8
No. 1 | Edisi Januari | 2016

No. 1 | Edisi Januari | 2016tabloidpamor.com/downlot.php?file=januari2016.pdf · dan nilai-nilai luhurnya,” Terang ... robohnya Patung Panglima Besar Jenderal Soedirman yang terletak

  • Upload
    vodien

  • View
    238

  • Download
    5

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: No. 1 | Edisi Januari | 2016tabloidpamor.com/downlot.php?file=januari2016.pdf · dan nilai-nilai luhurnya,” Terang ... robohnya Patung Panglima Besar Jenderal Soedirman yang terletak

No. 1 | Edisi Januari | 2016

Page 2: No. 1 | Edisi Januari | 2016tabloidpamor.com/downlot.php?file=januari2016.pdf · dan nilai-nilai luhurnya,” Terang ... robohnya Patung Panglima Besar Jenderal Soedirman yang terletak

TABLOID

PAMOREditorial No. 1 | Edisi Januari | 2016

TABLOID PAMOR Pimpinan Umum & Pemimpin Redaksi: SUPARJO

Redaktur Pelaksana: IPUNG SUTRISNO Staff Redaksi:

Heru Purwanto - BanyumasDarmawan Setyawan - Purbalingga Widodo Mei Dwi Aryanto - Cilacap

Achmad Razuar - BanjarnegaraFotografer : Antonius Sony

Alamat Redaksi: Jln. Yosodarmo No. 7 Purwokerto - 53151, Banyumas,

Jawa Tengah, Indonesia. Telp: 0281- 7502617Penerbit:

Yayasan PAMOR GARUDA NUSANTARA.Ketua Yayasan : SUKARNO

WARTAWAN “TABLOID PAMOR” DIBEKALI DENGAN ID CARD YANG DISYAHKAN OLEH PIMPINAN REDAKSI

WARTAWAN TABLOID PAMOR TIDAK MENERIMA IMBALAN APAPUN DALAM SETIAP PELIPUTAN

B ambangan Cakil adalah tarian yang diadopsi dari salah

satu cerita pewayangan yang sering disebut dengan perang kembang yaitu peperangan antara kesatria dengan raksasa (buta). Perang antara kebaikan dan kejahatan ini diperankan oleh sosok tokoh Arjuna yang mempunyai gerakan halus serta lembut dan Cakil dengan gerakan lincah, kejam dan beringas.

Perang kembang dalam kisah pewayangan ini juga melambangkan kehidupan manusia di zaman Kalabendu yaitu zaman yang dianggap sebagai zaman yang menyenangkan atau zaman kenikmatan dunia tetapi zaman ini sebenarnya zaman kehancuran, ungkap KPAr Hargo Kusumo Suyatmanto Diningrat selaku Ketua Umum Paguyuban Kerabat Mataram (PAKEM) Pusat saat ditemuai PAMOR di kediamannya, Senin (20/12).

Saat ini bangsa Indonesia sedang melewati zaman Kalabendu, Cakil di kehidupan sekarang ini sebenarnya merupakan bentuk dari sifat keangkaramurkaan yang ada di masing-masing manusia. Kondisi alam di zaman inilah yang memunculkan sifat-sifat Cakil, hanya manusia yang beriman dan berpendirian

teguh saja yang terbebas dari pengaruh zaman Kalabendu.

Dalam khasanah budaya Jawa (kejawen) manusia mempunyai empat unsur sifat yaitu amarah, aluamah, sopiyah dan mutmainah, keempat unsur sifat yang ada pada manusia inilah yang menentukan karakter pribadi manusia itu sendiri. Saat ini keberadaan Cakil tidak bisa disalahkan, karena disaat inilah manusia baik secara pribadi maupun manusia sebagai pemimpin ditempa dan diasah hati nurani dan jiwa kepemimpinannya.

Menurutnya, dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara Cakil juga bisa diartikan sebagai boneka yang bisa di permainkan. Banyaknya manusia atau golongan yang bermain-main dengan berbagai cara untuk mendapatkan keuntungan pribadi inilah tantangan yang harus dihadapi oleh seorang kesatria karena cakil akan memnggunakan segala cara untuk mendapatkan keinginannya.

Perilaku manusia di zaman Kalabendu inilah yang mengubah sosial budaya, ekonomi, dan politik bangsa. dikalangan masyarakat pergeseran itu terlihat dari beralihnya sudut pandang dan perilaku orang. Sitik cukup turah kurang (sedikit cukup,

lebih malah merasa kurang) jadi acuan manusia di zaman Kalabendu, manusia berlomba-lomba mencari kesenangan duniawi meski tidak sesuai dengan kemampuan, etika, norma yang kadangkala tidak pada tempatnya.

“Orang kecil selalu melihat keatas sementara orang besar atau pemimpin tidak mau menunduk, itulah peran angkara murka (cakil) di kehidupan manusia saat ini.” Jelasnya.

Keberadaan Cakil saat ini hanya bisa diditumpas oleh kebersihan hati nurani yang dilambangkan dengan sosok kesatria. Munculnya sosok kesatria inilah yang nantinya akan membawa manusia menuju ke zaman Kalasuba.**

B alai Kelurahan Kedungwuluh Purwokerto Barat

terlihat ramai oleh ibu-ibu berkostum kebaya tradisonal, sayup-sayup dari panggung terdengar alunan musik tembang tradisional seperti padang bulan, jaranan, dan cing ciripit, Selasa 22 Desember 2015 lalu.

Seperti kembali ke masa lalu, ibu-ibu itu terlihat ceria bernyanyi dan menari layaknya anak-anak. Sekelumit gambaran tersebut merupakan bagian dari peringatan hari ibu yang digelar oleh kelompok PKK Kelurahan Kedungwuluh, Kecamatan Purwokerto Barat. Lomba dolanan anak ini merupakan prakarsa dari warga Kelurahan Kedungwuluh untuk melestarikan budaya lokal banyumasan.

Lomba yang digelar untuk memperingati hari Ibu juga atas anjuran dari Bupati Banyumas untuk melestarikan budaya lokal. Selain lomba dolanan anak yang dilakukan oleh ibu-ibu, lomba pidato dengan basa kromo pun turut diselenggarakan dengan harapan agar masyarakat menerapkannya kembali dalam kehidupan sehari-hari. “Supaya kita tidak lupa budaya

dan nilai-nilai luhurnya,” Terang Reno Sucipto ketua penggerak PKK Kedungwuluh yang juga istri dari Lurah Kedungwuluh ini kepada tabloid Pamor.

Hal yang sama juga diakui oleh Manisah (43) salah seorang peserta lomba, dia sangat senang dengan diadakannya lomba-lomba seperti ini. Menurutnya kegiatan ini sangat baik terutama untuk mendidik anak-anak yang saat ini sudah lupa atau bahkan tidak pernah tahu dengan permainan dan lagu-lagu daerah yang mengandung pesan-pesan moral. Harapannya dengan adannya lomba ini bisa mengembalikan pesan-pesan tersebut.

Selain lomba dolanan anak dan pidato basa kromo, PKK Kelurahan Kedungwuluh juga menggelar lomba peragaan busana muslim tradisional, lomba olahan makanan non beras, lomba berhias tanpa kaca, dan lomba kerajinan dari kain perca.

Reno Sucipto mengatakan bahwa lomba ini digelar atas inisiatif dan pendanaan yang berasal dari warga dan juga ada sumbangan dari donatur dan acara seperti ini digelar rutin setiap tahun. Selain mengelar lomba, PKK Kedungwuluh juga mengadakan rakor pada siang harinya.**

M alam pergantian tahun 2016 lalu bertepatan

dengan malam Jumat Kliwon di bulan Maulid. Menjadi malam yang paling dinantikan oleh banyak orang, meskipun sejak sore hari hujan deras mengguyur kota Purwokerto dan baru reda saat menjelang Isya.

Sebanyak sembilan ratus personel gabungan yang terdiri dari Pemadam Kebakaran, Satpol PP, Rapi, TNI, dan Polri menggelar apel siaga, bersama Kapolres Banyumas AKBP Gidion Arif Setiawan, Dandim 0701/Banyumas Letkol Inf Erwin Ekagita Yuana, dan Kepala Dishubkominfo Santoso Eddy Prabowo. Apel siaga berlangsung di pendopo Kabupaten Banyumas sore hari, Kamis (31-12-2015). Apel bersama dimaksudkan untuk mensinergiskan unsur-unsur terkait untuk pengamanan perayaan pergantian tahun.

Animo masyarakat yang merayakan pergantian tahun cukup besar. Kepadatan terjadi di enam titik keramaian antara lain, Alun-alun, GOR Satria, Taman Rekreasi Andang Pangrenan (TRAP), Taman Kota Balai Kemambang, Kompleks Lokawisata Baturraden, dan Alun-alun Kota Lama Banyumas.

Secara umum perayaan pergantian tahun berjalan lancar, demikian juga dengan perayaan yang di gelar di Kompleks Lokawisata Baturraden. Salah satu destinasi wisata di Kabupaten Banyumas yang menjadi tempat favorit wisatawan untuk mengisi liburan akhir tahun. Joko Haryanto, Kepala UPT Lokawisata Baturraden menyebutkan bahwa pada musim libur panjang Natal dan tahun baru ini jumlah pengunjung sudah menembus angka sepuluh ribu. Angka ini melebihi libur Natal dan tahun baru sebelumnya yang hanya menyentuh angka delapan ribu pengujung.

Sementara itu dari Kabupaten Purbalingga, selang tiga hari memasuki tahun 2016. Terjadi peristiwa robohnya Patung Panglima Besar Jenderal Soedirman yang terletak di perempatan Terminal Bus Purbalingga, Jawa Tengah. Pada Minggu, (3 Januari 2016) lalu. Hal ini mengundang perhatian banyak pihak terutama para pemerhati budaya dan spiritual. Mengingat Purbalingga merupakan tanah kelahiran sang jenderal, dan beliau sudah menjadi simbol spirit perjuangan rakyat untuk negaranya. Mungkin hanya faktor teknis belaka, mengingat perubahan cuaca akibat gelombang panas (El-nino) yang terjadi diseluruh wilayah Jawa Tengah.

Suhu panas yang tidak semestinya terjadi di musim penghujan juga memunculkan banyak persepsi di masyarakat. Salah satunya dikaitkan dengan aktivitas Gunung Slamet. Menanggapi isu tersebut, Suyanto Kepala Bagian Penanganan Darurat dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Banyumas. Mengatakan bahwa gelombang panas ini bukan disebabkan oleh peningkatan aktivitas Gunung Slamet. Melainkan adanya fenomena El-nino atau gelombang panas.

Kondisi perubahan cuaca dan curah hujan diawal tahun ini juga menjadi perhatian Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) dan Fakultas Teknik Jurusan Geologi Unsoed. Yang mengingatkan kepada masyarakat bahwa bencana tanah longsor dimusim penghujan ini mengintai setiap saat di semua wilayah di Banyumas. Mengingat kontur geografisnya yang berbukit-bukit, terutama saat curah hujan sedang deras-derasnya. Hal ini disampaikan oleh ketua IAGI Banyumas, Siswandi dalam pengamatannya dari kacamata Geologi.//redaksi

2

Page 3: No. 1 | Edisi Januari | 2016tabloidpamor.com/downlot.php?file=januari2016.pdf · dan nilai-nilai luhurnya,” Terang ... robohnya Patung Panglima Besar Jenderal Soedirman yang terletak

TABLOID

PAMOR Sajian UtamaNo. 1 | Edisi Januari | 2016

I katan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) dan Fakultas Teknik

Jurusan Geologi Unsoed gencar mengadakan sosialisasi kepada masyarakat di Banyumas raya agar selalu sadar dan menjadi masyarakat peduli bencana. Hal ini disampaikan oleh ketua IAGI Banyumas, Siswandi pada wawancara khusus dengan tabloid Pamor. Senin, (4 Januari 2016) di tempat kerjanya.

Siswadi menyampaikan bahwa bencana tanah longsor di musim penghujan ini mengintai setiap saat di semua wilayah di Banyumas. Mengingat kontur geografisnya yang berbukit-bukit, terutama saat curah hujan sedang deras-derasnya. Menurut pengamatannya dari kacamata Geologi, musim kemarau berkepanjangan menyebabkan tanah menjadi kering dan menjadi sangat rapuh dan mudah longsor saat disiram air hujan yang deras. Seperti yang pernah terjadi di Dusun Jemblung setahun yang lalu.

Untuk menghindari bencana serupa terulang lagi, IAGI bekerjasama dengan berbagai unsur mengadakan sosialisasi sadar bencana kepada masyarakat. Pertama adalah sosialisasi tentang

penyebab bencana. Siswandi menjelaskan penyebab tanah longsor adalah curah hujan yang tinggi, penggundulan hutan, lereng terjal, batuan yang kurang padat, dan jenis tata lahan yang dimana bukit ditanami dengan tanaman pangan bukan tanaman penguat tanah.

Siswadi juga mengimbau kepada masyarakat untuk tanggap akan tanda-tanda terjadinya tanah longsor untuk menghindari korban jiwa. Jika masyarakat sudah merasakan tanda-tanda seperti munculnya rembesan air atau lumpur di lereng bukit, jendela atau pintu yang berada didekat lereng tiba-tiba susah dibuka, pohon atau tiang lereng miring, terdengar suara gemuruh, dan getaran di lereng, dan yang terakhir tebing jadi rapuh yang diawali dengan berjatuhannya kerikil atau tanah dari bukit. Maka hendaknya masyarakat langsung mengungsi atau mencari tempat yang lebih aman.

“Masyarakat jangan nekat, lebih baik jika sudah ada tanda-tanda tersebut, langsung mengungsi atau ikuti arahan dari pihak yang berwenang, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.” Tegas Ketua Jurusan geologi Unsoed ini.

Selain menjelaskan

tentang penyebab tanah longsor, Siswandi juga menjelaskan tentang hal-hal yang harus dihindari untuk mencegah bencana, seperti tidak mendirikan bangunan di sepanjang lereng atau bukit. Tidak melakukan penggalian di daerah rawan longsor. Tidak menimbun tanah atau material lain di tebing rawan longsor. Tidak mengganggu aliran air di tebing dan yang utama tidak melakukan penebangan pohon secara liar.

Sementara itu menanggapi cuaca panas yang terjadi dimusim penghujan ini, Siswandi menjelaskan bahwa pencemaran udara menjadi penyumbang panas nomor satu. Selain itu adanya fenomena Perihelion yaitu kejadian Geologi saat bumi mencapai titik terdekat dengan matahari atau berjarak sekitar 147 juta km. Dia menegaskan bahwa gelombang panas ini merupakan peristiwa geologi yang wajar, karena siklus cuaca akan terus berlangsung setiap tahunnya. Seperti Perihelion ini yang sudah mencapai puncaknya pada 3 Januari lalu, akan menuju ke siklus cuaca normal dan gelombang panas akan hilang dengan sendirinya. Suwandi meminta kepada masyarakat agar tidak termakan isu yang

belum tentu kebenarannya. Terpisah, Akibat cuaca

panas yang tidak sewajarnya dimusim penghujan ini, masyarkat Banyumas pun dihebohkan dengan beredarnya isu yang menyebutkan peningkatan aktivitas Gunung Slamet. Menanggapi hal tersebut, Suyanto Kepala Bagian Penanganan Darurat dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Banyumas, kepada tabloid Pamor. Senin (4 Januari 2016) lalu. Mengatakan bahwa gelombang panas ini bukan disebabkan oleh peningkatan aktivitas Gunung Slamet.

Namun, hal ini terjadi karena adanya fenomena El-

nino atau gelombang panas. Hal ini juga terjadi diseluruh wilayah Jawa Tengah, seperti yang dilaporkan oleh BMKG wilayah Jawa Tengah, suhu rata-rata antara 27 derajat sampai denga 31 derajat Celsius. Dengan suhu tertinggi di wilayah Semarang yang mencapai 34 derajat Celsius. Jadi suhu panas bukan hanya di daerah Banyumas saja. El nino merupakan gelombang panas yang dihasilkan oleh tingginya pencemaran udara yang mengakibatkan menipisnya ozon dan meningkatnya karbondioksida di atsmosfer bumi.

BPBD juga menghimbau kepada masyarakat agar tidak panik, karena keadaan Gunung Slamet masih normal.**

P enurunan harga BBM bersubsidi secara nasional

per tanggal 5 Januari 2016 menjadi “hadiah” tersendiri bagi masyarakat di tahun yang baru ini. Pemerintah memutuskan untuk menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Harga bensin Premium turun menjadi Rp. 7.150,- per liter dari harga semula Rp. 7.300,- per liter. Sedangkan harga Solar turun menjadi Rp. 5.950,- per liter dari harga sebelumnya Rp. 6.700,- per liter.

Menteri ESDM Sudirman Said di Istana Negara, melalui pernyataanya di website resmi Esdm.go.id. Menjelaskan, perubahan harga ini mempertimbangkan harga minyak dunia dan nilai tukar rupiah. Ia menyebutkan harga ekonomi premium semula Rp. 6.950,- per liter. Pemerintah memungut dana untuk ketahanan energi sekitar Rp. 200,- untuk Premium sehingga harganya menjadi Rp. 7.150,-

Penurunan harga BBM ini juga diikuti oleh turunnnya harga-harga kebutuhan pokok

dan sayuran disejumlah pasar tradisional di Banyumas. Juga turunnya harga premium di sejumlah pengecer yang sebelumnya Rp.8.500,- menjadi Rp. 8.000,- seperti yang diutarakan oleh Kholil, penjual bensin eceran di Purwokerto Utara. Dia mengakui bahwa penurunan harga ini mengikuti harga pembelian di SPBU, dan dia harus mengikuti penurunan harga ini supaya masyarakat mau membeli bensin eceran.

Namun, berbeda dengan Yati, penjual bensin eceran di Purwokerto Selatan, dia mengaku belum menurunkan harga bensin ecerannya karena belum membeli stok bensin lagi. Karena stok sebelumnya belum mengalami penurunan harga, dia juga berdalih baru bisa menurunkan harga bensin ecerannya jika kepastian harga bensin berjalan 2 hari baru dia berani menurunkan harga.

Lain halnya dengan Susilo (32) warga Gumelar, tidak terlalu memperdulikan penurunan BBM. Sebab selama era Presiden Jokowi,

naik turunnya harga BBM sudah biasa. Dan itu tidak menggagu aktifitas masyarakat pada umumnya. “Paling yang ribut cuma wakil rakyatnya saja, kalau kaya kita ya ngikut keputusan pemerintah saja.” Kata Ilo (panggilan susilo).

Dari pantauan tabloid Pamor di lapangan, penurunan harga BBM tak mempengaruhi tarif dasar angkutan umum di Banyumas, Ketua Organisasi Gabungan Angkutan Darat (Organda) Banyumas. Sugiyanto, menjelaskan bahwa tarif angkutan di Banyumas tidak ikut turun dikarenakan sudah ada kesepakatan antara Dishub dan Pemda pada tahun 2013 lalu.

Dengan menerapkan tarif batas atas dan bawah, yang dimaksud tarif batas atas adalah jika kenaikan BBM belum menyentuh angka delapan ribu rupiah, maka tarif angkutan tidak akan naik, dan tarif batas bawah adalah jika penurunan harga BBM belum menyentuh angka enam ribu lima ratus rupiah, tarif angkutan tidak akan turun.

Penerapan tarif batas

atas dan bawah ini bukan tanpa maksud, hal ini dibuat untuk menyiasati harga BBM yang cenderung tidak stabil atau naik turun. “Daripada angkutan umum tidak mempunyai standar tarif yang pasti dan membingungkan, lebih baik dibuat aturan ini sebagai rujukan kenaikan dan penurunan tarif.” Tegas Sugiyanto saat ditemui tabloid pamor di kediamannya.

Hal senada juga diungkapkan oleh Kepala Dishub Kabupaten Banyumas, eddy Prabowo. Dia

menjelaskan bahwa penerapan batas atas dan bawah sudah menjadi kesepakatan bersama pengusaha angkutan umum dan Dishub. Hal ini berlaku secara otomatis dan baru bisa dirubah juka ada himbauan dari Dishub ataupun Pemerintah.

“Jadi praktisnya agar angkutan umum tidak dibuat bingung oleh naik turunnya BBM, dan masyarakat pun tidak direpotkan oleh tarif angkutan yang tak jelas, agar semua bisa merasa nyaman dengan tarif yang ada.” Jelas Eddy Prabowo.**

3

Page 4: No. 1 | Edisi Januari | 2016tabloidpamor.com/downlot.php?file=januari2016.pdf · dan nilai-nilai luhurnya,” Terang ... robohnya Patung Panglima Besar Jenderal Soedirman yang terletak

TABLOID

PAMOREkonomi Rakyat No. 1 | Edisi Januari | 2016

K etika kemeriahan telah usai, seiring mencairnya

kerumunan dimalam pergantian tahun. Menyisakan sampah-sampah yang berserakan. Suasana kota Purwokerto tepatnya di Alun-alun kantor kabupaten, kembali normal seperti hari-hari biasa. Jumat, 1 Januari 2016.

Saat itulah barisan seragam oranye dari petugas kebersihan dengan sigap mengambil peran untuk mengendalikan situasi dari sampah yang berserakan. Meskipun para pedagang belum membereskan barang dagangannya. Seolah tak kalah sigap, barisan karung pun turut mengambil posisi. Mereka para pemulung yang tidak mau ketinggalan moment setelah pesta usai.

Sambil mengais diantara tumpukan sampah, disela-sela gerobak pedagang, dan juga diantara orang-orang yang masih asik bercengkrama. Para pemulung dengan semangat mengumpulkan barang bekas yang laku dijual. Penantian yang sebanding dengan

pendapatan, tidak butuh waktu lama untuk memenuhi karung-karung bawaannya. Dini hari menjelang adzan Subuh kota pun kembali bersih dan nyaris tidak ada sampah yang tersisa.

Bagi Karso (42) pemulung asal Karanglewas, perayaan tahun baru ibarat panen besar. Sebab itulah ia harus berangkat lebih awal dari biasanya. Dari banyaknya pengunjung, Karso pun dapat memperkirakan hasil yang bakal diperoleh dari memungut barang bekas. Karso yang biasanya mengayuh sepeda kali ini ia membawa becaknya. Bukan tanpa alasan sebab dimalam tahun baru sebelumnya ia bisa mengumpulkan tiga kali lipat dari hari biasa. Tentu akan lebih mudah diangkut dengan becaknya.

Senada dengan Karso, Joko juga mempunyai persiapan khusus untuk memulung di malam itu. Dia sengaja datang lebih awal ke Alun-alun Purwokerto bersama Karti istrinya. Mereka tak ada niatan untuk turut merayakan

pergantian tahun bersama, juga bukan sengaja melihat pesta kembang api. Melainkan untuk mengumpulkan sisa-sisa barang yang masih bisa dijual alias memulung. Menurutnya jika terlambat sedikit bisa dipastikan pundi-pundi rupiah tersebut akan lenyap dibawa oleh pemulung lain atau truk sampah dari petugas kebersihan.

Dari pengalamannya setiap malam tahun baru, Joko bisa

mendapat 3 kali lipat. Atas dasar itulah dia mengajak serta istrinya untuk membantu memungut sampah bernilai itu agar bisa bersaing dengan pemulung tiban yang banyak bermunculan di malam tahun baru.

Seperti yang diakui Trisno, seorang pemulung tiban asal Karangklesem. Pada hari-hari biasa dia berprofesi sebagai tukang becak, tapi khusus malam itu dia ikut

menjadi pemulung di Andang Pangrenan dan Alun-alun Purwokerto. Sementara Agus salah seorang pengepul barang bekas di Teluk mengakui bahwa setiap tahun baru gudangnya akan penuh, tidak seperti hari-hari biasa. Dia mengatakan bahwa banyak pemulung tiban yang menjual barang-barang bekas seperti kertas karton dan botol bekas minuman ke gudangnya.**

S enandung Kidung Jawa sayup-sayup terdengar memecah

keheningan. Mengalun sendu ditengah cuaca yang sedikit teduh, saat mentari terhalang hiasan awan. Alunannya semakin jelas dari emperan samping sebuah rumah. Senandungnya tak lantas berhenti, meskipun tatapannya terpaku pada kamera yang dibidikan tabloid Pamor. Tangan kanannya sesekali memutar roda gilingan, dengan lembut gumpalan tanah liat pun berubah wujud menjadi bakal gerabah. Siang itu, Selasa (1 September 2015) lalu. Di Grumbul Sambirata, Desa Wanogara Kulon, Kecamatan Rembang, Purbalingga.

Beragam bentuk gerabah yang siap dijual tertata rapi di emperan rumah warga. Sementara di belakang rumah, kebulan asap membubung tinggi dari sisa pembakaran gerabah. Dihalaman rumahnya, Marsilah (48) terlihat sibuk menjemur tembikar jenis sangan. Satu persatu tembikar pun diangkat dan ditata dengan rapi di pelataran, dengan menggunakan alas dari bilah-bilah bambu yang sudah diberi

gawangan. Namun, beberapa saat kemudian ia menggerutu kesal saat gerabah yang baru dijemur diinjak-injak oleh ayam peliharaannya.

Pemandangan ini hampir setiap hari dijumpai di Grumbul Sambirata yang dikenal sebagai penghasil kerajinan gerabah. Membuat gerabah sudah menjadi kegiatan bagi kaum ibu, dari tangan merekalah aneka bentuk gerabah dibuat. Karena untuk membuat gerabah dibutuhkan ketekunan dan kesabaran, hal dasar yang lazimnya dimiliki oleh seorang ibu. Sementara kaum bapak bertugas mencari pasir pelengkap bahan dasar, mengumpulkan kayubakar, dan membakar gerabah hingga sempurna.

Nini Komeng (70) yang sedaritadi bersenandung, berbagi cerita pada Pamor tentang gerabah di Grumbul Sambirata. Baginya sudah menjadi tradisi yang diwariskan secara turun-temurun. Membuat gerabah sudah menjadi mata pencaharian Nini Komeng, sehingga ia mampu membuat 80-100 gerabah setiap hari tergantung dari jenis

dan ukurannya. Gerabah yang sudah dibuat akan dikumpulkan sebelum masuk proses pembakaran. Bila cuaca mendukung untuk pengeringan, perajin mampu membakar gerabah sepekan sekali. Gerabah yang sudah jadi biasa ia jual ke pengepul dengan harga limaratus sampai seribu limaratus rupiah tergantung jenis gerabahnya.

Sementara warga lainnya, Mini Tarsito (45) yang mengaku sudah lebih dari duapuluh tahun menjadi perajin gerabah. Namun, membuat gerabah hanya untuk mengisi waktu luang saja. Mata pencaharian utamanya sebagai petani, dalam waktu setengah hari ia mampu membuat 40-50 gerabah. Untuk mendapatkan bahan baku berupa tanah liat, diambil dari tanah milik warga Grumbul Grintung yang letaknya tak jauh dari Grumbul Sambirata. Dengan membayar tiga ribu rupiah per-

gendong, rata-rata perharinya perajin hanya membeli tiga sampai empat gendong saja. Sementara bahan pasir diambil secara gratis dari sungai-sungai terdekat.

Membuat gerabah bagi masyarakat di Grumbul Sambirata menjadi hal yang biasa. Karena ketrampilan itu diwariskan oleh leluhurnya secara turun-temurun dan sudah menjadi tradisi. Sehingga merekapun dengan mudah bisa melakukannya tanpa harus belajar secara khusus. Hanya dengan melihat yang dilakukan orang tua mereka dulu.

Kerajinan gerabah bagi Nini Komeng, Mini Tarsito,

dan Marsilah, tidak sekedar untuk menyambung hidup saja. Tetapi juga merupakan bentuk ucapan terimakasih kepada leluhur yang telah mewariskan ketrampilan kepadanya. Meski hasil yang didapat jauh dari kata cukup, baginya menjaga tradisi menjadi hal yang tidak boleh ditinggalkan. Mengingat saat ini aktifitas membuat gerabah sudah mulai ditinggalkan oleh sebagian orang.

Rendahnya harga gerabah menjadi alasannya. Namun, mereka masih gigih meneruskan tradisi yang sudah turun-temurun itu dan mensyukuri hasil yang didapat. **

4

Page 5: No. 1 | Edisi Januari | 2016tabloidpamor.com/downlot.php?file=januari2016.pdf · dan nilai-nilai luhurnya,” Terang ... robohnya Patung Panglima Besar Jenderal Soedirman yang terletak

TABLOID

PAMOR Ekonomi RakyatNo. 1 | Edisi Januari | 2016

G empita tahun baru tinggal menghitung hari, berbagai macam

perayaan telah dipersiapkan, mulai dari tempat keramaian publik, alun-alun, café, hotel, bahkan setiap orang pun mempunyai cara tersendiri untuk merayakannya. Tahun baru yang identik dengan terompet juga mendatangkan rezeki bagi pedagang dan perajin terompet. Meskipun musiman tetapi usaha ini cukup

menjanjikan.

Penjualan terompet menjelang tahun baru meningkat drastis, demikian pengakuan Ahmadjo (34) seorang pedagang mainan di Legok, Banyumas, yang menggunakan moment tahun baru untuk berjualan terompet. Bahkan untuk memenuhi permintaan, Ahmadjo harus menunggu di rumah produksi terompet milik Darmo (52) yang

berlokasi di belakang Alun-alun Ajibarang hingga pesanannya terpenuhi. Menurutnya beberapa kali datang selalu kehabisan alias tidak kebagian barang. Dari pada pulang tanpa terompet, Ahmadjo memilih untuk menunggu beberapa saat sampai pesanannya terpenuhi.

Darmo mungkin satu-satunya perajin terompet yang ada di Kabupaten Banyumas.

Sejak Agustus lalu usahanya sudah mulai kebanjiran pesanan. Meskipun dikerjakan secara manual tetapi ia mengaku bisa memproduksi sebanyak seribu terompet setiap harinya. Saat dijumpai tabloid Pamor ditempat usahanya, Senin (28 Desember 2015) lalu. Darmo mengaku menjadi perajin terompet sejak 1990, sebelumnya ia hanya pekerja di sebuah percetakan dan printing.

Darmo mulai menangkap peluang usahanya saat melihat limbah kertas dan printing ditempat kerjanya dulu. Dia mulai melakukan rumus 3 M (mengamati, meniru, dan memodifikasi). Usahanya pun membuahkan hasil dan mulai dikenal di daerah Ajibarang dan sekitarnnya, walaupun dengan bahan seadannya seperti pluit penghasil suara yang dibuatnya dari bambu. Upaya memodifikasi terompet buatannya dengan model terkini juga dilakukan oleh Darmo untuk menarik minat pembeli.

Hanya berbekal kemampuan secara otodidak, usaha terompet Darmo mulai kebanjiran pesanan setiap tahunnya. Pesanan yang datang dari pedagang sering kali tidak terlayani karena terbatasnya tenaga dan peralatan yang masih manual tanpa bantuan mesin sama sekali. Dirinya mengakui belum mau merekrut karyawan, tetapi juga tidak menutup kesempatan jika ada orang yang mau belajar membuat terompet kepadanya.

Selama tahun baru masih dirayakan, dengan terompetnya Darmo akan terus mengambil kesempatan untuk memenuhi kebutuhan. Terbukti usaha pembuatan terompet, ayah 4 anak dan 3 cucu ini dapat menopang kehidupan keluarganya dan menyekolahkan anak-anaknya sampai tingkat sarjana. Meskipun diluar musim terompet, Darmo hanya berjualan es keliling untuk menambah penghasilan.**

M endung masih menggelayut di langit

Purwokerto saat tabloid Pamor mengunjungi padepokan seni Ngesti Laras di Desa Celeleng, Tanjung, Purwokerto Selatan. Jumat, 4 Desember 2015 lalu. Disanggar terlihat Gunawan (76) sedang serius memahat gelondongan kayu kethewel (kayu nangka). Rupanya kayu itu hendak dijadikan kendang yang dipesan oleh grup lengger di Pegalongan. Sesepuh sekaligus penanggung jawab grup kesenian Ngesti Laras ini memang dikenal serba bisa, pengalamanya bergelut di dunia seni sudah ia lakoni sejak era enampuluhan.

Sambil bekerja Gunawan pun mulai mengisahkan perjalanan hidupnya sebagai seorang seniman. Menurutnya setelah lulus sekolah teknik ia bekerja di pabrik pemintalan benang di wilayah Jawa Barat, saat itu Gunawan sudah bergabung dalam grup seni tonil (teater) di kampungnya. Karena totalitasnya dalam seni pementasan tersebut membawanya hingga menjadi seorang sutradara. Namun, nasib pahit harus diterima saat terjadi pergolakan

politik Gestapu (gerakan 30 september). Saat itu banyak seniman yang disangka menjadi bagian dari Lembaga Kesenian Nasional (LKN) dan Lekra. Termasuk Gunawan terpaksa menerima nasib sebagai tahanan politik dan dibuang di LP Kuning Nusakambangan, Cilacap, tanpa diadili.

“Saya sebenarnya tidak terlibat apapun dalam dunia politik, saya hanya pemain seni dan menjadi direktur tonil yang sering pentas dimanapun asal ada yang mengundang pentas. Saya juga tidak tahu apa itu LKN dan Lekra, tapi ternyata saya dituduh sebagai bagian dari mereka. Sampai akhirnya saya ditangkap dan dibuang di LP Kuning Pulau Nusakambangan sebagai tahanan politik dari 1966 dan baru bebas pada 1972.” Kata Gunawan.

Setelah keluar dari tahanan, kakek 4 anak dan12 cucu ini pun harus menghadapi kehidupannya yang sudah berbeda. Tak hanya rasa malu pada keluarga dan masyarakat sekitar, tapi ia juga harus kehilangan istrinya dan itulah yang menjadi cobaan terberat baginya.

“Rasanya sakit hati, saat saya keluar dari penjara, istri saya pergi entah kemana”, Ucapnya lirih.

Sejak saat itulah Gunawan mulai mempertaruhkan hidup dengan berkesenian dan bergabung dengan grup ketoprak. Pagelaranpun dilakoninya dari kota ke kota di Jawa, untuk memuhi kebutuhan hidupnya.

Setelah masa pahit dapat dilaluinya, Gunawan memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya di Purwokerto. Pada 1986, Gunawan merintis grup kesenian dan menjadi dalang wayang kulit. Awalnya sekedar mencari tanbahan penghasilan, karena jika hanya bertani tidak dapat mencukupi.

Seiring berjalannya waktu, seniman serba bisa ini pun mulai berfikir untuk membuat gamelan dan menjualnya. Bersyukur pesanan pun didapat dari instansi dan sekolah-sekolah yang ada di Kabupaten Banyumas.

Karena kualitas nada gamelan lebih baik, jumlah pesanannya pun meningkat dan ia juga berupaya menjaga persaudaraan dengan siapapun.

Menurut Gunawan membuat gamelan yang enak didengar, dia hanya mengandalkan rasa dan bukan dengan ukuran angka. Nada gamelan dari bahan monel juga memiliki kualitas yang tidak kalah dengan bahan perunggu. Intinya membuat gamelan harus punya angen-angen atau rasa yang tajam, agar nada yang dihasilkan bisa sesuai. Karena tidak bisa diukur secara pasti tebal tipisnya besi atau monel untuk pembuatan nada.

Bakat dalang yang

dimiliki Gunawan merupakan warisan dari eyangnya yang dijamannya dulu pernah menjadi dalang terkenal dari Jatilawang. Pengalamannya menjadi dalang, Gunawan pernah pentas di Teluk Betung dan Gisting Sumatera, pada acara pertemuan suku Kubu.

”Kakek saya seorang dalang, saya mewarisi bakat seni dari beliau. Sementara nenek pembuat wayang kulit. Karena ada kepercayaan dalang tidak boleh membuat wayang kulit, dan jika dilanggar dapat membuat dalang tersebut sepi tanggapan. Karena hal itu nenek yang membuatkan wayang kulit untuk kakek.” Kenangnya.**

5

Page 6: No. 1 | Edisi Januari | 2016tabloidpamor.com/downlot.php?file=januari2016.pdf · dan nilai-nilai luhurnya,” Terang ... robohnya Patung Panglima Besar Jenderal Soedirman yang terletak

TABLOID

PAMOREkonomi Rakyat No. 1 | Edisi Januari | 2016

M eski laju modernisasi tak dapat dihindari,

disaat tabung gas menjadi bagian paling vital diruang masak. Tidak menutup harapannya untuk mengais rezeki dari benda tradisional yang disebut pawon.

Entah sebuah keterpaksaan bagi penggunanya atau ketidakmampuan benda modern tersebut untuk menggeser peran pawon di dapur warga. Yang pasti

mereka menghasilkan empat pawon setiap harinya. Memang rezeki datang dari Sang Khalik, setiap ada upaya harapanpun bisa didapat. Disaat kemajuan teknologi menuntut siapapun untuk berubah dengan janji kemudahan dan praktis, ternyata masih banyak kalangan yang enggan menikmati teknologi khususnya sarana memasak. Kalangan inilah yang memberikan keuntungan bagi Tugiman dan rekan melalui karya pawonnya.

Hal lain yang entah disadari atau tidak oleh Tugiman, tentang keuntungan bagi pengguna pawon adalah ketersediaan bahan bakarnya. Stabilitas pun dapat dirasakan bagi pengguna pawon, misalnya ketika publik dihadapkan pada kelangkaan tabung gas hingga perdebatan tentang subsidi, mereka cukup menjaga agar kayu bakar terhindar dari siraman air atau guyuran hujan. Namun demikian tidak dipungkiri pula bahwa kebanyakan

penggunanya dari kalangan tua. Sementara generasi muda enggan menggunakan produk tradisional tersebut. Alhasil saat yang muda telah beralih menjadi tua, pawon pun semakin jauh dari penggunanya. Kondisi ini telah dirasakan oleh Tugiman yang dulu pernah memproduksi pawonnya hingga enampuluh unit setiap minggunya.

Proses pembuatan pawon dimulai dengan mencari bahan batu wadas, biasanya batu yang diambil masih berbentuk bongkahan besar. Bongkahan itupun dibentuk menggunakan kampak dan tatah menjadi persegi panjang, kemudian dihaluskan hingga seluruh bagian permukaan menjadi rata. Saat menghaluskan, digunakan bahan semen sebagai lapisannya. Dan yang

terakhir adalah penjemuran agar wadas yang dihasilkan bisa keras dan tahan lama. Menurut Tugiman, pawon buatannya memiliki ketahanan yang relatif lama hingga lima tahunan dan bisa lebih tergantung pemakaiannya.

“Selagi pawon masih ngebul, rezeki masih bisa dikumpul”, mungkin inilah slogan yang tepat untuk menyemangati Tugiman dan ketiga rekannya ditengah minimnya pengguna pawon. Profesi yang terbilang sudah langka ini telah menjadi bagian dari kehidupan Tugiman sejak remaja dulu. Terbukti hingga kini masih menjadi sandaran hidup keluarganya. Bersyukur masih ada pesanan pawon dari daerah Banyumas dan sekitarnya yang mesti dipenuhi. Semangat!.**

Tentunya tidak bermaksud untuk menantang maut, terlebih bercanda dengan alam. Apa yang mereka lakukan menjadi bagian dari profesi yang

selama ini ditekuni demi menjaga dapur tetap ngebul. Mungkin inilah yang layak disandangkan padaTugiman (63) warga Desa Mandirancan, Kecamatan Patikraja, Kabupaten Banyumas, bersama ketiga rekannya.

Mereka bekerja di tebing cumam mencari batu padas sebagai bahan utama produknya yang dinamai pawon. Jumat, (11 Desember 2015) lalu.

Tumbuh tinggi menjulang, melambai saat angin meniup daunnya. Seolah tiada beban

meski butiran buahnya memenuhi batang pelepah. Berhias goresan di sekujur

batangnya bak anak tangga bagi yang memanjatnya. Keindahan

panoramapun kurang sempurna tanpa keberadaannya. Tak

lain adalah pohon kelapa yang berjulukan seribu manfaat.

B agi masyarakat di Kabupaten Banyumas, pohon

kelapa sudah menjadi bagian dari kehidupan ekonominya. Tak heran jika pohon ini banyak tumbuh subur di pekarangan, kebun, hingga diperbukitan. Tinggal bagaimana orang memanfaatkannya. Seperti yang dilakukan oleh Kartam (32) warga Dusun Bonjok, Kelurahan Somagede, Banyumas yang mengolah batok kelapa menjadi bahan kerajinan yang banyak diminati.

Kepada tabloid Pamor, Selasa 8 Desember 2015 lalu. Kartam menuturkan pengalaman yang dimulai saat ia menyelesaikan sekolahnya dibangku SMP, dengan menjadi kuli panggul di pasar

Somagede. Saat itu tahun 2002 permintaan kopra di pasar cukup tinggi, Kartam pun mulai berpikir untuk membuka usaha kopra. Meski tidak semulus yang dibayangkan, usahanya dapat bertahan empat tahun lamanya.

Saat keresahan menimpa para perajin kopra karena harganya yang tidak stabil, memaksa Kartam untuk memutar otak agar tidak terlalu mengandalkan kopra. Pilihannya pun tertuju pada limbah kopra atau tempurung kelapanya, yang kemudian dimanfaatkan dengan diolah menjadi tempat pakan ayam. Mengubah limbah menjadi benda yang bermanfaat tentu membutuhkan sentuhan seni, dengan demikian benda tersebutpun memiliki nilai tinggi. Sejak itulah Kartam memulai bisnis barunya dengan membuka usaha kerajinan dari batok atau tempurung kelapa.

Tidak sedikit pesanan yang diterima Kartam sebagai perajin, bahkan angka mencapai puluhan ribu dalam sebulan. Dengan harga relatif yang tentunya tergantung

jumlah pesanannya. Untuk memproduksi karyanya ada beberapa tahapan yang dilalui. Namun, dari setiap tahapan tidak ada satupun barang yang terbuang karena bisa dimanfaatkan untuk jenis produk yang lain seperti arang batok. Hanya batok dengan kwalitas baik yang bisa lolos hingga tahap akhir menjadi kerajinan tangan.

Perjalanan usaha Kartam tidak lepas dari ujian yang datang dari Sang Khalik, sebut saja saat modalnya ludes karena prilaku yang tidak baik

dari rekan usahanya. Hal itu tidak menjadikan Kartam patah arang, karena baginya arang pun masih laku dijual. Dengan modal pinjaman dari bank, Kartam merintis kembali usaha dan mengembangkannya menjadi beragam kerajinan batok kelapa. Kegigihan Kartam berbuah manis, pesananpun mulai mengalir dalam jumlah besar dari Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia. Dari mancanegara tepatnya Amerika, Kartam pernah menerima pesanan mangkuk sup berbahan dasar

bathok kelapa.

Inovasi terus dilakukan Kartam tiada henti, limbah bubuk sabut kelapa pun pernah diuji untuk dijadikan kulit sintetis. Uji coba itu dilakukan di laboratorium Balai Tekstil Bandung, hasilnya tidak kalah dengan kulit aslinya. Kepiawaian Kartam dalam mengolah batok tidak didapat dari sekolah atau kursus, semua didapat secara alami. Untuk itulah Kartam menegaskan apa yang didapat adalah berkah dan karunia dari Allah semata.**

6

Page 7: No. 1 | Edisi Januari | 2016tabloidpamor.com/downlot.php?file=januari2016.pdf · dan nilai-nilai luhurnya,” Terang ... robohnya Patung Panglima Besar Jenderal Soedirman yang terletak

TABLOID

PAMOR Ekonomi RakyatNo. 1 | Edisi Januari | 2016

D ari kejauhan sayup-sayup terdengar dentingan besi

beradu, suaranya bersumber dari sebuah pemukiman, tepatnya di Desa Pasir Wetan, Kecamatan Karanglewas, Kabupaten Banyumas. Siang itu Jumat, 11 Desember 2015 lalu. Rasa penasaran membawa langkah untuk menghampirinya. Tak hanya dentingan saja, kebulan asap pun terlihat dari semburan api yang membakar arang. Sementara dua orang terlihat saling berhadapan, keduanya sama-sama bermandikan keringat. Sebuah palu besar dan tang penjepit ada pada genggaman mereka.

Tidak terdengar ada percakapan dari keduanya, hanya saja pandangan mereka tertuju pada sebatang besi yang masih membara usai dibakar. Si pemegang palu dengan sigap mengarahkan

tempaan palunya pada besi yang membara itu, sementara yang seorang lainnya dengan kuat memegang besi panas menggunakan tang penjepit. Rupanya mereka si pande besi yang sedang bekerja mengerjakan pesanan. Biasanya berupa alat-alat pertanian seperti cangkul, parang, cabit, serok, kudi, dan sejenisnya.

Keberadaan pande besi di Desa Pasir Wetan, sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Banyumas. Konon keberadaanya itu tidak lepas dari sejarah leluhurnya yang dimulai pada masa perjuangan Kyai Nurhakim. Pada masa itu Pasir Wetan menjadi pusatnya para empu dan pande besi, yang memasok senjata saat perang Diponegoro. Kyai Nurhakim adalah seorang pejuang dan ulama dari Surakarta Hadiningrat yang diutus oleh Pangeran

Diponegoro untuk menggalang kekuatan di daerah Astana Pasir. Demikian menurut Ahmad Rusamsi (40) yang juga seorang perajin atau empu di Desa Pasir Wetan.

Keahlian para empu itulah yang secara turun-temurun diwariskan oleh generasi penerusnya sampai saat ini. Pande besi yang awalnya untuk memenuhi kebutuhan senjata, kini menjadi sumber penghidupan para perajinnya. Produk yang dihasilkanpun beragam sesuai pesanannya, dengan proses pembuatan yang dimulai dari pemilihan bahan besi baja. Kemudian besi dibakar ditungku menggunakan arang hingga besi membara, selanjutnya dibentuk sesuai

pesanan dengan cara ditempa menggunakan palu. Hingga proses akhir dimana produk siap untuk diberi merek dan dikemas.

Makam Syekh Nur Hakim

Masyarakat Desa Pasir Wetan sangat menghargai jasa-jasa Syekh Nur Hakim. Hingga saat ini keberadaan makamnya pun masih terjaga dan tidak sepi dari peziarah. Syekh Nur Hakim semasa hidupnya mengabdikan diri untuk penyebaran agama

Islam, beliau wafat pada Sabtu Pahing, 27 Juni 1891.

Selain makam Syekh Nur Hakim, tepat disebelahnya terdapat makam Nyai Nur Hakim mantan Demang Pasir Wetan ke 2. Kedua makam inilah yang kerap dikunjungi peziarah apalagi pada Syaban atau menjelang Ramadan tanpa tentu hari maupun tanggalnya. Selain berziarah mereka juga menyempatkan untuk membersihkan area makam.**

B erdiri dilahan seluas lima belas hektar dikaki gunung

tertinggi di Jawa Tengah, PLTA Ketenger memberikan energi listrik daerah Jawa - Bali. Pembangkit listrik warisan penjajah Belanda ini berada di daerah Baturraden yang memanfaatkan sumber air di Gunung Slamet. Kawasan yang mulai dibangun tahun 1935 dan baru beroperasi pada 1938 ini, terdiri dari empat bagian antara lain Dam Belanda yang terletak dibagian hulu tepatnya di Dusun Kalipagu yang berfungsi sebagai waduk penampungan air. Berikutnya Dam Jepang letaknya dibawah hulu, yang berfungsi sebagai penahan aliran dibawah hulu. Kemudian pos jaga air atau yang dikenal

dengan rumah putih sebagai pengontrol debit air. Dan yang ke empat adalah ruang mesin sebagai pusat pengelolaan listrik.

Menurut Simin, Kepala Bagian Humas PLTA Ketenger. PLTA Ketenger dibangun oleh kontraktor Hindia Belanda NV. ANIEM 9 (N.V. Algemeene Nederlandsch Indische Electriciteit Maatchappy) untuk mesin unit 1 dan 2 dengan daya terpasang masing – masing 3,52 MW. Saat Jepang berkuasa, PLTA ini pernah menjadi sasaran bom oleh tentara Jepang. Namun, dapat terselamatkan karena bom yang diluncurkan gagal meledak. Selain mencoba menghancurkan, Tentara Jepang juga berniat mengambil

pipa pertama yang merupakan peninggalan asli dari Belanda.

Upaya itupun batal dilakukan karena Jepang terlanjur kalah oleh Sekutu. Konon, gagalnya Jepang menghancurkan kawasan ini karena terhalang oleh energi mistik yang menaunginya. Dalam budaya Jawa, hal itu sangat dipahami mengingat keberadaannya di kaki Gunung Slamet.

Pembangkit listrik ini pernah direnovasi pada tahun 1998 dan selesai 1999, untuk mesin tiga dengan daya terpasang 1,05 MW yang dilakukan oleh kontraktor PT. Dirga Bratasena Engenering Medan. Sementara untuk analisa mengenai dampak lingkungannya dilakukan oleh tim pusat studi kependudukan dan lingkungan hidup lembaga penelitian

Universitas Diponegoro Semarang, dan disetujui oleh pihak Komisi AMDAL Pusat Departemen Pertambangan dan Energi. Tujuan pembangunan PLTA ketenger adalah untuk memenuhi

kebutuhan energi listrik, terutama kebutuhan energi listrik daerah Jawa - Bali dan menjadi penyumbang energi terpenting walaupun kecil.

PLTA Ketenger ini bisa disebut kecil-kecil cabe rawit, karena ini satu-satunya PLTA di Jawa yang tak pernah berhenti beroperasi walaupun keadaan sedang musim kemarau. Karena debit air di lereng Gunung Slamet masih terjaga dengan baik. Debit air dari waduk penampungan yang disalurkan melalui tiga pipa. Awalnya hanya ada satu pipa saja, pipa kedua dan tiga merupakan hasil pengembangan untuk energi micro hydro. Demikian disampaikan Simin saat menerima kunjungan tabloid Pamor di ruang kerjanya. Selasa, 24 November 2015 lalu.

Tujuan pembangunan

PLTA ketenger adalah untuk memenuhi kebutuhan energi listrik, terutama kebutuhan energi listrik untuk daerah Gambasari dan Pasanggrahan, dimana energi listrik ini dimafaatkan untuk menggerakan turbin dari sungai Banjaran dan sungai Surobadak. Volume air dari kedua sungai dialirkan dan ditampung kedalam kolam tando dengan maksud mendapat debit dan tinggi jatuh yang diinginkan, baru kemudian air dalam kolam dialirkan melewati pipa besar untuk memutar turbin.

Energi listrik yang dihasilkan PLTA Ketenger disalurkan ke berbagai daerah antara lain: Purwokerto, Purbalingga, Gombong, Karanganyar, Kebumen, dan pompa air Gambarsari, serta Pesanggrahan, melalui saluran tinggi 30 kV.

Dalam perkembangannya, PLTA Ketenger sekarang terdiri dari tiga mesin pembangkit dengan total kapasitas daya kurang lebih 8,09 MW. Keberadaan PLTA ini dibawah naungan PT. Indonesia Power Unit Bisnis Pembangkit Mrica di Banjarnegara. Selain PLTA Ketenger, PT. Indonesia Power juga mengelola seluruh PLTA yang ada di Jawa Tengah.**

7

Page 8: No. 1 | Edisi Januari | 2016tabloidpamor.com/downlot.php?file=januari2016.pdf · dan nilai-nilai luhurnya,” Terang ... robohnya Patung Panglima Besar Jenderal Soedirman yang terletak

TABLOID

PAMOREkonomi Rakyat No. 1 | Edisi Januari | 2016

Matahari sudah menampakan wajahnya dari balik bukit hutan

pinus, cahanyannya yang menerobos celah-celah dedaunan

memberi kehangatan di alam pegunungan yang pagi itu terlihat basah karena semalaman diguyur

hujan. Aktifitas masyarakat pun dimulai seiring laju sang

surya yang mulai beranjak dari tempatnya, menandakan hari

semakin siang. Suatu pertanda bagi Salem (55) ibu lima anak yang

tinggal di Dusun Plawetan, Desa Watuagung, Kecamatan Tambak,

Banyumas, untuk memulai aktifitasnya sebagai pencari

pasir di Sungai Plawetan, Selasa (14/10/2014) lalu.

B erbekal ember dan cangkul kecil, Salem menuju ke sungai

yang dipenuhi batu-batu kali. Tidak mudah bagi Salem untuk mengumpulkan pasir yang keberadaannya tersebar disela-sela bebatuan sungai yang hitam dan keras. Terkadang Salem harus menyingkirkan batu-batu kecil hingga menjadi kubangan untuk mengambil pasirnya. Dan bila ember kecil sudah dipenuhi pasir, segera

dipindahkan ke lembaran karung yang diletakan pada tempat yang agak rata dan tidak jauh dari tempatnya mengais.

Aktifitas sebagai pencari pasir hanya sebagai sambilan dari pekerjaan utamanya sebagai buruh tani. Saat tidak ada kesibukan pada pekerjaan utamanya, menambang pasir menjadi solusi untuk mencari tambahan penghasilan. Untuk seember pasir dihargai dua ribu rupiah oleh pengepul, pasir akan dibeli jika jumlahnya lebih dari limapuluh ember. Sedangkan dalam sehari Salem hanya mampu mengumpulkan lima sampai enam ember saja, karena memang sulit untuk mengais pasir di sungai yang dipenuhi bebatuan. Sehingga untuk memenuhi sarat pembelian dari pengepul membutuhkan waktu delapan hingga sepuluh hari.

Menambang pasir tidak hanya dilakukan oleh Salem seorang, tetapi juga di jalani oleh banyak ibu-ibu di Dusun Plawetan, mulai dari ibu-ibu muda sampai nenek-nenek

pun mengisi kesibukan dengan menambang pasir di sungai. Menjalani aktifitas untuk mendapatkan tambahan penghasilan. Seperti halnya Inem (37) ibu satu anak yang mengaku sudah enam tahun mencari pasir sebagai tambahan penghasilan, mengingat suaminya yang berprofesi sebagai buruh bangunan. Meskipun demikian tugas sebagai ibu rumah tangga tidak terabaikan, seperti mengawasi anaknya yang baru berumur enam tahun.

Demikian juga dengan Mbah Samini (70) yang sudah lebih dari empat tahun menggantungkan hidupnya dari mengais pasir di Sungai Plawetan. Sebelumnya Mbah Samini bermata pencaharian sebagai buruh tani. Namun,

karena usianya yang semakin tua dan tenaganya sudah jarang dibutuhkan oleh pemilik kebun, sehingga Mbah Samini menekuni pekerjaan sebagai pencari pasir dan menjualnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sejak pagi hingga sore hari Mbah Samini menghabiskan waktu dengan mencari pasir, sedikitnya lima ember dapat ia kumpulkan setiap harinya. Kerja keras yang dilakukan Mbah Samini karena ia tidak mau membebani anak-anaknya yang kehidupannya juga biasa-biasa saja.

Potret kehidupan masyarakat di Grumbul Plawetan tidak mengalami banyak perubahan hingga beberapa waktu lalu, Sabtu (2 Januari 2016). Hanya sedikit yang berbeda yaitu batu-batu sungai yang dulu selalu singkirkan saat mengambil pasir, sekarang sudah diambil manfaatnya. Ada pengepul yang mau membelinya dengan takaran satu bak mobil pick-up yang dihargai 190 - 200 ribu rupiah. Demikian dikatakan oleh Mbah Samini yang kembali dijumpai Tabloid Pamor di Sungai Plawetan.**

Tiupan angin yang berhembus membawa udara dingin khas pegunungan. Ketika lembayung menghias di ufuk Barat memberi tanda hari menjelang senja. Semua aktifitas di ladang pun berhenti, satu-persatu orang melangkah meninggalkan ladangnya. Demikian juga dengan Mbok Cartem yang sore itu usai memetik teh dari ladangnya, Selasa (16/9/2014) lalu. Sebagaimana umumnya petani yang sehari-hari bercengkrama dengan tanaman demi suatu harapan yang selalu digantungkan.

T umbuh subur diantara tanaman palawija rimbunan pohon

teh tersebar tidak beraturan. Hal yang berbeda dengan

kebun teh pada umumnya yang tertata rapih. Padahal tanaman teh tersebut masih produktif dan menjadi salah satu tanaman yang memberikan nilai ekonomi bagi petaninya selain untuk dikonsumsi sendiri. Maka tak mengherankan bila berkunjung ke daerah ini akan dijumpai hidangan teh segar dengan aroma klasik dan natural yang dibuat oleh tangan-tangan polos petani tradisional. Pemandangan ini bisa kita jumpai di Grumbul Karang Nangka, Desa Karang Tengah, Kecamatan Cilongok, Banyumas.

Tanaman teh yang tumbuh subur di ladang petani di Grumbul Karang Nangka menjadi penghasilan alternatif

selain tanaman pokok palawija seperti cabai, buncil, muncang (daun bawang) dan lainnya. Setiap dua minggu sekali biasanya petani memetik pucuk daun teh untuk dijual ke perajin atau rumah industri teh yang dihargai seribu lima ratus rupiah per kilonya. Sebagai petani yang di ladangnya tumbuh tanaman teh, tak jarang

jika mereka biasa mengolah teh untuk di konsumsi sendiri. Begitu juga dengan Mbok Cartem (54) yang piawai mengolah teh dari hasil kebunnya sendiri.

Dari kebiasaannya mengolah teh membuat Mbok Cartem punya keinginan untuk menjual teh hasil olahannya sendiri. berawal dari tetangga di lingkungannya hingga warung-warung di daerahnya mulai menggemari teh olahan Mbok Cartem. Semua teh yang dijual Mbok Cartem hasil dari kebunnya sendiri, terkecuali bila ada pesanan banyak dan teh dari kebunnya tidak mencukupi Mbok Cartem baru membeli daun teh muda dari tetangganya. Setidaknya sudah

lima tahun ini usaha teh olahan Mbok Cartem masih bertahan dan semakin digemari.

Sedikitnya dua puluh kilo daun teh diolah Mbok Cartem setiap dua hari sekali, dengan standar olahan teh petani tradisional menggunakan peralatan rumah tangga yang sederhana. Saat mengolah teh Mbok Cartem tidak sendiri, dibantu oleh Kamisem saudaranya. Karena ada satu tahapan mengolah teh yang membutuhkan tenaga kuat yaitu saat teh hendak di geles atau proses mengeluarkan kandungan air dan getah.

Selain di Grumbul Karang Nangka, beberapa grumbul disekitarnya juga banyak dijumpai tanaman teh. Diantaranya Grumbul Cirongge dan Grumbul Menggala yang masih wilayah Desa Karang Tengah. Tanaman teh di grumbul tersebut pun juga sekedar tanaman alternatif walaupun punya nilai ekonomi tapi tidak diperlakukan secara khusus seperti perkebunan teh umumnya. Karena tanaman palawilalah yang menjadi prioritas utamanya. Biasanya mereka mengambil manfaat dari tanaman teh setelah

mengurus palawijanya. Seperti yang dilakukan oleh Kidem (40) perempuan warga Grumbul Cirongge yang kesehariannya sebagai petani.

Usai menyiram tanaman cabai dan kacang buncis diladangnya, Kidem lalu memetik pucuk daun teh sebagai barang bawaannya ke rumah. Oleh Kidem daun teh tersebut hendak dijual ke rumah industri teh yang ada di Grumbul Menggala. Meskipun tidak rutin tapi Kidem selalu mengambil manfaat dari tanaman teh yang tumbuh diladangnya dengan memetik dan menjual pucuk daun teh muda. Menurut beberapa sumber menerangkan bahwa wilayah Desa Karang Tengah dulunya merupakan perkebunan teh dan konon pernah berdiri pabrik teh di masa penjajahan Belanda.

Sementara itu Maryani pemilik salah satu warung kelontong kecil di Grumbul Menggala mengaku biasa menjual teh olahan tradisional. Menurutnya pembeli lebih suka teh tradisional karena aromanya yang natural dan rasanya lebih pahit dan segar.**