20
42 e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627 NIKAH SIRRI DALAM PERSPEKTIF ISLAM Asripa 1 , Yulistian Hartini 2 , Ike Septiyanti 3 Nurul Widiya Agustin 4 Nikmatul Musayadah 5 ,Aynaul Karomah 6 Email : [email protected] Sekolah Tinggi Agama Islam Muhammadiyah Abstrak Penulisan “Nikah Sirri dalam Perspektif Islam (Telaah Terhadap Kompilasi Hukum Islam)”, untuk mengungkap berbagai masalah diantaramya: (1) Apa pengertiam dari nikah dan nikah sirri (2) Faktor-faktor penyebab terjadinya nikah sirri, (3) Proses pelaksanaan nikah sirri (4) Bagaimana nikah sirri dalam perspektif Islam dan (5) Akibat-akibat yang timbul dari pernikahan sirri serta dampaknya pada pelaku nikah sirri dan keluarganya. Kata Kunci : Nikah, Sirri, Islam Abstract Writing "Sirri Marriage in Islamic Perspective (Study of Compilation of Islamic Law)", to uncover various problems such as: (1) What is the understanding of sirri marriage and marriage (2) Factors causing the occurrence of Sirri marriage, (3) The process of implementing Sirri marriage (4) How to Sirri marriage in an Islamic perspective and (5) The consequences arising from Sirri marriage and its impact on Sirri marriages and their families. Keywords: Marriage, Sirri, Islam PENDAHULUAN Dalam sejarah sering disebutkan masalah-masalah krusial yang berkaitan dengan ke hidupan manusia dan hubungannya dengan seksual. Bukan hanya manusia saja bahkan seekor binatang mempunyai naluri dalam hal seksual. Oleh sebab itu Allah manciptakan makhluknya dengan berpasang- pasangan. Itulah yang disebut naluri makhluk, Setiap mahluk memiliki pasangan dan selalu berusaha untuk mendapatkan pasangannya. Tiada naluri yang lebih dalam dan kuat dorongannya melebihi naluri dorongan pertemuan dari dua lawan jenis seperti laki-laki dan perempuan, jantan dan betina, positif dan negatif. Seperti itu Tuhan mengatur semua agar mahlukNya dapat hidup berpasangan.(Muhsin, 2018).

NIKAH SIRRI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

  • Upload
    others

  • View
    23

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: NIKAH SIRRI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

42 e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

NIKAH SIRRI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Asripa1 , Yulistian Hartini2, Ike Septiyanti3 Nurul Widiya Agustin4

Nikmatul Musayadah5 ,Aynaul Karomah6

Email : [email protected]

Sekolah Tinggi Agama Islam Muhammadiyah

Abstrak

Penulisan “Nikah Sirri dalam Perspektif Islam (Telaah Terhadap Kompilasi

Hukum Islam)”, untuk mengungkap berbagai masalah diantaramya: (1) Apa

pengertiam dari nikah dan nikah sirri (2) Faktor-faktor penyebab terjadinya

nikah sirri, (3) Proses pelaksanaan nikah sirri (4) Bagaimana nikah sirri dalam

perspektif Islam dan (5) Akibat-akibat yang timbul dari pernikahan sirri serta

dampaknya pada pelaku nikah sirri dan keluarganya.

Kata Kunci : Nikah, Sirri, Islam

Abstract

Writing "Sirri Marriage in Islamic Perspective (Study of Compilation of

Islamic Law)", to uncover various problems such as: (1) What is the

understanding of sirri marriage and marriage (2) Factors causing the

occurrence of Sirri marriage, (3) The process of implementing Sirri marriage

(4) How to Sirri marriage in an Islamic perspective and (5) The consequences

arising from Sirri marriage and its impact on Sirri marriages and their

families.

Keywords: Marriage, Sirri, Islam

PENDAHULUAN

Dalam sejarah sering disebutkan masalah-masalah krusial yang

berkaitan dengan ke hidupan manusia dan hubungannya dengan seksual.

Bukan hanya manusia saja bahkan seekor binatang mempunyai naluri dalam

hal seksual. Oleh sebab itu Allah manciptakan makhluknya dengan berpasang-

pasangan. Itulah yang disebut naluri makhluk, Setiap mahluk memiliki

pasangan dan selalu berusaha untuk mendapatkan pasangannya. Tiada naluri

yang lebih dalam dan kuat dorongannya melebihi naluri dorongan pertemuan

dari dua lawan jenis seperti laki-laki dan perempuan, jantan dan betina, positif

dan negatif. Seperti itu Tuhan mengatur semua agar mahlukNya dapat hidup

berpasangan.(Muhsin, 2018).

Page 2: NIKAH SIRRI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 01 , Maret 2020

e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

43

Sebagai sepasang manusia yang ingin hidup harmonis maka kedua

belah pihak harus bisa bekerja sama dan salah satu bentuk perwujudan kerja

sama tersebut adalah pernikahan. Sebelum adanya pernikahan seperti yang kita

kenal saat ini sebagai bentuk perwujudan kerjasama dari pengaturan antara

seorang pria dan wanita dalam menyalurkan naluri seksualnya dapat kita

pelajari tentang adat istiadat sebelum datangnya ajaran islam. (Muhsin, 2018)

Perkawinan atau pernikahan adalah suatu ikatan lahir dan batin yang

terinstitusi dalam sebuah lembaga yang kokoh dan diakui secara agam dan

hukum (Edi Gunawan, 2013). Dalam Al-Qur’an secara normatif manusia

selalu dianjurkan untuk hidup berpasangan dengan tujuan terwujudnya

keluarga bahagia, sejahtera dan tentram (sakinah mawaddah warahmah).

Alqur’an juga menjelaskan bahwa perkawinan adalah suatu perjanjian yang

kuat. Allah berfirman dalam surah Annisa’ ayat 21 :

Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali. Padaha sebagian

kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami isteri. Dan

mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.”

(QS. An- Nisa’ : 21)

(Undang-undang perkawinan, 2004) Perkawinan juga merupakan

sebuah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan wanita sebagai suami

isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam Pernikahan manusia memperoleh keseimbangan hidup secara

biologis, psikologis serta secara sosial. Karenanya, pernikahan menjadi sangat

penting bagi umat manusia selain itu, dalam pernikahan juga terdapat keadilan

dan kesetaraan gender yang berdasarkan pada prinsip-prinsip yang

memberikan posisi pada laki-laki dan perempuan adalah sama sebagai hamba

Tuhan. Sebagaimana Firman Allah dalam surat an-Nahl(16): 97, al-A‟raf; (7):

172, dan surat al-A‟raf; (7): 22. (Asnawi, 2016)

Pernikahan dalam Islam termasuk dalam kategori ibadah. Pernikahan

juga sunnatullah atas seluruh ciptaan-Nya, tidak terkecuali manusia, hewan

dan tumbuh-tumbuhan (Habib Ismail and Nur Alfi Khotamin, 2017).

Aspek yang paling banyak diterapkan oleh kaum muslimin di seluruh

dunia adalah hukum perkawinan ,jika dibandingkan dengan hukum-hukum

muamalah yang lain (Anderson, 1994). Perkawinan merupakan ikatan yang

kokoh (mistaqon gholidan) dan akan syah kila telah memenuhi rukun dan

syarat pernikahan. Para ulama menyimpulkan berdasarkan al-quran dan hadist

yang masuk dalam rukun nikah antara lain yaitu kedua calon mempelai ,wali

nikah, 2 orang saksi ,ijab qobul sedangkan menurut pendapat syafi’i hanafi dan

hambali adanya saksi merupakan suatu kewajiban(Yunus, 1996).

Page 3: NIKAH SIRRI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

44 e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

Tidak adanya hubungan nasab antara suami dan istri ,tidak adanya

batasan sighot dan ijab qobul,tidak ada paksaan antara keduanya, adanya 2

orang yang bersaksi ,jelasnya keberadaan calon suami dan istri tidak sedang

menjalakan ihram, adanya mas kawin(mahar) ,sepakat dari kedua belah pihak

untuk tidak menyembunyikan akan nikah dan diantara kedua mempelai tidak

sedang menderita penyakit kronis serta adanya seoran wali merupakan syarat

sahnya menurut wahbah zuaili (Zuaili, 1989).

Berdasarkan penjelasan diatas tentang rukun dan syarat nikah maka

tidak ada penyebutan tentang pencatatan sebuah pernikahan . Adanya saksi

dianggap telah kuat untuk keabsahan sebuah perkawinan(Edi Gunawan, 2013).

Sebagai langkah awal untuk mendapatkan jaminan hukum dalam suatu

perkawinan maka dilakukan proses pencatatn pada inststansi terkait . Hal ini

tidak berlaku bagi seluruh umat yang menganut agama islam saja namun

berlaku bagi semua umat yang menganut agama Kristen, katolik , hindu, dan

budha. Dalam UU No.22 tahun 1946 jo,UU N0.32 1954 dijelaskan tentang

pencatatan nikah, talak, rujuk (penjelasan Pasal 1) .Selain itu juga dijelaskan

dalam Dalam UU No 1 tahaun 1974 dan tentang pernikahan yang terdapat di

pasal 2 ayat 2 serta diperkuat inpres RI No. 1 tahun 1991 yang berisi kompilasi

hukum di pasal 5 dan 6 (Edi Gunawan, 2013).

Pencatatan perkawinan mempunyai tujuan untuk mewujudkan

kemaslahatan bagi semua pihak yang terlinat dalam sebuah perkawinan

termasuk didalamnya anak –anak dan keluarga .Selain itu untuk menghindari

kemungkinan terburuk (Mafsadat) yaitu terhindar dari fitnah. Maslahat dan

mafsadat pencatatan perkawinan bersifat pribadi dan relatif bergantung pada

situasi dan kondisi yang bersangkutan. Dalam kaidah ushul fiqih dijelaskan

bahwa menghindari kemungkinan terburuk yang dapat menyebabkan

kerusakan harus didahulukan daripada menarik maslahat (Dar’ul Mafasid

Muqoddamun Ala Jalbil Masholih )Jadi untuk tidak mencatatkan suatu

perkawinan maka seseorang harus berfikir secara jernih untuk

mempertanggung jawabkannya untuk alasan tersebut diatas (Khoiriyah, 2017).

Maka menurut penulis para calon mempelai melakukan pencatatan

perkawinan walaupun tidak berpengaruh terhadap sahnya suatu perkawinan.

Pernikahan yang dilakukan menurut syariat islam dan tanpa dilakukan

pencacatan ke KUA maka pernikahan tersebut dikategorikan sebagai

pernikahan sirri . Secara agama permnikahan tersebut sah , namus secara

hukum Indonesia pernikahan tersebut belum sah karena belum dicatat di KUA

dan status hukum anak-anak yang dilahirkan hasil dari pernikahan sirri sama

dengan statusnya dengan anak yang dilahirkan di luar nikah yang hanya

memiliki hubungan hukum dengan pihak ibu. Hal ini tertuang dalam UU

perkawinan pasal 43 Ayat 1 disebutkan, “Anak yang dilahirkan di luar

Page 4: NIKAH SIRRI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 01 , Maret 2020

e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

45

perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga

ibunya”(Undang-undang perkawinan, 2004). Otomatis secara hukum Negara

anak yang dilahirkan dari pernikahan sirri tidak mempunyai tidak mempunyai

hukum dengan ayahnya.

Polemik yang berkembang saat ini diakalangan masyarakat tentang

nikah sirri adalah ada sebagian masyarakat yang pro dan juga tidak sedikit

yang kontra terhadap praktek nikah sirri tersebut . Masyarakat yang kontra

menganggap nikah sirri banyak merugikan perempuan dan anak-anak yang

dilahirkan (Hadi, 2018).

Kemudian muncul beberapa alasan tentang tentang dilakukannya nkah

sirri meskipun banyak resiko yang akan dihadapi,utamanya dikalangan

masyarkat yang berekonomi lemah dan awan tentang hukum. Dari aspek

ekonomi prosedur pernikahan sirri yang praktis dan tidak dipungut biaya

menjadi alasan kuat dilaksanakannya pernikahan sirri . Sedangkan dari aspek

agama nikah sirii dapat menghindarkan diri dari melakukan dosa dan terjebak

dalam perbuatan maksiat yang mengakibatkan ketenangan bathin bagi

seseorang yang melakukan pernikahan sirri (Edi Gunawan, 2013).

PEMBAHASAN

Pengertian Nikah Dan Nikah Sirri

Nikah adalah bentuk mashdar dari kata “Nakaha-yankihu-nikah” ( نكح

)”dan “berkumpul (الوطء) ”yang asal mula artinya adalah “bersetubuh (ينكح نكاح

1. Pendapat ini sama dengan (Ahmad Warsun Munawwir, 1984)(الجمع

beberapa pendapat ulama Fiqh, yang memberikan arti dasar kata “Nikah”

dengan makna yang sama dan menambahkannya dengan makna “memasukkan

dipakai dalam pengertian bersetubuh” (الدخو)ل ((al-Imam Taqiyuddin bin Abu

Bakaral-Imam Muhammad Bin Isma’il Kahlani al- Shan’ani, n.d.). Dalam

tinjauan Ulama Tafsir disebutkan bahwa di dalam al-Quran terdapat dua kata

kunci yang menunjukkan konsep pernikahan, yaitu zawwaja ( وجز ) dan kata

derivasinya berjumlah lebih kurang dalam 20 ayat dan nakaha (نكح) dan kata

dalam konteks pembicaraan ini adalah ikatan (aqad ) perkawinan(Raghib al-

Isfahaniy, 2007). Lebih jauh dalam al-Qur’an, istilah perkawinan yang biasa

disebut dengan نكاح dan ميثاق (perjanjian) (surat al-Nisa’ ; 3 dan al-Nur ; 32

dengan kata misaq dalam surat al-Nisa’ ; 21). (Musfir al-Jahrani, 1994) dan

ada pula yang mengartikan dengan arti sebenarnya bahwa nikah berarti

.dham”(menghimpit), atau “menindih”. (Ali Ahmad al-Jurjani, 1975)“ضام

Dalam pemakaian bahasa sehari-hari perkataan “nikah” lebih banyak dipakai

dalam arti kiasan dari pada arti yang sebenarnya.

Dalam masalah perkawinan, para ahli fiqh mengartikan nikah menurut

arti kiasan. Mereka berbeda pendapat tentang arti kiasan yang mereka pakai.

Page 5: NIKAH SIRRI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

46 e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

Abu Hanifah memakai arti “setubuh”, sedang al-Syafi’i memakai arti

“mengadakan perjanjian perikatan”(Abd. Al-Rahman al-Jazairi, 1969).

Ditinjau dari segi adanya kepastian hukum dan pemakaian perkataan “nikah”

di dalam al-Qur’an dan Hadis-hadis Nabi, maka “nikah” dengan arti

“perjanjian perikatan” lebih tepat dan banyak dipakai dari pada “nikah” dengan

arti “setubuh” (Kamal Muchtar, 1996).

Ada dua kemungkinan arti kata na-ka-ha itu namun dimana antara dua

kemungkinan tersebut yang mengandung makna sebenarnya terdapat

perbedaan pendapat di antara ulama. Golongan Syafiiyah berpendapat bahwa

kata nikah itu berarti akad dalam arti yang sebenarnya (hakiki) bisa juga

dimakani hubungan kelamin dalam arti yang tidak sebenarnya (majazi)(Amir,

2006).

Para Ahli fiqih dalam masalah perkawinan mengartikan nikah sebagai

arti kiasan dan pendapat mereka berbeda tentang arti kiasan yang dipakai.

Sedangkan menurut golongan hanafiah nikah memiliki 2 makna yaitu

makna hakiki dan makna majazi. Menurut makna hakiki Nikah adalah

bersetubuh ,sedangkan menurut makna majazi nikah adalah yang

menjadikannya halal berhubungan antara laki-laki dan perempuan. Para Ulama

seperti Abu Qasim Al-Zajjad, Imam Yahya, Ibnu Hazm dan sebagian ulama

Hanafiyah antara bersetubuh dan akad memiliki makna yang sama . Adapun

ulama Ahli fiqih memaknai nikah yaitu akad yang diatur oleh agama untuk

memeberikan hak penuh kepada laki-laki untuk memilih wanita yang

dicintainya. (Husen, 2003).

Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya al-ahwal al-syakhsiyyah,

mendefinisikan nikah sebagai akad yang menghasilkan ketentuan berupa

halalnya melakukan hubungan anatara laik-lai dan perempuan ,saling taolong

menolong dan memiliki hak dan kewajiban yang sama. (Zahrah, 2018).

Imam Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya Kifayat al Akhyar juga

mendefinisikan nikah sebagai al wat’ yaitu akad yang terdiri dari rukun dan

syarat antara hubungan laki-laki dan perempuan(Taqiyyuddin, 2016).

Seorang ahli fiqih wahbah azzuhaili mendifinisikan nikah adalah akad

yang telah ditetapkan oleh islam agar seorang laki-laki dan seorang perempuan

dapat berhubungan layaknya suami istri sesuai dengan norma-norma dalam

agama islam (Zuaili, 1989).

Abû Zahrah di dalam kitabnya al-Ahwãl al-Syakhsiyyah,

mendefinisikan nikah sebagai akad yang menimbulkan akibat hukum berupa

halalnya melakukan persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan, saling

tolong menolong serta menimbulkan hak dan kewajiban(Zahrah, 2018)

Page 6: NIKAH SIRRI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 01 , Maret 2020

e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

47

Dari definisi diatas sudah jelas bahwa laki-laki berhak atas segala

sesuatu yang dimiliki oleh perempuan baik secara fisik dan mental (Muhsin,

2018).

Sedangkan Nikah Sirri menjadi topik menarik untuk dibicarakan,

bukan karena nikah sirri dilakukan secara sembunyi dan menuai kontroversi

,melainkan karena nikah sirri tersebut sudah menjadi hal yang biasa dilakukan

dikalangan pejabat,selebriti,praktisi politik ,tokoh agama maupun rakyat biasa.

Bahkan realitanya nikah sirri di masyarakat Indonesia mengakibatkan banyak

masalah yang cukup rumit , mulaidarai masalah ekonomi, social, budaya,

hukum dan pendidikan. (Muhsin, 2018).

Dalam bahasa arab nikah sirri disebut nikāh al-sirr yaitu pernikahan

yang dilakukan secara rahasia, tanpa publikasi atau tanpa walîmah(Munawwir,

1973). Dilihat dari kata-kata sirri itu berarti “sembunyi-sembunyi” atau

“tidakterbuka”. Jadi nikah sirri berarti nikah sesuai dengan ketentuan agama

Islam, tetapi tidak dicatat di dalam pencatatan administrasi pemerintah (KUA)

atau nikah sesuai dengan ketentuan agama Islam dan dicatat oleh pencatat

nikah, tetapi tidak dipublikasikan dalam bentuk walimah(M. Thahir Maloko,

2015).

Nikah Sirri dibagi menjadi tiga macam yaitu : 1) Nikah tanpa wali yaitu

nikah yang dilakukan tanpa hadirnya seorang wali keluarga daro salah satu

pihak baik dari pihak laki-laki maupun perempuan. 2) Nikah dibawah tangan

yaitu nikah yang dilakukan sesuai dengan rukun dan syarat dalam agama islam

tetapi tidak tercatat dalam PPN. 3) Nikah tanpa walimah yaitu mikah yang

sudah tercatat namun tidak ada perayaaan suatu apapun(Zuhri, 2018).

Dari ketiga pengertian tersebut dapat didefinisikan bahwa nikah sirri

adalah nikah yang dilangsungkan sesuai dengan ketentuan dalam agama islam

, tetapi ,asih bersifat kekeluargaan dan belum tercatat dalam pegawai

pencatatan nikah (PPN) sehingga tidak mendapatkan akat nikah. Masyarakat

juga sering menyebutnya dengan nikah modin, Nikah kyai atau nikah secara

agama (Muhsin, 2018).

Ditinjau dari segi social nikah sirri dibagi menjadi dua bentuk Yaitu :

1) Pernikahan yang berlangsung secara rahasia antara laki-laki dan perempuan

tanpa kehadiran wali dan saksi sehingga pernikahan ini tidak sah karena tidak

memenuhi syarat dan rukun nikah. 2) Pernikahan yang berlangsug secara

rahasia dengan rukun dan syarat nikah yang lengkap seperti ijab qobul wali

dan saksi(Arsal, 2012).

Faktor-faktor Penyebab Nikah Sirri

Nikah sirri dilakukan pada umumnya karena ada sesuatu yang

dirahasiakan , atau karena mengandung suatu masalah. Oleh karena nikah sirri

Page 7: NIKAH SIRRI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

48 e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

mengandung masalah, maka masalah itu akan berakibat menimpa pada orang

yang bersangkutan , termasuk anak-anak yang dilahirkan dari pernikahan sirri

(Widiastuti, 2008).

Bermacam alasan yang melatarbelakangi seseorang melakukan nikah

sirri. Ada yang menikah karena terbentur ekonomi, sebab sebagian pemua

tidak menanggung biaya pesta, menyiapkan rumah milik dab harta gono gini,

maka mereka memilih menikah dengan cara misyar yang penting halal, hal ini

terjadi sebagian besar di Negara arab. Ada juga yang tidak mampu

mengeluarkan dana untuk mendaftarkan diri ke KUA yang dianggapnya begitu

mahal. Atau malah secara finansial pasangan ini cukup untuk membiayai,

namun karena khawatir pernikahannya tersebar luas akhirnya mengurungkan

niatnya untuk mendaftar secara resmi ke KUA atau catatan sipil. Hal ini untuk

menghilangkan jejak dan bebas dari tuntutan hukum dan hukuman

administrasi dari atasan, terutama untuk perkawinan kedya dan seterusnya

(bagi pegawai dan TNI) (M. Thahir Maloko, 2015)

Adapun faktor-faktor penyebab terjadinya nikah sirri di kalangan

masyarakat yaitu (Adillah, 2011):

Pertama, faktor ekonomi, sebagian masyarakat yang memiliki

ekonomi menengah kebawah tidak mampu membayar biaya administrasi

pencatatan nikah yang mahal , sehingga mendorong masyarakat untuk nikah

Sirri.

Adanya kebiasaan yang terjadi di masyarakat, bahwa seorang

mempelai laki-laki selain ada kewajiban membayar mahar, juga harus

menanggung biaya pesta perkawinan yang cukup besar (meskipun hal ini

terjadi menurut adat kebiasaan), di daerah jawa tengah selain mahar ada juga

biaya untuk serah-serahan (pemberian biaya untuk penyelenggaraan

pernikahan), alasan ini pula yang menjadi penyebab laki-laki yang

ekonominya belum mapan lebih memilih menikah dengan cara diam-

diam,yang penting halal alias ada saksi tanpa harus melakukan pesta pada

pernikahan pada umumnya.

Kedua, faktor belum cukup umur, sebagian besar orang tua merasa jika

anak perempuannya sudah menikah , maka beban keluarga menjadi berkurang

meskipun usia anak mereka masih dibawah umur.

Ketiga, faktor ikatan suatu lembaga tertentu, sebagian besar seatu

lembaga tertentu tidak mengidzinkan menikah selama waktu tertentu sesuai

dengan perjanjian yang telah disepakati.

Keempat, Faktor persepsi yang salah, masih bnyak masyarakat yang

beranggapan bahwa nikah sirri sah menurut agama ,sedangkan pencatatan

hanyalah bagian dari tertib administrasi. Menurut UU 1 tahun 1974 tenteng

pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) tentang perkawinan yang menyatakan bahwa

Page 8: NIKAH SIRRI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 01 , Maret 2020

e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

49

perkawinan dikatakan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agama dan kepercayaannya itu dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut

peraturan perundang-undangan yang berlaku (Rofiq, 2000).

Kelima, Faktor kenakalan remaja, kenakalan remaja merupakan kasus

yang hampir dialami oleh sebagian besar remaja. Hal ini terjadi karena

hilangnya norma-norma dan nilai agama pada remaja saat ini. Sehingga budaya

apacaran pun menjadi wajib hukumnya,bahkan sampai mengakibatkan hamil

di luar nikah. Kehamilan ini merupakan aib bagi keluarga sehingga oragtuanya

harus menikahkan anaknya secara sirri dengan laki-laki yang menghamilinya

dengan alasan menyelamatkan nama baik keluarga.

Keenam, Faktor kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat

tentang pernikahan, masyarakat Indonesia yang mayoritas berpendidikan

rendah tetap beranggapan bahwa pernikahan yang dicatat sama saja . sehingga

sebagian besar dari mereka lebih memilih nikah sirri , hal ini karena nikah sirri

lebih mudah dan tidak perlu mengurus administrasi-adminstrasi tertentu.

Sedangkan dalam undang-undang pernikahan dikatakan bahwa “Tiap-tiap

perkawinan dicatat menurut peraturan yang berlaku (Pasal 2 ayat (1) Undang-

undang nomor 1 tahun 1974). Bagi mereka yang melakukan perkawinan

menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA).

Sedang bagi yang beragama Katholik, Katholik, Kristen, Budha, Hindu,

pencatatan itu dilakukan di Kantor Catatan Sipil (KCS)”.

Ketujuh, faktor sosial. Faktor sosial, yaitu masyarakat sudah terlanjur

memberikan stigma negatif kepada setiap orang (laki-laki) yang menikah lebih

dari satu (berpoligami), maka untuk menghindari stigma negatif tersebut,

seseorang tidak mencatatkan pernikah- annya kepada lembaga resmi.

Kedelapan, sulitnya aturan berpoligami. Untuk dilakukannya

pernikahan yang kedua, ke- tiga dan seterusnya (poligami) ada beberapa syarat

yang harus dipenuhi, sesuai dengan syarat poligami yang dijelaskan dalam

Pasal 5 Undang-undang No 1 tahun 1974 yaitu harus mendapat izin dan

persetujuan dari istri sebelumnya. Hal ini diharapkan dapat memperkecil

dilakukannya poligami bagi laki-laki yang telah menikah tanpa alasan tertentu.

Dan karena sulit untuk mendapatkan ijin dari istri, maka akhirnya suami

melakukan nikah secara diam- diam atau nikah sirri(Susetyo, 2007).

Kesembilan, masih adanya masyarakat yang melakukan nikah sirri

karena tidak ada yang mau mengambil tindakan yang tegas. Dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 45 menyatakan:

(1) Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang

berlaku, maka:

Page 9: NIKAH SIRRI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

50 e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

a) Barang siapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, 10

ayat (3), 40 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda

setinggi-tingginya Rp. 7.500 (tujuh ribu lima ratus rupiah);

b) Pegawai Pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 6,

7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 13, 44 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan

hukuman kurungan selama lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-

tingginya Rp. 7.500 (tujuh ribu lima ratus rupiah).

(2) Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1) di atas merupakan

pelanggaran.

Pegawai Pencatat Nikah atau aparat penegak hukum mestinya

memberikan sanksi secara tegas terhadap pelaku nikah sirri yang tidak

bertanggung jawab dan mengabaikan kewajibannya, hal ini untuk membuat

jera pelaku, meskipun sanksi yang ada cukup ringan(Adillah, 2011).

Pelaku nikah sirri yang tidak bertanggung jawab dan mengabaikan

kewajibannya yang diproses secara hukum, akan memberikan gambaran atau

contoh bahwa nikah sirri itu berdampak buruk baik terhadap suami, isteri

maupun anak-anaknya. Sebaliknya bila tidak diambil tindakan hukum, maka

masyarakat menganggap tidak masalah melakukan nikah sirri dan masyarakat

akan terus dan banyak yang tetap melakukan nikah sirri(Adillah, 2011).

Pelaksanaan Nikah Sirri

Sebagaimana layaknya pernikahan pada umumnya, nikah sirri

dilaksanakan sesuai dengan prosesi pernikahan Islam, yaitu ada calon

mempelai, wali, saksi, ijab qabul, dan mahar. Adapun yang membedakan

adalah pernikahan itu tidak tercatat di KUA. Dengan demikian, proses

pernikahan mereka tidak dilakukan pencatatan dan pengawasan oleh PPN,

tetapi cukup dinikahkan dengan orang yang dianggap memahami agama Islam

atau ditokohkan, seperti kiai. Pendapat yang muncul selama ini bahwa kiai

sangat berperan dalam proses pernikahan sirri(M. Thahir Maloko, 2015).

Sementara itu, pada umumnya pelaksanaan nikah sirri yang dilakukan

kebanyakan orang berlangsung di rumah, namun ada yang mendatangi tempat

tinggal kiai. Seperti halnya walimah yang dilaksanakan pada upacara

pernikahan, acara pernikahan sirri ini juga dihadiri oleh para undangan yang

rata-rata berjumlah 10 sampai dengan 20 orang yang terdiri dari lingkungan

keluarga, baik dari pihak pengantin laki-laki maupun pengantin perempuan

dan tetangga yang berada di dekat rumah(Setiawati, 2005)

Pernikahan resmi tampaknya berbeda dengan konsep nikah sirri yang

menyebutkan bahwa nikah sirri adalah nikah rahasia atau tersembunyi. Hal ini

menunjukkan bahwa pernikahan sirri bukan menjadi rahasia lagi karena

mereka juga melakukan walimah yang pada dasarnya adalah pengumuman

Page 10: NIKAH SIRRI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 01 , Maret 2020

e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

51

tentang pernikahan yang dilakukan. Ini artinya masyarakat secara umum

mengakui keberadaan orang-orang yang melakukan nikah sirri tanpa harus

mempertanyakan keabsahan pernikahan itu(M. Thahir Maloko, 2015).

Untuk sahnya pernikahan sirri ini pelaksanaannya seperti lazimnya

pernikahan dalam agama Islam, maka diharuskan adanya seorang wali yang

boleh menikahkan seorang perempuan dengan seorang laki-laki. Pada waktu

pernikahan dilangsungkan sebagian besar subjek menjadikan ayahnya sendiri

sebagai wali nikah, tetapi ada pula yang menggunakan saudara kandung.

Pernikahan selain harus ada wali, syarat lain yang harus terpenuhi dalam

pernikahan yaitu adanya saksi. Saksi yang hadir dalam pelaksanaan nikah sirri

selain dua orang laki-laki juga ada subjek yang menghadirkan dua orang

perempuan atau satu orang laki-laki(M. Thahir Maloko, 2015).

Persyaratan lain sebagai salah satu syarat sahnya pernikahan adalah

ijab qabul atau akad nikah. Syahar dalam tulisannya menyatakan bahwa para

mazhab meletakkan ijab qabul sebagai syarat mutlak pertama dari perkawinan.

Ijab qabul dilakukan antara wali mempelai perempuan dengan mempelai laki-

laki. Ijab qabul dalam nikah sirri dilaksanakan sama halnya jika mereka

menikah didepan penghulu, perbedaannya hanya tidak ada pencatatan(M.

Thahir Maloko, 2015).

Berbeda dengan pernikahan yang dilakukan dengan pencatatan ,dimana

proses ijab qobul diucapkan pula sighot taklik suami kepada istri ,yaitu sebagai

berikut : Apabila saya meninggalkan istri saya 2 tahun secara berturut-turut

atau, saya tidak memberi nafkah wajib keapadanya 3 bulan lamanya atau, saya

menyakiti badan jasmani istri saya atau, saya membiarkan (tidak

memperdulikan ) istri saya 6 bulan lamamya . kemudian istri saya itu tidak

ridho dan mengadukan haknya kepada pengadilan agama atau petugas yang

memberinya hak untuk mengurus pengaduan itu dan pengaduannya

dibenarkan serta diterima oleh pengadilan atau petugas tersebut dan istri saya

membayar uang Rp.10.000 (Sepuluh ribu Rupiah)sebagai iwad atau pengganti

kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya (M. Thahir Maloko,

2015)

Jika memperhatikan proses sighat ta’lik dalam peraturan agama

Islam,kelihatannya hal itu tidak dilakukan oleh orang-orang yang melakukan

nikah sirri. Meskipun tidak wajib dan syarat sahnya pernikahan, sighat ta‟lik

dapat memberikan kepastian kepada perempuan karena pada intinya hal

tersebut merupakan janji seorang suami kepada istrinya, sehingga jika

diucapkan didepan orang banyak akan lebih baik(Setiawati, 2005).

Sesungguhnya mereka sadar bahwa pernikahan sirri yang dilakukan

tidak mempunyai kekuatan secara hukum karena tidak tercatat. Maka karena

itu mereka membuat surat keterangan yang menyatakan bahwa telah terjadi

Page 11: NIKAH SIRRI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

52 e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

pernikahan antara A dengan B. Walaupun orang-orang yang berpendidikan

menyadari bahwa posisi mereka lemah, mereka tetep berusaha memaksa pihak

suami, wali nikah dan saksi untuk menandatangani surat keterangan

tersebut(M. Thahir Maloko, 2015).

Syarat lain yang termasuk kewajiban adalah memberikan mahar kepada

pengantin perempuan oleh pengantin laki-laki. Pemberian tersebut sudah

disetujui oleh kedua pihak mengenai maskawin yang akan diberikan dan harus

diberikan dengan ikhlas. Dari ayat ini sudah jelas mengenai kewajiban suami

memberikan maskawin kepada calon istrinya. Apabila pernikahan tanpa

mahar, maka termasuk hutang suami jika tidak atau belum dilunasi dan

merupakan kewajiban istri untuk menagih, jika terjadi perceraian atau

suaminya meninggal dunia dan menjadi harta peninggalan suami yang

dipotong lebih dahulu sebelum dibagi-bagikan kepada ahli warisnya termasuk

istri itu sendiri sebagai jandanya(M. Thahir Maloko, 2015).

Menurut Ramayulis pemberian mahar tersebut untuk menghalalkan

hubungan badan antara kedua pasangan suami istri. Jika hutang mahar yang

belum pernah ia lunasi dan selama berkumpul sebagai suami istri hubungan

tersebut dihukumi haram(Ramayulis, 2001). Pernikahan merupakan bentuk

perjanjian antara laki-laki dan perempuan, yang mengakibatkan adanya hak

dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan. Hak dan kewajiban yang

melibatkan suami istri harus dilandasi kesamaan, keseimbangan dan keadilan

antara keduanya(M. Thahir Maloko, 2015). Ramayulis lebih lanjut membagi

hak dan kewajiban suami istri menjadi dua hal(Ramayulis, 2001):

a) Nafkah

Seorang suami mempunyai kewajiban untuk memberikan nafkah kepada

istri dan anak-anaknya. Akan tetapi kebanyakan dari pernikahan sirri ini

seorang istri tidak mendapat nafkah secara normal seperti rumah tangga

umumnya dari suami mereka, bahkan tidak jarang mereka tidak diberi

nafkah sepersenpun. Namun jika suami membelikan sesuatu terkadang ia

meminta dua buah dengan maksud satu untuk dirinya dan satu lagi untuk

istrinya.

b) Relasi Gender suami istri dalam nikah sirri

Pernikahan pada dasarnya untuk membentuk sistem persaudaraan dan

kekeluargaan yang didalamnya terkandung unsur pertemanan, keakraban

dan kebersamaan diantara mereka. Menurut Ramayulis persahabatan,

kebersamaan dan keakraban ini dibangun dengan cara yang baik, bisa

diterima dengan akal sehat dan tidak bertentangan dengan norma agama

Pertemanan, keakraban dan kebersamaan dapat dibangun oleh sebuah

keluarga jika dihiasi dengan mawaddah (cinta kasih) dan rahmah (kasih

sayang) antara suami dan istri dalam sebuah keluarga yang sakinah. Akan

Page 12: NIKAH SIRRI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 01 , Maret 2020

e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

53

tetapi tidak jarang keluarga dibangun seperti berdiri diatas api karena

didalamnya tidak terdapat cinta kasih dan kasih sayang, tetapi lebih banyak

diisi dengan pertengkaran dan tidak adanya rasa saling percaya satu sama

lain.

Nikah Sirri Dalam Perspektif Hukum Islam

Nikah sirri secara agama Islam hukumnya sah atau legal dan dihalalkan

apabila syarat dan rukun nikahnya terpenuhi pada saat nikah sirri dilakukan.

Rukun nikah yaitu: (1) Adanya kedua mempelai, (2) Adanya wali, (3) Adanya

saksi nikah, (4) Adanya mahar atau maskawin, (5) Adanya ijab kabul atau

akad(M. Thahir Maloko, 2015).

Nikah sirri dikatakan sah menurut hukum Islam nikah sirri sah apabila

(ada wali, saksi, ijab qabul dan mahar).Di dalam kompilasi hukum Islam Pasal

2 Ayat 1 ini, dijelaskan bahwasannya sebuah pernikahan adalah sah apabila

dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya. Ini berarti bahwa jika

suatu pernikahan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah

dilaksanakan (bagi umat Islam), maka pernikahan tersebut dikatakan sah

terutama di mata agama Islam dan kepercayaan masyarakat. Akan tetapi

sahnya pernikahan di mata agama Islam perlu disahkan lagi oleh negara, yang

dalam hal ini ketentuannya terdapat pada Pasal 2 Ayat 2 UU Perkawinan,

tentang pencatatan perkawinan. Bagi mereka yang melakukan pernikahan

menurut agama Islam pencatatan dilakukan di KUA untuk memperoleh Akta

Nikah sebagai bukti dari adanya pernikahan tersebut. (pasal 7 ayat 1 Kompilasi

Hukum Islam (KHI) "perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah

yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah")(Ramulyo, 2006).

Mengenai pencatatan perkawinan, dijelaskan pada Bab II Pasal 2 PP

No. 9 tahun 1975 tentang pencatatan perkawinan. Bagi mereka yang

melakukan pernikahan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di KUA.

Setiap orang yang akan melaksanakan pernikahan memberitahukan secara

lisan atau tertulis mengenai rencana perkawinannya kepada pegawai pencatat

di tempat perkawinan akan dilaksanakan, paling lambat 10 hari kerja sebelum

perkawinan dilangsungkan. Kemudian pegawai pencatat melakukan penelitian

apakah syarat-syarat pernikahan telah dipenuhi dan apakah tidak ada hal yang

menghalangi pernikahan tersebut. Lalu setelah dipenuhinya tata cara dan

syarat-syarat pemberitahuan serta tidak ditemukan suatu halangan untuk

perkawinan, pegawai pencatat mengumumkan dan menandatangani

pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melaksanakan pernikahan

dengan cara menempel surat pengumuman pada suatu tempat yang sudah

ditentukan dan mudah dibaca oleh umum(M. Thahir Maloko, 2015).

Page 13: NIKAH SIRRI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

54 e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

Menurut pandangan kedua madzhab yakni mahzab Hanafi dan

Hambali suatu pernikahan memenuhi syarat dan rukunnya maka sah menurut

agama Islam walaupun pernikahan itu adalah pernikahan sirri(M. Thahir

Maloko, 2015). Sedangkan menurut Kiyai Hosen Muhammad seorang

komisioner komnas perempuan menyatakan pernikahan laki-laki dewasa

dengan perempuan secara sirri merupakan pernikahan yang dilarang karena

pernikahan tersebut dapat merugikan seorang perempuan, sedangkan Islam

justru melindungi perempuan bukan malah merugikannya(Farid, 1999).

Nikah sirri sangat merugikan kaum wanita, diantara kerugian bagi

wanita, Bila terjadi perceraian, istri tidak dapat menuntut haknya ke

pengadilan, begitu juga dengan anak yang dilahirkannya, Bila suami

meninggalkannya, maka dia bebas tanpa harus mempertanggungjawabkannya,

karena tidak adanya catatan yang sah dalam pengadilan agama, Resiko

kekerasan dalam keluarga sangat besar dan suami tidak bisa dituntut secara

materi atau finansial, karena tidak adanya hukum yang mengaturnya.

Pernikahan sirri sebenarnya bertentangan dengan filosofi Islam yaitu:

1. Dalam islam pernikahan merupakan sebuah perjanjian yang kokoh (Q.s

Annisak 19 : 21 . Dan juga di sunnah oleh sabda nabi SAW.

Artinya : Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah

Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Perbuatan halal yang paling

dibenci Allah ialah cerai." Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah. Hadits

shahih menurut Hakim. Abu Hatim lebih menilainya hadits mursal.

2. Dalam islam seorang istri berposisi sebagai pakaian suami begitupun

sebaliknya maka dari itu suami istri harus mempunyai posisi yang sejajar

dan semitra dalam hukum islam “ Maqosid Assyari’ah” (konsep yang

menekankan tujuan penetapan hukum islam dalam upaya memilihara

kemaslahatan hidup manusia dengan makhluk mendatangkan kemaslahatan

dan menghindari dari bahaya)konsep nikah sirri bertentangan dengan

maslahat permen(Samin, 2008). Anak dari hasil nikah sirri tidak akan

mendapatkan perlindungan hukum maka dari itu pernikahan hendaklah

diumumkan seperti yang dianjurkan dalam syariat islam ,sebagai mana

sabda nabi :

Artinya: “bersabda Rasulullah SAW: umumkan perkawinan ini dan

jadikanlah akad nikah itu di masjid, serta pukullah rebana "

Bukan saja untuk menampakkan kegembiraan terjadinya hubungan

pernikahan antara laki-laki dan wanita itu, melainkan juga untuk menjadi

saksi sehingga dapat mempertanggung jawabkan sekian banyak isu negatif

yang boleh jadi muncul dikalangan masyarakat, atau penganiayaan yang

dapat terjadi atas salah satu pasangan. Saksi dalam pernikahan minimal dua

Page 14: NIKAH SIRRI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 01 , Maret 2020

e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

55

orang, memang ulama berbeda pendapat tentang fungsi saksi apakah

kehadiran mereka syarat bagi kesempurnaan pernikahan, yang minimal

harus ada sebelum bercampurnya pasangan suami istri, ataukah syarat

sahnya nikah, yang demikian kedua orang tersebut harus menyaksikan

pelaksanaan akad nikah. Namun, semua ulama sepakat untuk tidak

membenarkan nikah sirri (rahasia)(M. Thahir Maloko, 2015).

Dampak Positif dan Negatif Pernikahan Sirri Terhadap Perempuan

(Istri), dan Anak-anak Secara Hukum

Nikah sirri memiliki dampak yang sangat besar baik dari segi istri

,suami dan anak dari sisi positif maupun negatif. Akan tetapi dari sekian

banyaknya kasus pernikahan sirri yang terjadi adalah dampak negatifnya.

Yang mana dampak negative tersebut banyak dialami para istri dan anak-

anaknya daripada yang dialami suami (Adillah, 2011).

Dibawah ini akan dijelaskan beberapa dampak pernikahan sirri baik

dari segi positifnya ataupun negatifnya bagi seorang istri dan anak-anaknya.

Adapun dampak nikah sirri bagi wanita dan anak-anaknya telah diurauikan

secara terperinci sebagai berikut. (Adillah, 2011) :

Pertama, dapat menutupi hak-hak individu. Dengan melakukan nikah

sirri dapat menutupi kepentinga-kepentingan pihak-pihak yang

melatarbelakangi terjadinya pernikahan tersebut. Dan nikah sirri biasanya

dilakukan sebagi upaya menutpi aib dalam keluarganya agar masyarakat tidak

mengetahui atas apa yang melatarbelakangi pernikahan tersebut. Seperti

halanya hamil di luar nikah.

Demikian pula nikah sirri dilakukan karena adanya ikatan dinas atau

masih sekolah misalnya karena sudah terikat perjanjian kerja. Sementara itu

ada suatu hal yang mengharuskan seseorang untuk menikah akhirnya mereka

melakukan nikah sirri. Begitu juga dengan yang masih di bangku sekolah nikah

sirri dilakukan hanya untuk mengikat mempelai dan keluarganya ketika salah

satu dari calon mempelai melanjutkan studinya di luar negeri.

Kedua, tidak ada kehawatiran melakukan perzinahan. Salah satu alasan

terjadinya nikah sirri adalah agar tidak ada kehawatiran melakukan perzinahan,

baik yang terjadi dikalangan remaja yang masih sekolah maupun kalangan

orang dewasa (laki-laki yang sudah memiliki istri). Nikah sirri sering dianggap

solusi terbaik dari pada terjerumus pada sebuah dosa besar atau perzinahan.

Perkembangan zaman yang terjadi saat ini dikalangan remaja terutama

para mahasiswa yang ikut bergabung dalam kelompok-kelompok pengajian.

Apabila terdapat sepasang remaja yang memiliki perasaan suka sama suka atau

merasa cocok satu sama lain maka mereka akan melakukan nikah sirri (tidak

tercatat di KUA) daripada mereka harus terjerumus dalam senuah perzinahan.

Page 15: NIKAH SIRRI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

56 e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

Hal ini dilakukan disebabkan berbagai alasan diantaranya adalah apabila

mereka meminta restu terhadap orang tuanya hawatir orang tuanya tidak

merestuinya karena masih berda dalam masa belajar atau sekolah, mengingat

mereka masih bergantung pada orang tuanya atas kebutuhan mereka maka

keterbatasan ekonomi juga menjadi alasan mereka untuk melakukan nikah sirri

tanpa sepengetahuan orang tuanya. Dan alasan yang paling pokok diantara dua

alasan tersebut ialah takut terjadinya perzinahan atau berbuat dosa. Dengan

demikian maka nikah sirri dilakukan untuk mnghilangkan kehawatiran dari

masing-masing pihak dan mereka merasa pernikahan yang telah dilakukan

tidak melanggar syariat agama islam.

Dampak negatif dalam nikah sirri sering terjadi terhadap seorang istri

anaknya. Apabila suami tidak bertanggung jawab sedangkan bagi laki-laki

(suami) hampir hampir tidak dampak yang merugikan, justru yang terjadi

menguntungkan bagi laki-laki. Jadi misalkan seorang suami ingin lepas dari

tanggung jawabnya atau mengaku single maka seorag istri tidak ada hak

menuntut pada pengadilan agama karena pernikahan mereka tidak sah secara

hukum resmi. Adapun dampak negatif yang terjadi pada seorang istri adalah

sebagi berikut (Adillah, 2011):

Pertama, tidak diakui sebagai istri karena pernikahan yang dilakukan

tidak dianggap sah dan perempuan yang hanya menikah sirri tidak memiliki

surat nikah. Sehingga apabila suami tidak bertanggung jawab atas kewajiban

dan hak –haknya tidak dapat digugat di pengadilan agama karena di mata

Negara nikah sirri dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh Kantor Urusan

Agama (KUA) atau Kantor Catatan Sipil (KCS) meskipun pernikahan tersebut

dilakukan sesuai dengan agama dan kepercayaan mereka.

Kedua, Hak dan kewajiban terabaikan .Disini pelaku nikah sirri dimana

seorang suami yang melakukan pernikahan sirri tersebut sering mengabaikan

hak dan tanggung jawabnya, terutama tanggung jawab terhadap sang istri yang

telah dinikahinya secara sirri karena tidak adanya bukti pernikahan berupa

surat nikah sebagai bukti yang sah.

Ketiga, seorang istri dari pernikahn sirri tidak dapat menuntut nafkah

dari suami yang tidak bertanggung jawab dengan nafkah ini , selain itu ketika

bercerai atau sang suami telah meninggal , sang istri juga tidak dapat menuntut

harta warisan dikarenakan tidak adanya bukti pernikahan seprti buku nikah.

(Ahmadi, 2008).

Keempat, tidak tertulis atau tidak ada pengakuan hukum atas status

pernikahan antar kedua belah pihak (Suami dan istri). Jadi istri tidak dapat

emnuntut sang suami yang tidak bertanggung jawab . Dalam pernikahan sirri

inipun sering terjadi kekerasan fisik dari sang suami terhadap istri.

Page 16: NIKAH SIRRI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 01 , Maret 2020

e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

57

Kelima, menyulitkan untuk mengetahui identitas seseorang

,dikarenakan status pernikahn sirri tidak jelas di mata hukum serta tidak

tertulis. Bahkan terkadang status pernikahan sirri ini juga merupakan

pernikaha yang sengaja untuk ditutup-tutupi . Oleh sebab itu status seseorang

yang telah menikah atau tidak pun sulit untuk diketahui.

Keenam, pernikahan sirrijuga menimbulkan keresahan , karena tidak

adanaya bukti pernikahan seperti akta nikah yang menjadi bukti pernikahn

antara suami istri yang telah menikah.

Ketujuh, adanya sanksi social dari masyarakat sekitar.Walaupun tidak

ada sanksi secara hukum, namun para pelaku nikah sirri sering difitnah karena

tidak sedikit dari masyarakat yang menganggap pelaku nikah sirri tersebut

melakukan pernikahan hanya karena ingin menutup aib. Hal ini menimbulkan

prasangka yang tdak baik dari masyarakat.

Kedelapan, seorang istri yang telah melakukan nikah sirri akan sulit

bersosialisasi dengan masyarakat. Mereka yang melakukan nikah sirri dengan

status yang tidak tertulis secara hukum, sering dianggap telah melakukan

perbuatan tidak senonoh karena telah berani tinggal dengan pasangan yang

tidak jelas status hukum pernikahannya .

Kesembilan, pada kasus pernikahan sirri ini juga dapat menyulitkan

masyarakat untuk membantu jika kelak ada permasalahan antar dua belah

pihak. Hal ini dikarenakan sebagian masyarakat tidak mengetahui status

mereka. Apakah telah menikah atau belum menikah. Disini masyarakat

kesulitan untuk memberikan kesaksian apabila terjadi seseuatu dalam keluarga

si pelaku nikah sirri tersebut.

Kesepuluh, menimbulkan kecurigaan terhadap pelaku nikah sirri.

Sebagian orang beranggapan bahwa mereka yang melakukan pernikahan sirri

juga melakukan poligami. Tidak sedikit dari suami yang ingin memiliki dua

istri melakukan nikah sirri.Demi menutupi pernikahn pertama maupun

pernikahan keduanya. Meskipun hal tersebut belum terbukti kebenarannya.

Bukan hanya terhadap kaum perempuan (Istri) fenomena nikah sirri

juga menimbulkan damapak negatif terhadap anak-anak dari hasil pernikhan

sirri itu sendiri. Adapun beberapa dampak negatif diantaranya sebagai berikut

; (Adillah, 2011).

Pertama, dikarenakan status nikah sirri tidak memiliki pengakuan

secara hukum,maka begitulah status anak yang telah dilahirkan. Status anak

tidak jelas dimata hukum dikarenakan sang anak terlahir dari status pernikahan

yang statusnya tidak sah di mata hukum karena itu anak hanya diakui sebagai

anak seorang ibu dan keluarga ibu. Tanpa ada status yang jelas dari seorang

ayah serta keluarga.

Page 17: NIKAH SIRRI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

58 e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

Apabila sang anak ingin membuat akta kelahiran maka anak hanya

memiliki status anak dari seorang ibu .

Kedua, anak dari hasil pernikahan sirri juga tidak memiliki ha katas

nafkah dan warisan dari sang ayah. Sang anak juga tidak dapat menuntut

apapun (nafkah dan warisan), apabila sang ayah tidak bertanggung jawab

menafkahi anak dan istrinya.

Fenomena nikah sirri tersebut sangat merugikan anak dari hasil nikah

sirri di kemudian hari. Sang anak tidak bisa memiliki akta kelahiran yang status

ayahnya tidak jelas secara hukum.

Ketiga, Anak dari nikah sirri juga terancam kehiduopan sosial di

masyaralat. Mereka sering menjadi korban perdagangan anak. Tidak sedikit

dari mereka yang terlantar dan kurang terurus dari segi ekonomi maupun

pendidikan.

Adanya hubungan nikah sirri ini sangat merugikan bagi beberapa pihak

diantaranya perempuan dan anak-anak . Fenomena ini juga memicu maraknya

pasangan yang hidup bersama di luar perkawinan dengan status yang jelas (M.

Thahir Maloko, 2015)

Adapun pentingnya pencatatan perkawinan begitu pula KTP atau SIM

. Hal tersebut merupakan tanggung jawab Negara. Yang dimana pembiayaan

harus disesuaikan dengan ekonomi masyarakatnya. Bukan haynya

pembiayaan, prosedur yang tidak menyulitkan masyarakat dapat mendorong

masyarakat mematuhi hukum Negara saat ini. Seperti wajib memiliki KTP,

SIM, serta memiliki Akta nikah (pernikahan yang tercatat). Seperti telah

dianjurkan oleh nabi Muhammad SAW untuk mendorong ummatnya untuk

menyebarluaskan atau mengabarkan pernikahannya dengan

menyelenggarakan walimah ursy . Walaupun anjuran penyelenggaraan

walimah itu tidak wajib. Hal ini bertujuan untuk mencegah timbulnya fitnah,

dapat mempermudah masyarakat memberikan kesaksian jika ada

kemungkinan terjadi permasalahan dalam keluarga , selain itu pernikahan

secara sah dalam status hukum juga mempermudah untuk mengetahui status

pernikahn seseorang (M. Thahir Maloko, 2015).

Salah satu dampak negatif dari nikah sirri adalah mudah ditinggalkan

dan tidak jarang juga menjadi pemicu poligami. Pernikahan nikah sirri

menimbulkan banyak kekhawatiran bagi yang menjalaninya hal itu disebabkan

karena mereka tidak mempunyai kekuatan di mata hukum (Farid, 1999).

PENUTUP

Adapun faktor yang memicu terjadinya pernikahan sirri antara lain

faktor ekonomi,proses administrasi yang terlalu sulit serta begitu banyak ,tidak

memiliki persetujuan dari anggota keluarga terutama dari istri pertama jika ini

Page 18: NIKAH SIRRI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 01 , Maret 2020

e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

59

memang merupakan pernikahan yang kedua . Tidak jarang pula mereka yang

melakukan nikah sirri merupakan pasangan usia di bawah umur. Seperti layaknya perbikahan pada umumnya , begitu juga dengan

pernikahan sirri , dilaksanakan sesuai dengan prosesi pernikahan islam ,

adanya calon mempelai,adanya wali dan saksi sebagai begitu juga mahar.

Adapaun yang membedakan hanya pernikahan sirri tidak tercatat di KUA.

Tidak ada proses pencatatan dan pengawasan dari PPN . Akan tetapi nikah sirri

hanya cukup dengan adanya orang-orang seperti kiyai yang paham masalah

agama.

Walupun nikah sirri tidak sah di mata hukum , nikah sirri dianggap sah

di mata agama begitu pula dalam agama islam. Hal ini diperbolehkan apabila

syarat serta rukun nikahnya terpenuhi. Hal ini tercantum dalam kompilasi

hukum islam pasal 2 ayat 1 yang telah menjelaskan bahwa perkawinan

dikatakan sah apabila telah dilaksanakan sesuai dengan hukum-hukum yang

ditetapkan oleh agama.

Fenomena pernikahan sirri menimbulkan beberapa dampak

diantaranya dampak positif dan dampak negatif. Adapun dampak positif

adalah menghindarkan seseorang dari perbuatan zina. Sedangkan dampak

posiif pada sang anak tidak ada. Selain itu pernikahan sirri juga memberikan

dampak negatif terhadapa perempuan dan anak dari hubungan nikah sirri.

Bagi seorang perempuan yag melakukan nikah sirri banyak menemui

dampak negatif seperti tidak diakui sebab tiak memiliki status yang sah di mata

hukum (tidak tercatat), tidak memilikinhak harta warisan juga nafkah dari sang

suami, mudah ditinggalkan serta sulit bersosialisasi di masyarakat. Hal ini juga

dapat menimbulkan fitnah.

Selain bagi sang istri anak yang dilahirkan juga mendapatkan dampak

buruk (negatif) seperti anak hanya memiliki status perdata dari sang ibu dan

keluarganya. Seperti sang istri yang tidak berhak atas nafkah serta warisan

begitu pula dengan anak-anak juga tidak berhak atas nafkah dan warisan dari

ayah. Kesulitan saat memasuki sekolah juga dihadapi sang anak , sebab saat

akan masuk pada jenjang pendidikan anak harus memiliki akta kelahiran. Anak

yang dihasilkan dari perhubungan nikah sirri juga rentan menjadi korban

eksploitasi.

DAFTAR PUSTAKA

Abd. Al-Rahman al-Jazairi. (1969). al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-’Arba’ah.

Mesir: al-Maktabah al- Tijariyyah.

Adillah, S. U. (2011). Analisis Hukum Terhadap Faktor-Faktor Yang

Melatarbelakangi Terjadinya Nikah Sirri Dan Dampaknya Terhadap

Perempuan (Istri) Dan Anak-Anak. Jurnal Dinamika Hukum, 11(Edsus).

Page 19: NIKAH SIRRI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

60 e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

https://doi.org/10.20884/1.jdh.2011.11.edsus.267

Ahmad Warsun Munawwir. (1984). , Kamus al-Munawwir Arab - Indonesia

Terlengkap. Yogyakarta: Pustaka Progressif.

Ahmadi, W. (2008). Hak dan Kewajiban Wanita Dalam keluarga Menurut

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Jurnal

Hukum Pro Justitia, 26(4), 371–390.

al-Imam Taqiyuddin bin Abu Bakaral-Imam Muhammad Bin Isma’il Kahlani

al- Shan’ani, S. al-S. (n.d.). Beirut, tt, Juz II, hlm. 36. , Maktabah

Dahlan. Bandung: Kifayat al-Akhyar, Dar al-Fikr.

Ali Ahmad al-Jurjani. (1975). Hikmah al-Tasyre’ wa Falsafatuhu. Beirut:

Dar al-Fikri.

Amir, S. (2006). Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, antara Fiqh

Munakaht dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Prenada Media

Group.

Anderson. (1994). Hukum Islam di Dunia Modern. Yogyakarta: Tiara

Wacana.

Arsal, T. (2012). Nikah Sirri dalam Tinjauan Demografi. Jurnal Sosiologi

Pedesaan, 6(2), 160.

Asnawi, H. S. (2016). Tinjauan Kritis Terhadap Hak-Hak Perempuan Dalam

UU. No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan: Upaya Menegakkan

Keadilan Dan Perlindungan HAM Perspektif Filsafat Hukum Islam.

Jurnal Mahkamah, 1(1), 48. Retrieved from

http://journal.iaimnumetrolampung.ac.id/index.php/jm/article/view/27

Edi Gunawan. (2013). NIKAH SIRI DAN AKIBAT HUKUMNYA

MENURUT UU PERKAWINAN. Jurnal Ilmiah Al-Syir,Ah, 3(2).

Farid, M. (1999). 150 Masalah Nikah Keluarga. Jakarta: Gema Insani Pers.

Habib Ismail and Nur Alfi Khotamin. (2017). Faktor dan Dampak

Perkawinan Dalam Masa Iddah (Studi Kasus di Kecamatan Trimurjo

Lampung Tengah). Jurnal Mahkamah, 2(1), 137.

Hadi, M. F. K. (2018). Konsepsi Hukum Nikah Siri di Indonesia : Upaya

Sinkronisasi antara Living Laws dengan Positive Laws. 1(1), 18–40.

Husen, I. (2003). Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan. Jakarta: Pustaka

Firdaus.

Kamal Muchtar. (1996). Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan.

Jakarta: Bulan Bintang.

Khoiriyah, R. (2017). ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN

DAN ANAK DALAM NIKAH SIRI. SAWWA, 12(3), 397–408.

M. Thahir Maloko. (2015). Nikah Sirri Perspektif Hukum Islam.

Sipakalebbi’, Vol 1(Vol 1, No 3 (2015)),

http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/974. Retrieved from

Page 20: NIKAH SIRRI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 01 , Maret 2020

e-ISSN: 2656-9442

p-ISSN: 2550-0627

61

http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97406410605933316

Muhsin, I. (2018). PERNIKAHAN SIRRI : Antara Cita dan Realita.

Yogyakarta: TRUSSMEDIA GRAFIKA.

Mukhtar, N. (2012). Mengurai Nikah Sirri Dalam Islam. Al Manahij, VI, 257.

Munawwir, A. W. (1973). Al Munawwir. Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-

buku Ilmiah Keagamaan PP Al-Munawwir.

Musfir al-Jahrani. (1994). Poligami Dalam Berbagai Persepsi. jakarta: Gema

Insani Pers.

Raghib al-Isfahaniy. (2007). Mu’jam al-Mufradat li al-Alfazh al-Qur’an al-

Karim. Beirut: Dar al-Fikr.

Ramayulis. (2001). Perlukah Pemberian Mahar Terhadap Calon Isteri.

Jakarta: Lentera Hati.

Ramulyo, M. I. (2006). Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum

Acara Peradilan Agama dan Zakat. Jakarta: Sinar Grafika.

Rofiq, A. (2000). Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada.

Samin, S. (2008). Pidana Islam Dalam Politik Hukum Indonesia. Jakarta:

Kholam Pulishing.

Setiawati, E. (2005). Nikah Siri Tersesat Di jalan Yang Benar. Jawa Barat:

Eja Insani.

Susetyo, H. (2007). Revisi Undang-Undang Perkawinan. Jurnal Lex

Jurnalica, 4(2), 73.

Taqiyyuddin. (2016). Kifayat al Akhyar. Bandung: Al-Maarif.

Undang-undang perkawinan. (2004). Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

Widiastuti. (2008). Beberapa Faktor Penyebab Pasangan Suami Isteri

Melakukan Pernikahan di Bawah Tangan. Jurnal Eksplorasi, XX(1), 78–

89.

WJS. Poerwadarminta. (1985). , Kamus Umum Bahasa Indonesia,. jakarta:

Pustaka Panjimas.

Yunus, M. (1996). Hukum Perkawinan Dalam Islam Menurut Mazhab

Syafi’I, Hanafi, Maliki dan Hanbali. jakarta: Hidakarya Agung.

Zahrah, M. A. (2018). al-ahwal al-syakhsiyyah. Qohira: Dar al-Fikr.

Zuaili, W. (1989). All-Fiqh al-Islam wa adillatuhu. Beirut: Dar al-Fikr.

Zuhri, S. (2018). Sanksi Pidana Bagi Pelaku Nikah Sirri dan Kumpul Kebo.

Semarang: Bima Sakti.