175
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN HIPERTENSI DI WILAYAH PERKOTAAN DAN PEDESAAN INDONESIA TAHUN 2013 SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) Oleh: Dina Adlina Amu 1111101000036 PEMINATAN EPIDEMIOLOGI PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015

New FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN HIPERTENSI … · 2015. 11. 13. · FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN HIPERTENSI DI WILAYAH PERKOTAAN DAN PEDESAAN INDONESIA TAHUN 2013

  • Upload
    others

  • View
    16

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN

    HIPERTENSI DI WILAYAH PERKOTAAN DAN PEDESAAN

    INDONESIA TAHUN 2013

    SKRIPSI

    Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan

    Masyarakat (SKM)

    Oleh:

    Dina Adlina Amu

    1111101000036

    PEMINATAN EPIDEMIOLOGI

    PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

    FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA

    2015

  • i

    LEMBAR PERNYATAAN

    Dengan ini saya menyatakan bahwa:

    1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah

    satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Fakultas Kedokteran dan Ilmu

    Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

    2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

    sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu

    Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

    3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau

    merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

    sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas

    Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

    Jakarta, Agustus 2015

    Dina Adlina Amu

    NIM. 1111101000036

  • ii

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

    FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

    PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

    PEMINATAN EPIDEMIOLOGI

    Skripsi, 18 Agustus 2015

    Dina Adlina Amu, NIM: 1111101000036

    Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi di Wilayah Perkotaan

    dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013

    xv + 159 halaman, 14 tabel, 4 bagan, 4 lampiran

    ABSTRAK

    Latar Belakang: Prevalensi hipertensi di perkotaan Indonesia lebih besar

    dibandingkan di pedesaan, yaitu 26,1% versus 25,5%. Perubahan gaya hidup

    akibat urbanisasi dan globalisasi berperan dalam perbedaan prevalensi hipertensi

    tersebut. Gaya hidup masyarakat perkotaan, seperti diet tidak sehat dan kurang

    aktivitas fisik membuat masyarakat perkotaan lebih berisiko mengalami

    hipertensi. Sedangkan, diet tradisional dan gaya hidup aktif melindungi

    masyarakat desa dari hipertensi. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk

    mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi di wilayah

    perkotaan dan pedesaan Indonesia tahun 2013. Metode: Penelitian ini adalah

    analisis lanjut dari Riskesdas tahun 2013 sehingga desain studi yang digunakan

    pun mengikuti Riskesdas, yaitu cross sectonal. Jumlah sampel penelitian ini

    adalah 616.986 masyarakat berusia ≥ 15 tahun. Hubungan antara faktor risiko

    dengan hipertensi ditentukan melalui nilai Prevalence Odds Ratio (POR) dan 95%

    confidence interval (CI). Hasil: Aktivitas fisik < 600 MET/minggu [PORkota 1,051

    (1,025-1,078)] [PORdesa 1,184 (1,152-1,217)], pernah merokok [PORkota 2,133

    (2,06-2,31)] [PORdesa 2,024 (1,95-2,10)], konsumsi makanan asin ≥ 1 kali/hari

    [PORkota 0,970 (0,950-0,991)] [PORdesa 1,028 (1,008-1,048)] dan konsumsi buah

    < 2 porsi/hari [PORkota 0,821 (0,771-0,847)] [PORdesa 0,883 (0,808-0,965)] adalah

    faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi di wilayah perkotaan maupun

    pedesaan Indonesia. Sedangkan, konsumsi sayur < 3 porsi/hari [POR 0,952

    (0,933-0,970)] hanya berhubungan dengan hipertensi di perkotaan dan konsumsi

    makanan berlemak ≥ 1 kali/hari [POR 1,046 (1,027-1,064)] hanya berhubungan

    dengan hipertensi di pedesaan. Simpulan: Hampir tidak ada perbedaan antara

    faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi di perkotaan dengan di

    pedesaan. Oleh karena itu, pencegahan dan pengendalian hipertensi sangat penting

    dilakukan untuk menurunkan prevalensi dan risiko hipertensi di wilayah

    perkotaan dan pedesaan Indonesia.

    Kata Kunci: hipertensi, kota, desa

    Daftar bacaan: 141 (2000-2015)

  • iii

    ISLAMIC STATE UNIVERSITY OF SYARIF HIDAYATULLAH

    FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE

    PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM

    EPIDEMIOLOGY CONCENTRATION

    Undergraduate Thesis, 18th

    August 2015

    Dina Adlina Amu, NIM: 1111101000036

    Factors that Related to Hypertension in Urban and Rural Indonesia 2013

    xv + 159 pages, 14 tables, 4 charts, 4 attachments

    ABSTRACT

    Background: The prevalence of hypertension in urban areas of Indonesia is

    greater than in the rural areas, i.e. 26.1% versus 25.5%. Lifestyle changes due to

    urbanization and globalization has different roles in the hypertension prevalence.

    The lifestyles in urban communities, such as unhealthy diet and the lack of

    physical activity make urban communities has the higher risk for hypertension.

    Meanwhile, traditional diet and physically active lifestyles tend to protect the rural

    communities from hypertension. Therefore, this study aims to determine the

    associated factors of hypertension in urban and rural Indonesia in 2013. Methods:

    This study is an advanced Riskesdas 2013 data analysis, so that the study design is

    the same as Riskesdas, cross sectional. The number of samples of this study is

    616,986 individuals aged ≥ 15 years. The relationship between risk factors and

    hypertension is determined by the value of Prevalence Odds Ratio (POR) and

    95% confidence intervals (CI). Results: Physical activity

  • iv

    PERNYATAAN PERSETUJUAN

    Skripsi dengan Judul:

    FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN HIPERTENSI DI

    WILAYAH PERKOTAAN DAN PEDESAAN INDONESIA TAHUN 2013

    Disusun Oleh:

    Dina Adlina Amu

    NIM. 1111101000036

    Telah disetujui dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi

    Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

    Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

    Jakarta, 18 Agustus 2015

    Pembimbing I Pembimbing II

    Catur Rosidati, SKM, MKM

    NIP. 197502102008012018

    Hoirun Nisa, M.Kes, Ph.D

    NIP. 197904272005012005

  • v

    PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI

    PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

    FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

    Jakarta, 18 Agustus 2015

    Penguji I

    dr. Yuli Prapanca Satar, MARS

    NIP. 19530730 198011 1 001

    Penguji II

    Minsarnawati Tahangnacca, SKM, M.Kes

    NIP. 19750215 200901 2 003

    Penguji III

    dr. Sholah Imari, M.Kes

  • vi

    Kupersembahkan Skripsi ini untuk Mama dan Papa yang tak henti berdoa

    untukku hingga selalu ada semangat dan harapan baru untukku bangkit dari

    segala kesedihan dan kelelahan dalam menuntut ilmu…

    Dina Sayang Mama Papa.. ^_^ :*

  • vii

    RIWAYAT HIDUP PENULIS

    DATA DIRI

    Nama : Dina Adlina Amu

    Tempat, tanggal

    lahir

    : Manado, 10 Desember 1993

    Jenis Kelamin : Perempuan

    Kewarganegaraan : Indonesia

    Suku : Gorontalo

    No. Telp : 081244714014/081527412391

    Alamat email : [email protected]

    Alamat : Linawan, RT 001, Desa Linawan, Kecamatan Pinolosian,

    Kabupaten Bolmong Selatan, Sulawesi Utara

    Hobi : Membaca, traveling, penelitian

    Kemampuan : Public speaking, pengoperasian komputer, bahasa

    Inggris, enumerator, analisis data (SPSS, Epidata)

    Nama Orang Tua : Ayah : Drs. Sofyan Amu, M.Si

    Ibu : Djartin Monoarfa

    Pekerjaan Orang

    Tua

    : Ayah : PNS

    Ibu : Ibu rumah tangga

    RIWAYAT PENDIDIKAN

    TK Al-Hasanah, Yogyakarta (1998-1999)

    SDN 1 Sagan, Yogyakarta

    SDN 05 Manado

    SDN 1 Tataaran, Tondano Selatan

    (1999-2001)

    (2001)

    (2001-2005)

    Mts. Pondok Pesantren Assalam Manado (2005-2008)

    MAN Insan Cendekia Gorontalo (2008-2011)

    Peminatan Epidemiologi Program Studi Kesehatan Masyarakat

    Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif

    Hidayatullah Jakarta

    (2011-2015)

    mailto:[email protected]

  • viii

    KATA PENGANTAR

    Puji syukur kepada Allah SWT. atas rahmat dan karuniaNya sehingga skripsi

    ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Skripsi dengan judul “Faktor-Faktor

    yang Berhubungan dengan Hipertensi di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan

    Indonesia Tahun 2013” ditujukan untuk menjelaskan secara ilmiah faktor-faktor

    apa saja yang berhubungan dengan hipertensi di wilayah perkotaan dan pedesaan

    Indonesia tahun 2013 sehingga kedepannya diharapkan dapat dilaksanakan

    penanggulangan dan pengendalian yang tepat.

    Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik

    karena bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima

    kasih kepada:

    1. Orangtua yang senantiasa memberikan dukukungan moral dan materi

    sehingga penulis menjadi lebih bersemangat dalam menyelesaikan proposal

    skripsi ini.

    2. Ibu Catur Rosidati, SKM, MKM dan Ibu Hoirun Nisa, M.Kes, Ph.D selaku

    Dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan saran, arahan dan

    motivasi.

    3. Laboratorium data Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Republik

    Indonesia yang telah memenuhi permintaan data Riskesdas tahun 2013

    sebagai bahan penelitian

    4. Bapak Dr. Arif Sumantri, SKM, M.Kes selaku dekan Fakultas Kedokteran

    dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

    Hidayatullah Jakarta

  • ix

    5. Ibu Fajar Ariyanti, SKM, M.Kes, Ph.D selaku ketua Program Studi

    Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    6. Teman-teman seperjuangan Epidemiologi 2011 tercinta yang selalu

    memberikan dukungan semangat, perhatian dan saran untuk perbaikan skripsi

    ini. “Kalian luar biasa!”

    7. Teman-teman seperjuangan angkatan 2011 PSKM FKIK UIN Syarif

    Hidayatullah Jakarta yang juga memberi dukungan semangat sehingga

    memotivasi penulis agar bisa wisuda bersama

    8. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan proposal

    skripsi ini, dimana tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.

    Dalam pembuatan skripsi ini tentu masih memiliki keterbatasan dan perlu

    perbaikan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang

    membangun demi kemajuan penelitian selanjutnya.

    Jakarta, 18 Agustus 2015

    Dina Adlina Amu

  • x

    DAFTAR ISI

    LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... i

    ABSTRAK ............................................................................................................. ii

    PERNYATAAN PERSETUJUAN ...................................................................... iv

    RIWAYAT HIDUP PENULIS ........................................................................... vii

    KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii

    DAFTAR ISI .......................................................................................................... x

    DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiv

    DAFTAR BAGAN ............................................................................................... xv

    BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

    A. Latar Belakang .................................................................................................. 1

    B. Rumusan Masalah ............................................................................................. 5

    C. Pertanyaan Penelitian ........................................................................................ 5

    D. Tujuan Penelitian .............................................................................................. 6

    1. Tujuan Umum ............................................................................................ 6

    2. Tujuan Khusus ........................................................................................... 6

    E. Manfaat Penelitian ............................................................................................ 7

    1. Manfaat bagi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia ....................... 7

    2. Manfaat bagi Masyarakat Indonesia .......................................................... 8

    3. Manfaat bagi Peneliti Lain ......................................................................... 8

    F. Ruang Lingkup Penelitian ................................................................................. 8

    BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 9

    A. Hipertensi .......................................................................................................... 9

  • xi

    1. Definisi Hipertensi ..................................................................................... 9

    2. Pengukuran Tekanan Darah ..................................................................... 10

    3. Jenis dan Patofisiologis Hipertensi .......................................................... 12

    4. Gejala Klinis ............................................................................................ 13

    B. Epidemiologi Hipertensi ................................................................................. 14

    1. Hipertensi di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan ....................................... 15

    2. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi di Wilayah

    Perkotaan dan Pedesaan ........................................................................... 22

    D. Kerangka Teori ............................................................................................... 46

    BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ............ 49

    A. Kerangka Konsep ............................................................................................ 49

    B. Definisi Operasional ....................................................................................... 53

    C. Hipotesis ......................................................................................................... 57

    BAB IV METODE PENELITIAN .................................................................... 59

    A. Desain Penelitian ............................................................................................ 59

    B. Waktu dan Lokasi Penelitian .......................................................................... 59

    C. Populasi dan Sampel Penelitian ...................................................................... 59

    1. Populasi Penelitian ................................................................................... 59

    D. Metode Pengumpulan Data ............................................................................. 61

    E. Instrumen Pengumpulan Data ......................................................................... 63

    F. Manajemen Pengumpulan Data ...................................................................... 71

    1. Filter ........................................................................................................ 71

    2. Cleaning Data .......................................................................................... 71

    3. Coding Data ............................................................................................. 73

  • xii

    G. Analisa Data .................................................................................................... 75

    BAB V HASIL ..................................................................................................... 77

    A. Proporsi Kejadian Hipertensi Berdasarkan Karakteristik Sosiodemografi di

    Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013 ............................... 77

    B. Proporsi Kejadian Hipertensi Berdasarkan Faktor Fisik dan Riwayat Penyakit

    Masyarakat di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013 ....... 79

    C. Proporsi Kejadian Hipertensi Berdasarkan Gaya Hidup di Wilayah Perkotaan

    dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013 .............................................................. 79

    D. Hubungan Faktor Sosiodemografi dengan Hipertensi di Wilayah Perkotaan

    dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013 .............................................................. 81

    E. Hubungan Faktor Fisik dan Riwayat Penyakit Hipertensi di Wilayah

    Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013 ............................................. 83

    F. Hubungan Faktor Gaya Hidup dengan Hipertensi di Wilayah Perkotaan dan

    Pedesaan Indonesia Tahun 2013 ..................................................................... 84

    BAB VI PEMBAHASAN .................................................................................... 87

    A. Keterbatasan Penelitian ................................................................................... 87

    B. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi di Wilayah Perkotaan

    dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013 .............................................................. 89

    1. Faktor Sosiodemografi ............................................................................. 89

    2. Faktor Fisik dan Riwayat Penyakit .......................................................... 99

    3. Faktor Gaya Hidup ................................................................................. 103

    BAB VII PENUTUP .......................................................................................... 117

    A. Simpulan ....................................................................................................... 117

    B. Saran ............................................................................................................. 119

  • xiii

    DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 121

    LAMPIRAN 1 .................................................................................................... 132

    LAMPIRAN 2 .................................................................................................... 134

    LAMPIRAN 3 .................................................................................................... 136

    LAMPIRAN 4 .................................................................................................... 139

  • xiv

    DAFTAR TABEL

    Tabel 2.1 Klasifikasi Tekanan Darah untuk Orang Dewasa ................................. 10

    Tabel 2.2 Penentuan Klasifikasi Wilayah Perkotaan dan Pedesaan di Indonesia . 21

    Tabel 3.1 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Data Riskesdas 2013 .................... 50

    Tabel 3.2 Definisi Operasional Penelitian ............................................................ 53

    Tabel 4.1 Perhitungan Skor MET Berdasarkan Kriteria Intensitas Aktivitas Fisik

    .............................................................................................................. 69

    Tabel 4.2 Daftar Variabel dan Kuesioner ............................................................. 71

    Tabel 4.3 Jumlah Sampel Hasil Penyeleksian Data .............................................. 73

    Tabel 4.4 Pengkodean Baru dan Pengkodean Ulang Data Riskesdas 2013 .......... 74

    Tabel 5.1 Proporsi Hipertensi Berdasarkan Karakteristik Sosiodemografi di

    Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013 .................. 77

    Tabel 5.2 Proporsi Hipertensi Berdasarkan Faktor Fisik dan Riwayat Penyakit

    Masyarakat di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun

    2013 .................................................................................................... 79

    Tabel 5.3 Proporsi Hipertensi Berdasarkan Gaya Hidup di Wilayah Perkotaan dan

    Pedesaan Indonesia Tahun 2013 ........................................................ 79

    Tabel 5.4 Hubungan Faktor Sosiodemografi dengan Hipertensi di Wilayah

    Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013 ................................ 82

    Tabel 5.5 Hubungan Faktor Fisik dan Riwayat Penyakit dengan Hipertensi di

    Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013 .................. 83

    Tabel 5.6 Hubungan Faktor Gaya Hidup dengan Hipertensi di Wilayah Perkotaan

    dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013 ................................................. 84

  • xv

    DAFTAR BAGAN

    Bagan 2.1 Konsep Kemiskinan Berkontribusi terhadap Masalah Penyakit Tidak

    Menular .............................................................................................. 30

    Bagan 2.2 Kerangka Teori ................................................................................... 48

    Bagan 3.1 Kerangka Konsep ................................................................................ 50

    Bagan 4.1 Alur Penyeleksian Data........................................................................ 72

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko utama penyakit

    kardiovaskular yang menjadi isu kesehatan global saat ini. Data World Health

    Organization (WHO) tahun 2008 menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi

    pada orang dewasa berusia ≥ 25 tahun di dunia adalah sekitar 38,4%. Data

    tersebut juga menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi di Asia Tenggara

    mencapai 36,6%. Indonesia adalah negara dengan prevalensi hipertensi

    tertinggi kedua setelah Myanmar untuk kawasan Asia Tenggara, yaitu sekitar

    41% (WHO, 2013; Krishnan dkk., 2013).

    Trend kasus hipertensi pun terus meningkat dari tahun ke tahun seiring

    dengan terjadinya transisi epidemiologi. Berdasarkan data WHO diketahui

    terjadi peningkatan kasus sebanyak 400 kasus dari tahun 1980 sampai dengan

    tahun 2008 dan diprediksikan kasus hipertensi akan mencapai 1,56 miliar di

    tahun 2025 (WHO, 2011). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) di

    Indonesia menunjukkan bahwa 7,2% responden pernah didiagnosis dokter

    mengalami hipertensi di tahun 2007 dan meningkat menjadi 9,4% di tahun

    2013 (Kemenkes RI, 2008; Kemenkes RI, 2013).

    Karakteristik penyakit hipertensi yang asimtomatis menyebabkan

    penyakit hipertensi diketahui setelah penyakit sudah parah (WHO, 2013). Jika

    penyakit hipertensi tidak segera diobati maka berisiko menyebabkan penyakit

    lain seperti, stroke, infark miokard, kerusakan jantung, demensia, kerusakan

  • 2

    ginjal dan kebutaan (WHO, 2014). Hasil penelitian Walker di Tanzania,

    penderita hipertensi berisiko 2,14 kali terkena stroke (Walker, 2013). Hasil

    meta-analisis Fowkes di seluruh negara di dunia menunjukkan bahwa orang

    dengan hipertensi juga memiliki risiko 1,47 kali menderita penyakit arteri

    periferal (Fowkes dkk., 2013).

    Hipertensi juga menyebabkan kehilangan sekitar 3 tahun kesempatan

    hidup pada penderita penyakit kardiovaskular (Rapsomaniki, 2014).

    Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Cina, hipertensi merupakan

    risiko terjadinya disability-adjusted life-years (DALYs), dimana terjadi

    peningkatan kasus DALYs lebih dari 40% dari tahun 1990 sampai dengan

    tahun 2010 (Yang dkk., 2013).

    Dampak terburuk dari hipertensi adalah kematian dimana saat ini

    hipertensi diperkirakan dapat menyebabkan 7,5 miliar kematian atau 12,8%

    dari seluruh kematian (WHO, 2014). Penelitian Lim SS et al tahun 2012 juga

    menunjukkan bahwa komplikasi akibat hipertensi menyebabkan 9,4 miliar

    kematian di seluruh dunia setiap tahun (WHO, 2013). Di Asia Tenggara,

    hipertensi menyebabkan 1,5 miliar kematian setiap tahun (WHO, 2011).

    Urbanisasi dan globalisasi merupakan penyebab tidak langsung dari

    peningkatan prevalensi hipertensi (Peer dkk., 2013). Beberapa penelitian

    menyebutkan bahwa keduanya merupakan faktor terjadinya perbedaan

    prevalensi hipertensi antara wilayah perkotaan dengan pedesaan (Addo dkk.,

    2007; Prabhakaran dkk., 2007; Hou, 2008; Katz dkk., 2012; Musinguzi dan

    Nuwaha, 2013).

  • 3

    Penelitian Musinguzi dan Nuwaha pada masyarakat Uganda tahun 2012

    menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi di wilayah perkotaan lebih besar

    dibandingkan pedesaan, yaitu 23,6% di perkotaan dan 21% di pedesaan

    (Musinguzi dan Nuwaha, 2013). Hasil analisis Riskesdas di Indonesia tahun

    2013 juga menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi di perkotaan lebih besar

    dibandingkan pedesaan, yaitu 26,1% di perkotaan dan 25,5% di pedesaan.

    Dampak dari urbanisasi dan globalisasi paling nyata terjadi di perkotaan

    dimana gaya hidup masyarakat kota yang tidak sehat berisiko menyebabkan

    hipertensi (Prabhakaran dkk., 2007; Hou, 2008; Katz dkk., 2012; Peer dkk.,

    2013). Masyarakat kota memiliki gaya hidup modern yang diikuti dengan

    perubahan pola konsumsi makanan yang mengandung garam dan lemak

    tinggi. Pola konsumsi makanan tersebut dapat mempengaruhi berat badan,

    dimana biasanya disertai dengan konsumsi rokok, kurangnya aktivitas fisik

    dan stres sehingga meningkatkan risiko terkena hipertensi (The Lancet,

    2012).

    Namun, gaya hidup masyarakat desa justru menunjukkan hal sebaliknya.

    Diet tradisional masyarakat desa yang tinggi protein seperti susu fermentasi

    yang mengandung bahan tambahan saponin dan fenolik dari tumbuhan dapat

    mencegah hipertensi dengan menurunkan kadar kolesterol dalam darah

    (Ngoye, 2014). Selain itu, gaya hidup aktif seperti lebih sering berjalan kaki

    setiap hari memungkinkan masyarakat desa lebih terlindungi dari hipertensi

    (Moore, 2001). Oleh karena itu, kemungkinan ada perbedaan antara faktor-

    faktor yang berhubungan dengan hipertensi di perkotaan dengan di pedesaan.

  • 4

    Penelitian Moreira dkk. (2013) menunjukkan bahwa jenis kelamin, usia,

    kebiasaan merokok dan riwayat diabetes berisiko merupakan faktor risiko

    hipertensi di wilayah perkotaan Brazil. Sedangkan, jenis kelamin, usia,

    pendapatan rumah tangga yang rendah dan tidak adanya asuransi kesehatan

    merupakan faktor risiko hipertensi di pedesaan.

    Penelitian Mohan dkk. (2007) dan Hou dkk. (2008) menunjukkan bahwa

    usia, jenis kelamin, obesitas dan kebiasaan merokok merupakan faktor-faktor

    yang berhubungan dengan hipertensi pada masyarakat perkotaan. Sedangkan,

    penelitian Mohan dkk. (2007) dan Hou dkk. (2008) pada masyarakat desa

    memperlihatkan bahwa faktor ekonomi dan kurangnya pengetahuan terkait

    risiko hipertensi berhubungan dengan kejadian hipertensi di wilayah

    peredesaan.

    Tempat tinggal di pedesaan dan perkotaan berperan terhadap perubahan

    gaya hidup berisiko hipertensi pada masyarakat di kedua tempat tersebut.

    Penelitian terkait faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi di

    perkotaan dan pedesaan Indonesia belum pernah dilakukan. Selain itu, sampel

    Riskesdas telah mewakili seluruh masyarakat Indonesia sehingga dapat

    mendiskripsikan kejadian hipertensi di wilayah perkotaan dan pedesaan

    Indonesia. Oleh karena itu, dengan tersedianya data terkait hipertensi dalam

    Riskesdas tahun 2013, penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan

    dengan hipertensi di wilayah perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun

    2013 penting untuk dilakukan.

  • 5

    B. Rumusan Masalah

    Kecenderungan prevalensi hipertensi secara global maupun nasional

    terus meningkat seiring dengan terjadinya transisi epidemologi. Di samping

    itu, prevalensi hipertensi di Indonesia lebih tinggi di wilayah perkotaan

    dibandingkan di pedesaan. Urbanisasi dan globalisasi menjadi faktor yang

    berperan penting karena keduanya mempengaruhi gaya hidup masyarakat.

    Gaya hidup masyarakat perkotaan, seperti pola konsumsi makanan yang tidak

    sehat dan aktivitas fisik yang kurang membuat masyarakat perkotaan lebih

    berisiko mengalami hipertensi. Sebaliknya, diet tradsional dan budaya

    berjalan kaki membuat masyarakat desa lebih terlindungi dari hipertensi.

    Oleh karena itu, penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan

    hipertensi antara wilayah perkotaan dengan pedesaan di Indonesia pada tahun

    2013 perlu dilakukan.

    C. Pertanyaan Penelitian

    Pertanyaan penelitian dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

    1. Bagaimana proporsi kejadian hipertensi berdasarkan karakteristik

    sosiodemografi (jenis kelamin, umur, pendidikan dan pekerjaan)

    masyarakat di perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013

    2. Bagaimana proporsi kejadian hipertensi berdasarkan faktor fisik dan

    riwayat penyakit (obesitas dan riwayat diabetes) masyarakat di perkotaan

    dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013

    3. Bagaimana proporsi kejadian hipertensi berdasarkan faktor gaya hidup

    (aktivitas fisik, kebiasaan merokok, konsumsi makanan asin, konsumsi

  • 6

    makanan berlemak, konsumsi sayur dan konsumsi buah) masyarakat di

    perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013

    4. Apakah ada hubungan faktor sosiodemografi (jenis kelamin, umur,

    pendidikan dan pekerjaan) dengan kejadian hipertensi di perkotaan dan

    pedesaan Indonesia pada tahun 2013

    5. Apakah ada hubungan antara faktor fisik dan riwayat penyakit (obesitas

    dan riwayat diabetes) masyarakat dengan kejadian hipertensi di

    perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013

    6. Apakah ada hubungan antara faktor gaya hidup (aktivitas fisik, kebiasaan

    merokok, konsumsi makanan asin, konsumsi makanan berlemak,

    konsumsi sayur dan konsumsi buah) dengan kejadian hipertensi di

    perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013

    D. Tujuan Penelitian

    1. Tujuan Umum

    Tujuan umum dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-

    faktor yang berhubungan dengan hipertensi di wilayah perkotaan dan

    pedesaan di Indonesia pada tahun 2013.

    2. Tujuan Khusus

    Tujuan khusus dari dilakukan penelitian ini adalah sebagai berikut.

    a. Diketahuinya proporsi kejadian hipertensi berdasarkan karakteristik

    sosiodemografi (jenis kelamin, umur, pendidikan dan pekerjaan)

    masyarakat di perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013

  • 7

    b. Diketahuinya proporsi kejadian hipertensi berdasarkan faktor fisik

    dan riwayat penyakit (obesitas dan riwayat diabetes) masyarakat di

    perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013

    c. Diketahuinya proporsi kejadian hipertensi berdasarkan faktor gaya

    hidup (aktivitas fisik, kebiasaan merokok, konsumsi makanan asin,

    konsumsi makanan berlemak, konsumsi sayur dan konsumsi buah)

    masyarakat di perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013

    d. Diketahuinya hubungan faktor sosiodemografi (jenis kelamin,

    umur, pendidikan dan pekerjaan) dengan kejadian hipertensi di

    perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013

    e. Diketahuinya hubungan faktor fisik dan riwayat penyakit (obesitas

    dan riwayat diabetes) masyarakat dengan kejadian hipertensi di

    perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013

    f. Diketahuinya hubungan faktor gaya hidup (aktivitas fisik, kebiasaan

    merokok, konsumsi makanan asin, konsumsi makanan berlemak,

    konsumsi sayur dan konsumsi buah) dengan kejadian hipertensi di

    perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013

    E. Manfaat Penelitian

    Berikut ini adalah berbagai manfaat dari penelitian ini.

    1. Manfaat bagi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

    Penelitian ini dapat menjadi pertimbangan dalam pembuatan program

    pencegahan dan penanggulangan masalah hipertensi di Indonesia,

  • 8

    khususnya dalam menentukan program yang tepat untuk wilayah

    perkotaan dan pedesaan di Indonesia.

    2. Manfaat bagi Masyarakat Indonesia

    Penelitian ini dapat menjadi salah satu rujukan untuk memperbanyak

    pengetahuan masyarakat, baik penderita hipertensi maupun bukan

    penderita hipertensi, terkait berbagai faktor yang berhubungan dengan

    hipertensi di wilayah perkotaan dan pedesaan di Indonesia. Selanjutnya,

    masyarakat diharapkan mampu untuk mencegah dan menanggulangi

    masalah hipertensi baik secara individu maupun komunitas.

    3. Manfaat bagi Peneliti Lain

    Peneliti lain dapat melakukan analisis lanjutan berupa analisis multivariat

    untuk melihat faktor gaya hidup apa yang lebih dominan dalam

    mempengaruhi kejadian hipertensi di wilayah perkotaan dan pedesaan

    Indonesia.

    F. Ruang Lingkup Penelitian

    Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi analitik dengan desain

    cross sectional yang dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang

    berhubungan dengan hipertensi di wilayah perkotaan dan pedesaan Indonesia

    pada tahun 2013. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari hingga Juli

    tahun 2015 di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam

    Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu, penelitian ini

    menggunakan data Riskesdas tahun 2013 sebagai bahan analisis untuk

    menjawab pertanyaan penelitian.

  • 9

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Hipertensi

    1. Definisi Hipertensi

    Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan suatu kondisi ketika

    pembuluh darah terus-menerus mengalami peningkatan tekanan (WHO,

    2015). Tekanan darah adalah kekuatan yang dibutuhkan untuk

    mendorong atau memompa darah agar dapat mengalir di dalam

    pembuluh darah (Gunawan, 2001). Semakin tinggi tekanan, semakin kuat

    jantung memompa darah (WHO, 2015).

    Tekanan darah diukur dalam satuan milimeter merkuri (mmHg) dan

    dinyatakan dalam dua angka, yaitu sistolik dan diastolik. Sistolik adalah

    tekanan tertinggi pada pembuluh darah dan terjadi ketika jantung

    berkontraksi atau berdetak. Sedangkan, diastol adalah tekanan terendah

    ketika otot-otot jantung mengalami relaksasi (WHO, 2013).

    Tekanan darah orang dewasa normal adalah kurang dari 120 mmHg

    untuk diastol dan 80 mmHg. Sedangkan, tekanan darah tinggi atau biasa

    disebut hipertensi adalah ketika tekanan darah telah mencapai ataupun

    melebihi 140 mmHg (sistol) dan 90 mmHg (diastol). Berikut ini adalah

    klasifikasi tekanan darah menurut Joint National Committee 7 (JNC 7)

    (JNC, 2004).

  • 10

    Tabel 2.1

    Klasifikasi Tekanan Darah untuk Orang Dewasa

    Klasifikasi Tekanan Darah SBP* (mmHg) DBP** (mmHg)

    Normal

  • 11

    ini maka penggunaannya masih diperbolehkan dengan syarat harus

    dilakukan pemeliharaan yang baik untuk menghindari kontaminasi

    merkuri ke lingkungan. Selain itu petugas yang mengukur tekanan

    darah pun harus: (1) terlatih; (2) mengetahui keadaan pasien yang

    dapat mempengaruhi pengukuran tekanan darah, seperti kecemasan

    dan baru mengonsumsi nikotin, sebaiknya pasien tidak mengonsumsi

    rokok 30 menit sebelum pengukuran (Aiyagari, 2011); (3) mengatur

    posisi pasien dengan benar (4) pemilihan dan penempatan manset

    yang tepat dan (5) mengukur dengan metode oskilometrik auskulasi

    atau otomatis serta merekam hasilnya dengan akurat.

    b. Pasien harus duduk dengan nyaman menggunakan sandaran

    punggung dan lengan atas dibiarkan terbuka tanpa tertupi oleh

    pakaian yang tebal (Kaplan dan Michael, 2010). Lengan baju tidak

    boleh digulung semedikan rupa sehingga memberikan efek torniket.

    Kaki tidak perlu disilangkan.

    c. Lengan harus disejajarkan dengan posisi jantung dan kantung manset

    harus mengelilingi minimal 80% dari lingkar lengan (Kaplan dan

    Michael, 2010). Apabila pengukuran dilakukan pada pasien dengan

    posisi berbaring maka sebaiknya lengan ditopang dengn bantal.

    d. Jarak antara fossa antecubital dengan ujung bahwah manset harus

    sekitar 2-3 cm sehingga ada ruang untuk menempatkan stetoskop

    (Kaplan dan Michael, 2010). Ukuran manset harus sesuai dengan

    lingkar lengan pasien.

  • 12

    e. Kolom merkuri harus turun hingga 2 sampai 3 mm/s, suara pertama

    yang terdengar akan menjadi tekanan sistolik dan suara yang

    didengar terakhir kali akan menjadi tekanan diastolik. Kolom harus

    dibaca dengan ketelitian 2 mmHg.

    f. Baik pasien maupun pengamat harus berbicara selama pengukuran.

    g. Pengukuran sebaiknya dilakukan 2 kali dengan selang waktu 1-2

    menit (Kaplan dan Michael, 2010). Rata-rata dari kedua hasil

    tersebut kemudian menjadi hasil akhir tekanan darah pasien. Namun,

    ketika ada perbedaan 5 mmHg atau 10 mmHg antara pengukuran

    pertama dengan kedua maka dilakukan pengukuran ulang kemudian

    hasilnya dirata-ratakan (Kaplan dan Michael, 2010; Kemenkes RI,

    2013). Hasil rata-rata dari semua pengukuran tersebut kemudian

    menjadi tekanan darah akhir pasien.

    3. Jenis dan Patofisiologis Hipertensi

    Hipertensi terbagi 2, yaitu hipertensi primer dan hipertensi sekunder.

    Hipertensi primer (esensial) adalah hipertensi yang hingga sekarang tidak

    jelas penyebabnya. Interaksi faktor genetik dengan lingkungan yang

    rumit kemudian dihubungkan oleh pejamu mediator neuro-hormonal

    merupakan ciri dari hipertensi esensial. Sejauh ini hipertensi primer

    disebabkan oleh peningkatan aktifitas sistem rennin-angiotensin-

    aldosteron, system saraf simpatis, gangguan transport garam dan

    interaksi yang kompleks antara resistensi insulin dengan fungsi endotel

    (Brashers, 2003).

  • 13

    Berbeda dengan hipertensi primer, hipertensi sekunder lebih jelas

    penyebabnya, yaitu karena adanya penyakit atau gangguan tertentu.

    Contohnya, penyakit renovaskular yang terjadi karena aterosklerosis

    yang menyebabkan penyempitan arteri renalis dikarenakan berkurangnya

    perfusi ginjal. Selain itu ada juga hipertensi akibat peningkatan volume

    darah (Baradero, 2005).

    4. Gejala Klinis

    Gejala klasik dari hipertensi adalah sakit kepala, epistaksis,

    perdarahan hidung, dan pusing. Namun, berbagai studi mengindikasikan

    frekuensi yang rendah atas gejala-gejala tersebut di populasi. Gejala lain

    yang lebih umum di populasi adalah kemerahan, berkeringat, dan

    pandangan kabur. Walaupun begitu, tidak sedikit juga yang asimtomatik

    (tidak menunjukkan gejala) (Lilly, 2011).

    Peningkatan tekanan, termasuk hipertropi ventrikel kiri dan

    retinopati adalah beberapa tanda-tanda dari hipertensi. Selain itu,

    hipertensi dengan komplikasi aterosklerosis akan menyebabkan arterial

    bruits, khususnya pada karotid dan arteri femoral (Lilly, 2011).

    5. Pencegahan Hipertensi

    Penanggulangan kejadian hipertensi di masyarakat dapat dilakukan

    dengan pengendalian faktor risiko. Pengendalian faktor risiko hipertensi

    dapat dilakukan melalui upaya promosi kesehatan, yaitu komunikasi-

    informasi-edukasi (KIE). Posbindu berperan besar dalam pelaksanaan

    KIE di masyarakat (Kemenkes RI, 2013). Pengendalian faktor risiko

    meliputi (Kemenkes RI, 2013):

  • 14

    a. Makan gizi seimbang, yaitu dianjurkan untuk mengonsumsi sayur

    dan buah 5 porsi/hari, melakukan pembatasan konsumsi gula, garam

    dan makanan berlemak.

    b. Mengatasai obesitas.

    c. Olahraga teratur, yaitu disarankan senam aerobik atau jalan cepat

    selama 30-45 menit (sejauh 3 kilometer) lima kali per minggu.

    d. Berhenti merokok. Saran untuk berhenti merokok mungkin sulit

    untuk dilakukan, tetapi konseling terkait rokok harus dilakukan agar

    perokok dapat terus mendapatkan dorongan untuk berhenti merokok.

    Selain itu, metode lain yang dapat digunakan adalah menyarankan

    perokok untuk mennganti rokok dengan permen yang mengandung

    nikotin dalam jangka waktu tertentu. Dengan begitu kebiasaan

    merokok perlahan-lahan dapat ditinggalkan.

    B. Epidemiologi Hipertensi

    Hipertensi telah menjadi masalah global. Data WHO tahun 2008

    menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi pada orang dewasa berusia 25

    tahun atau lebih adalah sekitar 38,4% (WHO, 2014). Penelitian Rapsomaniki

    dkk. (2014) terhadap 1,25 miliar orang di Inggris diketahui bahwa 87% di

    antaranya mengalami hipertensi.

    Di Afrika, prevalensi pada tahun 2010 adalah sebesar 30,8% (Adeloye

    dan Basquill, 2014). Di Brazil, prevalensi hipertensi tahun 2008 mencapai

    20,9% (Moreira dkk., 2013). Di Cina, prevalensi hipertensi tahun 2006 pada

    orang dewasa sebesar 26,6% (Xu dkk., 2008).

  • 15

    1. Hipertensi di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan

    Urbanisasi dan globalisasi merupakan faktor penyebab tidak

    langsung dari hipertensi (WHO, 2014; Peer, 2013; Sobngwi, 2004).

    Beberapa penelitian lainnya juga menyebutkan bahwa urbanisasi dan

    globalisasi menjadi faktor penting yang menyebabkan adanya perbedaan

    prevalensi hipertensi antara wilayah urban dengan rural (Prabhakaran

    dkk., 2007; Addo dkk., 2007; Hou, 2008; Katz dkk., 2012; Musinguzi

    dan Nuwaha, 2013). Prevalensi hipertensi di wilayah urban lebih tinggi

    dibandingkan wilayah rural (Prabhakaran dkk., 2007; Addo dkk., 2007;

    Hou, 2008; Katz dkk., 2012; Chang, 2003; Paibul, 2003).

    Urbanisasi sendiri didefinisikan sebagai perpindahan penduduk dari

    desa ke kota. Berbagai alasan masyarakat desa memilih untuk migrasi ke

    kota di antaranya adalah (Santy dan Buhari, 2015):

    a. Masyarakat ingin hidup modern dan mewah. Media masa cetak dan

    eloktronik memberikan informasi terkait kehidupan modern dan

    mewah di kota sehingga mempengaruhi masyarakat desa untuk bisa

    menikmatinya juga.

    b. Kesempatan memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Perkembangan

    industri di kota mempengaruhi masyarakat desa berpikir akan

    memperoleh pekerjaan yang lebih baik jika mereka tinggal di kota.

    c. Pendidikan. Kualitas pendidikan di desa yang minim menjadi alasan

    masyarakat pindah ke kota agar memperoleh pendidikan yang lebih

    baik. Fasilitas dan jenjang pendidikan di desa juga minim sehingga

  • 16

    masyarakat desa pindah ke kota agar dapat melanjutkan

    pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, seperti universitas.

    d. Fasilitas dan infrastruktur di kota lebih lengkap, seperti pelayanan

    kesehatan, lapangan pekerjaan dan pendidikan. Selain itu, ada juga

    fasilitas lain seperti tempat hiburan (bioskop, pusat perbelanjaan

    modern, dan lain-lain).

    e. Kesempatan untuk menjadi lebih maju dan hebat.

    f. Memperoleh kebebasan personal. Beberapa orang menghindari

    kehidupan di desa yang penuh kontrol sosial yang ketat.

    Saat ini, kondisi urbanisasi di Indonesia semakin berkembang.

    Pertambahan penduduk kota Indonesia yang diperkirakan mencapai 95%

    dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2025 (Santoso, 2006). Selain itu,

    perbedaan laju pertumbuhan penduduk daerah perkotaan dan pedesaan di

    Indonesia tahun 2010-2015 adalah 17,26%. Perbedaan tersebut

    diprediksikan akan terus meningkat setiap 5 tahun, yaitu mencapai

    20,98% di periode tahun 2030-2035 (BPS, 2013).

    Selain perkembangan urbanisasi, globalisasi juga semakin

    berkembang ditandai dengan kemajuan teknologi informasi terus

    berkembang di wilayah perkotaan dan pedesaan Indonesia. Walaupun

    penggunaan internet di pedesaan masih minim, tetapi bukan berarti tidak

    ada pengguna internet di pedesaan. Selain itu, telepon dan televisi bukan

    merupakan hal baru di pedesaan (APJII, 2012; Hadiyat Y. D., 2014).

    Pada tahun 2011, 95,56% rumah tangga di Indonesia adalah pengguna

    televisi, 90% adalah pengguna telepon dan hanya 37,51% rumah tangga

  • 17

    yang memiliki akses internet. Artinya, sebagian besar masyarakat kota

    maupun desa memperoleh informasi dari media televisi (Kemenkominfo,

    2011).

    Dampak buruk dari kemudahan memperoleh informasi di antaranya

    adalah masyarakat tergiur dengan pengaruh iklan. Contohnya iklan

    makanan cepat saji dan produk tekonologi yang mendorong masyarakat,

    terutama remaja untuk mengonsumsinya dan menjadikannya gaya hidup

    (Hutagalung I., 2004; Emalia R. D. dkk., 2009; Arief E. dkk., 2011;

    APJII, 2013).

    Selain itu, gadget atau smartphone yang tersambung dengan jaringan

    internet sedang digemari oleh para generasi muda saat ini. Hal ini

    membuat mereka menjadi jarang bergerak dan berolahraga karena

    digunakan terlalu sering. Hasil penelitian Syamsoedin W. K. P. dkk

    (2015) diketahui 30,6% remaja SMA Negeri 9 Manado mengakses

    internet 5-6 jam/hari. Artinya, hampir seperempat dari kehidupan sehari-

    hari mereka digunakan untuk mengakses internet.

    Perkembangan urbanisasi dan globalisasi menjadi masalah ketika

    tanpa didukung oleh fasilitas, peluang pekerjaan dan tempat tinggal.

    Dampaknya adalah terjadi perubahan gaya hidup masyarakat desa,

    dimana masyarakat desa mulai mengikuti gaya hidup modern (Santy dan

    Buhari, 2015). WHO (2014) juga menjelaskan bahwa urbanisasi

    memberikan pengaruh terhadap gaya hidup masyarakat sehingga

    masyarakat berisiko mengalami hipertensi. Gaya hidup berisiko yang

  • 18

    dimaksud adalah diet tidak sehat, aktvitas fisik kurang, merokok dan

    konsumsi alkohol (WHO, 2014).

    Penelitian di India menunjukkan prevalensi hipertensi lebih tinggi

    pada wilayah urban dibandingkan wilayah rural. Penelitinya berpendapat

    bahwa urbanisasi berperan penting dalam hal ini karena urbanisasi

    mengubah siklus kehidupan dan secara otomatis mengubah gaya hidup,

    terutama terkait pola makan dan aktivitas fisik. Pola makan lebih

    cenderung pada makanan yang mengandung lemak dan garam

    dibandingkan yang mengandung serat seperti sayuran dan buah-buahan

    (Prabhakaran dkk., 2007).

    Sebuah penelitian di Afrika juga menununjukkan prevalensi

    hipertensi lebih tinggi pada wilayah urban dibandingkan wilayah rural

    disebabkan oleh adanya perbedaan gaya hidup di antara kedua wilayah

    tersebut. Tingkat obesitas yang tinggi, konsumsi makanan berlemak dan

    bergaram yang berlebih serta komitmen dengan jenis pekerjaan yang

    menyebabkan kurangnya aktivitas fisik menjadi alasan mengapa

    prevalensi hipertensi lebih tinggi di wilayah urban (Addo dkk., 2007).

    Keberadaan dan ketersediaan sistem transportasi, mesin pencuci piring,

    mesin cuci dan remote control di era globalisasi mengurangi aktivitas

    fisik masyarakat kota (Ekezie dan Anthony, 2011).

    Namun, beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa prevalensi

    hipertensi antara wilayah urban dengan rural tidak jauh berbeda (Adeloye

    dan Basquill, 2014; Moreira dkk, 2013; Okpechi dkk., 2014). Misalnya,

    prevalensi hipertensi pada wilayah urban dengan wilayah rural di Brazil

  • 19

    yang tidak jauh berbeda, yaitu 21% dan 20,1% (Moreira dkk., 2013). Hal

    ini karena golabalisasi tidak selamanya memberikan dampak buruk bagi

    kesehatan masyarakat. Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi

    serta berkembangnya kualitas dan fasilitas pelayanan kesehatan di

    perkotaan justru dapat memudahkan masyarakat untuk memperoleh

    informasi dan pelayanan kesehatan yang berkualitas (Martens P. dkk.,

    2010).

    Selain itu, sebenarnya sulit untuk melakukan pembedaan antara

    masyarakat perkotaan dengan pedesaan. Seberapa kecilnya suatu desa

    masih bisa terpengaruh oleh masyarakat kota. Hal ini karena adanya

    hubungan antara konsentrasi masyarakat dengan gejala-gejala sosial

    berupa urbanisme. Urbanisme merupakan kondisi dimana adanya

    masyarakat desa yang tinggal di kota sesekali kembali ke desa dan

    membawa gaya hidup di kota sehingga sebagian masyarakat desa ada

    yang menirunya (Soekanto, 2009). Penduduk desa yang datang ke kota

    bahkan dapat mengalami peningkatan tekanan darah sekalipun hanya

    berkunjung dalam rentang waktu satu bulan (Ekezie dan Anthony, 2011)

    Berdasarkan peraturan No. 37 Tahun 2010, pengertian perkotaan dan

    pedesaan adalah sebagai berikut.

    a. Perkotaan adalah status suatu wilayah administrasi setingkat

    desa/kelurahan yang memenuhi klasifikasi wilayah perkotaan.

    b. Pedesaan adalah suatu wilayah administrasi setingkat/desa/kelurahan

    yang belum memenuhi klasifikasi wilayah perkotaan.

  • 20

    Kriteria klasifikasi wilayah perkotaan dan pedesaan Indonesia terdapat

    dalam Tabel 2.3. Sedangkan, berikut ini adalah perbedaan antara

    masyarakat kota dan desa (Soekanto, 2009).

    a. Masyarakat Perkotaan

    1) Jumlah penduduk tidak tentu

    2) Masyarakat bersifat individualis

    3) Perubahan sosial terjadi secara cepat, menimbulkan konflik

    antara golongan muda dengan golongan orang tua

    4) Interaksi lebih disebabkan faktor kepentingan daripada faktor

    pribadi

    5) Perhatian lebih pada penggunaan kebutuhan hidup yang

    dikaitkan dengan masalah gengsi

    6) Kehidupan keagamaan lebih longgar

    7) Banyaknya pengangguran, meningkatnya kriminalitas, persoalan

    rumah dan lain-lain yang merupakan dampak negatif dari

    kedatangan para migran yang berasal dari daerah

    b. Masyarakat Pedesaan

    1) Antarwarga memiliki hubungan yang lebih erat

    2) Sistem kehidupan biasanya berkelompok atas dasar

    kekeluargaan

    3) Umumnya hidup dari pertanian

    4) Golongan orang tua berperan penting

    5) Dari sudut pemerintahn, hubungan antara penguasa dengan

    rakyat bersifat informal

  • 21

    6) Masyarakat lebih mengutamakan kebutuhan pokok

    7) Kehidupan keagamaan lebih kental

    8) Banyak yang berurbanisasi ke kota

    Dalam penentuan wilayah sesungguhnya tidak dapat langsung

    digolongkan menjadi desa atau kota. Hal ini karena tidak semua desa

    merupakan daerah tertinggal. Hanya 30% desa terpencil yang berlokasi

    di wilayah Barat Indonesia sedangkan sisanya berada di Indonesia bagian

    Timur. (Kemendesa, 2013). Oleh karena itu, sebaiknya ada tingkatan

    dalam pengkategorian wilayah desa atau kota.

    Tabel 2.2

    Penentuan Klasifikasi Wilayah Perkotaan dan Pedesaan di

    Indonesia

    No. Variabel/Klasifikasi Skor

    Total Skor

    Skor minimum

    Skor maksimum

    2

    26

    1. Kepadatan penduduk < 500

    500 - 1.249

    1.250 - 2.499

    2.500 - 3.999

    4.000 - 5.999

    6.000 - 7.499

    7.500 - 8499

    8.500 <

    1

    2

    3

    4

    5

    6

    7

    8

    2. Persentase rumah tangga pertanian 70,00 <

    50,00 – 69,99

    30,00 – 49,99

    20,00 – 29,99

    15,00 – 19,99

    10,00 – 14,99

    5,00 – 9,99

    < 5,00

    1

    2

    3

    4

    5

    6

    7

    8

    3. Akses fasilitas umum 0, 1, 2, …, 10

    a. Sekolah Taman Kanak-Kanak (TK) 1) Ada atau ≤ 2,5 km 2) > 2,5 km

    1

    0

  • 22

    No. Variabel/Klasifikasi Skor

    b. Sekolah Menengah Pertama (SMP) 1) Ada atau ≤ 2,5 km 2) > 2,5 km

    1

    0

    c. Sekolah Menengah Umum (SMU) 1) Ada atau ≤ 2,5 km 2) > 2,5 km

    1

    0

    d. Pasar 1) Ada atau ≤ 2 km 2) > 2 km

    1

    0

    e. Pertokoan 1) Ada atau ≤ 2 km 2) > 2 km

    1

    0

    f. Bioskop 1) Ada atau ≤ 5 km 2) > 5 km

    1

    0

    g. Rumah Sakit 1) Ada atau ≤ 5 km 2) > 5 km

    1

    0

    h. Hotel/Bilyar/Diskotek/Panti Pijat/Salon 1) Ada 2) Tidak ada

    1

    0

    i. Persentase Rumah Tangga Telepon 1) ≥ 8,00 2) < 8,00

    1

    0

    j. Persentase Rumah Tangga Listrik 1) ≥ 90,00 2) < 90,00

    1

    0

    Total Skor ≥ 10 = Desa/Kelurahan Perkotaan (Urban)

    Total Skor < 10 = Desa/Kelurhan Pedesaan (Rural) Sumber: BPS, 2010

    2. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan

    WHO (2014) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang berkontribusi

    terhadap peningkatan prevalensi hipertensi adalah usia, kemiskinan,

    pelayanan kesehatan, genetik, stres, obesitas, aktivitas fisik, merokok,

    konsumsi alkohol, konsumsi makanan asin dan lemak berlebih dan

    kurang mengonsumsi sayur dan buah. Berikut ini merupakan pejelasan

  • 23

    faktor-faktor yang berkontribusi terhadap peningkatan prevalensi

    hipertensi.

    a. Jenis Kelamin

    Penelitian Kannan dan Satyamoorthy (2009) dan Mohan dkk.

    (2007) menyebutkan bahwa ada hubungan antara jenis kelamin

    dengan hipertensi. Penelitian Moreira dkk. (2013) di Brazil, risiko

    hipertensi lebih tinggi pada perempuan dibandingkan dengan laki-

    laki, baik wilayah rural maupun urban.

    Di wilayah rural Liaoning Cina, perempuan berisiko 1,293

    mengalami hipertensi dibandingkan laki-laki (Xu dkk., 2008). Di

    wilayah urban India, prevalensi hipertensi juga lebih tinggi pada

    perempuan dibandingkan laki-laki (Prabhakaran dkk., 2007).

    Perempuan akan lebih berisiko pada usia >50 tahun dibandingkan

    dengan laki pada usia yang sama (Howteerakul dkk., 2006).

    Perempuan berusia >40 tahun lebih berisiko mengalami

    hipertensi daripada laki-laki karena pengaruh hormon estrogen.

    Hormon estrogen berperan dalam proteksi tekanan darah istirahat

    ketika adanya aktivitas saraf simpatis akibat dari peningkatan

    aktivitas saraf simpatis otot. Oleh karena itu, prevalensi ataupun

    risiko hipertensi akan meningkat pada perempuan yang telah

    menopouse (Robertson, 2012).

    Namun, pada beberapa penelitian prevalensi ataupun risiko

    hipertensi justru lebih tinggi pada laki-laki. Di Chennai, prevalensi

    hipertensi pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan (laki-

  • 24

    laki: 23,2% perempuan: 17,1%) (Mohan, 2007). Penelitian

    Howteerakul dkk. (2006) di wilayah rural Thailand menunjukkan

    bahwa rata-rata tekanan darah sistolik maupun diastolik lebih tinggi

    pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan.

    Penelitian Howteerakul dkk. (2006) menjelaskan bahwa laki-

    laki berusia

  • 25

    penumpukan kolagen dan hipertropi sel otot halus yang tipis,

    berfragmen dan patahan dari serat elastin. Selain itu, seiring

    pertambahan usia terjadi abnormalitas struktural berupa disfungsi

    endotel sehingga meningkatkan kekakuan pada pembuluh darah

    arteri orang tua (Black dkk., 2007).

    Berbagai penelitian menyebutkan bahwa adanya hubungan

    antara usia dengan hipertensi (Kannan dan Satyamoorthy, 2009;

    Howteerakul dkk., 2006; Xu dkk., 2008). Prevalensi dan risiko

    hipertensi akan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya

    usia (Hou, 2008; Musingizi dkk., 2013; Howteerakul dkk., 2006;

    Mohan dkk., 2007). Di Indonesia, risiko hipertensi terus meningkat

    seiring dengan bertambahnya usia bahkan hingga 11,53 kali ketika

    seseorang berusia 75 tahun (Rahajeng dan Tuminah., 2009). Laporan

    hasil Riskesdas tahun 2013 juga menunjukkan bahwa sebagian besar

    lansia cenderung mengalami hipertensi, yaitu 57,6% kemudian

    disusul penyakit artritis 51,9% (Kemenkes RI, 2013)

    Di Brazil, baik di wilayah rural maupun urban, risiko hipertensi

    semakin meningkat seiring dengan bertambahnya umur seseorang.

    Namun, risiko hipertensi lebih besar pada wilayah urban

    dibandingkan dengan wilayah rural (Moreira dkk., 2013). Selain itu,

    penelitian di wilayah rural Thailand menunjukkan adanya hubungan

    antara usia dengan hipertensi dan orang dengan usia >40 tahun

    berisiko 4,2 kali mengalami hipertensi dibandingkan yang berusia

    ≤40 tahun (Howteerakul dkk., 2006).

  • 26

    c. Pendidikan

    Hasil penelitian Yang dkk. (2006) dan Okpechi dkk. (2013)

    membuktikan adanya hubungan antara tingkat pendidikan dengan

    hipertensi. Penelitian Rahajeng dan Tuminah (2009) di Indonesia

    dan Penelitian Zhang dkk. (2013) di Cina menunjukkan bahwa

    semakin rendah tingkat pendidikan seseorang maka semakin tinggi

    pula risiko mengalami hipertensi. Penelitian di wilayah urban Afrika

    Selatan menunjukkan bahwa ada hubungan antara pendidikan ≤7

    tahun dengan kejadian hipertensi (Peer dkk., 2013). Selain itu, di

    Brazil, orang yang menempuh pendidikan selama ≥15 tahun dapat

    terlindungi dari risiko hipertensi sebesar 0,69 kali di wilayah urban

    dan 0,75 kali di wilayah rural (Moreira dkk., 2013).

    Hubungan antara pendidikan dengan hipertensi bisa dikatakan

    hubungan tidak langsung. Hal ini karena adanya peran pengetahuan,

    dimana tingkat pendidikan akan mempengaruhi pengetahuan

    seseorang, pengetahuan yang baik kemudian akan menimbulkan

    kesadaran. Kesadaran masyarakat tentang faktor risiko hipertensi

    akan membuat mereka dengan sukarela mengubah gaya hidup (Aung

    dkk., 2012; Anggara dan Prayitno., 2013).

    Tingkat pendidikan formal yang rendah merupakan salah satu

    hambatan untuk menimbulkan kesadaran terhadap faktor risiko

    hipertensi pada masyarakat desa dan penduduk minoritas (Aung

    dkk., 2012). Hasil penelitian Aung dkk. (2012) pada masyarat desa

    etnis Karen di Thailand membuktikan bahwa responden yang

  • 27

    memperoleh pendidikan formal 6,5 kali lebih tahu tentang hipertensi

    dibandingkan yang tidak memperoleh pendidikan formal. Penelitian

    Viera dkk. (2008) di California juga membuktikan bahwa responden

    dengan tingkat pendidikan rendah berisiko 2,43 kali memiliki

    pengetahuan tentang hipertensi yang rendah.

    Namun, tingkat pengetahuan cukup pun belum bisa menjamin

    terciptanya perilaku yang baik karena menurut teori Lehendroff dan

    Tracy perilaku tidak hanya dipengaruhi oleh kemampuan tetapi juga

    kemauan (Sudarma M., 2008). Informasi yang diterima masyarakat

    di luar lingkungan pendidikannya juga berperan penting terhadap

    peningkatan pengetahuan (Suhardi dkk., 2014; Shaikh, 2011). Oleh

    karena itu, metode penyuluhan yang diterapkan pun perlu

    diperhatikan agar menarik minat masyarakat. Hal ini karena setiap

    masyarakat memiliki karakteristik yang berbeda-beda (Maulana H.

    D. J., 2009).

    d. Pekerjaan

    Penelitian Peer dkk. (2013), Kannan L. dan Satyamoorthy

    (2009) dan Yang dkk. (2006) diketahui bahwa ada hubungan antara

    status pekerjaan dengan kejadian hipertensi. Di Brazil, orang yang

    bekerja dapat terhindar dari hipertensi sebesar 0,73-0,88 kali pada

    wilayah urban dan 0,79-0,81 kali pada wilayah rural dibandingkan

    dengan yang tidak bekerja (Moreira dkk., 2013). Sedangkan di

    Indonesia, orang yang tidak bekerja berisiko 1,42 kali mengalami

    hipertensi (Rahajeng dan Tuminah., 2009).

  • 28

    Orang yang bekerja dapat terlindungi dari hipertensi karena

    dirinya melakukan aktivitas fisik yang baik untuk peredaran darah

    (Kannan dan Satyamoorthy, 2009). Namun, Yang dkk. (2006)

    menjelaskan bahwa jam kerja yang panjang dapat meningkatkan

    risiko hipertensi melalui beberapa hal. Pertama, jam kerja yang

    panjang akan mengurangi waktu untuk pemulihan dan istirahat tidur

    sehingga berdampak gangguan proses psikologis. Kedua, jam kerja

    yang panjang berhubungan dengan gaya hidup dan perilaku,

    termasuk merokok, diet tidak sehat dan kurang aktivitas fisik. Lebih

    jauh lagi, jam kerja yang panjang membuat pekerja terpajan kondisi

    psikologis berbahaya di lingkungan kerja dalam waktu yang lama.

    Selain itu jenis dan kondisi lingkungan kerja dapat menjadi

    faktor risiko dari hipertensi. Contohnya, pekerja industri yang

    terpapar kondisi lingkungan kerja yang panas dan bising dapat

    berisiko terkena hipertensi (Greenberg M. I. dkk., 2003; Juan P.,

    2005; Rodahl K., 2005; Levy B. S. dkk., 2005; Arezes P. M. dkk.,

    2014). Kondisi lingkungan yang panas dapat menyebabkan stres

    yang dapat tekanan darah sehingga menyebabkan hipertensi (Rodahl

    K., 2005; Arezes P. M. dkk., 2014).

    Peningkatan tekanan darah juga dapat terjadi ketika kondisi

    lingkungan bising karena dapat mempengaruhi viskositas plasma dan

    menyebabkan penyempitan pembuluh darah (Greenberg M. I. dkk.,

    2003; Juan P., 2005; Arezes P. M. dkk., 2014). Selain itu, jenis

    pekerjaan seperti pegawai negeri sipil, pekerja bank, supir, petugas

  • 29

    pengamanan (security) dan pekerjaan yang mengandalkan mesin

    otomatis membuat para pekerja menjadi kurang beraktivitas fisik

    sehingga berisiko hipertensi (Kumar P. dkk., 2002; Divan V. dkk.,

    2010; Bosu, 2014).

    Pengendalian risiko kesehatan kerja penting dilakukan sebagai

    upaya pencegahan hipertensi akibat kerja, baik itu melalui

    manajemen kerja, penggunaan alat pelindung diri (APD), ataupun

    penguran sumber pemapar. Pengaturan waktu kerja penting untuk

    mengurangi keterpaparan suhu tinggi dan kebisingan di lingkungan

    kerja. Penyediaan alat pendingin ruangan ataupun ruang ruang

    pendingin khusus pekerja juga dapat menjadi solusi untuk mengatasi

    lingkungan kerja yang panas. Selain itu, penggantian alat sumber

    kebisingan dengan alat yang lebih rendah tingkat kebisingannya

    dapat menjadi solusi untuk mengurangi kebisingan di lingkungan

    kerjaa (Hughes P. dan Ferret E., 2011).

    e. Kemiskinan

    WHO (2011) menjelaskan bahwa kemiskinan secara tidak

    langsung dapat menyebabkan penyakit kardiovaskular seperti yang

    terlihat pada Bagan 2.1. Lebih khusus, pendapatan keluarga yang

    tinggi akan mempermudah seseorang dalam memperoleh informasi,

    cara pencegahan, pengobatan dan diagnosis segera penyakit

    hipertensi (Mion dkk., 2004). Hasil penelitian Mion dkk. (2004) di

    Brazil menunjukkan bahwa pendapatan keluarga yang rendah

    meningkatkan risiko hipertensi sebesar 1,66 kali.

  • 30

    Penelitian kohort oleh Conen dkk. (2009) pada tenaga kesehatan

    perempuan di Rumah Sakit juga membuktikan bahwa pendapatan

    yang rendah berhubungan dengan hipertensi (P = 0,05). Semakin

    rendah pendapatan maka semakin meningkat risiko hipertensi.

    Penelitian Conen dkk. (2009) juga menjelaskan bahwa status sosial

    ekonomi yang rendah menyebabkan hipertensi karena adanya

    pengaruh akses ke pelayanan bekualitas, diet, dukungan sosial, stres

    emosional, dan lingkungan tetangga yang tidak menguntungkan.

    Bagan 2.1

    Konsep Kemiskinan Berkontribusi terhadap Masalah Penyakit

    Tidak Menular

    Sumber: WHO, 2010

    Kearney dkk. (2005) menjelaskan bahwa kemiskinan menjadi

    faktor dalam pemilihan makanan. Pendapatan yang rendah akan

    menurunkan kemampuan membeli makanan yang sehat. Selain itu,

    pendapatan yang rendah mendorong individu untuk bekerja lebih

    giat sehingga lebih memilih mengonsumsi makanan cepat saji di luar

    rumah. Hal ini sering terjadi pada masyarakat perkotaan.

  • 31

    Di Indonesia, status ekonomi berhubungan dengan kejadian

    hipertensi pada masyarakat miskin (P = 0,000) (Indrawati dkk.,

    2009). Penelitian Khanam dkk. (2015) pada masyarakat pedesaan di

    Bangladesh juga menunjukkan bahwa status ekonomi berhubungan

    dengan hipertensi (P < 0,0001). Sebaliknya, penelitian Khan dkk.

    (2013) tidak menunjukkan adanya hubungan dari status sosial

    ekonomi dengan hipertensi.

    f. Akses ke Pelayanan Kesehatan

    Pelayanan kesehatan berperan penting dalam penanggulangan

    penyakit kardiovaskular, terutama pelayanan kesehatan primer.

    Pelayanan kesehatan diharapkan dapat menyediakan obat-obatan

    yang cukup dan pemeriksaan untuk penyakit kardiovaskular.

    Sulitnya akses untuk memperoleh pelayanan kesehatan akan

    mempersulit masyarakat untuk memperoleh informasi, pemeriksaan

    dan pengobatan penyakit kardivaskular (WHO, 2014).

    Hasil systematic review Maimaris dkk. (2013) menunjukkan

    bahwa jarak ke pelayanan kesehatan berhubungan dengan hipertensi,

    dimana dalam penelitian Ambaw dkk (2012) jarak >30 menit

    meningkatkan risiko hipertensi sebesar 2,02 kali. Di Indonesia,

    sebagian besar masyarakat memerlukan waktu 16-30 menit (34,4-

    37,7%) untuk sampai ke sarana pelayanan kesehatan seperti Rumah

    Sakit. Selain itu, sebagian besar masyarakat memerlukan waktu < 15

    menit (60-80%) untuk sampai ke Puskesmas, Puskesmas pembantu,

    praktik dokter/klinik, praktik bidan atau rumah bersalin, Pos

  • 32

    Kesehatan Desa (Poskesdes), Pos Lintas Desa (Polindes) dan

    Posyandu (Kemenkes RI, 2013).

    Untuk pergi ke sarana pelayanan kesehatan, sebagian besar

    masyarakat menggunakan sepeda motor (sekitar 70%) dan biaya

    transportasi menuju unit kesehatan berbasis masyarakat terdekat

    adalah ≤ Rp.10.000.. Namun, ada sekitar 5% masyarakat dengan

    status ekonomi rendah yang harus menggunakan alat transportasi

    lebih dari satu. Selain itu, sekitar 45% masyarakat ekonomi rendah

    menempuh perjalanan ke Rumah Sakit pemerintah terdekat selama >

    60 menit (Kemenkes RI, 2013).

    Secara finansial, upaya pencegahan hipertensi dan pelayanan

    kesehatan terhadap penderita hipertensi telah ditanggulangi oleh

    pemerintah Indonesia melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)

    (BPJS, 2014). Indonesia juga memiliki Pos Pembinaan Terpadu

    (Posbindu) sebagai salah satu sarana pelayanan kesehatan berbasis

    masyarakat yang berperan penting terhadap deteksi dini penyakit

    jantung dan pembuluh darah dan pembinaan gaya hidup sehat pada

    masyarakat (Kemenkes RI, 2013). Namun, berdasarkan hasil

    penelitian Handayani (2012) pemanfaatan Posbindu oleh para lansia

    di Kecamatan Ciomas masih rendah, yaitu 23%. Jarak, dukungan

    keluarga, peran kader dan peran petugas kesehatan adalah faktor

    yang berhubungan dengan rendahnya pemanfaatan Posbindu

    (Handayani, 2012).

  • 33

    g. Genetik

    Faktor genetik berpengaruh terhadap hipertensi karena memiliki

    peran dalam metabolisme pengaturan garam dan renin membran sel

    (Depkes, 2006). Namun, Hipertensi secara patofisiologis tidak hanya

    dipengaruhi oleh regulasi otak dan ginjal. Namun, menurut paradigma

    biologi molekular, hipertensi juga dipengaruhi oleh regulasi endotel

    Relaxing factor dapat diproduksi oleh endotel yang berperan sebagai gas

    vasoaktif, yaitu nitric oxide (NO) (Sulastri, 2011).

    Produksi NO dikendalikan oleh gen eNOS3. Glu298Asp merupakan

    salah satu polimorfisme gen eNOS3 yang berhubungan dengan kejadian

    hipertensi. Mutasi yang terjadi berupa subtitusi guanine menjadi timin pada

    exon 7 posisi 894 yang menyebabkan terjadinya perubahan ekspresi

    protein matur dari glutamat menjadi aspartat pada posisi 298. Polimorfisme

    Glu298Asp (G894T) sebagai varian yang berperan terjadinya hal tersebut

    menyebabkan penurunan ketersediaan biologi dari senyawa NO (Sulastri,

    2011).

    Hubungan fungsi NO dengan kejadian hipertensi adalah NO

    menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah dengan cara menghambat

    pelepasan renin dan norepinefrin secara tidak langsung. Sintesis NO juga

    di bawah nilai basal (normal 25 µM/L-45 µM/L) pada penderita hipertensi

    esensial. Akibatnya, terjadi peningkatan tahanan perifer karena efek

    vasodilatasi terhadap pembuluh darah menurun (Sulastri, 2011).

    Selain gen eNOS3, gen CYP11B2 varian T(-344)C adalah salah satu

    polimorfisme yang berhubungan dengan hipertensi. Gen ini merupakan

    polimorfisme single nucleotide varian T(-344)C dan satu-satunya penyandi

    aldosterone synthase. Polimorfisme gen yang lebih sering ditemukan pada

  • 34

    ras Asia ini terjadi pada promoter region yang mempengaruhi putative

    binding site steroidogenic transcription factor-1 (SF-1) (Sundari, 2013).

    Penelitian Sundari dkk, (2013) menjelaskan bahwa telah terjadi mutasi

    genetik pada gen CYP11B2 varian T(-344)C, yaitu basa Thymine (T)

    substitusi menjadi Cytosine (C) pada kodon 344. Mutasi terjadi pada 8,3%

    individu dengan genotip homozigot CC. Hal ini berarti dapat diasumsikan

    bahwa telah terjadi polimorfisme pada promoter region gen CYP11B2

    varian T(-344)C pada pasien hipertensi di wilayah pantai. Mutasi ini

    kemudian terkait dengan peningkatan kadar aldosteron yang dapat

    merangsang aktivitas epithelial Na+ channel (EnaC) yang merupakan

    etiologi hipertensi esensial.

    Penelitian Sundari (2013) juga menunjukkan bahwa individu dengan

    homozigot TT akan lebih rentan terkena hipertensi dibandingkan TC dan

    CC. Hal ini dimungkinkan individu homozigot TT kurang adaptif sehingga

    promoter region polimorfisme gen CYP11B2 varian T(-344)C sensitif

    terhadap stimulus angitensin II. Akibatnya, terjadi peningkatan angiotensin

    II dalam plasma yang membuat individu homozigot rentan mengalami

    hipertensi.

    Selain mutasi dua gen tersebut, ada juga mutasi gen NPHS2

    (412C→T, 419delG) yang manifestasi klinisnya adalah hipertensi. Namun,

    penelitian Rachmadi dkk. (2011) tidak menemukan adanya hubungan

    antara mutasi gen tersebut dengan kemunculan hipertensi sebagai

    manifestasi klinis dari sindrom nefrotik resisten steroid pada anak. Selain

    itu, ada beberapa mutasi gen lain yang menyebabkan terjadinya hipertensi.

    Ada sekitar sepuluh mutasi genetik yang terkait dengan kejadian hipertensi

    berdasarkan hukum Mendelian. Liddle’s syndrome adalah salah satu

    contohnya (Carretero, 2000).

  • 35

    h. Stres

    Stres dapat merangsang kelenjar anak ginjal melepaskan hormon

    adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat dan kuat

    sehingga dapat meningkatkan tekanan darah. Stres yang kronis akan

    berdampak pada perubahan patologis tubuh karena adanya kelainan

    organis. Gejala yang muncul dapat berupa hipertensi atau penyakit

    maag (Kemenkes RI, 2006).

    Berdasarkan penelitian Sirait dan Riyadina (2010) pada pekerja

    industri di kawasan industri Pulogadung, stres berhubungan dengan

    hipertensi (0,013). Penelitian South dkk. (2014) juga menunjukkan

    adanya hubungan antara stres dengan hipertensi (P = 0,002).

    Sebaliknya, penelitian Rahajeng dan Tuminah (2009) dan Agyei

    dkk. (2014) menunjukkan tidak adanya hubungan antara stres

    dengan hipertensi.

    Selain berhubungan langsung dengan hipertensi, stres juga

    memicu orang untuk berperilaku merokok. Penelitian Liu dkk.

    (2015) dan Cui dkk. (2012) menjelaskan bahwa faktor stres adalah

    penyebab perilaku merokok pada imigran Cina yang tinggal di kota,

    terutama stres kerja. Penelitian kualitatif pada mahasiswi di Kota

    Makassar juga menunjukkan bahwa stres menjadi salah satu faktor

    pemicu para mahasiswi berperilaku merokok (Tarupay, dkk., 2014).

    Stres juga menjadi penyebab perilaku merokok pada remaja laki-laki

    di kota Medan (Hasnida dan Kemala, 2005).

  • 36

    i. Obesitas

    Obesitas adalah kondisi dimana indeks masa tubuh >27 kg/m2

    (Kemenkes RI, 2013). Namun, WHO mendefinisikan obesitas

    sebagai keadaan dimana indeks masa tubuh ≥30 kg/m2 (WHO,

    2014). Hasil penelitian sebelumnya di Ghana menunjukkan bahwa

    indeks massa tubuh pada masyarakat perkotaan (29,9) lebih tinggi

    dibandingkan dengan masyarakat pedesaan (25,3) (Obirikorang,

    2015). Berbagai penelitian membuktikan bahwa obesitas berisiko

    menyebabkan hipertensi (Sobngwi dkk., 2004; Howteerakul dkk.,

    2006; Mendez-Chacon, 2008; Gao dkk., 2013; Forman, 2009).

    Penelitian di wilayah rural Brazil menunjukkan bahwa obesitas

    berisiko 1,21 kali menyebabkan hipertensi pada laki-laki dan 5,45

    kali pada perempuan (Pimenta dkk., 2008). Di Chennai, obesitas

    menimbulkan risiko 2,37 kali mengalami hipertensi dibandingkan

    orang normal (Mohan dkk., 2007). Di Indonesia, seseorang yang

    mengalami obesitas berisiko 2,79 kali mengalami hipertensi

    (Rahajeng dan Tuminah, 2009).

    Penderita obesitas akan lebih mudah mengalami hipertensi. Hal

    ini karena pada penderita obesitas terjadi ketidaknormalan

    mekanisme kontrol terhadap tekanan arterial. Ketidaknormalan itu

    umumnya berupa hiperinsulinemia yang meyebabkan aktivasi

    system saraf simpatis dan penyimpanan sodium sehingga

    menyebabkan peningkatan tekanan darah dan hipertensi (Goran M. I.

    dan Sothern, 2006; Hu, 2008). Penderita obesitas juga dapat

  • 37

    menyebabkan diabetes terlebih dulu sebelum hipertensi. Berdasarkan

    penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa obesitas merupakan

    faktor yang berhubungan dengan diabetes (Jelantik dan Heryati,

    2014; Hussain A. dkk., 2010).

    j. Riwayat Diabetes

    Diabetes merupakan salah satu faktor risiko dari hipertensi. Hal

    ini karena orang dengan diabetes dapat menderita resistensi insulin.

    Resistensi insulin akan meningkatkan tekanan darah karena

    hilangnya aktivitas vasodilator normal dari insulin atau efek jangka

    panjang dari hiperinsulinemia (Holt, 2011).

    Beberapa penelitian menyatakan bahwa ada hubungan antra

    diabetes dengan hipertensi (Peer dkk., 2013; Gao dkk., 2013). Di

    Brazil, riwayat diabetes meningkatkan risiko hipertensi sebesar 4,43

    kali (urban) dan 4,61 kali (rural) (Moreira dkk., 2013). Di India,

    orang yang diabetes berisiko 4,32 kali mengalami hipertensi

    (Kannan dan Satyamoorthy, 2009).

    Penelitian Basuki dan Setianto (2001) pada masyarakat Sunda di

    Kabupaten Bogor membuktikan bahwa riwayat diabetes berisiko

    2,45 kali mengalami hipertensi. Namun, penelitian Rahajeng di

    Indonesia justru menunjukkan bahwa riwayat diabetes tidak

    memberikan risiko yang signifikan untuk mengalami hipertensi

    (Rahajeng dan Tuminah, 2009).

  • 38

    k. Konsumsi Alkohol

    Peningkatan kadar kortisol dan peningkatan volume eritrosit

    serta kekentalan darah diduga berperan dalam menaikkan tekanan

    darah. Konsumsi alkohol sekitar 2-3 gelas ukuran standar setiap hari

    akan memberikan efek terhadap tekanan darah (Depkes RI, 2006).

    Penelitian kohort Forman (2009) pada para mahasiswa keperawatan

    di Amerika Serikat menunjukkan bahwa risiko hipertensi semakin

    meningkat seiring dengan banyaknya alkohol yang dikonsumsi.

    Beberapa penelitian lain juga menunjukkan adanya hubungan

    antara konsumsi alkohol dengan hipertensi (Sobngwi dkk., 2003; Xu

    dkk., 2008; Hou, 2008; Kannan dan Satyamoorthy, 2009; Yao dkk.,

    2010; Khan dkk., 2013). Penelitian Kannan dan Satyamoorthy

    (2009) di Tamilnadu menunjukkan bahwa seorang alkoholik berisiko

    3,812 kali mengalami hipertensi. Penelitian Agyemang dkk. (2006)

    di Ghana membuktikan bahwa orang yang mengonsumsi alkohol

    berisiko 1,60 kali mengalami hipertensi

    l. Aktivitas Fisik

    Aktivitas fisik mempengaruhi tekanan darah karena aktivitas

    fisik terkait dengan peningkatan dan reduksi saraf simpatis dan para

    simpatis (Mohler dan Townsend, 2006). Selain itu, aktivitas fisik

    yang rutin dapat mengurangi lemak jenuh, meningkatkan eliminasi

    sodium akibat terjadinya perubahan fungsi ginjal dan mengurangi

    plasma renin serta aktivitas katekolamin. Oleh karena itu, aktivitas

  • 39

    fisik yang rutin dapat menurunkan tekanan darah sistolik maupun

    diastolik sehingga mampu mencegah hipertensi (Rahl, 2010).

    Durasi, intensitas dan frekuensi aktivitas fisik akan

    mempengaruhi manfaat aktivitas fisik bagi kesehatan (Carnethon,

    2009). WHO menganjurkan aktivitas fisik sebaiknya berlangsung

    selama ≥ 600 MET (WHO, 2013). MET merupakan ukuran lamanya

    waktu (menit) beraktivitas dalam satu minggu dikalikan bobot

    tertentu (Kemenkes RI, 2013). Berikut ini jenis tingkatan aktivitas

    fisik (Kemenkes RI, 2013).

    1) Berat: kegiatan yang dilakukan selama minimal 10 menit secara

    terus-menerus sampai denyut nadi meningkat dan napas lebih

    cepat dari biasanya (misalnya menimba air, mendaki gunung,

    lari cepat, menebang pohon, mencangkul, dll) selama minimal

    tiga hari dalam satu minggu dan total waktu beraktivitas ≥1500

    MET minute. Bobot (MET value) untuk aktivitas fisik berat

    adalah 8 kalori

    2) Sedang: apabila melakukan aktivitas fisik sedang (menyapu,

    mengepel, dll) minimal lima hari atau lebih dengan total

    lamanya beraktivitas 150 menit dalam satu minggu. Bobot (MET

    value) untuk aktivitas fisik sedang adalah 4 kalori (WHO, 2015)

    3) Ringan: aktivitas yang tidak termasuk dalam aktivitas berat

    maupun sedang.

    Hasil penelitian Peer N. (2013) menunjukkan bahwa ada

    hubungan antara aktivitas fisik yang rutin yang kurang (

  • 40

    dengan kejadian hipertensi. Penelitian Forman (2009) pada wanita

    dewasa yang berpofesi sebagai perawat menunjukkan bahwa latihan

    rutin 7 hari per minggu mampu menurunkan risiko hipertensi hingga

    0,87 kali dibandingkan yang

  • 41

    sehingga akan ditampung di membran pembuluh kapiler dan

    menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah (Schnitzer, 2000;

    Depkes RI, 2006).

    Di wilayah urban Chennai, merokok berhubungan dengan

    kejadian hipertensi dan risiko orang merokok adalah 1,5 kali lebih

    besar dibandingkan yang tidak merokok (Mohan dkk., 2007).

    Penelitian di Brazil mengungkapkan bahwa perilaku merokok dapat

    meningkatkan risiko hipertensi sebesar 1,2 kali pada masyarakat

    perkotaan dan 1,24 kali pada masyarakat pedesaan (Moreira dkk.,

    2013).

    Selain itu, Di India, orang yang merokok 2,4 kali lebih berisiko

    mengalami hipertensi dibandigkan yang tidak merokok (Kannan dan

    Satyamoorthy, 2009). Penelitian Anggara dan Prayitno (2013) di

    Cikarang Barat juga menunjukkan bahwa ada hubungan yang

    signifikan antara perilaku merokok dengan hpertensi dan merokok

    dapat meningkatkan risiko hipertensi sebesar 8,1 kali. Namun, Di

    China, perokok ringan tidak menunjukkan risiko yang signifikan

    terhadap hipertensi dan perokok berat justru dapat terhindar 0,96 kali

    dari hipertensi (Hou, 2008). Durasi merokok juga berperan dalam

    meningkatkan risiko hipertensi. Penelitian Thuy A. B. (2010)

    menunjukkan bahwa kebiasaan merokok menyebabkan hipertensi

    dipengaruhi oleh lama waktu menjadi perokok.

    Perokok pasif pun dapat berisiko mengalami hipertensi. Hal ini

    dibuktikan dengan hasil penelitian Lina dkk. (2013) di wilayah kerja

  • 42

    Puskesmas Mulyorejo Kota Surabaya yang menunjukkan bahwa

    perokok pasif berisiko mengalami hipertensi sebesar 1,37 kali

    dibandingkan yang bukan perokok pasif. Dalam penelitian tersebut,

    hubungan keluarga, jenis rokok, jumlah perokok, lama paparan,

    jumlah rokok dan lokasi merokok merupakan variabel paparan asap

    rokok yang berisiko menimbulkan hipertensi.

    n. Konsumsi Makanan Asin

    Konsumsi makanan asin atau yang mengandung garam tinggi

    dapat menyebabkan volume cairan dalam tubuh meningkat. Hal ini

    karena garam menarik cairan di luar sel agar tidak dikeluarkan oleh

    tubuh sehingga meningkatkan volume dan tekanan darah (Depkes

    RI, 2006). Dalam buku Deteksi Dini Faktor Risiko Penyakit Jantung

    dan Pembuluh Darah dijelaskan bahwa salah satu faktor risiko

    penyakit jantung dan pembuluh darah pada penduduk umur 18 tahun

    ke atas adalah sering makan makanan asin (≥1 kali/hari) (Kemenkes

    RI, 2010).

    Data WHO menunjukkan bahwa 1,7 juta orang meninggal di

    tahun 2010 karena penyakit kardiovaskular, dimana konsumsi garam

    berlebih merupakan salah satu faktor pemicunya. Data WHO juga

    menunjukkan bahwa secara global rata-rata konsumsi garam

    masyarakat adalah sekitar 10 g per hari (4 g/hari sodium). Asia

    Tenggara merupakan kawasan dengan tingkat konsumsi garam yang

    tinggi. Padahal, konsumsi garam melebihi 5 g/hari (lebih dari 1

  • 43

    sendok teh per hari) berkontribusi terhadap peningkatan tekanan

    darah (WHO, 2014).

    Hasil penelitian He (2005) diketahui bahwa pengurangan

    konsumsi garam berhubungan dengan penurunan tekanan darah (P =

    0,002). Penelitian Bartwal dkk. (2014) di Haldwani membuktikan

    bahwa ada hubungan antara asupan garam dengan hipertensi (x2 =

    12,42). Hasil analisis multivariat penelitian Indrawati dkk. (2009)

    menunjukkan ada hubungan antara konsumsi makanan asin dengan

    hipertensi (P = 0,001) walaupun tidak ada perbedaan risiko

    hipertensi antara yang sering atau jarang makan makanan asin

    dengan yang tidak pernah makan makanan asin.

    Penelitian terkait pola konsumsi makanan harus dapat

    menjelaskan pola konsumsi makanan dengan baik. Pengukuran pola

    konsumsi makanan yang digunakan saat Riskesdas 2013 adalah

    berdasarkan frekuensi makan sehingga kurang valid dan subjektif

    (Rahajeng dan Tuminah, 2009). Oleh karena itu, penelitian Rahajeng

    dan Tuminah (2009) justu menunjukkan bahwa konsumsi makanan

    asin berlebih tidak ada berhubungan dengan kejadian hipertensi.

    o. Konsumsi Makanan Berlemak

    Konsumsi makanan berlemak secara berlebihan akan

    menyebabkan hiperlipidemia. Hiperlipidemia akan menyebabkan

    peningkatan kadar kolesterol total, trigliserida, kolesterol LDL

    dan/atau penurunan kolesterol HDL dalam darah. Kolesterol

    berperen penting dalam proses terjadinya aterosklerosis yang

  • 44

    kemudian menghambat aliran darah sehingga tekanan darah menjadi

    tinggi (Depkes RI, 2006).

    Konsumsi makanan berlemak terlalu sering adalah mencapai ≥ 1

    kali/hari (Kemenkes RI, 2010). Hasil analisis konsumsi lemak pada

    penduduk Indonesia menunjukkan bahwa persentase lemak total

    penduduk Indonesia masih di bawah standar yang dianjurkan, yaitu

    25%. Namun, persentase lemak jenuh mencapai 18,2% sehingga

    melebihi persentase lemak jenuh yang dianjurkan WHO yaitu 10%

    (Hardiansyah, 2011). Penelitian Stefhany (2012) menunjukkan

    bahwa terdapat hubungan antara (P = 0,010) dan pra lansia dan

    lansia yang sering mengonsumsi lemak berisiko 2,785 kali

    mengalami hipertensi.

    Di Afrika, konsumsi lemak berlebih berhubungan dengan

    hipertensi (P = 0,024) dan meningkatkan risiko hipertensi hingga

    2,08 kali (Ramirez dkk., 2010). Penelitian Indrawati dkk. (2009)

    juga menunjukkan adanya hubungan antara konsumsi makanan

    berlemak dengan hipertensi. Namun, sering mengonsumsi lemak

    justru memberikan efek protektif terhadap hipertensi

    p. Konsumsi Sayur dan Buah

    Konsumsi sayur dan buah dapat memproteksi diri dari

    hipertensi. Sayuran mengandung serat yang merupakan jenis

    karbohidrat istimewa karena resisten terhadap enzim pencernaan

    manusia. Serat ini dapat mengurangi tingkat insulin, dimana

    hiperinsulinemia menyebabkan intoleransi glukosa yang dapat

  • 45

    menyebabkan hipertensi (Lin dan Laura, 2012). Sedangkan, buah

    mengandung polifenol yang dapat melindungi jantung. Selain itu,

    beberapa jenis buah memiliki beban glikemik yang rendah sehingga

    tidak berisiko menyebabkan hipertensi (McFarlane dan Bakris,

    2012).

    Konsumsi buah < 3 kali (porsi)/hari dan sayur < 2 kali

    (porsi)/hari dapat berisiko mengalami penyakit kardiovaskular.

    Sedangkan, DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension)

    menganjurkan untuk mengonsumsi buah dan sayur sebanyak 4-5

    porsi/hari (Grodner dkk., 2004).

    Hasil peneletian Utsugi dkk. (2008) di Jepang menunjukkan

    bahwa mengkonsumsi buah dan sayur yang banyak berhubungan

    dengan rendahnya risiko terkena hipertensi. Hasil penelitian dari

    Bazzano dkk (2002) menunjukkan bahwa konsumsi buah dan sayur

    berhubungan dengan hipertensi (P < 0,001). Selain itu, hasil

    penelitian pada masyarakat rural Bangladesh menunjukkan bahwa

    konsumsi sayur dan buah berhubungan dengan hipertensi (P =

    0,0006 dan P = 0,0138) (Khanam dkk., 2015)

    Di Indonesia, konsumsi buah dan sayur berhubungan dengan

    kejadian hipertensi (P = 0,000). Namun, tidak ada perbedaan risiko

    hipertensi antara yang mengonsumsi buah dan sayur < 3 porsi/hari

    dengan yang ≥ 3 porsi/hari (Indrawati dkk., 2009). Sebaliknya,

    penelitian Rahajeng dan Tuminah (2009) di Indonesia menunjukkan

  • 46

    bahwa tidak ada hubungan antara konsumsi sayur dan buah dengan

    hipertensi.

    D. Kerangka Teori

    WHO (2013-2014), Kemenkes RI (2013) dan Rahajeng serta Tuminah

    (2009) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang berperan dalam meningkatkan

    prevalensi hipertensi adalah faktor sosiodemografi, faktor fisik dan riwayat

    penyakit serta faktor gaya hidup. Faktor sosiodemografi di antaranya adalah

    jenis kelamin, usia, kemiskinan, akses pelayanan kesehatan yang tidak

    memadai. Faktor fisik dan riwayat penyakit di antaranya adalah genetik, stres,

    obesitas, riwayat diabetes. Faktor gaya hidup di antaranya adalah kurang

    aktivitas fisik, merokok, konsumsi alkohol, konsumsi makanan asin dan

    berlemak berlebih serta kurang konsumsi sayur dan buah. Namun, faktor-

    faktor tersebut tidak secara langsung menyebabkan hipertensi.

    Beberapa faktor akan mendahului faktor yang lain sebelum menyebabkan

    hipertensi. Contohnya faktor kemiskinan yang terlebih dulu mempengaruhi

    akses ke pelayanan kesehatan kemudian pengetahuan (Mion dkk., 2014;

    Conen dkk., 2009; WHO, 2014). Dari faktor pengetahuan, kemudian

    menyebabkan perubahan gaya hidup. Salah satu di antaranya adalah

    kebiasaan merokok. Kebiasaan merokok kemudian secara biologis dapat

    menyebabkan hipertensi melalui aterosklerosis yang menyebabkan

    peningkatan tahanan perifer pembuluh darah, seperti yang tergambarkan pada

    Bagan 2.2 (Schnitzer, 2000; Depkes RI, 2006; Cahyono, 2008).

  • 47