Upload
dodat
View
234
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi Indonesia, 2004 USU Repository©2006
Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi Indonesia, 2004 USU Repository©2006
DAFTAR ISI
Daftar Isi ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... i
BAB I
A. Latar Belakang ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .. 1
B. Letak Hukum Tata Negara dalam Klasifikasi Hukurn ... ... ... ... ... ... . 4
C. Tinjauan Umum Tentang Konstitusi ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ..... 5
D. Pengertian Konstitusi . . . ... . . . . . . ... . .. .. . . . . .. . ... . . . . . . .. . . .. . ..6
BAB II
A. Pelaksanaan Pemilu Dalam Negara Demokrasi ... ... ... ... ... ... ... ... ... 7
B. Reformasi Pemilihan Umum di Indonesia ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...16
C. Keuntungan dan Kerugian Sistem Distrik ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...17
Daftar Pustaka ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .. ii
Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi Indonesia, 2004 USU Repository©2006
BAB I
A. Latar Belakang
Konstitusi pada dasarnya adalah kerangka masyarakat politik yang diorganisir dengan
dan melalui hukum yang menetapkan pengaturan mengenai pendirian lembaga-lembaga yang
permanen, fungsi dari alat-alat perlengkapan dan hak-hak tertentu yang telah ditetapkan.
Karena itu konstitusi juga mengandung makna sebagai kumpulan asas-asas penyelenggaraan
kekuasaan secara luas, hak-hak dari yang diperintah dan hubungan antar keduanya.
Suatu negara bangsa (nation state) lahir dengan latar belakang sejarah tertentu. Di
dalamnya terdapat bukan saja berkaitan dengan eksistensinya sebagai sebuah bangsa-bangsa,
tetapi juga dengan mengandung dasar, cita-cita, harapan dan tujuan negara bangsa itu sendiri.
Dalam konteks transformasi politik yang terjadi di dunia, terutama pasca perang dunia ke
kedua, banyak negara bangsa lahir karena dorongan nasib bersama akibat penindasan
kolonialisme yang sangat eksploitatif yang dilakukan dalam skala yang sangat luas, massif
dan kolektif. Karena itu konstitusi negara-negara baru setelah kolonialisme selalu
mengandung satu rumusan yang secara komprehensif meliputi pernyataan kemerdekaan,
dasar, cita-cita, harapan dan tujuan negara. Seringkali konstitusi negara-negara baru tersebut
sangat diwarnai oleh kemauan untuk menegakkan hak kolektif, dalam bentuk lahirnya sebuah
negara bangsa.1
Karena itu seringkali, hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak individual warganya
kurang memperoleh pengaturan secara terperinci. Harus diakui Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 memiliki ciri demikian. Sehingga harus dikatakan, bahwa
penyusunan konstitusi demikian sangat dapat dimengerti, karena fase perjalanan bangsa saat
itu, mengharuskan ada suatu pilihan prioritas yang mesti diambil. Walaupun
1International Idea, Melanjutkan Dialog Menuju Reformasi Konstitusi Di Indonesia, Laporan Hasil Konferensi
Yang Diadakan di Jakarta, Indonesia, Oktober 2001, hal. 45-47
1
Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi Indonesia, 2004 USU Repository©2006
demikian, secara sosiologis dan filosofis, keberadaan konstitusi yang terkait dengan
proklamasi, sesungguhnya telah meneguhkan dasar bagi adanya “kontrak sosial” yang ideal,
seperti tercermin dalam pembukaan konstitusi Indonesia. Apalagi UUD 1945 menyebutkan,
bahwa UUD suatu negara ialah hanya sebagian dari hukum dasar negara itu. UUD ialah
hukum dasar yang tertulis, sedangkan di samping UUD itu berlaku juga hukum dasar yang
tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek
penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis.
Nisbah konstitusi dan proklamasi kemerdekaan adalah suatu keharusan pada saatnya.
Tetapi perkembangan sutu bangsa juga menghendaki tahapan transformasi yang
berkelanjutan. Proklamasi kemerdekaan adalah moment liberalisasi politis, di mana secara
kolektif suatu bangsa melepaskan diri dari struktur kolonialisme dan imperialisme. Pada
perkembangannya suatu bangsa mengalami dinamika internal yang menghendaki kelanjutan
kebebasan kolektif dalam bentuk kebebasan yang luas dari individu warga negara.
Selanjutnya adalah keterlibatan yang lebih efektif warga negara terhadap proses bernegara itu
sendiri. Suatu proses menuju demokrasi kebutuhan yang tak terelakkan. Untuk tahap ini
maka nisbah konstitusi dan proklamasi sudah dianggap tidak cukup. Konstitusi perlu dan
harus dinisbatkan juga dengan demokrasi.
Karena itu konstitusi juga harus dimaknai sebagai jaminan terhadap hak-hak asasi
warga negara. Dengan menggabungkan nisbat konstitusi, proklamasi dan demokrasi,
seringkali konstitusi diberikan pengertian dan batasan-batasan sebagai: pertama, seperangkat
norma yang mengandung dasar, cita-cita, harapan dan tujuan negara; kedua, seperangkat
peraturan yang mengatur pembagian dan pembatasan kekuasaan dalam negara; ketiga,
seperangkat peraturan yang mengatur penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara;
dan keempat, seperangkat peraturan yang memberikan jaminan perlindungan hak-hak asasi
manusia kepada para warga negara dan penduduk negara.
2
Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi Indonesia, 2004 USU Repository©2006
Demokrasi dengan pemikiran di atas menjadi salah satu pilar dalam suatu konstitusi
yang ideal. Di sini disebutkan bahwa demokrasi hanyalah pilar utama atau benang merah
suatu konstitusi. Hal ini menegaskan bahwa demokrasi yang akan dikembangkan dalam
konteks suatu negara itu sendiri yang meliputi dasar, cita-cita, harapan dan tujuan negara.
Karena itu, demokrasi dalam pengaturan suatu konstitusi tetap diletakkan dalam keseluruhan
sistem konstitusionalisme. Demokrasi berkesinambungan akan sangat ditentukan
keberadaannya bila konstitusi secara sistematik mengandung hal-hal sebagai berikut:
1. Jaminan adanya pembagian fungsi lembaga-lembaga kenegaraan, sehingga terwujud
Checks and Balances.
2. Jaminan berfungsinya lembaga-lembaga mayarakat, sehingga terbangun suatu Civil
Society, sebagai basis tewujudnya demokrasi partisipatoris.
3. Adanya jaminan penghargaan terhadap hak-hak individu warga negara dan penduduk
negara, sehingga dengan demikian entitas kolektif, tidak dengan sendirinya
menghilangkan hak-hak dasar orang per orang.
4. Adanya jaminan atas pluralisme sosial di tengah masyarakat. Dalam hal ini hak-hak
minoritas terlindungi dari hegemoni mayoritas.
5. Adanya jaminan terhadap keutuhan negara nasional dan integritas wilayah.
6. Adanya jaminan atas prakarsa daerah untuk mengembangkan diri. Itu berarti otonomi
daerah harus diberikan seluas-luasnya sehingga memberikan keadilan politik, ekonomi
dan kultural.
7. Adanya jaminan keterlibatan rakyat dalam proses bernegara melalui pemilihan umum
yang bebas.
8. Adanya jaminan berlakunya hukum dan keadilan melalui proses peradilan yang
independen.
9. Adanya jaminan keadilan ekonomi dan sosial dalam masyarakat.
3
Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi Indonesia, 2004 USU Repository©2006
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang sampai hari ini sudah mengalami
perubahan keempat, pada perubahan-perubahan berikutnya harus dapat mengakomodir
hal-hal tersebut di atas. Diharapkan, dengan demikian, konstitusi Indonesia ke depan dapat
memberikan sumbangan bagi proses demokratisasi yang dicita-citakan.
Setiap peraturan hukum yang berlaku pada hakikatnya mengandung asas-asas tertentu.
Asas-asas itu berakar di dalam masyarakat dan selama masyarakat masih menerimanya, maka
peraturan hukum itu tetap dipertahankan. Demikian pula halnya dengan Hukum Tata Negara
positif, yang berlaku karena mencerminkan asas-asas tertentu yang hidup di dalam
masyarakat .
Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia belum menyelidiki secara mendalam
kaidah-kaidah Hukum Tata Negara positif, walaupun di sana-sini secara sepintas lalu akan
disinggung. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia hanya akan membahas asas-asas dan
pengertian-pengertian dari Hukum Tata Negara yang berlaku di Indonesia.
B. Letak Hukum Tata Negara Dalam Klasifikasi Hukum
Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H. menyatakan “hukum” adalah rangkaian
peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota masyarakat.
Peraturan-peraturan hukum ini tidak hanya mengatur hubungan antara dua atau lebih
orang-orang perseorangan, melainkan juga antara seorang oknum di satu pihak dan
sekelompok orang atau sebuah badan hukum di lain pihak.2
Dengan dikaitkannya perkataan “negara” dalam hukum tata negara, ada pendapat yang
menyimpulkan bahwa hukum tata negara itu adalah hukum yang pokok pangkalnya “negara”.
Sesungguhnya, perbedaan hukum tata
2 Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busro, Asas-Asas Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta,1985,
hal. 13-14
4
Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi Indonesia, 2004 USU Repository©2006
negara dari lain-lain hukum ialah didasarkan pada materi yang diatur oleh hukum tata negara.
Tetapi apakah materi yang diatur oleh hukum tata negara? Penjelasan hal tersebut akan dapat
ditemukan melalui beberapa pandangan sarjana-sarjana hukum tata negara terkemuka.
Pandangan para sarjana tersebut cenderung berbeda satu sama lain, hal ini disebabkan oleh
adanya perbedaan dalam titik berat anggapan, pengaruh lingkungan serta pandangan hidup
masing-masing
Logemann, merumuskan : Hukum Tata Negara adalah hukum yang mengatur organisasi
negara3
Wolhoff : Hukum Tata Negara adalah norma-norma hukum yang mengatur bentuk negara
dan organisasi pemerintahannya, susunan dan hak-kewajiban organ-organ
pemerintahan
Kusumadi Pudjosewojo : Hukum Tata Negara adalah hukum yang mengatur bentuk negara
(kesatuan atau federal), dan bentuk pemerintahan (kerajaan atau republik), yang
menunjukkan masyarakat-masyarakat hukum yang atasan maupun yang bawahan
beserta tingkatan imbangannya (hierarchie) yang selanjutnya menegaskan wilayah
dan lingkungan rakyat dari masyarakat-masyarakat hukum itu dan akhirnya
menunjukkan alat-alat perlengkapan (yang memegang kekuasan penguasa) dari
masyarakat-masyarakat hukum itu beserta susunan (terdiri dari seorang atau
sejumlah orang), wewenang, tingkatan imbangan dari dan antara alat-alat
perlengkapan itu.4
C. Tinjauan Umum Tentang Konstitusi
Catatan historis timbulnya negara konstitusional, sebenarnya merupakan proses
sejarah yang panjang dan selalu menarik untuk dikaji.
3 Logemann, Over de theorie van een stellig staatsrecht, terjemahan Makkatutu, S.H., Ichtiar Baru-Van Hoeve,
Jakarta, hlm. 106-107 4 Kusumadi Pudjosewojo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, 1976, hlm. 82
5
Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi Indonesia, 2004 USU Repository©2006
Konstitusi sebagai suatu kerangka kehidupan politik telah disusun melalui dan oleh
hukum,yaitu sejak zaman sejarah Yunani, di mana mereka telah mengenal beberapa kumpulan
hukum (semacam kitab hukum). Pada masa kejayaannya (antara tahun 624-404 S.M.). Athena
pernah mempunyai tidak kurang dari 11 konstitusi. Koleksi Aristoteles sendiri berhasil
terkumpul sebanyak 158 buah konstitusi dari berbagai negara.5
D. Pengertian Konstitusi
Istilah konstitusi berasal dari bahasa Prancis (constituer) yang berarti membentuk.
Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksudkan ialah pembentukan suatu negara atau
menyusun dan menyatakan suatu negara.6
Di negara-negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa nasional, dipakai
istilah constitution yang dalam bahasa Indonesia disebut konstitusi.7
5 Dahlan Thaib, S.H., M.Si, Jazim Hamidi, S.H. M.Hum, Ni’matul Huda, S.H., M. Hum, Teori Hukum dan
Konstitusi, Jakarta, RajaGrafindo, 1999, hlm. 1 6 Wirjono Prodjodikoro, Asas- Asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta, 1989, hlm. 10 7 Sri Soemantri M., Susunan Ketatanegaraan Menurut UUD 1945 Dalam Ketatanegaraan Indonesia Dalam
Kehidupan Politik Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hlm. 29, juga periksa dalam Miriam Budiardjo,
Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992, hlm.95
6
Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi Indonesia, 2004 USU Repository©2006
BAB II
A. Pelaksanaan Pemilu Dalam Negara Demokrasi
Penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) merupakan unsur yang harus ada dalam
pemerintahan demokrasi. Pemilihan umum di negara demokrasi dapat dipandang sebagai
awal dari paradigma demokrasi. Di samping unsur pemilihan umum, di negara demokrasi
juga harus ada unsur pertanggungjawaban kekuasaan. Oleh karena itu jika pemilihan dapat
dipandang sebagai awal maka pertanggungjawaban kekuasaan harus dapat dipandang
sebagai akhir paradigma demokrasi.8 Pada akhir perjalanan demokrasi di setiap negara yang
pemerintahannya berbentuk republik, Presiden wajib memberikan pertanggungjawaban
kekuasaan. Hubungan antara rakyat dengan Presiden pada saat pelantikan Presiden oleh
MPR dapat dipandang sebagai penerimaan perjanjian oleh Presiden untuk melaksanakan
pemerintahan demi kepentingan rakyat.9
Salah satu prinsip yang ada dalam pemerintahan modern adalah adanya
pertanggungjawaban. Kekuasaan pemerintahan harus dilaksanakan secara bertanggung
jawab karena kekuasaan itu lahir dari suatu kepercayaan rakyat. Kekuasaan yang diperoleh
dari suatu lembaga yang dibentuk secara demokratis adalah logis harus
dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Dengan demikian pertanggungjawaban merupakan
syarat mutlak yang harus ada pada pemerintahan demokrasi. Di negara demokrasi tidak
satupun
8 Dikutip dari Soewoto, Kekuasaan dan Tanggung jawab Presiden Republik Indonesia (Suatu Penelitian Segi-Segi Teoritik dan Yuridik Pertanggungjawaban Kekuasaan), (Disertasi: Universitas Airlangga), Surabaya, 1990, halaman.148 9 M. Solly Lubis, Ilmu Negara, Alumni, Bandung, 1981, halaman 42-43. Menurut Rousseau pada waktu kelahirannya tiap manusia sungguh-sungguh merdeka (tout homme est libre). Tetapi agar kepentingan dan hak-haknya terjamin, tiap-tiap orang dengan sukarela menyerahkan hak dan kekuasannya kepada suatu organisasi yang diadakannya bersama-sama dngan orang lain yang disebut dengan “Negara”. Terhadap organisasi tersebut diserahkan kemerdekaan/alamiahnya dan di bawah organisasi itu manusia mendapat kembali kemerdekaan sipil, yaitu kemerdekaan berbuat segala sesuatu asal dalam batas lingkungan undang-undang (status civilis). Pada hakikatnya yang berdaulat ialah rakyat sedangkan pemerintah hanya menjadi wakilnya saja. Apabila pemerintah tidak menjalankan urusannya sesuai dengan kehendak rakyat maka pemerintah itu harus diganti, kedaulatan rakyat berdasarkan kehendak umum (volonte generale), dari hal tersebut Jean Jacques Rousseau terkenal dengan nama teori kedaulatan rakyat.
7
Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi Indonesia, 2004 USU Repository©2006
kekuasaan yang tidak perlu pertanggungjawaban. Doktrin ini hanya berlaku untuk kekuasaan
dalam arti real power yang dilaksanakan oleh Presiden selaku kepala eksekutif. Kekuasaan
Kepala Negara yang not a real power tidak perlu dipertanggungjawabkan. Presiden yang
bertanggung jawab dalam negara republik secara politis mempertanggungjawabkan
kekuasaannya kepada pemilik kedaulatan.10
Menurut penjelasan UUD 1945 Presiden di Indonesia tunduk clan bertanggung jawab
kepada MPR. Dengan demikian , secara formal MPR setiap saat dapat bersidang meminta
pertanggungjawaban Presiden. Bila konsep ini dijalankan, setiap saat Presiden dapat
diberhentikan tetapi hal ini tidak menjamin kestabilan pemerintahan.
Dalam asas-asas umum perundang-undangan yang baik, dipersyaratkan bahwa setiap
produk perundang-undangan harus didasarkan atas alasan yang sah. Putusan penghentian
Presiden oleh MPR harus pula didasarkan atas alasan yang sah, tidak mengurangi kekuatan
berlaku TAP MPR, sepanjang TAP MPR tersebut belum dicabut. Pada sistem
perundang-undangn tidak dikenal putusan batal demi hukum (nietig van rechtwege) tanpa
melalui proses pencabutan.
Dalam TAP. MPR NO.VIII/MPR/2000 Tentang Laporan Tahunan Lembaga Tinggi
Negara pada sidang tahunan MPR 2000, Presiden mendapatkan penugasan, antara lain: di
bidang politik dan keamanan Presiden diminta perhatian yang sungguh-sungguh dan bersikap
tegas terhadap gerakan separatisme yang mengancam keutuhan Indonesia. Di bidang
ekonomi, Presiden diharapkan segera mempercepat penyehatan perbankan, membantu Bank
Indonesia dalam menstabilkan nilai tukar rupiah, mempercepat program penyelesaian utang
dalam valuta asing perusahaan swasta nasional dan BUMN. Di bidang investasi, Presiden
ditugaskan menciptakan stabilitas politik dan keamanan, menjamin kepastian hukum dan
memperbaharui Undang-Undang Penanaman
10 Lihat Bonny dan Novan, penolakan pertanggungiawaban Presiden Sebagai Mandataris MPR, Majalah Hukum
dan kemasyarakatan, Vonis, Jakarta, 1991, hal.1
8
Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi Indonesia, 2004 USU Repository©2006
Modal. Di bidang ekonomi kerakyatan, Presiden diminta menyediakan kredit program dalam
jumlah yang memadai untuk pengusaha kecil, menengah dan koperasi. Di bidang hukum dan
HAM Presiden diminta sungguh-sungguh melaksnakan TAP MPR No.XI/MPR/1998 tentang
Penyelenggaraan negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Di bidang manajemen
pemerintahan, Presiden diminta memberikan tugas kepada Wakil Presiden melalui Keputusan
Presiden sesuai dengan pernyataan presiden yang disampaikan pada pidato jawaban terhadap
pemandangan umum fraksi-fraksi MPR di hadapan Sidang Tahunan MPR tanggal 9 Agustus
2000. Penugasan MPR sebagai tindak lanjut dari hasil pembahasan laporan tahunan Presiden,
merupakan haluan negara yang ditetapkan oleh MPR dan harus dilaksanakan oleh Presiden.
Oleh sebab itu, haluan negara yang ditetapkan oleh MPR ini menjadi sebagian tolok ukur
keberhasilan Presiden. Ukuran menggunakan pelanggaran terhadap pelaksanaan haluan
negara sebenarnya sangat mudah didakwakan kepada Presiden atas permintaan DPR. Melalui
memorandum pertama, Presiden telah dipersalahkan tidak melaksanakan TAR MPR
No.XI/MPR/1998. Oleh karena itu Sidang Umum (SI) yang diselenggarakan sebagai tindak
lanjut dari memorandum kedua, dapat dibenarkan sebatas materi pertanggungjawaban atas
pelaksanaan TAP. MPR No. XI/MPR/1998.
Penyelenggaraan Sidang Umum (SI) dengan agenda pertanggungjawaban Presiden
melalui mekanisme yang diatur dalam TAP. MPR No.III/MPR/1978 tidak dapat dipercepat.
Sidang Istimewa MPR yang dipercepat hanya dapat dilaksanakan di luar jalur TAP MPR
No.III/MPR/1978 sehingga pelaksanaan harus langsung didasarkan UUD 1945. Di samping
itu, mated pertanggungjawaban harus di luar materi pelaksanaan TAP. MPR
No.XI/MPR/1998. Dalam hal terjadi Sidang Umum (SI) yang dipercepat, Presiden sangat
beralasan meminta MPR
9
Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi Indonesia, 2004 USU Repository©2006
agar diberikan kesempatan untuk melaksanakan penugasan tersebut sampai habis masa
jabatannya.11
Apabila direnungkan secara mendalam, ukuran pelanggaran haluan negara dipahami
sebagai “Tidak dilaksanakannya atau belum dilaksanakannya” haluan negara yang ditugaskan
oleh MPR dan otoritas menentukan pelanggaran itu pada MPR atas prakarsa DPR maka
dengan mudah tanpa alasan hukum yang sah kekuatan suara mayoritas dapat menjatuhkan
Presiden dalam masa jabatannya. Apalagi dari sudut kelembagaan MPR adalah sebuah
lembaga kolektif dan komposit sedangkan lembaga kepresidenan adalah sebuah lembaga yang
dipimpin dan ditanggungjawabi satu orang yang dibantu oleh Wakil Presiden dan
pembantu-pembantu Presiden (cabinet), yang apabila dibahas secara logika manusia lebih.
Saat ini sedang berlangsung perdebatan aktif mudah untuk menjatuhkan kekuasaan Presiden
karena sangat memungkinkan dalam memberikan suatu dukungan atau tidak terhadap
kebijaksanaan yang dijalankan oleh Presiden apalagi jika tidak didasarkan kepada suatu
alasan yang sah.
Di Indonesia peranan eksekutif dan legislatif dapat dilihat melalui apa yang
sesungguhnya menjadi kekuasaan, otoritas, tanggung jawab dan pertanggungjawaban
masing-masing lembaga tersebut. Di Indonesia, Presiden adalah Kepala Pemerintahan selain
juga Kepala Negara. Namun Presiden berada di bawah MPR. Dengan perkataan lain Presiden
adalah administrator negara tertinggi setelah MPR. Dengan demikian Presiden mempunyai
dua pertanggungjawaban baik kepada MPR maupun kepada konstitusi apakah pemilihan
langsung harus diterapkan untuk menentukan Presiden dan Wakil Presiden.
Diskusi semacam itu akan memiliki implikasi yang sangat besar terhadap hubungan
Presiden dengan MPR. Jika langkah-langkah seperti ini diterapkan, fokusnya tidak hanya
pada proses pemilihan tetapi juga pada revisi kekuasaan dan status konstitusi dari
kepresidenan tersebut.
11 Harian Kompas, 14 Oktober 1999
10
Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi Indonesia, 2004 USU Repository©2006
Dalam konteks saat ini MPR yang menentukan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Oleh karena itu presiden tidak mempunyai peranan dalam membuat kerangka GBHN ini,
maka ia mendapat tugas untuk menerapkan kebijakan tersebut sesuai dengan GBHN tersebut.
Hal ini berbeda dari sistem presidensial yang melakukan impeachment hanya bila terjadi
pelanggaran terhadap konstitusi, sumpah jabatan atau melakukan tindak kejahatan, MPR
dapat memberhentikan Presiden di tengah masa baktinya kalau terbukti melanggar kebijakan
nasional. Kedudukan konstitusional Presiden akan sangat terganggu walaupun prosesnya
dipertimbangkan secara lebih matang dan lebih berhati-hati daripada mosi tak percaya yang
bias menurunkan seorang Perdana Menteri.12
Dalam hal tersebut MPR adalah lembaga tertinggi yang menjalankan kedaulatan
rakyat. Kejadian akhir-akhir ini yang ditandai dengan jatuhnya Presiden Abdurrahman Wahid
telah menegaskan hal ini dan memunculkan pertanyaan yang patut direnungkan apakah
Presiden-Presiden berikutnya akan dijatuhkan dengan cara serupa?
Dalam proses peninjauan konstitusi, Indonesia yang harus merevisi apakah MPR
sebagaimana yang ditetapkan sebagai lembaga yang melaksanakan tugas-tugas badan
tertinggi menetapkan GBHN yang selama ini ditetapkan sebagai lembaga tertinggi negara
yang menunjukkan adanya superioritas lembaga negara di negeri ini. Sehingga dalam
menjalankan sistem pemerintahannya Indonesia berada di antara sistem presidensial dan
parlementer dan garis tanggung jawab serta pertanggungjawabannya menjadi tidak jelas.
Dalam hal ini dapat muncul problem dalam kerangka sistem pemilu yaitu:
12 National Democratic Institute, On Presidential Constitution, Provisions Regarding The Presidency and The
Roles Of Heads Of State and Head Of Government (May 2001). Dikutip dari laporan hasil konferensi yang
berjudul “Melanjutkan Dialog Menuju Reformasi Konstitusi di Indonesia” yang diadakan di Jakarta, pada
bulan Oktober 2001, International Idea, hal.103-104
11
Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi Indonesia, 2004 USU Repository©2006
1. Mengapa masalah peranggungjawaban Presiden cenderung untuk dijadikan sarana
menjatuhkan Presiden dari jabatannya yang berakhir dengan pemberhentian Presiden?
2. Apakah layak secara hukum tindakan pemberhentian Presiden sebelum berakhir masa
jabatan berdasarkan nilai keadilan?
3. Faktor-faktor apa yang menjadi parameter penilaian pertanggungjawaban Presiden
dalam menjalankan kekuasaannya?
Pentingnya sistem petanggungjawaban Presiden dalam sebuah negara yang berbentuk
republik didasarkan kepada beberapa teori yang saling berkaitan.
Teori kedaulatan rakyat timbul sebagai reaksi dari kedaulatannya yang diprakarsai
oleh Jean Jacques Rousseau yang mengajarkan bahwa dengan perjanjian masyarakat (Du
Contract Social) maka orang menyerahkan kebebasan hak-hak serta wewenangnya pada
rakyat seluruhnya, yaitu natural liberty dalam suasana bernegara kembali sebagai “Civil
Liberty”. 13
Sehingga kekuasaan tertinggi tetap pada rakyat yang diselenggarakan dengan melalui
perwakilan yang berdasarkan suara terbanyak (volonte generale). Di Indonesia kedaulatan ini
tecermin dari pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang mengatakan “Kedaulatan adalah di tangan
rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Sesuai dengan
ketentuan di atas dapat dijelaskan bahwa negara Republik Indonesia melalui Undang-Undang
Dasarnya menganut faham kedaulatan rakyat.
Istilah kedaulatan dalam rangkaian kata kedaulatan rakyat adalah padanan kata istilah
Inggris “Souvereignity”. Sri Soemantri membagi aspek-aspek kedaulatan itu menjadi dua
macam aspek, yaitu: pertama,
13 Padmo Wahyono, Ilmu Negara (Kumpulan Kuliah), Jakarta, 1996, hal.161. Dihimpun oleh T. Amir
Hamzah, S.H. dkk.
12
Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi Indonesia, 2004 USU Repository©2006
kedaulatan ke dalam dan kedaulatan ke luar (The Legal and The Political Souvereinity).14
Jika kedaulatan dalam pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dihubungkan dengan berbagai macam
aspek seperti dikemukakan di atas sehingga sampai kepada kesimpulan yaitu masalah yaitu
masalah di atas menyangkut ke dalam. Dengan demikian hal itu berarti kekuasaan MPR
sebagai “Body of person in the state over individuals or associations of individuals with in the
area of its jurisdiction”. 15
Berdasarkan ajaran teori kedaulatan rakyat yang mendasarkan diri kepada kemauan
rakyat dapat dihubungkan dengan ajaran demokrasi yang menggambarkan sebagai “The
government from the people, by the people, for the people”. Ajaran ini secara essensial
mengandung arti bahwa pemerintahan dimiliki dan dijalankan sendiri oleh rakyat (Rakyat
memerintah dari mereka sendiri). Menurut Bagir Manan pemerintahan demokrasi merupakan
pemerintahan yang paling mendekati fitrah manusia sebagai makhluk yang lahir dalam
kebebasan dan persamaan. Dalam lembaga rakyat mengatur dan mengurus diri mereka
sendiri. Pemerintahan semacam ini akan menjamin beriangsungnya kehidupan secara
tenteram dan damai, karena rakyat yang diperintah tidak mungkin mengganggu,
memberontak atau merebut kekuasaan terhadap aturan yang ditentukan dan dilaksanakan
sesuai dengan keamanan yang bertanggung jawab kepada rakyat tanpa melihat apakah itu
kerajaan atau republik.16
Teori yang berhubungan dengan ajaran kedaulatan rakyat tersebut sehubungan dengan
perkembangan kehidupan kenegaraan adalah ajaran pemisahan kekuasaan (saparation of
powers). Ajaran pemisahan kekuasaan dan pembagian kekuasaan bertujuan untuk membatasi
kekuasaan badan-badan atau pejabat penyelenggara negara dalam
14 Bandingkan dengan tulisan James Bryce dalam bukunya “Studies in History and Jurisprudence”, two
volumes, vol.1, 1901, hal 51-73, membedakan antara “Legal Souvereignty” (De Jure) dan “Practical
Souvereignty” (De Facto). 15 Lihat rumusan C.F. Strong, Modern Political Constitution, 1960, hal.146 16 Bandingkan dengan Moh. Hatta, Kedaulatan Rakyat, Usaha Nasional, Surabaya, 1976
13
Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi Indonesia, 2004 USU Repository©2006
batas-batas cabang kekuasaan masing-masing. Dengan pemisahan atau pembagian kekuasaan
tersebut dapat dicegah penumpukan kekuasaan di satu tangan yang akan menimbulkan
penyelenggaraan pemerintahan sewenang-wenang.17
Hal senada juga dapat dilihat dari pendapat Prof. Soepomo yang menyatakan kekuasaan
dan tanggung jawab terpusat kepada Presiden dan Presidenlah penjelmaan dari kedaulatan
rakyat.
Perbedaan pandangan terhadap perilaku Presiden dan lembaga kepresidenan dapatlah
dipandang sebagai hal yang menentang kedaulatan rakyat. Di sinilah tampaknya jelas dalam
struktur ketatanegaraan yang berlaku, lembaga kepresidenan menjadi kekuasaan yang absolut.
Oleh karena belum bakunya sistem pertanggungjawaban Presiden secara konstitusional
di Indonesia menganut sistem pemerintahan parlementerkah atau presidensialkah? Hal ini
mungkin disebabkan belum diaturnya ketentuan tersebut secara konstitusional sebagaimana
dinyatakan Prof. Harun Alrasid, nyatalah bahwa mengenai persoalan apakah dasar
konstitusional dari pertanggungjawaban Presiden kepada MPR, jawabnya adalah tidak ada.
Yang ada adalah dasar ekstra konstitusional.18 Jika dasar hukum konstitusional akan
dicari-cari dan hal ini biasanya merupakan kegemaran para yuris (ahli hukum), tentu saja
bisa, yaitu dengan menyandarkan diri pada ketentuan pasal 1 ayat (2) dan pasal 6 ayat (2)
UUD 1945.
Perbandingan hukum dipakai karena akan membandingkan latar belakang dan fungsi
lembaga eksekutif yang berlaku di Indonesia dalam hal pertanggungjawaban Presiden dengan
fungsi lembaga eksekutif dalam melaksanakan pertanggungjawaban di Amerika Serikat. Oleh
karena menurut pasal 4 UUD 1945 memegang kekuasaan pemerintahan maka hal ini
mengandung arti bahwa pejabat tersebut adalah
17 Bagir Manan, Op.Cit, ha1.9 18 Harun Alrasid, Hubungan Antara Presiden dan MPR, Pelita Ilmu, Jakarta, 1968, hal.10
14
Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi Indonesia, 2004 USU Repository©2006
pemerintah. Tertebih lagi apabila hal itu dihubungkan dengan ketentuan pasal 17 UUD 1945,
yang mengatakan bahwa menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Seperti
telah diutarakan di muka dengan mengadakan tinjauan perbandingan dengan Hukum Tata
Negara Amerika Serikat, dapat dikatakan bahwa menteri-menteri itu bukanlah merupakan
subjek terhadap kehendak dari DPR dan MPR.
Dengan kata lain, kekuasaan eksekutif di Indonesia seperti halnya yang berlaku di
Amerika Serikat dipegang oleh seorang pejabat saja yang menjalankan tugasnya untuk waktu
yang telah ditentukan19 yakni lima tahun. Dengan mempergunakan ciri-ciri sistem
pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan presidensial C.F. Strong, maka dapat
dikatakan bahwa sistem yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar Indonesia itu
mengandung segi-segi parlementer berdasarkan pola Inggris dan segi-segi presidensial
berdasarkan pola Amerika Serikat.20 Pertanggungjawaban Presiden kepada MPR
menimbulkan pendapat bahwa Undang-Undang Dasar 1945 menjalankan sistem
pemerintahan campuran antara sistem parlementer dan presidensial.
Pertanggungjawaban presiden kepada MPR dipandang sebagai aspek parlementer
karena dianggap serupa dengan pertanggungjawaban kabinet kepada parlemen (Badan
Perwakilan Rakyat).Tidak dapat disangkal, MPR adalah badan Perwakilan Rakyat. Tetapi,
tidak dapat langsung disimpulkan bahwa karena bertanggung jawab kepada MPR sebagai
Badan Perwakilan Rakyat, maka dianggap terdapat segi parlementer. Dalam sistem
parlementer Pemerintah
19 Bandingkan dengan makalah T.A. Legowo yang berjudul “Paradigma Checks and Balances Dalam Hubungan Eksekutif-Legislatif pada laporan hasil konferensi yang diadakan di Jakarta, Oktober, 2001 oleh International Idea. Dalam sistem presidensial, sejalan dengan gagasan pemisahan kekuasaan, presiden dan anggota-anggota badan legislative dipilih secara terpisah untuk masa jabatan tertentu. Presiden tidak mempunyai wewenang untuk memecat anggota legislatif Pemecatan dini baik anggota legislative maupun Presiden hanya dapat dilakukan melalui pemungutan suara di Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam kondisi khusus. Dalam kondisi normal, bahkan jika partai politik Presiden merpakan minoritas di badan legislatif, Presiden tetap akan berada dalam posisinya hingga akhir masa jabatan yang telah ditentukan dalam pemilihan umum. Tetapi pada umumnya sistem presidensial, masa jabatan presiden dibatasi untuk beberapa kali saja, karena faktor historis maupun untuk mencegah kelanggengan kekuasaan seorang Presiden yang terlalu kuat. 20 Sri Soemantri M, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, Rajawali, Jakarta, 1984, hal.94-95
15
Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi Indonesia, 2004 USU Repository©2006
mempertanggungjawabkan segala tindakan penyelenggaraan pemerintahan.
Pertanggungjawaban ini tidak berkaitan dengan suatu pelanggaran tetapi berkaitan dengan
kebijakan (beleid). Berbeda dengan pertanggungjawaban Presiden kepada MPR yang terbatas
kepada pelanggaran yaitu pelanggaran terhadap haluan negara dan atau Undang-Undang dasar
sedangkan mengenai kebijakan (beleid) tidak dapat menjadi dasar meminta
pertanggungjawaban. Dari sifat pertanggungjawaban ini, pertanggungjawaban Presiden
kepada MPR lebih mendekati pranata impeachment daripada pertanggungjawaban
parlementer. Apa dasar pembatasannya UUD 1945 tidak memuat pembatasan
pertanggungjawaban? Pada bagian lain telah diuraikan bahwa sistem UUD 1945
menghendaki suatu penyelenggaraan pemerintahan yang stabil. Karena itu dipilih suatu sistem
pemerintahan (Presiden menjalankan kekuasaan eksekutif riil) dan tidak betanggung jawab
kepada DPR tetapi kepada MPR. Untuk menjamin stabititas pemerintahan ini harus ada
mekanisme pembatasan sistem pertanggungjawaban Presiden. Apabila pertanggungjawaban
presiden kepada MPR serupa dengan pertanggungjawaban kabinet parlementer ini
dikhawatirkan akan mengganggu tujuan membentuk pemerintahan yang stabil. Karena itu,
sangat wajar apabila pertanggungjawaban Presiden kepada MPR dibatasi, yaitu mengenai
pelanggaran tertentu, dalam hal ini pelanggaran haluan negara dan atau UUD 1945.21
B. Reformasi Pemilihan Umum di Indonesia
Pemilihan Umum Indonesia dalam tahun 1999 dilaksanakan menurut sistem pemilihan
yang benar-benar unik di dunia. Pemilihan anggota-anggota legislatif dilaksanakan menurut
bentuk representasi proporsional menurut daftar kepartaian yang menjamin bahwa partai-
21 Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, Pusat Studi Hukum Universitas Iskam Indonesia dengan Gama
Media, Yogyakarta, 1999. hal 1
16
Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi Indonesia, 2004 USU Repository©2006
partai diwakili dalam proporsi yang cukup memadai dengan perolehan suara mereka.
Walaupun demikian, cara pengalokasian calon-calon individual untuk mewakili
distrik-disrik tertentu merupakan sumber kebingungan yang sangat besar dan tidak dapat
dikatakan telah berjalan dengan efektif. Tentu saja tidak ada pemilihan umum untuk posisi
yang paling berkuasa di Indonesia, yaitu posisi Presiden.
C. Keuntungan dan Kerugian Sistem Distrik
Sistem distrik digunakan secara luas di negara-negara seperti Indonesia, yakni
negara-negara yang luas dan mempunyai banyak daerah (propinsi dan kabupaten/kota).
Sistem ini digunakan oleh hampir sepuluh negara demokrasi yang telah mapan dan yang
terbesar di dunia dalam hal ukuran geografis maupun jumlah penduduk sebagai contoh:
Perancis, Amerika Serikat, India, Kanada, Australia, dll. Alasannya cukup sederhana, di
negara-negara yang luas dengan daerah-daerah geografi yang berbeda-beda. Perbedaan dan
keragaman harus diwakili di legislatif dengan menggunakan unit-unit wilayah sebagai dasar
untuk memilih anggota-anggota dewan.
Salah satu akibat diberikannya perwakilan distrik yang lebih besar biasanya adalah
untuk meningkatkan akuntabilitas pemilihan yaitu: akuntabilitas anggota-anggota individual
dewan terhadap daerah pemilihan mereka. Secara global dan internasional, sejumlah negara
yang luas dengan wilayah yang beragam dan yang menggunakan representasi proporsional
sedang juga mempertimbangkan perubahan ke sistem yang berdasarkan distrik dengan
maksud untuk mencapai akuntabilitas geografi yang lebih besar antara politisi dan daerah
pemilihan dan juga untuk membuat politisi lebih responsif terhadap pemilih mereka.
Menurut penelitian, politisi yang dipilih dari distrik-distrik yang secara geografis kecil
ukurannya lebih responsive dan lebih
17
Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi Indonesia, 2004 USU Repository©2006
bertanggung jawab terhadap daerah pemilihan daripada mereka yang dipilih berdasarkan
daftar kepartaian yang luas. Mereka cenderung untuk bekerja lebih keras karena mereka yang
berasal dari kursi yang paling marjinal. Mereka inilah yang sadar benar bahwa setiap suara
akan sangat berarti dalam pemilihan umum berikutnya dan oleh karena itu mereka sangat
menekankan usaha melayani keperluan distrik.
Keuntungan lain dari pelaksanaan sistem distrik adalah layanan terhadap konstituen,
dalam hal ini anggota-anggota lokal berada dalam dewan terutama untuk mewakili distrik
yang memilih mereka dan membawa keuntungan untuk serta melayani distrik tersebut.
Mayoritas negara-negara berkembang, misalnya layanan lokal sangat diperlukan untuk jalan
raya, pemeliharaan kesehatan dan sebagainya.
Oleh sebab itu muncul argumentasi yang mengatakan bahwa seorang anggota dewan
yang mewakili kepentingan suatu distrik lebih penting daripada seseorang yang kesetiaan
utamanya diberikan kepada partainya sendiri, suatu hal yang sering terjadi dalam sistem
representatif proporsional.
Problem yang akan muncul ketika sistem distrik diperkenalkan kepada masyarakat
adalah: sistem apa yang akan digunakan untu menghitung suara bagi kursi daerah? Ada
beberapa alternatif, alternatif yang paling mudah tetapi juga paling buruk adalah pluralitas
atau kompetisi untuk bisa memenangkan suara terbanyak dalam suatu distrik. Mereka yang
memenangkan suara terbanyaklah yang akan terpilih. Pilihan ini ialah pilihan terburuk sebab
dengan demikian seorang calon akan dapat dengan mudah terpilih walaupun ia
mengumpulkan suara lebih sedikit dari mayoritas. Sebagai contoh terdapat sepuluh orang
calon yang mengumpulkan jumlah suara yang kurang lebih sama. Dalam hal ini
pemenangnya adalah calon yang memenangkan sedikit lebih dari 10 persen suara.
Kemungkinan orang ini orang yang tidak populer.
18
Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi Indonesia, 2004 USU Repository©2006
Oleh karena itu, sejumlah negara yang menggunakan sistem distrik membuat peraturan
yang menjamin bahwa calon-calon yang menang harus menerima suara mayoritas absolut,
lebih dari 50 persen dari suara agar dapat terpilih. Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa
cara tetapi kesemuanya agak merumitkan proses pemberian suara. Pertama-tama, harus
dilaksanakan pemilihan aduan seminggu atau lebih sesudah pemilihan pertama. Dalam
pemilihan ini biasanya dua calon utama yang berasal dari pemilihan pertama beradu satu
sama lain secara langsung dan pemenangnya akan dipilih. Teapi hal ini menimbulkan
kesulitan besar dalam hal administrasi dan biaya karena pada dasarnya dalam banyak kasus
yang terjadi diperlukan pemilihan umum yang kedua. Di sebagian negara-negara di dunia
dilaksanakan system “aduan segera”. Dalam hal ini kepada pemilih akan ditanyakan siapa
pilihan calon mereka yang kedua atau ketiga seandainya pilihan pertama mereka gagal untuk
terpilih. Suara preferensi ini menjadi urgen jika tidak terdapat calon yang memenangkan
suara mayoritas karena dengan demikian calon yang paling popular secara keseluruhan dapat
diputuskan.
Variabel penting lainnya dalam sistem distrik adalah keputusan mengenai bagaimana
distrik akan dialokasikan dan bagaimana batas-batas distrik ditentukan. Sebuah distrik terdiri
dari sejumlah unit pemerintahan seperti kabupaten. Sebagian dari unit ini mungkin memiliki
lebih banyak penduduk dari yang lainnya. Oleh sebab itu ada kebanyakan negara terdapat
peraturan bahwa batas-Batas distrik-distrik ini harus secara teratur disesuaikan sehingga akan
selalu terdapat bagian penduduk yang kurang lebih setara di setiap distrik. Dengan cara
seperti ini jelaslah bahwa sejumlah distrik dengan jumlah penduduk sedikit tidak mempunyai
otoritas yang sama dengan distrik-distrik yang mempunyai jumlah penduduk yang lebih
besar. Sebaliknya pula seluruh distrik mempunyai jumlah orang yang sama dalam batas yang
telah didefinisikan secara hukum, biasanya lebih kurang 10 %. Dengan
19
Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi Indonesia, 2004 USU Repository©2006
demikian, hal ini berarti bahwa batasan-batasan harus selalu dibuat lagi dan disesuaikan.
Proses ini rumit dan diperkirakan menelan banyak biaya. Oleh sebab itu dalam beberapa hal,
dapat disetujui adanya disparitas dalam ukuran distrik yang berbeda-beda. Dengan cara ini
sejumlah negara secara sadar mengijinkan perwakilan yang berlebihan terhadap
daerah-daerah yang penduduknya kurang, terletak jauh atau berada di daerah perbatasan.
Semua variabel ini mengacu kepada asumsi bahwa memecah-memecah pemilihan dan
perwakilan menjadi ratusan daerah pemilihan yang kecil-kecil merupakan hal yang baik
untuk sebuah demokrasi. Walaupun demikian, sistem distrik ini jugs menimbulkan masalah
(problem). Oleh karena pemilihan umum secara nasional dipecah-pecah menjadi ratusan
lokal yang kecil-kecil, kecendrungannya mereka dapat menghukum partai-partai yang
mendapatkan dukungan nasional untuk gerakan yang berbasis daerah. Dampaknya adalah,
akan terdapat hasil keseluruhan yang tidak adil oleh karena sejumlah partai mungkin bisa
memenangkan sejumlah kursi dalam pemilihan nasional namum mereka hampir tidak
mungkin menang dalam tingkat-tingkat daerah. Lazimnya, pemilihan seperti itu lebih
memberikan kesempatan kepada partai-partai dengan kekuatan lokal yang paling kuat dan
memberikan hukuman kepada partai-partai yang lebih kecil. Oleh karena itu banyak pakar
dan sarjana yang menganalisis pelaksanaan pemilu merekomendasikan bahwa sistem yang
berdasarkan distrik harus dimodifikasi supaya dalam sistem itu termasuk pula sejumlah kursi
yang diperoleh secara perwakilan proporsional pada tingkat nasional.
Pada akhirnya partai-partai yang tidak memenangkan banyak kursi menurut distrik
akan dapat memperoleh perwakilan di dewan. Salah satu argumentasi yang menerima
pendekatan ini adalah bahwa sistem campuran ini mengkombinasikan sistem distrik dan
proporsional. Oleh sebab itu, sejumlah negara tetangga Indonesia seperti Filipina dan
Thailand telah memilih sistem ini dalam akhir-akhir ini.
20
Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi Indonesia, 2004 USU Repository©2006
Dalam sistem pemilihan gabungan pilihan-pilihan apa saja yang tersedia? Sistem
gabungan ini mempergunakan baik daftar partai untuk perwakilan proporsional maupun
distrik-distrik “yang menang penuh” untuk menjamin bahwa masalah-masalah perwakilan
geografi dan perwakilan proporsional minoritas dapat ditanggulangi. Dalam kenyataannya
system gabungan ini memberikan kepada si pemilik pilihan distrik dan pilihan partai pada
tingkat nasional oleh karena system ini memberikan dua kertas suara yang berbeda. Hal ini
berarti partai-partai minoritas yang kecil dan yang gagal dalam pemilihan distrik masih juga
dapat memenangkan kursi menurut alokasi proporsional bagi mereka hal tersebut merupakan
hadiah dari suara yang dikumpulkan.
Tetapi ada satu kelemahan dari jumlah pilihan yang lebih besar adalah hal ini bisa
menciptakan dua kelompok anggota dewan. Satu kelompok akan berterima kasih pada daerah
pemilihan mereka dan karena itu siap melakukan sesuatu untuk distrik mereka. Sedangkan
kelompok kedua adalah mereka yang dipilih dari daftar kepartaian. Kelompok ini akan
berterima kasih kepada pemimpin-pemimpin partai mereka dan tidak mempunyai ikatan
formal dengan pemilih mereka. Sehubungan dengan kelemahan ini kegagalan system
gabungan untuk menjamin adanya proporsionalitas yang menyeluruh berarti bahwa sejumlah
partai mungkin masih tidak bisa terwakili walaupun bisa memenangkan kursi dalam jumlah
yang cukup besar. Sistem gabungan ini dapat juga secara relatif bersifat kompleks, terutama
jika diperlukan dua suara dan dapat juga membingungkan para pemilih mengenai sifat dan
operasi sistem pemilihan.
Sistem gabungan telah diperkenalkan di beberapa negara demokrasi baru dalam sepuluh
tahun terakhir. Sistem ini menunjukkan ciri khusus rancangan sistem pemilihan di Asia.
Hal-hal penting yang harus diputuskan ketika sistem gabungan22 diperkenalkan adalah :
22 International Idea, Melanjutkan Dialog Menuju Reformasi Konstitusi di Indonesia,
Laporan Hasil Konferensi yang diadakan di Jakarta, Indonesia, Oktober, 2001, hal. 253-258
21
Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi Indonesia, 2004 USU Repository©2006
1. Bagaimanakah keseimbangan antara kursi-kursi yang berasal dari pemilihan di
distrik-distrik beranggota tunggal dan kursi-kursi yang berasal dari pemilihan
berdasarkan daftar kepartaian? Pada beberapa negara, ada yang jumlah anggota-anggota
legislatif yang berasal dari pemilihan distrik yang lebih besar daripada mereka yang
berasal dari partai sedangkan dalam sejumlah negara lainnya hampir terdapat
keseimbangan yang sempurna. Dalam sejumlah kecil negara lainnya sebaliknya terdapat
jumlah anggota legislatif dari partai yang lebih besar daripada mereka yang berasal dari
pemilihan distrik. Pada kenyataanya, negara-negara yang terdapat di kawasan Asia dan
Pasifik yang menggunakan sistem gabungan misalnya Jepang, Taiwan, Filipina dan
Thailand jumlah anggota legislatif dari distrik lebih banyak daripada yang berasal dari
partai. Misalnya di Filipina 80 persen dari kursi yang tersedia diperebutkan dalam
pemilihan berdasarkan pluralitas di distrik-distrik. Sisanya, 20 persen berasal dari
pemilihan berdasarkan perwakilan proporsional dari partai-partai. Masalah yang sangat
penting untuk menentukan hasil pemilihan secara keseluruhan adalah:
2. Apakah suara yang berdasarkan kepartaian digunakan untuk menciptakan keseimbangan
bagi hasil yang tidak proporsional yang berasal dari pemilihan distrik? Masalah ini sangat
penting untuk menentukan hasil pemilihan secara keseluruhan. Dalam sejumlah negara
misalnya Selandia Baru dan Jerman, kursi-kursi yang berasal dari partai dialokasikan
sedemikian rupa untuk menjamin adanya hasil menyeluruh pemilihan yang sepenuhnya
proporsional.Dengan kata lain, jika sebuah partai memenangkan 40 persen suara tetapi
hanya 30 persen dari kursi di distrik yang beranggota tunggal, maka kursi yang
berdasarkan daftar kepartaian akan dialokasikan sedemikian rupa sehingga secara
keseluruhan partai itu memenangkan 40 persen dari semua kursi. Namun demikian,
dalam beberapa negara, tidak terdapat keseimbangan antara keduanya dan
22
Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi Indonesia, 2004 USU Repository©2006
kursi-kursi yang berasal dari daftar kepartaian hanyalah menjamin diperolehnya
pemilihan oleh partai-partai minoritas bukan berdasarkan geografi.
3. Akankah pemilih mempunyai dua suara, satu untuk calon distrik mereka dan yang lainnya
untuk partai atau hanya satu suara, yaitu hanya untuk calon distrik mereka? Pilihan ini
mempunyai dampak praktis yang besar. Bila digunakan hanya satu suara maka pilihan si
pemilih secara efektif dapat dihitung dua kali, sekali untuk menentukan pemenang dalam
suatu konstitusi dan satu kali lagi untuk menentukan alokasi daftar partai. Yang lebih
umum dalam sistem gabungan adalah bahwa seorang pemilih mempunyai dua suara, satu
untuk distrik pemilihan individu tempat mereka mendaftar dan yang satu lagi untuk daftar
nasional. Namun demukian, selama pemilihan untuk dua jenis anggota tidak sepenuhnya
terpisah seperti di Jepang dan Rusia, mungkin saja dijalankan sistem dengan satu suara
saja.
4. Jenis sistem pemilihan apa yang akan digunakan untuk kursi-kursi distrik? Pada
kenyataannya, kebanyakan contoh dari sistem gabungan menggambarkan kombinasi
antara perwakilan proporsional daftar partai dan pluralitas langsung yaitu pertarungan
mengenai siapa yang lebih dulu sampai. Dalam beberapa negara kontes dua ronde
(second round election) digunakan jika tidak ada yang memenangkan suara dalam
mayoritas mutlak di distrik-distrik. Oleh karena itu hal ini mengatasi masalah umum yang
biasa terdapat dalam sistem perwakilan proporsional, di mana seorang calon dalam
proporsi kecil suara menang atas lawan-lawannya yang bersal dari daerah yang terpecah
dan mengumpulkan sedikit kurang dari mayoritas. Sistem aduan awal menghilangkan
kemungkinan terjadinya hal ini, tetapi sistem inipun mempunyai masalah sendiri karena
ronde kedua dari pemilihan harus dilangsungkan seminggu atau dua minggu setelah
pemilihan pertama untuk memperebutkan
23
Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi Indonesia, 2004 USU Repository©2006
sejumlah kursi. Salah satu cara untuk menghindarkan masalah ini adalah dengan
menggunakan “aduan langsung”.
24
Mirza Nasution: Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu dlm Negara Demokrasi Indonesia, 2004 USU Repository©2006
DAFTAR PUSTAKA
Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busro, Asas-Asas Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1985
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, Pusat Studi Hukum Universitas Islam Indonesia
dengan Gama Media, Yogyakarta, 1999
Bonny dan Novan, Penolakan Pertanggungjawaban Presiden Sebagai Mandataris MPR,
Majalah Hukum dan Kemasyarakatan, Vonis, Jakarta, 1991
C.F. Strong, Modern Political Constitution, 1960
Dahlan Thaib, Jazim Hamidi dan Ni’matul Huda, Teori Hukum dan Konstitusi, Jakarta,
RajaGrafindo, 1999
Harun Alrasid, Hubungan Antara Presiden dan MPR, Pelita Ilmu, Jakarta, 1968
James Bryce, Studies in History and Jurisprudence, two volumes, vol. l
Moh. Hatta, Kedaulatan Rakyat, Usaha Nasional, Surabaya, 1976
Padmo Wahyono, Ilmu Negara (Kumpulan Kuliah), Jakarta, 1996
Sri Soemantri M, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, Rajawali, Jakarta,
1984
T.A. Legowo,Paradigma Checks and Balances Dalam Hubungan Eksekutif-Legislatif,
Jakarta, Oktober, 2001
25