45
RESPONSI MORBUS HANSEN Oleh : Destia Windi Damayanti G99121013 Pembimbing : dr. Nurrachmat Mulianto, Sp.KK, M.Sc KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

morbus.doc

Embed Size (px)

Citation preview

RESPONSI

MORBUS HANSEN

Oleh :

Destia Windi Damayanti

G99121013

Pembimbing :

dr. Nurrachmat Mulianto, Sp.KK, M.Sc

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI

SURAKARTA

2013

STATUS RESPONSI

ILMUKESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

Pembimbing : dr. Nurrachmat Mulianto, Sp.KK, M.Sc

Nama : Destia Windi Damayanti

NIM : G99121013

MORBUS HANSEN

I. SINONIM

Lepra, kusta. 1

II. DEFINISI

Morbus Hansen adalah penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh basil

Mycobacterium Leprae (M. Leprae) yang bersifat obligat intraseluler pertama kali

menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa (mulut),

saluran pernafasan bagian atas, system retikulo endothelial, mata, otot, tulang dan testis

kecuali susunan saraf pusat. 1,2,3,4

III. EPIDEMIOLOGI

Pada tahun 1997, 41% dari pasien baru terdeteksi di seluruh dunia

diklasifikasikan sebagai MB. Di Indonesia persentase ini jauh lebih tinggi (79%).

Proporsi kasus MB ditemukan selama kampanye kusta (LEC) di Indonesia adalah 59%.

Pada tahun 1997 rata-rata 7% dari kasus baru terdeteksi di 32 negara endemik memiliki

cacat kelas 2. Pada tahun 1997, proporsi anak-anak < 15 tahun di antara semua

penderita kusta itu rata-rata 14% di 32 negara endemik. 5

Kusta lebih banyak didapatkan pada laki-laki daripada wanita, dengan

perbandingan 2:1, dengan kelompok umur terbanyak usia 25-35 tahun. Anak-anak lebih

rentan daripada orang dewasa. Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit

ini antara lain:

1. Bangsa/ras (pada ras kulit hitam insidens bentuk tuberkuloid lebih tinggi.

Pada kulit putih lebih cenderung tipe lepromatosa),

2. Sosioekonomi (banyak pada negara-negara berkembang dan golongan

sosioekonomi rendah),

2

3. Kebersihan (lingkungan yang kurang memenuhi kebersihan).

Di seluruh dunia, sekitar 250.000 kasus baru kusta dilaporkan setiap tahun dan

sekitar 2 juta orang memiliki cacat kusta. Tiga negara endemik utama (India, Brasil,

dan Indonesia) terhitung untuk 77% dari semua kasus baru. Kasus yang terdaftar pada

permulaan tahun 1997 tercatat kurang lebih 890.000 penderita. Di Indonesia jumlah

kasus kusta yang tercatat akhir Maret 1997 adalah 31.699 orang, distribusi tidak

merata, yang tertinggi antara lain di Jawa Timur, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan

Prevalensi di Indonesia per 10.000 penduduk adalah 1,57.1

IV. ETIOLOGI

Kuman penyebab adalah mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A.

HANSEN pada 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dapat dibiakkan

pada media artifisial. Kuman ini bersifat obligat intrasel, aerob, tidak dapat dibiakkan

secara in vitro, berbentuk basil Gram positif dengan ukuran 3 – 8 μm x 0,5 μm, bersifat

tahan asam dan alcohol. 1

Gambar 3. Mycobacterium leprae dengan pewarnaan gram

Lima sifat khas M.Leprae, yakni :

1. Parasit intraseluler obligat yang tidak dapat dibiakkan pada media buatan.

2. Sifat tahan asam M.Leprae dapat diekstraksi oleh piridin.

3. Satu-satunya mikrobakterium yang mengoksidasi D-Dopa (D-

Dihydroxyphenylalanin)

4. Satu-satunya spesies mikobakterium yang menginvasi dan bertumbuh dalam saraf

perifer.

5. Ekstrak terlarut dan preparat M.Leprae mengandung komponen antigenic yang stabil

dengan aktivitas imunologis yang khas, yaitu uji kulit positif pada penderita

tuerkoloid dan negative pada penderita lepromatous. 4

V. PATOGENESIS

3

Sebenarnya M. leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab

penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang

lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan

derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang

menggugah timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh

sendiri atau progresif. Oleh karena itu, penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit

imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi selulernya daripada

intensitas infeksinya. 1 Kelainan saraf, baik klinis atau mikroskopis, merupakan gejala

penting kusta dan terjadi pada hampir semua jenis penyakit berkaitan dengan

keterlibatan kulit. Namun, dalam penyakit kusta juga terdapat keterlibatan saraf tanpa

perubahan kulit primer apapun. 8

Sebagai proteksi awal sebelum bakteri masuk ke dalam kulit, terutama

kompartemen imunologik bakteri tersebut harus melewati beberapa sawar, salah

satunya adalah berbagai mekanisme non-spesifik seperti sistem fagositosis yang

diperankan terutama oleh sel makrofag. Bakteri yang ditangkap akan melalui beberapa

proses yang bertujuan untuk mengeliminasi bakteri, sehingga pada 95% individu yang

terinfeksi oleh M. leprae tidak menimbulkan gejala klinis atau minimal hanya subklinis

saja. Setelah berbagai sawar nonspesifik tersebut gagal, maka barulah akan bekerja

mekanisme imunitas spesifik, melalui aktivasi sel-sel imunokompeten oleh stimulasi

antigen M. leprae. 1

Masuknya M. leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen

Presenting Cell) dan melalui dua signal yaitu signal pertama dan signal kedua. Signal

pertama adalah tergantung pada TCR- terkait antigen (TCR = T cell receptor) yang

dipresentasikan oleh molekul MHC pada permukaan APC disebut juga Cell-mediated

immunity. Signal ini akan mengaktivasi To sehingga berdifferensiasi menjadi Th1,

TNF α dan IL 12 akan membantu differensiasi tersebut. Th 1 akan menghasilkan IL 2

dan IFN γ yang akan meningkatkan fagositosis makrofag (fenolat glikolipid I yang

merupakan lemak dari M. leprae akan berikatan dengan C3 melalui reseptor

CR1,CR3,CR4 pada permukaannya lalu akan difagositosis) dan proliferasi sel B.

Sesampainya di kulit, makrofag berubah nama menjadi histiosit. Histiosit akan

memfagosit M. leprae sehingga kuman dapat dieliminasi. 6

Sedangkan jika sistem imun selular tidak bekerja secara efektif, makrofag

gagal memfagosit M. leprae signal kedua akan diaktifkan. Signal kedua adalah

produksi sitokin dan ekspresinya pada permukaan dari molekul kostimulator APC.

4

Signal ini mengaktivasi To sehingga berdifferensiasi menjadi Th2 disebut juga sistem

imun humoral. Th2 akan menghasilkan IL 4, IL 10, IL 5, IL 13. IL 5 akan

mengaktifasi dari eosinofil. IL 4 dan IL 10 akan mengaktifasi dari makrofag. IL 4

akan mengaktifasi sel B untuk menghasilkan IgG4 dan IgE. IL 4 , IL10, dan IL 13

akan mengaktifasi sel mast. 6

Infeksi multibasiler dikaitkan dengan T helper 2 (Th2) respon sel, sedangkan

infeksi paucibacillary dikaitkan dengan respon imun dimediasi oleh helper 1 (Th1)

sel. 7 Kerusakan jaringan yang terjadi pada tipe TT terjadi karena sel epiteloid. Sel

epiteloid adalah makrofag yang berubah setelah berhasil memfagositosis kuman, sel

epiteloid bersatu membentuk sel datia Langhans, khas secara histologist berupa sel

granuloma. Sedangkan pada tipe LL kerusakan jaringan terjadi karena makrofag tidak

berhasil memfagosit kuman. M. leprae menduduki makrofag dan berkembang biak di

dalamnya. Sel ini disebut sebagai sel virchow atau sel busa atau sel lepra yang dapat

ditemukan di subepidermal clear zone. 1

VI. KLASIFIKASI

Menurut WHO (1987), lepra dibagi menjadi pausibasilar (PB) dan multibasilar

(MB). PB adalah kusta dengan BTA negatif, yaitu tipe-tipe I, TT, dan BT menurut

klasifikasi Ridley-Joping. Bila pada tipe-tipe tersebut disertai BTA positif, maka akan

dimasukkan ke dalam kusta MB. Sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta

tipe BB, BL, dan LL atau apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA positif.1

Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spectrum determinate pada penyakit

kusta yang terdiri atas pelbagai tipe atau bentuk, yaitu:1

TT: Tuberkuloid polar, bentuk yang stabil

Ti: Tuberkuloid indefinite

BT: Borderline tuberculoid

BB: Mid borderline bentuk yang labil

BL: Borderline lepromatous

Li: Lepromatosa indefinite

LL: Lepromatosa polar, bentuk yang stabil.

Tipe I (indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah tipe tuberkuloid

polar, yakni tuberkuloid 100%, merupakan tipe yang stabil, jadi berarti tidak mungkin

berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni lepromatosa 100%,

juga merupakan tipe yang stabil yang tidak mungkin berubah lagi. Sedangkan tipe

5

antara Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran, berarti campuran antara

tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran yang terdiri atas 50%

tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya, sedang BL

dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang labil,

berarti dapat beralih tipe, baik ke arah TT maupun LL. Zona spektrum kusta menurut

berbagai klasifikasi dapat dilihat pada tabel 1.1

Tabel.1Zona Spektrum Kusta Menurut Macam Klasifikasi1

KLASIFIKASI ZONA SPEKTRUM KUSTA

Ridley & Jopling TT BT BB BL LL

Madrid Tuberkuloid Borderline Lepromatosa

WHO Pausibasilar (PB) Multibasilar (MB)

Puskesmas PB MB

Diagnosis banding berbagai tipe kusta tercantum pada tabel 2dan 3.1

Tabel .2 Gambaran klinis, Bakteriologik, Imunologik Kusta Multibasiler (MB)

SIFAT LEPROMATOSA

(LL)

BORDERLINE

LEPROMATOSA (BL)

MID BORDERLINE

(BB )

Lesi

-Bentuk Makula, Infiltrat

difus, papul, nodus

Makula, Plakat, papul Plakat, Dome-shaped

(kubah), Punched-out

-Jumlah Tak terhitung, praktis

tidak ada kulit yang

sehat

Sukar dihitung, masih

ada kulit sehat

Dapat dihitung, kulit

sehat jelas ada

-Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris

-Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar, agak

berkilat

-Batas Tak jelas Agak jelas Agak jelas

-Anestesia Tak ada sampai tak

jelas

Tak jelas Lebih jelas

BTA

-Lesi kulit

-Sekret hidung

Banyak (ada globus)

Banyak (ada globus)

Banyak

Biasanya negatif

Agak banyak

Negatif

Tes Lepromin Negatif Negatif Biasanya negatif

6

Tabel .3Gambaran klinis, Bakteriologik, Imunologik Kusta Pausibasiler (PB)1

SIFAT TUBERKULOID

(TT )

BORDERLINETUBERCULOID

(BT)

INDETERMINATE

(I)

Lesi

-Bentuk Makula saja;

makula dibatasi

infiltrat

Makula dibatasi infiltrat;

infiltrat saja

Hanya makula

-Jumlah Satu, dapat

beberapa

Beberapa atau satu dengan

satelit

Satu atau beberapa

7

Gambar .1

Kusta tipe Lepromatosa (LL)

Perbedaan bentuk reaksi host pada kusta tipe lepromatosa .1

Gambar .2

Kusta tipe BorderlineLepromatosa (BL)

Lesi multiple pada pasien BL. Lesi

anuler berbagai ukuran dan terdistribusi

asimetris. Sebaliknya, lesi papula dan

nodul tidak jelas krang lebih simetris.

Penurunan sensibilitas terdapat pada

kebanyakan lesi.1

-Distribusi Asimetris Masih asimetris Variasi

-Permukaan Kering bersisik Kering bersisik Halus, agak

berkilat

-Batas Jelas Jelas Dapat jelas atau

dapat tidak jelas

-Anesthesia Jelas Jelas Tak ada sampai tak

jelas

BTA

-Lesi kulit Hampir selalu

negatif

Negatif atau hanya 1+ Biasanya negatif

Tes lepromin Positif kuat ( 3+) Positif lemah Dapat positif lemah

atau negatif

8

Gambar . 3

Kusta tipe Tuberkuloid (TT)

Lesi tuberkuloid: soliter, anestesi dan lesi

anuler, yang muncul sejak 3 bulan. Tepinya

tajam, eritema, dan skuama lebih jelas

daripada elevasinya.1

Gambar. 4

Kusta tipe BorderlineTuberkuloid (BT)

Satu dari beberapa lesi BT yang memiliki

konfigurasi anuler tidak komplit dengan

papul satelit. Dibandingkan dengan Gambar

3, terdapat eritema yang lebih sedikit, tidak

ada skuama yang jelas, tetapi terlihat juga

tepinya yang tajam.1

Multibasilar berarti mengandung banyak kuman yaitu tipe LL, BL, BB.

Sedangkan pausibasiler berarti mengandung sedikit kuman yakni tipe TT, BT, dan I.

Menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi bentuk multibasilar dan

pausibasilar. Yang termasuk dalam multibasilar adalah tipe LL, BL dan BB pada

klasifikasi Ridley-Jopling dengan indeks Bakteri (IB) lebih dari 2+ sedangkan

pausibasilar adalah tipe I, TT dan BT dengan IB kurang dari 2+.1

Untuk kepentingan pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi perubahan. Yang

dimaksud dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif pada pemeriksaan

kerokan jaringan kulit, yaitu tipe I, TT, dan BT menurut klasifikasi Ridley-Jopling .

Bila pada tipe-tipe tersebut disertai BTA positif, maka akan dimasukkan ke dalam kusta

MB. Sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB, BL, dan LL atau

apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA postif, harus diobati dengan regimen MDT-

MB.1

Tabel. 4 Bahan Diagnosis Klinis Menurut WHO (1995)1

PB MB

Lesi Kulit

(makula datar,

papul yang meninggi,

nodus)

- 1-5 lesi

- hipopigmentasi / eritema

- distribusi tidak asimetris

- hilangnya sensasi yang jelas

- >5 lesi

- distribusi lebih simetris

- hilangnya sensasi kurang jelas

Kerusakan Saraf

(menyebabkan hilangnya

sensasi/kelemahan otot

yang dipersarafi oleh

saraf yang terkena)

- hanya satu cabang saraf banyak cabang saraf

VII. DIAGNOSIS

Pada kusta, didapatkan 3 tanda kardinal, dimana jika salah satunya ada,

sudah cukup untuk menetapkan diagnosis dari penyakit kusta, yakni :

1. Lesi kulit yang anestesi

2. penebalan saraf perifer, dan

3. ditemukannya M. leprae sebagai bakteriologis positif.

9

Masa inkubasinya 2 – 40 tahun (rata-rata 5 – 7 tahun). Onset terjadinya

perlahan-lahan dan tidak ada rasa nyeri. Pertama kali mengenai sistem saraf perifer

dengan parestesi dan baal yang persisten atau rekuren tanpa terlihat adanya gejala

klinis. Pada stadium ini mungkin terdapat erupsi kulit berupa makula dan bula yang

bersifat sementara. Keterlibatan sistem saraf menyebabkan kelemahan otot, atrofi

otot, nyeri neuritik yang berat, dan kontraktur tangan dan kaki.4

Ada lima tipe abnormalitas syaraf tepi yang biasa dijumpai pada penderita

kusta:6

1. Penebalan syaraf (biasanya asimetri), terutama pada syaraf yang dekat dengan

kulit, seperti pada syaraf auricularis magnus, ulnaris, radialis, medianus,

poplitea lateralis dan tibialis posterior

2. Penurunan sensorik pada lesi di kulit

3. Kelemahan syaraf tubuh, salah satunya ditandai dengan tanda dan gejala

peradangan atau tanpa manifestasi, seperti neuropati, kelemahan dan atau

kelumpuhan sensorik dan motorik, jika lama dengan kontraktur.

4. Gejala penurunan sensorik stocking-glove (S-GPSI), dari serat tipe C (yang

melibatkan diskriminasi panas dan dingin sebelum hilangnya rasa sakit atau

sentuhan ringan) dimulai di daerah akral dan dari waktu ke waktu, meluas

terpusat terbatas pada telapak tangan, setidaknya untuk sementara waktu.

5. Anhidrosis pada telapak tangan dan kaki, menunjukkan keterlibatan safar

simpatis.

Kalau secara inspeksi mirip penyakit lain, ada tidaknya anestesia sangat

banyak membantu penentuan diagnosis, meskipun tidak selalu jelas. Hal ini

dengan mudah dilakukan dengan menggunakan jarum terhadap rasa nyeri, kapas

terhadap rasa raba dan kalau masih belum jelas dengan kedua cara tersebut

barulah pengujian terhadap rasa suhu, yaitu panas dan dingin dengan

menggunakan 2 tabung reaksi.1

Untuk mengetahui adanya kerusakan fungsi saraf otonom perhatikan ada

tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak, yang

dipertegas menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Cara menggoresnya mulai

dari tengah lesi ke arah kulit normal. Bila ada gangguan, goresan pada kulit

normal akan lebih tebal bila dibandingkan dengan bagian tengah lesi. Dapat pula

diperhatikan adanya alopesia di daerah lesi, yang kadang-kadang dapat

10

membantu, tetapi bagi penderita yang memiliki kulit berambut sedikit, sangat

sukar menentukannya.1

Mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesaran,

konsistensi, ada/tidaknya nyeri spontan dan/atau nyeri tekan. Hanya beberapa

saraf superfisial yang dapat dan perlu diperiksa, yaitu N. fasialis, N. aurikuralis

magnus, N. radialis, N. ulnaris, N. medianus, N. poplitea lateralis, dan N. tibialis

posterior. Bagi tipe lepramatosa kelainan saraf biasanya bilateral dan menyeluruh,

sedang bagi tipe tuberkuloid kelainan sarafnya lebih terlokalisasi mengikuti

tempat lesinya.

Gejala-gejala kerusakan saraf:1

a. N. ulnaris: anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari

manis;clawing kelingking dan jari manis; atrofi hipotenar dan otot

interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial.

b. N. medianus: anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk,

dan jari tengah; tidak mampu aduksi ibu jari;clawing ibu jari, telunjuk,

dan jari tengah; ibu jari kontraktur; atrofi otot tenar dan kedua otot

lumbrikalis lateral.

c. N. radialis: anestesia dorsum manus, serta ujumg proksimal jari telunjuk;

tangan gantung (wrist drop); tak mampu ekstensi jari-jari atau

pergelangan tangan.

d. N. poplitea lateralis: anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum

pedis; kaki gantung (foot drop); kelemahan otot peroneus.

e. N. tibialis posterior: anestesia telapak kaki;claw toes; paralisis otot

intristik kaki dan kolaps arkus pedis.

f. N. fasialis: lagoftalmus (cabang temporal dan zigomatik); kehilangan

ekspresi wajah dan kegagalan mengaktupkan bibir (cabang bukal,

mandibular dan servikal).

g. N. trigeminus: anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata.

1. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan bakterioskopik (slit skin smear)

Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit atau

usapan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan BTA ZIEHL

NEELSON. Pertama – tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan

11

paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat

yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin

sebaiknya minimal 4 – 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah

dan 2 -4lesi lain yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan

paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa menghiraukan ada atau

tidaknya lesi di tempat tersebut karena pada cuping telinga biasanya

didapati banyak M. leprae. 1

M. leprae tergolong BTA, akan tampak merah pada sediaan.

Dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented), dan

butiran (granular). Bentuk solid adalah kuman hidup, sedangkan

fragmented dan granular merupakan bentuk mati.Kepadatan BTA tanpa

membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan

indeks bakteri (IB) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley.1

Tabel. 5 Indeks Bakteri3

Indeks Bakteri Keterangan

0 Tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).

1+ 1 – 10 BTA dalam 100 LP

2+ 1 – 10 BTA dalam 10 LP

3+ 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP

4+ 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP

5+ 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP

6+ > 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP

Indeks morfologi (IM) adalah persentase bentuk solid dibandingkan

dengan jumlah solid dan non solid.

Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100

BTA; IB 1+ tidak perlu dibuat IM-nya karena untuk mendapatkan 100

BTA harus mencari dalam 1.000 sampai 10.000 lapangan; mulai IB 3+

maksimum harus dicari 100 lapangan.1

b. Pemeriksaan Histopatologik

Gambaran histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan

kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada kuman atau hanya sedikit dan

non-solid. Pada tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal

12

Rumus: IM= Jumlah solid/ (Jumlah solid + Non solid) x 100%

(subepidermal clear zone), yaitu daerah langsung di bawah epidermis

yang jaringannya tidak patologik. Didapati sel Virchow dengan banyak

kuman. Pada tipe borderline tercampur unsur-unsur tersebut.1

c. Tes Lepromin

Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis

lepra, tapi tidak untuk diagnosis, berguna untuk menunjukkan sistem imun

penderita terhadap M. leprae. 0,1 ml lepromin, dipersiapkan dari extraks

basil organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca pada setelah

48 jam / 2 hari (Reaksi Fernandez), atau 3-4 minggu (Reaksi Mitsuda).

Reaksi Fernandez positif, bila terdapat indurasi dan erytema, yang

menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap M. leprae yaitu respon

imun tipe lambat, ini seperti Mantoux test (PPD) pada M. tuberculosis.

Sedangkan Reaksi Mitsuda bernilai :

· 0 : Papul berdiameter 3 mm atau kurang

·+1:Papul berdiameter 4-6 mm

· +2 : Papul berdiameter 7-10 mm

· +3 : Papul berdiameter lebih dari 10 mm atau papul dengan ulserasi.

Reaksi Mitsuda berkorelasi baik dengan respon imun penderita yang

bernilai prognosis. Klasifikasi histologi pada biopsi jaringan dari reaksi

mitsuda memiliki kemungkinan klinis lebih baik daripada histologi dari

lesi kulit lepra itu sendiri. Pasien yang memiliki (TT) kusta menunjukkan

bentuk yang kuat, reaktivitas lepromin yang lambat tapi reaktivitas ini

adalah variasi penderita kusta (BB), sedangkan pasien LL hampir selalu

menunjukkan reaksi negatif. 10

d. Pemeriksaan Serologis

Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi

pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang

terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M. leprae, yaitu antibodi anti-

phenolic glycolipid-1 dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD.

Kegunaan pemeriksaan serologik ini ialah dapat membantu diganosis

kusta yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik yang tidak

jelas. Disamping itu dapat membantu menentukan kusta subklinis.

Macam-macam pemeriksaan serologik kusta ialah: Uji MLPA

13

(Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), Uji ELISA (Enzyme

Linked Imnnuno-sorbent Assay), ML dipsticktest, ML flowtest.1

VIII. DIAGNOSIS BANDING

Pada lesi kulit:

1. Makula hipopigmentasi: leukoderma, vitiligo, tinea versikolor, pitiriasis alba,

morfea, dan parut.3

2. Bentuk nodul : lupus eritematous sistemik, dermatomiositis, atau erupsi obat. 2

3. Infiltrat merah tidak berbatas tegas : selulitis, erysipelas, atau psoriasis. 2

4. Plak eritem: tinea korporis, lupus vulgaris, lupus eritematosus, granuloma

anulare, sifilis sekunder, sarkoides, leukemia kutis, dan mikosis fungoides.3

5. Ulkus: ulkus diabetik, ulkus kalosum, frambusia, penyakit Raynauld dan

Buerger.3

Gangguan saraf:3

1. Neuropati perifer: neuropati diabetik,

amiloidosis saraf, trauma.

IX. KOMPLIKASI

Komplikasi imunologis : reaksi reversal, reaksi eritema nodusum leprosum. 3

Komplikasi neurologis : ulkus, claw hand, drop hand, drop foot, kontraktur,

mutilasi, absorbsi.3

Edema disebabkan oleh akumulasi cairan interstitial berlebihan. Ini adalah

subjek diabaikan dalam kusta. Namun demikian, tidak jarang terlihat pada

pasien dengan reaksi lepra, baik tipe 1 dan tipe 2. Selain itu dapat merusak.

Ulkus kaki dan kaki edema terkenal sulit untuk disembuhkan, dan deformitas

kontraktur tangan dan kaki terlihat seperti "habis terbakar" menunjukkan

kerusakan yang dapat disebabkan oleh fibrosis karena edema kronis. 9

1. Reaksi Kusta

Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit

yang sebenarnya sangat kronik.1,3 Reaksi kusta ini terbagi atas 2 bentuk, yaitu

reaksi tipe 1 (reaksi reversal) dan reaksi tipe 2 (eritema nodusum leprosum). 3

Tabel . 6 Reaksi Kusta3

14

Keterangan Reaksi tipe 1 Reaksi tipe 2

Keadaan umum Umumnya baik, demam ringan

(sub febris) atau tanpa demam

Ringan sampai berat disertai

kelemahan umum dan

demam tinggi

Peradangan di kulit Bercak kulit lama menjadi

cenderung lebih meradang

(merah), dapat timbul bercak

baru

Timbul nodul kemerahan,

lunak dan nyeri tekan.

Biasanya pada lengan dan

tungkai. Nodul dapat pecah

(ulserasi)

Neuritis Sering terjadi, berupa nyeri

tekan saraf dan atau gangguan

fungsi saraf

Dapat terjadi

Peradangan pada organ

lain

Hampir tidak ada Terjadi pada mata, kelenjar

getah bening, sendi, ginjal,

testis

Waktu timbulnya Biasanya dalam 6 bulan pertama

pengobatan

Biasanya setelah mendapat-

kan pengobatan yang lama,

umumnya > 6 bulan

Tipe kusta Dapat terjadi pada kusta PB

maupun MB

Hanya pada kusta tipe MB

Reaksi berat ditandai dengan salah satu dari gejala berikut:3

a. Adanya lagopthalmos baru terjadi

dalam 6 bulan terakhir

b. Adanya nyeri raba saraf tepi

c. Adanya kekakuan otot berkurang

dalam 6 bulan terakhir

d. Adanya makula pecah atau nodul

pecah

e. Adanya makula aktif (meradang)

diatas lokasi saraf tepi.

15

2. Fenomena Lucio

Merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta tipe

lepromatosa non-nodular difus. Kusta tipe ini terutama ditemukan di Meksiko dan

Amerika Tengah, namun dapat juga dijumpai di negeri lain dengan prevalensi

rendah. Gambaran klinis dapat berupa plak atau infiltrat difus, berwarna merah

muda, bentuk tak teratur, dan terasa nyeri. Lesi terutama di ekstremitas, kemudian

meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih eritematosa, disertai

purpura, dan bula, kemudian dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang

nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirnya terbentuk jaringan parut.1

Gambaran histopatologik menunjukkan nekrosis epidermal iskemik dengan

nekrosis pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi endotelial pembuluh

darah lebih dalam. Didapatkan banyak basil M. leprae di endotel kapiler.

Walaupun tidak ditemukan infiltrat polimorfonuklear seperto pada ENL, namun

dengan imunofluoresensi tampak deposit imunoglobulin dan komplemen di

dalam dinding pembuluh darah. Titer kompleks imun yang beredar dan

krioglobulin sangat tinggi pada semua penderita.1

3. Relaps

Penderita dinyatakan relaps bila telah pernah mendapatkan MDT dinyatakan

sembuh, tetapi kemudian kambuh lagi. Resistensi hanya terjadi pada kusta tipe

MB, tetapi tidak pada PB oleh karena SIS penderita PB tinggi dan pengobatannya

relatif singkat. Untuk kasus tipe MB, diperlukan pemeriksaan ulang BTA. Bila

terjadi peningkatan Indeks Bakteriologi ≥ 2 dibandingkan saat mendiagnosis,

maka penderita dinyatakan relaps.3

4. Klasifikasi Cacat

Cacat pada tangan dan kaki

a. Tingkat 0:Tidak ada gangguan

sensibilitas, tidak ada kerusakan atau deformitas yang terlihat

b. Tingkat 1:Ada gangguan

sensibilitas tanpa kerusakan atau deformitas yang terlihat

c. Tingkat 2: Terdapat

kerusakan atau deformitas

Cacat pada mata

16

a. Tingkat 0:Tidak ada gangguan pada mata akibat kusta ; tidak ada

gannguan penglihatan

b. Tingkat 1: Ada gangguan pada mata akibat kusta; tidak ada gangguan

penglihatan

c. Tingkat 2: Gangguan penglihatan berat (visus < 6/60; tidak dapat

menghitung jari pada jarak 6 meter.1

X. PENATALAKSANAAN KUSTA

Tujuan utama program pemberantasan lepra adalah memutuskan rantai

penularan untuk menurunkan insiden penyakit, mengobati, dan menyembuhkan

penderita serta mencegah timulnya cacat. Pada tahun 1981 WHO Study Group on

Chemotherapy of Leprosy secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan kusta

dengan regimen MDT (Multi Drug Therapy) yaitu dengan pengobatan kombinasi DDS,

lampren, rifampisin. 4

1. Medikamentosa

a. Dapson (4,4’-diamino difenil sulfon, DDS)

Merupakan dasar terapi untuk kusta, bersifat bakteriostatik tetapi cara

kerjanya tidak diketahui. Dosis 100mg bersifat bakterisidal lemah.

Merupakan suatu inhibitor kompetitif PABA dan berhubungan dengan

metabolisme asam folat. 4

Tentang sejarah pemakaian DDS, pada 20 tahun pertama digunakan

sebagai monoterapi. Pada tahun 1964, pembuktian pertama kali dengan

inokulasi adanya resistensi terhadap DDS oleh PETTIT dan REES, disusul

secara beruntun pembuktian adanya resistensi yang meningkat di berbagai

negara. Dengan adanya pembuktian resistensi tersebut berubahlah pola piker

dan tindakan kemoterapi kusta dari monoterapi menjadi MDT. 1

Resistensi terhadap DDS dapat primer maupun sekunder. Resistensi

primer, terjadi bila orang ditulari oleh M. leprae yang telah resisten dan

manifestasinya dapat dalam berbagai tipe (TT, BT, BB, BL, LL),

bergantung pada SIS penderita. Derajat resistensi yang rendah masih

dapat diobati dengan dosis DSS yang lebih tinggi, sedangkan pada derajat

resistensi yang tinggi DSS tidak dapat dipakai lagi. Resistensi sekunder

terjadi oleh karena monoterapi DDS, dosis terlalu rendah, minum obat

17

tidak teratur, minum obat tidak adekuat baik dosis maupun lama

pemberian, pengobatan terlalu lama setelah 4-24 tahun.1

Efek samping DDS antara lain nyeri kepala, erupsi obat, anemia

hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropatia perifer, sindrom DDS,

nekrolisis epidermal toksik, hepatitis, hipoalbuminemia, dan

methemoglobinemia.1

b. Rifampisin

Suatu derivate semisintetik produk fermentasi Streptomyces

mediterranci. Kerjanya melalui inhibisi sintesis RNA bakteri. Merupakan

anti kusta yang paling poten, menurunkan MI (Indeks Morfologi) pada

kusta lepromatosa menjadi 0 dalam 5 minggu, bersifat bakterisidal. Tidak

direkomendasikan pada kehamilan trimester I dan harganya mahal. 4

Rifampisin adalah obat yang menjadi salah satu komponen kombinasi

DDS dengan dosis 10mg/kg berat badan; diberikan setiap hari atau setiap

bulan. Rifampisin tidak boleh diberikan sebagai monoterapi, oleh karena

memperbesar kemungkinan terjadinya resistensi, tetapi pada pengobatan

kombinasi selalu diikutkan, tidak boleh diberikan setiap minggu atau

setiap 2 minggu mengingat efek sampingnya. Efek samping yang perlu

diperhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu-

like syndrome, dan erupsi kulit.1

c. Klofazimin (Lamprene)

Bahan aktif adalah turunan zat warna iminofenazin, kerjanya melalui

interaksi dengan DNA mikobakteria. Bersifat bakteriostatik dan

bakterisidal lemah, sifat antikustanya mirip dengan dapson tetapi sedikit

lebih lambat. Efektif untuk terapi ENL dan reaksi reversal, yang tidak

dapat diatasi dengan talidomid secara efektif. Harus diminum waktu

makan atau dengan segelas susu. Terutama penting untuk penderita

dengan resistensi terhadap dapson, penderita ENL menetap yang tidak

dapat berhenti minum kortikosteroid dan tidak dapat minum talidomid. 4

Obat ini mulai dipakai sebagai obat kusta pada tahun 1962. Dosis

sebagai antikusta adalah 50 mg setiap hari, atau 100 mg selang sehari,

atau 3 x 100 mg setiap minggu. Juga bersifat sebagai antiinflamasi

sehingga dapat dipakai pada penanggulangan ENL dengan dosis lebih

yaitu 200 mg-300 mg/hari namun awitan kerja baru timbul setelah 2-3

18

minggu. Resistensi pertama pada suatu kasus dibuktikan pada tahun

1982.1

Efek sampingnya adalah warna merah kecoklatan pada kulit, dan

warna kekuningan pada sklera, sehingga mirip ikterus, apalagi pada dosis

tinggi, yang sering merupakan masalah dalam ketaatan berobat penderita.

Hal tersebut disebabkan karena klofazimin adalah zat warna dan di

deposit terutama pada sel sistem retikuloendotelial, mukosa dan kulit.

Pigmentasi bersifat reversibel, meskipun menghilangnya lambat sejak

obet dihentikan. Efek samping lain yang hanya terjadi dalam dosis tinggi,

yakni nyeri abdomen, nausea, diare, anoreksia, dan vomitus. Selain itu

dapat terjadi penurunan berat badan.1

d. Protionamid

Dosis diberikan 5-10 mg/kg berat badan setiap hari, dan untuk

Indonesia obat ini tidak atau jarang dipakai. Distribusi protionamid dalam

jaringan tidak merata, sehingga kadar hambat minimalnya sukar

ditentukan.1

e. Ofloksasin

Ofloksasin merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif

terhadap M. leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah 400 mg. dosis

tunggal yang diberikan dalam 22 dosis akan membunuh kuman M. leprae

sebesar 99,99%. 1

f. Monisiklin

Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih

tinggi daripada klaritromisin, tetapi lebih rendah daripada rifampisin.

Dosis standar harian 100 mg. 1

Penatalaksanaan kusta adalah MDT, standar WHO (1997):

a. Tipe PB (I, TT, BT) dengan 2-5 lesi:2,4

1) Rifampisin 600 mg setiap bulan

2) DDS 100 mg/hari.

Keduanya diberikan dalam 6 dosis selama 6 bulan sampai 9 bulan,

berarti RFT setelah 6-9 bulan. Selama pengobatan, pemeriksaan secara klinis

setiap bulan dan bakterioskopis setelah 6 bulan pada akhir pengobatan.

Pengawasan dilakukan selama 2 tahun. Jika tidak ada aktivasi secara klinis

19

dan bakteriologi tetap negative dinyatakan relief from control (RFC) (bebas

dari pengamatan).

Berdasarkan klasifikasi WHO (1997) untuk kepentingan pengobatan,

penderita kusta dibagi menjadi 3 grup, yaitu PB dengan lesi tunggal, PB

dengan lesi 2-5 buah, dan penderita MB dengan lesi >5 buah. Sebagai standar

pengobatan, WHO Expert Committee pada tahun 1998 telah memperpendek

masa pengobatan untuk kasus MB menjadi 12 dosis dalam 12-18 bulan,

sedangkan untuk kasus PB dengan lesi kulit 2-5 buah tetap 6 dosis dalam 6-9

bulan. 3Bagi kasus PB dengan lesi tunggal pengobatan adalah Rifampisin 600

mg ditambah dengan Ofloksasin 400 mg, dan Minosiklin 100 mg (ROM)

dosis tunggal.1

b. Tipe MB (BB, BL, LL): 1,2,3

1) Rifampisin 600 mg setiap bulan, dalam pengawasan

2) DDS 100 mg/hari

3) Klofazimin 300 mg tiap bulan, dalam pengawasan, diteruskan 50

mg sehari atau 100 mg selama sehari atau 3 kali 100 mg setiap

minggu.

Pengobatan dilakukan selama 2-3 tahun. Pemeriksaan bakteriologi

selama 3 bulan. Sesudah 2-3 tahun bakteriologi tetap negative, pemberian

obat dihentikan. Jika setelah pengawasan tidak ada aktivitas klinis dan

pemeriksaan bakteriologi selalu negative, maka dinyatakan bebas dari

pengawasan.

Pada penderita MB yang resisten dengan rifampisin biasanya

akan resisten pula dengan DDS sehingga hanya bisa mendapat

klofazimin. Dalam hal ini rejimen pengobatan menjadi klofazimin 50 mg,

ofloksasin 400 mg, dan minosiklin 100 mg setiap hari selama 6 bulan,

diteruskan klofazimin 50 mg ditambah ofloksasin 400 mg atau minosiklin

100 mg setiap hari selama 18 bulan.1

Bagi penderita MB yang menolak klofazimin, dapat diberikan

ofloksasin 400 mg/hari atau minosiklin 100 mg/hari selama 12 bulan.

Alternatif lain adalah diberikan rifampisin 600 mg ditambah dengan

ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg dosis tunggal setiap bulan

selama 24 bulan.1

20

2. Rawat inap3

a. Bila disertai reaksi reversal atau ENL berat

b. Pasien dengan keadaan umum buruk (ulkus, gangren)

c. Pasien dengan rencana tindakan operatif.

3. Non medikamentosa3

a. Rehabilitasi medik, karya, sosial

b. Penyuluhan kepada pasien, keluarga, dan masyarakat.

XI. PENATALAKSANAAN REAKSI KUSTA 3

1. Penanganan reaksi

Prinsip penanganan reaksi ringan:

a. Berobat jalan

b. Pemberian analgetik/antipiretik, obat penenang bila perlu

c. MDT diberikan terus dengan dosis tetap

d. Menghindari/menghilangkan faktor pencetus

Prinsip penanganan reaksi berat:

a. Imobilisasi organ tubuh yang terkena neuritis

b. Pemberian analgetik/antipiretik, obat penenang

c. MDT diberikan terus dengan dosis tidak diubah

d. Menghindari/menghilangkan faktor pencetus

e. Memberikan obat antireaksi: prednisone, lamprene, thalidomide (kalau

tersedia)

f. Bila ada indikasi rawat inap penderita dikirim ke rumah sakit

2. Obat antireaksi terdiri dari:

a. Prednison, cara pemberiannya

1) 2 minggu pertama: 40 mg/hari (1x8 tab) pagi hari sesudah makan

2) 2 minggu kedua: 30 mg/hari (1x6 tab) pagi hari sesudah makan

3) 2 minggu ketiga: 30 mg/hari (1x4 tab) pagi hari sesudah makan

4) 2 minggu keempat: 15 mg/hari (1x3 tab) pagi hari sesudah makan

5) 2 minggu kelima: 10 mg/hari (1x2 tab) pagi hari sesudah makan

6) 2 minggu keenam: 5 mg/hari (1x1 tab) pagi hari sesudah makan

Bila diperlukan dapat digunakan steroid jenis lain dengan dosis yang

setara dan penurunan dosis secara bertahap juga.

21

b. Lamprene

Obat yang digunakan untuk penanganan/pengobatan reaksi ENL yang

berulang-ulang. Cara pemberian:

1) 3x100 mg/hari selama 2 bulan

2) 2x100 mg/hari selama 2 bulan

3) 1x100 mg/hari selama 2 bulan

c. Thalidomide

Bila obat ini tersedia. Hanya untuk reaksi tipe 2.

XII. PROGNOSIS

Adanya obat-obat kombinasi, pengobatan menjadi lebih sederhana dan lebih

singkat, serta prognosis menjadi lebih baik. Jika sudah ada kontraktur dan ulkus kronik,

prognosis menjadi kurang baik.2

22

DAFTAR PUSTAKA

1. Kosasih A, Wisnu IM, Sjamsoedalli ES, Menaldi

SL. Kusta. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan

KelaminEdisiKelima. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. h. 73-

88.

2. Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit

Edisi 2. Jakarta: EGC; 2005. h. 154-155.

3. PERDOSKI. Kusta. Dalam: Sugito TL, Hakim L,

Suseno LSU, Suriadiredja ASD, Toruan TL, Alam TN. Panduan pelayanan penyakit

medis dokter spesialis dan kulit kelamin perhimpunan dokter spesialis kulit dan kelamin

indonesia (PERDOSKI). Jakarta: PP PERDOSKI; 2011. h. 88-90.

4. Amiruddin MD. Dalam: Harahap M, editor. Ilmu

Penyakit Kulit. Jakarta: hipokrates; 1998. h. 260-270.

5. Bakker MI, Hatta M, Kwenang A, Klatser PR,

Oskam L. Epidemiology of leprosy on five isolated islands in the Flores Sea Indonesia.

Makassar: Hasanudin University; 2002. Vol.7 no.9 Pp. 780-787.

6. Rea TH dan Modlin RL. Leprosy. Dalam: Wolff K,

Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Fitzpatrick’s

dermatology in general medicine 7thed. New York: McGraw Hill; 2008. h.1786-1794

7. Zhang MD, et all. Genomewide Association Study

of Leprosy, The New England Journal of Medicine. Massachusetts: Massachusetts

medical society. 2009. 361;27

8. Kaur G, Girdhar BK, Girdhar A, Malaviya GN,

Mukherjee A, Sengupta U, Desikan KV. A Clinical, Immunological, and Histological

Study of Neuritic Leprosy Patients. USA: International Journal of Leprosy. 1991. Vol.59.

No.3

23

9. Stanley JNA, Pearson JMH, Ridley DB. Episodic

Edema in Type 2 Lepra Reaction Can Be Caused by Transient Lymphatic Obstruction in

the Lymph Node. USA: International Journal of Leprosy. 1986. Vol.54. No.2

10. Saha K, Agarwal SK. Immune Deficit in Patients

with Lepromatous Leprosy: Its Nature and Relation to Genetic Factors, Spectrum, and

Duration of the Illness. USA: International Journal of Leprosy. 1979. Vol.47. No.1

24

STATUS RESPONSI

ILMUKESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

Pembimbing : dr. Nurrachmat Mulianto, Sp.KK, M.Sc

Nama : Destia Windi Damayanti

NIM : G99121013

I. ANAMNESIS

A. Identitas

Nama : Sdr. H

Umur : 28 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Status : Belum menikah

Alamat : Tanon Sragen, Jawa Tengah

Tanggal periksa : 24 Desember 2013

No rekam medik : 01216936

B. Keluhan utama

Bentol-bentol merah diseluruh tubuh.

C. Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang ke IGD RSDM dengan keluhan bentol merah diseluruh tubuh.

Keluhan tersebut dirasakan sejak sekitar 4 hari yang lalu, awalnya hanya ditangan saja

makin lama meluas hingga ke seluruh tubuh. Keluhan tersebut disertai rasa panas dan

nyeri. Demam (+), mual muntah (+), rasa lemah seluruh tubuh (+), sulit berkeringat (+).

Tidak ada keluhan gatal, rambut rontok, hidung tersumbat, perdarahan hidung,

pandangan kabur. Pasien berobat ke puskesmas 2 hari yang lalu diberi 3 macam obat

namun lupa obatnya dan tetap tidak ada perubahan.

25

Pasien merupakan seorang buruh pabrik besi dan baja. Di lingkungan kerja,

rumah, dan tetangga tidak ada yang mempunyai keluhan serupa. Pasien tidak ada

riwayat pergi-pergi ke luar kota sebelumnya. Pasien pernah memeriksakan diri ke

RSUD sragen 2 tahun yang lalu dan didiagnosis morbus hansen kemudian sudah

pengobatan 8 bulan lalu putus obat. Tiga bulan yang lalu pasien periksa ke poli RSDM

dan mendapat pengobatan namun pasien tidak kontrol kembali ke poli RSDM.

D. Riwayat penyakit dahulu

Riwayat penyakit serupa : (+) 2 tahun yang lalu didiagnosa MH di

RSUD sragen

Riwayat alergi obat : disangkal

Riwayat atopi : disangkal

Riwayat pengobatan MDT 2 tahun yang lalu selama 8 bulan kemudian putus obat, lalu

pasien minum obat lagi 3 bulan yang lalu.

E. Riwayat penyakit keluarga

Riwayat penyakit serupa : disangkal

Riwayat alergi : disangkal

Riwayat atopi : disangkal

F. Riwayat Pekerjaan

Pasien bekerja sebagai buruh di pabrik besi dan baja.

II. PEMERIKSAAN FISIK

A. Status generalis

Keadaan umum : baik, compos mentis

Vital sign : TD= 110/70 mmHg,

HR= 96x/menit,

RR= 24x/menit,

t= 39,4oC

Kepala : mesocephal, hidung pelana (-)

Mata : lagoftalmus (-) ikterik (+/+)

Mulut : dalam batas normal

Leher : lihat status dermatologi

26

Thorax Anterior : lihat status dermatologi

Thorax Posterior : lihat status dermatologi

Abdomen : lihat status dermatologi

Ekstremitas atas : lihat status dermatologi

Ekstremitas bawah : lihat status dermatologi

B. Status dermatologi

Regio generalisita : tampak nodul eritem, multiple, diskret, tampak makula

patch hipopigmentasi, berbatas tidak tegas, dengan skuama

tipis diatasnya.

27

28

29

III. PEMERIKSAAN SARAF

A. Sensibilitas Lesi

Raba : hipoestesi (tungkai bawah kiri), nyeri (generalisata)

Tajam/tumpul : hipoestesi (tungkai bawah kiri)

Panas/dingin : hipoestesi (tungkai bawah kiri)

B. Pembesaran Saraf

N. Aurikularis magnus : -/-

N. Ulnaris : -/-

N. Peroneus comunis : +/+

N. Tibialis posterior : -/-

C. Pemeriksaan Sensorik

N. Ulnaris : normal/normal

N. Medianus : normal/normal

N. Tibialis Posterior : normal/normal

30

D. Pemeriksaan Motorik

N. Ulnaris : +5/+5

N. Medianus : +5/+5

N. Radialis : +5/+5

N. Tibialis Posterior : +5/+5

IV. DIAGNOSIS BANDING

Morbus Hansen

Drug Eruption

Tinea Korporis

Erisipelas

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan BTA: +1

VI. DIAGNOSIS KERJA

Morbus Hansen tipe MB dalam pengobatan MDT bulan ke-3 dengan reaksi ENL

VII. TERAPI

Mondok

Non medikamentosa

1. Edukasi pasien tentang penyakitnya

Medikamentosa

Infus Nacl 0,9% 20 tpm

Injeksi Metilprednisolon 31,25 mg/hari

Injeksi ranitidin 50 mg/12 jam

Paracetamol 3 x 500 k/p

Analsik 3 x 1

1. MDT MB :

- Rifampicin 600mg/bulan

- DDS tablet 100 mg/hari

- Klofazimin 300 mg/bulan, diteruskan 50 mg/hari

31

VIII. PROGNOSIS

Ad vitam : dubia ad bonam

Ad sanam : dubia ad bonam

Ad fungsionam : dubia ad bonam

Ad kosmetikam : dubia ad bonam

32