Moratorium Oslo

Embed Size (px)

Citation preview

MORATORIUM OSLO, ANTARA PELUANG DAN KOLONIALISME BARU (Analisis Isu Lingkungan sebagai Isu Global)posted by Boni Andika at 1:30:00 PM

The governments of Indonesia and Norway signed recently a US$1 billion partnership to cut Indonesian emissions from deforestation and forest degradation to resist climate change. Indonesia, the worlds third-largest forest nation with 120 million hectares, pledged a two-year suspension on issuing new permits to convert natural forests or peatlands.[1] Isu lingkungan hidup sebenarnya bukanlah merupakan isu baru. Pada era tahun 1960-an, isu lingkungan hidup telah masuk ke dalam agenda internasional. Dalam hal ini, isu mengenai lingkungan tidak lagi menjadi monopoli satu atau dua negara saja atau negara-negara dalam satu kawasan. Sebaliknya, ia menjadi perhatian atau harus menjadi perhatian umat manusia di seluruh dunia, baik negara maupun non negara (NGO). Ini penting karena dampak-dampak yang ditimbulkan sebagai akibat kerusakan lingkungan telah dirasakan oleh masyarakat di seluruh dunia, baik kaya maupun miskin. Perubahan iklim telah menciptakan banyak tragedi bencana seperti Badai Katrina di AS, badai salju yang melanda Eropa, banjir di Australia, Brazil, China, dan juga Indonesia serta banyak lagi bencana alam lainnya yang diakibatkan oleh kerusakan lingkungan parah, seperti telah disinggung sebelumnya.[2] Dalam rangka menyelesaikan persoalan perubahan iklim, banyak negara yang saling bekerjasama untuk membuat kebijakan sebagai bentuk usaha bersama. Pada tanggal 26 Mei 2010 telah ditandatangani sebuah kesepakatan kerjasama di Oslo, Norwegia yang dikenal sebagai Letter of Intent (LoI)[3] antara Pemerintah Norwegia dan

Pemerintah Republik Indonesia dengan judul pokok Cooperation on reducing greenhouse gas emissions from deforestation and forest degradation. Dimana dalam hal ini Pemerintah Republik Indonesia diwakili oleh Menteri Luar Negeri, RM Marty M. Natalegawa dan Kerajaan Norwegia diwakili oleh Menteri Lingkungan dan Pembangunan Internasional, Erik Solheim. Penandatanganan LoI ini tentunya merupakan sebuah bentuk implementasi dari kebijakan politik luar negeri RI, yang sarat dengan sifat bebas dan aktif dalam menghadapi permasalahan dunia berupa pemanasan global. Poin dari LoI yang paling menggelisahkan adalah sebagaimana tercantum di halaman 3 poin VII.c.i yaitu a two year suspension on all new concessions for conversion of peat and natural forest yang dapat diartikan sebagai moratorium dua tahun di wilayah hutan alam dan lahan gambut. Hal ini berarti semua izin yang berkaitan dengan kegiatan di hutan alam akan dihentikan selama dua tahun. Adapun yang terkena dampak dalam hal ini antara lain industri kehutanan itu sendiri, industri kelapa sawit, pertambangan dan lain-lain. Penandatanganan moratorium ini dinilai begitu kontroversial. Para kalangan ekonom berpendapat bahwa kebijakan moratorium tersebut akan memberikan dampak ekonomi yang besar, terutama industri ekspor kehutanan dengan banyak tenaga kerja yang tergantung di sektor tersebut. Hal ini tentunya akan menghambat tujuan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sehingga banyak ahli yang menyebutnya sebagai kolonialisme baru. Namun, ternyata tidak sedikit pula yang memandang dan mendukung penandatanganan moratorium ini sebagai bentuk usaha baik pemerintah dalam menyelamatkan hutan, terutama para pemerhati lingkungan. Ditambah lagi, pemerintah berkeyakinan bahwa pemberian hibah sebesar US$ 1 Milyar merupakan suatu bentuk kepercayaan Pemerintah Norwegia terhadap Pemerintah Indonesia. Dan merupakan sebuah bentuk apresiasi dunia internasional terhadap Indonesia sebagai salah satu negara paru-paru dunia. Sehingga muncul sebuah pertanyaan menarik, apakah pemberian hibah dalam penandatanganan moratorium Oslo adalah sebuah peluang bagi Indonesia. Ataukah justru merupakan sebuah bentuk kolonialisme baru yang berusaha diterapkan Norwegia terhadap Indonesia.

Kerugian Di Balik Moratorium Melihat konsep politik luar negeri bebas aktif yang dipegang oleh Indonesia. Nampaknya peran aktif Indonesia dalam keikutsertaannya menangani permasalahan dunia berupa pemanasan

global merupakan bentuk implementasi dari politik luar negeri yang bebas dan aktif. Dalam konteks ini, Indonesia sebagai salah satu negara dengan hutan terluas di dunia, ikut menjadi salah satu negara yang aktif dan terdepan dalam beberapa konferensi yang membahas mengenai perubahan iklim sebagai isu global. Dan salah satu bentuk keaktifan tersebut adalah penandatanganan moratorium Oslo pada tanggal 26 Mei 2010 lalu. Jika kita melihat kasus moratorium ini secara lebih dalam, bahwasanya dengan penandatanganan moratorium Oslo, ternyata telah membawa Indonesia ke dalam sebuah rezim kerjasama yang diiplementasikan dalam bentuk perdagangan emisi (emission trading). Pemberian hibah sebesar US$ 1 Milyar oleh pemerintah Norwegia kepada Indonesia, secara tidak langsung menuntut kepatuhan Indonesia untuk menjalankan komitmen seperti yang tertuang dalam moratorium Oslo tersebut. Selain itu, kerjasama antara Indonesia dan Norwegia yang notabene Indonesia merupakan negara berkembang dan Norwegia adalah negara maju, jika Indonesia belum memiliki kesiapan yang sangat cukup untuk melakukan suatu kerjasama, maka ada kemungkinan Indonesia akan dirugikan dalam kerjasama tersebut. Mungkin pemerintah Indonesia yang ketika penandatanganan LoI diwakili oleh Menteri Luar Negeri, RM Marty M. Natalegawa, sudah berusaha menerapkan pilihan rasional (rational choice), dimana pemerintah sudah berusaha mempertimbangkan untung ruginya. Mungkin ketika itu, pemerintah lebih melihat moratorium ini sebagai sebuah peluang. Meskipun pada akhirnya, terdapat beberapa poin yang agaknya cukup merugikan bagi Indonesia. Berkaitan dengan pemberhentian semua izin yang berhubungan dengan kegiatan di hutan alam dan lahan gambut selama dua tahun mendatang. Namun, ternyata pemberian hibah sebesar US$ 1 Milyar atau Rp. 9 Triliun dari pemerintah Norwegia tidaklah secara cuma-cuma. Ada sebuah istilah yang berbunyi there is no free lunch, atau tidak ada makan siang yang gratis. Di sini dimaksudkan bahwasanya Pemerintah Norwegia memiliki maksud tertentu dari pemberian hibah tersebut. Hal ini tentunya membawa kita untuk kembali mengingat (flashback) kepada penandatanganan LoI antara pemerintah Indonesia dan IMF pada tahun 1998. Ketika itu ternyata penandatanganan LoI yang diwakili oleh Presiden Soeharto telah membawa Indonesia ke dalam sebuah jerat hutang (debt trap) luar negeri. Yang akhirnya secara turun-temurun terwarisi hingga kepemimpinan presiden selajutnya. Sungguh sebuah ironi yang tentunya tidak diharapkan terulang kembali di Indonesia.

Kembali dalam konteks LoI Indonesia-Norwegia yang dikenal dengan istilah Moratorium Oslo. Terdapat sebuah sebutan bahwasanya moratorium Oslo merupakan sebuah bentuk kolonialisme baru di Indonesia. Moratorium Oslo secara tidak langsung menjajah bangsa ini, terutama banyak industri andalan Indonesia yang menjadi korban dari moratorium ini. Sebuah pernyataan menarik dari staf Kamar Dagang Industri (Kadin), Rudyan Kopot, pada tayangan Economic Challenges di Global TV pada tanggal 28 Juni 2010 lalu. Rudyan mengatakan bahwa pelarangan izin yang dimaksud pada isi moratorium Oslo belum jelas keberadaannya. Dan yang paling ditakutkan ialah apabila ternyata izin yang dimaksud merupakan perizinan dalam bentuk Surat Keputusan Pembebasan Kawasan dari Menteri Kehutanan. Hal ini dikarenakan, pada hakekatnya banyak perusahaan yang sudah mendapatkan perizinan dari Pemerintah Daerah. Bahkan kesiapannya sudah sampai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Hanya tinggal menunggu Surat Keputusan Pembebasan Kawasan saja dari Menteri Kehutanan. Dan apabila izin SK ini yang dihentikan, maka pada tahun 2010 di Kalimantan Tengah saja sekitar 440 perusahaan yang akan gagal beroperasi. Serta kita dapat mengambil kesimpulannya, bahwa akan banyak rakyat Indonesia yang akan kehilangan pekerjaannya sebagai akibat dari implementasi Moratorium Oslo. Sungguh sebuah kegagalan dalam pengambilan keputusan politik luar negeri. Secara garis besar, Indonesia harus mewaspadai Moratorium Oslo ini, karena diduga Norwegia pun memunyai kepentingan yang sama dengan Indonesia. Seperti yang telah diungkapkan, tidak ada makan siang yang gratis. LoI akan membatasi gerak Indonesia dalam pengelolaan hasil hutan. Penegakan hukum pengelola hutan seharusnya tidak dimasukkan ke dalam LoI karena terkesan Indonesia sedang diawasi oleh Norwegia. Pemerintah seharusnya mempercayakan hal tersebut kepada para pemegang Hak Pengelolaan Hutan (HPH). Disamping itu, Indonesia pun sebenarnya belum siap melakukan kebijakan moratorium tersebut. Karena seharusnya sebelum LoI disepakati, terlebih dahulu dilakukan konsolidasi atau pembahasan tata ruang dengan mengikutsertakan pemerintah daerah, sehingga informasi kebijakan moratorium bisa tersampaikan secara jelas dan seimbang kepada para stakeholder. Ditambah lagi ada kemungkinan bahwa kebijakan moratorium tersebut akan membawa dampak ekonomi yang besar. Terutama industri ekspor kehutanan, di mana terdapat banyak tenaga kerja yang bergantung pada sektor tersebut. Jangan sampai pembatasan tersebut memberikan dampak terhadap tenaga kerja. Pemerintah harus lebih memperhatikan sektor rakyat

yang lebih penting dibanding mengikuti kemauan Norwegia sebagai pemberi dana. Belum lagi program moratorium tersebut diperkirakan memakan dana yang besar dan tidak sebanding dengan dana yang akan diberikan Norwegia. Banyak ahli ekonomi, seperti Aviliani, yang memperkirakan bahwa dana monitoring akan lebih besar dibanding dana perbaikannya. Pendapat Aviliani diperkuat oleh Koordinator Nasional Greenomics Indonesia, Vanda Mutia Dewi mengatakan kontribusi produk domestik bruto (PDB) dari sektor hulu dan hilir kehutanan selama semester I/2010 mencapai Rp. 92,78 triliun. Kontribusi tersebut setara lebih dari 10 kali lipat nilai komitmen Norwegia dalam LoI.[4]

Peluang di Balik Moratorium Di samping kerugian berupa kekhawatiran akan terhambatnya industri andalan Indonesia sebagai akibat dari penandatanganan moratorium Oslo. Ternyata banyak pula peluang positif yang dapat Indonesia petik dari penandatanganan moratorium Oslo tersebut. Moratorium Oslo ini juga mendukung salah satu bentuk implementasi politik luar negeri yang bebas dan aktif. Khususnya dalam konteks ini aktif untuk ikut memerangi pemanasan global sebagai masalah internasional. Indonesia dapat menunjukkan keaktifan politik luar negerinya dalam mengikuti permasalahan dunia yang dinamis. Menteri Kehutanan RI, Zulkifli Hasan mengatakan, terlepas dari untung rugi yang diperoleh Indonesia dari LoI ini, moratorium akan tetap dilaksanakan mengingat hal itu menjadi suatu usaha untuk meningkatkan kelestarian alam dan mengurangi dampak pemanasan global. Menurut Zulkifli, kerjasama yang telah dilakukan antara Indonesia dan Norwegia juga merupakan untuk kepentingan kebaikan Indonesia dan memiliki banyak manfaat. Isi dari LoI itu, katanya, merupakan implementasi dari komitmen Presiden RI yang sudah sejak lama ingin mengurangi tingkat emisi dan melakukan penataan lingkungan yang lebih baik.[5] Menurut Deputi Lingkungan Hidup, Masnellyarti Hilman, moratorium ini adalah sebuah kesempatan emas dimana perdagangan karbon bisa dijadikan green bussiness, yang dapat menjadi alternatif pemasukan negara yang bernilai ekonomis sekaligus ekologis. Indonesia dibayar untuk membiarkan lahan hutan tidak dimanfaatkan untuk industri, pertanian, dan peruntukan lainnya selama dua tahun agar emisi karbon yang dihasilkan dari hutan (dari kebakaran hutan, penebangan pohon, pembukaan hutan untuk pertanian, dan lain-lain) dapat berkurang.[6]

Selain itu, agaknya moratorium Oslo ini dapat pemerintah gunakan sebagai instrumen untuk mengetahui mana hutan berizin dan mana hutan yang tidak berizin. Ataupun mana industri kehutanan yang berizin dan mana industri kehutanan yang tidak berizin. Hal ini disebabkan isi dari moratorium tersebut mengatur tentang tata perizinan industri kehutanan. Sehingga pemerintah seharusnya dapat memanfaatkan ini sebagai instrumen dalam menegakan hukum bagi para pengusaha kehutanan ilegal. Banyak aktivis lingkungan hidup yang berpendapat bahwa pemerintah perlu menggunakan moratorium hutan selama dua tahun ini sebagai momentum untuk memperbaiki tata kelola kehutanan yang penuh masalah. Moratorium Oslo antara Pemerintah Norwegia dan Indonesia ini merupakan sebuah peluang bagi Indonesia untuk menunjukan kepada dunia politik luar negerinya yang bebas dan aktif. Indonesia dalam kaitannya pada pemanasan global yang sangat meresahkan seluruh negara di dunia, menjadi salah satu negara berkembang yang sangat berkontribusi aktif dalam mengatasi permasalahan ini. Keberadaan Indonesia sebagai Zamrud Khatulistiwa sangat diperhatikan sekali oleh seluruh negara di dunia, terutama negara maju dengan kapasitas hutan yang rendah. Dalam konteks ini, Indonesia sangat menunjukan politik luar negeri bebas aktifnya kepada dunia. Hal ini dibuktikan dengan komitmen Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang menyetujui pengurangan emisi sebesar 26% hingga tahun 2020. Penandatanganan Moratorium Oslo merupakan bentuk implementasi dari politik luar negeri Indonesia, sehingga keberhasilan moratorium ini, bagi Indonesia khususnya, sangatlah perlu untuk diperjuangkan sebagai bentuk keberhasilan dari politik luar negeri RI. Janganlah moratorium ini justru memberikan banyak kerugian kepada Indonesia, tanpa sedikit pun memberikan manfaatnya. Yang harus diperjuangkan adalah sebaliknya, yaitu sebagaimana mungkin membuat moratorium yang telah ditandatangani ini memberikan banyak manfaat dan tidak merugikan Indonesia. Sehingga benar-benar menunjukan adanya keberhasilan dari kebijakan politik luar negeri yang telah diambil. Memang sesungguhnya jika kita melihat lebih teliti kepada permasalahan dunia, yaitu permasalahan pemanasan global. Negara-negara maju sangat diresahkan karena memang mereka menyadari bahwasanya mereka adalah penyumbang emisi terbesar. Namun di sisi lain, mereka kurang memiliki kapasitas hutan yang cukup untuk mengatasi permasalahan ini. Sehingga di sini, seharusnya Indonesia bisa memanfaatkan kesempatan yang ada. Di sini Indonesia memiliki posisi tawar yang cukup tinggi di dunia internasional untuk bergerak aktif dan menjadi

pemimpin dunia dalam mengatasi pemanasan global. Yang tentunya akan meningkatkan citra Indonesia di mata internasional. Namun, jika hal ini tidak diikuti dengan follow up actions yang baik dan terencana. Maka kesempatan ini justru akan menjadi bumerang bagi Indonesia. Indonesia justru hanya akan dijadikan boneka dan alat bagi negara maju. Yang akan membawa Indonesia pada bentuk kegagalan politik luar negeri.

Adianto P. Simamora, Guest Speaker: Moratorium on natural forests, peat not prompted by Oslo grant: Forestry Minister, The Jakarta Post, Edisi Jumat 3 Desember 2010. [2] Budi Winarno, 2011. Isu-Isu Global Kontemporer, Yogyakarta: CAPS, hal. 157 [3] Letter of Intent adalah dokumen yang menguraikan perjanjian antara dua pihak atau lebih sebelum perjanjian selesai. Konsep ini mirip dengan apa yang disebut kesepakatan. LoI menyerupai kontrak tertulis, biasanya banyak memuat ketentuan yang mengikat. Sebuah LoI juga dapat diartikan sebagai pengikat para pihak yang menyerupai kontrak formal. LoI juga dapat disebut sebagai nota kesepahaman (MoU), lembar istilah atau lembar diskusi. Namun ada perbedaan tertentu antara LoI dan MoU, dimana sebuah LoI mengikat satu pihak kepada pihak lain dan tidak dalam hal ini harus ditandatangani oleh kedua belah pihak, sedangkan MoU adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, yang harus ditandatangani oleh semua pihak yang akan berlaku. Referensi selengkapnya baca Ursula Curtiss, 1999. Letter of Intent, Chivers North Amer. [4] Yohanis Ngili, Peran Penting Indonesia dalam Protokol Kyoto, Harian Pikiran Rakyat, Rabu 22 April 2009. Penulis merupakan mahasiswa program doktor Institut Teknologi Bandung.[1]

AntaraNews, Menhut: Moratorium Oslo Tetap Dilaksanakan Pada 2011, http://www.antaranews.com /berita/1287955827/menhut-moratorium-oslo-tetap-dilaksanakanpada-2011 accessed on 12/1/2012. pkl.16.15.WIB. [6] CIFOR (Center for International Forestry Research), Perdagangan Karbon, Buletin Warta Kebijakan, No. 8, Edisi Februari 2003.[5]