Upload
masrip-sarumpaet
View
6.745
Download
22
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Amanat yang tertuang di dalam pembukaan UUD Tahun 1945,
Pemerintah Negara Indonesia berkewajiban melindungi segenap Bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan kesejahteraan
sosial. Salah satu upaya untuk mencapai hal di atas adalah melalui
peningkatan derajat kesehatan masyarakat.
Indonesia yang merupakan negara yang sedang berkembang,
memerlukan sumberdaya manusia yang sehat jasmani, rohani dan sosial,
sehingga dapat hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Untuk
mendapatkan manusia yang sehat diperlukan adanya perlindungan
kesehatan bagi seluruh masyarakat.
Sebagai negara kepulauan dengan sekitar 17.504 pulau yang terdiri
dari pulau besar/ kecil serta memiliki posisi sangat strategis karena diapit oleh
dua benua dan dua samudera serta berada pada jalur lalu-lintas dan
perdagangan Internasional dengan banyaknya pintu masuk ke wilayah
Indonesia. Hal ini merupakan faktor risiko untuk terjadinya penyebaran
penyakit dan gangguan kesehatan.
Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010, Indonesia memiliki
230 juta orang penduduk serta menduduki posisi ketiga terbesar didunia yang
tersebar di berbagai pulau dengan kepadatan yang berbeda, dimana tingkat
kepadatan tertinggi di pulau Jawa dan Bali. Dengan status sosial ekonomi
sebagian besar penduduk Indonesia tergolong rendah dibandingkan negara
lain, akan menimbulkan masalah kesehatan, diantaranya penyebaran
penyakit infeksi, status gizi kurang dan lain-lain.
Permasalahan kesehatan dalam jangka panjang di Indonesia dari
waktu kewaktu akan semakin kompleks. Indonesia sebagai negara kepulauan
yang mempunyai letak strategis (posisi silang), berperan penting dalam lalu
lintas orang dan barang. Meningkatnya pergerakan dan perpindahan
1
penduduk sebagai dampak peningkatan pembangunan, serta perkembangan
teknologi transportasi menyebabkan kecepatan waktu tempuh perjalanan
antar negara melebihi masa inkubasi penyakit. Hal ini memperbesar risiko
masuk dan keluar penyakit menular (new infection diseases, emerging
infections diseases dan re-emerging infections diseases), dimana ketika
pelaku perjalanan memasuki pintu masuk negara gejala klinis penyakit belum
tampak. Disamping kemajuan teknologi di berbagai bidang lainnya yang
menyebabkan pergeseran epidemiologi penyakit, ditandai dengan pergerakan
kejadian penyakit dari satu benua ke benua lainnya, baik pergerakan secara
alamiah maupun pergerakan melalui komoditas barang di era perdagangan
bebas dunia yang dapat menyebabkan peningkatan faktor risiko.
Sebagai bagian dari masyarakat dunia, Indonesia berkewajiban
melakukan upaya pencegahan terjadinya Public Health Emergency of
International Concern (PHEIC) sebagaimana yang diamanatkan dalam
International Health Regulations (IHR) 2005. Dalam melaksanakan amanat ini
Indonesia harus menghormati sepenuhnya martabat, hak asasi manusia dan
dasar-dasar kebebasan seseorang serta penerapannya secara universal.
International Health Regulations 2005 mengharuskan Indonesia
meningkatkan kapasitas berupa kemampuan dalam surveilans dan respon
cepat serta tindakan kekarantinaan pada pintu-pintu masuk (pelabuhan/
bandar udara/ PLBD) dan tindakan kekarantinaan di wilayah. Untuk itu
diperlukan perangkat peraturan perundang-undangan, organisasi, dan
sumber daya yang memadai berkaitan dengan kekarantinaan dan organisasi
pelaksananya. Pengaturan Kekarantinaan di Indonesia diatur dalam berbagai
peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962
tentang Karantina Laut dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang
Karantina Udara, ketentuan dalam undang-undang tersebut sudah cukup
lama dan tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini. Pada sisi lain, saat itu
undang-undang tersebut dibuat juga masih mengacu pada peraturan
kesehatan Internasional yang disebut International Sanitary Regulations (ISR)
1953. Kemudian ISR tersebut diganti dengan International Health Regulation
(IHR) 1969 dengan pendekatan epidemiologi yang didasarkan kepada
kemampuan sistim surveilans epidemiologi. Pada Sidang Majelis Kesehatan
Sedunia tahun 2005 telah berhasil menyepakati International Health
2
Regulation (IHR) 1969 tersebut menjadi IHR Revisi 2005 yang mulai
diberlakukan pada tanggal 15 Juni 2007.
Di samping itu perkembangan penyakit yang dapat disebarkan akibat
lalu linyas orang dan barang semakin banyak dan beragam. Tindakan
karantina dianggap cukup efektif dalam mencegah atau melokalisasi
persebaran penyakit tersebut. Oleh karena itu diperlukan adanya pengaturan
karantina yang komprehensif dengan melakukan pembaharuan ketentuan
yang ada. Pembaharuan tersebut diharapkan dapat menjadi landasan hokum
yang cukup kuat untuk melakukan penyelenggaraan karantina secara terpadu
dan sistimatis.
Dengan kondisi pengaturan kekarantinaan kesehatan yang demikian
sudah waktunya dilakukan pembaharuan secara menyeluruh pengaturan
kekarantinaan kesehatan agar terdapat pengaturan kekarantinaan secara
terpadu dan sistimatis. Untuk itu diperlukan adanya penyusunan naskah
akademik Rancangan Undang-Undang tentang Kekarantinaan sebagai dasar
bagi penyusunan draft Rancangan Undang-Undang Karantina Kesehatan.
B. Identifikasi Permasalahan
1. Pengaturan kekarantinaan sudah berusia lama (lebih dari 5
dasawarsa), sehingga banyak ketentuan yang sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan pengaturan kekarantinaan internasional, ilmu
pengetahuan dan teknologi, sehingga harus diketahui pada bagian
mana ketentuan kekarantinaan kesehatan nasional yang perlu
disesuaikan dengan ketentuan internasional dan perkembangan
masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi.
2. Seiring dengan kemajuan teknologi transportasi dan tingginya mobilitas
masyarakat serta makin berkembangnya objek pengawasan penyakit
dan faktor risiko kesehatan masyarakat pada alat angkut, orang dan
barang, maka diperlukan kelembagaan, sumber daya kesehatan,
kewenangan dan mekanisme penyelenggaraan karantina kesehatan
yang efektif dan efisien.
3
C. Tujuan dan Kegunaan
Tujuan Penyusunan Naskah Akademik :
1. Merumuskan ketentuan-ketentuan Peraturan perundangan nasional
bidang karantina kesehatan agar sesuai dengan perkembangan
masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi serta hukum internasional
bidang kesehatan, antara lain IHR 2005, International Medicine Guidance
for Ships.
2. Merumuskan pengaturan untuk memperkuat penyelenggaraan karantina
kesehatan yang berkaitan dengan kelembagaan, kewenangan, sumber
daya kesehatan dan mekanisme atau prosedur kerja karantina kesehatan
yang efektif dan efisien.
Kegunaan :
Kegunaan naskah akademik adalah sebagai bahan acuan dalam
penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Karantina Kesehatan dan
pengambilan kebijakan bidang karantina kesehatan.
E. Metode Pendekatan
Naskah akademis ini dibuat dengan menggunakan pendekatan:
1. Pendekatan yuridis normatif yaitu suatu pendekatan yang memperhatikan
norma-norma dan nilai-nilai yang ada dan berkembang di masyarakat
baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis.
2. Pendekatan studi komparatif yaitu membandingkan peraturan perundang-
undangan yang ada dengan perubahan yang terjadi di dalam masyarakat.
3. Studi kepustakaan yaitu menelaah bahan-bahan baik yang berupa
peraturan perundang-undangan yang erat kaitannya dengan masalah
kekarantinaan dan penyakit menular, hasil pengkajian, hasil penelitian
dan referensi lainnya.
4. Diskusi dan rapat-rapat serta masukan-masukan dari para pihak yang
terkait.
F. Sistimatika
G. Penyusun Naskah Akademik
4
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A. Kajian Teoritis
Perkembangan penyakit semakin kompleks dan semakin banyak
menuntut adanya pencegahan dan pengendalian penyakit secara lebih
komprehensif dan seksama. Penyebaran penyakit terutama penyakit
potensial wabah semakin cepat seiring dengan tingginya arus lalu lintas alat
angkut, orang dan barang, menuntut adanya kewaspadaan melalui upaya
karantina kesehatan. Untuk itu diperlukan adanya dasar hukum atau
pengaturan yang memadai karena tindakan karantina kesehatan bersifat
multidisipliner dan multi sektoral.
Kata "karantina" berasal dari bahasa latin "quarantum" yang berarti
empat puluh. Ini berasal dari lamanya waktu yang diperlukan untuk menahan
kapal laut yang berasal dari negara tertular penyakit epidemis, seperti pes,
demam kuning, dimana awak kapal dan penumpangnya dipaksa untuk tetap
tinggal terisolasi diatas kapal yang ditahan dilepas pantai selama empat puluh
hari, yaitu jangka waktu perkiraan timbulnya gejala penyakit yang dicurigai
(Morschel, 1971).
Definisi lain dari karantina adalah tempat dimana sebuah alat angkut
(kapal laut atau pesawat udara) ditempatkan di pengisolasian atau
pembatasan dalam perjalanan untuk mencegah agar suatu penyakit menular,
serangga hama penyakit hewan dan lain-lain tidak menyebar. Suatu keadaan
dalam masa karantina adalah suatu tempat dimana orang, binatang atau
tanaman yang berpenyakit menular diisolasi, atau dalam keadaan tidak dapat
melakukan perjalanan.
Menurut IHR 2005, karantina adalah pembatasan kegiatan dan/atau
pemisahan seseorang yang diduga terinfeksi penyakit meski belum
menunjukkan gejala penyakit dan pemisahan alat angkut atau barang yang
diduga terkontaminasi dari orang dan atau barang lain sedemikian rupa untuk
mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.
5
Dari beberapa pengertian tentang karantina diatas, yang dimaksud
dengan pengertian karantina dalam naskah akademis ini mengacu pada IHR
2005.
Kata “sehat” menurut WHO adalah suatu kondisi sempurna secara
fisik, mental dan sosial yang tidak hanya bebas dari penyakit atau kecacatan.
Menurut UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, kesehatan
adalah suatu keadaan sehat baik fisik, mental, spiritual maupun sosial yang
memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan
ekonomis.
Karantina kesehatan dimaksudkan untuk memperluas makna karantina
dalam rangka melindungi kesehatan manusia dari penyakit menular dan
faktor risiko kesehatan lainnya yang tidak hanya terbatas pada pintu masuk
tetapi juga meliputi karantina di wilayah terhadap upaya cegah tangkal
penyebaran masalah kesehatan dan/atau PHEIC.
Karantina kesehatan bertujuan untuk mencegah dan/atau menangkal
untuk mengatasi timbulnya PHEIC, maka upaya karantina kesehatan di pintu
masuk (pelabuhan, bandar udara, pos lintas batas darat) maupun wilayah
mempunyai peranan sangat penting. Oleh karena itu Undang-Undang
Karantina Kesehatan tidak bertentangan dengan produk hukum/ perundang-
undangan lainnya.
Adapun konsep karantina kesehatan ditujukan dalam rangka
penerapan IHR 2005 yang perlu mendapat perhatian dari perspektif
pengamatan penyakit berupa surveilans epidemiologi, deteksi dini,
pengendalian faktor risiko, respon cepat, tindakan karantina kesehatan dan
tindakan penyehatan di pintu masuk negara dan wilayah.
Pelaksanaan karantina kesehatan meliputi:
a. Dari dalam negeri ,diisyaratkan kemampuan utama surveilans,
deteksi dini dan respon cepat mulai dari masyarakat s/d tingkat nasional.
Apabila dijumpai penyakit atau kejadian yang berpotensi PHEIC
berdasarkan laporan dari masyarakat maka dilakukan penyelidikan
epidemiologis dan respon cepat mulai tingkat puskesmas dan
Kabupaten/Kota sampai tingkat pusat. Di tingkat pusat melakukan verifikasi
dan koordinasi dengan Organisasi Kesehatan Dunia. Di dalam proses
respon cepat yang di atas dilakukan karantina rumah dan karantina
6
wilayah serta isolasi bagi kasus. Tindakan itu didukung juga dengan
tindakan di pintu keluar (bandar udara, pelabuhan, PLBD).
b. Dari luar negeri, diisyaratkan kemampuan utama surveilans, deteksi
dini dan respon cepat dimulai dari pintu masuk (bandar udara, pelabuhan,
PLBD). Kegiatan yang dilakukan adalah surveilans rutin terhadap alat
angkut, orang, barang dan lingkungan. Disamping surveilans rutin, juga
harus memperhatikan informasi aktual tentang penyakit yang berpotensi
PHEIC yang sedang berkembang di dalam dan luar negeri. Jika ditemukan
indikasi maka dilakukan suatu respon/intervensi; antara lain berupa
tindakan (tindakan karantina, tindakan isolasi, serta tindakan
penyehatan).
Upaya karantina kesehatan merupakan kegiatan pemisahan
seseorang, barang, alat angkut yang patut diduga dan atau tersangka
(suspek) dengan sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran
penyakit atau kontaminasi. Upaya tersebut meliputi kegiatan: pembatasan
gerak terhadap orang, barang dan alat angkut, surveilans epidemiologi
penyakit dan faktor risiko serta respon cepat, pelayanan kesehatan terbatas
dan kegiatan penyehatan lingkungan.
B. Asas Yang Terkait Dengan Penyusunan Norma
Tujuan dari karantina kesehatan adalah untuk mencegah, melindungi
dan mengendalikan penyebaran penyakit lintas negara tanpa menimbulkan
gangguan yang berarti bagi lalu lintas dan perdagangan internasional dengan
prinsip menghormati martabat, hak asasi dan kebebasan hakiki manusia.
Untuk mencapai tujuan tersebut maka dalam pembuatan naskah akademik ini
memuat asas-asas sebagai berikut:
1. Asas perikemanusiaan, berarti bahwa penyelenggaraan
karantina kesehatan harus dilandasi atas perlindungan dan
penghormatan pada nilai-nilai kemanusiaan yang beradab dan
universal dengan tidak membeda-bedakan suku, agama, ras,
golongan, bangsa, status sosial dan gender.
2. Asas manfaat, berarti bahwa penyelenggaraan karantina
kesehatan harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi
7
perlindungan kepentingan nasional dan peningkatan derajat kesehatan
masyarakat.
3. Asas pelindungan, berarti bahwa penyelenggaran karantina
kesehatan harus mampu melindungi seluruh masyarakat dari penyakit
yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan yang
meresahkan dunia.
4. Asas tanggung jawab bersama, berarti bahwa
penyelenggaraan karantina kesehatan dilaksanakan melalui kegiatan
yang dilakukan oleh seluruh pihak-pihak yang terkait dengan
kesehatan masyarakat.
5. Asas kesadaran dan kepatuhan hukum, berarti bahwa
penyelenggaraan karantina kesehatan menuntut peran serta
kesadaran dan kepatuhan hukum dari masyarakat.
C. Kondisi Praktik Penyelenggaraan, Kondisi Hukum Yang Ada Dan
Permasalahan Yang Timbul
1. Praktik Penyelenggaraan Karantina Kesehatan
Penyelenggaraan karantina kesehatan berdasarkan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut dan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1962 tentang Karantina Udara dilaksanakan di pintu masuk negara
yaitu di pelabuhan dan di bandar udara.
Pelaksanaan karantina laut berdasarkan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1962 tentang Karantina Laut dilakukan oleh unit kerja Kantor
Kesehatan Pelabuhan (KKP) sebagi salah satu Unit Pelaksana Teknis
Kementerian Kesehatan yang memiliki tugas pokok dan fungsi melakukan
cegah tangkal keluar masuknya penyakit karantina, seperti pes, kolera, yellow
fever, cacar, demam bolak-balik, dan tipus bercak wabahi.
Upaya cegah tangkal tangkal tersebut dilaksanakan melalui tindakan
kekarantinaan dalam lingkup kepelabuhanan, termasuk daerah buffer dan
perimeter. Tindakan karantina yang dilaksanakan di lingkungan pelabuhan
mencakup tindakan terhadap kapal beserta isinya dan daerah pelabuhan
untuk mencegah penjangkitan dan penjalaran karantina. Tindakan karantina
8
ini dimaksudkan untuk memastikan apakah kapal beserta awaknya dan/ atau
daerah pelabuhan berada dalam karantina atau tidak.
Disamping itu, upaya cegah tangkal dilakukan dalam rangka
mencegah kemungkinan penyebaran penyakit menular potensial wabah
seperti penyakit karantina dimaksud diatas ke daerah atau wilayah diluar
pelabuhan.
Dalam rangka pelaksanaan kekarantinaan, baik karantina laut maupun
karantina udara, maka dalam salah satu pasal Undang-undang Kesehatan
tercantum kewajiban untuk mencegah penyakit menular dengan usaha
karantina. Yang disebut dengan karantina adalah tindakan-tindakan untuk
mencegah penjalaran sesuatu penyakit yang dibawa oleh seorang yang
masuk wilayah Indonesia dengan alat-alat pengangkutan darat, laut, dan
udara.
A. KARANTINA LAUT
Pelaksanaan karantina laut berdasarkan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1962 tentang Karantina Laut dilakukan oleh unit kerja Kantor
Kesehatan Pelabuhan (KKP) sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis
(UPT) Departemen Kesehatan yang memiliki tugas pokok dan fungsi
melakukan cegah tangkal keluar masuknya penyakit karantina, seperti
pes, kolera, demam kuning, tipus, dan cacar serta demam bolak-balik
(relapsing fever).
Penetapan penyakit dalam undang-undang tersebut menimbulkan kekakuan
dalam penerapan dan pelaksanaan undang-undang karantina.
Sementara itu beberapa penyakit telah hilang dari karantina, misalnya
9
cacar, telah dieradikasi pada tahun 1974. Di samping itu berdasarkan
perkembangan yang ada timbul pula penyakit baru misalnya SARS,
Avian Influensa yang sangat potensial menyebar.
Untuk itu diperlukan adanya upaya agar dalam ketentuan yang baru
untuk mencegah kekakuan penetapan penyakit dalam ketentuan yang
lebih rendah dari undang-undang agar mudah dilakukan
penyempurnaan.
Penegakan Hukum
Pelanggaran dalam pelaksanaan karantina kesehatan masih banyak
terjadi diantaranya tidak menaik turunkan isyarat karantina, menaik
turunkan orang, barang sebelum dilakukan pemeriksaan karantina,
pemalsuan dokumen. Hal ini melanggar ketentuan Pasal...
Keadaan ini sangat berpotensi menimbulkan masalah kesehatan yang
lebih luas.
Hal ini disebabkan masih rendahnya sanksi atas pelanggaran tersebut,
dalam UU hanya dikenakan sebesar Rp.
Untuk itu perlu dilakukan penyesuaian dalam ketentuan yang baru agar
pelaku pelanggaran karantina mempunyai efek menjerakan bagi
pelakunya.
Tindakan Karantina Di Pos Lintas darat
Dalam ketentuan karantina yang ada tindakan karantina hanya mencakup
dipintu masuk dan keluar negara (Pelabuhan dan bandara), sementara
perkembangan yang ada menuntut agar tindakan karantina di perluas
10
pada wilayah dan pos lintas batas darat. Hal ini belum diatur dalam UU
karantina yang ada. Untuk itu pada pengaturan UU Karantina yang akan
datang perlu dicantumkan ketentuan mengenai tindakan karantina di
wilayah dan poslintas darat.
Zona Karantina Laut
Dalam UU No.1/1962 dicantumkan adanya zona karantina laut untuk kapal
yang berada dalam karantina. Hal ini tidak dapat diimplementasikan
karena belum ada ketentuan lebih lanjut yang mengatur mengenai
keberadaan zona karantina.
Untuk itu perlu adanya pengaturan lebih lanjut mengenai zona karantina yang
dapat diimplementasikan.
Karantina Wilayah
Bila terjadi adanya pandemi di suatu wilayah diperlukan adanya tindakan
karantina pada wilayah yang bersangkutan agar tidak menyebar ke
wilayah lain, sementara belum ada pengaturan untuk melakukan
karantina terhadap wilayah yang terjangkit pandemi.
Untuk itu diperlukan adanya ketentuan yang mengatur tentang pelaksanaan
dan mekanisme, penetapan tindakan karantina wilayah, karena
berhubungan pula dengan otonomi daerah.
Upaya cegah tangkal tersebut dilaksanakan melalui tindakan karantina
dalam lingkup kepelabuhanan, termasuk daerah buffer dan perimeter.
Tindakan karantina yang dilaksanakan di lingkungan pelabuhan
mencakup tindakan terhadap kapal beserta isinya dan daerah pelabuhan
11
untuk mencegah penjangkitan dan penjalaran karantina. Tindakan
karantina ini dimaksudkan untuk memastikan apakah kapal beserta
awaknya dan/atau daerah pelabuhan berada dalam karantina atau tidak.
Di samping itu, upaya cegah tangkal juga dilakukan dalam rangka
mencegah kemungkinan penyebaran penyakit menular potensial wabah
seperti penyakit karantina dimaksud di atas ke daerah atau wilayah di
luar pelabuhan, termasuk daerah buffer (daerah penyangga) dan
perimeter (daerah dalam radius tertentu di luar wilayah pelabuhan laut).
Secara teknis, tindakan karantina mencakup upaya-upaya, seperti
pelayanan dokumen kesehatan, pelayanan kesehatan (terbatas),
surveilans epidemiologi atau pengamatan penyakit, pengendalian vektor
penyakit (nyamuk, lalat, kecoa, tikus), penyehatan lingkungan atau
pengendalian faktor risiko, dan tindakan-tindakan lain yang dipandang
perlu untuk mencegah penyebaran penyakit karantina.
Sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 1 tahun
1962 tentang Karantina Laut, landasan kerja karantina laut ditetapkan
dalam Peraturan dan/atau Keputusan Menteri Kesehatan, yang antara
lain mengatur pedoman, prosedur kerja, kriteria, maupun mekanisme
kerja yang dipandang perlu untuk dilaksanakan oleh unit kerja kesehatan
pelabuhan.
Dalam perkembangannya, kinerja karantina laut ini mengalami pasang
surut sejalan dengan situasi epidemiologi, berbagai produk hukum,
organisasi dan tata laksana, sumber daya manusia, dan perubahan-
12
perubahan eksternal di lingkungan pelabuhan maupun mitra kerja dalam
melaksanakan karantina laut.
Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan karantina laut yang dapat
diidentifikasi adalah sebagai berikut.
1. Terjadinya perubahan peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan pelaksanaan karantina laut, baik dalam lingkup
nasional maupun internasional.
2. Perubahan organisasi dan tata kerja KementerianKesehatan
selaku pembina teknis maupun perubahan organisasi dan tata
kerja KKP selaku pelaksana karantina laut.
3. Belum optimalnya penerapan teknologi yang terkait dengan
pelaksanaan karantina laut, baik teknologi informasi maupun
teknologi untuk tindakan karantina.
4. Belum optimalnya kemampuan teknis SDM kesehatan pelabuhan
laut dibandingkan dengan kemajuan teknologi kekarantinaan dan
transisi epidemiologi penyakit serta faktor risikonya.
5. Masih terbatasnya sarana dan prasarana kerja sehingga
menghambat pencapaian sasaran operasional kekarantinaan,
seperti laboratorium lapangan, perlengkapan kerja, alat pelindung
diri, instalasi isolasi, ambulans.
6. Masih rendahnya ketaatan pemangku kepentingan (stakeholder)
di lingkungan pelabuhan terhadap peraturan karantina laut yang
menyebabkan tindakan karantina belum dapat berjalan secara
optimal.
13
B. KARANTINA UDARA
Pelaksanaan karantina udara berdasarkan Undang-undang Nomor 2
Tahun 1962 tentang Karantina Udara dilakukan oleh unit kerja Kantor
Kesehatan Pelabuhan (KKP) sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis
(UPT) Departemen Kesehatan yang memiliki tugas pokok dan fungsi
melakukan cegah tangkal keluar masuknya penyakit karantina, seperti
pes, kolera, demam kuning, tipus, dan cacar serta demam bolak-balik
(relapsing fever).
Upaya cegah tangkal tersebut dilaksanakan melalui tindakan karantina
dalam lingkup pelabuhan udara, termasuk daerah buffer dan perimeter.
Tindakan karantina yang dilaksanakan di lingkungan pelabuhan udara
mencakup tindakan terhadap pesawat beserta isinya, termasuk awak
pesawat, penumpang, dan barang/kargo, di daerah pelabuhan udara
untuk mencegah penjangkitan dan penjalaran karantina. Tindakan
karantina ini dimaksudkan untuk memastikan apakah pesawat beserta
isinya, termasuk awak, penumpang, kargo, dalam kondisi terjangkit atau
tidak guna memastikan apakah daerah pelabuhan udara berada dalam
karantina atau tidak.
Di samping itu, upaya cegah tangkal juga dilakukan dalam rangka
mencegah kemungkinan penyebaran penyakit menular potensial wabah
seperti penyakit karantina dimaksud di atas ke daerah atau wilayah di
luar pelabuhan udara, termasuk daerah buffer (daerah penyangga) dan
perimeter (daerah dalam radius tertentu di luar wilayah pelabuhan
udara).
14
Secara teknis, tindakan karantina mencakup upaya-upaya, seperti
pelayanan dokumen kesehatan, pelayanan kesehatan (terbatas),
surveilans epidemiologi atau pengamatan penyakit, pengendalian vektor
penyakit (nyamuk, lalat, kecoa, tikus), penyehatan lingkungan atau
pengendalian faktor risiko, dan tindakan-tindakan lain yang dipandang
perlu untuk mencegah penyebaran penyakit karantina.
Sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 2 tahun
1962 tentang Karantina Udara, landasan kerja karantina udara
ditetapkan dalam Peraturan dan/atau Keputusan Menteri Kesehatan,
yang antara lain mengatur pedoman, prosedur kerja, kriteria, maupun
mekanisme kerja yang dipandang perlu untuk dilaksanakan oleh unit
kerja kesehatan pelabuhan.
Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan karantina udara yang dapat
diidentifikasi adalah sebagai berikut.
1. Terjadinya perubahan peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan pelaksanaan karantina udara, baik dalam lingkup
nasional maupun internasional.
2. Belum optimalnya penerapan teknologi yang terkait dengan
pelaksanaan karantina udara, baik teknologi informasi maupun
teknologi untuk tindakan karantina.
3. Belum optimalnya kemampuan teknis SDM kesehatan pelabuhan
udara dibandingkan dengan kemajuan teknologi kekarantinaan
dan transisi epidemiologi penyakit serta faktor risikonya.
15
4. Masih terbatasnya sarana dan prasarana kerja sehingga
menghambat pencapaian sasaran operasional kekarantinaan,
seperti laboratorium lapangan, perlengkapan kerja, alat pelindung
diri, instalasi isolasi, ambulans.
5. Masih rendahnya ketaatan pemangku kepentingan (stakeholder)
di lingkungan pelabuhan udara terhadap peraturan karantina
udara yang menyebabkan tindakan karantina belum dapat
berjalan secara optimal.
6. Belum ada penetapan zona karantina
Dalam perkembangannya, khususnya berkait dengan transisi epidemiologi
penyakit, kemajuan teknologi transportasi, migrasi penduduk, perdagangan
antar negara maupun antar wilayah, serta produk-produk hukum, baik dalam
lingkup nasional maupun internasional, berpengaruh terhadap kinerja
karantina kesehatan.
Oleh karena itu, tindakan karantina kesehatan mengalami perubahan dari
upaya cegah tangkal terhadap penyakit karantina menjadi upaya-upaya
kesehatan yang terkait dengan kedaruratan kesehatan yang meresahkan
dunia (PHEIC).
Dengan pesatnya perkembangan transportasi laut dan udara, kiranya dapat
dipahami bahwa perlu dilakukan revisi terhadap peraturan perundang-
undangan sebagai landasan hukum dalam melaksanakan tindakan karantina,
baik di lingkungan pelabuhan laut maupun pelabuhan udara. Diharapkan
perubahan peraturan perundang-undangan ini memberikan lingkup yang lebih
luas dan komprehensif, tidak hanya mencakup tindakan karantina yang
16
berkaitan dengan penyebaran penyakit, tetapi juga berbagai permasalahan
kesehatan yang menjadi perhatian bahkan keresahan dunia.
Beberapa hal yang dipandang perlu untuk diatur dalam peraturan perundang-
undangan yang akan datang, antara lain sebagai berikut.
1. Lingkup penyakit karantina diperluas menjadi PHEIC.
2. Area tindakan karantina diperluas tidak hanya dalam wilayah pelabuhan
laut dan pelabuhan udara (bandar udara), tetapi juga mencakup wilayah
lingkungan pemukiman, lintas batas darat, serta lingkungan khusus
(asrama militer, lembaga pemasyarakatan, pondok pesantren, dsb).
3. Penggerakkan sumber daya diperluas tidak hanya pada sektor
pemerintah, tetapi juga mencakup kemitraan dengan masyarakat, LSM,
swasta, dan lembaga internasional.
4. Memperhitungkan perkembangan dan kemajuan teknologi, seperti
teknologi kesehatan, sarana transportasi, baik laut, darat, maupun udara,
dan teknologi informasi.
5. Memberikan jaminan perlindungan terhadap petugas maupun pihak-pihak
terkait (stakeholders) dengan tindakan karantina.
6. Memberikan peluang untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan
terhadap pelanggaran peraturan kekarantinaan serta memuat sanksi, baik
administrasi maupun pidana.
7. Diupayakan materi muatan dalam peraturan perundang-undangan yang
akan datang bersifat final dan mengurangi amanat untuk penyusunan
peraturan pelaksanaan, seperti PP, Perpres, maupun Permen.
17
Kegiatan yang dilaksanakan meliputi:
a. pengawasan kapal atau pesawat beserta muatannya dalam karantina
yang datang dari luar negeri;
b. pengawasan kapal atau pesawat beserta muatannya dalam karantina
yang datang dari pelabuhan terjangkit penyakit karantina di wilayah
dalam negeri;
c. pengawasan penyakit karantina;
d. pengawasan dan penerbitan dokumen kesehatan kapal dan pesawat;
e. tindakan khusus terhadap penyakit karantina;
f. penegakan hukum karantina.
Pengawasan kapal bertujuan untuk melihat ada atau tidak adanya faktor
risiko kesehatan yang dapat menimbulkan penyakit atau masalah kesehatan
di atas kapal. Pengawasan dilakukan dengan cara : untuk kapal yang datang
dari luar negeri
note
Permasalahan yang dihadapi terkait dengan implementasi peraturan
karantina;
1. jenis penyakit karantina yang diawasi sudah tidak sesuai dengan
perkembangan dan kebijakan internasional.
2. belum ada penetapan zona karantina;
3. banyaknya pelanggaran ketentuan karantina;
4. terjadinya perubahan dokumen kesehatan dalam rangka perjalanan
internasional;
ad 1.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut dan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara, penyakit
karantina disebutkan secara limitatif yaitu : pes, kolera, yellow fever, cacar,
demam balik-balik, dan tipus bercak wabahi.
18
Upaya karantina kesehatan yang dilaksanakan meliputi kegiatan
surveilans epidemiologi, deteksi dini, pengendalian faktor risiko, respon cepat,
tindakan karantina dan tindakan penyehatan.
C.1. Upaya Karantina Kesehatan di Pintu Masuk.
Kegiatan Upaya Karantina kesehatan di Pintu Masuk meliputi :
C.1.1. Kegiatan Kekarantinaan dan Surveilans Epidemiologi
C.1.1.1. Sasaran
Sasaran upaya karantina ditujukan terhadap alat angkut, orang dan
barang yang diduga terpapar penyebab penyakit dan/atau faktor risiko yang
bisa menimbulkan PHEIC. Sebagai contoh, barang yang diduga terpapar
misalnya makanan yang tercemar kuman penyakit, zat radioaktif, limbah
bahan berbahaya, produk dari bahan kulit atau tulang yang mengandung
anthrax dan lainnya
C.1.1.2. Pemeriksaan Karantina
Adalah suatu tindakan dari petugas karantina untuk menentukan
keadaan sehat atau terjangkitnya suatu alat angkut, orang dan barang di
pelabuhan, bandar udara dan pos lintas batas darat (PLBD).
C.1.1.3. Kegiatan surveilans epidemiologi faktor risiko dan respon cepat
a. Penemuan penyakit/ kejadian yang bisa menimbulkan PHEIC
Penemuan penderita dilakukan pada saat kedatangan/ keberangkatan
di pelabuhan/ bandar udara/ pos lintas batas darat. Perhatian khusus
perlu diberikan terhadap pendatang atau yang berangkat, berasal dari
daerah terjangkit penyakit yang dapat menyebabkan PHEIC baik di
dalam maupun di luar negeri, termasuk tindakan isolasi bagi kasus
suspek, kasus konfirmasi serta tindakan Karantina bagi orang yang
diduga terpapar.
b. Pengamatan faktor risiko
19
Meliputi pengamatan terhadap air, makanan dan minuman, udara,
tanah, bangunan, limbah padat, cair, gas, radiasi, vektor dan binatang
penular penyakit lainnya.
c. Penyelidikan epidemiologi
Penyelidikan epidemiologi bertujuan untuk mengetahui virulensi,
distribusi penyakit yang dapat menyebabkan penyakit/kejadian PHEIC
melalui pemeriksaan fisik dan/atau klinis, dan laboratorium terhadap
penderita maupun tersangka. Setelah dilakukan penyelidikan
epidemiologi segera dilakukan penanggulangan dalam bentuk
preventif, kuratif, promotif dan rehabilitatif.
d. Pencatatan dan pelaporan.
Pencatatan dan pelaporan merupakan kegiatan elementasi dalam
pengamatan yang harus dikerjakan dengan ketelitian dan kecepatan
yaitu adanya keharusan untuk menyampaikan laporan dalam waktu
kurang dari 24 jam bila seorang telah mengetahui adanya peristiwa
penyakit yang dapat menyebabkan PHEIC.
e. Penyebarluasan informasi
Penyebarluasan informasi bertujuan untuk meningkatkan
kewaspadaan dini dari semua pihak yang berkepentingan dengan
menggunakan alat komunikasi cepat, misalnya fax, radio, internet dan
mass media.
C.1.1.4. Pengawasan Lalu Lintas Barang
Di tujukan kepada sediaan farmasi dan alat kesehatan, makanan
minuman, produk biologi, bahan-bahan berbahaya, bahan lainnya yang dapat
menimbulkan penyakit dan gangguan kesehatan, yang dilakukan melalui :
pemeriksaan dokumen kesehatan;
pemeriksaan fisik;
pengambilan sampel dan pemeriksaan laboratorium.
20
Gangguan kesehatan yang disebabkan masuknya/ datangnya barang
produk biologi dan limbah melalui pelabuhan, bandar udara dan pos lintas
batas yang tidak memenuhi ketentuan kesehatan misalnya: makanan
tercemar kuman penyebab penyakit, zat radioaktif, limbah bahan berbahaya
yang tidak terlindungi dengan benar.
Hal-hal tersebut di atas telah di atur rambu-rambu pengamanannya,
sebagaimana kesepakatan didalam Konvensi Bassel tahun 1989 yang
dengan tegas melarang perpindahan limbah antar negara dengan alasan
apapun. Namun pada kenyataannya dilapangan dapat terjadi dan telah terjadi
impor limbah B3 baik secara terang-terangan maupun dengan
menyusupkannya dalam barang atau produk impor lainnya.
Melihat situasi tersebut di atas, bila impor B3 tidak diatur dalam
undang-undang serta tidak adanya kewenangan terhadap petugas karantina
kesehatan dalam pengawasan barang impor tersebut, maka barang-barang
tersebut akan mudah masuk oleh karena keuntungan sesaat atau individu
namun pada akhirnya sangat berdampak buruk pada kesehatan masyarakat
dan membahayakan negara.
C.1.2. Karantina Kesehatan di bidang Kesehatan Lingkungan
Upaya karantina kesehatan dibidang kesehatan lingkungan adalah
upaya kesehatan yang diselenggarakan untuk mewujudkan derajat kesehatan
yang optimal dengan mengupayakan lingkungan yang bebas dari faktor risiko
yang membahayakan kesehatan dan keselamatan hidup manusia.
Sasaran karantina kesehatan di bidang kesehatan lingkungan
ditujukan pada kesehatan alat angkut, lingkungan pelabuhan/ bandar udara/
Pos Lintas Batas Darat, wilayah terjangkit dan lingkungan kerja.
Kegiatan karantina kesehatan di bidang kesehatan lingkungan meliputi:
surveilans kesehatan lingkungan, pengawasan kualitas air, pengawasan
kualitas udara, pengawasan hygiene dan sanitasi makanan dan minuman,
penyehatan bangunan dan tempat-tempat umum, pengelolaan limbah (padat,
cair, gas), pengendalian vektor dan binatang penular penyakit, pengamanan
radiasi dan pengamanan pestisida. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalkan
21
faktor risiko dan mencegah kemungkinan menjadi reservoir penyebaran
penyakit yang dapat menyebabkan PHEIC.
Upaya karantina kesehatan dibidang kesehatan lingkungan meliputi :
pengawasan kualitas air bersih dan pengelolaan air limbah di alat angkut,
pelabuhan/ bandar udara/ Pos Lintas Batas darat, lingkungan kerja, dan
wilayah terjangkit;
pengawasan kualitas udara di alat angkut, pelabuhan/ bandar udara/ Pos
Lintas Batas dan lingkungan kerja;
pengawasan hygiene dan sanitasi pengolahan, penyimpanan,
pengemasan dan penyajian makanan minuman agar memenuhi syarat
kesehatan;
pengawasan penyehatan bangunan agar tidak menjadi reservoir bagi
kuman atau vektor penyakit;
pengawasan pengelolaan limbah (padat, cair dan gas) agar tidak
mencemari lingkungan;
pengendalian vektor untuk mencegah perkembangbiakan vektor penular
penyakit yang dapat menyebabkan PHEIC, baik di alat angkut, pelabuhan/
bandar udara/ pos lintas batas, dan wilayah terjangkit.
Pengamanan pestisida untuk mencegah terjadinya pencemaran.
Pengawasan bahan bahan yang mengandung radiasi.
.
C.1.3 Karantina Kesehatan Dibidang Pelayanan Medis
Upaya pelayanan medis di pintu masuk pada dasarnya adalah dalam
rangka kewaspadaan dini melalui deteksi penyakit yang berpotensi PHEIC
dan pemberian vaksinasi yang ditujukan pada seluruh pelaku perjalanan yaitu
penumpang, awak alat angkut, masyarakat pelabuhan/ bandar udara/ pos
lintas batas darat dengan memberikan pelayanan promotif, preventif, kuratif
dan rujukan.
Pengobatan terhadap penderita penyakit yang dapat menyebabkan
PHEIC, dilakukan untuk mencegah penyebaran melalui pengobatan penderita
dan sistem perawatan paripurna serta menggunakan fasilitas rujukan yang
tepat.
Rumah Sakit rujukan melakukan upaya pemulihan kesehatan serta
pencegahan penyebaran penyakit yang dapat menyebabkan PHEIC.
22
C.2. Wilayah yang berpotensi atau sedang terjadi episenter PHEIC
Untuk mencegah penyebaran penyakit yang berpotensi PHEIC dari
suatu wilayah episenter PHEIC ke wilayah lain perlu dilakukan upaya
pembatasan masyarakat yang berada di wilayah tersebut dengan berbagai
kegiatan, antara lain: tindakan karantina rumah, karantina wilayah yang
didalamnya mencakup pembatasan kegiatan sosial berskala besar, peliburan
sekolah dan penutupan pasar, penyehatan lingkungan serta dekontaminasi
pada alat angkut, barang di wilayah episenter PHEIC
A. Persyaratan Pintu Masuk Dalam Bidang Kesehatan
Upaya karantina kesehatan diselenggarakan oleh pemerintah dan atau
masyarakat untuk mencegah keluar masuknya PHEIC, penyakit menular
tertentu dan gangguan kesehatan. Untuk itu pemerintah menjamin
terselenggaranya :
a. Kegiatan karantina kesehatan berupa pemeriksaan dan pembatasan
gerak terhadap orang, barang, dan alat angkut;
b. Kegiatan surveilans epidemiologi faktor risiko dan respon cepat;
c. Kegiatan pelayanan kesehatan terbatas;
d. Kegiatan penyehatan lingkungan.
Menteri menetapkan kelembagaan/ organisasi dan tata kerja unit
pelaksana karantina kesehatan dan menetapkan persyaratan ketenagaan
serta perlengkapan perorangan (DSPP) dan perlengkapan organisasi (POP).
Pemerintah menetapkan standar operasional kegiatan karantina
kesehatan serta menyiapkan fasilitas penyelenggaraan upaya karantina
kesehatan yang meliputi fasilitas pelayanan kesehatan, alat transport rujukan,
alat komunikasi cepat, laboratorium, alat medis, alat non medis, dan fasilitas
kesehatan lainnya, sesuai dengan standar Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
yang dipergunakan secara Internasional. Dalam hal ini, pengelola pelabuhan
dan penanggung jawab alat angkut wajib memfasilitasi kegiatan tersebut.
23
Petugas karantina kesehatan melakukan pengawasan terhadap
kegiatan karantina kesehatan dalam perencanaan, pelaksanaan dan
pelaporan kegiatan. Guna pemeriksaan dan pengawasan tersebut para
pengelola pelabuhan harus menyiapkan dokumen/laporan untuk diperiksa
oleh petugas karantina kesehatan. Dokumen mengenai fasilitas kesehatan
diperiksa berkala oleh pejabat karantina kesehatan dan dokumen
dimutakhirkan setiap tahun untuk mengetahui perkembangannya.
E. Upaya Pengawasan Terhadap Orang, Barang dan Alat Angkut Di
Pintu Masuk
E.1. Bandar Udara
1. Pada Saat Keberangkatan
a. Pada Bandar udara Sehat
a.1. Pengawasan orang
Semua penumpang dan crew yang akan melakukan perjalanan
Internasional ke negara terjangkit harus diberikan vaksinasi dan/atau
profilaksis yang dibuktikan melalui dokumen karantina kesehatan
berupa International Certificate of Vaccination or prophylaxis yang
disyaratkan oleh IHR (2005) dan negara tujuan.
Bagi penumpang dan crew yang sakit harus memiliki surat
keterangan kesehatan laik terbang yang dikeluarkan oleh dokter
karantina kesehatan di bandar udara untuk mengidentifikasi apakah
berpenyakit menular atau tidak.
Petugas karantina kesehatan mencegah keberangkatan penumpang
dan crew yang berpotensi menyebabkan PHEIC dengan melakukan
24
pemeriksaan kesehatan, tatalaksana kasus, tindakan karantina,
rujukan dan isolasi.
a.2. Pengawasan barang
Petugas karantina kesehatan melakukan pemeriksaan dan
pengawasan terhadap barang yang dibawa oleh pelaku perjalanan,
terutama barang yang mempunyai faktor risiko sumber penularan
penyakit atau kejadian PHEIC.
Petugas karantina kesehatan melakukan pengawasan Obat,
Makanan, Kosmetika dan Alat Kesehatan serta Bahan Adiktif lainnya
(OMKABA) bekerja sama dengan Bea Cukai untuk melakukan
pemeriksaan dokumen karantina kesehatan OMKABA dan
pemeriksaan fisik
Petugas Karantina Kesehatan bekerjasama dengan Bea Cukai
menolak keluarnya OMKABA yang tidak memenuhi syarat
kesehatan. Apabila memenuhi syarat kesehatan maka petugas
Karantina Kesehatan menerbitkan sertifikat kesehatan ekspor
OMKABA.
Selain itu petugas karantina kesehatan juga melakukan
pemeriksaan dokumen penyebab kematian jenazah yang akan
diangkut melalui pesawat. Apabila memenuhi syarat kesehatan
maka petugas karantina kesehatan menerbitkan surat keterangan
kesehatan angkut jenazah.
a.3. Pengawasan pesawat
Semua pesawat yang berangkat untuk perjalanan Internasional
harus menunjukkan dokumen karantina kesehatan pesawat yang
dipersyaratkan oleh Pemerintah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Dokumen karantina kesehatan pesawat meliputi Aircraft General
Declaration of Health (berisi daftar nama penumpang dan crew serta
bandar udara tujuan), Sertifikat Sanitasi Pesawat ( berisi keterangan
tentang kualitas kebersihan pesawat serta tidak adanya tanda-tanda
kehidupan serangga serta vektor), Sertifikat Disinseksi Pesawat
25
(berisi keterangan yang menyatakan bahwa pesawat tersebut telah
dilakukan hapus serangga), sertifikat P3K (berisi keterangan
kelengkapan standar P3K di pesawat).
Petugas karantina kesehatan mencegah keberangkatan pesawat
yang didalamnya terdapat agent (kuman) atau vektor yang dapat
menyebabkan PHEIC.
Dalam melaksanakan pencegahan masuknya penyakit menular atau
PHEIC kedalam pesawat maka perlu dilakukan pemeriksaan dan
hygiene dan sanitasi makanan minuman, air bersih dan lain-lain.
b. Pada Bandar Udara yang Mempunyai Akses dengan Wilayah
Episenter PHEIC
Petugas karantina kesehatan mencegah keluarnya orang, barang
dan alat angkut yang berasal dari wilayah yang memiliki akses
episenter PHEIC di pintu masuk wilayah bandar udara bekerjasama
dengan TNI dan POLRI serta sekuriti bandar udara.
Jika ditemukan orang yang berasal dari wilayah episenter PHEIC
tapi tidak memiliki gejala klinis (terpapar penyebab PHEIC) maka
dilakukan tindakan karantina selama dua kali masa inkubasi
terhadap orang yang berasal dari episenter PHEIC di wilayah
bandar udara.
Jika ditemukan kasus/suspek yang mengarah ke penyakit penyebab
PHEIC maka orang tersebut dilakukan tindakan isolasi/ dirujuk ke
Rumah Sakit.
Terhadap alat angkut dan barang yang berasal dari episenter PHEIC
tidak diperbolehkan memasuki wilayah bandar udara, dan terhadap
alat angkut/barang tersebut dilakukan disinfeksi sebelum
dikembalikan.
Terhadap penumpang yang sehat bukan berasal dari episenter
PHEIC maka penumpang diperbolehkan melanjutkan perjalanan
dengan membawa Health Alert Card (kartu kewaspadaan
kesehatan) setelah dilakukan pemeriksaan kesehatan di pintu
masuk area non publik.
26
2. Dalam Perjalanan
Orang sakit tersangka PHEIC yang dijumpai dalam perjalanan
penerbangan, wajib dilaporkan melalui radio komunikasi kepada
otoritas bandar udara tujuan.
Dibandar udara tujuan, pesawat tersebut ditempatkan pada parkir
khusus area/zona karantina
Petugas karantina kesehatan dapat melakukan pemeriksaan medis
dan upaya pencegahan lainnya yang diperlukan seperti menurunkan
penderita dari pesawat, memberi pengobatan serta merujuknya ke
Rumah Sakit serta melakukan tindakan penyehatan terhadap
pesawat dan barang sesuai dengan indikasi penyakit.
3. Pada Saat Kedatangan
a. Dari Bandar Udara Sehat
a.1. Pengawasan Orang
Semua penumpang dan crew yang datang dari perjalanan Internasional
dilakukan pengamatan fisik secara visual. Bagi penumpang dan crew yang
sakit dilakukan pemeriksaan dan pengobatan di Poliklinik Karantina
Kesehatan.
a.2. Pengawasan Barang
Petugas karantina kesehatan melakukan pengawasan OMKABA impor
bekerja sama dengan Bea Cukai untuk melakukan pemeriksaan dokumen
karantina kesehatan OMKABA serta pemeriksaan fisik. Apabila memenuhi
syarat kesehatan maka Petugas Karantina Kesehatan menerbitkan
sertifikat kesehatan OMKABA tersebut.
Jika OMKABA tersebut tidak memenuhi syarat kesehatan maka petugas
karantina kesehatan bekerjasama dengan Bea Cukai melakukan
penolakan masuknya OMKABA tersebut atau melakukan tindakan
pemusnahan OMKABA.
Selain itu petugas karantina kesehatan juga melakukan pengawasan lalu
lintas jenazah di bandar udara melalui pemeriksaan dokumen penyebab
kematian jenazah. Bila kematian bukan oleh penyakit menular maka
27
petugas karantina kesehatan memberikan surat keterangan kesehatan ijin
mengeluarkan jenazah dari bandar udara.
a.3. Pengawasan pesawat
Semua pesawat yang datang dari perjalanan Internasional harus
menunjukkan dokumen karantina kesehatan pesawat yang dipersyaratkan
oleh Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dokumen karantina kesehatan pesawat berupa Aircraft General
Declaration of Health (Gendec), untuk mengetahui apakah di pesawat
terdapat penumpang/crew yang sakit, Serifikat P3K, Sertifikat Sanitasi
Pesawat dan Sertifikat Disinseksi Pesawat.
Semua penumpang dan crew yang datang dari perjalanan Internasional
dilakukan pengamatan fisik secara visual. Bagi penumpang dan crew yang
sakit dilakukan pemeriksaan dan pengobatan di poliklinik Karantina
Kesehatan
b. Dari Bandar Udara yang Mempunyai Akses dengan Wilayah
Episenter PHEIC
Apabila masih sebatas episenter maka pengawasan kedatangan yang
dilaksanakan di bandara ditujukan terhadap semua alat angkut yang berasal
dari bandara yang punya akses langsung terhadap wilayah episenter. Teknis
pengawasannya sifatnya mendukung/memperkuat pengawasan yang telah
dilaksanakan di bandara asal.
Bentuk kegiatannya :
Pilot memberitahukan kepada ATC (air traffic control) tentang kondisi
pesawat, selanjutnya informasi ini diteruskan ke AOC (airline organizing
committee) dan Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP).
Pesawat diperbolehkan parkir di tempat yang telah ditentukan
28
Petugas KKP yang ada di bandar udara dengan menggunakan APD
lengkap naik ke atas pesawat untuk memeriksa penumpang dan crew,
apakah ada penumpang dan crew sakit secara visual dan memeriksa
dokumen General Declaration.
b.1. Jika tidak ada penumpang dan crew yang terlihat sakit,
Penumpang dan crew turun ke ruang tunggu yang telah ditentukan yang
terisolir dari area publik untuk dilakukan screening dengan menggunakan
alat pemindai suhu/thermal scanner dan pemeriksaan HAC yang sudah
dibagikan dibandara asal. Apabila ada penumpang dan crew yang tidak
memiliki HAC maka dibagikan HAC untuk diisi oleh penumpang dan crew.
Seluruh penumpang harus tetap berada di ruang tunggu tersebut sampai
pemeriksaan terhadap seluruh penumpang dan pemeriksaan di poliklinik
karantina kesehatan selesai.
Bila ada yang terdeteksi suhu tubuhnya >38 0C maka orang tersebut
langsung dibawa ke poliklinik karantina kesehatan untuk dilakukan
anamnesa dan pemeriksaan fisik dan bila :
a. Tidak dinyatakan suspek
Pasien tersebut diobati sesuai penyakitnya, bila perlu dirujuk ke RS
Seluruh penumpang di ruang tunggu diperbolehkan melanjutkan
perjalanan.
b. Dinyatakan suspek
Bila ternyata suspek , maka kasus suspek tersebut di rujuk ke
RS Rujukan, barang yang dibawa dilakukan tindakan disinfeksi.
Seluruh penumpang yang di ruang tunggu dilakukan tindakan
karantina di asrama karantina 2 (dua) kali masa inkubasi dan diberi
profilaksis selama 20 hari sampai ada hasil laboratorium pasien
tersebut, bila ternyata bukan penyakit yang berpotensi PHEIC
maka perlakuan karantina dihentikan termasuk pemberian
profilaksis dihentikan, dan diperbolehkan melanjutkan perjalanan.
Tetapi bila hasil laboratorium positif (konfirm) penyakit PHEIC
maka karantina diteruskan sampai 2 kali masa inkubasi dan
pemberian profilaksis dilanjutkan sampai 20 hari.
29
Walaupun hal ini kemungkinan kecil sekali mengingat sudah
dilaksanakan screening di lini 1 dan 2, tetap harus dilakukan
screening sesuai SOP.
b.2. Jika ada penumpang dan crew yang terlihat sakit dan/atau diduga
suspek di pesawat
Penumpang dan crew yang diduga suspek dipakaikan masker
oleh pramugari, kemudian dibawa ke poliklinik karantina kesehatan,
apabila dari pemeriksaan dinyatakan suspek pandemi, maka pasien
tersebut dirujuk ke RS rujukan.
Setelah seluruh penumpang lainnya turun ke ruang tunggu
khusus yang terisolir dari area publik, pesawat dan seluruh barang
dilakukan tindakan disinfeksi.
Seluruh penumpang dilakukan tindakan karantina di asrama
karantina dan diberi profilaksis selama 20 hari sampai ada hasil
laboratorium pasien suspek, bila ternyata bukan influenza pandemi
maka perlakuan karantina terhadap seluruh penumpang dihentikan
termasuk pemberian profilaksis dihentikan, diperbolehkan melanjutkan
perjalanan.
Tetapi bila hasil laboratorium positif (konfirm) maka karantina
diteruskan sampai 2 kali masa inkubasi dan pemberian profilaksis
dilanjutkan sampai 20 hari.
Hal ini kemungkinan kecil sekali mengingat sudah dilaksanakan
screening di lini 1 dan 2.
Seluruh petugas yang melaksanakan tindakan kekarantinaan
diberikan profilaksis selama 20 hari.
Seluruh petugas yang bertugas menggunakan APD lengkap.
Tindakan Terhadap penumpang dan crew Sehat, barang dan pesawat
Pesawat yang datang dari bandar udara yang mempunyai akses dengan
wilayah episenter PHEIC harus diparkir di tempat khusus (Zona Karantina)
di bandar udara
Petugas Karantina Kesehatan mengarahkan penumpang yang sehat
untuk turun melewati jalur yang telah ditentukan. Terhadap para
30
penumpang tersebut dilakukan pemeriksaan kesehatan dan pemeriksaan
kartu kewaspadaan yang telah dibagikan di bandar udara sebelumnya.
Bila ditemukan kasus suspek PHEIC maka penumpang langsung dibawa
ke poliklinik khusus Karantina Kesehatan untuk dilakukan anamnesa dan
pemeriksaan fisik selanjutnya di rujuk ke Rumah Sakit rujukan.
Penumpang yang berada di 3 baris kiri, kanan, belakang dan depan yang
suspek PHEIC didalam pesawat dilakukan tindakan karantina selama 2
kali masa inkubasi di asrama karantina dan pemberian profilaksis sampai
20 hari.
Sedangkan penumpang lain yang berada dalam satu pesawat dipersilakan
melanjutkan perjalanan setelah diberikan HAC serta diberikan pengarahan
mengenai penyakit tersebut.
Setelah seluruh crew dan penumpang turun dari pesawat dilakukan
tindakan penyehatan terhadap pesawat dan barang sesuai prosedur
desinfeksi, disinseksi dan fumigasi pesawat.
c. Dari Bandar Udara yang Daerah/Wilayahnya Terjangkit PHEIC
Apabila suatu negara sudah dinyatakan terjangkit PHEIC (bukan
episenter) maka semua alat angkut berikut penumpang dan barang
seharusnya tidak boleh keluar dari negara tersebut, tetapi hal ini tergantung
dari negara yang bersangkutan. Untuk mencegah penyebaran PHEIC masuk
ke Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka seluruh pintu masuk negara
(Pelabuhan, bandar udara, PLBD) harus melakukan pengawasan terhadap
semua alat angkut dari negara terjangkit tersebut. Mekanisme
pengawasannya pada prinsipnya sama dengan pengawasan kedatangan dari
Bandar Udara yang mempunyai akses dengan wilayah episenter PHEIC,
namun perlakuan terhadap semua pelaku perjalanan dari Bandar Udara yang
daerah/wilayahnya terjangkit PHEIC langsung dilakukan tindakan karantina
tanpa melihat status kesehatan mereka.
Langkah- langkah kegiatan
Pilot memberitahukan kepada ATC tentang kondisi pesawat, selanjutnya
informasi ini diteruskan ke AOC dan KKP.
31
Pesawat diperbolehkan parkir di tempat yang telah ditentukan yaitu zona
karantina dan berada dalam tindakan karantina.
Kemudian Petugas KKP yang ada dibandara dengan menggunakan
APD lengkap naik ke atas Pesawat untuk memeriksa penumpang dan
CREW, apakah ada penumpang dan crew sakit secara visual dan
memeriksa dokumen General Declaration.
Penumpang dan crew turun untuk dilakukan tindakan karantina di
asrama karantina selama 2 kali masa inkubasi dan diberi profilaksis 20
hari
Bila selama di asrama karantina ditemukan kasus suspek, kasus
suspek tersebut dirujuk ke RS rujukan, dan bila kasus suspek dan
ternyata hasil laboratoriun ternyata positip (konfirm), maka berahkirnya
masa karantina ialah sampai 2 kali masa inkubasi terhitung dari kasus
konfirm terakhir.
Seluruh petugas yang bertugas menggunakan APD lengkap.
E.2. Pelabuhan Laut
1. Pada Saat Keberangkatan
a. Pada Pelabuhan Laut Sehat
Kegiatan yang dilakukan pada pelabuhan sehat adalah pemeriksaan rutin
kekarantinaan untuk melihat kelengkapan dokumen karantina kesehatan
kapal, yang merupakan indikator tentang faktor risiko di Kapal dan dasar
sebagai pertimbangan utama untuk diberikannya Surat Izin Karantina
Kesehatan Berlayar (Port Health Quarantine Clearance 9PHQC)). Kapal
yang akan berangkat terlebih dahulu harus melengkapi dokumen
karantina kesehatan yang lengkap dan masih berlaku.
Dokumen tersebut adalah Ship Sanitation Exemption Control Certificate
(SSCEC) / Ship Sanitation Control Certificate (SSCC), One Month
32
Extention Certificate, Sailling Permit, Buku Kesehatan Kapal, Health Alert
Card (HAC), International Certificate of Vaccination or Prophylaxis, Cargo
list, Sertifikat P3K Kapal, General Nil List.
Petugas Karantina Kesehatan memeriksa segala dokumen karantina
kesehatan kapal dan mencegah pemberangkatan suatu kapal yang tidak
mempunyai dokumen tersebut. Jika diminta, diberikan surat keterangan
perihal tindakan yang dilakukan terhadap kapal.
Tindakan karantina mencakup pemeriksaan dan segala usaha penyehatan
terhadap kapal, bagasi, muatan barang, hewan dan tanaman.
Surat pos, buku-buku dan barang cetakan lainnya dibebaskan dari segala
usaha penyehatan, kecuali paket yang mencurigakan.
Selanjutnya untuk memantau keadaan yang berpotensi PHEIC pada saat
keberangkatan dilakukan Surveilans rutin terhadap orang, alat angkut, dan
barang.
b. Pada Pelabuhan Laut yang mempunyai akses dengan wilayah
episenter PHEIC
Petugas dalam melakukan pemeriksaan wajib menggunakan APD
lengkap dan diberikan profilaksis.
Petugas karantina kesehatan mencegah keluarnya orang, barang dan
alat angkut yang berasal dari wilayah episenter PHEIC di pintu masuk
wilayah pelabuhan laut bekerjasama dengan TNI dan POLRI serta
keamanan pelabuhan laut.
Bila ditemukan orang yang akan berangkat berasal dari wilayah
penanggulangan episenter maka dilakukan tindakan pengembalian
dengan menggunakan APD.
Pengembalian Kendaraan (Mobil, motor, truk, kontainer) dan barang
yang berasal dari wilayah penanggulangan episenter terlebih dahulu
harus dilakukan tindakan disinfeksi oleh petugas Karantina kesehatan
Bila ditemukan orang yang dalam 7 (tujuh) hari terakhir pernah
mengunjungi wilayah episenter, tetapi tidak berasal dari wilayah
penanggulangan maka orang tersebut harus di karantina selama 2 kali
masa inkubasi. Tempat karantina (asrama karantina) berada di
wilayah Pelabuhan Laut.
33
Berkaitan dengan kasus suspek
Ada tiga kriteria :
1. Dapat berangkat dengan membawa HAC bila :
a. Tidak kontak/ dalam 7 hari tidak berada di wilayah episenter
penanggulangan PHEIC dan
b. Tidak sebagai kasus suspek
2. Dilakukan tindakan karantina bila :
a. Riwayat kontak/ dalam 7 hari berada di wilayah episenter
penanggulangan PHEIC dan
b. tidak sebagai kasus suspek
3. Dilakukan rujukan ke Rumah Sakit Rujukan bila ditemukan sebagai
kasus suspek
Petugas Karantina Kesehatan :
- Melakukan penyelidikan epidemiologis terhadap pelaku perjalanan;
- Memberikan informasi kepada pelaku perjalanan tentang kondisi
yang terjadi;
- Melakukan pemeriksaan kesehatan pelaku perjalanan;
- Pemeriksaan suhu badan;
- Membagikan HAC
Penumpang dan/atau awak kapal yang panas dan sakit ditunda
keberangkatannya untuk diperiksa dulu di poliklinik karantina
kesehatan. Dan bisa diberangkatan jika setelah diperiksa oleh dokter
karantina kesehatan dan hasilnya dinyatakan tidak menunjukan
adanya indikasi sebagai kasus suspek.
Terhadap penumpang yang sehat bukan berasal dari episenter
PHEIC maka penumpang diperbolehkan melanjutkan perjalanan
dengan membawa kartu kewaspadaan dini (HAC) setelah dilakukan
pemeriksaan kesehatan di pintu masuk area non publik pelabuhan.
Kegiatan dalam asrama karantina:
Petugas karantina kesehatan memantau suhu tubuh calon
penumpang 3 kali dalam sehari
Jika suhu tubuhnya >38 ºC langsung dirujuk ke Rumah sakit
rujukan dengan menggunakan mobil evakuasi penyakit menular
34
Selama masa dalam karantina calon penumpang dilarang
menerima kunjungan dan meninggalkan asrama karantina sampai
masa karantina selesai (2 kali masa inkubasi penyakit)
Lamanya masa karantina 2 kali masa inkubasi penyakit
Orang yang dikarantina diberikan propilaksis selama 20 hari
Standar Asrama karantina :
Terdapat minimal 5 kamar yang dilengkapi dengan tempat tidur dengan
udara sejuk.
Ada fasilitas kamar mandi, cuci tangan dan perlengkapan lainnya
Ada ruangan dokter dan perawat yang terpisah dengan calon
penumpang, Awak kapal yang dikarantina
Setiap pelabuhan wajib memiliki asrama karantina kesehatan
Lokasi asrama karantina kesehatan berada dalam wilayah pelabuhan
yang terpisah dengan tempat umum/are publik
2. Dalam Perjalanan
Orang/pelaku perjalanan yang berada di atas kapal yang sedang
berlayar melalui suatu terusan di Wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dapat dianggap sama dengan singgah di pelabuhan yang terdekat
dari selat/terusan tersebut.
Jika kapal yang melalui selat membawa penderita PHEIC maka unit
karantina kesehatan setempat melakukan upaya karantina kesehatan sesuai
dengan prosedur dibawah ini :
a. Nahkoda kapal laut tersebut wajib melaporkan melalui radio komunikasi
cepat, kepada instansi karantina kesehatan terdekat bila di dalam kapal
terdapat penderita dan/atau tersangka PHEIC.
b. Kapal berada dalam karantina (lepas jangkar di zona karantina)
c. Kapal harus menaikan isyarat karantina menyampaikan permohonan
untuk memperoleh suatu izin karantina atau memberitahukan suatu
keadaan kapal dengan suatu isyarat karantina:
1. Pada siang hari dengan menaikkan Bendera Q (warna kuning) diatas
panji pengganti ke satu (Kapal saya tersangka) atau Bendera Q
diatas bendera L (Kapal saya terjangkit).
35
2. Pada malam hari dua lampu putih yang satu ditempatkan di atas yang
lain dengan jarak 2 meter yang tampak/dapat dilihat dari jarak 2 mil
d. Petugas karantina kesehatan naik ke atas kapal menggunakan APD
lengkap untuk melakukan pemeriksaan medis dan upaya pencegahan
lainnya yang diperlukan serta melakukan pengobatan penderita secara
cepat dan tepat. Jika penumpang dan/atau crew suspek PHEIC dilakukan
rujukan ke Rumah Sakit rujukan.
e. Jika ditemukan kasus suspek PHEIC di dalam kapal maka penumpang
yang sehat dilakukan tindakan karantina di atas kapal selama 2 kali masa
inkubasi dan kapal tidak boleh berlayar selama tindakan karantina
berlangsung.
f. Terhadap kapal dilakukan tindakan disinfeksi, disinseksi dan fumigasi
setelah masa karantina selesai.
36
3. Pada Saat Kedatangan
a. Dari Negara/wilayah/Pelabuhan Sehat
Upaya pencegahan terhadap orang, barang dan kapal yang datang
dari pelabuhan sehat dilakukan melalui pemeriksaan rutin
kekarantinaan.
Kegiatan ini meliputi melihat ada/tidaknya pelanggaran kekarantinaan,
pemeriksaan kelengkapan dokumen karantina kesehatan kapal dan
pemeriksaan faktor risiko merupakan dasar pertimbangan utama untuk
diberikannya sertifikat izin karantina (Certificate of Pratique).
Untuk memperoleh sertifikat izin karantina (Certificate of Pratique),
nakhoda kapal harus menyampaikan permohonan kepada Kantor
Kesehatan Pelabuhan.
Seluruh kapal yang datang dari luar negeri berada dalam karantina dan
mematuhi tanda – tanda dan/atau isyarat karantina kapal yang
ditetapkan dalam undang –undang yaitu:
a. Kapal berada dalam karantina ( lepas jangkar di zona karantina).
b. Kapal harus menaikan isyarat karantina:
Siang hari :
Bendera Q artinya kapal saya sehat atau saya minta izin
karantina
Bendera Q diatas panji pengganti ke satu: Kapal saya tersangka
Bendera Q diatas bendera L kapal saya terjangkit.
Malam hari :
Lampu merah di atas lampu putih dengan jarak maksimum
1,8 meter dan kelihatan/tampak dari jarak 2 mil: Saya belum
mendapat izin karantina
c. Nakhoda kapal yang berada dalam karantina dilarang menaikan
dan/atau menurunkan orang, barang, tanaman dan hewan sebelum
memperoleh sertifikat izin karantina
Pada waktu tiba di pelabuhan, nakhoda kapal harus menyediakan dan
melengkapi dokumen karantina kesehatan kapal.
Dokumen karantina kesehatan yang dimaksud harus lengkap dan
masih berlaku, yang meliputi : Maritim Declaration of Health (MDH),
Ship Sanitasion Exemption Control Certificate (SSCEC) / Ship
37
Sanitation Control Certificate (SSCC), One Month Extension
Certificate, Sailling Permit, Buku Kesehatan, International Certificate of
Vaccination or Prophylaxis, Cerificate of Medicine/ Sertifikat P3K
kapal, Health Alert Card (HAC), Crew list, Cargo list, Voyage of
Memmo/List Port of Call, General Nil List.
b. Dari Pelabuhan yang Mempunyai Akses Dengan Wilayah
Episenter PHEIC
Pengelola alat angkut berkewajiban memberitahukan kepada setiap
orang yang datang ke Indonesia dan wajib menyiapkan semua
dokumen karantina kesehatan yang dipersyaratkan oleh Pemerintah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengelola kapal laut dapat
memperoleh informasi tentang hal-hal yang dimaksud melalui agen-
agen/perusahaan pelayaran, Duta Besar Republik Indonesia di luar
negeri dan Organisasi Kesehatan Dunia.
Petugas Karantina kesehatan dalam melakukan tindakan
kekarantinaan terhadap kedatangan kapal yang berasal dari pelabuhan
yang memiliki akses dengan wilayah episenter PHEIC menerapkan
prosedur sebagai berikut :
a. Kapal berada dalam karantina ( lepas jangkar di zona karantina).
b. Nakhoda kapal menyampaikan permohonan untuk memperoleh
suatu izin karantina atau memberitahukan suatu keadaan kapal
dengan suatu isyarat karantina:
Siang hari
Bendera Q (kuning) artinya kapal saya sehat atau saya minta
izin karantina
Bendera Q di atas panji pengganti ke satu: Kapal saya
tersangka
Bendera Q di atas bendera L kapal saya terjangkit.
Malam hari
Lampu merah di atas lampu putih dengan jarak dengan 2
meter yang tampak dari jarak 2 mil.
38
c. Nakhoda kapal yang berada dalam karantina dilarang menaikan
dan/atau menurunkan orang, barang, tanaman dan hewan
sebelum memperoleh surat izin karantina
d. Izin Karantina diberikan oleh petugas karantina kesehatan setelah
dilakukan pemeriksaan dokumen Karantina Kesehatan (MDH,
SSCEC/SSCC, ICV, Sertifikat P3K Kapal, Buku Kesehatan Kapal,
Crew List, List Port of Call, General Nil List ) yang dibuktikan
dengan hasil pemeriksaan kesehatan awak kapal dan/atau
penumpang kapal, serta kondisi lingkungan di atas kapal dan
dinyatakan bebas faktor risiko.
e. Jika terdapat penumpang dan/atau awak kapal yang suspek, maka
orang tersebut dilakukan pengobatan dan tindakan isolasi.
Kepada Awak kapal dan/atau Penumpang lainnya yang sehat
dilakukan tindakan karantina. Selanjutnya kepada kapal tersebut
dilakukan tindakan disinseksi (hapus serangga) dan desinfeksi
(hapus kuman penyakit) dan kapal diberikan Certificate of pratique
dengan restrected pratique (izin terbatas karantina), setelah
semuanya clear, kemudian diberikan certificate of pratique dengan
free pratique (izin bebas karantina)
f. Lamanya tindakan karantina tergantung dari lamanya perjalanan,
mulai dari pelabuhan yang terakhir terjangkit ke pelabuhan
berikutnya dan mulai sakitnya kasus suspek :
Kedatangan Kapal dari wilayah/ negara terjangkit/ episenter yang
sudah menempuh ≥ 2 kali masa inkubasi yang tidak membawa
suspek
a. Petugas karantina kesehatan dengan menggunakan APD lengkap
naik ke atas Kapal untuk memeriksa penumpang dan/atau awak
kapal, apakah ada penumpang dan/atau awak kapal sakit secara
visual dan memeriksa dokumen MDH.
b. Jika tidak ada penumpang dan/atau awak kapal yang terlihat sakit,
maka kapal diperbolehkan sandar ke dermaga yang ditentukan
(dermaga yang harus steril) untuk menurunkan penumpang dan
barang.
39
c. Penumpang dan/atau awak kapal turun dan dilakukan screning
dengan menggunakan alat pemindai suhu/Thermal Scanner dan
pemeriksaan HAC yang sudah dibagikan dipelabuhan asal. Apabila
ada penumpang dan/atau awak kapal yang tidak memiliki HAC
maka dibagikan HAC untuk diisi oleh penumpang dan/atau awak
kapal.
d. Bila terdeteksi suhu tubuhnya >38 0C, maka penumpang dan/atau
Awak kapal langsung dibawa ke poliklinik karantina kesehatan
yang berada di dekat Thermal Scanner untuk dilakukan anamnesa
dan pemeriksaan fisik. Jika suspek (+) maka dirujuk ke RS rujukan,
dan barang yang dibawa dilakukan tindakan disinfeksi. Jika Suspek
(-) maka diobati oleh dokter karantina atau dirujuk ke Rumah Sakit.
Jika hasil pemeriksaan dokter bukan penyakit menular
diperbolehkan melanjutkan perjalanan.
Apabila terdeteksi memiliki keluhan penyakit berpotensi
PHEIC, maka dibawa ke poliklinik karantina kesehatan untuk
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Jika hasil pemeriksaan
dokter menyatakan suspek positif maka penumpang
dan/atau awak kapal tersebut dirujuk ke RS rujukan dengan
menggunakan mobil evakuasi penyakit menular. Bila hasil
pemeriksaan dokter menyatakan suspek negatif, maka
penumpang dan/atau awak kapal tersebut diobati oleh dokter
karantina dan/atau dirujuk ke Rumah Sakit rujukan.
Penumpang dan/atau Awak kapal yang tidak memiliki keluhan
tetapi ada riwayat kontak maka penumpang dan/atau awak
kapal tersebut dilakukan tindakan karantina kesehatan selama
2 kali masa inkubasi dan pemberian profilaksis selama 10 hari
di Asrama Karantina kesehatan.
Penumpang dan/atau awak kapal yang tidak memiliki keluhan
dan tidak ada riwayat kontak, maka penumpang dan/atau
awak kapal tersebut di perbolehkan melanjutkan perjalanan
e. Apabila suhu tubuhnya < 38°C, maka dilakukan analisa
terhadap HAC yang dibawa oleh penumpang dan/atau awak
40
kapal dan diseleksi apakah ada riwayat kontak dan memiliki
keluhan penyakit berpotensi PHEIC.
Kedatangan Kapal dari Wilayah / Negara terjangkit/episenter yang
sudah menempuh ≥ 2 kali masa inkubasi yang ada kasus suspek
a. Kapten Kapal melakukan kontak dengan petugas karantina
kesehatan melalui radio komunikasi/radio pratique/portnet dan
memberitahukan bahwa kapal membawa penumpang dan/atau
awak kapal yang sakit dan datang dari negara terjangkit
b. Kemudian Petugas karantina kesehatan yang ada dipelabuhan laut
dengan menggunakan APD lengkap naik ke atas Kapal untuk
memeriksa penumpang dan/atau awak kapal yang sakit.
c. Jika Penumpang dan/atau awak kapal yang sakit dicurigai suspek
PHEIC, maka diturunkan kedarat dengan menggunakan
Speedboat Ambulans Evakuasi Penyakit Menular. Selanjutnya di
rujuk ke Rumah Sakit rujukan dengan menggunakan Ambulans
evakuasi Penyakit menular.
d. Seluruh penumpang dan/atau awak kapal yang berada dalam kapal
tersebut tidak diperbolehkan turun dan dilakukan tindakan
karantina di atas kapal selama 2 kali masa inkubasi (terhitung
dari mulainya sakit kasus suspek di kapal tersebut) dengan
kapal pada Zona Karantina dan seluruh penumpang dan/atau awak
kapal diberi profilaksis antiviral selama 10 hari.
e. Seluruh petugas yang melaksanakan tindakan kekarantinaan
menggunakan APD lengkap dan diberikan profilaksis antiviral
selama 10 hari
f. Apabila selama masa karantina, ditemukan kasus suspek baru,
maka dilakukan tatalaksana kasus seperti kasus suspek
g. Setelah masa karantina berakhir dan tidak ditemukan suspek baru,
maka kapal boleh sandar dan seluruh penumpang dan/atau awak
kapal diperbolehkan turun dari kapal
h. Selanjutnya kapal beserta muatannya dilakukan tindakan disinfeksi.
41
i. Kebutuhan hidup penumpang dan/atau awak kapal selama
dilakukan tindakan kekarantinaan dipenuhi oleh negara.
Kedatangan Kapal dari wilayah/daerah/negara terjangkit/episenter
yang sudah menempuh ≤ 2 kali masa inkubasi
Tindakan sama dengan Kedatangan Kapal dari daerah / negara
terjangkit/episenter yang sudah menempuh ≥ 2 kali masa inkubasi
di atas, hanya berbeda dalam lamanya masa karantina ialah :
1. Jika Tidak ada yang sakit maka lamanya masa karantina
adalah 2x masa inkubasi dikurangi lamanya perjalanan
2. Jika diketemukan kasus suspek, maka lamanya masa
karantina adalah terhitung dari mulainya sakit kasus suspek di
kapal tersebut
Administasi karantina kesehatan harus menyarankan kepada
Kedutaan Besar Indonesia di luar negeri tentang keadaan kesehatan
di Indonesia untuk menjamin kedatangan wisatawan yang potensial
dari manca negara. Untuk itu Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia melalui Nasional Focal point IHR (2005) menginformasikan
situasi kesehatan melalui media elektronik atau melalui website
(www.karantina kesehatan.net )
D.3. Pos Lintas Batas Darat (PLBD)
1. Pada Saat Keberangkatan
a. Pada PLBD Sehat
Petugas karantina kesehatan melakukan pemeriksaan secara terus
menerus terhadap keberangkatan alat angkut, orang dan barang
dengan cara pemeriksaan dokumen karantina kesehatan dengan
memperhatikan apakah ada tidaknya penumpang dan/atau awak
alat angkut yang menderita sakit yang berpotensi PHEIC.
Dokumen Karantina Kesehatan yang diisyaratkan oleh Pemerintah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibidang kesehatan berupa
Surat Keterangan Hapus Serangga, Surat Keterangan Hapus
Kuman Penyakit, Surat Keterangan Kesehatan OMKABA untuk
42
barang serta Sertifikat Vaksinasi International bagi negara yang
mensyaratkan ICV atau profilaksis.
b. Pada PLBD yang mempunyai Akses dengan wilayah episenter
PHEIC
Pengawasan pada PLBD yang mempunyai Akses dengan wilayah
episenter PHEIC dibagi dalam 2 area, yakni di Ring II dan di Ring I.
Pengawasan di Ring II : Lokasi area parkir PLBD
Petugas karantina kesehatan melakukan pemeriksaan daftar
penumpang disesuaikan dengan identitas awak angkut, penumpang
dan pengantar yang berada dalam satu kenderaan darat didampingi
petugas Kepolisian dan TNI
Petugas karantina kesehatan mencegah keluarnya alat angkut, orang
dan barang yang berasal dari epicenter PHEIC didampingi petugas dari
Kepolisian dan TNI
Orang yang berasal dari epicenter PHEIC tidak diperkenankan keluar
melalui PLBD, orang tersebut dikembalikan kedaerah asalnya dengan
dilengkapi APD.
Terhadap alat angkut dan barang yang berasal dari episenter PHEIC
dilakukan desinseksi dan atau disinfeksi sebelum dikembalikan.
Terhadap orang yang suspek PHEIC diisolasi/ dirujuk ke Rumah Sakit
Rujukan penyakit menular.
Penumpang lain yang bukan berasal dari episenter PHEIC
diperbolehkan memasuki area Ring I.
Pengawasan di Ring I : Lokasi Pintu Gerbang Masuk
Area Ring I merupakan wilayah steril PLBD
Petugas karantina kesehatan memberikan formulir Health Alert Card
(HAC) terhadap penumpang untuk diisi dan kemudian petugas
melakukan penyeleksian penumpang melalui HAC tersebut
Jika ditemukan orang yang bukan berasal dari episenter PHEIC tapi
dalam 7 hari terakhir pernah memasuki daerah episenter PHEIC maka
43
dilakukan tindakan karantina selama dua kali masa inkubasi di wilayah
PLBD atau asrama karantina kesehatan.
Terhadap penumpang lain dilakukan pemeriksaan suhu tubuh
penumpang
Jika ditemukan suhu tubuh di atas 38 oC dilakukan pemeriksaan medis
di poliklinik karantina kesehatan. Jika ternyata orang tersebut Suspek
PHEIC maka dirujuk ke Rumah Sakit rujukan.
Dan terhadap orang yang kontak erat dengan penumpang yang sakit
tersebut, maka dilakukan tindakan karantina selama dua kali masa
inkubasi di wilayah PLBD atau di asrama karantina kesehatan.
Kegiatan di asrama karantina kesehatan berupa pemantauan suhu
tubuh dan pemberian profilaksis
Penumpang lain diperkenankan berangkat melalui PLBD dengan
membawa HAC yang telah diisi.
2. Pada Saat Kedatangan
a. Dari PLBD Sehat
Petugas karantina kesehatan melakukan pemeriksaan alat angkut, orang
dan barang secara terus menerus terhadap kedatangan alat angkut
dengan cara pemeriksaan dokumen karantina kesehatan dengan
memperhatikan apakah ada tidaknya penumpang dan/atau awak
angkutan yang menderita sakit yang berpotensi PHEIC.
Petugas karantina kesehatan melakukan pemeriksaan terhadap
penumpang dengan cara seluruh penumpang turun dari kendaraan
melewati pos karantina kesehatan
Dokumen Karantina Kesehatan yang diisyaratkan oleh Pemerintah Negara
Kesatuan Republik Indonesia dibidang kesehatan berupa Surat
keterangan Hapus Serangga (Disinseksi), Surat Keterangan Hapus
Kuman Penyakit (Disinfeksi), Surat Keterangan Kesehatan OMKABA dan
International Certificate of Vaccination dan atau Profilaksis.
Jika ada penumpang yang dicurigai menderita (suspek) PHEIC, maka
terhadap orang tersebut dilakukan tindakan isolasi dan terhadap
44
penumpang sehat lainnya dilakukan tindakan karantina selama dua kali
masa inkubasi diwilayah PLBD.
Terhadap alat angkut dan barang bawaan penumpang dilakukan tindakan
desinseksi, disinfeksi dan/atau dekontaminasi..
b. Dari PLBD yang mempunyai akses dengan wilayah episenter PHEIC
Petugas karantina kesehatan melakukan pemeriksaan terhadap
penumpang dengan cara seluruh penumpang turun dari kendaraan
melewati pos karantina kesehatan.
Petugas karantina kesehatan memeriksa dokumen penumpang
termasuk HAC yang dibawa dari negara asal. dan melakukan
pemeriksaan kesehatan terhadap penumpang secara visual dan
pemeriksaan suhu tubuh.
Jika ditemukan alat angkut, orang dan barang yang berasal dari
negara terjangkit tapi tidak memiliki gejala klinis (terpapar PHEIC),
maka dilakukan tindakan karantina selama dua kali masa inkubasi
terhadap orang yang berasal dari negara terjangkit di wilayah PLBD
dan/atau di asrama karantina kesehatan.
Terhadap alat angkut dan barang yang berasal dari negara
terjangkit dilakukan desinseksi dan/atau disinfeksi dan/atau
dekontaminasi.
Jika ditemukan kasus (suspek) yang mengarah ke PHEIC dalam
alat angkut maka suspek tersebut dilakukan tindakan isolasi dan
dirujuk ke Rumah Sakit rujukan.
Terhadap penumpang lain yang sehat yang berada dalam satu
kenderaan tersebut dilakukan tindakan karantina selama dua kali
masa inkubasi.
Seluruh biaya penyelenggaraan akibat pelaksanaan karantina ini
menjadi tanggung jawab negara.
F. Upaya Pengawasan Terhadap Orang, Barang dan Alat Angkut Di
Wilayah Yang Berpontensi atau Sedang Terjadi Episenter PHEIC
45
Dalam IHR 2005 disebutkan bahwa seluruh negara anggota
Organisasi Kesehatan Dunia harus mampu mendeteksi dini dan merespon
cepat seluruh kejadian yang berpotensi PHEIC. Kemampuan deteksi dini dan
respon cepat tersebut harus bisa dimulai dari masyarakat, pelayanan
kesehatan setempat berjenjang sampai tingkat Pusat.
Tindakan penanggulangan episenter termasuk karantina rumah,
karantina wilayah adalah bagian dari respon cepat tersebut. Upaya Karantina
Kesehatan di wilayah meliputi :
Karantina Rumah
Karantina wilayah, termasuk pengawasan perimeter
Penemuan dan tatalaksana kasus
Rujukan dan isolasi kasus suspek
Surveilans Epidemiologi berupa pelacakan kasus dan kontak
Penyehatan lingkungan
Kewaspadaan universal
Penilaian cepat dan komunikasi risiko
F.1. Karantina Rumah
Tindakan karantina rumah dilaksanakan dalam suatu wilayah yang
berpotensi menjadi episenter PHEIC yaitu setelah ada sinyal awal adanya
penyakit menular yang dapat menyebabkan PHEIC setelah dilakukan
penyelidikan epidemiologi dan pemeriksaan cepat laboratorium oleh petugas
kesehatan yang mempunyai kompetensi dan kewenangan di wilayah
tersebut, yang tujuannya untuk mencegah penyebaran penyakit.
Adapun indikasi rumah yang harus dikarantina adalah di dalam rumah
tersebut terdapat satu atau lebih kasus suspek PHEIC. Upaya yang dilakukan
terhadap rumah dan orang di dalamnya yang terindikasi adalah sebagai
berikut:
Kasus suspek PHEIC dirujuk ke RS
46
Rumah dengan seluruh anggota keluarga yang tinggal dirumah tersebut
dilakukan karantina rumah sesuai prosedur yang ditetapkan
Kebutuhan pokok selama masa karantina rumah di tanggung oleh
Pemerintah daerah
F.2. Karantina Wilayah
Tindakan karantina wilayah adalah bagian dari respon dalam
kapasitas utama pada wilayah semua jenjang administrasi sesuai yang
disyaratkan IHR 2005, yang mencakup surveilans, pelaporan, verifikasi,
respons dan kerjasama dalam kegiatan dengan WHO dan dunia
internasional dengan menggunakan mekanisme kesehatan yang ada.
Peningkatan kemampuan utama diwilayah tersebut menjadi tanggung
jawab dan dilaksanakan bersama-sama oleh pemerintah, pemerintah daerah
dan melibatkan berbagai pihak yang terkait serta masyarakat. Apabila
dianggap perlu bisa diminta bantuan dunia internasional melalui WHO. Minta
bantuan kepada dunia internasional melalui WHO adalah sesuai dengan IHR
2005. Peningkatan kemampuan surveilans dalam rangka kewaspadaan dini
terhadap penyakit yang berpotensi KLB/wabah selama ini disempurnakan dan
diarahkan untuk bisa mendeteksi secara dini munculnya kejadian, penyakit
yang berpotensi PHEIC dengan menggunakan mengacu algoritma pada
lampiran 2 IHR 2005. Peningkatan tersebut terutama ditingkat lapangan
meliputi kemampuan petugas, mekanisme dan sarana komunikasi dalam
pelaporan serta Surveilans Epidemiologi harus berbasis masyarakat, maka
perlu peningkatan pemberdayaan masyarakat.
IHR 2005 Dalam Perspektif Pengamatan Penyakit dalam penerapan
IHR 2005 yang perlu mendapat perhatian dari perspektif pengamatan
terhadap kejadian KLB yang berpotensi PHEIC ialah :
Deteksi dini kejadian KLB yang berpotensi PHEIC.
Pencatatan, penilaian dan pelaporan cepat
Respon cepat termasuk verifikasi, tatalaksana kasus, dan rujukan kasus
Kerjasama dengan WHO, negara lain, dan badan internasional
Containment (pengurungan/karantina)
47
Tindakan Karantina Wilayah dilaksanakan dalam wilayah episenter
PHEIC dimulai setelah pemerintah menetapkan penanggulangan episenter
pada wilayah episenter PHEIC berdasarkan hasil verifikasi secara
epidemiologi dan laboratorium jika perlu bersama Organisasi Kesehatan
Dunia.
Pemerintah menetapkan batas wilayah penanggulangan berdasarkan
hasil verifikasi epidemiologis. Lamanya karantina wilayah tergantung
penyebabnya dan hasil analisa epidemiologi dan klinis yang ditetapkan oleh
pemerintah atas rekomendasi dari tim Penyelidikan Epidemiologi. Setelah 2
kali masa inkubasi dari kasus terakhir, maka tindakan karantina wilayah
dihentikan, tetapi surveilans epidemiologi aktif tetap dipertahankan selama
satu bulan.
Kegiatan Karantina wilayah meliputi pembatasan gerak orang, alat
angkut dan barang keluar dan kedalam suatu wilayah episenter PHEIC
melalui pengendalian perimeter dengan bantuan TNI dan POLRI,
Pembatasan kegiatan sosial dan keagamaan skala besar termasuk peliburan
sekolah, Dekontaminasi pada alat angkut dan barang serta penyehatan
lingkungan dalam wilayah episenter PHEIC.
Jika di wilayah episenter PHEIC terdapat wisatawan baik asing
maupun domestik, maka dilakukan tindakan karantina terhadap para
wisatawan tersebut sesuai dengan prosedur, Apabila tidak memungkinkan
dilakukan tindakan karantina terhadap para wisatawan tersebut di wilayah
episenter PHEIC, maka dapat dilakukan pemindahan wisatawan tersebut
untuk dikarantina di luar wilayah tersebut, dapat berupa hotel, mess dan lain-
lain yang memenuhi syarat. Dalam pelaksanaan berkaitan dengan wisatawan
asing berkoordinasi dengan pihak imigrasi dan kementerian luar negeri.
G. Karantina dan Isolasi Rumah Sakit
Dalam kondisi normal setiap RS khususnya RS rujukan penyakit
menular mempunyai ruang isolasi untuk pemeriksaan, pengobatan dan
perawatan pasien yang diduga maupun yang sudah pasti menderita penyakit
menular yang berpotensi menimbulkan KLB, Wabah , PHEIC
48
Apabila ruang isolasi dan kegiatan dalam ruang isolasi ternyata diduga
tidak mampu mencegah penularan penyakit sehingga diduga telah terjadi
penularan penyakit yang ada diruang isolasi tersebut keluar ruang isolasi
tetapi masih didalam rumah sakit, indikasi hal ini karena adanya tenaga
medis yang merawat pasien dalam ruang isolasi sakit dengan diagnosa
sementara dugaan penyakit yang ada dalam ruang isolasi . Maka rumah
sakit tersebut harus diberlakukan karantina rumah sakit
Apabila ruang isolasi dan kegiatan dalam ruang isolasi ternyata terbukti tidak
mampu mencegah penularan penyakit sehingga terbukti telah terjadi
penularan penyakit yang ada diruang isolasi tersebut keluar ruang isolasi,
karena adanya tenaga medis yang merawat pasien dalam ruang isolasi sakit
dengan diagnosa pasti penyakit yang ada dalam ruang isolasi . Maka rumah
sakit tersebut harus diberlakukan isolasi rumah sakit
Bentuk pelaksanaan Karantina maupun isolasi RS :
RS ditutup untuk semua kasus kecuali kasus rujukan PHEIC dan kasus
emergency yang tidak mungkin ditolak dengan risiko setelah kedaruratannya
di atasi, pasien tersebut harus dikarantina juga.
Upaya Kewaspadaan di RS
Apabila RS merawat pasien kasus penyakit menular PHEIC atau
berpotensi PHEIC, maka sejak menerima pasien tersebut harus dilakukan
upaya kewaspadaan secara bertahap sebagai berikut :
1. Sejak merawat pasien yang diduga penyakit menular PHEIC atau
berpotensi PHEIC maka harus :
a. Mulai menghitung kebutuhan (need assessment) terhadap sumber
daya yang dibutuhkan bila ternyata harus diberlakukan karantina
maupun isolasi RS
b. Pada pasien lain yang harus dilakukan rawat inap, maka dihimbau
terhadap pasien tersebut dan keluarganya untuk rawat inap di RS
lain .
2. Apabila hasil laboratorium pasien yang
diduga penyakit menular PHEIC atau berpotensi PHEIC ternyata positip
maka ada peningkatan upaya yaitu:
49
a. Mulai dipersiapkan ketersediaan sumber daya yang dibutuhkan dan
rencana operasional bila diberlakukan karantina maupun isolasi RS.
b. Pada pasien lain yang harus dilakukan rawat inap, maka pasien
tersebut dirujuk untuk rawat inap di RS lain
Pelaksanaan Penilaian Kebutuhan ( need assessment )
Petugas harus memahami secara detail pelaksanaan karantina maupun
isolasi RS , sehingga mampu menggali semua data dan informasi tentang
kebutuhan sumber daya misalnya kebutuhan hidup semua orang yang
dikarantina secara manusiawi, gudang logistik medis, non medis,
penempatan posko di RS, sarana akomodasi pengunjung RS dan petugas
yang harus dikarantina, pintu keluar masuk, serta dampak dari berbagai
aspek aktifitas sehari-hari yang mungkin timbul dan solusinya.
H. Pengawasan Karantina Kesehatan Di Terminal, Stasiun Kereta Api
Yang Mempunyai Akses Dengan Wilayah Episenter PHEIC
Setelah pemerintah menetapkan suatu wilayah dilakukan tindakan
karantina wilayah, maka masyarakat yang berada di wilayah tersebut tidak
diperbolehkan keluar masuk dari dan ke wilayah tersebut selama karantina
diberlakukan, dan orang yang berada di wilayah episenter PHEIC merupakan
faktor risiko yang dapat menyebarkan penyakit tersebut ke wilayah lain.
Untuk mencegah keluar masuknya masyarakat yang berada di
wilayah episenter PHEIC ke wilayah lain, perlu dilakukan pengawasan yang
ketat di terminal dan stasiun kereta api yang merupakan akses untuk
meninggalkan wilayah tersebut. Tujuan dari kegiatan ini adalah agar orang
yang berasal dari episenter PHEIC tidak meninggalkan wilayah tersebut dan
upaya mendukung dan memperlancar pemeriksaan di bandar udara,
pelabuhan dan PLBD.
Prinsip pengawasan di terminal bus, travel, dan stasiun Kereta Api
adalah selektif dan tidak menimbulkan kepanikan. Yang dimaksud selektif
ialah dilaksanakan di terminal bus dan stasiun sebagai berikut :
Dekat dengan wilayah episenter PHEIC
Punya akses langsung ke wilayah episenter PHEIC
Sebagai pintu keluar dan masuk dari dan ke pulau dan/atau negara .
50
Pengawasan hanya terhadap keberangkatan .
Prioritas pemeriksaan secara ketat ditujukan terhadap kendaraan bus atau
Kereta Api yang akan bertujuan ke pintu keluar pulau atau luar negeri
(misalnya, angkutan bandara) dilarang menaikkan penumpang dalam
perjalanannya.
Bentuk kegiatan yang dilakukan adalah :
Penyeleksian identitas seluruh orang yang memasuki terminal dan
stasiun kereta api,
Tindakan karantina terhadap orang yang sehat tapi berasal dari wilayah
episenter PHEIC
Tindakan isolasi bagi yang suspek penyebab PHEIC
Tindakan penyehatan terhadap alat angkut yang berasal dari wilayah
episenter PHEIC
I. Informasi Karantina Kesehatan
Informasi karantina kesehatan adalah laporan atau pemberitahuan
tentang keadaan suatu pelabuhan, bandar udara, pos lintas batas darat atau
wilayah disuatu negara, yang menyatakan keberadaan wilayah atau
pelabuhan tersebut sehat atau terjangkit PHEIC.
Informasi Karantina kesehatan meliputi informasi tentang PHEIC,
penyakit menular tertentu dan lain-lain yang berkaitan dengan karantina
kesehatan. Informasi Karantina kesehatan diselenggarakan oleh Pemerintah
Negara Republik Indonesia dan/atau jajarannya, dengan luar negeri atau
badan Internasional yang bertanggung jawab tentang karantina kesehatan,
yang penyelenggaraannya harus mengikuti peraturan Internasional, agar
dapat terlaksana pencegahan dan pemberantasan keluar masuknya PHEIC
dari dan/atau ke Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemerintah membangun berbagai alat dan/atau media pelaporan
beserta mekanisme pelaksanaannya baik tingkat Pusat, wilayah/daerah dan
di unit pelabuhan, bandar udara dan pos litas batas darat serta penggunaan
berbagai jenis media cetak/elektronik untuk menjamin terlaksananya
informasi karantina kesehatan kepada pihak-pihak yang memerlukan. Selain
itu Pemerintah berkewajiban menerbitkan secara berkala bulletin yang
menyajikan informasi karantina kesehatan secara nasional yang
51
berkesinambungan dan terus menerus. Bulletin tersebut disebarluaskan dan
dikirimkan kepada Organisasi Kesehatan Dunia, Badan-badan kesehatan
Internasional antar negara, perwakilan pemerintah Indonesia di luar negeri,
agen perjalanan wisata Nasional/Internasional, serta unit-unit organisasi lain
yang memerlukan.
Pemerintah Indonesia ikut menandatangani IHR 2005, maka semua
mekanisme dalam IHR 2005 tersebut diterapkan dalam Rancangan Undang-
Undang Karantina Kesehatan selama tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Penanggung jawab alat angkut, petugas di pelabuhan, bandar udara
dan pos lintas batas darat serta pemakai jasa pelabuhan, bandar udara dan
pos lintas batas darat apabila mengetahui atau patut mengetahui adanya
tersangka penderita PHEIC dan atau barang yang dicurigai harus melapor
selambat-lambatnya dalam waktu 12 (dua belas) jam sejak diketahuinya
kejadian tersebut kepada pejabat karantina kesehatan di pelabuhan, bandar
udara dan pos lintas batas darat
Laporan PHEIC menurut data epidemiologi meliputi waktu, tempat dan
penderita, secara rinci pedomannya ditetapkan oleh Menteri yang
membidangi kesehatan. Pada pelabuhan, bandar udara dan pos lintas batas
darat yang belum mempunyai pejabat karantina kesehatan laporan
disampaikan kepada penguasa pelabuhan, bandar udara dan pos lintas batas
darat untuk diteruskan kepada unit pelayanan kesehatan terdekat. Pejabat
karantina kesehatan di pelabuhan, bandar udara dan pos lintas batas darat
dan/atau unit pelayanan kesehatan segera melaporkan adanya tersangka
penderita PHEIC kepada Menteri melalui unit karantina kesehatan yang
membina wilayah tersebut.
Unit pelayanan kesehatan tersebut (misalnya Puskesmas)
bertanggung jawab untuk melakukan pembinaan upaya karantina kesehatan,
serta meneruskan laporan tersebut lebih lanjut kepada unit karantina
kesehatan terdekat yang bertanggung jawab untuk meneruskannya kepada
Menteri.
J. Jejaring Kerja Karantina Kesehatan
Jejaring Kerja Upaya Karantina Kesehatan berdasarkan tempat dibagi 2 :
52
1. Jejaring Kerja Upaya Karantina kesehatan di pintu masuk :
Dibagi 2, yaitu :
a. Di dalam lingkungan pintu masuk :
Kantor Kesehatan Pelabuhan
Syahbandar, Otoritas Pelabuhan dan Adbandara, Navigasi, Basarnas
Pengelola pintu masuk : Angkasa Pura, Pelindo, operator Swasta
Bea & Cukai
Imigrasi
Karantina Pertanian dan Karantina Perikanan
Kemananan : TNI dan POLRI
Assosiasi Pelayaran
Assosiasi Penerbangan
TKBM
Dan instansi lainnya
b. Di luar pintu masuk:
Pemerintah daerah termasuk dinas-dinas terkait
Sarana Pelayanan Kesehatan : Rumah Sakit, Puskesmas, Poliklinik
dan saryankes lainnya
Kantor Kesehatan Pelabuhan lainnya
Port Health Office di luar negeri
Keamanan : TNI dan POLRI
Badan-badan Internasional
Lembaga swadaya masyarakat
2. Jejaring Kerja Upaya Karantina kesehatan di wilayah
Puskesmas dan dinas-dinas terkait
Unit Pemerintahan mulai dari Toko Masyarakat, Toko
Agama, RT, RW, Dusun, Lurah/Desa, Camat, Kabupaten/ Kota,
Propinsi, Pusat
53
Rumah Sakit dan sarana-sarana pelayanan kesehatan
Pemerintah dan swasta
TNI dan POLRI
LSM, Swasta, Organisasi Profesi
Badan-badan Internasional
Dukungan berbagai pihak tersebut di atas diatur dalam peraturan
perundang-undangan dan pelaksanaan di lapangan mengikuti sistem
komando dan koordinasi di bawah penanggungjawab pelaksanaan karantina
kesehatan setempat yang telah ditetapkan oleh Pemerintah. Semua petugas
dari berbagai pihak tersebut di atas, dalam melaksanakan upaya
kekarantinaan mendapat jaminan perlindungan dari Pemerintah
K. Kelembagaan
Untuk menyelenggarakan karantina kesehatan Menteri dapat
membentuk pelaksana karantina kesehatan baik di Pusat, daerah di
pelabuhan, bandar udara dan pos lintas batas darat.
Kelembagaan yang dibentuk :
Tingkat Pusat ialah Badan Karantina Kesehatan
Tingkat Wilayah/Daerah ialah koordinator wilayah karantina kesehatan
(misalnya koordinator wilayah karantina kesehatan Indonesia Bagian
Barat/Tengah/Timur).
Tingkat Pelabuhan ialah Balai Besar/Balai Karantina Kesehatan dan
Tingkat Wilker ialah Stasiun Karantina Kesehatan
Organisasi tersebut haruslah mempunyai kewenangan dan
kemampuan secara Nasional dan Internasional dalam pencegahan keluar
masuknya penyakit dari dan ke Wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
a. Organisasi tingkat pusat/Badan karantina kesehatan berwenang
melakukan pengaturan dan penetapan kebijaksanaan teknis karantina
kesehatan.
54
b. Organisasi tingkat wilayah/daerah berkewenangan melakukan bimbingan
dan mengupayakan tersediaannya sumber daya (tenaga perawatan dan
lain-lain) diwilayahnya.
c. Organisasi tingkat pelabuhan/wilker berkewenangan melakukan kegiatan
teknis secara tepat dan melakukan program secara efektif dan effisien
55
L. Ketenagaan
Penyelenggaraan upaya karantina kesehatan dilaksanakan oleh
tenaga karantina kesehatan yaitu tenaga kesehatan yang profesional dan
terlatih sesuai dengan persyaratan yang ditentukan dan berstatus Pegawai
Negeri Sipil. Tenaga yang profesional adalah tenaga yang telah berijazah
pendidikan formal pada bidang kesehatan dan telah mendapat pelatihan
teknis fungsional di dalam dan luar negeri, untuk menjamin kemampuan
(pengetahuan dan keterampilan) secara Internasional.
Pemerintah menjamin tersedianya tenaga untuk penyelenggaraan
upaya karantina kesehatan, melalui pendidikan, pelatihan serta bimbingan
dan pengawasan yang bermutu. Jenis tenaga yang diperlukan adalah tenaga
dalam bidang survailans, tenaga pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan
lingkungan, tenaga farmasi dengan kemampuan teknis yang memadai yang
diperoleh melalui pendidikan/pelatihan nasional dan internasional. Menteri
Kesehatan menetapkan tenaga karantina kesehatan yang bertugas
melakukan pengawasan untuk menjamin terselenggaranya semua kegiatan
upaya karantina kesehatan.
M. Tindakan Penyehatan Terhadap Alat Angkut TNI dan POLRI
Tindakan penyehatan terhadap alat angkut TNI dan/atau POLRI
berlaku pula ketentuan yang sama dengan alat angkut pada umumnya. Yang
dimaksud dengan alat angkut TNI dan/atau POLRI misalnya kapal perang,
kapal selam, pesawat angkut TNI dan/atau POLRI dan lainnya.
N. Biaya, Tunjangan dan Asuransi Risiko Kerja
Terhadap pelaksanaan tindakan penyehatan dipungut biaya yang
hasilnya dinyatakan sebagai pendapatan negara bukan pajak. Biaya tersebut
meliputi: biaya operasional petugas, biaya untuk bahan dan alat yang
dipergunakan dalam tindakan penyehatan.
Kepada petugas karantina kesehatan tertentu di pelabuhan, bandar
udara dan pos lintas batas darat diberikan tunjangan dan asuransi risiko
kerja. Tunjangan dan asuransi risiko kerja merupakan imbalan atas risiko
kecelakaan dan kerusakan organ perorangan yang dialami petugas pada
56
pelaksanaan upaya karantina kesehatan dan tindakan penyehatan seperti
pada pengawasan dari pelaksanaan fumigasi, tertular penyakit pada saat
pelayanan penderita atau tersangka, jatuh ke laut pada saat melakukan
pengawasan/pemeriksaan kapal dalam karantina dan risiko kerja lainnya.
Yang dimaksud dengan petugas karantina kesehatan tertentu adalah
petugas karantina yang dalam melaksanakan tugasnya menanggung risiko
meninggal, cacat atau sakit, bertugas di pos lintas batas darat negara serta
kepulauan terpencil/ terluar .
Upaya karantina di lapangan banyak mengandung risiko kerja berhubung :
pekerjaan dilakukan di kapal/kendaraan;
lokasinya jauh dari daratan bahkan kadang terpencil;
waktu bekerja 24 jam;
peralatan perlu dioperasikan dengan penuh perhatian;;
bekerja menggunakan bahan berbahaya/ racun;
selalu bekerja dengan alat pengangkutan yang tidak memiliki safety
dan lain-lain.
Jadi kecelakaan kerja selalu mengancam, oleh karena itu bagi petugas
karantina perlu adanya tunjangan atau jika terjadi risiko kerja yang
membahayakan jiwa petugas atau berakibat cacat, maka perlu ada
kompensasi atau ganti rugi yang sepantasnya. Tarif, tunjangan dan asuransi
risiko kerja ditetapkan oleh Menteri Kesehatan dengan persetujuan Menteri
Keuangan.
57
Penyelenggaraan karantina di Indonesia terbagi dalam dua bagian besar
yaitu penyelenggaraan karantina kesehatan untuk penyakit yang berkaitan
dengan manusia dan praktik penyelenggaraan yang berkaitan dengan
penyakit hewan, ikan dan tumbuhan. Penyelenggaraan keduanya dilakukan
secara berbeda dan dilakukan oleh instansi yang berbeda-beda pula.
Praktik penyelenggaraan karantina kesehatan dilakukan oleh
kementerian Kesehatan, sedangkan penyelenggaraan karantina hewan dan
tumbuhan oleh Kementerian Pertanian serta penyelenggaraan karantina ikan
oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan.
2. Kondisi Hukum Saat ini
Pengaturan mengenai karantina kesehatan telah dilakukan sejak
masa Kolonial Belanda melalui ..... Quarantine. Kemudian pada tahun 1962
diterbitkan UU No.1 Tahun 1962 tentang Karantina laut dan UU No.2 Tahun
1962 tentang Karantina Udara. Pengaturan kedua undang-undang tersebut
masih didasarkan pada ISR (internasional sanitary regulation 1953). Dengan
dasar tersebut pengaturan karantina nasional dibuat. Akan tetapi sejak tahun
1968 ISR telah diganti dengan IHR (Internasional Health Regulation 1968).
Ketentuan-ketentuan dalam ISR telah berubah cukup drastis dengan
lahirnya IHR 1968. Perubahan-perubahan tersebut belum diadopsi dalam
peraturan perundang-undangan karantina nasional. Oleh karena itu sudah
selayaknya pengaturan nasional dibidang karantina kesehatan segera
dilakukan perubahan mengingat semakin besarnya kemungkinan penyebaran
penyakit menular akhir-akhir ini.
Di samping itu dalam pengaturan karantina kesehatan belum
mengatur karantina kesehatan di darat (wilayah perbatasan darat), untuk itu
pengaturan karantina di wilayah perbatasan darat.
3. Perbandingan Penyelenggaraan Karantina Kesehatan di Beberapa
Negara
a. Kawasan Asia Tenggara
4. Permasalahan Penyelenggaraan
58
Bidang kesehatan termasuk salah satu dari urusan yang diserahkan
kepada daerah (otonomi) untuk menjadi urusan rumah tangga daerah.
Sementara penanganan karantina kesehatan memerlukan koordinasi secara
komprehensif dari Pusat hingga daerah. Permasalahannya adalah koordinasi
antara Pusat dan daerah dibidang karantina kesehatan masih sangat lemah.
D. Implikasi
1. Hukum
Pengaturan karantina kesehatan apakah akan disatukan dengan
pengaturan karantinan hewan, ikan dan tumbuhan. Hal ini penting karena
penyebaran penyakit kepada manusia dapat berasal dari hewan, ikan dan
tumbuhan sangat memungkinkan.
2. Keuangan Negara
Pada dasarnya dengan adanya ketentuan baru, apakah diperlukan
adanya pembentukan tempat karantina baru atau justru pembatasan tempat
pemasukan atau pengeluaran barang atau orang, semuanya perlu antisipasi
pembiayaannya.
Pemberian tunjangan resiko bagi pegawai yang ditempatkan perlu
diketahui apa saja pembiayaan yang diperlukan dan mengapa.
3. Sosial
Adanya kemungkinan pemeriksaan yang lebih ketat atau pembatasan
tempat pemasukan dan pengeluaran barang, apakah dampaknya bagi
masyarakat.
59
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
A. Tinjauan Umum Undang-Undang Nomor 1 dan 2 Tahun 1962
A.1 Pengertian
1. Pengertian-pengertian tentang Karantina Lauti
a. Penyakit karantina ialah :
Pes (Plaque)
Kolera (Cholera)
Demam kuning (Yellow fever)
Cacar (Smallpox)
Typhus bercak wabah - Typhus
exanthematicus infectiosa (Louse borne Typhus)
Demam balik-balik (Louse borne
Relapsing fever)
b. Masa tunas penyakit karantina ialah untuk :
Pes : 6 hari
Kolera : 5 hari
Demam kuning : 6 hari
Cacar : 14 hari
Typhus bercak wabah : 14
hari
Demam balik-balik : 14 hari
c. Tindakan karantina : ialah tindakan-tindakan terhadap kapal beserta
isinya dan daerah pelabuhan untuk mencegah penjangkitan dan
penjalaran penyakit karantina.
d. Dalam karantina : ialah suatu keadaan kapal yang berada di suatu
tempat yang tertentu untuk dapat menyelenggarakan tindakan karantina.
e. Isyarat karantina : ialah isyarat menurut buku “Peraturan Isyarat
Internasional”.
60
f. Pemeriksaan kesehatan : ialah pengunjungan dan pemeriksaan
kesehatan oleh dokter pelabuhan dan/atau stafnya terhadap keadaan
kapal dengan isinya.
g. Wabah : ialah penjalaran atau penambahan banyaknya peristiwa
penyakit karantina.
h. Seorang terjangkit : ialah seorang yang menderita atau yang dianggap
oleh dokter pelabuhan menderita penyakit karantina.
i. Seorang tersangka : ialah seorang yang dianggap oleh dokter
pelabuhan telah mengalami kemungkinan ketularan suatu penyakit
karantina.
j. Pelabuhan : ialah suatu daerah yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai
tempat kapal berlabuh.
k. Kapal : ialah semua alat pengangkut, juga termasuk kepunyaan
Angkatan Bersenjata, yang dapat berlayar
l. Awak kapal : ialah para pegawai suatu kapal yang dipekerjakan untuk
bertugas di atasnya.
m. Dokter pelabuhan : ialah dokter yang berwenang untuk menjalankan
Undang-undang ini.
n. Isolasi : ialah pengasingan seseorang atau beberapa orang dari yang
lain dalam suatu stasiun karantina, rumah sakit, atau tempat lain oleh
dokter pelabuhan untuk mencegah penularan penyakit.
o. Pengawasan : ialah suatu tindakan karantina yang mewajibkan
seseorang memenuhi syarat-syarat tertentu sehingga ia dapat
melanjutkan perjalanannya.
p. Surat keterangan kesehatan : ialah keterangan kesehatan yang harus
diberikan kepada dokter pelabuhan oleh nahkoda mengenai keadaan
kesehatan di kapal yang memenuhi syarat-syarat internasional.
2. Pengertian-pengertian tentang Karantina Udara
a. Penyakit karantina ialah :
Pes (Plaque)
Kolera (Cholera)
Demam kuning (Yellow fever)
Cacar (Smallpox)
61
Typhus bercak wabahi - Typhus exanthematicus infectiosa (Louse
borne Typhus)
Demam balik-balik (Louse borne Relapsing fever)
b. Masa tunas penyakit karantina ialah untuk :
Pes : 6 hari
Kolera : 5 hari
Demam kuning : 6 hari
Cacar : 14 hari
Typhus bercak wabah : 14 hari
Demam bolak-balik : 8 hari
c. Tindakan karantina : ialah tindakan-tindakan terhadap pesawat udara
beserta isinya dan daerah pelabuhan untuk mencegah penjangkitan dan
penjalaran penyakit karantina.
d. Dalam karantina : ialah suatu keadaan pesawat udara yang berada di
suatu tempat yang tertentu untuk dapat menyelenggarakan tindakan
karantina.
e. Isyarat karantina : ialah isyarat menurut buku “Peraturan Isyarat
Internasional”.
f. Pemeriksaan kesehatan : ialah pengunjungan dan pemeriksaan
kesehatan oleh dokter pelabuhan dan/atau stafnya terhadap keadaan
pesawat udara dengan isinya.
g. Wabah : ialah penjalaran atau penambahan banyaknya peristiwa
penyakit karantina.
h. Seorang terjangkit : ialah seorang yang menderita atau yang dianggap
oleh dokter pelabuhan menderita penyakit karantina.
i. Seorang tersangka : ialah seorang yang dianggap oleh dokter
pelabuhan telah mengalami kemungkinan ketularan suatu penyakit
karantina.
j. Pelabuhan udara : ialah suatu daerah (di daratan/di air/di sungai) yang
ditetapkan oleh pemerintah sebagai tempat untuk berlabuh sebuah
pesawat udara, baik untuk mendarat maupun untuk bersinggah dalam
perjalanan internasional.
62
k. Pesawat udara : ialah semua alat pengangkut (juga termasuk kepunyaan
Angkatan Bersenjata) yang dapat bergerak dari atas tanah/air, ke
udara/ke ruang angkasa atau sebaliknya.
l. Awak pesawat udara : ialah orang-orang yang mempunyai tanda bukti
kecakapan dan melakukan tugas tertentu yang berhubungan dengan
operasi pesawat udara selama penerbangan.
m. Syahbandar: ialah seorang yang mempunyai tugas dan wewenang
penuh dalam penguasaan dan pengawasan pelabuhan udara/lapangan
terbang mengenai semua aspek-aspeknya.
n. Dokter pelabuhan : ialah dokter yang berwenang untuk menjalankan
Undang-undang ini.
o. Daerah rentan demam kuning : ialah suatu daerah dimana tidak ada
virus demam kuning, tetapi ada vektornya yang dapat menjalarkan
penyakit tersebut, jika virus itu dimasukkan.
p. Isolasi : ialah pengasingan seseorang atau beberapa orang dari yang
lain dalam suatu stasiun karantina, rumah sakit, atau tempat lain oleh
dokter pelabuhan untuk mencegah penularan penyakit.
q. Pengawasan karantina : ialah suatu tindakan karantina yang
mewajibkan seseorang memenuhi syarat-syarat tertentu sehingga ia
dapat melanjutkan perjalanannya.
r. Surat keterangan kesehatan pesawat udara : ialah keterangan
kesehatan yang harus diberikan kepada dokter pelabuhan oleh nahkoda
mengenai keadaan kesehatan di pesawat udara yang memenuhi syarat-
syarat internasional
B. Undang-Undang Yang Terkait Dengan Karantina Kesehatan
B.1. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit
Menular
Dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1984 Bab I, Pasal 1 yang
dimaksud wabah adalah kejadian berjangkitnya status penyakit menular
dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata
melebihi dari pada keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta
dapat menimbulkan petaka. Sementara menurut Peraturan Pemerintah
63
Nomor 40 Tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular
dalam Bab I, Pasal 1 (7) Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya atau
meningkatnya kejadian kesakitan / kematian yang bermakna secara
epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu, dan merupakan
keadaan yang dapat menjurus pada terjadinya wabah.
Adapun menurut sumbernya secara garis besar KLB dapat
digolongkan sebagai berikut:
a. KLB yang bersumber dari manusia, misalnya melalui muntahan, tinja dan
air seni
b. KLB yang bersumber dari kegiatan manusia misalnya pencemaran,
tempe bongkrek
c. KLB yang bersumber dari binatang & serangga misalnya binatang
piaraan, ikan, binatang mengerat, lalat, kecoa
d. KLB yang bersumber dari air mislanya vibrio, salmonella
e. KLB yang bersumber dari makanan/minuman misalnya keracunan.
Peran hewan dalam menimbulkan KLB ternyata sangat besar, baik
penyakit-penyakit klasik yang ditularkan melalui binatang seperti penyakit
DBD, Malaria, Rabies, Pes maupun penyakit yang relatip baru ditemukan
seperti Avian Influenza.
Dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1984 Bab V Pasal 5 ayat 1
tentang Upaya penanggulangan Wabah meliputi:
a. Penyelidikan epidemiologi
b. Pemeriksaan, pengobatan, perawatan dan isolasi penderita termasuk
karantina.
c. Pencegahan dan pengebalan
d. Pemusnahan penyebab penyakit
e. Penanganan jenazah akibat wabah
f. Penyuluhan kepada masyarakat
g. Upaya penanggulangan lainya.
Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991,
Pasal 20 disebutkan bahwa upaya penanggulangan KLB diperlakukan sama
dengan upaya penanggulangan wabah.
64
Terkait dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 dalam hal
penanggulangan wabah atau KLB dapat disampaikan beberapa hal sebagai
berikut:
a. Penyelidikan epidemiologi
Tindakan penyelidikan epidemiologi bertujuan untuk mengetahui sebab
penyakit, menentukan faktor risiko, mengetahui kelompok masyarakat
yang rentan / terancam serta menentukan cara penanggulangan. Dalam
hal faktor risiko sangat mungkin faktor risiko tersebut terdapat pada
hewan ikan atau tumbuhan. Sebagai contoh pada saat KLB Avian
Influenza pada manusia, maka salah satu faktor risikonya adalah
binatang unggas. Kegiatan penyelidikan epidemiologi dilakukan melalui
pengumpulan data kesakitan maupun kematian, pemeriksaaan klinis
maupun laboratorium serta pemeriksaan terhadap makluk/benda lain
yang diduga mengandung penyebab penyakit termasuk hewan, ikan dan
tumbuhan.
b. Pemeriksaan, pengobatan, perawatan dan isolasi penderita
termasuk karantina.
Pemeriksaan dan isolasi, karantina perlu dilakukan bila ada ancaman
kemungkinan penyebaran penyakit tersebut ke daerah lain. Bahkan
sangat dimungkinkan diilakukan karantina wilayah bagi suatu daerah
apabila memang dianggap perlu. Upaya ini dilakukan untuk mencegah
keluar masuknya penyakit dari atau ke suatu daerah.
c. Pemusnahan penyebab penyakit
Upaya pemusnahan terhadap penyebab penyakit dapat dilakukan
terhadap:
Bibit penyakit atau kumannya
Hewan, tumbuh-tumbuhan atau benda lain yang mengandung bibit
penyakit
Perlu diperhatikan bahwa upaya pemusnahan harus dilakukan dengan
cara tidak merusak lingkungan dan tidak menyebabkan tersebarnya bibit
penyakit.
65
B.2.Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
istilah karantina terdapat di bagian kedelapan tentang pemerantasan
penyakit. Pasal 30 berbunyi pemberantasan penyakit menular dilaksanakan
dengan upaya penyuluhan, penyelidikan, pengebalan, menghilangkan
sumber dan perantara penyakit, tindakan karantina, dan upaya lain yang
diperlukan. Sedangkan Pasal 31 Pemberantasan penyakit menular yang
dapat menimbulkan wabah dan penyakit karantina dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. Dari 2 (dua) pasal ini
tergambar bahwa upaya karantina lebih ditekankan pada jenis-jenis penyakit
menular yang dapat / berpotensi dapat menimbulkan Kejadian Luar Biasa
(KLB) atau Wabah. Adapun tentang penanggulangan wabah diatur secara
rinci dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1984 serta Peraturan Pemerintah
Nomor 41 Tahun 1991. Adapun khusus tentang karantina maka di sektor
kesehatan terdapat dua undang-undang yang mengatur karantina
sehubungan dengan upaya mencegah keluar dan masuknya penyakit.
Undang-undang tersebut adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962
tentang Karantina Laut dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang
Karantina Udara.
B.3.Keterkaitan Antara Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 Tentang
Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan dan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1962 Tentang Karantina Laut dan Undang-undang Nomor 2
Tahun 1962 Tentang Karantina Udara
Dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 mengatur mengenai
Karantina, yaitu pada Pasal 20 ayat (2), di mana dalam penjelasannya
disebutkan Karantina merupakan salah satu upaya pencegahan masuknya
penyakit hewan. Sementara dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992
disebutkan pada Pasal 1 point 2 "Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan
adalah tindakan sebagai upaya pencegahan masuk dan tersebarnya hama
dan penyakit hewan."
Pada Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 dalam Pasal 20 ayat (1)
66
disebutkan mengenai "penolakan penyakit hewan" yang meliputi kegiatan-
kegiatan penolakan penyakit hewan. "Penolakan penyakit hewan" di sini
dimaksudkan sebagai suatu subsistem dari "sistem kesehatan hewan".
Kemudian dijabarkan dalam penjelasan bahwa subsistem penolakan meliputi
hal-hal sebagai berikut:
a. pelarangan masuknya jenis ternak tertentu dari daerah tertentu yang
terkenal sebagai sumber sesuatu penyakit;
b. pelarangan pemasukan bahan-bahan makanan berasal dari ternak yang
dapat dianggap sebagai bahan penyebar penularan, begitu juga alat-alat
yang dapat dipakai pemiaraan hewan, seperti pakaian, tali dan lain-
lainnya, makanan ternak seperti rumput (kering), makanan penguat dan
lain-Iainnya, atau bagian-bagian hewan seperti kulit, tulang, bulu, dan
lain-Iainnya;
c. pemeriksaan kapal-kapal yang akan berlabuh.
Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 pada Pasal
10 huruf a jo Pasal 11 terdapat istilah pemeriksaan yang dapat diartikan
pemeriksaan terhadap dokumen dan media pembawa penyakit hewan yang
ada di atas kapal yang akan berlabuh. Selain itu pada Pasal 10 huruf f jo
Pasal 15 terdapat tindakan penolakan yang baru dilakukan apabila tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 15.
Dari beberapa hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian istilah
“penolakan” di dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 dan Undang-
undang Nomor 16 Tahun 1992 mempunyai makna yang berbeda:
a. "penolakan" dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 dimaksudkan
sebagai salah satu subsistem dari sistim kesehatan hewan, yang artinya
"karantina hewan".
b. "penolakan" dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 dimaksudkan
sebagai salah satu "tindakan karantina", yang dilakukan mana kala:
1) Setelah dilakukan pemeriksaan diatas alat angkut, tertular hama dan
penyakit hewan karantina tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah,
atau busuk, atau rusak, atau merupakan jenis-jenis yang dilarang
pemasukannya;
2) Persyaratan a) dilengkapi sertifikat kesehatan dan dari negara/area
asal; b) melalui tempat-tempat pemasukan yang telah ditetapkan; c)
67
dilaporkan dan serahkan kepada petugas karantina di tempat-tempat
pemasukan untuk keperluan tindakan karantina; tidak seluruhnya
dipenuhi;
3) Setelah dilakukan penahanan pasca pemeriksaan dokumen,
keseluruhan persyaratan yang harus dilengkapi dalam batas waktu
yang ditetapkan tidak dapat dipenuhi; atau
4) Setelah diberi perlakuan diatas alat angkut, tidak dapat
disembuhkandan/atau disucihamakan dari hama dan penyakit hewan
karantina.
Oleh karena itu, dalam peraturan pelaksanaan Undang-undang
Nomor 16 Tahun 1992 yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2000
tentang Karantina Hewan (Pasal 96), ketentuan yang mengatur penolakan
dan karantina hewan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1977
(peraturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967) tentang
Penolakan, Pencegahan, Pemberantasan dan Pengobatan Penyakit Hewan
dinyatakan tidak berlaku. Jadi secara kesisteman, “penolakan dari karantina
hewan" merupakan salah satu subsistem dari sistim kesehatan hewan yang
diatur di dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967, namun segala sesuatu
mengenai karantina hewan telah diatur dalam suatu Undang-undang yaitu
Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992.
Memang betul bahwa ketentuan Peraturan Pemerintah (Peraturan
Pemerintah Nomor 82 Tahun 2000) tidak dapat mengubah ketentuan
Undang-undang (dalam hal ini Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967). Tapi
berdasarkan asas ius apriori derogat ius posteriori (ketentuan Undang-
undang yang baru mengalahkan ketentuan Undang-undang yang lebih lama).
Ketentuan-ketentuan tentang penolakan dan karantina dalam Undang-undang
Nomor 6 Tahun 1967 tidak berlaku lagi dengan diundangkannya Undang-
undang Nomor 16 Tahun 1992.
B.4.Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
68
Keimigrasian, yaitu masalah lalu lintas orang masuk atau ke luar
wilayah negara Republik Indonesia dan pengawasan orang asing di wilayah
Indonesia.1
Pada Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 poin 15 disebutkan bahwa
“Karantina Imigrasi adalah tempat penampungan sementara bagi orang asing
yang dikenakan proses pengusiran atau deportasi atau tindakan keimigrasian
lainnya.
Selanjutnya, pada poin 16 disebutkan bahwa “Pengusiran atau
deportasi adalah tindakan mengeluarkan orang asing dari wilayah Indonesia
karena keberadaannya tidak dikehendaki”.
B.5.Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup
Undang-undang ini mengatur mengenai pengelolaan lingkungan hidup
agar dapat dimanfaatkan secara lestari dan terjaga fungsinya sehingga dapat
mensejahterakan kehidupan rakyat Indonesia. Dalam batang tubuhnya
mengatur pula mengenai sanksi bagi orang atau badan hukum yang dalam
kegiatannya merusak lingkungan, sanksi tersebut melingkupi sanksi
administratif maupun sanksi pidana.
Beberapa ketentuan yang terkait adalah sebagai berikut:
a. Pasal 6 ayat (1)
Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan
hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan
lingkungan hidup.
b. Pasal 6 ayat (2)
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban
memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan
lingkungan hidup.
c. Pasal 8 ayat (2) huruf b
1 R. Falix Hadi Mulyanto dan Endar Sugiarto, Pabean Imigrasi dan Karantina, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1997, hlm. 35.
69
Mengatur penyediaan, peruntukan, penggunaan, pengelolaan lingkungan
hidup, dan pemanfaatan kembali sumber daya alam, termasuk sumber
daya genetika.
d. Pasal 8 ayat (2) huruf c
Mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang dan/atau
subyek hukum lainnya serta perbuatan hukum terhadap sumber daya
alam dan sumber daya buatan, termasuk sumber daya genetik.
Keterkaitan antara undang-undang ini dengan perlindungan varietas
tanaman adalah bahwa dalam pembuatan suatu varietas baru diperlukan
sumber daya genetik tanaman yang dapat berasal dari alam, penggunaan
sumber daya genetik tanaman ini jangan sampai merusak ekosistem alami di
mana sumber daya genetik tersebut berada. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa keterkaitan yang paling erat adalah bahwa penggunaan
sumber daya genetik untuk kepentingan pemuliaan jangan sampai merusak
lingkungan (mengubah keseimbangan ekosistem). Selain itu undang-undang
ini juga mengatur hubungan hukum antara orang dan subyek hukum, yaitu
dalam penggunaan sumber daya genetik tanaman untuk pemuliaan tanaman
harus pula memperhatikan hak ekonomi dari masyarakat yang secara turun
temurun telah membudidayakan sumber daya genetik tanaman tersebut.
B.6.Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
Keterkaitan undang-undang ini dengan perlindungan varietas tanaman
adalah bahwa dalam Pasal 8 undang-undang ini diatur pula mengenai
penggunaan hutan sebagai tempat penelitian dan pengembangan, karena
pemuliaan dalam rangka perakitan suatu varietas baru harus melalui proses
penelitian dan pengembangan. Selain di dalam hutan lindung juga merupakan
tempat di mana sumber daya genetik bagi perakitan suatu varietas baru dapat
ditemukan. Undang-undang ini tidak melarang malahan mendorong agar
dilakukan penelitian dan pengembangan yang dapat menghasilkan ilmu
pengetahuan yang bermanfaat di bidang kehutanan. Keterkaitan yang erat
adalah pada sumber daya genetik yang ada di dalam hutan yang dapat
menjadi bahan bagi perakitan suatu varietas baru.
70
B.7.Undang-undang Nomor 29 Tahun 2000 Tentang Perlindungan
Varietas Tanaman
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai perlindungan Varietas
Tanaman terlebih dahulu harus diketahui beberapa peraturan perundang-
undangan yang sudah ada yang terkait dengan perlindungan varietas
tanaman. Seperti diketahui dalam Undang-undang Nomor 29 Tahun 2000
tentang Perlindungan Varietas Tanaman secara umum diatur mengenai
perlindungan terhadap hak intelektual dari pemulia tanaman. Walaupun
secara asas pengaturan hak PVT ini hampir sama dengan pengaturan di
bidang Paten namun ada beberapa hal yang secara khusus karena sifatnya
sehingga diatur berbeda dengan ketentuan yang ada di dalam Paten,
berkaitan dengan hal tersebut perlu untuk melihat beberapa peraturan
perundang-undangan yang terkait khususnya di bidang pertanian.
Beberapa perundangan yang terkait di bidang pertanian adalah:
a. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya
Tanaman.
b. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2006 tentang Pengesahan International
Treaty on Plant Genetic Resources For Food and Agriculture.
Sementara beberapa peraturan perundang-undangan lain di luar
bidang pertanian akan tetapi sangat berpengaruh dalam pengaturan
perlindungan Varietas Tanaman adalah sebagai berikut:
a. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya.
b. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United
Nations Convention on Biological Diversity.
c. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement
Establishing The World Trade Organization.
d. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
e. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
f. Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten.
g. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2004 tentang Pengesahan Cartagena
Protokol on Biosafety To The Convention on Biological Diversity (Protokol
71
Kartagena tentang Keamanan Hayati Atas Konvensi tentang
Keanekaragaman Hayati).
Beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
Perlindungan Varietas Tanaman. Dalam bagian ini melihat keterkaitan antara
Undang-undang di bidang perlindungan varietas tanaman dengan perundang-
undangan lain yang terkait baik di bidang pertanian maupun di luar pertanian.
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya
Tanaman mengatur pula mengenai pemulian tanaman sebagaimana diatur
dalam Undang-undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas
Tanaman, akan tetapi pengaturan tersebut baru pada pemuliaan dan
pemanfaatan pemuliaan untuk meningkatkan produk pertanian. Beberapa
pengaturan ini dapat dilihat pada pasal-pasal berikut ini:
Pasal 1 angka 3 Pemuliaan tanaman adalah rangkaian kegiatan untuk
mempertahankan kemurnian jenis dan/atau varietas yang sudah ada atau
menghasilkan jenis dan/atau varietas baru yang lebih baik;
Pasal 1 angka 5 Varietas adalah bagian dari suatu jenis yang ditandai
oleh bentuk tanaman, pertumbuhan, daun, bunga, buah, biji, dan sifat-
sifat lain yang dapat dibedakan dalam jenis yang sama;
Pasal 8 Perolehan benih bermutu untuk pengembangan budidaya
tanaman dilakukan melalui kegiatan penemuan varietas unggul dan/atau
introduksi dari luar negeri;
Pasal 9 ayat (1) Penemuan varietas unggul dilakukan melalui kegiatan
pemuliaan tanaman;
Pasal 9 ayat (2) Pencarian dan pengumpulan plasma nutfah dalam
rangka pemuliaan tanaman dilakukan oleh Pemerintah;
Pasal 10 ayat (1) Introduksi dari luar negeri dilakukan dalam bentuk benih
atau materi induk untuk pemuliaan tanaman;
Pasal 10 ayat (2) Introduksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
dilakukan oleh Pemerintah dan dapat pula dilakukan oleh perorangan
atau badan hukum;
Pasal 11 Setiap orang atau badan hukum dapat melakukan pemuliaan
tanaman untuk menemukan varietas unggul;
i
72
Pasal 12 ayat (1) Varietas hasil pemuliaan atau introduksi dari luar negeri
sebelum diedarkan terlebih dahulu dilepas oleh pemerintah;
Pasal 12 ayat (2) Varietas hasil pemuliaan atau introduksi yang belum
dilepas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilarang diedarkan.
Dari pasal-pasal tersebut di atas pemuliaan yang diatur dalam Undang-
undang Nomor 12 Tahun 1992 adalah pemuliaan yang ditujukan untuk
meningkatkan produksi pertanian, selain itu varietas hasil pemuliaan sebelum
diedarkan harus dilepas untuk menjamin bahwa varietas hasil pemuliaan
tersebut memang berkualitas dan apabila digunakan dapat meningkatkan
hasil produksi pertanian. Dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 juga
diberikan kebebasan untuk badan hukum maupun orang perseorangan untuk
melakukan pemuliaan. Sedangkan mengenai bahan untuk pemuliaan
tanaman dapat berasal dari plasma nutfah/sumber daya genetik yang ada di
dalam negeri maupun introduksi dari luar negeri. Introduksi dari luar negeri
hanya dapat dilakukan untuk kepentingan penelitian dan pemuliaan. Demikian
beberapa ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun
1992 yang terkait dengan PVT.
B.8.Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten
Perlindungan varietas tanaman merupakan sui generis dari paten,
sehingga pengaturan dari perlindungan varietas tanaman menggunakan
prinsip-prinsip yang terdapat pada paten. Seperti yang telah diuraikan di atas
bahwa sebagai konsekuensi dari pengesahan Agreement Establishing The
World Trade Organization (WTO), maka Indonesia terikat dengan ketentuan
yang terdapat dalam perjanjian-perjanjian yang ada di dalam GATT 1994
termasuk di dalamnya Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual
Property Rights (TRIPs) di mana dalam Pasal 27 paragraf 3 hurub b setiap
negara anggota diwajibkan untuk mengatur mengenai penemuan varietas
baru baik melalui paten ataupun suigenerisnya. Indonesia menganut sistem
dual protection di mana paten dan perlindungan varietas tanaman dibedakan
pengaturannya. Perlindungan varietas tanaman yang merupakan sui generis
dari paten mempunyai pengaturan yang sama hal ini tercermin dari apa yang
diatur sebagai varietas turunan esensial, yang dalam paten dapat disebut
sebagai paten sederhana, demikian pula dengan pendaftaran dalam
73
perlindungan varietas tanaman dikenal pendaftaran dengan hak prioritas
demikian pula dengan paten ada pendaftaran yang dilakukan dengan hak
prioritas.
B.9.Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah
Pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangannya, kecuali urusan politik luar negeri, pertahanan
keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama yang tetap
menjadi urusan pemerintah pusat. Penyelenggaraan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan daerah tersebut, dilaksanakan oleh daerah
berdasarkan asas otonomi seluas-luasnya dan tugas pembantuan.
Sebagaimana disebutkan dalam pasal 2 ayat (3) menyatakan
“Pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjalankan
otonomi daerah seluas-luasnya, kecuali urusan Pemerintah, dengan tujuan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing
daerah”.
Selanjutnya, dalam pasal 13 ayat (1) menyatakan bahwa “Urusan wajib
yang menjadi kewenangan Pemerintahan Daerah Provinsi merupakan urusan
dalam skala provinsi yang meliputi pembangunan di bidang kesehatan”.
Berdasarkan kedua pasal tersebut, Pemerintahan Daerah berwenang untuk
menangani bidang kesehatan.
B.10.Undang-Undang No.24 tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana
Dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 Pasal 1 ayat (3)
disebutkan bahwa bencana non alam adalah bencana yang disebabkan oleh
peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal
modernisasi,epidemi, dan wabah penyakit.
Sedangkan pada pasal 50, ayat (1d) disebutkan bahwa dalam hal
status keadaan darurat bencana ditetapkan, Badan Nasional
Penanggulangan Bencana dan badan penanggulangan bencana daerah
mempunyai kemudahan akses yang meliputi imigrasi, cukai, dan karantina.
Dalam hal pemenuhan kebutuhan dasar pada saat penyelenggaraan
penanggulangan bencana , meliputi bantuan (a) kebutuhan air bersih dan
74
sanitasi; (b) pangan ; (c) sandang ;(d) pelayanan kesehatan ; (e) pelayanan
psikososial ; dan penampungan dan tempat hunian, sebagaimana tertuang
dalam pasal 53 .
B.11.UU No.17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas UU No.10 Tahun
1995 Tentang Kepabeanan
Dalam Undang undang tentang Kepabean terdapat beberapa
ketentuan yang berkaitan dengan definisi/pengertian, yang dapat menjadi
acuan dalam penyusunan Rancangan Undang-undang tentang Karantina
Kesehatan, antara lain :
Bab I tentang Ketentuan Umum yang dimaksud barang tertentu
tercantum dalam Pasal 1 angka 19 adalah : “ Barang yang ditetapkan
oleh instansi terkait sebagai barang yang pengangkutannya di dalam
daerah pabean diawasi “ dan penjelasanya cukup jelas.
Pasal 2 ayat (2) memuat ketentuan : “ barang yang telah dimuat di sarana
pengangkut untuk dikeluarkan dari daerah pabean dianggap telah
diekspor dan diperlakukan sebagai barang ekspor “. Yang dimaksud
“sarana pengangkut”, tercantum dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) alinea
ke – 2 yaitu setiap kendaraan, pesawat udara, kapal laut, atau sarana lain
yang digunakan untuk mengangkut barang atau orang.
Pasal 10 B ayat (3) : “ Barang impor yang dibawa oleh penumpang, awak
sarana pengangkut, atau pelintas batas ke dalam daerah pabean pada
saat kedatangannya wajib diberitahukan kepada pejabat bea dan cukai”.
Yang dimaksud :
Penumpang yaitu setiap orang yang melintasi perbatas wilayah negara
dengan menggunakan sarana pengangkut, tetapi bukan awak sarana
penumpang dan bukan pelintas batas (Penjelasan Pasal 10 B ayat (3)).
Awak sarana pengangkut yaitu setiap orang yang karena sifat
pekerjaannya harus berada dalam sarana pengangkut dan datang
bersama sarana pengangkut (penjelasan Pasal 10 B ayat (3))
Pelintas batas yaitu : penduduk yang berdiam ataubertempat tinggal
dalam wilayah perbatasan negara serta memiliki kartu identitas yang
dikeluarkan oleh instansi yang berwenang dan yang melakukan perjalanan
75
lintas batas di daerah perbatasan melalui pos pengawas lintas batas.
(penjelasan Pasal 10 B ayat (3)).
Bab X Bagian Pertama Pasal 53 ayat ayat (1) ...... dan ayat (4) : Barang
yang dilarang atau dibatasi untuk diimpor atau diekspor yang tidak
diberitahukan atau diberitahukan secara tidak benar dinyatakan sebagai
barang yang dikuasai negara.........., kecuali terhadap barang dimaksud
ditetapkan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Yang dimaksud dengan ditetapkan lain berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, adalah : peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan telah mengatur secara khusus penyelesaian baranng impor
yanng dibatasi atau dilarang, misalnya impor limbah yang mengandung
bahan berbahaya dan beracun (Penjelasan pasal 53 ayat (4)).
Pasal 66 ayat (3) huruf b : barang karena sifatnya tidak tahan lama,
merusak, berbahaya, atau pengurusannya memerlukan biaya tinggi dapat
segera dilelang dengan memberitahukan secara tertulis kepada
pemiliknya.
Penjelasan Pasal 66 ayat (3) huruf b angka 3 menjelaskan yang
dimaksud barang yang berbahaya adalah barang yang antara lain mudah
terbakar, meledak, atau membahayakan kesehatan.
Dari penjabaran tersebut diatas nampaklah adanya kejelasan apa yang
dimaksud dengan barang tertentu, sarana angkutan, penumpang, awak
sarana pengangkut, atau pelintas batas, dan barang tertentu yang karena
sifatnya membahayakan kesehatan, sehingga dalam implementasinya
dilapangan memudahkan pejabat yang karena tugas dan kompetensi
bertindak sesuai dengan ketentuan yang berlaku
B.12. UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
Setiap kapal yang datang dari luar negeri berada dalam karantina
(BAB VI pasal 20 UU Nomor 1 Tahun 1962 Tentang Karantina Laut)
UU No 21/1992 :
(ps 15 ayat 1 nakhoda atau pemimpin kapal selama berlayar wajib
mematuhi aturan-aturan yang berkaitan dnegan tata cara berlalu
lintas, alur pelayaran, sistem rute, sarana bantu navigasi pelayaran
dan telekomunikasi pelayaran yg diatur dalam UU ini)
76
Pasal 16 (2) pelayanan pemanduan dilaksanakan oleh petugas
yang telah memnuhi persyaratan kesehatan, kecakapan, serta
diklat.
Ps 21 (3) pelaksanaan kegiatan pemerintahan di pelabuhan
sebagaimana dimaksud ayat 2 meliputi fungsi keselamatan
pelayaran, bea dan cukai, imigrasi, karantina serta keamanan dan
ketertiban. UU No 1/1962 ps 6 : Isyarat karantina kapal sesuai
dengan peraturan kesehatan internasional (Guide to port entry),
pada siang dengan bendera Q kuning dan malam hari dengan dua
lampu putih yang satu ditempatkan di atas yang lain dengan jarak
2 m yang tampak dari jarak 2 mil. Bab 5 tentang dokumen
karantina kesehatan : dokumen karantina kesehatan yang harus
tertuang dlm aturan perundang-undangan Karantina Kesehatan
(fakta) : SSCC, SSCEC, MDH, ICV dan Profilaksis, Certificate of
Pratique, HAC, Port Health Quarantine Clearance, One Month
Exemption Certificate, Sailing Permit, Buku Kesehatan Kapal,
Sertifikat P3K kapal, Cargo list, Passenger list, voyage memo/List
Port of Call, Crew list, General Nil List,. Bab VI : tiap kapal yang
datang dari luar negeri berada dalam karantina, tiap kapal yang
datang dari suatu pelabuhan dan / atau daerah wilayah Indonesia
yang ditetapkan terjangkit oleh suatu penyakit berada dalam
karantina, tiap kapal yang mengambil penumpang dan / atau
muatan dari kapal berada dalam karantina. Kapal-kapal tersebut
baru bebas dari karantina bila mendapat ijin karantina ; Bab 6 ps
22 nakhoda kapal menyampaikan permohonan untuk memperoleh
suatu ijin atau memberitahukan suatu keadaan di kapal dengan
memakai isyarat sbb : siang hari bendera Q (kapal saya sehat/
saya minta ijin karantina), bendera Q diatas panji pengganti satu
(kapal saya tersangka), bendera Q diatas bendera L (kapal saya
terjangkit), malam hari : lampu merah di atas lampu putih dengan
jarak maksimum 1,8 m (saya belum mendapat ijin karantina). ;
Bab 6 ps 26 tentang pemeriksaan kesehatan kapal dilakukan oleh
petugas karantina kesehatan minimal berpendidikan kesehatan,
77
yang dilakukan secepat mungkin kecuali kalau keadaan cuaca
tidak mengijinkan.
B.13. UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
Keselamatan penerbangan merupakan factor paling utama pada
pengoperasian pesawat udara, baik untuk pesawat udara sipil maupun militer.
Dalam Undang-undang No. 15 tahun 1992 tentang Penerbangan telah diatur
di berbagai pasal antara lain :
Pasal 1 butir 1. Dalam pasal ini keselamatan penerbangan merupakan
salah satu faktor pengertian penerbangan;
Pasal 6 mengatur larangan terbang diatas daerah terlarang atas
pertimbangan keselamatan penerbangan;
Pasal 7 ayat (3) mengatur tentang pembinaan penyelenggaraan
penerbangan, sarana dan prasarana, SDM serta didukung industri
pesawat terbang dengan memperhatikan seluruh aspek kehidupan
masyarakat untuk mewujudkan tujuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3
Pasal 8 Prasarana dan sarana penerbangan yang dioperasikan wajib
mempunyai keandalan dan memenuhi persyaratan keamanan dan
keselamatan penerbangan.
Pasal 16 mengatur larangan penerbangan yang membahayakan
keselamatan penerbangan;
Pasal 18 mewajibkan setiap personil penerbangan mempunyai sertifikat
kecakapan;
Khusus mengenai ketentuan pasal 18 yang mengatur sertifikat
kecakapan tertentu yang tugasnya secara langsung mempengnaruhi
keselamatan penerbangan, dalam penjelasannya ditentukan pengujian
kesehatan untuk perpanjangan pemberlakuan masa sertifikat personil
penerbangan
Pasal 19 mewajibkan pesawat terbang harus mempunyai sertifikat
kelaikan udara;
Pasal 20 mengatur tentag fasilitas dan/atau peralatan penunjang
penerbangan wajib memenuhi persyaratan keamanan dan keselamatan
penerbangan;
78
Pasal 21 mengatur perencanaan, desain, pembuatan, perakitan serta
perawatan pesawat terbang;
Pasal 22 dan pasal 23 mewajibkan untuk memberi pelayanan navigasi
penerbangan untuk menjamin keselamatan penerbangan;
Pasal 25 mengatur lokasi, pembuatan rancang bangun, perencanaan dan
pembangunan bandar udara udara udara harus memperhatikan
keselamatan penerbangan.
Pasal 30 ayat 1 : Penyelenggara Bandar udara bertanggungjawab
terhadap keamanan dan keselamatan penerbangan serta kelancaran
pelayanannya.
Pasal 42 ayat (1) mengatur penyandang cacat dan orang sakit berhak
memperoleh pelayanan berupa perlakuan khusus dalam angkutan udara
niaga.
Selanjutnya yang dimaksud dengan pelayanan perlakuan khusus
sebagaimana ditentukan dalam pasal 42, dalam pengertiannya
sebagaimana ditentukan dalam penjelasan pasal 42 alenia terakhir
pengertian orang sakit adalah orang yang menderita penyakit menular
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 43 ayat 1 : Perusahaan angkutan udara yang melakukan kegiatan
angkutan udara niaga bertanggungjawab atas : a. kematian atau lukanya
penumpang yang diangkut, b. musnah, hilang atau rusaknya barang yang
diangkut, c. keterlambatan angkutan penumpang dan atau barang yang
diangkut apabila terbukti hal tersebut merupakan kesalahan pengangkut.
Pasal 50 ayat 1 : Untuk mencegah terganggunya kelestarian lingkungan
hidup, setiap pesawat udara wajib memenuhi persyaratan ambang batas
tingkat kebisingan.
Pasal 51 : Standar mengenai tingkat kebisingan pesawat udara di bandar
udara dan sekitarnya diatur lebih lanjut dengan PP.
Dari penjebaran tersebut diatas, nampaklah bahwa Undang-undang No.
15 tahun 1992 tentang Penerbangan telah mengatur keselamatan
penerbangan, namun pengaturan lebih lanjut diserahkan kepada
peraturan perundang-undangan yang belaku atau kepada peraturan yang
lebih rendah
79
B.14. PP No.3 tahun 2001 tentang keamanan dan keselamatan
Penerbangan.
Bagian keempat, pasal 39 ayat 1 : penyelenggara bandar udara wajib
memiliki kemampuan dalam melaksanakan penanggulangan gawat
darurat di bandar udara, ayat 2 : Penanggulangan gawat darurat
dilaksanakan secara terpadu dengan melibatkan instansi terkait di luar
dan di dalam bandar udara, ayat 3 : penyelenggara bandar udara wajib
melaksanakan latihan penanggulangan gawat darurat.
Bagian kelima, pasal 41, ayat 1 : penyelenggara bandar udara wajib
memberikan isyarat kepada pesawat sesuai dengan kebutuhan, ayat 2 :
Isyarat tersebut dapat berupa asyarat lampu, isyarat elektronika, isyarat
bendera dan isyarat fisik, ayat 3 : isyarat dimaksud berfungsi untuk
memberikan larangan,perintah,peringatan dan petunjuk.
Bagian keenam, pasal 46, ayat 1 : untuk keamanan dan keselamatan
penerbangan, penyelenggara bandar udara dalam keadaan tertentu
dapat menutup sementara sebagian atau keseluruhan landasan pacu,
penghubung landasan pacu atau pelataran parkir pesawat udara, ayat 2 :
Keadaan tertentu yang dimaksud : a. bencana alam, b. huru- hara,
c.kecelakaan pesawat di landasan pacu, penghubung landasan pacu atau
pelataran parkir pesawat udara, d. pembangunan, perbaikan,
pemeliharaan dan perawatan landasan pacu, jalan penghubung atau
pelataran parkir pesawat, e. keadaan tertentu lainnya yang dapat
membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan. Pasal 47,
ayat 1 : Penyelenggara bandar udara wajib menyediakan atau menunjuk
bagian dari wilayah bandar udara setempat sebagai tempat terisolasi
untuk penempatan pesawat udara yang mengalami gangguan atau
ancaman keamanan.
Bagian kedelapan, Pasal 87 ayat 1 : Pelayanan kesehatan penerbangan
diselenggarakan oleh pemerintah dan pelaksanaannya dapat dilimpahkan
kepada badan hukum Indonesia atau perorangan yang mempunyai
kualifikasi kesehatan penerbangan. Ayat 2 : Pelayanan kesehatan
penerbangan yang dimaksud meliputi kegiatan ; a. pengujian dan atau
pemeliharaan kesehatan para personil. b. pemeriksaan higiene dan
sanitasi bandar udara, fasilitas penunjang bandar udara, kesehatan dan
80
keselamatan kerja fasilitas penunjang penerbangan. c. pemeriksaan
higiene dan sanitasi pesawat udara. Ayat 3 : Terhadap hasil pemeriksaan
kesehatan ayat 2a dan 2b diberikan sertifikat kesehatan oleh menteri.
B.15. PP No.70 tahun 2001 tentang kebandar udaraan.
Bab IV, pasal 16 ayat 1 : Pelaksanaan kegiatan di bandar udara umum
terdiri dari pelaksana fungsi pemerintah, penyelenggara bandar udara dan
badan hukum Indonesia yang memberikan pelayanan jasa kebandar udara
udaraudaraan berkaitan dengan lalu lintas pesawat udara, penumpang, kargo
dan pos. Ayat 2 : Pelaksana fungsi pemerintah merupakan pemegang fungsi :
a. keamanan dan keselamatan serta kelancaran penerbangan, b. Bea dan
Cukai, c. Imigrasi, d. Keamanan dan ketertiban di Bandar udara, e. Karantina.
B.16. UU No.13 tahun 2008 tentang penyelenggaraan Ibadah Haji
Bab I, Pasal 1 ayat 3 : Jemaah haji adalah WNI yang beragama Islam dan
telah mendaftarkan diri untuk menunaikan Ibadah haji sesuai dengan
persyaratan yang ditetapkan……lalu lintas penumpang ke / dari Luar
negeri ( Arab Saudi /endemis meningitis ).
Ayat 10 : Pelayanan kesehatan adalah pemeriksaan, perawatan, dan
pemeliharaan kesehatan jemaah haji, pelayanan kesehatan di
Embarkasi/Debarkasi Haji, pemeriksaan dokumen kesehatan di
Embarkasi/Debarkasi Haji.
Ayat 13 : Transportasi adalah pengangkutan yang disediakan bagi
jemaah haji, pesawat yang berangkat dan datang ke dan dari negara
endemis meningitis.
Ayat 14 : Jemaah ibadah khusus, lalu lintas penumpang ke/dari Arab
Saudi ( endemis meningitis ).
Ayat 16 :Ibadah Umroh adalah umroh yang dilaksanakan di luar musim
haji, lalu lintas penumpang ke/dari Arab Saudi ( endemis meningitis )
Bab III, pasal 7 ayat d : penggunaan paspor haji dan dokumen lainnya
yang diperlukan untuk pelaksanaan ibadah haji, dokumen kesehatan
berupa buku kesehatan dan sertifikat vaksinasi meningitis.
C. Konvensi / Kovenan Internasional
81
C.1. Konvensi Basel Tahun 1989 Tentang pengetatan atas
pembuangan limbah beracun berikut turunannya (Limbah B3)
terhadap dampak lingkungan hidup
Konvesi Basel merupakan sebuah konvensi prakarsa PBB
diselenggarakan di Basel, Switzerland pada akhir tahun 1980, adalah
rancangan regulasi mengenai pengetatan atas pembuangan limbah beracun
berikut turunannya terhadap dampak lingkungan hidup efektif tahun 1990
setelah dilakukan ratifikasi oleh negara-2 peserta lalu dibentuk The
Conference of the Parties disingkat COP sebagai badan pelaksananya terdiri
Competent Authorities dan sekretariat tetap berkedudukan di Geneva,
Switzerland, Pada saat ini negara yang telah meratifikasi Konvensi Basel
berjumlah 170 negara konvensi ini dilakukan karena hubungan semakin
mahalnya biaya pemusnaan atas pembuangan turunan berancun yang
dihasilkan oleh industri negara-2 maju berdampak pada pencarian yang
berbiaya murah dijadikan sumber nafkah pada negara-2 miskin melalui
perdagangan beracun atas pembuangan limbah beracun berikut turunannya
tsb pada wilayah-2 negara-2 miskin.
Konvensi Basel disepakati di Basel, Swiss pada Maret 1989 dan mulai
berlaku resmi pada 1992. Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut sejak
1993 melalui Keputusan Presiden No 61 Tahun 1993.[*/L5]. “Tema
penyelenggaraan konvensi ini adalah melindungi kesehatan manusia dan
lingkungan hidup dari dampak negatif yang timbul dari kegiatan pengelolaan
limbah berbahaya beracun (B3), dan perpindahan lintas batas atau negara
dari limbah-limbah tersebut” . Konferensi Basel merupakan perjanjian
internasional yang bertujuan mengendalikan pemindahan lintas batas limbah
bahan berbahaya dan beracun (B3).
Indonesia sangat rentan terhadap perpindahan ilegal B3 dari negara
lain, oleh karena Letak strategis Indonesia dan termasuk negara kepulauan
terbesar di dunia dengan jumlah pelabuhan mencapai lebih dari 2.000 dan
dilewati jalur pelayaran internasional membuat Indonesia rawan terhadap
penyelundupan dan pengiriman limbah B3 ilegal. Oleh karenanya, Konvensi
Basel ini sangat penting bagi Indonesia untuk melindungi masyarakat dan
lingkungan hidup di Indonesia dari akibat penyelundupan limbah-limbah yang
berbahaya dan beracun dari negara lain.
82
C.2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan
Establishment World Trade Organization
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 merupakan tindak lanjut
Kesepakatan Umum tentang Perdagangan dan Tariff (General Agreement on
Trade and Tariffs / GATT) yang merupakan perjanjian multilateral dalam
kerangka putaran Uruguay yang disepakati di Marakesh, Maroko pada Tahun
1994.
GATT terdiri dari berbagai perjanjian yang mengatur liberalisasi
perdagangan dunia, di mana setiap Negara Anggota harus membuka akses
pasarnya terhadap barang dan jasa dari Negara Anggota lainnya sepanjang
barang dan jasa tersebut memenuhi ketentuan GATT. Instrumen-instrumen
penghambat perdagangan multilateral barang dan jasa tersebut adalah tariff,
subsidi, kuota, yang semakin lama semakin tidak populer, dan digantikan oleh
hambatan teknis perdagangan (technical barriers to trade) yang meliputi
peraturan teknis dan standar (technical regulations and standards) serta
tindakan kesehatan hewan dan kesehatan tumbuhan (sanitary and
phytosanitary measures).
Alasan-alasan yang dibuat dalam menetapkan hambatan teknis
perdagangan serta tindakan kesehatan hewan dan kesehatan tumbuhan
harus berlandaskan ilmiah, tidak boleh dibuat tanpa alasan ilmiah sehingga
menjadi suatu perlindungan terselubung (disguised protection) terhadap
perdagangan barang dan jasa antar negara. Tindakan kesehatan tumbuhan
dan kesehatan hewan diatur dalam salah satu perjanjian dari GATT yaitu
Aplikasi dari Tindakan Kesehatan Hewan dan Kesehatan Tumbuhan
(Application of Sanitary and Phytosanitary Measures). Sebetulnya, yang
diatur dalam application of SPS Measures ada 3 hal yaitu: Kesehatan Hewan
(sanitary), Kesehatan Tumbuhan (Phytosanitary), dan Keamanan Pangan
(Codex Alimentarius). Sanitary berhubungan dengan kesehatan hewan dan
produk hewan yang berkaitan antara lain dengan pelaksanaan tindakan
karantina hewan. Phytosanitary berhubungan dengan kesehatan tumbuhan
yang berkaitan dengan antara lain dengan pelaksanaan tindakan karantina
tumbuhan. Sedangkan keamanan Pangan berhubungan cemaran-cemaran
83
biologi, kimia dan benda lain yang terbawa oleh pangan yang dapat
mengganggu, dan membahayakan kesehatan manusia.
Perihal kesehatan hewan dan produk hewan diatur lebih lanjut dalam
suatu Codes (salah satu bentuk perjanjian internasional) yang bersifat
rekomendatif yang dirumuskan oleh Badan Kesehatan Hewan Dunia (Office
Internationale des Epizooties/World Animal Health Organization). Perihal
kesehatan tumbuhan dan produk tumbuhan diatur lebih lanjut dalam suatu
konvensi FAO, bersifat mengikat secara hukum (legally binding) yang disebut
Konvensi Perlindungan Tanaman Internasional (International Plant Protection
Convention / IPPC) yang juga merekomendasikan dibentuknya konvensi yang
bersifat regional. Sedangkan perihal keamanan pangan diatur lebih lanjut
dalam suatu codes yang bersifat standar, pedoman, dan rekomendasi yang
dirumuskan oleh komisi bersama FAO dan ORGANISASI KESEHATAN
DUNIA yang disebut Codex Alimentarius Commission (CAC).
Dalam IPPC versi Tahun 1997 perihal karantina diatur sebagai berikut:
a. Tindakan karantina dapat dilakukan di luar tempat
pemasukan/pengeluaran, karena apabila barang terlalu lama tertumpuk
di tempat pemasukan/pengeluaran akan memakan biaya yang besar.
Oleh karena itu, petugas karantina dapat melakukan tindakan karantina
secara on-line di tempat produksi, gedung pemilik sebelum dimuat ke
atas alat angkut (preshipment inspection), atau bahkan di tempat
produksi di negara asal sebelum barang dikapalkan;
b. Dengan kemajuan teknologi informasi, apabila sistem karantina negara
mengirim barang telah diakui ekivalen dengan persyaratan karantina
Indonesia, sertipikat dapat berupa elektronik (electronic certipicate) yang
dikirim kepada otoritas kompeten karantina Indonesia melalui media
elektronik (electronic data interchange/pertukaran data elektronik);
c. Tindakan karantina tertentu, seperti misalnya perlakuan fumigasi, dapat
dilakukan oleh pihak swasta yang sudah diakreditasi, ekivalen dengan
tindakan karantina yang dilakukan oleh petugas karantina.
C.3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 Tentang Pengesahan United
Nations Convention on Biological Diversity dan Undang-undang
84
Nomor 21 Tahun 2004, Protokol Cartagena Tentang Keamanan
Hayati atas Konvensi Tentang Keanekaragaman Hayati
Konvensi ini berisi kesepakatan internasional untuk bersama-sama
menjaga keanekaragaman hayati, terutama yang terdapat pada negara-
negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi (mega diversity)
seperti Indonesia. Dengan meratifikasi konvensi ini, Indonesia dapat meraih
manfaat, antara lain:
a. Penilaian dan pengakuan dari masyarakat internasional bahwa Indonesia
peduli terhadap masalah lingkungan hidup dunia, yang menyangkut
keanekaragaman hayati, dan ikut bertanggung jawab menyelamatkan
kelangsungan hidup manusia.
b. Penguasaan dan pengendalian dalam mengatur akses terhadap alih
teknologi, berdasarkan asas perlakuan dan pembagian keuntungan yang
adil dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
nasional;
c. Peningkatan pengetahuan yang berkenaan dengan keanekaragaman
hayati, sehingga dalam pemanfaatannya Indonesia benar-benar
menerapkan asas ilmu pengetahuan dan teknologi;
d. Pengembangan dan pengamanan bioteknologi sehingga Indonesia tidak
dijadikan ajang uji coba pelepasan organisme hasil modifikasi genetik
oleh negara-negara lain;
e. Pengembangan kerjasama internasional yang meliputi pertukaran
informasi, pengembangan diklat dan penyuluhan, dan peningkatan peran
serta masyarakat.
Dari beberapa ketentuan konvensi keanekaragaman hayati ada
beberapa bidang di mana karantina pertanian dan karantina ikan sebagai
institusi pemerintah yang bertugas mengawasi lalu-lintas hewan, ikan, dan
tumbuhan di tempat-tempat pemasukan/pengeluaran, baik dalam hubungan
antar negara maupun antar area dalam wilayah Indonesia dapat berperan
serta mensukseskan tujuan dari konvensi tersebut. Namun berhubung tugas
dan fungsi mereka dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 belum
mencakup secara eksplisit tugas-tugas membantu kebersihan pencapaian
tujuan konvensi tersebut, maka para petugas karantina hewan, karantina
ikan, dan karantina tumbuhan belum dapat melaksanakan hal-hal tersebut.
85
Beberapa hal dari ketentuan konvensi keanekaragaman hayati yang
dapat dibantu pelaksanaannya oleh petugas karantina hewan, karantina ikan,
dan karantina tumbuhan antara lain adalah:
a. Mengatasi penyelundupan masuknya makluk-makluk yang dapat
mengganggu keanekaragaman hayati seperti hewan, ikan, tumbuhan,
dan jasad renik yang termasuk kategori spesies asing invasif (invasive
alien species);
b. Mengatasi penyelundupan keluarnya/masuknya satwa/ tumbuhan langka
yang termasuk dalam Appendix dari Convention of International Trade of
Endangered Species (CITES);
c. Mengatasi penyelundupan keluarnya sumber daya genetik hewan, ikan,
tumbuhan, dan jasad renik Indonesia ke luar negeri yang dengan melalui
pemuliaan (breeding) atau bioteknologi dikembangkan menjadi
rumpun/varietas/klon yang lebih unggul, tanpa memberikan manfaat
apapun bagi Indonesia.
C.4. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2004 Tentang Pengesahan
Cartagena Protokol on Biosafety To The Convention on Biological
Diversity (Protokol Kartagena Tentang Keamanan Hayati Atas
Konvensi Tentang Keanekaragaman Hayati)
Dalam kegiatan pemuliaan dimungkinkan pula untuk melakukan
pemuliaan dengan menggunakan bioteknologi modern, sehingga apabila hasil
pemuliaan tersebut akan diintroduksi ke lingkungan maka harus mengikuti
ketentuan yang terdapat dalam Protokol Kartagena ini. Protokol ini mengatur
mengenai pergerakan lintas batas, penanganan, dan pemanfaatan
Organisme Hasil Modifikasi Genetik sebagai hasil dari bioteknologi modern.
Lebih lanjut protokol ini bertujuan untuk menjamin tingkat proteksi yang
memadai dalam hal persinggahan, penanganan, dan pemanfaatan yang
aman dari pergerakan lintas batas OHMG. Pengaturan dalam Protokol ini
menggunakan pendekatan kehati-hatian (precautionary approach)
sebagaimana tercantum dalam prinsip ke 15 Deklarasi Rio yang berarti bila
terdapat ancaman serius atau kerusakan yang tidak dapat dipulihkan,
kekurangan ilmu pengetahuan seharusnya tidak dipakai sebagai alasan
menunda langkah pengefektifan biaya (cost effective) untuk mencegah
86
kerusakan lingkungan. Beberapa hal yang sejalan dengan pengaturan di
bidang PVT adalah bahwa untuk varietas yang bersifat transgenik perlu
dilakukan kajian risiko (risk assesment), kemudian bagaimana manajemen
risiko (risk management), dan tindakan-tindakan dalam keadaan darurat
(emergency measures). Kesemua hal ini perlu dilakukan mengingat varietas
transgenik tersebut pada dasarnya dapat membahayakan bagi lingkungan
maupun kesehatan manusia, dan sebaliknya juga varietas tersebut dapat
bermanfaat bagi manusia. Sehingga dalam pengaturannya perlu diperhatikan
lebih besar manfaatnya atau daya rusaknya, dengan menggunakan
ketentuan-ketentuan yang ada dalam Protokol ini.
C.5 International Health Regulations (IHR) 2005
Perbedaan IHR 1969 dengan IHR 2005 adalah pada IHR 1969
penyakit yang diatur hanya penyakit karantina (Pes, Cholera, Demam
Kuning, Cacar, Demam bolak-balik, Thipus bercak wabahi) dan diutamakan
pada pintu masuk negara (pelabuhan, bandar udara dan lintas batas negara)
Sedangkan IHR 2005 sudah mencakup seluruh penyebab kejadian
yang menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat di Indonesia dan
internasional (PHEIC) dan memerlukan respons internasional yang
terkoordinasi
D. Analisis
Berdasarkan uraian pada bab terdahulu, maka ada beberapa hal yang
perlu dianalisa lebih lanjut dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang
Karantina Laut dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina
Udara dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan nasional dan
internasional, yaitu:
D.1. Materi Hukum
Salah satu tujuan diterbitkannya suatu undang-undang adalah untuk
mengatur dan memberikan kepastian hukum terhadap dinamika yang terjadi
dalam masyarakat, baik lingkup nasional maupun masyarakat internasional.
Oleh karena itu, produk undang-undang haruslah selalu relevan dan dapat
mengakomodasi terhadap perkembangan dinamika dalam suatu masyarakat.
87
Dilihat dari segi materi, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang
Karantina Laut dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina
Udara ini relatif tidak sesuai dengan perkembangan teknologi, transisi
epidemiologi, tata hubungan internasional maupun nasional, tata
pemerintahan, dan kondisi lingkungan hidup, sehingga banyak tindakan-
tindakan yang sebenarnya merupakan lingkup kekarantinaan tidak dapat
diakomodir.
Dalam undang-undang ini telah dicantumkan sebanyak 6 jenis penyakit
yang termasuk dalam penyakit karantina, yaitu Pes, Kolera, Demam Kuning,
Cacar, Typhus bercak wabah dan demam bolak-balik. Dalam kenyataannya
penyakit-penyakit tersebut di atas sudah kurang relevan karena beberapa
alasan yaitu:
1. Penyakit cacar sudah dinyatakan musnah (berhasil dieradikasi di
Indonesia sejak tahun 1974);
2. Saat ini IHR 2005 telah diberlakukan terhitung mulai 15 Juni 2007 dan
telah berkembang lebih luas, di mana tidak hanya mencakup penyakit
karantina tetapi juga mencakup PHEIC;
3. Saat ini di dunia sudah banyak muncul penyakit baru seperti SARS dan
Avian Influenza yang sangat potensial untuk menyebar ke seluruh dunia.
4. Beberapa penyakit sifatnya sangat spesifik lokal seperti pes dan demam
bolak-balik.
Penetapan hanya 6 (enam) penyakit karantina ini pada akhirnya
menyebabkan terjadinya kekakuan dalam penerapan dan pelaksanaan
undang-undang ini.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut dan
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara mempunyai
isi yang sangat mirip sejak Pasal 1 sampai pasal terakhir. Perbedaannya
hanya pada beberapa pasal tentang pengaturan pelaksanaan karantina
menurut tempat yaitu mengatur karantina laut dan karantina udara. Dengan
kondisi seperti itu, berdasarkan beberapa pertimbangan seperti pertimbangan
efisiensi dan kepraktisan operasional di lapangan maka pada dasarnya
undang-undang yang mengatur karantina kesehatan ditetapkan dalam satu
undang-undang.
88
Selain Undang-undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut
dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara ada
undang-undang yang mengatur mengenai kekarantinaan yaitu Undang-
undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan
Tumbuhan. Dalam pengaturannya undang-undang ini mempunyai prinsip-
prinsip yang sama dan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut dan Undang-
undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara yang mengatur
tentang karantina pada manusia, maka Undang-undang Nomor 16 Tahun
1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan mengatur karantina
tentang hewan, ikan, dan tumbuhan. Dalam teori dinamika penyakit hewan,
tumbuhan dan ikan yang mengandung bahan berbahaya termasuk bibit
penyakit adalah merupakan faktor risiko terjadinya masalah kesehatan bagi
manusia, sehingga pengaturan karantinanya juga harus memperhatikan
aspek kesehatan manusia. Sehingga dengan demikian dalam pengaturan
produk hukum yang sebenarnya ada kemiripan dan saling berhubungan
diperlukan koordinasi yang berkesinambungan dari instansi yang menangani
kekarantinaan, baik dari Departemen Kesehatan, Departemen Pertanian,
maupun Departemen Kelautan dan Perikanan.
Penggunaan istilah isolasi dan karantina dalam pengertian definisi
cukup mudah dipahami oleh setiap orang. Akan tetapi dalam tataran
implementasi sangat sulit dipahami dan dilaksanakan. Dalam produk undang-
undang ini diperlukan aturan dan petunjuk yang lebih jelas yang menyangkut
hal tersebut di atas agar bagi pelaksana dilapangan mempunyai pedoman
yang benar-benar dapat diimplementasikan.
Dengan telah ditetapkannya IHR 2005,2 banyak hal di dalam Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut dan Undang-undang
Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara menjadi tidak relevan lagi,
seperti pengaturan mengenai penggolongan kapal yang secara rinci untuk
setiap jenis penyakit dan juga status kapal. Dengan berubahnya IHR 2005
yang berorientasi pada penyakit yang dapat menyebabkan PHEIC, maka
sangat sulit memberikan penjelasan secara rinci setiap penyakit seperti yang
2 International Health Regulations Tahun 2005, World health Organization, 23 May 2005.
89
saat ini tertera dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang
Karantina Laut dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina
Udara. Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia juga harus ikut
menyesuaikan. Beberapa perkembangan yang harus diakomodasi dalam IHR
2005 tersebut seperti perubahan orientasi dari beberapa penyakit menjadi
PHEIC dan adanya penetapan nasional fokal point. Untuk menghindari sangsi
dikucilkannya Indonesia dari pergaulan internasional, maka diperlukan
beberapa penyesuaian produk hukum termasuk Undang-undang Nomor 1
dan Nomor 2 Tahun 1962.
Secara umum dapat dikemukakan bahwa sebagian besar dari materi
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut dan Undang-
undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara, sudah harus
disesuaikan dengan perkembangan-perkembangan terkini. Walaupun apabila
kita melihat prinsip-prinsip yang terkandung di dalam kedua Undang-undang
tersebut, tampaknya masih relevan dengan maksud dan tujuan dilakukannya
tindakan-tindakan karantina, yakni menolak dan mencegah masuk dan
keluarnya penyakit karantina, melalui sarana transportasi laut maupun udara.
Penyesuaian peraturan perundang-undangan tentang karantina, baik
dalam bentuk perubahan maupun pembentukan aturan baru mutlak
diperlukan. Karena peraturan perundang-undangan nasional maupun
peraturan-peraturan internasional yang menjadi landasan peraturan
karantina, atau yang terkait dengan pelaksanaan tindakan karantina sudah
banyak yang berubah.
Salah satu tujuan diterbitkannya suatu undang-undang adalah untuk
mengatur dan memberikan kepastian hukum terhadap dinamika yang terjadi
dalam masyarakat, baik lingkup nasional maupun masyarakat internasional.
Oleh karena itu, produk peraturan perundang-undangan haruslah selalu
relevan dan dapat mengakomodasi terhadap perkembangan dinamika dalam
masyarakat. Dilihat dari segi substansi, Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1962 tentang Karantina Laut dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962
tentang Karantina Udara ini relatif tidak sesuai dengan perkembangan
teknologi, transisi epidemiologi, tata hubungan internasional maupun
nasional, tata pemerintahan, dan kondisi lingkungan hidup, sehingga banyak
90
tindakan-tindakan yang sebenarnya merupakan lingkup kekarantinaan tidak
dapat diakomodir.
1. Harmonisasi dan Sinkronisasi dengan Peraturan Perundang-
undangan Nasional dan Peraturan-peraturan Internasional
Sejumlah peraturan perundang-undangan nasional yang terkait
dengan pelaksanaan kegiatan kekarantinaan umumnya sudah mengalami
perubahan, termasuk juga ada beberapa peraturan perundang-undangan
baru yang dibentuk yang substansinya sangat berkaitan dengan kegiatan
kekarantinaan laut dan/atau udara, misalnya Undang-undang Nomor 4 Tahun
1984 tentang Wabah Penyakit Menular, Undang-undang Nomor 5 Tahun
1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya,
Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan
Tumbuhan, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2005 tentang Kepabenan, Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009
tentang Perikanan, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang
Pelayaran, Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian dan perundang-
undangan terkait lainnya.
Di samping itu, peraturan perundang-undangan tentang karantina
seyogyanya juga bersesuaian dengan peraturan-peraturan internasional yang
relevan, baik yang telah diratifikasi oleh Indonesia maupun yang hanya dalam
bentuk codex internasional, yang dikeluarkan oleh organisasi-organisasi
internasional menjadi pedoman bagi masyarakat internasional dan tidak perlu
diratifikasi.
Beberapa peraturan internasional terkait yang telah diratifikasi
Indonesia yang penting untuk menjadi rujukan dalam pelaksanaan kegiatan
kekarantinaan, antara lain, adalah Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985
Tentang: Pengesahan United Nations Convention On The Law Of The Sea
(Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut), Undang-
91
undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations
Convention on Biological Diversity, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994
tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2004 tentang Pengesahan Cartagena
Protokol on Biosafety To The Convention on Biological Diversity (Protokol
Kartagena tentang Keamanan Hayati Atas Konvensi tentang
Keanekaragaman Hayati), termasuk juga International Health Regulations
2005 yang telah diberlakukan diseluruh negara anggota WHO mulai tanggal
15 Juni 2007.
Dengan telah ditetapkannya IHR 2005, banyak ketentuan dalam
Undang-undang Nomor 1 dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1962 menjadi
tidak relevan lagi. Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia juga harus
ikut menyesuaikan. Banyak perkembangan yang harus diakomodasi dalam
IHR 2005 tersebut seperti perubahan orientasi dari beberapa penyakit
menjadi PHEIC dan adanya penetapan nasional fokal point. Untuk
menghindari sanksi dikucilkannya Indonesia dari pergaulan internasional,
maka diperlukan beberapa penyesuaian produk hukum termasuk Undang-
undang Nomor 1 dan 2 Tahun 1962.
Contoh lainnya mengenai perlunya pengharmonisasian peraturan
karantina dengan sejumlah peraturan baru, dapat dilihat dalam Undang-
undang Nomor 1 dan 2 Tahun 1962, Bab III, Pasal 7. Ketentuan dalam Pasal
ini secara rinci mengatur tentang penggolongan kapal. Dalam penjelasan ini
ditetapkan status kapal secara rinci setiap jenis penyakit. Dengan berubahnya
IHR 2005 dimana sebelumnya berorientasi pada beberapa penyakit potensial
KLB menjadi PHEIC, maka sangat sulit memberikan penjelasan secara rinci
setiap penyakit seperti yang saat ini tertera dalam Undang-undang Nomor 1
dan 2 Tahun 1962 tersebut.
2. Penyakit yang Tercantum Dalam Undang-Undang
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut
dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara
dicantumkan sebanyak 6 jenis penyakit yang termasuk dalam penyakit
karantina, yaitu Pes, Kolera, Demam Kuning, Cacar, Typhus bercak wabah
92
dan Demam bolak-balik. Dalam kenyataannya saat ini sudah kurang relevan
karena beberapa alasan yaitu:
a. Penyakit cacar sudah dinyatakan musnah (berhasil dieradikasi di
Indonesia sejak tahun 1974)
b. Saat ini IHR 2005 telah diberlakukan terhitung mulai 15 Juni 2007 dan
telah berkembang lebih luas, dimana tidak hanya mencakup penyakit
karantina tetapi juga mencakup PHEIC.
c. Saat ini di dunia sudah banyak muncul penyakit baru sepeti SARS dan
Avian Influenza yang sangat potensial untuk menyebar ke seluruh dunia.
d. Beberapa penyakit sifatnya sangat spesifik lokal seperti pes dan demam
bolak-balik.
3. Ragamnya Perundang-undangan Karantina
a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut dan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara
mempunyai isi yang sangat mirip sejak Pasal 1 sampai pasal terakhir.
Perbedaannya hanya pada beberapa pasal tentang pengaturan
pelaksanaan karantina menurut tempat yaitu mengatur karantina laut dan
karantina udara. Dengan kondisi nyata seperti itu, apakah memang
diperlukan dua produk undang undang yang berbeda. Atas dasar
beberapa pertimbangan seperti pertimbangan efisiensi dan kepraktisan
operasional dilapangan maka perlu dicermati terhadap kemungkinan
penggabungan kedua produk undang-undang tersebut.
b. Undang-undang Nomor 1 dan 2 Tahun 1962 dengan undang undang
karantina lainnya
Di samping Undang-undang Nomor 1 dan Undang-undang Nomor 2
Tahun 1962, juga ada peraturan perundang-undangan lain yang mengatur
tentang karantina, seperti Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang:
Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan. Bila dicermati maka dalam banyak
hal Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 juga mengandung kemiripan dan
saling berhubungan. Kalau Undang-undang Nomor 1 dan 2 Tahun 1962
mengatur tentang karantina pada manusia, maka undang undang yang lain
mengatur karantina tentang hewan, tumbuhan dan ikan. Dalam teori dinamika
penyakit hewan, tumbuhan dan ikan yang mengandung bahan berbahaya
93
termasuk bibit penyakit adalah merupakan faktor risiko terjadinya masalah
kesehatan bagi manusia. Di samping itu dengan banyaknya produk hukum
yang sebenarnya ada kemiripan dan saling berhubungan, juga memberikan
potensi kerancuan dalam implementasi dilapangan, selain juga akan
berpotensi terjadinya in efisiensi.
4. Istilah Isolasi Dan Karantina
Penggunaan istilah isolasi dan karantina dalam pengertian definisi
cukup mudah dipahami oleh setiap orang. Akan tetapi dalam tataran
implementasi sangat sulit dipahami dan dilaksnakan. Dalam produk undang
undang ini diperlukan aturan dan petunjuk yang lebih jelas yang menyangkut
hal tersebut diatas agar bagi pelaksana dilapangan mempunyai pedoman
yang benar benar dapat diimplementasikan.
D.2. Aparatur Hukum
Aparatur hukum terkait dengan karantina laut dan udara, terutama
berfungsi dalam pengawasan dan pembinaan. Dalam Undang-Undang
Karantina Laut dan Undang-Undang Karantina Udara masalah pengawasan
belum dijabarkan dalam pasal-pasal dan hanya terdapat dalam ketentuan
umum saja. Sementara itu dengan keluarnya Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, disitu banyak hal-hal baru yang
belum diantisipasi oleh Undang-Undang Karantina Laut dan Udara. Salah
satu perkembangan terkini yang belum diantisipasi dengan baik oleh kedua
Undang-undang tersebut adalah otonomi daerah.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah, yang menjadi kewenangan daerah provinsi adalah
pelayanan bidang kesehatan yang bersifat lintas kabupaten/kota, sedangkan
kewenangan pemerintahan daerah kabupaten/kota terkait adalah pelayanan
kesehatan yang lingkupnya hanya dalam tingkat satu kabupaten/kota saja.
Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan
Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota ditetapkan
kewenangan Pemerintah Pusat dalam bidang-bidang lain, selain politik luar
negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal. Bidang lain
94
tersebut antara lain adalah bidang kesehatan, meliputi penetapan kebijakan
untuk mengambil tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan dan
sarana pelayanan serta sarana lainnya. Ditetapkan juga masalah
kelembagaan dan tenaga profesional serta persyaratan jabatan merupakan
kewenangan pemerintah pusat.
Khusus mengenai masalah Karantina laut dan udara terdapat
beberapa lembaga yang menangani hal tersebut, meliputi Departemen
Kesehatan dengan berbagai perangkatnya baik di pusat maupun daerah
(misalnya pegawai pengawas tingkat pusat maupun dinas), Departemen
Keuangan (Ditjen Bea dan Cukai), Departemen Perhubungan, Departemen
Hukum dan HAM (Ditjen Imigrasi) dan sebagainya. Dengan begitu banyaknya
lembaga yang fungsinya saling berkaitan serta memiliki beragam
kewenangan dalam pelaksanaan karantina kesehatan, masalah tumpang
tindih dan koordinasi kewenangan menjadi persoalan utama. Hal tersebut
terjadi baik di tingkat pusat dan daerah maupun lintas departemen atau
sektor.
1. Koordinasi
Mengenai masalah koordinasi, setidaknya terdapat 4 jenis koordinasi
meliputi koordinasi kebijakan, operasional, struktur maupun fungsional.
Undang-Undang Karantina laut dan udara yang ada saat ini masih menganut
kombinasi antara sistem sentralisasi kebijakan dan desentralisasi
operasional. Dengan prinsip kemitraan, diharapkan koordinasi antar lembaga
desentralisasi operasional dapat berjalan dengan baik.
Adapun secara umum, pelaksanaan koordinasi dapat bersifat verttikal
maupun horisontal.
a. Koordinasi vertikal
Pemerintah pusat berwenang merumuskan kebijakan standar,
pedoman serta kriteria teknis bidang pelayanan kesehatan
Pemerintah Provinsi berwenang membina pengawasan dan monitoring
pelaksanaan pelayanan kesehatan lintas kabupaten/kota.
95
Pemerintah Kabupaten/kota melakukan pengawasan operasional
pelayanan kesehatan ditingkat kabupaten/kota melalui pegawai
pegawai pengawas dan ahli kesehatan.
b. Koordinasi horisontal
Koordinasi horisontal perlu dilakukan di tingkat provinsi dan
kabupaten/kota terkait masalah materi muatan antar/lintas sektor maupun
pengawasan kesehatan sesuai lingkup kewenangannya. Khusus koordinasi
operasional lintas sektor dapat memanfaatkan fungsi-fungsi kerjasama antar
instansi. Adapun koordinasi horisontal di daerah dapat dilaksanakan melalui
pembentukan tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Dengan keluarnya
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang kewenangan
pengawasan Pemerintah Pusat, provinsi dan Pemerintah kabupaten/kota,
maka masalah pengawasan ini secara birokrasi sudah mulai tertata.
2. Sumber Daya Manusia
Pembinaan sumber daya manusia dilakukan melalui mekanisme
jenjang struktural (Departemen Kesehatan) dan pembinaan melalui
mekanisme jenjang fungsional.
D.3 Budaya Hukum
Kesadaran hukum masyarakat dan aparatur pelaksana relatif masih
rendah. Hal ini terkait dengan pendidikan dan sosialisasi materi hukum, hanya
sedikit anggota masyarakat yang mengerti hukum (peraturan perundang-
undangan), dan lebih sedikit lagi masyarakat yang sadar hukum (mematuhi
hukum atau peraturan). Pendidikan yang relatif rendah kemungkinan menjadi
penyebab hal ini.
Sosialisasi produk hukum khususnya di bidang pelayanan kesehatan
juga masih sangat terbatas. Hanya sebagian kecil masyarakat yang
mengetahui dan mengerti tentang peraturan perundang-undangan yang
menyangkut pelayanan kesehatan yang akibatnya akan terjadi penjalaran
wabah penyakit ke daerah lain.
Kedua hal di atas tersebut yang pada akhirnya menjadikan penerapan
hukum dari pelaksanaan kedua undang-undang ini menjadi rendah. Sanksi
96
yang seharusnya menjadikan orang yang melanggar ketentuan itu menjadi
jera atau orang yang akan melanggar ketentuan itu menjadi takut menjadi
tidak terlaksana, sehingga tujuan dari sanksi pidana yang terdapat di dalam
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut dan Undang-
undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara tidak sepenuhnya
tercapai.
Aparatur hukum (Departemen Kesehatan dan instansi terkait) tentunya
sudah mengetahui dan memahami adanya peraturan perundang-undangan
yang mengatur masalah karantina laut dan udara. Aparatur ini juga memiliki
kesadaran hukum yang tinggi dalam arti berusaha menegakkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Budaya hukum masyarakat dan aparatur
pemerintah (khususnya bidang pelayanan kesehatan) terkait dengan
peraturan perundang-undangan yang seharusnya melakukan tugas
pemeriksaan, masih perlu diperbaiki. Usaha untuk memperbaiki budaya
hukum ini dapat dilakukan melalui pendidikan, peningkatan kesejahteraan
dan sosialisasi. Hal ini tidak mudah dilakukan serta memerlukan waktu yang
cukup lama. Perubahan budaya hukum masyarakat harus dilakukan secara
sistematis dan berkelanjutan.
D.4. Sarana Dan Prasarana
Untuk menghasilkan pelaksanaan kerja yang baik, sarana dan
prasarana kesehatan harus tersedia, seperti bangunan dan peralatan yang
cukup memadai (laboratorium lapangan, perlengkapan kerja, alat pelindung
diri, instalasi isolasi, ambulans). Ketersediaan sarana dan prasarana seperti
ini kemungkinan penanganan pada orang yang terjangkit penyakit yang dapat
menimbulkan PHEIC akan lebih baik.
Dalam pembinaan terhadap tenaga/petugas di lapangan diperlukan
tenaga pembina dan biaya yang tidak sedikit jumlahnya. Dalam kenyataannya
kedua hal ini relatif sangat terbatas. Untuk memperkecil kendala ini sebaiknya
pembinaan dilakukan secara koordinatif dan sinergi antar lembaga yang
berwenang, baik ditingkat pusat maupun daerah. Pembinaan juga harus
diberikan kepada orang yang terjangkit penyakit yang dapat menimbulkan
PHEIC.
97
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS
Beberapa dasar yang perlu dijadikan landasan dan acuan dalam
penyusunan UU Karantina Kesehatan:
A. Landasan Filosofis
1. Kesehatan merupakan bagian dari Hak Azasi Manusia sebagaimana
termuat dalam UUD 1945 pasal 28 (h), dan kewajiban negara untuk
menyelenggarakan pelayanan kesehatan dengan tujuan untuk
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya.
98
2. Universal Declaration of Bioethics and Human Rights memutuskan
bahwa perlu dan sudah waktunya bangsa Indonesia sebagai bagian dari
masyarakat Internasional untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat
manusia yang merupakan prinsip-prinsip universal. Hal ini lebih
mengemuka setelah terjadinya kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang justru mengakibatkan penderitaan umat manusia akibat
pelaku-pelaku yang tidak memahami masalah bioetika dan hak azasi
manusia. Kemajuan ilmu dan teknologi dapat disalahgunakan untuk
menyebarkan virus, kuman, nubika yang akan mengganggu kedamaian
hidup antar manusia melalui perang, bioterorisme, penyalahgunaan
kekuasaan, perdagangan yang tidak etis (komersialisasi) antar negara,
antar pulau dan antar wilayah yang pada gilirannya dapat
membahayakan kesehatan manusia melalui penularan di tempat-tempat
yang strategis. Hal ini memunculkan adanya kewajiban suatu negara
untuk melindungi rakyat dan bangsanya.
3. Virus, kuman tidak mengenal batas administrasi wilayah, sangat kecil,
mudah dibawa-bawa, sulit dipantau tapi efeknya bisa menimbulkan
korban dalam waktu singkat dengan jumlah yang banyak sehingga
menimbulkan kepanikan massa, dengan demikian akan mengganggu
ketahanan dan keamanan negara.
4. Karantina pada hakekatnya adalah penahanan (pembatasan gerak)
orang yang apabila tidak dilandasi dengan kejelasan kewenangan
terhadap pelaksanaannya dapat dikatagorikan sebagai pelanggaran
HAM. Untuk itu negara memiliki kewajiban untuk menjaga
keseimbangan antara kepentingan menjaga kesehatan masyarakat
dengan kepentingan penghormatan terhadap HAM. Berkaitan dengan
kewajiban negara tersebut maka perlu adanya peraturan perundang-
undangan tentang Karantina Kesehatan yang bertujuan untuk
melindungi kesehatan masyarakat, SDM kesehatan dan individu
manusia sebagai penyandang HAM.
B. Landasan Sosiologis
1. Kuman dan virus maupun mikro organisme lainnya secara alami
mengalami perubahan yang cepat seiring dengan perubahan iklim,
99
teknologi dan lingkungan, sehingga menimbulkan penyakit baru dan
atau penyakit lama yang muncul kembali dengan kemampuan
penyebaran yang lebih besar. Dengan demikian upaya pengendalian/
pemberantasannya makin sulit karena harus makin komprehensif dan
membutuhkan biaya yang besar mengingat ruang lingkup sangat luas
baik geografis, waktu, maupun orang/ masyarakat. Hal ini dapat
dikatagorikan sebagai bencana nasional bahkan internasional.
2. Di era perdagangan bebas dan kemajuan teknologi transportasi akan
menyebabkan pergeseran epidemiologi penyakit. Hal ini ditandai
dengan penyebaran kejadian penyakit dari satu benua ke benua lainnya,
melalui mobilitas orang dan barang yang membawa atau terkontaminasi
bibit penyakit dan faktor risiko.
3. Perubahan kuman dan virus baik secara alami maupun secara rekayasa
teknologi, dapat menimbulkan risiko kesehatan secara global. Antisipasi
risiko ini telah diatur dalam IHR 2005 yang bertujuan mencegah,
melindungi dan mengendalikan penyebaran penyakit lintas negara, yang
bila Indonesia tidak melaksanakannya akan dikucilkan dari pergaulan
internasional.
4. Negara Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki banyak
pelabuhan laut, udara dan pos lintas batas darat, merupakan faktor
risiko untuk penyebaran penyakit menular serta masuknya bahan
berbahaya (limbah B3) yang semuanya dapat berpotensi PHEIC.
C. Landasan Yuridis
1. Pancasila merupakan falsafah negara yang isinya tertuang dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 memberikan perlindungan
bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
2. Dalam Undang-undang No 23 tahun 1992, tentang kesehatan,
disebutkan bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia sebagai
bagian dari kesejahteraan, sebagai modal pembangunan bangsa, yang
pada gilirannya merupakan bagian dari sistem Ketahanan Nasional.
3. Dalam IHR 2005 disebutkan bahwa seluruh negara anggota Organisasi
Kesehatan Dunia harus mampu mendeteksi dan merespon secara dini
100
seluruh kejadian yang berpotensi PHEIC. Salah satu upaya merespon
secara dini adalah dengan melaksanakan tindakan karantina di pintu
masuk, tindakan karantina rumah dan tindakan karantina wilayah.
4. Sebagai negara anggota Organisasi Kesehatan Dunia, Indonesia sudah
menerima dan melaksanakan IIHR 2005 sejak tanggal 15 Juni 2007
namun belum diratifikasi kedalam undang-undang. Agar IHR 2005 dapat
dilaksanakan sesuai yang diamanatkan, maka Indonesia harus
meratifikasi IHR 2005 dalam bentuk undang-undang.
5. Peraturan perundang-undangan yang ada saat ini yaitu UU No.1 Tahun
1962 tentang Karantina Laut, UU No.2 Tahun 1962 tentang Karantina
Udara sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan penyakit dan
teknologi, karena belum melibatkan PHEIC yang mengatur secara tegas
tentang karantina kesehatan, sehingga perlu diganti dengan Undang-
undang yang baru.
101
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI
UNDANG-UNDANG, PERATURAN DAERAH PROPINSI, ATAU
PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA
A. Sasaran
Pengaturan Kekarantinaan yang telah ada saat ini, tersebar dalam
berbagai produk peraturan perundang-undangan diantaranya adalah Undang-
Undang No. 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut, Undang-Undang No. 2
Tahun 1962 tentang Karantina Udara, dan Undang-Undang No. 16 Tahun
1992 Tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan, Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan serta produk perundang-undangan
lain di bidang kesehatan. Untuk efektivitas dan efisiensi pembentukan suatu
undang-undang yang mengatur “Kekarantinaan” yang substansinya meliputi
karantina kesehatan (manusia), hewan, ikan dan tumbuhan secara
komprehensif perlu dibentuk.
B. Ketentuan Umum
1. Pengertian
Alat angkut adalah pesawat udara, kapal, kereta api, kenderaan
darat atau sarana lain yang digunakan untuk melakukan
perjalanan.
Alat angkut dalam karantina adalah alat angkut yang berada di
pintu masuk yang terpapar faktor risiko kedaruratan kesehatan
masyarakat yang meresahkan dunia untuk dilakukan tindakan
kekarantinaan dan tindakan penyehatan bila diperlukan.
Alat angkut terjangkit adalah alat angkut yang di dalamnya
terdapat atau ditemukan penderita yang dapat menimbulkan
kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia.
Awak alat angkut adalah orang yang bekerja atau dipekerjakan di
alat angkut untuk melakukan tugas di atas alat angkut tersebut
sesuai dengan jabatannya.
102
Barang adalah produk nyata, termasuk hewan dan tumbuhan yang
dibawa pada perjalanan, termasuk yang akan digunakan dalam
alat angkut.
Bagasi adalah barang milik pelaku perjalanan
Bandar udara adalah lapangan terbang yang dipergunakan untuk
mendarat dan lepas landas pesawat udara, naik turun penumpang,
dan/ atau bongkar muat kargo dan/ atau pos, serta dilengkapi
dengan fasilitas keselamatan penerbangan dan sebagai tempat
perpindahan antar moda transportasi
Buku Sertifikat Vaksinasi Internasional (ICV) adalah surat
keterangan Imunisasi Internasional yang berlaku untuk perjalanan
Internasional dan menerangkan bahwa seseorang telah mendapat
imunisasi.
Dokumen kesehatan adalah surat keterangan kesehatan yang
dimiliki oleh setiap alat angkut, awak, penumpang, barang dan
pelintas batas yang memenuhi syarat-syarat Nasional dan
Internasional.
Deteksi Dini adalah upaya identifikasi sedini mungkin terhadap
kemungkinan adanya penyakit, kejadian dan/ atau faktor risiko
yang dapat menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat
yang meresahkan dunia.
Dokter Karantina adalah tenaga kesehatan yang memiliki profesi
dokter dengan kompentensi kekarantinaan.
Episenter adalah titik awal terjadinya kejadian atau penyakit.
Episenter PHEIC adalah titik awal terjadinya penyakit, kejadian
dan/ atau faktor risiko yang dapat menyebabkan kedaruratan
kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia
Hapus hama adalah tindakan untuk menghilangkan bibit penyakit
menular pada permukaan tubuh manusia atau hewan dan pada
permukaan atau di dalamnya bagasi, kargo, petikemas, alat
angkut, barang dan paket pos dengan menggunakan bahan kimia
atau bahan fisika Irradiasi, sinar Ultra Violet)
103
Hapus serangga adalah tindakan untuk mengendalikan atau
membunuh serangga penular penyakit yang ada di bagasi, kargo,
peti kemas, alat angkut, barang dan paket pos.
Hapus tikus adalah prosedur untuk memberantas atau membunuh
binatang pengerat/ tikus yang terdapat di dalam bagasi, kargo, peti
kemas, alat angkut, ruangan, barang dan paket pos.
Informasi Karantina Kesehatan adalah laporan atau
pemberitahuan tentang keberadaan sehat atau terjangkit penyakit,
kejadian dan/ atau faktor risiko yang dapat menyebabkan
kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia di
suatu wilayah, pelabuhan atau negara,
Isolasi adalah pemisahan orang sakit/ terkontaminasi; bagasi; peti
kemas; alat angkut; barang-barang; dan paket pos yang terpapar
terhadap orang/ barang lainnnya sedemikian rupa untuk mencegah
penyebaran penyakit atau kontaminasi.
Izin masuk (free pratique) adalah pernyataan dari yang
berwenang bagi alat angkut untuk memasuki suatu pelabuhan,
bandar udara, dan pos lintas batas darat untuk menaikkan atau
menurunkan penumpang, membongkar atau memuat kargo atau
menyimpannya
Karantina adalah pembatasan kegiatan dan/atau pemisahan
seseorang yang diduga terinfeksi penyakit meski belum
menunjukkan gejala penyakit, pemisahan peti kemas, alat angkut,
atau barang-barang yang tersangka (suspek) atau diduga
terkontaminasi dari orang/barang lain, sedemikian rupa untuk
mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi
Karantina Rumah adalah tidakan karantina yang dilaksanakan
setelah adanya sinyal awal penyakit yang dapat menyebabkan
kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia
setelah dilakukan penyelidikan epidemiologi dan pemeriksaan
cepat laboratorium oleh petugas kesehatan yang mempunyai
kompetensi dan kewenangan di wilayah tersebut, yang tujuannya
untuk mencegah penyebaran penyakit
104
Karantina Wilayah adalah tindakan Karantina di wilayah episenter
kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia yang
dimulai setelah Pemerintah menetapkan penanggulangan
episenter berdasarkan hasil verifikasi secara epidemiologi dan
laboratorium
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial
yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial
dan ekonomis
Kartu kewaspadaan kesehatan (Health Alert Card) adalah kartu
yang diberikan kepada orang sehat yang terpapar penderita
penyakit, kejadian dan/ atau faktor risiko yang dapat menyebabkan
kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia
dengan maksud bila orang tersebut menderita/ menunjukkan tanda
dan atau gejala penyakit dapat dilacak.
Kargo adalah muatan yang dibawa oleh suatu alat angkut atau
barang yang ada dalam peti kemas.
Kapal adalah kapal laut atau kapal sungai/ danau dalam suatu
perjalanan nasional dan internasional
Kejadian Luar Biasa adalah timbulnya atau meningkatnya
kejadian kesakitan/ kematian yang bermakna secara epidemiologis
pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu dan merupakan
keadaan yang dapat menjurus pada terjadinya kedaruratan
kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia.
Kontaminasi adalah ditemukannya bibit penyakit menular atau
bahan beracun pada permukaan tubuh manusia atau hewan, atau
pada suatu produk yang akan dikonsumsi atau pada benda mati
lainnya termasuk alat angkut, yang dapat menimbulkan risiko
kesehatan masyarakat.
Kendaraan darat adalah alat transportasi darat dalam perjalanan
seperti kereta api, bus, truk, mobil, dan sarana lainnya.
Kedatangan alat angkut adalah saat tiba atau membuang sauh
kapal laut di lokasi yang telah ditentukan di pelabuhan dan/ atau
saat mendarat pesawat udara di suatu bandar udara dan/ atau saat
tiba di pintu masuk kereta api atau kendaraan darat lainnya
105
Lalu lintas internasional adalah pergerakan orang, bagasi, kargo,
petikemas, alat angkut, barang atau paket pos yang melintasi
perbatasan internasional, termasuk perdagangan internasional.
Laik terbang adalah memenuhi persyaratan yang ditentukan serta
aman untuk terbang di udara bagi manusia.
Masa Inkubasi adalah waktu yang diperlukan mulai dari masuknya
bibit penyakit sampai timbulnya gejala.
Masyarakat Pelabuhan adalah masyarakat yang berada di area
pelabuhan antara lain: pelaku perjalanan; pengunjung; pegawai
instansi yang bekerja di pelabuhan seperti Perhubungan, Imigrasi,
Kesehatan, Bea Cukai, Kepolisian dan lain-lain; pengelola terminal,
restoran, gudang, peti kemas atau pedagang kaki lima di
pelabuhan; dan buruh di pelabuhan.
Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang
kesehatan.
Nuklir adalah bahan, benda atau zat radioaktif yang dapat
menimbulkan gangguan kesehatan secara radiasi.
Pelabuhan adalah suatu tempat yang terdiri dari daratan dan
perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat
kegiatan pemerintahan dan kegiatan ekonomi yang dipergunakan
sebagai kapal bersandar, berlabuh, naik turun penumpang dan
atau bongkar muat barang yang dilengkapi dengan fasilitas
keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta
sebagai tempat perpindahan intra dan antar sarana transportasi.
Pelayanan kesehatan rujukan adalah membawa/ mengangkut
penderita dengan menggunakan ambulans khusus yang dilengkapi
dengan alat yang menjamin pencegahan penyebaran penyakit,
dalam perjalanan dan sekaligus dapat memberikan pertolongan
darurat selama dalam perjalanan menuju institusi pelayanan
rujukan.
Pelintas batas adalah penduduk yang berdiam atau bertempat
tinggal dalam wilayah perbatasan negara serta memiliki kartu
identitas yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang dan yang
106
melakukan perjalanan lintas batas di daerah perbatasan melalui
Pos Lintas Batas Darat
Pos Lintas Batas Darat adalah pintu masuk orang, barang, alat
angkut melalui darat di suatu negara
Paket pos adalah paket yang dibubuhi alamat yang dikirim lintas
negara melalui layanan pos atau layanan pengiriman lainnya
Pemeriksaan Kekarantinaan adalah suatu kegiatan oleh petugas
karantina kesehatan untuk menentukan keadaan sehat atau
terjangkit penyakit/ faktor risiko yang dapat menyebabkan
kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia
terhadap orang, barang dan alat angkut.
Pemeriksaan Laboratorium merupakan upaya penegakan
diagnosa dengan melakukan pengambilan spesimen dari
penderita, tersangka, atau lingkungan (makanan, air yang
tercemar), pengolahan spesimen dan pembacaan hasil
laboratorium (konfirmasi laboratorium).
Pengamatan Kesehatan Masyarakat adalah pemantauan status
kesehatan pelaku perjalanan selama beberapa waktu untuk
menetapkan ada tidaknya risiko penularan penyakit.
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) adalah pegawai negeri
sipil yang memiliki kewenangan dan kompetensi dalam melakukan
penyidikan dan tindakan sesuai dengan peraturan perundangan.
Petugas karantina kesehatan adalah pegawai negeri sipil yang
mempunyai keahlian tertentu yang diberi tugas untuk melakukan
upaya karantina kesehatan dan atau tindakan penyehatan
berdasarkan Undang-undang ini.
Pintu Masuk adalah perlintasan untuk keluar masuknya pelaku
perjalanan, bagasi, kargo, peti kemas, alat angkut, barang dan
paket pos yang bersifat nasional maupun internasional. Juga
mencakupi tempat keluar masuknya agen alat angkut dan tempat
yang menyediakan pelayanan bagi semua yang disebut dimuka.
Pemeriksaan Medik adalah penilaian awal terhadap seseorang
oleh dokter atau petugas kesehatan di bawah pengawasan dokter
yang berkompeten, untuk menentukan status kesehatan orang
107
tersebut dan risiko kesehatan masyarakat yang potensial.
Pemeriksaan dapat mencakup pemeriksaan dokumen kesehatan,
dan pemeriksaan fisik bila dianggap perlu berdasarkan keadaan
orang tersebut.
Public Health Emergency Of International Concern
(kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia)
adalah kejadian luar biasa yang merupakan risiko kesehatan
masyarakat bagi negara lain karena dapat menyebar lintas negara
dan berpotensi memerlukan respons internasional secara
terkoordinasi
Pelaku Perjalanan adalah adalah seseorang yang melakukan
perjalanan baik di dalam satu wilayah Negara Indonesia dan atau
perjalanan internasional.
Perjalanan Internasional Alat Angkut adalah: perjalanan diantara
pintu masuk di dalam wilayah lebih dari satu negara atau
perjalanan diantara pintu masuk dan wilayah dari satu negara yang
sama jika alat angkut tersebut pernah singgah di negara lain.
Perjalanan Internasional Pelaku Perjalanan adalah masuknya
yang bersangkutan ke dalam wilayah suatu negara ke dalam
wilayah suatu negara yang berbeda dari wilayah Negara dimana
dia memulai perjalanannya.
Risiko Kesehatan masyarakat adalah kemungkinan timbulnya
pengaruh buruk dari suatu peristiwa terhadap kesehatan
masyarakat dengan penekanan pada peristiwa/ faktor risiko yang
dapat menyebar lintas negara atau besar bahayanya.
Seorang terjangkit adalah seorang yang dinyatakan menderita
penyakit, yang dapat menyebabkan kedaruratan kesehatan
masyarakat yang meresahkan dunia oleh pejabat kesehatan.
Seorang tersangka adalah seorang yang dianggap oleh petugas
karantina kesehatan telah mengalami kemungkinan penularan
penyakit yang berisiko Kedaruratan kesehatan masyarakat yang
meresahkan dunia.
Seseorang dalam pengamatan (under surveilance) adalah
tindakan karantina bagi tersangka penyakit, kejadian dan/ atau
108
faktor risiko yang dapat menyebabkan kedaruratan kesehatan
masyarakat yang meresahkan dunia yang diwajibkan untuk
memenuhi persyaratan kesehatan, tanpa membatasi pergerakan
yang bersangkutan.
Surveilans adalah pengumpulan, pengolahan dan analisa data
secara sistematis di bidang kesehatan masyarakat serta
penyebaran informasi secara tepat waktu guna melakukan
penilaian dan mengambil tindakan.
Sumber penularan adalah hewan, tumbuhan atau benda tempat
bibit penyakit biasanya hidup yang dapat merupakan risiko
kesehatan masyarakat.
Suspek (terduga) adalah adalah orang, bagasi, kargo, petikemas,
alat angkut, barang, atau paket pos yang dianggap telah terpajan
atau mungkin terpajan suatu faktor risiko kesehatan masyarakat
yang mungkin menjadi sumber penyebaran penyakit.
Tindakan Penyehatan adalah kegiatan yang dilakukan oleh
petugas karantina kesehatan terhadap alat angkut dan barang
untuk mencegah penyakit yang berisiko kedaruratan kesehatan
masyarakat yang meresahkan dunia.
Tindakan Karantina adalah pemeriksaan kesehatan dan segala
usaha penyehatan terhadap kapal/pesawat udara, bagasi, muatan
barang, muatan hewan dan muatan tanaman.
Terduga adalah orang, bagasi, kargo, peti kemas, alat angkut,
barang atau paket pos yang dianggap telah terpajan atau mungkin
terpajan suatu faktor resiko kesehatan masyarakat yang mungkin
menjadi sumber penyebaran penyakit.
Upaya karantina kesehatan adalah segala kegiatan pengendalian
faktor risiko gangguan kesehatan untuk mencegah tersebarnya
penyakit yang berisiko kedaruratan kesehatan masyarakat yang
meresahkan dunia yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan
atau masyarakat.
Vektor adalah serangga atau hewan lain yang biasanya
membawa bibit penyakit yang merupakan suatu risiko kesehatan
masyarakat.
109
Wabah adalah berjangkitnya suatu penyakit menular dalam
masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata
melebihi dari pada keadaan yang lazim pada waktu dan daerah
tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka.
Wilayah Episenter Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Yang
Meresahkan Dunia adalah wilayah dimana terjadinya titik awal
kejadian atau penyakit yang berisiko Kedaruratan kesehatan
masyarakat yang meresahkan dunia
Zona Karantina adalah wilayah tempat lepas jangkar kapal
dan/atau tempat parkir pesawat untuk melakukan tindakan
karantina
B. Materi Pokok
B.1. Azas dan Tujuan
Azas Karantina kesehatan adalah berasaskan perikemanusiaan,
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, azas manfaat, azas adil dan
merata, azas perikehidupan serta azas kepercayaan pada kemampuan dan
kekuatan sendiri denagn tidak membeda-bedakan golongan, agama dan
bangsa.
Tujuan dari karantina kesehatan adalah mengendalikan dan
penyehatan penyakit / kejadian yang berpotensi kejadian luar biasa/ wabah
dengan cara mencegah keluar dan masuknya dari dan ke wilayah Republik
Indonesia.
B.2. Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Yang Meresahkan Dunia
(PHEIC)
Kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia (PHEIC)
adalah suatu kejadian luar biasa dengan ciri-ciri sebagai berikut:
Merupakan risiko kesehatan masyarakat bagi negara lain, karena dapat
menyebar lintas negara dan
Berpotensi memerlukan respon Internasional.
Untuk menetapkan semua kejadian yang mungkin merupakan PHEIC,
negara harus menilai kejadian menggunakan algoritma yang terdapat pada
lampiran 2 IHR 2005. Semua kejadian yang mungkin merupakan PHEIC
110
harus dilaporkan ke WHO oleh focal point nasional dalam waktu 24 jam
dengan menggunakan alat komunikasi cepat. WHO dalam 24 jam melakukan
verifikasi terhadap laporan kejadian PHEIC dan berdasarkan hasil verifikasi
tersebut Menteri Kesehatan dapat menetapkan penyakit/ kejadian PHEIC
disuatu wilayah. Didalam penanggulangan PHEIC ini negara dapat meminta
bantuan dari WHO dengan melibatkan organisasi teknis lainnya.
B.3. Dokumen Karantina Kesehatan
Di dalam pengawasan lalu-lintas alat angkut, orang dan barang melalui
pintu masuk negara yang berhubungan dengan lalu-lintas Internasional harus
sesuai dengan yang direkomendasikan oleh WHO didalam IHR 2005. Untuk
lalu-lintas dalam negeri, pemerintah dapat menetapkan Dokumen Karantina
Kesehatan dalam rangka mencegah dan melindungi dari penyebaran
penyakit menular. Dokumen yang direkomendasikan oleh WHO di dalam IHR
2005 adalah Sertifikat Vaksinasi Internasional dan Profilaksis lainnya,
Maritime Declaration of Health, Health Part of The Aircraft General
Declaration, Sertifikat Sanitasi Kapal (Ship Sanitation Control Exemption
Certificates and Ship Sanitation Control Certificate, one month Exemption
SSCEC), Health Alert Card, sedangkan dokumen karantina kesehatan yang
direkomendasikan oleh Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia
adalah Certificate of Pratique, Buku Kesehatan Kapal, Sertifikat P3K, Cargo
List, crew list, passenger list, Voyage of Memmo/List Port of Call, General Nil
List, Port Health Quarantine Clearance, sertifikat Disinseksi pesawat, sertifikat
Disinfeksi pesawat, dan Sertifikat Kesehatan OMKABA (obat, makanan,
kosmetika, alat kesehatan dan bahan adiktif lainnya); surat izin kesehatan laik
terbang, surat izin kesehatan angkut orang sakit, surat izin kesehatan angkut
jenazah.
Setiap alat angkut, yang masuk dan atau keluar melalui pelabuhan di
Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus memiliki dokumen
karantina kesehatan. Setiap awak dan/atau penumpang alat angkut dan
pelintas batas yang datang dari pelabuhan atau daerah terjangkit yang masuk
baik dari luar negeri maupun di dalam negeri kesuatu pelabuhan di wilayah
Indonesia harus memiliki dokumen karantina kesehatan.
111
Setiap awak dan/atau penumpang alat angkut, dan pelintas batas yang
akan ke luar negeri melalui pelabuhan di wilayah Republik Indonesia harus
memiliki dokumen karantina kesehatan sesuai dengan ketentuan dan/atau
sesuai ketentuan dari negera tujuan.
Setiap barang yang dapat menjadi sumber penularan penyakit yang
datang dari luar negeri atau dari pelabuhan dan/ atau dari daerah terjangkit
melalui pelabuhan di wilayah Indonesia harus memiliki dokumen karantina
kesehatan.
Ketentuan mengenai jenis, bentuk, dan persyaratan dokumen
karantina kesehatan di atur dengan Keputusan Menteri.
112
B.4. Upaya Karantina Kesehatan
B.4.1. Pengertian Umum
Upaya karantina kesehatan adalah kumpulan kegiatan di pintu masuk
dan wilayah terjangkit yang berisiko dan/ atau sedang terjadi kedaruratan
kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia. Upaya tersebut meliputi:
Kegiatan karantina kesehatan berupa pemeriksaan dan pembatasan gerak
terhadap orang, barang, alat angkut ; Kegiatan surveilans epidemiologi faktor
risiko dan respon cepat; Kegiatan pelayanan kesehatan; Kegiatan
penyehatan lingkungan.
Kegiatan karantina kesehatan adalah pengawasan terhadap lalu-lintas
orang, barang, alat angkut berupa pemeriksaan dalam rangka deteksi dini
adanya penyakit, kejadian dan/atau faktor risiko yang menimbulkan
Kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia. Kegiatan
pemeriksaan lalu lintas barang di tujukan kepada sediaan farmasi dan alat
kesehatan, makanan minuman, produk biologi, bahan-bahan berbahaya,
bahan lainnya ; Kegiatan karantina kesehatan dapat dilakukan melalui
pemeriksaan dokumen kesehatan; pemeriksaan phisik; pengambilan sampel
dan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan dilakukan untuk menentukan
keadaan sehat atau terjangkitnya suatu orang, barang dan alat angkut.
Apabila ada indikasi terjangkit dan atau kemungkinan terjangkit, maka
dilakukan pembatasan gerak berupa karantina dan isolasi.
Kegiatan surveilans epidemiologi karantina kesehatan adalah proses
pengumpulan, pengolahan, analisa, interpretasi data dan penyebaran
informasi dilakukan secara sistematik dan terus menerus dalam rangka
deteksi dini adanya penyakit, kejadian dan/ atau faktor risikonya yang bisa
menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia
dipintu masuk dan wilayah; Kegiatan surveilans epidemiologi karantina
kesehatan ditujukan ke pada orang, alat angkut, barang termasuk jenazah,
kerangka jenazah, OMKABA dan lingkungan, serta perkembangan informasi
epidemiologis secara nasional maupun global; Kegiatan respon cepat adalah
tindakan penyelidikan epidemiologis untuk mengetahui gambaran
epidemiologis yang terjadi, mengetahui penyebabnya dan menetapkan
langkah-langkah penanggulangan dalam rangka pencegahan penyebaran
113
penyakit, kejadian dan/ atau faktor risiko yang bisa menimbulkan Kedaruratan
kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia
Kegiatan penyehatan lingkungan adalah pengendalian lingkungan
dalam rangka deteksi dini faktor risiko Kedaruratan kesehatan masyarakat
yang meresahkan dunia; Kegiatan kesehatan lingkungan meliputi:
penyehatan air, udara, makanan dan minuman, penyehatan tanah,
penyehatan bangunan, penyehatan limbah padat, cair, gas, radiasi,
pengendalian vector dan binatang pengganggu lainnya serta upaya
penyehatan lingkungan lainnya.
Kegiatan pelayanan kesehatan terbatas adalah pemeriksaan
kesehatan terhadap orang dalam rangka deteksi dini penyakit yang berisiko
kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia; Kegiatan
pelayanan kesehatan terbatas dilakukan antara lain melalui: diagnosa klinis,
laboratorium, pengobatan tepat-segera, isolasi, pemberian imunisasi,
penanggulangan gawat darurat medik, advis medis dan rujukan.
B.4.2. Penyelenggara Upaya Karantina Kesehatan Di Pintu Masuk
Upaya karantina kesehatan diselenggarakan oleh pemerintah dan atau
masyarakat. Pemerintah menjamin terselenggaranya :Kegiatan karantina
kesehatan berupa pemeriksaan dan pembatasan gerak terhadap orang,
barang, alat angkut ; Kegiatan surveilans epidemiologi faktor risiko dan
respon cepat; Kegiatan pelayanan kesehatan terbatas; Kegiatan penyehatan
lingkungan. Menteri menetapkan kelembagaan/ organisasi dan tata kerja unit
pelaksana karantina kesehatan dan menetapkan persyaratan ketenagaan
serta perlengkapan perorangan (DSPP) dan perlengkapan organisasi (POP).
Pemerintah menetapkan standar operasional kegiatan. Pemerintah
menyiapkan fasilitas penyelenggaraan upaya karantina kesehatan meliputi
fasilitas pelayanan kesehatan, alat transport rujukan, alat komunikasi cepat,
laboratorium, alat medis, alat non medis, dan fasilitas kesehatan lainnya,
sesuai dengan standar Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang dipergunakan
secara Internasional.
Pengelola pelabuhan dan penanggung jawab alat angkut wajib
memfasilitasi kegiatan upaya karantina. Petugas karantina kesehatan
114
melakukan pengawasan terhadap fasilitas di atas meliputi perencanaan,
pelaksanaan dan pelaporan kegiatan. Guna pemeriksaan dan pengawasan
tersebut para pengelola pelabuhan harus menyiapkan dokumen/laporan
untuk diperiksa oleh petugas karantina kesehatan. Dokumen mengenai
fasilitas kesehatan diperiksa berkala oleh pejabat karantina kesehatan dan
dokumen dimutakhirkan setiap tahun untuk mengetahui perkembangannya.
B.4.3. Kegiatan Karantina Kesehatan Di Bandar Udara
B.4.3.1.Kegiatan Saat Keberangkatan pada Bandar Udara Sehat
B.4.3.1.1.Pengawasan orang :
Semua penumpang dan crew yang akan melakukan perjalanan
Internasional ke negara terjangkit harus memiliki dokumen karantina
kesehatan berupa Certifikat Vaksinasi Internasional yang disyaratkan oleh
negara tujuan ; Bagi penumpang dan crew yang sakit harus memiliki surat
kesehatan laik terbang yang dikeluarkan oleh dokter karantina kesehatan di
bandar udara untuk mengidentifikasi apakah berpenyakit yang dapat
menyebabkan PHEIC atau tidak ;
Petugas karantina kesehatan mencegah keberangkatan penumpang
dan crew yang berpenyakit, yang dapat menyebabkan PHEIC dengan
melakukan pemeriksaan kesehatan, tatalaksana kasus, tindakan karantina,
rujukan dan isolasi.
B.4.3.1.2.Pengawasan barang :
Petugas karantina kesehatan melakukan pemeriksaan dan
pengawasan terhadap barang yang dibawa oleh pelaku perjalanan, terutama
barang yang mempunyai faktor risiko sumber penularan penyakit; Petugas
karantina kesehatan melakukan pengawasan Obat, Makanan, Kosmetika dan
Alat Kesehatan serta Bahan Adiktif lainnya (OMKABA) bekerja sama dengan
Bea Cukai untuk melakukan pemeriksaan dokumen kesehatan OMKABA dan
pemeriksaan fisik ; Petugas Karantina Kesehatan menolak keluarnya
OMKABA yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Apabila memenuhi syarat
kesehatan maka institusi Karantina Kesehatan menerbitkan sertifikat ekspor
OMKABA.
115
Petugas karantina kesehatan juga melakukan pemeriksaan dokumen
penyebab kematian jenazah yang akan diangkut melalui pesawat. Apabila
memenuhi syarat kesehatan maka institusi karantina kesehatan menerbitkan
surat keterangan kesehatan angkut jenazah; Petugas Karantina Kesehatan
menolak keluarnya jenazah yang akan diangkut melalui pesawat bila
ditemukan berpenyakit, yang dapat menyebabkan PHEIC
B.4.3.1.3.Pengawasan pesawat :
Semua pesawat yang berangkat untuk perjalanan internasional harus
menunjukkan dokumen kesehatan pesawat yang dipersyaratkan oleh
Pemerintah Indonesia ; Dokumen karantina kesehatan pesawat meliputi
General Declaration of Health; Sertifikat Sanitasi Pesawat; Sertifikat
Disinseksi Pesawat; Sertifikat P3K Pesawat;
Petugas karantina kesehatan mencegah keberangkatan pesawat yang
didalamnya terdapat agent (kuman) atau vektor yang dapat menyebabkan
PHEIC ; Dalam melaksanakan pencegahan masuknya penyakit, atau faktor
risiko yang bisa menimbulkan PHEIC kedalam pesawat maka perlu dilakukan
pemeriksaan dan penyehatan makanan, air bersih dan lain-lain.
B.4.3.2.Kegiatan Saat Keberangkatan Pada Bandar udara yang
Mempunyai Akses dengan Wilayah Episenter PHEIC
Petugas karantina kesehatan mencegah keluarnya orang, barang dan
alat angkut yang berasal dari wilayah yang memiliki akses episenter PHEIC
di pintu masuk wilayah bandar udara bekerjasama dengan TNI/ POLRI dan
Securiti bandar udara. Jika ditemukan orang yang berasal dari wilayah
episenter PHEIC tapi tidak memiliki gejala klinis (terpapar) maka dilakukan
tindakan karantina selama 2 kali masa inkubasi di wilayah bandar udara.
Jika ditemukan kasus/suspek yang mengarah ke penyakit penyebab
PHEIC maka orang tersebut dilakukan tindakan isolasi. Terhadap alat angkut
dan barang yang berasal dari episenter PHEIC tidak diperbolehkan
memasuki wilayah bandar udara. Dan terhadap alat angkut, barang tersebut
dilakukan desinfeksi.
Terhadap penumpang yang sehat bukan berasal dari episenter PHEIC
maka penumpang diperbolehkan melanjutkan perjalanan dengan membawa
116
kartu kewaspadaan kesehatan setelah dilakukan pemeriksaan kesehatan di
pintu masuk area non publik.
B.4.3.3. Kegiatan Dalam Perjalanan
Orang sakit yang dinyatakan tersangka berpenyakit yang dapat
menimbulkan PHEIC yang dijumpai dalam perjalanan penerbangan, wajib
dilaporkan melalui radio komunikasi kepada otoritas bandar udara tujuan. Di
bandar udara tujuan pesawat tersebut di parkir pada parkir khusus area
karantina.
Petugas karantina kesehatan dapat melakukan pemeriksaan medis
dan upaya pencegahan lainnya yang diperlukan seperti menurunkan
penderita dari pesawat, memberi pengobatan penderita secara tepat-segera,
merujuknya ke Rumah Sakit serta melakukan tindakan penyehatan terhadap
pesawat dan barang sesuai dengan indikasi penyakit.
B.4.3.4. Kegiatan Saat Kedatangan Dari Bandar Udara Sehat
B.4.3.4.1.Pengawasan orang
Semua penumpang dan/atau crew yang datang dari perjalanan
internasional dilakukan pengamatan fisik secara visual. Bagi penumpang dan
crew yang sakit dilakukan pemeriksaan dan pengobatan di poliklinik Karantina
Kesehatan
B.4.3.4.2.Pengawasan barang
Petugas karantina kesehatan melakukan pengawasan barang bawaan
berupa obat, makanan, kosmetika, alat kesehatan dan bahan adiktif lainnya
(OMKABA) bekerja sama dengan petugas Bea Cukai untuk melakukan
pemeriksaan dokumen, pemeriksaan fisik dan dilakukan uji laboratorium bila
ditemukan hal-hal yang mencurigakan. Petugas karantina kesehatan
melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap komuditi OMKABA import
yang melaui kargo bekerja sama dengan Bea Cukai untuk melakukan
pemeriksaan dokumen karantina kesehatan, pemeriksaan fisik dan uji
laboratorium.
Petugas Karantina Kesehatan dapat mengijinkan OMKABA import
tersebut masuk melalui bandara apabila memenuhi syarat kesehatan serta
peraturan yang ditetapkan pemerintah. Kemudian untuk OMKABA itu
117
diterbitkan sertifikat kesehatan OMKABA oleh petugas Karantina Kesehatan.
Jika OMKABA import tersebut tidak memenuhi syarat kesehatan serta
ditemukan adanya bahan berbahaya dan beracun (B3) yang terkandung
dan/atau melekat pada OMKABA tersebut, maka petugas karantina
kesehatan melakukan penolakan terhadap masuknya OMKABA tersebut
berupa pengembalian atau pemusnahan OMKABA yang bekerja sama
dengan Bea Cukai.
Petugas karantina kesehatan juga melakukan pemeriksaan dokumen
penyebab kematian jenazah yang masuk melalui bandara yang dibawa oleh
pesawat. Apabila memenuhi syarat kesehatan maka institusi karantina
kesehatan menerbitkan surat keterangan angkut jenazah. Petugas Karantina
Kesehatan menolak masuknya jenazah yang diangkut melalui pesawat bila
ditemukan penyakit menular, yang dapat menyebabkan PHEIC.
B.4.3.4.3.Pengawasan pesawat
Semua pesawat yang datang dari perjalanan internasional harus
menunjukkan dokumen kesehatan pesawat yang dipersyaratkan oleh
Pemerintah Indonesia. Dokumen kesehatan pesawat meliputi General
Declaration of Health; Sertifikat Sanitasi Pesawat; Sertifikat Disinseksi
Pesawat; Sertifikat P3K pesawat.
Petugas karantina kesehatan mencegah keberangkatan pesawat yang
didalamnya terdapat agent (kuman) atau vektor yang dapat menyebabkan
PHEIC. Dalam melaksanakan pencegahan masuknya penyakit, atau faktor
risiko yang bisa menimbulkan PHEIC kedalam pesawat maka perlu dilakukan
pemeriksaan dan penyehatan makanan, air bersih dan lain-lain.
B.4.3.5. Kegiatan Saat Kedatangan Dari Bandar udara yang Mempunyai
Akses dengan Wilayah Episenter PHEIC atau wilayah
terjangkit.
Tindakan Terhadap penumpang dan/atau crew Sehat, barang dan
pesawat:
Pesawat parkir di tempat khusus (Zona Karantina) di bandar udara.
Petugas Karantina Kesehatan mengarahkan penumpang yang sehat untuk
turun melewati jalur yang telah ditentukan. Kepada para penumpang tersebut
118
dilakukan pemeriksaan kesehatan dan pemeriksaan kartu kewaspadaan yang
telah dibagikan di bandar udara sebelumnya.
Bila ditemukan kasus suspek PHEIC maka penumpang langsung
dibawa ke poliklinik khusus Karantina Kesehatan untuk dilakukan
pemeriksaan medik selanjutnya di rujuk ke RS Rujukan. Penumpang yang
berada di 3 baris kiri, kanan, belakang dan depan yang suspek PHEIC
didalam pesawat dilakukan tindakan karantina selama 2 kali masa inkubasi di
asrama karantina
Setelah seluruh crew dan penumpang turun dari pesawat dilakukan
tindakan penyehatan terhadap pesawat dan barang sesuai prosedur
disinfeksi dan disinseksi pesawat.
B.4.4.Kegiatan Karantina Kesehatan Di Pelabuhan
B.4.4.1. Kegiatan Saat Keberangkatan pada Pelabuhan Sehat
Kegiatan kekarantinaan pada saat keberangkatan di pelabuhan sehat
yang ditujukan terhadap orang, barang dan alat angkut dilakukan melalui
pemeriksaan rutin kekarantinaan. Pemeriksaan rutin kekarantinaan yang
dilakukan adalah untuk melihat kelengkapan dokumen kapal yang merupakan
indikator tentang faktor risiko di kapal dan sebagai dasar pertimbangan utama
untuk diberikannya Surat Izin Karantina Kesehatan Berlayar (Port Health
Quarantine Clearance (PHQC)). Dokumen tersebut adalah Ship Sanitation
Exemption Control Certificate (SSCEC)/ Ship Sanitation Control Certificate
(SSCC), One Month Extension Certificate, Sailling permit, Buku Kesehatan
Kapal, Health Alert Card (HAC), International Certificate of Vaccination or
Prophylaxis, Cargo list, Passenger list, Crew list, Sertifikat P3K kapal, General
Nil List, Port Health Quarantine Clearance.
Petugas Karantina Kesehatan memeriksa segala dokumen kesehatan
kapal dan mencegah pemberangkatan suatu kapal yang tidak mempunyai
dokumen tersebut. Jika diminta diberikan surat keterangan perihal tindakan
yang dilakukan terhadap kapal. Tindakan karantina mencakup pemeriksaan
dan segala usaha penyehatan terhadap kapal, bagasi, muatan barang,
muatan hewan dan muatan tanaman. Surat pos, buku-buku dan barang
cetakan lainnya dibebaskan dari segala usaha penyehatan, kecuali paket
yang mencurigakan. Selanjutnya untuk memantau keadaan yang berpotensi
119
PHEIC pada saat keberangkatan dilakukan Surveilans rutin terhadap orang,
alat angkut, dan barang.
B.4.4.2. Kegiatan Saat Keberangkatan Pada Pelabuhan Laut Yang
Memiliki Akses Dengan Wilayah Episenter PHEIC
Petugas karantina kesehatan mencegah keluarnya orang, barang dan
alat angkut yang berasal dari wilayah episenter PHEIC di pintu masuk wilayah
pelabuhan laut bekerjasama dengan TNI dan POLRI dan keamanan
pelabuhan laut. Jika ditemukan orang yang berasal dari wilayah episenter
PHEIC tapi tidak memiliki gejala klinis (terpapar) maka dilakukan tindakan
karantina selama 2 kali masa inkubasi di wilayah pelabuhan
Jika ditemukan kasus/ suspek yang mengarah ke penyebab PHEIC
maka orang tersebut dilakukan tindakan isolasi. Terhadap alat angkut dan
barang yang berasal dari episenter PHEIC tidak diperbolehkan memasuki
wilayah pelabuhan laut. Dan terhadap alat angkut, barang tersebut dilakukan
desinfeksi
Terhadap penumpang yang sehat bukan berasal dari episenter PHEIC
maka penumpang diperbolehkan melanjutkan perjalanan dengan membawa
kartu kewaspadaan dini setelah dilakukan pemeriksaan kesehatan di pintu
masuk area non publik pelabuhan laut
B.4.4.3.Kegiatan Dalam Perjalanan
Kapal dalam perjalanan melalui suatu selat di wilayah Republik
Indonesia dapat dianggap sama dengan singgah di pelabuhan yang terdekat
dari selat tersebut. Oleh karena itu unit kesehatan setempat (karantina
kesehatan) harus mampu melakukan upaya karantina kesehatan terutama
jika membawa penderita PHEIC sesuai dengan prosedur yang berlaku.
B.4.4.4.Kegiatan saat Kedatangan Dari Pelabuhan Sehat
Kegiatan kekarantinaan pada saat kedatangan di pelabuhan sehat
yang ditujukan terhadap orang, barang dan alat angkut dilakukan melalui
pemeriksaan rutin kekarantinaan. Kegiatan ini meliputi melihat ada/ tidaknya
pelanggaran kekarantinaan, pemeriksaan kelengkapan dokumen kesehatan
120
kapal dan pemeriksaan faktor risiko merupakan dasar pertimbangan utama
untuk diberikannya Izin Bebas Karantina (Free Pratique). Untuk memperoleh
Izin Bebas Karantina, nakhoda kapal harus menyampaikan permohonan
kepada Kantor Kesehatan Pelabuhan.
Seluruh kapal yang datang dari luar negeri berada dalam karantina dan
mematuhi tanda-tanda/ isyarat karantina kapal yang ditetapkan dalam
undang-undang yaitu:
Kapal berada dalam karantina (lepas jangkar di zona karantina).
Kapal harus menaikan isyarat karantina:
pada siang hari menaikan bendera Q (kuning)
Pada malam hari dua lampu putih yang satu ditempatkan diatas
yang lain dengan jarak 2 meter yang tampak dari jarak 2 mil.
Nakhoda kapal yang berada dalam karantina dilarang menurunkan
orang, barang, tanaman dan hewan sebelum memperoleh surat izin
karantina
Nakhoda kapal menyampaikan permohonan unguk memperoleh suatu
izin atau memberitahukan suatu keadaan kapal dengan suatu isyarat
karantina:
Siang hari :
Bendera Q artinya kapal saya sehat atau saya minta izin karantina
Bendera Q diatas panji pengganti ke satu: Kapal saya tersangka
Bendera Q diatas bendera L kapal saya terjangkit.
Malam hari :
Lampu merah diatas lampu putih dengan jarak maksimum 1,8
meter: Saya belum mendapat izin karantina
Pada waktu tiba di pelabuhan, nakhoda kapal harus menyediakan dan
melengkapi dokumen kesehatan kapal. Dokumen kesehatan yang dimaksud
harus lengkap dan masih berlaku, yang meliputi: Maritim Declaration of
Health (MDH), Ship Sanitasion Exemption Control Certificate (SSCEC)/Ship
Sanitation Control Certificate (SSCC), One month extension certificate,
Sailling Permit, Buku Kesehatan Kapal, Health Alert Card (HAC), International
Certificate of Vaccination and Prophylaxis, Cargo list, Certificate of Medicine,
Voyage of Memo/List Port of Call, General Nil List, Passenger list, Crew list.
121
B.4.4.5.Kegiatan saat kedatangan Dari Pelabuhan yang Mempunyai
Akses Dengan Wilayah Episenter PHEIC
Pengelola alat angkut berkewajiban memberitahukan kepada setiap
orang yang datang ke Indonesia dan wajib menyiapkan semua dokumen
kesehatan yang dipersyaratkan oleh pemerintah Republik Indonesia.
Pengelola kapal laut dapat memperoleh informasi tentang hal-hal yang
dimaksud melalui agen-agen alat angkut, duta besar Republik Indonesia di
luar negeri dan Organisasi Kesehatan Dunia.
Petugas Karantina kesehatan dalam melakukan tindakan
kekarantinaan dari wilayah episenter kedaruratan kesehatan masyarakat
yang meresahkan dunia menerapkan prosedur sebagai berikut :
Kapal berada dalam karantina ( lepas jangkar di zona karantina).
Kapal harus menaikan isyarat karantina (pasal 22 diatas)
pada siang hari menaikan bendera Q (kuning)
Pada malam hari dua lampu putih yang satu ditempatkan diatas
yang lain dengan jarak 2 meter yang tampak dari jarak 2 mil.
Nakhoda kapal yang berada dalam karantina dilarang menurunkan orang,
barang, tanaman dan hewan sebelum memperoleh surat izin karantina
Nakhoda kapal menyampaikan permohonan untuk memperoleh suatu izin
atau memberitahukan suatu keadaan kapal dengan suatu isyarat
karantina:
Siang hari
Bendera Q artinya kapal saya sehat atau saya minta
izin karantina
Bendera Q diatas panji pengganti ke satu: Kapal saya
tersangka
Bendera Q diatas bendera L kapal saya terjangkit.
Malam hari
Lampu merah diatas lampu putih dengan jarak maksimum 1,8
meter: Saya belum mendapat izin karantina
Izin Karantina diberikan oleh petugas karantina kesehatan setelah
dilakukan pemeriksaan dokumen (MDH, SSCEC/ SSCC, ICV) yang
dibuktikan dengan hasil pemeriksaan kesehatan awak kalap dan penumpang
122
kapal, Persediaan Obat-obatan dan kondisi lingkungan diatas kapal dan
dinyatakan bebas faktor risiko .
Jika ada penumpang/ABK yang suspek, maka suspek tersebut
dilakukan pengobatan dan tindakan isolasi. Dan kepada ABK/ Penumpang
lainnya yang sehat dilakukan karantina selama 2 kali masa inkubasi didalam
kapal. Dan kepada kapal tersebut dilakukan tindakan desinseksi dan
desinfeksi.
B.4.5. Kegiatan Karantina Kesehatan di PLBD
B.4.5.1. Kegiatan Saat Keberangkatan Pada PLBD Sehat
Petugas karantina kesehatan melakukan pemeriksaan alat angkut,
orang dan barang secara terus menerus terhadap keberangkatan alat angkut
dengan cara pemeriksaan dokumen kesehatan dengan memperhatikan
apakah ada tidaknya penumpang/ awak angkut yang menderita sakit yang
berpotensi PHEIC.
Dokumen Karantina Kesehatan yang diisyaratkan oleh pemerintah
Republik Indonesia dibidang kesehatan Surat keterangan Hapus Serangga,
Sertifkat Disinfeksi, Surat Keterangan Kesehatan OMKABA untuk barang
serta International Vaksinasi Sertifikat bagi negara yang mensyaratkan ICV
dan profilaksis.
B.4.5.2. Kegiatan Saat Keberangkatan Pada PLBD yang mempunyai
Akses dengan wilayah episenter PHEIC
Petugas karantina kesehatan mencegah keluarnya alat angkut, orang
dan barang yang berasal dari epicenter PHEIC Jika ditemukan orang yang
berasal dari epicenter PHEIC tapi tidak memiliki gejala klinis (terpapar) maka
dilakukan tindakan karantina selama 2 kali masa inkubasi di wilayah PLBD
atau asrama karantina. Terhadap alat angkut dan barang yang berasal dari
epicenter PHEIC dilakukan desinseksi dan atau disinfeksi.
Jika ditemukan kasus (suspek) yang mengarah ke penyebab PHEIC
maka orang tersebut dilakukan tindakan isolasi Terhadap penumpang yang
sehat bukan berasal dari epicenter PHEIC maka penumpang diperbolehkan
melanjutkan perjalanan dengan membawa health alert card
123
B.4.5.3. Kegiatan Saat Kedatangan Dari PLBD Sehat
Petugas karantina kesehatan melakukan pemeriksaan secara terus
menerus terhadap kedatangan alat angkut orang dan barang dengan cara
pemeriksaan dokumen kesehatan dengan memperhatikan apakah ada
penumpang/ awak angkut yang menderita sakit yang dapat menimbulkan
PHEIC. Dokumen Kesehatan yang diisyaratkan oleh pemerintah Indonesia
dibidang kesehatan adalah Surat Keterangan Hapus Serangga; Surat
Keterangan OMKABA dan Sertifikat Vaksinasi International. Pemeriksaan
terhadap penumpang dengan cara seluruh penumpang turun dari kendaraan
melewati pos karantin kesehatan
Jika ada penumpang yang dicurigai menderita (suspek) penyakit yang
dapat menimbulkan PHEIC, maka terhadap orang tersebut dilakukan tindakan
isolasi dan terhadap penumpang sehat lainnya dilakukan tindakan karantina
selama 2 kali masa inkubasi diwilayah PLBD. Terhadap alat angkut dan
barang bawaan penumpang dilakukan tindakan desinseksi, disinfeksi atau
dekontaminasi.
B.4.5.4. Kegiatan saat kedatangan Dari PLBD yang mempunyai Akses
dengan Wilayah Episenter PHEIC
Petugas karantina kesehatan melakukan pemeriksaan terhadap
penumpang dengan cara seluruh penumpang turun dari kendaraan melewati
pos karantina kesehatan. Petugas karantina kesehatan memeriksa dokumen
dan melakukan pemeriksaan kesehatan terhadap penumpang. Jika
ditemukan orang yang berasal dari negara terjangkit tapi tidak memiliki gejala
klinis (terpapar) penyakit PHEIC maka dilakukan tindakan karantina selama 2
kali masa inkubasi terhadap orang yang berasal dari negara terjangkit di
wilayah PLBD atau asrama karantina. Terhadap alat angkut dan barang yang
berasal dari negara terjangkit dilakukan desinseksi dan atau disinfeksi.
Jika ditemukan kasus (suspek) yang mengarah ke PHEIC dalam alat
angkut maka suspek tersebut dilakukan tindakan isolasi, terhadap
penumpang lain yang sehat yang berada dalam satu kenderaan tersebut
dilakukan tindakan karantina selama 2 kali masa inkubasi. Seluruh biaya
penyelenggaraan akibat pelaksanaan karantina ini menjadi tanggung jawab
negara.
124
B.4.6. Kegiatan Karantina Kesehatan Di Terminal Bus, Stasiun Kereta
Api Yang Mempunyai Akses Dengan Wilayah Episenter PHEIC
B.4.6.1. Tujuan Pengawasan di terminal bus, travel , dan stasiun KA
Tujuan dari kegiatan ini adalah mendukung, memperkuat dan
memperlancar pemeriksaan di bandar udara, pelabuhan dan PLBD agar
orang yang berasal dari wilayah yang berpotensi atau sedang menjadi
episenter PHEIC tidak masuk ke wilayah bandar udara, pelabuhan dan PLBD
meninggalkan wilayah tersebut.
B.4.6.2. Prinsip Pengawasan di terminal bus, travel , dan stasiun KA
Prinsip pengawasan di terminal bus, travel, dan stasiun kereta api
adalah selektif dan tidak menimbulkan kepanikan. Yang dimaksud selektif
ialah dilaksanakan di terminal bus dan stasiun sebagai berikut:
Dekat dengan wilayah episenter pandemi influenza
Punya akses langsung ke wilayah episenter pandemi influenza
Sebagai pintu keluar pulau, negara .
Pengawasan hanya terhadap keberangkatan .
Prioritas pemeriksaan secara ketat ditujukan terhadap kendaraan bus
atau kereta api yang akan bertujuan kepintu keluar pulau atau luar negeri
dan dilarang menaikkan penumpang dalam perjalanannya .
B.4.6.3. Bentuk kegiatan di terminal bus, travel, dan stasiun KA
Bentuk kegiatan yang dilakukan adalah :
Penyeleksian identitas seluruh orang yang memasuki terminal dan
stasiun kereta api,
Tindakan karantina terhadap orang yang sehat tapi berasal dari wilayah
episenter kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia
Tindakan isolasi bagi yang suspek penyebab kedaruratan kesehatan
masyarakat yang meresahkan dunia
Tindakan penyehatan terhadap alat angkut yang berasal dari wilayah
episenter kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia
125
B.4.7. Upaya Karantina Kesehatan Di Wilayah Yang Berpotensi Atau
Sedang Terjadi Episenter PHEIC
B.4.7.1.Kegiatan Karantina Kesehatan di Wilayah
Upaya karantina kesehatan di wilayah yang dilaksanakan meliputi kegiatan
sebagai berikut:
Karantina rumah
Karantina wilayah termasuk pengawasan perimeter
Penemuan dan tata laksana kasus
Rujukan dan Isolasi kasus suspek
Surveilans berupa pelacakan kasus baru dan kontak
Penyehatan lingkungan
Kewaspadaan universal
Penilaia Cepat dan Komunikasi Risiko
B.4.7.2.Karantina Rumah
Tindakan karantina rumah dilaksanakan dalam suatu wilayah yang
berpotensi menjadi episenter setelah adanya sinyal awal penyakit menular
yang dapat menyebabkan PHEIC setelah dilakukan penyelidikan epidemiologi
dan pemeriksaan cepat laboratorium oleh petugas kesehatan yang
mempunyai kompetensi dan kewenangan di wilayah tersebut, yang tujuannya
untuk mencegah penyebaran penyakit. Adapun indikasi rumah yang harus
dikarantina adalah apabila didalam rumah tersebut terdapat satu atau lebih
kasus suspek PHEIC
Upaya yang dilakukan terhadap rumah yang terindikasi adalah:
a. Kasus suspek penyebab kedaruratan kesehatan masyarakat yang
meresahkan dunia dirujuk ke RS
b. Rumah dengan seluruh anggota keluarga yang tinggal dirumah tersebut
dilakukan karantina rumah sesuai prosedur yang ditetapkan
c. Kebutuhan pokok selama masa karantina rumah di tanggung oleh
Pemerintah daerah
B.4.7.3.Karantina Wilayah
Tindakan karantina wilayah dilaksanakan setelah Pemerintah
menetapkan penanggulangan episenter pada wilayah episenter PHEIC
126
berdasarkan hasil verifikasi secara epidemiologis dan laboratorium jika perlu
bersama Organisasi Kesehatan Dunia. Pemerintah menetapkan batas serta
lamanya karantina wilayah tergantung penyebabnya dan hasil analisa
epidemiologi dan klinis yang ditetapkan oleh pemerintah atas rekomendasi
dari tim Penyelidikan Epidemiologi .
Tindakan karantina wilayah dihentikan setelah 2 kali masa inkubasi
dari kasus terakhir, tetapi kegiatan surveilans aktif tetap dipertahankan pada
wilayah penanggulangan episenter selama satu bulan. Kegiatan Karantina
wilayah meliputi pembatasan gerak orang, alat angkut dan barang keluar dan
kedalam suatu wilayah episenter PHEIC melalui pengendalian perimeter
dengan bantuanTNI/POLRI. Pembatasan diatas termaksud kegiatan sosial
dan keagamaan skala besar termasuk peliburan sekolah, dekontaminasi pada
alat angkut dan barang serta penyehatan lingkungan dalam wilayah episenter
PHEIC.
B.4.7.4.Tindakan Karantina Wilayah Terhadap Wisatawan
Jika di wilayah episenter PHEIC terdapat wisatawan baik asing
maupun domestik maka dilakukan tindakan karantina terhadap para
wisatawan tersebut sesuai dengan prosedur. Apabila tidak memungkinkan
dilakukan tindakan karantina terhadap para wisatawan tersebut di wilayah
episenter PHEIC maka dapat dilakukan pemindahan wisatawan tersebut
untuk dikarantina di luar wilayah tersebut, dapat berupa hotel, mess dan lain-
lain yang memenuhi syarat. Dalam pelaksanaan berkaitan dengan wisatawan
asing berkordinasi dengan pihak imigrasi dan departemen luar negeri.
B..4.8.Tindakan Penyehatan Alat Angkut TNI dan POLRI
Bagi alat angkut TNI/ POLRI berlaku pula ketentuan yang sama
dengan alat angkut pada umumnya. Yang dimaksud dengan alat angkut TNI/
POLRI misalnya kapal perang, kapal selam, pesawat angkut TNI/ POLRI dan
lainnya yang sejenis.
B.5. Informasi Karantina Kesehatan
B.5.1.Pengertian Informasi Karantina Kesehatan
Informasi karantina kesehatan adalah laporan atau pemberitahuan
tentang keadaan suatu pelabuhan, bandar udara, pos lintas batas darat atau
127
wilayah disuatu negara, yang menyatakan keberadaan wilayah atau
pelabuhan tersebut sehat atau terjangkit PHEIC.
B.5.2.Substansi Informasi karantina Kesehatan
Informasi karantina kesehatan meliputi informasi tentang PHEIC,
penyakit menular tertentu dan lain-lain yang berkaitan dengan karantina
kesehatan.
B.5.3.Penyelenggara Informasi karantina Kesehatan
Informasi Karantina kesehatan diselenggarakan oleh Pemerintah
Republik Indonesia dan atau jajarannya, dengan luar negeri atau badan
internasional yang bertanggung jawab tentang karantina kesehatan, yang
penyelenggaraannya harus mengikuti peraturan internasional. Pemerintah
membangun berbagai alat/media pelaporan beserta mekanisme
pelaksanaannya baik tingkat Pusat, wilayah/daerah dan di unit pelabuhan,
serta penggunaan berbagai jenis media cetak/elektronik untuk menjamin
terlaksananya informasi karantina kesehatan kepada pihak-pihak yang
memerlukan. Pemerintah berkewajiban menerbitkan secara berkala bulletin
yang disebarluaskan dan dikirimkan kepada Organisasi Kesehatan Dunia,
Badan-Badan Kesehatan Internasional antar negara, perwakilan pemerintah
Indonesia di luar negeri, agen perjalanan wisata Nasional/Internasional, serta
unit-unit organisasi lain yang memerlukan.
B.5.4. Kewenangan Organisasi Kesehatan Dunia dalam Informasi
Karantina Kesehatan
Organisasi Kesehatan Dunia berwenang untuk berhubungan langsung
dengan seluruh jajaran kesehatan tentang informasi PHEIC dan gangguan
kesehatan. Jenis-jenis laporan/ informasi yang dapat diberikan langsung oleh
unit kesehatan di pelabuhan dan Ketentuan tentang isi, formulir dan tata cara
penyampaian informasi kesehatan dapat ditetapkan oleh Menteri.
B.5.5.Penyampaikan Informasi Karantina Kesehatan
Penanggung jawab alat angkut, petugas di pelabuhan dan pemakai
jasa pelabuhan apabila mengetahui atau patut mengetahui adanya tersangka
128
penderita PHEIC dan atau barang yang dicurigai harus melapor selambat-
lambatnya dalam waktu 12 (dua belas) jam sejak diketahuinya kejadian
tersebut kepada pejabat karantina kesehatan di pelabuhan. Laporan tentang
PHEIC menurut data epidemiologi meliputi waktu, tempat dan penderita,
secara rinci pedomannya ditetapkan oleh Menteri. Pada pelabuhan yang
belum mempunyai pejabat karantina kesehatan laporan disampaikan kepada
penguasa pelabuhan untuk diteruskan kepada unit pelayanan kesehatan
terdekat.
Pejabat karantina kesehatan di pelabuhan atau unit pelayanan
kesehatan segera melaporkan adanya tersangka penderita PHEIC kepada
Menteri melalui unit karantina kesehatan yang membina wilayah tersebut.
Unit pelayanan kesehatan tersebut (misalnya Puskesmas) bertanggung jawab
melakukan upaya karantina kesehatan diwilayahnya, serta melaporkan upaya
tersebut kepada unit karantina kesehatan terdekat.
B.6.Jejaring Kerja
B.6.1.Jejaring Kerja Upaya Karantina Kesehatan
B.6.1.1. Jejaring Kerja Upaya Karantina Kesehatan Di Pintu Masuk
1. Di dalam lingkungan pintu masuk :
Kantor Kesehatan Pelabuhan
Syahbandar, Otoritas Pelabuhan, Administrator Bandara, Navigasi
Pengelola pintu masuk: Angkasa Pura, Pelindo
Bea & Cukai
Imigrasi
Karantina Tumbuhan
Karantina Hewan
Karantina Ikan
Keamanan : TNI dan POLRI
Assosiasi pelayaran
Assosiasi penerbangan
2. Di luar lingkungan pintu masuk:
Pemerintah Daerah : dinas-dinas terkait (Dinas Kesehatan dll)
Sarana Pelayanan Kesehatan : Rumah Sakit, poliklinik dll
129
Kantor Kesehatan Pelabuhan di dalam dan luar negeri
Keamanan : TNI dan POLRI
Badan-badan Nasional lainnya.
Badan-badan Internasional
Toko Masyarakat
Toko Agama
Masyarakat
B.6.1.2.Jejaring Kerja Upaya Karantina kesehatan di wilayah
Pemerintah Daerah : dinas-dinas terkait (Dinas Kesehatan dll)
Sarana Pelayanan Kesehatan : Rumah Sakit, Puskesmas, poliklinik
Kantor Kesehatan Pelabuhan di dalam dan luar negeri
Keamanan : TNI dan POLRI
Badan-badan Nasional lainnya.
Badan-badan Internasional
Unit Pemerintahan mulai dari RT, RW, Lurah, Dusun, Desa, Camat,
Kabupaten/ Kota, Propinsi, Pusat
LSM, Swasta, Organisasi Profesi
Toko Masyarakat
Toko Agama
Masyarakat
B.6.2.Dukungan Instansi Terkait
Dukungan berbagai pihak tersebut di atas diatur dalam peraturan
perundang-undangan dalam pelaksanaan di lapangan mengikuti sistem
komando dan koordinasi di bawah penanggungjawab pelaksanaan karantina
kesehatan setempat yang telah ditetapkan oleh Pemerintah. Semua petugas
dari berbagai pihak tersebut di atas, dalam melaksanakan upaya
kekarantinaan mendapat jaminan perlindungan dari Pemerintah
B.7.Kelembagan Karantina Kesehatan
Untuk menyelenggarakan karantina kesehatan Menteri dapat
membentuk pelaksana karantina kesehatan baik di Pusat, daerah di
pelabuhan, bandar udara dan pos lintas batas darat.
Kelembagaan yang dibentuk :
130
Tingkat Pusat ialah Badan Karantina Kesehatan
Tingkat Wilayah/ Daerah ialah koordinator wilayah karantina kesehatan
(misalnya koordinator wilayah karantina kesehatan Indonesia Bagian
Barat/Tengah/Timur).
Tingkat Pelabuhan ialah Balai Besar/Balai Karantina Kesehatan dan
Tingkat Wilayah Kerja (Wilker) ialah Stasiun Karantina kesehatan
Organisasi tersebut harus mempunyai kewenangan dan kemampuan
secara Nasional dan Internasional sesuai dengan tujuannya dalam
pencegahan keluar masuknya penyakit dari dan ke Wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Organisasi tingkat pusat yaitu Badan Karantina Kesehatan berwenang
melakukan pengaturan dan penetapan kebijaksanaan teknis karantina
kesehatan.
Organisasi tingkat wilayah/ daerah berkewenangan melakukan bimbingan
dan mengupayakan tersediaannya sumber daya (tenaga dan lain-lain)
diwilayahnya.
Organisasi tingkat pelabuhan/ wilker berkewenangan melakukan kegiatan
teknis secara tepat dan melakukan program secara efektif dan effisien
B.8.Ketenagaan Karantina Kesehatan
B.8.1.Ketenagaan
Penyelenggaraan upaya karantina kesehatan dilaksanakan oleh
tenaga karantina kesehatan yang profesional dan terlatih sesuai dengan
persyaratan yang ditentukan dan berstatus Pegawai Negeri Sipil. Tenaga
yang profesional adalah tenaga yang telah berijazah pendidikan formal pada
bidang kesehatan dan telah mendapat pelatihan teknis fungsional di dalam
dan luar negeri, untuk menjamin kemampuan (pengetahuan dan
keterampilan) secara Internasional.
Pemerintah menjamin tersedianya tenaga untuk penyelenggaraan
upaya karantina kesehatan, melalui pendidikan, pelatihan serta bimbingan
dan pengawasan yang bermutu.
Jenis tenaga yang diperlukan adalah tenaga dalam bidang survailans
tenaga pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan lingkungan, tenaga farmasi
dengan kemampuan teknis yang memadai yang diperoleh melalui
131
pendidikan/pelatihan nasional dan internasional. Menteri Kesehatan
menetapkan tenaga karantina kesehatan yang bertugas melakukan
pengawasan untuk menjamin terselenggaranya semua kegiatan upaya
karantina kesehatan.
B.9. Biaya, Tunjangan dan Asuransi Risiko Kerja Karantina Kesehatan
B.9.1.Biaya
Terhadap pelaksanaan tindakan penyehatan dipungut biaya yang
hasilnya dinyatakan sebagai pendapatan negara bukan pajak. Biaya tersebut
meliputi: biaya operasional petugas, biaya untuk bahan dan alat yang
dipergunakan dalam tindakan penyehatan.
B.9.2.Tunjangan Risiko Kerja
Kepada petugas karantina kesehatan tertentu di pelabuhan diberikan
tunjangan risiko kerja. Tunjangan risiko kerja merupakan imbalan atas risiko
kecelakaan dan kerusakan organ perorangan yang dialami petugas pada
pelaksanaan upaya karantina kesehatan dan tindakan penyehatan seperti
pada pelaksanaan dari pengawasan fumigasi, tertular penyakit pada saat
pelayanan penderita atau tersangka.
B.9.3.Asuransi Risiko Kerja
Kepada petugas karantina kesehatan tertentu di pelabuhan diberikan
Asuransi risiko kerja. Asuransi risiko kerja merupakan imbalan atas risiko
kecelakaan dan kerusakan organ perorangan yang dialami petugas pada
pelaksanaan upaya karantina kesehatan dan tindakan penyehatan seperti
pada pelaksanaan dari pengawasan fumigasi, tertular penyakit pada saat
pelayanan penderita atau tersangka. Jatuh kelaut dari kapal pada saat
melakukan pengawasan kapal dalam karantina dan sebagainya
Yang dimaksud dengan petugas karantina kesehatan tertentu adalah
petugas karantina yang dalam melaksanakan tugasnya menanggung risiko
meninggal, cacat atau sakit, bertugas di pos lintas batas darat negara serta
kepulauan terpencil/terluar . Upaya karantina di lapangan banyak
mengandung risiko kerja berhubung:
pekerjaan dilakukan di kapal/kendaraan;
132
lokasinya jauh dari daratan bahkan kadang terpencil;
waktu bekerja 24 jam;
peralatan perlu dioperasikan dengan penuh perhatian;;
kadang-kadang menggunakan racun;
alat pengangkut petugas tidak selalu terjamin;
dan lain-lain.
bagi petugas tersebut perlu adanya tunjangan atau jika terjadi risiko
kerja yang membahayakan jiwa petugas atau berakibat cacat, maka perlu ada
kompensasi atau ganti rugi yang sepantasnya. Tarif dan tunjangan risiko
ditetapkan oleh Menteri Kesehatan dengan persetujuan Menteri Keuangan.
B.10.Pembinaan dan Pengawasan
B.10.1.Pembinaan
Pemerintah melakukan pembinaan terhadap semua kegiatan yang
berkaitan dengan penyelenggaraan karantina kesehatan. Pembinaan
diarahkan untuk : Meningkatkan mutu pelayanan dan profesionalisme tenaga
kesehatan karantina sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi dalam rangka kerjasama antar negara baik secara bilateral, regional
dan internasional. Memberikan dorongan bagi masyarakat termasuk swasta
untuk ikut berperan serta dalam menunjang peningkatan upaya kesehatan
karantina. Meningkatkan keterpaduan berbagai sektor terkait di pelabuhan
dalam rangka koordinasi pelaksanaan undang undang kesehatan karantina
ini.
B.10.2.Pengawasan
Pemerintah melakukan pengawasan terhadap semua kegiatan yang
berkaitan dengan penyelenggaraan karantina kesehatan yang dilakukan oleh
pemerintah bersama masyarakat. Pemerintah berwenang mengambil
tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan dan sarana pelayanan
kesehatan serta sarana lainnya yang melakukan kelalaian atau pelanggaran
terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini. Ketentuan mengenai
pengawasan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
133
Pemerintah berwenang menolak memberikan izin karantina kepada
pelintas batas, alat angkut beserta awaknya penumpang dan bagasinya,
barang yang tidak mematuhi ketentuan Undang-undang. Kepada pelintas
batas, alat angkut beserta awaknya penumpang, barang dan bagasinya
sebagaimana dimaksud ayat (1) hanya diizinkan mengambil bahan bakar,
makanan dan minuman dibawah pengawasan petugas karantina kesehatan
B.11.Penyidikan
Penyidik
Selain penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia juga kepada
pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di Departemen Kesehatan diberi
wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran
Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209)
untuk melakukan penyidikan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang ini.
Penyidikan berwenang :
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang
tindak pidana di bidang karantina kesehatan;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak
pidana di bidang karantina kesehatan;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum
sehubungan dengan tindak Pidana di bidang karantina kesehatan;
d. melakukan pemeriksaan atas surat dan atau dokumen lain tentang tindak
pidana bidang karantina kesehatan;
e. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam
perkara tindak pidana di bidang karantina kesehatan;
f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidik tindak
pidana di bidang karantina kesehatan;
g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat bukti yang cukup tentang
adanya tindak pidana di bidang kesehatan.
B.12.Ketentuan Pidana
134
B.12.1 .Ketentuan Pidana Besar sanksi berdasarkan UU No.24 th.2007
tentang Penanggulangan Bencana
Dalam Pasal 31 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan ditentukan bahwa pemberantasan penyakit menular yang dapat
menimbulkan wabah dan PHEIC dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
undang-undang yang berlaku. Undang-undang yang ada saat ini khusus
mengenai karantina adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang
Karantina Laut dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina
Udara yang kedua undang-undang tersebut didasarkan kepada International
Sanitary Regulation (ISR). Pada saat ini keberadaan International Sanitary
Regulation (ISR) sudah diubah dengan Rekomendasi Organisasi Kesehatan
Dunia pada tahun 1969 di Jenewa dan menggantikannya dengan
International Health Regulation (IHR) oleh karena itu disamping
mengantisipasi perubahan tersebut pada saat ini dirasakan juga sudah
mendesak untuk mengadakan pengaturan tentang karantina darat.
Sanksi pidana yang diatur di dalam ketentuan pidana undang-undang
tentang karantina yang sudah ada sudah ketinggalan yaitu pidana kurungan
selama-lamanya satu tahun dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.
75.000,- (tujuh puluh lima ribu rupiah). Jenis-jenis pemidanaan dalam
rumusan kumulatif dengan kategori ringan.
Selain itu perlu diantisipasi adanya delegasi dari undang-undang
kepada peraturan pemerintah untuk diperkenankan memuat sanksi, hal ini
dapat kita bandingkan atau jadikan acuan mengenai undang-undang tentang
kesehatan yang mengantisipasi bahwa ada hal-hal lain yang tidak tercakup di
dalam ketentuan pidana Undang-undang dimana Dewan Perwakilan Rakyat
percaya sepenuhnya kepada Pemerintah untuk merumuskan norma-norma
sanksi pidana di dalam Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan
Undang-undang tersebut, sepanjang belum diatur di dalam Ketentuan Pidana
Undang-undang. Namun kewenangan yang diberikan tersebut dibatasi
dengan rambu-rambu yaitu norma pidana yang boleh dimuat di dalam
Peraturan Pemerintah adalah berupa denda paling banyak Rp. 10.000.000,-
(sepuluh juta rupiah).
Dalam merumuskan norma-norma pidana diperlukan kehati-hatian
yang seksama dan tegas di dalam merumuskannya. Beberapa hal yang perlu
135
mendapat perhatian di dalam merumuskan norma pidana adalah sebagai
berikut:
1. Dalam merumuskan ketentuan pidana, diperhatikan ketentuan Pasal 103
KUHP yang menyatakan ketentuan dalam delapan titel yang pertama dari
Buku I KUHP, berlaku juga terhadap perbuatan yang dalam peraturan
perundang-undangan lain diancam pidana kecuali apabila di dalam
undang-undang yang bersangkutan menentukan lain.
2. Selain itu jangan merumuskan ketentuan pidana secara umum. Sebutkan
pasal-pasal yang melanggarnya.
3. Apabila percobaan tersebut hendak dijadikan delik sendiri harus disebut
dengan jelas dalam undang-undang.
4. Dalam merumuskan pidana, harus disebutkan maksimum ancaman
pidana. Tindak pidana menurut sifat perbuatan dapat berupa kejahatan
atau pelanggaran
B.12.2.Pola Pemidanaan
Menurut Konsep KUHP (baru) hanya akan ada tiga kategori
pengelompokan tindak pidana yaitu:
1. Yang hanya diancam pidana denda (untuk delik yang bobotnya dinilai
kurang dari 1 tahun penjara);
2. Yang diancam pidana penjara atau denda secara alternatif (untuk delik
yang diancam dengan pidana penjara 1 – 7 tahun);
3. Yang hanya diancam dengan pidana penjara (untuk delik yang diancam
dengan pidana penjara lebih dari 7 tahun).
Untuk dapat lebih memudahkan dapat digambarkan, sebagai berikut: :
Bobot Delik Jenis Pidana Keterangan
Sangat
Ringan
Denda - perumusan tunggal
- denda ringan (kategori I atau II)
Berat Penjara atau Denda perumusan alternatif
penjara berkisar 1 s.d 7 tahun
denda lebih berat (kategori III – IV)
Sangat
Serius
Penjara saja perumusan tunggal atau alternatif
136
Bobot Delik Jenis Pidana Keterangan
Mati/Penjara dapat dikumulasikan dengan denda
Namun demikian perlu dicatat, bahwa tetap dimungkinkan adanya
“penyimpangan” dari pola diatas.
B.12.3.Pidana Penjara
Jenis pidana yang pada umumnya dicantumkan dalam perumusan
delik menurut pola KUHP adalah pidana pokok, dengan menggunakan 9
(sembilan) bentuk perumusan, yaitu:
a. diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana
tertentu;
b. diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara tertentu;
c. diancam dengan pidana penjara (tetentu);
d. diancam dengan pidana penjara atau kurungan;
e. diancam dengan pidana penjara atau kurungan arau denda.
Dari sembilan bentuk perumusan di atas, dapat diidentifikasikan hal-hal
sebagai berikut:
a. KUHP hanya menganut 2 (dua) sistem perumusan, yaitu:
1) perumusan tunggal (hanya diancam satu pidana pokok);
2) perumusan alternatif.
b. Pidana pokok yang diancam/dirumuskan secara tunggal, hanya pidana
penjara, kurungan atau denda. Tidak ada pidana mati yang atau pidana
penjara seumur hidup yang diancam secara tunggal.
c. Perumusan alternatif dimulai dari pidana pokok terberat sampai yang
paling ringan.
Pidana tambahan juga bersifat fakultatif, namun pada dasarnya untuk
dapat dijatuhkan harus tercantum dalam perumusan delik.
Dalam Konsep KUHP (baru) bentuk perumusannya tidak berbeda
dengan pola KUHP, hanya di dalam konsep KUHP (baru):
1) pidana penjara dan denda ada yang dirumuskan ancaman
minimumnya;
2) pidana denda dirumuskan dengan sistem kategori (lihat uraian diatas);
137
3) ada pedoman untuk menerapkan pidana yang dirumuskan secara
tunggal dan secara alternatif yang kemungkinan memberikan
perumusan tunggal diterapkan secara alternatif dan perumusan
alternatif diterapkan secara kumulatif.
Seperti halnya KUHP, konsep KUHP (baru) juga menganut pola pidana
penjara seumur hidup dan penjara untuk waktu tertentu.
Untuk pidana “penjara untuk waktu tertentu”, polanya sebagai berikut:
Pola Minimum Pola MaksimumUmum Khusus Umum Khusus
KUHP 1 hari - 15 – 20 thn Bervariasi sesuai
deliknya
KONSEP 1 hari Bervariasi antara 1
– 5 tahun
15 – 20 thn Bervariasi sesuai
deliknya
Pola “minimum khusus” menurut konsep KUHP (baru) pada mulanya
berkisar antara 3 bulan sampai 7 tahun, namun dalam perkembangannya
mengalami perubahan antara 1 – 5 tahun dengan kategori sebagai berikut:
Kategori Delik Ancaman MAKSIMUM Ancaman MINIMUM
Berat 4 s.d 7 tahun 1 tahun
Sangat Berat 7 s.d 10 tahun
12 s.d 15 tahun
mati/seumur hidup
2 tahun
3 tahun
5 tahun
Dari pola diatas terlihat, bahwa penentuan “minimum khusus”
didasarkan atau dibedakan menurut ancaman maksimum khusus untuk delik
yang bersangkutan. Ini hanya sekedar patokan objektif atau patokan formal.
Tidak setiap delik yang termasuk dalam kategori seperti diatas, harus diberi
“minimum khusus”. Dalam menetapkan minimum khusus perlu
dipertimbangkan akibat dari delik yang bersangkutan terhadap masyarakat
luas atau faktor tindak pidana (recidive). Pada umumnya delik-delik yang
sangat serius sajalah yang diberi ancaman minimum khusus.
Pola maksimum khusus pidana penjara di dalam KUHP dan Konsep
KUHP (baru) adalah sebagai berikut:
138
a. Menurut KUHP
Berkisar antara 3 minggu (paling rendah) dan 15 tahun yang dapat
mencapai 20 tahun apabila ada pemberatan.
b. Menurut Konsep
Berkisar antara 1 (satu) tahun (maksimum paling rendah) dan 15 tahun
yang juga dapat mencapai 20 tahun apabila ada pemberatan.
Untuk maksimum khusus di bawah 1 tahun menurut pola KUHP
digunakan bulan dan minggu. Pola demikian tidak ada di dalam konsep
KUHP (baru) karena maksimum paling rendah adalah 1 tahun. Untuk delik
yang dipandang tidak perlu diancam dengan pidana penjara atau bobotnya
dinilai kurang dari 1 tahun penjara, digolongkan sebagai tindak pidana
“sangat ringan” dan hanya diancam denda. Pola maksimum khusus paling
rendah 2 tahun menurut konsep KUHP (baru) dikecualikan untuk delik-delik
yang selama ini dikenal sebagai “kejahatan ringan”. Menurut pola KUHP
maksimum penjara untuk delik “kejahatan ringan“ ini adalah 3 bulan,
sedangkan menurut konsep KUHP (baru) 6 bulan yang dialternatifkan dengan
pidana denda kategori II.
B.12.4.Pidana Denda
a. Menurut KUHP
Kalau kita menyimak pola pidana denda di dalam KUHP dikenal
beberapa macam pola pemidanaan yaitu “minimum umum” dan “maksimum
khusus”.
Berdasarkan Pasal 30 ayat (1) Undang-undang Nomor 18 Prp 1960,
minimum umum pidana denda sebesar 25 sen, dilipatgandakan 15 kali
sehingga menjadi Rp 3,37 (tiga rupiah tiga puluh tujuh sen).
Sedangkan maksimum khusus bervariasi sebagai berikut:
a. Untuk kejahatan,
Denda maksimumnya berkisar antara Rp 900,- (sembilan ratus rupiah)
sampai dengan Rp 150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah). Tetapi yang
sering diancam adalah sebesar Rp 4.500,- (empat ribu lima ratus rupiah).
b. Untuk pelanggaran,
Denda maksimumnya berkisar antara Rp 225,- (dua ratus dua puluh lima
rupiah) sampai dengan Rp 4.500,- (empat ribu lima ratus rupiah). Tetapi
139
yang sering diancam adalah sebesar Rp 375,- (tiga ratus tujuh puluh lima
rupiah).
Dari pola di atas terlihat bahwa menurut KUHP maksimum khusus pidana
denda paling tinggi untuk kejahatan ialah Rp 150.000,- dan untuk
pelanggaran paling banyak Rp. 75.000,-. Jadi maksimum khusus pidana
denda yang paling tinggi untuk kejahatan adalah dua kali lipat yang
diancamkan untuk pelanggaran
b. Menurut Konsep KUHP (baru)
Konsep KUHP (baru) mengenal beberapa macam pola pidana denda
yaitu “minimum umum”, “minimum khusus” dan “maksimum khusus”.
Minimum umumnya sebesar Rp. 1.500,-.
Ancaman maksimum khusus dibagi menjadi beberapa kategori, yaitu:
- Kategori I : maksimum Rp. 150.000,-
- Kategori II : maksimum Rp. 500.000,-
- Kategori III : maksimum Rp. 3.000.000,-
- Kategori IV : maksimum Rp. 7.500.000,-
- Kategori V : maksimum Rp. 30.000.000,-
- Kategori VI : maksimum Rp. 300.000.000,-
Minimum khusus pidana denda dapat ditentukan berdasarkan kategori-
kategori di atas.
Adapun pengancaman maksimum khusus denda adalah sebagai berikut:
No Bobot Delik Penjara Denda
1
2
3
4
5
Sangat Ringan
Ringan
Sedang
Berat
Sangat Serius
-
1 – 2 tahun
2 – 4 tahun
4 – 7 tahun
Di atas 7 tahun
Kategori I atau II
Kategori III
Kategori IV
Kategori IV
- untuk “orang” tanpa denda
- untuk “koorporasi” terkena
Kategori V atau VI
140
Dari pola diatas terlihat, bahwa baik menurut KUHP maupun menurut konsep
KUHP (baru) tidak ada “maksimum umum” untuk pidana denda. Inilah yang
menyebabkan sangat bervariasinya maksimum pidana di luar KUHP.
B.12.5.Ketentuan Perdata
B.12.6.Sanksi Administratif
Pelanggaran ketentuan Pasal ........................ dipidana dengan pidana
penjara selama-lamanya 5 tahun atau denda setinggi - tingginya
Rp .....................
Tindakan pidana yang dimaksud dalam Pasal 50 adalah pelanggaran.
Dalam Peraturan pelaksanaan Undang-undang ini dapat dicantumkan
ancaman pidana dengan pidana penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun, atau
denda setinggi -tingginya Rp ................................
B.13.Ketentuan Peralihan
Tidak semua peraturan perundang-undangan mempunyai ketentuan
peralihan. Apabila mempunyai ketentuan peralihan, tempatnya adalah setelah
ketentuan pidana dan sebelum ketentuan penutup. Bab ketentuan peralihan
adalah ketentuan mengenai penyesuaian keadaan yang ada, sehingga roda
pemerintahan tetap berjalan dengan lancar dan tidak terjadi kekosongan.
Beberapa hal yang dimuat dalam ketentuan peralihan adalah sebagai
berikut:
1. Ketentuan tentang penerapan peraturan perundang-undangan yang baru
terhadap keadaan yang pada waktu peraturan perundang-undangan mulai
berlaku.
2. Ketentuan tentang pelaksanaan peraturan baru secara berangsur-angsur.
3. Ketentuan tentang menyimpang untuk sementara waktu dari peratura
baru.
4. Ketentuan mengenai aturan khusus bagi keadaan atau hubungan yang
sudah ada pada saat mulai berlakunya peraturan perundang-undangan
baru.
141
Dari keempat butir tersebut menurut Juniarto, SH perlu ditambah tiga
butir yaitu:
1. Ketentuan yang baru bersifat menghormati peraturan lama, sehingga
akibat hukum yang lama diatur oleh ketentuan yang baru (eebiedigende
werking).
2. Ketentuan yang baru menyimpang ketentuan yang lama (exclusieve
werking).
3. Ketentuan yang berlaku surut (teruqwerkende).
Berdasarkan uraian diatas maka dalam Undang-undang tentang
Karantina ini perlu ada Bab Ketentuan Peralihan untuk menjaga kekosongan
hukum di bidang kekarantinaan. Oleh karena itu semua peraturan perundang-
undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut (Lembaran Negara Tahun 1962
Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2373) dan Undang-undang
Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara (Lembaran Negara Tahun
1962 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2374) pada saat
diundangkannya Undang-undang ini masih tetap berlaku selama tidak
bertentangan dengan Undang-undang atau belum diganti dengan peraturan
yang baru berdasarkan Undang-undang ini.
B.14.Ketentuan Penutup
Dengan berlakunya Undang-undang ini maka :
1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut (Lembaran
Negara Tahun 1962 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2373);
2. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara
(Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2374); dinyatakan tidak berlaku lagi.
(1) Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
(2) Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan
Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
142
BAB VI
143
PENUTUP
A. Simpulan
1. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat dalam alat angkut
internasional baik udara, laut maupun darat, yang berpengaruh pada
masuknya “biological product” yang kemungkinan membawa risiko penularan
penyakit, yang menuntut adanya pengawasan yang lebih intensif melalui
karantina, sementara pengaturannya masih tersebar, untuk itu diperlukan
adanya pengaturan karantina kesehatan secara terpadu dan sistimatis.
2. Sejak tahun 1962 telah ada undang-undang karantina laut dan udara (UU No.
1 Tahun 1962 dan UU No. 2 Tahun 1962). Kedua UU tersebut di dasarkan
pada perundang-undangan kesehatan internasional yang disebut ISR
(internasional sanitary regulation 1953). Sejak tahun 1968 ISR telah diganti
dengan IHR (Internasional Health Regulation 1985), sehingga diperlukan
penyesuaian pengaturan karantina nasional disesuaikan dengan IHR. Di
samping itu perkembangan ilmu epidemiologi telah mengubah pendekatan
karantina dan sanitasi (ISR) ke arah pendekatan surveilans epidemiologi
(IHR) terhadap penyakit, vector dan lingkungan dalam upaya pencegahan
keluar masuknya penyakit dari suatu wilayah/negara ke wilayah/negara
lainnya.
3. Ketentuan yang perlu dimasukan dalam Rancangan Undang-Undang
Karantina Kesehatan meliputi : lokasi pemasukan dan pengeluaran orang dan
barang, koordinasi antara pusat dan daerah, tugas dan wewenang yang jelas,
kelembagaan, dan resiko kerja.
4. Koordinasi pelaksanaan penyelenggaraan karantina kesehatan yang terpadu
dan sistimatis memegang peranan penting dalam keberhasilan pencegahan
masuk dan keluarnya PHEIC.
B. Rekomendasi
1. Pengaturan kekarantinaan kesehatan perlu pula diselaraskan dengan
sistem pengawasan lainnya seperti karantina tumbuhan dan hewan,
keimigrasian, bea dan cukai, agar terdapat kesamaan pandang dalam
memberikan pelayanan dan pengawasan kepada masyarakat luas, serta
kerjasama secara lintas sektor maupun lintas program.
144
2. Perlu adanya percepatan pengaturan karantina kesehatan yang
komprehensif agar dapat melakukan pencegahan penyebaran penyakit yang
semakin banyak dan beragam.
145