20
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Juni 2015 1 MODEL KEMITRAAN PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL (KPEL) SOLUSI PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL ERA OTONOMI DAERAH Oleh: Nor Hadi Abstract This article explain shortly model of local development that suitable to the era of area otonomy which is called with Development Partnership of Area Economic Development (Kemitraan Pembangunan Ekonomi Daerah (KPEL)). KPEL is an approach to push economic activities through form society partnership, private and government which focused on development economic cluster activities, so built linkage between economic actors in a region (villages/cities/district/regency/province) with market (local market, national and international market). KPEL approach built based on partisipation and partnership from every stakeholder (private, government, and NGO). Stakeholder cooperate to formulate problem and arrange partnership formation and partner in executing KPEL strategy. In practice level, KPEL designed in two strategies form that is (1) to facilitate partnership forum in every government level with involving all stakeholder (public, governmnet, private), to discuss about economic development; (2) to push partnership forum to stimulate economic claster activities as a media to create chances to increase income and employment chance. To implement those two strategies then be brokendown into three phases that is 1) phase initiation; (2) phase implementation; and (3) phase institutionalize. Key Words: Partnership, Partisipatif, Initiation, Implementation. A. PENDAHULUAN Gong otonomi daerah yang dimulai sejak tahun 1999 berarti kurang lebih 15 Tahun telah berlalu. Tepat 25 April tahun 2013 ini, bangsa Indonesia memperingati Hari Otonomi Daerah ke-15. Otonomi daerah resmi memiliki kekuatan yuridis sejak disahkan Undang- undang Nomor 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Daerah dan Pusat, yang kemudian mengalami perbaikan dengan diterbitkannya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Kendati otonomi daerah sudah 15 tahun telah berlalu, tetapi masih banyak harapan yang belum terwujud. Otonomi daerah yang diharapkan dapat mempercepat proses perubahan (reformasi) serta demokratisasi di tingkat lokal di sektor politik, ekonomi, keuangan, dan pemanfaatan sumber-sumber daya daerah masih sebatas wacana. Otonomi masih berupa harapan, atau bahkan terkadang kosong terhadap penguatan pembangunan

MODEL KEMITRAAN PENGEMBANGAN EKONOMI … · telah membawa implikasi yang luas dan serius bagi pranata ekonomi lokal diharapkan lebih mandiri dan menyentuh hajat grass rooth. Otonomi

Embed Size (px)

Citation preview

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Juni 2015

1

MODEL KEMITRAAN PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL (KPEL)

SOLUSI PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL ERA OTONOMI DAERAH

Oleh: Nor Hadi

Abstract

This article explain shortly model of local development that suitable to the era of

area otonomy which is called with Development Partnership of Area Economic

Development (Kemitraan Pembangunan Ekonomi Daerah (KPEL)). KPEL is an approach

to push economic activities through form society partnership, private and government

which focused on development economic cluster activities, so built linkage between

economic actors in a region (villages/cities/district/regency/province) with market (local

market, national and international market). KPEL approach built based on partisipation

and partnership from every stakeholder (private, government, and NGO). Stakeholder

cooperate to formulate problem and arrange partnership formation and partner in

executing KPEL strategy. In practice level, KPEL designed in two strategies form that is

(1) to facilitate partnership forum in every government level with involving all stakeholder

(public, governmnet, private), to discuss about economic development; (2) to push

partnership forum to stimulate economic claster activities as a media to create chances to

increase income and employment chance. To implement those two strategies then be

brokendown into three phases that is 1) phase initiation; (2) phase implementation; and (3)

phase institutionalize.

Key Words: Partnership, Partisipatif, Initiation, Implementation.

A. PENDAHULUAN

Gong otonomi daerah yang dimulai sejak tahun 1999 berarti kurang lebih 15 Tahun

telah berlalu. Tepat 25 April tahun 2013 ini, bangsa Indonesia memperingati Hari Otonomi

Daerah ke-15. Otonomi daerah resmi memiliki kekuatan yuridis sejak disahkan Undang-

undang Nomor 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang

Perimbangan Keuangan Daerah dan Pusat, yang kemudian mengalami perbaikan dengan

diterbitkannya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU Nomor 33

Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

Kendati otonomi daerah sudah 15 tahun telah berlalu, tetapi masih banyak harapan

yang belum terwujud. Otonomi daerah yang diharapkan dapat mempercepat proses

perubahan (reformasi) serta demokratisasi di tingkat lokal di sektor politik, ekonomi,

keuangan, dan pemanfaatan sumber-sumber daya daerah masih sebatas wacana. Otonomi

masih berupa harapan, atau bahkan terkadang kosong terhadap penguatan pembangunan

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Juni 2015

2

lokal. Masyarakat akar rumput (grass rooth) masih meratapi hidup dengan kemiskinan,

sementara korupsi justru menyebar dari berbagai lini dan level pemerintahan.

Menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun

2001, persentase keluarga miskin (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) pada 2001

mencapai 52,07%, atau lebih dari separuh jumlah keluarga di Indonesia. Hal itu

mengindikasikan bahwa program-program penanggulangan kemiskinan belum berhasil

mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia.

Badan Pusat Statistik mencatat bahwa angka kemiskinan meningkat terbesar di

pulau Jawa, kemudian Sumatera, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, Papua serta

Kalimantan. Jumlah penduduk miskin pada September 2013 sebesar 28,55 juta orang atau

11,47 %, dibandingkan Maret 2013 meningkat 480 ribu orang. Dari jumlah penduduk

miskin tersebut, sebagian besar dialami oleh petani yaitu sebanyak 70%. Fakta tersebut

menunjukkan bahwa masih terjadi distorsi distribusi pembangunan yang beralnjut pada

tidak terdistribusi secaca adil kemakmuran. Akibatnya, kantong kemiskinan banyak terjadi

di pedesaan yang sebagian besar adalah berprofesi sebagai petani.

Menurut Tjokrowinoto, Moeljarto (1996) bahwa distorsi pembangunan khususnya

terkait dengan percepatan penyerapan pembangunan sampai akar rumput di pedesaan

sebagaimana harapan otonomi daerah, salah satunya dipicu oleh pola pembangunan yang

dijadikan pijakan pelaksanaan pembangunan. Pendekatan pembangunan yang berorientasi

pada pertumbuhan sebagaimana selama ini yang diacu oleh negara-negara berkembang

termasuk Indonesia dalam mengejar ketertinggalannya dari negara-negara kapitalis maju,

atau yang lebih dikenal dengan paradigma pertumbuhan sering memberikan angka-angka

fantastis dengan meninggalkan problematika grass rooth. Pola pertumbuhan, lebih

memitikberatkan pada dimensi-dimensi makro, sehingga sering melupakan sektor mikro

yang justru merupakan sebagian besar pelaku ekonomi.

Pembangunan berbasis pertumbuhan menjadikan distorsi ekonomi yaitu semakin

panjang barisan kemiskinan, meningkatnya pengangguran, semakin beratnya beban hutang

luar negeri yang harus ditanggung, masifikasi, undimendionalisasi, degradasi kualitas

lingkungan hidup secara terus menerus, dan proses dehumanisasi tersamar yang nyaris

tidak terkontrol (Tjokrowinoto, 1996; Tjokrowinoto, 1998). Pola ini, sering memunculkan

eliminasi peran masyarakat disatu sisi dan dominasi negara di sisi lain. Fakta tersebut

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Juni 2015

3

akhirnya memunculkan tawaran pola pembangunan baru yang melibatkan partisipasi

masyarakat sebagai wacana sentral pembangunan sebagai paradigma pembangunan yang

lebih manusiawi, tercerahkan dan menyentuh nilai-nilai mendasar dari pembangunan

(Tatag Wiranto dan Antonius Tarigan, 2002).

Munculnya upaya perombakan paradigma pembangunan serta implikasi-implikasi

praktis yang mengikutinya selama beberapa dekade terkahir ini tidak terlepas deadlock-nya

sistem lama yang tidak cukup mujarab untuk mengatasi problem ekonomi baik secara

lokal, nasional maupun global. Bahkan, memunculkan dis-legitimasi terhadap ilmu

ekonomi dengan memberikan satu simbol the dead of economic.

Tawaran baru sebagai cara sistem pemberdayaan ekonomi, terutama pembangunan

ekonomi lokal di era otonomi daerah tidak lepas dari berfungsinya social agent oleh

masyarakat dan lembaga-lembaga non govermental, seperti Lembaga Swadaya Masyarakat

(LSM). Kelompok tersebut menjadi aktor pembangunan alternatif dengan mengangkat

eksistensi masyarakat dalam bentuk ekonomi partisipatif dan pemberdayaan (empowering).

Isu tersebut sesungguhnya ada sejak lama, dan sejalan makin majunya pola pikir baru

akhirnya mengemuka berbagai tawatan ekonomi yang lebih humanis seperti konsep tatanan

kehidupan berbangsa dan bernegara good governance (Grindle, 1998) atau human

governance (Falk, 1997).

Human empowering yang dianggap pola ekonomi alternatif di era otonomi daerah

mendudukkan manusia tidak hanya dilihat sebagai tujuan atau objek utama pembangunan,

tetapi juga menjadi aktor sentral yang peran dan kontribusinya menentukan masa depan

pembangunan. Disini, kapasitas manusia mendapat prioritas utama, dan oleh karenanya

dijadikan semacam moral bencmark. Konsetrasi pembangunan ditujukan pada proses

pengembangan kapasitas personal dan institusional untuk dapat memobilisasi dan

mengelola sumberdaya yang dimiliki guna meningkatkan kualitas hidup yang sesuai

dengan aspirasi masyarakat (Korten, 1990). Cara pandang ini menciptakan People-

Centered Development atau Capacity Building pada setiap agen pembangunan.

Tawaran pergeseran model pembangunan lokal dengan fokus pada pemberdayaan

tersbut diatas bukan tanpa masalah dan kendala. Persoalan tersebut berkaitan dengan tiga

peran dalam setiap pembangunan, yaitu (1) bagaimana peran dan kontribusi perekonomian

lokal terhadap perekonomian nasional; (2) bagaimana melakukan upaya optimalisasi atas

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Juni 2015

4

peran dan kontribusi; dan (3) bagaimana mengelola potensi-potensi yang ada dan dimiliki

oleh masyarakat, baik sumber daya alam, sumber daya manusia, teknologi, kemampuan

kelembagaan (capacity of institutions) maupun aset pengalaman (Haeruman, 2001).

Untuk menjawab kegalauan efektifitas tawaran baru pembangunan tersebut dapat

dijawab dengan sejauhmana konstruksi empowering yang dilakukan. Kekuatan mapping

dan konstruksi empowering akan mendudukkan setiap alokasi sumberdaya dalam kerangka

kontribusi baik secara makro maupun mikro. Karena itu, dalam tawaran pola baru

pembangunan lokaal berbasis community empowering, harus mampu menjawab persoalan:

(1) siapa atau kelompok mana yang harus diberdayakan?; (2) apa yang mau diberdayakan?;

dan (3) bagaimana atau dengan cara apa pemberdayaan dilakukan ?

Pengembangan Ekonomi Lokal (Local Economic Development)

Krisis moneter serta krisis global dengan kekuatannya mengguncang iklim usaha

(ekonomi) nasional beberapa tahun terakhir semakin menyadarkan banyak pihak akan

pentingnya pemberdayaan ekonomi rakyat sebagai pilar ekonomi yang imun. Paradigma

pembangunan pemberdayaan tidak memutlakkan dasar pertumbuhan dengan peran

penguasa-penguasa ekonomi, melainkan pada semua pihak terutama pada peran ekonomi

rakyat layak untuk dipertimbangkan.

Keputusan politik pemberlakuan Otonomi Daerah yang dimulai sejak tanggal 1

Januari 2001, merupakan babak baru yang menawarkan sejuta harapan. Kondisi tersebut

telah membawa implikasi yang luas dan serius bagi pranata ekonomi lokal diharapkan

lebih mandiri dan menyentuh hajat grass rooth.

Otonomi Daerah merupakan keputusan politis yang menggeser tata penyelenggaraan

pemerintahan daerah yang sentralistik birokratis ke arah desentralistik. Undang-undang

Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah melahirkan paradigma baru dalam

pelaksanaan otonomi daerah, yang meletakkan otonomi penuh, luas dan bertanggung jawab

pada daerah Kabupaten dan Kota untuk lebih mandiri mengurusi segala kepentingan

pembangunan di daerahnya.

Disini, diharapkan terjadinya kreatifitas baru dalam pembangunan yang lebih

manusiawi untuk mendukung pembangunan lokal yang selama ini masih didominasi dalam

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Juni 2015

5

bentuk sistem ekonomi pertumbuhan. Fakta pergeseran tersebut membutuhkan motor

ekonomi berbasis kerakyatan agar sejalan dengan prinsip dan pola otonomi daerah, seperti

pembangunan ekonomi daerah dengan berbasis kemitraan.

Pembangunan Ekonomi Lokal (PEL) merupakan bagian dari pembangunan daerah,

yang difokuskan pada pembangunan daerah yang memperhatikan kekhasan, keberagaman,

keunggulan dan potensi daerah. PEL dikonstruksi dengan memperhatikan kearifan lokal

dan peran serta stakeholder yang tinggi mulai dari perencanaan sampai pada implementasi

(empoweiung).

Edward J. Blakely (1994) mendefenisikan Local Economic Development “ = f

(natural resources, labor, capital, investment, entrepreneurships, transport,

communication, industrial composition, technology, size, export market,

international economic situation, local government capasity, national dan state

government spending and development supports). All of these factors may be

important. However, the economic development practitioner is never certain which

factor has the greatest weight in any given situation”. Lebih lanjut dinyatakan bahwa

“..... The central feature of locally based economic development is in the emphasis on

endogenous development using the potensial of local human and physical resources

to create new employment opportunities and to stimulate new, locally based

economic activity”.

Batasan tersebut diatas cukup jelas tentang aktor dan posisi aktor dalam

pembangunan ekonomi lokal, serta dimensi garapan yang dilakukan dalam local economic

development. Pembangunan ekonomi lokal lebih ditujukan untuk mendorong pembangunan

sumberdaya manusia lokal dan sumberdaya fisik untuk meningkatkan peluang kesempatan

kerja serta menjadi stimulan pada aktivitas ekonomi lokal. Ekonomi lokal didasarkan pada

pemanfaatan sektor industri lokal berbasis partisipasi. Pembangunan Ekonoi Lokal (PEL)

merupakan proses dimana pemerintah lokal dan organsisasi masyarakat terlibat untuk

mendorong, merangsang, memelihara, aktivitas usaha untuk menciptakan lapangan

pekerjaan.

The World Bank (2001) mendefinisikan “.....Local Economi Development (LED) is

the process by which public, business and non governmental sector partners work

collectively to create better conditions for economic growth and employment

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Juni 2015

6

generation”. The aim is to improve the quality of life for all. Practicing local

economic development means working directly to build the economic strength of all

local area to improve its economic future and the quality of life of its inhabitats.

Prioritizing the local economy is crucial if communities today depends upon them

being able to adopt to the fast changing and increasingly competitive market

environment”.

Nampaknya definisi World Bank tersebut mempertegas batasan sebelumnya bahwa

pembangunan ekonomi lokal yang harus dilaksaakan secara partisipatif dengan melibatkan

masyarakat, dunia bisnis dan lembaga non govermental secara kolektif untuk mendorong

pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja. Pembangunan ekonomi lokal harus dapat

meningkatkan kualitas taraf hidup dimasa datang. Pembangunan ekonomi lokal harus

memupuk kekuatan ekonomi lokal secara keseluruhan untuk pengembangan dimasa

datang, serta meningkatkan daya saing daerah.

Menurut World Bank tersebut Pembangunan Ekonomi Lokal (PEL) sebagai proses

yang dilakukan secara bersama oleh pemerintah, usahawan, dan organisasi non pemerintah

untuk menciptakan kondisi yang lebih baik untuk pertumbuhan ekonomi dan penciptaan

lapangan kerja di tingkat lokal.

Menurut. A. H. J. Helming berpendapat Pembanguan Eekonomi Lokal merupakan

suatu proses dimana kemitraan yang mapan antara pemerintah daerah, kelompok berbasis

masyarakat, dan dunia usaha mengelola sumber daya yang ada untuk menciptakan

lapangan pekerjaan dan merangsang (pertumbuhan) ekonomi pada suatu wilayah tertentu.

Pembangunan Ekonomi Lokal menekankan pada kontrol lokal, dan penggunaan potensi

sumber daya manusia, kelembagaan dan sumber daya fisik lokal.

Bertolak dari berbagai definisi tersebut, Pembangunan Ekonomi Lokal (PEL) pada

hakekatnya merupakan proses kemitraan antara pemerintah daerah dengan para stakeholder

termasuk sektor swasta dalam mengelola sumber daya alam dan sumber daya manusia

maupun kelembagaan secara lebih baik melalui pola kemitraan dengan tujuan untuk

mendorong pertumbuhan kegiatan ekonomi daerah dan menciptakan pekerjaan baru.

Ciri utama pengembangan ekonomi lokal adalah pada titik beratnya pada kebijakan

“endogenous development" mendayagunakan potensi sumber daya manusia, institutional

dan fisik setempat. Orientasi ini mengarahkan kepada fokus dalam proses pembangunan

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Juni 2015

7

untuk menciptakan lapangan kerja baru dan merangsang pertumbuhan kegiatan ekonomi.

(Blakely, 1989).

Pengembagan ekonomi lokal hartus dilakkukan secara sistematis untuk

membebaskan masyarakat dari semua keterbatasan yang menghambat usahanya guna

membangun kesejahteraan dan kuaitas hidup. Muatan kesejahtaeraan disi harus

didudukkan dalam artian khusus yaitu menjamin keselamatan terpeliharannya kearifan

lokal, adat istiadat, agama dan kebiasan bagi harga dirinya sebagai mausia. Dengan

demikian, pembangunan ekonomi lokal harus mampu memberdayakan masyarakat

ekonomi dalam suatu wilayah dengan bertumpukan kepada kekuatan lokal, baik itu

kekuatan nilai lokasi, sumber daya alam, sumber daya manusia, teknologi, kemampuan

manajemen kelembagaan (capacity of institutions) maupun asset pengalaman (Haeruman,

2001).

Konsep pembangunan didasarlan pada kearifan lokal erat kaitannya dengan

pemberdayaan sumberdaya manusianya, lembaganya dan lingkungan sekitarnya.

Pengembangan ekonomi lokal dapat dilakukan dengan pengembangan lembaga kemitraan

semua stakeholders (pemerintah, dunia usaha dan masyarakat) dengan demikian

membutuhkan kemampuan komunikasi diantara semua lembaga yang bersangkutan yang

menjamin kesinambungan mitra kerja dan mitra usaha.

Kemitraan (Partnership)

Nomenklatur kemitraan sesungguhnya adalah nomenklatur asli Indonesia yang

bersumber dari kaidah gotong-royong. Essensi kemitraan banyak sesuai dengan esensi

gotong-royong, yaitu adanya muatan yang sama seperti pelibatan para pemangku

kepentingan dalam satu aktus. Kemitraan dibentuk atas hubungan antar pelaku yang

bertumpu pada ikatan usaha yang saling menunjang (interdependen) dan saling

menguntungkan serta saling menghidupi berdasarkan asas kesetaraan dan kebersamaan

(Haeruman, 2001).

Pembangunan berbasis kemitraan mendudukkan human sebagai satu agen

pembangunan yang secara aktif patisipatif teribat didalamnya. Struktur aktor ekonomi tidak

memposisikan negara (pemerintah) sebagai penentu sentral melainkan keterlibatan semua

pemangku kepentingan dengan mengedepankan kearifan lokal sebagai sumber kekuatan.

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Juni 2015

8

Edward J. Blakely (1994) menguraikan Public-Private-Partnerships : “No matter

what organizational structure is selected, public agencies and private firms have to

enter into new relationships to make the development process work. This approach

is much more than the public sector merely offering cooperation to the private

sector to facilitate economic activities for private gain; it is far more than

occaional meetings between the municipal council and local business

organizations, such as the chamber of commerce. Although these activities are

important, and perhaps integral to good business/government relations, they do not

constitute true partnerships among the sectors. Partnerships are shared

commitments to pursue common economic objectives jointly determined by public,

private, and community sectors and instituted as joint actions.

Batasan tersebut diatas sangat jelas bahwa kemitraan melibatkan masyarakat (pubic

agencies) dan perusahaan dalam proses pembangunan. Pendekatan ini mendudukkan

keberadaan sektor publik dan sektor private (perusahaan) memfasilitasi masyaraat dan

organisasi non govermental dalam aktivitas ekonomi. Mereka membentuk komitmen

bersama untuk bersama dalam melaksanakan pembangunan.

Menurut pengalaman praktik kemitraan selama ini, keikutsertaan sektor swasta dan

wakil dari masyarakat ternyata menentukan dalam peningkatan dinamika suatu kemitraan.

Komitmen kerjasama saling menigisi para member lebih leluasa menyampaikan berbagai

masalah atau tantangan dalam mencari solusi percepatan pembangunan daerah

Rachmat (2004) memberikan batasan bahwa kemitraan merupakan hubungan

kerjasama usaha diberbagai pihak yang strategis, bersifat sukarela, dan berdasar prinsip

saling membutuhkan, saling mendukung, dan saling menguntungkan dengan disertai

pembinaan dan pengembangan UKM oleh usaha besar.

Herman Haeruman (2001) menyatakan kemitraan sebagai suatu proses, dimulai

dengan perencanaan, kemudian rencana itu diimplementasikan dan selanjutnya dimonitor

serta dievaluasi terus-menerus oleh pihak yang bermitra. Sebagai satu proses, keberhasilan

diukur dari pencapaian nilai tambah yang didapat oleh pihak yang bermitra baik dari segi

material maupun non-material.

Kemitraan dapat dikembangkan dengan cara meningkatkan sensitifitas, komitmen

dan empati masing-masing partner dalam menjalankan mitra. Keharusan setiap anggota

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Juni 2015

9

untuk sensitif terhadap apa yang menjadi tujuan forum kemitraan, tujuannya sendiri, serta

tujuan individual identik dengan mencabut akar kemitraan itu sendiri (The Peter F. Drucker

Foundation, 1996; Austin, 2000; The Jean Monnet Program, 2001).

Tujuan dilakukannya jejaring (kemitraan) adalah terwujudnya sinergi kegiatan yang

saling mendukung untuk mencapai tujuan bersama. Secara lebih rinci pelaksanaan jejaring

dan kemitraan, diharapkan dapat:

1. Meningkatkan Partisipasi Masyarakat

2. Peningkatan Mutu dan Kompetensi

3. Mensinergikan Program

4. Meningkatkan perbolehan nilai tambah bagi pelaku kemitraan.

5. Meningkat pemeran dan pemberdayaan masyarakat.

6. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi pedesaan, wilayah dan nasional.

7. Memperluas kesempatan kerja.

Kemitraan Pembangunan Ekonomi Lokal (KPEL)

Kemitraan Pengembangan Ekonomi Lokal (KPEL) merupakan pendekatan untuk

mendorong aktivitas ekonomi melalui pembentukan kemitraan masyarakat, swasta dan

pemerintah yang memfokuskan pada pembangunan aktivitas kluster ekonomi, sehingga

terbangun keterkaitan (linkage) antara pelaku-pelaku ekonomi dalam satu wilayah atau

region (perdesaan/kota/kecamatan/kabupaten/propinsi) dengan market (pasar lokal,

nasional dan pasar internasional) (UNDP, UN-HABITAT & BAPPENAS, 2002).

Kemitraan Pembangunan Ekonomi Lokal (KPEL) dikonstruksi lewat linkage

sinergis setara antar para pemangku kepentingan dalam satu agen pembangunan

kedaerahan. Ini sangta penting khususnya dalam era otonomi daerah, yang mana, daerah

dituntut kemandriannya lewat penggarapan potensi. Berbekal dari pola kemitraan,

pembangunan dibangun atas dasar buttom up agar dapat mnyentuh grass rooth.

Pada pendekatan kemitraan pembangunan lokal, pola penting yang harus dilakukan

adalah bagaimama desain kemitraan diarahkan untuk mendukung terciptanya: (1)

pembangunan ekonomi yang mendayagunakan sumber daya lokal; (2) peningkatan

pendapatan dan penciptaan peluang lapangan kerja; (3) perencanaan yang terintergrasi baik

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Juni 2015

10

vertikal dengan horizontal maupun sektoral dan regional (daerah); dan (4) terwujudnya

pemerintahan yang baik (good governance).

Strategi Kemitraan Pembangunan Ekonomi Lokal (KPEL)

Konsep pembangunan ekonomi lokal yang didasarkan partisipatif dan kemitraan

secara konseptual dianggap bagus, karena dibangun atas dasar sumberdaya lokal serta

memiliki potensi pada pengangkatan sektor mikro. Ini dapat menumbuhkan pertumbuhaan

yang riil, karena capaian ekonomi tidak hanya dilihat dari dimensi makro saja.

Kendati demikian, konsep kemitraan pembangunan ekonomi lokal harus didesain

rapi, terintegrasi serta benar-benar terjadi pelibatan pemangku kepentingan (masyarakat,

swasta, sektor publik dan lembaga-lembaga non govermental yang ada). Jika tidak,

pembangunan ekonomi lokal sulit tercapai. Artinya, Kemitraan pembangunan ekonomi

lokal harus dipilih dengan strategi yang efektif.

Pelaksanaan Kemitraan Pembangunan Ekonomi Lokal (KPEL), secara konseptual

terdapat dua strategi, antara lain (Tatag Wiranto dan Antonius Tarigan, 2002):

1. Memfasilitasi forum kemitraan pada setiap jenjang kepemerintahan dengan melibatkan

semua stakeholder (masyarakat, pemerintah, swasta, NGO), untuk berdialog mengenai

pembangunan ekonomi. Melalui forum ini, seluruh stakeholder diberi ruang untuk

berpartisipasi dalam proses perencanaan, formulasi kebijakan, pembuatan keputusan,

monitoring dan evaluasi.

Disni, dilakukan pembentukan kelembagaan sehingga muncul kesepakatan, konvensi,

serta aturan main. Kelembagaan dapat berupa suatu aturan yang dikenal dan diikuti

secara baik oleh anggota masyarakat, yang memberi naungan (liberty) dan

meminimalkan hambatan (constraints) bagi individu atau anggota masyarakat.

Kelembagaan dapat tertulis secara secara formal dan ditegakkan oleh aparat

pemerintah, juda dapat berupa tidak ditulis secara formal seperti pada aturan adat dan

norma yang dianut masyarakat. Kelembagaan itu umumnya dapat diprediksi

(predictable) dan cukup stabil, serta dapat diaplikasikan pada situasi berulang

Kelembagaan menentukan bagaimana seseorang atau sekelompok orang harus dan

tidak harus mengerjakan sesuatu (kewajiban atau tugas), bagaimana mereka boleh

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Juni 2015

11

mengerjakan sesuatu tanpa intervensi dari orang lain (kebolehan atau liberty),

bagaimana mereka dapat (mampu) mengerjakan sesuatu dengan bantuan kekuatan

kolektif (kemampuan atau hak), dan bagaimana mereka tidak dapat memperoleh

kekuatan kolektif untuk mengerjakan sesuatu atas namanya (ketidakmampuan atau

exposure) (Commons, 1968).

2. Mendorong forum kemitraan untuk menstimulasi kegiatan kluster ekonomi sebagai

suatu sarana untuk menciptakan kesempatan peningkatan pendapatan dan peluang

lapangan kerja. Hal itu dapat dicapai melalui identifkasi pasar serta pengembangan,

diversifikasi dan pemasaran dari cluster komoditas terpilih (UNDP, UN-Habitat &

Bappenas, 2002). Disni, dilakukan upaya secara sistematis mendorong kerangka

kelembagaan yang terbentuk untuk melakukan kluster aktivitas ekonomi yang

terencana, jelas, dan terarah. Kriteria untuk pemilihan kluster aktivitas ekonomi yang

dapat diterapkan pada pengembangan ekonomi lokal dengan basis atau pendekatan

kemitraan adalah sebagai berikut (Arifin, 2001):

a. Penggalian informasi dan indentifikasi potensi permintaan.

b. Anaisis kemampuan untuk tumbuh tinggi di atas rata-rata, sustainable, competituve

advantage dan comparative.

c. Peibatan usaha kecil-menengah dan keluarga.

d. Menciptakan lapangan kerja produktif bagi kelompok rumah tangga miskin.

Desain Metodologi Kemitraan Pembangunan Ekonomi Lokal (KPEL)

Pada sub diatas dinyatakan bahwa terdapat dua strategi yang lazim dipergunakan

untuk mengeksekusi Kemitraan Pembangunan Ekonomi Lokal (KPEL), yang mana, secara

operasional harus diturunkan kedalam tahapan program. Cara untuk menurunkan kedua

strategi tersebut dalam tahapan kegiatan sering disebut Desain Metodologi Kemitraan.

Desain tersebut dimaksudkan untuk mendukung pelaksanaan strategi KPEL (strategi 1 dan

2) yang disusun atas dasar fenomena (fakta empiris) dimana program tersebut akan

dilaksanakan.

Desain Metodologi Kemitraan Pembangunan Ekonomi Lokal (KPEL) terdiriri dari

13 langkah metodologi yang dapat dijadikan sebagai guideline oleh stakeholder dalam

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Juni 2015

12

suatu region yang terlibat. Dari ketiga belas langkah tersebut dikelompokkan kedalam 3

phase (tahapan), antara lain: (1) phase initiation; (2) phase implementation; dan (3) phase

institutionalize. Keterkaitan phase tersebut tidak bersifat linear dan sequen sehingga dapat

disesuaikan dengan kebutuhan dan kontektual daerah (UNDP, UN-Habitat dan Bappenas,

2002).

Gambar 1

Desain Metodologi KPEL

Sumber: Kosneptualisasi dari Meta Analisis Referensi

Gambar sebagaimana tersebut diatas menjelaskan tentang tahapan metodologis

program Kemitraan Pembangunan Ekonomi Lokal (KPEL) yang dapat dijadikan guidance

pada daerah yang akan melaksanakan pembangunan berbasis kemitraan. Gambar tersebut

menjelaskan tiga step (phase) kegiatan yang bersifat hirakhis metodologis mulai awal

sampai akhir program. Untuk memberikan gambaran singkat dijelaskan sebagai berikut:

Membangun/memperkuat kemitraan daerah di tingkat Kabupaten/Kota (K-PLED).

Mengadakan penelitian baseline survey Pemberdayaan kelompok produsen (UKM). Fasilitasi dukungan teknis

Phase Initiation

Phase

Implementation

Phase

Institutionalise

Sosialisasi Program KPEL Seleksi dan pelatihan kader

PEL Indentifikasi dan Pemilihan

Kluster

Deseminasi informasi pasar Fasilitasi input dan umpan balik

bagi kebijakan dan perencanaan. Mobilisasi sumber daya. Branding. Membangun/memperkuat

kemitraan di tingkat Propinsi (Pro-PLED).

Melembagakan/melegalisasikan forum kemitraan.

Membangun/memperkuat kemitraan daerah di tingkat Kabupaten/Kota (K-PLED).

Mengadakan penelitian baseline survey Pemberdayaan kelompok produsen (UKM). Fasilitasi dukungan teknis

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Juni 2015

13

Phase 1: Initiation

Phase ini menjelaskan tentang tahap awal untuk melakukan satu program kemitraan dalam

rangka pembangunan ekonomi lokal. Pada phase ini memuat tiga tahapan kegiatan, yang

semuannya bersifat inisiasi. Adapun tiga tahapan tersebut, antara lain:

Sosialisasi Program Kemitraan Pembangunan Ekonomi Lokal.

Disni merupakan tahapan penting untuk memperoleh apresiasi dan dukungan serta

sekaligus media brainstrming kepada semua pihak yang akan terlibat dalam program.

Pada tahap ini akan diperoleh data awal apakah satu program kemitraan bisa

dilaksanakan atau tidak bisa dilaksanakan. Sosialisasi dimaksudkan untuk

memperkenalkan dan menjelaskan Program Kemitraan Pembangunan Ekonomi Lokal

kepada stakeholder, tentang: (a) apa yang menjadi tujuan dan sasarannya; (b) siapa yang

akan dilibatkan; (c) bagaimana mekanisme pelaksanaannya; dan (d) apa manfaat yang

diperoleh baik bagi masyarakat, swasta mupun pemerintah.

Seleksi dan pelatihan kader Pembangunan Ekonomi Lokal.

Phase ini diambil setelah phase pertama memperoleh kepastian bahwa program fisible.

Pelatihan kader dimaksudkan untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan kader

tentang program karena akan menjadi agen implementasi (agent of implementation),

fasilitasi, dan prime mover berjalannya Program Kemitraan Pembangunan Eekonomi

Lokal di daerah. Selaku change of agent, kader diharapkan dapat membantu

mempercepat proses transformasi, perubahan, dan reformasi sesuai dengan kebutuhan

semua stakeholder.

Indentifikasi dan Pemilihan Kluster.

Disini merupakan tahap penting dan krusial. Pada tahap ini menentukan kualitas

program yang akan didesain dan dilaksanakan serta akan menjadi matter program.

Identifikasi dan pemilihan kluster dimaksudkan untuk menemukan berbagai kegiatan

yang relevan dalam satu objek, memilih dari berbagai bentuk kegiatan yang ditemukan,

serta memfokuskan pengembangan kegiatan ekonomi melalui kluster terpilih sebagai

starting point. Tahapan yang dilakukan adalah mengidentifikasi sejumlah cluster

potensial, menemukan berbagai cluster, memilih cluster yang akan dikembangkan

sesuai dengan kesepakatan dan kesesuaian dari stakeholder daerah.

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Juni 2015

14

Phase II, Implementation.

Phase kedua merupakan tahap eksekusi atas program yang telah terseleksi dan didesain

dengan melibatlkan seperangkat analisis, baik pilihan cluster maupun kesuaian dengan

stakeholder. Artinya, pada phase ini menjelaskan bagaimana mengimplementasikan

program Kemitraan Pembangunan Ekonomi Lokal. Disini terdapat sembilan (9) langkah,

antara lain:

Membangun/memperkuat kemitraan daerah di tingkat Kabupaten/Kota.

Kegiatan ini merupakan kegiatan yang berusaha dekat dan memahami stakeholder.

Membangun dan memperkuat kemitraan harus dilakukan secara intensif sehingga

mempercepat proses pemahaman karaker stakeholder, seperti: tokoh yang berperan,

kebiasaan, adat, sumberdaya lokal, keunggulan lokal, agama, keyakinan, serta

demografi dan karakter lainnya. Bukan hanya itu, kegiatan ini juga untuk melakukan

identifikasi stakeholder (pemerintah, masyarakat dan swasta). Pemahaman stakeholder

tersebut untuk memudahkan membangun linkage dan diajak secara bersama-sama

membangun kemitraan sehingga berfungsi sebagai forum dialog, penyusunan strategi

dan pengambilan keputusan, khususnya yang terkait dengan pengembangan ekonomi

lokal.

Mengadakan penelitian baseline survey.

Disini dimaksudkan untuk memperoleh dan mengumpulkan data dan informasi guna

membantu forum kemitraan dalam membuat keputusan-keputusan, seperti: potensi pasar

bagi kluster aktivitas ekonomi; pengembangan diversifikasi komoditas yang akan

dikembangkan; menemukan kendala dan kekuatan dalam pengembangan kluster dan

produk, serta untuk kepentingan lainnya.

Pemberdayaan kelompok produsen (UKM).

Kegiatan ini dimaksudkan untuk meningkatan kapasitas, potensi, dan keahlian kolektif

dari masyarakat produsen. Proses pemberdayaan ini harus mempertimbangkan

kebutuhan riil UKM dan unit ekonomi keluarga, sehingga pemberdayaan lewat

kemitraan benar-benar memberkan manfaat jangka panjang, tidak sekedar life service.

Kelompok ini merupakan kelompok relatif terlemah dalam forum kemitraan.

Fasilitasi dukungan teknis.

Disini lebih bersifat pengauatan sarana dan keahlian produksi. Kegiatan ini ditujukan

untuk meningkatkan mutu, perbaikan proses produksi dan meningkatkan nilai jual

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Juni 2015

15

dalam pengembangan kluster bagi kemitraan di daerah. Dukungan teknis dapat berasal

dari semua stakeholder, seperti: Bappeda, Dinas, Departemen Teknis, BUMN/BUMD,

Swasta, Pengusaha, Konsultan, CSR, serta instansi terkait lainnya.

Deseminasi informasi pasar.

Disini dimaksudkan untuk membangun jaringan pasar dan market share bagi para UKM

binaan. Untuk mencapai harapan tersebut dilakukan dengan cara mengumpulkan dan

menyebarluaskan informasi pasar agar semua anggota forum kemitraan, khususnya

kelompok produsen memperoleh akses yang sama terhadap informasi pasar (harga,

peluang, transaksi), stakeholder dan kluster.

Fasilitasi input dan umpan balik bagi kebijakan dan perencanaan.

Kegiatan ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan dan mendayagunakan forum

kemitraan untuk memberikan masukan bagi kebijakan perekonomian daerah,

perencanaan infrasruktur ekonomi dan proses-proses pembangunan lainnya. Artinya,

pemerintah dalam mengembangkan dan merumuskan kebijakan sekarag dan masa

datang benar-benar didasarkan pada realitas bukan hanya sekedar asumsi sehingga

program benar-benar sampai pada sasarannya.

Mobilisasi sumber daya.

Disini merupakan tahapan penting, karena dilakukan mobilisasi resources. Pada tahap

ini sangat menentukan jaminan keberlanjutan dan kelangsungan forum kemitraan di

daerah. Karena itu, mobilisasi sumber daya baik sumber daya manusia, sumber daya

alam, sumber daya keuangan, aset pengalaman, teknologi dalam konteks kerjasama

sektoral dan daerah secara terencana, sistematis, dan lewat analisis yang fisible.

Sumberdaya tersebut dapat berasal dari pemerintah, lembaga donor, pihak swasta,

pengusaha lokal, dan masyarakat.

Branding.

Cara yang dapat ditempuh adaah dengan melakukan identifikasi peluang, akses

pemasaran, ancaman, opportunity, potensi constrain, dan meningkatkan nilai jual

komoditas dengan mempromosikan bran atau produk ekonomi lokal yang dihasilkan.

Branding juga dapat dilakukan dengan pola mitra swasta yang telah mapan dan

memiliki jaringa luas guna mempercepat sosialisasi dan menekan cost.

Membangun/memperkuat kemitraan di tingkat Propinsi (Pro-PLED). Kemitraan di

tingkat propinsi mempunyai posisi kunci dan peran penting yaitu menstimulasi

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Juni 2015

16

pertumbuhan ekonomi regional dan sebagai aliansi strategis untuk mendorong

terciptanya lingkage antar satu kabupaten dengan kabupaten lainnya, kabupaten dengan

propinsi, propinsi dengan dengan propinsi lainnya, propinsi dengan nasional dan dunia

internasional.

Phase III. Institutionalise

Tahap ini merupakan tahap terbentuknya format yang baku sebagai sarana melaksanakan

program, yaitu phase untuk meformalkan institusi yang terbentuk sebagai pranata

pembangunan.

Pola yang dapat dilakukan adalah dengan “melembagakan/melegalisasikan forum

kemitraan”. Pelembagaan forum kemitraan dimaksudkan untuk memperkuat peran dan

posisi yang dilakukan oleh forum kemitraan, pusat koordinasi dan transformasi informasi

mitra, serta keberlanjutannya. Bentuk forum kemitraan dapat benrbentuk: (1) dalam

koordinasi dan legalisasi pemerintah; (2) dapat berdiri sendiri dan merupakan suatu

lembaga yang independen; (3) berada dalam suatu lembaga pelaksana tertentu seperti

misalnya LSM atau organisasi masyarakat lainnya.

PENUTUP

Pembangunan yang didasarkan pada pertumbuhan kendatipun memiliki landasan

dan kajian teori yang telah mapan namun ternyata tidak cukup efektif mengantarkan

kesejahteraan sampai pada grass roooth. Itu karena, parameter pembangunan yang

digunakan lebih didasarkan pada aspek pertumbuhan, khususnya parameter makro

ekonomi, sehingga ketercapaian pertumbuhan terkadang mencerminkan kondisi grass

rooth.

Pengalaman sejarah tersebut akhirnya memunculkan hipotesis sistem pembangunan

ekonomi alternatif, yang salah satunya adalah sistem Kemitraan Pembangunan Ekonomi

Lokal (KPEL). Kemitraan Pembangtunan Ekonomi Lokal merupakan model pembangunan

alternatif dalam ekonomi lokal yang didasarkan pada kemitraan dan partisipatif, sehingga

dalam desainya melibatkan para pemangku kepentingan.

Pola strategi ini nampaknya memiliki karakter dan kecocokan dalam era otonomi

daerah. Otonomi daerah yang memiliki tujuan untuk meningkatkan kemandirian daerah,

meningkatkan daya saing daeraah dengan mengedepankan kualitas layanan masyarakat

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Juni 2015

17

dengan terobosan pembangunan sampai level grass rooth. Karakter tersebut sangat

berdekatan dengan pola Kemitraan Pembangunan Ekonomi Lokal, yang dalam desainnya

berkolabirasi antara pemerintah, swasta, masyarakat dan non govermental organization

(NGO). Stakehoder tersebut berkolaborasi secara sinergis dan terlembagan sehingga dapat

dijadikan wahana untuk perencanaan sampai pada implementasi dan evaluasi

pembangunan ekonomi daerah.

Pada tataran praktis, pelaksanaan Program KPEL, terdapat dua strategi antara lain:

(1) memfasilitasi forum kemitraan pada setiap jenjang kepemerintahan dengan melibatkan

semua stakeholder (masyarakat, pemerintah, swasta) , untuk berdialog mengenai

pembangunan ekonomi; (2) mndorong forum kemitraan untuk menstimulasi kegiatan

kluster ekonomi sebagai suatu sarana untuk menciptakan kesempatan peningkatan

pendapatan dan peluang lapangan kerja

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Juni 2015

18

DAFTAR PUSTAKA

Aronso, J.R. and Schwartz, E. 1996. Management Policies in Local Governance Finance,

Washinton. D,C: The International City Management Association

Adi, Isbandi Rukminto, 1994. Psikologi, Pekerjaan Sosial dan Ilmu Kesejahteraan Sosial:

Dasar-dasar Pemikiran, Rajawali Pres, Jakarta

Arifin, Bustanul dan Didik J. Rachbini. Ekonomi Politik dan Kebijakan Publik. PT

Gramedia Widiasarana, Jakarta, 2001.

Asian Development Bank dan Kelompok Kerja Pengembangan UKM. Lokakarya

Penguatan UKM Mempercepat Agenda Reformasi Kebijakan. Hotel Borobudur, 17

April 2002.

Biro Pusat Statistik, 2013, Financial Statistics of The Second Level Local Governance,

Jkarta Indonesia

Berartha, Inyoman, 1982, Desa, Masyarakat Desa dan Pembangunan Desa. Ghalia

Indnesia, Jakarta

Berman, Evan M, 1995. “Empowering Employess in State Agency : a Survey of Recent

Progress”, :International Jurnal of Public Administration, Vol. 18, No. 5, Pp. 833-

850.

Blakely, Edward. J. Planning Local Economic Development. Theory and Practice. Second

Edition. Sage Publications, Inc. 1994.

Bromley, Daniel. 1989. Economic Interests and Institutions. New York : Basil Blackwell.

Clark, John, 1991. Democratizing Development: The Role of Voluntary Organizations

Connecticur, Kumaria Press Inc.

Commons, John R. Institutional Economic : Its Place in Political Economy. Madison :

University of Wisconsion Press. 1934.

Fakih, Mansour, 1996. Masyarakat Sipil Menuju Transformasi Sosial, Yogyakarta :

Pustaka Pelajar.

Lembaga Administrasi Negara dan BPKP, 2000. Akuntailitas dan Good Governance,

Modul Sosialisasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP)

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Juni 2015

19

Korten, David. 1990. Getting to 21 st Century : Voluntary Action and the Global Agenda,

Connecticut : Kumarin Press.

Haeruman, Herman. Js. “Pengembangan Ekonomi Lokal Melalui Pengembangan Lembaga

Kemitraan Pemerintah, Swasta, dan Masyarakat”. Sosialisasi Nasional Program

Kemitraan Bagi Pengembangan Ekonomi Lokal. Hotel Indonesia, 2001.

Indra Ismawan, 2002. Ranjau-ranjau Otonomi Daerah, Amanah, Jakarta

Isbandi Rukminto Adi, 2003. Pemberdayaan,Pengembangan Masyarakat dan Intervensi

Komunitas, Lembaga Penerbit UI, Jakarta.

Martaamidjaja, Soedradjat. A. Agriculture System in Indonesia. The Agency for

Agricultural Education and Training. 1993/4.

Mardiasmo, 2004, Otonomi dan Mnajemen Keuangan Daerah, Andi, Yogyakarta

Prijono, Onny S. dan A.M.W. Pranarka, ed. (1996). Pemberdayaan : Konsep, Kebijakan,

dan Implementasi, Jakarta : CSIS.

Rubin & Rubin, 1986, Organization Theory : Structure, Design and Applications, New

Jersey : Prentice Hall.

Tatag Wiranto dan Antonius Tarigan, 2002. Kemitraan Bagi Pengembangan Ekonomi

Lokal (KPEL) Paradigma Perencanaan Pembangunan Ekonomi Berbasis

PermintaannSolusi Alternatif Atas Program-Program Pemberdayaan Bernuansa

Karitatif, C:\Budi Cahyono\Majalah PP\Th 2002\Edisi 28\Bahan Final\Tatag W dan

Antonius T.doc

Tjokrowinoto, Moeljarto, 1996. Pembangunan : Dilema dan Tantangan, Yogyakarta :

Pustaka Pelajar.

Tjokrowinoto, Moeljarto, 1998. Macro-Optimism and Micro-Scepticism : Two Dimensions

of Indonesian Poverty Alleviation Politics, Tokyo : ILCAA.

The World Bank Urban Development Unit. Local Economic Development, LED Quick

Reference Guide. October 2001.

The Peter F. Drucker Foundation for Nonprofit Management, 1996. “Emerging

Partnership”, Report.

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Juni 2015

20

UNDP, UN-Habitat & Bappenas. KPEL’s 13 Steps to Local Economic Development. July

2002.