21
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia tentang Pembentukan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi Dessy Eko Prayitno dan Haryani Turnip 2018 Pernyataan Naskah ini dimungkinkan dengan dukungan Rakyat Amerika melalui Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID). Isi dari naskah ini adalah tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan USAID atau Pemerintah Amerika Serikat.

Naskah Akademik Rancangan Peraturan ... - bijak-indonesia.org...Nasional dan 109 Non Taman Nasional.1 Tantangan utama untuk mewujudkan pembentukan (dan operasionalisasi) KPHK adalah

  • Upload
    others

  • View
    32

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Naskah Akademik Rancangan Peraturan ... - bijak-indonesia.org...Nasional dan 109 Non Taman Nasional.1 Tantangan utama untuk mewujudkan pembentukan (dan operasionalisasi) KPHK adalah

Naskah Akademik Rancangan

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup

dan Kehutanan Republik Indonesia

tentang Pembentukan Wilayah

Kesatuan Pengelolaan Hutan

Konservasi

Dessy Eko Prayitno dan Haryani Turnip

2018

Pernyataan

Naskah ini dimungkinkan dengan dukungan Rakyat Amerika melalui Badan Pembangunan Internasional

Amerika Serikat (USAID). Isi dari naskah ini adalah tanggung jawab penulis dan

tidak mencerminkan pandangan USAID atau Pemerintah Amerika Serikat.

Page 2: Naskah Akademik Rancangan Peraturan ... - bijak-indonesia.org...Nasional dan 109 Non Taman Nasional.1 Tantangan utama untuk mewujudkan pembentukan (dan operasionalisasi) KPHK adalah

DAFTAR ISI

_Toc36826617 BAB I: PENDAHULUAN ....................................................................................................................................................... 1

LATAR BELAKANG .......................................................................................................................................................... 1 IDENTIFIKASI MASALAH ................................................................................................................................................ 2

A. Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik ................................................................ 2 B. Metode .................................................................................................................................................................... 2

BAB II: KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS ................................................................................................... 3 A. Perspektif Sejarah ................................................................................................................................................. 3 B. Pembentukan KPH ............................................................................................................................................... 3

BAB IV: JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP ........................................................ 14 A. KPH Memecahkan Persoalan Kelembagaan ................................................................................................. 14 B. Kriteria Umum dan Kunci Sukses KPH ......................................................................................................... 16 C. Wilayah Kelola KPH .......................................................................................................................................... 18

Page 3: Naskah Akademik Rancangan Peraturan ... - bijak-indonesia.org...Nasional dan 109 Non Taman Nasional.1 Tantangan utama untuk mewujudkan pembentukan (dan operasionalisasi) KPHK adalah

1

BAB I: PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Pembentukan wilayah pengelolaan hutan merupakan mandat Pasal 12 jo Pasal 17 Undang-Undang No. 41

Tahun 1999 tentang Kehutanan. Wilayah pengelolaan hutan dibentuk ditingkat provinsi, kabupaten/kota, dan

unit pengelolaan. Khusus untuk unit pengelolaan, yang lebih dikenal dengan Kesatuan Pengelolaan Hutan

(KPH) dibentuk dengan mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi DAS, sosial

budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat, dan batas administrasi pemerintahan. Penjelasan Pasal

17 kemudian merinci jenis-jenis KPH, yaitu: Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL), Kesatuan Hutan

Produksi (KPHP), Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK), Kesatuan Pengelolaan Hutan

Kemasyarakatan (KPHKM), Kesatuan Pengelolaan Hutan Adat (KPHA), dan Kesatuan Pengelolaan Daerah

Aliran Sungai (KPDAS).

Hingga tahun 2018, capaian penetapan wilayah KPH Konservasi adalah seluas 97,4 juta ha pada 38 Taman

Nasional dan 109 Non Taman Nasional.1 Tantangan utama untuk mewujudkan pembentukan (dan

operasionalisasi) KPHK adalah belum adanya norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) pembentukan

wilayah dan operasionalisasi KPHK. Satu-satunya peraturan yang menjadi rujukan pembentukan wilayah

KPHK adalah Peraturan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem No.

P.3/KSDAE/SET/KSA.1/7/2016 tentang Petunjuk Teknis Operasional Kesatuan Pengelolaan Hutan

Konservasi (Perdirjen P.3/2016) serta dua kebijakan Dirjen KSDAE berupa Surat Edaran Direktur Jenderal

Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem No. S.502/KSDAE-PIKA/2015 mengenai Penyusunan Rancang

Bangun KPHK Non-TN dan Surat Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem No.

S.544/KSDAE-PIKA/2015 mengenai Rancang Bangun Pembentukan KPHK Tahun 2015. Namun demikian,

Perdirjen P.3/2016 dan dua kebijakan ini belum efektif dalam memastikan pengelolaan KPHK.

Lampiran bidang kehutanan pada Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU

23/2014) menyebutkan pelaksanaan pengelolaan Taman Hutan Raya (Tahura) dalam satu wilayah

kabupaten/kota menjadi kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota, sedangkan untuk wilayah Tahura

yang berada lintas daerah menjadi tanggung pemerintah daerah provinsi. Pemerintah pusat hanya memiliki

kewenangan dalam hal penetapan wilayah Tahura. Penegasan pembagian kewenangan dalam pengelolaan

Tahura belum menjamin penyederhanaan koordinasi pengelolaan kawasan konservasi karena Peraturan

Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan (PP 44/2004) dan Peraturan Menteri

Kehutanan No. 6/Menhut-II/2009 tentang Pembentukan Wilayah KPH (Permenhut 6/2009) menyatakan

bahwa hutan konservasi dan/atau hutan lindung dan/atau hutan produksi yang tidak layak untuk dikelola

menjadi satu unit pengelolaan hutan, maka pengelolaannya disatukan dengan unit pengelolaan hutan

terdekat, tanpa mengubah fungsi pokoknya. Hal ini dalam prakteknya mungkin akan terjadi hambatan akibat

adanya kewenangan yang berbeda-beda dalam satu unit KPH.

1 Tabel Data dan Informasi KPH, http://kph.menlhk.go.id , diakses pada tanggal 24 Oktober 2018.

Page 4: Naskah Akademik Rancangan Peraturan ... - bijak-indonesia.org...Nasional dan 109 Non Taman Nasional.1 Tantangan utama untuk mewujudkan pembentukan (dan operasionalisasi) KPHK adalah

2

IDENTIFIKASI MASALAH

Naskah akademik ini mengidentifikasi beberapa permasalahan dalam kaitannya dengan pembentukan wilayah

KPHK, antara lain:

1. urgensi pembentukan KPHK untuk menjawab permasalahan pengelolaan hutan konservasi

2. kriteria dan indikator pembentukan KPHK

3. desain wilayah KPHK, termasuk apabila calon wilayah berdekatan atau didalam hutan produksi atau

hutan lindung atau Tahura dan memiliki potensi untuk disatukan dengan wilayah KPHK;

4. hal-hal lain yang perlu diperhatikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam tahapan

pembentukan wilayah KPHK, misalnya mekanisme pembentukan KPHK, organisasi KPHK dan

koordinasi antar Direktorat Jenderal didalam Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk

pengelolaan KPH.

A. TUJUAN DAN KEGUNAAN KEGIATAN PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK

1. Tujuan

Tujuan utama penyusunan Naskah Akademik ini dilakukan untuk memberikan landasan pemikiran akademik

dalam menyusun Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan terkait dengan Pembentukan Wilayah

KPHK.

2. Kegunaan

Naskah Akademik ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan rujukan dalam menyusun Peraturan Menteri

Lingkungan Hidup dan Kehutanan terkait dengan Pembentukan Wilayah KPHK. Selain itu, Naskah akademis

merupakan satu kesatuan dokumen rancangan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan terkait

dengan Pembentukan Wilayah KPHK

B. METODE

Metode yang digunakan dalam penyusunan Naskah Akademik ini adalah yuridis-empiris, yaitu dengan

melakukan penelitian terhadap peraturan perundang-undangan terkait dengan KPH, yang kemudian

dibandingkan dengan penerapan peraturan perundang-undangan dalam pengelolaan KPHK.

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptis-analitis, yaitu dengan memaparkan realitas empiris

pengeloaan KPHK.

Penelitian ini menggunakan data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka

terhadap peraturan perundang-undangan dan literatur, yang mencakup:

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dan terdiri dari norma (dasar) atau

kaidah dasar serta norma yang yang terkait dengan isu kehutanan, KPH, dan pemerintah daerah.

2. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti

misalnya, rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, tesis,

disertasi, jurnal dan seterusnya.

3. Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan

hukum primer dan sekunder; contohnya adalah kamus, ensiklopedia, dan seterusnya.

Sedangkan data primer diperoleh melalui diskusi dengan berbagai pihak dan narasumber yang berkompeten

Page 5: Naskah Akademik Rancangan Peraturan ... - bijak-indonesia.org...Nasional dan 109 Non Taman Nasional.1 Tantangan utama untuk mewujudkan pembentukan (dan operasionalisasi) KPHK adalah

3

BAB II: KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. PERSPEKTIF SEJARAH

Pada umumnya, kawasan konservasi di Indonesia berasal dari kawasan hutan yang telah ditunjuk pada masa

kolonial Belanda. Kawasan konservasi tersebut dapat berasal dari hutan cadangan botani yang dikelola oleh

Dinas Kehutanan dan yang dikelola oleh Kebun Raya Negara Bogor, serta monumen alam yang dikelola oleh

pihak swasta. Pasca terbitnya Undang-Undang Monumen Alam, kawasan konservasi tersebut kemudian

ditetapkan menjadi monumen alam. Selain itu, banyak kawasan yang kemudian ditetapkan sebagai wilayah

tempat melindungi jenis-jenis satwa yang hidup di dalamnya, khususnya dari kegiatan perburuan yang marak

terjadi saat itu. Oleh karena itu, kemudian diterbitkan berbagi ordonansi untuk menertibkan kegiatan

perburuan.

Dalam perkembangannya, upaya perlindungan alam serta jenis satwa semakin meluas dengan semakin banyak

ditetapkannya penyisihan kawasan hutan sebagai natuurmonumenten dan wildreservaat. Sejalan dengan

perkembangan upaya konservasi alam dan satwa, kemudian diterbitkan Ordonansi Perlindungan Alam.

Namun demikian, dengan pendudukan Jepang pada tahun 1942, kegiatan perlindungan alam dan jenis-jenis

satwa tidak berjalan. Upaya konservasi baru kembali dilakukan setelah masa kemerdekaan, yaitu dengan

terbitnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan (UU 5/1967).

Berdasarkan UU 5/1967, Menteri menetapkan hutan negara, diantaranya sebagai hutan suaka alam dan hutan

wisata. Menurut Pasal 3 ayat (3) UU 5/1967, hutan suaka alam merupakan kawasan hutan yang karena

sifatnya yang khas diperuntukkan secara khusus untuk perlindungan alam hayati dan/atau manfaat-manfaat

lainnya, seperti perlindungan hewan dan tumbuhan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Kemudian Pasal 3

ayat (4) UU 5/1967 mengatur bahwa hutan wisata diperuntukkan secara khusus untuk dibina dan dipelihara

guna kepentingan pariwisata dan wisata buru. Sejak saat itu, semua kawasan natuurmonumenten dan

wildreservaat ditetapkan sebagai cagar alam dan suaka margasatwa. Dan pada akhir tahun 1970an hingga

awal 1980an, banyak kawasan konservasi ditetapkan secara parsial dengan keputusan Menteri Pertanian.

Pada tahun 1982, dengan bantuan Food And Agriculture Organization (FAO), World Wildlife Fund (WWF),

Indonesia menyusun National Conservation Plan (NCP). Dalam NCP tersebut dimasukkan semua kawasan

konservasi yang telah ditetapkan serta usulan-usulan baru yang didasarkan pada potensi ekologi kawasan.

Kemudian pada tahun 1990 lahirnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya

Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU 5/1990). Lahirnya UU 5/1990 memberikan dasar bagi penunjukan dan

pengelolaan kawasan konservasi. Berdasarkan UU 5/1990, penunjukkan dan penetapan konservasi

selanjutnya dilakukan oleh Menteri Kehutanan berdasarkan NCP yang telah disusun dan berdasarkan usulan-

usulan baru dari berbagai pihak.

B. PEMBENTUKAN KPH

Pembentukan KPH pertama kali diamatkan dalam UU 5/1967, Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan (UU 41/1999), Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan (PP

44/2004), Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana

Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan (PP 6/2007). Dalam beberapa peraturan tersebut

memandatkan pembentukan KPH yang terdiri dari KPH Konservasi (KPHK), KPH Lindung (KPHL), dan

KPH Produksi (KPHP). Namun demikian, jika menilik dari Penjelasan Pasal 17 ayat (1), masih ada Kesatuan

Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (KPHKM), Kesatuan Pengelolaan Hutan Adat (KPHA), dan Kesatuan

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (KPDAS).

Page 6: Naskah Akademik Rancangan Peraturan ... - bijak-indonesia.org...Nasional dan 109 Non Taman Nasional.1 Tantangan utama untuk mewujudkan pembentukan (dan operasionalisasi) KPHK adalah

4

Khusus terkait dengan KPHK. Isu konservasi merupakan isu global yang menjadi perhatian dunia. Oleh

karena itu, pembentukan KPHK dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai konvensi internasional,

seperti CBD, IUCN, dll.

Pembentukan KPHK merupakan suatu proses untuk menggabungkan kawasan konservasi. Kawasan-kawasan

konservasi yang telah dievaluasi akan memberikan peluang untuk dilakukan penggabungan atau nested menjadi unit KPHK. Pembentukan KPHK akan memperhatikan berbagai aspek, yaitu: biologi, physiografi,

luas kawasan konservasi, target konservasi, kondisi tutupan lahan, dll.

P.6/2009 secara umum mengatur mengenai tata cara pembentukan wilayah KPH, yang meliputi: KPHK,

KPHL, dan KPHP. Secara prinsip, KPH ditetapkan dengan ketentuan:\

1. Ditetapkan dalam satu atau lebih fungsi pokok hutan dan satu wilayah administrasi atau lintas

wilayah administrasi pemerintahan.

2. Jika KPH terdiri dari atas lebih dari satu fungsi pokok hutan, maka penetapan KPH didasarkan

kepada fungsi pokok hutan yang luasnya dominan.

P.6/2009 mengatur bahwa pembentukan wilayah KPH harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

1. Karakteristik lahan.

2. Tipe hutan.

3. Fungsi hutan.

4. Kondisi daerah aliran sungai.

5. Kondisi sosial, budaya, ekonomi masyarakat.

6. Kelembagaan masyarakat setempat, termasuk masyarakat hukum adat.

7. Batas administrasi pemerintahan.

8. Hamparan yang secara geografis merupakan satu kesatuan.

9. Batas alam atau buatan yang bersifat permanen.

10. Penguasan lahan.

Dengan berbagai pertimbangan di atas, maka kriteria pembentukan wilayah KPH meliputi: kepastian wilayah

kelola, kelayakan ekologi, kelayakan pengembangan kelembagaan pengelolaan hutan, dan kelayakan

pengembangan pemanfaatan hutan. Sedangkan indikatornya dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Indikator kepastian wilayah kelola meliputi:

• Berada dalam kawasan hutan tetap setelah tahap penunjukan atau penataan batas, atau

penetapan kawasan hutan.

• Mempunyai letak, luas, dan batas yang jelas dan relatif permanen.

• Setiap areal unit pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan wajib meregister arealnya dalam

wilayah KPH.

• Batas wilayah KPH sejauh mungkin mengikuti batas-batas alam.

2. Indikator kelayakan ekologi meliputi:

• Posisi dan letak wilayah KPH mempertimbangkan kesesuaian terhadap DAS atau sub-DAS.

• Mempertimbangkan homogenitas geomorfologi dan tipe hutan.

• Bentuk areal mengarah ke ideal dari aspek ekologi, yaitu areal yang kompak lebih baik dari pada

bentuk terfragmentasi dan bentuk membulat lebih baik daripada bentuk memanjang.

3. Indikator kelayakan pengembangan kelembagaan pengelolaan hutan meliputi:

• Luas wilayah KPH dalam batas rentang kendali yang optimum.

• Luas wilayah KPH mempertimbangkan intensitas pengelolaan dari aspek produksi.

• Mempertimbangkan keutuhan batas izin pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan,

serta lembaga pengelolaan hutan lain yang telah ada.

4. Indikator kelayakan pengembangan pemanfaatan hutan meliputi:

• Mempertimbangkan kemungkinan pemanfaatan potensi sumber daya hutan.

Page 7: Naskah Akademik Rancangan Peraturan ... - bijak-indonesia.org...Nasional dan 109 Non Taman Nasional.1 Tantangan utama untuk mewujudkan pembentukan (dan operasionalisasi) KPHK adalah

5

• Merupakan areal yang kompak atau memiliki tingkat fragmentasi areal yang rendah.

• Memiliki tingkat aksesibilitas yang memadai.

P.6/2009 juga mengatur mengenai tata cara pembentukan wilayah KPH yang dilakukan melalui tahapan:

rancang bangun KPH, arahan pencadangan KPH, usulan penetapan KPH, dan penetapan wilayah KPH.

Rancang bangun KPH dilakukan dengan tahapan: mengidentifikasi kawasan hutan, mendelineasi wilayah KPH

dalam bentuk peta dengan memberikan batas luar wilayah KPH dan penamaan KPH sesuai fungsi pokok

hutan yang luasannya dominan, mendeskripsikan secara lengkap peta delineasi wilayah KPH dalam bentuk

buku (dokumen rancang bangun KPH).

Kewenangan melakukan rancang bangun KPH, dibagi sebagai berikut:

1. Untuk KPHK, maka rancang bangun disusun oleh Kepala UPT Konservasi

Sumberdaya Alam dengan dukungan data dan informasi dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan dan

pemangku kepentingan. Rancan bangun KPHK ini kemudian disampaikan kepada Direktur Jenderal

Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Dirjen PHKA). Dirjen PHKA kemudian menyampaikan

rancang bangun KPHK kepada Menteri untuk mendapatkan arahan pencadangan.

2. Untuk KPHL dan KPHP, maka rancang bangun disusun oleh Kepala Dinas yang

membidangan urusan kehutanan di provinsi dengan mempertimbangkan pertimbangan bupati/walikota.

Rancang bangun KPHL dan KPHP kemudian disampaikan kepada gubernur untuk mendapatkan

persetujuan. Gubernur kemudian menyampaikan rancang bangun KPHL dan KPHP kepada Menteri

untuk mendapatkan arahan pencadangan.

Arahan pencadangan dilakukan dengan tahapan: 1) Menteri menugaskan Dirjen Planologi Kehutanan untuk

menyusun arahan pencadangan KPHK yang berasal dari rancang bangun KPHK yang diusulkan Dirjen PHKA,

dan arahan pencadangan KPHL dan KPHP yang berasal dari rancang bangun KPHL dan KPHP yang diusulkan

gubernur. 2) Dirjen Planologi Kehutanan menyusun arahan pencadangan KPH melalui pembahasan dan

penelaahan terhadap usulan rancang bangun KPHK, KPHL, dan KPHP dengan melibatkan Eselon I terkait. 3)

Dalam hal terdapat kawasan konservasi di dalam rancang bangun KPHL dan KPHP, maka Dirjen Planologi

Kehutanan meminta pertimbangan Dirjen PHKA. 4) Arahan pencadangan KPHK disampaikan kepada

Menteri sebagai dasar penetapan wilayah KPHK dan arahan pencadangan KPHL dan KPHP disampaikan

kepada gubernur.

Usulan penetapan dilakukan dengan tahapan: 1) gubernur menugaskan Dinas yang membidangi urusan

kehutanan di provinsi untuk menelaah dan menyempurnakan rancang bangun KPHL dan KPHP berdasarkan

arahan pencadangan. 2) Penyempurnaan kembali rancang bangun KPHL dan KPHP dilaksanakan melalui

pembahasan dengan instansi terkait di daerah dan mendapat dukungan data dan informasi dari Balai

Pemantapan Kawasan Hutan. 3) Berdasarkan hasil penyempurnaan, gubernur menyampaikan usulan

penetapan wilayah KPHL dan KPHP kepada Menteri.

Penetapan wilayah KPHK, KPHL, dan KPHP dilakukan dengan tahapan: 1) Menteri menugaskan Dirjen

Planologi Kehutanan untuk menyusun konsep Keputusan Menteri dan peta penetapan wilayah KPH melalui

pembahasan dengan Eselon I. 2) Dirjen Planologi Kehutanan menyampaikan konsep keputusan kepada

Menteri untuk ditetapkan.

BAB III: EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

Bab ini menguraikan mengenai tinjauan hukum atas peraturan perundang-undangan yang terkait dengan

KPHK, yaitu:

• Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan

Ekosistemnya (UU 5/1990)

Page 8: Naskah Akademik Rancangan Peraturan ... - bijak-indonesia.org...Nasional dan 109 Non Taman Nasional.1 Tantangan utama untuk mewujudkan pembentukan (dan operasionalisasi) KPHK adalah

6

UU 5/1990 mengatur bahwa konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui

kegiatan: a) perlindungan sistem penyangga kehidupan; b) pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan

satwa beserta ekosistemnya; dan c) pemanfaatan secara lestari sumber daya alami hayati dan ekosistemnya.

Untuk mewujudkan perlindungan sistem penyangga kehidupan, UU 5/1990 memandatkan Pemerintah

(Pusat) untuk menetapkan: a) wilayah tertentu sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan;2

b) pola dasar pembinaan wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan; dan c) pengaturan cara

pemanfaatan wilayah perlindnngan sistem penyangga kehidupan.

Wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan ini dibagi menjadi dua, yaitu: Kawasan Suaka Alam dan

Kawasan Pelestarian Alam. Kawasan Suaka Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat

maupun di perairan yang mempunyai tugas pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan

dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. Kawasan

Suaka Alam terdiri dari cagar alam dan suaka margasatwa. Di dalam cagar alam dapat dilakukan kegiatan

untuk kepentingan penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan, dan kegiatan lainnya yang

menunjang budidaya. Sedangkan di dalam suaka margasatwa dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan

penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan, wisata terbatas, kegiatan lainnya yang

menunjang budidaya.

Sedangkan Kawasan Pelestarian Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di

perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman

jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Kawasan Pelestarian Alam terdiri dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam yang

pengelolaannya dilaksanakan oleh Pemerintah (Pusat). Namun demikian, dalam rangka pelaksanaan

konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, Pemerintah (Pusat) dapat menyerahkan sebagian

urusan kepada Pemerintah Daerah.

Di dalam Kawasan Pelestarian Alam, baik di taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dapat

dilakukan kegiatan yang tidak mengurangi fungsi pokok masing-masing kawasan, yaitu untuk kepentingan

penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, kegiatan lainnya yang menunjang budidaya, budaya, dan wisata

alam. UU 5/1990 juga mengatur bahwa kawasan taman nasional dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri

dari zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain sesuai dengan keperluan. Di dalam zona inti tidak boleh

dilakukan kegiatan yang dapat mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas zona inti taman nasional, serta

menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli.

• Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU 41/1999)

Pasal 17 UU 41/1999 mengatur bahwa pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilaksanakan untuk tingkat

provinsi, kabupaten/kota, dan unit pengelolaan.3 Pembentukan wilayah pengelolaan hutan ditingkat unit

pengelolaan dilaksanakan dengan mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi

daerah aliran sungai, sosial budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat, termasuk masyarakat

hukum adat dan batas administrasi pemerintahan.

Pasal 17 inilah yang memandatkan dibentuknya unit pengelolaan yang merupakan kesatuan pengelolaan hutan

(KPH) terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukkannya. Jenis-jenis KPH yang dimandatkan antara lain:

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL), Kesatuan Hutan Produksi (KPHP), Kesatuan Pengelolaan

Hutan Konservasi (KPHK), Kesatuan Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (KPHKM), Kesatuan Pengelolaan

Hutan Adat (KPHA), dan Kesatuan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (KPDAS).4

2 Wilayah Perlindungan Sistem Penyangga Kehidupan inilah yang saat ini lebih dikenal dengan Kesatuan Pengelolaan Hutan

Konservasi (KPHK).

3 Unit pengelolaan adalah kesatuan pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukkannya.

4 Lihat Penjelasan Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Page 9: Naskah Akademik Rancangan Peraturan ... - bijak-indonesia.org...Nasional dan 109 Non Taman Nasional.1 Tantangan utama untuk mewujudkan pembentukan (dan operasionalisasi) KPHK adalah

7

Selain mempertimbangkan fungsi pokok dan peruntukan hutan, pembentukan KPH juga harus

mempertimbangkan hubungan antara masyarakat dengan hutan, aspirasi, dan kearifan tradisional

masyarakat.5

• Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UU 26/2007)

UU 26/2007 mengatur bahwa salah satu klafisikasi penataan ruang dilakukan berdasarkan fungsi utama

kawasan yang terdiri atas kawasan lindung dan kawasan budi daya. Yang termasuk di dalam kawasan lindung

adalah:

a. Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya, antara lain kawasan hutan lindung,

kawasan bergambut, dan kawasan resapan air.

b. Kawasan perlindungan setempat, antara lain sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar

danau/waduk, dan kawasan sekitar mata air.

c. Kawasan suaka alam dan cagar budaya, antara lain kawasan suaka alam, kawasan suaka alam laut dan

perairan lainnya, kawasan pantai berhutan bakau, taman nasional, taman hutan raya, taman wisata

alam, cagar alam, suaka margasatwa, serta kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan.

d. Kawasan rawan bencana alam, antara lain kawasan rawan letusan gunung berapi, kawasan rawan

gempa bumi, kawasan rawan tanah longsor, kawasan rawan gelombang pasang, dan kawasan rawan

banjir.

e. Kawasan lindung lainnya, misalnya taman buru, cagar biosfer, kawasan perlindungan plasma nutfah,

kawasan pengusian satwa, dan terumbu karang.

Sedangkan yang termasuk kawasan budi daya adalah kawasan peruntukan hutan produksi, kawasan

peruntukan hutan rakyat, kawasan peruntukan pertanian, perikanan, pertambangan, permukiman, industri,

pariwisata, tempat ibadah, pendidikan, dan pertahanan keamanan.

• Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (UU 23/2014)

Lahirnya UU 23/2014 membawa perubahan baru berupa penyederhanaan sub-sub bidang kewenangan

pemerintah yang berdampak pada pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Khusus terkait dengan kewenangan kehutanan yang merupakan salah satu urusan pemerintahan pilihan atau

urusan pemerintahan di daerah yang disesuaikan dengan potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah.6

Kemudian, berdasarkan Lampiran UU 23/2014, kewenangan pemerintah pusat terdiri atas sembilan belas

sub-bidang, sedangkan pemerintah provinsi memiliki empat belas sub-bidang, dan pemerintah

kabupaten/kota hanya memiliki satu sub-bidang kewenangan, yaitu mengelola taman hutan raya (tahura).7

Tahura dalam kenyataannya tidak terdapat disetiap wilayah kabupaten/kota, sehingga berdampak pada

hilangnya kewenangan kehutanan di beberapa kabupaten/kota yang tidak memiliki wilayah tahura.

Tabel

Kewenangan Kehutanan dalam UU 23/2014

Urusan Urusan Pemerintahan

Pusat Pro

v Kab Keterangan

Penyelenggaraan Inventarisasi Hutan √

Penyelenggaraan Pengukuhan Hutan √

Penyelenggaraan Penatagunaan Kawasan Hutan √

5 Ibid., Penjelasan Pasal 17 ayat (2).

6 Lihat Pasal 12 ayat (3) Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

7 Ibid., Pasal 14 ayat (2).

Page 10: Naskah Akademik Rancangan Peraturan ... - bijak-indonesia.org...Nasional dan 109 Non Taman Nasional.1 Tantangan utama untuk mewujudkan pembentukan (dan operasionalisasi) KPHK adalah

8

Urusan Urusan Pemerintahan

Pusat Pro

v Kab Keterangan

Penyelenggaraan Inventarisasi Hutan √

Penyelenggaraan Pembentukan Wilayah Pengelolaan

Hutan

Penyelenggaraan Rencana Kehutanan Nasional √

Penyelenggaraan Tata Hutan √ √ Provinsi tidak memiliki

kewenangan pada KPHK.

Penyelenggaraan Rencana Pengelolaan Hutan √ √ Provinsi tidak memiliki

kewenangan pada KPHK.

Penyelenggaraan Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan √ √

Penyelenggaraan Perlindungan Hutan √ √

Penyelenggaraan Pengolahan dan Penatausahaan Hasil

Hutan

√ √

Penyelenggaraan Pengelolaan Kawasan Hutan dengan

Tujuan Khusus

√ √ Provinsi berwenang mengelola

KHDTK yang ditujukan untuk

kepentingan keagamaan.

Penyelenggaraan Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan

Kawasan Pelestarian Alam

√ √ √ • Pelaksanaan perlindungan,

pengawetan, dan

pemanfaatan Tahura lintas

kabupaten/kota;

• Kawasan Ekonomi Esensial

dan daerah penyangga

kawasan suaka alam dan

kawasan pelestarian alam.

Penyelenggaraan Konservasi Tumbuhan dan Satwa Liar √ √

Penyelenggaraan Pemanfaatan Secara Lestari Kondisi

Lingkungan Kawasan Pelestarian Alam

√ √

Penyelenggaraan Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar

√ √

Pendidikan daan Pelatihan, Penyuluhan dan

Pemberdayaan Masyarakat di Bidang Kehutanan

√ √

Pengelolaan DAS √ √

Pengawasan Kehutanan √

Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan (PP 44/2004)

PP 44/2004 mengatur pembentukan wilayah pengelolaan hutan dengan tujuan untuk mewujudkan

pengelolaan hutan yang efisien dan lestari. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilaksanakan untuk

tingkat: provinsi, kabupaten/kota, dan unit pengelolaan. Unit pengelolaan hutan terdiri dari:

1. Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi pada hutan konservasi;

2. Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung pada hutan lindung;

3. Keatuan Pengelolaan Hutan Produksi pada hutan produksi.

Prosedur pembentukan KPHK dilakukan melalui tahapan: 1) pengusulan kepada Menteri mengenai rancang

bangun KPHK yang dilakukan oleh Instansi Kehutanan Pusat di daerah; 2) berdasarkan usulan rancang

bangun KPHK, Menteri menetapkan arahan pencadangan wilayah KPHK; dan 3) Menteri menetapkan KPHK

berdasarkan arahan pencadangan wilayah KPHK.

Prosedur pembentukan KPHL dan KPHP dilakukan melalui tahapan: 1) gubernur menyusun rancang bangun

KPHL dan KPHP berdasarkan pertimbangan bupati/walikota; 2) gubernur mengusulkan rancang bangun

KPHL dan KPHP kepada Menteri; 3) berdasarkan usulan rancang bangun KPHL dan KPHP, Menteri

menetapkan arahan pencadangan wilayah KPHL dan KPHP; 4) berdasarkan arahan pencadangan KPHL dan

KPHP, gubernur membentuk KPHL dan KPHP; dan 5) Pembentukan KPHL dan KPHP disampaikan kepada

Menteri untuk ditetapkan sebagai KPHL dan KPHP.

KPHK terdiri dari satu atau kombinasi dari Hutan Cagar Alam, Hutan Suaka Margasatwa, Hutan Taman

Nasional, Hutan Taman Wisata Alam, Hutan Taman Hutan Raya, dan Hutan Taman Buru. Kemudian KPHL

Page 11: Naskah Akademik Rancangan Peraturan ... - bijak-indonesia.org...Nasional dan 109 Non Taman Nasional.1 Tantangan utama untuk mewujudkan pembentukan (dan operasionalisasi) KPHK adalah

9

merupakan kesatuan pengelolaan yang fungsi pokoknya merupakan hutan lindung. Sedangkan KPHP

merupakan kesatuan pengelolaan yang fungsi pokoknya merupakan hutan produksi.

Pembentukan unit pengelolaan hutan dilakukan dengan mempertimbangkan: 1) karakteristik lahan; 2) tipe

hutan; 3) fungsi hutan; 4) kondisi daerah aliran sungai; 5) kondisi sosial, budaya, ekonomi masyarakat; 6)

kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat; 7) batas administrasi pemerintahan; 8)

hamparan yang secara geografis merupakan satu kesatuan; 9) batas alam atau buatan yang bersifat permanen;

dan 10) penguasaan lahan.

PP 44/2004 juga mengatur bahwa dalam hal terdapat hutan konervasi dan/atau hutan lindung dan/atau hutan

produksi yang tidak layak untuk dikelola menjadi satu unit pengelolaan hutan, maka pengelolaannya

disatukan dengan unit pengelolaan hutan yang terdekat tanpa mengubah fungsi pokoknya.

Untuk melakukan pengelolaan hutan di setiap unit, maka harus dibentuk institusi pengelola yang

bertanggungjawab untuk melakukan: perencanaan pengelolaan, pengorganisasian, pelaksanaan pengelolaan,

dan pengendalian dan pengawasan. Terhadap pelaksanaan rencana kehutanan dilakukan evaluasi dan

pengendalian, yaitu:

1. pada KPHK dilaksanakan oleh Menteri;

2. pada KPHL dan KPHP di dalam kabupaten/kota dilaksanakan oleh bupati/walikota;

3. pada KPHL dan KPHP lintas kabupaten/kota dilaksanakan oleh gubernur;

4. pada KPHL dan KPHP lintas provinsi dilaksanakan oleh Menteri.

Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana

Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan (PP 6/2007)

PP 6/2007 mengatur bahwa kawasan hutan memiliki tiga fungsi pokok, yaitu: konservasi, lindung, dan

produksi. Kawasan hutan yang berfungsi konservasi, lindung, dan produksi tersebut dibagi dalam KPH yang

menjadi bagian dari penguatan sistem pengurusan hutan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.

KPH terdiri dari KPH Konservasi (KPHK), KPH Lindung (KPHL), dan KPH Produksi (KPHP). KPH dapat

ditetapkan dalam satu atau lebih fungsi pokok hutan dan satu wilayah administrasi atau lintas wilayah

administrasi pemerintahan. Namun demikian, dalam hal satu KPH terdiri dari satu fungsi pokok hutan, maka

penetapan KPH didasarkan pada fungsi yang luasnya dominan. Penetapan luas wilayah KPH dilakukan dengan

memperhatikan efisiensi dan efektifitas pengelolaan hutan dalam satu wilayah DAS.

Organisasi KPH ditetapkan oleh Pemerintah dan/atau pemeritah provinsi dan/atau pemerintah

kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya masing-masing, yaitu:

1. Pemerintah (Pusat) berwenang menetapkan organisasi KPH yang meliputi: KPHK dan KPHL atau

KPHP yang wilayah kerjanya lintas provinsi.

2. Pemerintah provinsi berwenang menetapkan organisasi KPH yang meliputi: KPHL dan KPHP yang

wilayah kerjanya lintas kabupaten/kota.

3. Pemerintah kabupaten/kota berwenang menetapkan organisasi KPH yang meliputi: KPHL dan KPHP

yang wilayah kerjanya dalam wilayah kabupaten/kota.

Organisasi KPH memiliki tugas dan fungsi:

1. Menyelenggarakan pengelolaan hutan yang meliputi: tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan

hutan, pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi hutan dan reklamasi, dan

perlindungan hutan dan konservasi alam.

2. Menjabarkan kebijakan kehutanan nasional, provinsi dan kabupaten/kota bidang kehutanan untuk

diimplementasikan.

Page 12: Naskah Akademik Rancangan Peraturan ... - bijak-indonesia.org...Nasional dan 109 Non Taman Nasional.1 Tantangan utama untuk mewujudkan pembentukan (dan operasionalisasi) KPHK adalah

10

3. Melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya mulai dari perencanaan, pengorganisasian,

pelaksanaan, dan pengawasan, serta pengendalian.

4. Melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya.

5. Membuka peluang investasi guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan hutan.

Anggaran pembangunan KPH bersumber dari APBN, APBD, dan/atau sumber lain yang tidak mengikat sesuai

dengan peraturan perundang-undangan.

Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

Nasional (PP 26/2008)

PP 26/2008 mengatur tiga kebijakan dan strategi pengembangan pola ruang, yaitu kebijakan dan strategi

pegembangan kawasan: lindung, budi daya, dan strategis nasional. Kebijakan dan strategi pegembangan

kawasan lindung mencakup pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi lingkungan hidup dan

pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup.

Kebijakan dan strategi pegembangan kawasan budi daya mencakup perwujudan dan peningkatan

keterpaduan dan keterkaitan antar kegiatan budi daya dan pengendalian perkembangan kegiatan budi daya

agar tidak melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan. Sedangkan kebijakan dan strategi

pegembangan kawasan strategis nasional mencakup: pelestarian dan peningkatan fungsi dan daya dukung

lingkungan hidup untuk mempertahankan dan meningkatkan keseimbangan ekosistem, melestarikan

keanekaragaman hayati, mempertahankan dan meningkatkan fungsi perlindungan kawasan, melestarikan

keunikan bentang alam, dan melestarikan warisan budaya nasional, peningkatan fungsi kawasan untuk

pertahanan dan keamanan negara, pengembangan dan peningkatan fungsi kawasan dalam pengembangan

perekonomian nasional yang produktif, efisien, dan mampu bersaing dalam perekonomian internasional,

pemanfaatan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi secara optimal untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat, pelestarian dan peningkatan sosial dan budaya bangsa, pelestarian dan peningkatan nilai kawasan

lindung yang ditetapkan sebagai warisan dunia, cagar biosfer, dan ramsar, dan pengembangan kawasan

tertinggal untuk mengurangi kesenjangan tingkat perkembangan antarkawasan.

Kawasan lindung nasional terdiri atas:

1. Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya, yang terdiri atas hutan

lindung, gambut, dan resapan air.

2. Kawasan perlindungan setempat, yang terdiri atas sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan

sekitar danau atau waduk, dan ruang terbuka hijau kota.

3. Kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya, yang terdiri atas kawasan suaka alam,

kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya, suaka margasatwa dan suaka margasatwa laut, cagar

alam dan cagar alam laut, kawasan pantai berhutan bakau, taman nasional dan taman nasional laut,

taman hutan raya, taman wisata alam dan taman wisata alam laut, dan kawasan cagar budaya dan

ilmu pengetahuan.

4. Kawasan rawan bencana alam, yang terdiri atas kawasan rawan tanah longsor, kawasan rawan

gelombang pasang, dan kawasan rawan banjir.

5. Kawasan lindung geologi, yang terdiri atas kawasan cagar alam geologi, kawasan rawan bencana alam

geologi, dan kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah.

6. Kawasan lindung lainnya, yang terdiri atas cagar biosfer, ramsar, taman buru, kawasan perlindungan

plasma nutfah, kawasan pengungsian satwa, terumbu karang, dan kawasan koridor bagi jenis satwa

atau biota laut yang dilindungi.

PP 26/2008 juga mengatur mengenai luasan wilayah sebaran kawasan lindung yang termasuk dalam kawasan

suaka alam, pelestarian alam, cagar budaya, cagar biosfer, ramsar, taman buru, kawasan perlindungan plasma

nutfah, kawasan perlindungan satwa, terumbu karang, dan kawasan koridor bagi jenis satwa atau biota laut

dilindungi, yaitu seluas paling sedikit 1000 hektar. Sedangkan untuk luasan kurang dari 1000 hektar dan

untuk sebaran kawasan lindung yang termasuk dalam kawasan yang memberikan perlindungan terhadap

kawasan bawahannya, kawasan perlindungan setempat, dan kawasan rawan bencana alam ditetapkan sesuai

Page 13: Naskah Akademik Rancangan Peraturan ... - bijak-indonesia.org...Nasional dan 109 Non Taman Nasional.1 Tantangan utama untuk mewujudkan pembentukan (dan operasionalisasi) KPHK adalah

11

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu, PP 26/2008 juga mengatur secara rnci

mengenai kriteria kawasan lindung nasional.

Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah (PP 18/2016)

PP 18/2016 merupakan turunan dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (UU

23/2014) yang secara umum mengatur lebih lanjut mengenai hal-hal yang diatur dalam UU 23/2014. Terkait

dengan pembagian kewenangan, termasuk kewenangan bidang kehutanan, PP 18/2016 mengatur mengenai

indikator pemetaan intensitas urusan pemerintahan daerah dan penentuan beban kerja perangkat daerah.

Peraturan Menteri Kehutanan No. P.6/Menhut-II/2009 tentang Pembentukan Wilayah

Kesatuan Pengelolaan Hutan (P.6/2009)

P.6/2009 secara umum mengatur mengenai tata cara pembentukan wilayah KPH, yang meliputi: KPHK,

KPHL, dan KPHP. Secara prinsip, KPH ditetapkan dengan ketentuan:

1. Ditetapkan dalam satu atau lebih fungsi pokok hutan dan satu wilayah administrasi atau lintas

wilayah administrasi pemerintahan.

2. Jika KPH terdiri dari atas lebih dari satu fungsi pokok hutan, maka penetapan KPH didasarkan

kepada fungsi pokok hutan yang luasnya dominan.

P.6/2009 mengatur bahwa pembentukan wilayah KPH harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

1. Karakteristik lahan.

2. Tipe hutan.

3. Fungsi hutan.

4. Kondisi daerah aliran sungai.

5. Kondisi sosial, budaya, ekonomi masyarakat.

6. Kelembagaan masyarakat setempat, termasuk masyarakat hukum adat.

7. Batas administrasi pemerintahan.

8. Hamparan yang secara geografis merupakan satu kesatuan.

9. Batas alam atau buatan yang bersifat permanen.

10. Penguasan lahan.

Dengan berbagai pertimbangan di atas, maka kriteria pembentukan wilayah KPH meliputi: kepastian wilayah

kelola, kelayakan ekologi, kelayakan pengembangan kelembagaan pengelolaan hutan, dan kelayakan

pengembangan pemanfaatan hutan. Sedangkan indikatornya dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Indikator kepastian wilayah kelola meliputi:

• Berada dalam kawasan hutan tetap setelah tahap penunjukan atau penataan batas, atau

penetapan kawasan hutan.

• Mempunyai letak, luas, dan batas yang jelas dan relatif permanen.

• Setiap areal unit pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan wajib meregister arealnya dalam

wilayah KPH.

• Batas wilayah KPH sejauh mungkin mengikuti batas-batas alam.

2. Indikator kelayakan ekologi meliputi:

• Posisi dan letak wilayah KPH mempertimbangkan kesesuaian terhadap DAS atau sub-DAS.

• Mempertimbangkan homogenitas geomorfologi dan tipe hutan.

• Bentuk areal mengarah ke ideal dari aspek ekologi, yaitu areal yang kompak lebih baik dari pada

bentuk terfragmentasi dan bentuk membulat lebih baik daripada bentuk memanjang.

3. Indikator kelayakan pengembangan kelembagaan pengelolaan hutan meliputi:

• Luas wilayah KPH dalam batas rentang kendali yang optimum.

• Luas wilayah KPH mempertimbangkan intensitas pengelolaan dari aspek produksi.

Page 14: Naskah Akademik Rancangan Peraturan ... - bijak-indonesia.org...Nasional dan 109 Non Taman Nasional.1 Tantangan utama untuk mewujudkan pembentukan (dan operasionalisasi) KPHK adalah

12

• Mempertimbangkan keutuhan batas izin pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan,

serta lembaga pengelolaan hutan lain yang telah ada.

4. Indikator kelayakan pengembangan pemanfaatan hutan meliputi:

• Mempertimbangkan kemungkinan pemanfaatan potensi sumber daya hutan.

• Merupakan areal yang kompak atau memiliki tingkat fragmentasi areal yang rendah.

• Memiliki tingkat aksesibilitas yang memadai.

P.6/2009 juga mengatur mengenai tata cara pembentukan wilayah KPH yang dilakukan melalui tahapan:

rancang bangun KPH, arahan pencadangan KPH, usulan penetapan KPH, dan penetapan wilayah KPH.

Rancang bangun KPH dilakukan dengan tahapan: mengidentifikasi kawasan hutan, mendelineasi wilayah KPH

dalam bentuk peta dengan memberikan batas luar wilayah KPH dan penamaan KPH sesuai fungsi pokok

hutan yang luasannya dominan, mendeskripsikan secara lengkap peta delineasi wilayah KPH dalam bentuk

buku (dokumen rancang bangun KPH).

Kewenangan melakukan rancang bangun KPH, dibagi sebagai berikut:

1. Untuk KPHK, maka rancang bangun disusun oleh Kepala UPT Konservasi Sumberdaya Alam dengan

dukungan data dan informasi dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan dan pemangku kepentingan.

Rancan bangun KPHK ini kemudian disampaikan kepada Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan

Konservasi Alam (Dirjen PHKA). Dirjen PHKA kemudian menyampaikan rancang bangun KPHK

kepada Menteri untuk mendapatkan arahan pencadangan.

2. Untuk KPHL dan KPHP, maka rancang bangun disusun oleh Kepala Dinas yang membidangan urusan

kehutanan di provinsi dengan mempertimbangkan pertimbangan bupati/walikota. Rancang bangun

KPHL dan KPHP kemudian disampaikan kepada gubernur untuk mendapatkan persetujuan.

Gubernur kemudian menyampaikan rancang bangun KPHL dan KPHP kepada Menteri untuk

mendapatkan arahan pencadangan.

Arahan pencadangan dilakukan dengan tahapan: 1) Menteri menugaskan Dirjen Planologi Kehutanan untuk

menyusun arahan pencadangan KPHK yang berasal dari rancang bangun KPHK yang diusulkan Dirjen PHKA,

dan arahan pencadangan KPHL dan KPHP yang berasal dari rancang bangun KPHL dan KPHP yang diusulkan

gubernur. 2) Dirjen Planologi Kehutanan menyusun arahan pencadangan KPH melalui pembahasan dan

penelaahan terhadap usulan rancang bangun KPHK, KPHL, dan KPHP dengan melibatkan Eselon I terkait. 3)

Dalam hal terdapat kawasan konservasi di dalam rancang bangun KPHL dan KPHP, maka Dirjen Planologi

Kehutanan meminta pertimbangan Dirjen PHKA. 4) Arahan pencadangan KPHK disampaikan kepada

Menteri sebagai dasar penetapan wilayah KPHK dan arahan pencadangan KPHL dan KPHP disampaikan

kepada gubernur.

Usulan penetapan dilakukan dengan tahapan: 1) gubernur menugaskan Dinas yang membidangi urusan

kehutanan di provinsi untuk menelaah dan menyempurnakan rancang bangun KPHL dan KPHP berdasarkan

arahan pencadangan. 2) Penyempurnaan kembali rancang bangun KPHL dan KPHP dilaksanakan melalui

pembahasan dengan instansi terkait di daerah dan mendapat dukungan data dan informasi dari Balai

Pemantapan Kawasan Hutan. 3) Berdasarkan hasil penyempurnaan, gubernur menyampaikan usulan

penetapan wilayah KPHL dan KPHP kepada Menteri.

Penetapan wilayah KPHK, KPHL, dan KPHP dilakukan dengan tahapan: 1) Menteri menugaskan Dirjen

Planologi Kehutanan untuk menyusun konsep Keputusan Menteri dan peta penetapan wilayah KPH melalui

pembahasan dengan Eselon I. 2) Dirjen Planologi Kehutanan menyampaikan konsep keputusan kepada

Menteri untuk ditetapkan.

Beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan dalam konteks hutan konservasi atau KPHK, yaitu:

1. Dalam hal hutan konservasi akan dimasukkan dalam wilayah KPHL atau wilayah KPHP, maka perlu

mendapat pertimbangan teknis dari Dirjen PHKA.

Page 15: Naskah Akademik Rancangan Peraturan ... - bijak-indonesia.org...Nasional dan 109 Non Taman Nasional.1 Tantangan utama untuk mewujudkan pembentukan (dan operasionalisasi) KPHK adalah

13

2. Dalam hal hutan produksi dan hutan lindung akan dimasukkan ke dalam wilayah KPHK, perlu

mendapat rekomendasi dari gubernur.

Peraturan Menteri Kehutanan No. P.6/Menhut-II/2010 tentang Norma, Standar, Prosedur

dan Kriteria Pengelolaan Hutan Pada Kesatuan Pengelolaan Hutan Pada Kesatuan

Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP)

(P.6/2010)

P.6/2010 merupakan Peraturan Menteri yang mengatur lebih lanjut ketentuan dalam P.6/2009, yang secara

lebih lanjut mengatur mengenai tugas dan fungsi KPHL dan KPHP, yaitu:

1. Menyelenggarakan pengelolaan hutan yang meliputi: tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan

hutan, pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi hutan dan reklamasi, dan

perlindungan hutan dan konservasi alam.

2. Menjabarkan kebijakan kehutanan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota bidang kehutanan untuk

diimplementasikan.

3. Melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya mulai dari perencanaan, pengorganisasian,

pelaksanaan, dan pengawasan, serta pengendalian.

4. Melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya.

5. Membuka peluang investasi guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan hutan.

Selain mengatur tugas KPHL dan KPHP, P.6/2010 juga mengatur mengenai tata cara bagi KPHL dan KPHP

untuk melaksanakan: tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan, penggunaan

kawasan hutan, rehabilitasi hutan dan reklamasi, dan perlindungan hutan dan konservasi alam.

Page 16: Naskah Akademik Rancangan Peraturan ... - bijak-indonesia.org...Nasional dan 109 Non Taman Nasional.1 Tantangan utama untuk mewujudkan pembentukan (dan operasionalisasi) KPHK adalah

14

BAB IV: JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG

LINGKUP

Rancangan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Pembentukan Kesatuan Pengelolaan

Hutan Konservasi (KPHK) diharapkan akan mengatur mengenai kriteria dan mekanisme pembentukan

wilayah KPHK, pembentukan organisasi KPHK, dan pembagian kewenangan antara Kementerian Lingkungan

Hidup dan Kehutanan, Kementerian Dalam Negeri, dan Pemerintah Daerah.

A. KPH MEMECAHKAN PERSOALAN KELEMBAGAAN

Semakin hari semakin terlihat bahwa keberadaan Kementerian/Lembaga diharapkan dapat memenuhi

kebutuhan nyata masyarakat, maka perbaikan fakta-fakta di lapangan sangat diperlukan. Itu berarti evaluasi

program dan kegiatan tidak lagi hanya bisa mengandalkan laporan keuangan maupun hal-hal yang terkait

dengan pekerjaan administrasi (output) semata. Program dan kegiatan harus dapat menopang terwujudnya

hasil-hasil (outcome) yang dapat dirasakan manfaatnya secara nyata oleh masyarakat. Untuk mewujudkan

outcome tersebut, hal-hal baru harus dikerjakan, bahkan yang sama sekali belum pernah dikerjakan

sebelumnya; tidak lain yaitu menjalankan program yang terkait langsung dengan upaya tercapainya outcome,

dengan cara kerjasama dengan semua pihak, terlepas dari spesialisasi lembaga-lembaga atas perbedaan:

geografi, tugas, klien, maupun proses-prosesnya (Lihat Gambar 1).

Gambar 1. Masalah Pendekatan Administrasi untuk Mewujudkan Outcome.

Dalam gambar tersebut, karena semua lembaga pemerintah tidak bekerja berdasarkan capaian outcome atau

perbaikan pada dunia nyata, tetapi lebih mementingkan output administrasi, maka integrasi kapasitas

lembaga-lembaga pemerintahan untuk mencapai outcome tidak terjadi. Untuk itulah KPH diperlukan, bukan

menambah pekerjaan administrasi, tetapi berfungsi mengelola sumberdaya hutan secara langsung di tingkat

tapak, agar program-program lembaga negara ssuai kenyataan di lapangan.

Page 17: Naskah Akademik Rancangan Peraturan ... - bijak-indonesia.org...Nasional dan 109 Non Taman Nasional.1 Tantangan utama untuk mewujudkan pembentukan (dan operasionalisasi) KPHK adalah

15

Tantangan yang dihadapi oleh lembaga-lembaga negara pada umumnya adalah menyatukan tugas-tugas atau

mengkoordinasikan fungsi-fungsi untuk mewujudkan outcome bersama itu. Misalnya dalam pelaksanaan

perhutanan sosial, tidak cukup KLHK memberikan izin atau hak atas suatu kawasan hutan—seperti untuk

usaha besar, tetapi masyarakat juga memerlukan akses terhadap modal, keterampilan, infrastruktur

ekonomi, pasar, maupun kekuatan menegosiasikan harga, upah tenaga kerja, bahkan termasuk akses

terhadap pendidikan, kesehatan, serta layanan pemerintahan desa yang dapat mendukung akses-akses itu.

Mengapa hal itu menjadi tantangan, karena saat ini tanpa kerjasama, mengerjakan tugas pokok dan fungsi

sendiri-sendiri sudah dianggap “benar” dari perspektif administrasi dan keuangan. Sebab perspektif ini belum

menggunakan outcome sebagai tolok ukur atas suatu hasil kerja, melainkan capaian output melalui

pertanggungjawaban administrasi. Tantangan itu menjadi tantangan nasional karena struktur secara nasional

masih mendorong berkerja sendiri-sendiri seperti itu.

Paradigma yang lambat berubah misalnya dalam pelaksanaan tanaman-menanam dikatakan hal paling penting

yaitu pengadaan bibit. Bahwa bibit dalam jumlah dan kualitas yang cukup serta tepat waktu datangnya sesuai

dengan musim tanam, menjadi faktor penentu. Pandangan itu didukung oleh suatu kenyataan bahwa bibit

berkualitas yang ditanam akan hidup menjadi pohon “dengan sendirinya”. Kenyataan itu sangat mudah

dijumpai apabila bibit tersebut ditanam di halaman rumah. Ironinya, pandangan demikian itu terbawa sampai

menjadi dasar penetapan kebijakan nasional. Perhatian bahkan anggaran terbesar dalam pelaksanaan

rehabilitasi hutan dan lahan, misalnya, dialokasikan pada pembangunan persemaian dan pengadaan bibit.

Apakah pandangan demikian itu ada keganjilannya? Bisa tidak ada, bisa ada. Tidak ada keganjilannya apabila

bibit berkualitas tersebut ditanam di atas tanah yang ada pengelolanya. Apabila tidak demikian, pandangan

tersebut menjadi ganjil. Dalam kondisi lokasi tempat tumbuh bibit itu tidak jelas kepemilikannya atau tidak

jelas siapa yang akan memelihara dan melindunginya, maka besar kemungkinan bibit tidak akan pernah

menjadi pohon.

Banyak hal, misalnya dalam pertumbuhan pohon, pertumbuhan populasi satwa, perubahan-perubahan

ekosistem, maupun perubahan kehidupan masyarakat dipahami seolah-olah dapat berjalan “dengan

sendirinya”. Maka tidak perlu mencari apa atau siapa yang menentukannya dan oleh karena itu tidak ada

upaya dengan mengeluarkan ongkos atau pengorbanan bahkan hanya memberikan perhatian sekalipun

terhadap apa atau siapa penentunya. Orang lupa bahwa bibit tumbuh menjadi pohon di pekarangan rumah,

karena ada rumah dan penghuninya. Fungsi keberadaan rumah dan penghuninya tiba-tiba dapat diabaikan.

Dalam hal ini, rumah dan penghuninya adalah kelembagaan yang menentukan siapa,kapan dan untuk apa

orang lain bisa memasuki pekarangan rumah tersebut. Rumah dan penghuninya bukanlah sesuatu yang

“dengan sendirinya” ada. Ia harus diadakan dan sangat mungkin ongkos dan perhatian untuk mengadakannya

jauh lebih mahal dari harga bibit yang ditanam di pekarangan.

Ketidak-berhasilan pengelolaan hutan di Indonesia pada umumnya justru disebabkan oleh ketiadaan atau

kelemahan “rumah dan penghuninya” yaitu pengelola hutan di tingkat tapak atau KPH. Ketiadaan atau

kelemahan siapa yang dari waktu ke waktu mengetahui dan memperhatikan perkembangan sumberdaya

hutan di lapangan, memelihara dan menjaga hasil-hasil penanaman di lahan kritis, mengetahui batas-batas

kawasan yang berubah, mengetahui siapa kelompok masyarakat yang paling terkait dan memerlukan manfaat

sumberdaya hutan, dan lain-lain. Ketiadaan pengelola hutan di tingkat tapak, dengan demikian, menjadi

penyebab utama kegagalan melaksanakan pengelolaan hutan dan terputusnya informasi antara apa yang

sesungguhnya terjadi di lapangan dengan keputusan-keputusan yang dibuat, baik di tingkat Pemerintah

Kabupaten/Kota, Pemerintah Propinsi maupun Pemerintah.

Saat ini, dalam tataran yang lebih luas, semakin banyak kondisi yang memerlukan perhatian besar untuk

menjalankan koordinasi, yaitu dengan munculnya jenis khusus masalah kebijakan yang terkait dengan

peningkatan orientasi kepada masyarakat dan fokus pada pemberian layanan atau outcome di atas. Misalnya

yang terkait dengan isu-isu lintas sektoral yang memerlukan kebijakan integrasi horizontal seperti

pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, perlindungan lingkungan, penguatan hak minoritas yang terkait dengan

Page 18: Naskah Akademik Rancangan Peraturan ... - bijak-indonesia.org...Nasional dan 109 Non Taman Nasional.1 Tantangan utama untuk mewujudkan pembentukan (dan operasionalisasi) KPHK adalah

16

kelompok tertentu seperti masyarakat adat, lansia, orang cacat, pengangguran, dll. Masyarakat kontemporer

saat ini menghadapi berbagai macam “masalah kompleks” atau disebut sebagai “masalah keji” (wicked problems) dan hanya bisa diselesaikan dengan cara usaha bersama dari berbagai lembaga, lapisan pemerintah,

maupun sektor.

Tiga karakteristik masalah seperti itu yaitu, pertama, tidak terstruktur karena tidak menunjukkan hubungan

sebab-akibat yang cukup jelas atau setiap masalah disebabkan oleh banyak faktor. Kedua, bersifat lintas

sektoral, karena mempunyai elemen-elemen yang berada di arena berbeda dan oleh aktor kebijakan yang

berbeda, sehingga tidak dapat ditangani oleh satu unit kerja saja. Ketiga, adanya masalah tanpa henti, dalam

arti hampir tidak dapat dipecahkan, tetapi mempunyai konsekuensi langsung atau tidak langsung terhadap

tujuan-tujuan yang akan dicapai.

Dari pengamatan di lapangan juga terdapat sejumlah penyebab terjadinya masalah kompleks tersebut yaitu,

pertama, regulasi tidak membolehkan solusi dilaksanakan walau solusi itu benar. Kedua, kebenaran regulasi

sering dibangun hanya di dalam pikiran, tanpa ada verifikasi lapangan yang memadai. Ketiga, kegiatan sebagai

solusi, walau benar, tetapi bukan tugas pokok dan fungsinya. Disini ada pertanyaan, apakah tupoksi itu

membagi habis semua masalah? Keempat, walaupun masalah dan solusi terkait fungsi dan tugasnya, tetapi

jikapun diselesaikan tidak menyebabkan prestasi kerjanya lebih baik, sebab prestasi kerja diukur dari hal yang

lain. Kelima, instruksi prioritas kerja di lembaga dimana seseorang bekerja lebih melayani kepentingan

internal lembaga itu sendiri, dan tidak berhubungan dengan kepentingan masyarakat untuk menyelesaikan

masalah mereka. Keenam, alokasi anggaran untuk kegiatan yang penting bagi masyarakat menjadi soal politik.

Berada di luar jangkauan. Walaupun alasan-alasan teknis urgensi suatu kegiatan disampaikan, tetapi bukan

alasan itu yang dipakai.

Itu berarti bahwa yang diharapkan menyelesaikan masalah juga mempunyai masalah. Penyelesaian masalah

iitu seringkali berkonsentrasi menyelesaikan masalah lembaga, masalah administrasi, dan masalah politik; dan

tidak selalu terkait dengan masalah yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu sebagai akibatnya,

perencanaanpun bisa dibuat di atas meja dan diselesaikan melalui lobi-lobi.

Terhadap masalah kompleks tersebut, program dan kegiatan biasanya hanya dapat mengatasi sebagian dari

masalah dan hanya bisa mengurangi intensitasnya dan setelah itu masalah dapat timbul kembali. Misalnya

persoalan kemiskinan di dalam dan di pinggir kawasan hutan, illegal logging, pertambangan rakyat di dalam

kawasan hutan, korupsi perizinan, state capture tata ruang, dll. Contohnya lainnya pada cakupan yang lebih

luas, termasuk penyalah-gunaan narkoba, masalah keamanan, mengurangi konflik kepentingan dan korupsi,

dll, sebagai masalah sosial yang sangat kompleks.

Dengan memperhatikan hal-hal di atas, KPH yang menjadi tambahan organisasi adalah solusi atas krisis

kelembagaan sebagaimana diuraikan di muka. Orientasi lembaga negara, pusat maupun daerah, selama ini

masih fokus pada penanganan administrasi, sedangkan fungsi manajemen pengelolaan sumber daya hutan

kurang mendapat penguatan kapasitas, misalnya pada hutan lindung dan konservasi, atau bahkan diserahkan

kepada swasta pada hutan produksi. Akibatnya pengambilan keputusan lebih banyak ditentukan secara

common sense daripada berdasarkan fakta lapangan. Krisis kelembagaan tersebut juga ditandai meskipun ada

komitmen kuat perbaikan pengelolaan hutan oleh Pemerintah namun sangat lamban bisa diimplementasikan

di tingkat tapak.

B. KRITERIA UMUM DAN KUNCI SUKSES KPH

Untuk kepentingan pengelolaan hutan agar terwujud keberlangsungan fungsi ekonomi, lingkungan dan sosial,

seluruh kawasan hutan akan dibagi menjadi unit-unit kewilayahan dalam skala manajemen dalam bentuk KPH

(Pasal 17 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999) dengan organisasi pengelola yang:

Page 19: Naskah Akademik Rancangan Peraturan ... - bijak-indonesia.org...Nasional dan 109 Non Taman Nasional.1 Tantangan utama untuk mewujudkan pembentukan (dan operasionalisasi) KPHK adalah

17

1. Merupakan perpaduan antara Pusat, provinsi dan kabupaten/kota, yang natara lain tercermin dari

Prosedur pembentukan organisasi KPH, Sumberdaya Manusia (SDM) organisasi KPH dan Pembiayaan

organisasi KPH.

2. Memiliki kompetensi untuk melayani keragaman penyelenggaraan kegiatan pengelolaan hutan sesuai

dengan tipologi wilayah setempat.

3. Mempunyai struktur organisasi yang fleksibel (elastis) yang dapat menampung keragaman tipologi

wilayah sehingga dapat memberikan ruang bagi upaya menggali potensi wilayah secara profesional untuk

meningkatkan daya saing (kompetitif) dan keunggulan komparatif wilayah yang lebih tinggi.

4. Mempunyai mekanisme pengendalian agar perbedaan arah/tujuan yang spesifik dari masing-masing

wilayah sebagai akibat keragaman tipologi tetap berada pada kerangka strategi pembangunan kehutanan

nasional.

5. Mampu menampung implementasi peran Pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah

kabupaten/kota sesuai dengan strategi pembangunan kehutanan yang ditetapkan dalam mewujudkan

pengelolaan hutan yang efisien dan lestari.

6. Mempunyai hirarki yang memungkinkan terselenggaranya pengendalian bagi sinkronisasi pengelolaan

hutan di tingkat tapak oleh masing-masing KPH yang secara bersama-sama (agregat) mencapai target-

target pembangunan kehutanan tingkat kabupaten/kota, provinsi dan nasional serta pemenuhan

tuntutan peran global.

7. Karena kekhasan jenis kegiatan pengelolaan hutan yang harus dilakukan di tingkat tapak, maka struktur

organisasi KPH dituntut dapat memberikan pelayanan sesuai dengan jenis kegiatan pengelolaan dan

pelayanan berdasarkan kewilayahan (pembagian wilayah ke dalam sub unit pelayanan).

8. Mempunyai tupoksi penyelenggaraan pengelolaan hutan di tingkat tapak yang merupakan implementasi

dari strategi pembangunan kehutanan nasional dan provinsi yang sekaligus menampung kebutuhan

pembangunan lokal.

9. Mempunyai SDM organisasi berasal dari PNS Pusat, PNS Daerah (provinsi dan kabupaten/kota).

10. Mempunyai mekanisme pembinaan personel untuk peningkatan dan pemeliharaan kompetensi, pola

karir (al. sistem alih tugas dan alih jabatan) dalam skala nasional.

11. Mempunyai tata kerja internal dan eksternal agar pelaksanaan tupoksi Organisasi KPH dapat efektif dan

meminimumkan kemungkinan terjadinya tumpang tindih dengan Tupoksi unit oragnisasi lainnya.

12. Mempunyai sumber dana yang dapat berasal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN);

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD); dan atau dana lain yang tidak mengikat sesuai

ketentuan peraturan perundang-undangan.

13. Dimungkinkan secara langsung memanfaatkan sebagian PNBP yang diperoleh untuk kegiatan

pengelolaan hutan di wilayah kerjanya

Organisasi KPH diharapkan mampu sebagai penyelenggara kegiatan pengelolaan hutan untuk mencapai

pengelolaan hutan yang efisien dan lestari. Beberapa kunci sukses KPH yang harus dipersiapkan adalah:

1. Kehadiran personel kehutanan dekat dengan hutan dan masyarakat;

2. Ukuran/luas KPH sesuai dengan kemampuan manajemen organisasi;

3. Pendidikan dan latihan yang berkelanjutan untuk menuju profesional;

4. Internal dan eksternal komunikasi dan kerjasama, koordinasi, penghubung (liasion), supervisi;

5. Kejelasan tanggung jawab dan pelimpahan wewenang;

6. Berorientasi pada pelayanan;

7. Pemisahan antara administrasi (administration/authority) dan pengelolaan (management); 8. Perencanaan jangka panjang disusun berdasarkan hasil assessment/ inventarisasi dan berbasis

spasial;

9. Pendidikan lingkungan bagi masyarakat secara berkelanjutan.

Untuk itu KPHK bukan semata-mata menjadi tambahan administrasi dan organisasi, tetapi harus dikaitkan

dengan masalah-masalah apa yang hendak dipecahkan dengan adanya KPH. Kelengkapan kerja dan fungsi

KPH antara lain berupa:

Page 20: Naskah Akademik Rancangan Peraturan ... - bijak-indonesia.org...Nasional dan 109 Non Taman Nasional.1 Tantangan utama untuk mewujudkan pembentukan (dan operasionalisasi) KPHK adalah

18

1. Baseline informasi terkait dengan persoalan pokok pengelolaan Kawasan yang harus diselesaikan,

seperti perlindungan Kawasan, pengelolaan flora dan fauna, ekonomi Kawasan, tipologi kawasan,

masyarakat dalam dan disekitar Kawasan.

2. Perlindungan kawasan

3. Hubungan masyarakat

4. Pengelolaan flora dan fauna

5. Ekonomi kawasan

6. Umpan balik manajemen, dalam artian, KPHK harus diberikan keleluasan untuk memberikan umpan

balik manajemen kepada organisasi di atasnya, misalnya terkait dengan penetapan IKK.

C. WILAYAH KELOLA KPH

Isu pokok yang seringkali mengemuka yaitu mengenai batas wilayah suatu KPH yang dikaitkan dengan

kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Asumsi yang selalu digunakan adalah bahwa batas

yurisdiksi suatu kewenangan identik dengan batas wilayah, padahal yang dimaksud tidak demikian. Pengertian

kewenangan itu sendiri lebih diartikan sebagai kumpulan hak dan kewajiban, sehingga dapat dibagi-bagi.

Misalnya seseorang dapat menjual lahan yang dimilikinya, tetapi bagi penjual maupun pembeli tidak dapat

mengubah fungsinya, karena lahan yang dimaksud terletak di kawasan lindung atau sebagai lahan pertanian

pangan berkelanjutan yang ditetapkan berdasarkan UU No 41/2009 mengenai LP2B.

KPH, sesuai fungsinya, hanya mengelola hutan menjadi bagian-bagian yang akan dimanfaatkan, dikonservasi,

direhabilitasi, dlsb, serta memanfaatkan hutan pada areal tertentu, sedangkan kewenangan menentukan

kebijakan dan pelaksanaannya oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Misalnya, Tahura dapat menjadi

bagian dari KPH tertentu—dapat KPHK, KPHP, KPHL sesuai luasan fungsi hutan yang ada di dalamnya—

tetapi kewenangan memanfaatkannya ada di Pemerintah Kabupaten.

Pembentukan wilayah KPH lintas wilayah administrasi itu untuk menyatukan yurisdiksi atau otoritas

pengelolanya; karena jika dibagi-bagi per wilayah administrasi akan terpisah-pisah keputusan manajemen

pengelolaannya. Bukan hanya KPHK, KPHP dan KPHL juga tidak perlu memperhatikan batas administrasi.

Bahwa saat ini KPHP ikut batas administrasi itu karena kesalahan (kegagalan penetapan rancang bangun

sesuai DAS). Yaitu mengikuti kewenangan Bupati (saat itu) yang akibatnya terfragmentasi.

Dengan demikian, apabila di dalam KPHK tercakup Tahura yang dikelola oleh kabupaten, maka tujuan KPHK

bukanlah melakukan intervensi terhadap pengelola Tahura, tetapi dapat membantu peningkatan kapasitas

Tahura dalam melakukan pengelolaan. Hal itu serupa dengan KPHP, yang di dalam wilayahnya terdapat

IUPHHK. Dalam pembuatan manajemen pengelolaannya, IUPHHK atau Tahura dijadikan blok tersendiri.

Dalam kasus lainnya, apabila di dalam KPHK terdapat HL dan HP, hal itu tidak mengurangi kewenangan

Gubernur mengelola Hl dan HP tersebut. KPHK yang di dalamnya ada HL dan HP akan memudahkan

pelaksanaan pengelolaan dan kontrol atas semua jenis fungsi hutan tersebut, yang mana seperti dalam

pengelolaan DAS, bisa disebut sebagai “one plan, one management”. Dalam pengelolaan DAS bahkan ada

berbagai status pemilikan lahan dan berbagai fungsi lahan. Kerangka kerja ini akan berhasil apabila tolok ukur

kinerja berdasarkan outcome bukan output/administrasi, sebagaimana disebut di muka.

Terkait dengan kasus Tahura Bunder, karena rekonstruksi cakupan wilayah KPH semestinya dilakukan oleh

Menteri, maka perlu dikembalikan kepada pembentuknya, yaitu Menteri. Dalam hal ini, KLHK akan

mempertimbangkan dasar argumen masuknya KPH tersebut ke Tahura Bunder.

Mekanisme Integrasi Ragam Fungsi Hutan ke Dalam KPH

Dalam pelaksanaan integrasi ragam fungsi hutan ke dalam KPH, kata-kata “tanpa mengubah fungsi” harus

diartikan pula sebagai “tanpa mengubah kewenangan”. Persoalan integrasi itu biasanya terganjal akibat tarik-

menarik kewenangan yang sesungguhnya tidak perlu terjadi. Semua hal mengenai KPH akan menjadi berguna

Page 21: Naskah Akademik Rancangan Peraturan ... - bijak-indonesia.org...Nasional dan 109 Non Taman Nasional.1 Tantangan utama untuk mewujudkan pembentukan (dan operasionalisasi) KPHK adalah

19

apabila ukuran kinerja kehutanan bukan hanya output/administrasi, tetapi juga dampak akhir/outcome.

Misalnya kerusakan hutan atau berkurangnya tutupan HP, HL dan KK menjadi ukuran kinerja (outcome).

Apabila hal itu yang diterapkan, maka KLHK, Pemda, dan Mendagri tidak bersaing, tetapi cenderung

kerjasama, untuk mencapai target yang sama. Saat ini K/L dan Pemda itu lebih mempersoalkan kewenangan

karena hilangnya kewenangan adalah hilangnya anggaran. Di sini persoalannya menjadi rebutan fungsi

administrasi, tetapi melupakan outcome. Padahal KPH dibentuk untuk outcome, bukan administrasi. Ini yang

membedakan KPH dan Dinas.

Prinsip yang benar KPH (manajemen tapak hutan) dan Dinas (administrasi pemerintahan) itu terpisah

fungsinya. KPH semestinya bertanggungjawab ke semua Dinas, bukan hanya Dinas Kehutanan yang selama ini

berjalan. Potensi Tahura yang berbeda: wisata, pendidikan, konservasi spesies, bisa menjadi landasan

sebaiknya KPHK Tahura itu berada dibawah dinas yang sesuai dengan potensi Tahura yang dikembangkan.