Click here to load reader
Upload
guestar
View
408
Download
69
Embed Size (px)
Citation preview
NASKAH KULIAH
SINDROMA CROUP
BLOK 15
SISTEM RESPIRASI
MEDICAL EDUCATION UNIT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL ACMAD YANI
2009
`
PENDAHULUAN
Pseudo croup acute epiglotitis merupakan suatu sindroma “croup”. Kedua penyakit
ini mempunyai manifestasi klinik yang sama yaitu obstruksi saluran nafas atas. Tetapi
kedua penyakit ini mempunyai penyebab dan patofisiologi yang berbeda satu sama
lainnya.
Karena penyakit ini mempunyai manifestasi klinik berupa obstruksi saluran nafas
atas, maka kedua penyakit ini merupakan kegawatdaruratan di bagian Ilmu Penyakit
Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala, dan Leher yang mungkin dapat ditemukan dalam
praktek sehari – hari.
Walaupun dalam penatalaksanaannya kedua penyakit ini tidak ada perbedaan yang
berarti, namun kita tetap perlu mengetahui tentang kedua penyakit ini. Sehingga
penderita dapat ditangani dengan baik sesuai dengan penyebab dan perjalanan
penyakitnya.
Dalam tulisan ini akan dibahas tentang masing-masing penyakit, mulai dari
penyebab sampai pengobatannya. Sehingga kita dapat lebih mengetahui tentang
penanganannya.
`
BAB II
SINDROMA CROUP
Radang akut saluran pernafasan atas jauh lebih penting pada bayi dan anak kecil
dibandingkan dengan anak yang lebih tua, karena jalan nafas yang lebih kecil cenderung
menghadapkan anak kecil pada suatu keadaan penyempitan yang relatif lebih berat
daripada yang ditimbulkan oleh tingkat radang yang sama yang terjadi pada anak dengan
usia yang lebih tua. Laring disusun oleh empat kartilago yaitu: tiroid, krikoid, aritenoid,
dan epiglotis, dan jaringan lunak yang menyatukannya. Kartilago melingkari jalan nafas
tepat di bawah plika vokalis dan membatasi bagian saluran pernafasan atas anak yang
paling sempit.
Radang yang meliputi plika vokalis dan struktur sebelah inferior plika disebut
laringitis, laringotrakeitis, atau laringotrakeobronkitis, dan radang struktur sebelah
superior plika yaitu aritenoid, lipatan ariepiglotis (plika palsu), epiglotos. Disebut
supraglotis. Croup adalah suatu istilah umum yang meliputi kelompok heterogen
keadaan – keadaan yang relatif akut (kebanyakan infeksi) yang ditandai dengan batuk
keras dan kasar yang khas atau “croupy”, yang tidak atau dapat disertai oleh stridor
inspiratoir, suara parau, dan tanda – tanda kegawatan pernafasan yang disebabkan oleh
berbagai tingkat obstruksi laring. Infeksi tersebut pada bayi dan anak kecil jarang terbatas
pada satu daerah saluran pernafasan, biasanya mengenai samapi beberapa tingkat laring,
trakea, dan bronkus. Bila ada keterlibatan laring yang cukup dapat menimbulkan gejala
klinis dari bagian laring, mungkin mengaburkan tanda – tanda trakea atau bronkus.
`
2.1. Etiologi dan Epidemiologi
Agen virus menyebabkan obstruksi saluran pernafasan atas infeksius yang paling
akut kecuali yang terkait dengan difteria, trakeitis bakteri, dan epiglotitis akut. Virus
parainfluenza menyebabkan sekitar 75% kasus, adenovirus, virus sinsial respiratorik,
influenza dan campak menyebabkan kasus virus sisanya. Pada sebuah penelitian
Mycoplasma pneumonia ditemukan dari 3,6% penderita yang menderita obstruksi saluran
pernafasan akut. Walaupun Haemaphilus influenzae tipe b merupakan penyebab biasa
epiglotitis akut, Streptococcus pyogenes, Streptococcus pneumonia, dan Staphilococcus
aureus kadang- kadang terlibat.
Gambar 2.1 Haemophilus influenzae
Dengan hampir lenyapnya infeksi yang disebabkan oleh H.influenzae tipe b karena
penggunaan vaksin HIB, kejadian epiglotitis telah menurun secara dramatis. Karenanya
agen lain telah mulai menyebabkan proporsi kasus epiglotitis yang lebih besar. Epiglotitis
virus adalah penyakit yang jarang tetapi lebih ringan. Kebanyakan penderita yang
disebabkan H.influenzae dan Corynebacterium diphteriae lebih lazim ditemukan pada
`
penderita yang berumur 3 – 7 tahun. Insidensi croup lebih tinggi pada orang laki – laki,
dan penyakit ini terjadi paling lazim selama musim dingin setiap tahunnya. Sekitar 15%
penderita mempunyai riwayat keluarga croup yang kuat dan laringitis cenderung kambuh
pada anak yang sama.
2.2. Manifestasi Klinis
Sindrom croup mempunyai manifestasi klinis yang bervariasi dari yang ringan
hingga berat. Yang termasuk sindrom croup antara lain:
1. Laringotrakeobronkitis.
2. Epiglotitis.
3. Spasmodic croup. Dan
4. Trakeitis bakteri.
2.2.1.Croup (Laringotrakeobronkitis)
Croup, bentuk obstruksi saluran pernafasan akut yang paling lazim, terutama
disebabkan oleh virus. Tanda- tanda utama yang tampak adalah edema radang,
destruksi epitel bersilia, dan eksudat. Infeksi bakteri sekunder jarang terjadi.
Kebanyakan penderita menderita infeksi saluran pernafasan atas yang progresif,
dan terjadi serangkaian gejala – gejala dan tanda – tanda yang khas. Mula – mula
hanya ringan, batuk keras dan kasar dengan stridor inspiratoir yang intermiten.
Ketika obstruksi bertambah, stridor menjadi terus – menerus dan disertai dengan
penjelekan batuk, pelebaran lubang hidung dan retraksi suprasternal, infrasternal,
dan interkostal. Ketika radang meluas ke bronkus dan bronkeolus, kesukaran
pernafasan bertambah, dan fase ekspirasi pernafasan juga menjadi berat dan lama.
`
Terjadi berbagai tingkat keterlibatan sakuran pernafasan bawah. Suhu tubuh
mungkin hanya sedikit naik. Gejala – gejala secara khas memburuk pada malam
hari, jarang mencapai suhu 39-40 derajat celcius, dan sering kambuh dengan
intensitas yang menurun selama beberapa hari. Biasanya anak yang lebih tua
sakitnya tidak serius. Anggota keluarga lain dapat menderita penyakit pernafasan
ringan. Lama sakit nerkisar antara beberapa hari kadang – kadang hingga beberapa
minggu, sering berulang sejak umur 3-6 tahun, berkurang sejalan dengan
pertumbuhan jalan nafas. Perburukan pada sebagian besar penderita croup hanya
sejauh stridor dan sedikit dispnea sebelum mereka mulai penyembuhan. Pada
beberapa kasus ada obstruksi yang lebih jelek. Agitasi dan menangis sangan
memperburuk gejala dan tanda – tanda, dan anak lebih suka duduk tegak di tempat
tidur atau dipertahankan tegak.
Gambar 2.2. Croup
`
Mungkin ada pengurangan suara pernafasan bilateral, ronki, dan krepitasi
tersebar. Pada gangguan jalan lebih lanjut, terjadi kelaparan udara dan kegelisahan,
dan kemudian digantikan oleh hipoksemia berat hiperkapnia dan takikardia, dan
akhirnya mati karena hipoventilasi. Pada anak hipoksemia yang mungkin sianosis,
pucat, atau akut, setiap manipulasi faring, termasuk penggunaan penekanan lidah,
dapat mengakibatkan henti kardiorespirasi. Karenanya pemeriksaan ini harus
ditunda, dan oksigen harus diberikan sampai penderita dipindahkan ke tempat di
rumah sakit dimana manajemen optimal jalan nafas dan syok dimungkinkan.
Kadang – kadang pola laringotrakeobronkitis berat mungkin sukar dibedakan dari
epiglotitis, walaupun biasanya epiglotis bermula lebih eksplosif dan perjalanan
penyakitnya cepat, ia juga memerlukan tindakan pencegahan yang sama.
Pemeriksaan roentgenografi nasofaring dan saluran pernafasan atas dapat
membantu.
2.2.2. Epiglotitis Akut (Supraglotitis)
Epiglotitis selulitis jaringan yang terdiri dari jalan masuk laring yang meliputi
epiglotis, lipatan ariepiglotis, dan kartilago aritenoid. Penyebarannya hampir selalu
H.influenzae tipe b. Epiglotitis yang disebabkan oleh patogen lain sangat jarang.
Invasi langsung yang terlibat oleh H.influenzae tipe b mungkin merupakan pencetus
kejadian patofisiologis. Keadaan dramatis yang berkemungkinan mematikan ini
biasanya terjadi pada anak umur 2-7 tahun, dengan puncak kejadian pada usia 3,5
tahun
`
Gambar 2.3. Haemophilus influenzae tipe B
Penyakit ini amat sangat jarang dijumpai karena luasnya penggunaan imunisasi
terhadap H.influenzae tipe b. Epiglotitis ditandai dengan perjalanan demam tinggi
yang mendadak dan berat, nyeri tenggorokan, dispneu, obstruksi pernafasan yang
progresivitasnya cepat, dan tidak berdaya, walaupun kegawatan pernafasan
seringkali merupakan manifestasi pertama. Dalam beberapa jam, penyakit ini dapat
memperburuk menjadi obstruksi jalan nafas total dan kematian, kecuali bila
diberikan pengobatan yang adekuat. Dengan pengobatan yang adekuat, penyakit
jarang berakhir lebih dari 2-3 hari. Seringkali anak terutama penderita yang lebih
muda, tampak baik pada waktu sebelum tidur tetapi kemudian terbangun pada
malam hari dengan demam tinggi, afonia, lidah terjulur, dan kegawatan pernafasan
sedang atau berat dengan stridor. Biasanya tidak ada anggota keluarga lain yang
menderita penyakit saluran pernafasan atas akut. Anak yang lebih tua pada mulanya
sering mengeluh nyeri tenggorokan dan disfagia. Kegawatan pernafasan berat dapat
terjadi dalam menit – menit atau jam-jam mulainya penyakit, dengan stridor
inspiratoir, suara parau, batuk kasar, dan kuat (kurang lazim), iritabilitas dan
gelisah. Ludah yang mengalir ke luar dan disfagia lazim. Leher mungkin
`
hiperekstensi walaupun tanda-tanda lain iritasi meningeal tidak ada. Anak yang
lebih tua mungkin lebih menyukai posisi duduk, membungkuk ke depan, dengan
mulut terbuka dan lidah agak terjulur. Beberapa anak dapat mengalami kondisi
yang memburuk dengan cepat sampai keadaan seperti syok, yang ditandai dengan
kepucatan, sianosis, dan gangguan kesadaran.
Pemeriksaan fisik dapat menemukan kegawatan sedang atau berat dengan
stridor inspiratoir dan kadang-kadang stridor ekpiratoir, pelebaran cuping hidung
dan retrkasi fossa suprasternal inspiratoir, sela supraklavikula dan atar iga, serta
daerah subkostal. Faring dapat meradang dan mungkin ada mukus dan saliva yang
berlebihan yang dapatjuga mengakibatkan ronki. Pada penjelekan, stridor dan suara
pernafasan dapat mengurang karena penderita lelah. Periode singkat kelaparan
udara dengan kegelisahan dan agitasi dapat disertai dengan peningkatan sianosis
yang cepat, koma, dan kematian. Alternatif lainnya, anak mungkin hanya menderita
suara parau ringan dan epiglotis besar, mengkilap, warnamerah cheri tampak pada
pemeriksaan ketika bagian posterior lidah ditekan.
Diagnosis memerlukan penampakan epiglotis yang besar, membengkan, merah
cheri, dengan pemeriksaan atau laringoskopi langsung. Kadang-kadang struktur
yang lain terutama lipatan ariepiglotis dapat lebih dilibatkan daripada epiglotisnya
sendiri. Beberapa penderita dapat mengalami refleks laringospasme dan obstruksi
total akut, aspirasi sekresi, dan henti kardiorespirasi selama satu atau segera
sesudah pemeriksaan faring dengan menggunakan spatel lidah, anak yang dicurigai
epiglotitis tidak boleh ditempatkan pada posisi terlentang karena resiko
bertambahnya agitasi dan perubahan akibat gravitasi terhadap posisi epiglotis
`
menambah obstruksi jalan nafas. Sampel gas darah arteri tidak boleh diambil
sebelum diagnosis pasti dan membuat saluran pernafasan buatan. Jika diagnosis
dimungkinkan atas dasar klinis, persiapan harus segera dibuat untuk melakukan
pemeriksaan dan pengendalian jalan nafas, seringkali dalam kamar operasi, oleh
dokter yang terampil dalam intubasi endotrakea atau trakeostomi.
2.2.3.Laringitis Spasmodik Akut (Croup Spasmodik)
Croup spasmodik terjadi paling sering pada anak umur 1-3 tahun dan secara
klinis sama dengan laringotrakeobronkitis, kecuali bahwa tanda-tanda infeksi pada
penderita dan keluarganya seringkali tidak ada. Pada beberapa kasus penyebabnya
adalah virus, tetapi faktor-faktor alergi dan psikologi penting pada kasus-kasus
yang lain. Refluks gastroesofageal dapat berperan penting dalam memicu croup
spasmodik, dan anak dengan sindrom ini patut mendapatkan pemeriksaan
laringoskopi yang cermat. Dokumentasi endoskopi laringitis posterior (yaitu edema
atau radang kartilago aritenoid) memberi kesan refluks. Peluang untuk melakukan
pemeriksaan patologi jarang ada, tanda – tanda primer tampak pada pemeliharaan
epitel (tidak seperti infeksi akut laringotrakeobronkitis) dan pucat, edema berair.
Pada beberapa kasus ada predisposisi familial terhadap sindrom ini.
Terjadi paling sering pada sore atau malam hari, croup spasmodik bermula
dengan awitan mendadak yang dapat didahului oleh selesma da serak yang ringan
sampai sedang. Anak terbangun dengan batuk yang khas, batuk metalik, inspirasi
berisik, dan kegawatan pernafasan serta cemas dan ketakutan. Pernafasan lambat
dan berat, nadi dipercepat, dan kulit dingin serta lembab. Penderita biasanya tidak
`
demam. Dispnea diperjelek oleh kegembiraan, episode sianosis intermitan jarang
dijumpai. Biasanya keparahan gejala-gejala berkurang dalam beberapa jam, dan
hari berikutnya penderita sering tampak baik kecuali untuk serak ringan dan batuk.
Demikian pula, serangan tanpa kegawatan pernafasan yang berat, dan akhirnya
berakhir dengan penyembuhan total. Episode demikian sering berulang beberapa
kali.
2.2.4.Trakeitis Bakteri
Disebut juga sebagai membranous laryngotracheobronchitis menyerang anak-
anak mulai dari usia beberapa minggu sampai awal usia remaja. Patogenesis
dipikirkan untuk menunjukan suprainfeksi bakteri dari trakeitis yang disebabkan
oleh virus. Trakeitis bakteri sering didahului oleh infeksi saluran pernafasan atas
beberapa hari sebelumnya. Trakeitis bakteri tidak melbatkan epiglotis, tetapi seperti
epiglotitis dan croup, mampu menyebabkan obstruksi jalan nafas yang mengancam
jiwa. S.aureus adalah patogen yang paling lazim diisolasi. Virus parainfluenza tipe
1, Moraxel catarrhalis, dan H.influenzae telah terlibat dalam infeksi ini.
Khasnya pada anak, timbul batuk keras dan kasar, tampak sebagai bagian dari
laringotrakeobronkitis. Demam tinggi dan “toksisitas” dengan kegawatan
pernafasan dapat terjadi segera atau sesudah beberapa hari dari perbaikan yang
tampak. Pengobatan yang bisa digunakan pada croup tidak efektif. Intubasi atau
trakeostomi biasanya dioerlukan. Patologi utama yang tampak adalah
pembengkakan mukosa pada setinggi kartilagi krikoid, yang dikomplikasi oleh
sekret pueulen, kental banyak sekali.
`
Diagnosis didasarkan pada bukti adanya penyakit saluran nafas atas bakteri,
yang meliputi leukositosis sedang dengan banyak bentuk batang, demam tinggi dan
sekret jalan nafas purulen dan tidak ada tanda-tanda klasik epiglotitis.
Tetapi antimikroba yang tepat, yang biasanya meliputi agen antistafilokokus,
harus diberikan pada setiap penderita dengan croup yang perjalananya memberi
kesan trakeitis bakteri sekunder. Bila didiagnosis trakeitis bakteri, jalan nafas
buatan biasanya terindikasi dan penambahan oksigen mungkin diperlukan.
Komplikasi penyempitan subglotis dan kolom udara trakea yang terobek-robek
kasar seringkali diperlihatkan secara roentgenografi. Jika manajemen saluran nafas
tidak optimal, dapat terjadi henti kardiorespirasi.
Prognosis untuk kebanyakan penderia sangat baik, jika penilaian dan tindakan
gawat darurat cepat dilakukan. Dengan berkurangnya edema mukosa dan sekresi
purulen, ekstubasi dapat diselesaikan dengan aman, dan penderita dapat diamati
secara cermat sementara terapi antibiotika dan oksigen diteruskan.
2.3. Diagnosis Banding
Empat sindrom ini harus dibedakan satu sama lain dan dari berbagai wujud lain
yang dapat menimbulkan obstruksi saluran pernafasan atas. Trakeitis bakteri adalah
pertimbangan diagnosis banding yang paling penting. Croup difteritis biasanya didahului
oleh infeksi saluran pernafasan atas selama beberapa hari. Gejala biasanya berkembang
lambat, walaupun obstruksi saluran pernafasan dapat terjadi mendadak, cairan hidung
serosa atau serosanguinosa dapat terjadi. Pemeriksaan faring menunjukan membran abu-
`
abu putih yang khas. Croup campak hampir selalu terdapat bersamaan dengan
manifestasi penyakit sistemik penuh dan perjalanannya dapat fulminan.
Obstruksi pernafasan yang mulainya mendadak dapat disebabkan oleh aspirasi
benda asing. Anak biasanya berusia 6 bulan hingga 2 tahun. Rasa tercekik dan batuk
terjadi secara mendadak, biasanya tanpa tanda-tanda prodormal infeksi, walaupun anak
dengan infeksi virus dapat juga mengaspirasi benda asing. Abses retrofaring atau
peritonsiler dapat menyerupai obstruksi pernafasan. Pemeriksaan roentgenografi saluran
pernafasan atas dan dada sangat penting dalam mengevaluasi kemungkinan ini dan
kemungkinan penyebab kompresi ekstrinsik jalan nafas, seperti hematoma akibat trauma
dan obstruksi intralumen karena massa (misalnya, kista, tumor).
Obstruksi saluran pernafasan atas kadang-kadang disertai dengan angioderma
daerah subglotis sebagai bagian dari anafilaksis dan reaksi alergi menyeluruh, edema
pasca intubasi endotracheal untuk anastesi umum atau kegagalan pernafasan, tetanik,
hipokalsemik, mononukleosis infeksiosa, trauma dan tumor atau malformasi laring. Batuk
croupy dapat merupakan tanda awal asma. Stridor psikogenik juga dapat terjadi.
Epiglotitis dengan manifestasi khas lidah terjulur dan atau disfagia dan stridor juga dapat
diakibatkan karena secara tidak sengaja menelan cairan panas.
2.4. Komplikasi
Komplikasi terjadi pada sekitar 15% penderita dengan croup virus. Yang paling
sering adalah perluasan proses infeksi yang melibatkan daerah saluran pernafasan
lainnya, seperti telinga tengah, bronkiolus terminal, atau parenkim paru. Trakeitis bakteri
mungkin merupakan komplikasi croup virus bukannya penyakit tersendiri. Pneumonia
`
interstitial dapat terjadi, tetapi sukar untuk membedakan pada roentgenogram dari daerah
bercak atelektasis akibat obstruksi. Bronkopneumonia tidak lazim kecuali jika ada
aspirasi isi lambung yang telah terjadi selama masa kegawatan pernafasan berat.
Walaupun pneumonia bakteri sekunder tidak lazim, trakeobronkitis supuratif merupakan
komplikasi tambahan pada laringotrakeobronkitis. Pneumonia, limfadenitis servikal,
otitis atau kadang-kadang meningitis atau atritis septik dapat terjadi selama perjalanan
epiglotitis. Empisema mediastinum dan pneumotoraks merupakan komplikasi trakeotomi
yang paling lazim.
2.5. Prognosis
Pada umunya lama rawat inap di rumah sakit dan tingkat mortalitas untuk kasus
obstruksi saluran pernafasan atas infeksius akut bertambah ketika infeksi meluas dan
melibatkan bagian saluran pernafasan yang lebih besar, kecuali pada epiglotitis, dimana
infeksi setempat sendiri terbukti mematikan. Sebagian besar kasus kematian karena croup
disebabkan oleh obstruksi laring atau oleh komplikasi trakeotomi. Epiglotitis yang tidak
diobati mempunyai angka mortalitas 6% pada beberapa seri, tetapi jiga diagnosis dibuat
dan pengobatan yang tepat dimulai sebelum penderita hampir mati, maka prognosisnya
sangat baik. Hasil akhir laringotrakeobronkitis akut, laringitis dan croup spasmodik juga
sangat baik. Sebagai suatu kelompok, anak0anak yang perlu dirawat inap di rumah sakit
untuk croup agaknya mempunyai kenaikan reaktivitas bronkus dibandingkan dengan
anak normal bila diuji beberapa tahun kemudian. Perbedaannya kecil, dan fungsi
pentingnya tidak jelas.
`
2.6. Pengobatan
Terapi untuk croup infeksius terutama adalah rumatan atau penyediaan pertukaran
pernafasan yang adekuat dan sebagaian tergantung pada lokasi primer penyakitnya dan
penyebabnya, pada bentuk infeksi bakteri, terapi antibiotik juga penting. Sebagian anak
afebris dengan croup spasmodik akut atau penderita demam dengan
laringotrakeobronkitis ringan biasanya dapat secara aman dan efektif ditatalaksanakan di
rumah sakit. Pengelolaan terhadap refluks gastroesofageal yang menjadi dasar penyakit
dan yang tidak sering dicurigai, dapat mencegah croup spasmodik pada anak yang
diketahui rentan terhadapnya.
Anak dengan croup harus dirawat inap bila dijumpai salah satu gejala dari yang
berikut ini:
1. Dicuriagi ada epiglotitis atau telah menderita epiglotitis yang sebenarnya.
2. Stridor berat, atau stridor progresif.
3. Kegawatan pernafasan.
4. Hipoksemia.
5. Gelisah.
6. Sianosis dan pucat.
7. Depresi sensorum atau demam tinggi pada anak yang tampak toksik.
Pada semua kasus keputusan untuk rawat inap dibuat karena perlu untuk observasi
yang terpercaya dan trakeotomi yang relatif aman atau lebih sering, intubasi nasotrakea,
jika salah satu tindakan ini diperlukan. Penderita croup harus diamati dengan cermat
untuk penguatan gejala obstruksi pernafasan. Anak yang dirawat inap di rumah sakit
biasanya ditempatkan pada atmosfer dengan kelembaban yang sejuk untuk mengurangi
`
iritasi dan pengeringan sekresi dan mungkin mengurangi edema. Pemantauan frekuensi
pernafasan yang terus-menerus sangat penting, karena peningkatan takipnea mungkin
merupakan tanda awal dari hipoksemia dan sedang mendekati obstruksi pernafasan total.
Pada kasus hegawatan pernafasan sedang atau berat, cairan parenteral harus diberikan
untuk menggantikan kehilangan cairan tubuh. Sedatif merupakan kontraindikasi karena
kegelisahan digunakan sebagai salah satu indeks klinis keparahan utama dari obstruksi
dan diperlukan trakeostomi. Opiat merupakan kontraindikasi utama karena dapat
menekan pernafasan dan mengeringkan sekresi. Oksigen digunakan untuk mengurangi
hipoksemia, tetapi dengan pengamanan ketat.
Laringotrakeobronkitis dan croup spasmodik tidak berespons terhadap antibiotik,
dan antibiotik tidak terindikasi untuk mencegah suprainfeksi. Epinefrin rasemik dengan
aerosol (larutan 2,25% diencerkan 1:8 dengan air dalam dosis 2-4 mL selama 15 menit)
sering mengurangi gejala sementara. Epinefrin rasemik tidak menyebabkan penjelekan
rebound obstruksi. Namun, jika aerosol diberikan selama fase penjelekan riwayat alamiah
penyakit anak, obstruksi dapat menjadi lebih jelek sesudah pengaruhnya berkurang. Jika
aerosol diberikan pada puncak obstruksi, anak akan menjadi lebih baik sesudah pengaruh
aerosol berhenti.
Penggunaan kortikosteroid mungkin terindikasi pada anak yang dirawat inap
dengan croup, yaitu untuk mengurangi edema radang dan mencegah destruksi epitel
bersilia. Tidak ada bukti kuat yang memberikan kesan adanya pengaruh merugikan dari
pengobatan kortikosteroid. Pada anak yang amat sakit, di unit perawatan intensif,
pernafasan campuran helim-oksigen, yang densitasnya lebih rendah dan hasilnya
memperbaiki turbulensi aliran udara, dapat mengurangi kerja pernafasan.
`
Epiglotitis merupakan keadaan gawat darurat medis. Penyakit ini harus ditangani
segera dengan jalan nafas buatan yang ditempatkan pada keadaan-keadaan yang
terkontrol, biasanya dalam kamar operasi. Semua penderita harus mendapatkan oksigen
pada perjalanan ke kamar operasi kecuali bila oksigen menjadi kontraindikasi karena
bertambahnya agitasi yang disebabkan oleh masker. Epinefrin rasemik dan kortikosteroid
tidak efektif, obat-obat ini tidak mengubah perlunya jalan nafas buatan dan dapat
menunda pengobatan definitif sehingga keadaannya menjadi berbahaya. Biakan darah,
permukaan epiglotis, pada kasus tertentu cairan serebrospinal, harus dikumpulkan pada
saat stabilisasi jalan nafas. Seftriakson atau sefotaksim atau kombinasi ampisilin dan
sulbaktam harus diberikan secara parenteral sementara menunggu laporan biakan dan
kerentanan karena semakin bertambahnya kemungkinan strain H.Influnzae tipe b yang
resisten ampisilin. Sesudah pemasangan jalan nafas buatan, kegawatan pernafasan dan
sianosis akan hilang, dan gas darah menjadi normal atau mendekati normal. Epiglotitis
sembuh sesudah beberapa hari pemberian antibiotik, dan penderita dapat dilepaskan dari
trakeotomi atau pipa nasotrakea, antibiotik harus dilanjutkan selama 7 – 10 hari.
Trakeostomi dan intubasi endotrakea. Dengan pemasukan intubasi nasotrakea atau
trakeotomi epiglotis rutin, angka mortalitas telah turun sampai hampir nol. Kedua
prosedur harus selalu dilakukan pada kamar operasi jika waktu memungkinkan, intubasi
dan anestesi umum yang dilakukan sebelumnya akan memudahkan tindakan trakeotomi
tanpa komplikasi.
Intubasi endotrakea atau trakeotomi diperlukan untuk semua penderita epiglotitis,
tetapi untuk penderita laringotrakeobronkitis, croup spasmodik atau laringitis, tindakan
ini hanya diperlukan untuk individu yang terdapat tanda-tanda kegagalan pernafasan
`
akibat obstruksi walaupun pengobatannya memadai. Beberapa banetuk
laringotrakeobronkitis yang memerlukan trakeotostomi pada sebagia besar penderita
tekah dilaporkan selama epidemi campak dan virus influenza A berat. Penilaian terhadap
perlunya prosedur ini memerlukan pengalaman dan pertimbangan, karena prosedur ini
harus ditunda sampai sianosis dan kegelisahan berat telah berkembang, frekuensi nadi di
atas 150x/mnt dan semakin naik, serta PCO2 naik, terutama pada anak yang sedang lelah,
merupakan petunjuk bahwa kegagalan pernafasan akan segera terjadi.
Pipa endotrakeal atao trakeostomi harus tetap terpasang di tempatnya sampai
edema dan spasme telah berkurang dan penderita mampu menangani sekresi secara
memuaskan. Penyembuhan radang epiglotis yang adekuat, yang secara tepat diperkuat
dengan laringoskopi seratopik, memungkinkan pelepasan pipa (ekstubasi) yang jauh lebih
cepat, seringkali dalam 24 jam. Ada beberapa bukti bahwa hidrokortison (50-100 mg/24
jam) atau deksametason (0,25 – 0,5 mg/KgBB/dosis tetap setiap 6 jam sesudah makan)
dan epinefrin rasemik mungkin berguna untuk memudahkan ekstubasi atau untuk
menangani croup akibat ekstubasi.
`