang saja. Untuk menyelamatkan dirinya Carneades
lalu mendorong orang lain yang berpegangan juga pada papan tersebut.
Sehingga orang tersebut terlepas pegangannya, dan tenggelam. Carneades,
tidak dihukum ketika sudah sampai di darat. Karena ia mempertahankan
kepentingan hidup untuk dirinya sendiri.53
2. Orang yang terjepit antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum.
Contohnya: Karena sudah tidak makan selama beberapa hari, pelaku
mencuri sebuah roti. Di satu pihak ada kepentingan diri sendiri untuk tetap
hidup, di pihak lain ada kewajiban hukum untuk menaati peraturan
perundang-undangan. Namun pelaku lebih mementingkan dirinya sendiri.
Contoh lain: Pemadam kebakaran, memadamkan api yang terletak di
tengah-tengah daerah/pemukiman padat, untuk mencapai tempat tersebut,
ia harus melewati rumah-rumah yang berada di sekitarnya, dengan cara
merusak genteng dan kaca rumah, karena ia harus membawa selang air.
Hal ini dilakukan guna menyelamatkan kobaran api rumah korban. Ada
53 Sudarto, Op.Cit., hal. 143.
43
perbenturan antara kepentingan hukum dari rumah korban yang terbakar
dan ada kewajiban hukum dari pemadam kebakaran untuk melaksanakan
tugasnya. Contoh lainnya (HR Putusan tanggal 15 Oktober 19237 Arrest
Optiden) adalah di Belanda, seorang pemilik toko kacamata, yang menjual
kaca mata kepada seorang pembeli yang tidak bisa melihat tanpa kaca
mata, setelah kacamatanya pecah karena jatuh. Pemilik toko kaca mata
menjual pada waktu di mana toko-toko harus sudah tutup. Pemilik toko
dituntut dan pada waktu permohonan kasasi oleh jaksa menyatakan bahwa
terdakwa tidak dapat dipidana karena terdakwa berada dalam keadaan
darurat, yaitu ada perbenturan antara kewajiban hukum sebagai anggota
warga untuk menolong pembeli tersebut, sedangkan di pihak pembeli, ada
kepentingan hukum untuk dapat memenuhi kepentingannya sendiri.54
3. Adanya perbenturan antara kewajiban hukum dengan kewajiban hukum.
Contoh kasus: Seorang dokter angkatan laut diperintahkan oleh atasannya
untuk melaporkan apakah para perwira-perwira laut yang bebas tugas dan
berkunjung ke darat (kota pelabuhan) kejangkitan penyakit kelamin.
Dokter tersebut tidak mau melaporkan pada atasan, sebab dengan memberi
laporan kepada atasannya, berarti melanggar sumpah jabatan sebagai
dokter yang harus merahasiakan semua penyakit dari para pasiennya. Di
sini ada perbenturan antara dua kewajiban yaitu: Melaksanakan perintah
dari atasannya (sebagai tentara); memegang teguh rahasia jabatan sebagai
dokter. Ia memilih tetap merahasiakan penyakit pasiennya. Oleh
Pengadilan Tentara ia dikenakan hukuman 1 (satu) hari, tetapi dokter naik
54 Ibid., hal. 145.
44
banding, dan Mahkamah Tentara Tinggi membebaskannya, karena ia
dianggap berada dalam keadaan darurat (Putusan tanggal 26 Nopember
1916).55 Contoh kasus lainnya, seorang saksi menjadi saksi di dua tempat
dalam waktu yang bersamaan.
Para ahli hukum pidana memasukkan daya paksa yang diatur dalam
Pasal 48 KUHP, sebagai alasan pemaaf, antara lain Mulyatno dan Ruslan
Saleh, van Hattum. Para ahli berpendapat, bahwa perbuatan yang dilakukan
pelaku tetap merupakan perbuatan melawan hukum, namun patut dimaafkan,
karena keadaan memaksa pelaku melakukan perbuatan melawan hukum.
Simons berpendapat bahwa kalau pelaku dipaksa maka perbutannya
bersifat melawan hukum, maka tetap patut dapat dipidana, tetapi ia tidak dapat
dipertanggung-jawabkan atas perbuatannya. Keadaan yang membuat pelaku
tidak dapat dicela, sehingga padanya tidak ada kesalahan.56
van Hattum menyatakan bahwa atas perbuatan yang dilakukan orang
karena pengaruh daya paksa, di mana fungsi bathinnya tak dapat bekerja
secara normal karena adanya tekanan-tekanan dari luar, orang itu dapat
dimaafkan kesalahannya.57
Pembelaan darurat (Noodweer) dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP,
berbunyi: Tidak dipidana barangsiapa melakukan perbuatan pembelaan
terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan
atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau
ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum.
55 Ibid., hal. 146. 56 Ibid., hal. 147. 57) Moeljatno, Op.Cit., hal.144.
45
Menurut Moeljatno, dalam pembelaan terpaksa harus ada hal-hal
memaksa terdakwa melakukan perbuatannya. Hal-hal itu dalam Pasal 49 ayat
(1) KUHP dirumuskan sebagai adanya serangan atau ancaman serangan.58)
Menurut Soedarto,59 Pasal 49 ayat (1) KUHP mensyaratkan sebagai
berikut:
1. Ada serangan
2. Ada pembelaan yang perlu diadakan terhadap serangan itu.
Serangan dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP, adalah serangan yang
memenuhi syarat:
1. Seketika
2. Langsung mengancam;
3. Melawan hukum, sengaja ditujukan pada badan, perikesopanan dan harta
benda.
Pembelaan harus memenuhi syarat-syarat:
1. Pembelaan harus dan perlu diadakan
2. Pembelaan harus menyangkut kepentingan-kepentingan yang disebut
dalam undang-undang yakni serangan pada badan (lijt), perikesopanan
(eerbaarheid) dan harta benda (goed) kepunyaan sendiri atau orang lain.
Menurut Moeljatno, serangan seketika, berarti antara saat melihatnya
ada serangan dan saat mengadakan pembelaan harus tidak ada jarak waktu
yang lama. Begitu orang mengerti adanya serangan, begitu dia mengadakan
pembelaan.60) Kalau ada pembelaan terhadap serangan maka adanya
58) Ibid.59) Sudarto, Loc.Cit., hal. 148.60) Moeljatno, Loc.Cit., hal.145.
46
pembelaan itu harus masuk akal. Jika adanya pembelaan dapat diterima, maka
cara pembelaan harus seimbang dengan sifat serangannya.61)
Contoh kasus: Putusan HR tahun 1934, perihal pembelaan yang tidak
seimbang dengan serangan. Seorang pemilik sero (perangkap) ikan, yang
dengan sebuah tali, serotadi dihubungkan dengan pelatuk pistol yang diikat di
dekatnya sedemikian rupa, hingga kalau ada pencuri hendak mengambil ikan
dalam sero tadi karena tergeraknya tali tadi, pistol itu lalu berbunyi dan
melepaskan tembakan. Ketika ada pencuri maka pistol tadi menembak dan
perihal matanya hingga menjadi buta. H.R menolak pembelaam pemilik sero
atas dasar Pasal 49 ayat (1) KUHP.62)
Antara serangan dengan yang dibela, harus seimbang. Apakah harga
ikan dengan timbulnya luka mengakibatkan kebutaan pada terdakwa
seimbang?. Karena tidak seimbang, maka tidak ada pembelaan terpaksa.
Pemberlakuaan Pasal 49 ayat (1) KUHP, perlu memerhatikan asas
proporsionalitas bahwa antara kepentingan yang dibela dengan serangan harus
seimbang. Sebagai contoh kasus: A menunggu B di luar rumah, begitu B
keluar rumah, A langsung menyerang B dengan sebuah pisau. Tanpa ragu B
memukul A dengan tangan kosong, hingga Ajatuh ke pinggir jalan raya, dan
pingsan. Apakah seimbang serangan yang tiba-tiba dan melawan hukum
dengan akibat yang ditimbulkan. Tidak akan pernah seimbang, jika orang
yang semula menyerang mendapatkan akibat pembelaan diri yang lebih parah
dari serangan yang semula direncanakan. Maka B dapat terancam dikenakan
61) Ibid., hal. 146. 62) Ibid., hal. 147.
47
penganiayaan (Pasal 351 KUHP). Oleh sebab itu, dalam prakteknya,
pembuktian pembelaan terpaksa tidaklah mudah. Mengingat asas
proporsionalitas yang harus dibuktikan dalam persidangan.
Contoh kasus lainnya (politiehond arrest/arrest anjing polisi) adalah
seorang polisi hendak menangkap tersangkayang melarikan diri, karena sulit,
maka polisi melepaskan anjing pelacak. Anjing pelacak dapat mengejar
tersangka, hingga akhirnya anjing itu dibunuh oleh tersangka. Dalam kasus ini
tidak ada pembelaan terpaksa. Namun tersangka dapat dikenakan Pasal 406
ayat (2) KUHP. Adakah pembelaan terpaksa? Tidak ada, dikarenakan anjing
bukan merupakan subyek hukum. Sedangkan serangan yang seketika dan
melawan hukum, hanya dapat dilakukan oleh manusia. Manusia sebagai
subyek hukum pidana, sehingga dapat dimintakan pertanggungjawabannya.
Putusan HR tanggal 3 Mei 1915.63
Menurut Soedarto, dalam memilih jalan untuk membela diri ini ada
yang disebut subsidiaritas, yaitu alat atau cara dalam perbuatan pembelaan itu
harus dibenarkan oleh keadaan.64
Contoh kasus di atas, perihal sero yang memasang pistol tadi, sehingga
pencuri yang akan mengambil ikan terkena peluru dan buta, bukan merupakan
pembelaan terpaksa, namun pelanggaran asas proporsionalitas dan asas
subsidiaritas. Terdapat perbedaan antara keadaan darurat dengan pembelaan
terpaksa, yaitu:
63 Sudarto, Op.Cit., hal. 149.64 van Bammelen, Op.Cit., hal.193.
48
1. Dalam keadaan darurat terdapat perbenturan antara kepentingan hukum
dengan kepentingan hukum atau kepentingan hukum dengan kewajiban
hukum atau antara kewajiban hukum dengan kewajiban hukum.
Sedangkan dalam pembelaan terpaksa situasi darurat ditimbulkan karena
perbuatan melawan hukum, jadi hak berhadapan dengan bukan hak.
Sedangkan dalam keadaan darurat, hak berhadapan dengan hak.
2. Dalam keadaan darurat tidak perlu ada serangan, sedangkan dalam
pembelaan terpaksa serangan harus ada.
3. Dalam keadaan darurat orang dapat bertindak berdasarkan berbagai
kepentingan atau alasan, sedangkan dalam pembelaan terpaksa, pembelaan
dilakukan dengan syarat-syarat yang sudah ditentukan oleh Pasal 49 ayat
(1) KUHP secara limitatif.
4. Keadaan darurat bisa sebagai alasan pemaaf dan alasan pembenar, namun
dalam pembelaan terpaksa, merupakan alasan pembenar karena
menghapuskan sifat melawan hukumnya.65
Pasal 49 ayat (1) KUHP, tidak memenuhi unsure obyektif, perbuatan
yang dilakukan dianggap tidak melawan hukum karena perbuatan tersebut
dianggap sebagai alasan pembenar dalam hukum pidana. Sedangkan unsur
subyektifnya tetap dipenuhi, terdakwa/pelaku tetap bersalah namun tidak
terbukti perbuatannya melawan hukum. Maka tidak dapat dipidana.
Pasal 49 ayat (2) KUHP, menyatakan: tidak dipidana seseorang yang
melampaui batas pembelaan yang diperlukan, jika perbuatan itu merupakan
65 Ibid., hal. 150.
49
akibat langsung dari suatu kegoncangan jiwa yang hebat yang disebabkan oleh
serangan itu.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk pemberlakuan Pasal
49 ayat (2) KUHP, yaitu:66)
1. Persyaratan Pasal 49 ayat (1) KUHP harus dipenuhi, karena Pasal 49 Ayat (2), berhubungan erat dengan ayat (1)nya.
2. Pembelaan dilakukan sebagai akibat yang langsung dari kegoncangan jiwa yang hebat (suatu perasaan hati yang panas).
3. Kegoncangan jiwa yang hebat ini disebabkan karena adanya serangan, dengan kata lain antara kegoncangan jiwa yang hebat dengan serangan harus ada hubungan kausal.
Menurut van Bemmelen, pembuat undang-undang sudah menduga
secara tepat, bahwa serangan seketika dan melawan hukum terhadap diri
sendiri, kehormatan, harta benda dan kesusilaan sendiri maupun orang lain,
akan menimbulkan emosi yang hebat pada orang yang diserang. Karena emosi
ini tidak mungkin atau setidak-tidaknya sulit sekali untuk memertimbangkan
dengan obyektif, apakah serangan itu dapat dibela dengan cara lain. Karena itu
orang tersebut, dapat dimaafkan dan tidak dapat dipidana.67
Kegoncangan jiwa yang hebat (hegive gemoeds beweging) menurut
Engelbrecht merupakan karena panas hatinya, sedangkan Schravendijk
mengartikan sebagai karena perasaan tergoncang hebat.68 Dapat dikatakan
unsur subyektif tidak terpenuhi dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP dan
perbuatannya tetap melawan hukum. Karena unsur subyektif tidak dipenuhi,
dalam hal ini pelaku dianggap tidak mampu bertanggung jawab disebabkan
kegoncangan jiwa yang hebat itu timbul, karena ernosi yang hebat, sehingga
66 Ibid. 67 Ibid., hal. 19368 Moeljatno, Op.Cit., hal.148.
50
tidak bisa menentukan kehendaknya sendiri. Maka tidak terdapat kesalahan
pada pelaku, sehingga tidak dipidana.
Pasal 50 KUHP, menyatakan bahwa, barangsiapa melakukan
perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang tidak dipidana.
Ketentuan undang-undang dalam Pasal 50 KUHP, tidak diberikan penjelasan
dalam Kitab Undang-Undang hukum Pidana. Namun dalam H.R membuat
pengertian Undang-Undang dalam arti materil, yaitu setiap peraturan yang
dibuat oleh alat pembentuk undang-undang umum. Bukan lagi pengertian
Undang-Undang dalam arti formil. Dengan perkataan lain, kewajiban/tugas itu
diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan.69
Untuk melaksanakan Pasal 50 KUHP ini, maka tindakan atau
perbuatan dari pelaku harus dilakukan secara patut, wajar dan masuk akal.
Juga harus ada keseimbangan antara tujuan yang hendak dicapai dengan cara
pelaksanaannya.70
Contoh kasus adalah putusan HR tanggal 30 Januari 1928,71 NJ 1928,
perihal deurwaarder arrest (arrest juru sita), seorang juru sita memiliki tugas
menurut putusan pengadilan untuk menyita barang orang lain atau
mengosongkan rumah orang itu, ia tidak melakukan tindak pidana. Namun
juru sita sesudah mengosongkan rumah, meletakkan semua perabot di jalan
raya, dan ini melanggar Peraturan Umum Polisi Kotapraja, yang melarang
meletakkan barang di jalan raya. Tidak ada ketentuan yang tegas
69 Sudarto, Op.Cit., hal. 152.70 Ibid.71 Van Bammelen, Op.Cit., hal. 196.
51
membolehkan juru sita meletakkan barang di jalan raya, namun dengan akal
sehatnya, juru sita meletakkan barang tersebut di jalan raya.
Demikian juga dalam kasus, penyidik menahan tersangka. Undang-
undang memberikan wewenang kepada penyidik untuk melakukan penahanan
terhadap tersangka, maka tidak dapat dikatakan melakukan tindak pidana.
Seorang polisi atau pemadam kebakaran, berdasarkan perintah atasan
memecahkan kaca supaya dapat masuk ke dalam rumah yang terbakar atau
menggeledah rumah, tidak boleh dikatakan melakukan tindak pidana. Hal ini
dianggap masih merupakan lingkup wewenang yang diberikan oleh peraturan
perundang-undangan. Demikian juga seorang tentara, memiliki wewenang
menembak mati musuh.72
Kasus lainnya adalah seorang dokter tidak melakukan tindak pidana
dari Pasal 322 KUHP, yaitu membuka rahasia yang harus ia simpan sebagai
dokter tentang keadaan pasiennya, apabila dokter itu membuka rahasia
tertentu untuk memenuhi kewajiban-kewajiban yang termuat dalam undang-
undang untuk melakukan laporan-laporan macam-macam.73
Pasal 50 KUHP merupakan alasan pembenar, perbuatan yang
dilakukan bukan bersifat melawan hukum, namun dibenarkan oleh peraturan
perundang-undangan. Unsur obyektif tidak dipenuhi, sehingga tidak dipidana.
Pelaku tetap dapat dipertanggungjawabkan dan memiliki kesalahan, namun
unsur obyektif tidak terpenuhi.
72 Ibid. 73 Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., hal.86.
52
Pasal 51 ayat (1) KUHP, menyatakan, barang siapa melakukan
perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa
yang berwenang tidak dipidana. Perintah dikatakan sah, apabila perintah itu
berdasarkan tugas, wewenang atau kewajiban, yang didasarkan pada suatu
peraturan. Antara orang yang diperintah dan orang yang memerintah harus ada
hubungan jabatan dan harus ada hubungan subordinasi, meskipun sementara
sifatnya.74 Misalnya permintaan bantuan oleh Pamongpraja kepada Angkatan
Bersenjata (413 KUHP).
Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa hubungan atas bawahan
dalam Pasal 51 Ayat (1) KUHP, tidak diperlukan. Apabila dalam kasus
seorang pegawai swasta diperintahkan oleh polisi untuk merusak barang
miliki orang lain yang menghalangi lalu lintas. Maka tetap dapat berlindung
dengan Pasal 51 Ayat (1) KUHP.75
Pasal 51 ayat (1) KUHP, dalam pelaksanaannya harus patut dan wajar,
juga harus seimbang dan tidak boleh melampaui batas kepatutan. Perbuatan
yang dilakukan karena perintah jabatan yang sah, merupakan alasan
pembenar. Perbuatan yang dilakukan bukan merupakan perbuatan melawan
hukum. Unsur obyektif tidak dipenuhi, sehingga tidak dipidana. Unsur
obyektif tetap dipenuhi, pelaku mampu bertanggung jawab dan memiliki
kesalahan.
Pasal 51 ayat (2) KUHP, menyatakan: Perintah jabatan tanpa
wewenang tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah
74 Sudarto, Op.Cit., hal. 153.75 Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., hal.87.
53
dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan
pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.
Menurut Soedarto,76 Perbuatan pelaku tetap bersifat melawan hukum,
tetapi pembuatnya tidak dipidana, apabila memenuhi syarat-syarat:
1. Jika ia mengira dengan itikad baik (jujur hati) bahwa perintah itu sah.
2. Perintah itu terletak dalam lingkungan wewenang dari orang yang
diperintah.
Contoh kasus: Seorang agen polisi diperintahkan oleh atasannya
supaya tahanan yang selalu berteriak-teriak dipukuli. Tugas dari seorang agen
polisi bukan untuk menyiksa orang tapi hanya untuk menangkap,
menggeledah badannya, atau memeriksa perkaranya, maka apa yang
diperintahkan tadi tidak masuk dalam lingkup pekerjaannya.77
Menurut van Bemmelen, setiap orang yang diperintah harus bersikap
kritis. Hal ini terlihat dalam kasus jika seorang walikota memerintah setiap
polisi untuk menembak setiap orang yang ditemuinya setiap 8 jam sekali,
maka pejabat polisi tidak menggunakan peraturan perundang-undangan, tetapi
hanya mengandalkan perintah jabatan. Maka dalam kasus ini, tidak ada alasan
penghapus pidana, karena perintah jabatan tidak wajar tidak patut dan tidak
sesuai dengan lingkup pekerjaan pejabat polisi tadi.78
76 Sudarto, Op.Cit., hal. 154. 77 Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., hal.198.78 Van Bammelen, Loc.Cit., hal. 196.
54
Menurut Moeljatno,79 seorang yang diperintah, tidak dapat melepaskan
tanggung jawab dari perbuatan yang dilakukannya. Untuk itu ada 2 syarat
yang harus dipenuhi, yaitu:
1. Syarat Subyektif, yaitu dalam bathin orang diperintah harus mengira
bahwa perintahnya adalah sah, baik dilihat dari segi pejabat yang
mengeluarkan perintah, maupun dari segi macamnya perintah. Tentu saja
harus didasarkan fakta-fakta yang ada.
2. Syarat Obyektif, yaitu dari fakta-fakta tersebut adalah masuk akal jika
terdakwa bahwa perintah adalah sah, atau berwenang, maka apa yang
diperintahkan itu secara obyektif yaitu dalam kenyataan harus masuk
ruang lingkup pekerjaannya.
Berdasarkan hal tersebut, Moeljatno, tidak menyetujui Pasal 51 Ayat
(2) KUHP dianggap sebagai alasan pemaaf. Namun lebih setuju, apabila Pasal
51 Ayat (2) KUHP diajukan sebagai alasan penghapus penuntutan.80
Jika ditelaah berdasarkan unsur-unsur tindak pidana, maka perbuatan
yang dilakukan pelaku merupakan perbuatan melawan hukum, namun pada
pelaku tidak ditemukan kesalahan, tidak ada kesengajaan dalam hal ini
disebabkan, adanya itikad baik, yang merupakan bagian dari dalam diri
pelaku. Itikad baik timbul karena adanya fakta-fakta yang ada, yang
menyebabkan pelaku mengira berdasarkan fakta yang ada perintah merupakan
perintah yang sah dan masuk dalam ruang lingkup pekerjaannya. Namun
79 Moeljatno, Loc.Cit., hal.151.80 Ibid., hal.152
55
masih harus dilakukan sesuai dengan batas-batas kewajaran dan kepatutan,
karena itu merupakan alasan pemaaf.
56
BAB III
DATA HASIL PENELITIAN
A. Kronologi Kasus
Kasus penganiayaan dalam perkara Nomor : 416 K/Pid/2009 merupakan
salah satu kasus yang melibatkan 4 (empat) terdakwa yang masih memiliki
hubungan keluarga diantaranya yaitu terdakwa I Winarno Sarkawi terdakwa II
Andreas Suhartoyo, terdakwa III Grace binti Winarno dan terdakwa IV Yuniarsih
Herliana yang telah melakukan penganiayaan terhadap Robby Lesmana.
Robby Lesmana merupakan suami dari terdakwa III Grace yang telah menikah
dan dikaruniai seorang anak. Pada saat penganiayaan terjadi, antara Robby
Lesmana dan terdakwa III Grace sedang dalam menjalani proses perceraian,
dimana dalam salah satu perjanjiannya itu perihal hak asuh anak yang diasuh
secara bergantian.
Peristiwa penganiayaan terjadi pada saat Robby Lesmana datang ke
rumah terdakwa III Grace untuk menjemput anaknya yang kebetulan hak asuh
anak jatuh pada Robby Lesmana sebagaimana perjanjian yang dibuat. Robby
Lesmana datang bersama dengan kuasa hukumnya Adardam Achyar dan
ditemui terdakwa III Grace yang kebetulan sedang menggendong anaknya
yang bernama Richelle.
57
Kemudian oleh karena anaknya Richelle menangis ketika akan dibawa
oleh saksi Robby Lasmana, lalu terdakwa III Grace berusaha mengambil
kembali anaknya sehingga terjadi tarik-menarik dan tiba-tiba dari dalam
rumah keluar terdakwa I Winarno Sarkawi menghampiri saksi Robby
Lasmana langsung mendorong/menekan kepala dan menjambak rambut saksi
Robby Lasmana sebanyak 2 kali sambil memiting leher saksi Robby Lasmana
dengan keras. Selanjutnya datang terdakwa IV Yuniarsih Herliana berusaha
mengambil kembali Richelle dalam gendongan saksi Robby Lasmana diikuti
tindakan terdakwa III Grace dari arah belakang/samping memukul pipi atau
kuping dari saksi Robby Lasmana sebanyak 2 kali.
Bahwa saksi Adardam Achyar yang ketika itu berada di luar halaman
melihat keadaan tersebut masuk halaman rumah dengan maksud melerai dan
menyelamatkan saksi Robby Lasmana, namun tiba-tiba terdakwa I Winamo
Sarkawi menghampiri saksi Adardam Achyar dan dengan keras tangan kirinya
memegang krah baju dan tangan kanannya menampar dan mendorong saksi
Adardam Achyar, sampai keluar halaman rumah sambil terus memukuli
bagian belakang kepala atau leher saksi Adardam Achyar lebih dari 5 kali
dengan mengatakan "dasar pengacara goblog, babi, tolol".
Ketika saksi Adardam Achyar berada di pinggir pintu pagar atau di
belakang mobil, terdakwa III Grace memukul bagian kepala dan pundak saksi
Adardam Achyar masing-masing 1 kali, diikuti terdakwa IV Yuniarsih
Herliana dengan telapak tangan terbuka memukul bagian ubun-ubun kepala
saksi Adardam Achyar sebanyak 1 kali dan terdakwa II Andreas Suhartoyo
58
menampar bagian leher saksi Adardam Achyar sebanyak 1 kali, demikian
halnya ketika saksi Adardam Achyar akan naik mobil dari sebelah kiri diikuti
dari belakang oleh terdakwa IV Yuniarsih Herliana dan terdakwa II Andreas
Suhartoyo lalu terdakwa IV Yuniarsih kembali memukul pundak kiri belakang
sebanyak 1 kali diikuti terdakwa II Andreas Suhartoyo kembali memukul
pangkal leher belakang saksi Adardam Achyar, sebanyak 2 kali, demikian
halnya ketika saksi Robby Lasmana berada dalam mobil setelah berhasil
membawa anaknya Richelle masuk dalam mobil, hendak menutup pintu,
kembali terdakwa III Grace memukuli wajah dan mencaci maki saksi Robby
Lasmana diikuti terdakwa Winamo Sarkawi memukuli kepala dan pinggang
saksi Robby Lasmana berkali kali setidaknya lebih dari sekali ataupun dengan
cara-cara lainnya seperti itu.
Akibat perbuatan para terdakwa tersebut, saksi Adardam Achyar,
menderita nyeri tekan dan memar kemerahan di daerah perbatasan punggung
dan leher sesuai Visum Et Repertum No.255/RSAI/VISUM/I/2007 tertanggal
23 Januari 2007 dan demikian halnya akibat perbuatan para terdakwa tersebut,
saksi Robby Lasmana menderita memar garis-garis kemerahan pada daerah
bahu kanan bagian belakang, bercak kemerahan di bahu kiri belakang dan
kedua pipi kemerahan, agak bengkak dan nyeri tekan sesuai Visum Et
Repertum No.254/RSAI/VISUM/I/2007 tertanggal 23 Januari 2007.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka para perbuatan perbuatan
para terdakwa dalam dakwaan pertama sebagaimana diatur dan diancam
pidana dalam Pasal 170 (1) KUHP, dakwaan kedua diancam pidana dalam
59
Pasal 351 (1) KUHP jo Pasal 55 (1) ke 1 KUHP dan dakwaan ketiga
sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 335 ayat (1) ke 1 KUHP.
B. Pertimbangan Hukum oleh Hakim
1. Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung
Di dalam pertimbangan putusan Pengadilan Negeri Klas IA
Bandung Nomor 845/Pid/B/2007/PN.BDG tanggal 03 Januari 2008 yang
amar lengkapnya sebagai berikut:
4. Menyatakan terdakwa I Winarno Sarkawi, terdakwa II Andreas
Suhartoyo, terdakwa III Grace binti Winarno, dan terdakwa IV
Yuniarsih Herliana tersebut di atas, telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan terang-terangan
dan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang;
5. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa I dan terdakwa III oleh karena
itu dengan pidana penjara masing-masing selama 10 (sepuluh) bulan,
dan kepada terdakwa II dan terdakwa IV dengan pidana penjara
masing-masing selama 4 (empat) bulan ;
6. Memerintahkan pidana tersebut tidak usah dijalani kecuali di
kemudian hari dengan putusan Hakim diberikan perintah lain atas
alasan bahwa sebelum masa percobaan selama I (satu) tahun 6 (enam)
bulan berakhir bagi terdakwa I dan terdakwa III dan masa percobaan
selama 8 (delapan) bulan berakhir bagi terdakwa II dan terdakwa IV,
para terdakwa dinyatakan bersalah telah melakukan suatu tindak
pidana ;
60
7. Menetapkan barang bukti berupa 1 (satu) buah kemeja merk Nautica
motif kotak-kotak, dikembalikan kepada saksi Adardam Achyar, dan
1 (satu) buah handycam merk Panasonic berikut kaset MDV merk
Panasonic, dikembalikan kepada saksi Anthony Sugiharto.
2. Putusan Pengadilan Tinggi Bandung
Putusan Pengadilan Tinggi Bandung dengan Nomor registrasi 127/
PID/2008/PT.Bdg tanggal 22 April 2008 menerima permohonan banding
dari Pembanding Jaksa Penuntut Umum dan para terdakwa (kuasanya)
tersebut dan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Bandung tanggal 3
Januari 2008 Nomor : 845/Pid/B/2007/PN.Bdg.yang dimohonkan banding
tersebut.
Pengadilan Tinggi Bandung mengadili sendiri dengan menyatakan
bahwa terdakwa II Andreas Suhartoyo dan terdakwa IV Yuniarsih
Herliana tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
perbuatan yang didakwakan dan harus membebaskan semua dakwaan
(vrijspraak). Selanjutnya terdakwa I Winarno Sarkawi dan terdakwa III
Grace binti Winarno terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan
tetapi perbuatan tersebut merupakan pembelaan darurat (noodweer). Untuk
itu terdakwa I Winarno Sarkawi dan terdakwa III Grace binti Winarno
harus dibebaskan dari semua tuntutan hukum (ontslag van alle
rechtsvervolging), serta memulihkan hak para terdakwa dalam
kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabat mereka.
61
Barang bukti berupa 1 (satu) buah kemeja merk nautical motif
kotak-kotak dikembalikan kepada saksi 1 Adardam Achyar dan 1 (satu)
buah handycam merk Panasonic berikut kaset MDV merk Panasonic
dikembalikan kepada Anthony Sugiharto serta membebankan biaya
perkara kepada Negara.
3. Putusan Kasasi Mahkamah Agung
Mengingat akan akta tentang permohonan kasasi Nomor
37/Akta.Pid/2008/PN.Bdg yang dibuat oleh Panitera pada Pengadilan
Negeri Klas IA Bandung yang menerangkan, bahwa pada tanggal 10 Juli
2008 Jaksa/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Bandung mengajukan
permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan Tinggi. Pada
pertimbangan hukumnya Menimbang, bahwa alasan-alasan yang diajukan
oleh Pemohon Kasasi/Jaksa/Penuntut Umum pada pokoknya sebagai
berikut:
Putusan Judex Facti / Pengadilan Tinggi Bandung tersebut, dalam
mempertimbangkan tentang tidak terbuktinya surat dakwaan sebagaimana
yang dituntut oleh Jaksa/Penuntut Umum yang mana amarnya telah
membebaskan terdakwa II Andreas Suhartoyo dan terdakwa IV Yuniarsih
Herliana dari segala dakwaan (vrijspraak) serta melepaskan terdakwa I
Winarno Sarkawi dan terdakwa III Grace binti Winarno dari semua
tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging) adalah putusan bebas
yang tidak murni sifatnya karena Judex Facti dalam putusan Pengadilan
Tinggi Bandung tersebut sematamata didasarkan pada penafsiran yang
62
keliru terhadap sebutan tindak pidana yang dimuat dalam surat dakwaan
dan tidak didasarkan pada tidak terbuktinya unsur-unsur perbuatan yang
dakwakan yaitu:
a. Bahwa Judex Faxti Vide / Pengadilan Tinggi Bandung dalam
putusannya telah membebaskan terdakwa II Andreas Suhartoyo dan
terdakwa IV Yuniarsih Herliana bukan karena tidak terbuktinya unsur
kekerasan dalam Pasal 170 ayat (1) KUHP namun karena Judex Facti
telah mengabaikan alat bukti keterangan saksi-saksi sebagai alat bukti
yang sah dan sematamata hanya mempertimbangkan keterangan para
terdakwa, sehingga Judex Facti/PengadiIan Tinggi Bandung telah
salah dalam penerapan hokum pembuktian vide Pasal 183 jo Pasal 184
jo Pasal 185 KUHAP:
Berdasarkan alat bukti berupa keterangan saksi I Adardam
Achyar, saksi 2 Robby Lasmana, saksi 3 Burhanudin als. Ahmad bin
M. Khoerudin di bawah sumpah dihubungkan dengan alat bukti Surat
berupa Visum Et Repertum sebagaimana telah dipertimbangkan oleh
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung dalam putusannya di mana
alat bukti dimaksud telah saling bersesuaian dengan alat bukti lainnya,
sehingga telah memunuhi syarat mininal alat bukti dalam
membuktikan tentang kesalahan terdakwa II Andreas Suhartoyo dan
terdakwa IV Yuniarsih Herliana sebagai pelaku yang bersama-sama
melakukan tindak pidana sebagaimana yang di dakwakan dalam
63
dakwaan pertama vide putusan Pengadilan Negeri Bandung tanggal 3
Januari 2008 Nomor : 845/Pid/B/2007/PN.Bdg.
Demikian halnya keterangan saksi Jason Sastra Jaya yang
merupakan saksi fakta sebagai alat bukti sah yang terungkap di
persidangan, yang walaupun tidak disumpah karena usia masih di
bawah umur vide Pasal 171 (a) KUHAP, namun karena keterangan
saksi Jason Sastra Jaya tersebut saling bersesuaian dengan keterangan
saksi lainnya yang di bawah sumpah, maka sesuai ketentuan Pasal 185
ayat (7) KUHAP keterangannya tersebut dapat digunakan sebagai
tambahan alat bukti sah yang lainnya.
Walaupun para terdakwa khususnya terdakwa II Andreas
Suhartoyo dan terdakwa IV Yuniarsih Herliana di persidangan telah
tidak mengakui perbuatannya tersebut, selain keterangan terdakwa
tersebut hanya dapat dipergunakan terhadap dirinya sendiri vide Pasal
189 ayat (3) KUHAP, sehingga Judex Facti yaitu Pengadilan Tinggi
Bandung tidak dapat mengesampingkan keterangan saksi-saksi sebagai
alat bukti sah yang terungkap di persidangan tersebut hanya
berlandaskan kepada keterangan para terdakwa tersebut. Kekeliruan
Judex Facti semakin jelas setelah salah menafsirkan fakta hukum yang
terungkap di persidangan bahwa terdakwa II Andreas Suhartoyo dalam
peristiwa tersebut dianggap melakukan pengambilan gambar yang
kemudian menjadi barang bukti dalam perkara ini, karena yang
sebenarnya mengambil gambar dalam peristiwa tersebut adalah
64
saudara kembar dari terdakwa II Andreas Suhartoyo, yaitu Antonhy
Sugiharto untuk kepentingan perkara perdata.
Apabila Judex Facti/Pengadilan Tinggi Bandung tidak salah
atau keliru mempertimbangkan alat bukti sah tersebut (dan yang
seharusnya dipertimbangkan oleh Judex Facti/Pengadilan Tinggi
Bandung) maka Judex Facti dalam putusannya tidak akan
membebaskan terdakwa II Andreas Suhartoyo dan terdakwa IV
Yuniarsih Herliana dari surat dakwaan pertama Jaksa/Penuntut Umum.
b. Putusan Judex Facti/Pengadilan Tinggi Bandung dalam putusannya
yang telah melepaskan terdakwa I Winarno Sarkawi dan terdakwa III
Grace binti Winarno dari semua tuntutan hukum (ontslag van alle
rechtsvervolging) karena perbuatannya termasuk dalam apa yang
diatur pada Pasal 49 ayat (2) KUHP adalah telah salah dalam
penerapan hukumnya, yaitu:
Untuk dapat suatu perbuatan digolongkan sebagai noodweer
exces sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP, bahwa
pelaku tersebut dalam melakukan sesuatu perbuatan yang melampaui
batas pembelaan seperlunya merupakan akibat langsung dari
kegoyahan hati yang demikian rupa yang disebabkan oleh serangan
tersebut, dan ternyata bahwa fakta hukum yang terungkap di
persidangan adalah tidak ada serangan bersifat melawan hukum dan
seketika yang mengancam jiwa, kehormatan dan benda, karena:
65
1) para terdakwa mengetahui bahwa kedatangan saksi Robby
Lasmana dan saksi Adardam Achyar adalah bukan untuk
melakukan serangan, namun dalam kepentingan saksi Robby
Lasmana (sebagai seorang ayah) untuk menjemput anak
kandungnya bernama Richelle sesuai surat pernyataan tertanggal
19 Oktober 2006 tentang pengasuhan anak, di mana pada waktu itu
adalah bagian saksi Robby untuk mengasuh Richelle, dan
kedatangan saksi Adardam Achyar dan saksi Robby Lasmana
pada waktu itu, sebelumnya telah dikonfirmasi (melalui SMS
kepada saksi Adardam Achyar) kepada terdakwa III Grace binti
Winarno dan telah disetujui oleh terdakwa III Grace binti Winarno
untuk menjemput Richelle (Richelle yang selalu menangis bila
dibawa oleh saksi Robby Lasmana) sehingga tidak mungkin dan
tidak masuk akal bahwa apabila kedatangan saksi Robby Lasmana
yang merupakan ayah kandungnya Richelle tersebut akan
mengancam jiwa anaknya Richelle maupun harta benda para
terdakwa.
2) Para terdakwa mengetahui kedatangan saksi Adardam Achyar,
selaku Advokat dan kuasa hukum saksi Robby Lasmana dalam
menjalankan tugas mendampingi klien untuk menjemput anak
saksi Robby Lasmana dan saksi Adardam Achyar tidak
mempunyai hubungan emosional dalam peristiwa hukum yang
menyangkut antara saksi Robby Lasmana dengan pihak para
66
terdakwa, sehingga oleh karenanya maksud saksi Adardam
Achyar, masuk ke halaman rumah adalah semata-mata untuk
melerai dan menengahi keributan antara pihak para terdakwa
dengan saksi Robby Lasmana dan saksi Adardam Achyar, hal
tersebut terlihat dalam gambar rekaman bahwa saksi Adardam
Achyar,SH.,MH tidak melakukan perbuatan perlawanan atas
tindakan dari para terdakwa setelah saksi Robby Lasmana telah
berhasil membawa Richelle, namun hanya bersikap atau berposisi
berjaga-jaga menangkis dari serangan para terdakwa di belakang
mobil di luar halaman rumah para terdakwa, dan tidak masuk akal
apabila kedatangan saksi Adardam Achyar masuk ke halaman
rumah tersebut dalam merupakan perbuatan melawan hukum
karena pintu pagar sudah dalam keadaan terbuka.
3) perbuatan pemukulan terdakwa III Grace binti Winarno kepada
saksi Robby Lasmana juga dilakukan bukan terjadi seketika
Terjadinya peristiwa dimana terdakwa III berusaha merebut
kembali anak/Richelle dari gendongan saksi Robby Lasmana,
namun terdakwa III Grace melakukan pemukulan (bukan menepis)
ketika saksi Robby Lasmana sedang berjalan meninggalkan
halaman rumah menuju ke mobil dan bersama-sama terdakwa I
Winarno Sarkawi melakukan pemukulan kembali kepada saksi
Robby Lasmana adalah setelah saksi Robby Lasmana berada dalam
mobil dalam keadaan sedang menggendong Richelle, dan adalah
67
tidak masuk akal apabila saksi Robby Lasmana sebagai ayah
kandung Richelle bermaksud untuk menyakiti anak kandungnya
sendiri yang selama ini oleh saksi Robby Lasmana hak asuh
terhadap anaknya Richelle tersebut dipertahankan sampai dalam
sengketa perkara perdata di pengadilan.
4) Selain peristiwa sengketa perceraian (masih dalam proses di
persidangan) yang menyangkut antara terdakwa III Grace binti
Winarno dengan saksi Robby Lasmana, namun ada latar belakang
perkara pidana lainnya yang saling melaporkan antara kedua belah
pihak yang dianggap telah merugikan pihak para terdakwa, yang
mana telah pula memicu emosional para terdakwa kepada saksi
Robby Lasmana dan kepada saksi Adardam Achyar;
5) Secara kasat mata setelah melihat rekaman dan foto-foto kejadian
tersebut, jelas terlihat bahwa tindakan para terdakwa telah
menggunakan tenaga yang keras secara bersama-sama bukan hanya
memegang rambut dan menggelitik perut saksi Robby Lasmana
sebagaimana dikatakan oleh terdakwa Winarno Sarkawi atau
hanya menepis kepala atau pipi saksi Robby Lasmana sebagaimana
yang dikatakan oleh terdakwa Grace binti Winarno dalam
persidangan.
6) Sebagai referensi, dengan ini disampaikan beberapa putusan HR
yang berkaitan dengan Pasal 49 KUHP, sebagai berikut :
68
(a) H.R. tanggal 8 Pebruari 1932 yang menyatakan suatu perasaan
takut bahwa dirinya akan diserang oleh orang Iain yang bersikap
mengancam, tidak menyebabkan perbuatannya menyerang orang
itu menjadi sah menurut hukum';
(b) H.R. tanggal 29 Desember 1913 yang menyatakan membalas
serangan dengan serangan bukanlah tindakan yang bersifat
membela diri.
(c) H.R. tanggal 4 Mei 1936 yang menyatakan dengan tidak adanya
serangan secara melawan hak ketika itu juga, tidak dibenarkan
tentang adanya suatu pembelaan seperlunya yang diizinkan.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, maka Mahkamah
Agung berpendapat bahwa alasan-alasan dan keberatan-keberatan kasasi
dari Pemohon Kasasi (Jaksa/Penuntut Umum) tidak dapat dibenarkan oleh
karena Judex Facti (Pengadilan Tinggi) telah benar menerapkan hukum,
namun demikian putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat Nomor:
127/PID/2008/PT. Bdg tanggal 22 April 2008 yang membatalkan putusan
Pengadilan Negeri Bandung Nomor : 845/Pid/B/2007/PN.Bdg harus
diperbaiki yaitu perihal pidana terhadap terdakwa I (Winarno Sarkawi)
dengan pertimbangan sebagai berikut :
a. Bahwa apa yang sudah dipertimbangkan oleh Judex Facti (Pengadilan
Negeri) terhadap terdakwa I Winarno Sarkawi menurut pendapat
Mahkamah Agung sudah tepat dan benar;
69
b. Bahwa dengan demikian pertimbangan tersebut diambil alih sebagai
pertimbangan oleh Mahkamah Agung.
Selanjutnya berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata,
putusan judex facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum
dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi tersebut harus ditolak
dengan memperbaiki amar putusan Pengadilan Tinggi tersebut di atas.
Oleh karena Termohon Kasasi/Terdakwa I Winarno Sarkawi dipidana,
maka harus dibebani untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi
ini.
Berdasarkan pertimbanga-pertimbangan tersebut di atas, hakim
Mahkamah Agung dalam memeriksa dan menangani perkara ini
memutuskan dan mengadili menolak permohonan kasasi dari Pemohon
Kasasi : Jaksa/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Bandung dengan
memperbaiki amar putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat No.
127/PID/2008/PT.Bdg yang telah membatalkan putusan Pengadilan
Negeri Bandung Nomor: 845/Pid/B/2007/PN.Bdg sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Menyatakan terdakwa I Winarno Sarkawi telah terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan terang-
terangan dan tenaga bersama menggunakan kekekerasan terhadap orang
dengan menjatuhkan pidana kepada pidana penjara selama 10 bulan.
Memerintahkan pidana tersebut tidak usah dijalani kecuali di kemudian
hari dengan putusan Hakim diberikan perintah lain atas alasan `bahwa
70
sebelum masa percobaaan selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan berakhir
bagi terdakwa I.
Menyatakan II Andreas Suhartoyo dan terdakwa IV Yuniarsih
Herliana tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
perbuatan yang didakwakan, untuk itu terdakwa II Andreas Suhartoyo dan
terdakwa IV Yuniarsih Herliana dibebaskan dari semua dakwaan
(vrijspraak) dan menyatakan terdakwa III Grace binti Winarno terbukti
melakukan perbuatan yang didakwakan tetapi perbuatan tersebut
merupakan pembelaan darurat (noodweer) dengan menyatakan
melepaskan terdakwa III Grace binti Winarno dari semua tuntutan hukum
(ontslag van alle rechtsvervolging).
Semua terdakwa dipulihkan hak-haknya dalam kemampuan,
kedudukan dan harkat serta martabatnya serta memerintahkan agar barang
bukti berupa 1 (satu) buah kemeja merk nautical motif kotak-kotak
dikembalikan kepada saksi 1 Adardam Achyar, 1 (satu) buah handycam
merk Panasonic berikut kaset MDV merk Panasonic dikembalikan kepada
Anthony Sugiharto.
C. Data Wawancara
Data hasil wawancara ini, pada dasarnya untuk melengkapi hasil
penelitian mengenai Noodweer Exces Sebagai Dasar Peniadaan Pidana
(Contoh Kasus Putusan M.A Nomor 416 K/Pid/2009) Terhadap Penganiayaan
Suami Oleh Istri dan Keluarganya. Oleh karena itu, penulis melakukan
wawancara dengan para pihak yang terkait berikut ini:
71
1. Bapak Amril, S.H., M.Hum., selaku hakim dan ketua Pengadilan Negeri
Jakarta Barat81)
Berdasarkan hasil wawancara, beliau mengemukakan bahwa sebagai
seorang hakim, sebelum memutus suatu perkara perlu melihat beberapa
pertimbangan-pertimbangan seperti kronologi kasus, fakta hukum dan
beberapa keterangan saksi maupun ahli.
Masalah noodweer exces telah diatur dalam KUHP khususnya pada
Pasal 49 ayat (2). Pada kasus ini, apabila melihat dari kronologis kasus bahwa
korban yang datang kemudian dipukul oleh mantan istri dan keluarganya tidak
melakukan upaya perlawanan. Padahal diketahui bahwa salah satu syarat
dapat dikatakan sebagai perbuatan itu noodweer exces adalah adanya
serangan.
Perlu diketahui pula bahwa untuk dapat dikatakan sebagai noodweer
exces perlu adanya serangan. Apabila dihubungkan dengan Pasal 49 ayat (1)
merupakan serangan yang melawan hukum dan mengancam secara langsung
pada ketika itu juga. Dengan demikian, dalam Pasal 49 ayat (2) mensyaratkan
adanya serangan yang melawan hukum dan mengancam secara langsung pada
seketika itu.
Pasal 49 ayat (2) juga dijelaskan bahwa serangan itu telah
mengakibatkan guncangan jiwa yang hebat atau tekanan jiwa yang hebat.
81 Penulis, Wawancara dengan Bapak Amril, selaku Hakim dan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Senin, 4 Februari 2013 di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, pukul 13.00 s/d 13.30 WIB.
72
Untuk mengetahui tekanan jiwa yang hebat itu, maka perlu mengetahui
penjelasan undang-undang, yang berarti bahwa guna mengetahui soal itu harus
dipergunakan penafsiran atau interpretasi historis. Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Satochid Kartanegara bahwa rasa takut, bingung, atau
sangat marah tersebut mengakibatkan orang yang bersangkutan melampaui
batas pembelaan yang perlu. Melampaui batas pembelaan yang perlu berarti
melampaui atau mengabaikan syarat subsidaritas dan syarat keseimbangan.
Bahwa kegoncangan jiwa yang hebat itu ada sebab serangan. Artinya
antara kegoncangan jiwa tersebut dan serangan harus ada hubungan kausal
yang menyebabkan kegoncangan jiwa yang hebat. Untuk kasus seperti ini
hakim harus melihat tidak hanya pada keyakinan hakim itu sendiri, tetapi juga
didukung dengan alat bukti saksi dan saksi ahli untuk mengukur adanya
kegoncangan jiwa. Hakim juga harus melihat kasus secara obyektif mengingat
faktanya hakim hanya melihat posisi terdakwa dan tidak melihat posisi
korban.
2. Bapak Firman Wijaya, S.H., M.H., selaku praktisi hukum pada kantor
pengacara Firman & Tina Law Office, Jakarta.82)
Mengenai penerapan noodweer exes dalam kasus ini, perlu melihat
ukuran yang pokok yaitu pembelaannya harus bersifat terpaksa. Artinya
pembelaan itu bersifat perlu sekali dimana sudah sama sekali tidak ada jalan
82 Penulis, Wawancara dengan Bapak Firman Wijaya, selaku Praktisi Hukum Kantor Pengacara Firman & Tina Law Office, Selasa 5 Februari 2013, di Hotel Borobudur Jakarta pada saat menghadiri persiapan Indonesian Lawyers Club, pukul 18.00 s/d 18.30 WIB.
73
lain dan pembelaan terhadap serangan itu harus masuk akal dan seimbang
dengan serangan.
Masalah kegoncangan jiwa dalam KUHP memang tidak diatur secara
jelas, sehingga menjadi tugas aparat penegak hukum menunjuk para ahli
dalam hal ini dokter atau psikiater untuk membuktikan ada tidaknya suatu
guncangan jiwa. Bahwa keguncangan jiwa itu harus ada kaitannya dengan
serangan, maka dengan tidak adanya serangan keguncangan jiwa menjadi
tidak ada.
Beliau juga menjelaskan bahwa untuk masalah noodweer dalam
penerapannya harus melihat ketentuan perundang-undangan yang ada yaitu
Pasal 49 KUHP yang mensyaratkan adanya serangan sebagai wujud dari
pembelaannya dan tidak boleh melebihi dari serangannya itu. Penanganan
kasus noodweer tidak sama, harus melihat kasus per kasus (kasuistis).
74
BAB IV
ANALISIS
Tidak semua perbuatan yang memenuhi semua unsur-unsur tindak
pidana si pelakunya dapat dijatuhi pidana, tetapi hakim dapat memberikan
putusan bebas atau putusan lepas. Kemungkinan hakim memberikan putusan
bebas kepada pelaku atas tindak pidana yang telah dilakukan merupakan
bagian dari prinsip di dalam sistem pemidanaan yang berlaku di Indonesia.
Persoalannya, adakah alasan-alasan yang dibenarkan oleh hukum pidana bagi
seorang hakim memberikan putusan bebas atau si pelaku itu tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan.
Persoalan tersebut di atas, dapat dilihat dari ketentuan khusus yang
dirumuskan oleh pembentuk undang-undang yang memungkinkan si pelaku
tindak pidana tidak dapat dijatuhi pidana apapun. Artinya, undang-undang
menerima keadaan-keadaan tertentu yang memungkinkan seorang pelaku
tindak pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan atau tidak dapat dijatuhi
pidana apapun. Dengan demikian, perbuatan-perbuatan seseorang yang telah
memenuhi keadaan-keadaan tertentu tersebut memungkinkan ketentuan
hukum pidana tidak dapat diberlakukan, baik ketentuan yang terdapat di dalam
KUHP maupun lain-lain peraturan perundang-undangan di luar KUHP.
75
Perihal tidak dapat diberlakukannya ketentuan hukum pidana kepada
pelaku tindak pidana berkaitan erat dengan dua hal yaitu dasar yang
meniadakan penuntutan adalah hal-hal atau keadaan-keadaan tertentu yang
menjadi alasan-alasan bagi penuntut umum tidak dapat melakukan penuntutan
terhadap seseorang yang didakwa melakukan tindak pidana dan dasar yang
meniadakan pidana atau hukuman, adalah hal-hal tertentu yang menjadi
alasan-alasan bagi hakim tidak dapat menjatuhkan pidana terhadap seseorang
yang telah dituduh melakukan tindak pidana, atau di dalam ilmu pengetahuan
hukum pidana disebut hal-hal yang memaafkan kepada pelaku tindak pidana
sehingga dirinya tidak dipidana.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap berkas perkara kasus
tindak pidana penganiayaan pada kasus Putusan M.A 416 K/PID/2009, dengan
para terdakwa yaitu terdakwa I Winarno Sarkawi terdakwa II Andreas
Suhartoyo, terdakwa III Grace binti Winarno dan terdakwa IV Yuniarsih
Herliana yang dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum dengan dakwaan alternatif
dituntut dengan Pasal 170 ayat (1) KUHP, Pasal 351 ayat (2) jo 55 ke-1
KUHP, dan Pasal 335 ayat (1) KUHP karena telah melakukan tindak pidana
penganiayaan terhadap Robby Lesmana.
Putusan Hakim Mahkamah Agung dalam kasus putusan M.A 416
K/PID/2009 menyatakan terdakwa I Winarno Sarkawi telah terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan terang-
terangan dan tenaga bersama menggunakan kekekerasan terhadap orang
dengan menjatuhkan pidana kepada pidana penjara selama 10 bulan.
76
Memerintahkan pidana tersebut tidak usah dijalani kecuali di kemudian hari
dengan putusan Hakim diberikan perintah lain atas alasan bahwa sebelum
masa percobaaan selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan berakhir bagi
terdakwa. Untuk terdakwa II Andreas Suhartoyo dan terdakwa IV Yuniarsih
Herliana tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
perbuatan yang didakwakan, untuk itu terdakwa II Andreas Suhartoyo dan
terdakwa IV Yuniarsih Herliana dibebaskan dari semua dakwaan (vrijspraak)
dan menyatakan terdakwa III Grace binti Winarno terbukti melakukan
perbuatan yang didakwakan tetapi perbuatan tersebut merupakan pembelaan
darurat (noodweer) dengan menyatakan melepaskan terdakwa III Grace binti
Winarno dari semua tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging).
Untuk menjawab permasalahan mengapa alasan nodweer dijadikan
dasar pertimbangan Hakim sebagai alasan pemaaf dalam kasus Putusan M.A
416 K/PID/2009, maka pada analisis skripsi ini terlebih dahulu diuraikan
unsur-unsur pasal yang dituduhkan, dimana para terdakwa didakwa dengan
Pasal 170 ayat (1), Pasal 351 ayat (1) jo Pasal 55, dan Pasal 355 ayat (1)
KUHP.
Pasal 170 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa barangsiapa yang dimuka
umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang,
dihukum penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan yang unsur-unsurnya
yaitu barang siapa, dimuka umum, bersama-sama dan melakukan kekerasan
terhadap orang atau barang.
77
Pasal 351 ayat (1) merupakan perbuatan penganiayaan diancam
dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Penganiayaan dalam
yurisprudensi diartikan sebagai sengaja menyebabkan perasaan tidak enak
(penderitaan), rasa sakit (pijin) atau luka kepada orang lain. Mengingat dalam
kasus ini dilakukan oleh beberapa terdakwa yang satu sama lain turut serta
melakukan tindak pidana penganiayaan, maka para terdakwa dikenakan pasal
penyertaan. Pasal 55 ayat (1) ke-1 menyatakan bahwa dipidana sebagai pelaku
tindak pidana, mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang
turut serta melakukan perbuatan.
Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP menyatakan bahwa diancam dengan
pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain
supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan
memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak
menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan
lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu
sendiri maupun orang lain. Unsur-unsur Pasal 335 ayat (1) yang meliputi
barang siapa, dengan melawan hak, memaksa orang lain, untuk melakukan,
tidak melakukan, atau membiarkan barang sesuatu apa dengan kekerasan,
dengan suatu perbuatan lain ataupun perbuatan yang tidak menyenangkan atau
dengan ancaman kekerasan, ancaman dengan sesuatu perbuatan lain ataupun
78
perbuatan tak menyenangkan, akan melakukan sesuatu itu baik terhadap orang
itu maupun terhadap orang lain.
Ketiga pasal yang dituduhkan para terdakwa kesemuanya mengandung
unsur adanya kekerasan dan berdasarkan fakta-fakta yang ada bahwa terdakwa
II Andreas Suhartoyo dan terdakwa IV Yuniarsih Herlina secara fisik tidak
melakukan apa-apa kepada Adardam Achyar maupun kepada Robby Lasmana,
sehingga salah satu unsur dari dakwaan kesatu atau kedua tidak terpenuhi.
Namun untuk terdakwa I Winarno Sarkawi yang telah menarik rambut dan
baju Robby Lesmana dan juga mendorong Adardam Achyar dan terdakwa III
Grace binti Winarno yang telah memukul pipi dan telinga korban Robby
Lesmana, semua unsur dari pasal yang didakwakan telah terbukti.
Dalam kaitannya dengan kasus ini, maka tidak dapat dipisahkan
dengan peristiwa Pengadilan Tinggi Bandung yang telah mendatangkan saksi
ahli. Keterangan saksi ahli Mali Pamuadji Wachid dalam keterangannya
antara lain menerangkan bahwa menurut pengalaman saksi dalam membuat
visum akibat trauma rasanya tidak wajar jika seseorang benar-benar dikeroyok
rame-rame dan mengaku dipukuli dengan keras oleh banyak orang dewasa
pada berbagai tempat ditubuhnya tetapi pada pemeriksaan visum hanya
dijumpai memar disatu tempat saja yaitu dipunggung. Begitu juga keterangan
saksi ahli Thersiah Lominardi Lubis yang menyatakan tindakan dari terdakwa
I yang melakukan tarikan terhadap saksi 2 Robby Lasmana tersebut secara
psikologis bisa dipahami dan wajar terjadi. Hal ini dapat dilihat ketika
Adardam Achyar masuk kemudian terjadi tindakan dari terdakwa I juga
79
seperti orang mendorong dan sebagainya, tindakan tersebut wajar, karena
dikhawatirkan dengan kehadiran orang lain lagi akan memperkeruh suasana
apa yang dilakukan terdakwa I disitu berusaha mengeluarkan Adardam
Achyar dari kejadian tersebut.
Selanjutnya terdakwa III Grace binti Winarno sebagai ibunya sangat
mungkin untuk melakukan tindakan guna melindungi anaknya karena
Richelle pada saat itu dalam kondisi ketakutan dan histeris. Setiap orang
apabila mengalami keadaan yang demikian juga akan melakukan yang sama
pada saat melihat anaknya dalam keadan terancam atau anaknya dalam
keadaan ketakutan.
Berdasarkan uraian di atas, apabila dihubungkan dengan keterangan
dapat dianalisis bahwa meskipun terdakwa I Winarno Sarkawi terdakwa III
Grace binti Winarno melakukan perbuatan sebagaimana yang didakwakan,
perbuatan itu termasuk dalam apa yang diatur pada Pasal 49 ayat (2) KUHP,
yaitu melampaui batas pertahanan yang sangat perlu, yaitu perbuatan itu
dengan seketika itu juga dilakukan karena perasaan tergoncang, dengan
segera, pada saat itu juga, terdakwa III setelah mendengar anaknya Richelle
menangis menjerit-jerit selain berusaha mempertahankan anaknya dengan
menepis saksi 2 Robby Lasmana (yang adalah suaminya, yang masih dalam
proses perceraian), begitu juga terdakwa I mendengar tangisan dan jeritan
cucunya, yang semula ia berada di dalam rumah dan begitu keluar rumah
melihat cucunya sedang diperebutkan oleh anak dan menantunya, para
terdakwa berusaha membantu anaknya (terdakwa III) untuk mempertahankan
80
cucunya (Richelle) dengan cara menarik rambut dan baju Robby Lasmana
saksi 2, adalah perbuatan seperti apa yang diatur dalam Pasal 49 ayat (2)
KUHP tersebut.
Begitu juga perbuatan terdakwa I yang mendorong saksi 1 Adardam
Achyar, yang dilihatnya tiba-tiba masuk ke pekarangan tanpa ijin darinya
sebagai pemilik rumah, adalah merupakan tindakan yang wajar yaitu untuk
mencegah terjadinya keterlibatan orang lain yang dapat memperkeruh suasana.
Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, maka perbuatan
terdakwa I Winarno Sarkawi dan terdakwa III Grace binti Winarno adalah
merupakan pembelaan darurat (noodweer), dan perbuatan seperti itu tidak
boleh dihukum dan untuk terdakwa II Andreas Suhartoyo dan terdakwa IV
Yuniarsih Herliana, karena tidak terbukti melakukan perbuatan sebagaimana
didakwaan dalam dakwaan kesatu atau kedua atau ketiga, maka mereka
(terdakwa II dan terdakwa IV) harus dibebaskan dari semua dakwaan.
Terdakwa I Winarno Sarkawi dan terdakwa III Grace binti Winarno
meskipun terbukti melakukan perbuatan seperti yang disebutkan di atas,
perbuatan tersebut adalah merupakan pembelaan terpaksa, dan sesuai dengan
ketentuan Pasal 49 ayat (2) KUHP, terdakwa I dan terdakwa III harus
dilepaskan dari tuntutan hukum.
Berdasarkan uraian di atas, penulis kurang sependapat dengan hakim
Mahkamah Agung yang telah memutus perkara membebaskan Terdakwa III
Grace binti Winarno dengan alasan nodweer (noodwer exces), karena noodwer
maupun nodweer exces mensyaratkan adanya serangan yang melawan hukum
81
yang dibela yaitu tubuh, kehormatan kesusilaan, dan harta benda, baik diri
sendiri maupun orang lain.
Hal tersebut diperkuat oleh pendapat Amril bahwa suatu perbuatan
dapat dikatakan sebagai noodweer exces harus adanya serangan dan apabila
serangan itu mengakibatkan terjadinya guncangan jiwa dan menurut Firman
Wijaya bahwa untuk mengetahui adanya goncangan jiwa, perlu adanya
pemeriksaan secara psikologis oleh dokter atau psikiater. Pemeriksaan tersebut
nantinya akan diketahui seseorang mengalami kegoncangan jiwa ada atau
tidak.
Pada analisis ini diperoleh fakta persidangan bahwa tidak terlihat
adanya serangan yang bersifat melawan hukum dan seketika dan yang
mengancam jiwa, kehormatan dan benda sebagaimana yang disyaratkan dalam
noodweer. Apa yang dilaukkuan oleh terdakwa Grace dengan melakukan
pemukulan sebagai maksud mengadakan pembelaan dinilai kurang tepat sebab
pembelaan terhadap serangan itu harus perlu diadakan (noodsakelijk) yakni
pembelaan itu bersifat sekali dimana tidak ada jalan lain dan mengenai
perasaan yang dialami oleh terdakwa Grace yang melihat anaknya menangis
saat akan dibawa pergi oleh Roby yang juga merupakan ayah kandung dari
anaknya dinilai terlalu berlebihan jika dikatakan menimbulkan guncangan
jiwa yang hebat.
Untuk dapat suatu perbuatan digolongkan sebagai noodweer exces
sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP, bahwa pelaku tersebut
82
dalam melakukan sesuatu perbuatan yang melampaui batas pembelaan
seperlunya merupakan akibat langsung dari kegoyahan hati yang demikian
rupa yang disebabkan oleh serangan tersebut, dan ternyata bahwa fakta hukum
yang terungkap di persidangan adalah tidak ada serangan bersifat melawan
hukum dan seketika yang mengancam jiwa, kehormatan dan benda. Pada
kasus ini tidak ada sama sekali serangan melawan hak dan mengancam dengan
seketika itu juga atau pada ketika itu juga. Melawan hak artinya penyerang
melakukan serangan itu melawan hak orang lain atau tidak mempunyai hak
untuk itu.
Sebagaimana diketahui bahwa noodweer exces merupakan pembelaan
darurat yang melampaui batas karena pelaku tersebut dalam melakukan
sesuatu perbuatan yang melampaui batas pembelaan seperlunya merupakan
akibat langsung dari kegoyahan hati yang demikian rupa yang disebabkan oleh
serangan tersebut, dan berdasarkan bahwa fakta hukum yang terungkap di
persidangan adalah tidak ada serangan bersifat melawan hukum dan seketika
yang mengancam jiwa, kehormatan dan benda.
Baik di Putusan Pengadilan Tinggi Bandung maupun Putusan
Mahkamah Agung menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Terdakwa III
Grace binti Winarno apa yang dilakukan dinyatakan sebagai noodweer exces.
Berarti disini hakim Mahkamah Agung kurang memperhatikan unsur-unsur
dari pembelaan terpaksa (noodweer), salah satunya yaitu adanya serangan
sekejap atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu. Pada saat
Richelle hendak di bawa pergi oleh ayahnya Robby Lesmana terjadi perebutan
83
anak yang disertai pemukulan oleh Terdakwa III Grace binti Winarno. Saat itu
pula meskipun telah dipukul dan ditampar, namun Robby Lesmana tidak
melakukan upaya perlawanan. Berarti di sini tidak ada serangan yang bersifat
melawan hukum, maka syarat noodwer exces tidak terpenuhi.
Apabila melihat syarat-syarat noodweer, maka jelas disini tidak ada
serangan yang membahayakan bagi terdakwa III Grace binti Winarno baik diri
sendiri dan anaknya, harta benda, kehormatan maupun kesusilaannya. Dengan
demikian seharusnya terdakwa III Grace Winarno tidak dapat dikenai
noodweer dan sudah selayaknya dikenakan Pasal 351 (1) KUHP jo Pasal 55
(1) ke 1 KUHP karena telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana dengan terang-terangan dan tenaga bersama
menggunakan kekerasan terhadap orang dengan ancaman hukuman 10
(sepuluh) bulan sebagaimana yang menjadi tuntutan di Pengadilan Negeri
Bandung.
Seperti halnya pembelaan darurat, disinipun harus ada serangan yang
seketika itu juga dilakukan atau mengancam pada saat itu juga. Batas-batas
keperluan pembelaan itu dilampaui. Misalnya seseorang yang diserang dengan
tangan kosong oleh orang lain, membela diri menembakkan pistol, sedangkan
sebenarnya pembelaan dengan memukul kayu saja sudah cukup. Melampaui
batas-batas ini oleh undang-undang diperkenankan asal saja disebabkan
perasaan tergoncang hebat yang timbul karena serangan itu, perasaan
tergoncang hebat misalnya karena jengkel atau marah sekali yang biasa
disebut dengan mata gelap.
84
Pertahanan atau pembelaan itu harus Noodzakelijk (perlu sekali,
terpaksa, dalam keadaan darurat). Boleh dikatakan tidak ada jalan lain.
Sebenarnya hampir tidak ada suatu pembelaan yang terpaksa. Kebanyakan
pembelaan itu dapat dihindarkan dengan jalan melarikan diri atau menyerah
pada nasib yang dideritanya, bukan itu yang dimaksud. Disini harus ada
keseimbangan yang tertentu antara pembelaan yang dilakukan dengan
seranganya. Untuk membela kepentingan yang tidak berarti misalnya orang
tidak boleh membunuh atau melukai orang lain.
Pembelaan atau pertahanan itu dilakukan hanya terhadap kepentingan-
kepentingan yang tersebut di atas yaitu badan, kehormatan dan barang diri
sendiri atau orang lain. Badan ialah tubuh. Kehormatan ialah kehormatan
seksual yang biasanya diserang dengan perbuatan-perbuatan tidak senonoh
atau cabul, memegang bagian-bagian tubuh yang menurut kesusilaan tidak
boleh dilakukan, misalnya kemaluan, buah dada, dan lain-lain. Kehormatan
dalam arti nama baik tidak termasuk disini. Barang ialah segala sesuatu yang
berwujud, termasuk juga binatang.
85
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian analisis di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
Alasan Majelis Hakim Mahkamah Agung memberikan putusan
pembebasan dengan alasan noodweer exces kurang tepat. Oleh karena unsur-
unsur noodweer exces tidak terpenuhi, karena syarat noodweer harus adanya
suatu serangan, serangan itu diadakan seketika itu juga atau suatu ancaman
yang kelak akan dilakukan, serangan itu melawan hukum, serangan itu
diadakan terhadap diri sendiri, diri orang lain, kehormatan diri sendiri,
kehormatan orang lain, harta benda sendiri, harta benda orang lain serta
pembelaan terhadap serangan itu harus perlu diadakan (noodzakelijk) yakni
pembelaan itu bersifat darurat dan harus adanya alat yang dipakai untuk
membela atau cara membela harus setimpal. Fakta di persidangan tidak ada
serangan bersifat melawan hukum dan seketika yang mengancam jiwa,
kehormatan dan benda sebagaimana yang disyaratkan dalam noodweer exces
sehingga alasan Hakim Mahkamah Agung yang membebaskan terdakwa III
Grace binti Winarno dinilai kurang tepat.
86
B. Saran
Berdasarkan hasil kesimpulan di atas, dapat penulis sampaikan saran-
saran sebagai berikut:
1. Perlu ada kejelasan tentang batasan kegoncangan jiwa secara tepat agar
seseorang mendapat alasan pemaaf sebagai dasar penghapus hukuman.
Batasan kegoncangan jiwa ini sangat diperlukan untuk mengetahui secara
kasuistik yang ditentukan oleh dokter atau psikiater yang mengetahui
tentang kejiwaan.
2. Hakim harus memperhatikan dari segi materil dalam perkara ini dan
jangan hanya dilihat noodweer tetapi hendaknya dijelaskan lebih
mendalam mengenai tekanan jiwa yang hebat itu, maka disini diperlukan
penjelasan yang lebih rinci.
87
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Ahmadi, Abu. Ilmu Sosial Dasar. (Jakarta: Rineka Cipta, 2003).
Bammelen, JM. Van. Hukum Pidana I, Cetakan ke-1, (Bandung: Bina Cipta, 1986).
Chazawi, Adami. Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa. (Malang: Biro Konsultasi dan Bantuan Universitas Brawijaya Malang, 1999).
Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara. Pedoman Penulisan Skripsi Bidang Hukum. (Jakarta: Peraturan Dekan FH-Untar Nomor 015-D/FHUNTAR/II/2011, 2011).
Hamzah, Andi. Asas-Asas Hukum Pidana. (Jakarta: Rineka Cipta, 1994).
Huda, Khairul. Dari dan Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Cet. II, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006).
Kanter, E.Y., dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Cet. III, (Jakarta: Storia Grafika, 2002)
Marpaung, Leden. Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh. (Jakarta: Sinar Grafika, 1999).
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum, cetakan ke-4, (Jakarta: Kencana, 2008).
Moeljatno. Asas Asas Hukum Pidana, Cet. Ke-7. (Jakarta: Rhineka Cipta, 2002).
Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Pidana. (Bandung : Eresco, cet ke-4, 1986).
Saleh. K. Wantjik Tindak Pidana Korupsi dan Suap. (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1971).
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Edisi III, (Jakarta: UI Press, 1986).
88
Soemitro, Roni Hanitijo. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Cetakan-4, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1990).
Soesilo. R. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. (Bogor : Politeia, 1993).
Sudarto. Hukum Pidana I. (Semarang: Penerbit Yayasan Sudarto, 1987).
Remmelink, Jan. Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003).
Tirtaamidjaja. Pokok-Pokok Hukum Pidana. (Jakarta : Fasco, 1955).
Tongat. Hukum Pidana Materil. (Jakarta: Djambatan, 2003).
Utrecht. Pidana, Jilid 1. (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1999).
B. Peraturan Perundang-Undanan
Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
C. Artikel/Makalah/Jurnal/Internet
Anonim. “Pembunuh 11 Korban Mutilasi” Republika, Maret 2009.
D. Kamus
Darmansyah. Kamus Bahasa Indonesia Dengan Ejaan Yang Disempurnakan Menurut Pedoman, Cetakan I. (Jakarta : Batavia Press, 2008).
Simorangkir, J.C.T. dkk, Kamus Hukum, Cetakan Kesebelas. (Jakarta: Sinar Grafika, 2007).
Sudarsono. Kamus Hukum, Cetakan ke-6. (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2009).
E. Salinan Putusan
Salinan Putusan MA No.416 K/Pid/2009
89
F. Data Hasil Wawancara
Penulis. Wawancara dengan Bapak Amril, selaku Hakim dan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Senin, 4 Februari 2013 di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, pukul 13.00 s/d 13.30 WIB.
______. Wawancara dengan Bapak Firman Wijaya, selaku Praktisi Hukum Kantor Pengacara Firman & Tina Law Office, Selasa 5 Februari 2013, di Hotel Borobudur Jakarta pada saat menghadiri persiapan Indonesian Lawyers Club, pukul 18.00 s/d 18.30 WIB.
90
SURAT KETERANGAN
Kepada Yth,Fakultas Hukum Universitas TarumanagaraJl. S. Parman No. 1 Grogol Jakarta Barat
Hal: Keterangan Wawancara
Sehubungan dengan telah dilakukannya wawancara untuk pemenuhan data skripsi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, yang identitasnya sebagai berikut:
Nama : RichardNIM : 205070071Fakultas : Hukum
maka dengan ini, dinyatakan benar bahwa yang bersangkutan telah melakukan wawancara berkaitan dengan penulisan skripsi yang berjudul: Noodweer Exces Sebagai Dasar Peniadaan Pidana (Contoh Kasus Putusan M.A Nomor 416 K/Pid/2009) Terhadap Penganiayaan Suami Oleh Istri dan Keluarganya.
Demikian surat keterangan ini disampaikan, untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.
Jakarta, 5 Februari 2013Hormat kami,
(Firman Wijaya, S.H., M.H.)
91
SURAT KETERANGAN
Kepada Yth,Fakultas Hukum Universitas TarumanagaraJl. S. Parman No. 1 Grogol Jakarta Barat
Hal: Keterangan Wawancara
Sehubungan dengan telah dilakukannya wawancara untuk pemenuhan data skripsi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, yang identitasnya sebagai berikut:
Nama : RichardNIM : 205070071Fakultas : Hukum
maka dengan ini, dinyatakan benar bahwa yang bersangkutan telah melakukan wawancara berkaitan dengan penulisan skripsi yang berjudul: Noodweer Exces Sebagai Dasar Peniadaan Pidana (Contoh Kasus Putusan M.A Nomor 416 K/Pid/2009) Terhadap Penganiayaan Suami Oleh Istri dan Keluarganya.
Demikian surat keterangan ini disampaikan, untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.
Jakarta, 5 Februari 2013Hormat kami,
(Amril, S.H., M.Hum.)
92