80
TIM PENELITI PUSAT PERANCANGAN HUKUM FH UNUD BALI 2015 NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI TENTANG PENYELENGGARAAN KETERTIBAN UMUM DAN KETENTRAMAN MASYARAKAT FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA KERJA SAMA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA PROVINSI BALI PUSAT PERANCANGAN HUKUM | KAMPUS SANGLAH JALAN BALI NOMOR 1 DENPASAR 80114 TELP (0361) 222666 DENPASAR 2011

Naskah Akademik - repositori.unud.ac.id · NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI TENTANG PENYELENGGARAAN KETERTIBAN UMUM DAN KETENTRAMAN ... C. Tujuan dan Kegunaan

Embed Size (px)

Citation preview

TIM PENELITI PUSAT PERANCANGAN HUKUM FH UNUD

BALI 2015

NASKAH AKADEMIK

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI

TENTANG

PENYELENGGARAAN KETERTIBAN

UMUM DAN KETENTRAMAN MASYARAKAT

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

KERJA SAMA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA

PROVINSI BALI

PUSAT PERANCANGAN HUKUM |

KAMPUS SANGLAH JALAN BALI NOMOR 1 DENPASAR 80114 TELP (0361) 222666

DENPASAR 2011

2

NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI

BALI TENTANG PENYELENGGARAAN KETERTIBAN UMUM DAN KETENTRAMAN

MASYARAKAT

TIM PENELITI

Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana.,SH.,MH

Dr. I Ketut Wirawan.,SH.,MH.

I Ketut Sudiarta, SH., MH.

Ni Luh Gede Astariyani, SH., MH.

A.A. Istri Ari Atu Dewi., MH.

PEMERINTAH PROVINSI BALI BEKERJA SAMA

DENGAN PUSAT PERANCANGAN HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA 2015

PUSAT PERANCANGAN HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA

Jalan Bali Nomor 1 Denpasar Tlp. (0361)222666

KATA PENGANTAR

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik

Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri

atas daerah-daerah kabupaten dan kota. Setiap daerah tersebut

mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas

penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.

Penyelenggaraan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman

Masyarakat merupakan kewajiban pemerintah sebagaimana diamanatkan

dalam Undang_undang Dasar 1945. Penyelenggaraan Ketertiban Umum

dan Ketentraman Masyarakat adalah bagian dari hak asasi manusia dalam

tertib kehidupan masyarakat bernegara sebagaimana dijamin dalam Pasal

28 J UUD 1945

Ketertiban didukung oleh tatanan yang mempunyai sifat berlain-

lainan karena norma-norma yang mendukung masing-masing tatanan

mempunyai sifat yang tidak sama. Oleh karena itu, dalam masyarakat yang

teratur setiap manusia sebagai anggota masyarakat harus memperhatikan

norma atau kaidah, atau peraturan hidup yang ada dan hidup dalam

masyarakat. Ketertiban dapat membuat seseorang disiplin, Ketertiban dan

Kedisiplinan sebagai Landasan Kemajuan. Tertib dan disiplin adalah matra

yang amat menentukan keberhasilan sebuah proses pencapaian tujuan.

Dengan ketertiban, seseorang berusaha mengetahui dan mencermati

aturan agar perjalanan menjadi lebih lancar. Disiplin adalah sikap yang

diperlukan untuk menjalani proses tersebut.

Tim Peneliti

ii

DAFTAR ISI

Kata Pengantar >> i

Daftar Isi >> ii

Daftar Gambar >> iii

Daftar Tabel >> iv

BAB I. PENDAHULUAN >>> 1

A. Latar Belakang >>> 1

B. Identifikasi Masalah >>> 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penyusunan Naskah

Akademik

>>> 6

D. Metode Penelitian >>> 8

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS >>> 12

A. Kajian Teoritis >>> 12

B. Kajian Terhadap Asas yang Terkait Dengan

Penyusunan Norma

>>> 15

C. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan >>> 18

D. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan

Terhadap Masyarakat Dan Dampaknya

Terhadap Beban Keuangan Daerah

>>> 22

BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

>>> 24

A. Kondisi Hukum Yang Ada dan Statusnya >>> 24

B. Keterkaitan Peraturan Daerah Baru Dengan

Peraturan Perundang-undangan Yang Lain

>>> 26

C. Rencana Pengaturan Dari Pemerintah

Provinsi Bali Tentang Penyelenggaraan

Ketertiban Umum dan Ketentraman

Masyarakat

>>> 29

iii

BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN

YURIDIS

>>> 31

A. Validitas Peraturan Perundang-undangan :

Landasan Filosofis, Sosiologis dan Yuridis.

>>> 31

B. Relevansi Validitas Dalam Penyusunan

Peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan

Ketertiban Umum dan Ketentraman

Masyarakat

>>> 36

BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG

LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN

DAERAH PROVINSI BALI TENTANG

PENYELENGGARAAN KETERTIBAN UMUM DAN

KETENTRAMAN MASYARAKAT

>>> 40

A. Arah dan Jangkauan Pengaturan >>> 40

B. Ruang Lingkup Materi Muatan >>> 42

BAB VI PENUTUP >>>52

A. RANGKUMAN >>>52

B. SARAN >>>55

DAFTAR PUSTAKA

DDAFTAR PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

>>>56

>>>57

LAMPIRAN

1. Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang

Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat.

2. Penjelasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang

Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat

iv

DAFTAR TABEL

Tabel 1: Kewengan Satpol PP dalam menjaga

Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman

Masyarakat

>>> 4

Tabel 2: Data Penegakan Peraturan Daerah Tahun 2013 >>> 18

Tabel 3: Data Rekapitulasi Penegakan Peraturan Daerah

Tahun 2014

>>> 18

Tabel 4 : Keterkaitan dengan Undang-Undang Lainnya. >>>24

BAB I PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Hidup berkelompok ini merupakan kodrat manusia dalam memenuhi

kebutuhannya. Selain itu juga untuk mempertahankan hidupnya, baik

terhadap bahaya dari dalam maupun yang datang dari luar. Setiap manusia

akan terdorong melakukan berbagai usaha untuk menghindari atau

melawan dan mengatasi bahaya-bahaya itu. Dalam hidup berkelompok itu

terjadilah interaksi antar manusia.

Sebagai manusia yang menuntut jaminan kelangsungan hidupnya,

harus diingat pula bahwa manusia adalah mahluk sosial. Menurut

Aristoteles, manusia itu adalah Zoon Politikon, yang dijelaskan lebih lanjut

oleh Hans Kelsen man is a social and politcal being artinya manusia itu

adalah mahluk sosial yang dikodratkan hidup dalam kebersamaan dengan

sesamanya dalam masyarakat, dan mahluk yang terbawa oleh kodrat

sebagai mahluk sosial itu selalu berorganisasi. Kehidupan dalam

kebersamaan (ko-eksistensi) berarti adanya hubungan antara manusia yang

satu dengan manusia yang lainnya. Hubungan yang dimaksud dengan

hubungan sosial (social relation) atau relasi sosial. Yang dimaksud

hubungan sosial adalah hubungan antar subjek yang saling menyadari

kehadirannya masing-masing. Dalam hubungan sosial itu selalu terjadi

interaksi sosial yang mewujudkan jaringan relasi-relasi sosial (a web of

social relationship) yang disebut sebagai masyarakat. Dinamika kehidupan

masyarakat menuntut cara berperilaku antara satu dengan yang lainnya

untuk mencapai suatu ketertiban.

Ketertiban didukung oleh tatanan yang mempunyai sifat berlain-lainan

karena norma-norma yang mendukung masing-masing tatanan mempunyai

sifat yang tidak sama. Oleh karena itu, dalam masyarakat yang teratur

setiap manusia sebagai anggota masyarakat harus memperhatikan norma

atau kaidah, atau peraturan hidup yang ada dan hidup dalam masyarakat.

Ketertiban dapat membuat seseorang disiplin, Ketertiban dan Kedisiplinan

sebagai Landasan Kemajuan. Tertib dan disiplin adalah matra yang amat

2

menentukan keberhasilan sebuah proses pencapaian tujuan. Dengan

ketertiban, seseorang berusaha mengetahui dan mencermati aturan agar

perjalanan menjadi lebih lancar. Disiplin adalah sikap yang diperlukan

untuk menjalani proses tersebut.

Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat

merupakan kewajiban pemerintah sebagaimana diamanatkan dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Penyelenggaraan

Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat adalah bagian dari hak

asasi manusia dalam tertib kehidupan masyarakat bernegara sebagaimana

dijamin dalam Pasal 28 J UUD 1945 yang mengatur bahwa :

(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta

penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan Penyelenggaraan Ketertiban Umum

dan Ketentraman Masyarakat dalam suatu masyarakat demokratis.

Dalam Pasal 28 ayat (2) ditegaskan kewajiban setiap orang untuk

tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh peraturan perundang-

undangan dalam menjalankan hak dan kebebasannya. Tujuan pembatasan

adalah untuk menjamin pembatasan serta penghormatan atas hak dan

kebebasan orang lain dan untuk untuk memenuhi tuntutan yang adil

sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai, agama, keamanan dan

Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat dalam

suatu masyarakat yang demokratis.

Dengan adanya desentralisasi, memberikan kewenangan

penyelenggaraan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman

Masyarakat dan masyarakat tersebut juga menjadi kewajiban dari

masyarakat. Kewenangan ini diselenggarakan oleh Satuan Polisi Pamong

Praja ( Satpol PP) sebagai bagian perangkat daerah dalam penegakan

Peraturan Daerah. Sesuai dengan Perauran Pemerintah Nomor 6 Tahun

2011 tentang satuan Polisi Pamong Praja dan Peraturan Menteri Dalam

Negeri No 40 Tahun 2011 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja

3

Satpol PP, di Provinsi Bali diatur dalam Peraturan Gubernur No 86 Tahun

2011 tentang Rincian Tugas Pokok Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi

Bali. Dalam Pasal 3 Peraturan Gubernur No 86 Tahun 2011 tentang Rincian

Tugas Pokok Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Bali mengatur :

Satuan dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 2 menyelenggarakan fungsi : a. penyusunan program dan pelaksanaan penegakan Peraturan

Daerah, Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman

Masyarakat serta perlindungan masyarakat; b. pelaksanaaan kebijakan penegakan Peraturan Daerah dan

Peraturan Kepela Daerah c. pelaksanaan kebijakan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan

Ketentraman Masyarakat di daerah;

d. pelaksanaan kebijakan perlindungan masyarakat; e. peleksanaan koordinasi penegakan Peraturan Daerah dan

Peraturan Kepala Daerah, Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah dan/atau

aparatur lainnya;

Seiring dengan perkembangan dinamika dan kebutuhan masyarakat,

maka pengaturan ini dirasakan harus dituangkan dalam Peraturan

Daerah. Adanya dasar kewenangan Satpol PP dalam melakukan penegakan

terhadap Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat

didasarkan pada ketentuan dalam Pasal 255 UU No 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah

(1) Satuan polisi pamong praja dibentuk untuk menegakkanPerda dan

Perkada, menyelenggarakan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat dan ketenteraman, serta menyelenggarakan pelindungan masyarakat.

(2) Satuan polisi pamong praja mempunyai kewenangan: a. melakukan tindakan penertiban non-yustisial terhadap warga

masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang

b. melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Perkada; c. menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum

yang mengganggu Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat dan ketenteraman masyarakat;

d. melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat,

aparatur, atau badan hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Perkada;dan

e. melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat,

aparatur, atau badan hukum yangmelakukan pelanggaran atas

Perda dan/atau Perkada.

4

Dalam Lampiran bagian E Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang

Ketenteraman Dan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman

Masyarakat Serta Perlindungan Masyarakat dalam UU No 23 Tahun 2014

Tentang Pemerintahan Daerah Juga Mengatur tentang Kewenangan Satpol

PP Dalam Menjaga Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman

masyarakat. Kewenangan Provinsi diatur dalam Lampiean E UU No 23

Tahun 2014 sebagaimana dilampirkan dalam tabel dibawah ini.

Tabel 1 : Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Ketenteraman Dan

Ketertiban Umum Serta Perlindungan Masyarakat

No Sub Urusan

Pemerintah

Pusat Daerah Provinsi Daerah Kabupaten/Kota

1 Ketenteraman

dan

Penyelenggaraan

Ketertiban

Umum dan

Ketentraman

Masyarakat

a. Standardisasi

tenaga

satuan polisi pamong

praja.

b. Penyelenggaraan

pendidikan dan

pelatihan,

danpengangkatan

penyidik pegawai

negeri

sipil (PPNS)

penegakan Perda.

a. Penanganan

gangguan

ketenteraman dan ketertiban

umum lintas

Daerah

kabupaten/kot

a dalam 1

(satu) Daerah provinsi.

b. Penegakan

Perda Provinsi

dan peraturan

gubernur. c. Pembinaan

PPNS provinsi.

a. Penanganan

gangguan

ketenteraman dan

Penyelenggaraa

n Ketertiban

Umum dan

Ketentraman

Masyarakat dalam 1 (satu)

Daerah

kabupaten/kota

b. Penegakan

Perda Kabupaten/Kot

a dan peraturan

bupati/walikota

c. Pembinaan

PPNS

kabupaten/kota

Sumber : Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang

Pemerintahan Daerah Pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren Antara

Pemerintah Pusat Dan Daerah Provinsi Dan Daerah Kabupaten/Kota Matriks

Pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah Provinsi Dan Daerah Kabupaten/Kota E. Pembagian Urusan

Pemerintahan Bidang Ketenteraman Dan Ketertiban Umum Serta

Perlindungan Masyarakat

Terkait dengan dasar kewenangan dalam Undang-Undang Pemerintah

Daerah menunjukkan bahwa antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi

dan pemerintah kabupaten memiliki kewenangan masing-masing. Dalam

kaitannya dengan rencana pembentukan Rancangan Peraturan Daerah

tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat

pemerintah provinsi bali memiliki kewenangan :

5

a. Penanganan gangguan ketenteraman dan ketertiban umum lintas

Daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) Daerah provinsi. b. Penegakan Perda Provinsi dan peraturan gubernur.

c. Pembinaan PPNS provinsi.

Dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri No 40 Tahun 2011

tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja

mengatur bahwa : Satpol PP mempunyai tugas menegakkan Perda dan

menyelenggarakan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman

Masyarakat Serta Perlindungan Masyarakat. Ketentuan dalam Pasal 5 ayat

(1) Peraturan Menteri Negeri No 54 Tahun 2011 tentang Standar

Operasional Polisi Pamong Praja, mengatur bahwa :

(1) SOP Satpol PP meliputi: a. Standar Operasional Prosedur penegakan peraturan daerah; b. Standar Operasional Prosedur ketertiban umum dan ketenteraman

masyarakat; c. Standar Operasional Prosedur pelaksanaan penanganan unjuk rasa

dan kerusuhan massa;

d. Standar Operasional Prosedur pelaksanaan pengawalan pejabat/orang-orang penting;

e. Standar Operasional Prosedur pelaksanaan tempat-tempat penting; dan

f. Standar Operasional Prosedur pelaksanaan operasional patroli.

Terkait dengan pengaturan kebijakan SOP di Provinsi diatur dalam

Pasal 6 ayat (1), mengatur bahwa Petunjuk teknis SOP Satpol PP provinsi

ditetapkan oleh gubernur.

Banyaknya peranan penting yang merukan salah satu bentuk

kewenangan Satpol PP Provinsi Bali harus dibarengi dengan adanya

pengaturan tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman

Masyarakat di Provinsi Bali. Tidak adanya pengaturan yang digunakan

sebagai pedoman oleh pemangku kepentingan akan menimbulkan dampak

hukum dengan adanya banyak pelanggaran terhadap penegakan hukum

terkait dengan penegakan Peraturan Daerah. Disamping itu dengan tidak

adanya pengaturan tentang Penyelenggaraan Penyelenggaraan Ketertiban

6

Umum dan Ketentraman Masyarakat dan Ketentraman Masyarakat Bali,

juga mengakibatkan tindakan Satpol PP tidak berlandaskan pada adanya

dasar hukum sehingga perlu dibentuk Peraturan Daerah tentang

penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban masyarakat, sehingga sangat

perlu disusun Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang Penyelenggaraan

Ketertiban UmumDan Ketentraman Masyarakat

1.2. IDENTIFIKASI MASALAH

Masalah yang diuraikan dalam Naskah Akademik ini meliputi 4 (empat)

masalah pokok:

1. Landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis penyusunan Rancangan

Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan

Ketentraman Masyarakat

2. Arah, jangkauan, dan ruang lingkup pegaturan Rancangan

Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan

Ketentraman Masyarakat

3. Perlunya Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan

Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat

4. Belum optimalnya pelaksanaan penegakan Peraturan Daerah di

daerah.

1.3. TUJUAN DAN KEGUNAAN KEGIATAN PENYUSUNAN NASKAH

AKADEMIK

Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan

di atas, tujuan penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan

Daerah tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman

Masyarakat dirumuskan sebagai berikut:

1. Merumuskan pertimbangan filosofis, sosiologis, dan yuridis

penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang

Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat

7

2. Merumuskan arah, jangkauan, dan ruang lingkup pegaturan

Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Ketertiban

Umum dan Ketentraman Masyarakat

3. Menjelaskan perlunya Rancangan Peraturan Daerah tentang

Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat

sebagai dasar untuk memastikan objek dan subjek

Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat ,

serta struktur dan bentuk Penyelenggaraan Ketertiban Umum

dan Ketentraman Masyarakat .

4. Melakukan pengkajian hukum untuk memberikan kepastian

hukum bagi pemangku kepentingan dalam melakukan koordinasi

dengan Satpol PP yang ada di seluruh Bali.

Kegunaan penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan

Daerah Provinsi Bali tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan

Ketentraman Masyarakat adalah sebagai pedoman dalam :

a. Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Bali

tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman

Masyarakat .

b. Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Bali

tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman

Masyarakat .

c.

d.

Pelaksanaan kegiatan partisipasi masyarakat dalam

memberikan masukan tertulis dan/atau masukan lisan baik

dalam penyusunan maupun pembahasan Rancangan

Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang Penyelenggaraan

Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat .

Adanya landasan hukum dalam penyelenggaraaan

Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman

Masyarakat

8

1.4. METODE

Penyusunan Naskah Akademik ini yang pada dasarnya

merupakan suatu kegiatan penelitian penyusunan Naskah Akademik ­

digunakan metode yang berbasiskan metode penelitian hukum.1

D.1 Jenis Penelitian.

Dalam penelitian hukum terdapat dua model jenis penelitian yaitu : 2

a. Metode penelitian hukum normative atau penelitian doctrinal, mempergunakan data sekunder berupa ; peraturan perundang-

undangan, keputusan pengadilan dan pendapat para sarjana hukum terkemuka, Analisis data sekunder dilakukan secara normative kualitatif yaitu yuridis kualitatif.

b. Metode penelitian hukum sosiologis / empiris, mempergunakan semua metode dan tehnik-tehnik yang lasim dipergunakan di

dalam metode-metode penelitian ilmu-ilmu sosial / empiris.

Bertitik tolak dari pemasalahan yang diangkat dalam kajian ini, maka

jenis penelitian dalam kajian ini mempergunakan penelitian hukum

normative. Dalam beberapa kajian jenis penelitian seperti ini juga disebut

dengan penelitian dogmatik.3 Dalam penelitian hukum normatif, untuk

mengkaji persoalan hukumnya dipergunakan bahan-bahan hukum yang

terdiri dari bahan hukum primer ( primary sources or authorities ) bahan-

bahan hukum sekunder ( secondary sources or authorities ) dan bahan

hukum tersier ( tertier sources or authorities ). Bahan-bahan hukum primer

dapat berupa peraturan perundang-undangan, bahan-bahan hukum

sekunder dapat berupa makalah, buku-buku yang ditulis oleh para ahli dan

bahan hukum tersier berupa kamus bahasa hukum dan kamus bahasa

Indonesia.

1 Soelistyowati Irianto dan Sidharta, 2009, Metode Penelitian Hukum Konstelasi Dan

Refleksi,Yayasan Obor, h. 177-178. 2 Rony Hanitijo Soemitro, 1985, Metodologi Penelitian Hukum, Ghia Indonesia

Jakarta, 1985, h. 9. 3 Jan Gijsels,2005, Mark Van Hocke ( terjemahan B. Arief Sidharta ) Apakah Teori

Hukum Itu ? , Laboratorium Hukum Universitas Parahyangan Bandung, h. 109-110.

9

D.2. MetodePendekatan.

Dalam penelitian hukum normative ada beberapa metode pendekatan

yakni pendekatan perundang-undangan ( statute approach ), pendekatan

konsep (conceptual approach ), pendekatan analitis ( analytical approach ),

pendekatan perbandingan ( comparative approach ), pendekatan histories (

historical approach ), pendekatan filsafat ( philosophical approach ),dan

pendekatan kasus ( case approach).4 Dalam penelitian ini digunakan

beberapa cara pendekatan untuk menganalisa permasalahan. Dalam

penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan ( statute

approach ), pendekatan kasus ( case approach ) dan pendekatan konsep

hukum ( conceptual approach ).

Pendekatan perundang-undangan ( statute approach ), dilakukan

dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang bersangkut paut

dengan pendelegasian kewenangan dalam UU Pemda.

Pendekatan konsep hukum ( conceptual approach ) dilakukan dengan

menelaah pandangan-pandangan mengenai pendelegasian kewenangan

sesuai dengan penelitian ini.5 Disamping itu digunakan pendekatan

kontekstual terkait dengan penrapan hukum dalam suatu waktu yang

tertentu.

D.3. Sumber Bahan Hukum.

Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder.6 Bahan hukum primer adalah segala dokumen

resmi yang memuat ketentuan hukum, dalam hal ini adalah Undang-

Undang UU NO 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan

Pemerintah No 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja,

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2010 Tentang

Penggunaan Senjata Api Bagi Satpol PP, Peraturan Menteri Dalam Negeri No

40 Tahun 2011 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Satuan Polisi

4 Peter Mahmud Marzuki; 2005, Penelitian Hukum, Jakarta Interpratama Offset, h.

93-137. 5 Ibid, h. 19. 6 C.F.G.Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad

ke 2 , Alumni, Bandung, h. 134.

10

Pamong Praja, Peraturan Menteri Negeri No 54 Tahun 2011 tentang Standar

Operasional Polisi Pamong Praja dan Peraturan Daerah Provinsi Bali No 2

Tahun 2008 Tentang Urusan Pemerintahan Daerah Provinsi Bali.Peraturan

Gubernur Provinsi Bali No 12 Tahun 2006 tentang Penataan Kembali

Kawasan civic centre Niti Mandala serta peraturan perundang-undangan

yang lain yang terkait dengan pendelegasian kewenangan mengatur pada

peraturan perundang-undangan.

Bahan hukum sekunder adalah dokumen atau bahan hukum yang

memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti hasil

penelitian atau karya tulis para ahli hukum yang memiliki relevansi dengan

penelitian ini, termasuk di dalamnya kamus dan ensiklopedia.

D.4. Metode Pengumpulan Bahan Hukum.

Bahan hukum dikumpulkan melakukan studi dokumentasi, yakni

dengan melakukan pencatatan terhadap hal-hal yang relevan dengan

masalah yang diteliti yang ditemukan dalam bahan hukum primer, bahan

hukum sekunder maupun bahan hukum tersier.

1.6.5. Teknis Analisis Bahan Hukum

Teknik analisa terhadap bahan-bahan hukum yang dipergunakan

dalam kajian ini adalah teknik deskripsi, interpretasi, sistematisasi,

argumentasi dan evaluasi. Philipus M.Hadjon mengatakan bahwa tehnik

deskripsi adalah mencakup isi maupun struktur hukum positif.7 Pada

tahap deskripsi ini dilakukan pemaparan serta penentuan makna dari

aturan-aturan hukum yang dikaji .dengan demikian pada tahapan ini

hanya menggambarkan apa adanya tentang suatu keadaan.8 Lebih lanjut

berkaitan dengan teknik Interpretasi Alf Ross mengatakan :

The relation berween a given formulation and specific complex of facts.The technique of argumentation demanded by this method is

7 Philipus M Hadjon, 1994, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik ( Normatif ) dalam

Yuridika Nomor 6 Tahun IX, Nopember-Desember h. 33. 8 Erna Widodo , 2000, Konstruksi ke Arah Penelitian Deskriptif, Avy-rouz, h. 16.

11

directed toward discovering the meaning of the statute and arguing that the given facts sre either covered by it or not.9

( terjemahan bebas : Hubungan antara rumusan konsep yang diberikan dan kumpulan fakta khusus. teknik argumentasi ini

dibutuhkan oleh cara ini yang diarahkan kepada penemuan makna dari undang-undang dan fakta-fakta yang saling melengkapi satu

sama lain )

Dari sisi sumber dan kekuatan mengikatnya menurut I Dewa Gede

Atmadja secara yuridis interpretasi ini dapat dibedakan menjadi :10

1. Penafsiran otentik ; yakni penafsiran yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan itu sendiri. Penafsiran ini adalah

merupakan penjelasan-penjelasan yang dilampirkan pada undang-undang yang bersangkutan ( biasanya sebagai lampiran ). Penafsiran otentik ini mengikat umum ;

2. Penafsiran Yurisprudensi ; merupakan penafsiran yang ditetapkan oleh hakim yang hanya mengikat para pihak yang bersangkutan ;

3. Penafsiran Doktrinal ahli hukum ; merupakan penafsiran yang diketemukan dalam buku-buku dan buah tangan para ahli sarjana hukum. Penafsiran ini tidak mempunyai kekuatan

mengikat, namun karena wibawa ilmiahnya maka penafsiran yang dikemukakan, secara materiil mempunyai pengaruh terhadap pelaksanaan undang-undang.

Bertitik tolak dari pandangan Philipus M. Hadjon dan I Dewa Atmadja

di atas, maka untuk membahas persoalan hukum yang akan dikaji, akan

dipergunakan penafsiran otentik, penafsiran gramatikal dan penafsiran

sejarah hukum.

Penafsiran otentik dalam kajian ini dimaksudkan adalah penafsiran

yang didasarkan pada penafsiran yang diberikan oleh pembentuk undang-

undang, melalui penjelasan-penjelasannya dan peraturan perundang-

undangan yang lain.

Sedangkan penafsiran Gramatikal dalam kajian ini dilakukan dalam

kaitannya untuk menemukan makna atau arti aturan hukum.

9 Alf Ross, 1969, On Law And Justice, University Of Californis Press, Barkely & Los

Angeles, h. 111. 10 I Dewa Gede Atmadja, 1996, Penafsiran Kostitusi Dalam Rangka Sosialisasi

Hukum, Sisi Pelaksanaan UUD 1945 Secara Murni Dan konsekuen” Pidato Pengenalan

Jabatan Guru Besar Dalam Bidang Hukum Tata Negara Pada FH.UNUD, (selanjutnya

disebut I Dewa Gede Atmadja II ), h. 14 .

12

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. KAJIAN TEORITIS

Ketertiban berasal dari kata tertib yang berarti teratur; menurut

aturan; rapi. Sedangkan ketertiban yaitu peraturan atau keadaan serba

teratur baik. Ketertiban adakalanya diartikan sebagai “ketertiban,

kesejahteraan, dan keamanan”, atau disamakan dengan Penyelenggaraan

ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, atau sinonim dari istilah

“keadilan”. Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman

Masyarakat dalam bukunya Hukum Perdata Internasional Indonesia

mengibaratkan lembaga Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan

Ketentraman Masyarakat ini sebagai “rem darurat” yang kita ketemukan

pada setiap kereta api.11 Pemakainya harus secara hati-hati dan seirit

mungkin karena apabila kita terlampau lekas menarik rem darurat ini,

maka “kereta HPI” tidak dapat berjalan dengan baik. Lebih lanjut Sudargo

Gautama mengatakan bahwa lembaga Penyelenggaraan Ketertiban Umum

dan Ketentraman Masyarakat ini digunakan jika pemakaian dari hukum

asing berarti suatu pelanggaran yang sangat daripada sendi-sendi azasi

hukum nasional hakim. Maka dalam hal-hal pengecualian, hakim dapat

menyampingkan hukum asing .

Manusia adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi dan

membutuhkan bantuan dengan sesamanya. Dengan adanya hubungan

sesama seperti itulah perlu adanya keteraturan sehingga individu dapat

berhubungan secara harmoni dengan individu lain sekitarnya. Oleh karena

itu diperlukan aturan yang disebut Hukum. Hukum diciptakan dengan

tujuan yang berbeda-beda, ada yang menyatakan bahwa tujuan hukum

adalah keadilan, ada juga yang menyatakan kemanfaatan, ada yang

menyatakan kepastian hukum.

11 Sudargo Gaotama, 1985, Hukum Perdata Internasional, Alumni Bandung, h 120

13

Hukum yang ada kaitannya dengan masyarakat mempunyai tujuan

utama yaitu dapat direduksi untuk ketertiban (order). Menurut Mochtar

Kusumaatmadja “Ketertiban” adalah tujuan pokok dan pertama dari segala

hukum, Kebutuhan terhadap ketertiban ini merupakan syarat pokok

(fundame ntal) bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur,

ketertiban sebagai tujuan hukum, merupakan fakta objektif yang berlaku

bagi segala masyarakat manusia dalam segala bentuknya untuk mencapai

ketertiban ini diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan antar manusia

dalam masyarakat. Di setiap aspek kehidupan sudah barang tentu terdapat

sebuah aturan yang mengatur. Baik di lingkungan keluarga, masyarakat,

sekolah, atau pun di bidang sosial, politik maupun agama. Dengan adanya

pengaturan akan menciptakan ketertiban dan membuat keadaan menjadi

lebih tenang, damai, aman, dan sentosa. Bahkan, dengan adanya

ketertiban itulah terselenggara kehidupan di dunia dan alam semesta ini.

Aturan merupakan sebuah kata yang mempunyai makna sesuatu yang

harus dipatuhi. Aturan juga disebut dengan norma. Sebuah norma adalah

sebuah aturan, patokan atau ukuran, yaitu sesuatu yang bersifat pasti dan

tidak berubah. Dengan adanya norma kita dapat memperbandingkan

sesuatu hal lain yang hakikatnya, ukurannya, serta kualitasnya kita

ragukan. Norma berguna untuk menilai baik-buruknya tindakan

masyarakat sehari-hari. Sebuah norma bisa bersifat objektif dan bisa pula

bersifat subjektif. Norma objektif adalah norma yang dapat diterapkan

diterapkan secara langsung apa adanya, maka norma subjektif adalah

norma yang bersifat moral dan tidak dapat memberikuan ukuran atau

patokan yang memadai.

Aturan bisa diterapakan dalam kehidupan keluarga agar tercipta

kehidupan rumah tangga yang berjalan tentram, indah, bersih, dan

bahagia. Aturan juga terdapat pada Negara yang disebut dengan undang-

undang. Dalam kehidupan masyarakat, sesuatu yang bersifat mengatur

disebut hukum. Dengan adanya hukum itulah terjadi ketertiban dan

ketentraman dalam kehidupan masyarakat. Bila hukum tidak ada atau

tidak berfungsi, maka akan terjadi hukum rimba. Siapa kuat dialah yang

berkuasa. Tentunya, ini akan berbahaya. Bahaya dari hukum rimba itu

14

adalah anarki, dan kekacauan sosial akan terjadi dimana-mana. Sedikit

lebih rendah dari norma, hukum dalam masyarakat juga berlaku sebagai

norma sopan-santun yang mencerminkan etika seseorang.

Sesuatu yang bersifat aturan juga terdapat dalam alam semesta. Kita

mengenal hukum alam, itulah aturan yang bekerja di alam semesta.

Ketertiban alam semesta dikenal di dalam agama Buddha sebagai Niyama

artinya Hukum Tertib Kosmis. Sesungguhnya, di dalam segenap bidang

kehidupan berlaku aturan dan ketertiban. Ketertiban itu pulalah yang

dikuak oleh ilmu pengetahuan lewat teori. Sedangkan hukum-hukum di

dalamnya sebagai bidangnya.

Tidak ada lagi jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi, tidak

ada rasa aman, tidak ada lagi perlindungan terhadap hak milik, tidak ada

lagi kebenaran. Semua serba kacau dan orang akan melakukan sesuatu

dengan sesuka hatinya. Tidak ada bedanya antara benar dan salah, tidak

ada bedanya antara kebijaksanaan dan keegoisan, antara giat dan malas,

antara sukses dan gagal. Oleh karena itu aturan sangat penting bagi

kehidupan manusia. Karena aturan itu akan menciptakan kedamaian,

ketentraman. Aturan juga harus jelas, sehingga antara yang menjalankan

maupan yang melanggarnya tahu akan akibat dari pelanggaran aturan yang

ia lakukan. Ketertiban pada prinsipnya dapat membuat seseorang disiplin,

sebab Ketertiban dan Kedisiplinan sebagai Landasan Kemajuan tertib dan

disiplin adalah matra yang amat menentukan keberhasilan sebuah proses

pencapaian tujuan. Dengan ketertiban, kita berusaha mengetahui dan

mencermati aturan agar perjalanan menjadi lebih lancar. Disiplin adalah

sikap yang diperlukan untuk menjalani proses tersebut.

Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah dapat

mengadakan kerja sama dengan daerah lain yang didasarkan pada

pertimbangan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik, sinergi dan saling

menguntungkan. Kerja sama tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk

badan kerjasama antar daerah yang diatur dengan keputusan bersama.

Dalam Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat

juga dilakukan dalam bentuk kerjasama dan koordinasi oleh Pemerindah

Provinsi Bali terkait dengan kewenangan yang lintas kabupaten / kota.

15

B. KAJIAN TERHADAP ASAS YANG TERKAIT DENGAN PENYUSUNAN

NORMA

Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang

secara teoritik meliputi asas pembentukan peraturan perundang-undangan

yang baik yang bersifat formal dan asas pembentukan peraturan

perundang-undangan yang baik yang bersifat materiil.12

Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang

bersifat formal dituangkan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (khususnya

dalam pembentukan Peraturan Daerah, asas-asas tersebut diatur dalam

Pasal 237 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah), dengan sebutan “asas pembentukan Peraturan Perundang-

undangan yang baik”, yang meliputi:

a. kejelasan tujuan;

b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan; d. dapat dilaksanakan;

e. kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. kejelasan rumusan; dan

g. keterbukaan.

Asas-asas materiil pembentukan peraturan perundang-undangan yang

baik diatur dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan , yakni:

materi muatan Peraturan Perundang-undangan mengandung asas:

a. pengayoman; b. kemanusiaan; c. kebangsaan;

d. kekeluargaan; e. kenusantaraan;

f. bhineka tunggal ika; g. keadilan; h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;

i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau

12 A. Hamid S. Attamimi; “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam

Penyelenggaraan Pemerintahan Negara”, Disertasi, (Fakultas Pascasarjana Universitas

Indonesia, Jakarta, 1990), hlm. 345-346. I.C. Van Der Vlies, Buku Pegangan Perancang Peraturan Perundang-undangan, terjemahan, (Direktorat Jenderal Peraturan Perundangan-

undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, 2005), h 238-309.

16

j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Selain asas tersebut, peraturan perundang-undangan tertentu dapat

berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-

undangan yang bersangkutan. Mengenai asas-asas materiil yang lain sesuai

dengan bidang hukum peraturan perundang-undangan tertentu dijelaskan

dalam Penjelasan Pasal 6 ayat (2) UU Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan , yang

dimaksud dengan asas sesuai dengan bidang hukum masing-masing antara

lain:

a. dalam Hukum Pidana misalnya asas legalitas, asas tiada

hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan

asas praduga tak bersalah; dan

b. dalam Hukum Perdata misalnya dalam hukum perjanjian

antara lain asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan

itikad baik.

Relevansi asas-asas formal pembentukan peraturan perundang-

undangan yang baik dengan pengaturan Penyelenggaraan Ketertiban

Umum dan Ketentraman Masyarakat dapat diuraikan sebagai berikut:

Pertama, kejelasan tujuan. Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan

Ketentraman Masyarakat bertujuan: (1) memberikan kepastian bagi

masyarakat mengenai siapa yang bertanggung jawab dan apa tanggung

jawabnya terhadap pengelolaan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan

Ketentraman Masyarakat ; dan (2) memperkuat dasar hukum bagi

Pemerintah Daerah dan pemangku kepentingan untuk melakukan

Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat dan

pelayanan kepada masyarakat. Tujuan Penyelenggaraan Ketertiban Umum

dan Ketentraman Masyarakat adalah efektivitas, efisiensi, dan

akuntabilitas pengelolaan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan

Ketentraman Masyarakat .

Kedua, kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat. Contoh:

Pengaturan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman

Masyarakat dengan Peraturan Daerah dilakukan. Rancangan dapat berasal

dari Pemerintah Daerah Provinsi Bali maupun dari DPRD Provinsi Bali.

17

Ketiga, kesesuaian antara jenis dan materi muatan. Penyelenggaraan

Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat harus dengan Peraturan

Daerah. Adapun materi pokok yang diatur dengan Peraturan Daerah

mengacu pada Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah.

Keempat, dapat dilaksanakan. Agar asas ini dapat diwujudkan

dengan dibentuknya Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Ketertiban

Umum dan Ketentraman Masyarakat adalah harus memperhatikan

beberapa aspek: (1) filosofis, yakni ada jaminan keadilan dalam pengenaan

Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat ; (2)

yuridis, adanya jaminan kepastian dalam Penyelenggaraan Ketertiban

Umum dan Ketentraman Masyarakat , termasuk substansinya tidak boleh

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan

(3) sosiologis, pengaturan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan

Ketentraman Masyarakat memang dapat memberikan manfaat, baik bagi

pemerintah daerah maupun bagi masyarakat, termasuk substansinya tidak

boleh bertentangan dengan kepentingan umum.

Kelima, kedayagunaan dan kehasilgunaan. Asas ini dapat diwujudkan

sepanjang pengaturan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman

Masyarakat memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam

mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan benegara. Salah satu

indikasi pengaturan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman

Masyarakat memang benar-benar dibutuhkan adalah adanya wajib

Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat ,

sebagaimana telah dikemukakan dalam kondisi eksisting di atas.

Keenam, kejelasan rumusan. Asas ini dapat terwujud dengan

pembentukan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Ketertiban

Umum dan Ketentraman Masyarakat sesuai persyaratan teknik

penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata

atau terminologi, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti,

sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam

pelaksanaannya. Singkatnya, rumusan aturan hukum dalam Peraturan

Daerah tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman

Masyarakat yang menjamin kepastian.

18

Ketujuh, keterbukaan. Proses pembentukan Peraturan Daerah ini

harus menjamin partisipasi masyarakat, dalam artian masyarakat dijamin

haknya untuk memberikan masukan, baik tertulis maupun lisan, serta

kewajiban Pemerintah Daerah untuk menjamin masukan tersebut telah

dipertimbangkan relevansinya. Untuk terselenggaranya partisipasi

masyarakat itu, maka terlebih dulu Pemerintah Daerah memberikan

informasi tentang proses pembentukan Peraturan Daerah bersangkutan.

Mengenai asas-asas materiil yang lain, sebagaimana dimaksud Pasal

6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan, dalam pengaturan tentang

Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat , yakni:

1. adil dan merata secara vertikal artinya sesuai dengan tingkatan

kelompok masyarakat dan horizontal artinya berlaku sama bagi

setiap anggota kelompok masyarakat.

2. secara politis dapat diterima oleh pemerintah, pemangku

kepentingan dan masyarakat, sehingga timbul motivasi dan

kesadaran pribadi untuk melaksanakan Penyelenggaraan

Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat .

c. KAJIAN TERHADAP PRAKTIK PENYELENGGARAAN

Berdasarkan Pasal 255 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014

tentang Pemerintahan Daerah, Satuan polisi pamong praja dibentuk untuk

menegakkan Perda dan Perkada, menyelenggarakan ketertiban umum dan

ketenteraman, serta menyelenggarakan pelindungan masyarakat.

Berdasarkan Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang

Satuan Polisi Pamong Praja, mengatur bahwa Polisi Pamong Praja

berwenang:

a. melakukan tindakan penertiban nonyustisial terhadap warga

masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan

pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah;

b. menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum

yang mengganggu ketertiban umum dan ketenteraman

masyarakat;

19

c. fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas penyelenggaraan

perlindungan masyarakat;

d. melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat,

aparatur, atau badan hukum yang diduga melakukan

pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah; dan

e. melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat,

aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran

atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah.

Dalam Pasal 3 Peraturan Gubernur No 86 Tahun 2011 tentang

Rincian Tugas Pokok Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Bali diatur :

Satuan dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 menyelenggarakan fungsi :

a. penyusunan program dan pelaksanaan penegakan Peraturan Daerah, Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman

Masyarakat serta perlindungan masyarakat; b. pelaksanaaan kebijakan penegakan Peraturan Daerah dan

Peraturan Kepela Daerah

c. pelaksanaan kebijakan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat di daerah;

d. pelaksanaan kebijakan perlindungan masyarakat; e. peleksanaan koordinasi penegakan Peraturan Daerah dan

Peraturan Kepala Daerah, Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan

Ketentraman Masyarakat dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah dan/atau aparatur lainnya;

Di Provinsi Bali pelaksanaan tugas Satpol PP didasarkan pada Keputusan

Gubernur Bali No 2383/05/HK/2013 tentang Pembentukan Dan Susunan

Keanggotaan Tim Penegakan Peraturan Daerah dan Pemberdayaan Penyidik

Pegawai Negeri Sipil PPNS. Penegakan Peraturan Daerah dan

pemberdayaan PPNS yang menitik beratkan penegakan pada :

1. Penegakan Peraturan daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 1992

tentang Pemakaian Tanah Yang Dikuasai Oleh Pemerintah

Provinsi Daerah Tingkat I Bali

2. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2000 tentang

Retribusi Pelayanan Kesehatan

20

3. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun2000 tentang

Pembatasan Memasukkan Kendaraan bermotor

4. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 9 Tahun 2000 tentang

Larangan Menaikkan Layan-Layang dan Permainan Sejenis di

Bandara Ngurah Rai dan sekitarnya

5. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2003 tentang

Pengeluaran Ternak Potong Sapi

6. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun tentang

Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung

7. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2005 tentang

Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup

8. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2006 tentang

Penanggulangan HIV / AIDS

9. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2007 tentang

Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali No 8 Tahun

2002 tentang Lembaga Perkreditan Desa

10. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 7 Tahun2007 tentang

Pengelolaan Barang Milik Daerah

11. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2007 tentang

Pengelolaan Barang Milik Daerah

12. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2008 tentang

Pramuwisata

13. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2009 tentang

Pencegahan dan Penanganan Korban Perdagangan Orang

14. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 15 Tahun 2009 tentang

Penanggulangan Rabies

15. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang

Rencana Tata Ruang Wilyah Provinsi Bali 2009-2029

16. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 1 tahun 2010 tentang

Usaha Jasa Perjalanan Wisata

17. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2011 tentang

Kawasan Tanpa Rokok.

21

18. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2011 tentang

Retribusi Jalan Umum

19. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2011 tentang

Retribusi Jasa Usaha

20. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2011 tentang

Pengelolaan Sampah

21. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 1 Tahun 2011 tentang

Pajak Daerah

22. Peraturan Daerah Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3

tahun 2013 tentang Perlindungan Buah Lokal

23. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2013 tentang

Retribusi Perizinan Tertentu

24. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tathu 2014 tentang

Pelestarian Warisan Budaya

25. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2014 tentang

Perlindungan Anak

Berdasarkan data dari Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Bali Tahun

2014 jumlah penegakan hukum dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

Tabel 2 : Data Penegakan Peraturan Daerah Tahun 2013

No Peraturan Daerah Jumlah Sasaran Obyek

Memenuhi Persyaratan

Tidak Memenuhi

Persyaratan

1. Perda 10 Tahun 2001 tentang Retribusi Angkutan

Orang Dengan Kendaraan Umum

362 190 172

2. Perda 8 Tahun 2000 tentang Pembatasan Memasukkan

Kendaraan bermotor Bekas

284 42 242

3. Perda 5 Tahun 2008 tentang Pramuwisata

96 78 18

4. Perda 2 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum

33 - 33

Sumber : Laporan Akhir Kegiatan Penegakan Peraturan daerah dan Pemberdayaan

PPNS, Bidang Ketentraman dan ketertiban Satuan polisi Pamong Praja Provinsi Bali

Tahun Anggaran 2013.

22

Berdasarkan data dari Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Bali Tahun

2014 jumlah penegakan hukum dapat dilihat dalam tabel di bawah ini

Tabel 3 :Data Rekapitulasi Penegakan Peraturan Daerah Tahun 2014

No Peraturan Daerah Total

1. Peraturan Daerah Provinsi Bali No 2 Tahun 1992 tentang Pemakaian Tanah Yang Dikuasai Oleh

Pemerintah Provinsi Bali

-

2. Peraturan Daerah Provinsi Bali No 8 Tahun 2000

tentang Pembatasan Memasukkan Kendaraan Bermotor Bekas

236

3. Peraturan Daerah Provinsi Bali No 2 Tahun 2003 tentang Pengeluaran Ternak Sap Potong Bali

-

4. Peraturan Daerah Provinsi Bali No 7 Tahun 2007 tentang Usaha Penyediaan Sarana Wisata Tirta

-

5. Peraturan Daerah Provinsi Bali No 5 Tahun 2008

tentang Pramuwisata

7

6. Peraturan Daerah Provinsi Bali No 5 Tahun 2009

tentang Penanggulangan Rabies

1

7. Peraturan Daerah Provinsi Bali No1 Tahun 2010

tentang Usaha Perjalanan wisata

2

8. Peraturan Daerah Provinsi Bali No 3 Tahun 2011

tentang Retribusi Jasa Umum

-

9. Peraturan Daerah Provinsi Bali No 10 Tahun 2011

tentang Kawasan Tanpa Rokok

1

10. Peraturan Daerah Provinsi Bali No 5 Tahun 2012 tentang Pengendalian dan Peredaran Minuman

Beralkohol

1

Total 294 Sumber : Laporan Akhir Pelaksanaan Kegiatan Penegakan Peraturan daerah dan

Pemberdayaan PPNS, Seksi Penegakan Hukum Bidang Ketentraman dan ketertiban

Satuan polisi Pamong Praja provinsi Bali Tahun 2014.

D. KAJIAN TERHADAP IMPLIKASI PENERAPAN TERHADAP

MASYARAKAT DAN DAMPAKNYA TERHADAP BEBAN KEUANGAN DAERAH

Dalam lingkup pengaturan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan

Ketentraman Masyarakat , terdapat dua komponen yaitu komponen yang

sifatnya statis, dan komponen yang sifatnya dinamis. Komponen yang

sifatnya statis meliputi:

a. Asas, fungsi, tujuan, dan prinsip Penyelenggaraan

Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat ;

b. Struktur atau kelembagaan dalam Penyelenggaraan

Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat ;

23

c. Tugas dan wewenang kelembagaan dalam Penyelenggaraan

Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat ;

d. Komposisi keanggotaan di dalam setiap kelembagaan;

e. Kelengkapan organisasi/kelembagaan Penyelenggaraan

Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat ;

f. Ketenagaan;

g. Kekayaan; dan

h. Sanksi.

Sedangkan yang dimaksud pengaturan penyelenggaran

Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat yang

sifatnya dinamis adalah pengaturan kelembagaan Penyelenggaraan

Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat. Pengaturan yang bersifat

dinamis dalam bentuk pelaksanaan fungsi dan dalam bentuk pelaksanaan

koordinasi.

Memperhatikan uraian tersebut di atas, dengan adanya Peraturan

Daerah tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman

Masyarakat ini berdampak terhadap beban keuangan daerah dan juga

Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat melalui

penegakan Peraturan Daerah. Penegakan dilakukan terhadap pelanggaran

ketentuan Perda yang dapat diketahui melalui :

1. Laporan dari masyarakat, lembaga, instansi maupun institusi.

2. Anggota Satuan Polisi Pamong Praja hasil dari patrol wilayah

3. Diketahui langsung oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil.

4. Tertangkap tangan baik-baik oleh petugas maupun

masyarakat.

24

BAB III

EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

A. KONDISI HUKUM YANG ADA DAN STATUSNYA

Dalam ketentuan Pasal 236 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur bahwa untuk

menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan, Daerah

membentuk Perda. Adanya dasar kewenangan pengaturan menujukkan

pendelegasian keweangan dalam pembentukan peraturan daerah. Terkait

dengan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat

di Pemerintah belum memiliki dasar hukum untuk melakukan

pelaksanaan kegiatan dimaksud. Berdasarkan Pasal 255 UU No 23 Tahun

2014 tentang Pemerintahan Daerah

(2) Satuan polisi pamong praja dibentuk untuk menegakkan Perda dan Perkada, menyelenggarakan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan

Ketentraman Masyarakat dan ketenteraman, serta menyelenggarakan pelindungan masyarakat.

(3) Satuan polisi pamong praja mempunyai kewenangan:

a. melakukan tindakan penertiban non-yustisial terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang

b. melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Perkada; c. menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum

yang mengganggu Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan

Ketentraman Masyarakat dan ketenteraman masyarakat; d. melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat,

aparatur, atau badan hukum yang diduga melakukan

pelanggaran atas Perda dan/atau Perkada;dan e. melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat,

aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Perkada.

Dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2010 tentang

Satuan Polisi Pamong Praja, mengatur tentang Wewenang, Hak dan

Kewajiban, Polisi Pamong Praja berwenang:

25

a. melakukan tindakan penertiban nonyustisial terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan

pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah; b. menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum

yang mengganggu Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat dan ketenteraman masyarakat;

c. fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas penyelenggaraan

perlindungan masyarakat; d. melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat,

aparatur, atau badan hukum yang diduga melakukan

pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah; dan e. melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat,

aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah

Pengaturan dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri No 40

Tahun 2011 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Satuan Polisi

Pamong Praja mengatur bahwa : Satpol PP mempunyai tugas menegakkan

Perda dan menyelenggarakan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan

Ketentraman Masyarakat dan ketenteraman masyarakat serta

perlindungan masyarakat

Dalam Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Negeri No 54 Tahun 2011

tentang Standar Operasional Polisi Pamong Praja, mengatur bahwa :

(1) SOP Satpol PP meliputi:

a. Standar Operasional Prosedur penegakan peraturan daerah;

b. Standar Operasional Prosedur ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat;

c. Standar Operasional Prosedur pelaksanaan penanganan unjuk rasa dan kerusuhan massa;

d. Standar Operasional Prosedur pelaksanaan pengawalan pejabat/orang-orang penting;

e. Standar Operasional Prosedur pelaksanaan tempat-tempat penting;

dan

f. Standar Operasional Prosedur pelaksanaan operasional patroli.

g. Terkait dengan pengaturan kebijakan SOP di Provinsi diatur dalam Pasal 6 ayat (1), mengatur bahwa Petunjuk teknis SOP Satpol PP provinsi ditetapkan oleh gubernur.

Provinsi Bali dalam pelaksanaan urusan pemerintahan juga mengatur

tentang adanya urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi Bali

yaitu diatur dalam Pasal 3 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 1 Tahun

26

2008 tentang Urusan Pemerintahan Daerah Provinsi Bali, yang menjadi

Kewenangan Provinsi Bali. Merupakan urusan wajib sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) meliputi: t. otonomi daerah, pemerintahan

umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian,

dan persandian;

Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat

selain dengan adanya kewenangan yang bersifat lintas kabupaten kota juga

terkait dengan kewenangan pengaturan di kawasan civic centre .

Pengaturan terkait dengan civic centre diatur dalam Pasal 1

Peraturan Gubernur Provinsi Bali No 12 Tahun 2006 tentang Penataan

Kembali Kawasan civic centre Niti Mandala Denpasar yang mengatur bahwa

kawasan civic centre Niti Mandala berlokasi di Denpasar dengan batas :

a. Sebelah utara : Jalan Letda Tantular dan Cok Agung Tresna;

b. Sebelah Timur : Jalan Prof Moh Yamin;

c. Sebelah Selatan : Jalan Raya Puputan;

d. Sebelah Barat : Jalan Raya Puputan dan Letda Tantular.

Mengingat pentingnya posisi Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan

Ketentraman Masyarakat baik terhadap masyarakat maupun terhadap

pemerintah, maka diperlukan penyusunan Naskah Akademik.

B. KETERKAITAN PERATURAN DAERAH BARU DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG LAIN

Materi Pokok Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman

Masyarakat yang hendak diatur dalam Peraturan Daerah yang sedang

disusun Naskah Akademiknya, mempunyai keterkaitan dengan sejumlah

peraturan perundang-undangan.

Tabel 4. Keterkaitan dengan Undang-Undang Lainnya.

Materi Muatan KETERKAITAN DENGAN

UU No. 23 Tahun

2014 tentang

Pemerintahan Daerah

Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia

Nomor 6 Tahun 2010

Tentang Satuan Polisi

Pamong Praja

Peraturan Menteri

Dalam Negeri Nomor

40 Tahun 2011

Tentang Pedoman

Organisasi Dan Tata

Kerja Satuan Polisi

Pamong Praja

27

...... Pasal 255

(3)Satuan polisi

pamong praja

dibentuk untuk menegakkan

Perda dan Perkada,

menyelenggarakan

Penyelenggaraan

Ketertiban Umum

dan Ketentraman Masyarakat

dan ketenteraman,

serta

menyelenggarakan

pelindungan masyarakat

Pasal 6

a.melakukan

tindakan

penertiban nonyustisial

terhadap warga

masyarakat,

aparatur, atau

badan hukum yang

melakukan pelanggaran atas

Perda dan/atau

peraturan kepala

daerah;

b. menindak warga masyarakat,

aparatur, atau

badan hukum yang

mengganggu

Penyelenggaraan

Ketertiban Umum dan Ketentraman

Masyarakat dan

ketenteraman

masyarakat;

c. fasilitasi dan pemberdayaan

kapasitas

penyelenggaraan

perlindungan

masyarakat;

d. melakukan tindakan

penyelidikan

terhadap warga

masyarakat,

aparatur, atau badan hukum yang

diduga melakukan

pelanggaran atas

Perda dan/atau

peraturan kepala

daerah; dan e. melakukan

tindakan

administratif

terhadap warga

masyarakat, aparatur, atau

badan hukum yang

melakukan

Pasal 3

Satpol PP mempunyai

tugas menegakkan

Perda dan menyelenggarakan

Penyelenggaraan

Ketertiban Umum dan

Ketentraman

Masyarakat dan

ketenteraman masyarakat serta

perlindungan

masyarakat

Pasal 4

(1) Dalam melaksanakan

tugas sebagaimana

dimaksud dalam

Pasal 3, Satpol PP

mempunyai fungsi:

a. penyusunan program dan

pelaksanaan

penegakkan

Perda dan

Peraturan Kepala Daerah,

penyelenggaraa

n ketertiban

umum dan

ketenteraman

masyarakat serta

perlindungan

masyarakat;

b. pelaksanaan

kebijakan penegakkan

Perda dan

Peraturan

Kepala Daerah;

c. pelaksanaan

kebijakan penyelenggaraan

ketertiban

umum dan

ketenteraman

masyarakat di daerah;

d. pelaksanaan

kebijakan

perlindungan

masyarakat;

e. pelaksanaan koordinasi

28

penegakan Perda

dan Peraturan

Kepala Daerah

serta penyelenggaraan

ketertiban

umum dan

ketenteraman

masyarakat

dengan Kepolisian

Negara Republik

Indonesia,

Penyidik Pegawai

Negeri Sipil daerah,

dan/atau

aparatur

lainnya;

f. pengawasan

terhadap masyarakat,

aparatur, atau

badan hukum

agar mematuhi

dan mentaati penegakkan

Perda dan

Peraturan

Kepala Daerah;

dan

g. pelaksanaan tugas lainnya.

(2) Pelaksanaan

tugas lainnya

sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) huruf g

meliputi:

a. mengikuti proses

penyusunan

peraturan perundang-

undangan serta

kegiatan

pembinaan dan

penyebarluasan produk hukum

daerah;

b. membantu

pengamanan dan

pengawalan tamu

VVIP termasuk pejabat negara

dan tamu negara;

29

c. pelaksanaan

pengamanan dan

penertiban aset

yang belum teradministrasi

sesuai dengan

ketentuan

peraturan

perundang-

undangan;

d. membantu

pengamanan dan

penertiban

penyelenggaraan

pemilihan umum dan pemilihan

umum kepala

daerah;

e. membantu

pengamanan dan

penertiban penyelenggaraan

keramaian

daerah dan/atau

kegiatan yang

berskala massal; dan

f. pelaksanaan

tugas

pemerintahan

umum lainnya

yang diberikan oleh kepala

daerah sesuai

dengan prosedur

dan ketentuan

peraturan perundang-

undangan.

Sumber : Diolah dari UU Pemerintahan Daerah, PP Satpol PP dan Pedoman Organisasi dan

Pedoman Tata Kerja Satpol PP

C. RENCANA PENGATURAN DARI PEMERINTAH DAERAH PROVINSI

BALI TENTANG PENYELENGGARAAN KETERTIBAN UMUM DAN

KETENTRAMAN MASYARAKAT

Sebagaimana diketahui bahwa salah satu urusan wajib yang menjadi

kewenangan pemerintah daerah adalah penyelenggaraan Penyelenggaraan

Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat dan ketenteraman

masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Undang-Undang

tentang Pemerintahan Daerah berkomitmen untuk menyelenggarakan

30

urusan wajib dimaksud dalam rangka penegakkan Peraturan Daerah,

menjaga ketenteraman dan ketertiban guna terwujudnya Kesejahteraan.

Kondisi tersebut akan menjadi daya tarik bagi masyarakat luar

daerah untuk datang dan berkunjung serta menanamkan investasi yang

pada akhirnya memberikan kontribusi dalam pengembangan dan

pembangunan. Di Provinsi Bali pengaturan mengenai Penyelenggaraan

Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat harus diarahkan guna

pencapaian kondisi yang kondusif bagi seluruh aspek kehidupan

masyarakat Provinsi Bali. Dinamika perkembangan dan kebutuhan

masyarakat Bali yang dinamis dirasakan memerlukan Peraturan Daerah

yang menjangkau secara seimbang antara subjek dan objek hukum yang

diatur. Oleh karena itu, dalam upaya menampung persoalan dan mengatasi

kompleksitas permasalahan dinamika perkembangan masyarakat

diperlukan penyempurnaan terhadap Peraturan Daerah dimaksud.

Peraturan Daerah ini diharapkan implementasi terhadap penyelenggaraan

ketenteraman masyarakat dan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan

Ketentraman Masyarakat dapat diterapkan secara optimal guna

menciptakan Bali Mandara ( aman, damai dan sejahtera). Peraturan Daerah

ini mempunyai posisi yang sangat strategis dan penting untuk memberikan

motivasi dalam menumbuhkembangkan budaya disiplin masyarakat Bali.

31

BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS,

DAN YURIDIS

A. VALIDITAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN: LANDASAN

FILOSOFIS. SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

Istilah validitas atau geldigheid berarti keabsahan. Selain itu ada

istilah gelding yang berarti keberlakuan. Banyak penulis yang

mensinonimkan istilah validitas atau geldigheid dan istilah gelding, ungkap

Bruggink. Menurutnya, bahwa istilah validitas digunakan untuk logika,

yakni tentang penalaran yang sah (valid) jika suatu penalaran memenuhi

syarata-syarat yang dituntut oleh kaidah dan aturan logikal.13

Satjipto Rahardjo dengan mendasarkan pada pandangan Gustav

Radbruch mengungkapkan, bahwa validitas adalah kesahan berlaku

hukum serta kaitannya dengan nilai-nilai dasar dari hukum. Bahwasanya

hukum itu dituntut untuk memenuhi berbagai karya dan oleh Radbruch

disebut sebagai nilai-nilai dasar dari hukum, yakni keadilan, kegunaan

(zweckmaszigkeit), dan kepastian hukum.14

Satjipto Rahardjo menguraikan timbulnya masing-masing nilai-nilai

dasar dari hukum itu. Pertama, hukum adalah karya manusia yang berupa

norma-norma berisikan petunjuk-petunjuk tingkah laku. Ia merupakan

pencerminan dari kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya

masyarakat itu dibina dan ke mana harus diarahkan. Oleh karena itu,

pertama-tama hukum itu mengandung rekaman dari ide-ide yang dipilih

oleh masyarakat tempat hukum itu diciptakan. Ide-ide ini adalah ide

mengenai keadilan. Kedua, hukum yang sengaja dibuat itu mengikatkan

diri kepada masyarakat sebagai basis sosialnya. Ini berarti, bahwa ia harus

memperhatikan kebutuhan dan kepentingan anggota-anggota masyarakat

13 J.J.H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, terjemahan Arief Sidharta dari judul asli:

Rechts Reflecties, (Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996), h. 147. 14 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 2000), h.

19, yang mendasarkan pada Gustav Radbruch, Einfuhrung in die Rechtswissenschaft,

(Sttugart: K.F. Koehler, 1961), h. 36.

32

serta memberikan pelayanan kepadanya. Meski tidak disebutkan oleh

Satjipto Rahardjo, inilah yang dimaksud dengan kemanfaatan sebagai salah

satu nilai-nilai dasar dari hukum. Ketiga, masyarakat tidak hanya ingin

keadilan diciptakan dalam masyarakat dan kepentingan-kepentingannya

dilayani oleh hukum, melainkan juga menginginkan agar dalam masyarakat

terdapat peraturan yang menjamin kepastian dalam hubungan-hubungan

mereka satu sama lain.15

Gustav Radbruch memahami hukum sebagai konsep budaya, yaitu

konsep yang berkenaan dengan nilai. Hukum sebagai konsep budaya

berurusan dengan nilai hukum dan ide hukum, yaitu hukum yang

diartikan sebagai gagasan untuk menjabarkan ide hukum. Gustav

Radbruch mengetengahkan 3 (tiga) ide hukum/cita hukum (the idea of the

law), yakni keadilan (justice), kelayakan/kemanfaatan (expediency), dan

kepastian hukum (legal certainty). Masing-masing ide dasar hukum itu

adalah:

1. Hakekat keadilan sebagai keadilan distributif atau kesetaraan yaitu

suatu bentuk perlakuan yang setara terhadap mereka yang memiliki

keadaan setara, dan perlakuan yang tidak setara bagi mereka yang

berada dalam keadaan yang berbeda, baik terhadap sesama manusia

maupun hubungan-hubungan diantara mereka.

2. Kemanfaatan atau kelayakan atau tujuan bersifat relatif, yaitu

tergantung pada pandangan-pandangan yang berbeda dari pihak-

pihak yang terlibat di dalam perkembangan sistematis tentang

hukum dan negara. Hukum sebagai pengatur kehidupan bersama

tidak dapat diserahkan kepada keinginan-keinginan perseorangan

dalam masyarakat itu, melainkan haruslah berlaku satu hukum bagi

kehidupan mereka.

3. Kepastian hukum menghendaki (1) hukum dalam bentuk positif

dalam artian jika ada sesuatu yang tidak dapat diselesaikan, maka

apa yang seharusnya atau apa yang dianggap benar yang harus

diberlakukan; dan (2) ini harus dilakukan oleh suatu badan atau

15 Satjipto Rahardjo, Ibid., h. 18-19.

33

petugas yang mampu menerapkan apa yang diharuskan

diberlakukan.16

Gagasan hukum dari Gustav Radbruch tersebut diuraikan pula oleh

W. Friedmann. Menurut Radbruch, gagasan hukum sebagai gagasan

kultural tidak bisa formal, tetapi harus diarahkan kepada cita-cita hukum,

yakni keadilan. Selanjutnya dikemukakan:

1. Keadilan sebagai suatu cita, seperti telah ditunjukkan oleh Aristoteles

tidak dapat mengatakan lain kecuali yang sama harus diperlakukan

sama, yang tidak sama diperlakukan tidak sama.

2. Pengertian kegunaan hanya dapat dijawab dengan menunjukkan

pada konsepsi-konsepsi yang berbeda tentang negara dan hukum.

Untuk mengisi cita keadilan ini dengan isi yang konkret, harus

menoleh pada kegunaannya sebagai unsur kedua dari cita hukum.

3. Untuk melengkapi formalitas keadilan dan relativitas kegunaan,

keamanan dimasukkan sebagai unsur ketiga dari cita hukum.

Kegunaan menuntut kepastian hukum. Hukum harus pasti.

Tuntutan akan keadilan dan kepastian merupakan bagian-bagian

yang tetap dari cita hukum, dan ada di luar pertentangan-

pertentangan bagi pendapat politik. Kegunaan memberi unsur

relativitas. Tetapi tidak hanya kegunaan sendiri yang relatif,

hubungan antara tiga unsur dari cita hukum itu juga relatif.

Seberapa jauh kegunaan lebih kuat dari keadilan, atau keamanan

lebih penting dari kegunaan, merupakan masalah yang harus

diputuskan oleh sistem politik masing-masing.17

Ketiga elemen dari ide hukum itu bersifat saling melengkapi antara

satu dengan lainnya – dan pada keadaan yang lain saling bertentangan satu

dengan yang lainnya.18 Satjipto Rahardjo menanggapi hubungan yang

demikian dapat dimengerti, oleh karena ketiga-tiganya berisi tuntutan yang

berlain-lainan dan yang satu sama lain mengandung potensi untuk

16 Gustav Radbruch, “Legal Philosophy”, dalam Kurt Wilk, ed., The Legal Philosophies

Of Lask, Radbruch, And Dabin, (Cambridge: Havard University Press, 1950), hlm. 107-109. 17 W. Friedmann, Teori & Filsafat Hukum: Idealisme Filosofis & Problema Keadilan

(susunan II), terjemahan Muhamad Arifin dari judul asli: Legal Theory, (Jakarta: Penerbit

CV Rajawali, 1990), h. 43. 18 Ibid., hlm. 109 -110.

34

bertentangan. Sebagai contoh, kepastian hukum, sebagai nilai ia segera

menggeser nilai-nilai keadilan dan kegunaan ke samping. Yang utama bagi

kepastian hukum adalah adanya peraturan itu sendiri. Tentang apakah

peraturan itu harus adil dan mempunyai kegunaan bagi masyarakatnya,

adalah di luar pengutamaan nilai kepastian hukum.19

Teori tentang validitas berpengaruh pada hukum positif di Indonesia.

Ini tampak pada keharusan adanya pertimbangan filosofis, sosiologis, dan

yuridis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. UU P3 2011

memberikan penjelasan mengenai unsur-unsur filosofis, sosiologis, dan

yuridis sebagai muatan konsiderans menimbang. Angka 18 dan 19 TP3

(vide Pasal 64 ayat (2) UU P3 2011) menentukan konsiderans memuat

uraian singkat mengenai pokok pikiran yang menjadi pertimbangan dan

alasan pembentukan Peraturan Perundang–undangan. Pokok pikiran pada

konsiderans Undang–Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan

Daerah Kabupaten/Kota memuat unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis

yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukannya yang

penulisannya ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis, dan

yuridis. Kemudian masing-masing unsur-unsur ini dijelaskan sebagai

berikut:

1. Unsur filosofis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk

mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum

yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia

yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang- Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Unsur sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk

untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek.

3. Unsur yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk

untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan

hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang

akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian

hukum dan rasa keadilan masyarakat.

19 Satjipto Rahardjo, Ibid., h. 19-20.

35

Pemahaman mengenai unsur-unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis,

dapat pula diperoleh dari teknik penyusunan naskah akademik rancangan

peraturan perundang-undangan. Dasar hukum teknik penyusunan naskah

akademik rancangan peraturan perundang-undangan terdapat dalam Pasal

57 UU No 12/2011, yang menentukan:

(1) Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Provinsi

dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik. (2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Naskah Akademik

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.

Berikutnya dalam Pasal 63 UU No 12/2011 ditentukan bahwa

ketentuan mengenai penyusunan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 62 berlaku secara mutatis

mutandis terhadap penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Artinya, ketentuan tentang teknik penyusunan Naskah Akademik yang

berlaku bagi Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Provinsi, berlaku pula bagi Penyusunan Naskah Akademik Rancangan

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Adapun penjelasan masing-masing

unsur-unsur tersebut, yang disebut landasan filosofis, landasan sosiologis,

dan landasan yuridis, adalah sebagai berikut:

1. Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang

menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk

mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum

yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia

yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang

menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi

kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis

sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan

masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.

3. Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang

menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi

permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan

36

mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau

yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa

keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan

hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur

sehingga perlu dibentuk Peraturan Perundang-Undangan yang baru.

Beberapa persoalan hukum itu, antara lain, peraturan yang sudah

ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih,

jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang sehingga

daya berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak

memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum ada.

Aspek sosiologis dalam perancangan peraturan perundang-undangan

dimanfaatkan dalam konteks pembentukan dan bukan dalam konteks

pelaksanaan peraturan perundang-undangan, seperti tampak dalam bagan

berikut:

Bagan: Unsur sosiologis dalam konteks pembentukan dan pelaksanaan UU atau Perda.

B. RELEVANSI VALIDITAS DALAM PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAAN KETERTIBAN UMUM DAN KETENTRAMAN MASYARAKAT

Berdasarkan pemahaman tentang validitas tersebut, maka unsur

filosofis, sosiologis dan yuridis, yang menjadi latar belakang pembuatan

undang-undang atau peraturan daerah, dapat dimaknai sebagai berikut:

1. Unsur filosofis adalah nilai-nilai filosofis yang dianut oleh suatu

Negara (bagi Indonesia yang termaktub dalam Pancasila dan

37

Pembukaan UUD 1945) yang menjadi latar belakang dan alasan

pembuatan undang-undang atau peraturan daerah.

2. Unsur yuridis adalah peraturan perundang-undangan yang menjadi

latar belakang dan alasan pembuatan undang-undang atau

peraturan daerah, yang meliputi:

a. Dasar hukum formal, yakni peraturan perundang-undangan yang

menjadi dasar kewenangan pembentukan suatu peraturan

perundang-undangan. Termasuk keharusan mengikuti prosedur

tertentu.

b. Dasar hukum substansial, yakni peraturan Perundang-undangan

yang memerintahkan materi muatan tertentu diatur dalam suatu

Peraturan Perundang-undangan. Termasuk kesesuaian jenis dan

materi muatan.

3. Unsur sosiologis adalah gejala dan masalah sosial-ekonomi-politik

yang berkembang di masyarakat yang menjadi latar belakang dan

alasan pembuatan undang-undang atau peraturan daerah.

Relevansi landasan keabsahan tersebut dengan pengaturan

Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat adalah

pengaturan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman

Masyarakat mendasarkan pada tiga landasan keabsahan, yakni filofofis,

yuridis, dan sosiologis, sebagaimana diamanatkan UU P3 2011.

Pertama, Landasan Filosofis. Negara Kesatuan Republik Indonesia

merupakan negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan untuk

memberikan pengayoman dan memajukan kesejahteraan masyarakat dalam

rangka mewujudkan tata kehidupan bangsa yang aman, tertib, sejahtera,

dan berkeadilan. Sejalan dengan itu, dalam Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 ditentukan Negara Kesatuan Republik

Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri

atas daerah-daerah kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi,

kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah. Masing-masing

pemerintahan daerah itu mengatur dan mengurus sendiri pemerintahan

38

menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Otonomi dimaksud adalah

otonomi seluas-luasnya.

Ketentuan konstitusional tersebut dilaksanakan dengan Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Dengan

berlakunya Undang-Undang ini, maka penyelenggaraan pemerintahan

daerah dilakukan dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya,

disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi

daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.

Kedua, Landasan sosiologis adalah dengan disusunya Perda ini

bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam Penyelenggaraan

Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat Penyelenggaraan

Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat daerah bukan merupakan

sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan

pemerintahan daerah. Dalam Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan

Ketentraman Masyarakat Berdasarkan uraian tersebut dapat ditegaskan,

landasan filosofis bahwa Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan

Ketentraman Masyarakat harus mampu menjamin pemerataan kesempata

Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat ,

peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen

Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat untuk

menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan

lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan

Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat secara

terencana, terarah, dan berkesinambungan. Jadi, Pemerintahan Daerah

membuat Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum

dan Ketentraman Masyarakat , berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan

dan keadilan, peranserta masyarakat, dan akuntabilitas. Adapun tujuan

pembentukan Perda ini adalah sebagai landasan hukum Penyelenggaraan

Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat di Provinsi Bali.

Ketiga, Landasan Yuridis yaitu memberikan arahan, landasan dan

kepastian hukum bagi aparatur pemerintah daerah dan para pemangku

kepentingan dalam Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman

Masyarakat.

39

Dalam kaitannya dengan penyusunan Rancangan Peraturan daerah

tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat

mendasarkan pada landasan keberlakuan sebagai berikut :

a. bahwa guna mewujudkan Provinsi Bali yang tertib, tentram dan prilaku

disiplin bagi setiap masyarakat, maka perlu adanya upaya dalam meningkatkan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; ( landasan filosofis)

b. bahwa keberadaan masyarakat bali yang heterogen dengan prilaku yang berbeda menuntut dilakukan perbaikan dalam segala bidang

untuk menunjang ketentraman dan ketertiban umum; (landasan sosiologis)

c. bahwa untuk mendukung keberhasilan pembangunan dan

meningkatkan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, diperlukan suatu pengaturan sebagai arahan yang jelas dalam penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat

( landasan yuridis).

40

BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI

MUATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI TENTANG PENYELENGGARAAN KETERTIBAN UMUM DAN

KETENTRAMAN MASYARAKAT

A. ARAH DAN JANGKAUAN PENGATURAN

Istilah “materi muatan “ pertama digunakan oleh A.Hamid

S.Attamimi sebagai terjemahan atau padanan dari “het onderwerp”.20 Pada

tahun 1979 A.Hamid S.Attamimi membuat suatu kajian mengenai materi

muatan peraturan perundang-undangan. Kata materi muatan

diperkenalkan oleh A.Hamid S.Attamimi sebagai pengganti istilah Belanda

Het ondrwerp dalam ungkapan Thorbecke “het eigenaardig onderwerp der

wet” yang diterjemahkan dengan materi muatan yang khas dari undang-

undang, Attamimi mengatakan :

“…dalam tulisan tersebut penulis memperkenalkan untuk pertama

kali istilah materi muatan.Kata materi muatan diperkenalkan oleh

penulis sebagai pengganti kata Belanda het onderwerp dalam

ungkapan ThorbPecke het eigenaardig onderwerp der wet. Penulis

menterjemahkannya dengan materi muatan yang khas dari undang-

undang, yakni materi pengaturan yang khas yang hanya dan semata-

mata dimuat dalam undang-undang sehingga menjadi materi muatan

undang-undang”.21

Dalam konteks pengertian ( begripen ) tentang materi muatan peraturan

perundang-undangan yang hendak dibentuk, semestinya harus

diperhatikan apa sesungguhnya yang menjadi materi muatan yang akan

dibentuk. Karena masing-masing tingkatan ( jenjang ) peraturan

perundang-undangan mempunyai materi muatan tersendiri secara

berjenjang dan berbeda-beda.22 Sri Sumantari juga berpendapat yang sama

bahwa masing-masing peraturan perundang-undangan mengatur materi

muatan yang sama, apa yang diatur oleh undang-undang jelas akan

20 A.Hamid.S.Attamimi , A.Hamid.S.Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden RI

Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi Doktor UI, Jakarta, h. 193-194. 21 Ibid. 22 Gede Pantje Astawa & Suprin Na´a, 2008, Dinamika Hukum Dan Ilmu Perundang-

undangan di Indonesia, Penerbit Alumni Bandung, h. 90.

41

berbeda dengan apa yang diatur oleh Peraturan Daerah. Demikian pula

yang diatur dalam UUD 1945 juga berbeda dengan yang diatur dalam

Peraturan Presiden.23

Rosjidi Ranggawidjaja menyatakan yang dimaksud dengan isi

kandungan atau substansi yang dimuat dalam undang-undang khususnya

dan peraturan perundang-undangan pada umumnya.24 Dengan demikian

istilah materi muatan tidak hanya digunakan dalam membicarakan

undang-undang melainkan semua peraturan perundang-undangan.

Pedoman 98 TP3U menentukan, ketentuan umum berisi: a.batasan

pengertian atau definisi ; b. singkatan atau akronim yang dituangkan

dalam batasan pengertian atau definisi ; dan/atau c. hal-hal lain yang

bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau beberapa pasal berikutnya

antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan tanpa

dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab. Pedoman 109 TP3U

menentukan, urutan penempatan kata atau istilah dalam ketentuan umum

mengikuti ketentuan sebagai berikut: a. pengertian yang mengatur tentang

lingkup umum ditempatkan lebih dahulu dari yang berlingkup khusus;

b.pengertian yang terdapat lebih dahulu di dalam materi pokok yang diatur

ditempatkan dalam urutan yang lebih dahulu; dan c.pengertian yang

mempunyai kaitan dengan pengertian di atasnya yang diletakkan

berdekatan secara berurutan.

Beberapa hal yang relevan dicantumkan sebagai ketentuan umum

dalam pembentukan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Ketertiban

Umum dan Ketentraman Masyarakat adalah:

A. JUDUL

B. PEMBUKAAN

1. Frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa

2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-

undangan

23 Sri Sumantri Martosoewignjo & Bintan R.Saragih,1993, Ketatanegaaan Indonesia

Dalam Kehidupan Politik Indonesia ; 30al Tahun Kembali ke UUD 1945, Pustaka Sinar

Harapan Jakarta, h 62. 24 Rosjidi Rangga Widjaja, 1999, Ilmu Perundang-Undangan,Mandar Maju Bandung

h. 53.

42

3. Konsiderans

4. Dasar Hukum

5. Diktum

C. BATANG TUBUH

1. Ketentuan Umum

2. Materi Pokok yang Diatur

3. Ketentuan Pidana (jika diperlukan)

4. Ketentuan Peralihan (jika diperlukan)

5. Ketentuan Penutup

D. PENUTUP

E. PENJELASAN (jika diperlukan)

F. LAMPIRAN (jika diperlukan)

Dalam penyusunan Rancangan Peraturan daerah Provinsi Bali

tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman

Masyarakat arah dan jangkauan pengaturan antara lain :

1. Bab I Ketentuan umum

2. Bab II Tugas dan Wewenang

3. Bab III Pelaksanaan Ketertiban Umum Dan Ketentraman

Masyarakat

4. Bab IV Larangan

5. Bab V Pembinaan, Pengendalian Dan Pengawasan

6. Bab VI Sanksi Administratif

7. Bab VII Pendanaan

8. Bab VIII Ketentuan Penyidikan

9. Bab IX Ketentuan Pidana

10. Bab X Ketentuan Penutup

B.RUANG LINGKUP MATERI MUATAN

Ruang lingkup materi muatan Ranperda Penyelenggaraan Ketertiban

Umum dan Ketentraman Masyarakat adalah jangkauan materi pengaturan

yang khas yang dimuat dalam raperda Penyelenggaraan Ketertiban Umum

dan Ketentraman Masyarakat , yang meliputi materi yang boleh dan materi

43

yang tidak boleh dimuat dalam raperda Penyelenggaraan Ketertiban Umum

dan Ketentraman Masyarakat 25 Jadi, yang dimaksud dengan materi

muatan baik mengenai batas materi muatan maupun lingkup materi

muatan.

Lingkup materi yang boleh dimuat ditentukan oleh asas otonomi

daerah dan tugas pembantuan maupun yang ditentukan secara objektif-

normatif dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sebagai

materi muatan Perda tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan

Ketentraman Masyarakat antara lain :

1. Bab I Ketentuan umum

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :

1. Daerah adalah Provinsi Bali.

2. Pemerintah Provinsi adalah Pemerintah Provinsi Bali.

3. Gubernur adalah Gubernur Bali.

4. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, Walikota.

5. Kepala Satuan Polisi Pamong Praja adalah Kepala Satuan Polisi Pamong

Praja Provinsi Bali.

6. Ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat adalah suatu keadaan

dinamis yang memungkinkan Pemerintah, pemerintah daerah, dan

masyarakat dapat melakukan kegiatannya dengan tenteram, tertib, dan

teratur.

7. Pejabat yang ditunjuk adalah pegawai negeri yang ditunjuk dan diberi

tugas tertentu di bidang perijinan sesuai dengan Peraturan Perundang-

Undangan yang berlaku.

8. Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PPNS adalah

Pejabat yang memiliki kewenangan khusus untuk melakukan penyidikan

dan penyelidikan atas pelanggaran Peraturan Daerah.

25 Pengertian ruang lingkup materi muatan diadaptasi dari Gede Marhaendra Wija

Atmaja, ”Ruang Lingkup Materi Muatan Peraturan Daerah Tingkat II (Kasus Kabupaten Daerah Tingkat II Badung dan Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar), Tesis Magister,

(Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 1995),hlm. 14.

44

9. Badan adalah sekumpulan orang dan / atau modal yang merupakan

kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan

usaha yang meliputi perseroan terbatas, Perseroan Komanditer, Perseroan

lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau daerah dengan nama dan dalam

bentuk apapun, Firma, Kongsi, Koperasi, Dana Pensiun, Persekutuan,

Perkumpulan, Yayasan, Organisasi massa, Organisasi sosial politik atau

organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan

lainnya.

10. Pengemis adalah orang-orang yang mendapat penghasilan dengan

meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk

mengharapkan belas kasihan dari orang lain.

11. Bangunan adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu

dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas

dan atau di dalam tanah dan atau air, yang berfungsi tidak sebagai tempat

melakukan kegiatan.

12. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian

jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang

diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas

permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas

permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel.

13. Tempat umum adalah fasilitas umum yang menjadi milik, dikuasai

dan/atau dikelola oleh pemerintah daerah.

14. Ruang Terbuka Hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau

mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh

tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja

ditanam.

15. Jalur Hijau adalah salah satu jenis Ruang Terbuka Hijau fungsi tertentu.

16. Taman Kota adalah ruang terbuka segala kelengkapannya yang

dipergunakkan dan dikelola untuk keindahan yang antara lain berfungsi

sebagai paru-paru kota.

17. Ruang milik jalan adalah ruang manfaat jalan dan sejalur tanah tertentu di

luar manfaat jalan yang diperuntukkan bagi ruang manfaat jalan,

pelebaran jalan, penambahan jalur lalu lintas di massa datang serta

kebutuhan ruangan untuk pengamanan jalan dan dibatasi oleh lebar,

kedalaman dan tinggi tertentu.

45

18. Civic centre adalah pusat kegiatan atau pusat perkantoran yang ditetapkan

oleh pemerintah daerah.

2. Bab II Tugas dan Wewenang

Pasal 2

Tugas Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi meliputi :

a. menegakkan Perda;dan b. menyelenggarakan ketertiban umum, ketenteraman masyarakat dan

perlindungan masyarakat.

Pasal 3

Satuan Polisi Pamong Praja berwenang: a. membantu dan mengkoordinir tindakan penertiban nonyustisial

terhadap pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah; b. membantu dan mengkoordinir tindakan terhadap warga masyarakat,

aparatur, atau badan hukum yang mengganggu ketertiban umum

dan ketenteraman masyarakat; c. membantu dan mengkoordinir dalam memfasilitasi dan

pemberdayaan kapasitas penyelenggaraan perlindungan masyarakat; d. membantu dan mengkoordinir tindakan penyelidikan terhadap

warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang diduga

melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah; dan

e. membantu dan mengkoordinir dalam melakukan tindakan

administratif terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan

kepala daerah

3. Bab III Pelaksanaan Ketertiban Umum Dan Ketentraman

Masyarakat

Bagian kesatu Kerjasama Dan Koordinasi

Pasal 4

(1) Satuan Polisi Pamong Praja dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 2 dapat bekerja sama dengan Kepolisian NegaraRepublik Indonesia dan/atau lembaga lainnya.

46

(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas hubungan fungsional, saling membantu, dan saling menghormati dengan mengutamakan kepentingan umum.

Pasal 5

(1) Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi mengkoordinasikan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat di kabupaten/kota.

(2) Rapat koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan atau sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan mekanisme koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur.

Bagian kedua Penegakan Perda dan/atau Perkada

Pasal 6

(1) Penegakan Perda dan Perkada meliputi : a. Memberikan pengarahan kepada masyarakat dan badan hukum

yang melanggar Peraturan daerah dan/atau Peraturan Kepala

Daerah; b. Melakukan pembinaan dan/atau sosialisasi kepada masyarakat dan

badan Hukum; c. Melakukan tindakan Preventif non yustisial; dan d. Penindakan yustisial.

(2) Penegakan Perda dan Perkada sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan dan dilakukan bersama-sama dengan Kabupaten/Kota;

(3) Penegakan Perda dan Perkada Provinsi dapat dilakukan di

Kabupaten/Kota, apabila belum ada pengaturannya. (4) Ketentuan Tata cara penindakan Preventif non yustisial sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) huruf c dan penindakan yustisial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan sesuai dengan Peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian ketiga

Ketertiban Umum Dan Ketentraman Masyarakat

Pasal 7

Pemerintah Provinsi menjamin penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat.

Pasal 8

(1) Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat meliputi : a. Tertib tata ruang;

47

b. Tertib jalan; c. Tertib angkutan jalan;

d. Tertib jalur hijau, taman dan tempat umum; e. Tertib sungai, saluran, kolam, dan pinggir pantai;

f. Tertib lingkungan; g. Tertib tempat usaha dan usaha tertentu; h. Tertib bangunan;

i. Tertib sosial; j. Tertib kesehatan; k. Tertib tempat hiburan dan keramaian; l. Tertib peran serta masyarakat; m. Ketentuan lain sepanjang telah di tetapkan dalam peraturan daerah.

(2) Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara koordinasi

dengan Kabupaten/Kota.

Pasal 9 Satpol PP Kabupaten/Kota berkewajiban melakukan koordinasi dengan

Satpol PP Provinsi dalam hal : a. Penegakan peraturan daerah; dan b. Dukungan sumber daya manusia.

4. Bab IV Larangan

Pasal 10

Setiap orang dan/atau badan dilarang : a. Memasang sepanduk, atribut, reklame, selebaran di area civic

centre dan taman kota tanpa seijin pemerintah daerah; b. Berjualan di area civic centre dan taman kota tanpa seijin

pemerintah daerah; c. Membeli barang dagangan yang dijual oleh pedagang di area civic

centre dan taman kota.

Pasal 11 Penyelenggaraan tertib angkutan jalan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 8 ayat (1) huruf b dilarang: a. Mengangkut bahan dan barang tanpa alat pengaman; b. Mengangkut bahan berdebu dan berbau busuk tanpa alat

pengaman; dan c. Mengangkut hewan dan unggas tanpa alat pengaman.

Pasal 12

Penyelenggaraan tertib jalur hijau, taman dan tempat umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf d dilakukan dengan larangan :

48

a. mengalihkan fungsi jalur hijau, taman dan tempat umum tanpa izin dari Pemerintah Daerah.

b. berjualan atau berdagang, menyimpan atau menimbun barang di jalur hijau, taman dan tempat umum yang tidak sesuai dengan

peruntukannya; c. mencoret-coret, menulis, melukis, menempel iklan di dinding atau

di tembok, jembatan lintas, halte, tiang listrik, pohon dan sarana

umum lainnya; d. membuang dan menumpuk sampah di jalan, jalur hijau, taman,

sungai dan tempat-tempat lain yang dapat merusak keindahan dan

kebersihan lingkungan; e. memasang dan/atau menempelkan kain bendera, kain bergambar,

spanduk dan/atau sejenisnya disepanjang jalan, rambu-rambu lalu lintas, tiang penerangan jalan, pohon, bangunan fasilitas umum dan/atau fasilitas sosial tanpa ada izin dari Pemerintah Daerah;

f. menebang dan/atau merusak pohon pelindung dan/atau tanaman lainnya yang berada di fasilitas umum tanpa ada izin dari

Pemerintah Daerah; g. mengotori, mencoret dan merusak jalan dan/atau jembatan beserta

bangunan pelengkapnya, rambu lalu lintas, pohon, fasilitas umum

dan fasilitas sosial.

Pasal 13

Penyelenggaran tertib sosial sebgaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf i dilakukan dengan larangan : a. meminta bantuan dan/atau sumbangan yang dilakukan sendiri-sendiri

dan/atau bersama-sama di jalan, pasar, kendaraan umum, lingkungan pemukiman, rumah sakit, sekolah, kantor dan tempat ibadah.

b. menyediakan tempat dan menyelenggarakan segala bentuk undian

dengan memberikan hadiah dalam bentuk apapun kecuali mendapat izin dari Pemerintah Daerah.

c. Permintaan bantuan atau sumbangan untuk kepentingan sosial dan kemanusiaan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Pemerintah Daerah.

Pasal 14

Setiap orang dan/atau badan dilarang : a. beraktifitas sebagai gelandangan dan pengemis, Penjaja Seks

Komersial, pengamen, pedagang asongan dan pembersih kaca mobil di traffic ligt;

b. mengkoordinir gelandangan dan pengemis, Penjaja Seks Komersial pengamen, pedagang asongan dan pembersih kaca mobil di jalan dan tempat umum;

c. mengeksploitasi bayi dan anak untuk mengemis; e. berbuat asusila di jalan umum, di taman dan tempat umum.

49

Pasal 15 Setiap orang dan/atau keluarga yang memiliki anggota keluarga yang

menderita gangguan jiwa berkewajiban merawat dan tidak menelantarkannya.

Pasal 16

(1) Tertib tempat usaha dan usaha tertentu sebgaimana dimaksud dalam

Pasal 8 ayat (1) huruf g dilakukan dengan larangan :

a. melakukan usaha dan mendirikan tempat kegiatan usaha yang dapat mengganggu ketertiban umum.

b. menempatkan barang dengan maksud untuk melakukan usaha di sepadan jalan, trotoar, di dalan taman dan tempat umum;

c. memproduksi, mengedarkan, menyimpan dan menjual minuman beralkohol dan petasan;

(2) ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi

tempat-tempat yang telah mendapat izin oleh pemerintah daerah.

Pasal 17

Penyelenggaraan Tertib peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 8 ayat (1) huruf l dilakukan dengan : a. Setiap orang dan/atau badan dapat menyampaikan laporan kepada

petugas Satuan Polisi Pamong Praja dan/atau aparat pemerintah

daerah apabila terjadi pelanggaran terhadap ketertiban umum dan ketentraman masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.

b. Setiap orang atau badan yang melaporkan sebagaimana dimaksud pada huruf a berhak mendapat perlindungan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

5. Bab V Pembinaan, Pengendalian Dan Pengawasan

Pasal 18

(1) Pemerintah Provinsi berwenang untuk melakukan pembinaan, pengendalian dan pengawasan terhadap penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum.

(2) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Satuan Polisi Pamong Praja bersama Penyidik Pegawai Negeri Sipil dengan Satuan kerja perangkat daerah terkait lainnya.

Dalam melakukan pembinaan, pengendalian dan pengawasan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan dengan instansi

lain dan pemerintah Kabupaten/Kota.

6. Bab VI Sanksi Administratif

Pasal 19

50

Setiap orang atau badan hukum yang melanggar ketentuan dalam Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 15 ini dikenakan hukuman sanksi administrasi berupa :

a. Teguran lisan;

b. Peringatan tertulis; c. Penertiban; d. Penghentian sementara dari kegiatan;

e. Denda administrasi; dan/atau f. Pencabutan izin, pembekuan izin, dan/atau penyegelan.

7. Bab VII Pendanaan

Pasal 20

Pendanaan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.

8. Bab VIII Ketentuan Penyidikan

Pasal 21

(1) Selain Pejabat Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang

lingkup tugas dan tanggungjawabnya di bidang Ketertiban dan Ketenraman Masyarakat, diberi wewenang khusus sebagai Penyidik, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berwenang :

a. menerima laporan atau pengaduan berkenaan tindak pidana dibidang ketertiban umum dan ketentraman masyarakat.

b. melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat kejadian . c. melakukan pemanggilan terhadap perseorangan atau badan usaha untuk

di dengar dan diperiksa sebagai saksi dalam tindakan pidana dibidang ketertiban umum dan ketentraman massayarakat;

d. melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti dan/atau surat; e. mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

f. meminta keterangan atau bahan bukti dari perseorangan atau badan usaha terkait tindak pidana dibidang ketertiban umum dan ketentraman

masyarakat; g. meminta bantuan ahli yang diperlukan dalam hubungan dengan

pemeriksaan perkara; h. membuat dan menandatangan berita acara dan

i. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana dibidang ketertiban umum dan ketentraman

51

masyarakat. (2) PPNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya

penyidikan dan hasil penyidikannya kepada Penyidik Polri.

9. Bab IX Ketentuan Pidana

Pasal 22

(1) Setiap orang dan/atau badan yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 16 , Pasal 17, dan Pasal 19 diancam pidana kurungan paling lama 3 (tiga)

bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelanggaran.

(3) Selain ancaman pidana yang di maksud pada ayat (1) dapat dikenakan

sanksi sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku

10. Bab X Ketentuan Penutup

Peraturan Daerah ini mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan

Daerah yang bersangkutan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan

Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Provinsi Bali

52

BAB VI

PENUTUP

A. Simpulan

Pertama, permasalahan yang dihadapi berkenaan dengan Rancangan

Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan

Ketentraman Masyarakat dasar kewenangan pembentukan diatur dalam

Undang UU NO 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan

Pemerintah No 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja,

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2010 Tentang

Penggunaan Senjata Api Bagi Satpol PP, Peraturan Menteri Dalam Negeri No

40 Tahun 2011 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Satuan Polisi

Pamong Praja, Peraturan Menteri Negeri No 54 Tahun 2011 tentang Standar

Operasional Polisi Pamong Praja dan Peraturan Daerah Provinsi Bali No 2

Tahun 2008 Tentang Urusan Pemerintahan Daerah Provinsi Bali.Peraturan

Gubernur Provinsi Bali No 12 Tahun 2006 tentang Penataan Kembali

Kawasan civic centre Niti Mandala serta peraturan perundang-undangan

yang lain yang terkait dengan pendelegasian kewenangan mengatur pada

peraturan perundang-undangan. Permasalahan tersebut diatasi dengan

pembuatan Peraturan Daerah dalam rangka Penyelenggaraan Ketertiban

Umum dan Ketentraman Masyarakat. Penjabaran dalam materi muatan

yaitu tentang :

11. Bab I Ketentuan umum

12. Bab II Tugas dan Wewenang

13. Bab III Pelaksanaan Ketertiban Umum Dan Ketentraman

Masyarakat

14. Bab IV Larangan

15. Bab V Pembinaan, Pengendalian Dan Pengawasan

16. Bab VI Sanksi Administratif

17. Bab VII Pendanaan

18. Bab VIII Ketentuan Penyidikan

19. Bab IX Ketentuan Pidana

20. Bab X Ketentuan Penutup

53

Kedua, penyusunan Peraturan Daerah diperlukan sebagai dasar

penyelesaian masalah tersebut di atas sehingga Penyelenggaraan

Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat memiliki landasan dan

kepastian dalam kaiatannya dengan perlindungan dan pemberdayaan.

Ketiga, pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis

pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan

Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat adalah:

a. Landasan Filosofis bahwa guna mewujudkan Provinsi Bali yang tertib, tentram dan prilaku disiplin bagi setiap masyarakat, maka perlu adanya upaya dalam meningkatkan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat

b. Landasan Sosiologis bahwa keberadaan masyarakat bali yang heterogen dengan prilaku yang

berbeda menuntut dilakukan perbaikan dalam segala bidang untuk

menunjang ketentraman dan ketertiban umum; (landasan sosiologis)

c. Landasan Yuridis bahwa untuk mendukung keberhasilan pembangunan dan meningkatkan

ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, diperlukan suatu pengaturan sebagai arahan yang jelas

dalam penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat

Keempat, arah, sasaran, da jangkauan pengaturan, dan ruang lingkup

materi muatan Peraturan Daerah yang akan dibentuk adalah:

1. Arah pengaturan dari Peraturan Daerah yang akan dibentuk ini

adalah memberikan landasan dan kepastian hukum bagi

Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat

di Provinsi Bali .

2. Sasaran yang hendak diwujudkan dari Peraturan Daerah yang

akan dibentuk ini adalah terwujudnya bentuk Penyelenggaraan

Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat .

54

3. Jangkauan pengaturan dari Peraturan Daerah yang akan dibentuk

ini adalah memberikan pedoman berkaitan dengan

Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat.

4. Ruang lingkup materi muatan Peraturan Daerah yang akan

dibentuk adalah:

1. Bab I Ketentuan umum

2. Bab II Tugas dan Wewenang

3. Bab III Pelaksanaan Ketertiban Umum Dan Ketentraman

Masyarakat

4. Bab IV Larangan

5. Bab V Pembinaan, Pengendalian Dan Pengawasan

6. Bab VI Sanksi Administratif

7. Bab VII Pendanaan

8. Bab VIII Ketentuan Penyidikan

9. Bab IX Ketentuan Pidana

10. Bab X Ketentuan Penutup

Berdasarkan kajian yang telah di lakukan di BAB terdahulu, dapat ditarik

konklusi bahwa Pemerintah Daerah Provinsi Bali belum mempunyai

Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan

Ketentraman Masyarakat. Berdasarkan keseluruhan tersebut di atas

dirumuskan simpulan dasar hukum pembentukan peraturan daerah :

1. Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

1958 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1649);

2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);

3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587)

sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan

Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

5679);

55

4. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Satuan Polisi Pamong Praja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010

Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5094);

5. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2011 Tentang Standar Operasional Prosedur Satuan Polisi Pamong Ppraja (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 705);

6. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 2 Tahun 1988 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Provinsi Dati I Bali;

B. Saran

1. Menyiapkan segera Peraturan Gubernur sebagai bentuk

pendelegasian kewenangan mengatur

2. Agar diselenggarakan proses konsultasi publik sehingga masyarakat

dapat memberikan masukan dalam penyusunan Rancangan

Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang Penyelenggaraan Ketertiban

Umum dan Ketentraman Masyarakat , sesuai dengan asas

keterbukaan dan ketentuan tentang partisipasi masyarakat dalam

Pasal 96 UU P3 2011 dan Pasal 354 ayat (4) UU Pemerintahan Daerah

2004. Dalam Pasal 354 ayat (4) UU Pemerintahan Daerah 2004. Pasal

partisipasi masyarakat dalam bentuk :

a. konsultasi publik; b. musyawarah;

c. kemitraan; d. penyampaian aspirasi;

e. pengawasan; dan/atau f. keterlibatan lain sesuai dengan ketentuan peraturan erundang-

undangan

56

DAFTAR PUSTAKA

Alf Ross, 1969, On Law And Justice, University Of Californis Press, Barkely & Los Angeles.

A.Hamid.S.Attamimi , A.Hamid.S.Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden RI Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi

Doktor UI, Jakarta C.F.G.Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir

Abad ke 2 , Alumni, Bandung Jan Gijsels,2005, Mark Van Hocke ( terjemahan B. Arief Sidharta ) Apakah Teori Hukum Itu ? , Laboratorium Hukum Universitas Parahyangan Bandung.

Erna Widodo , 2000, Konstruksi ke Arah Penelitian Deskriptif, Avy-rouz. Gede Marhaendra Wija Atmaja, ”Ruang Lingkup Materi Muatan Peraturan

Daerah Tingkat II (Kasus Kabupaten Daerah Tingkat II Badung dan Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar), Tesis Magister, (Program

Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 1995). Gede Pantje Astawa & Suprin Na´a, 2008, Dinamika Hukum Dan Ilmu

Perundang-undangan di Indonesia, Penerbit Alumni Bandung

Gustav Radbruch,1950, “Legal Philosophy”, dalam Kurt Wilk, ed., The Legal Philosophies Of Lask, Radbruch, And Dabin, (Cambridge: Havard

University Press. I Dewa Gede Atmadja, 1996, Penafsiran Kostitusi Dalam Rangka Sosialisasi

Hukum, Sisi Pelaksanaan UUD 1945 Secara Murni Dan konsekuen” Pidato Pengenalan Jabatan Guru Besar Dalam Bidang Hukum Tata

Negara Pada FH.UNUD, J.J.H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, terjemahan Arief Sidharta dari

judul asli: Rechts Reflecties, (Penerbit PT Citra Aditya Bakti,

Bandung, 1996). Peter Mahmud Marzuki; 2005, Penelitian Hukum, Jakarta Interpratama

Offset, Philipus M Hadjon, 1994, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik ( Normatif )

dalam Yuridika Nomor 6 Tahun IX, Nopember-Desember.

Rony Hanitijo Soemitro, 1985, Metodologi Penelitian Hukum, Ghia Indonesia Jakarta,

Rosjidi Rangga Widjaja, 1999, Ilmu Perundang-Undangan,Mandar Maju Bandung .

Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti,)

Soelistyowati Irianto dan Sidharta, 2009, Metode Penelitian Hukum Konstelasi Dan Refleksi,Yayasan Obor

Sudargo Gaotama, 1985, Hukum Perdata Internasional, Alumni Bandung.

Sri Sumantri Martosoewignjo & Bintan R.Saragih,1993, Ketatanegaaan

Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia ; 30al Tahun Kembali ke UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan Jakarta

W. Friedmann, Teori & Filsafat Hukum: Idealisme Filosofis & Problema Keadilan (susunan II), terjemahan Muhamad Arifin dari judul asli: Legal Theory.

57

.

DAFTAR PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem

Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat

Nasional( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 244 , Tambahan Lembaran Negara Republik Indoesia Nomor 4301 ).

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 244,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587), sebagimana diubah beberapa kali terkhir dengan Undang-Undang No 2 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

Menjadi Undang-Undang ( Lembaran Negara Republik Indoensia Indonesia Tahun 2015 Nomor 24, Tambahan Lembaran negara republik Indonesia Nomor 5657);

Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong

Praja ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 9,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indoesia Nomor 5094 )

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2010 Tentang

Penggunaan Senjata Api Bagi Satpol PP

Peraturan Menteri Dalam Negeri No 40 Tahun 2011 tentang Pedoman

Organisasi dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja . ( Berita

Negara Republik Indoensia Tahun 2011 No 590)

58

Peraturan Menteri Negeri No 54 Tahun 2011 tentang Standar Operasional

Polisi Pamong Praja ( Berita Negara Republik Indoensia Tahun 2011

No 705)

Peraturan Daerah Provinsi Bali No 2 Tahun 2008 Tentang Urusan

Pemerintahan Daerah Provinsi Bali Lembaran Daerah Tahun 2008

Nomor 2

Peraturan Gubernur Provinsi Bali No 12 Tahun 2006 tentang Penataan

Kembali Kawasan civic centre Niti Mandala Denpasar, Berita Daerah

Provinsi Bali Tahun 2006 Nomor 12.

Keputusan gubernur Bali Nomor 2383/05-A/HK/2013 tentang

Pembentukan Dan Susunan Keanggotaan Tim Penegakan Peraturan

Daerah dan Pemberdayaan Penyidik Pegawai negeri Sipil ( PPNS)

59

LAMPIRAN PERATURAN DAERAH :

REVISI III FH

GUBERNUR BALI

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI

NOMOR ...... TAHUN 2015

TENTANG

PENYELENGGARAAN KETERTIBAN UMUM DAN KETENTRAMAN MASYARAKAT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR BALI,

Menimbang : a. bahwa guna mewujudkan Provinsi Bali yang tertib, tentram dan prilaku disiplin bagi setiap masyarakat,

maka perlu adanya upaya dalam meningkatkan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;

b. bahwa keberadaan masyarakat bali yang heterogen

dengan prilaku yang berbeda menuntut dilakukan perbaikan dalam segala bidang untuk menunjang ketentraman dan ketertiban umum;

c. bahwa untuk mendukung keberhasilan pembangunan dan meningkatkan ketertiban umum dan ketentraman

masyarakat, diperlukan suatu pengaturan sebagai arahan yang jelas dalam penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c,perlu

menetapkan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat

Mengingat : 7. Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah daerah Tingkat I Bali, Nusa

Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

1649);

60

8. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);

9. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);

10. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Satuan Polisi Pamong Praja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 9, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 5094);

11. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2011 Tentang Standar Operasional Prosedur Satuan Polisi Pamong Ppraja (Berita Negara Republik Indonesia Tahun

2011 Nomor 705);

12. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 2 Tahun 1988 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Provinsi Dati I Bali;

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI BALI

dan

GUBERNUR BALI,

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAAN KETERTIBAN UMUM DAN KETENTRAMAN MASYARAKAT.

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1

61

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :

19. Daerah adalah Provinsi Bali.

20. Pemerintah Provinsi adalah Pemerintah Provinsi Bali.

21. Gubernur adalah Gubernur Bali.

22. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, Walikota.

23. Kepala Satuan Polisi Pamong Praja adalah Kepala Satuan Polisi Pamong Praja

Provinsi Bali.

24. Ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat adalah suatu keadaan

dinamis yang memungkinkan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat

dapat melakukan kegiatannya dengan tenteram, tertib, dan teratur.

25. Pejabat yang ditunjuk adalah pegawai negeri yang ditunjuk dan diberi tugas

tertentu di bidang perijinan sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan

yang berlaku.

26. Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PPNS adalah Pejabat

yang memiliki kewenangan khusus untuk melakukan penyidikan dan

penyelidikan atas pelanggaran Peraturan Daerah.

27. Badan adalah sekumpulan orang dan / atau modal yang merupakan kesatuan

baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang

meliputi perseroan terbatas, Perseroan Komanditer, Perseroan lainnya, Badan

Usaha Milik Negara atau daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun,

Firma, Kongsi, Koperasi, Dana Pensiun, Persekutuan, Perkumpulan, Yayasan,

Organisasi massa, Organisasi sosial politik atau organisasi yang sejenis,

lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya.

28. Pengemis adalah orang-orang yang mendapat penghasilan dengan meminta-

minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan

belas kasihan dari orang lain.

29. Bangunan adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan

tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan atau di

dalam tanah dan atau air, yang berfungsi tidak sebagai tempat melakukan

kegiatan.

30. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan,

termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi

lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di

bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali

jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel.

62

31. Tempat umum adalah fasilitas umum yang menjadi milik, dikuasai dan/atau

dikelola oleh pemerintah daerah.

32. Ruang Terbuka Hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok,

yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik

yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.

33. Jalur Hijau adalah salah satu jenis Ruang Terbuka Hijau fungsi tertentu.

34. Taman Kota adalah ruang terbuka segala kelengkapannya yang dipergunakkan

dan dikelola untuk keindahan yang antara lain berfungsi sebagai paru-paru

kota.

35. Ruang milik jalan adalah ruang manfaat jalan dan sejalur tanah tertentu di

luar manfaat jalan yang diperuntukkan bagi ruang manfaat jalan, pelebaran

jalan, penambahan jalur lalu lintas di massa datang serta kebutuhan ruangan

untuk pengamanan jalan dan dibatasi oleh lebar, kedalaman dan tinggi

tertentu.

36. Civic centre adalah pusat kegiatan atau pusat perkantoran yang ditetapkan

oleh pemerintah daerah.

BAB II TUGAS DAN WEWENANG

Pasal 2

Tugas Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi meliputi :

c. menegakkan Perda;dan

d. menyelenggarakan ketertiban umum, ketenteraman masyarakat dan perlindungan masyarakat.

Pasal 3

Satuan Polisi Pamong Praja berwenang: f. membantu dan mengkoordinir tindakan penertiban nonyustisial

terhadap pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah;

g. membantu dan mengkoordinir tindakan terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang mengganggu ketertiban umum dan

ketenteraman masyarakat; h. membantu dan mengkoordinir dalam memfasilitasi dan pemberdayaan

kapasitas penyelenggaraan perlindungan masyarakat;

i. membantu dan mengkoordinir tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang diduga melakukan

63

pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah; dan

j. membantu dan mengkoordinir dalam melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah.

BAB III

PELAKSANAAN KETERTIBAN UMUM DAN KETENTRAMAN MASYARAKAT

Bagian kesatu

Kerjasama Dan Koordinasi Pasal 4

(3) Satuan Polisi Pamong Praja dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 2 dapat bekerja sama dengan Kepolisian NegaraRepublik Indonesia dan/atau lembaga lainnya.

(4) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas hubungan fungsional, saling membantu, dan saling menghormati dengan mengutamakan kepentingan umum.

Pasal 5

(4) Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi mengkoordinasikan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat di kabupaten/kota.

(5) Rapat koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan atau sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhan.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan mekanisme koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur.

Bagian kedua Penegakan Perda dan/atau Perkada

Pasal 6

(5) Penegakan Perda dan Perkada meliputi : e. Memberikan pengarahan kepada masyarakat dan badan hukum yang

melanggar Peraturan daerah dan/atau Peraturan Kepala Daerah;

f. Melakukan pembinaan dan/atau sosialisasi kepada masyarakat dan badan Hukum;

g. Melakukan tindakan Preventif non yustisial; dan

h. Penindakan yustisial. (6) Penegakan Perda dan Perkada sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dikoordinasikan dan dilakukan bersama-sama dengan Kabupaten/Kota; (7) Penegakan Perda dan Perkada Provinsi dapat dilakukan di

64

Kabupaten/Kota, apabila belum ada pengaturannya.

(8) Ketentuan Tata cara penindakan Preventif non yustisial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan penindakan yustisial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan sesuai dengan Peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Bagian ketiga Ketertiban Umum Dan Ketentraman Masyarakat

Pasal 7

Pemerintah Provinsi menjamin penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat.

Pasal 8

(2) Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat meliputi

: a. Tertib tata ruang;

b. Tertib jalan; c. Tertib angkutan jalan; d. Tertib jalur hijau, taman dan tempat umum;

e. Tertib sungai, saluran, kolam, dan pinggir pantai; f. Tertib lingkungan;

g. Tertib tempat usaha dan usaha tertentu; h. Tertib bangunan; i. Tertib sosial;

j. Tertib kesehatan; k. Tertib tempat hiburan dan keramaian; l. Tertib peran serta masyarakat;

m. Ketentuan lain sepanjang telah di tetapkan dalam peraturan daerah.

(3) Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara koordinasi dengan Kabupaten/Kota.

Pasal 9

Satpol PP Kabupaten/Kota berkewajiban melakukan koordinasi dengan Satpol PP Provinsi dalam hal :

a. Penegakan peraturan daerah; dan b. Dukungan sumber daya manusia.

BAB IV LARANGAN

Pasal 10

Setiap orang dan/atau badan dilarang :

65

d. Memasang sepanduk, atribut, reklame, selebaran di area civic centre

dan taman kota tanpa seijin pemerintah daerah; e. Berjualan di area civic centre dan taman kota tanpa seijin pemerintah

daerah; f. Membeli barang dagangan yang dijual oleh pedagang di area civic

centre dan taman kota.

Pasal 11 Penyelenggaraan tertib angkutan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b dilarang:

d. Mengangkut bahan dan barang tanpa alat pengaman; e. Mengangkut bahan berdebu dan berbau busuk tanpa alat pengaman;

dan f. Mengangkut hewan dan unggas tanpa alat pengaman.

Pasal 12

Penyelenggaraan tertib jalur hijau, taman dan tempat umum sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf d dilakukan dengan larangan : h. mengalihkan fungsi jalur hijau, taman dan tempat umum tanpa izin dari

Pemerintah Daerah. i. berjualan atau berdagang, menyimpan atau menimbun barang di jalur

hijau, taman dan tempat umum yang tidak sesuai dengan

peruntukannya; j. mencoret-coret, menulis, melukis, menempel iklan di dinding atau di

tembok, jembatan lintas, halte, tiang listrik, pohon dan sarana umum lainnya;

k. membuang dan menumpuk sampah di jalan, jalur hijau, taman, sungai

dan tempat-tempat lain yang dapat merusak keindahan dan kebersihan lingkungan;

l. memasang dan/atau menempelkan kain bendera, kain bergambar,

spanduk dan/atau sejenisnya disepanjang jalan, rambu-rambu lalu lintas, tiang penerangan jalan, pohon, bangunan fasilitas umum

dan/atau fasilitas sosial tanpa ada izin dari Pemerintah Daerah; m. menebang dan/atau merusak pohon pelindung dan/atau tanaman

lainnya yang berada di fasilitas umum tanpa ada izin dari Pemerintah

Daerah; n. mengotori, mencoret dan merusak jalan dan/atau jembatan beserta

bangunan pelengkapnya, rambu lalu lintas, pohon, fasilitas umum dan

fasilitas sosial.

Pasal 13

Penyelenggaran tertib sosial sebgaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf i dilakukan dengan larangan :

d. meminta bantuan dan/atau sumbangan yang dilakukan sendiri-sendiri dan/atau bersama-sama di jalan, pasar, kendaraan umum, lingkungan

66

pemukiman, rumah sakit, sekolah, kantor dan tempat ibadah.

e. menyediakan tempat dan menyelenggarakan segala bentuk undian dengan memberikan hadiah dalam bentuk apapun kecuali mendapat izin dari Pemerintah Daerah.

f. Permintaan bantuan atau sumbangan untuk kepentingan sosial dan kemanusiaan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Pemerintah Daerah.

Pasal 14

Setiap orang dan/atau badan dilarang : a. beraktifitas sebagai gelandangan dan pengemis, Penjaja Seks Komersial,

pengamen, pedagang asongan dan pembersih kaca mobil di traffic ligt; b. mengkoordinir gelandangan dan pengemis, Penjaja Seks Komersial

pengamen, pedagang asongan dan pembersih kaca mobil di jalan dan tempat umum;

c. mengeksploitasi bayi dan anak untuk mengemis;

e. berbuat asusila di jalan umum, di taman dan tempat umum.

Pasal 15 Setiap orang dan/atau keluarga yang memiliki anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa berkewajiban merawat dan tidak menelantarkannya.

Pasal 16

(2) Tertib tempat usaha dan usaha tertentu sebgaimana dimaksud dalam Pasal

8 ayat (1) huruf g dilakukan dengan larangan :

d. melakukan usaha dan mendirikan tempat kegiatan usaha yang dapat mengganggu ketertiban umum.

e. menempatkan barang dengan maksud untuk melakukan usaha di sepadan jalan, trotoar, di dalan taman dan tempat umum;

f. memproduksi, mengedarkan, menyimpan dan menjual minuman beralkohol dan petasan;

(2) ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi

tempat-tempat yang telah mendapat izin oleh pemerintah daerah.

Pasal 17

Penyelenggaraan Tertib peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 8 ayat (1) huruf l dilakukan dengan : c. Setiap orang dan/atau badan dapat menyampaikan laporan kepada

petugas Satuan Polisi Pamong Praja dan/atau aparat pemerintah daerah

apabila terjadi pelanggaran terhadap ketertiban umum dan ketentraman

67

masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8. d. Setiap orang atau badan yang melaporkan sebagaimana dimaksud pada huruf a

berhak mendapat perlindungan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB V PEMBINAAN, PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN

Pasal 18

(3) Pemerintah Provinsi berwenang untuk melakukan pembinaan, pengendalian

dan pengawasan terhadap penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum.

(4) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Satuan Polisi Pamong Praja bersama Penyidik Pegawai Negeri Sipil dengan Satuan kerja perangkat daerah terkait lainnya.

(5) Dalam melakukan pembinaan, pengendalian dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan dengan instansi lain dan pemerintah Kabupaten/Kota.

BAB VI

SANKSI ADMINISTRASI Pasal 19

Setiap orang atau badan hukum yang melanggar ketentuan dalam Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 15 ini dikenakan hukuman sanksi administrasi berupa :

a. Teguran lisan; b. Peringatan tertulis; c. Penertiban;

d. Penghentian sementara dari kegiatan; e. Denda administrasi; dan/atau f. Pencabutan izin, pembekuan izin, dan/atau penyegelan.

BAB VII PENDANAAN

Pasal 20

Pendanaan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat

dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.

BAB VIII KETENTUAN PENYIDIKAN

Pasal 21

(3) Selain Pejabat Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai

Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya di bidang Ketertiban dan Ketenraman Masyarakat, diberi wewenang khusus sebagai Penyidik, sesuai ketentuan peraturan

68

perundang-undangan.

(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berwenang :

a. menerima laporan atau pengaduan berkenaan tindak pidana dibidang ketertiban umum dan ketentraman masyarakat.

b. melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat kejadian .

c. melakukan pemanggilan terhadap perseorangan atau badan usaha untuk di dengar dan diperiksa sebagai saksi dalam tindakan pidana dibidang

ketertiban umum dan ketentraman massayarakat; d. melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti dan/atau surat; e. mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

f. meminta keterangan atau bahan bukti dari perseorangan atau badan usaha terkait tindak pidana dibidang ketertiban umum dan ketentraman

masyarakat; g. meminta bantuan ahli yang diperlukan dalam hubungan dengan pemeriksaan perkara;

h. membuat dan menandatangan berita acara dan i. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang

adanya tindak pidana dibidang ketertiban umum dan ketentraman masyarakat.

(4) PPNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasil penyidikannya kepada Penyidik Polri.

BAB IX KETENTUAN PIDANA

Pasal 22

(4) Setiap orang dan/atau badan yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 16 , Pasal 17, dan Pasal 19 diancam pidana kurungan paling lama 6 (enam)

bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

(5) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan

pelanggaran.

(6) Selain ancaman pidana yang di maksud pada ayat (1) dapat dikenakan sanksi sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.

BAB X KETENTUAN PENUTUP

Pasal 25

Peraturan Daerah ini mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada

tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan Daerah yang

69

bersangkutan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Provinsi Bali.

Diundangkan di Denpasar Pada tanggal………

SEKRETARIS DAERAH PROVINSI BALI

COKORDA NGURAH PEMAYUN

Ditetpkan di Denpasar Pada tanggal……….. GUBERNUR BALI,

MADE MANGKU PASTIKA

LEMBARAN DAERAH PROVINSI BALI … TAHUN … NOMOR…………..

NO.REG PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI:

70

PENJELASAN

ATAS

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI

NOMOR ………..

TENTANG

PENYELENGGARAAN KETERTIBAN UMUM DAN KETENTRAMAN MASYARAKAT

I. UMUM

Salah satu urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah adalah penyelenggaraan Ketertiban Umum dan ketenteraman masyarakat

sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang memupunyai komitmen untuk

penegakkan Peraturan Daerah, menjaga ketenteraman, ketertiban umum dan perlindungan masyarakat guna terwujudnya Masyarakat yang adil dan sejahtera.

Dalam rangka mengantisipasi perkembangan dan dinamika kegiatan masyarakat seirama dengan tuntutan era globalisasi dan otonomi daerah,

maka kondisi ketenteraman dan ketertiban umum daerah yang kondusif merupakan suatu kebutuhan mendasar bagi seluruh masyarakat untuk

meningkatkan mutu kehidupannya.

Pengaturan mengenai ketertiban umum harus diarahkan guna pencapaian

kondisi yang kondusif bagi seluruh aspek kehidupan masyarakat. Dinamika perkembangan dan kebutuhan masyarakat Bali yang dinamis dirasakan memerlukan Peraturan Daerah yang menjangkau secara seimbang antara

subjek dan objek hukum yang diatur. Oleh karena itu, sangat diperlukan pengaturan lebih lanjut Peraturan Daerah tentang ketertiban umum dan

ketentraman masyarakat. Peraturan Daerah ini mempunyai posisi yang sangat strategis dan penting untuk membehkan motivasi dalam menumbuhkembangkan budaya disiplin masyarakat guna mewujudkan

tata kehidupan masyarakat yang tertib.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas

Pasal 2

71

Cukup jelas

Pasal 3

Cukup jelas

Pasal 4

Cukup jelas

Pasal 5

Cukup jelas

Pasal 6

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Cukup jelas

Huruf c

Yang dimaksud dengan tindakan Preventif non yustisial adalah tindakan yang dilakukan oleh Satuan Polisi

Pamong Praja:

a. Penindakan terhadap para pelanggar Peraturan daerah, terlebih dahulu menanda tangani surat pernyataaan bersedia dan sanggup mentaati dan mematuhi serta melaksanakan ketentuan dalam waktu 15 hari terhitung sejak penandatanganan surat pernyataan.

b. Apabila tidak melaksanakan dan/atau mengingkari syarat

pernyataannya, maka akan diberikan Surat teguran pertama, dengan tegang waktu 7(tujuh) hari 2. Surat teguran kedua dengan tegang waktu 3 (tiga) hari 3. Surat teguran ketiga, dengan tegang waktu 3 (tiga) hari .

c. Apabila tidak melaksanakan dan atau mengingkari surat teguran tersebut, akan dilaporkan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) untuk dilakukan proses sesuai peraturan perundang undangan yang berlaku.

Huruf d

Tindakan penertiban nonyustisial adalah tindakan yang dilakukan oleh Polisi Pamong Praja dalam rangka

menjaga dan/atau memulihkan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat terhadap pelanggaran Perda dan/atau peraturan kepala daerah dengan cara yang

72

sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan dan tidak sampai proses peradilan.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 7

Cukup jelas

Pasal 8

Cukup jelas

Pasal 9

Cukup jelas

Pasal 10

Cukup jelas

Pasal 11

Cukup jelas

Pasal 12

Cukup jelas

Pasal 13

Cukup jelas

Pasal 14

Cukup jelas

Pasal 15

Cukup jelas

Pasal 16

73

Cukup jelas

Pasal 17

Cukup jelas

Pasal 18

Cukup jelas

Pasal 19

Cukup jelas

Pasal 20

Cukup jelas

Pasal 21

Cukup jelas

Pasal 22

Cukup jelas

Pasal 23

Cukup jelas

Pasal 24

Cukup jelas

Pasal 25

Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROVONSI BALI TAHUN 2015 NOMOR

…..

74