30
This document contains text automatically extracted from a PDF or image file. Formatting may have been lost and not all text may have been recognized. To remove this note, right-click and select "Delete table".

Neo-Sufisme Fazlur Rahman Mahmud Gobel

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Uploaded from Google Docs

Citation preview

Page 1: Neo-Sufisme Fazlur Rahman Mahmud Gobel

This document contains text automatically extracted from a PDF or image file. Formatting may have been lost and not all text may have been recognized.

To remove this note, right-click and select "Delete table".

Page 2: Neo-Sufisme Fazlur Rahman Mahmud Gobel
Page 3: Neo-Sufisme Fazlur Rahman Mahmud Gobel

Gerakan Neo-sufisme (Studi atas Pemikiran

Tasawuf Fazlur Rahman) Mahmud Gobel

2008

Page 4: Neo-Sufisme Fazlur Rahman Mahmud Gobel
Page 5: Neo-Sufisme Fazlur Rahman Mahmud Gobel
Page 6: Neo-Sufisme Fazlur Rahman Mahmud Gobel

PENDAHULUANMahmud Mahmud Mahmud Mahmud Gobel Gobel Gobel Gobel

Ketika pemikiran seorang tokoh tertentu hendak dikaji, maka salah satu hal yang urgen diperhatikan adalah kondisi dan lingkungan dia dibesarkan. Kondisi dan lingkungan itulah pada umumnya menjadi Backround lahirnya frame-frame gagasan-gagasannya. Wajar bila lahir ungkapan “al-Rajul ibn bi ‘atihi”, (M. Aunul Abied Shah. 2001:218). Tentang hal ini, Ibn Khaldun misalnya, menegaskan tentang fase-fase terbentuknya fisik dan mental manusia oleh faktor-faktor geografis dan cuaca mereka berada. Di samping cuaca, tradisi perilaku juga ikut mempengaruhi tingkat berfikir dan kecerdasan. Bahkan makanan dan minuman pun mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan watak, dan jiwa manusia, yang pada saatnya akan ikut mewarnai orientasi dan perilaku sosial politiknya.

Pendapat Ibn Khaldun di atas agaknya sangat relevan bila kita jadikan pijakan untuk mengetahui sosok, sosio-politik dan sosio-kultural yang melatarbelakangi ide- ide pemikiran Fazlur Rahman tentang tasawuf. Fazlur Rahman adalah seorang ulama yang hidup di penghujung abad XX mempunyai pandangan yang sangat positif terhadap dunia. Dia menolak pandangan negatif dan menjauhkan diri dari dunia, manusia harus aktif dan berfikir positif terhadap dunia. Dia mencita-citakan Neo- Sufisme, yaitu sufisme yang cenderung menumbuhkan aktivisme (Amin Syukur. 1997:vii), yang lahir dari rahim sejarah perjalanan sufi yang cenderung meninggalkan aktivitas dunia.

Munculnya gerakan asketisme yang merupakan permulaan lahirnya sifusme dalam Islam, berkembang di zaman Dinasti Umayyah. Kekejaman dan penindasan para penguasa politik kala itu dirasakan oleh masyarakat sebagai penindasan yang melewati batas kemanusiaan, sehingga melahirkan gerakan aksi protes sosial, politik. Salah satu gerakan aksi terhadap ketidakadilan sosial dan merosotnya moral kala itu adalah gerakan sufi, yang berusaha menangkap kedalaman dari spiritual Islam sejati. Bukan merupakan Islam yang sudah dipoles dengan kepentingan politik yang memberikan pembelaan hukum bagi elitisme, nepotisme dan eksploitasi kekuasaan.

Selain kondisi soio-politik diatas, gerakan sufi juga muncul sebagai reaksi keras

2 | N e o S u f i s m e F a z l u r R a h m a n

A. Latar Belakang PemikiranBagian 1

Page 7: Neo-Sufisme Fazlur Rahman Mahmud Gobel
Page 8: Neo-Sufisme Fazlur Rahman Mahmud Gobel
Page 9: Neo-Sufisme Fazlur Rahman Mahmud Gobel

terhadap sikap fuqaha yang terlalu menekankan aspek hukum dalam menafsirkan Islam, sehingga mengarahkan umatnya pada pemujaan terhadap hukum sebagai suatu ekspresi Islam yang lengkap dan menyeluruh. Padahal sesungguhnya hukum itu hanyalah berkaitan dengan laku perbuatan eksternal manusia dari masyarakat. Dalam perkembangan selanjutnya, gerakan sufi yang pada awalnya hanya merupakan gerakan yang menekankan kepada umat manusia tentang pentingnya furifikasi spiritual dan dimensi moral, telah berubah menjadi suatu metode komunikasi dengan Tuhan yang bersifat esoterik. Sehingga sufisme kemudian menjadi semacam “lawan” terhadap kaidah-kaidah hukum dan fiqih yang begitu formal dan gersang. (Amin Rais. 1995:v).

Bagi Islam, sebagai agama yang kaffah dan universal, telah memberikan ruang gerak kepada jenis penghayatan keagamaan eksoterik dan esoterik sekaligus. Walaupun tekanan yang berlebihan kepada salah satu dari dua aspek tersebut akan melahirkan ketidakseimbangan yang menyalahi prinsip-prinsip tawazun dalam Islam, tetapi dalam konteks yang ada dalam kaum muslim, kecenderungan terhadap yang disebut lahiri (ahl al-Zawahir) sangat banyak, disamping pula yang lebih mengarah kepada yang batini (ahl al-Bawatin). (Nurcholish Madjid.1993:93).

Dalam perjalanan sejarahnya, antara kedua dimensi penghayatan keagamaan tersebut sempat menimbulkan konflik ketegangan antara ahli tasawuf dan ahli fiqih, konflik antara ahli hakikat dan ahli syariat, konflik antara penganut ajaran esoterik dan penganjur ajaran eksoterik atau antara golongan Islam ortodoks dengan golongan Islam heterodoks. Hal ini terjadi terutama pada abad III H. (Amin Rais. 1995:vii).

Selanjutnya dengan semakin berkembangnya tasawuf terutama pada abad III H, maka pengaruh eksternal semakin dirasakan. Diantaranya dipengaruhi oleh berbagai macam corak budaya. Akibatnya lahirlah dua corak pemikiran tasawuf. Yaitu corak tasawuf yang materi dasarnya bersandar pada al-Quran dan al-Sunnah, dengan ide gagasan pada pembentukan moralitas yang di back up oleh para ulama moderat. Sementara corak yang lain adalah tasawuf yang materi dasarnya banyak bersumber dari filsafat dengan kecenderungan pada materi-materi tentang hubungan manusia dengan Tuhan yang di usung oleh para pemikir yang terkadang mengemukakan pengalaman ekstasik-fana’nya dan ucapan-ucapan syatahat yang ganjil serta banyak ditandai oleh pemikiran-pemikiran spekulatif-metafisis, al-misal Hulul, wahdat al- wujud, ittihad dan sebagainya.

Melihat kondisi seperti ini, seorang tokoh sufi terkenal yaitu, al-Ghazali mencoba memformulasikan tasawufnya yang sengaja dirancang guna “rekonsiliasi sufistik” antara berbagai disiplin keislaman dan lembaga tasawuf yang semakin senjang. Namun usaha ini belum mampu mengembalikan misi dan pesan dasar tasawuf secara total sebagai pendorong gerakan moral dan ruh Islam yang berkarakter damai dan harmonis. Hegemoni lembaga-lembaga tasawuf justru banyak mengubah dimensi spiritual-moral-sosial kepada dimensi spiritual-mistik-individual. Namun demikian tetap harus diakui bahwa usaha al-Ghazali memang sedikitnya cukup berhasil walaupun masih terdapat berbagai kelemahan. Salah satunya adalah bahwa sebagian besar karya al-Ghazali tidak berisi etos sosial di mana individu menjadi pusat perhatian yang berlebihan, sehingganya banyak di antara pengikutnya, juga tarekat yang muncul pasca al-Ghazali, yang lahir dari pergolakan dunia nyata, menyisih dari dunia sosial dan menjadi “pemangku tangan” dari

3 | N e o S u f i s m e F a z l u r R a h m a n

Page 10: Neo-Sufisme Fazlur Rahman Mahmud Gobel
Page 11: Neo-Sufisme Fazlur Rahman Mahmud Gobel
Page 12: Neo-Sufisme Fazlur Rahman Mahmud Gobel

dinamika sosial, politik dan kebudayaan masyarakatnya.

Tatkala kondisi dan fenomena tersebut menjadi semakin melembaga, maka lahirlah kesadaran akan pentingnya membangkitkan kembali jati diri “sufisme” yang lebih menekankan dimensi moral umat dengan merekonstruksi sejarah awal dan substansi sufisme. Kesadaran ini sebagaimana dinyatakan Fazlur Rahman dipelopori oleh Ibn Taimiyah, yang kemudian diikuti oleh muridnya Ibn Qayyim al-Jauziyah. Oleh Fazlur Rahman dinamakan “Neo – Sufisme” atau sufisme baru. (Fazlur Rahman. 1979.93).

Menurut Rahman Neo – sufisme adalah jenis tasawuf yang telah diperbaharui, di mana ciri dan kandungan asketik serta metafisisnya sudah dihilangkan dan diganti dengan kandungan dari dalil-dalil ortodoksi Islam. Menurutnya lagi bahwa metode tasawuf baru ini menekankan dan memperbaharui faktor moral asli dan kontrol diri yang puritan dalam tasawuf dan menyisihkan ciri-ciri ekstrimis (berlebihan) dalam tasawuf populer yang dipandang unortodox sufism (menyimpang). Dengan demikian, pusat perhatian Neo – Sufisme adalah upaya rekonstruksi sosial-moral kaum muslimin. Atau secara epistimologis konsep tasawuf yang berdasarkan pada tiga prisip dasar yaitu (1) mengacu pada normativitas al-Quran dan al-Sunnah, (2) menjadikan Nabi dan para salaf al-shalihin sebagai panutan dalam aplikasinya dan (3) berprinsip pada sikap tawazun dalam Islam (penghayatan keagamaan batini yang menghendaki hidup aktif dan terlibat dalam praksis social) . Prinsip inilah yang membedakan dengan tasawauf populer yang terutama lebih menekankan kesalehan individual dari pada kesalehan struktural (sosial). Sebagai konsekuensinya, Rahman menunjukkan keseluruhan karakteristik Neo – Sufisme tidak lain adalah puritanis dan aktivis. (Fazlur Rahman. 1979.194).

Setelah diketahui historis sejarah motivasi munculnya Neo-Sufisme Fazlur Rahman, maka timbul suatu pertanyaan, apakah gagasan tersebut mempunyai implikasi dalam realitas kekinian?

Berdasarkan pemikiran diatas, pokok masalah yang hendak dibahas adalah :

1. Bagaimana konsep gagasan Fazlur Rahman tentang Neo-Sufisme? 2. Bagaimana implementasi Neo-Sufisme dalam konteks kekinian?

4 | N e o S u f i s m e F a z l u r R a h m a n

B. Rumusan Masalah

Page 13: Neo-Sufisme Fazlur Rahman Mahmud Gobel
Page 14: Neo-Sufisme Fazlur Rahman Mahmud Gobel
Page 15: Neo-Sufisme Fazlur Rahman Mahmud Gobel

BIOGRAFI INTELEKTUAL FAZLUR RAHMANMahmud Mahmud Mahmud Mahmud Gobel Gobel Gobel GobelA. Latar Belakang Internal

1. Geneologis

Fazlur Rahman adalah seorang cendekiawan Muslim yang hidup pada abad modern ini, dilahirkan pada tahun 1338 H/1919 M., tatkala anak benua Indo-Pakistan masih belum terpecah ke dalam dua negara merdeka, disebuah daerah yang kini terletak di barat laut Pakistan. Anak benua ini memang dikenal gudang intelektual muslim seperti Syah Waliyullah, Amīr ‘Alī dan Muhammad Iqbal. Dalam kultur intelektual lingkungannya yang demikian, tidak mengherankan jika Fazlur Rahman berkembang sebagai sosok cendekiawan yang mempunyai pemikiran radikal dan liberal dalam pembaruan Islam, ditambah dia hidup dalam lingkungan keluarga Sunni bermazhab Hanafī, salah satu mazhab dalam hukum Islam (fiqh) yang lebih rasional daripada mazhab Fiqh yang lain. (Taufiq Adnan Amal.1989:79).

2. Aktivitas Sosial Politik

Aktivitas sosial – politik Fazlur Rahman ia mulai sejak dia menyelesaikan studinya di Universitas Punjab Program Bahasa Arab pada tahun 1942 dengan gelar M. A. dan gelar Ph. D. diraihnya pada tahun 1951 di Universitas Oxford, yaitu dengan mengamalkan ilmunya selang beberapa tahun di Durham University, Inggris, kemudian di Institute of Islamic Studies, McGill University, Kanada, dengan jabatan Associate Professor of Philosophy. (Taufiq Adnan Amal.1987:13)

Pada tahun 1380 H./1960 M dia kembali ke kampung halamannya setelah sekian tahun mengabdikan ilmunya di negeri orang. Dia diberi jabatan sebagai staf senior pada Institute of Islamic Research, yaitu suatu lembaga yang bertugas menafsirkan Islam dan term-term rasional dan ilmiah dalam memenuhi kebutuhan masyarakat modern yang progresif. (Amin Syukur. 1997:122-123).

Untuk selanjutnya di tahun 1382 H./1962 M. ia diberi tanggung jawab sebagai direktur lembaga tersebut. Di tahun 1384 H./1964 M. diangkat sebagai anggota Advisory Council of Islamic Ideology Pemerintahan Pakistan, lembaga yang bertugas meninjau seluruh hukum positif untuk diselaraskan dengan al-Quran dan Sunnah, dan memberi rekomendasi kepada pemerintah pusat tentang bagaimana menjadi seorang Muslim yang lebih baik.

5 | N e o S u f i s m e F a z l u r R a h m a n

Bagian 2

Page 16: Neo-Sufisme Fazlur Rahman Mahmud Gobel
Page 17: Neo-Sufisme Fazlur Rahman Mahmud Gobel
Page 18: Neo-Sufisme Fazlur Rahman Mahmud Gobel

Sejak saat itulah ia mulai menampilkan proyek-proyek pembaruannya tentang Islam. Majalah Islamic Studies, milik Lembaga Research Islam Pakistan ia jadikan sebagai sarana publikasi bagi pemikirannya secara efektif. (John L. Esposito. 1986:227).

Sejak munculnya mega proyek tersebut, mendapat tantangan berat dari kelompok tradisionalis Pakistan, yang sebagian besar adalah para Ulama dan Mullah. Apalagi dengan diterbitkannya karya monumentalnya, Islam, ketegangan tersebut semakin memanas. Dia kemudian didemonstrasi dan dikecam secara pedas di berbagai media massa yang berafiliasi dengan kelompok fundamentalis dan konservatif, karena dalam beberapa hal ide-ide pembaruannya banyak dianggap asing oleh mereka. Bahkan mereka telah menvonisnya sebagai orang yang munkir al-Quran, sebagaimana yang dilansir oleh Jurnal al-Bayyināt. Akhirnya Rahman memundurkan diri dari jabatan direktur lembaga tersebut pada tanggal 5 September 1968 setelah mendapat persetujuan presiden Ayyub Khan. Ia juga meletakkan keanggotaannya pada Dewan Penasihat Ideologi Islam di tahun berikutnya. (Taufiq Adnan Amal. 1987:15).

Melihat semakin gencarnya “diskriminasi intelektual” yang melanda dirinya dan untuk menghindari kebekuan intelektual, maka ia hijrah ke Chicago, dan sejak tahun 1390 H./1970 M. ia menjadi guru besar Kajian Islam dalam berbagai aspeknya pada Department of Near Eastern Language and Civilization, University of Chicago. Di negeri inilah Fazlur Rahman mencapai puncak prestasi inteketualnya karena kebebasan berfikir yang mendukung. Dia selain memberikan kuliah dan studi-studi keislaman, dia juga aktif dalam kegiatan penelitian, dan seminar-seminar. Karena pola pemikiran pembaruannya berbeda dengan pola pembaruan para pembaharu sebelumnya, maka ia dijuluki sebagai Neomodernis.

Proyek Rahman masih belum selesai, namun Allah SWT. menghendaki lain, dia dipanggil-Nya pada tanggal 26 Juli 1988 dengan jabatan terakhir sebagai guru besar pemikiran Islam di Universitas Chicago, Amerika Serikat.

Walaupun secara fisik dia telah wafat, namun ide-idenya masih hidup ditengah- tengah masyarakat Muslim, dan selalu dikaji melalui karya-karyanya yang ditinggalkan, seperti, Islam; Islam and Modernity; Transformation of an Intellectual Tradition; Islamic Methodology in History; Major Themes of the Qur’ān; Prophecy in Islam; Health and Medicine in the Islamic Tradition, dan lain-lain.

Sebelum sampai pada pembahasan kondisi sosial politik dan kultural lahirnya gagasan Neo-Sufisme Fazlur Rahman, maka perlu diketahui dulu adalah masalah bagaimana awal munculnya asketisme (sufisme) dalam kehidupan masyarakat Islam. Menurut Fazlur Rahman Spiritualisme dalam Islam telah ada sejak Nabi Muhammad saw. Sebelumnya spiritualisme tersebut sebatas ibadah individual, namun dalam perkembangan selanjutnya, penanaman sikap tunduk dan patuh terhadap hukum Tuhan tersebut yang berpangkal dari rasa takut kepada-Nya, lambat laun menjadi

6 | N e o S u f i s m e F a z l u r R a h m a n

B. Latar Belakang Eksternal (Setting Sospol dan Kultural)

Page 19: Neo-Sufisme Fazlur Rahman Mahmud Gobel
Page 20: Neo-Sufisme Fazlur Rahman Mahmud Gobel
Page 21: Neo-Sufisme Fazlur Rahman Mahmud Gobel

tahapan khusus penyucian diri dan introspeksi motif moral, hal inilah yang menjadi dasar berdirinya zuhud pada abad I sampai dengan II H./7 sampai dengan 8 M.

Gerakan tersebut mendapat back up kuat dari kondisi sosial, ekonomi dan keimanan masyarakat, khususnya pada tingkat pejabat teras dinasti Umayyah, maka ada sekelompok masyarakat berupaya meningkatkan kesalehan secara individual. Dengan demikian gerakan ini adalah murni etis dengan pendalaman motif etik, seperti hasan al-Bashri (w. 110 H/728 M).

Selain kondisi sosio-ekonomi di atas, eksklusivisme politik masyarakat juga telah mendorong lahirnya gerakan tersebut. Di mana fenomena eksklusivisme politik tersebut menjadikan umat Islam terhempas dari percaturan politik dan kenegaraan serta urusan umat secara keseluruhan, bahkan sampai anjuran untuk melakukan kontemplasi ke gua.

Menurut Fazlur Rahman, selama dua abad pertama, sufisme baru merupakan sebatas fenomena individual, tetapi dengan berkembangnya disiplin formal hukum Islam dan teologi, maka gerakan yang semulanya baru sebatas praktek individual, berkembang dan melembaga dengan daya tarik tersendiri, yaitu diadakannya halaqah atau kelompok kajian untuk membahas masalah keagamaan dan mengadakan latihan kerohanian yang “mengesampingkan” urusan dunia. Dan gerakan ini bertambah intensif setelah mengadakan kontak dengan luar Islam. (Fazlur Rahman.1984:190-191).

Finaly, banyak praktek sufisme yang menurut pandangan mereka berdasarkan hadits Nabi, menolak secara ekstrim terhadap dunia. Praktek seperti ini bagi Fazlur Rahman adalah keluar dari koridor ajaran Islam: “Apa yang dapat disebut duniawi, yang menekankan implementasi aktual dari cita moral secara realistik dalam suatu konteks sosial, termasuk yang utama dari semangat al-Quran. Tetapi hadits-hadits sufi pun bila dilepaskan dari bumbu-bumbunya yang penuh hayalan dan berlebih- lebihan, juga akan mencerminkan kehidupan Nabi saw. dan ajaran al-Quran dalam menekankan kesucian hati dan kehidupan batin.”

Pola hidup yang menekankan kesalehan sebagai embrio lahirnya perilaku zuhud dalam arti mengadakan isolasi terhadap dunia telah menjadi fenomena sejarah yang berkembang cepat selama abad I-II H/VII-VIII M, mendapat sorotan tajam dari Rahman. Dalam perkembangannya, pola hidup demikian telah menjadi doktrin sufisme. Menghadapi ini, Rahman memandang zuhud merupakan inti tasawuf, sebab itulah dia tidak memasukkannya dalam deretan Maqāmāt sebagai The Sufi Way (jalan sufi).

Dengan demikian, zuhud dalam pandangan Rahman adalah identik dengan tasawuf, yang pada awalnya zuhud merupakan reaksi atau protes moral spiritual dari keadaan yang ada pada waktu itu, yang akhirnya membawa sikap isolasi para sufi terhadap dunia, dan sikap sinisme politik akan menimbulkan pesimisme. Sikap isolasi terhadap dunia dan sinisme politik ini, bila dibiarkan berkembang, maka kehidupan bergolak dan mencari kesempatan lain untuk mengekspresikan dan menyempurnakan dirinya, baik secara sehat maupun tidak. (Fazlur Rahman. 1983:163). Memahami pola hidup sufisme di atas, tampaknya tidak murni etik, tetapi lebih sebagai bentuk ketidakberdayaan menghadapi proses lajunya zaman, maka beralihlah mencari kepuasan spiritual dengan mengisolasi dari proses sosial, memilih hidup kontemplasi dan introversi yang dalam perkembangannya menghasilkan doktrin-doktrin yang beku.

7 | N e o S u f i s m e F a z l u r R a h m a n

Page 22: Neo-Sufisme Fazlur Rahman Mahmud Gobel
Page 23: Neo-Sufisme Fazlur Rahman Mahmud Gobel
Page 24: Neo-Sufisme Fazlur Rahman Mahmud Gobel

Fazlur Rahman sangat tidak setuju pola kehidupan yang demikian, karena pola yang dipraktekkan oleh para sufi tersebut jauh dari ajaran al-Quran, sebab pesan dasar al-Quran adalah bagaimana manusia mampu mengimplementasikan dan mampu mengaktualisasikan citra spiritualisme dan moral secara realistik dalam praksis sosial. (Fazlur Rahman. 1983:166).

Penolakan sikap isolasi terhadap dunia dapat dilihat pada konsep Rahman tentang individu dan masyarakat, menurutnya antara keduanya tidak bisa dipisahkan, tidak ada individu tanpa masyarakat dan begitu pula sebaliknya. Tujuan utama al- Quran ialah tegaknya sebuah tatanan sosial yang bermoral, adil dan dapat bertahan di muka bumi. Konsep taqwa hanya memiliki arti dalam sebuah konteks sosial. (Fazlur Rahman. 1983 a:54). Pemikiran ini adalah sikap penentangan terhadap hidup eksklusif yang banyak dilakukan para sufi. kesucian seseorang bukan karena keterasingan dari dunia dan praksis sosial, tetapi berada dalam gerakan menciptakan sejarah dan menjadi pelaku sejarah.

Sebagai tindak lanjut dari sikap penolakan tersebut, maka Fazlur Rahman menawarkan gagasannya Neo-Sufisme, yaitu sufisme yang cenderung untuk menimbulkan aktivisme sosial dan menanamkan kembali sikap positif terhadap dunia. Tokoh perintisnya adalah Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim al-Jauziyah. Neo- Sufisme tidak menolak epistimologi kasyf yang dianggapnya sebagai derajat proses- proses yang bersifat intelektual, dan mempergunakan seluruh terminologi sufi yang esensial, serta mencoba memasukkan ke dalam sufisme makna moral dan puritanikal serta etos sosial . (Fazlur Rahman. 1984:284).

Konsep Neo-Sufisme Rahman sesungguhnya menghendaki agar umat Islam mampu melakukan tawazun (penyeimbangan) antara pemenuhan kepentingan akhirat dan kepentingan dunia. umat Islam harus mampu memformulasikan ajaran Islam dalam kehidupan sosial.

Fenomena Neo-Sufisme hampir sama dengan apa yang berkembang di Afrika Utara yang terjadi dalam kasus Tariqah Sanūsiyah. Sebuah tariqah yang didirikan oleh Muhammad ibn ‘Alī al-Sanūsī dari Al-Jaja’ir (w. 1275 H/1859 M). di Makkah.

Tariqah Sanūsiyah merupakan tariqah yang menerapkan disiplin kesufian yang sangat ketat, namun mereka aktif dalam praksis sosial kemasyarakatan. Di mana di dalamnya diajarkan ilmu-ilmu tasawuf di samping ilmu-ilmu ekonomi (bertani dan berdagang) serta teknik berperang.

Menurut Rahman, tariqah ini melarang jamaahnya mencintai secara berlebihan terhadap harta kekayaan, melarang menimbun emas dan perak, hal ini dimaksudkan bukan untuk legislasi semangat kehidupan akhirat, namun untuk kepentingan kesejahteraan moral dan sosial di dunia. Gerakan ini berada pada perjuangan dan pembaruan dan programnya lebih berada dalam tataran positivisme moral dan praksis sosial daripada batasan-batasan spiritual keakhiratan. Coraknya lebih Purifikasionis dan lebih aktivis daripada yang lain. Ia menyeru kepada kemurnian Islam, memberantas penyelewengan moral, sosial, dan keagamaan. Berusaha mengubah dan membangun kembali masyarakat yang lebih baik dan bermoral daripada cita-cita untuk memperoleh jaminan sorga, walaupun kedua hal tersebut tidak boleh saling terpisah.Tariqah Sanūsiyah inilah yang merupakan salah satu prototipe pembaruan yang dilancarkan Fazlur Rahman dalam bidang tasawuf. Di samping setting sosio-politik dan sosio-kultural yang menjadi fenomena kala itu.

8 | N e o S u f i s m e F a z l u r R a h m a n

Page 25: Neo-Sufisme Fazlur Rahman Mahmud Gobel
Page 26: Neo-Sufisme Fazlur Rahman Mahmud Gobel
Page 27: Neo-Sufisme Fazlur Rahman Mahmud Gobel

9 | N e o S u f i s m e F a z l u r R a h m a n

PEMIKIRAN FAZLUR RAHMAN TENTANG TASAWUFMahmud Mahmud Mahmud Mahmud Gobel Gobel Gobel GobelA. Konsep Neo-sufisme Fazlur Rahman

Untuk melacak gagasan Rahman di bidang tasawuf, dapat kiranya diketahui dari pandangannya tentang perjalanan spiritual dalam Islam. Sebagaimana pada bahasan bab sebelumnya, baginya spiritualisme itu telah ada semenjak Nabi Muhammad saw, dan ia sebagai penunjang misi kenabian dan kerasulannya, namun para sahabat tidak mempersoalkannya, sebab mereka dituntut melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya. Pengalaman spiritual dianggapnya sebagai kekhususan beliau. Dalam perkembangan selanjutnya, penanaman taat terhadap hukum Tuhan, lama-kelamaan menjadi tahapan khusus interiorisasi dan introspeksi motif moral, hal inilah yang menjadi landasan kehidupan asketisme Islam yang berkembang dengan pesat pada abad VII dan VIII M. (Amin Syukur.1997:122-123).

Praktek tersebut mendapat dorongan kuat dari realitas sosial, ekonomi dan keberagamaan masyarakat, khususnya penguasa Dinasti Umayyah, maka ada sekelompok yang rupanya meningkatkan kesalehannya secara individual. Dengan demikian gerakan ini adalah murni etis dengan pendalaman motif etis. Juga didorong oleh adanya fenomena isolasi politik, agar umat terlepas dari percaturan politik dan kenegaraan serta umat secara keseluruhan, bahkan sampai anjuran untuk uzlah ke gua, ditambah lagi reaksi terhadap formalisme dan legalisme dalam Islam.

Kehidupan asketisme merupakan awal kehidupan tasawuf yang merupakan reaksi atau protes moral spiritual dari keadaan pada waktu itu (Fazlur Rahman. 1979:132-133), yang akhirnya membawa sikap isolasi para sufi terhadap dunia, dan sikap sinisme politik akan menimbulkan pesimisme. Rahman sangat tidak sepakat dengan model kehidupan yang demikian tersebut dan keduanya bertentangan dengan ajaran al-Quran, sebab yang utama dalam al-Quran adalah imlpementasi aktual dari citra moral secara realistik dalam suatu konteks sosial. (Fazlur Rahman. 1984:163-164). Justifikasi para sufi dengan kehidupan Nabi tidak bisa diartikan penolakan Beliau terhadap dunia, akan tetapi sekedar menunjukkan kesederhanaanBagian 3

Page 28: Neo-Sufisme Fazlur Rahman Mahmud Gobel
Page 29: Neo-Sufisme Fazlur Rahman Mahmud Gobel
Page 30: Neo-Sufisme Fazlur Rahman Mahmud Gobel

Nabi. Sebab bagaimanapun juga penolakan secara ekstrim terhadap kehidupan duniawi adalah salah dan hal demikian sangat asing bagi Nabi sendiri.

Adalah sangat tidak tepat bila dikatakan bahwa diantara para sahabat ada yang mengalami ektase-ektase seperti Abu Yazid al-Busthami, Ibn Arabi, al-Hallaj dan sebagainya. Pada dasarnya gerakan asketisme ini adalah sebuah gerakan moral yang menandaskan, betapa pentingnya usaha-usaha interiorisasi, pendalaman dan penyucian terhadap motif moral dan memperjuangkan kepada umat manusia mengenai tanggung jawab yang maha berat yang dibebankan dalam hidup ini ke atas pundak manusia. Inilah yang sebetulnya model gerakan yang didukung oleh al- Quran dan al-Hadits Nabi saw.

Namun dalam prakteknya, Rahman tidak sependapat dengan pandangan para tokoh tasawuf falsafi, yang menurutnya mereka telah melakukan “penambahan” dalam agama. Karena ektase (fana’ diri) yang dijalaninya telah menyebabkan pengisolasian diri yang dianggap sebagai the ultimate goal atau perjalanan manusia menuju Khaliknya. Penolakan Rahman tersebut berdasarkann pada perilaku Rasulullah. Menurutnya, seandainya ekstase diri para sufi itu dianggap sebagai religious experience (pengalaman agama), maka Rasulullah pun mengalaminya. Tetapi pengalaman asketisme bukan sebagai titik akhir apalagi mengisolasikan diri dari kehidupan duniawi, melainkan tampil dalam bentuk social movement atau gerakan sosial. Sebab kesucian seseorang bukan karena keterasingannya dari dunia dan proses sosial, namun harus berada di dalamnya dalam bentuk gerakan menciptakan sejarah. Dan demikian itulah yang sebetulnya menjadi tujuan utama, al- Quran; yaitu tegaknya sebuah tata sosial yang bermoral, adil dan dapat survive di muka bumi. Konsep taqwa hanya memiliki arti dalam konteks sosialnya. (Fazlur Rahman. 1983:54). Konteks sosial-historis kemanusiaan, memberikan tanggapan kritis dan pemikiran alternatif untuk keberadaannya khususnya menghadapi masa depan. Selain itu dikaitkannya dengan berbagai bidang keislaman seperti teologi, fiqh, politik, dan doktrin-doktrin ortodok Islam secara kontekstual-sosiologis.

Paradima di atas kalau dicermati lebi dalam, maka sesungguhnya gagasan Neo- Sufisme Fazlur Rahman tersebut dilatar belakangi oleh beberapa anomali atau problemeatika yang dipraktekkan oleh para sufi terutama puncaknya pada abad III H. Anomali tersebut adalah pertama, anomali teologis yang berhubungan dengan pengalaman ekstasik-fana’ dan ucapan-ucapan syatahat yang ganjil serta banyak ditandai oleh pemikiran-pemikiran spekulatif-metafisis, al-misal Hulul, wahdat al- wujud, ittihad dan sebagainya, kedua, anomali non-formalistik yang berhubungan dengan dasar praktek-aplikatif tasawuf yang tidak bersandar pada normativitas al- Quran dan al-Sunnah, dan ketiga, anomali holistika, yang berhubungan dengan aspek aksiologis (implementasi) tasawuf dimana para sufisme lebih memilih sikap isolasi dari kehidupan dengan melakukan kontemplasi dan uzlah dan tidak mau aktif dalam praksis kemasyarakatan.

Maka dengan demikian Neo-Sufisme Fazlur Rahman dengan kerangka pemikiran back to Qur’an and Sunnah yang begitu kuat, akan melahirkan alternatif kehidupan sufistik di masa sekarang sesuai dengan tantangan zaman yang semakin berkembang.

10 | N e o S u f i s m e F a z l u r R a h m a n