Upload
ibeng
View
19
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
BAHASAN dan diskusi tentang kebangsaan umumnya mengesankan topik yang normatif, tidak populer, dan menjemukkan dari perspektif apa pun. Di tengah ingar-bingar politik, sosial budaya, dan pemikiran yang serbapragmatis dewasa ini, tidaklah mudah menempatkan isu kebangsaan sebagai pedoman utama dalam proses pembangunan bangsa.
Citation preview
Nilai Kebangsaan Dasar Bela Negara Jum'at, 18 Desember 2015 02:40 WIB
musicalprom.com
BAHASAN dan diskusi tentang kebangsaan umumnya mengesankan topik yang normatif, tidak populer, dan
menjemukkan dari perspektif apa pun. Di tengah ingar-bingar politik, sosial budaya, dan pemikiran yang
serbapragmatis dewasa ini, tidaklah mudah menempatkan isu kebangsaan sebagai pedoman utama dalam
proses pembangunan bangsa.
Isu politik maupun ekonomi seperti halnya korupsi, isu yang menyoroti kinerja pemerintah atau pro-kontra
berbagai persoalan aktual yang punya “nilai” jual tersendiri, umumnya lebih disukai. Sering terlupakan bahwa
di balik berbagai persoalan yang tampaknya menyita waktu, tenaga, dan pikiran bangsa ini, masalah
kebangsaan merupakan inti permasalahan sesungguhnya.
Tidak dapat ditawar-tawar lagi bahwa semangat dan jiwa kebangsaan wajib dibangun agar bangsa ini dapat
keluar dari kegalauan yang berkepanjangan. Oleh karena itu, di tengah ingar-bingar isu politik dan tekanan
pelemahan perekonomian global, ada baiknya dilakukan refleksi dan kontemplasi sejenak. Tujuannya, menata
kembali roh dan cita-cita perjuangan kemerdekaan sejati yang diwariskan para pendahulu dan pendiri bangsa.
Kebangsaan, Kemerdekaan
Hari Kebangkitan Nasional pada 20 Mei dan Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus selalu diperingati
setiap tahun dengan serangkaian upacara seremonial yang meriah, penuh warna merah putih. Kita seperti
dilarutkan dan tenggelam dalam nostalgia semangat perjuangan, heroisme, dan nasionalisme.
Kemeriahan seremonial seolah-olah sebuah pembenaran bahwa kita semua sudah berperilaku pada koridor
kebangsaan yang benar. Namun, apakah kita sungguh-sungguh telah memahami esensi mengapa dan untuk
apa kedua hari besar nasional tersebut diperingati? Kemeriahan upacara peringatan berbagai hari besar
nasional yang tampak masih sebatas ritual dan upacara peringatan semata, belum sepenuhnya membuat kita
semua memahami esensi di balik upacara peringatan tersebut.
Sebagai bangsa yang berideologi Pancasila dan ber-Bhinneka Tunggal Ika dapat dilihat dan dirasakan bahwa
perlahan tapi pasti, dari waktu ke waktu nilai-nilai Pancasila semakin jauh dari praktik kehidupan masyarakat.
Konflik di antara warga masyarakat hingga para elite politik semakin mencuat terbuka ke ruang publik.
Perbedaan dan keragaman suku dan agama kini kerap dipermasalahkan. Musyawarah untuk mufakat dan
semangat kegotongroyongan semakin langka ditemukan dalam kehidupan masyarakat. Keadilan hanya
menjadi hak kalangan yang memiliki kekuasaan, koneksi politik, maupun kemampuan ekonomis. Kelompok
kuat menekan serta menguasai kelompok lemah dan tidak mampu, serta masih banyak persoalan kebangsaan
lainnya yang dihadapi bangsa ini.
Apakah ini ialah tujuan dan cita-cita kemerdekaan? Jika kita melihat kembali ke belakang, Bung Karno pada
1933 dalam salah satu risalah politiknya berjudul Mencapai Indonesia Merdeka, menyatakan membangun
Indonesia merdeka tidak hanya melepaskan diri dari belenggu penjajah asing, tetapi juga lepas dari segenap
sistem penindasan yang mungkin dijalankan bangsa Indonesia sendiri setelah negara ini merdeka.
Itulah konsep kemerdekaan yang diimpikan Bung Karno selama 12 tahun sebelum kemerdekaan Indonesia
diproklamasikan, sebuah konsep kemerdekaan yang meniadakan penindasan manusia atas manusia. Inilah
yang seharusnya terus diperjuangkan agar kita memiliki martabat di negeri sendiri dan memiliki wibawa di
negeri orang.
Tantangan dan Harapan
Bangsa ini punya rasa, karsa, tekad, hasrat, dan punya segalanya untuk pembangunan. Kita hanya
membutuhkan semangat kebangsaan yang mengedepankan semangat kebersamaan dan kegotongroyongan.
Karena pelemahan kebangsaan dapat dinetralisasi dengan semangat kebersamaan yang berlandaskan cinta
Tanah Air dan proses gotong royong di antara simpul-simpul kekuatan bangsa, seperti akademisi, kaum
profesional, generasi muda, TNI, Polri, tokoh agama, partai politik, serta masyarakat lainnya.
Namun, proses gotong royong yang kukuh hanya bisa dibangun berdasarkan proses komunikasi yang lancar
dan penuh kekeluargaan. Hal inilah yang perlu menjadi prioritas saat kita menginginkan arsitektur
kebangsaan yang kuat dan kukuh. Kuat atau tidaknya kadar kebangsaan tentu tidak dapat hanya dibebankan
kepada institusi negara atau pemerintah.
Program-program penguatan kebangsaan yang telah dilakukan negara dan berbagai kalangan lainnya, tentu
tidak berpengaruh besar apabila tidak disertai kebangkitan kesadaran politik masyarakat dan kesadaran
tanggung jawab elite pemimpin di berbagai tataran akan tugas dan tanggung jawabnya. Pada titik ini,
kebangsaan menghadapi tantangan terbesarnya mengingat ego sektoral dan ego kelompok semakin
menguat. Sementara pemahaman kebangsaan generasi penerus cenderung pragmatis dan begitu cair.
Mengapa?
Karena, kini kita berhadapan dengan generasi Y dan generasi Z yang dibesarkan oleh kefanatikan dunia maya
dan media sosial. Tantangannya, di tengah menguatnya ego sektoral dan kelompok, bagaimana
mentransformasikan semangat kebangsaan kepada generasi yang interaksi sosialnya didominasi oleh gawai
(gadget), dan tidak pernah merasakan semangat gotong royong secara fisik? Dengan demikian, menjadi
keharusan bahwa teladan dan pendidikan yang punya faktor konstan nilai-nilai kebangsaan, harus
memikirkan variasi, bentuk, dan model dinamis yang disesuaikan dengan perubahan karakteristik setiap
generasi ke depan.
Yang jelas, esensi kebangsaan tidak pernah terpengaruh perubahan zaman maupun generasi. Kita hanya
membutuhkan konsistensi pemahaman atas konsep kebangsaan yang kita yakini. Di atas itu semua, yang
terpenting adalah keteladanan yang tulus dari para elite pemimpin sebagai pembawa pesan-pesan
kebangsaan dan bukan keteladanan yang bernuansa pencitraan belaka. Kita tidak perlu menunggu adanya
teladan untuk melakukan hal benar jika masing-masing mampu bangkit dan menyediakan diri untuk menjadi
teladan, minimal untuk diri kita.
Bila kita mampu melakukan revolusi mental terhadap diri sendiri dan menjadi teladan bagi lingkungan
terkecil di sekitar kita, di saat itulah ukuran kebangsaan rakyat kita bukan lagi hanya pada hitungan-hitungan
ekonomis dan prestise semu, melainkan pada situasi dan kondisi yang saling percaya, melindungi, menjaga,
dan saling membangun.
Pada 19 Desember 2015, diperingati sebagai Hari Bela Negara. Nilai-nilai kebangsaan sepatutnya menjadi
roh dan perlu ditanamkan serta dibangkitkan dalam program bela negara. Bela negara ialah soft power yang
harus terus dibangun untuk menyongsong Indonesia jaya pada 2045. Ketika Republik Indonesia mencapai
usia 100 tahun, hendaknya menjadi momentum pencapaian bangsa sebagai buah dari semangat kebangsaan,
yang secara nyata diejawantahkan dalam hidup dan kehidupan kita sebagai manusia merdeka dalam
perjuangan roh demi kemerdekaan sejati. Selamat Hari Bela Negara.
Dilema Nikah Siri (http://lampost.co/berita/dilema-nikah-siri)
Penulis : Budi Susilo Soepandji, Guru Besar Universitas Indonesia, Bekerja di Lemhannas RI
Editor : Ricky Marly
dibaca : 1472 Kali
Tweet
2
3Suka Bagikan
Bagikan
0 komentar
Urut Berdasarkan
Facebook Comments Plugin
Paling Lama
Tambahkan Komentar...
OPINI