Upload
phunghuong
View
231
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK PADA
IBADAH HAJI
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1
Ilmu Tarbiyah
Oleh
YUYUN ARIFAH NIM 3103082
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2008
ii
iii
PENGESAHAN PENGUJI
Tanggal Tanda Tangan
Drs. H. Djoko Widagdho, M. Pd (NIP. 130 388 591) ______________ ______________
Ketua Drs. Wahyudi, M. Pd (NIP. 150 274 611) ______________ ______________
Sekretaris
Drs. H. Syamsuddin Yahya (NIP. 150 170 121) ______________ ______________
Anggota I
Nasirudin, M. Ag (NIP. 150 274 611) ______________ ______________
Anggota II
iv
PERNYATAAN
Penulis menyatakan dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab bahwa skripsi ini
tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan.
Demikian juga skripsi ini tidak berisi satu pun pikiran-pikiran orang lain, kecuali
informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 2 Januari 2008
Deklarator,
Yuyun Arifah
v
ABSTRAK
Yuyun Arifah (3103082) Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak pada Ibadah Haji Skripsi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2008
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan akhlak yang
terkandung pada ibadah haji. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library Research). Data
penelitian yang terkumpul kemudian dianalisis dengan teknik analisis deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan deduktif dan pendekatan induktif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibadah haji adalah kegiatan mengunjungi Makkah yang dilakukan pada waktu tertentu untuk mengerjakan perbuatan-perbuatan khusus berupa thawaf, sa’i, wukuf di Arafah dan seluruh rangkaian ibadah haji dalam rangka memenuhi perintah Allah dan mengharap ridho-Nya. Nilai-nilai pendidikan akhlak pada ibadah haji antara lain: a. Syukur. Melaksanakan haji merupakan ungkapan syukur atas nikmat harta dan
kesehatan. Keduanya merupakan kenikmatan terbesar yang diterima didunia. Hal ini dapat dilihat ketika jamaah mengucapkan talbiyah.
b. Takwa. Haji merupakan ibadah yang melambangkan ketaatan atau penyerahan diri secara total kepada Allah baik harta benda maupun jiwa raga. Di hadapan Allah mereka bersyukur atas segala nikmat, memohon ampun, berdzikir, memohon perlindungan dari dosa, hawa nafsu dan godaan setan.
c. Ikhlas. Ibadah haji merupakan ibadah sempurna yang harus dilaksanakan dengan ikhlas karena Allah. Hal ini sesuai dengan Firman Allah dalam QS. Ali Imran ayat 97, dan Al-Baqarah ayat 196 yang menjelaskan tentang kewajiban haji.
d. Bershalawat dan patuh pada ajaran Rasulullah. Hal ini bisa dipahami ketika jama’ah di Raudhah mereka bershalawat kepada Nabi. Selain itu dapat dipahami ketika jama’ah melaksanakan rangkaian ibadah haji sesuai dengan ajaran Rasulullah. Misalnya thawaf, wukuf, sa’i, tahalul.
e. Tidak melakukan rafats, fusuq dan jidal. Pada ibadah haji, ketika jamaah sedang ihram ada larangan untuk tidak rafats, fusuq dan jidal. Hal ini karena ibadah haji merupakan pekerjaan yang sangat mulia dan terpuji. Sebagaimana firman Allah QS. Al-Baqarah ayat 197.
f. Mengendalikan hawa nafsu. Hal ini bisa dipahami ketika jamaah melempar jumrah. Melempar jumrah merupakan perwujudan permusuhan dan kebencian terhadap setan yang selalu berusaha untuk menyesatkan manusia dari jalan yang diridai Allah.
g. Tolong menolong. Ibadah haji bukan hanya suatu bentuk budaya/adat istiadat. Di situ dibutuhkan pengertian dan toleransi, tolong menolong antara jama’ah yang satu dengan yang lain.
h. Ukhuwah/Persaudaraan. Ibadah haji merupakan wujud nyata dari persaudaraan antara muslim sedunia. Dengan perkumpulan yang berasal dari berbagai negara dan bangsa, mereka harus saling toleransi dan memahami keadaan orang lain, sehingga tercipta ukhuwah islamiyah yang baik.
vi
MOTTO
الحج أشهر معلومات فمن فرض فيهن الحج فلا رفث ولا فسوق ولا جدال
)١٩٧: البقرة( .…في الحجMusim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang
menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan
haji.* (QS. Al-Baqarah: 197)
* Departemen Agama, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Bandung: J-Art, 2005), hlm. 31.
vii
PERSEMBAHAN
Dengan ketulusan hati dan rasa syukur skripsi ini kupersembahkan kepada:
1. Ayahku H. Suroso dan Bunda tersayang Siti Khasanah yang selalu memberikan
kasih sayang tanpa akhir. Iringan doa dan restumu adalah pijakan bagiku untuk
menggapai mimpi indahku.
2. Kakakku Ahmad Faizin, S.Pd.I dan adikku Sri Mulyani yang menjadi
penyemangat hidup penulis.
3. Pelita hatiku, mutiara hidupku, calon pendamping hidupku, semoga engkau yang
terbaik bagiku.
4. Keluarga besar PPTQ Purwoyoso Semarang, semua sahabat senasib seperjuangan,
terima kasih atas kebersamannya dalam suka dan duka.
5. Teman senasib dan seperjuangan di kampus hijau Fakultas Tarbiyah angkatan
2003. Dengan tulus hati aku persembahkan skripsi ini, mudah-mudahan bisa
bermanfaat.
viii
KATA PENGANTAR
بسم اهللا الرمحن الرحيم
Penulis bersyukur kepada Allah yang telah melimpahkan rahmat, taufiq
dan hidayah-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini yang
merupakan tugas dan syarat yang wajib dipenuhi guna memperoleh gelar kesarjanaan
dari Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang.
Tidak lupa, penulis haturkan shalawat serta salam kepada junjungan kita,
Nabi Muhammad yang telah membawa risalah yang penuh dengan ilmu
pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu keislaman, sehingga dapat menjadi bekal hidup
kita, baik di dunia dan di akhirat kelak.
Ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis sampaikan kepada
semua pihak yang telah memberikan pengarahan, bimbingan dengan moral dan
bantuan apapun yang sangat besar artinya bagi penulis. Ucapan terima kasih
terutama penulis sampaikan kepada:
1. Prof. Dr. H. Ibnu Hadjar, M. Ed. Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo
Semarang yang telah merestui pembahasan skripsi ini.
2. Dra. Muntholi’ah, M.Pd selaku wali studi yang telah membimbing dan
mengarahkan penulis selama melakukan studi.
3. Sulja’i M. Ag dan H. Mursid, M Ag selaku pembimbing yang telah berkenan
meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan
pengarahan dalam penyusunan skripsi ini..
4. Segenap Bapak dan Ibu Dosen beserta karyawan di lingkungan Fakultas
Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang yang telah membekali berbagai
pengetahuan, sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini.
5. Bapak dan Ibu serta kakak dan adikku yang telah mencurahkan kasih sayang,
perhatian dan doanya untuk keberhasilan penulis.
6. Abah K.H. Amna Abdullah Umar, K.H. Azka Abdullah Umar (Alm), Abah
Muhibbin, Umi Aufa, Ibu Nyai Hj. Jamzatur Rohmah AH sebagai Pengasuh
PPTQ Purwoyoso Ngaliyan Semarang. Terima kasih kami haturkan kepada
ix
belaiau yang telah mengasuh, mendidik dengan tulus ikhlas, sehingga kami
mendapat ilmu yang bermanfaat dan barokah.
7. Sahabat, teman senasib seperjuangan, santriwati PPTQ Purwoyoso Semarang
(Hidayah, Rifqoh, Mei, Ida, Mifroh, Mursyidah, Anik dan adik-adik kamar pink),
teman-teman TIM PPL MAN 2 Semarang 2007 dan TIM KKN POSKO 16 Desa
Malebo Kabupaten Temanggung 2007, yang selalu setia menemani, menasehati,
membantu, memotivasi dan mendoakan dari awal sampai akhir penyelesaian
skripsi dan studi di IAIN Walisongo Semarang.
8. berbagai pihak yang secara langsung maupun tidak langsung yang telah
membantu dalam penulisan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu.
Kepada mereka semua penulis tidak dapat memberikan apa-apa hanya
untaian terima kasih dengan tulus serta iringan doa, semoga Allah membalas semua
amal kebaikan mereka dan melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah dan inayah-Nya,
dan semoga skripsi yang berjudul “Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak pada Ibadah Haji”
ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang berkesempatan membacanya.
Pada akhirnya penulis menyadari dengan sepenuh hati bahwa penulisan
skripsi ini belum mencapai kesempurnaan dalam arti yang sebenarnya. Namun
penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan
para pembaca umumnya. Amin.
Semarang, 2 Januari 2008
Penulis
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL.......................................................................................... i
HALAMAN NOTA PEMBIMBING ................................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................... iii
DEKLARASI ..................................................................................................... iv
ABSTRAK ......................................................................................................... v
MOTTO ............................................................................................................. vi
PERSEMBAHAN.............................................................................................. vii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... viii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... x
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................ 5
C. Tujuan Penelitian.......................................................................... 5
D. Kajian Pustaka .............................................................................. 5
E. Penegasan Istilah .......................................................................... 6
F. Metode Penelitian......................................................................... 9
G. Sistematika Penulisan................................................................... 11
BAB II. IBADAH HAJI DAN PENDIDIKAN AKHLAK
A. IBADAH HAJI ............................................................................ 12
a. Pengertian Haji........................................................................ 12
b. Dasar Hukum Haji .................................................................. 13
c. Syarat-Syarat Haji ................................................................... 15
d. Rangkaian Amalan Ibadah Haji .............................................. 16
e. Hikmah Ibadah Haji ............................................................... 26
B. PENDIDIKAN AKHLAK........................................................... 26
a. Pengertian Pendidikan Akhlak ............................................... 26
b. Dasar-dasar Pendidikan Akhlak.............................................. 31
xi
c. Metode-metode Pendidikan Akhlak........................................ 33
d. Nilai-nilai Pendidikan Akhlak................................................. 36
e. Tujuan Pendidikan Akhlak...................................................... 39
C. NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK PADA IBADAH HAJI 40
a. Akhlak kepada Allah............................................................... 40
b. Akhlak kepada Rasul............................................................... 40
c. Akhlak kepada diri sendiri dan orang lain .............................. 40
BAB III. NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK PADA IBADAH HAJI
A. AKHLAK KEPADA ALLAH ............................................... 41
a.. Syukur ................................................................................. 41
b. Takwa .................................................................................. 42
c. Ikhlas .................................................................................. 43
B. AKHLAK KEPADA RASUL...................................................... 44
a. Patuh mengikuti ajarannya ...................................................... 44
b. Bershalawat ............................................................................. 44
C. AKHLAK KEPADA DIRI SENDIRI DAN ORANG LAIN....... 45
a. Tidak melakukan rafats, fusuq dan jidal .................................. 45
b. Mengendalikan hawa nafsu ..................................................... 45
c. Tolong menolong...................................................................... 46
d. Persaudaraan............................................................................. 46
BAB IV. ANALISIS NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK PADA
IBADAH HAJI
A. Hubungan Ibadah Haji dengan Pendidikan .................................. 48
B. Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam Ibadah Haji ...................... 49
1. Akhlak kepada Allah.................................................................. 49
2. Akhlak kepada Rasul.................................................................. 52
3. Akhlak kepada Diri Sendiri dan Orang Lain.............................. 52
xii
BAB V. PENUTUP
A. Simpulan ...................................................................................... 55
B. Saran-Saran .................................................................................. 56
C. Kata Penutup ............................................................................... 57
DAFTAR KEPUSTAKAAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan Islam merupakan pendidikan tingkah laku praktis: tidak cukup dengan kata-kata, tetapi memperhatikan aspek perbuatan. Rukun Islam yang kelima umpamanya, menuntut tingkah laku verbal dan praktis secara simultan. Kesempurnaan manusia muslim antara lain terletak pada kesesuaian antara perkataan dan perbuatan.1
Salah satu tujuan pendidikan Islam ialah mengembangkan manusia yang baik, yaitu manusia yang beribadah dan tunduk kepada Allah serta mensucikan diri dari dosa. Atas dasar itu, tujuan pendidikan Islam diukur antara lain dengan nilai isi pendidikannya, yaitu merealisasi tercapainya keutamaan dan kesempurnaan diri dengan jalan ma’rifat kepada Allah dan berorientasi kepada kehidupan yang baik dan utama. Isi pendidikan tersebut mencakup kepentingan manusia di dunia dan akhirat. Manusia sempurna ialah manusia yang berakhlak mulia serta bertingkah laku dan bergaul dengan baik. Inilah aspek penting tujuan pendidikan akhlak dalam pendidikan Islam.2
Ibadah merupakan salah satu sarana yang efektif untuk mengarahkan
pendidikan kepada orientasi akhlaki yang lurus serta merealisasi pendidikan
secara seimbang dan komprehensif. Ibadah fardhu seperti shalat, zakat, puasa,
haji mengandung maksud mendidik ruh dan mengarahkan pendidikan akhlak
Haji merupakan rukun Islam yang kelima, yang diwajibkan oleh
Allah atas orang-orang yang mampu, baik fisik, mental maupun biaya.3
Sebagai rukun Islam yang kelima haji bukanlah sekedar prosesi lahiriah
formal belaka, melainkan momen revolusi lahir dan batin untuk mencapai
kesejatian diri sebagai manusia. Proses pencapaian kesejatian tersebut dapat
diraih dengan mempelajari makna ibadah haji lebih dalam.
Banyak orang menganggap bahwa haji adalah ungkapan puncak
sekaligus panacea (obat mujarab) bagi kebaikan keagamaan seorang muslim
Seorang muslim yang telah berhaji, jika dia dikenal sebagai orang yang baik,
1 Hery Noer Ali dan Munzir, Watak Pendidikan Islam, (Jakarta: Fisika Agung Insani,
2000), hlm. 154. 2 Ibid, hlm. 152 3 Nasir Yusuf, Problematika Manasik Haji, (Bandung: Pustaka, 1994), hlm. 1.
2
dengan kebaikannya telah mencapai puncaknya.4 Apabila seseorang menjadi
pelaku ibadah haji yang sejati, maka ibadah itu mengandung sebuah hakikat
yang nyata. Bentuk nyata ibadah haji adalah akhlak orang yang berhaji.5
Dalam ibadah haji, nilai pembinaan akhlak lebih besar dibanding
dengan ibadah lain dalam rukun Islam. Hal ini bisa dipahami karena ibadah
haji merupakan ibadah yang bersifat komprehensif yang menuntut persyaratan
banyak, disamping harus menguasai ilmunya, juga harus sehat fisiknya, ada
kemauan keras, bersabar dalam menjalankannya serta mengeluarkan biaya
yang banyak.6 Hubungan ibadah haji dengan pembinaan akhlak ini dapat
dipahami dari ayat yang berbunyi:
ال وقوس فال وثف رال فجح النهي فضر فنم فمتولعمرهشأ جحلا
ادالزري خنإا فودوزت اهللا وهملعيري خنامولعفاتم وجحى ال فالدج
)١٩٧: البقرة( ببلألى اولأ ينوقاتى ووقالتMusim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa
yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan didalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal. (QS. Al-Baqarah: 197)7
Ibadah haji dengan implementasi amaliahnya, tidak hanya semata-
mata dogma. Namun terkandung makna yang sangat dalam seperti dari segi
persaudaraan, kemanusiaan, persamaan dan persatuan, perlu bekerja keras dan
selalu berusaha sampai pada akhirnya dari seluruh perbuatan haji terdapat
pengakuan akan Kemahakuasaan dan Keagungan-Nya8.
Quraish Shihab, mengutarakan bahwa dalam pelaksanaan ibadah
haji, baik dalam acara ritual atau dalam tuntunan non ritualnya, dalam bentuk
4 Ramli Bihar Anwar, ASQ For Haji, (Bandung: Arazy PT Mizan Pustaka, 2004) cet. 1, hlm 118-119
5 Jawadi Amuli, Hikmah dan Makna Haji, (Bogor: Cahaya, 2004), cet. 2hlm. 117 6 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), cet. 2, hlm.
161 7 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: J-Art, 2005), hlm. 31 8 Ishak Farid, Ibadah Haji dalam Filsafat Hukum Islam , (Jakarta: Rineka Cipta, 1999),
hlm. 5
3
kewajiban atau larangan, dalam bentuk nyata atau simbolik mempunyai
makna tersendiri, antara lain:9
1. Ibadah haji dimulai dengan niat sambil menanggalkan pakaian biasa dan
mengenakan pakaian ihram.
Tidak dapat disangkal bahwa pakaian menurut kenyataannya merupakan
pembeda antara seorang dengan yang lainnya. Pembedaan tersebut dapat
membawa antara lain, kepada perbedaan status sosial, ekonomi atau
profesi.
Di miqat makani, pembedaan tersebut harus ditanggalkan, sehingga semua
harus memakai pakaian yang sama. Hal tersebut mengindikasikan bahwa
dalam ibadah haji terdapat pendidikan egaliter (kesamaan).
2. Dengan dikenakannya pakaian ihram, maka sejumlah larangan harus
ditinggalkan oleh pelaku ibadah haji.
Dilarang membunuh binatang dan mencabut pepohonan. Mengapa? Karena
manusia berfungsi memelihara makhluk-makhluk Allah serta memberinya
kesempatan seluas mungkin untuk mencapai tujuan penciptaan-Nya.
3. Setelah selesai melakukan thawaf, yang menjadikan pelakunya larut dan
berbaur bersama manusia-manusia yang lain, serta memberikan kesan
kebersamaan menuju satu tujuan yang sama yakni berada dalam lingkungan
Allah, dilakukanlah sa’i.
4. Di Arafah, padang yang luas lagi gersang itu, seluruh jamaah wuquf
(berhenti) sampai terbenamnya matahari.
Di sanalah mereka seharusnya menemukan ma’rifah pengetahuan sejati
tentang jatidirinya, akhir perjalanan hidupnya. Di sana pula seharusnya ia
menyadari langkah-langkahnya selama ini. Dengan kesadaran-kesadaran
itulah yang menghantarkannya di padang Arafah untuk menjadi arif (sadar)
dan mengetahui.
5. Dari Arafah, para jama’ah ke Muzdalifah untuk mengumpulkan senjata
dalam menghadapi musuh utama yaitu setan. Kemudian melanjutkan
9M. Quraish Shihab, Membumikan Al Qur'an Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 335-337.
4
perjalanan ke Mina dan di sana para jamaah haji melampiaskan kebencian
dan kemarahan mereka menjadi penyebab segala kegetiran yang
dialaminya. Batu dikumpulkan di tengah malam sebagai lambang bahwa
musuh tidak boleh mengetahui siasat dan senjata kita.
Selain itu, Ismail Muhammad Syah, dalam bukunya Filsafat Hukum
Islam mengutarakan bahwa haji merupakan kumpulan yang sangat indah dari
lambang-lambang kerohanian yang mengantarkan umat Islam dari seluruh
penjuru dunia dengan berbagai ras, bangsa dan bahasa merupakan suatu
momentum untuk mempererat tali persaudaraan.10
Ibadah haji tidak hanya semata-mata ditujukan untuk menjaga
hubungan baik dengan Allah tetapi juga menjaga hubungan baik dengan diri
sendiri, sesama manusia, menjaga hubungan baik dengan alam. Hubungan kita
dengan diri kita, dengan sesama manusia harus kita pelihara secara terus
menerus, seperti halnya ketika seorang haji memakai pakaian ihram. Pada saat
itu dilarang membunuh hewan sekecil apapun, menebang pepohonan.
Larangan ini terkait dengan persoalan menjaga hubungan baik dengan alam
dan lingkungan sekitar.11
Amaliah tersebut mengajarkan kepada umat manusia untuk
senantiasa ramah terhadap lingkungan dengan menjaga dan tidak
mengeksploitasi lingkungan. Hal tersebut sangat aplikatif apabila
diaplikasikan oleh setiap muslim, mengingat sekarang ini banyak manusia
yang tidak sadar akan pentingnya menjaga lingkungan.
Penulis beranggapan bahwa penggalian nilai-nilai edukatif dalam
ibadah haji merupakan hal yang sangat urgen. Pasalnya banyak orang muslim
yang melaksanakan ibadah haji, tetapi sepulang dari ibadah haji belum ada
perubahan yang signifikan dalam tingkah laku atau akhlak dalam keseharian
mereka. Selain itu juga disebabkan kekeliruan penafsiran bahwa ibadah haji
10 Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), hlm.
204. 11 Ahmad Thib Raya, Menyelami Seluk Beluk Ibadah dalam Islam, (Jakarta: Kencana,
2003), hlm. 339.
5
hanya habl min Allah sehingga nilai-nilai sosial dalam ibadah haji tidak
terakomodasi.
Oleh karena itu, penulis bermaksud mengadakan penelitian
mengenai Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak pada Ibadah Haji, melalui studi
pustaka yang relevan dengan tema tersebut.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas, maka ada permasalahan yang
akan di kaji melalui penelitian ini. Permasalahan tersebut adalah nilai-nilai
pendidikan akhlak apa saja yang terkandung dalam ibadah haji?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan latar belakang tersebut, maka tujuan yang hendak di
capai dalam penyusunan skripsi ini adalah mengetahui nilai-nilai pendidikan
akhlak dalam ibadah haji.
D. Kajian Pustaka
Kajian yang di bahas dalam skripsi ini difokuskan pada ajaran ibadah
haji yang di dalamnya terkandung nilai-nilai pendidikan akhlak yang dapat
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dari sini dibutuhkan suatu kajian
kepustakaan, dimana sepengetahuan penulis belum pernah menemukan
penelitian skripsi yang mengkaji tentang “Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak pada
Ibadah Haji”
Untuk memperoleh gambaran yang pasti tentang posisi penelitian ini
diantara karya-karya yang sudah ada, berikut kami ilustrasikan beberapa karya
yang telah mengkaji nilai-nilai pendidikan.
Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Agus Hakim tentang “Nilai-
Nilai Pendidikan dalam Qiyamullail.” Skripsi ini memaparkan nilai-nilai
pendidikan dalam qiyamullail meliputi nilai jasmani berupa keadaan tubuh
yang rileks, efektif, tidak malas dan selalu optimis. Nilai rohaninya yaitu
6
menjadikan keadaan tenang dan jiwa damai, tidak terjadi was-was,
kegelisahan yang berakibat pada sifat minder.
Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Sutanti Exa Zulhijah tentang
“Nilai-Nilai Edukatif Ibadah Puasa dalam Pandangan Imam al-Ghazali.”
Skripsi ini memaparkan nilai-nilai edukatif dalam ibadah puasa yaitu
pendidikan akhlak, pendidikan sosial, dan pendidikan pola hidup sehat.
Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Nanik Qoriah tentang “Nilai-
Nilai Pendidikan dalam Ibadah Aqiaqah dan Implementasinya dalam
Pendidikan Anak.” Skripsi ini memaparkan nilai-nilai pendidikan yang
terkandung dalam aqiqah adalah pendidikan akhlak, pendidikan keimanan,
pendidikan kesehatan, pendidikan sosial, pendidikan ekonomi dan pendidikan
kejiwaan.
Dari uraian tersebut nampaklah penelitian tentang nilai-nilai
pendidikan telah banyak dikaji, tetapi sepengetahuan penulis belum pernah
ada yang membahas tentang Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak pada Ibadah Haji.
E. Penegasan Istilah
1. Nilai Pendidikan Akhlak
a. Nilai
Nilai secara etimologi adalah banyak sedikitnya isi, kadar,
mutu12. Nilai adalah seperangkat keyakinan ataupun perasaan-perasaan
yang diyakini sebagai suatu identitas yang memberikan corak yang
khusus kepada pola pemikiran, perasaan, keterikatan maupun perilaku13.
Jadi nilai adalah esensi yang melekat pada sesuatu dan
membutuhkan penghayatan yang menyebabkan hal itu pantas dikerjakan
oleh manusia.
12 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1990), hlm. 615 13 Muhammad Amin dkk, Dasar-Dasar Pendidikan Agama, (Semarang: IKIP Semarang
Press, 1996), hlm. 156
7
b. Pendidikan Akhlak
1). Pengertian pendidikan
Pendidikan di artikan sebagai proses pengubahan sikap dan
tingkah laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan kepribadiannya melalui upaya pengajaran dan
pelatihan, proses,perbuatan, mendidik14.
2). Pengertian akhlak
Secara etimologi akhlak dapat diartikan budi pekerti, watak,
tabi’at.15
Sedangkan menurut Imam al-Ghazali dalam bukunya Ihya
‘ulumuddin mendefinisikan akhlak sebagai berikut
فالخلق عبارة عن هيئة فى النفس راسخة عنها تصدر
األفعال بسهولة ويسر من غير حاجة الى فكر وروية فان
الجميلة المحمودة عقال كانت الهيئة بحيث تصدرعنها األفعال
عنها وشرعاسميت تلك الهيئة خلقاحسنا وان كان الصادر
16األفعال القبيحة سميت الهيئة التى هى المصدر خلقاسيئا
Akhlak merupakan ungkapan tntang keadaan yang melekat pada jiwa dan dirinya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa membuthkan kepada pemikiran dan pertimbangan. Apabila suatu keadaan melahirkan perbuatan-perbuatan terpuji baik menurut pertimbangan akal maupun agama, maka keadaan itu disebut akhlak yang baik, dan juga sebaliknya, apabila suatu keadan melahirkan pebuatan-perbuatan tercela, maka ia juga disebut akhlak tercela.
Jadi yang dimaksud pendidikan akhlak dalam skripsi ini
adalah pendidikan untuk merubah tingkah laku (bukan pengetahuan
“dari belum atau tidak tahu menjadi tahu”) yang dimulai dari hati atau
pangkal perasaan sehingga menjadi suatu kebiasaan, baik kepada
Allah maupun kepada sesama.
14 Tim Penyusun Pembinaan dan Penegembangan Bahsa Indonesia, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999), hlm. 264 15 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, op.cit, hlm.15 16 Al Ghazali, Ihya’ Ulum adalah Din, Juz III, (Mesir: Masyahad Al Husaini, tt), hlm. 58
8
Berdasarkan pengertian diatas, yang dimaksud nilai
pendidikan akhlak adalah isi/kandungan pendidikan yang dijadikan
sebagai acuan pengkajian kehidupan manusia untuk merubah tingkah
laku individu baik kepada Allah, Rasul, diri sendiri dan sesama.
2. Ibadah haji
a. Pengertian ibadah
Ibadah secara lughawi berarti mematuhi, tunduk, berdoa. Secara
istilah berarti kepatuhan atau ketundukan kepada Dzat yang memiliki
puncak Keagungan Tuhan Yang Maha Esa17.
Secara umum ibadah berarti bakti manusia kepada Allah karena
didorong dan dibangkitkan oleh akidah tauhid18.
Jadi, ibadah adalah segala bentuk perbuatan dan perkataan yang
dilakukan oleh setiap muslim dengan tujuan untuk mencari keridloan
Allah swt.
b. Pengertian haji
Haji menurut istilah bahasa artinya maksud19. Menurut istilah
agama, haji adalah sengaja berkunjung ke Baitullah al-Haram (ka’bah)
di Makkah al-Mukarromah untuk melakukan rangkaian amalan yang
telah diatur dan di tetapkan oleh Allah swt sebagai ibadah dan
persembahan dari hamba kepada Tuhan, yang berupa wukuf, thawaf, sa’i
dan amalan lainnya pada masa dan tempat tertentu, demi memenuhi
panggilan Allah SWT dengan mengaharapkan Ridho-Nya.20
Jadi, ibadah haji adalah sengaja berkunjung ke Baitullah untuk
menuju kepada Allah dan mengabdikan diri kepada-Nya, dengan
17 Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam Jilid II, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeue, 1993),
hlm. 385 18 Nasrudin Razak, Dienul Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1993), hlm. 44 19 Abdul Fatah Idris, Abu Ahmadi, Fikih Islam Lengkap, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004),
cet. 3, hlm. 135 20 Djamaludin Dimjati, Panduan Ibadah Haji danUmrah Lengkap Di sertai Rahasia dan
Hikmahnya, (Solo: Era Intermedia, 2006), cett. I, hlm. 3
9
mengerjakan suatu pekerjaan-pekerjaan tertentu yang dikerjakan pada
masa dan tempat serta ritual tertentu untuk mendapat ridloNya.
F. Metode Penelitian
Penelitian skripsi ini menggunakan metode library research atau
penelitian kepustakaan. Oleh karenanya, objek penelitiannya adalah berupa
buku-buku, majalah, jurnal serta tulisan lain yang dapat memberikan
informasi sesuai dengan kebutuhan penulis.
1. Sumber data
a. Data primer
Dalam penelitian ini sebagai sumber primernya adalah al-Quran,
hadis dan kitab fikih.
b. Data sekunder
Sumber data sekunder adalah data tangan kedua atau data yang
diperoleh dari pihak lain, dalam arti tidak langsung diperoleh peneliti
subjek penelitian.21.
Adapun data sekunder antara lain buku buku-buku yang berisi
tentang ibadah haji, antara lain: buku Ibadah Haji dalam Filsafat
Hukum Islam karya Ishak Farid, Panduan Ibadah Haji dan Umrah
Lengkap Disertai Rahasia dan Hikmahnya karya Djamaluddin Dimjati.
Akhlak Tasawuf karya Abuddin Nata, Watak Pendidikan Islam karya
Hery Noer Ali dan Munzier.
2. Metode pengumpulan data
Metode pengumpulan data yang penulis gunakan adalah dengan
menggunakan dokumentasi, yaitu mencari data mengenai hal-hal atau
variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, dan
lain sebagainya.22
Dokumentasi yang penulis perlukan dalam penelitian ini adalah
buku-buku yang representatif, relevan dan mendukung terhadap objek
21 Saefudin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 91 22 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Edisi Revisi IV,
(Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1998), hlm. 236
10
kajian sehingga dapat memperoleh data-data sekunder yang faktual dan
dapat dipertanggung jawabkan dalam memecahkan permasalahan yang
terdapat dalam skripsi ini.
3. Metode analisis data
a. Metode maudu’i /tematik
Yang dimaksud dengan metode tematik adalah membahas ayat-
ayat al-Quran sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan.
Semua ayat yang berkaitan dihimpun kemudian dikaji secara mendalam
dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya seperti asbab al
nuzul, kosakata dan sebagainya.23
Metode ini digunakan untuk membahas ayat-ayat al Quran yang
berkaitan dengan ibadah haji, kemudian dikaitkan dengan nilai-nilai
pendidikan akhlak dan memperkuatnya dengan hadis-hadis nabi yang
relevan ditambah dengan pendapat para ahli.
b. Metode analisis isi
Metode content analysis adalah mendeskripsikan, membahas
dan mengkritik gagasan primer yang selanjutnya dikonfrontasikan
dengan gagasan primer yang lain dalam upaya studi perbandingan,
hubungan dan pengembangan model.24
Untuk mendukung dalam penjelasan melalui analisis isi, maka
penulis menggunakan kerangka berpikir yang bersifat deduksi yaitu
pembahasan dengan cara menyajikan kenyataan-kenyataan yang
bersifat umum kemudian diambil kesimpulan yang bersifat khusus25.
Dan juga kerangka berpikir yang bersifat induksi yaitu metode
pengambilan keputusan yang diletakkan atas dasar-dasar khusus
kemudian digeneralisasikan kepada hal-hal yang bersifat umum26.
23 Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1998), hlm. 151 24 Sumadi Suryabrata, Metode Penelitian, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998),
hlm. 85 25 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid I, (Yogyakarta: Andi, 2000), hlm. 47. 26 Ibid
11
G. Sistematika Penulisan Skripsi
Untuk memudahkan pembahasan dan pemahaman skripsi ini, maka
disusunlah sistematika penulisan skripsi ini secara garis besar sebagi berikut
a. Bagian muka (Preliminaries)
Pada bagian ini dimuat: halaman sampul, halaman judul, abstraksi,
persetujuan pembimbing, halaman pengesahan, deklarasi, halaman motto,
halaman persembahan, kata pengantar dan daftar isi.
b. Bagian isi (batang tubuh)
Bab pertama tentang pendahuluan, berisi: latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, kajian pustaka, penegasan istilah,
metode penelitian dan sistematika penulisan skripsi.
Bab kedua tentang ibadah haji dan pendidikan akhlak, berisi tentang:
pengertian ibadah haji, dasar hukum, syarat haji, rangkaian amalan haji,
hikmah ibadah haji. Pendidikan akhlak, pengertian, dasar, metode, nilai
dan tujuan pendidikan akhlak, nilai-nilai pendidikan akhlak pada ibadah
haji.
Bab ketiga tentang Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak, berisi: akhlak kepada
Allah, Rasulullah, diri sendiri dan orang lain.
Bab keempat tentang Analisis Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak pada Ibadah
Haji, berisi tentang analisis nilai-nilai pendidikan akhlak pada ibadah haji
antara lain hubungan ibadah haji dengan pendidikan, nilai-nilai pendidikan
akhlak dalam ibadah haji yang meliputi akhlak kepada Allah, Rasulullah,
diri semdiri dan orang lain.
Bab kelima Penutup, berisi simpulan, saran-saran dan penutup.
c. Bagian akhir skripsi
Pada bagian ini akan dimuat daftar pustaka, lampiran-lampiran dan daftar
riwayat hidup penulis.
BAB II
IBADAH HAJI DAN PENDIDIKAN AKHLAK
A. Ibadah Haji
a. Pengertian Ibadah Haji
Secara etimologi kata haji adalah berasal dari bahasa Arab yaitu
جح– جحا- يجح berarti berziarah, mengunjungi, menyengaja.1 Namun dalam
penggunaannya para ulama telah sepakat bahwa kata haji digunakan dalam
pengertian untuk mengunjungi ka’bah untuk menyelesaikan manasik haji.2
Sedangkan pengertian haji menurut istilah syara’ di kalangan ulama
terdapat beberapa pendapat yang pada intinya sama. Di antaranya,
menurut Sayyid Sabiq
والوقوف ˛ والسعي˛ ألداء عبادة الطوا ف˛الحج قصد مكة
وابتغاء مرضاته˛ استجابة ألمراهللا˛ وسائرالمناسك˛بعرفة
Menyengaja (mengunjungi) Makkah untuk menunaikan ibadah thawaf, sa’i, wukuf di Arafah dan seluruh rangkaian ibadah (haji) dalam rangka memenuhi perintah Allah dan mengharapkan ridho-Nya.3
Sedangkan menurut Wahbah al-Zuhaily menyatakan:
او هو زيارة مكان ˛ مخصوصةافعالقصد الكعبة ألداء
مخصوص فى زمن مخصوص بفعل مخصوص
Menyengaja (mengunjungi) ka’bah untuk mengerjakan perbuatan tertentu atau mengunjungi tempat tertentu pada waktu tertentu4
Menurut Majeed, the hajj is visit a specified place during a
specified time to perform specified rites as acts of submission.5 Haji adalah
1 Djamaludin Dimjati, Panduan Ibadah Haji danUmrah Lengkap Di sertai Rahasia dan
Hikmahnya, (Solo: Era Intermedia, 2006), cett. I, hlm. 3 2 M. Hasbi Ash-Shidieqy, Pedoman Haji, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999), cet. 3,
hlm. 2 3 Sayyid Sabiq, Fiqih as-Sunnah Juz 5, (Kuwait: Darul Bayan, 1968), hlm. 20 4 Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islam wa Adilatuhu, Juz III, (Damaskus: Dar al-Fikr,
1989), hlm. 8
13
mengunjungi tempat tertentu selama waktu tertentu untuk melaksanakan
ritual atau ibadah khusus sebagai pengakuan akan kepasrahan.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud haji adalah suatu kegiatan mengunjungi Makkah yang dilakukan
pada waktu tertentu untuk mengerjakan perbuatan-perbuatan khusus
berupa thawaf, sa’i, wukuf di Arafah dan seluruh rangkaian ibadah haji
dalam rangka memenuhi perintah Allah dan mengharapkan ridho-Nya.
b. Dasar Hukum Haji
Setiap ibadah dalam Islam, pelaksanaannya harus berdasarkan nash
hukum yang tegas baik dari al-Qur’an maupun as-Sunnah. Haji adalah
salah satu rukun Islam setelah syahadatain, shalat, zakat, dan puasa.6
Adapun dasar haji tersebut sebagai berikut:
a. Al-Qur’an
− QS. Ali Imran: 97
...وهللا على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيال
﴾٩٧:ن١عمر ﴿ال Dan karena Allah, wajiblah atas orang-orang yang
melakukan haji ke Baitullah, yaitu bagi orang yang mampu melaksanakan perjalanan (ke sana).7 (QS. Ali Imran: 97)
− QS. al-Baqarah 196
﴾١٩٦:البقرة﴿.... وأتموا الحج والعمرة للهDan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena
Allah.8 (QS. al-Baqarah: 196)
− QS. al-Baqarah: 197
.... الحجفمن فرض فيهن الحج فال رفث وال فسوق وال جدال فى
5 FSA Majeed, The Hajj: The Law and The Rationale, (Singapore: Ze Majeed’s
Publishing, 1995), hlm. 5 6 Jaih Mubarak, Modifikasi Hukum Islam, (Jakarta: Grafindo Persada, 2003), hlm. 213 7 Departemen Agama, Op. cit, hlm. 62 8 Ibid, hlm. 30
14
﴾١٩٧ :البقرة﴿Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu
akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.9 (QS. al-Baqarah: 196)
b. Hadits Rasulullah
بن موسى قال اخبرنا حنظلة بن ابى سفيان عن حدثنا عبداهللا
قال رسول اهللا صلى اهللا : عكرمة بن خالدعن ابن عمر قال
اناال اهللا و الاله ة انس شهادلى خمع الماال س نيب لمسه وليع
الزكاة والحج وصوم محمدا رسول اهللا وإقام الصالة وايتاء
انضمرواه البخارى (10ر(
Dari Ibnu Umar r.a. berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Islam didirikan atas lima (dasar), bersaksi tidak ada Tuhan melainkan Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah, mengerjakan shalat, mengeluarkan zakat, mengunjungi Baitullah ,berpuasa di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari)
c. Ijma’ Ulama
Para ulama telah sepakat bahwa haji diwajibkan kepada kaum
muslimin hanya satu kali seumur hidup, adapun selebihnya adalah
sunnat.11
Berdasarkan hadis Rasulullah
ثنا : ا زهير بن حرب وعثمان بن ابى شبية المعنى قالحدثن
عن ابى , عن سفيان بن حسين عن زهري,يزيد ابن هارون
. م.عن ابن عباس ان اال قرع بن حابس سأل النبى ص, سنان
يارسول اهللا
9 Ibid 10 Al-Bukhari, Matan al-Bukhari, Juz I, (Beirut: Daar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2007), Cet. 3,
hlm. 14. 11 Farid Ishaq, Op. cit, hlm. 49
15
فمن , رة واحدةرجل م: الحج فى كل سنة اومرة واحدة ؟ قال
عتطو وفه ادرواه ابودود(12 ز(
“Dari ibn Abbas al-Iqna bin Habis bertanya kepada Nabi dan berkata: wahai Rasulullah apakah mengerjakan haji itu setiap tahun atau hanya sekali saja? Rasulullah saw bersabda: “cukup sekali saja. Barang siapa menambahkannya maka itu ibadah sukarela saja.” (HR. Imam Abu Dawud).
c. Syarat-Syarat Haji
Ibadah haji itu diwajibkan dengan beberapa syarat:
1. Islam
Tidak wajib atas orang kafir dan tidak sah hukumnya jika
melaksanakannya, karena haji adalah kegiatan ibadah secara Islami.
Oleh karena itu, jika ada orang kafir yang melaksanakan haji
kemudian ia masuk Islam maka ia wajib mengulangi jika mampu.13
2. Baligh
Tidak wajib haji atas anak-anak.14 Seandainya ada anak yang
belum baligh mengerjakan haji dengan memenuhi syarat, rukun dan
wajib haji, maka dianggap sah namun hajinya tidak menggugurkan
kewajiban hajinya kalau sudah dewasa kelak jika ia mampu.
3. Berakal sehat, bagi orang gila tidak wajib.
4. Merdeka
Maksudnya bukan budak atau hamba sahaya yang terikat
dengan kewajiban kepada tuannya dan di bawah kekuasaannya, karena
ibadah haji di samping membutuhkan waktu yang cukup lama juga
membutuhkan biaya. Sedang seorang budak disibukkan dengan hak-
hak tuannya dan tentunya ia tidak mempunyai uang. Jika ia diajak oleh
12 Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Juz II, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1996), hlm. 3 13 Wahbah al-Zuhaily, Op. cit, hlm. 20 14 Djamaludin Dimjati, Panduan Ibadah Haji danUmrah Lengkap di sertai Rahasia dan
Hikmahnya, (Solo: Era Intermedia, 2006), cett. I, hlm. 20
16
tuannya melaksanakan haji, maka setelah merdeka ia diwajibkan
mengulang jika mampu.15
5. Kemampuan
Para fuqaha berbeda pendapat dalam menentukan batasan dan
bentuk istitha’ah. Akan tetapi secara umum yang dimaksud istitha’ah
meliputi dua hal yaitu bekal dan aman dalam perjalanan.
Kemampuan yang menjadi salah satu dari syarat-syarat haji
dengan ketentuan sebagai berikut:16
a). Sehat badannya
Jika ia tidak sanggup menunaikan haji itu disebabkan tua,
cacat, atau karena sakit, yang tidak dapat diharapkan dapat
sembuh, hendaklah diwakilkan kepada orang lain jika ia
mempunyai harta.
b). Aman dalam perjalanan, baik dirinya maupun hartanya
c). Memiliki bekal dan kendaraan.
Mengenai bekal, yang diperhatikan ialah agar cukup untuk
dirinya pribadi guna terjamin kesehatan badanya, juga keperluan
keluarga dalam tanggungannya. Mengenai kendaraan, syaratnya ialah
dapat mengantarkan pergi dan pulang kembali, baik dengan
menempuh jalan darat, laut, atau udara.
d. Rangkaian Amalan Haji
1. Ihram
Ihram adalah berniat untuk memulai ibadah haji.17 Ketentuan
ihram ini berdasarkan sabda Rasulullah saw:
سمعت رسول اهللا صلى اهللا عليه : عن عمربن الخطاب قال
مانوى امرء لكل انما األعمال باالنيات وانما: وسلم يقول
15 Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT Intermasa, 1997), cet. I,
hlm. 974 16 Mahmudin Syaf, Fiqh Sunnah 5, terj. Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq, (Bandung: PT Al-
Ma’arif, 1992), hlm. 43-44 17 Lahmudin Nasution, Fiqih I, (Jakarta: Logos, 1995), hlm. 214
17
18)رواه البخارى(
Dari Umar bin Khattab r.a. berkata saya mendengar Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya tiap-tiap amal itu tergantung pada niatnya. Dan tiap-tiap orang akan mendapatkan sesuai apa yang diniatkannya”
Dalam persiapan melakukan ihram, ada beberapa hal sunah
yang harus dikerjakan:19
a). Bersih. Ini dapat dilakukan dengan memotong kuku,
memendekkan kumis, mencabut bulu ketiak, mencabut bulu
kemaluan, berwudhu atau lebih utama mandi, menyisir jenggot dan
mandi.
b). Meninggalkan semua pakaian yang dijahit, dan memakai kedua
pakaian ihram , yaitu rida’ atau selubung untuk menutupi tubuhnya
bagian atas kecuali kepala dan izar atau sarung untuk menutupi
tubuhnya yang separo lagi yaitu bagian bawah.
c). Memakai minyak wangi, baik pada tubuh maupun pada belakang
rambut serta pakaian, walaupun akan tinggal bekasnya setelah
ihram.
d). Shalat dua rakaat dengan niat sunat ihram.
Sebaliknya, ada pula beberapa perbuatan yang haram dilakukan
selama berihram, dan orang yang melanggarnya diwajibkan membayar
fidyah. Larangan-larangan tersebut ialah:20
a). Bersenggama dan pendahuluan-pendahuluannya, seperti mencium,
menyentuh dengan dorongan syahwat, percakapan laki-laki dan
perempuan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan seks.
b). Melakukan kejahatan dan berbuat maksiat yang mengakibatkan
penyelewengan dari menaati Allah swt.
c). Berselisih dengan teman sejawat, dengan pelayan dan lain-lain.
Sebagai alasan diharamkannya hal-hal tersebut ialah firman
Allah:
18 Al-Bukhari, OP. cit, hlm. 3 19 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 5, terj., (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1978), hlm. 85-88 20 Sayyid Sabiq, Op. cit, hlm. 120-133
18
فمن فرض فيهن الحج فال رفث وال فسوق وال جدال في
ج١٩٧: ﴿البقرة الح﴾
Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats , berbuat fasik dan berbantah bantahan di dalam masa mengerjakan haji.”(QS. al-Baqarah: 197)21
Dan diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu
Hurairah bahwa Nabi Muhammad saw bersabda
سمعت رسول اهللا : عن ابن عمر رضي اهللا عنه قال
ولم يفسق من حج فلم يرفث: صلى اهللا عليه وسلم يقول
هام تهلدم ووكي عجمتفق عليه (22ر(
Barang siapa yang mengerjakan haji sedang ia tidak melanggar kesopanan dan tidak pula melanggar ketentuan, maka ia akan bebas dari dosa-dosa seperti pada hari ia dilahirkan oleh ibunya.
d). Memakai pakaian yang dijahit, seperti baju, baju dingin, jubah,
celana dan lain-lain atau pakaian sungkup seperti serban, tarbus
dan pakaian-pakaian lain yang ditaruh di atas kepala.
e). Melangsungkan akad pernikahan baik bagi dirinya maupun bagi
orang lain. Sebagai wali atau wakil. Berdasarkan hadis yang
diriwayatkan oleh Mulim dari Usman bin Affan bahwa Rasulullah
saw bersabda:
21 Departemen Agama, Op. cit, hlm. 31 22 Imam Abi Zakaria bin Syarif an-Nawawi ad-Damsyiqi, Riyadh as-Shalihin, (Beirut,
Libanon: Al-Maktabah al-Ilmiyah, t.th), hlm. 457
19
أن رسول اهللا : وعن عثمان بن عفان رضى اهللا عنه
وال , وال ينكح, ال ينكح المحرم: عليه وسلم قال صلى اهللا
خطب23 )رواه المسلم( ي
Tidak boleh orang yang sedang ihram itu nikah, tidak menikahkan dan tidak pula meminang.
f). Memotong kuku dan rambut.
Dengan dicukur, digunting atau dengan jalan lain baik
rambut kepala maupun lainnya. Berdasarkan firman Allah swt
حلهم يدلغ الهبتى يح كموسءلقوا رال تحالبقرة…و ﴿:
١٩٦﴾
Dan jangan kamu mencukur kepalamu , sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya 24(QS. Al-Baqarah: 196)
Ulama telah ijma’ mengenai diharamkannya mengerat kuku
bagi orang yang sedang ihram tanpa udzur. Tetapi bila ia pecah,
maka boleh dibuang tanpa fidyah. Dibolehkan pula menghilangkan
rambut bila seorang merasa terganggu dengan adanya rambut itu,
hanya ia wajib membayar fidyah. Sebagaimana firman Allah
فمن كان منكم مريضا أو به أذى من رأسه ففدية من صيام
﴾١٩٦: ﴿ البقرة... أو صدقة أو نسك
Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya, maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban. 25(QS. Al-Baqarah: 196)
g). Memakai wangi-wangian di pakaian atau badan, baik laki-laki
maupun perempuan.
h). Sengaja berburu
23 Muhammad Ibnu Ismail al-Shina’i, Subul al-Salam, Syarah Bulugh al-Maram Juz II,
(Beirut, Libanon, t.th), hlm. 388 24 Departemen Agama, Op. cit., hlm. 30 25 Ibid.
20
Orang yang sedang ihram boleh berburu binatang laut,
merencanakan memberi petunjuk dan memakan hasilnya.
Sebaliknya haram baginya membunuh atau menyembelih buruan
darat, menunjukkan hewan-hewan yang tampak di mata atau
memberi petunjuk terhadap yang tidak tampak.
Sebagaimana firman Allah
مرحة واريللسو ا لكمتاعم هامطعر وحالب ديص أحل لكم
﴾٩٦:﴿المائدة ...عليكم صيد البر ما دمتم حرما
Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. 26(QS. Al-Maidah: 96)
2. Wukuf di Arafah
Wukuf di Arafah adalah berdiam diri di Arafah walau
sebentar pada tanggal 9 Dzulhijjah setelah tergelincirnya matahari
(setelah masuk waktu dhuhur) sampai waktu fajar tanggal 10
Dzulhijjah untuk beribadah kepada Allah.27 Artinya kalau wukuf di
Arafah itu dilakukan sebelum atau sesudah waktu itu maka tidak sah
hajinya.
Nabi saw bersabda
عن عبد الرحمن بن يعمر قال شهدت رسول اهللا صلى اهللا عليه
وسلم الحج عرفة فمن ادرك ليلة عرفة قبل طلوع الفجر من ليلة
)رواه النسائى( 28جمع فقد تم حجه
Dari Abdurrahman bin Ya’mur berkata: “saya menyaksikan Rasulullah saw. Maka manusia menghampirinya, maka mereka bertanya kepadanya tentang haji, maka Rasulullah saw bersabda: “haji itu wukuf di Arafah. Barang siapa mencapai malam di Arafah sebelum
26 Ibid., hlm. 124 27 Djamaluddin Dimjati, Op. cit, hlm. 40 28 Al-Nasa’i, Sunan Al-Nasa’i Juz V, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th), hlm. 25
21
terbitnya fajar dari keseluruhan malam itu, sempurnakanlah hajinya. (HR. An-Nasa’i)
Walaupun tempat itu hanya di Arafah setiap tanggal 9
Dzulhijah sejak tergelincir matahari itu mempunyai arti yang sangat
penting bagi jamaah haji. Pada hari Arafah, jamaah haji dari berbagai
penjuru dunia berkumpul di satu tempat untuk melaksanakan rukun
haji yang menentukan sah atau tidaknya ibadah haji.29
Dalam melaksanakan wukuf ini, jamaah melakukannya
dengan memperbanyak istighfar, tobat, berdoa kepada Allah, dzikir,
membaca al-Qur’an. Dengan demikian, hati akan selalu ingat dan
terasa dekat kepada Allah di manapun berada.
Padang Arafah adalah lokasi tempat berkumpulnya jamaah
haji yang datang dari berbagai penjuru dunia, yang berbeda-beda
bahasa dan kulitnya, tetapi mereka mempunyai satu tujuan yang
dilandasi persamaan, tidak ada perbedaan antara yang kaya dan yang
miskin, pejabat dan rakyat biasa, distulah tampak nyata persamaan
yang hakiki.30
3. Thawaf
Thawaf artinya mengelilingi, maksudnya mengelilingi ka’bah
sebanyak 7 kali putaran. Ketentuan thawaf ini disebutkan dalam firman
Allah:
﴾٢٩: ﴿الحجوليطوفوا بالبيت العتيق ....
Dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu.31 (QS. Al-Hajj: 29)
a. Syarat-syarat thawaf
Bagi thawaf itu disyaratkan hal-hal berikut:32
1). Suci dari hadas kecil, besar dan najis
29 Departemen Agama Republik Indonesia, Hikmah Ibadah Haji, (Jakarta: Dirjen
Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2003), hlm. 93 30 Ibid., hlm. 63 31Departemen Agama, Op. cit., hlm. 335 32 Sayyid Sabiq, Loc. Cit, hlm. 167-171
22
2). Menutup aurat
3). Hendaklah sempurna tujuh kali putaran
4). Hendaklah thawaf itu dimulai dari hajar aswad dan berakhir di
sana
5). Hendaklah ka’bah berada di sebelah kiri orang yang thawaf
6). Hendaklah thawaf itu di luar ka’bah
7). Terus menerus berjalan
b. Sunah-sunah thawaf
1). Menghadap hajar aswad ketika memulai thawaf sambil
membaca takbir dan tahlil dengan mengangkat kedua tangan
sebagaimana di waktu shalat
2). Menjepit kain selubung dengan ketiak yang kanan
3). Berjalan cepat dengan menggerakkan bahu dan memperkecil
langkah pada tiga kali putaran dan berjalan biasa pada empat
putaran selanjutnya.
Sebagaimana thawaf yang dimulai dan diakhiri di tempat
terbaik, serta dilakukan berulang-ulang sampai tujuh kali putaran.
Demikian pula seharusnya seseorang harus melakukan amal salehnya
dengan cara yang baik dan sempurna. Serta berkesinambungan terus
menerus sepanjang hidupnya secara aktif.
Dalam pelaksanaan thawaf, jamaah melakukannya dengan
langkah seiring sejalan sehingga tidak terjadi tabrakan di antara
mereka. Apabila di antara mereka melakukan thawaf tersebut dengan
cara sebaliknya atau menentang arus, maka thawafnya tidak sah.
4. Sa’i dari bukit Shafa ke Marwah
Shafa dan Marwah adalah dua buah bukit kecil di dekat
Ka’bah. Sedangkan yang dimaksud dengan sa’i adalah berjalan dan
berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan Marwah dengan niat ibadah
sebanyak tujuh kali putaran.33
33 Abdul Azis Dahlan, Op. cit, hlm. 463
23
Syarat-syarat sa’i yaitu:34
a. Hendaklah dilakukan setelah thawaf
b. Hendaklah tujuh kali putaran
c. Di mulai dari Shafa dan di akhiri di Marwah
d. Hendaklah sa’i itu dilakukan ditempat mas’a yaitu jalan yang
terbentang di antara Shafa dan Marwah.
Amalan sa’i yang dilakukan oleh jamaah antara bukit shafa
dan marwah merupakan napak tilas atau mengikuti jejak yang pernah
dilakukan oleh Siti Hajar (Istri Nabi Ibrahim as) dan Nabi Ismail as
dalam usahanya mendapatkan air untuk mempertahankan hidup di
tengah-tengah padang pasir yang tandus, agar tetap dapat beribadah
kepada Allah swt dengan tenang dan penuh rasa syukur.
Amalan sa’i yang menjadi rukun haji ini memberikan
inspirasi bagi jamaah haji sepulang dari tanah suci untuk berusaha
keras dan sungguh-sungguh dalam mencari sumber kehidupan yang
dapat diandalkan di daerahnya masing-masing agar dapat menjalankan
berbagai kegiatan ibadah kepada Allah dengan tenang, khusyu dan
penuh rasa syukur, sebagaimana yang telah dipertunjukkan oleh Siti
Hajar ra.35
5. Tahallul/Bercukur atau memotong rambut
Kata mencukur mencakup perbuatan apapun yang bisa
disebut mencukur rambut. Jadi menggunting tiga kali rambut atau
lebih dan termasuk pula menggundul rambut kepala.
Adapun syarat-syarat mencukur rambut kepala sebagai
berikut:36
a. Tidak mendahului waktu yang semestinya.
34 Sayyid Sabiq, Op. cit, hlm. 203 35 Djamaluddin Dimjati, Op. cit, hlm. 167 36 Mushafa al-Khin, et. al, Fiqh Syafi’i Sistematis II, terj. Al-Fiqh al-Manhaji ‘Ala
Madzhaibil Imam Asy-Syafi’i, Anshari Umar Sitanggal, (Damsyik: Darul Qalam, 1987), cet. 2, hlm. 175
24
Waktunya ialah sesudah tengah malam nahar (10 Dzulhijjah).
Dengan demikian mencukur kepala sebelum itu adalah dosa dan
wajib membayar fidyah.
b. Rambut yang dicukur atau dipendekkan tidak kurang dari tiga helai
c. Rambut yang dicukur disyaratkan berada dalam batasan-batasan
kepala. Jadi, tidak sah mencukur rambut janggut dan kumis.
Sedang bagi wanita cukup dengan dipendekkan saja, dan menurut
ijma’ tidak diperintah mencukurnya.
Bercukur atau memotong rambut termasuk salah satu rukun
haji yang tidak boleh ditinggalkan, bila ini tidak dikerjakan maka
ibadah hajinya tidak sah.
6. Mabit di Muzdalifah
Maksud mabit di Muzdalifah memberi peluang waktu untuk
beristirahat bagi jamaah guna memulihkan tenaga untuk selanjutnya
bersiap-siap melaksanakan rangkaian ibadah haji berikutnya, yaitu
melempar jumrah aqabah di Mina agar dapat terlaksana dengan hasil
yang baik dan sempurna.
Hal tersebut memberi pelajaran bagi kita semua bahwa untuk
dapat melaksanakan tugas dan kewajiban, apalagi dalam menghadapi
godaan syetan, maka dibutuhkan persiapan yang matang dan cukup
memadahi agar hasilnya tidak mengecewakan.
Oleh karena itu, nilai yang terkandung dalam mabit di
Muzdalifah sangat penting diterapkan dalam kehidupan terutama
dalam menghadapi berbagai godaan syetan dan hawa nafsu yang
menyesatkan.37
7. Melempar Jumrah
Jumrah ialah batu-batu kecil atau kerikil.38 Jumrah yang akan
dilempar ada tiga, yaitu jumrah aqabah, al-wustha dan as-sughra. Tiap-
tiap jumrah dilempar dengan tujuh batu kerikil. Waktu melempar
37 Ibid, hlm. 169 38 Sayyid Sabiq, Log.cit, hlm. 234
25
jumrah ialah sesudah tergelincir matahari pada tiap-tiap hari (tanggal
10, 11, 12 Dzulhijah).39
Asal usul jumrah, bermula dari peristiwa Nabi Ibrahim untuk
menyembelih Nabi Ismail as. Setelah keduanya sama-sama ikhlas dan
bersepakat melaksanakan penyembelihan Ismail oleh ayahnya
(Ibrahim) mereka berjalan menuju bukit batu yang disebut bukit
qurban. Dalam perjalanan, iblis menggoda dan membujuk keduanya
agar penyembelihan ismail tidak dilaksanakan. Mereka tidak mau
tergoda, maka mereka melempar iblis dengan batu kerikil supaya
menghentikan godaannya. Keduanya berbulat tekad untuk
melaksanakannya dan mereka mengusir dan melempar iblis. Demikian
peristiwa pelemparan iblis terjadi di tiga tempat. Ketiga tempat itulah
yang disebut dengan jumrah al-aqabah, al-wustha, al-ula.40
Pelemparan pada setiap jumrah, baik jumrah ula, wustha atau
aqabah yang dilakukan dengan cara melempar batu masing-masing
tujuh kali itu terkandung maksud bahwa rasa benci dan permusuhan
terhadap setan dan seluruh pengikutnya adalah abadi. Mereka semua
adalah musuh abadi bagi seluruh umat manusia. Semua perilaku
syaitaniyah harus dijauhi manusia, yang mengajak ke jalan kesesatan.
Dengan melontar jumrah diharapkan perilaku buruk hilang dalam diori
seseorang dan dapat digantikan perilaku yang baik.41
8. Talbiyah
Talbiyah adalah suatu ungkapan akan kepatuhan dan ketaatan
untuk memenuhi panggilan melaksanakan ibadah haji atau umrah.42
كيلب مالله كيلب ,كيلب لك كال شري كيلب , ة لكمالنعو دمالح ان
لك كلك ال شريالمو
39 Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2005), hlm. 261 40 Ishak Farid, log.cit., hlm. 72 41 Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2006), hlm. 301 42 Ibid, hlm. 33
26
Aku datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah. Aku datang memenuhi panggilan-Mu. Aku datang memnuhi panngilan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu. Aku datang memenuhi panggilan-Mu. Sungguh segala puji nikmat dan seluruh kekuasaan adalah milikmu semata. Tidak ada sekutu bagi-Mu.
Gema talbiyah yang selalu dibaca berulang-ulang pada
pelaksanaan ibadah haji memberikan pengaruh positif untuk lebih
mendekatkan diri kepada Allah dengan peningkatan iman dan takwa.
e. Hikmah Ibadah Haji
1. Hikmah perorangan
a. Dapat diampuni dosanya oleh Allah, menghilangkan kesalahan
kecuali terhadap hak adami, sebab hak adami ini berkaitan dengan
tanggung jawab sehingga Allah akan mengumpulkan (pada hari
kiamat) para pemilik hak untuk mengambil haknya.
b. Mensucikan jiwa, mengembalikannya kepada kejernihan dengan
keikhlasan, membuat semangat hidup baru, mengangkat nilai-nilai
manusia, memperteguh harapan dan senantiasa khusnudzan
terhadap Allah.
c. Mensyukuri nikmat Allah.43
2. Hikmah bagi kelompok (sosial)
a. Mewujudkan perkenalan (ta’aruf) antara seluruh umat yang
berbeda warna kulit, bahasa dan tanah air.
b. Mempererat tali persaudaraan mukminin di seluruh penjuru dunia.
c. Membantu penyebaran dakwah Islam.44
B. Pendidikan Akhlak
a. Pengertian Pendidikan Akhlak
1. Pendidikan
Istilah pendidikan berasal dari kata “didik” dengan memberi
awalan “pe” dan akhiran “kan” mengandung arti “perbuatan” (hal,
43Wahbah al-Zuhaily, Fiqh Shaum, I’tikaf dan Haji (Menurut Kajian Berbagai Madzhab), terj., (Bandung: Pustaka Media Utama, 2006), ceet. I, hlm. 170
44 Ibid, hlm. 171
27
cara, dan sebagainya). Istilah pendidikan ini semula berasal dari
bahasa Yunani, yaitu, “paedagogie” yang berarti bimbingan yang
diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris dengan kata education, yang berarti pengembangan
atau bimbingan45. Kata education berasal dari bahasa latin educare
yang berarti memasukkan sesuatu atau memasukkan ilmu ke kepala
orang lain. Dari pengertian istilah ini ada 3 hal yang terlibat yaitu ilmu,
proses memasukkan dan kepala orang, kalaulah ilmu itu memang
masuk di kepala46.
Dalam bahasa Arab ada beberapa istilah yang biasa
dipergunakan dalam pengertian pendidikan, yaitu ta’lim, tarbiyah dan
ta’dib. Namun menurut ahli pendidikan terdapat perbedaan dari ketiga
istilah itu. Ta’lim hanya berarti pengajaran, jadi lebih sempit dari
pendidikan. Sedangkan kata tarbiyah sering digunakan di negara-
negara berbahasa Arab, terlalu luas. Sebab kata tarbiyah juga
digunakan untuk binatang, tumbuh-tumbuhan dengan pengertian
memelihara atau menggembala atau menternak. Sementara pendidikan
yang diambil dari istilah education itu hanya untuk manusia saja47.
Sedangkan at-ta’dib diartikan pengenalan dan pengakuan
secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia (peserta
didik) tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam
tatanan penciptaan. Dengan demikian, pendidikan akan berfungsi
sebagai pembimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan
yang tepat dalam tatanan wujud dan kepribadiannya.48 Pendidikan
dalam konsep ta’dib lebih mengarah pada perbaikan tingkah laku
menuju kepribadian yang mulia.
45 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), hlm. 1 46 Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, ( Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru,
2003),Cet. V, hlm. 2 47 Ibid, hlm. 3 48 Muhammad Naquib al-Atas, Konsep Pendidikan Dalam Islam,Terj. Haidar Bagir,
(Bandung: Mizan, 1994),hlm. 61
28
Dalam buku “Educational Psicology” disebutkan bahwa
“education is a process or an activity wich is directed at producing
desirable changes in the behavior of human beings”49.
Pendidikan adalah sebuah proses atau sebuah aktivitas yang
bertujuan untuk menghasilkan perubahan yang diinginkan dalam
perilaku manusia.
Para ahli pendidikan telah memberikan argumennya tentang
pendidikan, antara lain:
a. Menurut John Dewey tokoh pendidikan terkemuka, mendefinisikan
bahwa pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan
fundamental, secara intelektual dan emosional terhadap manusia50.
b. Musthafa al-Ghulayani dalam kitabnya ‘Izhah an-Nasyi’in
menyamakan pendidikan dengan tarbiyah.
نس الناشئياالخالق الفاضلة فى نفو سغر ة هىبيالتر
ملكة من حتى تصبح, وسقيهابماء اإلرشاد والنصيحة
وحب , ثم تكون ثمراتها الفضيلة والخير, ملكات النفس
51فع الوطنالعمل لن
Pendidikan adalah penanaman akhlak yang mulia (utama) dalam jiwa anak atau memberi siraman petunjuk serta nasihat sehingga semua itu nantinya akan tertancap dalam diri anak atau jiwa anak yang diharapkan bisa menghasilkan sifat-sifat keutamaan, kebaikan dan selalu suka berbuat (bekerja) demi kebaikan negara atau bangsa.
c. M. Fadhali al-Jamali menyatakan pendidikan sebagai upaya
mengembangkan, mendorong serta mengajak manusia lebih maju
berdasarkan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia,
49 Frederick J. Mc Donald, Educatinal Psichology, First Printing,(Asian Text Edition),
(California: Wadsworth Publishing Company, INC, 1959), hlm. 4 50 Azumardi Azra, Esai-Esai Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, (Jakarta:
LogosWacana Ilmu, 1999), cet. 1, hlm. 4 51 Syaikh Musthafa al-Ghulayani, Izhah an-Nasyi’in, (Beirut: al-Maktabah al-Ashriyah
Li at Taba’ah wa al Nasyr, 1373 H / 1953 M), hlm. 185
29
sehingga terbentuk pribadi yang lebih sempurna, baik yang
berkaitan dengan akal, perasaan maupun perbuatan52.
Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
pendidikan merupakan suatu usaha untuk membina pribadi
manusia dari aspek jasmani dan ruhaninya dalam upaya
mengembangkan potensinya untuk menuju pribadi yang sempurna.
2. Akhlak
Kata akhlak berasal dari bahasa Arab, jamak dari bentuk
mufradnya خلق yang menurut lughat diartikan budi pekerti, perangai,
tingkah laku atau tabiat53.
Sedangkan secara terminologis terdapat rumusan akhlak yang
dilihat dari timbulnya akhlak tersebut. Pengertian akhlak lebih jelas
dapat diketahui dari beberapa definisi yang dikemukakan para ahli
pendidikan akhlak :
a. Menurut Ahmad Amin
أن اإل رادة إذاعرف بعضهم الخلق بأ نه عادة اإلرادة يعنى
فعادتها هي المسماة بالخلق اعتادت شيئا
Sementara orang mengetahui bahwa yang disebut akhlak ialah kehendak yang dibiasakan. Artinya, kehendak itu bila membiasakan sesuatu, kebiasaan itu dinamakan akhlak.54
b. Ibnu Maskawaih mendefinisikan akhlak sebagai gerakan jiwa yang
mendorong melakukan perbuatan dengan tidak menghajatkan
pikiran55.
c. Syaikh Muhammad bin Ali asy Syarif al Jurjani mengartikan
akhlak sebagai stabilitas sikap jiwa yang melahirkan tingkah laku
dengan mudah tanpa melalui proses berpikir56.
52 Jalaluddin, Teologi Pendidikan , (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), cet. I,
hlm. 73 53 Zahruddin AR dan Hasanuddin Sinaga, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004, hlm. 11 54 Ibid, hlm. 4 55 Rahamat Djatnika, , (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1996), cet. II, hlm. 27
30
Dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa
akhlak adalah tingkah laku atau tabiat seseorang, yakni keadaan jiwa
yang telah terlatih sehingga dalam jiwa tersebut benar-benar telah
melekat sifat-sifat yang melahirkan perbuatan dengan mudah dan
spontan tanpa ada pertimbangan lagi.
Istilah akhlak juga memiliki kesepadanan arti dengan beberapa
istilah seperti moral, etika, budi pekerti
a. Moral
Kata “moral” berasal dari bahasa latin mores, kata jamak dari mos
yang berarti adat kebiasaan57. Moral merupakan istilah yang
digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktivitas manusia
yang dinilai atau dihukum baik atau buruk, benar atau salah. Dalam
kehidupan sehari-hari dikatakan bahwa orang yang mempunyai
tingkah laku baik disebut orang yang bermoral.
b. Etika
Selain akhlak, juga lazim dipergunakan kata etika. Perkataan ini
berasal dari bahasa Yunaani “ethos” yang berarti adat kebiasaan,
perasaan batin kecenderungan hati untuk melakukan perbuatan58.
Etika adalah suatu ilmu yang membicarakan baik dan buruk
perbuatan manusia59. Dengan kata lain, etika dapat dikatakan
sebagai ilmu akhlak karena ilmu akhlak merupakan batas antara
baik dan buruk, terpuji dan tercela, tentang perkataan atau
perbuatan manusia lahir dan batin60.
c. Budi Pekerti
Kata “budi pekerti” dalam bahasa Indonesia merupakan kata
majemuk dari kata “budi” dan “pekerti”. Perkataan “budi” berasal
56 Ali Abul Halim Mahmud, Tarbiyah khuluqiyah, (Solo: Insani Press, 2003), cet. I,
hlm. 37 57 Asmaran As, Pengantar Study Akhlak, (Jakarta: Rajawali Press, 1992), Edisi I, cet. I,
hlm. 8 58 Zahruddin AR dan Hasanuddin Sinaga, Op.cit, hlm. 43 59 Amin Syukur, Studi Islam, (Semarang: PT Bina Sejati, 2003), cet. VI, hlm. 118 60 Barmawie Umary, Materia Akhlak , (Solo: Ramadhani, 1995), cet. 12, hlm. 1
31
dari bahasa sansekerta, yang berarti yang sadar atau yang
menyadarkan. Pekerti, berasal dari bahasa Indonesia yang berarti
kelakuan61.
Menurut terminologi, “budi” adalah yang ada pada manusia, yang
berhubungan dengan kesadaran, yang didorong oleh pemikiran,
ratio yang disebut karakter. Pekerti ialah apa yang terlihat pada
manusia, karena didorong oleh perasaan hati yang disebut
behaviour. Jadi, budi pekerti adalah merupakan perpaduan dari
hasil ratio dan rasa yang bermanifestasi pada karsa dan tingkah
laku manusia62.
Persamaan ketiganya adalah bahwa semuanya menentukan
nilai baik dalam buruk sikap dan perbuatan manusia, yaitu
membicarakan kebaikan yang semestinya dikerjakan serta perilaku
buruk yang harus ditinggalkan. Perbedaannya terletak pada standar
masing-masing. Akhlak standarnya adalah al-Qur’an dan as Sunnah,
bagi etika standarnya adalah pertimbangan akal pikiran, dan bagi
moral standarnya adat kebiasaan yang umum berlaku di masyarakat63.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, pendidikan
akhlak adalah usaha sadar yang dilaksanakan oleh manusia dalam
rangka mengalihkan, menanamkan pikiran, pengetahuan maupun
pengalamannya dalam hal tata nilai terutama nilai Islam dan cara
bersikap atau berperilaku yang baik supaya dapat melakukan fungsi
hidupnya untuk mencapai kebahagiaan dunia akhirat.
b. Dasar-dasar Pendidikan Akhlak
Pendidikan akhlak merupakan bagian besar dari isi pendidikan
Islam. Posisi ini terlihat dari kedudukan al-Qur’an sebagai referensi paling
penting tentang akhlak bagi kaum muslimin, baik individu, keluarga
maupun masyarakat. Akhlak merupakan buah Islam yang bermanfaat bagi
manusia dan kemanusiaan serta membuat hidup dan kehidupan menjadi
61 Rahmat Djatmika, Op.cit, hlm. 26 62 Ibid 63 Asmaran AS, Op.cit, hlm. 9
32
baik. Akhlak juga sebagai alat kontrol psikis dan sosial bagi individu dan
masyarakat. Tanpa akhlak, manusia tidak akan berbeda dari sekumpulan
binatang. Untuk itu pendidikan akhlak mempunyai dasar-dasar yang jelas
dan dapat dijadikan sebagai pedoman.
Diakui atau tidak, pendidikan akhlak merupakan sasaran terpenting
untuk membentuk kepribadian manusia dalam kehidupan. Di zaman yang
serba materialistik ini, perilaku manusia cenderung menyimpang dari
ajaran-ajaran Islam. Harta, pangkat, kemasyhuran, kekuasaan dan
keduniawian lainnya menyebabkan manusia jatuh dan terjebak di jurang
kehancuran yang tercermin dari buruknya akhlak manusia pada umumnya.
Dalam pelaksanaan pendidikan akhlak di Indonesia mempunyai
dasar yang dapat ditinjau dari aspek:
1. Dasar Yuridis atau Hukum
Dasar dari sisi ini berasal dari peraturan-peraturan perundang-
undangan yang secara langsung dapat dijadikan pedoman atau dasar
dalam pendidikan akhlak. Dasar pendidikan akhlak itu berupa dasar
yang operasional, yaitu dasar yang secara langsung mengatur tentang
pelaksanaan pendidikan termasuk pendidikan akhlak adalah Undang-
Undang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) No. 20 tahun 2003
pada Bab II pasal 3 dinyatakan bahwa: “pendidikan nasional bertujuan
untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab”64.
2. Dasar Religius atau Agama
Dasar hukum akhlak adalah al-Qur’an dan hadis yang
merupakan dasar pokok ajaran Islam. Al-Qur’an sebagai sumber utama
dalam aturan tingkah laku, kredibilitasnya tidak diragukan lagi. Al-
Qur’an memberi petunjuk kepada jalan kebenaran mengarahkan
64 Departemen Pendidikan Nasional, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, No.
2 tahun 2003, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), cet. I, hlm. 5
33
kepada pencapaian kesejahteraan hidup baik di dunia maupun di
akhirat
Adapun dasar pendidikan akhlak dalam al-Qur’an, fiman Allah
QS al-Qalam: 4
)٤:القلم(وانك لعلى خلق عظيم Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang
agung 65 (QS al-Qalam: 4)
Sebagai pedoman kedua sesudah al Qur’an adalah al-Hadis,
banyak hadis nabi yang menjelaskan tentang akhlak, di antaranya hadis
tentang iman seseorang dikatakan sempurna apabila ia mempunyai
akhlak yang baik. Rasulullah saw bersabda:
حدثنا عبداهللا حدثنى ابى ثنا يحي بن سعيد عن محمدبن عمرو
قال رسول اهللا صلى اهللا : ابوسلمة عن ابى هريرة قال ثنا: قال
66)رواه احمد(ٲحسنهم خلقا اآمل المؤمنين ايمانا عليه وسلمAbdullah telah menceritakan pada kami, Abi telah
menceritakan pada kami, telah menceritakan pada kami Yahya bin Sa’id dari Muhammad bin Amru berkata: telah menceritakan pada kami Abu salamah dari Abu Hurairah, Rasulullah saw telah bersabda: “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah mereka yang terbaik akhlaknya.(HR Ahmad)
Dengan memahami ayat al-Qur’an dan hadis Rasulullah
tersebut di atas, jelas bahwa pendidikan akhlak itu sangat penting.
Dengan akhlak yang baik, seseorang dapat mencapai kebahagiaan di
dunia maupun di akhirat.
c. Metode-metode Pendidikan Akhlak
Metode merupakan cara yang ditempuh untuk mencapai suatu
tujuan pendidikan yang dicita-citakan. Demikian pula halnya dalam
65 Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: J-
Art, 2005), hlm. 564 66 Ahmad bin Hambal, Musnad Imam Ahmad bin Hambal, Juz II, (Beirut: Dar al Kutub
al Ilmiyah, 1993), cet. I, hlm. 621
34
pendidikan akhlak pun harus ada metode-metode spesifik untuk
diaplikasikan. Adapun metode-metode pendidikan akhlak antara lain:
1. Metode Keteladanan
Dalam bahasa Arab keteladanan diungkapkan dengan kata
uswah dan qudwah, yang mempunyai arti mengikuti yang diikuti.67
Metode keteladanan ini merupakan metode samawi yang
diajarkan Allah kepada hamba-Nya yaitu dengan diutusnya seorang
Rasul untuk menyampaikan risalah samawi kepada setiap umat. Rasul
yang diutus tersebut adalah seorang yang mempunyai sifat-sifat luhur
baik spiritual, moral maupun intelektual. Sehingga umat manusia
meneladaninya, belajar darinya, memenuhi panggilannya,
menggunakan metodenya dalam hal kemuliaan keutamaan dan akhlak
yang terpuji.68
Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Ahzab: 21
لقد آان لكم في رسول الله أسوة حسنة لمن آان يرجو الله
)٢١: االحزاب(واليوم اآلخر وذآر الله آثيرا Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.69 (QS. Al-Ahzab: 21)
2. Metode Nasihat
Dalam bahasa Arab kata nasihat diungkapkan dengan
mau’izhah yang artinya mengingatkan terhadap apa yang
melembutkan hati dari pahala dan siksa.70
67 Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat
Press, 2002), hlm. 17 68 Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak Menurut Islam, Kaidah-Kaidah Dasar,
(Bandung: Rosdakarya, 1992), hlm. 2 69 Departemen Agama, op.cit, hlm. 420 70 Erwati Azis, Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam, (Solo: Tiga Serangkai Pustaka
Mandiri, 2003), cet. I, hlm. 84
35
Metode nasihat dalam pendidikan akhlak dilakukan dengan
menggunakan kalimat-kalimat yang menyentuh hati untuk
menggerakkan manusia kepada ide yang dikehendakinya.71
3. Metode Pembiasaan
Cara lain yang ditempuh untuk pendidikan akhlak adalah
pembiasaan yang dilakukan sejak kecil dan berlangsung secara
kontinyu. Imam al-Ghazali yang dikutip oleh Abudin Nata mengatakan
bahwa kepribadian manusia itu pada dasarnya dapat menerima segala
usaha pembentukan melalui pembiasaan. Jika manusia membiasakan
berbuat jahat maka ia akan menjadi orang jahat.72
Pembiasaan ini harus diikuti dengan pencerahan. Pencerahan
bertujuan untuk mengokohkan iman dan akhlak atas dasar
pengetahuan, agar orang yang dididik tetap pada jalan yang benar dan
tidak mudah tergoncang atau terpengaruh oleh pengaruh-pengaruh
negatif dari luar.73
4. Metode ‘Ibrah
‘Ibrah menurut an Nahlawi yang dikutip oleh Ahmad Tafsir,
ibrah adalah suatu kondisi psikis yang menyampaikan manusia kepada
intisari sesuatu yang disaksikan, yang dihadapi dengan menggunakan
nalar yang menyebabkan hati mengakuinya.74
Tujuan metode ini adalah mengantarkan manusia kepada
kepuasan pikir tentang perkara keagamaan yang bisa menggerakkan,
mendidik, atau menumbuhkan perasaan keagamaan. Adapun
pengambilan ‘ibrah bisa dilakukan melalui kisah-kisah teladan,
fenomena alam atau peristiwa yang terjadi baik di masa lalu atau masa
sekarang.
71 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), cet. I,
hlm. 98 72 Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 162 73 Miqdad Yaljan, op. Cit, hlm. 29 74 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 1994), cet. 2, hlm. 145
36
Selain metode di atas, masih banyak metode-metode lain
dalam pendidikan akhlak. Menurut ‘Athiyah al-Abrasy, metode yang
praktis dan efektif bagi pendidikan akhlak antara lain:
a). Pendidikan secara langsung. Dengan cara memberi petunjuk atau
nasihat, menjelaskan manfaat dan bahaya, menuntun pada amal-
amal baik, mendorong mereka berbudi pekerti tinggi dan
menghindari hal-hal tercela.
b). Pendidikan secara tidak langsung. Dengan jalan seperti mendidik
sajak-sajak, syair-syair, kata-kata hikmah, nasihat-nasihat dan budi
pekerti yang luhur yang berpengaruh pada mereka.
Mengambil manfaat dari kecenderungan dan pembawaan anak
didik dalam rangka mendidik akhlak, contohnya kesenangan anak
meniru sesuatu, maka guru seyogyanya menghias diri dengan akhlak
yang mulia.75
d. Nilai-nilai Pendidikan Akhlak
1. Akhlak kepada Allah
a). Syukur
Syukur adalah memanjatkan pujian kepada Sang Pemberi
Nikmat, atas keutamaan dan kebaikan yang dikaruniakan kepada
kita.76
Realitas syukur dapat dibagi beberapa bentuk. Syukur dengan
lisan adalah berupa pengakuan dengan lidahnya akan nikmat-Nya.
Syukur dengan anggota tubuh ialah mempergunakan nikmat itu
dalam mentaati Allah dan syukur dengan hati ialah pengakuan
serta membesarkan yang memberi nikmat.
b). Tawakal
Tawakal artinya berpasrah diri kepada Allah setelah
melakukan upaya-upaya atau berikhtiar dahulu.77
75 M. Athiyah al-Abrasy, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Terj. Bustain al-
Ghani, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm. 104 76 Ahmad Faried, Op.cit., hlm. 103 77 Didiek Ahmad Supadie, ed, Studi Islam I, (Semarang: Unissula Press, 2002), hlm. 99
37
c). Keikhlasan
Ikhlas adalah memurnikan tujuan untuk mendekatkan diri
kepada Allah swt dari berbagai tendensi diri.78
2. Akhlak kepada Rasul Allah
Rasulullah saw merupakan suri tauladan bagi umat manusia.
Beliau diutus ke muka bumi untuk menjadi pengaruh dan pembimbing
umat manusia menuju jalan yang diridhoi Allah.
Akhlak kepada Rasulullah dapat dilakukan dengan cara:
a). Menerima ajaran yang dibawanya
b). Mengikuti sunnahnya
c). Mengucapkan salam dan salawat kepadanya.79
3. Akhlak kepada diri sendiri dan orang lain
a). Mengendalikan hawa nafsu
Allah swt menyuruh agar kita senantiasa mengikuti perintah-
Nya dan jangan mengikuti perintah hawa nafsu yang akan
merugikan dan menghancurkan kehidupan kita
Hawa nafsu mengandung pengertian kecenderungan hati
kepada yang disukai dan dicintai yang tidak ada kaitannya dengan
urusan akhirat.80
b). Tolong menolong
Tolong menolong adalah sikap yang senang menolong orang
lain, baik dalam bentuk material maupun dalam bentuk tenaga
moril.81
Sikap ini dikemukakan dalam QS. Al-Maidah: 2
وتعاونوا على البر والتقوى والتعاونوا على االثم والعدوان
)٢: المائدة(
78 Ibid, hlm. 1 79 Hamzah Ya’qub, Etika Islam, (Bandung: CV Diponegoro, 1993), hlm. 145 80 Arif Supono, ed, Seratus Cerita Tentang Akhlak, (Jakarta: Republika, 2006), hlm. 25 81 Hamzah Ya’qub, Etika Islam Pembinaan Akhlaqul Karimah (Suatu Pengantar),
(Bandung: CV Diponegoro, 1993), hlm. 125
38
Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.(QS. Al-Maidaاh: 2)82
c). Persaudaraan / Ukhuwah
Menumbuhkan kesadaran untuk memelihara persaudaraan
serta menjauhkan diri dari perpecahan merupakan realisasi
pengakuan bahwa pada hakikatnya kedudukan manusia adalah
sama di hadapan Allah. Sama kedudukannya sebagai hamba dan
khalifah Allah. Tidak ada pembeda di antara hamba Allah kecuali
ketakwaan mereka.83 Sebagaimana firman Allah dalam surat al-
Hujurat: 13
وانثى وجعلنكم شعوبا وقبائل ذآريا ايها الناس انا خلقنكم من
ان اهللا عليم خبير لتعارفوا ان اآرمكم عنداهللا اتقكم
)١٣:الحجرات(
Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki, seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Mengenal. 84 (QS. Al-Hujurat: 13)
Pengertian dari ayat tersebut adalah segala bangsa yang
tersebar di seluruh dunia adalah keturunan yang sama yakni Adam
dan Hawa. Perbedaan warna kulit, bahasa dan tempat berpijak
bukanlah halangan untuk saling kenal-mengenal menuju
persaudaraan.
82 Departemen Agama, Log.cit, hlm. 106 83 Muhammad al-Ghazali, Akhlak Seorang Muslim, (Semarang: Wicaksana, 1993), cet.
4, hlm. 339 84 Departemen Agama, op.cit, hlm. 412
39
e. Tujuan Pendidikan Akhlak
Tujuan merupakan suasana ideal yang ingin diwujudkan. Dalam
tujuan pendidikan suasana ideal itu tampak pada tujuan akhir (ultimate
aims of education). Tujuan akhir biasanya dirumuskan secara padat dan
singkat seperti terbentuknya kepribadian muslim85.
M. Athiyah al Abrasy dalam kitabnya Ruh at Tarbiyah wa at
Ta’lim, telah menjelaskan bahwa tujuan pendidikan akhlak adalah:
والغرض من التربية الخلقية تكوين رجال مهذبين وسيدات مهذبات،
ذي إرادة قوية وعزيمة صادقة يتحلون باالفضيلة حبا للفضيلة،
86ويتجنبون الرذيلة آلنها رذيلة
Tujuan pendidikan akhlak (budi pekerti) adalah membentuk manusia yang berakhlak baik (baik laki-laki maupun wanita), agar mempunyai kehendak yang kuat dan tujuan yang baik, dengan menghiasi diri mereka dengan kemuliaan karena cinta kepada kemuliaan dan menjauhi kekejian karena kekejian merupakan perbuatan yang hina”.
Mohammad Rifa’i memberikan argumennya bahwa tujuan
pendidikan akhlak adalah mengetahui perbedaan-perbedaan perangai
manusia yang baik dan buruk, agar manusia dapat memegang dengan
perangai-perangai yang baik dan menjauhkan diri dari perangai-perangai
jahat, sehingga tercipta tata tertib dalam pergaulan masyarakat87.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan
akhlak adalah terbinanya akhlak mulia sehingga dapat tercipta
kebahagiaan dunia dan akhirat serta mendapat ridho dari Allah SWT, dan
juga terwujud hubungan yang baik antara manusia dan Tuhannya (habl
min Allah) dan manusia dengan sesama makhluk (habl min an nas).
85 Ahmad D Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif,
1989), hlm. 49 86 M. Athiyah al Abrasy, Ruh at Tarbiyah wa at Ta’lim, (Beirut: Dar Ihya’ al Kutub al
Tarbiyah, tt), hlm. 41) 87 Mohammad Rifa’i, Pembina Pribadi Muslim, (Semarang: CV Wicaksana, 1993), cet.
I, hlm. 575
40
C. Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak pada Ibadah Haji
Ibadah haji merupakan ibadah fisik yang dilakukan secara individual
untuk memenuhi panggilan Allah dan mendapat ridhonya.
Adapun nilai-nilai pendidikan akhlak pada ibadah haji antara lain:
a. Akhlak kepada Allah
1. Syukur
2. Takwa
3. Ikhlas
b. Akhlak kepada Rasul Allah
1. Bershalawat
2. Mengikuti ajarannya
c. Akhlak kepada diri sendiri dan orang lain
1. Tidak melakukan rafats, fusuq dan jidal
2. Mengendalikan hawa nafsu
3. Tolong menolong
4. Persaudaraan
Untuk lebih jelasnya, akan dibahas pada bab selanjutnya.
BAB III
NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK
PADA IBADAH HAJI
A. Akhlaq kepada Allah
a. Syukur
Melaksanakan kewajiban haji merupakan syukur atas nikmat harta
dan kesehatan.1 Keduanya merupakan kenikmatan terbesar yang diterima
manusia di dunia.
Untuk itu kaum muslimin yang telah diberi anugerah harta dan
kenikmatan untuk segera menyempurnakan penghambaannya kepada
Allah dan rasa syukur atas nikmatnya dengan menunaikan ibadah haji
dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan.
Sebagaimana firman Allah:
الذين ينفقون في السراء والضراء والكاظمين الغيظ والعافين عن
)١٣٤: ال عمران( الناس والله يحب المحسنين
(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.2 (QS. Ali Imran: 134)
Haji sebagai wujud syukur adalah ibadah total dalam segala aspek.
Terutama terkait dengan kesehatan badan, harta kekayaan, kemampuan
dan sebagainya.3 Oleh karena itu, ibadah haji hanya diwajibkan atas kaum
muslimin yang telah mendapatkan anugerah dan kenikmatan tersebut. Jadi,
di dalam ibadah haji terkandung rasa syukur kepada Allah atas berbagai
karunia dan kenikmatan, sedangkan mensyukuri nikmat merupakan
kewajiban seorang hamba kepada Tuhannya yang tidak boleh
ditinggalkan.
1 Depag RI, Hikmah Ibadah Haji, (Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat dan Penyelenggaraan Haji, 2003), hlm. 14.
2 Depag, log.cit., hlm. 67. 3 Djamaluddin Dimjati, op.cit., hlm. 85.
42
b. Taqwa
Ibadah haji merupakan perintah Allah Ta’ala kepada hamba-Nya
yang telah mampu melaksanakannya, sesuai perintah-Nya tanpa ragu.
Apapun yang diperintahkan-Nya harus dikerjakan dan apapun yang
dilarang-Nya harus ditinggalkan.4
Kepatuhan dan ketaatan semacam ini merupakan cermin dari
kuatnya keimanan seseorang kepada Allah. Tanpa didasari oleh keimanan
yang kuat, mustahil seorang hamba mau melaksanakan ibadah haji.
Sebagaimana yang telah diterangkan pada Bab II, ketika ihram ada
beberapa larangan yang harus ditinggalkan antara lain dilarang untuk
bersenggama dan pendahuluan-pendahuluannya (rafats), melakukan
kejahatan dan berbuat maksiat yang mengakibatkan penyelewengan dari
mentaati perintah Allah (fusuq), serta berselisih dengan teman sejawat
(jidal). Hal tersebut harus ditinggalkan karena merupakan larangan Allah
sebagaimana firman Allah:
الحج أشهر معلومات فمن فرض فيهن الحج فلا رفث ولا فسوق ولا جدال في الحج وما تفعلوا من خير يعلمه الله وتزودوا فإن
)١٩٧: ةالبقر( خير الزاد التقوى واتقون يا أولي الألبابMusim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa
yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa.5 (QS. Al-Baqarah: 197) Dalam hadits juga disebutkan:
رسول اهللا صلى اهللا سمعت: عن ابن عمر رضي اهللا عنه قاليوم ولدته عليه وسلم يقول من حج فلم يرفث ولم يفسق رجع ك
6 )متفق عليه(امه
4 Djamaluddin Dimjati, Panduan Haji dan Umroh Lengkap Disertai Rahasia dan
Hikmahnya, (Solo: Era Intermedia, 2006), hlm. 93. 5 Depag, op.cit., hlm. 31. 6 Imam Abi Zakaria bin Syarif an-Nawawi ad-Damsyiqi, Riyadh as-Shalihin, (Beirut
Libanon: Al-Maktabah al-Ilmiyah, tth), hlm. 457.
43
Dari Ibnu Umar r.a. berkata: saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa yang mengerjakan haji sedang ia tidak melanggar kesopanan dan tidak pula melanggar ketentuan, maka ia akan bebas dari dosa-dosa seperti pada hari ia dilahirkan oleh ibunya.
Dari penjelasan ayat Al-Qur'an dan hadits Nabi tersebut jelas
bahwa ketika melaksanakan ibadah haji semua larangan harus
ditinggalkan, dengan berakhlaqul karimah maka akan menjadi haji mabrur.
c. Ikhlas
Ibadah haji memiliki nilai-nilai spiritual keagamaan yang sangat
tinggi yang perlu dilestarikan dalam kehidupan sehari-hari, untuk
membentuk kepribadian, moral dan akhlak yang mulia, sehingga
diharapkan akan menjadi suri tauladan yang baik atau uswatun khasanah
yang dapat dicontoh bagi masyarakat luas di sekitar.
Dalam ibadah haji, aspek ubudiyah (memperhambakan diri kepada
Allah) tampak jelas, di mana jama’ah memperlihatkan kehinaan dan
kerendahan martabat dirinya di hadapan Allah, dengan berpakaian ihrom
yang amat sederhana, tanpa berhias, tidak ada pangkat dan jabatan.
Mereka semua adalah hamba Allah yang datang kepada-Nya dengan
penuh harapan untuk mendapatkan ampunan dari segala dosa dan
kesalahan. Serta memperoleh rahmat, barokah dan ridho-Nya. Oleh karena
itu, ibadah haji dilakukan dengan niat yang ikhlas karena Allah dan niat
yang suci. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. Ali Imran: 97,
ولله على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيلا ومن آفر فإن
)٩٧: عمرانال ( الله غني عن العالمين
Dan karena Allah, wajiblah atas orang-orang yang melakukan haji ke Baitullah, yaitu bagi orang yang mampu melaksanakan perjalanan ke sana.7 (QS. Ali Imran: 97)
Dari ayat tersebut jelas diterangkan bahwa ketika melaksanakan
ibadah haji harus dengan niat suci karena Allah, bukan karena niat untuk
riya’, sombong, dan takabur.
7 Departemen Agama, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Bandung: J-Art, 2005), hlm. 49.
44
B. Akhlak kepada Rasul Allah
a. Patuh mengikuti ajarannya
Ibadah haji dalam syari’at Islam yang disampaikan Nabi
Muhammad SAW mengajarkan upacara-upacara peribadatan yang sangat
jelas hubungannya dengan syari’at Islam yang disampaikan Nabi Ibrahim
a.s.
Hal ini bisa dipahami ketika jama’ah melakukan thowaf dan sa’i.
Ketika thowaf jama’ah disunahkan untuk mencium atau mengusap hajar
aswad. Mencium hajar aswad itu mengikuti amaliah yang dilakukan oleh
Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Muhammad SAW.
Dalam hubungan ini riwayat tentang sahabat Umar r.a. ketika
mencium hajar aswad mengatakan:8
“Umar ra. berkata: sungguh aku mengetahui engkau hanyalah batu, sekiranya aku tidak melihat kekasihku Rasulullah SAW telah menciummu dan mengusapmu, niscaya aku tidak akan mengusapmu dan menciummu”.
Jadi, nilai yang menonjol dalam mencium hajar aswad adalah nilai
kepatuhan mengikuti sunnah Rasul Allah.
Sebagaimana firman Allah:
مكن مرمالى اولأ ولوسلرا اوعيطا اهللا وواعيطا اونم انيذا الهيا اي
)59:النساء(“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu.”9 (QS. An-Nisa’: 59)
b. Bershalawat
Bershalawat kepada Nabi merupakan salah satu ungkapan untuk
mencintai Rasulullah. Dengan harapan untuk mendapat syafa’atnya.
Pada ibadah haji, ketika jama’ah di Raudhah, mereka
memperbanyak membaca shalawat, sholat sunnah, dzikir tahlil, dan
sebagainya.10
8 Depag Republik Indonesia, op.cit., hlm. 42. 9 Depag, op.cit., hlm. 87. 10 Djamaluddin Dimjati, log.cit., hlm. 183.
45
Di tempat yang suci dan mulia ini Rasulullah selalu bertaqarub dan
bermunajat kepada Allah hingga wafatnya.
Hal tersebut merupakan bukti kecintaan manusia terhadap
Rasulullah, yaitu dengan memperbanyak membaca shalawat.
C. Akhlak kepada diri sendiri dan orang lain
Pada ibadah haji, nilai-nilai pendidikan akhlak kepada siri sendiri dan
orang lain sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah
197.
a. Tidak melakukan rafats, fusuq dan jidal
Dalam memenuhi kewajiban bagi dirinya, Islam mengingatkan
manusia agar tidak merugikan hak-hak orang lain. Islam melarang
manusia untuk mengucapkan kata-kata yang kotor.
Pada ibadah haji, ketika jama’ah melakukan ihram ada beberapa
larangan yang harus ditinggalkan antara lain rafats, fusuq dan jidal. Hal
tersebut sangat aplikatif apabila setiap muslim mengaplikasikan pada
kehidupan sehari-hari. Hal ini sesuai dengan firman Allah surat Al-
Baqarah 197.
b. Mengendalikan hawa nafsu
Dalam melaksanakan ibadah haji, mengendalikan hawa nafsu
merupakan hal sangat urgen. Sebab setiap saat setan menggoda jama’ah
untuk mengajak pada jalan yang sesat.
Firman Allah SWT:
)٢٦: ص (ولا تتبع الهوى فيضلك عن سبيل الله Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan
menyesatkan kamu dari jalan Allah.11 (QS. Shad: 26)
Hal ini bisa dipahami ketika ihram banyak larangan-larangan yang
harus ditinggalkan oleh jamaah. Nilai yang terkandung di dalamnya adalah
11 Depag, log.cit., hlm. 454.
46
agar jamaah mampu mengendalikan hawa nafsunya untuk mendapatkan
ridho dari Allah.
c. Tolong menolong
Tolong menolong merupakan sikap senang menolong orang lain
baik dalam bentuk material maupun dalam bentuk tenaga moril.
Dalam ibadah haji, tolong menolong dapat dilihat ketika jamaah
melempar jumrah. Ketika ada jamaah yang tidak mampu untuk
melaksanakan pelemparan jumrah, maka jamaah lain wajib membantunya.
Selain itu, bisa juga dilihat ketika ada jamaah yang tersesat, maka bagi
jamaah lain untuk membantu menunjukkan jalan yang benar.
Prinsip tolong menolong ini sesuai dengan firman Allah:
وتعاونوا على البر والتقوى ولا تعاونوا على الإثم والعدوان
)٢: المائدة(Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
taqwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.12 (QS. Al-Maidah: 2)
Dengan tolong menolong di antara jamaah, maka akan tercipta
suasana yang damai sehingga ukhuwah islamiyah bisa terwujud di antara
kaum muslimin.
d. Persaudaraan
Allah SWT mensyari’atkan ibadah haji, sehingga umat Islam
berkumpul di suatu tempat dengan berbagai jenis bangsa, suku atau ras
yang berjauhan asal negara dan daerahnya.13 Dengan perkumpulan yang
berasal dari berbagai negara dan bangsa yang jauh itu, tentu terjadi
perkenalan dan persahabatan.
Prinsip ta’aruf ini sejalan dengan firman Allah dalam Al-Qur'an:
12 Depag, ibid., hlm. 105. 13 Ishak Farid, Ibadah Haji dalam Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta,
1999), hlm. 77.
47
علناآم شعوبا وقبائل يا أيها الناس إنا خلقناآم من ذآر وأنثى وج
: الحجرات (لتعارفوا إن أآرمكم عند الله أتقاآم إن الله عليم خبير
١٣( Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat: 13)14
Ibadah haji adalah kebersamaan/jama’ah umat Islam untuk ibadah
kepada Allah SWT. Mereka melaksanakan apa yang diperintahnya dan apa
yang dilarang-Nya. Semua itu dilakukan untuk mendapatkan ridho-Nya.
Dengan pertemuan dan kebersamaan itu, mereka menjalin
ukhuwah Islamiyah seagama tanpa membedakan suku, ataupun ras.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
)رواه الترمذى (15 سلمه يظلمه وال يالالمسلم اخوا المسلم “Orang muslim itu saudara bagi orang muslim lainnya. Dia tidak menzaliminya dan tidak pula membiarkannya dizalimi.”
Dengan menjalin ukhuwah Islamiyah mereka akan saling tolong
menolong dengan jama’ah yang lain.
Menurut Syekh Ali Ahmad Al-Jurjani bahwa dengan pertemuan
dan perkenalan ini, mereka menjalin persaudaraan seagama tanpa ada
perbedaan suku ataupun ras.16 Karena dalam pertemuan ini Allah melarang
mereka saling berdebat yang mendorong terjadinya permusuhan dan
pertumpahan darah.
14 Depag, op.cit., hlm. 517. 15 Turmudzi, Shahih Sunan Turmudzi, Juz IV, (Beirut: Daar Ilmiah, tt), hlm. 26. 16 Ishak Farid, op.cit., hlm. 79.
BAB IV
ANALISIS NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK
PADA IBADAH HAJI
A. Hubungan Ibadah Haji dengan Pendidikan
Ibadah dalam Islam merupakan jalan hidup yang sempurna. Nilai
hakiki ibadah terletak pada keterpaduan antara tingkah laku, perbuatan dan
pikiran. Islam dengan tegas memandang amal (aktivitas) bernilai apabila
dalam pelaksanaannya manusia menjalin hubungan dengan Tuhannya serta
bertujuan merealisasi kebaikan bagi dirinya dan masyarakatnya.
Karakteristik sistem pendidikan Islam yang menonjol adalah sistem
ibadahnya. Hubungan terus menerus dengan Allah merupakan proses
pendidikan Islam. Pelaksanaan kebaikan yang hakiki tidak dapat dijamin tanpa
hubungan yang hidup antara individu dan penciptanya. Demikian pula
penegakan kebenaran dan keadilan baru dapat dikatakan terjamin manakala
semua manusia sama-sama berorientasi kepada Tuhan, baik ketika beribadah
maupun bekerja, baik dalam tingkah laku sehari-hari maupun kehidupan biasa.
Dari prinsip di atas terlihat hubungan yang erat antara akhlak yang
mulia dan konsep ibadah dalam pendidikan Islam. Metode yang digunakan
Islam dalam mendidik jiwa adalah menjalin hubungan terus menerus antara
jiwa dan Allah di setiap saat dalam segala aktivitas dan pada setiap
kesempatan berpikir.
Konsep ibadah berkaitan erat dengan dasar akhlaki. Konsep ibadah
berpusat pada prinsip dasar bahwa manusia diciptakan untuk menjadi khalifah
Allah di muka bumi. Fungsi khalifah di muka bumi akan terealisasi apabila
tingkah laku, akhlak, ilmu dan perbuatan manusia sesuai dengan format yang
telah digariskan oleh Allah.
Dengan demikian, ibadah merupakan salah satu sarana yang efektif
untuk mengarahkan pendidikan kepada orientasi akhlaki yang lurus serta
merealisasi pendidikan secara seimbang dan komprehensif.
49
Dalam ibadah haji, nilai pendidikan akhlaknya lebih besar dibanding
dengan ibadah lainnya. Mengerjakan ibadah haji ditujukan agar menjauhi
perbuatan keji, pelanggaran secara sengaja (fasik) dan bermusuh-musuhan.1
Hubungan ibadah haji dengan pendidikan akhlak dapat dipahami dari
ayat yang berbunyi:
: البقرة(فمن فرض فيهن الحج فلا رفث ولا فسوق ولا جدال في الحج ١٩٧(
Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. (QS. Al-Baqarah: 197)2
Haji merupakan ibadah yang berdimensi pendidikan sosial. Dalam
ibadah ini kaum muslimin berkumpul dengan segala perbedaan kebangsaan,
warna kulit dan bahasanya. Dalam muktamar ini kaum muslimin dapat
menyaksikan berbagai manfaat, tolong menolong dalam kebaikan dan
ketakwaan.3
Ibadah haji dengan berbagai amaliahnya mengandung nilai pendidikan
yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Adapun nilai
pendidikan yang terdapat di dalamnya antara lain ikhlas, syukur, tawakal,
selalu ingat Allah, mengendalikan hawa nafsu, persaudaraan, persamaan serta
memelihara dan menjaga lingkungan.
B. Nilai-Nilai Pendidikan Akhlaq pada Ibadah Haji
1. Akhlak kepada Allah
a. Syukur
Melaksanakan kewajiban haji merupakan ungkapan syukur atas
nikmat harta dan kesehatan. Keduanya merupakan kenikmatan terbesar
yang diterima manusia di dunia. Dalam haji ungkapan syukur atas
kedua nikmat terbesar ini dicurahkan, dan dalam haji pula manusia
1 Said Agil Al-Munawar, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani dalam Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Intermasa, 2003), hlm. 31.
2 Depag, op.cit., hlm. 31. 3 Hery Noer Ali dan Munzir, Watak Pendidikan Islam, (Jakarta: Fisika Agung Insani,
2000), hlm. 100.
50
melakukan perjuangan jiwa raga, menafkahkan hartanya dalam rangka
menaati serta mendekatkan diri kepada Allah. Jadi, di dalam ibadah
haji terkandung rasa syukur kepada Allah atas berbagai karunia dan
kenikmatan, sedangkan mensyukuri nikmat merupakan kewajiban
seorang hamba kepada Tuhannya yang tidak boleh ditinggalkan.
Apabila ditinggalkan, berarti dia telah mengingkari nikmat Allah.
Untuk itu kaum muslimin yang telah diberi anugerah dan
kenikmatan untuk segera menyempurnakan penghambaannya kepada
Allah dan rasa syukur atas nikmatnya dengan menunaikan ibadah haji
dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan. Oleh karena itu, gema
talbiah berulang-ulang diucapkan dalam perjalanannya menuju tempat-
tempat pelaksanaan ibadah haji. Dalam talbiyah, mereka selalu
mengucapkan:
ان الحمد والنعمة لك والملك ال شريك لك
Sesungguhnya segala puji, segenap nikmat dan kekuasaan adalah milik-Mu, tiada sekutu bagi-Mu.
Di dalam kalimat tersebut, jelas tergambar bahwa
sesungguhnya segala puji itu semata-mata milik Allah. Hal ini
merupakan penghambaan diri kepada Allah. Kemudahan pengakuan
selanjutnya adalah bahasa segala kenikmatan dan kekuasaan itu adalah
milik Allah, termasuk keanekaragaman nikmat yang tak terhitung
jumlahnya.
b. Taqwa
Peribadatan agama Islam sejalan dengan bentuk-bentuk
peribadatan yang melambangkan kebesaran syi’ar Allah. Misalnya
melaksanakan thawaf di sekeliling Ka’bah adalah gerakan terikat
dengan ketentuan dan tata aturan seperti perputaran yang harus dimulai
dari hajar aswad berputar ke arah kiri, dilarang berbicara yang tidak
berarti atau maksiat, bahkan hati dan badan harus bersih dari kotoran.
51
Ini semua membuktikan bahwa ibadah haji benar-benar suatu
ibadah yang harus kita laksanakan dengan satu sikap penyerahan diri
secara total kepada Allah SWT.
Kemauan keras, ketakwaan dan keikhlasan sangat berarti bagi
jamaah karena hanya dengan modal itulah ia mendapatkan ibadah haji
yang diterima Allah.
Firman Allah SWT:
: البقرة(وتزودوا فإن خير الزاد التقوى واتقون يا أولي الألباب
١٩٧(
Berbekallah dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.4 (QS. Al-Baqarah: 197)
c. Ikhlas
Ibadah haji itu memiliki ciri khusus, berbeda dengan ibadah
lainnya, seperti sholat, puasa, zakat, dan sebagainya, apalagi banyak
amalan dan peraturan ibadah haji yang tidak mudah dicerna oleh
pikiran. Hal tersebut dimaksudkan agar manusia dalam
menghambakan diri kepada Allah lebih tulus dan sempurna. Karena
hakikatnya, ibadah haji merupakan perintah Allah kepada hamba-Nya
yang telah mampu melaksanakannya. Kepatuhan dan ketaatan
semacam ini merupakan cermin dari kuatnya keimanan seseorang,
sehingga seorang hamba mau melaksanakan haji dengan penuh
keikhlasan. Hal ini sesuai dengan Qur’an surat Ali Imran ayat 97.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa jama’ah yang sedang
melaksanakan ibadah haji dengan cara yang benar dan baik sesuai
tuntunan Allah dan Rasul-Nya, ibarat malaikat yang dengan penuh
keikhlasan melaksanakan semua perintah-Nya dan meninggalkan
semua larangan-Nya.
4 Departemen Agama, op.cit., hlm. 31.
52
2. Akhlak kepada Rasul Allah
Islam adalah agama Allah yang diwahyukan kepada semua Rasul-
Nya sejak Nabi Adam a.s. hingga Nabi Muhammad SAW. Agama yang
diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW adalah mata rantai terakhir
agama Allah yang telah disempurnakan-Nya.
Ibadah haji yang disampaikan Nabi Muhammad merupakan salah
satu ajarannya. Seperti halnya ketika wuquf di padang Arafah, Rasulullah
bersama sahabat memimpin sekaligus membimbing manusia menjalankan
ibadah dengan cara yang baik dan benar sesuai dengan petunjuk Allah.
Jadi, semua amalan-amalan yang dilakukan jama’ah haji
merupakan bukti kepatuhan akan ajaran Rasulullah, dari cara
melaksanakan thowaf, wukuf, sa’i, tahalul, dan lain-lain. Semua
dilaksanakan demi menjalankan syari’at Allah sesuai dengan ajaran-ajaran
Rasulullah.
Selain hal di atas, dapat dipahami ketika jama’ah melaksanakan
shalat di Hijr Isma’il, Maqam Ibrahim, Raudhah. Jama’ah bershalawat dan
salam untuk Rasulullah dengan harapan akan mendapat syafa’atnya.
3. Akhlak kepada diri sendiri dan orang lain
a. Tidak melakukan rafats, fusuq, jidal
Dalam ibadah haji, ketika sedang ihram ada larangan untuk
tidak rafats (berhubungan seks). Hal ini karena ibadah haji merupakan
pekerjaan yang sangat mulia dan terpuji. Rasulullah SAW bersabda:
سمعت رسول اهللا صلى : عن ابن عمر رضي اهللا عنه قال
م يرفث ولم يفسق رجع كيوم اهللا عليه وسلم يقول من حج فل
5 )متفق عليه(ولدته امه
Barangsiapa yang mengerjakan haji sedang ia tidak melanggar kesopanan dan tidak pula melanggar ketentuan, maka ia akan bebas dari dosa-dosa seperti pada hari ia dilahirkan oleh ibunya.
5 Imam Abi Zakaria bin Syarif an-Nawawi ad-Damsyiqi, op.cit., hlm. 457.
53
b. Mengendalikan hawa nafsu
Dalam melaksanakan ibadah haji, mengendalikan hawa nafsu
merupakan hal yang sangat urgen. Sebab setiap saat setan menggoda
jamaah untuk mengajak pada jalan yang sesat.
Hal ini bisa dipahami ketika jamaah melempar jumrah.
Melempar jumrah merupakan perwujudan permusuhan dan kebencian
terhadap setan yang selalu berusaha untuk menyesatkan manusia dari
jalan yang diridhoi Allah.
Hal tersebut membuktikan betapa seriusnya Allah
memperingatkan kepada para hamba-Nya untuk selalu mengendalikan
hawa nafsu agar tidak terbujuk oleh rayuan setan.
c. Tolong menolong
Suasana pertemuan akbar (haji) bukan hanya satu bentuk
budaya atau adat istiadat. Baik dari cara tutur kata maupun tingkah
laku yang mungkin asing satu sama lainnya membutuhkan pengertian
dan toleransi untuk saling memahami keadaan orang lain dan
menghilangkan sifat egois.
Mereka dengan berpakaian yang sama, saling bergaul,
dilandasi dengan ukhuwah islamiyah sehingga mereka saling
mengingatkan dan saling tolong menolong.
d. Ukhuwah (persaudaraan)
Ibadah haji merupakan wujud nyata dari persaudaraan antara
muslim sedunia. Pertemuan ini akan dapat menghilangkan perbedaan-
perbedaan sistem politik yang dianutnya atau perbedaan madzhab, baik
yang menyangkut aqidah maupun ibadah.
Dengan demikian kita harus menumbuhkan kembali kesadaran
kita tentang hakikat penciptaan manusia dari asal yang satu yaitu
Adam, sehingga antara satu suku dengan suku yang lain, antara satu
bangsa dengan bangsa lain yang berbeda warna kulit, bahasa dan adat
54
istiadat, berbeda kemampuan dan keberadaannya, akan duduk sama
rendah berdiri sama tinggi.
Menumbuhkan kesadaran untuk memelihara persaudaraan serta
menjauhkan diri dari perpecahan merupakan realisasi pengakuan
bahwa pada hakikatnya kedudukan manusia adalah sama di hadapan
Allah. Tidak ada pembeda di antara hamba Allah kecuali ketakwaan
mereka.6
6 Muhammad al-Ghazali, Akhlak Seorang Muslim, (Semarang: Wicaksana, 1993), Cet. 4,
hlm. 339.
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Nilai-nilai pendidikan akhlak dalam ibadah haji antara lain:
a. Syukur
Hal ini dapat dipahami ketika jama’ah mengucapkan talbiyah.
Dalam kalimat tersebut jelas bahwa segala kenikmatan kekuasaan itu
adalah milik Allah. Termasuk juga terdapat dalam syarat haji yang
menyebutkan kemampuan (istatha’ah) meliputi sehat badan serta memiliki
bekal yang cukup. Ini merupakan manifestasi dari rasa syukur atas nikmat
Allah.
b. Takwa
Haji merupakan ibadah yang melambangkan ketaatan atau
penyerahan diri secara total kepada Allah baik harta benda maupun jiwa
raga. Di hadapan Allah mereka bersyukur atas segala nikmat, memohon
ampun, berdzikir, memohon perlindungan dari dosa, hawa nafsu dan
godaan setan.
c. Ikhlas
Bahwa ibadah haji merupakan perjalanan suci yang semua
rangkaian kegiatannya merupakan ibadah. Semua larangan harus
ditinggalkan guna mencapai haji mabrur. Semua kegiatan yang dilakukan
(ihram, thowaf, sa’i, wukuf, melempar jumrah) harus dilandasi dengan
keimanan dan ketakwaan. Tanpa dilandasi dengan keimanan dan
ketakwaan, maka semua kegiatan akan sia-sia.
d. Bershalawat dan patuh pada ajaran Rasulullah
Hal ini bisa dipahami ketika jama’ah di Raudhah mereka
bershalawat kepada Nabi. Selain itu dapat dipahami ketika jama’ah
melaksanakan rangkaian ibadah haji sesuai dengan ajaran Rasulullah.
Misalnya thawaf, wukuf, sa’i, tahalul.
56
e. Tidak melakukan rafats, fusuq dan jidal
Pada ibadah haji, ketika jamaah sedang ihram ada larangan untuk
tidak rafats, fusuq dan jidal. Hal ini karena ibadah haji merupakan
pekerjaan yang sangat mulia dan terpuji. Sebagaimana firman Allah QS.
Al-Baqarah ayat 197.
f. Mengendalikan hawa nafsu
Hal ini bisa dipahami ketika jamaah melempar jumrah. Melempar
jumrah merupakan perwujudan permusuhan dan kebencian terhadap setan
yang selalu berusaha untuk menyesatkan manusia dari jalan yang diridai
Allah.
g. Tolong menolong
Ibadah haji bukan hanya suatu bentuk budaya/adat istiadat. Di situ
dibutuhkan pengertian dan toleransi, tolong menolong antara jama’ah yang
satu dengan yang lain.
h. Ukhuwah/Persaudaraan
Ibadah haji merupakan wujud nyata dari persaudaraan antara
muslim sedunia. Dengan perkumpulan yang berasal dari berbagai negara
dan bangsa, mereka harus saling toleransi dan memahami keadaan orang
lain, sehingga tercipta ukhuwah islamiyah yang baik.
B. Saran-Saran
a. Bagi orang-orang Islam yang mampu untuk melaksanakan ibadah haji,
untuk segera melaksanakannya. Hal ini sebagai manifestasi rasa syukur
atas nikmat yang diberikan Allah.
b. Kepada seluruh umat Islam, untuk selalu memperbaiki akhlaknya. Apalagi
bagi orang yang telah menunaikan ibadah haji, yang mana dalam ibadah
haji terdapat nilai-nilai pendidikan akhlak yang dapat diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari, sehingga akan tercipta masyarakat yang rukun,
damai dan sejahtera.
57
C. Penutup
Penulis bersyukur ke hadirat Allah swt yang telah memberikan
petunjuk dan pertolongan sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai.
Penulis sadar bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan, maka dari itu,
saran dan kritik yang membangun dari pembaca sangat penulis harapkan.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan
manfaat bagi penulis pada khususnya dan juga bermanfaat bagi setiap
pembaca pada umumnya serta semoga dapat menambah pengetahuan kita
semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Al Ghazali, Ihya’ Ulum adalah Din, Juz III, (Mesir: Masyahad Al Husaini, tt)
Amin, Muhammad dkk, Dasar-Dasar Pendidikan Agama, (Semarang: IKIP Semarang Press, 1996)
Anwar, Ramli Bihar, ASQ For Haji, (Bandung: Arazy PT Mizan Pustaka, 2004)
cet. 1 Baidan, Nashrudin, Metodologi Penafsiran Al Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1998) Danim Sudarwan, Menjadi Peneliti Kualitatif, (Bandung: Pustaka Setia, 2002) Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung:
Diponegoro, 2005) Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Balai
Pustaka, 1990) Dewey, John, Democracy and Education, (New York: The Macmillan Company,
1964) Dimjati, Djamaludin, Panduan Ibadah Haji danUmrah Lengkap di sertai Rahasia
dan Hikmahnya, (Solo: Era Intermedia, 2006), cett. I Farid, Ishak, Ibadah Haji dalam Filsafat Hukum Islam , (Jakarta: Rineka Cipta,
1999) Hadi Sutrisno, Metodologi Research Jilid I, (Yogyakarta: Andi Yogyakarta, 2000) Idris, Abdul Fatah, Abu Ahmadi, Fikih Islam Lengkap, (Jakarta: Rineka Cipta,
2004), cet. 3 Muhajir, Noeng, Metode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996) Raya, Ahmad Thib, Menyelami Seluk Beluk Ibadah dalam Islam , (Jakarta:
Kencana, 2003) Razak, Nasrudin, Dienul Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1993) Suryabrata, Sumadi, Metode Penelitian, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1998)
Syah, Ismail Muhammad, Filsafat Hukum Islam, (Jakrta: Bumi Aksara, 1992) Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam Jilid II, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeue, 1993) Yusuf, Nasir, Problematika Manasik Haji, (Bandung: Pustaka, 1994)
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1. Nama : Yuyun Arifah
2. NIM : 3103082
3. Tempat, Tanggal Lahir : Purworejo, 6 Februari 1985
4. Jenis Kelamin : Perempuan
5. Agama : Islam
6. Alamat Asal : Bayem RT. 02 RW I No. 12 Kec. Kutoarjo
Kab. Purworejo Jawa Tengah 54215
7. Pendidikan
SD : SDN II Bayem Kutoarjo Purworejo
SMP : MTs N Prembun Kab. Kebumen
SMA : MAN Purworejo
S1 : IAIN Walisongo Semarang
Fakultas Tarbiyah Jurusan Pendidikan Agama
Islam (PAI) Angkatan 2003