Upload
others
View
29
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
0
Perhutanan Sosial: Dari
Slogan Menjadi Program
Naskah Akademik Reformulasi Kebijakan Perhutanan Sosial
Sekretariat Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial Jakarta, January 2018
i
Perhutanan Sosial: Dari Slogan Menjadi Program
Naskah Akademik Reformulasi
Kebijakan Perhutanan Sosial
Tim Penulis:
R. Yando Zakaria (Koordinator) Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator) Asep Yunan Firdaus (Anggota) Didik Suharjito (Anggota) Muayat Ali Muhsi (Anggota) Suwito (Anggota) Roy Salam (Anggota) Tri Candra Aprianto (Anggota) Luluk Uliyah (Anggota)
Sekretariat Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial
Jakarta, Januari 2018
Pernyataan Naskah ini dimungkinkan dengan dukungan Rakyat Amerika melalui Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID). Isi dari naskah ini adalah tanggung jawab Sekretariat Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial dan tidak mencerminkan pandangan USAID atau Pemerintah Amerika Serikat.
ii
KATA PENGANTAR
Dokumen ini dengan sengaja disusun karena adanya keprihatinan berbagai pihak dalam
menghadapi kenyataan rendahnya capai program Perhutanan Sosial yang telah dicanangkan
Pemerintah yang dimaksudkan sebagai program prioritas pembangunan di perdesaan dalam kurun
waktu 2014 – 2019. Berbagai eleman yang dianggap menghambat kelancaran program itu telah
diurai satu per satu, lengkap dengan solusinya. Bahkan pihak Pemerintah sendiri mengakui adanya
hambatan-hambatan itu, sebagaimana yang disampaikan dalam beberapa kesempatan, seperti Pekan
Perhutanan Sosial 2017 dan Konferensi Internasional tentang Tenurial Sistem di penghujung
Oktober 2017 lalu.
Dengan maksud membantu Pemerintah membenahi berbagai aspek yang diperlukan untuk
memperlancar pencapaian target program perhutanan sosial, perlu penyatuan berbagai analisis,
gagasan, dan solusi pembenahan program Perhutanan Sosial ke depan. Ide penyatuan gagasan yang
disampaikan oleh Sekretariat Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial ini, suatu unit kerja
independen yang dibentuk oleh Kantor Staf Presiden untuk membantu tugas-tugas Kantor Staf
Presiden dalam mengendalikan penyelenggaraan program Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial,
kemudian mendapatkan dukungan teknis dan pendanaan dari USAID-BIJAK.
Atas dukungan teknis dan dana dari USAID-BIJAK itu, kemudian sejumlah penulis, yang pada
dasarnya telah menuliskan analisisnya untuk berbagai kesempatan, dikumpulkan dalam sebuah
kegiatan lokatulis selama 3 hari. Berdasarkan diskusi dan penulisan draf yang dihasilkan dari kegiatan
lokatulis itu para penulis itu selanjutnya diminta untuk menuliskan bagian-bagian dari dokumen yang
dibutuhkan secara mandiri.
Dengan kata lain, dokumen ini dapat tersusun atas dasar partisipasi beberapa kontribusi
penulis. Dalam pelaksanaannya, agar berbagai ide-ide cerdas yang berseliweran dalam forum FGD
tidak menguap begitu saja, beberapa orang note taker pun dikerahkan. Hasil kerja mandiri para
penulis ini kemudian disunting oleh Koordinator dan wakil koordinator kegiatan. Dalam proses
lokatulis Koordinator juga bertindak sebagai fasilitator proses diskusi. Hasil akhir proses penulisan
ini adalah sebagaimana yang kemudian tersaji dalam dokumen ini.
Sebagaimana yang dapat terbaca dalam dokumen ini, banyak hal telah dikupas dengan tuntas.
Termasuk rincian sejumlah langkah strategis untuk mempercepat pencapaian target program
Perhutanan Sosial. Meski begitu, tentu saja dokumen ini masih jauh dari sempurna. Misalnya,
dokumen ini belum mengandung argumen manfaat ekonomi dan ekologis yang dapat diperoleh dari
penyelenggaraan program Perhutanan Sosial ini. Padahal publik boleh jadi ingin tahu apa artinya
secara ekonomi dan ekologi jika lahan Perhutanan Sosial yang dicadangkan seluas 12,7 ha itu benar-
benar ‘jadi’. Apa pengaruhnya terhadap masalah struktur agraria yang timpang? Karena 50% juga
harus berisi kayu, apa dampak program ini pada masalah lingkungan cq. deforestasi?
Lebih dari itu, sebagai suatu program yang utuh, Perhutanan Sosial ini boleh jadi
mengandung 3 (tiga) sampai 4 (empat) tahap penyelenggaraan. Layaknya sebagai suatu program
penataan ulang sistem penguasaan dan pengusahaan sumber-sumber agraria, tentu saja program
perhutanan sosial tidak saja menyangkut urusan redistribusi akses dan penguasaan lahan, melainkan
iii
juga meliputi tahap penataan usaha perekonomian rakyat serta implementasi dan pengembangan
usaha. Setiap tahapan tentunya membutuhkan sejumlah persyaratan dan serangkaian kegiatan, dan
karenanya membutuhkan waktu pelembagaan yang boleh jadi membutuhkan waktu sekitar 10 hingga
15 tahun.
Bahasan tentang siklus program perhutanan sosial yang lebih utuh ini juga absen dalam
hiruk-pikuk wacana Perhutanan Sosial dalam tiga tahun terakhir ini. Padahal, pada masing-masing
tahap itu punya aspek technicalities dan tantangan yang berbeda-beda yang perlu mendapatkan
perhatian pula. Ulasan yang lebih lengkap itu diperlukan agar khalayak tidak mengalami misleading,
yang ditandai oleh hadirnya anggapan bahwa program Perhutanan Sosial ini akan ‘jadi’ cukup dalam
waktu 5 tahun saja! Padahal, boleh jadi masing-masing tahap itu butuh waktu 5 tahun, karena
sebagaimana yang telah kita alami dalam tahap percepatan pemberian izin ini, dalam aspek kebijakan
saja ada begitu banyak kebijakan yang perlu dibenahi. Permen LHK 83 Tahun 2016 tentang
Perhutanan Sosial, yang menjadi payung hukum penyelenggaraan program Perhutanan Sosial saat ini
saja baru muncul pada tahun ketiga setelah program dicanangkan. Padahal, untuk penyelenggaraan
Tahap Penataan Produksi misalnya, kebijakan-kebijakan menyangkut permodalan, baik dari sisi Badan
Layanan Umum di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan maupun perbankan jauh
dari kondusif.
Dengan catatan di atas, akan sangat baik bila ada pihak lain yang mau mengelola inisiatif
untuk mengembangkan dokumen ini menjadi dokumen yang lebih utuh. Dokumen yang lebih utuh
itu, katakanlah semacam Buku Putih Perhutanan Sosial, bisa menjadi benchmark yang dapat
diwariskan kepada rezim siapa pun di masa-masa yang akan datang.
Semoga.***
Koordinator Tim Penyusun
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR II
DAFTAR ISI IV
DAFTAR TABEL VI
DAFTAR GAMBAR VII
BAB 1. PENDAHULUAN 1
1.1. LATAR BELAKANG 1 1.2. ARAH KEBIJAKAN KE DEPAN 4 1.3. OPTIMALISASI PERAN PEMERINTAH DAERAH, KPH DAN DESA 5 1.4. ISI DOKUMEN 8
BAB 2. PERHUTANAN SOSIAL SEBAGAI JAWABAN SEJARAH KELAM PENGUSAHAAN HUTAN 9
2.1. DINAMIKA MASA LALU 9 2.2. MASA BARU, TANTANGAN BARU 11 2.3. NAWACITA DAN KETIMPANGAN EKONOMI DALAM PEMANFAATAN SUMBER DAYA HUTAN 14 2.4. KETERCAPAIAN PERHUTANAN SOSIAL DAN KEBUTUHAN REFORMULASI KEBIJAKAN 16 2.5. MEMPERCEPAT REALISASI PERHUTANAN SOSIAL 18
BAB 3. DINAMIKA KEBIJAKAN DAN IMPLEMENTASI PROGRAM PERHUTANAN SOSIAL20
3.1. PENGEMBANGAN KONSEP PERHUTANAN SOSIAL 20 3.2. KEBIJAKAN PERHUTANAN SOSIAL SAAT INI 24 3.3. KENDALA DAN REKOMENDASI PELAKSANAAN KE DEPAN 27
BAB 4. PERCEPATAN PENETAPAN HUTAN ADAT 30
4.1. PENGANTAR 30 4.2. BEBERAPA KENDALA PENGAKUAN HUTAN ADAT 31 4.3. PENGATURAN BEBERAPA HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT 35
4.3.1. HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN DAN KAWASAN HUTAN 35
4.3.2. PENGAKUAN PADA KEARIFAN LOKAL 36 4.3.3. PENGAKUAN DESA ADAT 36 4.3.4. HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN 37 4.3.5. BEBERAPA PERATURAN KEBIJAKSANAAN 37 4.3.6. MASALAH PERANGKAT HUKUM 38
4.4. MEMPERCEPAT PENGAKUAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS HUTAN ADAT 38 4.4.1 PENGANTAR 38 4.4.2 KEWENANGAN MENETAPKAN HUTAN ADAT 39 4.4.3 MENETAPKAN HUTAN ADAT YANG TELAH DIAKUI PEMERINTAH DAERAH 39 4.4.4. MENETAPKAN HUTAN ADAT DIMANA MHA TELAH DIKUKUHKAN PEMERINTAH DAERAH 41 4.4.5. MENDORONG DITERBITKANNYA KEPUTUSAN KEPALA DAERAH UNTUK PENETAPAN MHA
DAN WILAYAH ADAT 42 5.4.6. MEMFASILITASI PEMERINTAH DAERAH MEMBENTUK PERATURAN DAERAH 42
v
4.4.7. KOORDINASI DENGAN KEMENTERIAN DALAM NEGERI DAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL 42
4.4.8. MENSIASATI KEBIJAKAN YANG ADA 44 4.5. KESIMPULAN UMUM DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN 44
BAB 5. PERAN KPH DALAM PERHUTANAN SOSIAL 47
5.1. KELEMBAGAAN KPH 47 5.2. SINERGI KPH DAN PS 49 5.3. KPH MEMBANGUN JEJARING 51 5.4. REKOMENDASI 52
BAB 6. REVITALISASI KEBIJAKAN ANGGARAN UNTUK PERCEPATAN REALISASI PERHUTANAN SOSIAL 54
6.1. PENGANTAR 54 6.2. GAMBARAN UMUM KEBIJAKAN ANGGARAN PERHUTANAN SOSIAL 55 6.3. FRAGMENTASI ANGGARAN PERHUTANAN SOSIAL DAN KETIMPANGAN ESTIMASI 57 6.4. MENGHITUNG POTENSI KEBUTUHAN RIIL ANGGARAN PERCEPATAN PERHUTANAN SOSIAL 61 6.5. STRATEGI PEMENUHAN ANGGARAN PERCEPATAN PERHUTANAN SOSIAL 62 6.6. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 63
BAB 7. OPTIMALISASI DANA DESA UNTUK PERHUTANAN SOSIAL 65
7.1. PENGANTAR 65 7.2. MENGAPA DESA MENJADI SUBYEK HUKUM? 67 7.3. BAGAIMANA IMPLEMENTASINYA? 72 7.4. APA YANG HARUS DILAKUKAN DESA 73
BAB 8. KERANGKA KEBIJAKAN DAN KEWENANGAN PEMERINTAH DALAM PERCEPATAN PEMENUHAN TARGET PERHUTANAN SOSIAL 76
8.1. PERMASALAHAN POKOK 76 8.2. KERANGKA HUKUM PERHUTANAN SOSIAL YANG BERLAKU SAAT INI 77
8.2.1. TERKAIT KEWENANGAN 80 8.2.2. PELAYANAN TERPADU SATU PINTU 86 8.2.2. PROSEDUR PS YANG SEDANG BERJALAN 86
DAFTAR PUSTAKA 89
vi
DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Capaian Perhutanan Sosial (sampai November 2017) 2 Tabel 3.1. Kategori Perhutanan Sosial dan Statusnya 21 Tabel 3.2. Capaian Perhutanan Sosial (sampai November 2017) 26 Tabel 6.1. Rata-rata Anggaran per Hektar Untuk Menghasilkan Luas Hutan yang
Dikelola Masyarakat Pada Direktorat PKPS dan Balai PSKL Tahun 2015-2017
59
Tabel 6.2. Estimasi Biaya Pendampingan Masyarakat Dalam Mengusulkan Izin Perhutanan Sosial Oleh LSM
61
Tabel 8.1. Perbedaan asas pembagian kewenangan 85 Tabel 8.2. Pihak-pihak yang terlibat dalam proses penerbitan skema PS 87
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Pencapaian kumulatif izin Perhutanan Sosial sampai trimester akhir 2017 21
Gambar 2.2. Pencapaian izin Perhutanan Sosial sampai trimester akhir 2017 pasca terbitnya Permen LHK No 83 2016 tentang Perhutanan Sosial
21
Gambar 3.1. Birokrasi Perizinan PS 34 Gambar 3.2. Diagram Alur Percepatan Program Perhutanan Sosial 28 Gambar 5.1. Struktur Organisasi KPH 48 Gambar 5.2. Interaksi hutan lestari dan masyarakat sejahtera 51 Gambar 6.1. Rata-rata Jumlah Anggaran Perhutanan Sosial Secara Nasional Th. 2015-
2017 55
Gambar 6.2. Ratio Pertumbuhan Anggaran Program Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Tahun 2015-2017
56
Gambar 6.3. Tren Proporsi Anggaran Program Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Yang Di Distribusikan per Kegiatan TA. 2015-2017
56
Gambar 6.4. Pagu dan Realisasi Anggaran Ditjen PSKL Tahun 2015-2016 57 Gambar 6.5. Pertumbuhan Anggaran Kegiatan Penyiapan Areal Perhutanan Sosial Di
APBN TA 2015-2017 58
Grafik 6.6. Proporsi Anggaran Berdasarkan Bisnis Proses Penyiapan Areal Perhutanan Sosial Pada APBN 2017
63
Gambar 7.1. Skema Pengelolaan Perhutanan Sosial 69
Gambar 7.2. Skema Skenario pengembangan komoditas Perhutanan Sosial 71
1
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Salah satu persoalan yang dihadapi Indonesia dalam mencapai tujuan berbangsa dan bernegara
adalah melemahnya sendi-sendi perekonomian Nasional.1 Lebih lanjut, dalam dokumen yang
berisikan janji-janji politik dalam rangka Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2014
yang disebut Nawacita itu, disebutkan pula bahwa lemahnya sendi-sendi perekonomian bangsa,
antara lain, terlihat dari belum terselesaikannya persoalan kemiskinan, kesenjangan sosial,
kesenjangan antar-wilayah, kerusakan lingkungan hidup sebagai akibat dari eksploitasi sumber
daya alam yang berlebihan. Di dalam uraian tentang 9 (sembilan) agenda prioritas yang dijanjikan
antara lain disebutkan pula bahwa Pemerintah akan ‘menjamin kepastian hukum hak kepemilikan
tanah, penyelesaian sengketa tanah dan menentang kriminalisasi penuntutan kembali hak tanah
masyarakat’ (Nawacita 4) serta ‘mendorong land reform dan program kepemilikan tanah seluas 9
juta hektar’ (Nawacita 5).
Pelaksanaan Reforma Agraria ini menyasar empat kategori tanah, yakni: (i) Tanah-tanah
legalisasi aset yang menjadi objek dan sekaligus arena pertentangan klaim antara kelompok
masyarakat dengan pihak perusahaan dan instansi pemerintah, dan tanah-tanah yang sudah
‘dihak-i’ masyarakat namun kepastian hukum nya belum diperoleh penyandang haknya; (ii) Tanah
Objek Reforma Agraria (TORA) untuk diredistribusikan kepada kelompok masyarakat miskin
pedesaan; (iii) Hutan negara yang dialokasikan untuk desa dan masyarakat desa melalui skema-
skema hutan adat dan perhutanan sosial termasuk Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa
(HD), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), dan sebagainya; dan (iv) Pengelolaan dan pengadaan lahan
aset desa untuk diusahakan oleh rumah tangga petani miskin secara bersama. Kategori pertama
dan kedua adalah tanah seluas sekitar 9 (sembilan) juta hektar yang termuat dalam janji politik
Jokowi-JK dalam Nawacita. Sedangkan kategori ketiga adalah hutan negara seluas sekitar 12,7
juta hektar, yang belakang disebutkan akan direalisasikan melalui program perhutanan sosial
(PS).2
Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2016 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun
2017 pun kemudian dikeluarkan. Di dalamnya ditegaskan kembali bahwa reforma agrarian
menjadi salah satu prioritas nasional yang dijalankan pemerintah pusat hingga daerah. Selasa
14/03/17 Presiden dan Wakil Presiden melakukan rapat koordinasi teknis terbatas dengan
pimpinan lembaga tinggi negara. Pada kesempatan itu kembali Presiden dan Wakil Presiden
menegaskan target program reforma agraria itu.
Masalahnya, meski masa pemerintahan Jokowi-JK telah melampaui tahun ketiga, dengan
menggunakan skenario pelaksanaan yang ada saat ini, capaian target pelaksanaan program
Perhutanan Sosial saja masih di bawah angka 10% dari target. Itu pun sudah memasukan capaian
program sebelum Jokowi – JK memerintah.
1 Joko Widodo dan Jusuf Kalla, 2014. Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian. Visi-Misi dan Program Aksi. 2 Sebagaimana termuat dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.
2
Tabel 1.1. Capaian Perhutanan Sosial (sampai November 2017)3
No Skema Pra Kabinet Kerja 2007 - 2014
Kabinet Kerja Total (Ha)2015 2016 2017
1 HD 78.072,00 63.587.00 81.129,83 446.730,38 669.519,212 HKm 153.725,15 20.945,06 2.465,46 109.343,31 286.478,98 3 HTR 198.594,87 2.815,42 14.131,00 23.426,61 238.967,90 4 Kemitraan 18.712,22 16.300,99 24.468,89 30.158,81 89.640,91 5 Hutan Adat - - 13.121,99 3.341,25 16.463,24 Jumlah 449.104,23 103.648,47 122.195,18 613.000,361 1.301.070,24
Realisasi program yang rendah itu telah diprediksi Wiratno (2016), Direktur Penyiapan
Kawasan Perhutanan Sosial, Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan
(PSKL).4 Menurut Wiratno, kemampuan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
sebagaimana yang ada saat ini, merujuk data 2010-2014 dan 2015 - Juli 2016, nyatanya
Pemerintah hanya mampu menyerahkan hak kelola dan/atau izin seluas 200.000-300.000
hektar/tahun. Artinya, target rata-rata 2,5 juta hektar/ tahun pada periode 2015-2019 sudah
pasti tidak akan tercapai.5
Masalah lain yang juga dirujuk sebagai kendala utama, yang sering dikemukakan oleh
Pemerintah sendiri, adalah adanya hambatan pendanaan program yang relatif terbatas. Namun,
menurut Dr. Mubariq Ahmad, seorang ekonom senior cum praktisi PS, sebenarnya pemerintah
punya banyak sekali dana untuk kegiatan dengan tema PS ini. Sayangnya dana itu dikelola dalam
kapling-kapling kecil dan dikuasai ‘raja-raja kecil’ yang hasilnya kecil juga. Menurutnya, perlu
dilakukan konsolidasi program dan dananya disatukan dalam satu sistem pengendalian.6
Kendala lain dari rendahnya realisasi program PS adalah panjangnya rantai perizinan, dari
tingkat kelompok tani hutan hingga menteri. Walaupun ada pengecualian pada provinsi yang telah
memasukkan PS dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah atau mempunyai
peraturan gubernur tentang PS dan memiliki anggaran dalam APBD.
Padahal, kawasan hutan yang telah dialokasikan Pemerintah untuk program Perhutanan
Sosial ini lebih dari 10% dari seluruh luas kawasan hutan keseluruhan. Dengan kata lain, jika
target yang telah dicanangkan Pemerintah tersebut dapat direalisasikan secara optimal, maka
rencana pemerintah untuk melakukan pemerataan pembangunan, pengurangan kemiskinan, dan
penyediaan lapangan kerja melalui perbaikan tata guna lahan dan pembentukan kekuatan
ekonomi rakyat diharapkan dapat tercapai.
3 Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, November 2017. 4 Wiratno, 2016. “Keberpihakan, Kepedulian, Kepeloporan, Konsistensi, Kepemimpinan Masa Depan Perhutanan Sosial di Indonesia”. Makalah disampaikan pada Semiloka Nasional Hutan Indonesia, Reposisi Tata Kelola Hutan Indonesia untuk Mewujudkan Kedaulatan Pangan, Kelestarian Lingkungan, dan Kesejahteraan Rakyat, Hotel Sahid, Jakarta, 1-2 September 2016, Sebagaimana bisa diakses pada http://konservasiwiratno.blogspot.co.id/2016/09/keberpihakan-kepedulian-kepeloporan.html?m=1 Saat ini Wiratno menjabat Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekologi (KSDAE), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 5 Lihat juga Didik Suharjito, tanpa tahun. “Mempercepat Realisasi Perhutanan Sosial”, makalah yang dipresentasikan/dipersiapkan untuk …… 6 Komunikasi Yando Zakaria dengan Mubariq Ahmad, suatu hari di awal tahun 2017.
3
Selain beberapa kendala yang sudah disebutkan, rendahnya realisasi pelaksanaan program
reforma agraria itu juga disebabkan oleh (a) data tentang potensi tanah obyek RA masih belum
terkonsolidasi dengan baik, dan (b) juga belum seluruhnya clear and clean; (c) peran Pemerintah
daerah dan desa yang belum terlalu jelas dalam pelaksanaan program reforma agraria; dan (d)
kapasitas masyarakat untuk mengajukan usulan yang relatif rendah.7
Sementara itu, penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di perdesaan juga
masih memiliki sejumlah kendala lain yang membuat penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan di perdesaan tidak optimal. Faktanya, kurang dari 5% dari jumlah yang telah
memiliki tata batas desa definitif (BIG, 2017); hampir 50% dari jumlah desa yang ada memiliki
konflik tata batas dengan kawasan hutan (Renstra Kemenhut 2009); Skema Pembagian dan
Penggunaan Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) belum optimal (Monev KSP (2017),
dll.); dan banyak BUMDes belum menemukan ranah kegiatan yang menguntungkan, sebagaimana
yang banyak dilaporkan dalam media massa akhir-akhir ini.
Sejumlah kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan di
perdesaan ini harus pula segera diatasi. Salah satu strategi yang dapat diupayakan adalah menjadi
pelaksanaan program reforma agraria sebagai pintu masuk untuk penyelesaian permasalahan
pemerintahan dan pembangunan desa dimaksud.
Berbagai permasalahan berikut solusi yang perlu diambil telah disuarakan berbagai pihak,
sebagaimana yang mengemuka pada Pesona 2017 yang diselenggarakan 6-8 September 2017 dan
Pertemuan Nasional Kelompok Kerja Perhutanan Sosial yang diselenggarakan 20 Oktober 2017.
Misalnya, soal rantai perizinan yang panjang (yang harus diterbitkan oleh Menteri). Jika
dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.83 / MENLHK / SETJEN /
KUM.1 / 10/2016 tentang Perhutanan Sosial, perizinan dapat didelegasikan kepada Gubernur,
terutama untuk provinsi-provinsi yang memiliki program perhutanan sosial di dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah baru bersifat pengecuali, ke depan penyerahan kewenangan
kepada daerah ini perlu menjadi kebijakan regular, dengan penguatan kapasitas aparat di tingkat
daerah itu tentunya. Alternatif ini sejalan dengan pembagian wewenang antara tingkat Pusat dan
Daerah sebagaimana disahkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah. Dalam praktiknya, proses penerbitan hak pengelolaan dan / atau lisensi
dapat didelegasikan ke Dinas Kehutanan, misalnya. Sehingga peran Pemerintah Pusat c.q.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berfungsi pada tingkat pembuatan kebijakan dan
pengendalian di lapangan.
7 Beberapa kajian yang dilakukan baru-baru ini, sebagaimana yang dilakukan oleh Soraya Afif, 2017. ”……………”; “Land and Forest Governance Index/LFGI. Mengukur Kinerja Pemerintah Propinsi dalam Pengelolaan Hutan dan Lahan di 8 (Delapan) Propinsi di Indonesia (ICEL, The Asia Foundation, and UKAID); Usman, 2017. “Percepatan Perhutanan Sosial: Memperkuat Tata Kelola (Forum Transparansi Anggaran/FITRA Riau); serta Heriyanto, et.al., , 2017. “Inovative Finacing for Social Forestry Development (Kerjasama IPB dan UNDP Indonesia), mengkonformasi beberapa persoalan yang telah menghambat pencapaian target program ini. Masalah-masalah ini pun sudah mengemuka pada masa sebelumnya, sebagaimana yang disampaikan para-pihak dalam lokakarya “Strategi Penguatan Perhutanan Sosial dan Peran CSO, Bogor, 22 – 23 Oktober 2015”, sebagaimana yang dilaporkan Purwanto, ed., 2017. Sebagaimana akan dibahas dalam bagian lain, masing-masing kajian ini juga telah disertai dengan sejumlah usulan untuk mengatasi masalah yang ada, yang perlu dipertimbangkan untuk dijadikan kebijakan alternatif di masa mendatang.
4
Disisi lain, dalam dekade terakhir, untuk mengoptimalkan pengelolaan hutan, semua
kawasan hutan di Indonesia telah didistribusikan habis ke dalam sejumlah Unit Pengelolaan Hutan
(KPH) (Kementerian Kehutanan, 2011). Oleh karena itu, untuk mempercepat proses perizinan,
tidak mungkin mendapat persetujuan atas usulan hak dan perizinan pengelolaan PS yang
diterbitkan oleh kepala KPH. Mengetahui fakta bahwa KPH tidak memiliki kapasitas dan terlibat
dalam beberapa masalah, itu adalah masalah lain. Kondisi ini merupakan hasil kebijakan KPH
selama ini. Artinya bila KPH akan menerima wewenang delegasi tentang persetujuan hak dan /
atau perizinan PS, ada beberapa amandemen kebijakan tentang keberadaan KPH. Ini termasuk
pengembangan kapasitas untuk menerapkan otoritas baru. Pilihan ini masuk akal karena sejak
awal KPH diasumsikan mampu menentukan rencana pengelolaan tata ruang dan untuk
memahami karakteristik masyarakat lokal dan / atau masyarakat adat sebagai kandidat potensial
pengelola PS.
Beberapa solusi untuk mengatasi masalah keuangan pun telah disuarakan. Oleh sebab itu,
catatan yang dikemukakan Wiratno tentang perlunya struktur kelembagaan, regulasi, dana, dan
kekuatan jaringan kerja multipihak untuk ditinjau ulang harus mendapat perhatian yang serius.
1.2. Arah Kebijakan ke Depan
Setidaknya ada 6 arahan kebijakan untuk mempercepat pencapaian target program Perhutanan
Sosial ke depan. Masing-masing adalah sebagai berikut:
1. Untuk terselenggaranya program RA perlu dilakukan konsolidasi semua peta terkait
obyek TORA dan PS pada pokja koordinator. Setidaknya peta indikatif TORA, Peta
Indikatif Area Perhutanan Sosial (PIAPS) dan peta dasar administratif desa yang
dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik menjadi dasar konsolidasi peta. Pengaturan
selanjutnya dilakukan oleh satu tim pokja yang telah mendapatkan mandat pelaksana
program ini. Konsolidasi dokumen obyek TORA dan PS ini untuk memudahkan proses
sosialisasi ke daerah-daerah yang wilayahnya masuk dalam peta indikatif baik TORA
maupun PS.
2. Penyelenggaraan program RA yang sudah ada sekarang dilengkapi dengan pendekatan
tambahan yang baru, yakni menjadikan desa sebagai subyek penerima obyek TORA dan
PS. Pengaturan lebih lanjut tentang keterlibatan kelompok-kelompok masyarakat di desa-
desa yang bersangkutan, terutama kelompok-kelompok marjinal, akan dibahas melalui
mekanisme musyawarah desa, sebagaimana yang telah diatur oleh UU Desa;
3. Pelaksanaan program RA diutamakan di desa-desa yang masuk dalam Peta Indikatif PS;
juga desa-desa yang saat ini memiliki konflik batas dengan kawasan hutan (overlay peta
indikatif obyek TORA dan PS dengan daftar desa yang memiliki konflik tata batas dengan
kawasan hutan); sekaligus mempertimbangkan desa-desa yang merupakan peta usulan
baru dari masyarakat.
5
4. Dalam hal obyek TORA dan PS di desa (-desa) terpilih itu terkandung klaim masyarakat
adat, melalui musyawarah desa atau musyawarah antar-desa (MAD), obyek TORA dan
PS ditetapkan sebagai hutan adat.
5. Delegasi Kewenangan kepada Gubernur cq. PPS dalam Pemberian Izin PS, tidak
terkecuali pada provinsi yang belum memasukkan PS dalam rencana pembangunan jangka
menengah daerah atau yang belum mempunyai peraturan gubernur tentang PS dan yang
belum memiliki anggaran dalam APBD. Hal ini sebenarnya sesuai dengan pembagian
kewenangan antara Pusat dan Daerah sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
6. Terkait dengan upaya redistribusi dan legislasi tanah, kekurangan juru ukur yang saat ini
menjadi salah satu hambatan pelaksanaan program, dapat diatasi dengan kesepakatan
bersama antara Menteri ATR, Menteri LHK, dan Menteri Desa PDTT untuk menjadikan
juru ukur LHK dan para pendamping desa sebagai juru ukur dalam rangka identifikasi
data TORA.
Agar keenam kebijakan pokok untuk mempercepat pencapaian target program reforma itu
tercapai maka diperlukan pula tiga langkah hukum utama. Masing-masing adalah sebagai berikut:
1. Diberlakukannya Instruksi Presiden tentang Percepatan Pencapaian Target Program
Reforma Agraria sebagai dasar hukum langkah-langkah percepatan pencapaian target
program reforma agraria ini;
2. Meninjau-ulang peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penyelenggaraan
program reforma agraria yang teridentifikasi dapat menghalangi pencapaian target
reforma agraria; dan
3. Diaktifkannya tim pelaksana yang terwujud dalam Pokja dan tim pengendali yang
bekerja untuk pencapaian target pelaksanaan reforma agraria.
1.3. Optimalisasi Peran Pemerintah Daerah, KPH dan Desa
Sebagaimana telah disebutkan, salah satu persoalan yang menghambat kelancaran pencapaian
target program reforma agraria, khususnya program perhutanan sosial, adalah panjangnya rantai
perizinan (yang harus dikeluarkan oleh Menteri). Namun demikian, sebagaimana diatur dalam
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial, izin dapat saja didelegasikan
kepada Gubernur, khususnya pada propinsi yang telah memiliki program perhutanan sosial dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah-nya. Adanya pengecualian itu sebenarnya
mengindikasikan adanya kemungkinan pendelegasian kewenangan. Hal ini sebenarnya sesuai
dengan pembagian kewenangan antara Pusat dan Daerah sebagaimana telah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 83 Tahun 2016 tentang
Perhutanan Sosial menyatakan bahwa “Pemerintah dan pemerintah daerah memfasilitasi
Pemegang HPHD, IUPHKm, IUPHHK-HTR, Kemitraan Kehutanan dan Pemangku Kehutanan
6
(Pasal 61 ayat 1)”. “Fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi fasilitasi pada tahap
usulan permohonan, penguatan kelembagaan, peningkatan kapasitas termasuk manajemen usaha,
pembentukan koperasi, tata batas areal kerja, penyusunan rencana pengelolaan hutan desa,
rencana kerja usaha, dan rencana kerja tahunan, bentuk-bentuk kegiatan kemitraan kehutanan,
pembiayaan, pasca panen, pengembangan usaha dan akses pasar” (Pasal 61 ayat 2).
Amanat tersebut tentu sejalan dengan peran Pemerintah Kabupaten sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Antara lain dinyatakan
bahwa, dalam bidang pemberdayaan masyarakat dan Desa, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
berwenang untuk menyelenggarakan Penataan Desa; Fasilitasi kerjasama antar Desa dalam satu
Kabupaten; Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan administrasi pemerintahan Desa.
Dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa, jajaran pemerintah di atas Pemerintah Desa
berkewajiban membina dan mengawasi (ps. 112 UU Desa). Secara spesifik Pasal 115 UU Desa
menyatakan bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban melakukan pembinaan dan
pengawasan penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Salah satu wujudnya adalah melakukan fasilitasi
penyelenggaraan pemerintahan desa; melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan
pemerintahan desa; melakukan upaya percepatan pembangunan perdesaan; dan melakukan upaya
percepatan pembangunan desa melalui bantuan keuangan, bantuan pendampingan, dan bantuan
teknis.
Program perhutanan sosial dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan desa jelas
merupakan bagian dari pembangunan desa yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui
pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana Desa, pengembangan potensi
ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan (UU
Desa, Pasal 78 ayat 1).
Dengan argumentasi hukum tersebut di atas, maka Kepala Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota tidak perlu ragu untuk turut mendukung lancarnya program perhutanan sosial
yang menjadi prioritas Presiden Jokowi ini. Dukungan itu dapat berupa kebijakan yang
mengarahkan penggunaan sumber daya pemerintah kabupaten, termasuk pengerahan birokrasi
(satuan kerja pemerintah daerah/SKPD) dan keuangan daerah. Termasuk himbauan pada
pemerintah desa untuk secara sungguh-sungguh memanfaatkan peluang yang terbuka ini.
Oleh sebab itu, alih-alih sekedar sebagai pengecualian, pendelegasian kewenangan kepada
provinsi cq. gubernur ini justru dapat diperkuat posisinya sebagai pilihan utama untuk
menggantikan posisi Pusat cq. Menteri LHK. Dalam praktiknya, proses penerbitan hak
pengelolaan dan/atau izin itu bisa didelegasikan kepada Dinas Kehutanan, misalnya. Dengan
demikian peran Pusat cq. Menteri LHK betul-betul berfungsi pada tingkat penyusunan kebijakan
dan pengendalian kegiatan di tingkat lapangan. Antara lain, kebijakan tentang kawasan hutan yang
dapat dialokasikan.
Demikian pula, dalam satu dasa warsa terakhir, untuk mengoptimalkan pengelolaan
hutan, keseluruhan kawasan hutan di Indonesia telah terbagi habis ke dalam sejumlah Kesatuan
7
Pengelolaan Hutan (KPH) (Kementerian Kehutanan, 2011).8 Maka, dalam rangka mempercepat
proses perizinan, bukan tidak mungkin persetujuan atas permohonan hak dan izin pengusahaan
PS dikeluarkan oleh pimpinan KPH.9
Bahwa saat ini KPH masih belum memiliki kapasitas dan masih dililit oleh sejumlah
permasalahan, itu soal yang lain lagi. Kondisi itu tidak lain akibat dari kebijakan tentang KPH
selama ini. Artinya, jika memang KPH yang akan menerima pendelegasian kewenangan
persetujuan hak dan/atau izin PS itu, tentu ada sejumlah perubahan kebijakan tentang keberadaan
KPH yang harus dilakukan. Termasuk pengembangan kapasitas untuk menjalankan kewenangan
yang baru ini.
Pilihan ini menjadi masuk akal karena toh KPH memang sejak dari awal diasumsikan
sudah dapat menentukan ruang kelola dan mampu memahami karakter masyarakat lokal
dan/atau masyarakat adat calon pengelola PS.
Ingin dikatakan di sini, sebagaimana dikemukakan Prof. Hariadi Kartodihardjo, Guru
Besar Institute Pertanian Bogor,10 sejatinya di mana kewenangan pemberian hak dan/atau izin itu
akan diletakkan bukanlah soal substantif dalam menuju pengelolaan hutan yang legal dan
legitimate. Melainkan merupakan ekspresi dari perebutan kesempatan untuk menjadikan proses
persetujuan PS sebagai ajang transaksional ekonomi rente. Peluang ini harus diminimalisir dengan
mengedepankan masalah pengelolaan kawasan hutan yang lebih rasional sebagai interest utama
yang harus dikedepankan di dalam proses perumusan kebijakan.
Untuk mengatasi masalah keterbatasan dana, pada tingkat tapak, ada tiga strategi yang
dapat dijalankan untuk memperkuat inisiatif perhutanan sosial di tingkat lapangan. Pertama,
mengintegrasikan pengelolaan hutan desa dan hutan adat ke dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Desa (RPJMDes). Kedua, mengoptimalkan pengolahan potensi yang ada menjadi
produk yang memiliki nilai jual (seperti kasus buah kepayang (pangium edule), kopi, dan jahe
misalnya). Ketiga, melakukan restorasi lahan.
Ketiga strategi tersebut pada muaranya adalah menjadikan pemerintah desa dan
masyarakat desa sebagai aktor utama dalam pengelolaan hutan. Termasuk upaya untuk
penyelamatan lingkungan. Dengan begitu, pengembangan Perhutanan Sosial di Kabupaten
Merangin merupakan bagian dari kategori pemberdayaan masyarakat desa.
Dalam konteks penggunaan anggaran desa maka penyelenggaraan perhutanan sosial juga
dapat dimasukkan dalam prioritas pembangunan dan masuk ke dalam berbagai dokumen
perencanaan dan penganggaran di tingkat desa (RPJMDes, RKPDes, dan APBDes).
Strategi kerja yang demikian itu sesuai pula dengan Peraturan Menteri Desa
Pembangunan Desa Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 1 tahun 2015 pasal 9 tentang Bidang
Pembangunan Desa, yang antara lain disebutkan dalam pengembangan ekonomi lokal desa dan
8 Kementerian Kehutanan, 2011. Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi. Jakarta: Kementerian Kehutanan. 9 Usul yang sama juga terkandung dalam Soerhardjito, tt., op.cit., dan Hariyanto, et.al., 2017, op.cit. 10 Komunikasi Yando Zakaria dengan Prof Hariadi Kartodihardjo. Januari 2017.
8
pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan desa. Dalam pasal 14, disebutkan pula bahwa
pembangunan desa juga meliputi fasilitasi pembentukan kelompok tani.
Bahkan, saat ini, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Desa dan Pembangunan
Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2017 tentang Penetapan Prioritas
Penggunaan Dana Desa Tahun 2018 yang baru saja ditandatangani tanggal 22 September 2017
lalu, sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1, khususnya pada butir 3 tentang Kegiatan
Prioritas Bidang Pemberdayaan Masyarakat Desa, huruf c. angka 1), salah dua kegiatan yang
menjadi prioritas adalah kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan hutan desa dan hutan sosial.
Demikian pula, sebagaimana diatur pada angka 5), salah dua bidang usaha yang dapat
dikembangkan oleh Badan Usaha Milik Desa adalah kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan
hutan desa dan hutan sosial.
Artinya, Desa sangat berpeluang untuk mengambil posisi sebagai garda terdepan dalam
pemberdayaan masyarakat dan pemanfaatan sumber daya hutan secara berkelanjutan melalui
program yang disebut perhutanan sosial itu.
1.4. Isi Dokumen
Dokumen ini pada dasarnya dimaksudkan sebagai pendukung yang berisikan argumentasi-
argumentasi akademik atas beberapa solusi yang ditawarkan dalam mempercepat pencapaian
target program Perhutanan Sosial ke depan, sebagaimana secara ringkas telah diuraikan dalam
bagian-bagian terdahulu. Oleh sebab itu, dokumen ini akan berisikan hal-hal berikut ini:
• Bab 1. Pendahuluan
• Bab 2. Perhutanan Sosial Sebagai Jawaban Sejarah Kelam Pengelolaan Hutan
• Bab 3. Dinamika Kebijakan dan Implementasi Program Perhutanan Sosial
• Bab 4. Percepatan Penetapan Hutan Adat
• Bab 5. Peran KPH dalam Perhutanan Sosial
• Bab 6. Revitalisasi Kebijakan Anggaran Untuk Percepatan Realisasi Perhutanan Sosial
• Bab 7. Optimalisasi Dana Desa Untuk Perhutanan Sosial
• Bab 8. Kerangka Kebijakan dan Kewenangan Pemerintah Dalam Percepatan Pemenuhan
Target Perhutanan Sosial
9
BAB 2. PERHUTANAN SOSIAL SEBAGAI JAWABAN SEJARAH KELAM PENGUSAHAAN HUTAN
2.1. Dinamika masa lalu
Pengelolaan hutan berbasis masyarakat adalah salah satu program strategis pembangunan
kehutanan di Indonesia. Pelibatan, pemberian akses dan hak kepada masyarakat untuk
memanfaatkan dan mengelola sumber daya hutan telah menjadi keniscayaan dan paradigma untuk
mewujudkan pengelolaan hutan lestari, sekaligus menyejahterakan masyarakat yang tinggal di
dalam dan sekitar hutan.
Lalu, keniscayaan dan paradigma ini melahirkan pertanyaan bagi para penggiat kehutanan,
tentang perhutanan sosial, “Apakah masyarakat mampu mengelola hutan? Apakah hutan dapat
lestari apabila pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat? Mampukah masyarakat
merestorasi kawasan hutan yang terdegradasi dan terdeforestasi?”
Gerakan pengelolaan hutan berbasis masyarakat—atau kehutanan masyarkat yang saat
ini lebih dikenal dengan perhutanan sosial—lahir dari sebuah proses panjang dan tidak bisa lepas
dari sejarah pengelolaan hutan di Indonesia. Kehutanan masyarakat lahir sebagai respon terhadap
kegagalan kehutanan konvensional dalam menjamin kelestarian hutan. Kehutanan konvensional
telah melahirkan kerusakan hutan dan deforestasi sangat massive dan terjadi hampir di beberapa
negara yang mempunyai hutan tropis luas seperti brazil, filipina, Vietnam, Thailand, India,
Kamerun, dan lain-lain. Kehutanan konvensional yang juga menjadi kebijakan pemerintah,
cenderung menggunakan pendekatan timber management, yang lebih memandang bahwa hutan
adalah sumber ekonomi yang menekankan pada pemanfaatan dan eksploitasi sumber daya alam
hutan secara besar-besaran dengan meniadakan eksistensi masyarakat lokal dan masyarakat adat
yang terkait dan bergantung dengan sumber daya alam hutan tersebut. Kebijakan pemerintah
telah memberikan izin kepada perusahaan swasta dan perusahaan negara untuk mengurus
seluruh hutan negaranya untuk dimanfaatkan oleh perusahaan swasta dan perusahaan negara.
Pendekatan kapitalistik dari perusahaan-perusahaan itu, tentu akan lebih berorientasi pada
keuntungan bagi perusahaan dibandingkan dengan memberi peluang hidup dan dipertahankannya
nilai-nilai budaya masyarakat terhadap hutan. Pendekatan kapitalistik ini didukung dengan
pendekatan represesi dan polisional untuk mengamankan asset sumber daya hutannya.
Intervensi pemerintah dan pengusaha swasta dalam pemanfaatan sumber daya alam
hutan seperti di Filipina, Malaysia, Indonesia, Brazil, India, Thailand, Cameron dan lain-lain telah
menyebabkan terdesaknya ruang hidup masyarakat untuk memperoleh manfaat dari hutan.
Antiklimak dari proses ini adalah hilangnya ruang hidup masyarakat (Lebensraum) karena
masuknya industri kehutanan modern yang ekspansif dan ekstensif sifatnya. Pada kasus di
Indonesia, masyarakat yang hidup di sekitar hutan dan kehidupannya sangat bergantung pada
sumber daya alam hutan dihadapkan pada keadaan sangat sulit ketika harus berhadapan dengan
kebijakan pemerintah yang menyerahkan seluruh hutan negaranya untuk dimanfaatkan oleh
perusahaan swasta dan perusahaan negara. Orientasi keuntungan bagi perusahaan lebih
10
dikedepankan dibandingkan dengan memberi peluang hidup dan dipertahankannya nilai-nilai
budaya masyarakat terhadap hutan. Antiklimaks lainnya dari praktik pemanfaatan sumber daya
hutan dengan menggunakan model-model kehutanan modern dan industrial adalah laju
kerusakan hutan (deforestasi) yang tinggi. (Awang, 2005)
Mengacu pada Awang 2005, atau beberapa referensi lain, model penguasaan negara atas
sumber daya hutan dan memandang hutan sebagai sumber ekonomi, sebenarnya sudah
berlangsung sejak zaman kolonial Belanda, Jepang, yang berlanjut hingga Orde Lama, Orde Baru,
dan Era Reformasi. Bahkan setelah masa reformasi di awal tahun 2000-an, komoditas kayu masih
menjadi andalan sebagai sumber devisa negara.
Pada zaman kolonial Belanda, sumber daya hutan (SDH) di Jawa sudah memasuki masa
eksploitasi tahap kedua, karena eksploitasi tahap pertama sesungguhnya sudah dimulai pada
zaman raja-raja. Pada zaman kolonial pelaku eksploitasi SDH adalah VOC dan pengusaha etnik
Cina. Penebangan hutan pada masa itu diutamakan untuk memenuhi kebutuhan kayu jati guna
pembuatan kapal-kapal kayu yang industri perkapalannya berada di pantai utara Jawa dan industri
perkapalan yang ada di Rotterdam dan Amsterdam (Peluso, 1992; Simon, 1999; Awang 2005).
Pembuatan kapal-kapal kayu yang dipergunakan untuk kepentingan perdagangan hasil-hasil bumi
dari Indonesia ke Luar Negari.
Sedang di luar jawa, Kegiatan eksploitasi kayu terjadi sebelum tahun 1967 dimulai dengan
cara-cara sporadis yang dilakukan oleh masyarakat melalui sistem “banjir kap” yaitu hutan
ditebang pada musim kemarau kemudian kayu-kayunya diletakkan dekat sungai, dan pada musim
hujan kayu-kayu tersebut dapat diangkut ke sungai untuk dipasarkan. Di Kalimantan Timur
sebelum tahun 1967 sebagian hutan alam diusahakan oleh Perhutani dan dicatat sebagai hal yang
tidak berhasil dalam pengelolaannya. Deforestasi di Kalimantan Timur dan di tempat-tempat lain
di Indonesia disebabkan oleh pembukaan wilayah untuk kegiatan pemukiman penduduk
(transmigrasi), migrasi penduduk secara spontan, kegiatan penebangan kayu dan pembukaan
wilayah hutan untuk eksploitasi hutan (Potter 1991; Awang 2005).
Pasca Kemerdekaan, terutama pada masa Pemerintahan Orde Baru, sumber daya hutan
menjadi andalan pertumbuhan ekonomi Indonesia setelah minyak dan gas bumi. Kebijakan
pemerintah Orde Baru terhadap pemanfaatan SDH adalah memanfaatkan semaksimal mungkin
hutan alam primer sehingga kegiatan tersebut mampu membuka isolasi wilayah-wilayah di luar
Jawa, dan sekaligus mendatangkan devisa yang besar bagi kepentingan pembangunan nasional.
Dalam Hidayat (2008) menyebutkan bahwa Pemerintahan Soeharto memperoleh devisa asing
yang besar industry kehutanan, keseluruhannya mencapai 3 miliar US dolar tahun 1990-an, dan
ini merupakan pendapatan nasional terbesar kedua setelah sektor minyak bumi.
Pada era orde baru, hutan-hutan alam dieksploitasi melalui pemberian konsesi-konsesi
pengusahaan berupa HPH (Hak Pengusahaan Hutan) dengan menebang kayu gelondongan (log)
dan mengekspornya. Sumatera dan Kalimantan adalah sasaran pertama eksploitasi hutan karena
mempunyai stok kayu komersial terbesar, dan paling dekat dengan pusat pasar asia, seperti
Singapura, Hongkong, Taiwan, Korea Selatan, dan Jepang. Dalam hubungan ini, perusahaan
swasta, baik dalam negeri dan transnasional diizinkan untuk mengoperasionalkan kegiatan
usahanya di sektor kehutanan di Indonesia, yaitu dengan mendaftarkan perizinan usahanya di
11
Departemen Kehakiman. Banyak perusahaan transnasional telah membentuk joint operation
dengan perusahaan swasta dalam negeri untuk mengoperasikan konsesi HPH. (Hidayat, 2008).
Menurut Awang (2005), kebijakan pemerintah Orde Baru memberikan izin pengusahaan
kepada pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) menandai babak baru sistem eksploitasi hutan
alam tropika di luar Jawa yang dimulai secara menyeluruh pada tahun 1968. Sampai tahun 2000
jumlah HPH di Indonesia mencapai sekitar 600 unit HPH dengan total hutan produksi seluas 64
juta ha. Dari kegiatan eksploitasi oleh HPH tersebut pada tahun 1985 terjadi laju kerusakan
hutan (deforestasi) sebesar antara 600.000 ha – 1.2 juta ha per tahun (World bank, 1988a,
1988b; Scott, 1989). Selanjutnya Holmes menyebutkan bahwa pada periode 1985-1997 tingkat
deforestasi di Indonesia mencapai 1,7 juta ha per tahun. Dengan kondisi seperti ini maka
diramalkan bahwa pada tahun 2005 hutan dataran rendah non rawa akan hilang di Sumatera, dan
di kalimantan akan hilang pada tahun 2010 (FWI, 2001:9). Deforestasi pada sistem pemerintahan
Orde Baru dinilai banyak pihak paling besar dan paling serius.
Dan sebaliknya, Hidayat (2008) menyebutkan bahwa keadaan ekonomi masyarakat
sebagai pengguna lebih awal atas sumber daya hutan dan produksi kayu menjadi lebih buruk,
setelah beroperasinya konsesi HPH di berbagai daerah oleh pengusaha transnasional dan dalam
negeri, sebagaimana temuan lapangan oleh penelitian. Meskipun, pemerintah masih mengakui
hak-hak hutan adat masyarakat lokal, masyarakat lokal hanya diperbolehkan untuk
mengumpulkan produksi sumber daya hutan-non hutan. Dengan demikian, konflik lahan antara
masyarakat lokal dan pemilik konsesi HPH telah dilaporkan terjadi luar di berbagai daerah.
2.2. Masa baru, tantangan baru Dalam Era Reformasi, pembangunan dan pengelolaan hutan menghadapi berbagai tantangan baru.
Terdapat hal dilematis dalam kebijakan kehutanan. Disatu sisi, Pemerintah Pusat dianggap
mendominasi pengambilan keputusan dalam pengelolaan hutan. Namun, disisi lain ketika
kabupaten beserta masyarakatnya diberikan kesempatan yang lebih luas untuk mengelola hutan
yang ada di wilayahnya, di beberapa daerah terjadi ledakan pemberian izin konsesi skala kecil
yang mengakibatkan meningkatnya laju kerusakan hutan (Putu Oka dkk, 2008 dalam Taqwaddin,
2012). Hal ini terbukti, selama tahun 1997-2000, pada awal era otonomi daerah, angka perusakan
hutan meningkat dari 1,87 juta hektar menjadi 2,83 juta hektar karena euforia reformasi yang
menyebabkan pembabatan hutan secara besar-besaran. Namun sejak tahun 2002 hingga 2005
angka kerusakan hutan sudah mulai turun menjadi 1,18 juta hektar pertahun. (Setiawan 2007,
dalam Taqwaddin, 2012)
Posisi masyarakat dalam era reformasi lebih kuat dengan menaikkan posisi tawar
masyarakat di hadapan para pengusaha HPH. Banyak masyarakat yang mempunyai keberanian
untuk menyatakan ketidaksukaannya terhadap HPH dengan berbagai aksi perlawanan karena
HPH sudah mengambil kekayaan di atas hutan adat mereka, dan juga HPH tersebut tidak
memberikan kesejahteraan dan bagi hasil kepada masyarakat sekitar hutan. Banyak HPH di
Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Jambi, Riau, tidak dapat melaksanakan
operasi penebangan kayu karena dilarang oleh masyarakat, alat-alat berat di sita oleh masyarakat
dan portal jalan-jalan desa yang dilewati oleh mobil pengangkut kayu di tutup. Ada komunitas
12
masyarakat yang menuntut ganti rugi kayu-kayu dalam kawasan hutan adat mereka dengan
kompensasi ratusan juta rupiah sampai miliaran rupiah. Apabila ganti rugi seperti ini sudah
diselesaikan, barulah HPH tersebut dapat beroperasi kembali. (Awang, 2005).
Pada sisi yang lain pihak Departemen Kehutanan paham mengenai banyaknya pemegang
HPH yang tidak serius dan tidak lestari dalam menjalankan pengusahaannya. Oleh Karena itu,
pada masa ini, banyak HPH yang dicabut izinnya karena eksploitasi hutan oleh mereka telah
menyebabkan deforestasi yang meluas. Sayangnya pencabutan izin ini tidak diikuti dengan
percepatan penetapan siapa pengelola berikutnya di areal eks HPH tersebut sehingga menjadi
areal open access yang dibuka dan diduduki oleh masyarakat untuk kegiatan perladangan dan
pembangunan kebun-kebun rakyat. Kegiatan pembalakan liar (illegal logging) di Jawa dan Luar
Jawa menjadi sangat mengkhawatirkan yang menyebabkan tingkat deforestasi sangat tinggi. Pada
tahun 1980 laju deforestasi di Indonesia rata-rata sebesar 1 juta ha, kemudian meningkat menjadi
1,7 juta ha pada tahun 1990-an, dan sejak tahun 1996 deforestasi mencapai 2 juta ha per
tahunnya (FWI/GFW, 2001, dalam Awang 2005).
Dalam Sese Tolo (2013) menegaskan bahwa melihat sejarah tata kelola kehutanan
Indonesia maka dapat ditarik inferensinya bahwa kerusakan hutan disebabkan oleh kebijakan tata
kelola kehutanan yang dipengaruhi oleh kekuatan ekonomi global. Hal ini nampak dalam dua hal
yakni: pertama, kebijakan ekonomi politik yang pro terhadap investasi, baik asing maupun
domestik, dalam sektor kehutanan, pertanian, dan pertambangan, yang bertujuan untuk
meningkatkan pembangunan ekonomi, telah berkontribusi terhadap kerusakan hutan di
Indonesia. Kebijakan ekonomi politik pro investasi ini sangat nampak dalam pemerintahan
kolonial, Orde Baru dan pasca Orde Baru.
Kedua, kegagalan untuk mengatasi deforestasi dan degradasi hutan disebabkan oleh
kegagalan untuk menentukan penyebab utama deforestasi (the failure to address the fundamental
driver) dan tendensi untuk melihat sektor kehutanan sebagai entitas yang terpisah dari sektor lain
(the tendency to view the forest sector in isolation from other sectors)”. Tendensi seperti ini
menimbulkan kontradiksi kebijakan antar-departemen. Regulasi yang dibuat oleh departemen
dalam kabinet pemerintahan cenderung tumpang-tindih. Singkatnya, deforestasi di negara
berkembang, termasuk di Indonesia, terjadi karena kemiskinan, rendahnya kapasitas manajemen,
dan buruknya kebijakan ekonomi politik (Ricketts 2010, Dalam Sese Tolo, 2013).
Pendekatan pengelolaan hutan yang eksploitatif, selain telah melahirkan tingkat
kerusakan yang tinggi, juga telah menyebabkan terpinggirkannya masyarakat sekitar hutan. Sese
Tolo, 2013 menjelaskan bahwa laju kerusakan hutan yang terjadi ini tidak diimbangi dengan
pemasukan yang diterima pemerintah. Menurut laporan Bank Dunia (2006), dalam 10 tahun
terakhir, sektor kehutanan hanya berkontribusi terhadap 3-4 persen GDP. Oleh karena itu,
sumber daya hutan di Indonesia tidak berkontribusi terhadap penurunan kemiskinan,
pembangunan sosial dan ekonomi, serta keberlanjutan lingkungan hidup (Scheyvens dan Setyarso
2010, Brockhaus et.al 2012). Hal ini diperburuk oleh korupsi dalam manajemen hasil hutan oleh
elit pemerintahan. (Dalam Sese Tolo, 2013). Konsep trickle down effect atau pertumbuhan dalam
pendekatan state based untuk pemerataan ternyata tidak serta-merta mampu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Akibatnya, timbul ketidakadilan ekonomi yang berdampak pada
13
kesenjangan kesejahteraan antar masyarakat, khususnya antara masyarakat yang memiliki akses
terhadap manfaat hutan (pengusaha hutan, dan elit lokal) dan masyarakat kebanyakan yang
memiliki keterbatasan akses terhadap manfaat hutan. Rendahnya kapasitas sumber daya manusia
(pendidikan, sosial ekonomi, dan informasi) mengakibatkan semakin terbatasnya akses
masyarakat di dalam dan di sekitar hutan terhadap manfaat ekonomi hutan. Oleh karena itu,
kapasitas masyarakat harus ditingkatkan agar akses terhadap sumber daya hutan meningkat.
Kondisi ini menjadikan sebuah pemikiran untuk menciptakan pendekatan pengelolaan
hutan yang lebih memberikan keseimbangan pada aspek sosial, kelestarian hutan, dan juga
ekonomi. Pendekatan pengelolaan hutan yang lebih mengedapankan pemberdayaan masyarakat
dan prosperity approach (pendekatan kemakmuran), lalu ke Community Based Forest
Management/CBFM yang pada perkembangannya, saat ini yang kemudian dikenal dengan Social
Forestry/Perhutanan Sosial. Program social forestry dapat mengambil peran ke depan untuk
mengakomodir keinginan, hasrat dan harapan masyarakat dalam pengelolaan hutan.
Pengembangan social forestry dalam pengelolaan hutan harus dapat membalikkan paradigma dari
pendekatan yang bersifat top down menjadi bottom up atau pendekatan partisipatif dan
mengutamakan partisipasi masyarakat setempat. Strategi optimum pengembangan social forestry
untuk masyarakat adalah pemberian kesempatan pengelolaan hutan kepada masyarakat dengan
ketentuan-ketentuan yang memberi insentif pada efisiensi dan keberlanjutan usaha dan
kelestarian hutannya, tanpa harus membagi-bagi dan menyerahkan kepemilikan areal hutan pada
masyarakat pelaku ekonomi.
Gerakan-gerakan kehutanan masyarakat di Indonesia muncul sejak tahun 70-an,
bersamaan dengan munculnya gagasan kehutanan masyarakat di tingkat internasional. Hal ini
ditandai dengan lahirnya berbagai kongres kehutanan internasional sejak 70-an hingga 80-an
berturut-turut mengangkat tema sosial: Forest for Socio Economic Development (Buenos Aires,
1972); Forest for People (Jakarta, 1978), dan Forest Resources in The Integral Development of
Society (Mexico city, 1985). Pergeseran Pengelolaan hutan oleh negara (State Based) ke
community based forest management (CBFM) tak lepas dari berkembangnya pemikiran baru yang
lebih memberikan perhatian pada permasalahan kemiskinan dan pembangunan masyarakat
perdesaan.
Secara nasional, kebijakan CBFM (Community Based Forest Management – Pengelolaan
Hutan Berbasis Masyarakat) baru dimulai pada era Kabinet Pembangunan VI. Menteri Kehutanan
Djamaluddin Suryohadikusumo menerbitkan dua program sekaligus—yakni Hutan
Kemasyarakatan (1995) dan PMDH – Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (1997). Kedua
program tersebut terus berlanjut dalam tiga kabinet berikutnya—meliputi Kabinet Pembangunan
VII, Kabinet Reformasi Pembangunan, dan Kabinet Persatuan Nasional. M Prakosa—Menteri
Kehutanan Kabinet Gotong-Royong—mencabut Program PMDH pada tahun 2004 dan
meluncurkan Program Social Forestry di tahun yang sama. Perubahan signifikan dalam
perkembangan kehutanan masyarakat terjadi dalam era kepemimpinan MS Kaban. MS Kaban
memperbaharui Program Hutan Kemasyarakatan dengan adanya pemberian izin pengelolaan
kepada masyarakat. Di samping itu, dikeluarkan juga kebijakan Hutan Desa (HD) yang
memungkinkan lembaga Desa mendapatkan hak pengelolaan hutan. (Santoso, 2015).
14
Program kehutanan masyarakat mengalami kemajuan yang signifikan dengan masuknya
istilah “Perhutanan Sosial” ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
periode 2010-2014, yang sudah menyatakan target seluas 1 juta hektar. Hal ini lebih diperkuat
lagi pada era Presiden Joko Widodo, yang menetapkan RPJMN 2015-2019, ditargetkan alokasi
lahan hutan untuk Perhutanan Sosial seluas 12,7 juta hektar, dalam skema Hutan Desa, Hutan
Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Kemitraan Kehutanan dan Hutan Hak, termasuk
Hutan Adat. Momen ini bersamaan dengan lahirnya Eselon I yang secara khusus mendapat
tanggungjawab untuk melaksanakan Perhutanan Sosial, yaitu Direktur Jenderal Perhutanan Sosial
dan Kemitraan Lingkungan hingga sekarang.
2.3. Nawacita dan Ketimpangan Ekonomi dalam Pemanfaatan Sumber Daya Hutan Dokumen Jalan Perubahan Menuju Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan berkepribadian, “Visi, Misi,
dan Program Aksi Joko Widodo – M. Jusuf Kalla” yang diserahkan kepada Komisi Pemilihan
Umum (KPU) memuat sembilan agenda prioritas yang dinamakan Nawacita. Dengan terpilihnya
Jokowi-JK sebagai Presiden dan Wakil Presiden (2014-2019), dokumen itu meningkat statusnya
sebagai Janji Politik dan sekaligus amanat rakyat kepada Presiden terpilih untuk melaksanakannya.
Nawacita yang secara esensial diterjemahkan dari semangat dan ajaran Trisakti, yakni:
berdaulat secara politik, mandiri di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya, melandasi
jiwa dan pelaksanaan reforma agraria. Pelaksanaan reforma agraria menjadi landasan yang kokoh
bagi pembangunan ekonomi semesta dan nasional Indonesia yang mengarah pada kemandirian
ekonomi negara. Secara ideologi dan metodologi, Nawacita dijadikan rujukan pembuatan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019 dan diturunkan
menjadi program yang dijalankan oleh kementerian dan lembaga pemerintah pusat melalui
Rencana Kerja Pemerintah (RKP).
Secara esensial, Nawacita memuat agenda reforma agraria dan strategi membangun
Indonesia dari pinggiran dimulai dari daerah dan desa. Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional 2015-1019 memuat pula komponen-komponen program Reforma Agraria secara
terpisah-pisah.
Program reforma agraria muncul sebagai bentuk keprihatinan terhadap permasalahan
yang paling mendasar dihadapi oleh Bangsa Indonesia saat ini, yang dapat
dikelompokkan dalam lima hal yaitu kemiskinan pengangguran, ketimpangan sosial, tanah-tanah
terlantar, dan sengketa serta konflik pertanahan. Data kependudukan, jumlah orang miskin
mencapai 11,22% dari total populasi Indonesia, berada di Pedesaan dan pada umumnya adalah
petani dan ternyata sekitar 90% adalah pekerja. Kemiskinan terjadi akibat tidak adanya akses
mereka kepada faktor-faktor Produksi, termasuk tanah. Berdasarkan data terakhir diperoleh
informasi bahwa jumlah Petani Gurem (menguasai tanah kurang dari 0,5 Hektar) mencapai
56% dari total jumlah petani. Disamping ketersediaan tanah yang dimiliki sangat terbatas, kondisi
tanah yang berada dalam sengketa/konflik/perkara semakin menutup kesempatan bagi
rakyat untuk memanfaatkan tanah secara optimal. Hal ini juga terjadi pada kawasan hutan
yang menyimpan potensi tetapi tidak termanfaatkan. Berdasarkan data luas areal Hutan
15
Produksi yang dapat di konversi mencapai 13,8 juta ha. Hal ini menunjukkan bahwa potensi
sumber daya tanah yang dapat dimanfaatkan guna meningkatkan kesejahteraan rakyat cukup
tersedia dan patut dikelola secara professional.
Persoalan lain yang dihadapi bangsa yaitu pengangguran. Jumlah pengangguran di
Indonesia pada Agustus 2015 sebanyak 7,56 juta orang, bertambah 320 ribu orang dibandingkan
dengan periode yang sama tahun lalu 7,24 juta jiwa yang setengahnya berada di pedesaan.
Kedua hal tersebut diatas mengakibatkan terjadinya ketimpangan sosial.
Kemiskinan dan pengangguran merupakan permasalahan yang paling mendesak karena
dampak yang ditimbulkan tidak hanya berpengaruh kepada aspek ekonomi semata, namun juga
aspek-aspek lainnya termasuk sosial kemanusiaan, rasa keadilan, keamanan dan lainnya.
Kedua masalah mendesak tersebut berada pada tataran mikro, sehingga langkah
kebijakannya haruslah langsung menyentuh rakyat yang mengalami kemiskinan dan pengangguran
atau fokus pada tataran mikro. Kebijakan yang efektif dan fundamental dapat menurunkan
kemiskinan dan pengangguran, yang pada tataran makro sekaligus dapat memperkuat stabilitas
perekonomian. Kebijakan yang dipandang mampu mewujudkan semua itu adalah kebijakan
Reforma Agraria yang sejalan dengan Nawacita Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.
Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau
yang dikenal sebagai UU Pokok Agraria (UUPA) merupakan rujukan pokok bagi kebijakan dan
pelaksanaan reforma agraria. Pengaturan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan
tanah yang digariskan UUPA dimaksudkan untuk memastikan tanah tidak dimonopoli oleh
segelintir penguasa tanah, dengan mengorbankan golongan ekonomi lemah yang hidupnya
tergantung pada tanah, terutama para petani produsen makanan.
Sementara itu, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan memberi
landasan sektoral bagi pengaturan jurisdiksi baru bagi keberadaan kawasan hutan dan pengelolaan
sumber daya hutan. Pengakuan hak-hak tenurial masyarakat memperoleh momentum dengan
Putusan MK 45/ PUU-IX/2011 dan Putusan MK 35/PUU-X/2012. Selanjutnya, momentum itu
berada pada babak yang sama ketika komitmen “hutan untuk rakyat” (forest for people) di
Kementerian Kehutanan hingga 2014, dan di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (LHK) semakin menguat dengan mengakselerasi pemberian izin perhutanan sosial
untuk kelompok masyarakat dan desa
Reforma Agraria adalah proses alokasi dan konsolidasi kepemilikan, penguasaan/akses,
dan penggunaan lahan. Reforma agraria dilakukan melalui 2 program utama, yaitu alokasi
kepemilikan lahan TORA (Tanah Objek Reforma Agraria) dan pemberian legalitas akses
Perhutanan Sosial kepada masyarakat bawah. Kedua program ini sebagai bentuk reformasi
agrarian telah menjadi target nasional yang tertuang dalam RPJMN 2015-2019.
Dalam RPJMN 2015-2019 yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden No 2 Tahun 2015,
disebutkan target yang harus dicapai dalam program TORA dan Perhutanan Sosial. Target yang
ditetapkan untuk program TORA adalah sedikitnya 9 juta ha, yang terdiri dari legalisasi asset 4,5
juta ha dan redistribusi lahan seluas 4,5 juta ha, dimana berasal dari kawasan hutan (hutan
negara) yang akan dilepaskan sedikitnya 4,1 juta ha (sisanya dari HGU dan tanah terlantar seluas
16
0,4 juta ha). Sedangkan untuk Perhutanan Sosial, dalam RPJMN 2015-2019 disebutkan bahwa
target perhutanan sosial sampai 2019 adalah 12,7 juta ha dalam bentuk HTR (Hutan Tanaman
Rakyat), HKm (Hutan Kemasyarakatan), HD (Hutan Desa), Hutan Adat, dan Hutan Rakyat.
2.4. Ketercapaian Perhutanan Sosial dan Kebutuhan Reformulasi Kebijakan Target pencapaian Perhutanan Sosial seperti yang dimandatkan oleh RPJMN 2015-2017 masih
jauh dari angka 12,7 juta ha. Sampai trimester akhir 2017, capaian pemberian izin Perhutanan
Sosial secara kumulatif mencapai sekitar 1 juta ha melalui skema HKm, HTR, HD, Kemitraan,
dan Hutan Adat. Secara lengkap, pencapaian kumulatif pemberian izin Perhutanan Sosial, dapat
dilihat pada gambar 2.1 dibawah ini.
Akan tetapi berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan
Lingkungan (DG PSKL, 2017), pencapaian izin perhutanan pasca ditetapkannya P.83/2016 tentang
Perhutanan Sosial hanya mencapai 370.128 ha. Apa artinya? Angka ini mengindikasikan bahwa
percepatan yang diharapkan dari proses yang ada di PermenLHK No 83 2016 untuk mencapai
angka 12,7 juta ha, masih jauh dari harapan. Areal alokasi Perhutanan Sosial yang berasal dari
PIAPS (Peta Indikasi Areal Perhutanan Sosial) sebagai lampiran P.83/2016, belum terdistribusi
dengan secara nyata. Bahkan angka 370.128 ha untuk izin perhutanan sosial itu pun, berasal dari
usulan-usulan pengajuan izin yang terbengkalai dari tahun-tahun sebelum 2017. Lambannya
capaian Perhutanan Sosial ini disebabkan masih lemahnya kinerja penyelenggaraan Perhutanan
Sosial. Semua proses pemberian izin perhutanan sosial masih mengikuti manual prosedur yang
memakan waktu proses waktu lama mulai dari pengusulan, penelaahan dokumen, verifikasi,
bahkan sampai ke pemberian izinnya. Hal inilah yang menyebabkan calon areal perhutanan sosial
12,7 dalam PIAPS akan sulit tercapai, sementara tahun kerja efektif sampai 2019 hanya
mempunyai sisa waktu 1 tahun. Berdasarkan fakta inilah diperlukan reformulasi kebijakan untuk
menjamin areal 12,7 juta yang ada dalam PIAPS bisa terdistribusi secara cepat, akurat, dengan
tetapi menjamin kelestarian hutannya.
17
(Sumber: http://perhutanan-sosial.id/#statistik (DG PSKL, KLHK)
(Sumber: http://perhutanan-sosial.id/#statistik (DG PSKL, KLHK)
Gambar 1.2. Pencapaian ijin Perhutanan Sosial sampai trimester akhir 2017 pasca terbitnya PermenLHK No 83 2016 tentang Perhutanan Sosial
Gambar 1.1. Pencapaian kumulative ijin Perhutanan Sosial sampai trimester akhir 2017
18
2.5. Mempercepat Realisasi Perhutanan Sosial Satu jalan cepat yang dapat ditempuh adalah peran aktif Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan
pemerintah desa (atau nama lainnya: nagari, negeri) dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Langkah pertama, Menteri LHK bersama-sama Mendagri, dan Menteri Desa, PDT dan
Transmigrasi mendeklarasikan bahwa kawasan hutan negara yang berada di dalam wilayah
administrasi desa pengelolaannya didevolusikan kepada desa. Secara teknis operasional, deklarasi
ini ditindaklanjuti oleh Direktur Jenderal, Dinas Kehutanan Provinsi, KPH dan pemerintah desa.
KPH yang sudah aktif baik yang sudah mempunyai dokumen RPHJP maupun belum, dapat diminta
oleh Ditjen PSKL untuk segera mengajukan usulan areal PS yang berada di dalam kawasan hutan
KPHnya. Areal PS yang diusulkan tersebut sudah merupakan hasil identifikasi luas dan batas
kawasan hutan bersama-sama masyarakat desa yang akan menerimanya. Batas areal hutan yang
diusulkan dapat menggunakan batas administratif desa. Dengan kata lain kawasan hutan negara
yang diusulkan oleh pemerintah desa melalui KPH dan Dinas Kehutanan Provinsi untuk PS adalah
kawasan hutan yang masuk kedalam wilayah administrasi desa (wilayah pangkuan atau wewengkon
atau pertuanan). Kawasan hutan yang diusulkan tersebut segera disahkan oleh Kementerian LHK.
Gambaran umumnya adalah sebagai berikut: Jika kita menggunakan data PODES BPS
yang sudah di-overlay dangan peta BAPLAN 2006 & 2008, luas hutan negara yang berada di dalam
wilayah administrasi desa adalah 22 juta Ha, hampir dua kali lipat dari luas target PS 12,7 juta Ha.
BPS (2015) menyebutkan bahwa pada tahun 2014 jumlah rumah tangga desa hutan sekitar 8,6
juta. Jumlah desa sekitar 20.000, jadi rata-rata per desa 1000 ha. Areal hutan 1000 ha itu dapat
dikelola semuanya sebagai HD atau semuanya HKm (rata-rata 2 ha per rumah tangga), atau
sebagian HD dan sebagian HKm. Jika dibuat rata-rata per rumah tangga mendapatkan 1-2 Ha.
Apakah pengelolaannya dengan HD, HKm, HTR atau kemitraan sepenuhnya diputuskan dan
disepakati di tingkat masyarakat desa masing-masing melalui musyawarah dan konsensus
pemerintah desa, BPD, dan masyarakat desa.
Dengan langkah ini alokasi areal pencadangan PS segera dapat direalisasikan, segera
dapat dipegang oleh masyarakat desa, sehingga mengurangi peluang okupasi lahan hutan secara
illegal oleh orang-orang di luar masyarakat desa. Dalam banyak kasus, lahan-lahan hutan yang
ditinggalkan oleh perusahaan kehutanan (HPH atau pemegang IUPHHK), atau perusahaan tidak
aktif, segera diokupasi secara illegal. Meskipun ada kemungkinan areal hutan yang sudah
diserahkan kepada masyarakat tidak segera dikelola, namun setidaknya sudah ada yang
memegang hak atas kawasan hutan tersebut dan mengamankannya dari tindakan okupasi
kawasan hutan secara illegal.
Langkah kedua, KPH melakukan pembinaan teknis, kelembagaan dan manajemen bisnis.
Langkah kedua ini butuh waktu, komitmen para pihak dengan kompetensi dan perannya, dan
pendanaan. KPH dapat meminta bantuan kepada perguruan tinggi/ universitas setempat, LSM,
atau pelaku bisnis dalam pembinaan masyarakat tersebut, termasuk memfasilitasi kerjasama
masyarakat dengan pelaku bisnis. Pembinaan teknis kegiatan ekonomi produktif berbasis sumber
daya hutan (kayu, bukan kayu, dan jasa lingkungan) dalam kerangka pengelolaan hutan maupun
kegiatan ekonomi produktif di luar kehutanan perlu segera dilakukan untuk membangkitkan
pendapatan masyarakat desa dan KPH. KPH dapat membantu penguatan kelembagaan
19
masyarakat desa, misalnya BUMDes (Badan Usaha Milik Desa), peraturan desa atau aturan-
aturan adat untuk pengelolaan hutan. Kelembagaan masyarakat desa diperkuat untuk
mewujudkan keadilan distribusi tanggung jawab dan manfaat atas sumber daya hutan dan
kelestarian hutan. KPH juga dapat membantu penguatan kapasitas manajemen bisnis masyarakat.
Kapasitas KPH sangat menentukan keberhasilan pengelolaan hutan di tingkat tapak,
termasuk keberhasilan PS. SDM KPH yang selama ini masih sangat terbatas semestinya sudah
mulai membaik sehubungan dengan proses mutasi dan penataan SDM dari Dinas Kehutanan
Kabupaten dan UPT-UPT Pusat. Infrastruktur KPH untuk mendukung kegiatan pelayanan oleh
KPH kepada masyarakat perlu ditingkatkan, misalnya kendaraan dan perlengkapan kantor.
Dinas-dinas dan badan-badan PEMDA yang terkait (Dinas kehutanan, pertanian, industri,
pariwisata, pekerjaan umum) disinergikan untuk membangun desa hutan. KPH menjadi
penggerak atau yang memobilisir sumber daya yang tersedia di daerahnya, bahkan dapat menjalin
kerjasama atau membangun jejaring dengan para pihak yang lebih luas. KPH harus diberi
kewenangan yang luas. Kementerian LHK mendukung peran KPH dalam pembinaan masyarakat,
dalam bentuk dukungan anggaran, kebijakan/regulasi, koordinasi dan sinergi di level
kementerian/lembaga negara, lembaga donor, ilmu pengetahuan, jejaring nasional dan
internasional, monitoring dan evaluasi kinerja. Demikian pula pemerintah provinsi mendukung
anggaran (APBD), pembinaan SDM, regulasi daerah, koordinasi dan sinergi dinas-dinas dan
badan-badan di level provinsi dan kabupaten.
Langkah lebih lanjut adalah pengembangan industri berbasis sumber daya hutan: hasil
hutan kayu dan bukan kayu, serta jasa lingkungan (ekowisata, air bersih, mikro hidro) di
pedesaan. Industrialisasi berbasis sumber daya hutan di pedesaan akan meningkatkan kesempatan
kerja dan berusaha di pedesaan, menahan urbanisasi, dan meningkatkan kegiatan ekonomi
produktif di pedesaan. Industri yang dikembangkan dapat dimulai dari pengolahan setengah jadi
ataupun pengolahan lebih lanjut sampai barang siap pakai (finished products). Di beberapa
pedesaan industri pengolahan hasil hutan sudah berjalan. Secara umum kegiatan industri lebih
produktif dan lebih menguntungkan dibandingkan dengan usaha produksi primer, sehingga dapat
lebih meningkatkan pendapatan rumah tangga dan masyarakat desa. Oleh karena itu
pengembangan PS tidak berhenti hanya pada pengelolaan hutan di tingkat tapak, tetapi perlu
diintegrasikan dengan pengembangan industri dan jasa kehutanan di pedesaan. Generasi muda
pedesaan diharapkan lebih tertarik dan dapat berkiprah dalam bisnis industri berbasis sumber
daya hutan (dan pertanian dalam arti luas) di pedesaan. Sudah ada beberapa contoh sukses dari
sarjana-sarjana yang terjun di bisnis agroindustri. Hubungan saling ketergantungan para warga
desa yang menjadi pelaku bisnis kehutanan akan menjaga kelestarian hutan.
Di atas komitmen Kementerian LHK dan pemerintah provinsi, keberhasilan PS tetap
membutuhkan komitmen politik yang kuat dari presiden untuk menggerakan anggaran dan
program-program pembangunan masyarakat desa, kehutanan, pertanian, industri, dan lainnya.
20
BAB 3. DINAMIKA KEBIJAKAN DAN IMPLEMENTASI PROGRAM PERHUTANAN SOSIAL
3.1. Pengembangan Konsep Perhutanan Sosial Sejak zaman pra kemerdekaan, Sumber Daya Hutan (SDH) bagi berbagai komunitas di Indonesia
telah memiliki nilai ekonomi dan ekologi, serta makna sosial, budaya, dan politik. Dengan kata
lain, SDH juga berperan dalam pembentukan peradaban kehidupan manusia di Indonesia,
sehingga setiap budaya dan etnis memiliki konsep dan pandangan tersendiri tentang penguasaan
dan pengelolaan sumber daya hutan. Dalam prakteknya, pengelolaan hutan oleh masyarakat juga
telah lama dikenal dengan nama lokal seperti: gampong di Aceh, tombak di Tapanuli Utara, repong
di Lampung, talun di Jawa Barat, tembawang di Kalimantan Barat, lembo dan simpukng di
Kalimantan Timur, mamar di Nusa Tenggara Timur dan sebagainya.
Bahkan dari bukti sejarah yang ada, masyarakat Jawa kuno pada abad ke-9 di masa
kerajaan Medang (Mataram Kuno) telah mengenal istilah tuha alas, juru alas, pasuk alas dan tuha
buru yang menunjukkan peran dari masyarakat yang ditunjuk untuk mengawasi hutan dan
mengelola perburuan satwa. Informasi seperti ini antara lain terdapat pada prasasti Jurungan (876
M), Tunahan (872), Haliwangbang (877), Mulak (878), Mamali (878), Kwak I (879), Taragal (830),
Kubukubu (905), Sarsahan (908), dan Kaladi (909).11
Menurut catatan, pada masa itu sebagian besar hutan di Pulau Jawa, terutama Jawa
Tengah dan Jawa Timur, ditumbuhi pohon-pohon jati yang ”keadaannya hampir murni dalam
larikan-larikan teratur”.12 Perdebatan terjadi di kalangan ahli kehutanan Eropa, yaitu antara
kelompok ahli yang menganggap hutan jati sebagai hutan alam namun dipelihara oleh masyarakat
setempat, dengan kelompok ahli yang menganggap bahwa pohon-pohon jati itu ditanam oleh
orang-orang Hindu yang berasal dari Hidustan, India. Pendapat kelompok yang kedua ini
dapatlah disebut sebagai cikal bakal pendapat tentang pengelolaan hutan oleh rakyat yang
berkembang di kemudian hari.13
Pada akhir abad 18 kondisi hutan di Jawa mulai mengalami degradasi yang sangat serius.
Kondisi ini membuat pemerintah kolonial Belanda menugaskan Gubernur Jendral Herman
Willem Daendels untuk melakukan rehabilitasi dan reforestasi kawasan hutan pada awal abad 19.
Untuk itu Daendels membentuk Dienst van het Boschwezen (Jawatan Kehutanan) serta
mengeluarkan Peraturan Pemangkutan Hutan di Jawa yang selanjutnya dikembangkan menjadi
Baschordonantie voor Java en Madoera 1865 (Undang-Undang Kehutanan untuk Jawa dan Madura
1865), disusul dengan peraturan Domeinverklaring 1870 yang mengklaim bahwa tanah hutan
(forest land) yang tidak dibebani hak privat menjadi domain negara.14 Dengan berlandaskan pada
rangkaian peraturan tersebut, jawatan kehutanan kolonial (Boschwezen) membuat batas politik
11 Susantio D _ (Arkeolog : Sinar Harapan, Jumat, 17 November 2006) 12 Djadjapertjunda 2001, hal 81 13 Siscawati dan Muhshi (2008) 14 Soepardi (1974), Peluso (1992), Simon (2001)
21
dan administratif terhadap kawasan hutan dan pertanian, dan mulai membangun hutan jati
dengan menerapkan prinsip-prinsip kehutanan ”modern.”15
Dalam rangka meningkatkan pengamanan hutan dari gangguan ”pencurian” kayu dan
menekan biaya produksi, jawatan kehutanan kolonial mulai melibatkan masyarakat lokal sebagai
buruh, antara lain dalam proses pemanenan kayu.16 Selain itu, jawatan kolonial juga
memanfaatkan tenaga masyarakat setempat dalam pembuatan hutan tanaman yang dimulai sejak
tahun 1873, melalui aktivitas yang dikenal sebagai tumpangsari. Salah satu rimbawan kolonial yang
mengembangkan konsep ini adalah Buurman van Vreeden.17 Metode tumpangsari diadopsi dari
konsep taungya yang dikembangkan jawatan kehutanan kolonial Inggris di Myanmar/Burma.
Konsep dasar taungya sendiri diadopsi dari sistem hutan kerakyatan masyarakat adat Karen.18
Sementara itu, beberapa ahli kehutanan kolonial mulai mengembangkan kajian tentang
pola-pola pengelolaan kekayaan hutan oleh masyarakat. Salah satu pemikiran yang berkembang
adalah pendapat ilmiah yang mengatakan bahwa pohon-pohon jati di Jawa ditanam oleh para
pendatang yang berasal dari Hindustan, India.19 Seperti telah disebutkan, pemikiran ini dianggap
sebagai cikal bakal kajian tentang kehutanan masyarakat. Beberapa ahli kehutanan kolonial
lainnya mulai meneliti sistem pengelolaan hutan oleh masyarakat di beberapa tempat di
kepulauan Nusantara. Salah satu sistem hutan kerakyatan di Kalimantan Barat, yaitu tembawang,
pertama kali dilaporkan oleh ilmuwan Belanda tahun 1848. Sementara, keberadaan kebun damar
di Lampung dan kebun kemenyan di Sumatra Utara, yang keduanya merupakan kebun campur
yang dikelola dengan meniru pola hutan alam, dilaporkan oleh ilmuwan Belanda sekitar tahun
1850.20
Pada tahun 1942-1945 sebelum kemerdekaan kondisi rawan pangan dan kemiskinan yang
parah membuat pemerintah memberikan hak milik kepada masyarakat yang mengelola hutan
untuk tujuan pangan. Mengiringi kelahiran Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960,
pemerintah pada tahun 1960-an mencanangkan dan memberikan hak kepada masyarakat yang
tinggal di dalam kawasan hutan di beberapa wilayah di Lampung dalam bentuk Hak Garap
Keluarga selama 10 tahun. Masyarakat yang terbukti menggarap dengan baik akan memperoleh
hak milik. Program ini berjalan sampai dengan tahun 1965 dan bukti kepemilikan tanah dari
prose-proses ini sering diabaikan (Sirait 2008, Komunikasi Personal)21.
Dalam UU nomor 5 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan konsep
dan istilah Perhutanan Sosial masih belum muncul. Bahkan pengurusan Hutan Milik yang
dilakukan oleh pemiliknya diatur dengan bimbingan Menteri dan dapat dituntut apabila
bertentangan dengan aturan dan kepentingan umum. Kemudian dalam UU Pokok Kehutanan No.
41/1999, sebagai kebijakan yang menggantikan UU Pokok Kehutanan tahun 1967, pengelolaan
15 Siscawati dan Muhshi (2008) 16 Peluso (1992) 17 Perum Perhutani (1996) 18 Siscawati dan Muhshi (2008) 19 Djadjapertjunda (2001) 20 Brookefield et al, (1995). 21 Siscawati dan Muhshi (2008)
22
hutan oleh masyarakat lokal dimasukkan kedalam keseluruhan kerangka kerja kehutanan yang
sah, walaupun sistem lokal ini masih berada di bawah kehutanan pemerintah.
Penyelenggaraan Kongres Kehutanan Dunia ke 8 pada tahun 1978 di Jakarta yang
mengusung tema Forest for People dianggap sebagai tonggak awal perhutanan sosial dunia. Ini
adalah respons dunia kehutanan terhadap dampak-dampak negara dari sistem pengelolaan hutan
yang dominan ketika itu. Pada tahap ini program perhutanan sosial diadopsi dan secara bertahap
dan dilembagakan ke dalam sistem pengelolaan hutan oleh negara, meskipun hak kepemilikan dan
pemanfaatan oleh masyarakat tradisional masih dianggap tidak sah.
Istilah Social Forestry sendiri, pertamakali dipublikasikan oleh Jack Westoby seorang
ekonom kehutanan FAO pada tahun 1968. Social Forestry dipandang sebagai strategi
pembangunan kehutanan, yaitu suatu pendekatan pembangunan kehutanan yang mempunyai
tujuan memproduksi manfaat hutan untuk perlindungan dan rekreasi bagi masyarakat (Tewari
83)22.
Sebenarnya Perhutani telah mulai melakukan pendekatan kesejahteraan (prosperity
approach) pada tahun 1972 yang ditandai dengan program tumpang sari Ma-Lu (Mantri Lurah)
dan Ma-Ma (Magelang Magetan). Selanjutnya Ford Foundation pada tahun 1980-an mendukung
Pehutanan Sosial di Jawa dan pada tahun 1984-1985 melaksanakan studi di luar Jawa (Kalimantan,
Sulawesi, dan Papua). Hasil studi ini kemudian mendorong lahirnya kebijakan HPH Bina Desa
dengan terbitnya SK Menteri Kehutanan: 691/1991. Selanjutnya HPH Bina Desa dirubah menjadi
PMDH (Pembinaan Masyarakat Desa Hutan) dengan SK Menhut: 69/1995 jo SK
Menhut.523/1997.
Pada masa itu kegiatan tumpang sari Perhutani hanya memberikan kesempatan kepada
masyarakat menanam padi, jagung dan palawija di sela-sela pohon jati. Sementara program HPH
Bina Desa dan PMDH yang dilakukan pengusaha hutan memisahkan masyarakat dari hutan.
Kegiatannya berupa bantuan sosial, pembangunan jalan, jembatan dan masjid serta mengajari
masyarakat menanam padi secara menetap dan meninggalkan perladangan.
Demikian juga dengan kebijakan Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang diperkenalkan
pertama kali oleh pemerintah dengan SK Menhut: 622/1995. HKm generasi awal ini berupa
penunjukan masyarakat oleh pemerintah untuk ikut serta dalam pengelolaan hutan. Jadi
perhutanan sosial pada masa-masa awal ini masih melihat masyarakat sebagai obyek dan bukan
sebagai subyek pengelola hutan.
Berangkat dari berbagai hasil penelitian dan investigasi dari peneliti dan Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) terhadap praktek-praktek pengelolaan hutan oleh masyarakat di
berbagai wilayah nusantara, pada tahun 1993 beberapa LSM seperti: Walhi, Latin, LLBT di
Kalbar, Plasma Kaltim dan lain-lain, memperkenalkan konsep pengelolaan hutan oleh rakyat
sebagai Sistem Hutan Kerakyatan (SHK). Selanjutnya pada tahun 1997, jaringan LSM pendukung
SHK membentuk Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK) untuk tujuan
kampanye dan promosi.
22 Awang (2002)
23
Saat itu Pemerintah dan LSM termasuk perguruan tinggi berada pada posisi yang saling
berseberangan karena belum adanya dialog yang produktif. Kemudian interaksi melalui
kolaborasi untuk membangun saling percaya antara para pihak mulai berjalan dengan lahirnya
Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) pada bulan September 1997. Dialog
kebijakan mulai sering dilaksanakan dan perbaikan kebijakan mulai dilakukan dengan
mempertimbangkan masukan para pihak. Kebijakan HKm diperbaiki dengan menempatkan
masyarakat sebagai subyek pengelola hutan melalui SK Menhut: 677/1998 jo SK Menhut:
865/1999 jo SK Menhut: 31/2001.
Dengan kebijakan HKm yang baru masyarakat mendapatkan izin kegiatan HKm berupa
izin sementara 3-5 (tiga sampai lima) tahun sebelum mendapatkan izin definitif selama 25 tahun.
Menteri Kehutanan menerbitkan 26 Izin sementara kegiatan HKm di 8 (delapan) propinsi dengan
luas 19.073 hektar.23 Namun sampai habis masa izin sementara tersebut tidak ada izin definitif
yang diterbitkan oleh pemerintah. Bahkan pada tahun 2004 pemerintah menerbitkan Permenhut:
1/2004 tentang Sosial Forestry yang mengaburkan HKm dan tidak memberikan solusi terhadap
izin sementara kegiatan HKm yang tidak berlanjut. Sehingga kegiatan HKm pada waktu itu
berjalan mandeg dan tidak berkembang.
Sesaat sebelum era reformasi bergulir, peristiwa penting yang juga turut menandai era
baru perhutanan sosial adalah keluarnya SK Menteri Kehutanan tahun 1998 yang menetapkan
(daerah) Krui sebagai Kawasan dengan Tujuan Istimewa (KdTI), yang sebenarnya tidak memiliki
dasar hukum pada tingkatan yang lebih tinggi, sehingga dapat dilihat sebagai sebuah terobosan
dari Menteri Kehutanan yang cukup progresif ketika itu.24
Peraturan Pemerintah: 6/2007 jo PP 3/2008 tentang Tata Hutan Penyusunan Rencana
Pengelolalaan dan Pemanfaatan Hutan sebagai revisi terhadap PP 34 tahun 2002 tentang Tata
Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan
Kawasan Hutan, telah memberikan dasar hukum yag lebih kuat terhadap perhutanan sosial.
Tidak hanya mengatur HKm, peraturan pemerintah ini juga memperkenalkan Hutan Desa (HD),
Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan Kemitraan. Berdasarkan PP 3/2008 kemudian pemerintah
menetapkan peraturan operasional tentang Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, dan Hutan
Tanaman Rakyat. Peraturan operasional ini beberapa kali dirubah dan terakhir adalah:
Permenhut: P.89/2014 tentang Hutan Desa, Permenhut: P.88/2014 tentang Hutan
Kemasyarakatan dan Permenhut: P31/2013 tentang Hutan Tanaman Rakyat. Peraturan
operasional tentang kemitraan yang paling terakhir ditetapkan dengan Permenhut: P 39/2013.
PP 3/2008 dengan peraturan operasionalnya merupakan tonggak penting perkembangan
perhutanan sosial di Indonesia, karena untuk pertama kali masyarakat memperoleh hak/izin
mengelola dan memanfaatkan hutan selama 35 tahun. Hal ini ditandai dengan Pencanangan
Penetapan Areal Kerja dan Pemberian Izin Definitif HKm oleh Wakil Presiden Yusuf Kalla pada
tanggal 27 Desember 2007 di Gunung Kidul Yogyakarta.
23 Direktorat Bina PS, Dirjen RLPS, Kemenhut 24 Lindayati, 2003, op.cit., dan Fay & Sirait, 2003, op.cit.
24
Namun perkembangan perhutanan sosial selanjutnya berjalan sangat lambat. Kelompok
masyarakat yang mengajukan HKm dan Lembaga Desa yang mengajukan HD bisa menunggu
bertahun-tahun untuk mendapatkan SK PAK (Penetapan Areal Kerja) dari Menteri serta
menunggu bertahun-tahun pula untuk mendapatkan HPHD dari gubernur dan IUPHKm dari
Bupati. Selain itu pemberian hak/perizinan sering kali dikaitkan dengan event-event politik, dan
di lapangan masyarakat untuk memperoleh areal kerja sering kali berkompetisi dengan investor.
Capain HD, HKm, maupun HTR sampai tahun 2014 masih sangat rendah. Dari 5 juta ha yang
ditargetkan untuk HD hanya tercapai 67,737 ha HPHD (1%), dari 2 juta ha target untuk HKm
hanya tercapai 94,372 IUPHKm (4,7%), dan dari 5,4 juta ha target HTR hanya tercapai 146,324
IUPHHK-HTR (2,7%).25
3.2. Kebijakan Perhutanan Sosial Saat Ini Salah satu agenda prioritas Pemerintah saat ini adalah mewujudkan kemandirian ekonomi
dengan menggerakkan sektor-sektor ekonomi domestik yang strategis. Pemerintah telah
membuat kebijakan berupa alokasi lahan hutan negara untuk program Perhutanan Sosial (PS)
seluas 12,7 juta ha yang akan direalisasikan selama periode 2015-2019. Upaya ini dicanangkan
sebagai sebuah program nasional yang bertujuan untuk melakukan pemerataan ekonomi dan
mengurangi ketimpangan ekonomi melalui tiga pilar, yaitu: lahan, kesempatan usaha dan sumber
daya manusia. Perhutanan Sosial juga merupakan legalitas bagi masyarakat di sekitar kawasan
hutan untuk mengelola kawasan hutan negara seluas 12,7 juta hektar.
Melalui diskusi marathon dengan kalangan masyarakat sipil, Kementerian Lingkungan
dan Kehutanan telah menerbitkan perangkat kebijakan sebagai landasan hukum dalam rangka
mendukung pencapain target 12,7 juta hektar perhutanan sosial. Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Nomor P.83/2016 tanggal 25 Oktober 2016 tentang Perhutanan Sosial
merupakan regulasi yang mengatur penyelenggaraan dan prosedur pemberian akses legal bagi
masyarakat dalam mengelola hutan. Akses legal pemanfaatan sumber daya hutan dan pengelolaan
kawasan hutan dibuat dalam lima skema pengelolaan, yaitu Skema Hutan Desa (HD) hutan
negara yang hak pengelolaannya diberikan kepada lembaga desa untuk kesejahteraan desa. Hutan
Kemasyarakatan (HKm), yaitu hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk
memberdayakan masyarakat setempat. Hutan Tanaman Rakyat (HTR/IPHPS), adalah hutan
tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan
potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalm rangka menjamin
kelestarian sumber daya hutan. Hutan Adat (HA), dimana hutan ini adalah hutan yang berada di
dalam wilayah masyarakat hutan adat. Skema terakhir adalah Kemitraan Kehutanan, yang
merupakan kerjasama antara masyarakat setempat dengan pengelola hutan, pemegang Izin Usaha
Pemanfaatan hutan, jasa hutan, izin pinjam pakai kawasan hutan atau pemegang izin usaha industri
primer hasil hutan (lebih jelas lihat Tabel 1).
25 Data diolah dari Laporan Satgas IX, KLHK dalam publikasi FKKM & RRI, 2015
25
Tabel 3.1. Kategori Perhutanan Sosial dan Statusnya
Kategori Perhutanan Sosial
Lokasi Bentuk Hak/Izin Pemberi Hak/Izin
Pemohon
Status dan jangka waktu
Hutan Adat Wilayah Adat, diluar Hutan Negara
Hutan Hak Menteri LHK Masyakat Adat Hak Menguasai/ Hak Milik
Hutan Desa HP & HL HPHD Menteri LHK/Gubernur
Koperasi Desa/BUMDes
35 tahun dan dapat diperpanjang
Hutan Kemasyarakatan
HP dan HL IUPHKm
Menteri LHK/Gubernur
Kelompok Masyarakat/Koperasi
Hutan Tanaman Rakyat
HP IUPHHK-HTR Menteri LHK/Gubernur
Perseorangan/Kelompok/ Koperasi
Kemitraan Kehutanan
HP, HL, HK Kesepakatan - Masyarakat setempat/Kelompok
Prosedur dan persyaratan pengajuan perhutanan sosial lebih sederhana dibanding
prosedur dan persyaratan pada peraturan sebelumnya dan dapat diajukan secara on line/daring
(Perdirjen No.P.15/PSKL/SET/PSL.0/11/2016). Untuk areal kawasan hutan yang bisa diusulkan
perhutanan sosial ditetapkan Peta Indikatif dan Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) yang direvisi
setiap enam bulan sekali. Revisi pertama PIAPS ditetapkan dengan SK Menteri LHK No.
SK.4865/Menlhk-PKTL/REN/PLA.0/9/2017 tentang Peta Indikatif dan Areal Perhutanan Sosial.
Meskipun areal kawasan hutan di luar PIAPS dapat juga diusulkan untuk perhutanan sosial.
Dengan adanya PIAPS, Penetapan Areal Kerja (PAK) untuk HD dan HKm pada peraturan
sebelumya tidak diperlukan lagi. Disamping itu PIAPS ini mengamankan areal kawasan hutan
untuk akses masyarakat, karena di lapangan sering terjadi kompetisi dengan investor usaha
kehutanan skala besar seperti hutan tanaman industri.
Berdasarkan SK.4865/Menlhk-PKTL/REN/PLA.0/9/2017 Tentang Peta Indikatif dan
Areal Perhutanan Sosial (Revisi 1), Pemerintah telah menyiapkan areal seluas 13.887.068,82 Ha.
Dari target alokasi lahan Perhutanan Sosial seluas 12,7 juta ha, terdapat 1117 Desa yang berada
di dalam areal PIAPS, 3510 Desa berjarak kurang dari 3 km dari PIAPS dan sebanyak 1974 Desa
berjarak antara 3 – 5 km dari lokasi dalam PIAPS. Dengan demikian dapat disimpulkan saat ini
terdapat sedikitnya 6601 Desa berada di dalam dan berjarak di bawak 5 km dari PIAPS. Namun
demikian dari luas target 12, 7 juta ha hanya sekitar 4.3 juta ha yang tercatat terdapat komunitas
dan pendampingnya dan masyarakat berada dalam kawasan tersebut sebanyak 322 komunitas
dan 73 pendamping.
Dalam rangka percepatan pencapaian target perhutanan sosial telah dibentuk Kelompok
Kerja Percepatan Perhutanan Sosial (Pokja PPS) melalui SK.33/PSKL/SET/PSL.0/5/2016 tentang
Pembentukan Pokja PPS. Saat ini telah dibentuk 21 Pokja PPS di Provinsi melalui SK Gubernur ,
diantaranya Sumut, Sumbar, Sumsel, Kalbar, Kalsel, Jambi, Lampung, Kaltara, Kalteng, Kaltim,
26
Gorontalo, Sulbar, Sulsel, Sulteng, Sultra, Sulut, Maluku, NTT, Papua Barat, dan Bengkulu.
Namun demikian keberadaan Pokja PPS juga tidak terlepas dari berbagai kendala permasalahan
diantaranya kurangnya ketersediaan dana serta dukungan yang cukup dari beberapa Pemerintah
Daerah sehingga menyebabkan banyak Pokja yang tidak berfungsi dan tidak berjalan efektif.
Kemudian beberapa Anggota POKJA masih dirasa tidak/kurang memiliki kapasitas untuk
melakukan pendampingan dan kemampuan GIS.
Capaian perhutanan sosial sampai saat ini masih jauh dari target 12,7 juta pada tahun
2019. Hingga bulan November 2017 capain perhutanan sosial baru mencapai 1.301.070,24 ha,
yang merupakan capain komulatif sejak tahun 2007. Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan
Kemitraan Lingkungan (Ditjen PSKL) diantaranya menyampaikan bahwa masih menumpuknya
usulan yang belum dapat ditindak-lanjuti karena dokumen permohonan usulan banyak yang
belum memenuhi persyaratan; kemudian terkait dengan keterbatasan SDM, baik di Ditjen PSKL,
Pokja PPS, Pendamping dan penyuluh serta kurangnya tenaga pendamping di tiap lokasi
perhutanan sosial. Selain itu tata laksana pengajuan izin perhutanan sosial juga masih dirasa
kurang disosialisasikan.
Informasi tentang perhutanan sosial dan prosedur pengusulannya tidak sampai kepada
masyarakat pada tingkat akar rumput di desa maupun kepada pemerintah kabupaten/kota.
Meskipun demikian usulan perhutanan sosial banyak yang menumpuk menunggu untuk
ditindaklanjuti di Direktorat Jenderal PSKL. Usulan yang banyak ini pada umumnya berasal dari
daerah dimana Lembaga Donor dan LSM banyak melaksanakan program seperti Sumatera,
Kalimantan dan Sulawesi. Titik kritis dalam proses pengajuan dan penerbitan hak/izin perhutanan
sosial adalah pada: proses penyusunan dokumen dan pengajuaan usulan; proses verifikasi teknis
lapangan, dan proses drafting Surat Keputusan Hak/Izin Perhutanan Sosial.
Tabel 3.2. Capaian Perhutanan Sosial (sampai November 2017)26
26 Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan
2015 2016 20171 HD 78.072,00 63.587,00 81.129,83 446.730,38 669.519,212 HKM 153.725,15 20.945,06 2.465,46 109.343,31 286.478,983 HTR 198.594,87 2.815,42 14.131,00 23.426,61 238.967,904 KEMITRAAN 18.712,22 16.300,99 24.468,89 30.158,81 89.640,915 HUTAN ADAT 13.121,99 3.341,25 16.463,24
449.104,23 103.648,47 122.195,18 613.000,36 1.301.070,24JUMLAH
TOTAL (Ha)Pra Kabinet Kerja
2007-2014Kabinet Kerja
NO SKEMA
27
3.3. Kendala dan Rekomendasi Pelaksanaan ke Depan Proses penyusunan dokumen dan kelengkapan usulan perhutanan sosial tidak dapat dilakukan
oleh masyarakat sendiri. Penyusunan dhokumen dan kelengkapan usulan ini memerlukan
pendampingan. Usulan sering dikembalikan apabila tidak lengkap seperti: tidak ada peta shp,
daftar anggota kelompok tani tidak dilengkapi nomer induk kependudukan (NIK), Perdes
tentang LPHD dan Surat Keputusan Kades tentang Personalia LPHD tidak tepat sesuai Peraturan
Dirjen PSKL dan sebagainya. Dokumen usulan yang sampai di Kementerian LHK, masuk ke Biro
Umum, kemudian dicatat oleh Bagian Tata Usaha Kementerian. Setiap dokumen yang masuk
dibaca oleh Menteri LHK Ibu Siti Nurbaya dan hanya membutuhkan waktu baca hanya setengah
atau satu hari lalu langsung didisposisi ke Dirjen PSKL, kecuali jika daerahnya ada masalah. Dirjen
PSKL kemudian mendisposisikan lagi ke Direktorat Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial (PKPS)
dan Direktur PKPS mendisposisikan kepada Subdit yang sesuai dengan permohonan masyarakat
(Subdit Penyiapan HD, Subdit Penyiapan HKm, Subdit Penyiapan HTR, dan Subdit Penyiapan
Kemitraan). Apabila dokumen usulan sudah memenuhi persyaratan, Dirjen PSKL akan
memerintahkan kepada Balai PSKL untuk melakukan verifikasi teknis lapangan. Balai PSKL akan
mengembalikan perintah verifikasi ke Ditjen PSKL, apabila tidak memiliki anggaran dan tidak ada
orang.27 Apabila dokumen usulan tidak memenuhi persyaratan atau kurang lengkap, Direktorat
PKPS menghubungi organisasi pendamping untuk memperbaiki dan melengkapai persyaratan.
Gambar 3. 1. Birokrasi Perizinan PS28
Dukumen usulan perhutanan sosial yang sudah diverifikasi akan diproses drafting Surat
Keputusan dan petanya oleh Subdit sesuai skema perhutanan sosial. Draft SK beserta peta
kemudian disampaikan kepada Bagian Hukum PSKL. Pada Bagian Hukum, draft SK dan peta akan
dikoreksi dan diperbaiki dan SK yang sudah diperbaiki dimintakan nomer SK di Bagian Tata
27 Soraya Afif (2017). 28 Soraya Afif (2017).
28
Usaha Menteri LHK. Permintaan nomer pada Bagian Tata Usaha Menteri karena Dirjen PSKL
akan menandatangani SK tersebut atas nama Menteri LHK. Biasanya prose koreksi dan
perbaikan draft SK serta pemberian nomer SK memerlukan waktu yang cukup lama karena
keterbatasan sumber daya manusia.
Untuk mengatasi kendala-kendala dimaksud, ke depan perlu dilakukan beberapa hal
berikut, sebagaimana yang diringkas dalam diagram berikut.
Gambar 3. 2 Diagram Alur Percepatan Pencapaian Program Perhutan Sosial
1. Bekerja bersama-sama dengan Pemerintah Daerah dan Kementerian Desa dan PDTT,
Sekretariat RAPS, dan para pihak melakukan sosialisasi dan assessment ke desa-desa
yang berada di areal PIAPS dana atau berada di kawasan hutan dalam rangka identifikasi
potensi desa hutan dan skema perhutanan sosial yang tepat untuk desa tersebut.
2. Menyelenggarakan Coaching Clinic di tingkat kabupaten atau provinsi untuk dan
melatih dan membantu desa-desa hasil assessment pada point (1) menyusun dokumen
usulan perhutanan sosial.
3. Kegiatan verifikasi yang diselenggarakan oleh Balai PSKL bekerjasama dengan Dinas
Kehutanan Provinsi dan Kabupaten/Kota, KPH dan Pokja PPS setempat. Sementara
kegiatan verifikasi yang dilaksanakan oleh Direktorat PKPS bekerjasama dengan
Sekretariat RAPS dan para pihak.
Coaching Clinick Perhutanan Sosial
1. PSKL 2. Kemendes
& PDTT 3. Pemda 4. Para pihak
1. PKPS 2. Sekretariat
RAPS 3. Para Pihak
Verifikasi Perhutanan Sosial
Sosialisasi PS dan Assesmen potensi desa hutan serta pilihan skema PS
1. Balai PSKL 2. Dishut Prov &
Dishut Kab/Kota
Drafting SK PS dan Peta
1.Bagian Hukum PSKL 2. Sekretariat RAPS
29
4. Kegiatan drafting SK perhutanan sosial dilaksanakan oleh Bagian Hukum PSKL
bekerjasama dengan Sekretariat RAPS ( Sekretariat RAPS perlu membentuk Tim Legal
Drafting).
5. Kegiatan pembuatan peta sebagai lampiran SK dilaksanakan oleh Direktorat PKPS
berkerjasama dengan dengan Sekretariat RAPS ( Sekretariat RAPS perlu membentuk
Tim GIS).
6. Perlu dilakukan pertemuan secara ruguler antara Direktorat PKPS dengan Sekretariat
RAPS untuk memantau perkembangan proses legalitas perhutanan sosial dan
mendiskusikan kerjasama dan dukungan yang diperlukan untuk percepatan.
7. Penguatan dan pendampingan KPH dan Pokja PPS dalam rangka fasilitasi perhutanan
sosial paska legalitas.
30
BAB 4. PERCEPATAN PENETAPAN HUTAN ADAT
4.1. Pengantar Negara Kesatuan Republik Indonesia mengakui hak-hak masyarakat (hukum) adat. Hal itu
tercantum pada (Penjelasan) Pasal 18 (sebelum amandemen) dan makin dipertegas dalam Pasal
18B ayat 2 (setelah amandemen pada tahun 2000). Meski begitu, kecuali yang tercantum pada
UU Pokok Agraria 1960, yang terjadi pada masa berikutnya adalah justru pengingkaran dan/atau
pelanggaran terhadapnya. Semakin masif pada masa Orde Baru. Bahkan sebuah Peraturan
Pemerintah pernah membatalkan pengakuan hak masyarakat adat itu! (Zakaria, 2000).29
Angin reformasi yang berhembus sejak pertengahan tahun 1998 lalu membuka peluang
baru. Setidaknya ada 5 Putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan pengakuan Negara atas
hak masyarakat hukum adat. Termasuk atas tanah adat/tanah ulayat. Hal penting dari putusan-
putusan MK ini adalah bahwa Mahkamah Konstitusi itu telah merumuskan kriteria dan
kondisionalitas serta proses pengakuan yang lebih pasti dari masa sebelumnya, yang selama ini
menjadi debat kusir yang bermuara pada pengingkaran hak masyarakat hukum adat (Zakaria,
2015).30
Sebagai lanjutannya, saat ini setidaknya tersedia lima perangkat peraturan perundang-
undangan yang lebih operasional yang dapat digunakan untuk memperoleh pengakuan hak-hak
masyarakat (hukum) adat secara hukum. Masing-masing adalah, diurut berdasarkan tahun
pemberlakuannya, (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa; (2) Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan
Masyarakat Hukum Adat; (3) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 10 tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal atas
Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada dalam Kawasan Tertentu; (4)
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 32 Tahun 2015 tentang Hutan Hak;
dan (5) Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan
Tanah yang Berada di Dalam Kawasan Hutan.
Pada intinya kelima kebijakan ini menjabarkan lebih jauh Putusan-putusan Mahkamah
Konstitusi itu, khususnya Putusan MK 35/2012. Sebagaimana diketahui Putusan MK itu telah
menetapkan bahwa tanah adat bukan tanah negara; hutan adat cq. tanah adat berada di wilayah
adat/ulayat masyarakat hukum adat; dan hak masyarakat hukum adat diakui atas hutan adat cq.
tanah adat itu jika keberadaan masyarakat hukum adat yang bersangkutan telah ditetapkan dalam
peraturan daerah.
Meski begitu, sejak diumumkannya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012
pada tanggal 16 Mei 2013, hingga memasuki penghujung tahun 2017 ini penetapan hutan adat
29 R. Yando Zakaria, 2000. Abih Tandeh. Masyarakat Desa di BAwah Rezim Orde Baru. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). 30 R. Yando Zakaria, 2015. “Too Much Law Will Kill You! Dinamika Pembaruan Hukum Pengakuan Hak-hak Masyarakat Adat Pasca-Reformasi”. Makalah yang dipersiapkan untuk Konferensi ke 5 Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia, Surakarta, 14 – 15 Novermber 2015.
31
dalam kawasan hutan baru mencapai 8.746 hektar. Capaian ini sungguh jauh lebih kecil
dibandingkan dengan capaian luasan pemberian Hak Kelola untuk Hutan Desa (490.831 ha), Izin
Hutan Kemasyarakatan/IUPHKm (243.780 ha) dan Izin Hutan Tanaman Rakyat/IUPHK-HTR
(233.385 ha).
Sekedar perbandingan, menurut kalkulasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN),
apa yang mereka sebut sebagai hutan adat itu diperkirakan mencapai angka 40 Juta ha, atau
hampir sekitar 25% dari total kawasan hutan di Indonesia.31 Lalu apa yang keliru hingga capaian
itu demikian rendahnya?
Mengapa hal itu bisa terjadi? Sebagaimana akan dijelaskan lebih jauh dalam bagian-bagian
berikut ada beberapa kendala yang dihadapi. Kendala-kendala ini tentu saja harus diatasi
mengingat, selain terkait dengan optimalisasi Putusan MK 35/2012 itu, momentum lain yang juga
perlu diperhatikan adalah adanya dukungan pengakuan hutan adat sebagaimana tercakup dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Rencana ini
menargetkan 12,7 juta hektar kawasan hutan untuk masyarakat, termasuk masyarakat adat.
Selain itu, keberadaan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) juga dianggap dapat
memberikan peluang untuk pengakuan terhadap hutan adat. Di sisi lain, UU Pemerintahan
Daerah No. 23 Tahun 2014 menguatkan peran pemerintah provinsi dan kabupaten untuk
melaksanakan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat (MHA) dan desa adat, tanah ulayat
dan kearifan lokal.
Untuk merealisasikan itu semua Kementerian LHK telah memprioritaskan penetapan
hutan adat bagi daerah yang telah memiliki Peraturan Daerah tentang Pengakuan Keberadaan
Masyarakat Hukum Adat dan Keputusan Kepala Daerah mengenai hutan adat. Bersama
pemerintah daerah, Kementerian LHK membantu mempersiapkan peta wilayah adat.
Dalam bagian ini akan ditawarkan beberapa jalan keluar untuk mempercepat pengakuan
hutan adat. Antara lain perlu dikembangkan interpretasi hukum yang tepat terhadap norma
peraturan perundang-undangan yang ada. Selain itu, pada sisi tertentu perlu dilakukan diskresi.
Tanpa keinginan melakukan diskresi maka sulit bagi Pemerintah untuk dapat segera menetapkan
hutan adat.
4.2. Beberapa kendala pengakuan hutan adat Menurut Arizona (2015)32 mengemukakan bahwa rendahnya kinerja capaian pembaruan hukum
pengakuan hak-hak masyarakat adat, jika dapat dikatakan begitu, salah satu penyebabnya adalah
karena, di satu sisi, agenda advokasi pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat terjebak
pada kerumitan keragaman subyek, obyek, dan pilihan instrumen hukum yang tersedia; dan di sisi
lain, seringkali produk hukum daerah itu hanya bersifat deklaratif semata.
31 Pernyataan Sekretaris Jenderal AMAN pada suatu seminar dalam rangka menyambut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 (dilihat http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Putusan&id=1&kat=1 ) di pertengahan tahun 2013 lalu. 32 Yance Arzona, 2015. “Trend Produk Hukum Daerah Mengenai Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat”. Bahan presentasi yang disampaikan pada “Sarasehan dalam rangka Rapatkerja Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Sorong, Papua Barat, 16 Maret 2015.
32
Sementara itu Safitri, Berliani, dan Suwito (2015)33 menyatakan bahwa ketidaksinkronan
norma hukum nasional ditengarahi sebagai salah satu faktor yang mempengaruhinya. Terdapat
perbedaan pengaturan mengenai bentuk produk hukum daerah yang valid untuk pengakuan
masyarakat hukum adat. Peraturan kebijaksanaan yang telah diterbitkan Pemerintah melalui
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan
Perlindungan Masyarakat Hukum Adat dan Peraturan Menteri LHK Nomor 32 Tahun 2015
tentang Penetapan Hutan Hak, termasuk di dalamnya Penetapan Hutan Adat. Selain itu, terdapat
distorsi antara janji politik pemerintah untuk mengakui masyarakat hukum adat dan wilayah
adatnya dengan program pembangunan nasional yang dicanangkan untuk lima tahun ke depan.
Kewenangan pengakuan masyarakat hukum adat dan wilayah adat ada pada pemerintah daerah.
Namun, hal ini tidak juga mampu mempercepat pengakuan hutan adat. Tidak sesuainya jenis dan
materi muatan produk hukum daerah dengan persyaratan penetapan hutan adat oleh
Kementerian LHK menjadi penyebab utama. Selain itu pemerintah daerah menganggap tidak
memiliki kewenangan mengatur masyarakat hukum adat dan wilayah adat, terutama ketika
wilayah itu berada di dalam kawasan hutan. Ada pula keengganan pemerintah daerah
memberikan pengakuan itu karena khawatir menghambat investasi di daerahnya. Pokok
argumentasinya adalah bahwa ketidaksempurnaan norma hukum di tingkat nasional atau daerah
dapat diatasi dengan interpretasi hukum yang bersifat ekstensif, historikal dan
teleologikal/sosiologikal. Atas dasar itu maka kewenangan penetapan hutan adat yang ada pada
Kementerian LHK seyogianya menjadi arena diskresi yang efektif.34
Dalam pada itu Zakaria (2016)35 berpandangan bahwa lemahnya daya ungkit yang dapat
digerakkan oleh kebijakan-kebijakan yang terkait dengan pengakuan hak masyarakat hukum adat
itu terjadi tidak bisa dilepaskan dari karena logika hukum yang keliru yang terkandung dalam
berbagai kebijakan sebagaimana telah dijelaskan di atas.36 Di samping tidak cocok dengan realitas
politik sebagaimana yang dijelaskan Arizona (2015) dan Safitri, Berliani, dan Suwito (2015)
terdahulu, logika hukum yang digunakan dan dikukuhkan oleh Putusan MK 35 Tahun 2012 itu
sama sekali tidak cocok dengan realitas sosio-antropologis di tingkat lapangan. Selain itu, para
pelaksana maupun pengguna kebijakan itu juga masih gagal melepaskan diri dari gejala
generalisasi, sebagaimana dengan mudah dapat dilihat dalam konteks kebijakan turunan di tingkat
daerah.37
Perdefenisi masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang secara turun
temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Indonesia karena adanya ikatan pada
asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam, memiliki pranata
pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya, yang keberadaannya ditetapkan
33 Myrna A. Safitri, Hasbi Berliani, dan Suwito, 2015. Penetapan Hutan Adat. Interpretasi Hukum dan Diskresi. Partnership Policy Paper, No. 7/2015. Jakarta: Kemitraan 34 Lebih lajut lihat Safitri, Berliani, dan Suwito, 2015, ibid. 35 R. Yando Zakaria, 2016. “Strategi Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat (Hukum) Adat: Sebuah pendekatan sosiologi-antropologis”, in Jurnal Bhumi, Volume 2 No. 2, November 2016, sebagaimana dapat dikakss pada tautan berikut: https://www.academia.edu/30778953/Strategi_Pengakuan_dan_Perlindungan_Hak-hak_Masyarakat_Hukum_Adat_Sebuah_pendekatan_sosiologi-antropologis_-_Jurnal_Bhumi_Vol_2_No_2_Nov_2016.pdf 36 Zakaria, 2016, ibid. 37 Zakaria, 2016, ibid.
33
melalui ketentuan peraturan perundang-undangan. Sementara itu, wilayah adat dan/atau tanah
ulayat didefinisikan sebagai suatu wilayah tertentu yang penguasaannya diatur oleh suatu hak
persekutuan yang dipunyai oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu yang menjadikan wilayah
adat dan/atau tanah adanya itu sebagai lingkungan hidup warganya, yang meliputi hak untuk
memanfaatkan tanah, hutan, dan air serta isinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.38
Pertanyaannya kemudian adalah, dalam konteks masyarakat (adat) Batak Toba dan atau
Minangkabau misalnya, susunan masyarakat seperti saja yang dapat disebut sebagai suatu susunan
dan/atau kesatuan masyarakat hukum adat itu? Dan bentang alam yang mana pula yang dapat
disebut sebagai wilayah adat dan/atau tanah adat itu?
Di Ranah Minang susunan masyarakat hukum adat sangatlah beragam. Ada yang disebut
kaum/buah gadang (keluarga luas berdasarkan nenek/perempuan tertentu); suku (keluarga luas
berdasarkan garis keturunan nenek moyang tertentu), dan juga nagari (suatu kesatuan
pemukiman/desa teritorial sekaligus bersifat genealogis, yang terdiri dari beberapa kaum yang
berasal dari 4 suku yang ada (urang ampek jinih). Masing-masing susunan itu memiliki tanah
ulayat yang disebut sako/pusako tersediri. Tanah-tanah ulayat itu diurus panghulu andiko yang
berbeda pula satu sama lainnya. Masing-masing susunan itu memiliki kewenangan yang penuh atas
sako/pusako, dan tidak dapat mencampuri urusan kaum, suku, atau nagari yang lain Franz von
Benda-Beckmann, 1979;39 dan Keebet von Benda-Beckmann, 2000;40 Franz and Keebet von
Benda-Beckman, 2012;41 Warman, 2010).42
Sementara itu, hasil kajian etnografi yang dilakukan oleh Sjahrir-Pandjaitan dan Zakaria
(2017)43 menemukan bahwa entitas sosial di dalam masyarakat Batak Toba yang dapat disebut
kesatuan masyarakat hukum adat adalah bius, partolian, golat, dan huta atau penyebutan lain yang
disetarakan dengan sebutan ini. Marga raja dan marga boru (atau penyebutan lain yang setara
dengan sebutan ini) yang merupakan bagian tak terpisahkan dari keberadaan marga raja itu
sendiri adalah pemangku hak utamanya. Dengan demikian, kesatuan wilayah di mana bius,
partolian, golat, dan huta itu berada dapat pula disebut sebagai wilayah adat dan/atau (tanah)
ulayat dari masing-masing satuan entitas sosial itu. Adapun obyek hak dari masing-masing hak-
hak pertuanan/ulayat dari masing-masing subyek hak itu (baca: bius, partolian, golat, dan huta,
baik dalam arti berkelompok ataupun perorangan di dalam kelompok-kelompok marga raja
38 Disarikan dari definisi yang dimuat dalam berbagai UU dan Rancangan Undang-Undang Pertanahan. Setidaknya ada … peraturan perundang-undangan yang telah mengatur pengakuan hak masyarakat adat ini. Masing-masing adalah Masing-masing adalah (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; (2) UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan; (3) UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi; (4) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; (5) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; (6) UU No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi; (7) UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air; (8) UU No. 18 Tahun 2004 tentang 39 Benda-Beckmann, Franz. 1979. Property in social continuity: Continuity and change in the maintenance of property relationships through time in Minangkabau, West Sumatra. The Hague: Martinus Nijhoff. 40 Benda-Beckmann, Keebet von. 1984. The Broken Stairways to Consensus: Village Justice and State Courts in Minangkabau. Dordrecht: Foris Publications. 41 Franz and Kebeet von Benda-Beckmann, 2012. 2012. Political and Legal Transformations of an Indonesia Polity. The Nagari, from Colonisation to Decentralisation. Cambridge: Cambridge University Press. 42 Kurnia Warman, (2010). Hukum Agraria dalam Masyarakat Majemuk. Dinamika Interaksi Hukum Adat dan Hukum Negara di Sumatera barat. Jakarta: HuMa, Van Vollenhoven Institute, KITLV – Jakarta. 43 Kartni Sjahrir – Pandjaitan dan R. Yando Zakaria. Etnografi Tanah Adat di Kabupaten Humbang Hasundutan. Laporan Penelitian. Jakarta: Yayasan Sjarir dan Pusat Kajian Etnografi Hak-hak Komunitas Adat (PUSAKA), tidak diterbitkan.
34
dan/atau marga boru dimaksud) dapat berupa (1) kawasan hutan: hutan tua disebut tano rimba
dan harangan; hutan muda disebut tombak atau rabi. Jika tanah yang belum pernah dibersihkan
itu disebut tano na jadi hea niula atau tano tarulang. Jika sebidang tanah pernah dibersihkan dan
sekarang ditinggalkan, itu disebut gasgas atau tano na niulang, atau penyebutan lain yang
disetarakan dengan sebutan ini; (2) Area perumahan: Areal perumahan atau parhutaan terletak
pada sebidang tanah berbatasan dengan dua dinding, parik bulu suraton dan parik bulu dun.
Keempat sudutnya ditandai dengan pagopago berupa biasanya batu besar atau pohon besar, atau
penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini; (3) Areal pertanian: Sawah disebut saoa
atau hauma. Ladang untuk menanam padi disebut hauma tur. Sebidang tanah yang telah
ditinggalkan bera untuk waktu singkat, misalnya dua tahun, yang ditujukan untuk rotasi tanaman,
disebut tano dipaombal. Jika tanah untuk tujuan yang sama dibiarkan bera untuk waktu yang lebih
lama, maka itu disebut talun. Porlak adalah ladang untuk menanam tumbuhan selain padi, atau
penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini; (4) Area penggembalaan: Jalangan adalah
padang rumput untuk merumput ternak tanpa pengawasan, sementara jampalan, atau
penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini, adalah untuk penggembalaan sapi, kambing,
atau kuda yang ditambatkan; (5) Area pencadangan: Area pencadangan disebut berdasarkan
tujuan yang berbeda-beda. Hauma harajaon, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan
sebutan ini, adalah area cadangan untuk mendirikan sawah hasil panen yang digunakan untuk
menutupi biaya upacara penawaran di tingkat bius atau bona. Hutan yang dicadangkan untuk
kayu bakar disebut tombak riperipe. Tanah yang layak untuk penggembalaan disebut jalangan.
Saluran tanah yang diperuntukkan bagi perluasan huta disebut pangeahan atau tambatamba ni
huta. Jika dicadangkan untuk pendatang baru atau yang baru menikah itu disebut punsu tali.
Cadangan air disebut mata mual; dan (6) Daerah suci: Saluran ini diyakini berada di sekitar roh
dan jiwa nenek moyang yang mati yang disebut parsombaonan, solobean, parbeguan dan saba
parhombanan, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini. Kuburan disebut
partangisan, parbanadi, atau udean, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini. Jika
kuburan itu dimiliki oleh orang biasa maka disebut partangisan hatopan, sedangkan kuburan
individu disebut partangisan pangumpolan, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan
ini. Saluran tanah tempat orang melakukan sholat khusus untuk menyembuhkan orang sakit
dengan meditasi disebut tano langlang atau parlanglanga, atau penyebutan lain yang disetarakan
dengan sebutan ini.
Pertanyaannya kemudian adalah, apakah dibutuhkan satu Peraturan Daerah untuk setiap
kaum/buah gadang, suku, atau pun nagari, atau pun bius, partolian, golat, huta, marga raja dan
marga boru perlu ditetapka dulu dengan peraturan daerah agar agar masing-masing pusako (baca:
harta kekayaan bersama yang berupa tanah ulayat) di Ranah Minang ataupun yang disebut tano
rimba dan harangan; parhutaan; saoa atau hauma dan lain penggunaan secara tradisional dikenal
dalam masyarakat Batak Toba itu, dapat diakui oleh negara sebagaimana dimaksudkan oleh
Putusan MK 35/2012 itu? Jika jawabannya ‘ya’, maka bisa dibayangkan betapa sibuknya
masyarakat hukum adat dan Pemerintah di negeri ini untuk memenuhi amanat konstitusi.44
44 Sebagai gambaran, saat ini terdapat sekitar 700 nagari di Sumatera Barat. Secara teoritik terdapat pula sekitar 3200 suku, karena suatu nagari baru bisa dibentuk jika sudah ada apa yang disebut sebagai urang apek jinih (orang-orang dari empat suku yang berebeda). Dengan asumsi terdapat sekurang-kurangnya 10 kaum dalam setiap suku agar dapat
35
Oleh sebab itu, tanpa mengurangi nilai-nilai positifnya, implementasi Putusan 35/2012,
Zakaria (2016)45 menyarankan pelaksanaan kebijakan ini perlu dilengkapi dan/atau didekati
dengan perspektif sosio-antropologis. Hal ini diperlukan agar jangan sampai putusan dimaksud
justru menjadi sumber malapetaka yang baru bagi perjuangan pengakuan hak-hak masyarakat
adat di negeri ini. Terlebih lagi, pada dasarnya, pada saat yang bersamaan Putusan MK 35/2012
itu sebenarnya juga mengukuhkan keberadaan Pasal 67 UU 41/1999 tentang Kehutanan yang
telah memberatkan masyarakat adat.
4.3. Pengaturan Beberapa Hak Masyarakat Hukum Adat
4.3.1. Hak Masyarakat Hukum Adat dalam Pengelolaan Hutan dan Kawasan Hutan
Setelah beberapa pengujian melalui Putusan Mahkamah Konstitusi46 pengakuan UU 41 terhadap
MHA dan hutan adat dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Hutan adat adalah bagian dari hutan hak, bukan hutan negara
b. Masyarakat hukum adat dikukuhkan melalui Peraturan Daerah
c. Masyarakat hukum adat dapat mengelola kawasan hutan dengan tujuan khusus
d. Pemanfaatan hutan oleh masyarakat hukum adat harus sesuai dengan fungsinya.
e. Pemanfaatan hutan adat dapat dilakukan pada kawasan hutan produksi dan hutan
konservasi sepanjang tidak mengganggu fungsinya.
Hal yang acap mengganjal dari UU 41 ini adalah ketentuan Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 67
ayat (2) yang menyatakan bahwa pengakuan hutan adat hanya dapat dilakukan jika MHA masih
hidup dan diakui. Pengakuan MHA dikukuhkan melalui Peraturan Daerah.
Logika yang ada dalam kedua pasal ini terkait dengan rumusan Pasal 1 angka 6 dan Pasal
5 ayat (2) UU 41 sebelum Putusan MK 35. Kedua pasal tersebut memandang bahwa hutan adat
adalah bagian dari hutan negara. Atas dasar itulah maka jika negara ingin ‘memberikan’ hutan
kepada MHA maka masyarakat itu harus membuktikan keabsahan dirinya sebagai subjek hukum
yang layak memangku hutan adat.
Semestinya, Putusan MK 35 memberikan koreksi terhadap makna Pasal 5 ayat (3) dan
Pasal 67 ayat (2) ini. Putusan MK 35 dengan tegas mengatakan bahwa hutan adat adalah salah
satu bentuk hutan hak. Ia bukan lagi hutan negara. Konsisten dengan UU 41, hutan hak diartikan
sebagai hutan yang terdapat di atas tanah yang dibebani dengan hak atas tanah. Dengan demikian,
yang menjadi syarat utama penentuan hutan hak adalah bukti penguasaan objek tanah, bukan
terhadap subjek haknya. Namun, kenyataannya tidak demikian. MK lebih menyoroti keberadaan
ketentuan pengukuhan MHA melalui Peraturan Daerah itu sebagai upaya mengatasi kekosongan
hukum karena belum adanya Undang-undang mengenai MHA. Putusan MK 35 sama sekali tidak
diperhitungkan sebagai suku pembentuk suatu nagari, maka saat ini terdapat sekitar 32.000 kaum. Perhitungan matematis yang tidak jauh berbeda juga berlaku dalam kasus masyarakat Batak Toba 45 Zakaria, 2016, op.cit. 46 Putusan MK No. 45/PUU-XI/2011, Putusan MK No. 34/PUU-IX/2011 dan Putusan MK No. 35/PUU-X/2012.
36
membahas bagaimana konsekuensi penetapan hutan adat sebagai hutan hak terhadap keberadaan
Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 67 ayat (2) UU 41.
Keterbatasan dalam Putusan MK 35 ini menuntut kita mengembangkan interpretasi
hukum yang tepat dalam memaknai Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 67 ayat (2) UU 41. Penetapan
terhadap hutan adat dapat dilakukan atas dasar keabsahan subjek hukum, dalam hal ini adalah
pengakuan terhadap keberadaan MHA, dan keabsahan penguasaan atas objek hutan adat. Khusus
mengenai keabsahan subjek hukum MHA, UU 41 dalam Pasal 67 ayat (2) menyatakan harus
berbentuk Peraturan Daerah. Namun, untuk keabsahan penguasan atas objek hutan hak, UU 41
tidak mengatur dengan rinci dan menyerahkannya kepada pengaturan dalam bidang hukum
pertanahan.
4.3.2. Pengakuan pada Kearifan Lokal
UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH)
menempatkan pengakuan MHA dan kearifan lokal dalam posisi sentral. Salah satu prinsip PPLH
adalah kearifan lokal yang diartikan sebagai nilai-nilai luhur yang berlaku dalam kehidupan
masyarakat untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.47 Selain itu Rencana
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) harus bersandar pada kearifan lokal.
Pemerintah dan pemerintah provinsi menetapkan kebijakan pengakuan MHA, kearifan
lokal dan hak-hak MHA terkait PPLH. Sementara itu pemerintah kabupaten melaksanakannya.
Saat ini sedang dirancang peraturan di tingkat nasional untuk pengakuan kearifan lokal tersebut.
Pengakuan terhadap kearifan lokal ini berdimensi luas. Tidak sekedar yang ada di kawasan
hutan namun juga di luar kawasan hutan, di wilayah daratan ataupun di wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil. Bagaimana mengaitkan pengakuan terhadap wilayah kearifan lokal dengan hutan adat
yang ada di dalam dan luar kawasan hutan adalah isu hukum yang harus diselesaikan.
4.3.3. Pengakuan Desa Adat
Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa mengakui keberadaan desa adat sebagai subjek
hukum. Dengan syarat-syarat tertentu sebagaimana disebutkan dalam tabel 1, MHA dapat
ditetapkan sebagai desa adat. Desa adat mempunyai kewenangan mengatur masyarakat dan
wilayah adatnya berdasarkan hukum adat. Desa adat mempunyai harta kekayaan. Salah satunya
adalah tanah ulayat dan hutan milik desa.
UU Desa menyebutkan bahwa kekayaan desa yang berupa tanah disertipikatkan atas nama
pemerintah desa.48 Tidak dijelaskan oleh Undang-Undang ini mengenai bentuk hak atas tanah
yang dapat diberikan kepada pemerintah desa. Di lihat dari subjek hukumnya, maka hak yang
mungkin dipegang oleh pemerintah desa adalah hak pakai. Meskipun demikian, hak pakai berarti
sebagai hak memanfaatkan tanah negara. Bagaimana tanah negara dapat dipersamakan dengan
aset desa? Bagaimana pula halnya jika aset desa berupa tanah ulayat? Apa bentuk pengakuan hak
47 Pasal 1 angka 30 UUPPLH. 48 Pasal 76 ayat (4) UU No. 6 Tahun 2014.
37
yang akan diberikan? Lalu, hak atas tanah apa yang seharusnya ada pada hutan milik desa?
Pertanyaan-pertanyaan ini tidak mendapat jawaban yang memuaskan dari UU Desa.
4.3.4. Hak Masyarakat Hukum Adat dalam Pengukuhan Kawasan Hutan
Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. P. 44/Menhut-II/2012 jo Peraturan Menteri
Kehutanan No. P. 62/Menhut-II/2013 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan mengatur mengenai
penanganan terhadap hak MHA dalam proses pengukuhan hutan. Salah satu hal penting dari
peraturan menteri ini adalah klausul mengenai bentuk pengakuan keberadaan MHA. Permenhut
No. P. 62/Menhut-II/2013 yang menyebutkan Putusan MK 35 dalam konsiderans menimbangnya
menyatakan bahwa pengakuan tersebut harus dilakukan dengan Peraturan Daerah Provinsi atau
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.49
Untuk memperjelas apa yang sudah disebutkan dalam Pasal 67 ayat (2) UU 41, Permenhut
ini menambahkan bahwa Peraturan Daerah itu harus dilengkapi dengan peta wilayah adat.
Menariknya, Permenhut ini juga menyatakan bahwa setelah wilayah adat diakui, maka wilayah itu
dikeluarkan dari kawasan hutan. Di sini tampak pertentangan antara Permenhut ini dengan UU
41 dan dengan Putusan MK 35 yang menyatakan bahwa kawasan hutan terdiri dari hutan negara
dan hutan hak. Di dalam hutan hak itu terdapat hutan adat dan hutan hak perorangan serta
badan hukum. Dengan demikian maka pengakuan terhadap hutan adat tidak serta merta
mengeluarkannya dari kawasan hutan.
4.3.5. Beberapa Peraturan Kebijaksanaan
Selain berdasarkan peraturan perundang-undangan, pemerintah juga dapat melakukan tindakan
berbasis kepada peraturan kebijaksanaan (beleidsregel, policy rule). Tujuannya adalah untuk
efektifitas pelaksanaan tugas pemerintahan. Dalam kaitan dengan hutan adat, dapat disebutkan
dua peraturan kebijaksanaan yang telah dibuat Pemerintah. Yang pertama adalah Surat Edaran
Menteri Kehutanan No. SE.1/Menhut-II/2013 dan yang lain adalah Surat Edaran Menteri Dalam
Negeri No. 522/8900/SJ tanggal 20 Desember 2013.
Surat Edaran Menteri Kehutanan dimaksudkan untuk memberikan penjelasan mengenai
perubahan UU 41 setelah Putusan MK 35. Dalam Surat tersebut, Menteri menegaskan bahwa
penetapan hutan adat dilakukan oleh Menteri setelah ada penetapan keberadaan MHA melalui
Peraturan Daerah.
Adapun Surat Edaran Menteri Dalam Negeri yang disebutkan di atas adalah untuk
melakukan pemetaan sosial terhadap MHA. Dalam Surat ini, Menteri Dalam Negeri meminta
para kepala daerah untuk memetakan keberadaan MHA di wilayahnya serta permasalahan sosial
yang mereka hadapi.
49 Pasal 24 A Permenhut No. P. 62/Menhut-II/2013.
38
4.3.6. Masalah Perangkat Hukum
Dar uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat distorsi antara janji politik pemerintah untuk
MHA dengan program pembangunan nasional. RPJMN 2015-2019 harus diakui memuat program-
program yang sangat jauh semangatnya dari Nawacita dalam hal pengakuan MHA.
Pemetaan dan analisis pada sejumlah peraturan perundang-undangan menunjukkan
bahwa hambatan utama percepatan pengakuan hutan adat ada pada ketidaksinkronan peraturan.
Jika pengakuan diawali dengan pengukuhan MHA oleh pemerintah daerah maka produk hukum
daerah apakah yang seharusnya digunakan. Saat ini, terdapat dua model yakni melalui Peraturan
Daerah dan dengan Keputusan Kepala Daerah. Manakah yang harus diacu? Pemerintah Pusat
belum menunjukkan arahan yang jelas. Jika misalnya atas dasar hirarki peraturan perundang-
undangan maka UU 41 dan UU Desa harus menjadi rujukan, dengan kata lain bahwa pengakuan
MHA harus dengan Peraturan Daerah, mengapa Permendagri No. 52/2014 tetap diberlakukan?
Namun, jika Permendagri tersebut diubah atau dicabut sehingga tidak mungkin lagi pengakuan
melalui Keputusan Kepala Daerah maka Pemerintah harus menyediakan solusi bagi pengakuan-
pengakuan yang sudah dilakukan sejumlah pemerintah daerah dengan Keputusan Kepala Daerah
(pelaksanaan Permendagri 52/2014).
Ketidaksinkronan peraturan perundang-undangan tidak mampu diatasi oleh instrumen
peraturan kebijaksanaan seperti surat-surat edaran Menteri. Peraturan kebijaksanaan merupakan
modal pemerintah untuk mengefektifkan tugas pemerintahan. Termasuk di dalam tugas ini adalah
pengakuan MHA dan hutan adat yang merupakan mandat konstitusional Pemerintah. Namun, hal
ini tidak terjadi ketika Pemerintah mengeluarkan surat-surat edaran yang terkait dengan MHA
dan hutan adat. Peraturan kebijaksanaan ini belum memberikan solusi hukum apapun untuk
mengatasi sumbatan pengakuan hutan adat.
4.4. Mempercepat Pengakuan Hak Masyarakat Hukum Adat atas Hutan Adat
4.4.1 Pengantar
Setelah melihat persoalan-persoalan yang terdapat pada hukum nasional (bab 2), kemudian
dilanjutkan dengan penjelasan mengenai dinamika kebijakan di daerah (bab 3), maka pada bab ini
kita sampai pada pertanyaan: Apa yang semestinya dilakukan Pemerintah untuk mempercepat
penetapan hutan adat? Perangkat hukum untuk penetapan hutan adat sejatinya telah tersedia. Di
sana-sini ada kelemahan-kelemahan. Namun, hal tersebut sebaiknya tidak menjadi alasan untuk
menunda penetapan hutan adat. Bagaimana membangun interpretasi hukum yang tepat terhadap
peraturan perundang-undangan yang ada adalah tantangan yang harus dijawab oleh Pemerintah.
Selain itu, dalam situasi ketidakjelasan peraturan, termasuk ketidaksinkronan yang menyebabkan
hambatan dalam penetapan hutan adat, diskresi menjadi pilihan yang penting dipertimbangkan.
Pembahasan pada bab ini difokuskan pada berbagai bentuk interpretasi hukum dan dasar-dasar
melakukan diskresi untuk penetapan hutan adat.
39
4.4.2 Kewenangan Menetapkan Hutan Adat
Menurut Putusan MK 35, hutan adat adalah salah satu bentuk hutan hak. Dengan demikian maka
pembahasan mengenai kewenangan terhadap hutan adat juga harus dikaitkan dengan hutan hak.
UU 41 menyatakan bahwa Pemerintah menetapkan status hutan.50 Dengan demikian maka
Pemerintah Pusat mempunyai kewenangan menetapkan hutan hak ataupun hutan negara.
Penetapan status hutan merupakan bagian dari pengukuhan kawasan hutan. Hal ini jelas tertera
dalam Pasal 15 ayat (1) UU 41. Dengan demikian, hutan hak yang di dalamnya terdapat hutan
adat itu juga perlu dikukuhkan. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
menyatakan bahwa kewenangan penyelenggaraan pengukuhan kawasan hutan ada pada
Pemerintah Pusat. Karenanya maka pengukuhan kawasan hutan hak semestinya juga menjadi
bagian dari kewenangan Pemerintah Pusat, dalam hal ini KLHK.
Selama ini beredar pandangan bahwa urusan hutan hak adalah urusan pemerintah daerah. Oleh
sebab itu dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 26/Menhut-II/2005 tentang Pedoman
Pemanfaatan Hutan Hak, kewenangan penunjukan hutan hak dibebankan kepada pemerintah
daerah. Peraturan ini bertentangan dengan UU 41. Koreksi terhadapnya baru dilakukan sepuluh
tahun kemudian, tepatnya tanggal 7 Juli 2015. Permen LHK No. P. 32/Menlhk-Setjen/2015
tentang Hutan Hak mencabut Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 26/Menhut-II/2005. Permen
LHK mengenai hutan hak menyebutkan bahwa hutan hak ditetapkan oleh Menteri yang
kemudian mendelegasikannya kepada Direktur Jenderal yang membidangi urusan Perhutanan
Sosial dan Kemitraan Lingkungan (lihat kembali bagian 2.3.16 mengenai pokok-pokok pengaturan
hutan hak dalam Peraturan Menteri LHK No. P. 32/Menlhk-Setjen/2015).
4.4.3 Menetapkan Hutan Adat yang telah diakui Pemerintah Daerah
Langkah pertama yang dapat dilakukan Pemerintah, dalam hal ini KLHK, adalah mengakui
Keputusan-keputusan Kepala Daerah mengenai hutan adat yang telah ada, untuk menjadi dasar
penetapan hutan adat. Dasar hukum untuk ini adalah ketentuan Pasal 15 Permen LHK No. P.
32/Menlhk-Setjen/2015 tentang Hutan Hak. Pasal tersebut menyatakan bahwa hutan adat yang
sudah ditetapkan dengan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah dinyatakan tetap
berlaku dan ditetapkan sebagai hutan hak sesuai dengan Peraturan Menteri No. P. 32/Menlhk-
Setjen/2015.
Apakah penetapan hutan adat dengan dasar Keputusan Kepala Daerah itu tidak
bertentangan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 67 ayat (2) UU 41? Pasal 5 ayat (3)
menyebutkan bahwa hutan adat diakui sepanjang MHA masih ada dan diakui keberadaannya.
Sementara itu, Pasal 67 ayat (2) menyatakan bahwa pengukuhan keberadaan dan hapusnya MHA
ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Kami mempunyai dua pilihan argumentasi hukum mengenai hal ini. Pertama, sesuai dengan
Pasal 1 angka 5 UU 41, hutan hak adalah hutan yang terdapat di atas tanah yang dibebani hak atas
tanah. Oleh karena itu maka pembuktian yang utama adalah terkait dengan penguasaan atas
objek hak. Sementara itu, Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 67 ayat (2) lebih menekankan pembuktian
50 Pasal 5 ayat (3) UU 41.
40
subjek hak. Alih-alih menyatakan Pasal 1 angka 5 bertentangan dengan Pasal 5 ayat (3) dan Pasal
67 ayat (2), kami berpendapat lebih baik kita menyimpulkan bahwa dengan Putusan MK 35
terbuka dua jalur penetapan hutan adat. Yang pertama adalah sejalan dengan Pasal 5 (3) dan Pasal
67 (2) yaitu penetapan berbasis pengakuan pada subjek MHA. Yang kedua, adalah penetapan
berbasis pada pengakuan atas objek hutan adat.
Keputusan-keputusan kepala daerah terkait dengan hutan adat adalah pengakuan berbasis
objek. Karena UU 41 tidak menyebutkan bahwa pengakuan berbasis objek ini harus berdasarkan
Peraturan Daerah, maka kita dapat menyimpulkan bahwa pengakuan objek hutan adat dengan
Keputusan Kepala Daerah dapat diterima.
Argumentasi kedua terkait dengan keberadaan Pasal 15 Permen Hutan Hak. Pasal ini
diletakkan pada bagian ketentuan peralihan. Mengapa demikian? Untuk menjawabnya kita perlu
mengetahui fungsi ketentuan peralihan dalam peraturan perundang-undangan.
Lampiran I UU No. 12 Tahun 201151 menyebutkan bahwa “Ketentuan Peralihan memuat
penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan
Peraturan Perundang-undangan yang lama terhadap Peraturan Perundang-undangan yang baru”.
Tujuannya adalah untuk: (i) menghindari terjadinya kekosongan hukum; (ii) menjamin kepastian
hukum; (iii) memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan (iv) mengatur hal-hal yang bersifat transisional
atau bersifat sementara.”
Dengan mengakui Keputusan Kepala Daerah mengenai pengakuan hutan adat maka
Permen Hutan Hak sedang menjalankan upaya menjamin kepastian hukum dan memberikan
perlindungan hukum pada masyarakat yang hutan adatnya telah mendapat pengakuan dari Kepala
Daerah.
Penetapan hutan adat berbasis pada pengakuan yang telah dilakukan oleh Kepala Daerah
juga merupakan kebijakan transisional. Oleh sebab itu maka pengakuan dengan model ini hanya
dapat diberikan sekali untuk semua Keputusan Kepala Daerah yang menetapkan hutan adat
sebelum adanya Peraturan Menteri LHK No. P. 32/Menlhk-Setjen/2015 tentang Hutan Hak.
Untuk selanjutnya, penetapan hutan adat dilakukan sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh
Peraturan Menteri ini.
KLHK dapat memilih diantara dua argumentasi ini. Keduanya telah memberikan alasan
hukum yang kuat untuk mengakui Keputusan Kepala Daerah mengenai hutan adat sebagai dasar
penetapan hutan adat oleh Menteri.
51 UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Lampiran I-nya membahas Teknik Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Mengenai fungsi ketentuan peralihan lihat angka 127 dari Lampiran ini.
41
4.4.4. Menetapkan Hutan Adat dimana MHA telah dikukuhkan Pemerintah Daerah
Saat ini di sejumlah daerah terdapat Peraturan Daerah ataupun Keputusan Kepala Daerah yang
telah menetapkan MHA. Sebagai contoh adalah Peraturan Daerah di Morowali, Keputusan
Bupati di Jayapura dan Halmahera Utara.
Peraturan Daerah di Morowali yang telah menetapkan masyarakat Suku Wana sebagai
MHA, misalnya, memberikan dasar yang kuat bagi penetapan hutan adat. Ketiadaan peta wilayah
adat dapat disiapkan selanjutnya. Untuk ini diperlukan Keputusan Bupati yang menetapkan
wilayah MHA itu dengan lampiran petanya. Setelah terbitnya Keputusan Bupati tersebut maka
Masyarakat mengajukan permohonan penetapan hutan adat kepada Menteri LHK, sesuai dengan
Permen Hutan Hak. Keputusan Menteri ini menandai perubahan status kawasan hutan dari hutan
negara menjadi hutan hak, tanpa mengeluarkan hutan adat dari kawasan hutan.
Bagaimana halnya dengan penetapan MHA berdasarkan Keputusan Kepala Daerah?
Penyelesaian terhadap hal ini harus dibedakan antara Keputusan Kepala Daerah yang merupakan
pelaksanaan dari Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah yang tidak berdasarkan
Peraturan Daerah. Keputusan Kepala Daerah yang dibuat berdasarkan Peraturan Daerah
mempunyai kekuatan hukum yang lebih daripada Keputusan Kepala Daerah yang tidak
berdasarkan Peraturan Daerah.
Dengan pendapat di atas maka untuk Kabupaten Jayapura dimana terdapat Keputusan
Bupati baik untuk mengakui wilayah MHA (Keputusan No. 319 Tahun 2014) atau Keputusan
yang mengakui kampung adat (Keputusan No. 320 Tahun 2014), dapat dijadikan dasar untuk
penetapan hutan adat.
Keputusan No. 319 Tahun 2014 didasarkan atas Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua
tentang Pengakuan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan Masyarakat Hukum
Adat52. Selain itu juga dirujuk Peraturan Daerah Khusus Papua tentang Pengelolaan Hutan
Berkelanjutan.53 Adapun Keputusan Bupati No. 320 Tahun 2014 tentang Kampung Adat
didasarkan pada Peraturan Daerah Kabupaten Jayapura No. 8 Tahun 2014 tentang Kampung.
Persoalan yang masih tersisa adalah ketiadaan peta wilayah adat/kampung adat yang
disahkan oleh Bupati. Untuk menjawab masalah ini maka Bupati dapat segera menetapkan
Keputusan untuk mengesahkan peta-peta tersebut. Setelah itu Menteri dapat menetapkan hutan
adat setelah proses validasi dan verifikasi. Dalam kaitan ini, Peraturan Menteri LHK No. P.
32/Menlhk-Setjen/2015 menyebutkan bahwa Menteri dan pemerintah daerah dapat memfasilitasi
MHA untuk memetakan wilayah adatnya, sekiranya produk hukum daerah yang ada belum
dilampiri dengan peta.54
Sementara itu bagi daerah dimana Keputusan Bupati yang menetapkan MHA belum
didasarkan pada Peraturan Daerah (lihat contohnya Kabupaten Lebak untuk MHA Kasepuhan
dan Kabupaten Halmahera Utara untuk MHA Hibualomo), KLHK perlu mendorong Pemerintah
52 Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 23 Tahun 2008. 53 Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 21 Tahun 2008. 54 Pasal 6 ayat (2) Peraturan Menteri LHK No. P. 32/Menlhk-Setjen/2015.
42
Daerah segera menerbitkan Peraturan Daerah sebagai payung hukum bagi Keputusan-keputusan
Bupati itu.
4.4.5. Mendorong diterbitkannya Keputusan Kepala Daerah untuk penetapan MHA dan Wilayah Adat
Di daerah-daerah tertentu, Peraturan Daerah mengenai MHA bersifat umum. Untuk
menjadikannya efektif mendorong penetapan hutan adat, para Kepala Daerah perlu segera
menerbitkan keputusan untuk menetapkan MHA tertentu dan wilayah adatnya. Penetapan ini
disertai dengan peta wilayah adat sebagai lampiran.
Keberadaan Keputusan Kepala Daerah ini merupakan pelaksanaan dari Peraturan Daerah
yang ada. Sesuai dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah
Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan untuk menetapkan tanah ulayat. Dengan bahasa yang
lain maka Bupati/Walikota berwenang menetapkan subjek MHA maupun objek wilayah adatnya.
Peraturan Daerah dan UU No. 23 Tahun 2014 adalah dasar hukum bagi penerbitan Keputusan
tersebut.
Dengan pertimbangan di atas maka di daerah-daerah dimana Peraturan Daerah telah
tersedia, seperti halnya di Kabupaten Malinau atau di Kabupaten Sigi, Bupati dapat menerbitkan
keputusan penetapan MHA dan wilayah adat. Keputusan ini bersama dengan Peraturan Daerah-
nya menjadi dasar permohonan penetapan hutan adat.
5.4.6. Memfasilitasi Pemerintah Daerah membentuk Peraturan Daerah
Dalam hal daerah belum memiliki Peraturan Daerah untuk mengakui dan menetapkan MHA dan
wilayah adatnya, KLHK perlu memfasilitasi Pemerintah Daerah untuk menyusun Peraturan
Daerah. Hal ini ditegaskan dalam Peraturan Menteri LHK mengenai hutan hak (Pasal 12). KLHK
juga dapat memfasilitasi MHA memetakan wilayah adat.
Tindakan proaktif KLHK bertujuan agar penetapan hutan adat dapat dilakukan segera
dengan prosedur yang sesuai dengan hukum. Untuk menjalankan tugas ini maka bimbingan teknis
kepada pemerintah daerah diperlukan.
4.4.7. Koordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Tata cara sebagaimana yang diatur oleh Permendagri No. 52 Tahun 2014 berbeda dengan tata
cara yang diatur oleh UU 41 terkait dengan bentuk produk hukum daerah untuk penetapan
MHA. Permendagri mensyaratkan Keputusan Kepala Daerah, sedangkan UU 41 meminta
Peraturan Daerah. Analisis legistik akan dengan mudah menyatakan bahwa Permendagri No. 52
Tahun 2014 bertentangan dengan UU 41. Namun, ketika pertimbangan keadilan dikemukakan
maka simpulan demikian tidak dapat serta-merta diterima. KLHK dan Kementerian Dalam
Negeri perlu membahas masalah ini dengan seksama. Untuk mengatasi masalah ini perlu dibuat
Surat Edaran Bersama antara Menteri LHK dan Menteri Dalam Negeri yang memuat:
Bentuk produk hukum daerah yang dapat digunakan sebagai dasar penetapan hutan
adat, dalam hal ini dapat dipertimbangkan pilihan-pilihan berikut:
43
Keputusan Kepala Daerah dapat diterima sepanjang telah ada Peraturan
Daerah;
Keputusan Kepala Daerah dapat diterima jika Peraturan Daerah sedang
diproses; dan/atau
Keputusan Kepala Daerah dapat dijadikan dasar untuk pencadangan hutan
adat, sementara penetapan definitif menunggu disahkannya Peraturan
Daerah
Arahan kepada pemerintah daerah untuk membentuk Peraturan Daerah yang tepat
dalam pengukuhan MHA dan wilayah adat
Bentuk-bentuk fasilitasi yang dapat disediakan kepada pemerintah daerah
Selain itu, koordinasi antara KLHK dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan
Pertanahan Nasional diperlukan untuk memperjelas status pengakuan hak komunal bagi MHA
di dalam kawasan hutan. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional No. 10 Tahun 2016 menyatakan bahwa pengakuan hak komunal tersebut
mensyaratkan pelepasan kawasan hutan (Pasal 10 ayat 1). Jika hal tersebut dijalankan maka luas
kawasan hutan akan berkurang dan pengakuan hutan adat akan kontraproduktif pada tujuan
melestarikan hutan. Oleh sebab itu maka perlu disepakati agar penetapan hak komunal di
dalam kawasan hutan tidak selalu berujung pada pelepasan kawasan hutan. Untuk ini ada tiga
cara yang dapat dilakukan:
Memasukkan ke dalam Rancangan Undang-Undang Pertanahan dan revisi Peraturan
Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2007 tentang Pendaftaran Tanah55 perihal ketentuan
pendaftaran tanah ulayat. Dalam PP No. 24 Tahun 2007, tanah ulayat tidak menjadi
objek pendaftaran tanah.
Menegaskan dalam revisi PP No. 24 Tahun 2007 bahwa pendaftaran tanah di dalam
kawasan hutan dapat dilakukan dengan tidak mengubah peruntukan kawasan. Dengan
demikian maka akan terdapat dasar hukum yang lebih kuat untuk hutan hak.
Setelah ada revisi PP No. 24 Tahun 2007, ketentuan Pasal 11 ayat (1) PP No. 11
Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah yang menyatakan bahwa pemberian hak atas
tanah dikecualikan untuk kawasan hutan, harus diubah dengan makna baru bahwa
pengecualian pemberian hak atas tanah hanya berlaku pada kawasan hutan negara
saja, bukan pada kawasan hutan hak.
Penyempurnaan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional No. 9 Tahun 2015 setelah ada revisi pada PP No. 24 Tahun 2007
55 Sesuai dengan Keputusan Presiden No. 9 Tahun 2015 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2015, PP 24 Tahun 2007 adalah salah satu peraturan yang akan diubah.
44
4.4.8. Mensiasati Kebijakan yang ada
Dari uraian di atas terlihat bahwa pada dasarnya tidak ada halangan secara hukum bagi KLHK
untuk segera menetapkan hutan adat. Kewenangan penetapan hutan adat ada pada Kementerian
ini. Sementara itu, ketidaksempurnaan produk hukum daerah yang menjadi landasan bagi
pengukuhan subjek ataupun objek hutan adat dapat diatasi dengan mengembangkan sejumlah
interpretasi hukum yang bersifat ekstensif, historikal dan teleologikal/sosiologikal. Ruang-ruang
penemuan hukum terbuka dengan kemampuan kita melakukan interpretasi tersebut. Dengan
demikian maka norma-norma hukum yang ada akan efektif mencapai tujuannya. Bagaimanapun
norma hukum memerlukan validitas atau daya berlaku dan efektifitas atau daya guna.56
Keputusan untuk penetapan hutan adat juga dapat menjadi ranah diskresi bagi Menteri
LHK. Dalam hal ini, UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan memberikan
jaminan hukum yang kuat bagi diskresi dimaksud (lihat tabel 3). Peraturan perundang-undangan
nasional yang tidak sinkron dan produk hukum daerah yang tidak sempurna sebaiknya tidak
menyebabkan penundaan penetapan hutan adat.
Argumentasi dan pilihan-pilihan hukum untuk memberikan dasar yang kuat bagi
penetapan hutan adat telah dibahas secara mendalam dalam bab ini. Setidaknya ada lima upaya
yang dapat dilakukan KLHK. Pertama adalah memprioritaskan penetapan hutan adat untuk
daerah yang telah mempunyai Keputusan Kepala Daerah mengenai pengakuan hutan adat. Yang
kedua adalah membantu mempersiapkan peta wilayah adat dan pengakuannya oleh Kepala
Daerah. Hal ini berlaku bagi daerah yang sudah mempunyai Peraturan Daerah yang bersifat
spesifik namun belum dilengkapi dengan peta wilayah adat. Yang ketiga adalah mendorong
terbitnya Keputusan Kepala Daerah untuk penetapan secara spesifik MHA dan wilayah adat di
daerah dimana Peraturan Daerahnya bersifat pengaturan umum. Keempat adalah memfasilitasi
proses pembentukan Peraturan Daerah dan yang terakhir adalah melakukan koordinasi antar
kementerian untuk menyelesaikan ketidaksinkronan kebijakan. Dengan upaya-upaya ini maka
penetapan hutan adat akan semakin mudah dilakukan.
4.5. Kesimpulan Umum dan Rekomendasi Kebijakan Hambatan utama percepatan pengakuan hutan adat ada pada ketidaksinkronan peraturan di tingkat
nasional. Pemerintah Pusat belum menunjukkan arahan yang jelas manakah yang harus diikuti:
Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala Daerah. Ketidaksinkronan peraturan perundang-
undangan juga tidak mampu diatasi oleh instrumen peraturan kebijaksanaan seperti surat-surat
edaran Menteri.
Ketika kewenangan pengakuan MHA dan wilayah adat diberikan kepada daerah, hal ini
tidak juga mampu mempercepat pengakuan hutan adat. Tidak sesuainya jenis dan materi muatan
produk hukum daerah dengan persyaratan penetapan hutan adat oleh KLHK menjadi penyebab
utama. Hal lain terkait dengan ketidaktahuan pemerintah daerah. Banyak pemerintah daerah
menganggap mereka tidak punya kewenangan mengatur MHA dan wilayah adat, terlebih ketika
56 Soeprapto, M.F.I., 1998. Ilmu Perundang-undangan: Dasar-dasar dan pembentukannya. Jakarta: Kanisius, hlm.19.
45
wilayah itu berada di dalam kawasan hutan. Faktor lain adalah keengganan pemerintah daerah
mengakui MHA dan wilayah adat karena khawatir menghambat investasi di daerah.
Ketidaksempurnaan produk hukum daerah dapat diatasi dengan mengembangkan
sejumlah interpretasi hukum yang bersifat ekstensif, historikal dan teleologikal/sosiologikal.
Kewenangan penetapan hutan adat ada pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Kementerian ini perlu menjalankan diskresi untuk penetapan hutan adat.
Dengan seluruh temuan dan analisis yang telah dibahas pada bagian-bagian terdahulu
maka direkomendasikan hal-hal sebagaiberikut:
Kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk:
Memprioritaskan penetapan hutan adat untuk daerah yang telah mempunyai Keputusan
Kepala Daerah mengenai hutan adat
Bersama pemerintah daerah membantu mempersiapkan peta wilayah adat, bagi daerah
yang sudah mempunyai Peraturan Daerah namun belum dilengkapi dengan peta wilayah
adat
Mendorong terbitnya Keputusan Kepala Daerah untuk penetapan secara spesifik MHA
dan wilayah adat di daerah dimana Peraturan Daerahnya bersifat pengaturan umum
Bersama Kementerian Dalam Negeri memfasilitasi proses pembentukan Peraturan
Daerah
Melakukan pembahasan kembali Peraturan Pemerintah mengenai pengelolaan hutan adat
Bersama Menteri Dalam Negeri menerbitkan Surat Edaran Bersama untuk percepatan
penetapan hutan adat. Surat edaran itu hendaknya menegaskan:
o Bentuk produk hukum daerah yang dapat digunakan sebagai dasar penetapan
hutan adat;
o Arahan kepada pemerintah daerah untuk membentuk Peraturan Daerah yang
tepat dalam pengukuhan MHA dan wilayah adat;
o Bentuk-bentuk fasilitasi yang dapat disediakan kepada pemerintah daerah.
Kepada Kementerian Dalam Negeri untuk:
Bersama KLHK memfasilitasi pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
untuk membentuk Peraturan Daerah guna penetapan MHA dan wilayah adat;
Memfasilitasi pemerintah daerah melakukan pemetaan sosial untuk inventarisasi dan
verifikasi MHA.
Kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional:
Memasukkan ke dalam revisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2007 tentang
Pendaftaran Tanah ketentuan tanah ulayat sebagai objek pendaftaran tanah;
46
Mengubah ketentuan Pasal 11 ayat (1) PP No. 11 Tahun 2004 tentang Penatagunaan
Tanah yang menyatakan bahwa pemberian hak atas tanah dikecualikan untuk kawasan
hutan;
Menyempurnakan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional No. 9 Tahun 2015 setelah ada revisi pada PP No. 24 Tahun 2007.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian
Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional untuk:
Mempercepat pembahasan Peraturan Presiden untuk mengatur penanganan klaim
penguasaan tanah di dalam kawasan hutan, dengan melibatkan Komisi Pemberantasan
Korupsi sebagai bagian dari pelaksanaan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya
Alam.
Dewan Perwakilan Rakyat R.I. untuk:
Memasukkan pengaturan hak ulayat sebagai sumber hak atas tanah, pendaftaran tanah
ulayat dan kesatuan administrasi pertanahan di dalam dan luar kawasan hutan serta
penyelesaian konflik secara menyeluruh dalam Rancangan Undang-Undang Pertanahan;
Membahas kembali dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Pengakuan dan
Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat.
Presiden R.I. untuk:
Memastikan terlaksananya janji-janji dalam Nawa Cita dalam kebijakan dan program
pembangunan nasional;
Membentuk Satuan Tugas terkait dengan percepatan pengakuan MHA
Di samping beberapa langkah stretegis di atas, dalam jangka panjang, sebagaimana
direkomendasaikan dalam Konferensi Internasional tentang Sistem Tenurial yang baru-baru ini
berlangsung di Jakarta, perlu dipikirkan suatu terobosan untuk melakukan perombakan logika
hukum yang akan digunakan dalam proses pengakuan hak-hak masyarakat adat ini.57 Terobosan
itu berupa pengakuan atas masyarakat hukum adat yang sejatinya di tingkat lapangan begitu
beragam (Zakaria 2016 dan 2017) sebagai badan hukum perdata semata (Simarmata dan Steni,
2016),58 di mana pengakuan hak-hak yang melekat padanya, terutama ha katas tanah, cukup
dilakukan dengan model registrasi adminitrasi biasa saja, tanpa harus melalui proses-proses
politik seperti keharusan penetapan melalui peraturan daerah ataupun Surat Keputusan Bupati
itu.
57 Lebih lanjut lihat HASIL & REKOMENDASI Konferensi Tenurial 2017, "Mewujudkan Hak-hak Rakyat: Reformasi Penguasaan Tanah & Pengelolaan Hutan di Indonesia", Jakarta, 25-27 Oktober 2017. 58 Rikardo Simarmata dan Bernadinus Steni, 2017. Masyarakat Hukum Adat Sebagai Subjek Hukum: Kecakapan Hukum Masyarakat Hukum Adat dalam Lapangan Hukum Privat dan Publik. Jakarta: Samdhana Institute & Pustaka Sempu.
47
BAB 5. PERAN KPH DALAM PERHUTANAN SOSIAL
5.1. Kelembagaan KPH Berdasarkan PP No. 6 Tahun 2007 dan perubahannya pada PP No. 3 Tahun 2008, KPH
mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut:
(1) Menyelenggarakan pengelolaan hutan yang meliputi (a) tata hutan dan penyusunan
rencana pengelolaan hutan; (b) pemanfaatan hutan; (c) penggunaan kawasan hutan; (d)
rehabilitasi hutan dan reklamasi; dan (e) perlindungan hutan dan konservasi alam;
(2) Menjabarkan kebijakan kehutanan nasional, provinsi dan kabupaten/kota bidang
kehutanan untuk diimplementasikan;
(3) Melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan diwilayahnya mulai dari perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan serta pengendalian;
(4) Melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan di
wilayahnya;
(5) Membuka peluang investasi guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan hutan.
KPH diberi kewenangan untuk menyusun rencana pengelolaan hutan jangka panjang dan
rencana pengelolaan hutan jangka pendek. Rencana pengelolaan hutan disusun dengan mengacu
pada (1) rencana kehutanan nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota; dan (2) memperhatikan
aspirasi, nilai budaya masyarakat setempat, serta kondisi lingkungan. Rencana pengelolaan hutan
jangka panjang (RPHJP) memuat (1) tujuan yang akan dicapai KPH, (2) kondisi yang dihadapi; dan
(3) strategi dan kelayakan pengembangan pengelolaan hutan. Sedangkan rencana pengelolaan
hutan jangka pendek disusun berdasarkan RPHJP. Rencana pengelolaan hutan jangka pendek
memuat (1) tujuan pengelolaan hutan lestari dalam skala KPH yang bersangkutan; (2) evaluasi
hasil rencana jangka pendek sebelumnya; (3) target yang akan dicapai; (4) basis data dan
informasi; (5) kegiatan yang akan dilaksanakan; (6) status neraca sumber daya hutan; (7)
pemantauan evaluasi, dan pengendalian kegiatan; dan (8) partisipasi para pihak.
Ketentuan-ketentuan dalam PP No. 6 Tahun 2007 dan PP No. 3 Tahun 2008 tersebut
dijabarkan lebih lanjut dalam beberapa peraturan menteri, antara lain Permenhut No. P.6 Tahun
2009 tentang pembentukan wilayah KPH, Permenhut No. P.6 Tahun 2010 tentang norma,
standar, prosedur dan kriteria pengelolaan hutan pada KPHL KPHP, dan P.42 Tahun 2011
tentang standar kompetensi bidang teknis kehutanan pada KPHL dan KPHP.
Kebijakan pembangunan KPH sebagai organisasi pengelola hutan di tingkat tapak sudah
mulai diimplementasikan, dan sebagian KPH sudah operasional. KPH yang wilayahnya berada di
dalam satu wilayah administratif kabupaten berada di bawah dinas bidang kehutanan pemda
kabupaten, sedangkan KPH yang wilayahnya berada di lebih dari satu wilayah administratif
kabupaten berada di bawah dinas bidang kehutanan pemda provinsi. Sebagian KPH sudah
menyusun RPHJP dan sudah disahkan oleh kementerian, sebagian lain belum.
48
Struktur organisasi KPH mengacu pada Permendagri No. 61 Tahun 2010 tentang
pedoman organisasi dan tata kerja KPHL dan KPHP di daerah. Sebagian KPH berbentuk UPTD
(Unit Pelaksana Teknis Daerah), sebagian lain berbentuk SKPD.
Struktur tata kelola pemerintahan di bidang kehutanan selama tiga tahun terakhir sedang
dalam proses perubahan untuk menyesuaikan kepada amanat UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah. Dinas yang mengurusi bidang kehutanan (selain urusan TAHURA) di
pemda kabupaten dihapus dan dialihkan kepada dinas bidang kehutanan di pemda provinsi.
Kedudukan KPH pun pindah dari di bawah dinas bidang kehutanan di pemda kabupaten menjadi
di bawah dinas bidang kehutanan di pemda provinsi.
Permendagri No. 12 Tahun 2017 tentang pedoman pembentukan dan klasifikasi Cabang
Dinas (CD) dan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) sebagai operasionalisasi Peraturan
Pemerintah (PP) No. 18 Tahun 2016 memberikan batasan bahwa Cabang Dinas adalah bagian
dari Perangkat Daerah penyelenggara urusan pemerintahan, salah satunya bidang kehutanan yang
dibentuk sebagai unit kerja dinas dengan wilayah kerja tertentu. Klasifikasi cabang dinas yang
melaksanakan urusan pemerintahan bidang kehutanan di luar kawasan hutan ditentukan salah
satunya berdasarkan kriteria jumlah desa sekitar hutan, yaitu Cabang Dinas kelas A apabila
jumlah desa sekitar hutan lebih dari 60 (enam puluh); dan Cabang Dinas kelas B apabila jumlah
desa sekitar hutan kurang dari atau sama dengan 60 (enam puluh) desa.
UPTD adalah organisasi yang melaksanakan kegiatan teknis operasional dan/atau
kegiatan teknis penunjang tertentu pada Dinas atau Badan Daerah. Tugas UPTD Kesatuan
Pengelolaan Hutan (KPH) adalah melaksanakan kegiatan operasional dan/atau kegiatan teknis
penunjang Dinas di bidang pengelolaan hutan dalam wilayah kerja KPH yang telah ditetapkan.
Fugsi KPH, antara lain pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan mulai dari perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan serta pengendalian di wilayah KPH;
pengembangan investasi, kerja sama, dan kemitraan dalam pengelolaan hutan; pelaksanaan
penyuluhan dan pemberdayaan masyarakat di bidang kehutanan. KPH di beberapa provinsi sudah
ditetapkan (atau sedang diusulkan) sebagai UPTD, misalnya di Provinsi Nusa Tenggara Barat,
Provinsi Sulawesi Tenggara, Provinsi Papua Barat.
Gambar 5.1. Struktur Organisasi KPH
KELAS A KELAS
B
Struktur Organisasi KPH
49
Proses mutasi SDM dari unit kerja kehutanan di pemda kabupaten ke provinsi belum
berlangsung dengan baik, sehingga SDM yang sudah pindah dari pemda kabupaten ke pemda
provinsi belum menjalankan perannya sebagaimana yang dibutuhkan. Peraturan Kepala Badan
Kepegawaian Negara No. 2 Tahun 2016 mengatur bahwa pelaksanaan pengalihan Pegawai
Negeri Sipil (PNS) daerah kabupaten/kota yang melaksanakan urusan pemerintahan bidang
kehutanan selain yang melaksanakan Pengelolaan Taman Hutan Raya (Tahura) kabupaten/kota
menjadi PNS daerah provinsi dan ditempatkan pada unit kerja yang melaksanakan urusan
pemerintahan bidang kehutanan provinsi terhitung mulai tanggal 1 Oktober 2016. PNS yang
dimaksud adalah PNS yang menduduki jabatan fungsional Penyuluh Kehutanan, fungsional Polisi
Kehutanan, fungsional Pengendali Ekosistem Hutan; PNS yang telah mengikuti dan lulus
pendidikan dan pelatihan fungsional Penyuluh Kehutanan, Polisi Kehutanan, dan Pengendali
Ekosistem Hutan dan berada pada unit kerja yang melaksanakan urusan pemerintahan bidang
kehutanan; dan PNS yang menduduki jabatan: Administrator, Pengawas, dan Pelaksana, yang
melaksanakan urusan pemerintahan bidang kehutanan pada unit kerja/dinas yang melaksanakan
urusan kehutanan, KPH, atau badan yang menyelenggarakan urusan penyuluhan kehutanan.
5.2. Sinergi KPH dan PS KPH dapat mengoperasionalkan program PS lebih efektif dan efisien. Sinergi KPH dan PS
merealisasikan pembangunan masyarakat dari pinggiran (desa hutan) dan pemerintah hadir di
tingkat tapak. KPH adalah unit kerja yang mengenal dari sangat dekat kondisi biofisik hutan,
kondisi sosial budaya masyarakatnya, potensi dan persoalannya termasuk konflik atas hutannya,
sejarah penguasaan lahan, siapa yang menguasai lahan dalam arti realitas menduduki, menggarap,
mengusahakan lahan; struktur penguasaan lahan hutan.
Peran KPH penting untuk lebih diinklusifkan kedalam kerangka tata kerja PS yang
berjalan hingga saat ini untuk meningkatkan efektivitas dan percepatan program PS ke depan.
Efektivitas program PS ditunjukkan oleh ketepatan subyek (pelaku PS) dan obyek (kawasan
hutan), dan keadilan antar pelaku. Bahkan kewenangan KPH perlu lebih diperbesar hingga
seluruh proses pemberian izin PS selesai di KPH; pendampingan masyarakat lanjutan untuk
pengelolaan PS dan pengembangan bisnisnya yang berbasis hasil hutan (kayu, bukan kayu, jasa
lingkungan) dijalankan oleh KPH.
Dalam tahap proses perizinan, KPH mengidentifikasi penguasaan lahan hutan di tingkat
tapak, mengidentifikasi kelompok masyarakat yang akan menjadi pelaku program PS,
mengidentifikasi lahan yang akan dialokasikan untuk PS, dan memfasilitasi penguatan kelembagaan
masyarakat. PIAPS dapat digunakan oleh KPH sebagai acuan. Kawasan hutan yang dialokasikan
untuk PS merupakan hasil identifikasi luas dan batas kawasan hutan bersama-sama masyarakat desa yang akan menerimanya. Batas areal hutan yang diusulkan dapat menggunakan batas administratif desa. Dengan kata lain kawasan hutan negara yang diusulkan oleh masyarakat desa atau pemerintah desa kepada KPH untuk PS adalah
kawasan hutan yang masuk kedalam wilayah administrasi desa (wilayah pangkuan atau wewengkon atau pertuanan). Jika terdapat sengketa lahan hutan, KPH berperan aktif untuk
melakukan resolusi konflik.
50
BPS (2015) menyebutkan bahwa pada tahun 2014 jumlah rumahtangga desa hutan
sekitar 8,6 juta dengan jumlah desa sekitar 21.000. Jika rata-rata per desa dialokasikan areal PS 1000 ha, maka total luas kawasan hutan untuk PS 21 juta ha (hampir dua kali lipat target 12,7 jta hektar). Areal hutan 1000 ha itu dapat dikelola semuanya sebagai HD atau semuanya HKm. Jika rata-rata 2 ha per rumahtangga, maka memerlukan kawasan
hutan 17 juta hektar. Apakah pengelolaannya dengan HD, HKm, HTR atau kemitraan sepenuhnya diputuskan dan disepakati di tingkat masyarakat desa masing-masing melalui musyawarah dan konsensus pemerintah desa, BPD, dan masyarakat desa.
Dengan langkah ini alokasi areal pencadangan PS segera dapat direalisasikan, segera dapat dipegang oleh masyarakat desa, sehingga mengurangi peluang okupasi lahan hutan secara illegal oleh orang-orang di luar masyarakat desa. Dalam banyak kasus, lahan-lahan hutan yang ditinggalkan oleh perusahaan kehutanan (HPH atau pemegang IUPHHK), atau perusahaan tidak aktif, segera diokupasi secara illegal. Meskipun ada
kemungkinan areal hutan yang sudah diserahkan kepada masyarakat tidak segera dikelola, namun setidaknya sudah ada yang memegang hak atas kawasan hutan tersebut dan mengamankannya dari tindakan okupasi kawasan hutan secara illegal.
KPH melakukan pembinaan teknis, kelembagaan dan manajemen bisnis.
Pendampingan masyarakat membutuhkan waktu, komitmen para pihak dengan kompetensi dan perannya, dan pendanaan. KPH dapat meminta bantuan kepada perguruan tinggi/ universitas setempat, LSM, atau pelaku bisnis dalam pembinaan masyarakat tersebut, termasuk memfasilitasi kerjasama masyarakat dengan pelaku bisnis. Pembinaan teknis kegiatan ekonomi produktif berbasis sumber daya hutan (kayu, bukan
kayu, dan jasa lingkungan) dalam kerangka pengelolaan hutan maupun kegiatan ekonomi produktif di luar kehutanan perlu segera dilakukan untuk membangkitkan pendapatan masyarakat desa dan KPH. KPH dapat membantu penguatan kelembagaan masyarakat desa, misalnya BUMDes (Badan Usaha Milik Desa), peraturan desa atau aturan-aturan adat untuk pengelolaan hutan. Kelembagaan masyarakat desa diperkuat untuk mewujudkan keadilan distribusi tanggung jawab dan manfaat atas sumber daya hutan dan kelestarian hutan. KPH juga dapat membantu penguatan kapasitas manajemen bisnis masyarakat.
Selain melakukan pendampingan terhadap para pelaku PS yang telah definitif izinnya, KPH
juga dapat membangun kemitraan bersama masyarakat atau PS skema kemitraan pada kawasan
hutan yang belum diberikan izin pemanfaatannya kepada pihak lain, sebagaimana dijelaskan dalam
Permen LHK No. 49 Tahun 2017. Permen tersebut diharmonisasikan dengan Permen LHK No.
83 Tahun 2016.
Peran KPH dalam kerangka kerja PS adalah memastikan partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan hutan lestari melalui pelayanan yang sebaik mungkin di tingkat tapak oleh KPH
dengan prinsip inklusif dan kepastian hak, menjaga KPH tetap berorientasi pada kesejahteraan
masyarakat; dan tetap menyinergikan dengan UPT pusat dan para pihak. Kesejahteraan
51
masyarakat dicapai melalui pengelolaan hutan lestari, dan sebaliknya pengelolaan hutan lestari
melalui partisipasi masyarakat. Pemerintah pusat (KLHK) memantau, mengendalikan dan
mengevaluasi program PS dengan berpegang pada RPHJP, karena program PS menjadi bagian dari
keseluruhan program KPH yang diintegrasikan dalam RPHJP.
Gambar 5.2 Interaksi hutan lestari dan masyarakat sejahtera
5.3. KPH membangun jejaring
Kapasitas KPH sangat menentukan keberhasilan pengelolaan hutan di tingkat tapak, termasuk keberhasilan PS. SDM KPH yang selama ini masih sangat terbatas, semestinya sudah mulai membaik sehubungan dengan proses mutasi dan penataan SDM dari Dinas Kehutanan Kabupaten dan UPT-UPT Pusat, termasuk penyuluh kehutanan. Infrastruktur KPH untuk mendukung kegiatan pelayanan oleh KPH kepada masyarakat perlu ditingkatkan.
Kelembagaan masyarakat lokal yang berperan dalam pengusahaan dan pengelolaan hutan
masih sangat lemah. Program PS yang sudah operasional dijalankan oleh individu-individu yang
terlepas dari komunitas masyarakat pedesaan sebagai kolektivitas. Hanya dalam jumlah yang
sangat terbatas ditemukan kelembagaan lokal yang cukup kuat. Kelembagaan HKm, HD, dan
HTR yang kuat diperlukan untuk dapat menjalankan aturan-aturan pengelolaan hutan baik teknis
kehutanan, membangun jejaring sosial ekonomi, maupun mengembangkan produk dan
pemasarannya; memiliki posisi tawar yang kuat dalam berkolaborasi dengan pihak luar, menjamin
distribusi manfaat yang adil di antara warga masyarakat. Penguatan dan pengembangan kapasitas
masyarakat pengelola PS harus dilakukan oleh KPH.
Konflik atau sengketa atas hutan di wilayah KPH harus segera ditangani untuk menjamin
kepastian hak atas PS. BPS (2014) mencatat terdapat sekitar 700 ribu rumahtangga yang
menggunakan kawasan hutan secara tidak legal. Selain membuka akses masyarakat terhadap
kawasan hutan, program PS perlu dibarengi dengan peningkatan pengetahuan masyarakat tentang
batas-batas kawasan hutan. BPS (2015) melaporkan bahwa 35,2 % rumahtangga desa hutan
52
belum mengetahui keberadaan kawasan hutan. Diantara mereka yang mengetahui keberadaan
kawasan hutan hanya 75 % yang mengetahui ada tanda batas kawasan hutan.
Berbagai persoalan atau tantangan dalam penyelenggaraan PS membutuhkan komitmen
dan kompetensi pelayan masyarakat. KPH perlu membangun jejaring dengan unit-unit kerja lain
di pemerintahan maupun dengan LSM, akademisi dan lembaga bisnis (BUMN/BUMS). Di tingkat
desa, KPH perlu membangun kerjasama dengan pemerintah desa (atau nama lainnya: nagari, negeri) dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). KPH dapat menjadi motor penggerak
sinergitas dinas-dinas dan badan-badan PEMDA yang terkait (Dinas kehutanan, pertanian,
industri, pariwisata, pekerjaan umum) untuk membangun desa hutan. KPH menjadi penggerak atau yang memobilisir sumber daya yang tersedia di daerahnya, bahkan dapat menjalin kerjasama atau membangun jejaring dengan para pihak yang lebih luas. Kementerian LHK mendukung peran KPH dalam pembinaan masyarakat, dalam bentuk
dukungan anggaran, kebijakan/regulasi, koordinasi dan sinergi di level kementerian/lembaga negara, lembaga donor, ilmu pengetahuan, jejaring nasional dan internasional, monitoring dan evaluasi kenerja. Demikian pula pemerintah provinsi mendukung anggaran (APBD), pembinaan SDM, regulasi daerah, koordinasi dan sinergi
dinas-dinas dan badan-badan di level provinsi dan kabupaten.
5.4. Rekomendasi Efektivitas dan percepatan implementasi PS membutuhkan dukungan organisasi
pemerintah di tingkat daerah dan tapak. Menggantungkan implementasi PS kepada jumlah UPT
bidang PS yang terbatas akan mengalami hambatan. Peran pemerintah daerah sangat penting.
Kemauan politik dan dukungan finansial dari pemda, kapasitas SDM bidang teknis dan sosial
ekonomi, maupun infrastruktur dibawah kewenangan dan kekuasaan pemda harus diperkuat.
Dinas-dinas di lingkungan PEMDA harus melakukan sinkronisasi program pembangunan
masyarakat pedesaan di mana program PS dapat menjadi sentralnya. KPH sebagai organisasi
pemerintah di tingkat tapak memegang peran yang strategis untuk implementasi program PS
lebih efektif dan cepat. Oleh karena itu, KPH harus diberi peran lebih besar, bahkan kewenangan
KPH perlu lebih diperbesar hingga seluruh proses pemberian izin PS selesai di KPH, dan
pendampingan masyarakat lanjutan untuk pengelolaan PS dan pengembangan bisnisnya yang
berbasis hasil hutan (kayu, bukan kayu, jasa lingkungan) dijalankan oleh KPH. Penguatan
kelembagaan KPH seharusnya dilakukan bersama oleh pemerintah daerah dengan dukung kuat
oleh KLHK.
PS harus tepat sasaran dan sesuai dengan tujuan kebijakan yaitu mewujudkan
pengelolaan hutan lestari, meningkatkan keadilan manfaat atas sumber daya hutan, dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, masyarakat desa hutan. Program PS harus dapat
menjadi pintu masuk penataan distribusi manfaat atas hutan. Okupasi masyarakat atas lahan
hutan negara yang selama ini terjadi harus dapat ditata sehingga tidak terjadi ketimpangan
penguasaan lahan hutan negara. Proses penataan distribusi penguasaan lahan hutan
membutuhkan keterampilan resolusi konflik.
53
Komitmen Kementerian LHK untuk percepatan PS telah ditunjukkan dengan kebijakan
menteri dan dirjen, kerjasama-kerjasama yang dibangun baik dengan kementerian lain maupun
para pihak non-pemerintah, dan alokasi anggaran. Dukungan dari kementerian terkait, antara lain
Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi; Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian
Peridustrian. Bahkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian telah mengeluarkan Surat
Keputusan No. 73 Tahun 2017 tentang Tim Reforma Agraria pada tanggal 4 Mei 2017. Kebijakan
tersebut dapat memberikan arahan koordinasi dan sinergitas antar kementerian khususnya dalam
menangani PS dan reformasi agraria. Gerakan setingkat Menteri Koordinator mungkin belum
cukup kuat untuk mempercepat implementasi program PS mencapai target 12,7 juta hektar pada
tahun 2019. Oleh karena itu perlu dorongan lebih kuat, yaitu instruksi presiden dengan
menggerakan organisasi non-kementerian setingkat kementerian, semacam Badan Koordinasi
yang dapat menggerakan kementerian-kementerian sekaligus menggerakan pemda.
Pembangunan masyarakat pedesaaan tidak cukup hanya melalui distribusi lahan hutan
dan usaha produksi hutan, melainkan harus juga diintegrasikan dengan usaha pengolahan hasil
hutan atau industri kehutanan skala kecil, skala rumahtangga, yang beroperasi di pedesaan.
Langkah lebih lanjut adalah pengembangan industri berbasis sumber daya hutan: hasil
hutan kayu dan bukan kayu, serta jasa lingkungan (ekowisata, air bersih, mikro hidro) di
pedesaan. Industrialisasi berbasis sumber daya hutan di pedesaan akan meningkatkan kesempatan
kerja dan berusaha di pedesaan, menahan urbanisasi, dan meningkatkan kegiatan ekonomi
produktif di pedesaan. Industri yang dikembangkan dapat dimulai dari pengolahan setengah jadi
ataupun pengolahan lebih lanjut sampai barang siap pakai (finished products). Di beberapa
pedesaan industri pengolahan hasil hutan sudah berjalan. Secara umum kegiatan industri lebih
produktif dan lebih menguntungkan dibandingkan dengan usaha produksi primer, sehingga dapat
lebih meningkatkan pendapatan rumahtangga dan masyarakat desa. Oleh karena itu
pengembangan PS tidak berhenti hanya pada pengelolaan hutan di tingkat tapak, tetapi perlu
diintegrasikan dengan pengembangan industri dan jasa kehutanan di pedesaan. Generasi muda
pedesaan diharapkan lebih tertarik dan dapat berkiprah dalam bisnis industri berbasis sumber
daya hutan (dan pertanian dalam arti luas) di pedesaan. Sudah ada beberapa contoh sukses dari
sarjana-sarjana yang terjun di bisnis agroindustri. Hubungan saling ketergantungan para warga
desa yang menjadi pelaku bisnis kehutanan akan menjaga kelestarian hutan.
54
BAB 6. REVITALISASI KEBIJAKAN ANGGARAN UNTUK PERCEPATAN REALISASI PERHUTANAN SOSIAl
6.1. Pengantar Perhutanan sosial memiliki arti penting dalam mencegah degradasi hutan dari berbagai konflik
kehutanan, meningkatkan taraf hidup masyarakat dan menopang perekonomian negara.
Perhutanan sosial telah sejak lama di kenal dan diadopsi dalam pengelolaan hutan berbasis
masyarakat di Indonesia. Beberapa praktik baik (best practice) kegiatan perhutanan sosial telah
mampu menggerakan usaha perekonomian dan meningkatkan pendapatan masyarakat serta
menjaga hutan tetap lestari.
Sejak tahun 2007 pemerintah telah memasukan perhutanan sosial sebagai salah satu
program kerja. Tetapi baru mendapatkan momentumnya kembali di era Pemerintahan Joko
Widodo dan Jusuf Kalla. Momentum tersebut ditandai oleh 4 hal: Pertama, adanya kebijakan
penambahan luas hutan social yang diberikan hak kelola/izin kepada masyarakat miskin baik
berlahan sempit maupun tidak berlahan seluas 12,7 juta hektar di akhir tahun 2019 (RPJMN
2015-2019). Kedua, perhutanan sosial hadir sebagai agenda kerja Presiden dalam Nawacita.
Ketiga, adanya re-organisasi kelembagaan ditubuh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK) yang khusus menangani perhutanan sosial setingkat Direktorat Jenderal (sebelumnya
hanya setingkat Direktorat). Dan keempat, terbitnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Nomor 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial yang di ikuti dengan surat
keputusan penetapan Peta Indikatif dan Areal Perhutanan Sosial (PIAPS), di pandang sebagai
sebuah terobosan untuk mengakselerasi percepatan realisasi perhutanan social sehingga tidak
mengulangi kemandekan realisasi perhutanan sosial pada era Presiden sebelumnya.
Meskipun target yang ditetapkan belum ideal dari potensinya, namun berbagai pihak
menyambut positif gebrakan pemerintahan saat ini dalam mewujudkan pembangunan kehutanan
melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat. Target seluas 12,7 juta hektar kawasan hutan
akan didistribusikan hak kelolanya kepada masyarakat melalui skema Hutan Desa (HD), Hutan
Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Kemitraan Kehutanan (KK) dan Hutan
Adat (HA).
Untuk merealisasikan seluruh target kinerja perhutanan sosial selama 5 tahun, tugas
pemerintahan Jokowi tidaklah mudah, karena pemerintah harus mampu memfasilitasi
penyelesaian pemberian izin seluas rata-rata 2,53 juta hektar atau setara dengan 1.392 hektar
per/hari dan 58 hektar per/jam. Tanpa disertai dengan dukungan kebijakan, kelembagaan dan
politik anggaran yang kuat, maka target tersebut mustahil dapat diwujudkan dalam waktu 5 tahun
mengingat waktu kerja efektif jabatan Presiden rata-rata hanya 3,5 – 4 tahun dalam satu periode
kepemimpinan.
Sejauh ini, dukungan politik anggaran belum terlihat signifikan dan menjadikan program
perhutanan sosial sebagai program prioritas nasional sehingga belanja APBN terbilang kurang
dari kebutuhan. Selain itu, perhutanan sosial masih dipandang sebagai urusan pemerintah pusat.
Belum banyak daerah yang menjadikan perhutanan sosial sebagai prioritas daerah sehingga
55
belanja APBD tidak memberikan porsi yang cukup untuk mendukung kegiatan perhutanan sosial.
Lalu bagaimana mengatasi masalah kekurangan anggaran tersebut?
Paper ini bertujuan mengukur komitmen politik anggaran pemerintah terhadap realisasi
program perhutanan sosial, menghitung satuan biaya (unit cost) yang dibutuhkan per/hektar,
serta menawarkan sumber pendanaan alternatif untuk mengatasi kurangnya anggaran setiap
tahun.
6.2. Gambaran Umum Kebijakan Anggaran Perhutanan Sosial Komitmen politik pemerintah dan pemerintah daerah untuk mengalokasikan anggaran
perhutanan sosial relative sangat rendah. Jumlah anggaran yang dialokasikan untuk mendukung
penyelenggaraan perhutanan sosial oleh pemerintah pusat melalui kementerian LHK dan
pemerintah daerah khususnya pada 12 provinsi tahun 2015-2016 hanya sebesar Rp246,56 miliar.
Nilai tersebut diperoleh dari hasil penjumlahan anggaran Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial
dan Kemitraan Lingkungan (Ditjen PSKL) – Kementerian LHK sebesar Rp240,9 miliar atau setara
98 persen, dan anggaran 12 Dinas Kehutanan provinsi sebesar Rp5,6 miliar atau sama dengan 2
persen. Adapun 12 daerah provinsi yang dimaksud yaitu Aceh, Sumbar, Riau, Jambi, Sumsel,
Kalbar, Kalteng, Kaltim, Sulteng, Sulsel, Papua, dan Papua Barat.
Sumber: Data APBN dan APBD 12 Provinsi, diolah
Di sisi lain rasio belanja urusan kehutanan di 12 Provinsi pada tahun 2015 dan 2016
masing-masing hanya sebesar 0,59% dan 0,68% terhadap total belanja daerah. Sedangkan rerata
rasio anggaran yang diorentasikan secara khusus untuk percepatan perhutanan sosial di tingkat
pusat dalam tiga tahun hanya mencapai 0,01 persen dari total belanja negara.
Hal itu dapat dilihat dari besaran alokasi anggaran yang dikelola oleh Ditjen PSKL –
Kementerian LHK dari tahun ke-tahun yaitu sebesar Rp283 miliar (2015), Rp242 miliar (2016),
dan Rp194 miliar (2017). Tidak memadainya anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah pusat
dan pemerintah daerah tersebut merupakan faktor penyebab utama atas lambatnya pencapaian
target perhutanan sosial selama tiga tahun terakhir yang telah ditetapkan mencapai 7,62 juta
hektar.
Tren pertumbuhan anggaran yang dialokasikan untuk membiayai kegiatan perhutanan sosial
mengalami penurunan signifikan setiap tahun. Diukur dari rasionya, jumlah anggaran program
APBN, 240,971,401,667
APBD, 5,593,101,808
Gambar 6.1. Rata-rata Jumlah Anggaran Perhutanan Sosial Secara Nasional Th. 2015-2017
56
perhutanan sosial di APBN selalu menurun dibandingkan anggaran tahun sebelumnya. Penurunan
cukup tajam tersebut berkisar pada angka 14 persen – 32 persen setiap tahun. Menurunnya ratio
anggaran perhutanan sosial berpengaruh siginifikan terhadap capaian kinerja program secara
keseluruhan. Terlebih lagi, pengurangan jumlah anggaran tidak sertai pengurangan angka target
areal kelola hutan yang ditetapkan. Fakta tersebut membutktikan bahwa pemerintah secara
umum masih kurang fokus untuk mengurus perhutanan sosial sebagaimana tercermin pada
inkonsistensi perencanaan dan penganggaran dengan arah kebijakan RPJMN, bahkan kerap
berubah-ubah di tengah perjalanan.
Sumber: Data Perpres Rincian APBN dan LKj Ditjen PSKL 2015-2016
Distribusi anggaran program perhutanan sosial lebih banyak digunakan untuk mendukung
kegiatan manajemen kelembagaan. Dari lima kegiatan yang dikelola Ditjen PSKL setiap tahun,
rata-rata alokasi anggaran paling besar adalah untuk mendanai kegiatan dukungan manajemen
mencapai 39,8 persen per tahun. Kemudian disusul untuk kegiatan bina usaha perhutanan sosial
dan hutan adat sebesar 32,4 persen, kegiatan penyiapan areal perhutanan sosial sebesar 17,9
persen, kegiatan penanganan konflik tenurial dan hutan adat sebesar 5,3 persen, dan kegiatan
kemitraan lingkungan dan peran serta masyarakat sebesar 4,7 persen.
Sumber: Data Perpres Rincian APBN dan LKj Ditjen PSKL 2015-2016
283.26 242.27 165.17
-
(14)
(32)
(40.00)
(30.00)
(20.00)
(10.00)
-
-
50
100
150
200
250
300
2015 2016 2017
Per
sen
(%)
Mil
iar
Rup
iah
Gambar 6.2. Ratio Pertumbuhan Anggaran Program Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Tahun 2015-2017
Anggaran Ratio Pertumbuhan
14.6
2.5
4.0
64.3
14.6
65.8
5.6
5.3
9.9
13.4
39.0
5.9
6.5
23.0
25.6
0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90%100%
Dukungan Manajemen
Kemitraan Lingkungan
Penanganan Konflik, Tenurial dan Hutan…
Pengembangan Usaha Perhutanan Sosial…
Penyiapan Areal Perhutanan Sosial
Gambar 6.3. Tren Proporsi Anggaran Program Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Yang Di Distribusikan per Kegiatan
TA. 2015-2017
2015 2016 2017
57
Rata-rata tingkat serapan anggaran perhutanan sosial yang dikelola oleh Kementerian
LHK hanya mencapai 78 Persen. Penataan kelembagaan di lingkungan Ditjen PSKL hingga tahun
2016 pasca re-organisasi tahun 2015 belum berjalan optimal sehingga mempengaruhi pelaksanan
program anggaran perhutanan yang masih dibawah target. Pada dua tahun anggaran yang lalu
(2015-2016), kemampuan Ditjen PSKL dalam merealisasikan anggaran perhutanan sosial untuk
lima pokok kegiatan rata-rata hanya 78 persen. Realisasi anggaran pada tahun 2015 sebesar Rp.
243,71 miliar atau sama dengan 86 persen dari pagu anggaran. Sedangkan realisasi anggaran pada
tahun 2016 hanya sebesar Rp. 169,88 miliar atau sekitar 70 persen dari jumlah pagu sebesar Rp.
242,27 miliar. Namun bila menggunakan pagu 2016 setelah terjadinya penghematan anggaran
sebesar Rp. 179,43 miliar, maka rasio realisasi kegiatan perhutanan sosial mencapai 95 persen.
Sumber: Data Perpres Rincian APBN dan LKj Ditjen PSKL 2015-2016, diolah
6.3. Fragmentasi Anggaran Perhutanan Sosial dan Ketimpangan Estimasi Belanja penyiapan kawasan hanya sebesar 18 persen dari total anggaran perhutanan sosial pada
tahun 2015-2017. Kegiatan penyiapan areal perhutanan sosial dialokasikan melalui pos satuan
kerja (Satker) Direktorat PKPS dan UPT/Balai Perhutanan Sosial. Pada tahun anggaran 2015-
2017 jumlah pagu anggaran untuk membiayai kegiatan penyiapan areal perhutanan sosial tidak
pasti dengan rata-rata berkisar pada angka Rp38,76 miliar per/tahun atau setara 18 persen dari
anggaran perhutanan social. Secara terperinci alokasi anggaran untuk kegiatan penyiapan kawasan
pada tahun 2015 adalah sebesar Rp41,49 miliar, yang mengalami penurunan pada tahun 2016
menjadi Rp32,56 miliar, lalu kembali meningkat menjadi sebesar Rp42,24 miliar pada tahun
anggaran 2017.
283.26 243.71
242.27
169.88
-
100
200
300
Pagu Anggaran Realisasi
Mil
iar
(Rp)
Gambar 6.4. Pagu dan Realisasi Anggaran Ditjen PSKL Tahun 2015-2016
2015 2016
58
Sebesar 63 persen anggaran PKPS dikelola oleh Satker Balai/UPT Perhutanan Sosial dan
37 persen lainnya diatur penggunaannya oleh Direktorat PKPS. Pada tahun 2015 distribusi
anggaran ke UPT masih menggunakan balai pengelola daerah aliran sungai (BP DAS), karena balai
perhutanan sosial sendiri baru terbentuk tahun 2016 dan mulai aktif dilakukan penyesuaian
dipertengahan tahun yang sama.
Sumber: Data Perpres Rincian APBN dan LKj Ditjen PSKL 2015-2016, diolah
Penggunaan anggaran kegiatan penyiapan kawasan juga dipergunakan untuk kegiatan yang
tidak sepenuhnya relevan. Berdasarkan perencanaan, anggaran penyiapan areal kawasan
perhutanan sosial tidak seluruhnya dibelanjakan yang terkait langsung aktivitas pemberian akses
izin perhutanan sosial. Namun masih terbagi lagi untuk anggaran kegiatan pembuatan regulasi,
anggaran pemanfaatan di bawah tegakan hutan dalam bentuk agroforestry pada areal HD, HKm,
HTR, HR melalui pemberdayaan masyarakat serta untuk mendanai biaya operasional
perkantoran. Padahal dibutuhkan anggaran yang besar untuk tahapan penyiapan areal perhutanan
sosial.
Kegiatan penyiapan areal perhutanan sosial yang dikelola oleh Direktorat PKPS dan 5
(lima) Balai PSKL (Balai Sumatera, Balai Jawa, Bali dab Nusra, Balai Kalimantan, Balai Sulawesi dan
Balai Maluku-Papua) juga mencakup tiga output yaitu: (1) luas hutan yang dikelola masyarakat
menjadi 12,7 juta Ha dalam bentuk HKm, HD, HTR, HR, Hutan Adat dan Kemitraan; (2)
tersedianya regulasi hak dan akses masyarakat atas hutan; dan (3) luas pemanfaatan di bawah
tegakan hutan dalam bentuk agroforestry. Sehingga anggaran yang tersedia tetap harus dibagi
untuk mencapai tiga output tersebut dan juga untuk memenuhi kebutuhan rutin operasional
perkantoran.
Seluruh anggaran proses bisnis penyiapan areal perhutanan sosial pada Direktorat PKPS
dan Balai PSKL, 42% dibelanjakan untuk kegiatan sosialisasi, koordinasi pelaksanaan dan updating
41.49
32.56
42.24
(22)
30
(30)
(20)
(10)
-
10
20
30
40
- 5
10 15 20 25 30 35 40 45
2015 2016 2017
Per
sen
(%)
Mil
iar
(Rp)
Gambar 6.5. Pertumbuhan Anggaran Kegiatan Penyiapan Areal Perhutanan Sosial Di APBN TA 2015-2017
Anggaran Penyiapan Areal Perhutanan Sosial Ratio Pertumbuhan
59
PIAPS. Sedangkan kegiatan fasilitasi usulan HD, HKm, HTR dan Kemitraan dialokasikan 22%,
kegiatan verifikasi dan legalisasi usulan sebesar 19% dan kegiatan monitoring dan evaluasi sebesar
5% serta kegiatan pelaksanaan ketatausahaan dan umum administrasi sebesar 9%.
Ketimpangan satuan biaya untuk merealisasikan perhutanan sosial disebabkan oleh tidak adanya ketegasan untuk menetapkan benchmark secara nasional. Selain terbatasnya dukungan
APBN setiap tahun, masalah lain yang penting menjadi perhatian pemerintah adalah masih
timpangnya antara jumlah anggaran yang dialokasikan dengan target kinerja yang dibebankan
kepada Direktorat PKPS dan Balai PSKL di lima wilayah untuk menghasilkan izin kelola HD,
HKm, HTR dan Kemitraan Kehutanan setiap tahun. Gambaran ketimpangan anggaran setiap
tahun terlihat pada tabel berikut ini:
Tabel 6.1. Rata-rata Anggaran per Hektar Untuk Menghasilkan Luas Hutan yang Dikelola Masyaralat Pada Direktorat PKPS dan Balai PSKL Tahun 2015-2017.
Uraian Tahun 2015 Tahun 2016 Tahun 2017
Jumlah belanja untuk output luas hutan yang dikelola masyarakat (Rp)
38.808.288.000 23.912.400.000 32.667.438.000
Target kinerja (ha) 200.000 2.500.000 330.000
Jumlah anggaran per hektarnya (Rp/ha)
194.000 9,600 99.000
Sumber: Data Kementerian Keuangan dan Ditjen PSKL, diolah
Dari table 6.1 diatas dapat dilihat bahwa terdapat ketimpangan penganggaran per hektar
ditahun 2016 dan 2017 dibandingkan dengan tahun 2015. Pada tahun anggaran 2015, untuk
menghasilkan target kinerja areal kerja HD, HKm, HTR dan Kemitraan seluas 200 ribu ha,
mendapat alokasi anggaran sebesar Rp 194 ribu/ha. Sementara tahun anggaran 2016 dengan
target kinerja seluas 2,5 juta ha, hanya memperoleh anggaran sebesar Rp 9.600/ha. Sedangkan
tahun 2017 dengan target kinerja seluas 330 ribu ha, hanya mendapat anggaran sebesar Rp 99
ribu/ha.
Tampak jelas bahwa pemerintah tidak konsisten menghitung satuan biaya per/hektar
sebagai dasar menetapkan kebutuhan anggaran, sehingga target kinerja yang dibebankan setiap
tahunnya tidak berimbang dengan ketersediaan anggaran. Di samping itu, pemerintah juga belum
memiliki standar biaya untuk menghasilkan izin areal kerja perhutanan sosial (berdasarkan
hitungan per/hektar) berdasarkan baseline tahun-tahun sebelumnya, sehingga anggaran
ditetapkan tidak mampu menopang capaian target kinerja setiap tahun.
Apabila menggunakan baseline realisasi belanja dan hasil kinerja di tahun 2015 sebesar
Rp217 ribu/ha, maka seharusnya jumlah anggaran yang realistis untuk tahun 2016 adalah sebesar
Rp542,5 miliar dan jumlah anggaran untuk tahun 2017 adalah sebesar Rp. 71,60 miliar.
Meskipun nilai dari keseluruhan anggaran ini cukup signifikan, tetapi belum dianggap proporsional
sebab belum didukung alokasi untuk biaya pendampingan masyarakat.
60
Pendampingan masyarakat melalui kelembagaan Pokja Percepatan Perhutanan Sosial
belum mendapatkan dukungan anggaran secara memadai dari pemerintah. Pendampingan
merupakan salah satu kunci keberhasilan perhutanan sosial. Kegiatan pendampingan diperlukan
untuk melakukan sosialisasi, fasilitasi dan verifikasi permohonan izin dan bimbingan teknis pasca
izin perhutanan sosial. Sejak Mei 2016 Ditjen PSKL mulai menginisiasi kegiatan pendampingan
melalui pembentukan Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial atau yang disingkat sebagai
Pokja PPS melalui Keputusan Ditjen PSKL No: SK.33/PSKL/SET/PSL.0/5/2016, dan telah diubah
terakhir kali dengan Keputusan Ditjen PSKL No. SK.7/PSKL/SET/PSL.0/4/2017.
Sumber: Data Rincian Kertas Kerja Dit. PKPS dan Balai PSK Tahun 2017, diolah.
Berdasarkan grafik di atas dapat dilihat bahwa anggaran yang disediakan oleh pemerintah
untuk menunjang kinerja Pokja PPS dalam menyelenggarakan pendampingan masih sangat kecil
yaitu hanya sebesar 3 persen dari total belanja penyiapan areal perhutanan sosial. Di sisi lain
Pokja PPS tingkat daerah yang terbentuk melalui keputusan Gubernur baru berjumlah 13 yang
tersebar di provinsi Sumut, Lampung, Jambi, Bengkulu, Kalsel, Kaltim, Kalteng, Kalbar, Kaltara,
Sulteng, Sulsel, Sultra, Sulbar. Pokja PPS provinsi tersebut sebagian besar juga belum
mendapatkan alokasi anggaran secara memadai oleh pemerintah daerah.
Minimnya anggaran dari pemerintah memicu inisatif pendampingan masyarakat
kebanyakan dilakukan oleh LSM yang didukung oleh lembaga donor. Biaya pendampingan yang
dilakukan LSM jumlahnya bervariasi di setiap wilayah kerja dampingan umumnya dipengaruhi oleh
faktor keterjangkauan wilayah dan kondisi tumpang tindih lahan/hutan yang akan diusulkan.
Berdasarkan praktik pendampingan pengusulan areal kerja/izin HD, HKm dan Kemitraan oleh
Karsa Sulteng dan KBCF Kaltim, serta pengusulan areal kerja/izin HKm oleh LSM KpSHK, rata-
rata biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan pendampingan sekitar Rp110 ribu/ha.
Sosialisasi, Koordinasi dan Updating PIAPS
42%
Pembentukan dan Operasional Pokja
PPS3%
Fasilitasi Usulan HD, HKm, HTR dan Kemitraan
22%
Verifikasi dan Legalisasi HD,
HKm, HTR dan Kemitraan
19%
Monitoring dan Evaluasi
5%
Administrasi Umum
9%
Grafik 6.6. Proporsi Anggaran Berdasarkan Bisnis Proses Penyiapan Areal Perhutanan Sosial Pada APBN 2017
61
Biaya tersebut digunakan untuk biaya tenaga pendamping lokal dan tenaga pendamping
terlatih serta biaya tahapan fasilitasi pengusulan izin HD, HKm, HTR dan Kemitraan kepada
menteri, meliputi tahap: (1) sosialisasi; (2) pembentukan kelompok dan kelembagaan; (3) survey
dan pemetaan; (4) penyusunan draft usulan; (5) pendampingan proses verifikasi; dan (6)
pengawalan untuk penerbitan keputusan izin oleh Menteri.
Tabel 6.2. Estimasi Biaya Pendampingan Masyarakat Dalam Mengusulkan Izin Perhutanan Sosial Oleh LSM.
Wilayah Kerja Kegiatan Pendampingan Biaya per Hektar
LSM Karsa di Propinsi Sulawesi Tengah
Pengusulan areal kerja (PAK) Hutan Desa seluas 866 Ha di Desa Lonca, Kabupaten Sigi tahun 2013 kepada Menteri Kehutanan.
Rp.86.000,-
LSM Kawal Borneo Community Foundation (KBCF) Provinsi Kalimantan Timur
Pendampingan pengusulan izin skema HD, HKm dan Kemitraan sebelum dan sesudah P.83 dengan total luas 12.190 Ha di tahun 2015.
Rp.107.000,-
LSM KpSHK di Provinsi NTB dan Sultra
Pendampingan pengusulan izin HKm (tidak termasuk inventory hutan dan tataguna hutan/lahan)
Rp.140.000,-
Sumber: hasil wawancara dalam riset IBC
6.4. Menghitung Potensi Kebutuhan Riil Anggaran Percepatan Perhutanan Sosial
Isu keterbatasan anggaran membutuhkan perhatian serius dari pemerintah untuk
merumuskan kebijakan yang lebih responsif dan berpihak pada perhutanan sosial. Pemerintah
perlu merumuskan porsi anggaran percepatan perhutanan sosial dengan jumlah yang lebih
realistis berdasarkan beban target kinerja yang ditetapkan. Dengan menggunakan ukuran baseline
realisasi tahun 2015 dan rata-rata biaya pendampingan berdasarkan praktik baik organisasi
masyarakat sipil, maka IBC mencoba merumuskan standar biaya per/hektar untuk kegiatan
pendampingan masyarakat hingga proses perizinan perhutanan sosial.
Standar biaya perhutanan sosial yang proporsional adalah sebesar Rp 327 ribu/ha/tahun.
Standar biaya ini mencakup keseluruhan biaya yang diperlukan untuk kegiatan pendampingan
masyarakat di lapangan sebesar Rp 110 ribu/ha dan kegiatan sosialisasi, fasilitasi dan verifikasi
usulan penerbitan izin perhutanan sosial sebesar Rp 217 ribu/ha. Sehingga untuk merealisasikan
perhutanan sosial sesuai target RPJMN 2015-2019 seluas 12,7 juta ha dibutuhkan anggaran
sekitar Rp 4,15 triliun, dimana setiap tahun pemerintah menganggarkan dalam APBN sebesar Rp
830,58 miliar. Jumlah ini setara dengan 26 kali lipat lebih besar dari yang dianggarkan dalam
APBN selama tiga tahun terakhir hanya berkisar sebesar Rp31,8 miliar/tahun.
Kebutuhan anggaran dalam rangka percepatan realisasi sisa target perhutanan sosial
hingga 2019 sebesar Rp3,98 triliun. Secara kumulatif target RPJMN 2015-2019 seharusnya
ditahun 2017 mampu direalisasikan seluas 7,62 juta ha. Namun dari data Ditjen PSKL, realisasi
62
izin HD, HKm, HTR dan Kemitraan sejak 2015 s.d juni 2017 baru mencapai 523.774 hektar atau
sekitar 4,1 Persen terhadap total target 12,7 juta ha.
Dengan perkiraan capaian tersebut, masih ada sisa target yang belum terealisasi sekitar
12,17 ha hingga 2019. Dengan biaya sebesar Rp 327 ribu/ha, pemerintah harus menyediakan
anggaran yang cukup besar setiap tahun untuk percepatan target perhutanan sosial sampai tahun
2019. Besarnya jumlah anggaran yang dibutuhkan terkait perhutanan sosial ini, memaksa
pemerintah harus membuat formula kebijakan baru untuk mendukung percepatan perhutanan
sosial tersebut, jika tidak ingin program ini gagal dicapai hingga berakhirnya masa jabatan kabinet
kerja.
6.5. Strategi Pemenuhan Anggaran Percepatan Perhutanan Sosial Terhadap berbagai permasalahan yang diuraikan diatas, pemerintah tentu tidak bisa
hanya mengandalkan anggaran yang berada di Direktorat PKPS dan Balai PSKL, termasuk
bergantung pada pendanaan donor secara terus menerus untuk memenuhi target kinerja
pemberian izin perhutanan sosial 12,7 juta ha tersebut. Adanya kebutuhan anggaran setiap tahun
yang mencapai rata-rata Rp 830,58 miliar, pemerintah perlu mempersiapkan beberapa
terobosan kebijakan anggaran sebagai berikut:
(1) Pemerintah perlu membuat instrument kebijakan perencanaan dan penganggaran
percepatan perhutanan sosial yang dianggarkan melalui APBD Provinsi. Hal ini sejalan
dengan mandate pemerintah provinsi dalam UU 23/2014 untuk melakukan kegiatan
pemberdayaan kehutanan. Namun perhatian pemerintah daerah terhadap perhutanan
sosial masih rendah untuk memfasilitasi perhutanan sosial. Meskipun secara khusus
P.83/2016 mengatur ketentuan kewenangan Gubernur untuk melakukan penerbitan
perizinan perhutanan sosial dengan syarat program dan kegiatan perhutanan sosial
dimasukan ke dalam RPJMD, atau memiliki alokasi anggaran perhutanan sosial dalam
APBD, tetapi P.83 ini tidak serta merta dilaksanakan oleh Gubernur. Sehingga diperlukan
payung hukum yang lebih tinggi berupa Perpres/Inpres untuk menugaskan pemerintah
provinsi untuk melaksanakan program perhutanan sosial dan menganggarkannya di APBD.
Strategi lain yang dapat ditempuh adalah mendorong Kemendagri untuk merevisi
ketentuan Permendagri No. 13 tahun 2006 yang terakhir kali di ubah menjadi Permendagri
No. 21 tahun 2011 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dengan mencantumkan
program perhutanan sosial ke dalam format RKA-SKPD.
(2) Sejalan dengan strategi point 1, perlu ada dorongan instrument fiscal daerah sebagai
sumber pendanaan bagi pemerintah provinsi untuk melaksanakan kegiatan perhutanan
sosial yang dilaksanakan pemerintah provinsi hingga ke daerah kabupaten/kota.
Berdasarkan terobosan UU APBN yang mengatur perluasan penggunana DBH DR, maka
kedepan diperlukan tambahan pengaturan yang memperjelas penggunaan DBH DR untuk
mendukung kegiatan perhutanan sosial.
(3) Memperluas cakupan penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) sub bidang kehutanan
untuk penyediaan fasilitas kegiatan pendampingan dan pengembangan perhutanan sosial
minimal 10% dari total alokasi DAK sub bidang kehutanan sebesar Rp. 721,85 miliar/tahun.
63
Tahun 2015-2016, DAK sub bidang kehutanan lebih diarahkan untuk mendanai kegiatan
rehabilitasi hutan dan lahan, penyediaan sarana dan prasarana KPH serta penataan areal
kerja KPHP/ KPHL, penyediaan sarana prasarana pengendalian karhutla dan pengamanan
hutan serta penyuluhan kehutanan. Untuk mengoptimalkan peran KPH dalam percepatan
perluasan akses HPHD, IUPHKm dan IUPHHK-HTR di wilayah kerja KPH, sebagai
anggota tim verifikasi, dan melakukan monitoring terhadap kegiatan HPHD, IUPHKm,
IUPHHK-HTR, Kemitraan Kehutanan dan Hutan Adat sesuai ketentuan P.83/2016.
Kedepannya diperlukan pengaturan arah kebijakan penggunaan DAK sub bidang kehutanan
juga diarahkan untuk meningkatkan percepatan penyiapan dan pengembangan perhutanan
sosial melalui penugasan KPH dengan disertai target kinerja terukur.
(4) Mensinergikan program dan kegiatan pemerintahan desa yang di danai melalui Dana Desa
(DD) untuk kebutuhan memfasilitasi penyiapan areal dan pengembangan hutan desa.
Mengingat realisasi hutan desa berdasarkan data Direktorat PKPS s.d juni 2017, baru
mencakup 9% dari potensi hutan desa sekitar 5,07 juta ha yang dicadangkan dalam peta
PIAPS. HPHD yang direalisasikan baru seluas 469.069 ha di 228 desa. Belanja APBN
berupa transfer dana desa jumlahnya terus meningkat setiap tahun. Dalam 2 tahun (2015-
2016), secara kumulatif jumlah dana desa yang direalisakan sebesar Rp. 67,45 triliun
dengan rata-rata alokasi per desa sebesar Rp. 454 juta/tahun. Penggunaan dana desa lebih
banyak diprioritaskan untuk bidang pembangunan infrastruktur desa. Bidang
pemberdayaan desa porsinya sangat kecil. Menurut data kementerian desa, belanja dana
desa tahun 2016 yang digunakan untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat sekitar 7% (Rp.
2,58 triliun) dan kegiatan pengembangan potensi ekonomi lokal desa hanya sekitar 1,7%
atau sebesar 0,61 triliun rupiah.
(5) Anggaran dana desa tahun 2017 bertambah menjadi sebesar Rp. 800 juta/desa dan mulai
tahun ini, Kementerian Desa telah mengarahkan prioritas penggunaan dana desa sub
bidang pemberdayaan masyarakat desa untuk mendukung pengelolaan HD dan HKm serta
peningkatan kapasitas kelompok masyarakat. Hanya saja perlu ada kejelasan berapa
minimal alokasinya. Berangkat dari inisiatif awal ini, maka kebijakan dana desa ditahun 2018
perlu dibuat pengaturan yang lebih menjamin ketersediaan dana desa minimal 10% untuk
memfasilitasi percepatan penyiapan dan pengembangan usaha hutan desa sehingga potensi
hutan desa yang dapat segera memiliki legalitas dan dimanfaatkan bagi kesejahteraan
masyarakat desa.
6.6. Kesimpulan dan Rekomendasi Faktor keterbatasan anggaran menjadi pemicu utama rendahnya pencapaian target perhutanan
sosial, karena penyiapan pendampingan, verifikasi lapangan dan penunjang kebutuhan operasional
Pokja PPS sangat membutuhkan dukungan anggaran yang memadai setiap tahun. Hasil analisis
Indonesia Budget Center (IBC) menunjukkan bahwa rata-rata rasio anggaran sektor kehutanan
yang dialokasikan oleh 12 pemerintah daerah provinsi hanya sebesar 0,59 persen pada tahun
2015 dan sebesar 0,68 persen pada tahun 2016. Di tingkat nasional anggaran yang diperuntukkan
secara khusus dalam upaya mendukung percepatan perhutanan sosial juga hanya setara dengan
64
0,01 persen dari total belanja negara yaitu sebesar Rp283 miliar (2015), Rp242 miliar (2016), dan
Rp194 miliar (2017).
Ketidaktepatan pilihan atas pendekatan money follows function yang telah dikritik oleh
Presiden, dan dorongan untuk segera melakukan perubahan pendekatan menjadi money follows
program dalam penyusunan APBN seharusnya menjadi jembatan untuk menambah alokasi
anggaran percepatan perhutanan social, sehingga masyarakat dapat merasakan langusng
manfaatnya setiap tahun.
Untuk itu IBC bermaksud menyampaikan beberapa alternatif pilihan kebijakan yang dapat
ditempuh pemerintah dalam rangka memastikan ketersediaan dukungan anggaran yang memadai
untuk mempercepat realisasi perhutanan sosial hingga tahun 2019, yaitu sebagai berikut:
Pertama, reposisi kegiatan-kegiatan perhutanan sosial dari level proyek
kementerian/lembaga menjadi kegiatan atau proyek prioritas nasional sehingga menjadi urusan
bersama lintas kementerian/lembaga serta pemerintah daerah, secara kolektif dan terintegrasi.
Kedua, menggunakan standar biaya minimal sebesar Rp327 ribu/ha yang mencakup
kebutuhan untuk pendampingan, fasilitasi dan verifikasi usulan sebagai basis pemerintah dalam
menghitung dan menetapan jumlah alokasi anggaran perhutanan sosial dalam APBN dan APBD.
Ketiga, pemerintah memanfaatkan peluang untuk menggunakan Dana Reboisasi baik yang berada
di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota sebagai sumber anggaran pengembangan
perhutanan sosial dengan cara memperluas cakupan penggunaannya, khususnya untuk
mendukung pendanaan pendampingan dan pemberdayaan masyarakat di lokasi PIAPS.
Keempat, memperluas cakupan penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) sub bidang
kehutanan untuk mendukung pendanaan fasilitasi kegiatan pendampingan penyiapan areal dan
pengembangan perhutanan sosial minimal 10% dari total alokasi DAK sub bidang kehutanan
setiap tahun.
Kelima, mendorong pengaturan penggunaan dana desa minimal 10% untuk mendukung
pendanaan bagi percepatan penyiapan dan pengembangan usaha hutan desa sehingga potensi
hutan desa yang dapat segera memiliki legalitas dan dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat
desa.
Keenam, mendorong payung hukum yang lebih tinggi berupa Perpres/Inpres sebagai
landasan penugasan pemerintah provinsi untuk menyusun program dan pendanaan perhutanan
sosial di APBD. Strategi lain yang dapat ditempuh adalah mendorong Kemendagri untuk merevisi
ketentuan Permendagri No. 13 tahun 2006 yang terakhir kali di ubah menjadi Permendagri No.
21 tahun 2011 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dengan mencantumkan program
perhutanan sosial ke dalam format RKA-SKPD.
Pilihan rekomendasi diatas diharapkan menjadi rujukan bagi pemerintah pusat, DPR dan
pemerintahan daerah dalam merumuskan kebijakan anggaran yang responsif terhadap upaya
percepatan realisasi perhutanan sosial di dalam RAPBN dan RAPBD tahun 2018 dan tahun-tahun
berikutnya. Adapun penggunaan anggaran perhutanan sosial yang berpotensi meningkat setiap
tahun tersebut harus tetap memperhatikan prinsip efektifitas dan efisiensi.
65
BAB 7. OPTIMALISASI DANA DESA UNTUK PERHUTANAN SOSIAL
7.1. Pengantar Penataan ulang atas keberadaan sumber-sumber agraria di Indonesia sudah merupakan
keharusan. Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla telah membuat satu kebijakan untuk
melakukan penataan tersebut. Ada dua skema yang sedang dijalankan untuk penataan ulang
tersebut. Skema pertama adalah legalisasi dan redistribusi asset (tanah-tanah yang tidak digarap
dengan baik) dalam bentuk pemberian Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) kepada rakyat
miskin seluas 9 juta hektar. Sedangkan skema kedua adalah penglolaan akses hutan oleh
masyarakat miskin di sekitarnya, berupa pemberian izin-izin Perhutanan Sosial (PS) seluas 12,7
juta hektar.
Alasan untuk dilaksanakan program ini adalah: (i) ketimpangan kepemilikan tanah; (ii)
ketidakpastian asset dan akses oleh masyarakat miskin; (iii) ketidakpastian usaha dalam penataan
dan pengelolaan asset dan akses oleh masyarakat miskin; (iv) konflik agraria yang terus
berkelanjutan.
Selama setahun terakhir skema pengelolaan akses atas hutan oleh masyarakat paling
menonjol dibicarakan pelaksanaannya dalam bentuk perhutanan sosial. Sementara itu, untuk
skema distribusi dalam bentuk distribusi Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) belum terlihat
menonjol gerakannya.
Melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mengeluarkan Peta
Indikatif Area Perhutanan Sosial (PIAPS). Menurut dokumen peta indikatif tersebut terdapat 11,2
juta hektar untuk skema perhutanan sosial, 6,5 juta hektar untuk skema Tanah Objek Reforma
Agraria (TORA). Keberadaan tanah tersebut di seluruh Indonesia dan mencakup 17.448 Desa.
Untuk mempercepat pelaksanaan kedua skema tersebut setidaknya selama ini ada dua
langkah utama yang telah diambil. Untuk skema yang pertama, melalui Kantor Staf Presiden (KSP)
mendorong hadirnya tim percepatan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial yang dibentuk
melalui SK Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 73 Tahun 2017, salah satunya
adalah Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa
PDTT).
Kemendesa PDTT ini merupakan pokja III yang bertugas untuk pelaksanaan
pemberdayaan ekonomi masyarakat pasca redistribusi (pokja I, yakni KLHK), dan mendapat
legalitas dari pokja II, yakni Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
(ATR/BPN). Adapun tugas dari Kemenko Perekonomian adalah untuk mengoordinasi,
mensinkronisasi dan mengendalikan pelaksanaan secara terpusat di K/L pemerintah pusat, dan
mengatur secara serentak pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten berperan aktif dan
efektif memastikan penetapan areal PS dan lokasi TORA di desa-desa melalui pengecekan dan
penyesuaiannya dengan keadaan lapangan.
Sementara itu untuk skema kedua adalah menjadikan desa sebagai subyek hukum
penerima TORA dan sebagai pemegang perizinan untuk perhutanan sosial. Ini merupakan
66
strategi baru dengan jalan menurunkan informasi pembangunan langsung pada desa. Pemerintah
pusat tidak boleh lagi pasif menunggu kehadiran pemerintah daerah untuk aktif meneliti
pembangunan daerahnya oleh pusat. Pemerintah pusat aktif mendorong pemerintah daerah
dengan cara memberikan informasi pembangunan seluas-luasnya, khususnya pemanfaat TORA
dan PS.
Pertanyaannya adalah “mengapa desa menjadi subyek hukum dari penerima TORA dan
pemegang perizinan PS? Selanjutnya, bagaimana implementasi dari desa menjadi subyek hukum?
Terakhir apa yang harus dilakukan oleh desa?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, perlu kiranya dijelaskan terlebih dahulu mengapa
hutan perlu membuka akses untuk masyarakat miskin baik yang berlahan sempit/tidak berlahan
di desa di pinggir/dalam hutan. Pada dasarnya ruang pengelolaan hutan oleh masyarakat sebagai
pelaku utamanya sudah lama berlaku, terlebih lagi untuk masyarakat adat. Semua bentuk
perlindungan hutan sebagai penyangga kehidupan oleh masyarakat setempat.
Selama ini skema yang dikembangkan oleh pemerintah tidak mengakomodasi inisiatif dari
bawah tersebut. Skema yang mengemuka selama ini adalah pemberian izin hak atas penguasaan
hutan pada modal swasta. Model skema tersebut menyebabkan degradasi fungsi hutan dan
memperbanyak kemiskinan masyarakat di sekitar hutan. Dengan demikian perlulah adanya skema
perizinan kepada masyarakat dalam bentuk Perhutanan Sosial baik melalui skema Hutan
Kemasyarakatan (IUPHK), Hutan Tanaman Rakyat (IUPKKH-HTR), Kemitraan Kehutanan (Kulin
KK, IPHPS), Hutan Adat (Kulin HA) dan Hutan Desa (HPHD). Basis dari skema perizinan
perhutanan sosial ini dalam rangka mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan
sektor-sektor strategis ekonomi domestik (salah satu nawacita).
Hutan Desa suatu sistem pengelolaan sumber daya hutan yang dilakukan Desa dengan
pihak yang berkepentingan (stakeholder) dengan jiwa berbagi sehingga kepentingan bersama
untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumber daya hutan dapat diwujudkan secara
optimal dan proporsional.
Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani adalah sistem pengelolaan hutan
lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara yang dikelola oleh Perum Perhutani yang
dilaksanakan oleh masyarakat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya,
keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk izin pemanfaatan hutan.
Pemanfaatan hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan, memanfaatkan
jasa lingkungan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta memungut hasil hutan kayu
dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga
kelestariannya.
Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial yang selanjutnya disebut IPHPS adalah usaha
dalam bentuk pemanfaatan kawasan, pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan tanaman,
pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dalam hutan tanaman, pemanfaatan air, pemanfaatan energi
air, pemanfaatan jasa wisata alam, pemanfaatan sarana wisata alam, pemanfaatan penyerapan
karbon di hutan produksi dan hutan lindung dan pemanfaatan penyimpanan karbon di hutan
lindung dan hutan produksi Merujuk pada P.39/2017.
67
7.2. Mengapa Desa Menjadi Subyek Hukum? Pada dasarnya desa merupakan instrumen bernegara level yang paling rendah di Republik
Indonesia. Negara Indonesia adalah kumpulan dari warga negara yang tinggal di desa. Oleh sebab
itu pelaksana dari penyelenggaraan negara yang paling dekat dengan masyarakat adalah
pemerintahan desa. Berdasar UU No. 6 tahun 2014, desa adalah kesatuan masyarakat hukum
yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul,
dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Desa juga memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan adanya keterlibatan
masyarakat dalam proses pembangunan desa (Permendagri 114/2014).
Kendati dalam konteks pengelolaan sumber-sumber agraria sangat minim dilekatkan
dalam UU No. 6 Tahun 2014 (Shohibuddin, 2016), namun permasalah desa dan agraria
merupakan dua keping mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Secara terminologi dasar saja, desa
itu terdiri dari warga desa, pemerintah desa, aturan desa dan teritori (pengusaan sumber-sumber
agraria). Dengan demikian, membicarakan desa pada dasarnya membicarakan kesemuanya tanpa
terkecuali.
Tantangan terberat dalam desa membangun (tema utama pemerintahan Jokowi-JK dalam
pembangunan desa) adalah memajukan perekonomian pedesaan, mengingat ketimpangan
pendapatan dan penguasaan sumber-sumber agraria yang semakin lebar terjadi di desa. Menurut
data BPS (2016) kondisi perekonomian pedesaan bergerak ke arah yang mengkuatirkan, karena
lebih dari separuh penduduk miskin tinggal di desa. Sementara kondisi di desa sudah semakin
berkurang ketersediaan lapangan pekerjaan, karena sektor pertanian sudah dinilai tidak lagi
memberikan harapan bagi penduduknya. Akibatnya, pada satu sisi semakin menurunnya
sumbangan sektor pertanian pedesaan terhadap pendapatan nasional. Sementara, pada sisi yang
lain masyarakat desa lebih tersedot energi kerjanya ke luar desa, baik itu yang secara sementara
maupun permanen.
Ditambah lagi dalam peta besar penguasaan sumber-sumber agraria di Indonesia, potret
pedesaan di Indonesia berada pada situasi krisis agraria dan krisis pedesaan itu sendiri. Pertama,
berlangsung ketimpangan struktur agraria baik itu kepemilikan, penguasaan, distribusi dan
pemanfaatannya, serta minimnya akses atas sumber-sumber agraria. Kedua, konflik agraria
struktural akibat perebutan klaim atas satu wilayah penguasaan sumber agraria. Selama ini negara
lebih memberikan izin dan konsesi pada pemilik modal dalam rangka ekstraksi, eksploitasi dan
industrialisasi sumber dalam agraria. Ketiga, kerusakan ekologis akibat dari perilaku ekstraksi
tanah oleh kapital besar.
Penjelasan sekilas di atas inilah yang menjadi alasan utama desa sebagai subyek hukum
pengelola sumber-sumber agraria di wilayahnya. UU Desa adalah sarana mengembalikan
keseluruhan otoritas, fungsi dan peran kelembagaan, serta pengelolaan wilayahnya. Lebih dari itu
desa di Indonesia memiliki warna kembali karena keragaman sejarahnya, kekhasan karakter
budayanya, spesifikasi tipologi ekolologis, serta lokal wisdom yang menyertainya merupakan
kekayaan yang hilang. Setidaknya secara jumlah saja, menurut data BPS Indonesia memiliki 72
ribu desa, yang akan bertambah pada tahun-tahun berikutnya akibat pemekaran desa.
68
Penjelasan lain yang memperkuat posisi desa sebagai sebagai subyek hukum atas
pengelolaan sumber-sumber agraria adalah adanya 25.863 desa di dalam dan sekitar kawasan
hutan (Ratas Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial 21September 2016). Angka tersebut
menunjukkan peningkatan, mengingat sebelumnya menurut data potensi desa dari tahun 2011 ke
tahun 2014 terdapat peningkatan jumlah desa hutan di Indonesia, dari 9.937 desa menjadi 21.284
desa. Setidaknya terdapat peningkatan jumlah desa berkisar angka 11.347 desa hanya dalam
durasi tiga tahun.
Selain itu masih menurut hasil Ratas Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial
(21September 2016) terdapat angka 71.06% masyarakat desa menggantungkan hidupnya dari
sumber daya hutan. Ada 48 juta jiwa penduduk tinggal di pinggir/dalam kawasan hutan. Ada 10,2
juta orang miskin di dalam kawasan hutan dan tidak memiliki kepastian dan perlindungan hukum
terhadap milik dan aksesnya pada sumber daya hutan. Sampai dengan tahun 2014, (hanya)
terdapat 1 juta jiwa yang sudah masuk dalam program Perhutanan Sosial. Selain itu selama tahun
2015-2019 terdapat sebanyak 9.800 desa masuk PIAPS, yang tersebar mulai dari ekosistem
pegunungan tinggi, dataran rendah, rawa gambut dan bakau. Sehingga nantinya dibutuhkan proses
identifikasi tipologi Perhutanan Sosial.
Kendati telah mendapatkan argumentasi yang layak, akan tetapi tetap perlu diperiksa
terlebih dahulu pemaknaan desa sebagai subyek hukum dalam proses pembangunan pedesaan,
khususnya dalam konteks penguasaan sumber-sumber agraria. Mengingat dalam perjalanan politik
UU Desa dibarengi dengan adanya perdebatan pemikiran antara membangun desa dan desa
membangun. Secara aspek struktural membangun desa dalam praktek kewenangan
pembangunannya diserahkan kepada pemerintah daerah tingkat kabupaten/kota, meskipun dalam
prakteknya masih harus melibatkan partisipasi masyarakat desa. Sementara itu untuk desa
membangun, berdasar pada asas rekognisi dan subsidiaritas telah meletakan masyarakat desa
sebagai subyek utama dalam partisipasi pembangunan. Pengaturan lebih lanjut tentang
keterlibatan kelompok-kelompok masyarakat di dalam desa-desa yang bersangkutan, termasuk
kelompok-kelompok perempuan, masyarakat miskin, dibahas melalui mekanisme musyawarah
desa, atau musyawarah antar desa, sebagaimana yang telah diatur oleh UU nomor 6 tahun 2014
tentang Desa.
Akan tetapi dalam konteks pengelolaan akses terhadap program perhutanan sosial
keberadaan pemangku hutan tidak bisa ditinggalkan. Desa merupakan subyek hukumnya, namun
keberadaan Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) sebagai pemangku hutan merupakan wakil dari
negara untuk tetap memastikan keberlangsungan konservasi hutan. Keberadaan KPH hanya
memastikan keberlangsungan konservasi ekosistem hutan, bukan kepemilikan tanah seperti
selama ini terjadi.
Hal lain yang sangat penting diperhatikan dalam pengelolaan hutan adalah keberadaan
Masyarakat Desa Hutan (MDH) yang selama ini telah mengakses hutan. Setidaknya terdapat
peningkatan jumlah MDH dari tahun ke tahun berdasar kenaikan jumlah desa hutan yang telah
disebutkkkan di atas. Peningkatan tersebut tidak hanya sebagai penanda bagi keberadaan desa
hutan di Indonesia, akan tetapi juga pesatnya perkembangan masyarakat di lingkungan hutan.
Dengan demikian keberadaan MDH perlu mendapat porsi tersendiri dalam skema pengelolaan
69
Perhutanan sosial ke depan. MDH adalah subyek pelaksana atas pengelolaan akses sumber-
sumber agraria.
Praktek yang berlangsung selama ini MDH berjalan sendiri dengan pihak kehutanan tanpa
bersinggungan dengan desa. Dengan adanya UU No 6 tahun 2014 tentang desa memberi peluang
MDH menjadi salah institusi resmi di desa dengan menjadi Lembaga Kemasyarakatan Desa
(LKD). LKD adalah satu organ resmi yang bisa melibatkan diri dalam proses Musyawarah Desa
yang merupakan amanat UU Desa dalam proses perencanaan pembangunan. Sehingga
masyarakat yang selama ini mengakses hutan bisa terlibat dalam musyawarah desa. MDH bisa
terlibat dalam proses perencanaan dan penentuan arah pembangunan desa berbasis Perhutanan
Sosial dalam musyawarah desa. Pengaturan lebih lanjut tentang keterlibatan kelompok-kelompok
masyarakat di dalam desa-desa yang bersangkutan, termasuk kelompok-kelompok perempuan,
masyarakat miskin, dibahas melalui mekanisme musyawarah desa, atau musyawarah antar desa,
sebagaimana yang telah diatur oleh UU nomor 6 tahun 2014 tentang Desa.
Dengan demikian berdasar alur penjelasan di atas, perlunya proses kerja sama diantara
ketiga kelompok dalam pengelolaan perhutanan sosial sangat dibutuhkan: (i) pemerintah desa; (ii)
masyarakat desa hutan; dan (iii) pemangku hutan. Ketiga kelompok ini merupakan kesatuan yang
tidak bisa dipisahkan dalam proses pengelolan perhutanan sosial. Setidaknya gambar di bawah ini
menunjukkan saling keterkaitan satu sama lain dalam pengelolaan perhutanan sosial.
Gambar 7.1. Skema Pengelolaan Perhutanan Sosial
Ketiganya dapat melakukan fungsi koordinasi dan konsolidasi kegiatan pengelolaan hutan.
Setidaknya berdasar atas fungsi kerja masing-masing mereka melakukan perencanaan bersama
dalam rangka penentuan dan pembuatan peta definitif areal hutan desa yang disusun secara
partisipatif dengan melakukan penetapan dan penegasan Batas Desa (sesuai Permendagri
45/2016). Kegitan tersebut secara praktis melibatkan para pihak dan disahkan oleh Kepala Dinas
Kehutanan Propinsi atas nama Gubernur. Dinamika lapangan ini merupakan tantangan kongrit
atas praktek demokrasi langsung yang berbasis pada penataan ulang atas sumber-sumber agraria
yang lebih adil.
Begitu juga dengan perencanaan pengelolaan hutan desa yang disusun bersama-sama,
mengenai rencana-rencana (i) detail tata kelola hutan; (ii) pemanfaatan dan pelestarian; (iii)
pengalaman dan perlindungan; dan (iv) rehabilitasi. Ini merupakan satu keniscayaan kerja-kerja
yang membutuhkan kerangka metodologi yang jelas. Di sinilah kerja-kerja praktek menemukan
relevansinya. Hadirnya dokumen perencanaan, pun regulasi-regulasi di atasnya harusnya berbasis
Pemerintah Desa
Pemangku Hutan
Masyarakat Desa Hutan
70
pada kerangka penelitian yang jelas. Sehingga keberadaan dokumen dan kebijakan yang dihasilkan
mampu menjawab persoalan dengan tepat. Semua pemangku kepentingan duduk bersama
merumuskan tentang perencanaan dan kebijakan yang akan dilahirkan. Sehingga dapat dipastikan
hadir satu rumusan baru dan cara baru dalam mengelolaan sumber-sumber agraria di masa
mendatang.
Hadirnya satu metodologi riset bersama itu sekaligus merupakan satu sarana untuk
melakukan verifikasi berbagai pemikiran yang berkembang tentang pengelolaan ekonomi desa.
Basis dari argumentasinya adalah mempertimbangkan upaya untuk meminimalisasi permasalahan
ketimpangan ekonomi di desa. Program reforma agraria dan perhutanan sosial secara teori salah
satunya adalah menjawab permasalahan ketimpangan sosial dan ekonomi di desa. Dengan
demikian metodologi riset lapangannya juga pada level tertentu harus mampu menjadi sarana
verifikasi tentang debat untuk mewujudkan pengelolaan atas sumber-sumber agraria pasca
redistribusi (peningkatan usaha tani) semata-mata diletakkan pada industri pertanian atau industri
pedesaan.
Pentingnya verifikasi ini untuk melihat dimana kewenangan peningkatan usaha tani
diletakkan. Konsepsi industri pertanian mengarah pada kebutuan industri untuk mendukung
peningkatan usaha tani di wilayah desa hutan oleh pihak swasta. Dukungan akan peralatan,
pembibitan serta dukungan pupuk dan pestisida menjadi basis konsepsi industri pertanian ini.
Sementara industri pedesaan menyerahkan kewenangan pengelolaan kepada masyarakat desa
untuk pengelolaan dan penataannya. Sehingga partisipasi masyarakat dalam pengembangan
perekonomiannya berlangsung proses transformasi sosial, tanpa menafikan berkembangan
industri.
Dengan demikian dalam membicarakan tema Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial jika
diletakkan di desa sebagai subyek hukumnya tidak bisa hanya berhenti pada proses redistribusi
asset dan aksesnya, serta legalisasi asset dan aksesnya dengan subyek penerimanya. Lebih jauh
dari itu, pembicaraannya sudah harus menyertakan konsepsi proses produksi, distribusi dan
konsumsi.
Artinya harus hadir pula dalam bentuk struktur administrasi pemerintahan, yaitu harus
diikuti dengan program-program lanjutan untuk memperkuat kemampuan warga di sekitar
kawasan hutan, mulai dari penyiapan sarana dan prasarana produksi, pelatihan dan penyuluhan,
akses pada informasi pasar, teknologi, akses pembiayaan dan penyiapan pasca panen. Hingga
akhirnya terdapat pengembangan aspek bisnis perhutanan sosial yang tidak hanya agro-forestry,
tapi juga bisa dikembangkan ke bisnis eko wisata, bisnis agro silvo-pasture, bisnis bio energi,
bisnis hasil hutan bukan kayu, serta bisnis industri kayu.
71
Gambar 7.2. Skema Skenario pengembangan komoditi Perhutanan Sosial
Pada level yang lain metodologi riset bersama tersebut juga sekaligus dapat menjadi sarana verifikasi atas pentingnya lembaga ekonomi bersama sebagai perantara dari produsen ke konsumen. Kelembagaan ekonomi ini dalam rangka memangkas mata rantai ekonomi yang dianggap memperkecil keuntungan masyarakat desa sebagai produsen. Sehingga dibutuhkan satu proses menuju penguatan ekonomi lokal yang
bermuara pada kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat desa. Konsepsi tentang Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), koperasi atau usaha bersama lainnya harus diarahkan pada penguatan ekonomi lokal dan transformasi sosial di pedesaan.
Setidaknya prinsip dari BUMDes adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian
besar modalnya dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa. Hal ini merujuk pada Peraturan Menteri Desa PDTT No. 4 tahun 2015. Dalam peraturan tersebut mengatur kehadiran kelembagaan Bumdes melalui mekanisme musyawarah desa, sekaligus penentuan jenis usaha dan langkah-langkahnya. Berdasar Peraturan Menteri Desa PDTT No. 19 tahun 2017, pengembangan usaha BUM Desa dan/atau BUM Desa Bersama yang difokuskan kepada pembentukan dan pengembangan produk unggulan desa dan/atau produk
unggulan kawasan perdesaan, antara lain: untuk huruf (a) pengelolaan hutan Desa, huruf (b) pengelolaan hutan Adat. Bahkan juga difokuskan kepada pembentukan dan pengembangan produk unggulan desa dan/atau produk unggulan kawasan perdesaan, antara lain: huruf (a) hutan kemasyarakatan, (b) hutan tanaman rakyat, sementara untuk
huruf (c) kemitraan kehutanan. Artinya keberadaan kelembagaan ekonomi perantara ini juga sudah diarahkan pada pemanfaat hasil-hasil kehutanan pasca redistribusi kepada masyarakat. Artinya berdasar atas peraturan tersebut bahwa hutan desa dan hutan kemasyarakatan termasuk kegiatan yang prioritas untuk dibiayai oleh dana desa
sepanjang masuk dalam dokumen RPJMDes.
Kendati keberadaan BUMDes sudah menjadi program prioritas Kementerian Desa PDTT, namun perjalanan sejarah studi tentang desa telah mencatat keberadan kelembagaan ekonomi perantara ini. Pada tahun 1971 pemerintah telah melahirkan
Kesejahteraan Masyarakat
Desa
Kayu
Non Kayu
Jasa Lingkungan
72
lembaga ekonomi perantara dalam bentuk Badan Usaha Unit Desa (BUUD) dan Koperasi Unit Desa (KUD). Mengingat strategi pembangunan pedesaan pemerintah adalah peningkatan produksi tanaman pangan, khususnya padi, dianggap tidak memerlukan perubahan yang bermakna dalam struktur sosial dan sistem kepemilikan tanah (land tenure system). Persepsi pemerintahan di masa lalu (Orde Baru) bahwa
kemiskinan masyarakat desa disebabkan karena kelangkaan penguasaan teknologi sehingga produktifitas menurun, di samping karena adalnya kebodohan masyarakat desa (Winarno, 2003:12). Sehingga untuk mendukung kegiatan program pedesaan lebih terkoordinasi alam penyediaan input-input pertanian belaka (Mohoney, 1981: 191-2).
Akibatnya meskipun terjadi peningkatan produksi tanaman pangan, khususnya padi, program tersebut malah mendongkrak jumlah masyarakat miskin dan memperbanyak petani guram dan tidak bertanah (landless). Adanya kerangka metodologi yang memverifikasi setiap kehadiran konsepsi dan kebijakan di desa sehingga semua yang
berlangsung di desa dapat diukur perkembangan dan arahnya.
7.3. Bagaimana Implementasinya?
Pembangunan pertanian di Indonesia pada masa Orde Baru melahirkan berbagai permasalahan yang sangat kompleks dan itu merugikan petani kecil. Selama proses pembangunan pertanian, praktek usaha tani hanya ditekankan pada aspek produksi
semata. Akibatnya posisi tawar petani berada pada titik terendah dalam proses keseluruhan praktek usaha tani. Energi masyarakat pertanian desa dihabiskan pada proses berproduksi, sementara proses distribusi dan pengelolaan konsumsi berada di tangan orang lain. Terdapat beberapa permasalahan kompleks yang merugikan petani
kecil yang itu pada dasarnya bisa diurai melalui program desa membangun.
Pertama, permasalahan kepastian hak asset ataupun akses. Program redistribusi dan legalisasi tanah merupakan upaya untuk menjawab permasalahan ketidakpastian yang selama ini menyelimuti petani kecil. Melalui program Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial sebagaimana dijelaskan di atas merupakan jawaban atas kebutuhan lahan masyarakat desa yang miskin.
Kedua, masalah permodalan. Selama ini saluran permodalan atau kredit usaha tani hanya bisa dinikmati oleh mereka yang memiliki akses terhadap institusi kredit dan
perbankan. Prakteknya melalui rekayasa sedemikian rupa, sehingga dengan mudah mendapatkan akses kredit. Sementara masyarakat petani gurem dan tuna kisma mengalami kesulitan untuk mengakses kelembagaan permodalan tersebut. Lemahnya hasil feasibility studi dan persyaratan agunan tidak mampu disediakan oleh masyarakat
petani gurem dan tidak bertanah. Hingga saat ini belum ada kelembagaan permodalan yang bekerja memberi keringanan pada masyarakat petani gurem dan tidak bertanah.
Ketiga, permasalahan saprodi (sarana usaha produksi) pertanian selalu
73
“menghantui” petani gurem dan petani tidak bertanah. Biaya produksi tidak sesuai dengan nilai hasil panenan. Hal ini merupakan ketidakpastian bagi proses produksi petani (off farm). Setidaknya ada tiga permasalahan dalam saprodi ini: (i) pupuk yang harganya sering tidak terjangkau oleh masyarakat petani di pedesaan; (ii) benih selalu bermasalah pada produktifitas yang rendah dan tidak tahan terhadap hama penyakit dan iklim. Selain
itu juga ketersediaan bibit tidak merata mulai dari pabrik, kemudian pada pedagang sementas, hingga perantara. Hal itu akibat adanya monopoli pihak tertentu. Begitu juga dengan obat-obatan mengalami hal yang sema. (iii) harga pestisidah selalu melonjak sehingga menyebabkan petani mengalami kesulitan untuk proses produksinya.
Keempat, aspek terhadap IPTEK selama ini tidak terjangkau dan sangat terbatas. Sehingga petani penggarap memiliki ketidakmampuan untuk menjangkah. Seringkali hasil panen masyakarat masih sering untuk membimbing petani tak bertanah dan gurem.
Kelima, mental petani yang selama ini kuat untuk proses produksi petani untuk pemenuhan kebutuhan subsistensi sehari-hari. Tidak berani mengambil usaha tani secara komersial untuk peningkatan ekonomi masyarakat desa. Dengan demikian peningkatan mental petani sendiri membutuhkan dukungan dari luar dirinya. Dengan mental usaha bertani yang baik akan mempermudah pemasukan.
Keenam, memperpedek pemasaran dan distribusi, seligus mata rantai selama ini. Salah satu caya untuk memperpendak pemasaran dan distribusi yang menyabkan kerugian pada setiap sektornya.
Ketujuh, mitra usaha. Proses kemitraan usaha selama ini lebih menguntungkan
pada pengusaha besar, ketimbang petani tidak bertanah. Sementara usaha petani guram dan tidak bertanah sangat sulit untuk mendapatkan dukungan dari mitra usaha.
7.4. Apa yang harus dilakukan desa
Penataan ulang atas sumber-sumber agraria saat ini tidak bisa dipisahkan dengan pendekatan pembangunan desa. Terlebih lagi dalam upaya untuk penataan ulang sumber-
sumber agraria secara lebih adil. Tidak saja mementingkan satu pendekatan, namun membutuhkan multidimensional approach dalam proses dan prakteknya.
Setidaknya terdapat dua pendekatan klasik yang saling bertentangan antara pendekatan kesejahteraan dari atas dan partisipasi dari bawah. Pendekatan pertama,
dahulu sangat kental dijalankan oleh rezim politik orde baru bahwa masyarakat desa dianggap tidak memiliki kemampuan untuk mengembangkan organisasi yang berguna untuk memperbaiki kehidupan sosial dan ekonomi rakyat dan desa. Sehingga corak yang negara dahulu terhadap desa adalah dominan, menguasai dan memaksa. Pembangunan desa harus mendapat sponsor dan digerakkan oleh negara pusat. Pola pembangunan dari energi negara pusat sebagai suatu strategi yang tepat untuk peningkatan kesejahteraan
74
rakyat dan desa. Sementara pendekatan yang kedua adalah partisipasi menyatakan bahwa masyarakat desa pada dasarnya mampu untuk terlibat dalam proses perubahan, tidak pasif. Masyarakat desa bisa memperbaiki diri tanpa adanya intervensi dari negara pusat.
Model yang berhadap-hadapan itu sekarang sudah tidak menemukan jalan lagi untuk dilanjutkan. Menemukan jalan buntunya. Model yang sekarang bermuka dua (hybrid
model) sekilas seperti campuran dari model yang berhadap-hadapan tersebut. Pada satu sisi masyarakat desa berpemerinatahan (self government community) dan pada sisi lain pemerintahan lokal (local self government) (lihat pada Zamroni, 2017). Model hibrida ini mepersilahkan desa untuk mengatur dan mengurus lokalitasnya sendiri, namun tetap
berada dalam konsepsi Negara Republik Indonesia. Model ini dianggap memberi ruang bagi terbukanya struktur dan aktor desa untuk mengembangkan diri.
Dalam konteks pelaksanaan percepatan program Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial di Indonesia memungkinkan semua pendekatan digunakan. Pertama-
tama perlunya pendekatan grass roots participation melalui berbagai organisasi masyarakat desa sebagai penunjang utama dari pelaksanaan program tersebut. Anggapan bahwa masyarakat desalah yang paling mengetahui kondisi-kondisi hidup mereka, jika birokrasi dan politik tidak melakukan intervensi.
Anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar, setidaknya membutuhkan pendekatan
kedua yang bersifat mempercayakan pada bureaucracy reliant strategy. Pendekatan ini dibutuhkan untuk praktek pengurusan administrasi pemerintahan desa dan interaksi antar struktur pemerintahan lainnya. Birokrasi tetap memiliki peran besar dalam
pelaksanaan program pembangunan masyarakat dan desa. Setidaknya birokrasi merupakan salran formal dan berfungsi sebagai kelanjutan instrument dari negara pusat dalam urusan daerah dan lokal (Hansen, 1979: 22).
Sedangkan pendekatan ketiga adalah strategi memusatkan pada tujuan mencapai stabilitas dalam pelaksanaan program (Winarno, 2003: 28-9). Pendekatan terakhir ini memberi peluang bagi negara pusat sebagai supradesa bertanggung jawab secara otoritatif untuk menjaga stabilitas hubungan dan keseimbangan antara institusi desa (Zamroni, 2017) dan struktur administrasi pemerintahan yang lain. Dengan demikian
peranan pemerintah negara pusat tidak bisa netral sebagaimana diasumsikan oleh pendukung ekonomi neoliberal. Sehingga mau tidak mau ketiga pendekatan harus berkelindan satu sama lain untuk terwujudnya pembangunan desa.
Dalam rangka memperbesar peluang berusaha di wilayah pedesaan, dan program
reforma agraria dan perhutanan sosial adalah pilihannya. Pemerintah negara pusat justru perlu mendorong hadirnya cara baru satu kelembagaan dalam usaha tani pedesaan yang diarahkan tidak saja sekedar guna peningkatan produksi pertanian, lebih jauh dari itu berupa peningkatan skala usaha tani itu sendiri. Program reforma agraria dan perhutanan
75
sosial menemukan jalannya di desa. Dengan demikian pemerintah bisa mendorong terjadinya transformasi agraria di desa. Pada akhirnya dapat menghantarkan satu proses evolusi usaha tani keluarga desa ke usaha tani badan usaha bersama desa yang memenuhi skala ekonomi yang lebih luas dan manajerial yang lebih baik. Tentu saja aktifitas ini haruslah ditujukan pada kelompok masyarakat desa yang berapa dalam lapisan paling
tidak diuntungkan oleh sistem dan struktur sosial (Luthfi dan Shohibuddin, 2012: 361-2).
Dengan demikian dukungan pelaksanaan reforma agraria dan perhutanan sosial diletakkan di desa merupakan keniscayaan. Penggunaan dana desa untuk percepatan pelaksanaan, proses pelaksanaan dan perencanaan daya dukungnya tidak saja berhenti
pada proses redistribusi dan legalisasi saja. Hal ini jika masih membutuhkan keberlanjutan antara peningkatan produktifitas, daya dukung lingkungan serta jaminan kesejahteraan rakyat dan desa, maka dana desa bisa berperan lebih jauh dan diletakkan hingga diujung program.
76
BAB 8. KERANGKA KEBIJAKAN DAN KEWENANGAN PEMERINTAH DALAM PERCEPATAN PEMENUHAN TARGET PERHUTANAN SOSIAL
8.1. Permasalahan Pokok
Merujuk pada kerangka acuan ringkas mengenai penyusunan naskah akademik, permasalahan yang akan dibahas akan bermula dari pertanyaan apakah kerangka kebijakan dan kewenangan terkait perhutanan sosial belum sistematis? Permasalahan yang diangkat berangkat dari asumsi bahwa kerangka kebijakan dan kewenangan yang ada
belum systematis, untuk mendorong percepatan implementasi perhutanan sosial.
Pembahasan pokok permasalahan
Berangkat dari permasalahan pokok yang disebut diatas, sebelum menyampaikan jawaban-jawaban atau pendapat-pendapat dari aspek hukum, perlu disampaikan beberapa
pengertian mengenai peraturan perundang-undangan (wetgeving), peraturan kebijakan (beleidsregel) dan keputusan (beshickking), agar ada kesamaan pemahaman terlebih dahulu.
1. Peraturan perundang-undangan (wetgeving) adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan (Pasal 1 angka 2 UU 12 Tahun 2011).
2. Peraturan Kebijakan (Beleidsregel/policy rules) adalah produk dari perbuatan Tata Usaha Negara yang bertujuan untuk “naar buiten gebracht schricftelijk beleid” (menampakkan keluar suatu kebijakan tertulis) namun tanpa disertai kewenangan pembuatan peraturan dari badan atau pejabat tata usaha negara yang
menciptakan peraturan kebijakan tersebut (Hadjon, dkk, 2008). Ciri-ciri peraturan kebijakan adalah ia bukan peraturan perundang-undangan (wet), badan/lembaga yang menerbitkan bukan pembentuk peraturan, dan tidak mengikat secara hukum namun memiliki relevansi hukum. Bagir menyebut sejumlah ciri peraturan kebijakan, yaitu: 1) Peraturan kebijakan bukan merupakan peraturan perundang-undangan; 2) Asas-asas pembatasan dan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan tidak dapat diberlakukan pada peraturan kebijakan; 3) Peraturan kebijakan tidak dapat diuji secara wetmatigheid, karena
memang tidak ada dasar peraturan perundang-undangan untuk membuat peraturan kebijakan tersebut; 4) Peraturan kebijakan dibuat berdasarkan freies ermessen dan ketiadaan wewenang administrasi bersangkutan membuat peraturan perundang-undangan; 5) Pengujian terhadap peraturan kebijakan lebih
77
diserahkan kepada doelmatigheid dan karena itu batu ujinya adalah asas-asas umum pemerintahan yang baik/layak; 6) Dalam praktek diberi format dalam berbagai bentuk dan jenis aturan, yakni keputusan, instruksi, surat edaran, pengumuman dan lain-lain, bahkan dapat dijumpai dalam bentuk peraturan (Bagir Manan, 1987).
3. Keputusan (Tata Usaha Negara-TUN) adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata (Pasal 1 angka 9 UU 51 Tahun 2009).
Pengertian ketiga istilah hukum diatas perlu disajikan mengingat tema bahasan paper ini adalah kerangka kebijakan. Kebijakan yang dimaksud barangkali bersifat umum yang menyangkut baik peraturan perundang-undangan, peraturan kebijakan maupun keputusan (TUN). Oleh karena itu, dalam pembahasan dan diskusi atas paper ini tidak terjadi percampuran pengertian. Dalam hal ini, saya akan menggunakan istilah kerangka hukum dibandingkan kerangka kebijakan, agar rujukannya utamanya jelas kepada
peraturan perundang-undangan, peraturan kebijakan ataupun keputusan. Selanjutnya, dalam kajian ini, nanti akan direkomendasikan bentuk hukum yang mana yang perlu perbaikan.
8.2. Kerangka hukum perhutanan sosial yang berlaku saat ini
Beralih ke pokok permasalahan, sebelum membuat diagnosis apakah kerangka
hukum perhutanan sosial belum sistematis, maka mula-mula perlu mendeskripsikan peraturan-perundang-undangan, peraturan kebijakan ataupun keputusan yang eksisting terkait perhutanan sosial. Berikut beberapa contohnya:
Kerangka Hukum Perhutanan Sosial
Peraturan Per-UU-an
UU Kehutanan No.41 Tahun 1999
UU Konservasi SDA Hayati dan Ekosistem No.5 Tahun 1990
UU PPLH No.32 Tahun 2009
PP No.6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan, Perencanaan dan Pemanfaatan Hutan
78
Permen LHK Nomor 28 Tahun 2015 Tentang Pedoman
Umum Pengembangan Perhutanan Masyarakat Pedesaan Berbasis Konservasi.
Permen LHK Nomor 29 Tahun 2015 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Kebun Bibit Rakyat
Permen LHK Nomor 30 Tahun 2015 Tentang Pedoman
Pemberian Bantuan Peralatan Pengembangan Usha Ekonomi Produktif Ramah Lingkungan
Permen LHK Nomor 32 Tahun 2015 Tentang Hutan
Hak
Permen LHK Nomor 83 Tahun 2016 Tentang Perhutanan Sosial
Permen LHK Nomor 84 Tahun 2016
Tentang Penanganan Konflik Tenurial Kawasan Hutan
Peraturan Kebijakan
Perdirjen PSKL Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Tata Cara
Verifikasi dan Validasi Hutan Hak
Perdirjen PSKL Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Pedoman
Pembinaan, Pengendalian dan Evaluasi Perhutanan Sosial
Perdirjen PSKL Nomor 3 Tahun 2016 Tentang Pedoman Pengembangan Usaha Perhutanan Sosial
Perdirjen PSKL Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Pedoman
Mediasi Penanganan Konflik Tenurial Kawasan Hutan
Perdirjen PSKL Nomor 6 Tahun 2016 Tentang Pedoman Asesmen Konflik Tenurial Kawasan Hutan
Perdirjen PSKL Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Pelayanan Akses Kelola Perhutanan Sosial
Perdirjen PSKL Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Standar
Pengukuran Indikator Kinerja Kegiatan (IKK) dan Indikator Kinerja Program (IKP) Dtrjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan
79
Perdirjen PSKL Nomor 9 Tahun 2016
Tentang Perubahan Peraturan Dirjen Perhutanan Sosial
dan Kemitraan Lingkungan Nomor P.3/PSKL/SET/KUM.1/4/2016 tentang Pedoman
Pengembangan Usaha Pertanian Sosial
Perdirjen PSKL Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pedoman Verifikasi Hak Pengelolaan Hutan Desa
Perdirjen PSKL Nomor 12 Tahun 2016
Tentang Pedoman Verifikasi Permohonan Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kemasyarakatan
Perdirjen PSKL Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Pedoman Verifikasi Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat
Perdirjen PSKL Nomor 14 Tahun
2016 Tentang Pedoman Fasilitasi Pembentukan dan Tata
Cara Kerja Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial
Perdirjen PSKL Nomor 15 Tahun 2016
Tentang Pelayanan Online/Daring Perhutanan Sosial
Perdirjen PSKL Nomor 16 Tahun 2016 Tentang
Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Desa, Rencana Kerja Usaha, Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan dan rencana Kerja Usaha Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Rakyat
Perdirjen PSKL Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Pedoman Pelaksanaan Kegiatan Hutan Tanaman Rakyat
Perdirjen PSKL Nomor 18 Tahun 2016 Tentang Pedoman Penyusunan Naskah Kesepakatan Bersama
Perdirjen PSKL Nomor 22 Tahun 2016 Tentang Pembentukan Kanal Komunikasi Perhutanan Sosial dan
Kemitraan Lingkungan
Peraturan Direktur Jenderal PSKL Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Pedoman, pembinaan, pengendalian dan Evaluasi
80
Keputusan SK MenLHK Nomor 22 Tahun 2016 Tentang Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial
SK Dirjen PSKL Nomor 33 Tahun 2016 Tentang Pembentukan Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan
Sosial
SK Dirjen PSKL Nomor 7 Tahun 2017 Tentang
Perubahan lampiran POKJA PS
Kerangka hukum perhutanan sosial yang bersifat peraturan pelaksana pada tingkat
praktis yang berlaku saat ini, tentu perlu diperiksa hormani dan disharmoni nya dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Untuk melakukannya perlu waktu yang lebih
memadai. Peraturan perundang-undangan apa yang perlu dirujuk antara lain:
a. UU Kehutanan No.41/1999
b. UU KSDAHE No.5/1990
c. UU PPHA No.18/2013
d. UU PPLH No.32/2009
e. PP Tata Hutan No.6/2007
8.2.1. Terkait Kewenangan
Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 23/2014 (UU 23/2014) telah mengubah
politik desentralisasi kewenangan kepada resentralisasi kewenangan. Pembagian urusan
pemerintah berdasarkan UU 23/2014 adalah seperti pada gambar dibawah ini:
81
82
Wujud politik resentralisasi terlihat pada beberapa kewenangan pemda kabupaten yang
ditarik ke pusat/provinsi khususnya terkait urusan dibidang kehutanan. Lihat gambar dibawah ini:
Praktis dengan pembagian kewenangan berdasarkan urusan pemerintah, khususnya
terkait perhutanan sosial berada pemerintah pusat dan provinsi. KECUALI, urusan yang
menyangkut pengakuan hukum terhadap masyarakat hukum adat dan hak ulayat, berada di
tingkat kabupaten. Hal ini memiliki sangkut paut yang kuat dengan proses pengukuhan hutan adat
yang menjadi kewenangan Menteri LHK.
Untuk lebih jelas, mari kita lihat pembagian urusan pemerintahan antara Pusat, Provinsi
dan Kabupaten/Kota, dibawah ini:
83
84
Untuk urusan pemerintahan terkait masyarakat hukum adat yang ada kaitan erat dengan
hutan adat, kita perlu melihat urusan pemerintahan pada bidang lingkungan hidup dan bidang
pemberdayaan masyarakat dan desa.
85
Pembagian urusan pemerintahan berdasarkan UU Pemerintahan Daerah No.23 Tahun
2014 diatas harus menjadi rujukan, termasuk bagaimana mengharmonikan UU sektoral seperti
UU Kehutanan dan UU PPLH terhadap UU Pemerintahan Daerah. Prinsipnya, pembagian urusan
pemerintahan harus merujuk kepada UU Pemerintahan Daerah. Pelaksanaan kewenangan
dilakukan dengan 3 cara yaitu Desentralisasi, Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
Ada dua hal kunci yang umumnya menjadi faktor efektifnya pelaksanaan kewenangan dan
tugas dari pemerintahan, yaitu adanya dasar kewenangan dan dukungan anggaran. Asas
desentralisasi didasari oleh sejumlah kewenangan yang telah ditetapkan di dalam UU 23/2014
khsusunya bersumber dari pembagian urusan bersifat konkuren. Kewenangan berdasar asas
desentralisasi didanai oleh APBD masing-masing daerah. Kewenangan berdasar asas
dekonsentrasi didasarkan pada pelimpahan sebagian kewenangan (kepada Gubernur atau Instansi
Vertikal) dan diberikan anggaran dari yang melimpahkan. Sementara tugas pembantuan dijalankan
secara bertingkat dari Pusat kepada Gubernur/Bupati/Walikota, dari Gubernur kepada
Kabupaten/Kota/Desa dan dari Bupati kepada Desa.
Dalam rangka percepatan PS, dengan komposisi kewenangan dan peluang pelimpahan/
pendelegasian kewenangan berdasar asas desentralisasi, dekonsetrasi dan tugas pembantuan
tersebut, peluangnya dapat dilakukan dengan memaksimalkan peran UPT (BPSKL), KPH sebagai
UPTD Provinsi, Bupati dan Desa.
Tabel 8.1. Perbedaan asas pembagian kewenangan
Unit Pemerintahan
Asas Pembagian Kewenangan Keterangan Desentraslisasi Dekonsentrasi Tugas
Pembantuan UPT Sudah
dijalankan melalui pembentukan BPSKL di 5 wilayah
Dari sisi anggaran perlu dinaikkan
UPTD (cq. KPH) atau CDK)
KPH atau CDK
KPH dan CDK yang berada di bawah Gubernur, dapat diberikan kewenangan oleh Gubernur melalui Peraturan Gubernur. Gubernur berhak menetapkan kebijakan terkait pelimpahan kewenangan, yang disesuaikan per-uu-an. Oleh krn itu, pada kebijakan tingkat pusat, perlu ada perubahan mengenai kewenangan KPH yang mana memungkinkan KPH memiliki kewenangan untuk pemberian Izin PS. Misal revisi PP.6/2007 dan peraturan pelaksanaanya misal PermenLHK mengenai KPH.
BUPATI / WALIKOTA
Bupati/wali kota
Bupati / walikota
Dalam urusan Pengakuan MHA sudah jelas kewenangan Pemda Kabupaten untuk pengesahan legalnya. Hal ini untuk mendukung percepatan Hutan Adat.
86
Untuk Percepatan skema PS lainnya, bisa digunakan penugasan oleh Gubernur kepada Bupati untuk percepatan skema PS dengan penerbitan Pergub. Penugasan ini harus diikuti oleh pemberian anggaran dari APBD provinsi kepada pemda Kabupaten/kota. Dalam menjalankan tugasnya, Bupati dalam menugaskan OPD nya misalnya Dinas LH atau Dinas Pertanian atau Dinas PMD. Atau jika mau dibentuk khusus, maka dapat membentuk tim Percepatan PS di tingkat kabupaten yang di SK kan oleh Bupati.
DESA desa Gubernur dan Bupati dapat menugasi Desa dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan. Penugasan ini diberikan dengan penerbitan pergub atau perbup. Anggaran dibebankan kepada APBD provinsi atau kabupaten/kota
8.2.2. Pelayanan terpadu satu pintu
Referensi hukum lain terkait dengan pelaksanaan kewenangan adalah dengan melihat sejumlah
peraturan perundangan yang terkait dengan perizinan terpadu. Pemerintah Pusat telah
menerbitkan peraturan yang mendorong terwujudnya dan terlaksananya pelayanan terpadu satu
pintu (PTSP) yaitu melalui Peraturan Presiden No.97 Tahun 2014. Pelaksanaan Perpres 97/2014
tersebut ditindaklanjuti oleh kementerian/Lembaga dengan menerbitkan peraturan Menteri yang
mendelegasikan kewenangan kepada BKPM-PTSP. Misalnya Kementerian LHK telah menerbitkan
PermenLHK No.P.97/2014 sebagaimana telah diubah dengan PermenLHK No.P.1/2015 tentang
Pendelegasian wewenang pemberian perizinan dan non perizinan dibidang lingkungan hidup dan
kehutanan dalam rangka pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu kepada kepala BKPM.
Pelaksanaan pendelegasian wewenang perizinan dan non perizinan juga dilakukan pada tingkat
provinsi dan kebupaten/kota. Gubernur dan Bupati/Walikota mendelegasikan wewenang kepada
Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPM-PTSP) melalui Peraturan
Gubernur dan Peraturan Bupati/Walikota.
8.2.2. Prosedur PS yang sedang berjalan
Peraturan mengenai prosedur pengajuan PS diatur dalam PermenLHK No.83 Tahun 2016 dan
sejumlah Perdirjen PSKL. Pengaturan yang bisa kita baca salah satunya adalah mengenai masa
waktu pengajuan dan proses permohonan seluruh skema PS. Berikut pengaturannya: (lihat
lampiran bagan alir 5 skema PS).
KATEGORI BENTUK HAK/IZINWaktu Proses Permohonan Via Menteri LHK Via Gubernur
Hutan Desa HPHD 24 hari 37 hariHutan Kemasyarakatan
IUPHKm 24 hari 37 hari
87
Hutan Tanaman Rakyat
IUPHHK-HTR 24 hari 37 hari
Kemitraan Kehutanan
Kesepakatan - -
Hutan Adat Hutan hak/hutan adat 18 Hari -
Di dalam PermenLHK 83/2016 tersebut dinyatakan waktu maksimal dalam setiap tahap
proses perizinan. Namun demikian, tidak ada ketegasan berupa sanksi apabila jangka waktu
tersebut dilewati atau tidak terpenuhi.
Bisa jadi, penentuan batas waktu tersebut sudah tidak relevan lagi jika dibandingkan
dengan pengalaman prakteknya. Oleh karena itu batas waktu tersebut perlu diperiksa lagi sesuai
dengan kemampuan organisasi LHK yang menangani permohonan PS. Jika pengalaman saat ini,
waktu yang dibutuhkan untuk sampai pada penerbitan izin PS misalnya 3-6 bulan, maka
pengaturan batas waktu yang ada di PermenLHK 83/2016 perlu disesuaikan, dengan diberikan
sanksi. Sanksi yang dimaksud dapat menggunakan analogi hukum administrative yaitu, jika dalam
waktu 90 hari tidak ada kejelasan proses penerbitan izin yang dimohonkan maka permohonan
tersebut dianggap telah diterima.
Tabel 8.2. Pihak-pihak yang terlibat dalam proses penerbitan skema PS.
Pihak Kewenangan / Tugas Status Peran Utama Pendukung
Menteri Menerbitkan Izin PS Utama Gubernur Menerbitkan Izin PS setelah
mendapat pendelegasian Utama
Bupati Dalam skema PS (selain Hutan Adat), hanya mendapat tembusan.
Pendukung
DPRD Prov / Kab / Kota
Mengesahkan Perda (dalam skema Hutan Adat)
Utama
Kepala Dinas Prov
Menjalankan verifikasi dan penyiapan konsep izin
Pendukung
UPTD Prov Menjalankan verifikasi Pendukung KPH Mendapat tembusan Pendukung Pokja PPS Membantu pemohon dalam
menyiapan syarat-syarat permohonan
pendukung
Perubahan status peran dari dari pendukung menjadi peran utama, dapat dilakukan jika
ada pelimpahan kewenangan baik berdasar asas desentralisasi, dekonsentrasi maupun tugas
pembantuan. Misalnya KPH menjadi memiliki peran utama, Pokja PPS dibentuk di Kabupaten
sebagai tim percepatan PS melalui SK Bupati.
88
89
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, tanpa tahun. http://digilib.unila.ac.id/8518/11/BAB%20I.pdf
Anonim, tanpa tahun. http://www.forda-mof.org/files/Social%20Forestry.pdf
Anonim, 2017. Mempercepat Reforma Agraria Dalam Rangka Kebijakan Pemerataan Ekonomi.
Kantor Staf Presiden. Bahan Presentasi, Tidak di publikasikan. Jakarta
Anonim, 2016. Strategi Nasional Pelaksanaan Reforma Agraria 2016-2019. Kantor Staf Presiden.
Jakarta
Awang, Sanafri. 2002. Perkembangan Kehutanan Sosial dan Kehutanan Masyarakat di Indonesia.
Makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Nasional tentang Metodologi
Partisipasi dalam PSDABM, Ciwidey, Bandung. FKKM, CIFOR dan WN.
Awang, Sanafri, 2005. Negara, Masyarakat Dan Deforestasi (Konstruksi Sosial Atas Pengetahuan
Dan Perlawanan Petani Terhadap Kebijakan Pemerintah). Disertasi. Gadjah Mada
University. Yogyakarta.
Carig E.T. 2012. Benefits and Constraints of Community-Based Forest Management in the
Philippines. International Journal of Humanities and Applied Sciences 1 (2): 73-77.
Djadjapertjunda, Sadikin. 2002. Hutan and Kehutanan Indonesia dari Masa ke Masa. Bogor: IPB
Press.
Do A.T., Nguyen B.N., Vo D.T. and Le T.A. 2011. Enabling Diverse Governance Structures for
Community Forest Management.
Hadjon, P.M., 1994. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.
Harsono, B., 2005. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi
dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan
Hidayat, Herman. 2008. Politik Lingkungan: Pengelolaan Hutan pada masa Orde Baru dan
Reformasi. Yayasan Obor. Jakarta
Hakim, Ismatul dkk, 2010. Social Forestry, Menuju Restorasi Pembangunan Kehutanan
Berkelanjutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan,
Kementerian Kehutanan. Bogor
Holleman, J.F. (ed.), 1981. Van Vollenhoven on Indonesian Adat Law. Selections from Het Adatrecht van
Nederlandsch-Indië Vol. I and Vol. 2. The Hague: Martinus Nijhoff.
90
Malik, Arizona, Y., dan Muhajir, M., 2015. “Analisis Trend Produk Hukum Daerah mengenai
Masyarakat Adat”. Policy Brief Epistema Institute Vol. 1.
Nguyen T.Q. and Sikor T. 2011. Forest Land Allocation: An Overview of Policy Framework and
Outcomes. In Sikor T. and Nguyen T.Q. Realizing Forest Rights in Vietnam: Addressing
Issues in Community Forest Management. RECOFTC – The Center for People and
Forests, Bangkok, Thailand.
Peluso, Nancy Lee. 1992. Rich Forests, Poor People: Resource Control and Resistance in Java.
Berkeley: University of California Press.
Pulhin J.M., Inoue M., and Enters Th. 2007. Three decades of community-based forest
management in the Philippines: Emerging lessons for sustainable and equitable forest
management. International Forestry Review 9(4): 865–883.
Pulhin J.M. and Inoue M. 2008. Dynamics of Devolution Process in the Management of the
Philippine Forests. International Journal of Social Forestry 1(1): 1–26.
Rofi’i Ikhwanun, 2015. https://www.kompasiana.com/ikhwan.parkonar/hutan-indonesia-bagian-1-
lahirnya-sebuah-kebijakan-phbm_54f432087455137f2b6c88cf
RECOFTC. 2014. Community forestry adaptation roadmap to 2020 for Vietnam. RECOFTC The
Center for People and Forests. Bangkok, Thailand.
Safitri, M.A. dan Uliyah, L. 2014. Adat di Tangan Pemerintah Daerah: Panduan Penyusunan Produk
Hukum Daerah untuk Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat. Jakarta:
Epistema Institute.
Santoso, Hery, dkk, 2015. Penyusunan Rekomendasi Kebijakan Percepatan Proses Pengelolaan
Hutan Berbasis Masyarakat. Partnership Policy Paper. Kemitraan. Jakarta
Simon, Hasanu. 2001. Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat (Cooperative Forest Manageemnt): Teori
dan Aplikasi pada Hutan Jati di Jawa. Yogyakarta: Bigraf Publishing.
Siscawati, Mia dan Muayat Ali Muhshi. 2008. Perjalanan Konsep, Kebijakan dan Praktek
Kehutanan Masyarakat di Indonesia. FKKM. Tidak dipublikasikan.
Soepardi, R. 1974. Hutan dan Kehutanan Dalam Tiga Zaman Vols 1-3. Jakarta: Perum
Perhutani.
Soeprapto, M.F.I., 1998. Ilmu Perundang-undangan: Dasar-dasar dan pembentukannya. Jakarta:
Kanisius.
Suh J. 2012. The Past and Future of Community-Based Forest Management in the Philippines.
Philippine Studies: Historical and Ethnographic Viewpoints 60 (4): 489–511.
91
Suraya, Affif. 2017. Percepatan, Penguatan dan Pengembangan Perhutanan Sosial di Masa Depan.
Power Point Presentasi dalam Panel 1 Percepatan Perhutanan Sosial. Tunure
Conference 2017.Jakarta.
Tangketasik, Jansen. 2010. http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/130313-D%2000628-
Antara%20negara-Pendahuluan.pdfTaqwaddin, 2012. Sejarah Ringkas Pengaturan
Kehutanan Indonesia.
http://kph.menlhk.go.id/index.php?option=com_phocadownload&view=file&id=985:sejar
ahringkaskehutananindonesia-olehtaqwaddinhusein&Itemid=199
Tolo, Emilianus Yakob Sese, 2013. Sejarah Ekonomi Politik Tata Kelola Hutan di Indonesia.
https://indoprogress.com/2013/12/sejarah-ekonomi-politik-tata-kelola-hutan-di-
indonesia/
Wiratno, 2017. Perebutan Ruang Kelola: Refleksi Perjuangan dan Masa Depan Perhutanan Sosial
di Indonesia. Pidato Dies Natalis Fakultas Kehutanan UGM ke 54. Yogyakarta.
Wibowo, A. dkk., 2015. Kertas Kebijakan Perkumpulan HuMa. “Penetapan Hutan Adat menuju
Pengakuan Hak Masyarakat Adat”. Jakarta: HuMa.