56
LAPORAN PENELITIAN MONEY POLITIC DALAM PEMILU 2014 DI KABUPATEN BIREUEN ACEH TIM PENELITI 1. Dr.H.Hambali,SE.,M.Pd. 2. Teuku Cut Mahmud Aziz, S.Fil.,MA 3. Rokhmat Hidayat,M.Cs 4. Khairul Hasni, MA 5. Anwar Ebtadi, M.A. 6. Muazzinah,B.Sc, MPA 7. Mulyadi Zakaria,S.Fil., MA 8. Megasari Gusandra Saragih,S.E., M.S.M. 9. Rahmad, S.Sos., MAP 10. Drs.Win Konadi, M.Si 11. Fina Meilinar, S.Pd 12. Rahmi,S.Kom PENELITIAN KERJASAMA KIP BIREUEN DENGAN LPPM UNIVERSITAS ALMUSLIM KABUPATEN BIREUEN ACEH 2015

Money Politic KIP Bireuen

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Money Politic KIP Bireuen

LAPORAN PENELITIAN

MONEY POLITIC DALAM PEMILU 2014DI KABUPATEN BIREUEN ACEH

TIM PENELITI

1. Dr.H.Hambali,SE.,M.Pd.2. Teuku Cut Mahmud Aziz, S.Fil.,MA3. Rokhmat Hidayat,M.Cs4. Khairul Hasni, MA5. Anwar Ebtadi, M.A.6. Muazzinah,B.Sc, MPA7. Mulyadi Zakaria,S.Fil., MA8. Megasari Gusandra Saragih,S.E., M.S.M.9. Rahmad, S.Sos., MAP10. Drs.Win Konadi, M.Si11. Fina Meilinar, S.Pd12. Rahmi,S.Kom

PENELITIAN KERJASAMA KIP BIREUEN DENGAN LPPMUNIVERSITAS ALMUSLIM KABUPATEN BIREUEN

ACEH2015

Page 2: Money Politic KIP Bireuen

i

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Ilahi Rabbi atas segala Nikmat

dan Karunia-Nya yang telah dilimpahkan kepada tim peneliti, hanya dengan

pertolongan dan ridha Allah SWT, akhirnya Laporan Penelitian ini dapat selesai

tepat waktu. Tim peneliti menyadari banyak kekurangan dalam pembuatan

laporan penelitian ini, itu dikarenakan waktu yang terbatas. Namun berkat

dorongan dan arahan dari berbagai pihak, akhirnya dapat terselesaikan tepat pada

waktunya.

Tim peneliti juga menyadari sepenuhnya bahwa laporan ini tentunya jauh dari

kesempurnaan, sebab tiada gading yang tak retak dan tidak ada manusia yang

tidak berbuat salah. Oleh karena itu, saran, kritik dan masukan yang bersifat

konstruktif dari pembaca sangat di harapkan demi tercapainya kesempurnaan

tugas-tugas tim peneliti di masa yang akan datang.

Tim peneliti berharap laporan ini semoga bermanfaat khususnya bagi tim

peneliti sendiri dan bagi para pembaca umumnya serta dapat menjadi bahan

pertimbangan untuk mengembangkan dan meningkatkan prestasi di masa-masa

yang akan datang.

Tim Peneliti

Page 3: Money Politic KIP Bireuen

ii

ABSTRAK

Money politics atau yang dikenal dengan sebutan politik uang, merupakanstudi yang menarik untuk dielaborasi lebih jauh keberadaanya dalam prosespemilu yang menempatkan uang sebagai instrumen untuk memperoleh kekuasaan.Sebagai arena kontestasi untuk memperoleh kekuasaan, pemilu tidak lagi di lihatsebatas persaingan politik melalui gagasan, program dan visi-misi yangditawarkan oleh para kontestan wakil rakyat. Akan tetapi pemilu dilihat pulasebagai arena persaingan ekonomi antar calon anggota legislatif dengan caramengaluarkan uang sebanyak- banyaknya untuk dibagi-bagikan dengan berbagaibentuk dan cara, sebagai upaya untuk memobilisasi massa dan menjaring suarapemilih.

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah prosesterjadinya praktik money politics, bentuk dan pola serta siapa dan unsur yangterlibat dalam menjalankan praktik money politcsk di Kabupaten Bireuen padaPemilu Legislatif 2014. Penelitian ini dilakukan di 30 Gampong/Desa dalam 8Kecamatan di Kabupaten Bireuensebagai peserta Pemilu tahun 2014.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif,dengan populasi 8 Kecamatan dan 30 Gampong dengan sampel 150 responden.Tipe penelitian yang digunakan untuk meneliti adalah penelitian deskriptif yangbertujuan untuk mendapatkan gambaran secara sistematis, faktual dan akuratmengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan fenomena yang diteliti.Terdapat dua teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam studi ini.Pertama, dengan cara mencari sumber data primer melalui indepth interviewdan observasi lapangan. Kedua, dengan cara mencari sumber data sekundermelalui pengumpulan litertarur atau referensi yang sesuai dengan penelitianseperti studi-studi mengenai perilaku pemilih yang sudah dilakukan olehpenelit-peneliti sebelumnya, dan juga dokumen-dokumen seperti undang-undang atau paraturan mengenai pemilu, serta dokumen terkait wilayahpenelitian seperti data monografi.

Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pada umumnya masyarakat diKabupaten Bireuen selalu berpartisipasi aktif dalam Pemilu, masyarakatmengakui bahwa dalam pelaksanaan Pemilu terjadi money politic, namun tidaksecara keseluruhan pada warga masyarakat. Bentuk money politic yang terjadipada Pemilu 2014 melalui pemberian alat ibadah (seperti sajadah, kain sarung,mukena, dan jilbab), pembagian uang dan pembagian sembako. Untukmekanisme pelaksanaan money politic dilakukan melalui tim sukses pada saatkampanye dan dari rumah ke rumah, sedangkan yang terlibat dalampelaksanaannya adalah didominasi oleh anggota/pengurus Partai Politik, pihaklain sangat sedikit seperti tokoh masyarakat, tokoh pemuda, dan aparaturgampong. Faktor ini disebabkan karena kurangnya peran pengawas dalammengawasi pelaksanaan Pemilu dalam halnyamoney pollitic. Penyebab lainnyakarena faktor ekonomi dan kurangnya pengetahuan masyarakat, ikut-ikutan sertafaktor tekanan/paksaan. Untuk itu perlu solusi seperti Undang-Undang Pemilulebih tegas pada pelaku money politic.Kata kunci : Money politic,Pemilu 2014,Kabupaten Bireuen

Page 4: Money Politic KIP Bireuen

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan salah satu ciri dan cara dari sistem

demokrasi. Semua Negara demokrasi pasti akan melaksanakan pemilu. Ia menjadi

sarana untuk mewujudkan dan melaksanakan kedaulatan rakyat dalam bentuk

memilih pemimpin secara langsung dengan pemilihan akhir pada suara terbanyak.

Pemilihan secara langsung ini sebagai bentuk perwujudan demokrasi. Setelah

terpilih pemimpin (wakil rakyat) maka dibentuklah pemerintah yang demokratis

dalam mewujudkan tujuan Pembangunan Nasional sebagai amanah dari UUD

1945.

Masyarakat Indonesia dalam melaksanakan proses pemilihan umum

ditujukan untuk memilih calon pemerintahnya yaitu Kepala Negara dan kepala

Daerah serta memilih wakilnya yaitu Dewan Perwakilan Rakyat baik tingkat pusat

maupun daerah. Pemilihan umum di Indonesia menganut asas "LUBER" yang

merupakan singkatan dari "Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia". Asas

Langsung berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya secara langsung dan

tidak boleh diwakilkan. Umum berarti pemilihan umum dapat diikuti seluruh

warga negara yang sudah memiliki hak menggunakan suara. Bebas berarti pemilih

diharuskan memberikan suaranya tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Rahasia

berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya diketahui oleh si

pemilih itu sendiri. Era reformasi berkembang pula asas "Jurdil" yang merupakan

singkatan dari "Jujur dan Adil". Asas jujur mengandung arti bahwa pemilihan

umum harus dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk memastikan bahwa setiap

warga negara yang memiliki hak dapat memilih sesuai dengan kehendaknya dan

setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk menentukan wakil rakyat

yang akan terpilih. Asas adil adalah perlakuan yang sama terhadap peserta pemilu

dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta

atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih

ataupun peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara pemilu.

Page 5: Money Politic KIP Bireuen

2

Fenomena dalam pemilihan umum di Indonesia adalah tidak berdasarkan

asas pemilihan umum yaitu konteks jujur dan adil yang sangat banyak tidak

dipergunakan baik oleh penyelenggara maupun kandidat yang maju. Sehingga

dengan tidak menjalankan asas jujur dan adil akan menghalalkan segala cara

dalam Pemilu yaitu dengan melaksanakan praktik-praktik yang tidak diinginkan

seperti politik uang (money politics) dan lainnya.

Money politics atau yang dikenal dengan sebutan politik uang, merupakan

studi yang menarik untuk dielaborasi lebih jauh keberadaanya dalam proses

pemilu yang menempatkan uang sebagai instrumen untuk memperoleh kekuasaan.

Sebagai arena kontestasi untuk memperoleh kekuasaan, pemilu tidak lagi di lihat

sebatas persaingan politik melalui gagasan, program dan visi-misi yang

ditawarkan oleh para kontestan wakil rakyat. Akan tetapi pemilu dilihat pula

sebagai arena persaingan ekonomi antar calon anggota legislatif dengan cara

mengaluarkan uang sebanyak- banyaknya untuk dibagi-bagikan dengan berbagai

bentuk dan cara, sebagai upaya untuk memobilisasi massa dan menjaring suara

pemilih.

Bagi partai politik dan calon anggota legislatif, money politics masih

ditempatkan sebagai sumber daya sekaligus cara yang paling mutakhir untuk

dilakukan dalam rangka memperoleh suara sebanyak-banyaknya dalam setiap

pemilu. Pada pemilu legislatif tahun 2014 yang baru saja dilaksanakan

misalnya, berdasarkan jejak pendapat yang dilakukan oleh Kompas terhadap

536 responden sebanyak 69,2% masyarakat Indonesia mengakui keberadaan

politik uang yang dilakukan oleh calon anggota legislatif sebagai sarana

menjaring suara masyarakat (Kompas, 28 April 2014: 14). Namun demikian

sebetulnya money politics bukanlah barang baru di dunia kepemiluan di

Indonesia, akan tetapi praktek ini semakin terbuka dan gencar dilakukan oleh

para kontestan wakil rakyat pada era demokrasi liberal pasca reformasi.

Di tengah keadaan seperti ini, yang menjadi pertanyaan kemudian ialah

Page 6: Money Politic KIP Bireuen

3

mengapa uang selalu menjadi pilihan untuk dilakukan oleh calon anggota

legislatif dalam rangka memperoleh suara terbanyak. Selain itu apakah uang

yang telah diberikan oleh calon anggota legislatif berdampak pada adanya ikatan

transaksi komersial seorang pemilih berkewajiban untuk memberikan suaranya

karena telah di beli oleh kandidat tersebut, padahal suara bukanlah barang yang

dapat dipertukarkan atau diperjual-belikan dalam logika ekonomi. Di lain pihak,

keberadaan money politics secara yuridis formal bertentang dengan aturan

hukum yang ada. Seperti yang tertuang dalam Undang-Undang No. 8 Tahun

2012 mengenai pemilu anggota legislatif pasal 86 ayat 1 menegaskan: setiap

calon anggota legislatif dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi

lainnya kepada peserta pemilu dalam hal ini konstituen.

Fenomena pelanggaran tentang money politics dalam Pemilu terjadi hampir

diseluruh Indonesia. Adapun pelaksanaan Pemilu Legislatif 2014 di Aceh telah

menimbulkan beberapa pelanggaran. Seperti yang disampaikan oleh Koodinator

Program Pemantauan dan Pendidikan Politik pada Aceh Civil Society Task Force

(ACSTF), Ilham Saputra pada diskusi publik bertajuk “Kilas Balik

Penyelenggaraan Pemilu di Aceh”, di Kafe D’Rodya, Banda Aceh, Senin (28/4).

Sorotan tentang indikasi kecurangan pemilu di Aceh terus mengalir, misalnya,

dari kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Badan Pengawas Pemilu

(Bawaslu) Aceh, Masyarakat Trasparansi Aceh (MaTA), Konsorsium Pemilu

Bersih Aceh (KPBA), dan Jaringan Pemilu Aceh (JPA) merilis sedikitnya ada 96

temuan pelanggaran yang terjadi selama pelaksanaan pileg di Aceh tahun ini.

Bahkan beberapa di antara kasus pelanggaran pemilu ini justru diduga

melibatkan para caleg. Sebagian besar kasus tersebut seolah tanpa ada proses dan

penindakan yang tegas. Para pengawas pemilu dan aparat penegak hukum pun

seperti tak bernyali menyelesaikan kasus-kasus tersebut. Dibutuhkan keseriusan

aparat penegak hukum untuk mengusutnya,” kata Ilham, mantan wakil ketua

Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh. Adapun data yang ditemukan adalah

sebagai berikut:

Page 7: Money Politic KIP Bireuen

4

Sumber : aceh.tribunnews.com, 30 April 2014

Berdasarkan diagram tersebut diatas dapat dilihat jelas bahwa pelanggaran

Pemilu 2014 di Aceh didominasi oleh kasus politik uang yaitu 25 kasus

sedangkan kasus penyalahgunaan fasilitas negara yaitu 17 kasus dari total

pelanggaran yaitu 42 kasus.

Berbagai temuan pelanggaran Pemilu ini dengan sendirinya justru

‘mencederai’ proses demokrasi di Aceh. Menjelmanya praktik money politics

terjadi diseluruh tingkatan baik Provinsi, Kabupaten, Kecamatan dan Desa. Tidak

dipungkiri Kabupaten Bireuen juga sangat banyak terjadinya pelanggaraan

Pemilu. Hal ini disampaikan oleh Kapolres Bireuen AKBP M.Ali Khadafi SIK

kepada koran Serambi hari Selasa tanggal 28 Januari 2014 berdasarkan analisa

lapangan dan laporan yang masuk menunjukkan bahwa Kabupaten Bireuen

merupakan daerah rawan tindak kriminal dan pelanggaran pemilu 2014. Selain

dari pengakuan KAPOLRES Bireuen, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Aceh

yang disampaikan oleh Asqalani (ketua Bawaslu Aceh) pada konferensi pers di

kantor Bawaslu Aceh hari Kamis tanggal 10 April 2014 menjelaskan bahwa dari

13 Kabupaten yang terjadi pelanggaran Pemilu didominasi oleh Kabupaten Aceh

Besar dan Bireuen. Adapun data tersebut yaitu :

42 temuanpelanggaran Pemiludi Aceh tahun 2014

25 kasustentang politik

uang

17 kasuspenyalahgunaanfasilitas negara

Page 8: Money Politic KIP Bireuen

5

Tabel 1.1

Jumlah kasus pelanggaran Pemilu 2014 di Aceh

No Kabupaten Jumlah1 Aceh Timur 3 kasus2 Bireuen 5 kasus3 Aceh Utara 1 kasus4 Pidie 3 kasus5 Pidie Jaya 2 kasus6 Lhokseumawe 3 kasus7 Banda Aceh 3 kasus8 Aceh Besar 5 kasus9 Sabang 2 kasus10 Aceh Tengah 3 kasus11 Aceh Tenggara 2 kasus12 Langsa 1 kasus13 Gayo Lues 1 kasus

Sumber : www.ajnn.net.com

Pada tabel 1.1 tersebut diatas dapat dilihat bahwa Kabupaten Aceh Besar

dan Kabupaten Bireuen merupakan daerah yang banyak terjadinya pelanggaran

Pemilu 2014 di Aceh.

Berdasarkan fenomena pelanggaran Pemilu tersebut, sehingga tim peneliti

merumuskan untuk memilih Kabupaten Bireuen yang akan diteliti dalam

pelanggaran Pemilu 2014 khususnya pelanggaran tentang money politics.

Diharapkan untuk masa mendatang dalam pelaksanaan Pemilu di Aceh

khususnya di Kabupaten Bireuen masyarakat harus berperan dan berpartisipasi

aktif untuk mengawasi agar Pemilu yang dijalankan berdasarkan koridor dasar

hukum dengan nilai-nilai demokrasi dan mengurangi terjadinya pelanggaran

Pemilu.

Page 9: Money Politic KIP Bireuen

6

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan sebagaimana

dikemukakan di atas, maka kami membuat perumusan masalah, sebagai

berikut:

1. Bagaimanakah proses terjadinya praktik money politics di Kabupaten

Bireuen pada Pemilu Legislatif 2014?

2. Bagaimana bentuk atau pola praktik money politics di Kabupaten Bireuen

pada Pemilu Legislatif 2014?

3. Siapa dan unsur mana saja yang terlibat dalam menjalankan praktik

money politics di Kabupaten Bireuen pada Pemilu Legislatif 2014?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian adalah:

1. Untuk mengetahui proses terjadinya praktik money politic di Kabupaten

Bireuen pada Pemilu Legislatif 2014.

2. Untuk mengetahui bentuk atau pola praktik money politic di Kabupaten

Bireuen pada Pemilu Legislatif 2014.

3. Untuk mengetahui dan unsur mana saja yang terlibat dalam menjalankan

praktik money politic di Kabupaten Bireuen pada Pemilu Legislatif 2014.

Page 10: Money Politic KIP Bireuen

7

BAB II

LANDASAN TEORI

Dalam rangka menjelaskan sejauhmana praktek money politic bekerja

dalam Pemilu legislatif 2014 studi ini akan dibantu oleh teori mengenai money

politic yang akan digunakan untuk menjawab rumusan masalah sekaligus menjadi

framework teoritik dalam penelitian ini. Meski demikian teori mengenai

money politic dibagi kedalam tiga kerangka konseptual yakni: Pertama,

sebagai studi yang melihat uang selaku instrumen mobilisasi massa dalam

Pemilu, keberadaan uang yang dimaknai sebagai sumber daya dan kekuatan

politik menjadi konsep awal yang akan digunakan dalam tulisan ini. Kedua,

bentuk money politic baik vote buying dan pork barrel, akan digunakan dalam

rangka melacak keberadaan jenis dan bentuk dari money politic. Ketiga, konsep

mengenai distribusi dan cara kerja dari money politic akan digunakan dalam

tulisan ini guna melihat sejauh mana money politic berperan dalam proses

elektoral dalam rangka mendulang suara masyarakat.

2.1 Uang Sebagai Sumber Daya Politik

Uang dan politik merupakan pasangan serasi yang sulit untuk dipisahkan.

Secara umum uang dalam nalar ekenomi menurut Robetson (1963: 8) dimaknai

sebagai alat tukar atau alat yang dipergunakan untuk menunjukan sesuatu yang

diterima secara luas sebagai pembayaran atas barang-barang, atau dipergunakan

dalam bermacam-macam perdagangan lain. Selain itu uang juga dipahami

sebagai penyimpan nilai atau alat ukur sumber daya kekayaan (Komarudin

Page 11: Money Politic KIP Bireuen

8

1991:396). Dengan kata lain, uang dapat dimaknai sebagai sumber daya yang

melekat pada setiap individu yang memegangnya untuk digunakan dalam

berbagai hal dan tujuan yang berhubungan dengan transaksi.

Sedangkan dalam nalar politik makna uang tidak jauh berbeda

dengan sudut pandang ekonomi yakni, sebagai sumber daya yang melekat pada

setiap individu yang memilikinya dan mampu memberikan manfaat kewenangan

serta kekuasaan bagi setiap pemegangnya dengan berbagai cara. Sehingga

perbedaanya terletak pada cara penggunaaanya saja. Jika dalam sudut pandang

ekonomi uang digunakan sebagai alat tukar barang atau jasa, sedangkan dalam

sudut pandang politik uang digunakan sebagai alat tukar yang

digunakan untuk merebut, mempertahankan, dan menjalankan kekuasaan.

Secara lebih spesifik uang dalam nalar politik menurut Alexander (2003 : 29-

31) merupakan : “Instrumen atau alat, yang memiliki arti penting untuk

mengetahui bagaimana ia digunakan orang untuk mencoba mendapat pengaruh,

atau di ubah menjadi sumberdaya-sumberdaya yang lain, atau dipergunakan

secara berkombinasi dengan sumberdaya yang lain dalam rangka meraih

kekuasaan. Karena sifat universalnya, uang pun menjadi elemen penjeja (tracer

element) dalam mempelajari kekuasaan politik”.

Karakter konvertibilitas yang dimiliki oleh uang membuatnya mudah

untuk dirubah dari kekuatan ekenomi menjadi kekuatan politik. Bagi

Nassmacher (dalam Abisono 2012: 13) uang memperkuat pengaruh politik bagi

mereka yang memilikinya atau mereka yang memiliki wewenang untuk

mendistribusikannya. Dengan kata lain, setiap individu yang memiliki uang

Page 12: Money Politic KIP Bireuen

9

memiliki pengaruh politik untuk menggalang dukungan dalam proses memperoleh

kekuasaan. Termasuk dalam proses pemilihan umum yang menjadi arena untuk

memperoleh kekuasaan. Logika mobilisasi sumber daya ini pada akhirnya berjalan

pada dua arah yakni berkaitan dengan bagaimana sumber daya atau uang itu

didapatkan dan bagaimana uang digunakan atau didistribusikan oleh setiap

individu yang memilikinya dalam persaingan elektoral dengan tujuan untuk

menggalang dukungan dan memperoleh kekuasaan (Absiono 2012: 14).Pada arah

uang digunakan dan didistribuskan dalam presoses elektoral inilah yang kemudian

menjadi area kajian studi ini.

Dalam rangka memperoleh kekuasaan melalui Pemilu, kampanye

merupakan salah satu cara yang digunakan untuk mendulang suara masyarakat

sebanyak-banyaknya. Akan tetapi terdapat banyak faktor yang mempengaruhi

kampanye, seperti yang diungkapkan oleh Badoh dan Husodo (2009: 5) paling

tidak terdapat empat faktor yang dapat mempengaruhi kampanye dalam Pemilu,

yakni kandidat, program kerja, dan isu kandidat, organisasi kampanye

(mesin politik) dan sumber daya (uang). Namun demikian, aspek sumber daya

dalam hal ini uang menjadi salah satu aspek penentu berjalannya aktivitas politik.

Tanpa uang aktvitas politik tidak akan bekerja dan aktivitas politik tidak akan

bekerja tanpa adanya uang sebagai sumber daya, dengan kata lain uang

merupakan modal penggarak berjalannya aktivitas politik. Jacobson mempertegas

hal ini dengan mengatakan :

“Money is not sufficient, but it is necessary for successfulcampaign. Money is necessary because campaigns do have impact onelection results and campaign cannot be run without it” (Uang sajatidak cukup, tapi uang sangat berarti bagi keberhasilan kampanye. Uang

Page 13: Money Politic KIP Bireuen

10

menjadi penting karena kampanye memiliki pengaruh pada hasil Pemiludan kampanye tidak akan berjalan tanpa ada uang). (Jacobson 1980:33 dalam Badoh & Husodo 2009: 5)

Uang sebagai modal kampanye dalam sistem pendanaan partai politik

terklasifikasi kedalam belanja kampanye partai politik atau campaign finance.

Dalam kampanye sendiri uang dipergunakan sebagai instrumen yang digunakan

untuk menjaring suara masyarakat sebanyak- banyaknya dalam Pemilu. Menurut

(2010: 3) terdapat sembilan jenis pengeluaran dalam kampanye untuk

memenangkan proses elektoral yang diantaranya: (1) Biaya tim sukses (tim

kampanye); (2) Biaya survey dan konsultan politik; (3) Biaya pengadaan atribut

kampanye; (4) Biaya untuk menyelenggarakan kampanye terbuka-tertutup

termasuk mobilisasi massanya; (5).Biaya kampanye di media cetak maupun

elektronik; (6).Biaya untuk memberikan sumbangan ke kantong-kantong pemilih;

(7). Biaya untuk membeli suara (vote buying); (8) Biaya untuk membaya saksi

dalam proses pemungutan suara; (9). Biaya kampanye lainnya.

Meski demikian dalam prakteknya penggunaan uang dalam kampanye

sering kali digunakan dalam saluran non-konvensional yang bertentangan dengan

aturan hukum yang ada untuk menjalankan kegiatan money politic, yakni

menggunakan uang sebagai instrumen menjaring suara masyarakat melalui

praktek transaski jual-beli suara antara pemilih dengan kandidat wakil rakyat

dalam proses elektoral. Sehingga dengan ini uang yang pada awalnya memiliki

fungsi sebagai sumber daya ekenomi dalam proses transaksi juali-beli barang dan

jasa sekaligus akumulasi kekayaan, beralih fungsi menjadi sumber daya politik

yang digunakan untuk proses transaksi jual-beli suara selaku political goods yang

Page 14: Money Politic KIP Bireuen

11

diakumulasikan untuk memperoleh kekuasaan dalam proses Pemilu.

2.2. Bentuk Money Politic Dalam Pemilu

Uang yang dimaknai sebagai faktor penentu dalam membentuk berbagai

aspek yang mampu menciptakan kekausaan, atau dengan kata lain sebagai sumber

daya politik. Dalam proses Pemilu menjelma dengan berbagai bentuk yang tidak

hanya dapat dilihat sebatas pemberian fresh money kepada para pemilih. Hal ini

tidak terlepas dari konsep money politic itu sendiri, menurut Schffer &

Schedler (2007, dalam Sumarto 2014: 31) money politic melibatkan “pasar

dukungan politik” (electoral market) dengan “pembeli suara” (vote buyers)

memberikan uang baik dalam bentuk utuh berdasarkan besaran nominalnya

ataupun dalam bentuk barang dan jasa sesuai dengan apa yang diinginkan oleh

“penjual suara” (vote sellers), dan penjual suara menyerahkan suaranya sebagai

wujud imbalan atas uang atau barang dan jasa yang telah diterimanya.

Sebagai strategi pemenang elektoral melalui pemberian materi, Susan.

Stokes (2011) menjelaskan hal ini dalam skema distributive politic atau politik

distributif. Stoke memulai penjelasannya dengan membedakan material sumber

daya yang didistribusikan sebagai strategi pemenangan bersifat publik

menyeluruh atau tidak. Jika sumber daya yang didistribusikan bersifat publik

dapat dikategorisasikan sebagai strategi pemenangan programatik, sedangkan jika

tidak bersifat publik atau barang publik yang di “personalisasi” termasuk dalam

strategi pemenangan non-programatik. Pada wilayah non-programatik

inilah kemudian pemberian uang dengan maksud untuk meraih dukungan suara

pemilih dalam Pemilu sebagai praktek money politic hadir dalam dua bentuk yakni

Page 15: Money Politic KIP Bireuen

12

vote buying dan pork barrel.

Pertama, vote buying atau pembelian suara merupakan salah satu bentuk

dari money politic yang menggunakan cara pemberian uang kepada pemilih dalam

bentuk fresh money kepada pemilih. Stokes (2007 dalam Sumarto 2014: 30)

menjelaskan secara sederhana praktek pembelian suara diartikan sebagai

pertukaran antara uang dengan suara pemilih. Secara lebih jauh Schaffer dan

Schadler (dalam Schaffer (ed.) 2007: 17) praktek jual beli suara seperti kontrak

atau lelang dimana pembeli menjual suara mereka pada penawar tertinggi. Dalam

hal ini logika transaksi komersil bekerja dengan prinsip jika pembeli tidak

memberikan penawaran tertinggi atau membayar, seorang penjual tidak akan

memberikan suaranya kepada pembeli tersebut.

Meski demikian, menurut Schaffer dan Schadler (dalam Schaffer (ed.)

2007: 18) tidak semua transaksi komersial dapat diartikan sebagai praktek

pembelian suara, akan tetapi terdapat dua logika transaksi yang dapat dikatakan

sebagai praktek pembelian suara yakni: (1) para aktor yang terlibat (penjual dan

pembeli) terlibat dalam pertukaran yang efektif antara uang dengan suara, jika

pembeli tidak membayar penjual tidak akan memberikan suaranya; (2) pembeli

dan penjual mengerti apa yang sedang mereka lakukan, bahwa mereka memasuki

hubungan timbal balik dari pertukaran antara uang dengan suara. Dalam hal ini

pembelian suara melalui pendistirbusian sumber daya materi yang dilakukan oleh

kandidat kepada pemilih memiliki harapan untuk memperoleh imbalan berupa

suara dari pemilih kepada kandidat yang telah memberikanya uang.

Pembelian suara atau vote buying, bergerak pada arena pasar dukungan

Page 16: Money Politic KIP Bireuen

13

politik dengan jenis barang-barang privat yang dipertukarkan dengan suara

pemilh (private-goods electoral markets) (Sumarto 2014: 31). Ciri utama dari

barang privat ini ialah uang dalam bentuk fresh money ataupun uang yang

dibelikan dalam bentuk barang yang berasal dari kantong pribadi miliki calon

anggota legislatif. Selain itu cakupan sasaran dari praktek vote buying sendiri

ialah kepada individu ataupun rumah tangga dengan tujuan agar pemberian materi

uang dapat langsung dirasakan secara personal.

Meski demikian menurut Schaffer (2007, dalam Sumarto 2014: 30)

pembelian suara yang dilakukan oleh kandidat wakil rakyat paling tidak

memiliki tiga kriteria yang diantaranya:

1. Materi yang diberikan oleh politisi untuk ditukar dengan suara

pemilih dibagikan beberapa hari atau beberapa jam menjelang pemilihan

umum.

2. Target penerima materi yang dipertukarkan untuk memperoleh

suara pemilih adalah individu dan atau rumah tangga.

3. Materi yang dipergunakan untuk membeli suara merupakan barang

privat atau barang publik yang di “personalisasi” (Scaffer 2007: Hicken

2007, dalam Sumarto 2014: 30).

Pada sisi lain Stokes (2007 dalam Sumarto 2014: 30) menambahkan

kriteria terakhir dengan adanya kriteria yang digunakan oleh “pembeli” suara

untuk memilih “penjual” suara adalah “apakah anda akan memilih saya?”. Dalam

hal ini sebelum seorang calon anggota legislatif akan memberikan uang kepada

pemilih, untuk memastikan apakah pemilih tersebut akan memberikan

Page 17: Money Politic KIP Bireuen

14

suaranya pada saat hari pemungutan suara. Akan tetapi dalam prakteknya seorang

pembeli suara sebetulnya tidak memiliki instrumen kontrol yang mampu

memastikan sekaligus menjamin, seorang pemilih akan memberikan suaranya

pada hari pemungutan suara ketika sudah diberikan uang sebelumnya layaknya

transaksi ekonomistik antara penjual dan pembeli dalam perdagangan barang

dan jasa. Sehingga pada kondisi seperti ini seorang pembeli suara

mengalami ketidakpastian akan suara yang akan diberikan atau tidak akan

diberikan oleh penjual suara.

Keberadaan hal ini menurut Schaffer dan Schedler (2007) tidak terlepas

dari adanya hambatan obyektif dan subyektif dari praktek money politic. Pada sisi

obyektif ketidakpastian atau ketidakpatuhan dari soerang penjual suara kepada

pembeli suara berkaitan dengan adanya fakta bhawa sekalipun bekerja pada

transaksi komersial, pembeli suara membeli tanpa lisensi yang berada dalam

pasar gelap (black market) dari pada dalam pasar normal yang dilindungi secara

legal (Schaffer & Schadler dalam Schaffer (ed.) 2007: 19). Maksudnya jual-beli

suara merupakan praktek perdagangan yang bertentangan dengan aturan hukum

yang ada atau illegal. Dalam hal ini para pembeli suara berhadapan dengan

hukum dan nilai demokrasi yang memposisikan suara bukanlah sebagai

komoditas yang dapat diperjual-belikan. Sekalipun sejalan dengan norma-norma

masyarkat setempat, vote buying masih tetap illegal dimana hukum dan ancaman

sanksi kepada pembeli suara masih ditegakan (Schaffer & Schadler, dalam

Schaffer 2007 (ed.): 20). Dengan ini seorang penjual suara tidak berkewajiban

dan tidak perlu hawatir untuk tidak memberikan suaranya kepada pembeli,

Page 18: Money Politic KIP Bireuen

15

karena hubungan transaksi ini tidak dilindungi oleh aturan hukum yang ada

layaknya transkasi komersil barang dan jasa.

Sedangkan pada sisi subyektif seorang pemilih atau penjual suara dapat

berpikir bahwa uang yang telah diberikan merupakan pemberian uang yang

dilakukan oleh penjual suara dilandasi oleh kebaikan hati politisi tanpa suatu

ikatan politik, yaitu kewajiban resiprokal untuk menyumbangkan suara politiknya

kepada pembeli suara (Schaffer dan Schedler 2007, dalam Sumarto: 31).

Adanya ketidakpastian dalam praktek vote buying secara lebih jauh

menurut Schaffer dan Schadler tidak terlepas dari konstruksi makna pemilih yang

berbeda terhadap pemberian yang dilakukan oleh kandidat. Paling tidak terdapat

tiga identifikasi terhadap bentuk penawaran yang dilakukan oleh kandidat

menurut Schaffer dan Schadler (dalam Schaffer 2007: 25) yang diantarnya :

a. Sebagi sebuah uang muka yakni warga sebagai pemilih dalam model

pasar klasik menganggap penawaran sebagai bentuk pembayaran atas

jasa yang mereka berikan kepada kandidat berupa hak politik mereka.

Pembayaran merupakan bentuk transaksi komersil. Sehingga jika pemilih

menerima tawaran material, seorang pemilih mengetahui bahwa mereka

diharapkan untuk memberikan suaranya di TPS sebagai bentuk

kesepakatan atas penawaran yang diterima antar kedua belah pihak.

b. Sebagai sebuah upah dalam hal ini pembayaran atau pemberian

material yang dilakukan oleh kandidat didasari atas pemberian upah

kepada pemilih yang telah mendukung terselenggaranya kampanye seperti

menempel poster. Sehingga hubungan ini tidak berlandaskan pada asas

Page 19: Money Politic KIP Bireuen

16

pertukaran dengan suara pemilih.

c. Sebuah hadiah yakni penawaran atau pemberian yang dilakukan oleh

kandidat dengan konsekuensi menciptakan keharusan bagi masyarakat

untuk memilih kandidat yang telah memberi mereka hadiah di kotak suara.

Sebagai contoh yang dilakukan para broker atau perantara di Taiwan

memberikan hadiah kepada setiap rumah yang mereka kunjungi pada saat

mempromosikan kandidat mereka.

Kedua, pork barrel didefinisikan sebagai suatu bentuk penyaluran barang

bantuan materi dalam bentuk kontrak, hibah, atau proyek pekerjaan umum ke

Kabupaten/Kota bahkan Gampoeng dari pejabat terpilih (Schaffer 2007, dalam

Sumarto 2014: 32). Pork barrel sering kali di identikan dengan proyek-proyek

pembangunan ataupun perbaikan fasilitas publik yang dilakukan oleh calon

anggota legislatif, dengan tujuan untuk meningkatkan peluang keterpilihan

politisi tersebut dalam Pemilu.

Jika dalam vote buying sumber daya material yang diberikan bersifat

privat, sedangkan dalam pork barrel barang yang diberikan merupakan public

goods dalam bentuk fisik. Untuk itu pork barrel bergerak pada arena barang-

barang publik untuk dipertukarkan dengan suara pemilih (public-goods

electoral markets) seperti pembangunan fasilitas publik ataupun program sosial

(Sumarto 2104: 31).Target penerima pork barrel sendiri tidak secara personal

tetapi menyeluruh berdasarkan wilayah geografis atau territorial tertentu seperti

Kabupaten, Gampoeng, Dusun, sesuai dengan daerah pemilihan dari calon

anggota legislatif terkait. Sehingga sebelum proses pendistribusian program

Page 20: Money Politic KIP Bireuen

17

pembangunan fasilitas publik ini, biasanya seorang calon anggota legislatif

bertanya “Apakah anda tinggal di Kabupaten saya?” (Stokes 2007 dalam

Sumarto 2014: 33).

Di lain pihak, dana yang dikeluarkan bukan berasal dari kantong pribadi

calon anggota legislatif, melainkan anggaran pembangunan atau program yang

berasal dari dari pajak umum yang di pungut oleh pemerintah (Lancaster 1986

dalam Sumarto 2014: 32). Dengan kata lain pork barrel merupakan program

pembangunan fasilitas publik yang sudah dicanangkan dan dianggarkan oleh

pemerintah, akan tetapi dalam prakteknya diklaim sebagai produk hasil calon

anggota legislatif terkait. Dalam hal ini terjadi personalisasi barang publik

melalui klaim politik yang dilakukan oleh calon anggota legislatif terhadap

pembangunan fasilitas publik. Secara lebih spesifik Mayhew menjelaskan klaim

politik ini sebagai berikut:

“Klaim politik atas distribusi program pembangunan ataukesejahteraan sosial menujukan pada sauatu tindakan yang dilakukansesorang (dalam hal ini calon anggota legislatif) untuk menciptakankepercayaan pemilih bahwa politisi tersebut yang bekerja secara personalsehingga mampu menghasilkan capaian/program yang diharapkanpemilih”(Mayhew 2008 dalam Sumarto 2014: 35)

Dari sinilah kemudian pork barrel dapat diartikan sebagai strategi

pemenangan yang dilakukan oleh calon anggota legislatif dengan mengklaim

program pemerintah untuk mengikat pemilih selaku penerima program, yang

tentunya tidak terlepas dari sebuah proses memperoleh suara terbanyak. Praktek

ini banyak digunakan oleh para calon anggota legislatif incumbent untuk

membuka peluang dukungan politik kembali dari pemilih di daerah pemilihan

Page 21: Money Politic KIP Bireuen

18

yang sama.

Selain itu pork barrel dalam prakteknya tidak bertentangan dengan aturan

hukum yang ada, karena dalam prakteknya pemberian yang dilakukan oleh

kandidat baru dilaksanakan ketika dia terpilih sebagai anggota legislatif dengan

mendistribusikan uang dalam wujud program pemerintah terhadap daerah

tertentu.

Dengan ini perbedaan antar kedua bentuk money politic baik vote

buying maupun pork barrel dapat dilihat dari tiga aspek yakni: cakupan atau

sasaran dari pemberian sumber daya material apakah ditujukan pada individu

secara personal atau keseluruhan masyarakat dalam satu wilayah, kemudian waktu

pendistribusiannya apakah sebelum Pemilu atau setelah Pemilu, barang yang

diberikan apakah privat atau public, dan terakhir kriteria memilih penerima.

2.3 Cara Bekerja Money Poilitic Dalam Proses Elektoral

Skema bekerjanya money politic sendiri dalam proses Pemilu cenderung

beranekeragam. Mulai dari pembelian suara dalam pasar gelap secara tertutup

para pembeli suara melakukan transaksi tanpa dilindungi oleh norma-norma

sosial dan hukum (Absiono 2012: 15). Sampai dengan secara terbuka

layaknya pertemuan pedagang dan pembeli di pasar. Meski demikian

menurut Schaffer dan Schadler (dalam Schaffer (ed.) 2007: 25) money politic

terutama dalam bentuk vote buying merupakan kegiatan terlarang yang

sebagain besar dalam prakteknya tersembunyi dari inspeksi publik dan

langkah-langkah yang dilakukan tidak mudah di amati. Wang dan Kurzman

(dalam Schaffer (ed.) 2007: 61) secara lebih jauh mengungkapkan hampir

Page 22: Money Politic KIP Bireuen

19

diseluruh dunia praktek pembelian suara merupakan praktek terlarang, sehingga

setiap kandidat perlu berahati-hati dan cukup sulit untuk mencapai sejumlah

pemilih dengan diam- diam. Untuk itu menurut Wang dan Kurzman setiap

kandidat yang akan melakukan vote buying memerlukan sebuah agen

penghubung atau broker yang akan mendekati sejumlah pemilih yang

cakupanya luas dan tidak mungkin dilakukan oleh kandidat itu sendiri.

Cara bekerja money politic baik dalam bentuk vote buying maupun pork

barrel dalam kampanye selalu melibatkan intermediary agent dengan tujuan

untuk menghindari jeratan hukum yang ada secara diam-diam. Bagi Wang dan

Kurzman (dalam Schaffer (ed.) 2007: 64) dalam prosesnya pelibatan agen

penguhubung sangat penting dalam setiap pemilihan umum untuk menjaring

suara pemilih pada level lokal. Dalam pemilihan lokal di Taiwan misalnya,

enam dari tujuh kandidat berhasil melakukan vote buying dengan memanfaatkan

agen penghubung yang memiliki pemahaman akan daerah lokal. Untuk itu

ketika seorang kandidat memutuskan untuk menggunakan money politic

terdapat perbedaan keterampilan yang perlu dimiliki oleh seorang agen

penghubung salah satunya ialah pemahaman mengenai daerah setempat. Dari

situlah kemudian Wang dan Kurzman (dalam Schaffer (ed.) 2007: 64)

menjelaskan dalam proses pembelian suara seorang kandidat perlu menyewa

politikus lokal atau agen penghubung lokal yang memiliki pengetahuan lokal

secara terperinci dengan kriteria: seseorang yang mengatahui kepada siapa akan

diberikan uang, seseorang yang dapat dipercaya, dan bagaimana hubungan ini

dapat digunakan untuk mempengaruhi pemilih.

Page 23: Money Politic KIP Bireuen

20

Pemahaman mengenai daerah setempat inilah kemudian yang akan

memastikan ada atau tidak adanya resiko yang akan ditimbulkan dari praktek

pembelian suara yang dilakukan. Hal ini karena jika dalam proses perekrutan

agen penguhubung tidak mampu memilih orang yang tepat, dapat membawa

resiko pada diketahuinya skema pembelian suara yang dilakukan oleh kandidat

(Wang & Kurzman dalam Schaffer (ed.) 2007: 65). Sehingga pemanfaatan

jaringan pribadi kandidat yang memiliki kedekatan sosial di percaya oleh

kandidat seperti teman satu sekolah, tetangga dalam satu daerah tempat tinggal,

kepala Gampoeng, jaringan veteran, dan petani, sering kali dimanfaatkan

sebagai agen penguhubung (Wang & Kurzman dalam Schaffer (ed.) 2007: 69).

Pemanfaatan hubungan sosial pribadi yang dilakukan oleh kandidat

sebagai agen penghubung bertujuan untuk mempermudah proses

pendistribusian uang ke lokasi perumahan, yang sangat beresiko jika dilakukan

oleh kandidat itu sendiri. Untuk itu menurut Wang dan Kurzman (dalam

Schaffer 2007: 71) dalam proses perekrutan agen penghubung

berlandaskan pada tiga kategorisasi hubungan sosial yakni:

1. Keluarga dengan memanfaatkan salah satu pemilih yang berasal

dari satu keluarga dengan kandidat bisa keponakan ataupun sepepu

untuk menjadi penghubung dalam proses pendistribusian uang kepada

keluarganya sendiri ataupun tetangga pemilih.

2. Teman yakni memanfaatkan hubungan pertemanan antara kandidat

dengan pemilih untuk mendistribuskan uang kepada saudara-saudara

pemilih.

Page 24: Money Politic KIP Bireuen

21

3. Tetangga yakni memanfaatkan tetangga diamanaia tinggal untuk

mendistribusikan uang dari tetangga satu ke tetangga lainnya.

Tidak hanya berhenti sampai disitu dilihat cara bekerja pendistribusian

uang dengan memenfaatkan agen penghubung yang bersifat hierarki top-down

mulai dari level tertinggi diduduki oleh partai politik dan calon anggota

legislatif berikut dengan para donor yang memeberikan sumbangan atau modal

kampanye kepada kandidat, kemudian di ikuti dengan tim pemenangan

kampanye kandidat yang biasanya sesuai dengan level pemerintahan.

Mulai dari level Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, Gampoeng,

sampai dengan kordinator tempat pemungutan suara (TPS) dan relawan. Pola

seperti ini biasanya di sesuaikan dengan struktur tim kampanye yang dibuat

oleh masing-masing kandidat. Tetapi terdapat pula struktur yang sengaja di

buat diluar tim formal kampanye yang sifatnya bayangan. Selain itu aktor-aktor

yang terlibat didalamnya tidak hanya berasal dari struktur formal tim

pemenangan kampanye kandidat semata. Tetapi memanfaatkan orang-orang

terdekat maupun aktor-aktor formal maupun informal dengan menggunakan

pendekatan kekerabatan ataupun professional yakni dengan skema

pemberian upah.

Pada sisi lain Rifai (2003: 75) mencoba melihat cara bekerja dari

pemberian uang dalam bentuk lain yakni yang di sebut dengan sistem ijon

sebagai suatu sistem bayar dimuka yang bersifat mengikat. Sistem ini diawali

dengan adanya pendekatan oleh seseorang atau kelompok pemodal yang

menyadari adanya potensi yang dimiliki oleh seseorang masyarakat untuk

Page 25: Money Politic KIP Bireuen

22

menjadi anggota dewan. Dari situlah kemudian proses pendekatan dan lobi

di mulai oleh pemodal tersebut untuk mendorong individu masyarakat yang

memiliki potensi ini, sampai pada akhirnya pemodal ini menyiapkan segala

kebutuhnya mulai dari dana sampai dengan perlengkapan lainya untuk

kampanye. Hal inilah yang kemudian mengikat hubungan antar kandidat

tersebut dengan pemodal yang pola hubunganya berlanjut sampai dengan ia

terpilih.

Pada sisi lain sistem ini tidak hanya bekerja pada konteks pemodal

dan kandidat semata. Tetapi pada konteks kandidat dengan aktor lainnya dalam

proses kampanye seperti yang terjadi antara tim sukses ataupun aktor lain yang

memiliki pengaruh dan basis masssa. Biasanya aktor- aktor ini menyadari

adanya potensi sumber daya termasuk uang yang dimiliki oleh kandidat, dari

situlah aktor setempat yang memiliki pengaruh berusaha untuk menjadi bagian

dari tim kandidat dengan tujuan untuk memperoleh sumber daya tersebut.

Sehingga melalui aktor inilah kemudian uang disalurkan kepada pemilih.

2.4. Istilah

2.4.1 Money Politic

Politik uang merupakan pemanfaatan uang sebagai sumber daya

ekeonomi menjadi sumber daya politik yang digunakan menggalang dukungan

atau mobilisasi massa yang dilakukan oleh calon anggota legislatif ataupun

partai politik dalam kampanye, dengan tujuan untuk memperoleh suara

sebanyaknya-banyaknya proses elektoral.

Page 26: Money Politic KIP Bireuen

23

2.4.2 Vote Buying

Pembelian suara atau vote buying merupakan salah satu bentuk dari

money politic yang dilakukan dengan cara pemberian uang dalam bentuk fresh

money selaku privat goods kepada pemilih. Secara sederhana vote buying dapat

diartikan sebagai praktek pertukaran uang dengan suara dalam nalar

transaksional. Target penerima vote buying sendiri bersifat personal kepada

individu atau keluarga dan waktu pendistribusian uang dilakukan sebelum

pemungutan suara.

2.4.3 Pork Barrel

Pork barrel merupakan salah satu bentuk dari money politic yang

merubah wujud uang dalam bentuk private goods kedalam wujud public goods

seperti pembangunan fasilitas publik yang cakupanya lebih luas seperti

Kabupaten, Kecamatan dan Gampoeng. Selain itu dana yang di peroleh

didapatkan dari pemerintah, sehingga pork barrel merupakan klaim politik yang

dilakukan oleh calon anggota legislatif terhadap program pemerintah dengan

tujuan untuk mengikat pemilih selaku penerima program untuk memberikan

suaranya dalam hari pemungutan suara.

Page 27: Money Politic KIP Bireuen

24

2.5 KERANGKA BERFIKIR

Adapun kerangka berfikir dalam penelitian ini adalah :

Uang sebagai sumber dayapolitik

Uang merupakan sumber dayayang melekat untuk dapatmemberikan manfaat sehinggaadanya konteks simbiosismutualisme (saling membutuhkan)

Bentuk Money Politics

- Vote buying (pembelian suara)

- Pork barrel (bentuk penyaluranbarang bantuan/materi)

1. Proses terjadi

Periha bagaimanapraktik-praktik moneypolitics terjadi.

2. Bentuk dan pola

Adanya beberapabentuk dan pola yangberbeda, yang tidakhanya berupa freshmoney.

3. Unsur yang terlibat

Terdapat pihak atauunsur tertentu yangmenjalankan prkatikmoney politics.

Page 28: Money Politic KIP Bireuen

25

BAB III.

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan

pendekatan studi kasus. Metode kualitatif yang biasa digunakan untuk

mengungkap dan memahami sesuatu dibalik fenomena yang sedikit baru

diketahui dan memberi rincian yang kompleks tentang fenomena yang sulit

diungkapkan oleh metode kuantitatif (Strauss & Corbin 2003: 5). Menjadi

relevan untuk digunakan karena mampu memberikan pisau analisa yang lebih

tajam dan detail dalam menjelaskan praktek money politics dalam pemilu

legislatif yang selama ini sulit untuk dilacak keberadaanya. Belum lagi metode

penelitian kualitatif tidak hanya melihat realitas perosalan dari permukaan

semata, melainkan lebih mendalam dengan mengikutsertakan peneliti menjadi

bagian dari realitas tersebut untuk melihat tata cara bekerjanya money politics

yang dilakukan oleh calon anggota legislatif secara langsung. Sehingga

mampu mengelaborasi lebih jauh keberadaan praktek money politics di

Kabupaten Bireuen.

Sedangkan pendekatan studi kasus yang berupaya untuk menyelidiki

secara cermat suatu program, peristiwa, proses, atau kasus-kasus yang dibatasi

oleh waktu dan aktivitas dengan cara mengumpulkan informasi secara lengkap

dengan menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data (Creswell 2010:

20). Akan sangat membantu peneliti yang berusaha melihat money politics

secara lebih spesifik pada kasus tertentu dalam hal ini masyarakat di Kab

Page 29: Money Politic KIP Bireuen

26

Bireuen pada pemilu legislatif 2014. Sehingga hal tersebut menjadi boundaris

atau batasan yang diamanahkan oleh pendeketan studi kasus dalam

melalakukan sebuah penelitian, agar lebih terfokus dengan lokus yang jelas dan

tidak melebar dari rumusan masalah penelitian yang hendak dijawab.

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Terdapat dua teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam studi ini.

Pertama, dengan cara mencari sumber data primer melalui indepth interview

dan observasi lapangan. Wawancara mendalam dilakukan dengan tiga aktor

berbeda diantaranya:

1. Masyarakat umum: wawancara dilakukan kepada masyarakat di

30 Gampong dalam 8 Kecamatan sebagai sampel yang sudah

memiliki hak piliih, serta mengatahui jalanya pemilu legislatif

2014 seperti kampanye dan juga praktek money politics yang

dilakukan oleh kandidat. Masyarakat ini terbagi kedalam dua

klasifikasi masyarakat yakni ibu-ibu dan pemuda.

2. Tokoh masyarakat: wawancara dilakukan terhadap 30 orang di 30

Gampong yang dijadikan sampel, yakni tokoh masyarakat yang

memiliki pemahaman akan kondisi di lokasi penelitian pada

pemilu legislatif, yang tentunya berkaitan dengan perederan money

poilitic, serta memiliki latar belakang yang berbeda- beda dan peran

yang berbeda-beda dalam pemilu legislatif 2014.

3. Informan : Informan ini tersebar disetiap kecamatan yang dijadikan

Page 30: Money Politic KIP Bireuen

27

frame sampling yakni 8 kecamatan. Informan tersebut adalah

seseorang yang terlibat langsung ataupun tidak langsung dalam aksi

money politic pada Pemilu 2014 di Kabupaten Bireuen, untuk

menguatkan informasi dari yang diwawancarai.

Kedua, dengan cara mencari sumber data sekunder melalui

pengumpulan litertarur atau referensi yang sesuai dengan penelitian seperti

studi-studi mengenai perilaku pemilih yang sudah dilakukan oleh penelit-

peneliti sebelumnya, dan juga dokumen-dokumen seperti undang-undang atau

paraturan mengenai pemilu, serta dokumen terkait wilayah penelitian

seperti data monografi. Data sekunder ini berfungsi untuk memperkaya dan

memperkuat konsep serta data yang diperoleh dari data primer.Sehingga

keduanya bersifat komplementer dalam rangka membangun argumentasi

penelitian.

Untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi faktor-faktor yang

memperngaruhi terjadinya money politics terdiri dari :

No Faktor Uraian1 Uang sebagai sumber

daya politikIndikator ini dilihat dari :

a. Proses konsolidasi dengan masyarakat(pemilih)

b. Proses menarik perhatian masyarakat/pemilih

2 Vote Buying(Pembelian Suara)dan Pork Barrel(Pemberian Materi)

Indikator ini dilihat dari :a. Proses terjadib. Bentuk dan polac. Unsur yang terlibat

Page 31: Money Politic KIP Bireuen

28

3.3.Pemilihan Sampel Responden dan Informan

Populasi pemilih yang telah ditetapkan pada kegiatan Pemilu tahun 2014 di

kabupaten Bireuen adalah sebagai berikut:

Tabel 3.1 Wilayah dana Pemilih pada Pemilu 2014 di Kabupaten Bireuen

No Kecamatan JumlahGampong

PemilihTotal

PemilihLaki-laki

PemilihPerempuan

1 Samalanga 46 17874 8669 92052 Simpang

Mamplam41

18899 9411 9488

3 Pandrah 19 5942 2800 31424 Jeunieb 43 17313 8373 89405 Peulimbang 22 7762 3818 39446 Peudada 52 18271 8845 94267 Jeumpa 42 24664 12166 124988 Juli 36 21273 10197 110769 Kota Juang 23 35771 17393 1837810 Kuala 20 13214 6406 680811 Jangka 46 19647 9409 1023812 Peusangan 69 35497 16953 1854413 Peusangan Selatan 21 10039 4829 521014 Peusangan Siblah

Krueng21

7933 3774 4159

15 Makmur 27 10484 4902 558216 Kuta Blang 41 15586 7394 819217 Gandapura 40 16304 7674 8630

JUMLAH 609 296473 143013 153460Berdasarkan data tabel-1 diatas, dipilih sampel dengan cluster sampling,

dengan alasan lokasi unit sampel yang disurvai berada pada beberapa tingkatan

yang ber-hirarkhi, mulai dari tingkat Kecamatan, Gampong dan rumah tangga.

Adapun sampling yang dilakukan dengan 3 tahap (three Stage), yakni :

Cluster-1 : Pemilihan Kecamatan; dibagi dalam 3 wilayah, yakni :

- Wilayah Barat (Kecamatan No-1 sampai dengan No-6),

Dipilih Kecamatan Samalanga, Jeunieb, dan Peudada.

- Wilayah Tengah (Kecamatan No-7 sampai dengan No-10),

Page 32: Money Politic KIP Bireuen

29

Dipilih Kecamatan Juli, dan Kota Juang)

- Wilayah Timur (Kecamatan No-8 sampai dengan No-17),

Dipilih Kecamatan Jangka, Peusangan Sb Krueng, dan

Gandapura

Cluster-2 : Pemilihan Gampong, didasarkan pertimbangan (purposif peneliti);

dengan menetapkan 30 Gampong dari jumlah 307 Gampong (atau

10%) di wilayah yang telah di claster pada sampling pertama diatas.

a. Wilayah Barat, menetapkan 13 Gampong dari 141 Gampong,

masing- masing

Kecamatan Samalanga, memilih 4 Gampong (yakni Mesjid

Baro, Keude Samalanga, Namploh Krueng, Namploh

papeun).

Kecamatan Jeunieb, memilih 4 Gampong (yakni Mns

Dayah, Mns Blang, Blang Me Barat, Lheu Simpang).

Kecamatan Peudada, memilih 5 Gampong (yakni Matang

Pasi, Mns Tambo, Seuneubok Paya, Mns Pulo, Matang

Reuleut)

b. Wilayah Tengah, menetapkan 6 Gampong dari 59 Gampong,

masing-masing

Kecamatan Juli, memilih 3 Gampong, (yakni Juli Keude

dua, Teupin Mane, Blang keutumba)

Kecamatan Kota Juang, memilih 3 Gampong (yakni

Gampong Geulanggang Kulam, Mns Blang, Cot Putek)

Page 33: Money Politic KIP Bireuen

30

c. Wilayah Timur, menetapkan 11 desa dari 107 Gampong, masing-

masing :

Kecamatan Jangka, memilih 4 Gampong, (yakni Gampong

Jangka Mesjid, Punjoet, Geundot, Bugak Krude).

Kecamatan Peusangan Sb Krueng, memilih 3 Gampong

(yakni Gampong Pante Baror Kumbang, Awe Geutah, Alu

Iet).

Kecamatan Gandapura, memilih 4 Gampong (Gampong

Lapang Timu, Cot Tube, Samutu Aman, Cot Pu’uk).

Cluster-3 : Pemilihan Pemilih; pada 3 wilayah yang ditetapkan pada claster

pertama dan pada Gampong yang ditetapkan pada claster-2). Jumlah

masing-masing responden penelitian yakni dari masyarakat yang

berstatus pemilih pada Pemilu 2014, ditetapkan berdasarkan

pertimbangan (purposif) yakni seseorang yang mengikuti Pemilu dan

mengerti tentang money politic. Setiap Gampong diambil secara

sampling acak tersensor sejumlah 5 orang per Gampong, yakni :

- Wilayah-1: Kecamatan terletak pada Bagian Barat Bireuen (total

65 orang)

(1). Kec. Samalanga: 4 Gampong x 5 orang = 20 orang

(2). Kec. Jeunieb: 4 Gampong x 5 orang = 20 orang

(3). Kec. Peudada: 5 Gampong x 5 orang = 25 orang

- Wilayah-2: Kecamatan terletak pada Bagian Tengah Bireuen

(total 30 orang)

Page 34: Money Politic KIP Bireuen

31

(1). Kec. Juli: 3 Gampong x 5 orang = 15 orang

(2). Kec. Kota Juang: 3 Gampong x 5 orang = 15 orang

- Wilayah-3: Kecamatan terletak pada Bagian Timur Bireuen (total

55 orang)

(1). Kec. Jangka: 4 Gampong x 5 orang = 20 orang

(2). Kec. Peusangan Sb.Krueng: 3 Gampong x 5 orang = 15 orang

(3). Kec. Gandapura: 4 Gampong x 5 orang = 20 orang

Sehingga jumlah semua responden dari masyarakat pemilih pada lokasi

sampling yang akan dijadikan sampel adalah 150 responden (orang).

Sedangkan, untuk kepentingan mendalalami kegiatan survei gejala dan

fenomena aksi money politic pada Pemilu 2014 di Kabupaten Bireuen dalam

menguatkan analisis penelitian dan pengambilan kesimpulan digunakan sampel

tokoh masyarakat dan informan yang menjadi nara sumber data pendukung

penelitian. Penetapan informan tersebut, didasarkan pada ketiga wilayah

pemetaan sampling, yakni masing-masing diambil secara kecukupan, yakni:

a. Sampel Tokoh Masyarakat diambil 1 orang setiap Gampong, sehingga

berjumlah 30 orang sebagai perwakilan informasi yang di akan di

diperoleh dari setiap Gampong.

b. Sampel informan ditetapkan 8 orang mewakili wilayah pemetaan

sampling yakni :

(1) Wilayah – 1 (Bireuen bagian Barat) diambil 3 informan.

(2) Wilayah – 2 (Bireuen bagian Tengah) diambil 2 informan.

(3) Wilayah – 3 (Bireuen bagian Timur) diambil 3 informan.

Page 35: Money Politic KIP Bireuen

32

Jika disesuaikan secara teoritis dan keilmiahan secara statistik, sampel

responden yang disurvai berasal dari 30 Gampong dari sejumlah 609 Gampong

yang ada di Kabupaten Bireuen. Maka Gampong yang di survai adalah sekitar

5%. Hal ini hampir sama dengan kegiatan quick-count (hitungan cepat) Pemilu

yang dilaksanakan oleh Lembaga Riset dan LSM dalam memprediksi pemenang

Pemilu/Pemilukada. Dalam pelaksanaan survai yang dilakukan pemerintah di

dalam mendata suatu subjek, seperti survai tenaga kerja daerah/nasional, survai

demografi dan kesehatan Indonesia (SDKI). Dalam wilayah yang luas

penyebaran unit sampling, yang terpenting bukan jumlah sampelnya, tetapi

penyebaran sampel yang disurvai harus tersebar mewakili wilayah pemetaan

survai (Sampling Frame).

Page 36: Money Politic KIP Bireuen

33

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Dalam pelaksanaan penelitian tentang Pemilu 2014 lalu yang terjadi di

Kabupaten Bireuen, Aceh, menurut masyarakat yang diteliti, dengan mengambil

sampel 150 orang, dari hasil penelitian tersebut dihasilkan peran partisipasi

masyarakat dalam mengikuti Pemilu 2014 tersebut sebanyak lebih dari 90%

(Tabel 4.1).

Tabel 4.1. Partisipasi Masyarakat Dalam Pemilu 2014

No Alternatif Jawaban F %a Ya 136 90,67b Tidak 4 2,67c Tidak menjawab 10 6,66

Jumlah 150 100,00

Berdasarkan tabel di atas dapat di simpulkan bahwa pada umumnya

masyarakat ikut berpartisipasi dalam pemilihan umum tahun 2014, hanya

sebagian kecil masyarakat yang tidak berperan dalam pelaksanaan Pemilu.

Namun dalam pelaksaaannya, menurut masyarakat pemilih terjadi praktik

money politic. Hal ini berdasarkan hasil dari penelitian kepada masyarakat dan

hasilnya lebih dari 50% pemilih (Tabel 4.2).

Tabel 4.2. Terdapat Praktik Politic Uang Pada Pemilu 2014 Yang Lalu

No Alternatif Jawaban F %a Ya 86 57,34b Tidak 62 41,33c Tidak menjawab 2 1,33

Jumlah 150 100,00

Page 37: Money Politic KIP Bireuen

34

Praktik money politic yang terjadi di gampong dalam wilayah Kabupaten

Bireuen menurut responden (Masyarakat) sangat beragam. Mulai dari pembagian

sembako sampai dengan pemberian bibit tanaman (Tabel 4.3). Urutan yang

paling banyak terjadi adalah dalam bentuk pembagian alat untuk beribadah

41,33% (seperti Sajadah, Kupiah, dan jilbab). Kemudian dalam bentuk pemberian

uang (money) sekitar 27,34% dari praktik money politic yang terjadi, dan

selanjutnya dalam bentuk pemberian sembako bagi masyarakat pemilih mencapai

20%.

Tabel 4.3. Bentuk Money Politic Pemilu 2014

No Alternatif Jawaban F %a Pembagian sembako 30 20b Pembagian Uang 41 27,34c Pembagian alat ibadah (sajadah/musalah,

sarung, mukena/kupiah/jilbab)62 41,33

d Pemberian bahan bangunan untukmesjid/meunasah; (semen, batu, kayu, cat)

12 8

e Pemberian bahan bangunan untuk jalan (pasir,semen dan batu)

2 1,33

f Pemberian bibit tanaman, ternak, dan obat-obatan pertanian dan ternak

3 2

150 100

Kegiatan praktek money politic umumnya hampir sama dengan daerah-

daerah lain. Tim Sukses yang dibentuk oleh Partai Politik atau perseorangan

sangat tinggi peranannya. Hal ini tidak menjadi rahasia umum lagi. Karena yang

bergerak dilapangan tidak mungkin dilakukan oleh calon legislatif. Lebih 40%

menurut masyarakat yang disurvei bahwa mekanisme money politic dilakukan

melalui mekanisme Tim Sukses. Mekanisme lain yang juga berpengaruh adalah

Page 38: Money Politic KIP Bireuen

35

melalui mekanisme kampanye. Dimana masyarakat yang ikut kampanye akan

diberikan uang untuk transport dan konsumsi ataupun uang saku.

Tabel 4.4. Mekanisme Pelaksanaan Money Politic Yang Dilakukan Oleh CalonLegislatif

No Alternatif Jawaban F %a Melalui tim sukses 62 41,33b Dari rumah ke rumah 22 14,67c Serangan Fajar 3 2d Melalui Kampanye 42 28e Teman dekat 21 14

Jumlah 150 100

Berkitan dengan jawaban diatas, maka tidak pelak lagi bahwa keterlibatan

anggota atau pengurus partai politik sangat tinggi dalam memainkan praktik

money politic dalam Pemilu. Hampir semua masyarakat sepakat bahwa anggota,

partisipan ataupun pengurus partai politik berjuang keras agar calon dari partai

yang diusungnya harus dapat memenangkan suara. Sehingga langkah apapun

menjadi halal dan sesuatu yang wajar, termasuk praktik money politic.

Tabel 4.5. Yang Terlibat Dalam Pelaksanaan Money Politic

No Alternatif Jawaban F %a Tokoh pemuda 13 8,67b Tokoh Masyarakat 14 9,33c Anggota/Pengurus parta politik 102 68d Aparatur Gampoeng/gampong 10 6,67e Aparatur kecamatan 5 3,33f Warga masyarakat dari luar

Gampoeng6 4

Jumlah 150 100

Page 39: Money Politic KIP Bireuen

36

Walaupun demikian, beberapa komponen lain juga ikut memainkan peran dalam

praktik money politic walaupun tidak signifikans, seperti tokoh masyarakat dan

tokoh pemuda di Gampoeng-Gampoeng.

Oleh karena itu, pengawasan menjadi penting dalam meminimalisir Pratik

money politic dalam Pemilu. Pengawasan pemilu dilimpahkan kepada suatu

badan yang disebut Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Menurut masyarakat

yang di survei, peran Bawaslu dalam menjamin kegiatan Pemilu dapat berjalan

lancar dan normatif, masih belum banyak membantu menuntaskan praktik money

politic dan Pemilu bersih. 62 % masyarakat menyatakan Bawaslu kurang

berperan dalam mengawasi pelaksanaan money politic. Malah terdapat 14%

menyatakan tidak berperan sama sekali. Namun 21,3% masyarakat percaya

bahwa tugas Bawaslu dalam mengawasi pemilu dari kecurangan telah

dilaksanakan dengan baik (Tabel 4.6).

Tabel 4.6. Peran Badan Pengawasan Pemilu Dalam MengawasiPelaksanaan Money Politic ?

No Alternatif Jawaban F %a Sangat berperan 32 21,33b Kurang berperan 93 62c Tidak berperan sama sekali 21 14d Tidak Tahu 4 2,67

Jumlah 150 100

Banyak faktor terjadinya praktik money politic. Baik faktor ekonomi,

faktor ketidaktahuan, faktor tekanan, dan juga karena ikut-ikutan karena merasa

sesuatu yang biasa.

Page 40: Money Politic KIP Bireuen

37

a. Faktor Ekonomi

Dari hasil pendapat sebagian masyarakat Kabupaten Bireuen, bahwa

diantara faktor pendukung maraknya praktik money politic di Kabupaten Bireuen

dalam pemilu legislatif 2014 diantaranya adalah karena persoalan ekonomi. 32

persen responden yang disurvei setuju bahwa faktor ekonomi penentu dalam

mensukseskan praktik money politic.

Sudah menjadi slogan sebagian masyarakat, karena Pemilu adalah pesta

rakyat, maka rakyat berhak menimati bantuan dari para calon yang akan maju

dalam Pemilu. Sesorang akan mau berpartisipasi ikut kampanye mendukung

calon tertentu, jika ada uangnya, dan siapa yang mau bayar lebih mahal, suaranya

akan diberikan pada calon tersebut.

b. Faktor Kurang Pengetahuan

Alasan tidak tahu bahwa jual beli hak suara melanggar norma moral dan

agama berkaitan dengan pola budaya suatu masyarakat. Ada indikasi kuat bahwa

bagi kebanyakan masyarakat kita, baik yang miskin maupun yang berkecukupan,

masih merasa samar tentang status immoralitas (jahatnya) praktik money politic,

hal ini berdasarkan angket yang diteliti, ada 28,67% yang menyatakan karena

alasan tidak tahu. Biasanya ada pertanyaan kecil dalam benak mereka, apa

salahnya menerima pemberian; dan sebagai imbalannya, apa salahnya membalas

kebaikan hati si pemberi dengan suatu hak suara yang toh kecil nilainya untuk

orang miskin; lagi pula antara kedua pihak, tidak ada ancam mengancam ataupun

paksa memaksa.

Page 41: Money Politic KIP Bireuen

38

Menurut Masdar Farid (2004:144) Kurangnya pemahaman menyebabkan

kurangnya kesadaran dan kepekaan terhadap dimensi kriminalitas pada praktik

suap dan money politics. Untuk mengatasi distorsi moralitas yang diakibatkan

langkanya pemahaman ini, perlu diluncurkan suatu gelombang besar kritik budaya

yang mampu membongkar wacana etika yang terlalu formalistik. Khususnya di

kalangan umat Islam penganut ortodoksi ajaran keagamaan perlu diadakan kritik

teologis terhadap dogma bahwa tidak ada hokum moral di luar teks ajaran. Dalam

konteks ini perlu didorong pola pemahaman baru yang menempatkan teks-teks

ajaran keagamaan lebih sebagai ajaran moral ketimbang sebagai teks hukum

dalam pengertian legal-formal.

c. Faktor Ikut-ikutan

Masih ada dikalangan masyarakat kita, khususnya di Gampoeng-

Gampoeng provinsi Aceh, melaksanakan sesuatu denga alas an ikut-ikutan.

Karena orangtuanya mau mendukung praktik money politic, maka anaknya ikut,

atau sebaliknya. Karena si suami ikutan dalam suasana tersebut, sang istripun

mengikutinya. Atau karena tokoh masyarakat ikut menyemarakkan money politic,

maka tidak salam lagi masyarakat kecilpun ikut-ikutan, tidak mau ketinggalan

mencari untung di pestanya rakyat tersebut. Menurut masyarakat yang disurvei,

terdapat 22 % menyatakan faktor ikut-ikutan mempengaruhi terjadinya money

politic.

Page 42: Money Politic KIP Bireuen

39

d. Faktor Pemaksaan/tekanan

Tidak dapat dielakkan lagi bahwa faktor adanya tekanan dan pemaksaan

dari tim sukses, biasanya pada masyarakat tertentu, memaksa untuk mau menjual

suaranya dengan pemberian sesuatu. Apakah sesuatu itu uang, bantuan sembako

atau sekedar bantuan rasa aman di masa Pemilu. Sejak adanya konflik, praktik

tekanan kepada masyarakat masih terus berlangsung. Khususnya di masa-masa

menjelang pelaksanaan pencoblosan, maka serangan fajar memaksa seseorang

untuk memberi dan menjual suaranya kepada calon tertentu. Umunya yang

dirasakan karena takut tidak aman, jika tidak mendukung sesorang calon.

Tabel 4.7. Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Money Politic ?

No Alternatif Jawaban F %a Kurang Pengetahuan 43 28,67b Faktor Ekonomi 48 32c Pemaksaan/tekanan 17 11,33d Ikut-ikutan 33 22e Tidak Tahu 9 6

Jumlah 150 100

Hal diatas senada dengan jawaban masyarakat berkaitan dengan

pertanyaan “Mengapa di tempat saudara terjadi praktik money politic?” Jawaban

responden mirip dengan persoalan sebelumnya diatas. Yakni karena faktor

ekonomi, kurang pengetahuan dan ikut-ikutan yang dominan (table 4.8).

Tabel 4.8. Sebab Di Gampoeng/Gampong Anda Terjadi Money Politic

No Alternatif Jawaban F %a Kurang Pengetahuan 40 26,67b Faktor Ekonomi 61 40,67c Pemaksaan/tekanan 10 6,66d Ikut-ikutan 33 22e Tidak tahu 6 4

Jumlah 150 100

Page 43: Money Politic KIP Bireuen

40

Money politic, walaupun sudah menjadi sesuatu yang wajar dan telah lama

berlangsung, tetapi perlu pencegahan, karena hal ini salah satu pelanggaran hidup

bernegara, hidup bermasyarakat dan melanggar agama. Oleh karena itu, menurut

masyarakat perlu suatu langkah konkrit dan terencana dalam meminimalisir dan

malah kalau bisa menghilangkan praktik money politic tersebut.

Menurut sebagian besar masyarakat yang di survei, setuju untuk

mengambil kebijakan menyadarkan masyarakat terhadap pendidikan politik, agar

mengurangi kecurangan dan terjadinya money politic di masyarakat. Kebijakan

lain juga perlu merancang dan menerapkan Undang-undang Pemilu yang baik dan

terkontrol secara sistematis. Serta perlu adanya tindakan bagi pelanggaran UU

Pemilu (Tabel 4.9)

Tabel 4.9. Kebijakan Yang Harus Ditempuh Dalam Mengurangi TerjadinyaMoney Politic ?

No Alternatif Jawaban F %a Kesadaran pendidikan politik 64 42,67b UU Pemilu 49 32,67c Perlu diberikan sosialisi tentang demokrasi dalam

pemilu7 4,66

d Perlu adanya tindakan bagi pelanggaran UU pemilu 30 20Jumlah 150 100

Masyarakat menilai bahwa, solusi yang paling tepat untuk mengurangi

adanya money politic antara lain pelaksanaan Peraturan perundang-undangan yang

lebih tegas bagi pelaku money politic dan pemberian sanksi sosial bagi pelaku

money politic (Tabel 4.10).

Tabel 4.10. Apa Solusi Yang Paling Tepat Untuk Mengurangi Tindakan Money Politic ?

No Alternatif Jawaban F %a Peraturan perundang-undangan yang lebih tegas bagi 96 64

Page 44: Money Politic KIP Bireuen

41

pelaku money politicb Pemberian sanksi sosial bagi pelaku money politic 48 32c Transparansi dalam perhitungan dari Gampoeng

sampai tingkat nasional6 4

Jumlah 150 100

Berkaitan dengan fenomena yang selalu terjadi dimasa pemilu, baik

Pemilu 2009 dan Pemilu 2014 yang dilaksanakan secara otonomi dan pemilihan

dilaksanakan secara langsung. Harapan masyarakat sadar fenomena pelanggaran

Pemilu tidak terulang lagi, baik pelanggaran yang paling parah yakni money

politic ataupun pelanggaran keamanan pemilu. Maka masyarakat yang di survai

mengharapkan pelaksanaan Pemilu 2019 mendatang dapat berlangsung dengan

baik.

Tabel 4.11. Harapan Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pemilu 2019 YangAkan Datang ?

No Alternatif Jawaban F %a Baik 112 74,67b Lebih baik 37 24,67c Tidak Tahu 1 0,66

Jumlah 150 100

4.2. Hasil Wawancara Nara Sumber

” 1. Bagaimana money politic terjadi dan bagaimana operasinya “Beberapa jawaban responden :

1. Merupakan hal yang sudah membudaya, karena rendahnya peraninstansi

2. Masyarakat bosan dengan janji-janji dan akan ada pemberian uang barumereka ikut memilih karena jika sudah terpilih mereka akan lupa denganjanji-janjinya

3. Melalui tim sukses yang datang mempengaruhi masyarakat4. Adanya golongan tertentu melakukan tindakan intimidasi untuk

mengajak memilih salah satu calon5. Masyarakat apatis terhadap pemilu ibarat nasi telah menjadi bubur6. Melalui kampanye yang dilakukan tim sukses dengan membagi-bagikan

sesuatu bingkisan.7. Melalui rumah ke rumah yaitu serangan fajar (secara diam-diam)

Page 45: Money Politic KIP Bireuen

42

2. Pola nya seperti apa dan dalam bentuk apa ?

Beberapa jawaban responden :

1. Pada umum dilakukan dengan membagikan sembako dan alat ibadah,2. Pemberian alat-alat genset, bahan bangunan, hanya sedikit saja3. Pemberian bingkisan hanya diberikan dalam bentuk gula, sajadah,

sarung, dan jilbab)

3. Siapa saja (unsur mana yang berperan) yang menjalankan money politic ?

Beberapa jawaban responden :

1. Hampir semua menjawab “ anggota atau pengurus partai politik,sedangkan tokoh pemuda dan masyarakat kurang berperan”

4. Apakah ada pengawasan dan tindakan ?

Beberapa jawaban responden :

1. Secara umum pengawas telah melakukan tugas baik namun masih adapetugas pengawas yang belum melakukan tugas secara maksimaldengan alasan kondisi di lapang yang kurang kondusif

2. Pengawasan hanya dilakukan lebih terfokus pada hari pelaksanaanpemilu

5. Kenapa sebagian tempat terjadi dan sebagian tidak terjadi ?

Beberapa jawaban responden :

1. Hampir semua menjawab “karena ikut-ikutan dan kurangnyapengetahuan”

2. Adanya tekanan / paksanaan3. Faktor ekonomi

6. Faktor apa yang menyebabkan?

Beberapa jawaban responden :

1. Karena faktor ekonomi, masyarakat lebih mementingkan menerimabingkisan dari pada hasil pemilu,

2. Kurangnya berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat3. Rendahnya pemahaman tentang pemilu karena kurangnya pengetahuan

politik

Page 46: Money Politic KIP Bireuen

43

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Kuasauang dalam pemilu dengan wujud moneypolitic,masih menjadi cara

7. Apa saja kebijakan yang harus ditempuh untuk mengatasi money politic?

Beberapa jawaban responden :

1. Hampir semua menjawab “ Sanksi untuk kandidat yang melakukanmoney politic harus ditindak tegas, tidak ada diskriminatif”

2. KIP harus lebih selektif dalam menyeleksi calon-calon pengawas pemiluyang kredible

3. UU pemilu harus lebih tegas dan memberikan hukuman yang berat bagipelanggaran maney politic

4. Tindak tegas pelaku money politic sesuai dengan UU dan peraturanyang berlaku

Page 47: Money Politic KIP Bireuen

44

BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan uraian-uraian yang dikemukakan, maka tim

peneliti menarik kesimpulan sebagai berikut :

- Fenomena dalam pemilihan umum di Indonesia adalah tidak berdasarkan

asas pemilihan umum yaitu konteks jujur dan adil yang sangat banyak

tidak dipergunakan baik oleh penyelenggara maupun kandidat yang maju.

Sehingga dengan tidak menjalankan asas jujur dan adil akan menghalalkan

segala cara dalam Pemilu yaitu dengan melaksanakan praktik-praktik yang

tidak diinginkan seperti politik uang (money politics) dan lainnya.

- Money politics atau yang dikenal dengan sebutan politik uang, merupakan

studi yang menarik untuk dielaborasi lebih jauh keberadaanya dalam

proses pemilu yang menempatkan uang sebagai instrumen untuk

memperoleh kekuasaan. Sebagai arena kontestasi untuk memperoleh

kekuasaan, pemilu tidak lagi di lihat sebatas persaingan politik melalui

gagasan, program dan visi-misi yang ditawarkan oleh para kontestan wakil

rakyat. Akan tetapi pemilu dilihat pula sebagai arena persaingan ekonomi

antar calon anggota legislatif dengan cara mengaluarkan uang sebanyak-

banyaknya untuk dibagi-bagikan dengan berbagai bentuk dan cara,

sebagai upaya untuk memobilisasi massa dan menjaring suara

pemilih.Politik uang merupakan pemanfaatan uang sebagai sumber daya

ekeonomi menjadi sumber daya politik yang digunakan menggalang

dukungan atau mobilisasi massa yang dilakukan oleh calon anggota

legislatif ataupun partai politik dalam kampanye, dengan tujuan

untuk memperoleh suara sebanyaknya-banyaknya proses elektoral.

- Pembelian suara atau vote buying merupakan salah satu bentuk dari money

politic yang dilakukan dengan cara pemberian uang dalam bentuk fresh

Page 48: Money Politic KIP Bireuen

45

money selaku privat goods kepada pemilih. Secara sederhana vote buying

dapat diartikan sebagai praktek pertukaran uang dengan suara dalam nalar

transaksional. Target penerima vote buying sendiri bersifat personal

kepada individu atau keluarga dan waktu pendistribusian uang dilakukan

sebelum pemungutan suara. Pork barrel merupakan salah satu bentuk

dari money politic yang merubah wujud uang dalam bentuk private

goods kedalam wujud public goods seperti pembangunan fasilitas publik

yang cakupanya lebih luas seperti Kabupaten, Kecamatan dan

Gampoeng. Selain itu dana yang di peroleh didapatkan dari pemerintah,

sehingga pork barrel merupakan klaim politik yang dilakukan oleh calon

anggota legislatif terhadap program pemerintah dengan tujuan untuk

mengikat pemilih selaku penerima program untuk memberikan suaranya

dalam hari pemungutan suara.

- Proses terjadinya praktik money politic di gampong dalam wilayah

Kabupaten Bireuen menurut responden (Masyarakat) sangat beragam.

Mulai dari pembagian sembako sampai dengan pemberian bibit tanaman.

Urutan yang paling banyak terjadi adalah dalam bentuk pembagian alat

untuk beribadah 41,33% (seperti sajadah, kupiah, dan jilbab). Kemudian

dalam bentuk pemberian uang (money) sekitar 27,34% dari praktik money

politic yang terjadi, dan selanjutnya dalam bentuk pemberian sembako

bagi masyarakat pemilih mencapai 20%.

- Unsur yang terlibat dalam kegiatan praktek money politic umumnya

hampir sama dengan daerah-daerah lain. Tim Sukses yang dibentuk oleh

Partai Politik atau perseorangan sangat tinggi peranannya. Hal ini tidak

menjadi rahasia umum lagi. Karena yang bergerak dilapangan tidak

mungkin dilakukan oleh calon legislatif. Lebih 40% menurut masyarakat

yang disurvei bahwa mekanisme money politic dilakukan melalui

mekanisme Tim Sukses. Mekanisme lain yang juga berpengaruh adalah

Page 49: Money Politic KIP Bireuen

46

melalui mekanisme kampanye. Dimana masyarakat yang ikut kampanye

akan diberikan uang untuk transport dan konsumsi ataupun uang saku.

- Pengawasan menjadi penting dalam meminimalisir pratik money politic

dalam Pemilu. Pengawasan pemilu dilimpahkan kepada suatu badan yang

disebut Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Menurut masyarakat yang di

survei, peran Bawaslu dalam menjamin kegiatan Pemilu dapat berjalan

lancar dan normatif, masih belum banyak membantu menuntaskan praktik

money politic dan Pemilu bersih. 62 % masyarakat menyatakan Bawaslu

kurang berperan dalam mengawasi pelaksanaan money politic. Malah

terdapat 14% menyatakan tidak berperan sama sekali. Namun 21,3%

masyarakat percaya bahwa tugas Bawaslu dalam mengawasi pemilu dari

kecurangan telah dilaksanakan dengan baik.

- Faktor terjadinya praktik money politic yaitu faktor ekonomi, faktor

ketidaktahuan, faktor tekanan, dan juga karena ikut-ikutan karena merasa

sesuatu yang biasa. Faktor pendukung maraknya praktik money politic di

Kabupaten Bireuen dalam pemilu legislatif 2014 diantaranya adalah

karena persoalan ekonomi. 32 persen responden yang disurvei setuju

bahwa faktor ekonomi penentu dalam mensukseskan praktik money

politic. Selain itu alasan pentehauan tidak tahu bahwa jual beli hak suara

melanggar norma moral dan agama berkaitan dengan pola budaya suatu

masyarakat. Ada indikasi kuat bahwa bagi kebanyakan masyarakat kita,

baik yang miskin maupun yang berkecukupan, masih merasa samar

tentang status immoralitas (jahatnya) praktik money politic, hal ini

Page 50: Money Politic KIP Bireuen

47

berdasarkan angket yang diteliti, ada 28,67% yang menyatakan karena

alasan tidak tahu. Faktor ikut-ikutan juga mempengaruhi yaitu menurut

masyarakat yang disurvei, terdapat 22 % menyatakan faktor ikut-ikutan

mempengaruhi terjadinya money politic. Selain itu, tidak dapat dielakkan

lagi bahwa faktor adanya tekanan dan pemaksaan dari tim sukses,

biasanya pada masyarakat tertentu, memaksa untuk mau menjual suaranya

dengan pemberian sesuatu. Apakah sesuatu itu uang, bantuan sembako

atau sekedar bantuan rasa aman di masa Pemilu.

- Pengambilan Kebijakan yang tepat sangat diperlukan untuk

menyadarkan masyarakat terhadap pendidikan politik, agar mengurangi

kecurangan dan terjadinya money politic di masyarakat.

4.2. Saran

Adapun saran-saran yang diberikan tim peneliti adalah sebagai berikut:

1. Perlunya mekanisme dan standar operasional pihak penyelenggara

dalam mengidentifikasi serta menindaklanjuti laporan terkait

pelanggaran Pemilu yaitu money politic.

2. Adanya sanksi tegas dari penyelanggara terhadap pelaku money politic

seperti membatalkan pencalonan bagi calon anggota legislatif yang

melakukan money politic.

3. Peran Badan Pengawas Pemilu dan Penegakan Hukum Terpadu lebih

maksimal dalam menindaklajuti pelaku money politic.

4. Adanya pengembangan dan pelatihan pendidikan politik serta sosialisi

Page 51: Money Politic KIP Bireuen

48

tentang tidak baiknya praktik money politics bagi masyarakat sehingga

tidak akan memilih kandidat yang melakukan money politic.

Page 52: Money Politic KIP Bireuen

49

DAFTAR PUSTAKA

Abisono, F 2012, Money in Political Contestation: An Etnographic Study inMonet Politics

Alexander, H 2003, Financing Politics: Politik Uang Dalam Pemilihan PeresidenSecara Langsung Pengalaman Amerika Serikat

---------, 2014, Kecenderungan Sikap & Perilaku Pemilih Dalam Pemilu Legislatif2014 Survei Nasional Presepsi dan Perilaku Masyarakat Dalam Pemilu2014, Poltracking, Jakarta. 89Data Media

----------, 2014, Sikap Dan Perilaku Pemilih Terhadap Politik Uang Survei DapilSeptember Oktober 2013 dan Survei Nasional Maret 2013, IndikatorPolitik Indonesia, Jakarta.

Badoh, I & Husodo A 2009, Memantau Korupsi Pemilu, ICW & TIFAFoundation, Jakarta.

Dwipayana, A 2009, Demokrasi Biaya Tinggi Dimensi Ekonomi Dalam ProsesDemokrasi Elektoral di Indonesia Pasca Orde Baru, Jurnal Ilmu Sosialdan Ilmu Politik, Vol. 12, No.2, hh. 257-279.

Dwipayana, A 2010, Karakter Pemibiayaan Partai Politik di Indonesia, Pada EraMultipartai Kompetitif, Makalah Seminar Internasional yangdiselenggarakan oleh Fakultas Hukum UGM bekerjasama denganKonrad Adenauer Stiftung (KAS) Jerman dengan tema PromotingTransparency and Accountability in Political Financing, pada hariSenin,tanggal 19 Juli 2010 di Hotel Saphir, Yogyakarta.

Dwipayana, A 2013, Pembiayaan Gotong Royong Studi Tentang DinamikaPembiyaan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan PadaPeriode 1993-1999, Ringkasan Desertasi, Program Pascasarjana Program Studi IlmuPolitik, Fakultas Sosial dan Politik UGM, Yogyakarta.

Komarudin 1991, Uang Di Negara Berkembang, BumiAksara, Jakarta. 87

Kompas,28April2014: 14

Rifai, A 2003, Politik Uang Dalam Pemilihan Kepala Daerah, Gahalia Indonesia,Jakarta.

Robetson, D 1963, Uang, Bhratara, Jakarta.

Page 53: Money Politic KIP Bireuen

50

Schaffer, F &Schadler, A, What Is Vote Buying, dalam Schaffer (ed.) 2007,“Election For SaleThe Causes and Consequences of Vote Buying”,Lynne Reinner Publisher, London.

Stoke, S 2009, Pork by Any Other Name Building Conceptual Scheme ofDistributive Politics,dalamkolaborasibuku yang di editorioleh ValeriaBrusco, Thad Dunning, & MarceloNazareno.

Sumarto, M 2014, Perlindungan Sosial Dan Klientelisme Makna Politik BantuanTunai Dalam Pemilihan Umum, Gadjah Mada University Press,Yogyakarta.

Wiryawan, B 2014 ,Politik Berbasis Bitingan, Kedaultan Rakyat, Januari16,http://kr.co.id/liputan-khusus/opini/2581/politik-berbasis-bitingan.kr. dilihat pada 5 Mei2014, pkl 09.46

http://aceh.tribunnews.com/2014/04/30/potret-buram-pemilu-legislatif-2014diakses pada Mei 2015.

http://aceh.antaranews.com/berita/9179/pemilu--lsm-ingatkan-caleg-tidak-terlibat-politik-uang diakses pada Mei 2015.

http://sinarharapan.co/news/read/140412113/Pemilu-di-Aceh-Terjadi-Intimidasi-dan-Politik-Uang-diakses pada Mei 2015.

Page 54: Money Politic KIP Bireuen

51

Foto Dokumen Wawancara di Kec Kota Juang

51

Foto Dokumen Wawancara di Kec Kota Juang

51

Foto Dokumen Wawancara di Kec Kota Juang

Page 55: Money Politic KIP Bireuen

52

Foto Dokumen wawancara di Kec.Peudada

52

Foto Dokumen wawancara di Kec.Peudada

52

Foto Dokumen wawancara di Kec.Peudada

Page 56: Money Politic KIP Bireuen

53

Foto Dokumen Wawancara Kec.Juli

53

Foto Dokumen Wawancara Kec.Juli

53

Foto Dokumen Wawancara Kec.Juli