46
Bapak Angklung Mar 9, '11 10:22 PM untuk semuanya Mendengar nama Angklung yang terlintas dipikiran kita mungkin adalah alat musik tradisional sunda yang tebuat dari bambu dan dimainkan dengan cara digoyang atau Saung Angklung Udjo,tak salah memang bila kita berpikiran seperti itu,tapi tahukah siapakah tokoh angklung selain (alm) mang udjo yang kita kenal dengan saung angklung udjonya ..? Angklung yang kita kenal sekarang kebanyakan yang bernada Diatonis (do re mi) dan hal tersebut adalah kreasi dari seorang Daeng Sutigna yang mungkin kita tidak tahu siapa beliau. Beliau bernama lengkap Mas Daeng Sutigna kelahiran Garut tgl 13 Mei 1908.Nama panggilan kecilnya adalah oetig lalu saat masuk asrama/sekolah biasa dipanggil encle. Memang sejak kecil beliau memang menggemari Angklung dan setelah lulus dari Kweekschool (1928), Daeng mengajar di Schakel School Cianjur, Jawa Barat (1928-1932), lalu pindah mengajar di HIS Kuningan (1932-1942). Pada saat mengajar di Kuningan inilah ia mempelajari seluk beluk angklung secara lebih mendalam. Daeng sutigna Untuk nama "Daeng" sendiri,biasanya kan dipakai oleh orang makasar atau orang Bugis.Sebenarnya Nama “Daeng” mempunyai riwayatnya tersendiri. Ayahnya mempunyai seorang sahabat dari Makasar yang bergelar Daeng. Daeng

Musik Angklung

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Musik bamboe

Citation preview

Bapak AngklungMar 9, '11 10:22 PMuntuk semuanya

Mendengar nama Angklung yang terlintas dipikiran kita mungkin adalah alat musik tradisional sunda yang tebuat dari bambu dan dimainkan dengan cara digoyang atau Saung Angklung Udjo,tak salah memang bila kita berpikiran seperti itu,tapi tahukah siapakah tokoh angklung selain (alm) mang udjo yang kita kenal dengan saung angklung udjonya ..?

Angklung yang kita kenal sekarang kebanyakan yang bernada Diatonis (do re mi) dan hal tersebut adalah kreasi dari seorang Daeng Sutigna yang mungkin kita tidak tahu siapa beliau. Beliau bernama lengkap Mas Daeng Sutigna kelahiran Garut tgl 13 Mei 1908.Nama panggilan kecilnya adalah oetig lalu saat masuk asrama/sekolah biasa dipanggil encle. Memang sejak kecil beliau memang menggemari Angklung dan setelah lulus dari Kweekschool (1928), Daeng mengajar di Schakel School Cianjur, Jawa Barat (1928-1932), lalu pindah mengajar di HIS Kuningan (1932-1942). Pada saat mengajar di Kuningan inilah ia mempelajari seluk beluk angklung secara lebih mendalam.

Daeng sutignaUntuk nama "Daeng" sendiri,biasanya kan dipakai oleh orang makasar atau orang Bugis.Sebenarnya Nama Daeng mempunyai riwayatnya tersendiri. Ayahnya mempunyai seorang sahabat dari Makasar yang bergelar Daeng. Daeng dari Makassar ini sangat pandai. Ketika itu ibunya sedang mengandung dan ayahnya berkata bahwa, Kalau anak yang dilahirkan laki-laki akan diberi nama Daeng, agar pandai seperti sahabatnya itu. Ketika ibunya benar-benar melahirkan bayi laki-laki, maka bayi itu diberi nama Daeng Sutigna; nama Daeng diambil dari nama seorang sahabat ayahnya yang orang Makassar itu.Awal mula hati beliau tergerak untuk membuat angklung adalah saat dua orang pengemis datang kerumahnya di Kuningan tahun 1938 dan memainkan angklung pentatonis (da mi na ti la da). Bunyi angklung tersebut membuat hatinya tergetar dan membeli angklung pentatonis tersebut. Ketika angklung pentatonis itu ada di tangannya, pikiranya mulai bekerja dan ingin membuat angklung diatonis. Namun, secara teknis tidak bisa membuat angklung. Untuk mengatasi persoalannya,beliau belajar kepada pakar angklung bernama Djaya.Setelah bisa membuat angklung,lalu beliau pun berupaya membuat angklung yang bertangga nada diatonis. Bekalnya membuat angklung diatonis berawal dari kepiawaiannya menguasai beberapa alat musik yang berasal dari Barat, seperti gitar dan juga piano.Daeng Sutigna menganggap angklung diatonis lebih komunikatif untuk diajarkan kepada anak-anak. Kalau angklung tradisional merupakan angklung renteng yang dimainkan oleh seorang saja, maka angklung yang dibuat olehnya dimainkan secara bersama, setiap orang memegang angklung yang membunyikan hanya satu nada saja, harmoni tercapai dengan kerjasama yang rapihPada awalnya, permainan angkung ciptaannya hanya dikenal di kalangan anak-anak Pramuka di Kuningan. Selanjutnya, setelah angklung diatonis dikenal di kalangan Pramuka sebagai alat musik yang menyenangkan, akhirnya permainan musik angklung diatonis bisa diterima dan diajarkan di sekolah.Mendapatkan kesempatan memainkan angklung ciptaannya dalam forum Perundingan Linggarjati pada 12 November 1946, yang saat itu dihadari banyak tokoh asing, baik dari Belanda maupun pihak-pihak lainnya. kembali diminta Presiden Soekarno untuk memainkan pertunjukan angklung tersebut di Istana Negara, Jakarta, dalam acara perpisahan dengan Laksamana Lord Louis Mounbatten, Panglima Tentara Sekutu untuk Asia Tenggara, yang juga hadir dalam acara Perundingan Linggar Jati.Pada tahun 1955 dalam kesempatan acara Konferensi Asia Afrika di Gedung Merdeka, Bandung. Daeng Sutigna juga diminta membuat konser angklung yang dikreasinya itu. Sejak itu, angklung diatonisnya sering di pertunjukan dalam acara-acara resmi, seperti dalam World Fair di New York, Amerika Serikat (1964), dimana ia memimpin pertunjukan kesenian termasuk angklung di paviliun Indonesia selama 8 bulan. Dilanjutkan dengan mengadakan pertunjukan di Belanda dan Perancis. Tahun 1967, ia mengadakan pertunjukan muhibah berkeliling di berbagai kota di Malaysia.Dan Kita pun sekarang patut berbangga karena angklung telah terdaftar di UNESCO sebagai Warisan Budaya Bangsa pada tahun 2010 lalu dan tak terlepas dari jasa beliau.Atas jasa-jasanya mengembangkan musik angklung, Daeng Sutigna, yang pernah mendapat tugas belajar Colombo Plan ke Australia (1955-1956) ini, mendapat piagam penghargaan dari Gubernur Jawa Barat (1966), piagam penghargaan dari Gubernur DKI Jakarta (1968) Satya Lencana Kebudayaan dari Presiden Soeharto (1968), Anugerah Bintang Budaya Parama Dharma (2007) dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan diusulkan mendapat gelar pahlawan nasional dari Jawa Barat dalam bidang seni dan budaya. Daeng Sutigna wafat di Bandung 8 April 1984 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan,Cikutra,Bandung.

Makam Daeng sutigna di Taman Makam Pahlawan,Bandung.

Kreasi Angklung Daeng Soetigna Chapter 1 Updated Mar 14, 2010 5,724 characters Angklung. Alat musik ini terdiri dari tiga tabung bambu yang digantung berderet. Cara memainkannya dengan digoyang atau diguncang-guncangkan. Ketiga tabung tadi ditata dengan perbedaan nada satu oktaf, atau ada yang ditata dengan nada do-mi-sol.

Jenis bambu yang lazim digunakan untuk alat musik ini adalah bambu berwarna hitam dan bambu berwarna putih. Ukuran tabung bambu angklung berbeda-beda. Ukurannya menentukan bunyi tinggi-rendah nada. Tidak diketahui secara pasti kapan angklung ini tercipta.

Angklung gubrag yang berasal dari Jasinga, Bogor diyakini sebagai jenis angklung yang paling tua, yang hidup sejak 400 tahun lampau. Jenis Angklung yang ada di Jawa Barat, yaitu angklung baduy, angklung dogdog lojor, angklung gubrak, angklung badeng, angklung buncis, dan angklung bungko, dan angklung soetigna.

Selain di daerah Jawa Barat, alat musik angklung (atau mirip angklung) juga dikenal di daerah lain, seperti di Bali dan Banyuwangi. Dalam mitologi Bali, angklung berasal dari kata angk yang artinya angka atau nada dan lung yang artinya hilang.

Di Bali cara memainkan angklung berbeda. Tabung-tabung bambu digantung dengan posisi miring dan dipukul dengan tongkat. Sedangkan di Banyuwangi terkenal angklung carok. Di daerah ini, angklung dimainkan dengan nada yang sambung menyambung.

Di Jawa Barat, syahdan angklung merupakan alat musik pengiring lagu-lagu persembahan kepada Nyai Sri Pohaci. Nyai Sri Pohaci adalah sosok penjelmaan Dewi Sri pemberi kesuburan.

Masyarakat Sunda menggoyang-goyangkan tabung bambu, yang dikemudian hari dikenal sebagai alat musik anglung, untuk memikat sang dewi agar turun ke bumi guna memberi berkah kesuburan bagi tanaman padi mereka.

Pada saat panen alat musik dari tabung bambu ini juga dimainkan. Dari sini angklung mulai menyebar di masyarakat. Tercatat pada 1908 ada sebuah misi kebudayaan Indonesia ke Thailand. Misi ini ditandai dengan penyerahan angklung. Saat itu angklung sempat digemari penduduk di sana dan menyebar di negara itu.

Pada masa kolonial Belanda, angklung dimanfaatkan sebagai alat pemacu semangat perjuangan rakyat melawan penjajah. Oleh karena itu pada masa ini permainan angklung dilarang pemerintah kolonial. Akibatnya, angklung menjadi kurang populer di masyarakat dan hanya dimainkan oleh anak-anak dan para pengemis. Angklung diatonis dikreasi oleh Daeng Soetigna. Angklung diatonis merupakan cikal-bakal angklung modern yang terdiri dari 8 tangga nada (do-re-mi-fa-so-la-si-do). Angklung yang dikreasi Daeng adalah jenis angklung buncis. Angklung ini ukurannya kecil. Daeng Soetigna lahir di Garut pada 1908. Cerita berawal ketika dua orang pengemis datang ke rumah Daeng di Kuningan.

Dua orang pengemis itu memainkan angklung dengan nada pentatonis. Permainan angklung mereka membuat Daeng tergetar. Lalu ia membeli dua angklung yang membuat hatinya bergetar itu. Setelah angklung tersebut berada di tangannya, ia berpikir untuk menggubah angklung pentatonis menjadi diatonis.

Namun masalahnya, Daeng tidak dapat membuat angklung. Karena itu ia kemudian meminta bantuan seorang pakar angklung bernama Djaya. Setelah belajar membuat angklung, singkat cerita, ia paham cara teknik membuat angklung. Ia kemudian bereksperimen untuk membuat angklung diatonis. Pada 1938, cita-cita Daeng untuk membuat kreasi angklung diatonis berhasil ia wujudkan.

Setelah keberhasilan eksperimennya itu, Daeng yang menetap di Kuningan dan bekerja sebagai pengajar di sekolah setingkat SMP di sana memperkenalkan angklung hasil kreasinya ke anak-anak pramuka asuhannya. Pada mulanya permainan angklung masih ditentang untuk diajarkan di sekolah, tetapi akhirnya dapat diterima dan lalu bisa diajarkan di sekolah. Setelah Daeng pindah ke Bandung, permainan angklung hasil kreasinya makin dikenal oleh masyarakat luas.

Pada 11 November 1946, Presiden Soekarno meminta Daeng untuk memainkan angklung diatonisnya di hadapan para peserta perundingan Linggajati. Pada acara Konferensi Asia-Afrika tahun 1955 di Gedung Merdeka Bandung, presiden Soekarno juga meminta Daeng mengadakan konser angklung hasil kreasinya untuk menjamu tamu-tamu negara. Dari sini mata dunia mulai melihat keindahan permainan musik angklung kreasi Daeng.

Keindahan bunyi nadanya membuat mereka berniat belajar memainkan angklung. Selain itu, Daeng juga berhasil memainkan lagu klasik An der schonen blauen Donau, karya Johan Strauss, dengan angklung diatonisnya (Ensiklopedia Indonesia). Angklung diatonis kreasi Daeng dapat dipadukan dengan alat-alat musik modern Barat.

Daeng Soetigna meninggal pada 8 April 1984. Sepeninggalnya, angklung diatonis hasil kreasi Daeng berkembang dan makin dikenal masyarakat dunia. Masyarakat dari segala penjuru dunia, terutama orang-orang Eropa, tertarik untuk mengenal lebih jauh alat musik ini. Pengenalan angklung ke dunia internasional dilakukan melalui konser, festival budaya, dan misi kebudayaan.

Pada 9 November 2007, atas jasa-jasanya, Daeng Soetigna dianugerahi Bintang Budaya Parama Dharma dari Pemerintah RI. Penghargaan ini merupakan penghargaan kedua dari pemerintah, setelah pada 1968 Daeng Soetigna juga menerima anugerah Satya Lancana Kebudayaan. Produk hasil budaya bangsa kita ini harus kita jaga dan lestarikan bersama-sama.

Daeng Soetigna dan Modernisasi Angklung Tak Lagi Diremehkan Sebagai Alat Musik yang Hanya Dipakai "Baramaen"Dalam konteks mengangkat musik rakyat untuk dinikmati dunia inilah, Daeng Soetigna, sebagaimana digambarkan Prof. Drs. A.D. Pirous, berhasil mengkreasi angklung menjadi alat musik yang "baru" di tatar Sunda. "Baru" dalam konteks ini adalah menjadi lain bunyinya, sedangkan wujudnya sama. Tak ada yang berubah, kecuali tangga nadanya.

ADA dua tokoh penting dalam sejarah dan perkembangan seni angklung modern di Jawa Barat, yakni Daeng Soetigna dan Udjo Ngalagena. Daeng mengembangkan kreasinya dengan berbasis pada tangga nada do-re-mi-fa-so-la-si-do yang berasal dari Barat. Sementara Udjo bermain pada tangga nada da-mi-na-ti-la-da, yang secara keilmuan baru dirumuskan almarhum Machyar pada awal abad ke-20.

Dua tokoh budaya itu memang tercatat dalam sejarah seni musik, khususnya yang berbasis bambu. Mereka pulalah yang mengharumkan negeri ini ke mancanegara. Namun, sosok Daeng Soetigna-lah yang telah berhasil "membumikan" idiomatik musik Barat di Timur lewat waditra angklung yang hasil dikreasinya kemudian dikenal dengan angklung padaeng.

Dalam jurnal Rekacipta Volume 2 No. 1 Tahun 2006, Hari Nugraha, Yasraf Amir Piliang, dan Duddy W. mencatat bahwa awal keberadaan angklung tidak terlepas dari keberadaan seni karawitan di dalam masyarakat Sunda. Hipotesis awal dapat dipastikan bahwa angklung telah ada sebelum kerajaan Sunda berdiri, sekitar tahun 952 Saka atau 1.030 Masehi, berdasarkan pada prasasti yang ditemukan di Cibadak, Kab. Sukabumi. Saat itu, angklung hanya digunakan untuk ritus, terutama upacara jelang musim tanam padi.

Pakar karawitan Sunda, Nano S. mengatakan, tangga nada angklung Sunda pada saat itu belum selengkap sekarang, sebagaimana yang dikembangkan Udjo Ngalagena. "Orang yang berhasil mengembangkan tangga nada da-mi-na-ti-la-da dalam karawitan Sunda, yang mengubahnya ilmu titi-laras itu adalah almarhum Machyar. Jadi, Pak Udjo pernah belajar kepada Pak Machyar soal ilmu titi-laras," katanya.

Dalam perkembangan selanjutnya, melalui berbagai eksperimen, Daeng berhasil membuat angklung baru dengan tangga nada milik orang barat. Muncullah angklung padaeng yang kemudian disebut sebagai angklung modern.

Pada waktu itu bukan hanya Daeng yang berupaya mengembangkan angklung. Ada juga orang Belanda, yakni J.C. Deagan, guru musik Daeng. Namun, yang berhasil justru Daeng Soetigna karena fungsi angklung yang dikembangkannya bertujuan fungsional untuk mendapatkan suara dan nada diatonik-kromatik.

Lebih lanjut, Hari Nugraha dkk. menyebutkan, untuk mencapai standar nada diatonik-kromatik (12 nada), angklung Daeng Soetigna tidak berpatokan pada jumah angklung yang digunakan pada angklung buhun dan subetnik. Perubahan susunan angklung padaeng dengan tujuan pendidikan itu dikelompokkan menjadi beberapa bagian yang setiap bagiannya terdiri atas 11-13 angklung. Instrumen bambu itu disusun dari yang berukuran besar dengan suara nada rendah sampai angklung berukuran kecil dengan suara nada tinggi.

Komposer Dwiki Dharmawan, generasi musikus sesudah Daeng, berkata, "Saya selalu mengagumi seseorang yang inovatif, yang mengembangkan sesuatu, apalagi menjadi berskala internasional. Angklung merupakan bagian kesenian yang berkesinambungan antara seni tradisi dan kreasi yang terus berproses. Bagi saya, Pak Daeng adalah pahlawan kesenian yang telah merintis dunia yang dicintainya, dunia pendidikan, dan dunia angklung."

**

Secara fisik, wujud angklung Daeng adalah tradisional. Namun, secara bunyi bisa disebut modern. Angklung yang dikreasi Daeng tidak mungkin didapatkan dalam upacara-upacara tradisional, baik di pedalaman Baduy maupun pada acara-acara upacara adat lainnya di tatar Sunda.

Bahkan, angklung yang dipakai untuk upacara adat pun bukanlah angklung yang bertangga nada da-mi-na-ti-la-da, melainkan hanya beberapa tangga nada yang dibunyikan secara monoton. "Jadi, kesan magis dan mistisnya terasa," kata musikolog dari Barat, Jaap Kunst.

Karena angklung pada masa awalnya kerap digunakan untuk upacara-upacara ritus menanam dan memetik padi di tatar Sunda, tak aneh bila waditra angklung merupakan alat musik tradisional masyarakat Sunda yang hanya tumbuh di kalangan bawah, bukan kalangan menak, seperti musik kecapi untuk tembang cianjuran.

Dalam konteks mengangkat musik rakyat untuk dinikmati dunia inilah, Daeng Soetigna, sebagaimana digambarkan oleh Prof. Drs. A.D. Pirous, berhasil mengkreasi angklung menjadi alat musik yang "baru" di tatar Sunda. "Baru" dalam konteks ini adalah menjadi lain bunyinya, sedangkan wujudnya sama. Tak ada yang berubah, kecuali tangga nadanya.

**

Ketertarikan Daeng terhadap angklung sebagaimana dikatakan Erna Ganarsih, salah seorang anak Daeng Soetigna, berawal dari dua orang pengemis yang memainkan angklung di hadapannya. Ketika itu, Daeng jatuh cinta terhadap alat musik tersebut. Lalu, Daeng berpikir keras untuk membuat angklung yang lain, yang bisa dipakai sebagai alat pendidikan seni musik.

Selain sebagai guru kesenian, Daeng juga mengajar kepanduan, yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan pramuka. Ide membuat angklung yang lain itu, ia peroleh saat bertugas di Kab. Kuningan.

"Setelah membeli angklung dari pengemis, Pak Daeng berpikir keras untuk membuat angklung. Ia lalu mendatangi seorang tua yang mahir bikin angklung untuk belajar membuat angklung. Pak Djadja namanya. Pak Djaja bilang apakah dengan belajar membuat angklung, Pak Daeng akan alih profesi jadi pengemis?" kata Erna Ganarsih yang dipersunting A.D. Pirous.

Setelah pandai membuat angklung dengan bambu pilihan yang liat dan kering, Daeng kemudian berpikir keras untuk memakai tangga nada do-re-mi-fa-so-la-si-do. Berbagai eksperimen pun dilakukan. Hasilnya cukup memuaskan.

Daeng pun memakai angklung hasil ciptaannya itu di kalangan anak-anak didiknya, yakni di kepanduan. "Saat itu, Pak Daeng diprotes banyak orang juga karena mengajarkan seni angklung dianggap mengajar jadi pengemis!" ujar Erna.

Akan tetapi, sejarah bicara lain. Apa yang diperjuangkan Daeng dalam perkembangan kreasi angklungnya membuat Presiden Soekarno terkagum-kagum. Itu terjadi pada 12 November 1946 saat Presiden Soekarno mengadakan jamuan makan malam untuk para diplomat asing di Kab. Kuningan.

Pada malam perjamuan itu, acara hiburan yang digelar adalah pertunjukan musik angklung karya Daeng Soetigna dan anak didiknya. Pertunjukan itu sukses. Lagu-lagu Barat ternyata bisa dimainkan melalui instrumen angklung diatonik-kromatis.

Sejak itulah angklung diatonik-kromatis yang dikreasi lelaki kelahiran Garut 13 Mei 1908 terangkat pamornya. Angklung tidak lagi diremehkan sebagai alat musik yang hanya dipakai baramaen (pengemis). Angklung yang dikreasi Daeng menjadi sebuah instrumen musik baru dalam perbendaharaan musik dunia.

Persoalannya kini, seberapa bangga orang Sunda terhadap seni angklung? Setelah diklaim oleh Malaysia bahwa seni angklung adalah produk negeri jiran itu, bagaimana sikap kita, urang Sunda, mempertahankan dan mengembangkannya? (Soni Farid Maulana/"PR")**

AngklungDari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Ini adalah versi stabil, diperiksa pada tanggal 5 September 2011. Ada perubahan templat/berkas menunggu peninjauan. AkurasiTerperiksa

Langsung ke: navigasi, cari Untuk jenis orkestra bernama sama lihat Angklung (gamelan).Musik dari Indonesia

Gong dari Jawa

Garis waktu Contoh

Ragam

Klasik Kecak Kecapi suling Tembang Sunda Pop Dangdut Hip hop Keroncong Gambang keromong Gambus Jaipongan Langgam Jawa Pop Batak Pop Minang Pop Sunda Qasidah modern Rock Tapanuli ogong Tembang Jawa

Bentuk tertentu

Angklung Beleganjur Calung Gamelan Degung Gambang Gong gede Gong kebyar Jegog Joged bumbung Salendro Selunding Semar pegulingan

Musik daerah

Bali Kalimantan Jawa Kepulauan Maluku Papua Sulawesi Sumatera Sunda

AngklungAngklung adalah alat musik multitonal (bernada ganda) yang secara tradisional berkembang dalam masyarakat berbahasa Sunda di Pulau Jawa bagian barat. Alat musik ini dibuat dari bambu, dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil. Laras (nada) alat musik angklung sebagai musik tradisi Sunda kebanyakan adalah salendro dan pelog.Angklung terdaftar sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia dari UNESCO sejak November 2010.Daftar isi 1 Asal-usul 2 Angklung Kanekes 3 Angklung Dogdog Lojor 4 Angklung Gubrag 5 Angklung Badeng 6 Buncis 7 Sumber rujukan 8 Pranala luar

[sunting] Asal-usul

Anak-anak Jawa Barat bermain angklung di awal abad ke-20.Tidak ada petunjuk sejak kapan angklung digunakan, tetapi diduga bentuk primitifnya telah digunakan dalam kultur Neolitikum yang berkembang di Nusantara sampai awal penanggalan modern, sehingga angklung merupakan bagian dari relik pra-Hinduisme dalam kebudayaan Nusantara.Catatan mengenai angklung baru muncul merujuk pada masa Kerajaan Sunda (abad ke-12 sampai abad ke-16). Asal usul terciptanya musik bambu, seperti angklung berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip). Masyarakat Baduy, yang dianggap sebagai sisa-sisa masyarakat Sunda asli, menerapkan angklung sebagai bagian dari ritual mengawali penanaman padi. Permainan angklung gubrag di Jasinga, Bogor, adalah salah satu yang masih hidup sejak lebih dari 400 tahun lampau. Kemunculannya berawal dari ritus padi. Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun ke bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur.Jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah bambu hitam (awi wulung) dan bambu putih (awi temen). Tiap nada (laras) dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk bilah (wilahan) setiap ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar.Dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa kerajaan Sunda, di antaranya sebagai penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai pemompa semangat rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan, itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan angklung, pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung menurun dan hanya di mainkan oleh anak- anak pada waktu itu.[rujukan?]Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu yang dikemas sederhana yang kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang kita kenal sekarang bernama angklung. Demikian pula pada saat pesta panen dan seren taun dipersembahkan permainan angklung. Terutama pada penyajian Angklung yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini menjadi sebuah pertunjukan yang sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan di sebagian tempat menjadi iring-iringan Rengkong dan Dongdang serta Jampana (usungan pangan) dan sebagainya.Dalam perkembangannya, angklung berkembang dan menyebar ke seantero Jawa, lalu ke Kalimantan dan Sumatera. Pada 1908 tercatat sebuah misi kebudayaan dari Indonesia ke Thailand, antara lain ditandai penyerahan angklung, lalu permainan musik bambu ini pun sempat menyebar di sana.Bahkan, sejak 1966, Udjo Ngalagena tokoh angklung yang mengembangkan teknik permainan berdasarkan laras-laras pelog, salendro, dan madenda mulai mengajarkan bagaimana bermain angklung kepada banyak orang dari berbagai komunitas.[sunting] Angklung KanekesAngklung di daerah Kanekes (kita sering menyebut mereka orang Baduy) digunakan terutama karena hubungannya dengan ritus padi, bukan semata-mata untuk hiburan orang-orang. Angklung digunakan atau dibunyikan ketika mereka menanam padi di huma (ladang). Menabuh angklung ketika menanam padi ada yang hanya dibunyikan bebas (dikurulungkeun), terutama di Kajeroan (Tangtu; Baduy Jero), dan ada yang dengan ritmis tertentu, yaitu di Kaluaran (Baduy Luar). Meski demikian, masih bisa ditampilkan di luar ritus padi tetapi tetap mempunyai aturan, misalnya hanya boleh ditabuh hingga masa ngubaran pare (mengobati padi), sekitar tiga bulan dari sejak ditanamnya padi. Setelah itu, selama enam bulan berikutnya semua kesenian tidak boleh dimainkan, dan boleh dimainkan lagi pada musim menanam padi berikutnya. Menutup angklung dilaksanakan dengan acara yang disebut musungkeun angklung, yaitu nitipkeun (menitipkan, menyimpan) angklung setelah dipakai.Dalam sajian hiburan, Angklung biasanya diadakan saat terang bulan dan tidak hujan. Mereka memainkan angklung di buruan (halaman luas di pedesaan) sambil menyanyikan bermacam-macam lagu, antara lain: Lutung Kasarung, Yandu Bibi, Yandu Sala, Ceuk Arileu, Oray-orayan, Dengdang, Yari Gandang, Oyong-oyong Bangkong, Badan Kula, Kokoloyoran, Ayun-ayunan, Pileuleuyan, Gandrung Manggu, Rujak Gadung, Mulung Muncang, Giler, Ngaranggeong, Aceukna, Marengo, Salak Sadapur, Rangda Ngendong, Celementre, Keupat Reundang, Papacangan, dan Culadi Dengdang. Para penabuh angklung sebanyak delapan orang dan tiga penabuh bedug ukuran kecil membuat posisi berdiri sambil berjalan dalam formasi lingkaran. Sementara itu yang lainnya ada yang ngalage (menari) dengan gerakan tertentu yang telah baku tetapi sederhana. Semuanya dilakukan hanya oleh laki-laki. Hal ini berbeda dengan masyarakat Daduy Dalam, mereka dibatasi oleh adat dengan berbagai aturan pamali (pantangan; tabu), tidak boleh melakukan hal-hal kesenangan duniawi yang berlebihan. Kesenian semata-mata dilakukan untuk keperluan ritual.Nama-nama angklung di Kanekes dari yang terbesar adalah: indung, ringkung, dongdong, gunjing, engklok, indung leutik, torolok, dan roel. Roel yang terdiri dari 2 buah angklung dipegang oleh seorang. Nama-nama bedug dari yang terpanjang adalah: bedug, talingtit, dan ketuk. Penggunaan instrumen bedug terdapat perbedaan, yaitu di kampung-kampung Kaluaran mereka memakai bedug sebanyak 3 buah. Di Kajeroan; kampung Cikeusik, hanya menggunakan bedug dan talingtit, tanpa ketuk. Di Kajeroan, kampung Cibeo, hanya menggunakan bedug, tanpa talingtit dan ketuk.Di Kanekes yang berhak membuat angklung adalah orang Kajeroan (Tangtu; Baduy Jero). Kajeroan terdiri dari 3 kampung, yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Di ketiga kampung ini tidak semua orang bisa membuatnya, hanya yang punya keturunan dan berhak saja yang mengerjakannya di samping adanya syarat-syarat ritual. Pembuat angklung di Cikeusik yang terkenal adalah Ayah Amir (59), dan di Cikartawana Ayah Tarnah. Orang Kaluaran membeli dari orang Kajeroan di tiga kampung tersebut.[sunting] Angklung Dogdog LojorKesenian dogdog lojor terdapat di masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan atau kesatuan adat Banten Kidul yang tersebar di sekitar Gunung Halimun (berbatasan dengan jakarta, Bogor, dan Lebak). Meski kesenian ini dinamakan dogdog lojor, yaitu nama salah satu instrumen di dalamnya, tetapi di sana juga digunakan angklung karena kaitannya dengan acara ritual padi. Setahun sekali, setelah panen seluruh masyarakat mengadakan acara Serah Taun atau Seren Taun di pusat kampung adat. Pusat kampung adat sebagai tempat kediaman kokolot (sesepuh) tempatnya selalu berpindah-pindah sesuai petunjuk gaib.Tradisi penghormatan padi pada masyarakat ini masih dilaksanakan karena mereka termasuk masyarakat yang masih memegang teguh adat lama. Secara tradisi mereka mengaku sebagai keturunan para pejabat dan prajurit keraton Pajajaran dalam baresan Pangawinan (prajurit bertombak). Masyarakat Kasepuhan ini telah menganut agama Islam dan agak terbuka akan pengaruh modernisasi, serta hal-hal hiburan kesenangan duniawi bisa dinikmatinya. Sikap ini berpengaruh pula dalam dalam hal fungsi kesenian yang sejak sekitar tahun 1970-an, dogdog lojor telah mengalami perkembangan, yaitu digunakan untuk memeriahkan khitanan anak, perkawinan, dan acara kemeriahan lainnya. Instrumen yang digunakan dalam kesenian dogdog lojor adalah 2 buah dogdog lojor dan 4 buah angklung besar. Keempat buah angklung ini mempunyai nama, yang terbesar dinamakan gonggong, kemudian panembal, kingking, dan inclok. Tiap instrumen dimainkan oleh seorang, sehingga semuanya berjumlah enam orang.Lagu-lagu dogdog lojor di antaranya Bale Agung, Samping Hideung, Oleng-oleng Papanganten, Si Tunggul Kawung, Adulilang, dan Adu-aduan. Lagu-lagu ini berupa vokal dengan ritmis dogdog dan angklung cenderung tetap.[sunting] Angklung GubragAngklung gubrag terdapat di kampung Cipining, kecamatan Cigudeg, Bogor. Angklung ini telah berusia tua dan digunakan untuk menghormati dewi padi dalam kegiatan melak pare (menanam padi), ngunjal pare (mengangkut padi), dan ngadiukeun (menempatkan) ke leuit (lumbung).Dalam mitosnya angklung gubrag mulai ada ketika suatu masa kampung Cipining mengalami musim paceklik.[sunting] Angklung BadengBadeng merupakan jenis kesenian yang menekankan segi musikal dengan angklung sebagai alat musiknya yang utama. Badeng terdapat di Desa Sanding, Kecamatan Malangbong, Garut. Dulu berfungsi sebagai hiburan untuk kepentingan dakwah Islam. Tetapi diduga badeng telah digunakan masyarakat sejak lama dari masa sebelum Islam untuk acara-acara yang berhubungan dengan ritual penanaman padi. Sebagai seni untuk dakwah badeng dipercaya berkembang sejak Islam menyebar di daerah ini sekitar abad ke-16 atau 17. Pada masa itu penduduk Sanding, Arpaen dan Nursaen, belajar agama Islam ke kerajaan Demak. Setelah pulang dari Demak mereka berdakwah menyebarkan agama Islam. Salah satu sarana penyebaran Islam yang digunakannya adalah dengan kesenian badeng.Angklung yang digunakan sebanyak sembilan buah, yaitu 2 angklung roel, 1 angklung kecer, 4 angklung indung dan angklung bapa, 2 angklung anak; 2 buah dogdog, 2 buah terbang atau gembyung, serta 1 kecrek. Teksnya menggunakan bahasa Sunda yang bercampur dengan bahasa Arab. Dalam perkembangannya sekarang digunakan pula bahasa Indonesia. Isi teks memuat nilai-nilai Islami dan nasihat-nasihat baik, serta menurut keperluan acara. Dalam pertunjukannya selain menyajikan lagu-lagu, disajikan pula atraksi kesaktian, seperti mengiris tubuh dengan senjata tajam.Lagu-lagu badeng: Lailahaileloh, Yati, Kasreng, Yautike, Lilimbungan, Solaloh.[sunting] BuncisBuncis merupakan seni pertunjukan yang bersifat hiburan, di antaranya terdapat di Baros (Arjasari, Bandung). Pada mulanya buncis digunakan pada acara-acara pertanian yang berhubungan dengan padi. Tetapi pada masa sekarang buncis digunakan sebagai seni hiburan. Hal ini berhubungan dengan semakin berubahnya pandangan masyarakat yang mulai kurang mengindahkan hal-hal berbau kepercayaan lama. Tahun 1940-an dapat dianggap sebagai berakhirnya fungsi ritual buncis dalam penghormatan padi, karena sejak itu buncis berubah menjadi pertunjukan hiburan. Sejalan dengan itu tempat-tempat penyimpanan padi pun (leuit; lumbung) mulai menghilang dari rumah-rumah penduduk, diganti dengan tempat-tempat karung yang lebih praktis, dan mudah dibawa ke mana-mana. Padi pun sekarang banyak yang langsung dijual, tidak disimpan di lumbung. Dengan demikian kesenian buncis yang tadinya digunakan untuk acara-acara ngunjal (membawa padi) tidak diperlukan lagi.Nama kesenian buncis berkaitan dengan sebuah teks lagu yang terkenal di kalangan rakyat, yaitu cis kacang buncis nyengcle..., dst. Teks tersebut terdapat dalam kesenian buncis, sehingga kesenian ini dinamakan buncis.Instrumen yang digunakan dalam kesenian buncis adalah 2 angklung indung, 2 angklung ambrug, angklung panempas, 2 angklung pancer, 1 angklung enclok. Kemudian 3 buah dogdog, terdiri dari 1 talingtit, panembal, dan badublag. Dalam perkembangannya kemudian ditambah dengan tarompet, kecrek, dan goong. Angklung buncis berlaras salendro dengan lagu vokal bisa berlaras madenda atau degung. Lagu-lagu buncis di antaranya: Badud, Buncis, Renggong, Senggot, Jalantir, Jangjalik, Ela-ela, Mega Beureum. Sekarang lagu-lagu buncis telah menggunakan pula lagu-lagu dari gamelan, dengan penyanyi yang tadinya laki-laki pemain angklung, kini oleh wanita khusus untuk menyanyi.Dari beberapa jenis musik bambu di Jawa Barat (Angklung) di atas, adalah beberapa contoh saja tentang seni pertunjukan angklung, yang terdiri atas: Angklung Buncis (Priangan/Bandung), Angklung Badud (Priangan Timur/Ciamis), Angklung Bungko (Indramayu), Angklung Gubrag (Bogor), Angklung Ciusul (Banten), Angklung Dog dog Lojor (Sukabumi), Angklung Badeng (Malangbong, Garut), dan Angklung Padaeng yang identik dengan Angklung Nasional dengan tangga nada diatonis, yang dikembangkan sejak tahun 1938. Angklung khas Indonesia ini berasal dari pengembangan angklung Sunda. Angklung Sunda yang bernada lima (salendro atau pelog) oleh Daeng Sutigna alias Si Etjle (19081984) diubah nadanya menjadi tangga nada Barat (solmisasi) sehingga dapat memainkan berbagai lagu lainnya. Hasil pengembangannya kemudian diajarkan ke siswa-siswa sekolah dan dimainkan secara orkestra besar.

Angklung

WADITRA terbuat dari ruas-ruas bambu. Cara memainkannya digoyangkan oleh tangan. Terdapat di seluruh daerah di Jawa Barat. Di Banten angklung dimainkan dalam upacara ngaseuk (menanam benih padi di ladang). ANGKLUNG GRUBAG Di Cipining, Bogor sebagai penghormatan terhadap Dewi Sri. ANGKLUNG BUNGKO di Desa Bungko, Cirebon, dimainkan dalam upacara nadran dan sedekah bumi. ANGKLUNG BUNCIS atau angklung badud di Ujungberung, Bandung, dimainkan untuk memeriahkan acara arak-arakan khitanan. Angklung jinjing dan angklung degung sebagai hiburan. Angklung tradisional laras SALENDRO seperti di Banten terdiri atas 4 buah rumpung (ancak), masing-masing bernama: king-king (yang terkecil), inclo (angklung kedua), panempas (angklung ketiga), dan angklung terbesar disebut gonggong. Lagu-lagu yang dimainkan, a.l.: Ayun-ayunan, Bibi lenjang, Cik arileu, Hiah-hiah panjang, Jari gandang, keupat reundang, Lili liyang, Nganteh, Ngasuh, Oray-orayan, Pileu-leuyan, Pongpok, Salaela, dan Yandi bibi. Di Kanekes tanpa vocal, di Panamping diperbolehkan mempergunakan lirik lagu berupa SUSUALAN. Di Tasikmalaya ada yang disebut angklung srd, semacam perlombaan angklung antara dua kelompok anak-anak. Di daerah Banten ada yang di sebut ngadu angklung. Selain sebagai hiburan, waditra tersebut biasa dipergunakan oleh orang yang minta-minta sebagai sarana pencari nafkah. Bersumber dari orang inilah, UJO NGALAGENA mengembangkan angklungnya hingga mendirikan Saung Angklung yang merupakan salah satu obyek pariwisata di Bandung. Ia mengembangkan angklung yang berlaras SALENDRO, PELOG, dan MADENDA, berbeda dengan ANGKLUNG PADAENG yang diatonis. Angklung dipergunakan dalam pertunjukan ogel. Dalam perkembangan selanjutnya, angklung sering dimainkan secara massal (biasanya oleh anak-anak sekolah) dalam rangka menyambut tamu negara, memeriahkan hari-hari nasional, dsb., tapi yang diatonis.Tulis Komentar Anda (1 Komentar)

Selengkapnya...

AWI Angklung Concert "The Glorious Heritage"

Thursday, 10 March 2011

AWI Angklung Concert "The Glorious Heritage"

Saturday, March 12th 201119.30 - 21.30

New MajesticJl. Braga No. 1, Bandung

Special Performers: Andhika Surya IMB 2, Nawawi Ansamble

Presents:Looking Through The Eyes of Love from Melissa ManchesterOver the Rainbow from Judy GarlandHear, There, and Everywhere from The BeatlesI Would Do Anything for Love from Meat LoafSantorini from YanniI Just Called to Say I Love You from Stevie Wonder

and many more ...

Ticket:General (30000 IDR)VIP (50000 IDR)VVIP (100000 IDR)

Ticket Box:AWI Office at Braga City Walk 2nd Floor (in front of 21 Cinema)Jl. Braga No. 99 Bandung

Contact Person:Intan (+6285721336711)Fitryasari (+622292758500)e-mail: [email protected]

MUSIC ANGKLUNG PLAYED BY SD PASKALIS STUDENT (Jakarta Centre, April, 10 2009)

Friday, 10 April 2009

SD Paskalis Jakarta Pusat play the tradional music Indonesia call Angklung, SD Paskalis try to resisted Indonesian tradional music, was claimed by other country.Tulis Komentar Anda (0 Komentar)

Selengkapnya...

PAGELARAN ANGKLUNG CHERRY BLOSSOM DI WASHINGTON DC (The Voice of Indonesia, 2 April 2009)

Thursday, 02 April 2009

Jakarta ( VOI - News ) - Upaya mempromosikan kebudayaan Indonesia ke dunia internasional bukan hanya tugas pemerintah semata, namun juga tanggung jawab semua elemen bangsa. Untuk itu, partisipasi masyarakat sangat diharapkan dalam mensukseskan program pemerintah khususnya dalam memperkenalkan kekayaan budaya yang dimiliki Indonesia. Tulis Komentar Anda (0 Komentar)

Selengkapnya...

DIPLOMASI ANGKLUNG OLEH MURID-MURID SRIT (Indonesian Embassy, 18 Maret 2009)

Wednesday, 18 March 2009

Pada tanggal 17 Maret 2009, KBRI Tokyo bersama dengan Sekolah Republik Indonesia Tokyo (SRIT) melakukan kunjungan persahabatan ke sekolah dasar Kagomachi, Tokyo. Tulis Komentar Anda (0 Komentar)

Selengkapnya...

LATIHAN ANGKLUNG GRATIS DI MALL: TEMEN AWI ANGKLUNG & INSPRERTO ARUMBA ORCHESTRA, FUN & ASSISSTANCE

Sunday, 17 August 2008

Angklung Web Institute (AWI) saat ini telah membentuk media sharing musik angklung melalui program latihan yang saat ini telah berjalan secara rutin setiap hari Rabu dan Sabtu jam 15.00-17.00 untuk latihan tim angklung pro (Temen AWI Angklung Orchestra Pro) serta tiap Minggu jam 14.00-15.00 untuk tim pemula (Temen AWI Fun). Sedangkan latihan tim arumba INSPERTO AWI Arumba Orchestra setiap Rabu dan Sabtu 17.00-19.00.

Tempat latihan di Lantai 2 Braga City Walk (BCW) Jl. Braga Bandung, melalui kerjasama antara Angklung Web Institute (AWI) dengan Management Braga City Walk Bandung. Tujuan dari pembentukan program ini adalah sebagai media sharing pengetahuan musik angklung di antara sesama peserta, penyaluran hobby di waktu senggang serta pengembangan kemampuan pribadi maupun tim melalui rencana pementasan dalam waktu dekat baik di dalam maupun di luar negeri.Sehubungan dengan hal tersebut AWI mengundang individu yang masih ingin berpartisipasi / bergabung dalam latihan tim angklung / arumba ini untuk langsung hadir pada waktu kegiatan latihan (tidak dipungut biaya dan tidak mengikat), dan bagi yang berminat dan/atau memerlukan info lebih lanjut dipersilahkan mengirimkan email kepada [email protected].

Selanjutnya apabila memerlukan jasa pelatih, lagu angklung, sarana latihan angklung secara gratis serta asistensi tim angklung, AWI menyediakan sarana, pelatih serta jasa asistensi (Temen AWI Assisstance) untuk latihan secara gratis di Braga City Walk (Berjangka waktu), dan untuk informasi detailnya dapat melalui email atau menghubungi AWI OFFICE Braga City Walk (BCW) Jl. Braga No 99 Lantai II (depan bioskop 21) setiap hari kerja, telepon 022 8446 0062 (juga untuk fax) atau 022 9275 8500 (juga untuk SMS).

FESTIVAL ANGKLUNG BIANGLALA 2009 (Pikiran Rakyat, 9 April 2009)

Thursday, 09 April 2009

Yayasan Bianglala akan menggelar "Festival Angklung Bianglala Ke-4" antarsiswa SD dan SMP se-Jawa Barat, 4 Juni 2009. Festival bertempat di Teater Tertutup Taman Budaya Jabar (Dago Tea House) Kota Bandung. Informasi dan pendaftaran dapat menghubungi telf. 022-2002031/2 (Eva/Heni).***Tulis Komentar Anda (0 Komentar)

ANGKLUNG DALAM KEINDONESIAAN KITA (iwan.pirous.com, 10 April 2009)

Sunday, 17 May 2009

Oleh : Iwan PirousSentimen kebangsaan selalu membutuhkan serentetan ikon budaya kongkret. Banyak orang Indonesia yang khawatir bahkan bersikap reaktif terhadap tangkasnya negara tetangga kita Malaysia yang mengakui angklung, batik, reog sebagai kesenian nasional mereka. Kekhawatiran ini mengarah pada harapan bahwa negara harus kongkret melindungi kesenian khas bangsa Indonesia untuk kepentingan identitas nasional. Intinya, jika ingin mengangkat properti budaya yang khas menjadi identitas yang representatif bagi bangsa, maka syarat utamanya adalah properti tersebut harus terlibat dalam kesejarahan bangsa untuk memenuhi visi otoritas ke masa lalu, sekaligus juga populer dalam imajinasi kolektif pada waktu sekarang untuk visi masa depan. Bangsa-bangsa modern yang tangguh setia mempertahankan prinsip ini untuk lestari. Angklung adalah elemen budaya yang terlibat dalam dua gaya tarik tradisional-modern sehingga menarik diisyukan sebagai ikon bangsa yang potensial dan kongkret.Tulis Komentar Anda (0 Komentar)

Selengkapnya...

PENAMPILAN MUSIK ANGKLUNG MEMUKAU MASYARAKAT INGGRIS (Media Indonesia, 17 April 2009)

Friday, 17 April 2009

LONDON--MI: Penampilan musik angklung interaktif yang dipandu Ika Widianingsih dari Saung angklung Mang Ujo mendapat sambutan meriah dari undangan acara "Indonesia Gala Dinner" di gedung Great Hall, Central Hall Westminster, London, Kamis malam.Tulis Komentar Anda (0 Komentar)

Selengkapnya...

OPTIMALISASI PENDIDIKAN LEWAT ANGKLUNG (Media Indonesia, 21 Maret 2009)

Saturday, 21 March 2009

BANDUNG--MI: Optimalisasi peran angklung sebagai media pendidikan untuk membentuk karakter bangsa yang berbudaya menjadi perhatian utama Saung Angklung Udjo (SAU).Tulis Komentar Anda (0 Komentar)

Selengkapnya...

SEKOLAH DI SINGAPURA PELAJARI ANGKLUNG DAN GAMELAN (Kompas, 13 Juni 2009)

Sunday, 12 July 2009

JAKARTA, KOMPAS.com--Ratusan sekolah dasar di Singapura dan Malaysia memiliki dan mempelajari alat musik tradisional asal Indonesia yakni, angklung dan gamelan.Tulis Komentar Anda (0 Komentar)

Wisata Rumpun Angklung Angklung DiatonisTgl. Update :Rabu, 27 Juli 2011Daerah :Kabupaten Garut Lihat:1008 00ShareNew

Angklung Diatonis merupakan perkembangan dari Angklung Buhun yang bertangga nada Pentatonis seperti Angklung Buncis, Angklung Baduy dan Angklung Gubrag yang sudah sejak lama terdapat di Tatar Sunda ini. Terciptanya Angklung Diatonis ini di pelopori oleh seorang putra dan ahli musik Tatar Sunda kelahiran Garut yaitu Bapak Daeng Soetigna (Alm). Angklung adalah sejenis alat musik yang terbuat dari bahan bambu. Jenis bambu yang di pergunakannya adalah : Awi (bambu) Taman, Awi Wulung, Awi Belang, dan Awi Tali. Tetapi untuk Angklung yang lebih besar ada juga yang mempergunakan Awi Surat.Waditra yang di pergunakannya terdiri: Angklung Melodi, yaitu nada nada Angklung yang fungsinya melantunkan melodi, dan Angklung Akompanyemen, Fungsi Angklung Akompanyemen ialah sebagai pengiring seperti halnya Gitar. Pertunjukkan Angklung Diatonis mengalami perkembangan yaitu dengan penambahan acara belajar memainkan Angklung di kalangan para penonton. Setelah selesai petunjukkan, para pemain Angklung Iangsung membagikan Angklungnya kepada para penontonnya. Sedangkan Pak Daeng sendiri memberikan petunjuk bagaimana cara memainkan Angklung secara bersama-sama dengan melihat Partitur yang sudah terpampang di depan para penonton. Setelah dilatih dalam jangka waktu yang relatif sebentar, para tamu sudah dapat mengalunkan satu atau dua buah lagu. Pertunjukkan secara mendadak ini semakin memeriahkan suasana dan menambah citra sikap keramah tamahan Bangsa Indonesia di muka dunia.

Home wisata budaya Angklung Diatonis Angklung Diatonis Posted by Winata Arsa

Angklung Diatonis merupakan perkembangan dari Angklung Buhun yang bertangga nada Pentatonis seperti Angklung Buncis, Angklung Baduy dan Angklung Gubrag yang sudah sejak lama terdapat di Tatar Sunda ini. Terciptanya Angklung Diatonis ini di pelopori oleh seorang putra dan ahli musik Tatar Sunda kelahiran Garut yaitu Bapak Daeng Soetigna (Alm). la berguru kepada Bapak Jaya dad Kuningan, yaitu seorang ahli pembuat Angklung.Angklung adalah sejenis alat musik yang terbuat dari bahan bambu. Jenis bambu yang di pergunakannya adalah : Awi (bambu) Taman, Awi Wulung, Awi Belang, dan Awi Tali. Tetapi untuk Angklung yang lebih besar ada juga yang mempergunakan Awi Surat.Demikian sebagaimana tercantum dalam buku Daeng Soetigna bapak Angklung Indonesia tulisan Helius Sjamsudin dan Hidayat Winitasasmita yang di keluarkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Jakarta 1986.Waditra yang di pergunakannya terdiri:1. Angklung Melodi, yaitu nada nada Angklung yang fungsinya melantunkan melodi, yang terdiri atas:a). Melodi tidak bernomor, jumlahnya ada 11 yaitu : 5 nada dari to (tangga nada ) Oktaf Besar (Baskan) ditambah 6 nada dad to Oktaf Kecil (Diskan) (G - Gis - A - Ais - B - C - cis- d-dis-e-dan f ) . Angklung Melodi Besar ini tidak diberi nomor, cukup di bed nama nada mutlaknya pada masing-masing tabung nadanya yang letaknya vertical atau pada tabung dasarnya yang letaknya horizontal. Dengan demikian jelas bahwa pada Angklung Pa Daeng nada Angklung terendah adalah G dad tangga nada Oktaf Besar (Baskan).b). Melodi Bernomor jumlahnya ada 31, mulai dad fis Oktaf kecil sampai dengan C". (c3). Angklung Melodi Kecil ini di bed nomor dari nomor 0 = fis tadi sampai dengan nomor 30 = c3 dengan jarak 1/2 nada (kromatis). Dengan demikiarf jelas pada Angklung Pa Daeng, luas oktaf dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi : 3 1/2 oktaf.2. Angklung Akompanyemen, terdiri atas:a). Akompanyemen Mayor 12 buah dan Minor 10 buah yaitu-Akompanyemen Mayor terdiri dari A7 - Bes7 - B7 - C7 - Cis7 - D7 - Es7 - E7 - F7 - Fis7 - G7 - As7-Akompanyemen Minor terdiri dari: Am - Besm - Bm - Cm - Cism - Dm - Em - Fm - Fism - Gm.b).Ko - Akompanyemen, jumlahnya sama dengan Akompanyemen, namun ukurannya Iebih kecil dari Akompanyemen.Fungsi Angklung Akompanyemen ialah sebagai pengiring seperti halnya Gitar. Pengiring yang memainkan Akorakor sesuai kunci lagu atau seperti fungsi tangan kiri pada permainan Piano. Antara Akompanyemen dan Ko - Akompanyemen saling mengisi sebagai penguat dan ritmis yang membedakan jenis lagu yang di lantunkan seperti pada Keroncong, Cha-cha, Dangdut dan lain sebagainya.Nada-nada Angklung Melodi yang dipergunakan yakni dari yang paling rendah G sampai yang tertinggi C

G Gis A Ais B c cis d dis e f fis5 nada6 nadadari oktaf besardari oktaf kecilTidak bernomor

Daeng Soetigna tertarik oleh Angklung ketika is menonton seorang pemain Angklung keliling yang dapat menyajikan lagu sendirian dengan memainkan beberapa buah Angklung yang di gantungkan pada tanggungan Sundung. Karena saking tertariknya, is membeli Angklung yang di tontonnya tadi yang akan di jadikan alat untuk mempelajari lagu-lagu.Kemudian is menemui pembuat Angklung di Kuningan yang bernama Jaya. Mereka berdua secara bersama-sama membuat Angklung yang bertangga nada Diatonis. Bapak Daeng Soetigna semula mencobanya kepada para siswa yang tergabung dalam Kepanduan Indonesia di Kuningan.

Dengan Angklung inilah Pak Daeng mulai membuat rombongan musik Angklung yang di awali dengan para pandu dari Kepanduan yang di pimpinnya di Kuningan. Selanjutnya is mengajar Angklung tersebut di Sekolah Dasar (H. I. S) yaitu kelas V dan kelas VI.

Di samping itu di Bandung telah tersaksikan pula permainan Angklung Diatonis yang di mainkan oleh Pelajar Sekolah Rakyat (SR, sekarang SD) No.14 di Gedung Merdeka Bandung. Yang memimpin waktu itu adalah Bapak Oeteng Soetisna, Guru SR No. 14 yang kebetulan juga adalah adik dari Bapak Daeng Soetigna.

Sebenarnya pada tahun 1938 Angklung telah di perkenalkan di Kota Bandung yang pada waktu itu dimainkan oleh 2 Regu Kepanduan dari Kuningan. Pertunjukkan Angklung ini di pentaskan pada Padvinders Rally yang di selenggarakan oleh P.O. P (Padvinders Organisatie Pasundan) dalam rangka Peringatan HUT Paguyuban Pasundan. Acara ini di hadiri oleh para tokoh Paguyuban Pasundan seperti : Bapak Otto Iskandardinata, Bapak Otto Subrata, Bapak Atik Suwardi, Ir. Djuanda, Prof. Ghazalli dan Mantan Menteri P dan K Sanusi Hardjadinata serta yang lainnya.

Kegembiraan Pak Daeng yang di peroleh ketika berada di Bandung untuk mengenalkan Angklung pada kalangan yang Iebih luas, hilang seketika terhapus kesedihan yang menimpanya. Beberapa hari setelah tiba di Kuningan, Bapak Jaya guru Pak Daeng membuat Angklung meninggal dunia.

Walau pun demikian, Pak Daeng tetap melanjutkan citacitanya, dan dalam perkembangannya, Angklung merebak sampai ke sekolah-sekolah mulai dari TK sampai Perguruan Tinggi di Bandung dan akhimya merebak serta berkembang sampai ke Mancanegara.

Keberhasilan Bapak Daeng Soetigna dalam mewujudkan harapannya tersirat dalam pitutur lima M, yaitu : Mudah, Murah, Menarik, Mendidik dan Massal Danpada tanggal 23 Agustus 1963, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia menetapkan Angklung sebagai salah satu alat pendidikan musik di sekolah (SK No. 082 I 1968 tertanggal 23 Agustus 1963).Pertunjukkan Angklung Diatonis semula hanya sebagai pengiring nyanyian, namun dalam perkembangannya menjadi suatu pertunjukkan tersendiri, baik pertunjukkan di daerah sendiri, nasional mau pun internasional.

Ketika memasuki masa-masa pendudukan Jepang tahun 1944, lagu-lagu yang berbahasa Indonesia, di tambah pula dengan lagu-lagu berbahasa Jepang. Pada tahun 1947 yaitu ketika pelantikan Wali Nagara Pasundan, rombongan Angklung Daeng Soetigna mulai memperkenalkan musik Angklung murni tanpa nyanyian. Lagu yang disajikannya yaitu "An der shonen Blauer Donau", dan pada keesokan harinya lagu tersebut Iangsung di siarkan di Studio Radio NIROM.

Untuk pertama kalinya Angklung Diatonis ini dipentaskan secara massal pada PON ke-6 di Lapangan Siliwangi Bandung yang di mainkan oleh 1000 orang pemain Angklung, kemudian dilanjutkan pada Pekan Olahraga Internasional seperti Asian Games dan Ganefo dengan menampilkan 300 orang pemain Angklung.

Berhubung pada saat itu Bandung merupakan Kota Konferensi. maka pada tsaat malam keseniannya, rombongan Angklung Daeng Soetigna tidak pernah terlewatkan untuk menampilkan permainan Angklungnya. Sementara itu Repertoir yang berasal dari negara asing makin bertambah. Pertunjukkan Angklung Diatonis mengalami perkembangan yaitu dengan penambahan acara belajar memainkan Angklung di kalangan para penonton.,

Setelah selesai petunjukkan, para pemain Angklung Iangsung membagikan Angklungnya kepada para penontonnya. Sedangkan Pak Daeng sendiri memberikan petunjuk bagaimana cara memainkan Angklung secara bersama-sama dengan melihat Partitur yang sudah terpampang di depan para penonton. Setelah dilatih dalam jangka waktu yang relatif sebentar, para tamu sudah dapat mengalunkan satu atau dua buah lagu. Pertunjukkan secara mendadak ini semakin memeriahkan suasana dan menambah citra sikap keramah tamahan Bangsa Indonesia di muka dunia.

Semenjak perkembangannya tersebut, Pak Daeng tidak lupa membentuk para kadernya dan sejak tahun 1950-an sudah ada asisten yang merupakan muridnya sendiri yaitu Bapak Udjo dan Bapak Yaya Erawan yang di susul kemudian oleh beberapa Pemuda yang merupakan penerusnya seperti Moh. Hidayat Winitasasmita, Agam Ngadimin, Sanu'l Edia, Opan Sopandi, Erwin Anwar, Obby A. Wiramihardja dan yang paling tekun di antara muridmurid Pak Daeng adalah Permadi dan Handiman. Serta tak lupa pula penerus sebagai pembuat Angklung seperti Pak Adis dan Pak Satiamihardja

Dari sederetan para penerus tersebut, Bapak Udjo merupakan orang yang tertua dan sudah membuktikan diri dengan mengelola "Saung Angklung Udjo Ngalagena".

Kesenian Angklung ini sudah lama menjadi andalan Tujuan Wisata Budaya Jawa Barat dan sudah di siapkan pula para penerus muda andalannya.

Penerus Angklung Diatonis yang termuda yaitu Obby A. Wiramihardja yang sering tampil untuk memimpin musik Angklung sampai ke Mancanegara serta masih aktif melatih dan bahkan pada tahun 2000 is pernah mengadakan penataran Angklung Diatonis bekerja sama dengan Yapari Bandung. Juga memimpin Lembaga Masyarakat Musik Angklung (MMA) yang di harapkan akan menjadi wahana pelestarian dan pengembangan Seni Angklung Diatonis.

Sebelum MMA didirikan telah berdiri organisasi pendahulunya yaitu Badan Koordinasi Musik Angklung Jawa Barat (BKMAJB) yang dipimpin oleh Drs. Dana Setia dan is telah berperan dalam upaya merentangkan benang merah untuk kelanjutan Musik Angklung Diatonis sepanjang masa.

Ternyata permainan musik Angklung Diatonis itu berkembang pesat sehingga sering kali diundang main, selain di Kuningan dan Cirebon namun pertunjukannya hingga ke Garut. Salah satu puncak permainan Angklung Daeng adalah pada waktu pertunjukan setelah selesai Persetujuan Linggarjati pada bulan Nopember 1946. Semua peserta konfrensi kagum dengan acara itu. Pertunjukan Angklung itu telah turut mencairkan spasana yang kaku dan tegang setelah perundingan Linggarjati selesai.

Kemudian setelah itu rombongan Angklung Daeng di undang main di Istana Negara Jakarta dan dijemput oleh St. Sjahrir. Sebagai hadiah, St. Sjahrir memberikan sebuah String Bass sebagai pengganti yang lama karena rusak. Bahkan ketika Presiden Soekarno dan rombongan berkunjung ke Kuningan dan melihat kelas-kelas SMP Kuningan, beliau sempat mengucapkan terima kasih kepada rombongan Angklung Daeng yang telah ikut memeriahkan beberapa acara kenegaraan.

Bertepatan dengan mulainya Daeng Soetigna pensiun sebagi pegawai negeri, pada tahun 1964 Angklung Diatonis berkesempatan diperkenalkan ke beberapa negara dengan mengadakan pertunjukkan di Manila, Hongkong, Tokyo, Honolulu, san Francisco, New York, Paris, Negeri Belanda, Cairo, Karachi dan Bombay.Pada tahun 1967, angklung berkesempatan dipertunjukkan di kota-kota Kuala Lumpur, Johor Baru, Malaka, Alor Star, lpoh, Kiantan, Kuala Trenggano, Kota Baru dan Port Dicksons.

Dalam rangka pengenalan Angklung Diatonis di negeri sendiri, pada tahun 1968 Pa Daeng pernah mengadakan Ceramah Peragaan Angklung kepada Utusan Perwakilan Asing di Baliroom Hotel Indonesia, Jakarta. Pada Peragaannya dipertanjukkan oleh rombongan Guriang dengan Dirigen Sanui Edia. S.

Pada tahun 1973, atas permintaan Pemerintah Malaysia, untuk kedua kalinya mengadakan pertunjukkan-pertunjukkan amal demi kepentingan National Heroes Welfare Trust Fund, dalam rangka mencari dana untuk korban-korban terror Komunis.

Kini di tiap KBRI dan Konsulat R.I, akan kita temukan seperangkat Angklung Diatonis. Namun tidak diketahui seberapa jauh intensitas pemanfaatan Angklung tersebut.

Dari murid Pa Daeng, yang paling lama mengajarkan Angklung di mancanagara, adalah Opan Sopandi. Di Konsulat R.I. di Hongkong dari tahun 1973 sampai tahun 1991. lalu di KBRI di Beijingdari tahun 1991 sampai 1997. Murid lain yang pemah diutus khusus oleh Menlu Muchtar Kusumaatmadja adalah Udjo Ngalagena, untuk mengenalkan Angklung di Negara Papua New Guinea. Selanjutnya Erwin Anwar di Negeri Belanda yang diutus oleh Gubernur Jabar, Aang Kunaefi.Di Bandung sendiri telah dipagelarkan Angklung masal, 1000 pemain pada peringatan Konferensi Asia Afrika pada tahun 1980 dan tahun 1985. Tentu banyak tamu negara Asing yang menyaksikannya.

Diharapkan ada dampaknya yang positif yang perlu disambung dengan upaya lainnya dalam rangka meng-globalkan Seni Budaya Sunda, yang tentu akan berdampak positif terhadap berbagai segi.[Sumber]

Wednesday, March 17, 2010pencipta angklung diatonis Daeng Soetigna - Pencipta Angklung DiatonisLahir di Garut, Jawa Barat, 13 Mei 1908. Sejak kecil mengemari Angklung.Setelah lulus dari Kweekschool(1928), Daeng mengajar di Schakel School Cianjur, Jawa Barat (1928-1932), lalu pindah mengajar di HIS Kuningan, Jawa Barat (1932-1942). Pada saat mengajar di Kuningan inilah ia mempelajari seluk beluk angklung secara lebih mendalam.

Encle, nama panggilannya, dikenal sebagai penemu musik angklung diatonis. Awal mulanya ketika dua orang pengemis datang kerumahnya di Kuningan, Jawa Barat, tahun 1938 dan memainkan angklung pentatonis. Bunyi angklung tersebut membuat hatinya tergetar dan membeli angklung pentatonis tersebut. Ketika angklung pentatonis itu ada di tangannya, pikiranya mulai bekerja dan ingin membuat angklung diatonis. Namun, secara teknis, ia tidak bisa membuat angklung.Untuk mengatasi persoalannya, ia belajar kepada pakar angklung bernama Djaya.

Setelah bisa membuat angklung, ia berupaya membuat angklung yang bertangga nada diatonis.Bekalnya membuat angklung diatonis berawal dari kepiawaiannya menguasai beberapa alat musik yang berasal dari Barat, seperti gitar dan juga piano.

Ia menganggap angklung diatonis lebih komunikatif untuk diajarkan kepada anak-anak. Kalau angklung tradisional merupakan angklung renteng yang dimainkan oleh seorang saja, maka angklung yang dibuat olehnya dimainkan secara bersama, setiap orang memegang angklung yang membunyikan hanya satu nada saja, harmoni tercapai dengan kerjasama yang rapih

Menurut Erna Ganarsih Pirous, salah seorang anak almarhum Daeng Soetigna, pada awalnya, permainan angkung ciptaan Pak Daeng ini hanya dikenal di kalangan anak-anak Pramuka di Kuningan. Selanjutnya, setelah angklung diatonis dikenal di kalangan Pramuka sebagai alat musik yang menyenangkan, akhirnya permainan musik angklung diatonis bisa diterima dan diajarkan di sekolah.

Mendapatkan kesempatan memainkan angklung ciptaannya dalam forum Perundingan Linggarjati pada 12 November 1946, yang saat itu dihadari banyak tokoh asing, baik dari Belanda maupun pihak-pihak lainnya. kembali diminta Presiden Soekarno untuk memainkan pertunjukan angklung tersebut di Istana Negara, Jakarta, dalam acara perpisahan dengan Laksamana Lord Louis Mounbatten, Panglima Tentara Sekutu untuk Asia Tenggara, yang juga hadir dalam acara Perundingan Linggar Jati.

Pada tahun 1955 dalam kesempatan acara Konferensi Asia Afrika di Gedung Merdeka, Bandung. Ia juga diminta membuat konser angklung yang dikreasinya itu. Sejak itu, angklung diatonisnya sering di pertunjukan dalam acara-acara resmi, seperti dalam World Fair di New York, Amerika Serikat (1964), dimana ia memimpin pertunjukan kesenian termasuk angklung di paviliun Indonesia selama 8 bulan. Dilanjutkan dengan mengadakan pertunjukan di Belanda dan Perancis. Tahun 1967, ia mengadakan pertunjukan muhibah berkeliling di berbagai kota di Malaysia.

"Sejak itulah pertunjukan angklung diatonis yang kemudian disebut Angklung Daeng Soetigna melanglang buana. Banyak sudah orang-orang dari Amerika, Inggris, Belanda, Jerman, Jepang, Korea, Malaysia, dan negara-negara lainnya yang belajar angklung kepada Daeng Soetigna," ungkap Erna Ganarsih. Malaysia dan negara-negara lainnya belajar angklung kepada Daeng Soetigna. Jadi sangat janggal kalau Malaysia mengaku-ngaku Angklung Daeng Soetigna sebagai produk budaya mereka. "Berkait dengan itu, kami minta kepada pemerintah Indonesia untuk mengklarifikasi masalah ini kepada pemerintah Malaysia," ujar Erna Ganarsih menjelaskan.

Sampai sekarang, Erna Ganarsih sebagai pewaris, belum pernah menerima royalti sepeser pun baik dari pihak seniman dalam negeri maupun dari pihak-pihak yang memproduksi angklung ciptaan ayahnya itu, yang konon dijual ke Jepang, Korea, Malaysia, dan negara-negara lainnya dalam jumlah yang banyak.

Namun atas jasa-jasanya mengembangkan musik angklung, Daeng Soetigna, yang pernah mendapat tugas belajar Colombo Plan ke Australia (1955-1956) ini, mendapat piagam penghargaan dari Gubernur Jawa Barat (1966), piagam penghargaan dari Gubernur DKI Jakarta (1968) Satya Lencana Kebudayaan dari Presiden Soeharto (1968), Anugerah Bintang Budaya Parama Dharma (2007) dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan diusulkan mendapat gelar pahlawan nasional dari Jawa Barat dalam bidang seni dan budaya

Daeng Soetigna wafat di Bandung, Jawa Barat, 8 April 1984. Untuk melakukan penghormatan terhadap jasa-jasanya, para seniman di Jawa Barat, merealisasikan sebuah acara yang mengambil tema Daeng Soetigna: A-trail Top Inovation In World Music History, pada 20 Desember 2008 lalu.

Lahir :Garut, Jawa Barat, 13 Mei 1908

Wafat :Bandung, Jawa Barat, 8 April 1984

Pendidikan :Kweekschool (1928)

Karier :Pengajar Schakel School Cianjur, Jawa Barat (1928-1932),Pengajar HIS Kuningan, Jawa Barat (1932-1942),Kepala Sekolah Rakyat Kuningan, Jawa Barat, (1942-1949),Pegawai Bantu pada Jawatan Kebudayaan Jawa Barat, (1949-1950),Penilik Sekolah pada bagian kursus-kursus di Kementrian P dan K di Jakarta, (1950-1951),Dosen Balai Pendidikan Guru, Bandung, Jawa Barat, (1951-1955),Kepala Jawatan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, (1956-1960),Kepala Konservatori Karawitan Jurusan Sunda Bandung, Jawa Barat (1960-1964),Anggota Staf Ahli BAPPENDA Jawa Barat (1980-1984)

Penghargaan :Piagam penghargaan Gubernur Jawa Barat (1966),Piagam penghargaan Gubernur DKI Jakarta (1968),Satya Lencana Kebudayaan (1968),Anugerah Bintang Budaya Parama Dharma (2007).

(www.tamanismailmarzuki.com)

Posted by de situs at 12:04 AM Jumat, 19/12/2008 09:57 WIB100 Tahun Daeng SoetignaMengenang Penemu Angklung Diatonis-KromatisSalomo Sihombing - detikBandung

Share

Foto Terkait

Mengenang 100 Tahun Daeng Soetigna Bandung - Ketika Indonesia gerah dengan klaim negara tetangganya akan alat musik angklung, sebenarnya banyak tokoh dan bukti-bukti sejarah yang terlupakan. Salah satunya kiprah Daeng Soetigna, penemu angklung diatonis-kromatis.

Daeng Soetigna, lahir di Garut pada 13 Mei 1908, sebagian besar hidupnya tidak lepas dari angklung. Diawali tahun 1938 saat Daeng menjadi guru dan pembina kepanduan (padvinders), hingga tutup usia di Bandung pada 8 April 1984.

Sejak zaman kerajaan Hindu Budha bahkan sebelumnya, angklung sudah ada. Di mana pun di penjuru dunia yang tumbuh bambu, kemungkinan besar ada angklung, alat musik dari bambu yang dimainkan dengan cara digetarkan. Di beberapa daerah di Indonesia, zaman dahulu angklung dipakai untuk upacara adat dan ritual-ritual. Namun, angklung yang dikenal dahulu adalah alat yang bernada pentatonis (da, mi, na, ti, la).

Apa yang dilakukan Daeng sebenarnya sangat sederhana. Dengan modal pengetahuan musik yang diperolehnya dari sekolah buatan Belanda, ia mengembangkan angklung pentatonis menjadi bernada diatonis-kromatis (do-di-re-ri-mi-fa-fi-sol-la-li-si dst). Pengembangan ini kemudian memungkinkan angklung dimainkan lebih luas untuk beragam jenis musik, sehingga perkembangannya pun semakin cepat.

Sebagai pembina kepanduan, Daeng mengajarkan angklung kepada murid-murid pandunya dan tampil di acara-acara perkemahan. Semakin banyak orang yang diajarnya, nama Daeng dan angklungnya pun semakin dikenal. Akibatnya tidak hanya di sekolah, angklung membawa pria dengan tujuh anak itu ke berbagai kepentingan termasuk politik.

Dalam buku Membela Kehormatan Angklung, Sebuah Biografi dan Bunga Rampai Daeng Soetigna yang disusun Tatang Sumarsono dan Erna Garnasih Pirous, dipaparkan betapa Daeng secara tidak sengaja memberikan kontribusi besar dalam sejarah diplomasi Indonesia. Ketika Perjanjian Linggarjati dan Konferensi Asia Afrika 1955 misalnya, kehadiran musik angklung yang dimainkan Daeng beserta kelompoknya mampu meredakan ketegangan.

"Angklung sangat mudah dimainkan oleh siapa saja. Asal mau konsentrasi mengikuti konduktor atau aba-aba kapan dia menggetarkan alat yang dipegangnya, maka semuanya bisa bermain," ujar AD Piraus, menantu Daeng dari putrinya Erna Garnasih Pirous, saat ditemui detikbandung di kediamannya di Jalan Bukit Pakar II/111, Bandung.

"Awalnya para diplomat-diplomat asing itu menolak karena merasa tidak bisa main, tetapi setelah melakukannya sendiri mereka sangat senang. Bahkan saya beberapa tahun lalu bertemu dengan mereka di beberapa tempat terpisah, semuanya mengingat momen memainkan angklung itu," tambah Pirous.

Tahun ini genap 100 tahun sejak Daeng dilahirkan. Keluarga serta beberapa pihak lain seperti Masyarakat Musik Angklung (MMA) juga Angklung Web Institute (AWI) menggelar acara yang diberi judul "Daeng Soetigna : A Trail of Invention in Woeld's Music History".

Acara yang digelar di Gedung Merdeka, Bandung, Sabtu (20/12/2008), terdiri dari tiga bagian besar yaitu Diskusi Panel Musik Angklung, Konser Musik Angklung dan Pameran Koleksi Daeng Soetigna.

SejarahAngklung4 April 2010 oleh DDN -[KAFEIN4U]- Angklung wuh gw tahu nih adalah alat musik khas sunda banget hehe, gw sadari gw harus tahu hehe peduli akan sejarah jadi gooooo

Gambar Berikut Artikel cuman COPAS diharapkan kunjungi www.angklung-udjo.co.idMaafkan klo tulisan dibawah tidk rapih hahaha.. udah copas gk dirapihkan hehe tapi gw hanya menyimpan sbgi arsip buat gw dan mungkin gw ikut serta merapaikan saja Pada jaman dahulu kala, instrumen angklung merupakan instrumen yang memiliki fungsi ritual keagamaan. Fungsi utama angklung adalah sebagai media pengundang Dewi Sri (dewi padi/kesuburan) untuk turun ke bumi dan memberikan kesuburan pada musim tanam. Angklung yang dipergunakan berlaraskan tritonik (tiga nada), tetra tonik (empat nada) dan penta tonik (5 nada). Angklung jenis ini seringkali disebut dengan istilah angklung buhun yang berarti Angklung tua yang belum terpengaruhi unsur-unsur dari luar . Hingga saat ini di beberapa desa masih dijumpai beragam kegiatan upacara yang mempergunakan angklung buhun, diantaranya: pesta panen, ngaseuk pare, nginebkeun pare, ngampihkeun pare, seren taun, nadran, helaran, turun bumi, sedekah bumi dll.Angklung TradisionalAngklung BaduyTidak diketahui dari mana asal-usul Angklung Baduy dan sejak kapan jenis Angklung ini mulai muncul. Penyebarannya pun tidak terlalu luas. Hal ini diperkirakan karena bentuk pertunjukannya yang monoton dan membosankan bagi yang melihatnya. Pada masyarakat Baduy Jero, Angklung Baduy dipergunakan sebagai kesenian yang mendukung upacara adat tradisional menghormati Sang Hyang Asri atau Dewi Sri sebagai dewi pertanian dan kesuburan. Upacara tersebut dikenal dengan nama ngaseuk pare, yaitu upacara yang dilaksanakan saat penanaman benih padi di ladang, dan upacara ngampihkeun pare, yaitu pada saat mengangkut padi hasil panen ke lumbung.Angklung Baduy terdiri dari empat buah ancak yang masing-masing disebut king-king, indo, panempas, dan gong-gong. Dog-dog dan bedug berfungsi sebagai pengiring irama lagu dan tempo irama. Para pemain mengenakan pakaian kampret hitam atau putih, lomar, dan iket. Jumlah pemain mencapai lima belas orang, terdiri dari sembilan orang yang memainkan angklung, tiga orang pemain bedug, dan yang lainnya bertindak sebagi penari.Dalam permainannya, Angklung dan dog-dog mengiringi mereka yang bernyanyi dan menari (ngalagu jeung ngalage). Nyanyian dilakukan dengan cara bersahut-sahutan, sambil menari, dan bergerak berkeliling. Lagu-lagu yang dimainkan antara lain berjudul Ayun-ayunan, Bibi Lenjang, Cik Arileu, Hiah-hiah Panjang, Jari Gandang, Keupat Rendang, Lili-liyang, Nganteh, Ngaseh, Oray-orayan, Pong-pok, Salaela, Yandi Bibi, Ketek-ketek, dan Pileuleuyan.Angklung BuncisAngklung Buncis dibuat pertama kali oleh Pak Bonce pada tahun 1795 di Kampung Cipurut, Desa Baros, Arjasari, Bandung. Diceritakan, Pak Bonce yang sehari-hari bekerja sebagai pembubu ikan di sungai, suatu saat mendapati sungai tempat ia menyimpan bubu meluap dilanda banjir. Banjir tersebut menghanyutkan beberapa batang bambu yang kemudian ia bawa pulang dan disimpan di atas tungku. Setelah kering, bambu-bambu tersebut dipukul-pukul dan ternyata menghasilkan bunyi yang bagus dan nyaring. Bambu-bambu tersebut kemudian diolah dan dibuat alat musik Angklung. Angklung tersebut lalu dinamakan Angklung Buncis. Pak Bonce membuat tujuh set Angklung Buncis yang kemudian dijual kepada Aki Dartiam. Oleh Aki Dartiam, Angklung-angklung tersebut lalu dikombinasikan dengan dog-dog dan terompet.Angklung Buncis dimainkan sebagai kesenian yang mengiringi upacara upacara rakyat atau acara-acara yang melibatkan orang banyak, di antaranya upacara nginebkeun pare atau mengangkut padi dari sawah ke rumah, upacara heleran atau pawai mengiringi anak khitanan dari rumah anak yang dikhitan ke rumah bengkong (pengkhitan), acara perkawinan, dan dalam menyambut hari-hari besar nasional.Angklung GubragPada zaman dahulu, Kampung Cipining, Bogor, diancam oleh bencana kelaparan akibat tanaman padi di ladang-ladang yang tidak tumbuh dengan baik. Penduduk meyakini bahwa musibah tersebut terjadi akibat kemarahan Dewi Sri yang sedang murung karena kurang mendapat hiburan, atau sedang murka kepada penduduk. Penduduk yang juga meyakini bahwa Dewi Sri bersemayam di angkasa kemudian melakukan berbagai usaha untuk mengundang kembali Dewi Sri untuk turun ke bumi dan memberikan berkahnya bagi kesuburan tanaman padi penduduk. Beberapa usaha dilakukan, di antaranya adalah menyediakan sedekah sesajian, mengadakan acara-acara kesenian seperti pertunjukan seruling, pertunjukan karinding, dan lain-lain.Namun usaha-usaha tersebut tidak membawa hasil. Dewi Sri tetap tidak berkenan turun ke bumi, dan tanaman padi penduduk tetap tidak tumbuh dengan baik. Akhirnya, tampillah kemudian seorang pemuda yang bernama Mukhtar. Ia mengajak kawan-kawannya pergi ke Gunung Cirangsad untuk menebang pohon bambu surat. Bambu tersebut kemudian dikeringkan dan sambil melakukan mati geni selama empat puluh hari, Mukhtar mengolah bambu-bambu tersebut menjadi waditra Angklung. Angklung tersebut lalu disempurnakan dengan ditambahkan dua buah dog-dog lojor. Ia kemudin mengajarkan permainan Angklung kepada penduduk dan mengatur suatu upacara bagi Dewi Sri, dengan mempergunakan kesenian Angklung sebagai media. Ternyata setelah upacara tersebut, tanaman padi penduduk tumbuh dengan baik, subur, dan butir-butirnya pun begitu bernas.Hal itu diyakini sebagai pertanda bahwa Dewi Sri telah menerima upacara tersebut, dan berkenan turun ke bumi memberikan berkah kesuburannya. Karena Angklung tersebut ternyata mampu memikat Dewi Sri untuk turun dari langit (dalam bahasa Sunda Ngagubrag), Angklung tersebut kemudian dinamakan Angklung Gubrag. Angklung Gubrag dimainkan pada upacara seren taun, yaitu upacara besarbesaran pada akhir tahun panen. Selain itu, Angklung Gubrag juga dimainkan pada upacara-upacara hajatan keluarga, perhelatan hari raya, hari-hari besar nasional, dan acara-acara lain yang menyangkut dan melibatkan orang banyak.Angklung BungkoAngklung Bungko terdapat di Desa Bungko yang terletak di perbatasan antara Cirebon dan Indramayu. Angklung Bungko yang pertama dibuat diyakini telah berusia lebih dari 600 tahun. Walaupun begitu, Angklung Bungko pertama masih ada, tersimpan dengan baik, walaupun sudah tidak bernada lagi. Angklung Bungko pertama ini selalu disertakan dalam setiap pergelaran kesenian Angklung Bungko sebagai simbol resminya pergelaran tersebut. Angklung Bungko dilestarikan oleh seorang tokoh masyrakat bernama Syeh Bentong atau Ki Gede Bungko, setelah dipergunakan sebagai kesenian yang mengiringi penduduk Desa Bungko berperang melawan serangan bajak laut. Oleh Ki Gede Bungko, Angklung Bungko kemudian dipergunakan sebagai kesenian yang mendukung penyebaran agama Islam. Selain jenis-jenis Angklung tersebut, masih banyak lagi jenis-jenis Angklung lain yang tersebar di hampir seluruh pelosok daerah Jawa Barat. Tercatat ada Angklung Jinjing yang kerap dimainkan dalam acara-acara hiburan, ada kesenian Angklung tanpa vokal di daerah Kanekes, kesenian Angklung dengan lirik berupa susualan di daerah Panamping, kesenian Angklung Sered di daerah Tasikmalaya yang berupa perlombaan memainkan waditra Angklung bagi anak-anak, dan lainlain.Salah satu usaha pelestarian dan pengembangan kesenian Angklung tradisional telah dilakukan oleh Udjo Ngalagena melalui program pelatihan kesenian Angklung tradisional di sanggar seni Saung Angklungnya, di mana tiap tiap peserta pelatihan diharuskan mempelajari dan menguasai dulu Angklung tradisional sebelum melangkah ke pelatihan Angklung modern atau kesenian Sunda lainnya yang telah dimodifikasi.Angklung Modern (Padaeng)Pada tahun 1938, Daeng, seorang guru Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, dinilai telah berhasil dengan baik menempatkan kembali kedudukan angklung di tengah-tengah masyarakat dengan melakukan modernisasi alat musik Angklung dari alat yang sederhana dan hanya berskala tangga nada pentatonis menjadi Angklung kompleks yang berskala tangga nada diatonis. Angklung ini kemudian dikenal dengan nama Angklung Daeng atau biasa disebut juga Angklung Padaeng. Angklung Daeng, dilihat dari tata cara memainkan dan skala tangga nadanya, memungkinkan menjangkau repertoar-repertoar lagu populer, tidak saja yang terdapat dalam khasanah musik nasional, tetapi juga musik Barat lainnya.Daeng sejak kecil sangat menggemari angklung. Pada waktu mengajar di HIS Kuningan, Daeng mempelajari seluk beluk Angklung secara lebih mendalam, termasuk proses pembuatan dan pemeliharaannya dari seorang tokoh pembuat angklung yang bernama Pak Djaja. Daeng yang saat masih belajar di Kweekschool mempelajari musik Barat, kemudian mencoba membuat Angklung yang mempergunakan skala tangga nada diatonis. Daeng menganggap Angklung yang berskala diatonis cenderung lebih komunikatif untuk diajarkan di sekolah-sekolah. Di samping itu, masyarakat luas telah lebih mengenal skala tangga nada diatonis dibandingkan skala tangga nada pentatonis.Dengan bantuan Pak Djaja, Daeng berhasil membuat satu set Angklung diatonis yang kemudian diperkenalkan pertama kali kepada anak-anak Pramuka dimana Daeng sendiri bertindak sebagai pembina. Alat musik tersebut kemudian dengan cepat diterima menjadi sarana kesenian dalam kehidupan kelompok Pramukanya, terutama dalam pertemuan-pertemuan kepramukaan dan perkemahan. Sementara itu, Angklung Padaeng di Kuningan mulai terkenal secara luas di berbagai kalangan. Pada tahun 1946 grup kesenian Angklung Daeng dipercaya mempertunjukan kebolehannya pada acara hiburan dalam Perundingan Linggar Jati. Pada tahun 1950, Daeng pindah ke Bandung dan mengajar di SMPN 2 Bandung. Selama di Bandung pula, Daeng mengembangkan Angklung diatonis dan diberikan kehormatan untuk menampilkannya dalam acara kesenian Konferensi Asia Afrika tahun 1955.Perbedaan Angklung tradisional dengan Angklung Daeng, selain dalam skala tangga nada, juga terdapat dalam cara memainkannya. Angklung tradisional merupakan Angklung renteng yang dimainkan oleh seorang pemain saja, sedangkan Angklung daeng dibuat untuk dimainkan bersama, di mana setiap pemain memainkan hanya satu nada saja, dan harmoni lagu dapat dicapai dengan kerjasana yang rapi antara para pemain. Sebagai seorang guru, Daeng melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang positif untuk pendidikan, terutama dalam pendidikan pembentukan watak. Tampak dalam permainan Angklung sifat-sifat bekerja sama, disiplin, kecermatan, keterampilan, dan rasa tanggung jawab. Demikian pula mengenai hal-hal yang merupakan dasar-dasar pokok dalam pendidikan musik, seperti membangkitkan perhatian terhadap musik, menghidupkan musik, dan mengembangkan musikalitas, melodi, ritme, dan harmoni.Daeng Sutigna tidak saja berhasil memperkaya khazanah alat musik Angklung, yang sebelumnya hanya berlaraskan tangga nada tradisional (pentatonis), menjadi bertambah dengan adanya Angklung berlaraskan diatonis kromatis, tetapi Bapak Daeng juga sangat berjasa di dalam pengembangannya menjadi perangkat musik modern, yang meliputi melodi seluas 3 oktaf, dilengkapi dengan Angklung akor atau akompanyemen (besar dan kecil), untuk mengiringi alat musik Angklung tersebut.Angklung melodi memiliki nomor untuk setiap angklung, yang akan dikonversikan menjadi nada tertentu, sesuai dengan nada dasar yang dipergunakan. Sedangkan angklung pengiring / akompanyemen telah mempunyai akor yang tetap, dan tidak akan berubah meskipun lagu yang dimainkan memiliki nada dasar yang berbeda. Secara garis besar, pembagian Angklung Padaeng adalah seperti tertera di bawah ini :Perkembangan Angklung di IndonesiaSebuah Keajaiban AngklungHal lain adalah pengembangan nilai-nilai yang berarti dalam didikan seni suara seperti:* Membangkitkan perhatian terhadap musik.* Menghidupkan musikalitas.* Mengembangkan rasa ritme, melodi, harmoni, dan lain-lain.* Hal lain yang tidak kalah penting adalah:* Pengembangan intelegensi.* Kreativitas, disiplin.* Sarana penyaluran emosi, ekspresi untuk kebahagian dalam bermain musik.* Serta melatih koordinasi gerak tubuh saat mengikuti irama musik dala rangka pengembangan syaraf psikomotorik.* Bahkan saat ini, di beberapa pusat kesehatan telah ditemukan penelitian bahwa angklung dapat menjadi terapi penyembuhan seperti yang diungkapkan di atas mengenai pengembangan syaraf psikomotorik.* Lebih jauh, melalui kesenian tradisional diharapkan akan dapat merangsang idealisme dan minat generasi muda terhadap eksistensi kesenian tradisional Sunda dan pelestarian lingkungan hidup.Hal tersebut menurut bahasa kami, merupakan Sebuah Keajaiban Angklung.Angklung & Character BuildingAngklung dari sekian pesona dan daya tariknya, memiliki efek samping lain yang baik pula karena beberapa manfaat nyatanya adalah: Melalui kesenian angklung, diharapkan akan dapat menumbuhkan nilai-nilai baik yang terdapat didalamnya, terutama dalam character-buliding, seperti:Kerja sama, Gotong Royong, Disiplin, Kecermatan, Ketangkasan, Tanggung jawab dan lain-lain.

HomePegelaran Angklung di Sasana Budaya GaneshaKekayaan Harmonisasi Nada, Angklung Mampu Lahirkan Berbagai Warna Musik Sabtu, 30/07/2011 - 08:17

ADE BAYU INDRA/"PRLM"DAENG Udjo menghibur penonton dengan menampilkan lagu Keong Racun yang diiringi angklung, dalam acara Gelar Angklung bertajuk "Angklung, Jawaban untuk : Bisa", di Sabuga ITB, Jln. Tamansari, Kota...BANDUNG,(PRLM).- Kekayaan harmonisasi nada Angklung Daeng (Sutigna) atau Angklung Diatonis merupakan perkembangan dari Angklung Buhun bertangga nada pentatonik, mampu memainkan berbagai warna musik. Demikian pula mereka yang memainkannya, bukan hanya dari kalangan orang tua, mereka yang masih kanak-kanak duduk di bangku sekolah taman-kanak-kanak sekalipun mampu memainkannya.Hal ini pula yang terjadi pada pegelaran musik angklung bertuliskan, Bersama Gubernur Apresiasi terhadap Angklung dan Pelakunya, bertajuk "Angklung jawaban untuk Bisa!", bertempat di gedung Sasana Budaya Ganesha, Jalan Tamansari, Bandung, Jumat (29/7) malam. Anak-anak dari berbagai lapisan usia memainkan berbagai nada dan irama musik melalui permainan angklung.Membuka pegelaran, tampil anak-anak balita dari TK Bianglala. Dengan sangat piawai dua puluh anak kecil memainkan komposisi, "Boneka Abdi" dan "Twinkle-twinkle Little Star".Usai anak pra sekolah dan TK Bianglala, giliran siswa SD Isola memainkan komposisi medley lagu kaulinan anak-anak. Di antaranya, "Manuk Dadali", "Cis Kacang Buncis", " Oray-orayan" dan "Tokecang".Kekayaan musik angklung semalam, juga ditampilkan dalam komposisi yang berbeda. Hal ini diperlihatkan anak-anak siswa SMP Negeri 2 Bandung, yang menampilkan komposisi genre musik pop.Dibantu alat musik kontra bas, jimbe dan latin perkusi, mereka memainkan komposisi, "Baby baby" milik Justin Bieber. Tidak ketinggalan komposisi instrumental "Mision Imposible" dan "Just The Way You Are" milik Bruno Mars, yang cukup mendapat aplause meriah penonton.Usai dihanyutkan irama angklung buhun, komposisi tembang masa lalu dan pop, penonton mendapat suguhan irama jazz pop siswa siswi SMAN 3 Bandung. Lagu "New York, New York" milik Frank Sinatra yang biasa dibawakan secara orkestra dimainkan dengan musik angklung dalam irama pop jazz.Permainan angklung KABUMI UPI juga mengiringi penyanyi Rita Tilla yang melantunkan tembang "Mojang Priangan", disambung lagu "Warung Pojok" yang dibawakan Rita bersama Ibu Gubernur, Netty Heryawan.Puncak dari rangkaian acara berupa pemberian penghargaan dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat kepada Daeng Udjo, yang berhasil mengukir nama Jawa Barat dimata dunia dengan keberhasilannya memimpin permainan angklung bersama bertempat di National Mall Washington 9 juli lalu . Keberhasilannya Daeng Udjo tersebut menjadikan peristiwa permainan angklung oleh 5.185 orang multikultur masuk Guiness Book of World Record.Usai menerima uang Kadeudeuh Gubernur sebesar Rp 100 juta, Daeng Udjo memimpin permainan angklung bersama, seperti yang dilakukannya di Washington DC Amerika Serikat. Komposisi "Ibu Pertiwi" menjadi pembuka sesi perkenalan disambung komposisi "Halo-halo Bandung" dan puncaknya angklung mengiringi lagu "We Are The World", yang semula dinyanyikan dua vokalis, namun kemudian semua penonton turut bernyanyi sambil memainkang angklung. (A-87/das)***

Udjo NgalagenaDari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebasBelum DiperiksaLangsung ke: navigasi, cari

Udjo NgalagenaUdjo Ngalagena (lahir 5 Maret 1929meninggal 3 Mei 2001 pada umur 72 tahun) adalah seniman angklung asal Jawa Barat, Indonesia dan pendiri Saung Angklung Udjo. Ia merupakan anak keenam dari pasangan Wiranta dan Imi. Pada usia antara empat sampai lima tahun, Udjo kecil sudah akrab dengan angklung berlaras pelog dan salendro yang kerap dimainkan di lingkungannya dalam acara mengangkut padi, arak-arak khitanan, peresmian jembatan, dan acara-acara yang melibatkan keramaian massa lainnya.Berdirinya Saung Angklung Udjo tidak dapat dilepaskan dari peran Udjo Ngalagena (5 Maret 1929 3 Mei 2001) sebagai pendiri Saung Angklung Udjo. Bahkan studi tentang Saung Angklung Udjo dapat dikatakan sangat erat kaitannya dengan studi tentang biografi Udjo Ngalagena dan keluarga.Selain belajar angklung Ia juga mempelajari pencak silat, gamelan dan lagu-lagu daerah dalam bentuk kawih dan tembang. Ia mempelajari lagu-lagu bernada diatonis dari HIS berupa lagu-lagu berbahasa Indonesia dan Belanda. Bakat serta kemampuannya makin berkembang ketika Ia mulai terjun sebagai guru kesenian di beberapa sekolah di Bandung. Untuk mempertajam kemampuannya Ia langsung mendatangi orang yang ahli dalam bidangnya. Teknik permainan kacapi dan lagu-lagu daerah Ia belajar dari Mang Koko. Gamelan Ia pelajari dari Raden Machjar Angga Koesoemadinata, dan untuk angklung do-re-mi (diatonis) Ia dapat bimbingan dari Pak Daeng Soetigna (pencipta angklung bernada Diatonis).Pengetahuan-pengetahuan tersebut kemudian diolahnya dalam bentuk paket pertunjukan untuk pariwisata dengan mengutamakan materi sajian angklung di sanggarnya (Saung Angklung Udjo). Kehadiran sanggar ini merupakan suatu sarana bagi Udjo untuk dapat mencurahkan jiwa kependidikan yang dimilikinya melalui seni angklung, sekaligus sebagai sarana penyaluran jiwa kewirausahaannya dengan menjual pertunjukan maupun alat musik bambu.Tamu-tamu luar dan dalam negeri berdatangan setiap sore untuk menikmati sajian pertunjukan kesenian tradisional berkwalitas tinggi khas Jawa Barat, tak jarang mereka selalu ikut larut dalam permainan angklung dan tarian anak-anak belia. Dari mulai Wayang, Tarian dan Angklung mampu membuat takjub para pengunjung untuk datang berkali-kali ke Saung Angklung Udjo. Jiwa entertainer Udjo mampu menyatukan antara kesenian, anak-anak dan lingkungan menjadi sebuah sajian pertunjukan yang harmonis di depan para pengunjungnnya.Kepiawaian dan keahlian Udjo ternyata menurun kepada para putra-putrinta. Awal tahun 90-an mulailah era putra-putrinya yang meneruskan SAU di bawah bimbingan Udjo sendiri. Karena kondisi kesehatan pun Udjo sudah jarang untuk memimpin sebuah pertunjukan, hanya sesekali apabila sedang sehat Udjo muncul dalam pertunjukan yang dipimpin oleh para putranya sekedar mengucapkan salam ke pada para pengunjung dalam berbagai bahasa (Inggris, Belanda, Prancis, Jerman serta negara lainnya).Sepeninggal Udjo Ngalagena ( 03 Mei 2001 ) SAU mulai diteruskan oleh para putra - putri. Tak ada yang berubah SAU tetap ramai dikunjungi para touris dalam dan luar negeri, anak-anak masih riang gembira memainkan angklung. Gemuruh tepukan dan senyum kagum penonton masih selalu hadir di setiap akhir pertunjukan.