Upload
others
View
9
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
1
LAPORAN PENELITIAN
MODEL PENDIDIKAN ENTREPRENEURSHIP
DI PESANTREN
(Studi Kasus di Pondok Pesantren Salaf Al Ittihad Poncol dan Pondok Pesantren
Modern Bina Insani Susukan Kabupaten Semarang)
Disusun oleh:
Dr. Fatchurrohman, S.Ag., M.Pd
Ruwandi, S.Pd., MA
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN PADA MASYARAKAT
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2 0 1 7
2
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرمحن الرحيم
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah mencurahkan
rahmat-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik tanpa
ada halangan yang berarti.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa laporan ini dapat terselesaikan dengan
baik karena dukungan berbagai pihak, baik langsung maupun tidak langsung.
Oleh karena itu perkenankanlah kami menyampaikan rasa terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd selaku Rektor IAIN Salatiga
2. Bapak Dr. Adang Kuswaya, M.Ag selaku Kepala LP2M IAIN Salatiga
3. Bapak Dr. Agus Waluyo, M.Ag selaku konsultan penelitian
4. Bapak KH.Munzaini, selaku Pengasuh PP Bina Insani Susukan Kabupaten
Semarang
5. Bapak Ustadz Chusni Mubarok, selaku pengurus PP al Ittihad Poncol
6. Seluruh informan yang telah memberikan informasi dan data apa adanya
yang kami perlukan dalam rangka kegiatan penelitian ini.
Akhirnya, kami berharap semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi
semua pihak yang mempunyai kepedulian terhadap peningkatan kualitas
pendidikan, terutama di Pondok pesantren.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Salatiga, November 2017
Peneliti,
3
DAFTAR ISI
Hlm.
Halaman Judul ………………………………………………………....... i
Kata Pengantar ………………………………………………………….. iv
Daftar Isi ……………………………………………………………....... v
Abstract ………………………………………………………………….. vi
BAB I : PENDAHULUAN …………………………………... 1
A. Background…. ………………………………………... 1
B. Objectives ……………………………… .………….... 2
C. Significance ……. …..……………………………….... 3
BAB II : KAJIAN TEORI DAN PENELITIAN YANG
RELEVAN ………..………………………………….
5
A. Kajian Teori ……………….…………………………. 5
1. Pondok Pesantren…………………………... …….. 5 2. Pendidikan entrepreneurship …………..………….. 10 3. Hasil Belajar ….…………………………………… 20 B. Penelitian yang relevan ............ ..................................... 21
BAB III : METODE PENELITIAN ........................................... 23
A. Paradigma penelitian ................... .…............................. 23
B. Jenis penelitian ….. ………...…………………………. 24
C. Subjek penelitian ……………………………………… 24
D. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data …………… 25
E. Pemeriksaan Kesahihan Data …………………………. 26
E. Analisis Data …………………………………………. 26
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN …….. 28
A. Hasil Penelitian............. ...............…………………...... 28
1. Profil pesantren ........................................................ 28 2. Pendidikan entrepreneurship di pesantren ............... 30 B. Pembahasan .................................................................. 38
1. Konsep pendidikan entrepreneurship ....................... 38 2. Pelaksanan pendidikan entrepreneurship ................. 45 3. Dampak pendidikan entrepreneurship ...................... 54 4. Kendala dan solusi ................................................... 55 BAB V : SIMPULAN DAN SARAN ......................................... 59
A. Simpulan ........................................................................ 59
B. Saran .............................................................................. 60
Daftar Pustaka ……………………………………………........................ 62
4
Abstrak
Pesantren pada umumnya lebih mengutamakan pengajaran materi agama
dan akhlak, tetapi mengabaikan keterampilan. Akibatnya, lulusan pesantren
seringkali menjadi gagap saat kembali ke masyarakat. Menghadapi keadaan
demikian, pendidikan entrepreneurship menjadi salah satu solusi konkrit.
Penelitian ini memaparkan upaya pesantren tersebut dalam pendidikan
entrepreneurship. Fokus masalah yang dikaji adalah 1) Bagaimana konsep
entrepreneurship di pesantren; 2) Bagaimana pelaksanaan pendidikan
entrepreneurship?; 3) Bagaimana dampak pendidikan entrepreneurship? 4) Apa
problematika dihadapi dan solusi untuk mengatasinya ?
Penelitian ini adalah jenis kualitatif dengan menggunakan pendekatan
studi kasus (case study). Analisis data penelitian menggunakan model interaktif
Miles & Huberman.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa : 1) pendidikan kewirausahaan
diarahkan untuk mempersiapkan santri dalam menghadapi kehidupan kelak
setelah lulus. Dalam hal pekerjaan sebenarnya sudah diatur oleh Allah, namun
manusia harus berusaha untuk mempersiapkan diri dengan keterampilan
secukupnya; 2) kegiatan kewirausahaan di pesantren dilaksanakan melalui
beberapa jalur, yaitu a) jalur program khusus unggulan; b) jalur kurikuler; c) jalur
ekstrakurikuler; dan d) jalur non-kurikuler; 3) kegiatan kewirausahaan di
pesantren mampu memberi dampak ekonomi dan life skill kepada para santri; 4)
masalah yang muncul dalam kegiatan kewirausahaan di pesantren adalah masalah
berasal dari : a) human resources; b) masalah teknologik; c) masalah manajemen.
Untuk mengatasi masalah tersebut, pihak pesantren selalu melakukan kordinasi
dengan pihak terkait dan berusaha memperbaiki manajemen kewirausahaannya.
Kata kunci: pesantren, entrepreneurship, ngabdi ndalem, keterampilan terapan.
5
BAB I
PENDAHULUAN
A. Background
Pendidikan di pesantren umumnya lebih memprioritaskan materi
tentang agama dan akhlak namun minus keahlian baik hard skill maupun soft
skill. Akibatnya, lulusan pesantren yang jumlahnya cukup signifikan
seringkali menjadi gagap saat terjun ke masyarakat. Sulit mencari kerja dan
kalaupun bekerja, mayoritas dari mereka menjadi pekerja tidak professional,
seperti menjadi pedagang biasa di pasar-pasar tradisional. Banyak pula
alumni pesantren yang menganggur, padahal biaya dan waktu yang mereka
habiskan untuk menuntut ilmu di ponpes tidak sedikit. Bisa hingga belasan
tahun atau hampir sama dengan mereka yang mengenyam pendidikan formal
hingga lulus dari perguruan tinggi. Padahal, seperti yang lain, para santripun
akan menghadapi tantangan yang tak kalah kompleksnya di era persaingan
global (Ririn Handayani, 2013:2).
Menghadapi keadaan demikian, pendidikan entrepreneurship menjadi
salah satu langkah konkrit untuk lebih memberdayakan pesantren. Selain
semangat kemandirian yang sudah menjadi ciri khasnya, penting pula
mengajarkan berbagai keahlian dan semangat kewirausahaan kepada para
santri agar kelak setelah lulus mereka dapat meneruskan hidup dengan
bekerja secara profesional. Dengan demikian, pesantren tidak hanya
mengajarkan ilmu-ilmu agama, namun para santri juga dibekali berbagai hard
skill dan soft skill, semangat entrepreneurship, dan kecakapan teknologi
informasi yang dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat modern.
Pondok Pesantren Bina Insani Susukan Kabupaten Semarang
merupakan pesantren yang sampai sekarang masih banyak diminati
masyarakat. Menurut Azyumardi Azra (Malik M., dkk, 2007:ix), dinamika
inovasi pembaharuan di pondok pesantren, pada sebagian atau keseluruhan
aspek telah menyebabkan pesantren dan lembaga sejenisnya mampu survive
hingga hari ini. Dalam hal ini, pendidikan entrepreneurship di pesantren
merupakan salah satu inovasi untuk survival pesantren itu sendiri di tengah
6
arus tantangan modernitas yang ada. Sementara itu, Pondok Pesantren Bina
Insani Susukan dan Pondok Pesantren Al Ittihad Poncol Kabupaen Semarang
merupakan salah pesantren yang sampai sekarang masih eksis.
Penelitian ini memaparkan tentang upaya pesantren tersebut dalam
pendidikan entrepreneurship kepada para santri.
B. Objectives
Ada beberapa fokus masalah yang dikaji melalui penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana konsep entrepreneurship (kewirausahaan) yang dikembangkan
di pesantren Bina Insani Susukan dan Ponpes Al Ittihad Poncol Kabupaten
Semarang
2. Apa bentuk kegiatan di pesantren yang menopang penanaman nilai
entrepreneurship bagi para santri ?
3. Bagaimana pelaksanaan pendidikan entrepreneurship di pesantren Bina
Insani Susukan dan Al Ittihad Poncol Kabupaten Semarang?
4. Bagaimana dampak pendidikan entrepreneurship di pesantren terhadap
performa para santri, lulusan dan masyarakat ?
5. Apa problematika yang dihadapi pesantren dalam pendidikan
entrepreneurship ? Bagaimana solusi untuk mengatasinya ?
C. Significance
1. Bagi IAIN
Bagi IAIN Salatiga, hasil penelitian ini merupakan informasi yang
sangat berharga bagi upaya pengembangan program pengabdian kepada
masyarakat. Pondok pesantren merupakan salah satu lahan program
pengabdian IAIN Salatiga (LP2M), yaitu melalui pembinaan pondok
pesantren agar eksistensinya tetap kokoh di tengah arus perubahan global
yang sangat cepat. Tema entrepreneurship mungkin dapat ditawarkan
IAIN Salatiga ke berbagai pondok pesantren di wilayah Salatiga dan
sekitarnya untuk memenuhi maksud tersebut di atas.
2. Bagi Pondok Pesantren
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai refleksi diri terkait
dengan pengembangan nilai-nilai entrepreneurship. Kini, pengembangan
7
nilai entrepreneurship bagi santri merupakan kebutuhan dalam rangka
mempersiapkan santri memasuki kehidupan yang semakin kompleks di
hari kemudian. Internalisasi nilai-nilai tersebut penting agar para santri
mampu menghadapi berbagai masalah dalam rangka melaksanakan misi
dakwah dan kehidupannya.
3. Bagi Kementerian Agama
Bagi Kementerian Agama, hasil penelitian ini berguna untuk
mengetahui dinamika pondok pesantren di daerah-daerah seluruh
Nusantara. Informasi tersebut kemudian dapat dijadikan sebagai
konsideran untuk menentukan kebutuhan pembinaan pada masing-masing
daerah atau pesantren.
Isu entrepreneurship merupakan isu yang menarik dalam dunia
pesantren, mengingat pesantren memiliki potensi yang besar bagi
pengembangan nilai-nilai entrepreurship. Santri adalah peserta didik yang
sangat potensial dan cocok dengan dunia entrepreneurship karena mereka
telah terbiasa dengan model pendidikan non-formal. Fleksibelitas sistem
pendidikan di pesantren, sejalan dengan sikap-sikap entrepreneur yang
mengutamakan keuletan, kreativitas dan inovasi. Dengan demikian,
Kementerian Agama dapat memetakan potensi entrepreneurship yang
dapat dikembangkan di pondok pesantren sesuai dengan karakteristik
pesantren dan potensi daerahnya.
8
BAB II
KAJIAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN
A. Kajian Teori
1. Pondok Pesantren
a) Pengertian dan tujuan
Pondok pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan tradisional
yang para siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan
guru yang lebih dikenal dengan sebutan Kyai dan mempunyai asrama
untuk menginap santri. Santri tersebut berada dalam kompleks yang
juga menyediakan masjid untuk beribadah, ruang untuk belajar, dan
kegiatan keagamaan lainnya. Kompleks ini biasanya dikelilingi oleh
tembok untuk dapat mengawasi keluar masuknya para santri sesuai
dengan peraturan yang berlaku (Zamakhsyari Dhofier, 1983:18).
Pondok Pesantren merupakan dua istilah yang menunjukkan
satu pengertian. Pesantren menurut pengertian dasarnya adalah tempat
belajar para santri, sedangkan pondok berarti rumah atau tempat
tinggal sederhana terbuat dari bambu. Di samping itu, kata pondok
mungkin berasal dari Bahasa Arab funduq yang berarti asrama atau
hotel.
Diantara tujuan dan fungsi pesantren adalah sebagai lembaga
penyebaran agama Islam adalah, agar ditempat tersebut dan sekitar
dapat dipengaruhi sedemikian rupa, sehingga yang sebelumnya tidak
atau belum pernah menerima agama Islam dapat berubah
menerimanya bahkan menjadi pemeluk-pemeluk agama Islam yang
taat. Sedangkan pesantren sebagai tempat mempelajari agama Islam
adalah, karena memang aktifitas yang pertama dan utama dari sebuah
pesantren diperuntukkan mempelajari dan mendalami ilmu
pengetahuan agama Islam (Rusli, 2010:4).
b) Elemen
9
Elemen dasar pondok meliputi : 1) pondok; 2) masjid; 3)
pengajaran kitab klasik; 4) santri; 5) kyai. Masing-masing elemen
dapat diuraikan secara singkat pada paparan di bawah ini.
Pondok merupakan asrama pendidikan Islam tradisional di mana
para siswanya (santri) tinggal bersama di bawah bimbingan seorang
para guru yang dikenal dengan Kyai (Zamakhsyari Dhofier, 1983:49).
Keberadaan masjid tidak dapat dipisahkan dengan pesantren dan
merupakan tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri,
terutama dalam melaksanakan ibadah sholat lima waktu, khotbah dan
salat Jumat dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik. Menurut
Zamakhsyari Dhofir (1983:49), kedudukan masjid sebagai sebagai
pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan manifestasi
universalisme dari sistem pendidikan Islam tradisional.
Pengajaran kitab klasik diberikan sebagai upaya untuk
meneruskan tujuan utama pesantren yaitu mendidik calon-calon ulama
yang setia terhadap paham Islam tradisional. Pengajaran kitab-kitab
Islam klasik oleh pengasuh pondok (Kyai) atau ustaz biasanya
menggunakan sistem sorogan, wetonan, dan bandongan. Adapun
kitab-kitab Islam klasik yang diajarkan di pesantren, menurut
Zamakhsyari Dhofir (1983:50), dapat digolongkan ke dalam 8
kelompok, yaitu: 1) Nahwu dan Sharaf; 2) Fiqih; 3) Ushul Fiqh; 4)
Hadits; 5) Tafsir; 6) Tauhid; 7) Tasawuf dan Etika; 8) Cabang-cabang
lain seperti Tarikh dan Balaghah.
Santri merupakan sebutan bagi para siswa yang belajar
mendalami agama di pesantren. Biasanya para santri ini tinggal di
pondok atau asrama pesantren yang telah disediakan, namun ada pula
santri yang tidak tinggal di tempat yang telah disediakan tersebut yang
biasa disebut dengan santri kalong sebagaimana yang telah penulis
kemukakan pada pembahasan di depan.
Istilah Kyai berasal dari bahasa Jawa (Manfred Ziemek,
1986:130). Kata Kyai mempunyai makna yang agung, keramat, dan
10
dituahkan. Namun pengertian paling luas di Indonesia, sebutan Kyai
dimaksudkan untuk para pendiri dan pemimpin pesantren, yang
sebagai muslim terhormat telah membaktikan hidupnya untuk Allah
SWT serta menyebarluaskan dan memperdalam ajaran-ajaran serta
pandangan Islam melalui pendidikan.
c) Tipologi
Seiring perkembangan zaman, serta tuntutan masyarakat atas
kebutuhan pendidikan Umum, kini banyak pesantren yang
menyediakan menu pendidikan umum dalam pesantren. kemudian
muncul istilah pesantren salaf dan pesantren khalaf, pesantren salaf
adalah pesantren yang murni mengajarkan materi keagamaan,
sedangkan pesantren khalaf menggunakan sistem pengajaran modern
dan kurikulum pemerintah (Rusli, 2010:7).
d) Prinsip-prinsip pendidikan
Menurut Nurcholis Madjid (dalam Nata 2001:113), prinsip yang
melekat pada pendidikan pesantren, yaitu : 1) teosentrik; 2) ikhlas
dalam pengabdian; 3) kesederhanaan; 4) kolektifitas (barakatul
jama’ah); 5) mengatur kegiatan bersama; 6) kebebasan terpimpin; 7)
kemandirian; 8) tempat menuntut ilmu dan mengabdi; 9)
mengamalkan ajaran agama; 10) belajar di pesantren tidak mencari
ijazah; 11) kepatuhan mutlak kepada kyai.
e) Pola Hubungan Kyai dan santri
Pola relasi kyai – santri di pesantren dapat dibedakan menjadi
tiga bagian, yaitu : 1) hubungan guru dan murid; 2) hubungan orang
tua anak; dan 3) hubungan patron client.
Dalam hubungan guru dan murid, menurut Nukkholis Madjid
(1997:23) santri akan selalu memandang kyai atau gurunya sebagai
orang yang mutlak harus dihormati, bahkan dianggap memiliki
kekuatan ghaib yang membawa keberuntungan (berkah) atau celaka
(mudarat). Kecelakaan yang paling ditakuti santri adalah kalau sampai
ia disumpahi sehingga ilmunya tidak bermanfaat. Oleh karena itu
https://id.wikipedia.org/wiki/Pesantren_Salafhttps://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Pesantren_Modern&action=edit&redlink=1https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Pesantren_Modern&action=edit&redlink=1https://id.wikipedia.org/wiki/Kurikulum
11
santri selalu berusaha untuk taat kepada kyai agar ilmunya bermanfaat
dan menghindarkan diri dari sikap yang mengundang kutukan kyai.
Dhofier (1980:82) berpendapat bahwa, dalam tradisi pesantren,
rasa hormat dan kepatuhan santri kepada kyai bersifat mutlak dan
tidak boleh putus, berlaku seumur hidup si murid. Melupakan kyai
dianggap sebagai suatu aib besar karena dianggap akan
menghilangkan barakah kyai, ilmunya tidak bermanfaat. Menurut
Nurkholis Madjid (1997:24), relasi kyai dan santri tersebut salah
satunya dipengaruhi oleh kajian terhadap kitab ta’lim muta’alim karya
Al Zarnuji. Menurut Horikhosi, yang mendasari kekuatan kyai adalah
kredibilitas moral dan kemampuan mempertahankan pranata sosial.
Ahmad Tafsir menambahkan bahwa kewibawaan kyai juga bersumber
dari kemampuan supra rasional yang dimilikinya, walaupun
sebenarnya sulit dibuktikan kebenarannya namun kepercayaan
masyarakat akan hal tersebut sangat besar.
Relasi kyai dan santri, menurut Galba (2004:63) tidak hanya
sebatas hubungan guru – murid, akan tetapi lebih dari itu yaitu
hubungan orang tua dan anak. Peranan kyai sebagai orangtua, kyai
merupakan tempat dimana santri mengadu, terutama jika santri
mempunyai masalah yang tidak dapat dipecahkan sendiri (Galba,
2004:64).
Hubungan patron-client berupa hubungan kyai dan santri yang
diwarnai kepercayaan, wibawa, dan karisma, dimana hal tersebut
merupakan nilai-nilai tradisi yang terdapat di pesantren. Nilai-nilai
yang terdapat di pesantren menurut Sukamto (1999:79) mengandung
tiga unsur yang mengarah kepada terbentuknya hubungan patron-
client, yaitu: 1) hubungan patron-client didasarkan pada pertukaran
yang tidak seimbang, yang mencerminkan perbedaan status; 2)
hubungan patron-client bersifat personal. Pola resiprositas yang
personal antara kyai dan santri menciptakan rasa kepercayaan dan
ketergantungan di dalam mekanisme hubungan tersebut bahkan
12
penghormatan santri ke kyai yang cenderung bersifat kultus individu;
3) hubungan patron tersebar menyeluruh, fleksibel dan tanpa batas
kurun waktunya. Hal ini dimungkinkan karena asosialisasi nilai ketika
menjadi santri berjalan bertahun-tahun.
2. Pendidikan entrepreneurship
a. Pengertian dan nilai entrepreneurship
Entrpreneurship, menurut Kauffman didefinisikan sebagai :
“..the transformation of an innovation into a sustainable enterprise
that generates value … entrepreneurship merge the visionary and the
pragmatic...”. Babson mendefinisikan entrepreneurship : “..is a way
of thinking and acting tha is opportunity obsessed holistic in approach
and leadership balanced; sedangkan pendidikan entrepreneurship
diartikan : “…is the exposure to and understanding of the skill,
knowledge and process of innovation and new venture creation
(Jeane, 2010:22). Dengan demikian, dapat dipahami bahwa
entrepreneurship adalah cara berpikir dan bertindak kreatif dan
inovatif dengan senantiasa melihat peluang secara menyeluruh yang
dikelola dengan pendekatan kepemimpinan visioner yang seimbang.
Menurut Novan (2012:39), ada nilai keunggulan pribadi yang
dimiliki oleh seorang entrepreneurship, yaitu : 1) percaya diri; 2)
orisinalitas; 3) berorientasi pada manusia; 4) berorientasi hasil kerja;
5) berorientasi masa depan; 6) berani mengambil resiko. Cerminan
nilai-nilai keunggulan pribadi tersebut mewujud dalam perilaku
sebagai berikut.
No Nilai entrepreneurship Cerminan perilaku
1 Percaya diri Yakin dan Optimis
Mandiri
Kepemimpinan dan dinamis
2 Orisinalitas Kreatif
Inovatif
Insiatif / proaktif
3 Berorientasi pada manusia Suka bergaul dengan orang lain
Komitmen
13
Responsif terhadap saran dan
kritik
4 Berorientasi hasil kerja Ingin berprestasi
Teguh pendirian
Tekun
Bekerja keras
Penuh semangat
5 Berorientasi masa depan Memiliki visi / cita-cita
Ada upaya mencapai cita-cita
Melakukan investasi
6 Berani mengambil resiko Berani mencoba hal baru
Tidak takut gagal
Dapat belajar dari kegagalan
Menurut Scarborough (Novan,2012:45), karakter seorang
entrepreneurship yang berhasil adalah: 1) proaktif, punya inisiatif,
tegas; 2) berorientasi pada prestasi; 3) komitmen kepada orang lain; 4)
bertanggung jawab; 5) lebih memilih resiko moderat; 6) percaya diri;
7) selalu menghendaki umpan balik; 8) berorientasi ke depan; 9)
semangat kerja keras; 10) mampu memanaj; 11) selalu menilai
prestasi dengan uang. Sedangkan menurut Pearce (Winardi, 2004:40),,
ciri-ciri entrepreneurship yang berhasil adalah : 1) komitmen dan
determinasi yang tiada batas; 2) dorongan atau rangsangan kuat untuk
mencapai prestasi; 3) orientasi ke arah peluang-peluang serta tujuan;
4) lokus pengendalian internal; 5) toleransi terhadap ambiguitas; 6)
keterampilan dalam menerima resiko; 7) kurang dirasakan akan status
dan kekuasaan; 8) kemampuan untuk memecahkan masalah; 9)
kebutuhan tinggi untuk mendapatkan umpan balik; 10) kemampuan
untuk menghadapi kegagalan secara efektif.
Dari beberapa paparan tersebut, nilai-nilai entrepreneurship
dapat diringkas sebagai berikut.
No Nilai entrepreneurship Indikator
1 Percaya diri Keyakinan, kemandirian,
individualitas, optimis
2 Berorientasi tugas dan hasil Kebutuhan akan prestasi,
berorientasi pada keuntungan,
14
tekun dan tabah, kerja keras,
energik, berinisiatif
3 Pengambilan resiko Berani mengambil resiko
Menyukai tantangan
4 Kepemimpinan Bertingkah laku sebagai
pemimpin, dapat bergaul dengan
orang lain, suka terhadap saran
kritik yang membangun
5 Keorisinal Inovatif
Kreativitas tinggi
Fleksibel
Berjejaring
6 Berorientasi ke depan Memiliki cara pandang ke depan
7 Jujur dan tekun Memiliki keyakinan bahwa
hidup itu kerja,
Bekerja itu ibaah
b. Model pendidikan entrepreneurship
Menurut Anita (2012:7), pendidikan entrepreneurship di
sekolah dapat diinternalisasikan melalui berbagai cara, yaitu : 1)
terintegrasi dalam seluruh mata pelajaran; 2) terpadu dalam kegiatan
ekstrakurikuler; 3) melalui pengembangan diri; 4) perubahan
pelaksanaan dari teori ke praktik; 5) pengintegrasian ke dalam bahan
ajar; 6) pengintegrasian melalui kultur sekolah; 7) pengitegrasian
melalui muatan lokal. Masing-masing model pendidikan
entrepreneuship dapat diuraikan sebagai berikut.
1) Terintegrasi dalam seluruh mata pelajaran
Model pendidikan kewirausahaan yang terintegrasi dalam
proses pembelajaran dilakukan dengan penginternalisasian nilai-
nilai kewirausahaan ke dalam pembelajaran, sehingga hasilnya
berupa diperolehnya kesadaran akan pentingnya nilai-nilai,
terbentuknya karakter wirausaha dan pembiasaan nilai-nilai
kewirausahaan ke dalam tingkah laku peserta didik sehari-hari
melalui proses pembelajaran baik yang berlangsung di dalam
maupun di luar kelas pada semua mata pelajaran.
15
Kegiatan pembelajaran, selain untuk menjadikan peserta
didik menguasai kompetensi (materi) yang ditargetkan, dapat juga
dirancang dan dilakukan untuk menjadikan peserta didik mengenal,
menyadari/peduli, dan menginternalisasi nilai-nilai kewirausahaan
dalam perilaku keseharian. Langkah ini dilakukan dengan cara
mengintegrasikan nilai-nilai kewirausahaan ke dalam pembelajaran
di seluruh mata pelajaran melalui metode pembelajaran maupun
melalui sistem penilaian.
Integrasi pendidikan kewirausahaan di dalam mata pelajaran
dilaksanakan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan
evaluasi pembelajaran pada semua mata pelajaran. Pada tahap
perencanaan, silabus dan RPP dirancang agar muatan maupun
kegiatan pembelajarannya memfasilitasi untuk mengintegrasikan
nilai-nilai kewirausahaan. Cara menyusun silabus yang terintegrsi
nilai-nilai kewirausahaan dilakukan dengan mengadaptasi silabus
yang telah ada dengan menambahkan satu kolom dalam silabus
untuk mewadahi nilai-nilai kewirausahaan yang akan
diintegrasikan. Sedangkan cara menyususn RPP yang terintegrasi
dengan nilai-nilai kewirausahaan dilakukan dengan cara
mengadaptasi RPP yang sudah ada dengan menambahkan pada
materi, langkah-langkah pembelajaran atau penilaian dengan nilai-
nilai kewirausahaan.
Pengintegrasian nilai-nilai kewirausahaan dalam silabus dan
RPP dapat dilakukan melalui langkah-langkah berikut:
(a) Mengkaji SK dan KD untuk menentukan apakah nilai-nilai
kewirausahaan sudah tercakup didalamnya.
(b) Mencantumkan nilai-nilai kewirausahaan yang sudah
tercantum di dalam SKdan KD kedalam silabus.
(c) Mengembangkan langkah pembelajaran peserta didik aktif
yang memungkinkan peserta didik memiliki kesempatan
16
melakukan integrasi nilai dan menunjukkannya dalam
perilaku.
(d) Memasukan langkah pembelajaran aktif yang terintegrasi nilai-
nilai kewirausahaan ke dalam RPP.
2) Terpadu dalam kegiatan Ekstrakurikuler
Kegiatan Ekstra Kurikuler adalah kegiatan pendidikan di
luar mata pelajaran dan pelayanan konseling untuk membantu
pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi,
bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus
diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang
berkemampuan dan berkewenangan di sekolah. Visi kegiatan ekstra
kurikuler adalah berkembangnya potensi, bakat dan minat secara
optimal, serta tumbuhnya kemandirian dan kebahagiaan peserta
didik yang berguna untuk diri sendiri, keluarga dan masyarakat.
3) Melalui pengembangan diri
Pengembangan diri merupakan kegiatan pendidikan di luar
mata pelajaran sebagai bagian integral dari kurikulum sekolah.
Kegiatan pengembangan diri merupakan upaya pembentukan
karakter termasuk karakter wirausaha dan kepribadian peserta didik
yang dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling berkenaan
dengan masalah pribadi dan kehidupan sosial, kegiatan belajar, dan
pengembangan karir, serta kegiatan ekstra kurikuler. Dalam
program pengembangan diri, perencanaan dan pelaksanaan
pendidikan kewirausahaan dapat dilakukan melalui pengintegrasian
kedalam kegiatan sehari-hari sekolah misalnya kegiatan „business
day‟ (bazar, karya peserta didik, dll).
4) Perubahan pelaksanaan pembelajaran dari teori ke praktik
Dengan cara ini, pembelajaran kewirausahaan diarahkan
pada pencapaian tiga kompetansi yang meliputi penanaman
karakter wirausaha, pemahaman konsep dan skill, dengan bobot
17
yang lebih besar pada pencapaian kompetensi jiwa dan skill
dibandingkan dengan pemahaman konsep. Dalam struktur
kurikulum SMA, pada mata pelajaran ekonomi ada beberapa
Kompetensi Dasar yang terkait langsung dengan pengembangan
pendidikan kewirausahaan. Mata pelajaran tersebut merupakan
mata pelajaran yang secara langsung (eksplisit) mengenalkan nilai-
nilai kewirausahaan, dan sampai taraf tertentu menjadikan peserta
didik peduli dan menginternalisasi nilai-nilai tersebut. Salah satu
contoh model pembelajaran kewirausahaan yang mampu
menumbuhkan karakter dan perilaku wirausaha dapat dilakukan
dengan cara mendirikan kantin kejujuran, dsb.
5) Pengintegrasian ke dalam bahan/buku ajar
Bahan/buku ajar merupakan komponen pembelajaran yang
paling berpengaruh terhadap apa yang sesungguhnya terjadi pada
proses pembelajaran. Banyak guru yang mengajar dengan semata-
mata mengikuti urutan penyajian dan kegiatan-kegiatan
pembelajaran (task) yang telah dirancang oleh penulis buku ajar,
tanpa melakukan adaptasi yang berarti. Penginternalisasian nilai-
nilai kewirausahaan dapat dilakukan ke dalam bahan ajar baik
dalam pemaparan materi, tugas maupun evaluasi.
6) Melalui kutur sekolah
Kultur sekolah adalah suasana kehidupan sekolah dimana
peserta didik berinteraksi dengan sesamanya, guru dengan guru,
konselor dengan sesamanya, pegawai administrasi dengan
sesamanya, dan antar anggota kelompok masyarakat sekolah.
Pengembangan nilai-nilai dalam pendidikan kewirausahaan dalam
budaya sekolah mencakup kegiatan-kegiatan yang dilakukan kepala
sekolah, guru, konselor, tenaga administrasi ketika berkomunikasi
dengan peserta didik dan mengunakan fasilitas sekolah, seperti
kejujuran, tanggung jawab, disiplin, komitmen dan budaya
18
berwirausaha di lingkungan sekolah (seluruh warga sekolah
melakukan aktivitas berwirausaha di lngkungan sekolah).
7) Melalui muatan lokal
Mata pelajaran ini memberikan peluang kepada peserta
didik untuk mengembangkan kemampuannya yang dianggap perlu
oleh daerah yang bersangkutan. Oleh karena itu mata pelajaran
muatan lokal harus memuat karakteristik budaya lokal,
keterampilan, nilai-nilai luhur budaya setempat dan mengangkat
permasalahan sosial dan lingkungan yang pada akhirnya mampu
membekali peserta didik dengan keterampilan dasar (life skill)
sebagai bekal dalam kehidupan sehingga dapat menciptakan
lapangan pekerjaan. Contoh anak yang berada di ingkungan sekitar
pantai, harus bisa menangkap potensi lokal sebagai peluang untuk
mengelola menjadi produk yang memiliki nilai tambah, yang
kemudian diharapkan anak mampu menjual dalam rangka untuk
memperoleh pendapatan.
c. Proses pendidikan entrepreneurship
Cope dan Watt menyatakan bahwa kejadian kritis (critical-
incident) yang dialami wirausaha dalam kegiatan usahanya sehari-hari
mengandung muatan emosional yang sangat tinggi dan pembelajaran
tingkat tinggi. Cope dan Watt menekankan pentingnya pembimbingan
(mentoring) untuk mengintepretasikan kejadian kritis yang dihadapi
sebagai pembelajaran, sehingga hasil pembelajarannya menjadi
efektif. Sulivan menekankan pentingnya client-mentor matching
dalam keberhasilan pembimbingan. Ia mengatakan bahwa
pengetahuan, keterampilan, dan pembelajaran dapat difasilitasi ketika
dibutuhkan wirausaha. Dengan memperhatikan tingkat siklus hidup
wirausaha. Lebih jauh, Rae menggambarkan bahwa pengembangan
kemampuan wirausaha dipengaruhi oleh motivasi, nilai-nilai individu,
kemampuan, pembelajaran, hubungan-hubungan, dan sasaran yang
diinginkannya. Sementara itu Minniti dan Bygrave membuktikan
19
dalam model dinamis pembelajaran wirausaha, bahwa kegagalan dan
keberhasilan wirausaha akan memperkaya dan memperbaharui stock
of knowledge serta sikap wirausaha sehingga ia menjadi lebih mampu
dalam berwirausaha (Anita,2012:12).
Materi keterampilan yang diajarkan dalam pendidikan
kewirausahaan meliputi: 1) fakta versus mitos menentang
entrepreneurship; 2) menguji realitas; 3) kreativitas; 4) toleransi
ambiguitas serta sikap-sikap; 5) mengidentifikasi peluang; 6) menilai
usaha; 7) tindakan mendirikan usaha; 8) strategi usaha; 9) menilai
karier; 10) penilaian lingkungan; 11) penilaian etikal; 12)
menyelesaikan transaksi; 13) berjejaring; 14) memanen (Winardi,
2004:197).
Sementara itu, agar para peserta didik betah dalam mengikuti
pendidikan kewirausahaan, beberapa hal yang dapat dilakukan adalah
: 1) menghargai keseimbangan antara bekerja dan hidup; 2) kesadaran
tujuan perusahaan; 3) menikmati pekerjaannya; 4) menerima
keragaman; 5) Integritas : jujur dan bangga; 6) manajemen
partisipatif; 7) lingkungan belajar (Zimmerer&Scorborough,
2009:436).
d. Kendala-kendala entrepreneurship
Menurut Karl Vesper (Winardi,2004:35), kendala utama dalam
kegiatan kewirausahaan adalah karena tidak adanya konsep yang jelas
sebagai pegangan. Lebih lengkapnya, dia menyebutkan bahwa
kendala-kendala kewirausahaan meliputi ; a) tiadanya konsep
bertahan; b) kurang dikenalnya pasar; c) kurangnya keterampilan
teknikal; d) kurang modal awal; e) kurangnya pengetahuan tentang
bisnis; f) puas dengan diri sendiri, non motivasi; g) stigma sosial; h)
keterikatan pada pekerjaan; i) distraksi-distraksi karena tekanan
waktu; j) kendala-kendala yuridis, pengaturan birokrasi yang kaku; k)
proteksionisme, monopoli; l) kendala-kendala karena paten-paten
3. Hasil Belajar
20
a. Pengertian
Hasil belajar merupakan perubahan perilaku yang terjadi pada
individu setelah menjalani proses belajar (Djamarah,1994:23) Siswa
yang telah mengalami proses belajar akan mengalami perubahan mental
yang lebih baik, sementara dari sisi guru berupa selesainya materi
bahan ajar.
b. Bentuk-bentuk
Menurut Gagne, ada lima bentuk hasil belajar, yaitu
keterampilan intelektual, kemampuan kognitif, informasi verbal,
keterampilan motorik dan sikap, nilai. Sementara itu menurut Bloom,
hasil belajar pada individu berupa perubahan dalam ranah kognitif,
afektif dan psikomotorik (dalam Dimyati, 2006:206).
B. Penelitian yang relevan
Beberapa penelitian tentang pendidikan kewirausahaan di pesantren
dapat dilihat pada uraian berikut.
1. Penelitian yang dilakukan oleh Inayatul Khusna (2011) dari UIN Sunan
Ampel Surabaya tentang Pesantren dan Entrepreneurship : Upaya
Pesantren Riyadhul Jannah Pacet Mojokerto dalam pembentukan jiwa
entrepreneurship santrinya menyimpulkanadanya upanya dan bentuk
konkret pesantren riyadhul jannah dalam pembentukan jiwa
entreprenuership.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Ferawati (2016) dari STAIN Kudus tentang
Entrepreneurship santri di Pondok Pesantren entrepreneur al-Mawaddah
Honggosoco Jekulo Kudus (Studi living Qur‟an) menyimpulkan bahwa
implementasi al-Qur‟an surat Ali Imran ayat 110 di Pondok Pesantren
Entrepreneur Al-Mawaddah Honggosoco Jekulo Kudus adalah santri
melakukan aktivitas atas dasar ibadah dan semangat meraih masa depan
yang cerah
3. Penelitian yang dilakukan oleh Sigit Wahyono (2010) dari IAIN
Walisongo Semarang tentang Inovasi Hidden Curriculum Pada Pesantren
21
Berbasis Entrepreneurship (Studi Kasus di Pondok Pesantren Al-Isti‟anah
Plangitan Pati) menyimpulkan bahwa konsep inovasi hidden curriculum
pada pesantren berbasis entrepreneurship merupakan gambaran tentang
pembaharuan yang terjadi dalam kurikulum tersembunyi pada pesantren
yang menanamkan dan melaksanakan pendidikan entrepreneurship.
Beberapa penelitian di atas, berusaha mendeskripsikan upaya pesantren
dalam menanamkan nilai entrepreneurship bagi para santrinya, kesemuanya
mengambil setting di pesantren salaf. Penelitian ini mencoba memotret model
pendidikan entrepreneurship yang dikembangkan di pesantren, dengan
membandingkan pesantren salaf dan khalaf.
22
BAB III
METODE PENELITIAN
Ontology penelitian ini berkaitan dengan model pendidikan
entrepreneurship pada dua buah pesantren yang masing-masing mewakili dua
buah cluster yakni pesantren salaf dan pesantren khalaf untuk kemudian
menganalisis karakteristik dan perbedaannya dalam mengembangkan pendidikan
entrepreneurship pada masing-masing institusinya. Dalam sub bab ini akan
diuraikan tentang paradigma penelitian, jenis penelitian, subyek penelitian, teknik
pengumpulan data, keabsahan data, dan analisis data.
1. Paradigma Penelitian
Sebagaimana uraian di atas penelitian ini hendak mengkaji dan
mendiskripsikan model pendidikan entrepreneurship pada dua buah pondok
pesantren salaf dan khalaf. Sesuai dengan karakteristik informasi yang kan
diperoleh maka penelitian ini menggunakan paradigma kualitatif dengan
menggunakan pendekatan induktif-refleksif dalam perspektif edu-preneurship
khusunya pada pondok pesantren yang masing-masing mewakili pondok salaf
dan yang lain mewakili pondok pesantren khalaf.
Terdapat banyak makna penelitian kualitatif, tetapi satu hal yang
disepakati oleh banyak pihak menurut Sharan B. Merriam & Elisabeth J.
Tisdell (2016: 27) adalah ‘’… the notion ofinquiring into, or investigating
something in a systematic manner…’’
Menurut Yin (2010:7-8) terdapat lima karakteristik penelitian kualitatif
yaitu : a) studying the meaning of people’s lives, under real-world conditions;
b) representing the views and perspectives of the people (labeled
throughoutthis book, as the participants) in a study; c) covering the
contextual conditions within which people live; d) contributing insights into
existing or emerging concepts that may help toexplain human social
behavior; and; e) striving to use multiple sources of evidence rather than
relying on a singlesource alone.
2. Jenis Penelitian
23
Penelitian ini bermaksud mengkaji dan mendeskripsikan model
entrepreneurship pada dua pesantren; yang pertama model entrepreneurship
yang mewakili pesantren salaf di Al Ittihad Poncol dan yang kedua mewakili
pesantren khalaf yakni pesantren modern Bina Insani Susukan Kabupaten
Semarang. Mengingat sampel penelitian ini adalah dua pesantren salaf dan
modern, maka hasilnya bersifat kasuistis dan transferrable bukan
generalizable. Temuan yang diperoleh dari dua sampel masing-masing akan
dibandingkan untuk menemukan model pada kedua pesantren tersebut. Oleh
karena cakupan wilayah penelitiannya yang terbatas, maka jenis penelitian
yang digunakan dalam penelitian adalah studi kasus (case study). Studi kasus
juga relevan untuk mendiskripsikan fenomena-fenomena tersebut secara
ekstensif dan mendalam.
3. Subyek Penelitian
Untuk memperoleh gambaran yang memadail tentang model pesantren
di dua lokasi tersebut, peneliti melibatkan beberapa informan yang berkaitan
langsung maupun tidak langsung dalam melahirkan dan mengembangkan
pendidikan entrepreneurship di kedua pontren tersebut. Key informan yang
diharapkan menjadi sumber informasi dalam penelitian ini antara lain :
pimpinan pondok pesantren, pengurus pondok, santri, pengelola unit usaha di
pesantren, dan karyawan
4. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data dilakukan dengan
mengambil informasi dari berbagai macam sumber guna mendapatkan
gambaran yang mendalam tentang suatu kasus. Robert K. Yin 2009: 181)
mengemukakan enam tahap pengumpulan data untuk memperdalam suatu
kasus yang meliputi: 1) dokumentasi yang terdiri dari surat, memorandum,
agenda, laporan-laporan suatu peristiwa, proposal, hasil penelitian, hasil
evaluasi, kliping, dan artikel; 2) rekaman arsip yang terdiri dari rekaman
layanan, peta, data survey, daftar nama, rekaman-rekaman pribadi seperti
buku harian, buku sejarah, kalender, dan sebagainya; 3) wawancara, biasanya
bersifat open ended; 4) observasi langsung; 5) observasi partisipan; serta 6)
24
perangkat fisik atau kultur yakni peralatan teknologi, alat instrument,
pekerjaan seni, dan sebagainya.
Adapun teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi,
wawancara mendalam, dan dokumentasi. Instrumen pengumpul data yang
digunakan berupa pedoman wawancara, pedoman observasi dan pedoman
studi dokumen.
5. Pemeriksaan kesahihan data
Moleong (2015: 324 – 326) menegaskan empat pilar untuk menetapkan
keabsahan (trustworthiness) data tersebut dengan istilah derajad kepercayaan
(credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan (dependability) dan
kepastian (confirmability).
Dalam penelitian ini, peneliti lebih menekankan pada pemeriksaan
kredibilitas (kepercayaan) data. Teknik yang digunakan untuk pengecekan
derajat kredibilitas data dalam penelitian ini adalah triangulasi sumber dan
metode, ketekunan pengamatan, perpanjangan keikutsertaan, dan
pemeriksaan sejawat melalui diskusi.
6. Analisis Data
Paradigma yang digunakan untuk menganalisis data penelitian dengan
menggunakan model interaktif Miles & Huberman, (1984,1994: 429).
Menurut mereka analisis data berisi tiga sub proses yang saling berhubungan
yakni reduksi data, pemaparan data, dan simpulan atau verifikasi. Proses-
proses tersebut berlangsung sebelum pengumpulan data; selama perencanaan
dan perancangan penelitian; selama pengumpulan data ketika analisis awal
dan temporer dilakukan; dan sesudah pengumpulan data ketika produk akhir
dicermati dan dilengkapi.
25
Gambar 2: KomponenAnalisis Data Model Interaktif
(Miles & Huberman, 2004:429)
26
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Profil Pesantren
a) Pesantren Bina Insani Susukan Kabupaten Semarang
Pondok pesantren Bina Insani resmi berdiri pada tanggal 14 April
2002 di bawah naungan yayasan pendidikan Islam Haji Achmad Khamim.
Pondok Pesantren Bina Insani berdiri sebagai lembaga pendidikan Islam
non formal yang muncul sebagai lembaga pendidikan non profit (tidak
mencari keuntungan). Walaupun dengan komitmen yang semacam itu
Pondok pesantren Bina Insani tetap berusaha mengupayakan pendidikan
yang berkualitas tetapi terarah dengan biaya yang ringan.
Tujuan didirikanya pondok pesantren ini adalah untuk membangun,
mengarahkan dan mencetak insan seutuhnya, sebagai calon ilmuwan dan
ulama‟ yang mempunyai pengetahuan agama dan umum secara seimbang
melalui pendidikan terpadu antara pendidikan umum kepesantrenan,
ketrampilan serta penanaman akhlaq Islami. Pendidikan di Pondok
Pesantren Moderen Bina Insani memadukan sistem pendidikan tradisional
dan moderen dengan spesialisasi yang jelas dan terarah.
Pondok Pesantren Moderen Bina Insani menempati tanah seluas
7025 m2, terletak di Dukuh Baran, Desa Ketapang, Kecamatan Susukan,
Kabupaten Semarang. Pondok pesantren ini di kelilingi beberapa dusun
sebagai yaitu sebelah barat: Dusun Ketapang; sebelah timur: Dusun Karang
Tengah dan Dusun Sarimulyo. sebelah Utara : persawahan penduduk dan
bengkok lurah; dan sebelah selatan: Dusun Kuangan.
Lokasi pondok pesantren sangat strategis atau cocok untuk kegiatan
belajar mengajar pengetahuan umum maupun agama bagi para santrinya
karena suasananya yang tenang dan jauh dari keramaian. Situasi atau
suasana yang aman dan kondusif juga tercipta karena adanya dukungan
yang baik dari tokoh masyarakat, pemerintah dan warga masyarakat sekitar
pondok pesantren (Ki Bagus Kusuma, 2015:1-2)
27
Visi pesantren Bina Insani adalah mewujudkan insan yang beriman,
berbudaya, berilmu dan berprestasi; sedangkan misi pesantren adalah 1)
mengkaji, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam yang
komprehensif dan rahmatan lil ‘alamin; 2) menyelenggarakan sistem
pendidikan efektif, kompetitis, inovatif dan dinamis, denga berorientasi
pada masyarakat; 3) mengupayakan pengadaan, pemanfaatan dan
pemeliharaan fasilitas pendidikan secara optimal; 4) melaksanakan kegiatan
pencapaian ketuntasan kompetensi kelulusan baik pengetahuan,
ketrampilan, sikap dan prilaku; 5) melaksanakan managemen berbasis
sekolah secara mantap; 6) mengupayakan pengembangan pembiayaan untuk
mendukung kegiatan persekolahan secara menyeluruh; 7) melaksanakan
penelitian secara menyeluruh dan berkesinambungan untuk mendapatkan
hasil yang sebenarnya (Rahman, 2012:2).
b) Pesantren Al Ittihad Poncol Kabupaten Semarang
Pondok Pesantren Al-Ittihad didirikan tahun 1893 M/1310 H oleh
KH Misbah pada tahun, lahir di desa Gogodalem Bringin Kabupaten
Semarang. Beliau ahli ilmu syari‟at, beliau merasa bertanggung jawab untuk
“nasyrul ‘ilmi waddin”. Pesantren ini didirikan untuk mengemban misi
dakwah bagi masyarakat dan mengajarkan santri ilmu agama Islam.
2. Pendidikan Entrepreneurship di pesantren
a. Konsep pendidikan kewirausahaan
Menurut Z:
“… memang kenyataannya banyak anak-anak lulusan pesantren setelah
lulus tidak memiliki keterampilan kerja dan hal itu menjadi beban
masyarakat, tidak hanya itu anak lulusan SMA pun juga mengalami
masalah yang sama, anak-anak SMA gengsi bekerja seperti orang
tuanya… berangkat dari situlah, kita merancang keterampilan untuk
anak-anak teknologi tepat guna….” (Wwcr dengan Z, Jumat 17 Nov
2017 pukul 13.30 – 14.15)
Z melanjutkan:
“…kita bikin tim sembilan, antara lain ada pak Badar Zumroni, pak
Muntaha, pak Imam Baihaqi (alm), yang dari pesantren ada pak Kyai
Muhsoni, pak Kyai Salman, dari Kemenag bagian Haji pak Mubin, dari
28
LSM ada pak Muzayinul Arif (Ketapang, aktivis WALHI) sama pak
Musthofa (LSM Qaryah Thoyibah), waktu itu Qaryah Thoyibah belum
ada, kita beriringan yang mengilhami sama-sama pak Muntaha, jabatan
terakhir beliau pembantu rektor 1 PTIQ, rumahnya Cebongan, tahun
1999 (merintisnya) ….” (Wwcr dengan Z, Jumat 17 Nov 2017 pukul
13.30 – 14.15)
F2 selaku santri PP Bina Insani menuturkan:
“…saya mengikuti kegiatan kewirausahaan ini karena biar bisa
mengembangkan bakat dan memiliki bekal keterampilan besok kalau
sudah lulus dari pesantren ini….saya besok ingin jadi pengusaha….”
(Wwcr dengan F2, tanggal 22 November 2017 pukul 13.30 – 14.30)
Sementara itu, Ch salah seorang pengurus pondok pesantren Al Ittihad
Poncol Kabupaten Semarang menuturkan:
“…santri kalau lulus dari Madrasah diwajibkan ikut program paket C,
nanti setelah paket C bisa dilanjutkan kuliah….kalau sudah paket C
khan terserah santri, mbah Kyai menganjurkan untuk kuliah, ijasah
paket C itu bisa serba guna lah, kuliah bisa kerja bisa, tetapi setelah
lulus dari Madrasah itu dianjurkan berkhidmah dulu….” (wwcr, 29
November 2017, pukul 12.45 – 14.00).
Hal senada juga disampaikan Df salah seorang santri pesantren Al
Ittihad
b. Pelaksanaan pendidikan entrepreneurship
Kegiatan pendidikan kewirausahan di Pondok pesantren Bina
Insani kabupaten Semarang, menurut Z:
“… kita membangun berbagai jejaring pak, dengan Qaryah Thayibah
kita juga ada, dengan kelompok tani Al Barokah (Susukan, Kabupaten
Semarang), yang teknologi dengan Lembaga Riset Muda Indonesia
(LRMI) dulu kantor pusatnya di Sala, sekarang di Jakarta pak, kita juga
dengan badan ketahanan pangan, untuk mengolah produk bahan-bahan
lokal, untuk menjadi berbagai makanan itu yang pertama kita kerja
sama dengan badan ketahanan pangan Kabupaten Semarang, kita
dengan dinas perikanan dan kelautan Kabupaten Semarang terkait
dengan ikan, pembibitan dan beternak lele dan pengolahannya,….”
(Wwcr dengan Z, Jumat 17 Nov 2017 pukul 13.30 – 14.15) Tentang kegiatan yang dilakukan dengan lembaga mitra, Z menuturkan:
29
“…kita sama-sama mengembangkan pertanian pak, pengolahan pupuk,
Qaryah Thoyibah dan Al Barokah itu khan semacam anaknya gitu mas
(anak binaan Qaryah), tapi orang-orangnya di sini khan lebih dekat
dengan Al Barokah, yang mengembangkan padi organik,…termasuk
pembuatan pupuk, pengolahan sampah-sampah menjadi pupuk cair,
pupuk padat, tamanisasi, untuk meresapkan air, biar struktur tanah tetap
terjaga, lebih pada bentuk-bentuk kerja sama pertanian,….” (Wwcr
dengan Z, Jumat 17 Nov 2017 pukul 13.30 – 14.15).
Z melanjutkan penuturannya:
“… di bidang teknologi pengolahan sampah, sekarang ini pengolahan
air, ini yang mau kita garap untuk menjadi obat, menjadi BBM, untuk
menjadi stimulan tumbuhnya, semacam perangsang tumbuhnya
tanaman, kalau disiram pakai air itu cepet tumbuh, cepet berbuah,
semacam minuman berenergi, bisa untuk obat, semacam oxy bahkan
lebih dari itu, kalau di Jakarta 1 galon Rp.500.000,-- ini belum on tapi
alatnya sudah dipasang. Kemarin sudah datang ke sini, tetapi
tenaganya, kita ingin yang datang ke sini beliaunya. Kita dengan LRMI
mulai dari kompor sampah, listrik tenaga santri (santri yang melanggar
peraturan dihukum memutar kumparan listrik nanti energinya disimpan,
seperti accu kering), sampah menjadi BBM, sekarang ini pengolahan
air,….” (Wwcr dengan Z, Jumat 17 Nov 2017 pukul 13.30 – 14.15)
Terkait jenis usaha di pesantren Z menambahkan:
“…kita bengkelpun juga punya pak, pertanian, peternakan, budidaya
lele itu, boga juga iya, selama ini memang belum saya promosikan pak
untuk secara khusus tentang kewirausahaan, baru ini rencana kita
desain….kalau yang kemarin itu khan baru setengah hati…untuk tahun
ini kita sudah merumuskan kecerdasan majmuk, bahwa pada prinsipnya
anak punya keunggulan-keunggulan tertentu dan saat ini kita petakan,
pondok SSB, pondok tahfidz, pondok kitab kuning, pondok bahasa,
pondok seni, pondok keterampilan ada enam yang saat ini kita
unggulan, ini baru mau kita desain dan promosikan…awalnya tahfidz
sama bahasa, namun target-targetnya kemarin itu belum terumuskan
secara jelas….” (Wwcr dengan Z, Jumat 17 Nov 2017 pukul 13.30 –
14.15)
“…kita memang ada program unggulan, banyak hal yang kita
dispensasikan, paling tidak tiga kali untuk anak-anak yang unggulan,
kalau yang tidak unggulan masuk diekstrakurikuler, di muatan lokal.
karena berbenturan juga dengan kegiatan sekolah dan pondok yang
sangat padat jadwalnya,….” (Wwcr dengan Z, Jumat 17 Nov 2017
pukul 13.30 – 14.15)
30
“…ya mereka ikut ekstra kurikuler kewiarusahaan sifatnya pilihan, kita
seleksi, kita batasi, kalau tidak dibatasi ngebyuk, satu angkatan 10 –
15,…peminatnya ya lumayan banyak, tapi akhirnya ikutnya yang ke
regular, kalau unggulan itu khan sampai produksi sampai pasar…
seminggu tiga kali itu hari.. minggu, jumat, rabu…mereka mulainya
setelah KBM, jam 1 – 2.30, setelah KBM langsung ke lokasi, di sana
sudah siap tenaga pendampingnya,… pendampingnya dari luar, …dari
dalam juga ada sebagai pamongnya….untuk rekrutmennya…itu kita
serahkan kepada gurunya pak, yang penting kesungguhannya. Memang
anak itu punya kretivitas, punya aide-ide kreatif, tapi bisa berkembang ,
karena tuntutan di boga kita karya-karya inovasi pak, ketika kita ikut
lomba tingkat nasional bagaimana dulu produknya, sekarang produknya
apa, harus beda… jadi kita memang unjuk kreasi-kreasi yang harus kita
tunjukkan, kalau kita yang kita unggulkan karya boga itu khan
bahannya dari singkong, kita yang sudah sampai tingkat nasional itu
yang singkong…untuk pembiayaannya…biaya include di SPP, kita
juga ada uang tahunan dan kita kebetulan dapat blockgrant, dari
kemendikbud dari direktorat itu satu tahun Rp.30.000.000,-- block
grant pengembangan keterampilan….sifatnya mengajukan, kita masuk
sekolah alternatif, sekolah yang punya ciri khusus, di SBP juga ada
(sekolah berbasis pesantren) kita menguatkan di sekolah alternatif , kita
sudah lima tahun berjalan program tersebut berkelanjutan , itu ada
program pertama, program kedua, program ketiga dan itu harus
inovatif….pak Fauzan yang SBP dan kita tidak boleh menerima dua
grant dalam satu tahun, pernah kita satu tahun terima dua tapi konangan
pak, ya go nasionalnya kita lebih dulu yang sekolah alternatif, diknas,
ya sama sebenarnya, tapi saya satu lewat sekolah berbasis pesantren
dan satu lewat sekolah alternatif. Sekolah alternatif itu pengembangan
dari sekolah terbuka, akhirnya yang SBP kita dicoret… SBP kita
programnya dalam…ada juga program keterampilan, ini khan tahun
ketiga…itu program pembinaan dari UIN Jakarta, Kemendikbud dan
kemenag untuk SBP. kalau sekolah alternatif itu dari kemendikbud
saja…pembiayaan pelatihnya yang program ekskul maka anggarannya
dari pembimbing ekstra,namun yang program unggulan itu kita biayai
dari RKAKS, yang boga itu ada perputaran modal, sehingga
anggarannya bisa tidak minus (kurang), kalau untuk menjahit itu
kesulitannya pemasarannya, sulit untuk dijual, dulu ada menjahit
namun karena perputaran modalnya kurang cepat akhirnya sekolah
harus mensupport terus, kalau yang boga ini kita sempat beli tanah juga
pak, sekitar Rp.700.000.000,- ini sudah tahun yang keenam,…” (Wwcr
dengan Z, Jumat 17 Nov 2017 pukul 13.30 – 14.15)
“…SMP, SMA semua kita perlakukan sama, cuma nanti targetnya beda
antara yang unggulan dengan yang ekstrakurikuler, SMP baru
pengenalan, misalnya merebus, menggoreng, kalau SMA sudah mulai
31
produk-produk inovatif pak, produk kita dibandingkan dengan produk
di masyarakat ada nilai lebihnya, kalau makanan lain hanya
mengenyangkan, kalau punya kita bisa menjadi obat karena kita ditatar
untuk inovasi , kita sempat juga singkong itu semuanya laku, mulai dari
kulitnya sampai berbagai jenis makanan dengan olah teknologi, kalau
dihitung itu pernah lebih dari 100 jenis olahan makanan, kadang kita
bikin momen lalu membuat makanan siapa membuat apa yang bahan
bakunya dari singkong….” (Wwcr dengan Z, Jumat 17 Nov 2017 pukul
13.30 – 14.15)
“…bedanya dengan program unggulan, program unggulan lebih intens,
lebih penuh; sementara kalau ekstrakurikuler hanya sebagai sampingan.
program unggulan kegiatannya seminggu empat kali….” (Wwcr
dengan F2, tanggal 22 November 2017 pukul 13.30 – 14.30)
Menurut F2, salah seorang santri PP Bina Insani:
“…tugas yang dilakukan dalam kewirausahaan adalah memberi makan
ikan dan membersihkan kolam ikan…mengikuti kegitan lewat jalur
ekstra kurikuler, pelaksanaannya Sabtu, jam 15.00 – 16.00….” (Wwcr
dengan F2, tanggal 22 November 2017 pukul 13.30 – 14.30)
Sementara itu, menurut Ch salah seorang pengurus Pondok Pesantren
Al Ittihad Poncol Kabupaten Semarang:
“…kalau di pesantren salafi, keterampilan kerja itu ngabdi dalem, habis
sekolah terus ikut ndalem, kalau ndalem ada kerjaan cari kayu maka
cari kayu, ke hutan, nanti kalau pak Kyai nyuruh apa..itu khan
keterampilan kerja…yang keterampilan sama pengabdian, kerja di
ndalem itu khan macam-macam, kalau p Kyai Fatchur itu ada ternak
kambing, ternak lele, itu khan santri yang nangani, terus sawah…tetapi
memang pak Kyai atau pengurus ada niatan itu, jadi mereka ngabdi
sekaligus latihan kerja….” (Wwcr, dengan Ch tanggal 29 November
2017, pukul 12.45 – 14.00)
“…kalau mengabdi itu sendiri-sendiri, kalau sudah lulus baru wajib
mengabdi…saya ikut kyai Nur Kholis, jadi selama saya mondok di
madrasah sampai sekarang ya saya di tempat pak Kyai itu, nanti setelah
lulus ada kewajiban mengabdi di pondok….” (Wwcr, dengan Ch
tanggal 29 November 2017, pukul 12.45 – 14.00).
Jadwal kegiatan rutin harian di pondok al Ittihad Poncol adalah:
04.00 – 04.30 : Sholat Subuh
04.30 – 06.30 : Mengaji sorogan kitab
32
06.30 – 07.00 : Istirahat
07.00 – 09.00 : Sekolah madrasah salafi
09.00 – 09.30 : Istirahat
09.30 – 10.30 : Masukkelas
10.30 – 13.00 : Istirahat, kerja ndalem
13.00 – 14.30 : Sholat dhuhur, mengaji, bandongan
14.30 – 16.00 : Istirahat
16.00 – 16.15 : Sholat ashar
16.15 – 18.00 : Mengaji, bandongan
18.00 – 18.30 : Sholat Maghrib
18.30 – 19.30 : Mengaji al Quran dengan pak Kyai
19.30 – 20.00 : Istirahat
20.00 – 20.15 : Sholat Isya
20.15 – 22.00 : Tiqrar
22.00 – 22.30 : Mengaji, bandongan per kelas
22.30 – 04.00 : Istirahat, jaga malam
Selain kegiatan rutin harian, ada juga kegiatan rutin mingguan yaitu:
Malam Jumat : Yasinan
Jumat Kliwon : Khataman al Quran 30 Juz
Habis Isya : Dhiba‟an
Malam Selasa : Qira‟ah / seni baca al Quran
Habis Isya : Khitabah
Malam Kamis : Syawir
: Fathul Qarib (MA/MTs)
: Mabadi‟ul Fiqh (Ibtidaiyah)
Malam Jumat : Silat (Pagar Nusa)
(Sumber : dokumen PP Al Ittihad Poncol Kabupaten Semarang)
c. Dampak pendidikan entrepreneurship
Menurut Z, pengasuh PP Bina Insani Susukan Kabupaten Semarang:
“…pasang surut pak, orang tua khan juga komplek, tidak Cuma
keterampilan unsich….” (Wwcr dengan Z, Jumat 17 Nov 2017 pukul
13.30 – 14.15)
“…kalau anak-anak yang program unggulan kita ajari mulai dari
memilih bahan pak, sampai menghitung ke analisis penjualan, ini anak
sudah bisa pak, mulai dari pembelanjaannya dan sampai menghitung
33
untung dan ruginya,….” (Wwcr dengan Z, Jumat 17 Nov 2017 pukul
13.30 – 14.15)
Sementara itu, menurut F2 salah seorang santri PP Bina Insani:
“…pengalaman yang diperoleh setelah mengikuti kegiatan ini adalah :
kedisiplinan, tahu segala hal tentang peternakan lele, dll….“…dampak
yang saya rasakan adalah rajin, disiplin, berani menatap masa depan,
berani ambil resiko….” (Wwcr dengan F2, tanggal 22 November 2017
pukul 13.30 – 14.30).
Menurut Ch salah seorang pengurus PP Al Ittihad Poncol:
“…beberapa kegiatan di pondok itu misalnya khitobah dimaksudkan
agar santri memiliki rasa percaya diri, khidmat kepada pak kyai
membuat santri latihan kerja keras, tekun dan tabah….mengikuti silat
santri menjadi suka tantangan,….mereka juga berorganisasi untuk
melatih kepemimpinan,…berkhitmat juga melatih kreatif, inovatif
misalnya ternak lele, disawah, karnaval (akhir sya‟ban) keliling
kampung…dan di sini kalau dekorasi pengajian harus bikin sendiri
tidak pakai MMT agar santri kreatif…ada juga ta‟ziran membuat santri
jujur dan tekun…bentuknya baca al Quran di depan masjid, bersih-
bersih komplek pondok dan lain-lain, semua santri wajib ikut kegiatan,
penanggung jawab kegiatannya adalah para pengurus komplek
pondok….” (Wwcr, dengan Ch tanggal 29 November 2017 pukul 12.45
– 14.00)
d. Kendala dan solusi
Menurut Z, salah seorang pengasuh PP Bina Insani masalah yang
muncul dalam pelaksanaana pendidikan kewirusahaan adalah:
“…kelemahan kita, belum tertata jelas pak, untuk pemasaran kita
masih banyak masalah, yang boga, yang lele, kita membuat krupuk dari
lele, kita baru bisa memutar di lingkungan pondok, untuk keluar kita
masih kerepotan, lelepun anak juga punya keterampilan mengolah lele
menjadi berbagai jenis makanan, namun masih terbatas di lingkungan
pondok, jadi kita untuk memasarkan produk berbagai macam dan kita
punya semacam izin usaha, teapi anak mondok di sini khan sekitar tiga
sampai enam tahun, yang sudah jadi mereka itu rata-rata khan pada
kuliah, itu khan mereka sudah keluar dari sini, lalu kita mengkader lagi,
sehingga pengembangannya ya hanya di daerahnya masing-masing…
ini yang semacam itu menjadi permasalahan, memang dari dalam
belum ada tim besar yang mengkordinir produksi dan pemasaran dalam
skala besar sampai ke luar ini baru akan kita program pak saat ini yang
34
mau kita program untuk usaha-usaha dari boga, budi daya dan
pengelolaan lele, yang selama ini sudah jalan tapi terganjal untuk yang
memasarkan keluar….” (Wwcr dengan Z, Jumat 17 Nov 2017 pukul
13.30 – 14.15)
“…ketika mereka banyak nyambi, usahanya ndak maksimal, mereka
kadang juga pingin di akademiknya apa, di sini juga banyak disampiri
pekerjaan akhirnya tim yang bekerja juga kurang maksimal….” (Wwcr
dengan Z, Jumat 17 Nov 2017 pukul 13.30 – 14.15)
“…terlalu padatnya jadwal kegiatan anak di pesantren, antara sekolah
dan mondok, diniyah sekolah itu terlalu padat…, yang kedua
kesempatan untuk keluar, anak untuk mencari bahan sendiri itu
memang agak dibatasi oleh pondok, katakanlah kita mau beli singkong,
mau beli bumbu-bumbu untuk keluarnya masih dibatasi, santri ndak
boleh keluar jauh-jauh,….” (Wwcr dengan Z, Jumat 17 Nov 2017
pukul 13.30 – 14.15)
Jadwal kegiatan harian di Pondok pesantren Bina Insani sebagai
berikut.
Waktu Kegiatan
03.00 – 04.30 Bangun, tahajud, Mandi, sholat Subuh
04.30 – 06.00 Pelajaran, Ngaji pondok
06.00 – 07.00 Mandi, Makan, persiapan sekolah
07.00 – 13.00 Sekolah
13.00 – 14.30 Istirahat
14.30 – 16.00 Diniyah sore
16.00 – 18.00 Tadarus al Qur‟an / mandiri
18.00 – 19.00 Mengaji al Qur‟an dengan Ustadz / Kyai
19.00 – 20.30 Makan, Istirahat
20.30 – 22.00 Diniyah malam
22.00 – 23.00 Mujahadah
23.00 – 03.00 Istirahat
(Sumber : dokumen Pondok Pesantren Bina Insani Susukan)
“…mitra ndak begitu masalah, sebenarnya toko-tokopun sebenarnya
siap asalkan rutin, konsisten, nah kelemahan kita itu belum konsisten
lemahnya di manajamen itu, di sisi lain kadang bapak ibu guru juga
sibuk ngajar, memang wirausaha itu kalau disambi itu hasilnya kurang
maksimal….” (Wwcr dengan Z, Jumat 17 Nov 2017 pukul 13.30 –
14.15)
35
Sementara itu F2 menuturkan:
“…masalah yang dihadapi : 1) pengecekan amuba, pakai cairan tertentu
karena kalau tidak pas nanti ikannya pada mati; 2) waktu : padatnya
jam kegiatan di pondok; 3) pelatihnya sambil kuliah sehingga sering
kosong….” (Wwcr dengan F2, tanggal 22 November 2017 pukul 13.30
– 14.30).
Untuk mengatasi masalah tersebut, menurut Z:
“…akhirnya yang belanja itu dari bapak itu….” (Wwcr dengan Z,
Jumat 17 Nov 2017 pukul 13.30 – 14.15)
“…nah ini kita sedang merintis ke arah situ, rumah yang tampak seperti
mushalla itu adalah ruang praktik anak, yang disamping nya itu kita
mempekerjakan orang di situ, ini baru mau penataan pak, pokoknya
pondok kita harus punya income dari hasil usaha…termasuk
sampahpun kita terbantu, sekarang itu plastik-plastik itu dikumpulkan
dan dijual, tiga minggu laku Rp.300,--ribuan….” (Wwcr, Jumat 17 Nov
2017 pukul 13.30 – 14.15)
Masalah yang muncul dalam pelaksanaan kegiatan di pondok pesantren
Al Ittihad Poncol Kabupaten Semarang antara lain, sebagaimana
ditururkan oleh Ch:
“…misalnya begini pak, yang ngabdi ndalem kadang-kadang
menyalahgunakan kepercayaan, seperti dia tidak sekolah bilangnya ada
tugas ndalem, padahal tidak ada tugas Khitobah, santri dapat jatah
petugas khitobah, malah dia ijin pulang…, kadang-kadang semangatnya
kurang dalam mengikuti kegiatan..kegiatan qiraah masalahnya adalah
bagi mereka yang suaranya ndak bagus, ndak PD…dan lain-lain…kalau
silat ndak ada masalah pak…”
Untuk mengatasi masalah tersebut, Ch melanjutkan:
“…solusi kita adalah kita klarifikasi ke pak Kyai apakah benar si anak
tersebut ada tugas di ndalem apa tidak…untuk yang khitobah tetap
dijadwal mingu depannya…sementara itu bagi yang kurang semangat
solusi kita adalah kita ajak mujahadah agar hatinya dibuka oleh
Allah….” (Wwcr, dengan Ch tanggal 29 November 2017 pukul 12.45 –
14.00).
Hal senada juga disampaikan oleh Df, salah seorang santri pondok
pesantren Al Ittihad Poncol Kabupaten Semarang.
36
B. Pembahasan
1. Konsep pendidikan entrepreneurship
Ada perbedaan konsep pendidikan yang melandasi pendidikan
entrepreneurship di pesantren modern dan salaf. Pada lembaga pesantren
modern, pesantren lebih berpikir proyektif realistif didasarkan pada realitas
empirik bahwa banyak lulusan sekolah yang menganggur, sulit mencari
pekerjaan dan terkadang menjadi masalah sosial di lingkungan masing-
masing.
Pesantren berharap tidak akan mengulangi kesalahan yang sama
dengan menambah jumlah pengangguran terdidik di masyarakat. Pesantren
berusaha mendesain pendidikan sedemikian rupa, sehingga lulusannya
kelak memiliki keterampilan hidup (life skill) baik hard skill maupun soft
skill. Keterampilan hidup ini sangat dibutuhkan untuk eksistensi kehidupan
para alumninya besok, terutama kejayaan di dunia dalam rangka
mengantarkan kejayaan di akherat. Menurut Muhtar Buchori (2001:41),
pendidikan harus mengemban menjamah the basics bagi anak didik, yaitu
kegiatan pendidikan yang mampu mempersiapakan peserta didik mampu
menjalani kehidupan (preparing children for life). Oleh karena itu
pendidikan harus mampu menyeimbangkan antara pendidikan jasmani dan
rohani, antara pengetahuan alam dengan pengetahuan sosial budaya, dan
antara pengetahuan masa kini, masa lampau dan masa depan.
Upaya yang dilakukan pesantren untuk mewujudkan maksud di atas
adalah dengan memodifikasi pesantren menjadi pesantren yang memiliki
nilai keunggulan dalam rangka memfasilitsi pengembangan potensi santri.
Pesantren modern telah memiliki cara pandang multiple inteligensi dalam
mengembangkan program pendidikannya, sehingga pesantren didedesain
dengan enam keunggulan yang berbeda, yaitu pesantren SSB, pesantren
Tahfidz, pesantren Kitab kuning, pesantren Seni, pesantren Bahasa, dan
pesantren Keterampilan. Keenam jenis keunggulan tersebut diharapkan
mampu mewadahi ragam kecerdasan yang dimiliki para santri.
37
Kalau ditilik dalam dokumen, kegiatan pendidikan yang
dikembangkan di Pesantren Bina Insani merupakan realisasi dari misi
kelembagaan, yaitu mengkaji, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran
Islam yang komprehensif dan rahmatan lil‟alamin; menyelenggarakan
sistem pendidikan efektif, kompetitif, inovatif dan dinamis, dengan
berorientasi pada masyarakat.
Pengkajian, penghayatan, dan pengamalan ajaran Islam secara
komprehensif diwujudkan melalui kajian dan membekali santri dengan
berbagai macam ilmu pengetahuan dan keterampilan yang mampu
mengembangkan seluruh dimensi keragam santri, baik itu bidang kinestetik,
linguistic verbal, bidang intellectual quotient (IQ), bidang seni-budaya, dan
bidang skill motorik. Semua itu dikembangkan dalam rangka memfasilitasi
potensi santri dan membekali santri untuk kehidupan masa depannya.
Menurut Chatib (2009:xxi), membangun lembaga pendidikan pada
hakekatnya adalah membangun keunggulan sumber daya manusia, yang
menghargai keragaman potensi (multiple intelligences) manusia mulai dari
perencanaan program, pembelajaran dan pencapaian akhir tujuan akhir,
yaitu untuk mengoptimalkan potensi sesuai dengan keunggulan yang
dimiliki individu yang besangkutan.
Selain itu, pesantren modern berusaha untuk mewujudkan
keseimbangan kejayaan, antara kejayaan kehidupan dunia dan kejayaan
kehidupan di akherat. Hal tersebut dilandasi akan adanya kewajiban setiap
muslim untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akherat.
Ayat al Qur‟an yang dijadikan landasan cara pandang tersebut antara lain:
Artinya:
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu
dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu
38
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan (QS. Al Qashah:77).
Juga ayat di bawah ini:
Artinya:
Dan di antara mereka ada orang yang berdo’a: "Ya Tuhan Kami, berilah
Kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah Kami dari
siksa neraka (QS. Al Baqarah:201).
Berbeda dengan cara pandang di atas, pesantren salaf memiliki konsep
pendidikan yang lebih mengedepankan pencapaian kebahagiaan kehidupan
akherat dan ridha Allah. Cara pandang ini dipengaruhi oleh visi kembagaan
pesantren salaf lebih mengutamakan perwujudan kesalehan akherat dan
ridha Allah.
Cara pandang pendidikan yang berkembang di pesantren salaf ini
akhirnya dijabarkan dalam kurikulum pendidikan di pesantren. Tujuan
pendidikan di pesantren adalah untuk membekali santri dengan ilmu agama
dan ilmu hikmah, serta mencari ridha Allah. Pesantren adalah tempat
mempelajari agama Islam adalah, karena memang aktifitas yang pertama
dan utama dari sebuah pesantren diperuntukkan mempelajari dan mendalami
ilmu pengetahuan agama Islam (Rusli, 2010:4).
Dalam kaitannya dengan pendidikan kewirausahaan, pesantren Al
Ittihad Poncol Kabupaten Semarang tidak membuat konsep khusus. Bagi
pesantren Poncol, urusan pekerjaan adalah urusan Allah, urusan rizqi adalah
di tangan Allah, dan setiap manusia sudah memiliki bagian rizqi masing-
masing dari Allah. Pesanten tidak memiliki progam khusus yang membekali
santri untuk urusan pekerjaan di kelak kemudian hari.
Upaya yang dilakukan pesantren Poncol Kabupaten Semarang dalam
hal urusan pekerjaan santri kelak, adalah menganjurkan para santri untuk
mengikuti program kejar Paket C (kesataran pendidikan SMA). Santri yang
mondok di Poncol Kabupaten Semarang wajib mengikuti pendidikan di
39
madrasah salaf selama kurang lebih 8 tahun, setelah itu santri diarahkan
untuk mengikuti pendidikan kesetaraan paket C di kelurahan setempat.
Setelah santri mengikuti pendidikan paket C maka ia akan memperoleh
ijazah yang dapat dia gunakan untuk melanjutkan kuliah atau mencari
pekerjaan.
Kalau dicermati, kebijakan pengasuh tersebut merupakan ikhtiar
dalam rangka mendapatkan pekerjaan yang baik pada zaman sekarang.
Walaupun pesantren tersebut salaf dan cenderung menyerahkan sepenuhnya
urusan rizqi di tangan Allah, namun ada upaya yang bersifat khalaf yaitu
dengan memiliki ijazah pendidikan formal (kesetaraan paket C). Namun
pesantren tidak memiliki program khusus keterampilan kerja untuk para
santri.
Sebagaimana dikemukakan di depan, bahwa pesantren salaf lebih
mengedepankan pencapaian kebahagiaan di akherat kelak, kebahagiaan di
dunia bukanlah tujuan utama dalam kehidupan manusia. Kehidupan dunia
hanya bersifat sementara dan fana, sehingga setiap manusia tidak boleh
terjebak pada pencapaian kebahgiaan di dunia yang fana tersebut, sehingga
kehidupan di dunia tidak perlu dikhawatirkan. Para santri senantiasa
ditekankan untuk mencapai kebahagiaan di akherat, walaupun di dunia tidak
mendapat kebahagiaan tidak apa-apa.
Landasan Qur‟ani yang senantiasa dipegangi kalangan pesantren salaf
antara lain ayat berikut.
Artinya:
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku (QS. al Dzariyat:56).
Ayat lain yang juga mendasari dasar pandangan pesantren salaf adalah:
40
Artinya:
Dan Tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau
belaka, dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang
bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya? (QS. Al An‟am:32).
Juga ayat berikut.
Artinya:
Dan Tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main.
dan Sesungguhnya akhirat Itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka
mengetahui (Qs. Al Ankabut:64).
Ketiga ayat di atas, menganjurkan agar manusia memperhatikan
kehidupan di akherat. Ayat pertama menganjurkan bahwa seluruh
kehidupan manusia adalah ibadah, tugas manusia di dunia hanya beribadah
kepada Allah SWT. Di kalangan pesantren salaf, makna beribadah lebih
ditekankan pada amal sholeh dalam berhubungan dengan Allah SWT.
Perwujudan amalsholeh kepada Allah SWT antara lain sholat, puasa, zakat,
berhaji, infaq, shadaqah, berdzikir, membaca al Qur‟an, membaca sholawat
nabi, mengaji.
Ayat kedua dan ketiga lebih menyoroti tentang perlunya mencapai
kebahagiaan di akherat, sedangkan kehidupan di dunia ini tidak lain hanya
kehidupan semu, penuh dengan fatamorgana dan tipuan. Oleh karena itu,
manusia tidak perlu mengurusi kehidupan dunia, tetapi kehidupan
akheratlah yang lebih penting. Mengurusi kehidupan akherat ini diwujudkan
dengan berperilaku baik kepada Allah dan melakukan amal sholeh
sebagaimana tersebut di atas.
Dalam praktik nyata pada pendidikan di pesantren Al Ittihad,
pesantren tidak memiliki program khusus untuk mempersiapkan para santri
mencapai kebahagiaan di dunia melalui pekerjaan yang layak di dunia,
karena urusan pekerjaan adalah urusan Allah, diserahkan kepada Allah
SWT. Para santri tidak perlu risau dengan urusan pekerjaan kelak, semua
41
sudah ada yang mengatur. Hal tersebut sejalan dengan yang dikemukakan
oleh Nurcholis Madjid (dalam Nata 2001:113), bahwa prinsip-prinsip yang
melekat pada pendidikan pesantren meliputi teosentrik, ikhlas dalam
pengabdian, kesederhanaan, kolektifitas (barakatul jama’ah), mengatur
kegiatan bersama, kebebasan terpimpin, kemandirian, tempat menuntut ilmu
dan mengabdi, mengamalkan ajaran agama, belajar di pesantren tidak
mencari ijazah, kepatuhan mutlak kepada kyai.
2. Pelaksanaan pendidikan entrepreneurship
Pelaksanaan kegiatan entrepreneurship di pesantren Bina Insani
dilakukan secara terencana, terprogram oleh tim yang dibentuk oleh
Yayasan. Tim tersebut dibentuk dengan melibatkan berbagai unsur, yaitu
unsur tokoh masyarakat, unsur pemerintahan, unsur masyarakat, dan tokoh
agama. Pelibatan berbagai unsur terseubut didasari kesadaran bahwa
eksistensi lembaga tidak dapat lepas dari peran serta seluruh elemen
masyarakat. Pesantren akan berdiri kokoh manakala didukung oleh kekuatan
berbagai pihak. Tim sembilan tersebut yang memutuskan bahwa pesantren
didesain dengan berbagai keunggulan.
Dalam pelaksanaan program pendidikan kewirausahaan, pesantren
Bina Insani membangun jaringan dengan berbagai pihak, yaitu Qaryah
Thayibah, kelompok tani Al Barokah, Lembaga Riset Muda Indonesia
(LRMI), Badan Ketahanan Pangan, Dinas Perikanan dan Kelautan, UIN
Jakarta, Kemendiknas, Kemenag. Jaringan dengan berbagai pihak tersebut
akan menopang penguatan konsep dan sumber daya dalam pelaksanaan
pendidikan kewirausahaan, baik sumber daya yang berupa man, money, dan
material.
Dalam pelaksanaan pendidikan, lembaga perlu menjalin kerja sama
dengan berbagai pihak untuk memperkuat eksistensi kelembagaan. Tilaar
(2004:58) mengungkapkan bahwa salah satu kenyataan pendidikan pada
masa orde baru adalah terpisahnya pendidikan dari masyarakat, akibatnya
adalah pendidikan terpisah dari kebutuhan masyarakat, dari dunia industri,
dan dunia kerja. Dalam pengelolaan pendidikan, masyarakat telah
42
diabaikan. Peran serta masyarakat di dalam penyelenggaraan pendidikan
berarti pemberdayaan masyarakat itu sendiri di dalam ikut menentukan arah
dan isi pendidikan. Dalam kaitan ini, UU Nomor 22 tahun 1999
menyarankan agar mengikutsertakan masyarakat dalam pengelolaan
pendidikan.
Apabila orang tua dan institusi-institusi kemasyarakatan banyak yang
peduli dan terlibat dalam pengelolaan pendidikan, maka pendidikan akan
mampu mengatasi masalah-masalah pedidikan, misalnya kelompok miskin,
anak berkebutuhan khusus, sekolah daerah terpencil, dan sebagainya.
Menurut Roger Scott, pelibatan guru, orang tua, dan masyarakat dalam
pengelolaan pendidikan mampu meningkatkan rasa kepemilikan mereka
terhadap sekolah lebih tinggi, penggunaan sumber-sumber daya pendidikan
lebih baik, kontrol kepala sekolah lebih besar terhadap lingkungan sekolah,
dan beban sekolah menjadi lebih ringan sehingga diperoleh hasil yang lebih
baik pula (dalam Jalal dan Supriyadi, 2001:11,160).
Pelibatan berbagai elemen tersebut dalam pengembangan program
kewirausahaan di pesantren Bina Insani karena pengelolaan pesantren Bina
Insani menganut prinsip managemen modern. Pesantren tidak lagi dikelola
oleh seorang Kyai sebagai sentral figur, namun dikelola oleh Yayasan
dibawah kordinasi para putra pendiri pesantren Bina Insani. Keuntungan
dari model pengelolaan demikian antara lain lembaga mendapat berbagai
support dari banyak pihak tentang hal-hal yang dibutuhkan untuk kemajuan
lembaga.
Adapun kegiatan yang dilakukan dengan berbagai mitra pesantren
tersebut antara lain dalam pengolahan pupuk cair, pengolahan sampah,
resapan air, pengolahan sampah menjadi BBM, kompor sampah, listrik
tenaga santri. Dilihat dari jenis usaha tersebut lebih mengarah pada
keterampilan kerja modern, bukan keterampilan kerja masyarakat
tradisional. Hal ini dipengaruhi oleh tipologi pesantren Bina Insani yang
tergolong pesantren modern (khalaf), sehingga berbagai kegiatan yang
43
dikembangkan juga mengarah pada kondisi atau problematika masyarakat
modern.
Pesantren Bina Insani juga mengembangkan kewirausahaan dalam
bidang pertanian dan pengolahan snack atau makanan tradisional, misalnya
dalam bidang pertanian, peternakan lele, kerupuk berbahan baku lele,
makanan olahan berbahan baku singkong. Hal ini menunjukkan bahwa
pesantren Bina Insani juga mengakomodasi potensi lokal berupa pertanian,
peternakan dan bahan baku singkong untuk kemudian diolah dan dikelola
dengan sentuhan manajemen modern. Sentuhan manajemen modern pada
olahan makanan berbahan lokal dilakukan pada rasa (taste), pengeolahan
(producing), kemasan (packing), pemasaran (marketing). Upaya ini
dilakukan untuk mengangkat nilai ekonomi potensi-potensi lokal yang
selama ini terabaikan dan dianggap tidak bernilai (unvalued).
Dalam pelaksanaannya, kegiatan kewirausahaan di pesantren Bina
Insani dilakukan melalui jalur ekstrakurikuler dan program unggulan. Jalur
ini dipilih agar mampu menampung minat santri yang cukup tinggi terhadap
kegiatan kewirausahaan di pesantren. Jalur ekstrakurikuler dilaksanakan
seminggu sekali, sedangkan jalur unggulan dilaksanakan empat kali dalam
seminggu. Jalur kewirausahaan melalui ekstrakurikuler diperuntukkan bagi
para siswa yang pemula di tingkat sekolan lanjutan pertama; sedangkan jalur
unggulan diperuntukkan bagi santri yang ingin mendalami benar kegiatan
kewirausahaan dan diperuntukkan bagi santri tingkat atas. Bagi santri yang
mengikuti kegiatan kewirausahaan melalui jalur ekstrakurikuler menerima
materi tentang dasar-dasar kewirausahaan, bersifat teknis; sedangkan santri
yang mengikuti program unggulan menerima materi lebih lengkap, mulai
dari pemilhan bahan, pengolahan, pengepakan, pemasaran, analisis pasar,
dan menghitung untung rugi suatu usaha.
Untuk mengoptimalkan pendidikan kewirausahaan di pesantren Bina
Insani, para santri didampingi oleh pelatih dari luar pesantren. Pelatih dari
luar tersebut adalah expert dalam bidangnya yang dianggap mampu
membina para santri dalam bidang kewirausahaan. Dalam hal ini, pesantren
44
Bina Insani lebih mengedepankan profesionalitas dalam pendidikan
kewirausahaan. Selain pelatih dari luar, mereka juga didampingi para guru
di sekolah sebagai pendamping teknis dalam pelakanaan program
pendidikan kewirausahaan. Para guru bertugas dalam bidang administratif,
membantu para santri jika ada masalah teknis, dan selalu memberi dorongan
kepada para santri dalam mengikuti kegiatan kewirausahaan. Cara demikian,
ternyata cukup efektif bagi kelancaran program kewirausahaan di pesantren
Bina Insani. Disamping pendampingan teknis bagi para santri, pesantren
Bina Insani juga mendapat pendampingan manajemen pendidikan
kewirausahaan dari Kemendikbud, Kemenag dan UIN Jakarta.
Dari sisi pembiayaan, kegiatan kewirausahaan di pesantren Bina
Insani didukung dari berbagai sumber, yaitu iuran santri, laba perputaran
modal boga, sponsor dari Kemendikbud dan Kemenag. Banyaknya sumber
dana di pesantren Bina Insani ini sangat menopang pelaksanaan kegiatan
kewirausahaan.
Dalam penggunaannya, iuran santri lebih banyak digunakan untuk
membiayai kegiatan kewirausahaan melalui jalur ekstrakurikuler, karena
kegiatan ini tidak membutuhkan dana besar. Dana laba perputaran usaha
boga digunakan untuk biaya keberlangsungan produksi, sedangkan dana
yang bersumber dari sponsor digunakan untuk realisasi program inovasi
yang berskala besar dan membutuhkan teknologi tingkat tinggi, seperti
pengolahan sampah, pembuatan pupuk cair, pengolahan resapan air,
pengolahan limbah.
Sementara itu, di pesantren al Ittihad Poncol Kabupaten Semarang
agak berbeda pelaksanaan pendidikan kewirausahaan bagi para santri.
Pendidikan kewirausahaan dilakukan terintegrasi dalam kegiatan santri, baik
dalam kegiatan intrakurikuler maupun kegiatan non-kurikuler. Dalam
praktiknya kegiatan intrakukuler berupa yasinan, khitobah, qira‟ah,
pengajian; sedangkan kegiatan non-kurikuler dalam praktiknya berupa
kegiatan karnaval, pengajian, ta‟ziran, dan khidmat kepada Kyai (ngabdi
ndalem).
45
Model pendidikan kewirausahaan yang terintegrasi dalam proses
pembelajaran dilakukan dengan penginternalisasian nilai-nilai
kewirausahaan ke dalam pembelajaran, sehingga hasilnya berupa
diperolehnya kesadaran akan pentingnya nilai-nilai, terbentuknya karakter
wirausaha dan pembiasaan nilai-nilai kewirausahaan ke dalam tingkah laku
peserta didik sehari-hari melalui proses pembelajaran baik yang berlangsung
di dalam maupun di luar kelas pada semua mata pelajaran (Anita (2012:7).
Kegiatan pembelajaran, selain untuk menjadikan peserta didik
menguasai kompetensi (materi) yang ditargetkan, dapat juga dirancang dan
dilakukan untuk menjadikan peserta didik mengenal, menyadari/peduli, dan
menginternalisasi nilai-nilai kewirausahaan dalam perilaku keseharian.
Langkah ini dilakukan dengan cara mengintegrasikan nilai-nilai
kewirausahaan ke dalam pembelajaran di seluruh mata pelajaran melalui
metode pembelajaran maupun melalui sistem penilaian. Namun, di
pesantren Poncol pengintegrasian pendidikan kewirausahaan dalam kegiatan
kurikuler ini dirancang secara sederhana tidak seperti dalam sistem klasikal
formal persekolahan, karena sistem pendidikan di pesantren lebih dekat
pada sistem informal dan fleksibel.
Pelaksanaan kegiatan kurikuler dan non-kurikuler yang dirancang
pondok Al Ittihad dimaksudkan untuk membekali para santri dengan
berbagai kompetensi baik yang langsung maupun tidak langsung.
Pencapaian kompetensi langsung adalah kompetensi yang ingin dicapai
secara eksplisit melalui kegiatan kurikuler atau non-kurikuler tersebut,
sedangkan pencapaian kompetensi tidak langsung adalah berupa penanaman
nilai kewirausahaan sampingan (side competence) yang ingin dicapai dari
suatu kegiatan. Muatan kompetensi langsung dan nilai kewirausahaan dapat
dilihat pada tabel berikut.
No Nama Kegiatan Kompetensi langsung Nilai kewirausahaan
1 Khitobah Kemampuan dakwah Rasa percaya diri
2 Silat Penguasaan jurus bela Berani menghadapi
46
diri tantangan
3 Qiraah Kemampuan seni baca
al Qur‟an
Rasa percaya diri
4 Khidmat Kyai Mema