Upload
arni-zulsita
View
111
Download
7
Embed Size (px)
Laporan kasus FER
MIOMA UTERI
PENDAHULUAN
Mioma uteri, dikenal juga dengan leiomioma, fibroid atau fibromioma, merupakan
neoplasma jinak yang berasal dari otot uterus. Mioma uteri merupakan tumor pelvik
yang paling sering dijumpai dan merupakan tumor yang sering dijumpai pada wanita.
Diperkirakan sekitar 20-25% wanita usia reproduksi mempunyai fibroid. Prevalensi
tertinggi terjadi selama dekade ke lima dari kehidupan wanita, dimana 40-50%
ditemukan pada usia 40 tahun. Berdasarkan studi populasi di daerah Washington DC,
dengan menggunakan sonografi transvaginal, menemukan mioma pada lebih 80%
wanita Afrika-Amerika, dan lebih dari 70% wanita kulit putih, pada usia 50 tahun. Di
Indonesia mioma uteri ditemukan 2,39-11,7% pada semua penderita ginekologi yang
dirawat.1,2,3,4,5
Mioma tidak terdeteksi sebelum pubertas dan bersifat responsif terhadap hormon,
yang secara normal tumbuh selama usia reproduksi. Walaupun biasanya
asimtomatik, mioma dapat menimbulkan masalah dalam spektrum luas, termasuk
menoragia dan metroragia, nyeri dan infertilitas.3,4
ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
Penyebab mioma uteri belum diketahui secara pasti. Beberapa peneliti menyatakan
bahwa mioma uteri tumbuh dari sel tunggal (monoclonal). Walaupun belum ada bukti
yang menunjukkan bahwa estrogen menyebabkan mioma, tetapi kadar estrogen
mempengaruhi peningkatan pertumbuhan fibroid.1,4 Leiomioma mengandung
reseptor estrogen dalam jumlah besar dibandingkan dengan miometrium tetapi lebih
rendah bila dibandingkan endometrium.4
Meyer dan De Snoo mengajukan teori Cell nest atau teori genitoblast. Menurut Meyer
asal mioma adalah sel imatur, bukan dari selaput otot yang matur. Lipschutz
melakukan percobaan dengan memberikan estrogen pada kelinci percobaan dan 1
menemukan terjadi pertumbuhan fibromatosa. Puukka dan kawan-kawan
menyatakan bahwa reseptor estrogen pada mioma lebih banyak dari pada
miometrium normal.3
Akan tetapi dengan teori-teori tersebut sukar diterangkan mengapa pada seorang
wanita, estrogen dapat menyebabkan mioma, sedangkan pada wanita lain tidak.
PATOLOGI
Mioma uteri biasanya multipel, diskret, dan berbentuk sferis dengan permukaan yang
tidak rata. Pseudokapsul memisahkan mioma dengan miometrium di sekitarnya.
Mioma dapat dengan mudah dienukleasi dengan bersih dari jaringan miometrium di
sekelilingnya. Mioma biasanya berwarna pucat, berbentuk bulat, licin, dengan
konsistensi keras. Umumnya mioma berwarna lebih pucat daripada miometrium.
Apabila mioma dibelah maka tampak bahwa mioma terdiri atas berkas otot polos dan
jaringan ikat yang tersusun seperti konde/pusaran air (whorl like pattern), dengan
pseudokapsul yang terdiri dari jaringan ikat longgar yang terdesak karena
pertumbuhan sarang mioma ini.3,4
BERDASARKAN LETAKNYA MIOMA UTERI DIBAGI ATAS:3,6
Sarang mioma di uterus dapat berasal dari serviks uterus (1-3%), sisanya adalah dari
korpus uterus.
1. Mioma submukosum (6,1%)
Mioma uterus yang ditemukan tepat di bawah endometrium dan menonjol ke
dalam rongga uterus. Mioma ini dapat tumbuh bertangkai sehingga menjadi polip,
apabila tangkainya panjang dapat keluar melalui kanalis servikalis dan disebut
mioma geburt.
2. Mioma intramural
2
Mioma ini terdapat di dinding uterus diantara serabut miometrium dan
merupakan jenis mioma tersering (54%).
3. Mioma subserosum (48,2%)
Mioma ini tumbuh keluar dinding uterus, sehingga menonjol pada permukaan
luar uterus. Jenis ini dapat juga tumbuh diantara kedua lapisan ligamentum latum
sehingga menjadi mioma intraligamenter.
Mioma subserosum dapat pula tumbuh dan menempel pada jaringan lain.
Misalnya ke ligamentum atau omentum lalu memisahkan diri dari uterus yang
disebut wandering/parasitic fibroid.
PERUBAHAN DEGENERATIF PADA MIOMA UTERI TERDIRI DARI:3,4
1. Degenerasi benigna
a. Degenerasi atropik
Gejala dan tanda akan berkurang atau menghilang sesuai dengan mengecilnya
ukuran mioma pada saat menopause atau setelah melahirkan.
b. Degenerasi hialin
Perubahan ini sering terjadi pada penderita usia lanjut. Tumor kehilangan
struktur aslinya menjadi homogen, dapat terjadi pada sebagian kecil atau
sebagian besar dari massa mioma.
c. Degenerasi kistik
Pencairan daerah yang mengalami hialinisasi, sehingga terbentuk ruangan-
ruangan yang tidak teratur dan berisi cairan seperti agar-agar dan dapat juga
terjadi pembengkakan yang luas dan bendungan limfe sehingga menyerupai
limfangioma.
d. Degenerasi membatu (calcireous degeneration)
3
Terutama terjadi pada mioma subserosa oleh karena adanya gangguan dalam
sirkulasi, terjadi pengendapan garam kapur pada sarang mioma sehingga
menjadi keras.
e. Degenerasi merah (carneous degeneration)
Merupakan akibat dari terganggunya sirkulasi darah ke jaringan mioma
sehingga terjadi penumpukan pigmen hemosiderin dan hemofusin. Degenerasi
merah ini sering menimbulkan gejala pada wanita hamil yaitu demam dan rasa
nyeri, dimana tumor pada uterus membesar dan nyeri pada perabaan.
f. Degenerasi Septik
Bila sirkulasi darah tidak adekuat dapat terjadi nekrosis bagian tengah dari
mioma yang diikuti dengan terjadinya infeksi dan akan menimbulkan gejala
berupa nyeri akut dan demam.
g. Degenerasi Lemak
Jarang ditemukan dan tanpa gejala terjadi setelah degenerasi hialin dan
degenerasi kistik sehingga dikenal dengan sebutan fibrolipoma.
2. Degenerasi Maligna
Perubahan menjadi leiomiosarkoma ditemukan hanya 0,32 – 0,6% dari seluruh
mioma, serta merupakan 50-75% dari semua sarcoma uterus. Keganasan
umumnya baru ditemukan pada pemeriksaan histology uterus yang telah
diangkat. Kecurigaan akan keganasan uterus apabila mioma uteri cepat membesar
dan apabila terjadi pembesaran sarang mioma saat menopause.
GEJALA KLINIK
Sekitar 50% kasus mioma uteri ditemukan secara kebetulan yaitu saat pemeriksaan
ginekologi, karena tumor ini umumnya tidak menimbulkan keluhan. Mioma uteri
hanya ditemukan pada usia reproduksi, belum pernah ditemukan sebelum menarche,
sedangkan pada wanita menopause, mioma ini sering mengecil dengan sendirinya
4
dan hanya 10% yang terus tumbuh. Gejala klinik hanya ditemukan pada 35-50% dari
seluruh kasus mioma uteri. Gejala yang dikeluhkan sangat tergantung pada lokasi
sarang mioma, besarnya tumor, perubahan dan komplikasi yang terjadi. Keluhan
penderita umumnya adalah:3,4
1. Perdarahan abnormal (menoragia/metroragia)1,2,3,4
Terjadi pada sekitar 35-50% pasien dengan mioma. Faktor-faktor yang menjadi
perdarahan antara lain :
- Pengaruh ovarium yang mengakibatkan hiperplasia endometrium sampai
adenokarsinoma endometrium.
- Permukaan endometrium menjadi lebih luas.
- Gangguan kontraktilitas uterus
- Peningkatan vaskularisasi pada uterus.
2. Rasa nyeri3,4
Dismenorea, nyeri perut bawah serta nyeri pinggang ditemukan pada sekitar 65%
wanita.7
Gejala ini tidak khas untuk mioma, dapat timbul akibat gangguan sirkulasi sarang
mioma yang disertai peradangan dan nekrosis. Pada mioma geburt nyeri timbul
akibat degenerasi sehubungan dengan oklusi pembuluh darah, infeksi, putaran
dari mioma bertangkai ataupun akibat kontraksi uterus dalam upaya
mengeluarkan mioma dari kavum uteri.3,4
3. Gejala dan tanda penekanan3,4,7
Gangguan ini tergantung dari besar dan tempat mioma uteri. Gejala dapat berupa
poliuri, retensi urin, hidroureter dan hidronefrosis serta obstipasi. Pada penelitian
multisenter yang pernah dilakukan menemukan 14% dengan keluhan disuri dan
13% dengan keluhan obstipasi.
4. Infertilitas dan abortus3,4
5
Infertilitas dapat terjadi apabila sarang mioma menutup atau menekan pars
interstisialis tuba, sedangkan mioma submukosum dapat menyebabkan terjadinya
abortus karena distorsi rongga uterus. Mioma uteri dapat menyebabkan
infertilitas pada 27-40% wanita.
DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan:3,4
1. Anamnesis
Terasa adanya benjolan baik di perut bagian bawah atau berdasarkan gejala yang
timbul, antara lain:
- Perdarahan uterus yang abnormal
- Pembesaran pada uterus
- Rasa nyeri
- Infertilitas
- Gejala penekanan mioma terhadap organ sekitar
2. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan dengan pemeriksaan bimanual dan palpasi. Pada mioma yang besar
dapat teraba perabdominal sedangkan pada mioma yang kecil ditemukan
pembesaran uterus yang irreguler pada pemeriksaan pelvik. Dengan
menggunakan spekulum, mioma geburt yang kecil dapat diketahui dengan mudah.
Pada pemeriksaan dalam dapat diperiksa dengan jelas adanya suatu tumor,
konsistensi dan tangkai mioma.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium: anemia, merupakan temuan laboratoris yang sering ditemui
karena adanya perdarahan uterus yang abnormal.
b. USG
6
Ultrasonografi transabdominal dan transvaginal bermanfaat dalam
menetapkan adanya mioma uteri. Mioma uteri secara khas menghasilkan
gambaran kontur irregular maupun pembesaran uterus. Adanya kalsifikasi
ditandai oleh fokus-fokus hiperechoik dengan bayangan akustik. Degenerasi
kistik ditandai dengan adanya daerah hipoechoik.
c. CT Scan / MRI
d. Histerosalfingografi (HSG)
e. Histeroskopi
f. Laparoskopi
4. Pemeriksaan Khusus
Perlu dilakukan papsmear dan biopsi endometrium dengan kuretase untuk
menyingkirkan adanya karsinoma serviks dan karsinoma endometrium.
DIAGNOSA BANDING
Mioma uteri sulit dibedakan dengan adenomioma apabila belum terlihat adanya
kapsul pada enukleasi, tetapi secara umum adenomioma lebih keras dan dijumpai
adanya dismenorea yang berat.8
Tumor ovarium harus selalu dipertimbangkan dalam diagnosa banding mioma
uteri. Secara umum uterus dapat dideteksi secara terpisah dari massa tumor.
Tetapi bila tumor ovarium melengket ke uterus maka sangat sulit
membedakannya dengan mioma dan diagnosa yang benar hanya dapat diketahui
saat laparatomi.4
PENATALAKSANAAN 3,4
1. Observasi
7
Lebih kurang 55% mioma uteri tidak memerlukan pengobatan. Pada mioma uteri
yang kecil dan tanpa gejala terutama pada pasien perimenopause tidak diperlukan
pengobatan dan pasien dievaluasi rutin setiap 3-6 bulan.
2. Medikamentosa
Belum ada terapi medis definitif untuk mioma uteri. Pemberian GnRH analog
terbukti bermanfaat mengurangi pertumbuhan mioma uteri atau memperkecil
ukuran tumor untuk sementara. GnRH analog menyebabkan hipogonadism
melalui desensitisasi hipofise, menekan reseptor (downregulation) dan
menginhibisi gonadotropin. Pemberian GnRH analog selama 3 bulan dapat
memperkecil ukuran tumor hingga 35-60% volumenya dan amenorea yang
terlihat pada parameter hematologis.
Keuntungan pengobatan medikamentosa preoperatif dengan analog GnRH adalah
untuk mengurangi jumlah perdarahan pada tindakan operatif, memudahkan
perlepasan perlekatan dengan jaringan sekitarnya dan pada pascaoperasi lebih
jarang ditemukan perlekatan.
3. Operatif
Indikasi operasi pada mioma uteri:
1. perdarahan uterus abnormal
2. gejala penekanan terhadap organ pelvis
3. nyeri akut/kronik
4. kecurigaan keganasan
5. pertumbuhan besar mioma setelah menopause
6. infertilitas terutama bila terdapat distorsi kavum uteri dan obstruksi tuba
yang diperkirakan oleh mioma tersebut
7. abortus habitualis
8. anemia karena perdarahan kronik
a. Miomektomi
8
Miomektomi terutama diindikasikan bila uterus masih ingin dipertahankan.
Selain itu prosedur ini juga lebih dipilih pada wanita dengan mioma soliter dan
bertangkai, indikasi dari miomektomi adalah gangguan massa mioma terhadap
fungsi reproduktif wanita, terjadinya abortus habitualis, yang terutama terjadi
bila massa mioma mendistorsi cavum endometrium atau menekan tuba falopi.
Kehilangan darah akibat miomektomi tergantung pada ukuran uterus dan
massa mioma, serta lamanya waktu operasi. Prinsip umum miomektomi
abdominal adalah eksposur massa jelas terlihat, hemostasis dan penanganan
hati-hati terhadap jaringan reproduksi serta mencegah terjadinya
perlengketan. Miomektomi multiple sering kali lebih sulit secara tehnis dan
menghabiskan waktu lebih lama dibandingkan histerektomi, namun Iverson
dkk dan penelitian lainnya mengemukakan lebih rendahnya angka komplikasi
khususnya mengenai angka cedera saluran kemih dan saluran cerna pada
miomektomi dibandingkan prosedur histerektomi. Miomektomi bukan
tindakan definitif bagi pasien karena kekambuhan dapat terjadi.
b. Histerektomi
Histerektomi diindikasikan terutama untuk pasien dengan mioma uteri yang
tidak ingin mempunyai anak lagi, mioma berukuran besar, multipel,
kemungkinan kesulitan teknik untuk melakukan miomektomi dan bila ada
malignansi, selain itu histerektomi juga diindikasikan bila ditemui kelainan
sitologi endometrium atau serviks dan ketidakmampuan untuk mentoleransi
pengobatan hormonal. Histerektomi merupakan terapi definitif untuk mioma
uteri. Beberapa keberatan untuk histerektomi antara lain adalah kekuatiran
kehilangan fungsi seksual. Dalam beberapa penelitian, fungsi seksual tidak
terganggu dengan histerektomi.
c. Laparaskopi
Miomektomi dengan bantuan laparoskopi terutama dilakukan untuk mioma
subserous atau mioma bertangkai. Mioma ini dapat dimorcelasi dan kemudian
dibuang melalui canula laparosopi, malalui incise di kavum Douglas atau
dengan insisi kolpotomi.
9
Miolisis adalah tindakan laparoskopi koagulasi termal dengan menggunakan
laser, yaitu dengan prinsip denaturasi protein dan perusakan vaskularisasi
mioma.
4. Embolisasi arteri uterina
Prinsip dari embolisasi adalah membatasi suplai darah ke mioma, sehingga terjadi
infark jaringan kemudian pengecilan volume mioma. Material yang biasanya
dipakai polyvinyl alkohol yang dimasukkan dengan bantuan kateter yang dipandu
fluoroskopi melalui arteri femoralis ke pembuluh darah yang spesifik mendarahi
massa mioma.
Prosedur ini merupakan tindakan radiologi invasif dibawah sedasi ringan dan
pasien dapat pulang setelah satu hari rawatan. Prosedur ini diindikasikan pada
pasien dengan massa mioma besar yang tidak ingin dioperasi atau kondisinya
tidak memungkinkan menjalani operasi. Embolisasi arteri uterina mempunyai
beberapa kemungkinan efek samping antara lain endometritis, piometra, nekrosis
uterus, demam, sepsis.9,10
KOMPLIKASI OPERATIF
1. Perdarahan
2. Infeksi
3. Cedera
Kandung kemih
Ureter
Usus
Fistula vesikovaginal
10
DAFTAR PUSTAKA
1. Pitkin J, Peattie AB, Magowan BA. Uterine Fibroids in: Obstetrics and Gynecology
an Illustrated Colour Text. Toronto: Churchill Livingstone, 2003, p. 180-120.
2. Katz VL. Benign Gynecologic Lesions in: Comprehensive Gynecology 5th ed.
Philadelphia: Mosby Year Book Inc, 2007.
3. Sapoetra JMS. Tumor Jinak Alat Genital dalam: Ilmu Kandungan edisi 11. Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka, 1992, hal. 271-312.
4. Wexler AS, Pernoll ML. Benign Disorders of the Uterine Corpus in: Current
Obstetrics and Gynaecology: Diagnosis and Treatment 8th ed. Connecticut:
Appleton and Lange, 2005, p. 731-736.
5. Berek, Jonathan S. Benign Diseases of Female Reproductive Tract in: Berek &
Novak’s Gynecology 14th ed. California: Lippincott Williams & Wilkins, 2007, p.
469-470.
6. Hudono ST, Moeloek FA. Penyakit dan Kelainan Kandungan dalam: Ilmu
Kebidanan edisi 3. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Prawiraharjo, 1992, hal. 421-
423.
7. Baziad A. Mioma Uteri dalam: Endokrinologi Ginekologi edisi 2. Jakarta: Media
Aesculapius FK UI, 2003, hal. 131-2.
8. Mutu MG, Friedman AJ. The Uterine Corpus in: Kistner’s Gynecology 7th ed.
Philadelphia: Mosby Year Book Inc, 1995, p. 147-150.
9. Pernoll ML. Diseases Of Uterus in: Benson & Pernoll’s, Handbook of Obstetrics
Gynecology. New York: McGraw Hill, 2001, p. 619-625.
10. Speroff L, Fritz MA. The uterus in: Clinical Gynecologic Endocrinology & Infertility
7th ed. California: Lippincott Williams & Wilkins, 2005, p. 134-140.
11
ABSES TUBO OVARIAL
Penyakit radang panggul (pelvic inflammatory disease/PID) merupakan
spektrum penyakit infeksi yang mengenai serviks, uterus dan tuba fallopi. Radang
panggul akut adalah radang akut yang terjadi sebagai akibat penyebaran
mikroorganisme patogen dari vagina dan serviks sampai ke endometrium, tuba
fallopi dan jaringan sekitarnya. Komplikasi akut dari penyakit radang panggul
panggul termasuk kompleks tubo ovarian dan abses (TOA), piosalfing, dan peritonitis.
Radang panggul yang tidak diterapi atau mendapat terapi yang tidak adekuat dapat
menyebabkan nyeri pelvis kronik, infertilitas kehamilan dan ektopik.1,2,3,4,5
Sebagian besar kasus radang panggul akut disebabkan oleh bermacam-macam
bakteri yang berasal dari vagina dan serviks dan menginfeksi endometrium dan tuba
fallopi. Sekitar 85% kasus radang panggul terjadi murni akibat infeksi pada wanita
usia reproduksi yang aktif secara seksual. Lima belas persen lainnya terjadi akibat
prosedur yang merusak penghalang mukosa serviks seperti pada pemasangan IUD,
biopsi endometrium, kuretase yang memungkinkan kolonisasi flora vagina pada
saluran genital bagian atas. Kuman-kuman yang sering ditemukan pada saat kultur
adalah Neisseria gonorrhoeae, Chlamydia trachomatis, bakteri aerob dan anaerob
endogen seperti Prevotella, Bacteroides, Peptococcus, dan Peptostreptococcus dan
Mycoplasma seperti Mycoplasma hominis dan Ureaplasma urealyticum.1,2,3,4
Faktor risiko terjadinya radang panggul adalah: (1) usia saat pertama kali
coitus, (2) frekuensi coitus, (3) jumlah pasangan, (4) usia, (5) prosedur yang
menyebabkan terbukanya penghalang mukosa serviks seperti: pemasangan IUD,
histeroskopi, biopsi endometrium, kuretase, dan HSG, (6) riwayat radang panggul
sebelumnya.1,2,3,4
Kantong yang berisi pus yang terbentuk karena adanya infeksi tuba fallopi dan
ovarium disebut abses tubo ovarial (tubo ovarian abscess/TOA). Abses tubo ovarial
sering terjadi pada wanita usia reproduksi. Pasien dengan abses tubo ovarial
biasanya adalah wanita muda dengan paritas rendah. Abses tubo ovarial adalah
komplikasi yang terjadi pada 15 – 30% kasus infeksi radang panggul. Beberapa
12
penelitian menunjukkan TOA berkembang hingga 34% pada pasien yang dirawat
dengan PID. Abses dapat terjadi unilateral (pada 60% kasus) atau bilateral.1,5
Abses tubo ovarial dapat terbentuk setelah episode salfingitis akut atau
setelah infeksi berulang pada jaringan adneksa. Tuba fallopi yang mengalami nekrosis
dan kerusakan pada epitel akibat bakteri patogen merupakan media yang baik bagi
pertumbuhan bakteri anaerob. Pada awalnya akan terjadi salfingitis tanpa
keterlibatan ovarium. Proses inflamasi akan membaik secara spontan atau karena
pemberian terapi. Proses penyembuhan dari proses inflamasi sebelumnya akan
menyebabkan perubahan struktur anatomi dari tuba dan perlengketan dengan
jaringan sekitarnya akibat pembentukan fibrin. Keterlibatan ovarium terutama pada
tempat ovulasi akan menjadi tempat masuknya kuman dan akan terbentuk abses.
Tekanan oleh eksudat dapat menyebabkan pecahnya abses dan terjadinya peritonitis
umum yang memerlukan laparatomi segera. Apabila pecahnya abses terjadi perlahan-
lahan akan terbentuk abses di dalam cul de sac.1,2,3,4
PID may causes sequlae that was caused of PID: adhesion, tuboovarian abscess, ectopic
pregnancy, and inflammation of fallopian tubes
Abses tubo ovarial berhubungan dengan pemakaian IUD dan adanya infeksi
granulomatosa (oleh tuberculosis atau actinomycosis). Penyebab abses biasanya
polimikrobial dengan kecenderungan keterlibatan kuman anaerob. Actinomyces
israelii adalah kuman komensal pada saluran gastrointestinal dan kuman ini
diidentifikasi pada 8 – 20% wanita yang menggunakan IUD. Infeksi Actinomyces
bersifat asimtomatik pada sebagian besar kasus tetapi pada 25% kasus akan
menimbulkan gejala radang panggul. Drainase diperlukan pada abses tuboovarial
13
yang disebabkan oleh Actinomyces yang terjadi akibat appendisitis atau penggunaan
IUD.2
Patofisiologi TOA:
Infeksi bakteri asenden yang berasal dari uterus
Meluas ke tuba fallopii dan ligamentum latum
Salpingitis akut, salpingo-ooforitis, piosalfing
Kompleks tubo ovarial atau abses tubo ovarial
Tipikal pasien dengan TOA biasanya usia muda dan paritas rendah, dengan
riwayat infeksi pelvik sebelumnya, tetapi tidak ada batasan kelompok umur.
Spektrum klinis bervariasi dari tanpa gejala, yang pada pemeriksaan pelvik rutin,
ditemukan massa adneksa hingga akut abdomen dan syok septik. Gejala khas abses
tubo ovarial adalah nyeri perut bawah yang menetap dan bertambah dengan aktivitas
fisik atau coitus, leukorea, demam, mual, muntah dan takikardia. Menorrhagia dan
perdarahan bercak terjadi pada 40% kasus. Seluruh abdomen akan teraba tegang dan
pemeriksaan abdomen biasanya tidak memungkinkan oleh karena ketegangan
dinding abdomen tetapi dapat teraba adanya massa adneksa. Serviks akan terasa
nyeri bila digerakkan. Dibandingkan dengan laparoskopi, nilai praduga positif
diagnosis klinis adalah 65 – 90%.1,2,5
Pemeriksaan laboratorium darah rutin hanya sedikit membantu. Angka
leukosit dapat bervariasi dari leukopenia sampai leukositosis. Urinalisis dapat
menunjukkan adanya pyuria tanpa bakteriuria. Laju endap darah (LED) rata-rata 64
mm/jam dan C-reactive protein (CRP) mencapai 20 mg/L.1
Ultrasonografi merupakan alat penunjang diagnostik yang bermanfaat untuk
menegakkan diagnosis TOA, walaupun standar baku emas adalah laparoskopi.
Bagaimanapun jika pasien tidak dapat mentoleransi pemeriksaan dengan palpasi
adneksa karena nyeri, sonografi pelvik mungkin diperlukan. Hasil pemeriksaan dapat
normal pada fase awal atau pada kondisi tidak terjadi komplikasi. Pada tahap yang
lebih lanjut dapat dijumpai penebalan endometrium dengan atau tidak adanya cairan
dan gas endometrial, pembesaran ovarium dengan batas yang tidak jelas, pembesaran
uterus dengan kontur yang tidak jelas dan adanya cairan bebas intraperitoneal.5
14
A, Sagittal endovaginal sonogram reveals complex free fluid (FF). U = uterus.
B, Coronal image of left adnexa reveals dilated fallopian tube (T) with echogenic
fluid. Findings are consistent with those of pyosalpinx.
Laparoscopy umage and close-up image of same patient shoe sausage-shape dilated right fallopian
tube (arrow)
Foto polos abdomen akan menunjukkan adanya ileus paralitik dan kecurigaan
adanya massa adneksa. Udara bebas dapat terlihat di bawah diafragma pada ruptur
abses tuboovarial. Pemeriksaan CT scan bersifat superior dibandingkan
ultrasonografi untuk deteksi abses abdominal (sensitivitas 78 – 100% dibandingkan
75 – 82%). Timo et al., melaporkan pemeriksaan MRI untuk diagnosis PID dengan
sensitivitas 95% dan spesifisitas 89% dan secara keseluruhan dengan akurasi 93%
dari penelitian terhadap 21 pasien yang terdiagnosis melalui laparoskopi.5
Pemeriksaan khusus, kuldosentesis, dapat dilakukan pada wanita dengan
abses tubo ovarial yang belum ruptur, hasil yang didapat seperti pada salpingitis akut
cloudy “reaction fluid”. Pada ruptur abses tubo ovarial didapatkan material purulen.5 15
Diagnosis banding dari abses tuboovarial adalah kistoma ovarii dengan atau
tanpa torsi, kehamilan ektopik, abses periappendiks, myoma uteri, hidrosalfing,
perforasi appendiks, perforasi divertikulum atau abses divertikulum, perforasi dari
ulkus peptikum, dan penyakit sistemik dengan gejala abdomen akut (ketoasidosis
diabetik, porfiria).1,5
Komplikasi dari abses tuboovarial adalah ruptur abses disertai sepsis,
reinfeksi, obstruksi usus, infertilitas dan kehamilan ektopik. Ruptur abses tuboovarial
adalah kasus emerjensi dan sering disertai dengan syok septik, abses intraabdominal
(abses subphrenicus), emboli septik, abses renal, abses paru dan abses otak.1,3
Manajemen abses tuboovarial dapat dibagi menjadi dua : (1) abses tuboovarial
yang belum ruptur dan (2) ruptur abses tuboovarial.1, 2
1. Abses tuboovarial
Pada abses tuboovarial yang belum ruptur dilakukan terapi seperti salpingitis
kronik dengan pemberian antibiotika jangka panjang dan pemantauan yang ketat.
Jika massa tidak mengecil dalam 15 – 21 hari atau bertambah besar, dapat
dilakukan drainase. Saat eksplorasi, biasanya dilakukan histerektomi total dan
adnesektomi bilateral, pada kasus tertentu, salfingo-ooforektomi unilateral atau
salfingostomi linier serta dipertimbangkan irigasi dan drainase.3
Penatalaksanaan termasuk rawat inap, istirahat dalam posisi semi-Fowler,
monitor ketat tanda-tanda vital, pemberian cairan intravena dan produksi urin,
pemeriksaan abdominal. Bila diperlukan dapat dilakukan pemasangan NGT. Jika
terapi inisial berhasil, antibiotik tetap diberikan selama minimal 10 hari dan harus
dilakukan monitoring. Jika abses menetap mungkin diperlukan laparotomi.1,2,3
Segera setelah material produk infeksi diambil untuk kultur diberikan antibiotika.
Terapi antibiotika empirik harus mampu mengeradikasi N. gonorrhoeae, C.
trachomatis, kuman anaerob batang dan kokus, kuman aerob gram positif, dan
mikoplasma.1,2,3
CDC mengeluarkan pedoman pemberian antibiotika parenteral pada kasus PID
dan abses tuboovarial pada khususnya.6
16
Tabel 1 : Rekomendasi CDC thn 2002 untuk terapi antibiotika parenteral
pada kasus PID (rawat inap)
Regimen A :
Cefotetan (Cefotan) 2 g i.v. tiap 12 jam
Atau
Cefoxitin (Mefoxin) 2 g i.v. tiap 6 jam
Ditambah
Doksisiklin (Vibramycin) 100 mg per oral atau i.v. tiap 12 jam.
Regimen B :
Clindamycin 900 mg i.v. tiap 8 jam
Ditambah
Gentamicin i.v. atau i.m. dengan loading dose 2 mg/kg BB diikuti dengan dosis
pemeliharaan sebesar 1,5 mg/kg BB tiap 8 jam
Regimen Alternatif :
Ofloxacin 400 mg i.v. tiap 12 jam atau levofloxacin 500 mg i.v. satu kali sehari
Dengan atau tanpa
Metronidazole 500 mg iv tiap 8 jam
Atau
Ampicillin/sulbactam (Unasyn) 3 gr i.v. tiap 6 jam ditambah doksisiklin
(Vibramycin, Doryx) 100 mg i.v. atau peroral tiap 12 jam
Catatan : regimen harus dilanjutkan minnimal sampai 24 jam setelah terjadi
perbaikan dan dilanjutkan dengan Doksisiklin 2 x 100 mg selama 14 hari.
Khusus pada kasus abses tuboovarial ditambahkan Metronidazole 2x 500 mg
selama 14 hari atau Clindamycin (Cleocin) 3x300 mg selama 14 hari untuk
terapi bagi kuman anaerob.
17
Tabel 2 : Rekomendasi CDC thn 2002 untuk terapi antibiotika parenteral
pada kasus PID (rawat jalan)
Regimen A:
Ofloxacin (Floxin) 400 mg per oral dua kali sehari selama 14 hari
Atau
Levofloxacin 500 mg satu kali sehari selama 14 hari
Dengan atau tanpa
Metronidazole (Flagyl) 500 mg per oral dua kali sehari selama 14 hari
Regimen B:
Ceftriaxone (Rocephin) 250 mg i.m. satu kali sehari
Atau
Cefoxitin (Mefoxin) 2 g i.m. ditambah probenecid 1 g per oral dosis tunggal
Atau
Golongan sefalosporin generasi ke tiga (cth: ceftizoxime atau cefotaxime)
Ditambah
Doksisiklin (Vibramycin, Doryx) 100 mg per oral dua kali sehari selama 14 hari
Dengan atau tanpa
Metronidazole (Flagyl) 500 mg per oral dua kali sehari selama 14 hari
Keberhasilan pemberian antibiotika parenteral pada kasus abses tuboovarial
ditentukan dalam waktu 48 – 72 jam. Jika dengan antibiotika sistemik tidak
membaik, terdapat tanda-tanda peritonitis, ukuran abses bertambah besar harus
segera dilakukan laparatomi. Kriteria keberhasilan terapi antibiotika adalah nyeri
abdomen berkurang, penurunan angka leukosit dan hilangnya demam selama
minimal 36 jam.3
Jika terapi antibiotika sistemik berhasil, segera diteruskan dengan antibiotika oral
dengan tetrasiklin 4x500 mg atau doksisiklin 2x100 mg selama 10 –14 hari
disertai pengawasan. Jika selama pengawasan abses tidak mengecil maka harus
tetap dilakukan laparatomi.3
18
Pada umumnya abses tuboovarial berespon terhadap antibiotika, tetapi tindakan
operatif harus dilakukan bila antibiotika gagal. Pendekatan operatif tradisional
untuk abses tuboovarial adalah kolpotomi posterior, laparatomi dan TAH-BSO.
Walaupun tindakan operatif efektif, tetapi biasanya memerlukan waktu
perawatan yang lebih lama. Selama 1 dekade terakhir, drainase perkutan dengan
panduan imaging seperti USG dan CT scan telah dilakukan untuk drainase abses,
termasuk diantaranya dilakukan per abdominal, pergluteal, per rektal dan per
vaginal.3
2. Ruptur abses tuboovarial
Tanda dan gejala klinis ruptur abses tuboovarial bersifat akut, berupa nyeri pelvis
progresif; riwayat PID berulang sebelumnya; dehidrasi; pernapasan cepat dan
dangkal; distensi abdomen; ileus paralitik; tanda-tanda peritonitis umum: rebound
tenderness, nyeri tekan seluruh abdomen, perut kaku, dan pekak beralih;
leukositosis; demam; takikardia dan syok. Kondisi ini memerlukan laparatomi
segera.1,3
Terapi untuk pasien dengan ruptur abses tuboovarial terbagi dalam 3 fase yaitu
fase preoperatif, fase operatif dan fase pasca operasi.1
Pada fase preoperatif perlu pengawasan terhadap: (1) tanda vital, (2) central
venous pressure (CVP), (3) produksi urin tiap jam (minimal 30 mL/jam), (4)
pemberian O2 dengan masker, dan (5) resusitasi cairan dan darah bila diperlukan
(6) pemberian antiobiotika parenteral.1,3
Pada fase operatif perlu dilakukan keputusan yang tepat mengenai tindakan
operatif yang akan dilakukan. Pengambilan pus intraabdominal, pengambilan
abses diikuti dengan TAH dan BSO adalah terapi definitif untuk ruptur abses
tuboovarial. Tetapi bila salah satu tuba dan ovarium masih dalam kondisi baik
cukup dilakukan salfingoooforektomi, terutama pada pasien yang masih muda.
Risiko terulangnya pembentukan abses tetap ada bila uterus tetap ditinggalkan.
Untuk mempersingkat waktu, dapat dilakukan histerektomi supraservikal.3
19
Pada perawatan pasca operasi, perlu diperhatikan tanda-tanda syok, infeksi, ileus,
dan keseimbangan cairan. Komplikasi lambat pasca operasi termasuk
pembentukan kembali abses tuboovarial dan abses pelvis, obstruksi usus, fistula
usus, dehisiensi, emboli pulmo, sepsis yang berlanjut, dan DIC.1
Secara umum, pasien dengan ruptur abses mempunyai prognosis yang bagus.
Terapi medis disertai dengan penatalaksanaan bedah yang tepat, menghasilkan
luaran yang baik. Abses yang belum ruptur dan terlokalisir yang tidak respon
terhadap manajemen medis yang agresif (tidak ada perbaikan gejala dan tanda dan
ukuran mengecil) lebih baik dilakukan drainase atau dilakukan pembedahan jika sulit
dilakukan drainase perkutaneus atau transvaginal. Fertilitas berkurang dengan
kisaran 5 – 15% dari analisis retrospektif. Ada peningkatan risiko terjadinya
kehamilan ektopik. Risiko terjadinya reinfeksi harus dipertimbangkan jika tidak
dilakukan tindakan definitif pembedahan, insidensi reinfeksi pada penelitian
prospektif kurang dari 10%.
Pada abses yang ruptur, sebelum dilakukan intervensi bedah, angka mortalitas
bervariasi 80 – 90%. Dengan adanya terapeutik modern, medis dan pembedahan,
angka mortalitas berkurang hingga 2%.
DAFTAR PUSTAKA
20
1. Martens, M.G. Pelvic Inflammatory Disease in John A. Rock and Howard W. Jones
III (ed): Te Linde’s Operative Gynecology 9th ed., Lippincott Williams & Wilkins,
2003.
2. Pernoll ML. sexually Transmitted Diseases in: Benson & Pernoll’s, Handbook of
Obstetrics Gynecology. New York: McGraw Hill, 2001, p. 696-705.
3. Wexler AS, Pernoll ML. Benign Disorders of the Uterine Corpus in: Current
Obstetrics and Gynaecology: Diagnosis and Treatment 8th ed. Connecticut:
Appleton and Lange, 2006.
4. Edmonds DK. Pelvic Infection in Dewhurst’s Textbook of Obstetrics and
Gynecology 7th ed. London: Blackwell Publishing, 2007, p. 429-437.
5. Chandra S. Role of Laparoscopy in the Management of Pelvic Inflammation
Disease/Tubo-Ovarian Abscess Compare to Other Modalities. Downloaded from:
http://www.worldlaparoscopyhospital.com.
6. Curtis MG, Overholt S, Hopkins MP. Sexually Transmitted Disease in: Glass’ Ofiice
Gynecology 6th ed. Texas: Lippincott Williams & Wilkins, 2006.
LAPORAN KASUS
21
Ny R, 41 thn, P1A0, APK: 8 thn, Haid terakhir: 10-07-2010, menikah 1x: usia 24 thn,
pekerjaan suami: wiraswasta, datang ke RSUP H. Adam Malik Medan tanggal 16-07-
2010 dengan:
KU : Benjolan di perut
T : hal ini dialami os + 1 tahun ini, semakin lama semakin membesar.
Riwayat haid banyak dan lama (+) 4 bulan ini, vol. 4-5 x ganti
doek/hari. Riwayat keluar darah dari kemaluan di luar siklus haid (-).
Nyeri perut (+) dialami os hilang timbul. Riwayat campur berdarah (-).
Keluhan nyeri perut bagian bawah tidak dijumpai. Keputihan (+). BAK
dan BAB normal. Os merupakan kiriman dari Poli Ginekologi yang
direncanakan laparotomi.
RPT : DM (-), Hipertensi (-), Asma (-)
RPO : -
Riw. : Menarch 17 tahun, siklus 28-30 hari, teratur, lama: 4-5 hari, volume: 2-
3 x ganti doek/hari, nyeri (-).
Riwayat KB : -
Riw. Operasi: Laparotomi a/i Mioma Uteri tahun 1997, laparotomi a/i kista ovarium
tahun 2007.
STATUS PRESENS
KU/ KG/ KP : Sedang/ Baik/ Sedang
Sensorium : Compos Mentis Anemis : (+)
Tekanan darah : 120/ 80 mmHg Ikterik : (-)
Frek. Nadi : 88 x / menit Sianosis : (-)
Frek. Nafas : 20 x/ menit Dispnu : (-)
Temperature : 36,5 Celcius Edema : (-)
PEMERIKSAAN FISIK :22
Kepala : dbn, conjuntiva pucat
Leher : dbn
Thorax : cor/ pulmo dbn
Abdomen : Soepel, tampak bekas operasi lama, teraba massa padat pole
sebesar kehamilan 22-24 minggu, dengan permukaan tidak rata,
immobile, nyeri (-)
PEMERIKSAAN GINEKOLOGIS
Genitalia eksterna : dbn.
Inspekulo : Portio licin, erosi (-), darah(-), F/A (+)
VT : UT AF > BB, teraba massa padat dengan pole atas 1 jari bawah
pusat, dan pole bawah setentang sympisis, dengan permukaan
tidak rata, immobile, nyeri (-)
Parametrium kanan dan kiri : lemas, ttb massa.
Cavum Douglas : tidak menonjol.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
USG 29-6-2010
Kandung kemih terisi baik
Uterus membesar dengan ukuran 12,5 x 7,4 cm.
Tampak gambaran hypoechoic seperti kumparan, multipel, intra uterine dengan
terbesar 5,8 x 4,4 cm.
Tidak tampak gambaran anechoic di adneksa kanan dan kiri
Kesan : Mioma uteri multipel.
DIAGNOSA BANDING :
23
Mioma Uteri
Adenomiosis
Diagnosis Kerja : Mioma Uteri
Rencana : Laparatomi
Lapor supv. Ruangan Dr. MOP, Sp.OG à ACC
Lapor supv. Kamar Bedah Dr. BIN, Sp.OG.K à ACC
PERSIAPAN OPERASI :
Laboratorium
Hb : 9,2 gr %
Ht : 31,9 %
Leukosit : 11.080/ mm3
Trombosit : 394.000/ mm3
Tes Fungsi Hati : dbn
Tes Fungsi Ginjal : dbn
Urine rutin : dbn
KGD puasa : dbn
KGD 2 jam pp : dbn
HST : dbn
Foto thorax : dbn
EKG : dbn/ tidak ada kontra indikasi operasi
Pap’s smear : Pap gr. I, normal smear
Kuretase bertingkat : endometrium dan endoserviks dalam batas normal
BNO/IVP : massa pelvis yang mengindentasi buli-buli. Fungsi
kedua ginjal baik, tidak tampak tanda-tanda
pembendungan.
24
LAPORAN OPERASI TANGGAL 19 JULI 2010
LAPORAN TOTAL ABDOMINAL HISTEREKTOMI + SALFINGO-OOFOREKTOMI
DEKTRA A/I MIOMA UTERI + TUBO-OVARIAN ABCESS
Ibu dibaringkan di meja operasi dengan infus dan kateter terpasang baik
Di lakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada lapangan operasi dan ditutup
dengan doek steril kecuali lapangan operasi
Di bawah general anasthesi di lakukan insisi kutis secara midline di bawah
pusat di lanjutkan subkutis, fasia, otot dikuakkan secara tumpul dan
peritoneum di potong ke atas dan ke bawah kemudian dilakukan identifikasi
uterus tampak uterus membesar dengan mioma multipel, intramural dan
subserosum, sebesar kepala bayi. Evaluasi tuba dan ovarium kanan: tampak
abses sebesar tinju dewasa, dengan perlengketan ke uterus dan daerah
retroperitoneal. Dilakukan pembebasan perlengketan, abses pecah keluar pus
berwarna kehijauan, dilakukan aspirasi pus, perlengketan berhasil
dibebaskan. Evaluasi tuba dan ovarium kiri; tuba dalam batas normal, ovarium
kiri tidak ada. Kemudian diputuskan untuk dilakukan total abdominal
histerektomi dan salfingo-ooforektomi dekstra.
Ligamentum rotundum kiri dan kanan diklem, gunting dan ikat.
Ligamentum kiri dan kanan ditembus dan dibuat window.
Ligamentum infundibulopelvikum kiri dan kanan diklem, gunting ikat.
Uterus disusuri ke bawah hingga mencapai arteri uterina. Identifikasi arteri
uterina, klem gunting dan ikat.
Identifikasi portio, kemudian uterus dipancung setinggi portio, puncak vagina
di jahit secara kontinyu
Kontrol perdarahan à taa.
Cavum abdomen dibersihkan dengan NaCl 0,9% sampai bersih.
Luka operasi ditutup lapis demi lapis.
Keadaan ibu paska operasi stabil.
25
INSTRUKSI:
* Awasi VS dan tanda pendarahan
* Periksa Hb post operasi jika < 8gr% à tranfusi
* Mobilisasi bertahap
TERAPI:
Kateter menetap
IVFD RL/D5% à 30 gtt/i
Ceftazidime 1 gr/12 jam i.v.
Metronidazole drips/8 jam i.v.
Movicox supp/8 jam/rektal
FOLLOW UP PASKA OPERASI TAH + SOD A/I MIOMA UTERI + TOA
21/7/2010 22/7/2010 23/7/2010 24/7/2010
Sensorium CM CM CM CM
26
Tekanan darah 110/70 110/80 120/80 120/80
Frek nadi 80 x/i 82x/i 80x/i 80x/i
Frek nafas 20 x/i 20x/i 20x/i 20x/i
Temperatur 37’c 37’c 37’c 37’c
Luka operasi Tertutup
verban
Tertutup
verban
Tertutup
verban
Kering
P/V - - - -
Volume urine Cukup Cukup Cukup Cukup
Terapi Kateter
menetap
IVFD RL/D5%
à 30 gtt/i
Ceftazidime
1gr/12jam i.v.
Metronidazole
drips /8 jam
Movicox supp/
8 jam
Transamin
amp/8jam
Aff kateter
IVFD RL/D5%
à 20 gtt/i
Ceftazidime
1gr/12jam i.v.
Metronidazole
drips /8 jam
Movicox supp/
8 jam
Aff Infus
Ceftazidine 1gr
/12jam
Metronidazole
drips /8 jam
Asam
mefenamat 3 x
500
Vit B complex 3
x 1
Klindamisin 3 x
300 mg
Asam
mefenamat 3 x
500
Vit B complex 3
x 1
PBJ
Laboratorium Post Operasi
Hb : 6,7 gr %
27
Ht : 23,1 %
Leukosit : 11.850/ mm3
Trombosit : 549.000/ mm3
Dilakukan transfusi PRC 2 kantong.
Laboratorium Post Operasi
Hb : 9,9 gr %
Ht : 26 %
Leukosit : 11.950/ mm3
Trombosit : 373.000/ mm3
Os dirawat selama 4 hari setelah operasi dan PBJ.
ANALISIS KASUS
28
Telah dilaporkan kasus Ny R, 41 thn, P1A0, APK: 8 thn, Haid terakhir: 10-07-2010,
menikah 1x: usia 24 thn, pekerjaan suami: wiraswasta, yang datang ke RSUP H. Adam
Malik Medan tanggal 16-07-2010 dengan diagnosis preoperatif Mioma Uteri.
Dari anamnesis didapatkan keluhan utama benjolan diperut, + 1 tahun ini, disertai
riwayat haid banyak dan lama (+) 4 bulan ini, vol. 4-5 x ganti doek/hari. Riwayat
keluar darah dari kemaluan di luar siklus haid (-). Nyeri perut (+).
Pemeriksaan fisik didapatkan dari abdomen: soepel, teraba massa padat pole sebesar
kehamilan 22-24 minggu, permukaan tidak rata, immobile. Pemeriksaan ginekologi
dijumpai, inspekulo: tidak dijumpai kelainan. VT: UT AF > BB, teraba massa padat
dengan pole atas 1 jari bawah pusat, dan pole bawah setentang sympisis, dengan
permukaan tidak rata, immobile, nyeri (-). Parametrium kanan dan kiri : lemas, ttb
massa. Cavum Douglas : tidak menonjol.
Pemeriksaan USG didapatkan uterus membesar dengan ukuran 12,5 x 7,4 cm, tampak
gambaran hypoechoic seperti kumparan, multipel, intra uterine dengan terbesar 5,8 x
4,4 cm, kesan mioma uteri multipel.
Dari anamnesis didapatkan usia pasien 41 tahun dimana 40-50% mioma ditemukan
pada usia 40 tahun, walaupun sebelumnya sudah ditemukan mioma saat pasien
berusia 28 tahun. Didapatkan perdarahan abnormal berupa menoragia dan dan
riwayat infertilitas (ditemukan pada 27-40% pasien mioma). Mioma sebagai
penyebab tunggal dari infertilitas jarang dijumpai (3%) dan sering dijumpai
penyebab lain infertilitas pada pasien mioma. Sebelumnya pada tahun 1997 os
pernah operasi atas indikasi mioma uteri dan dilakukan miomektomi. Dari
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan ginekologi didapatkan massa padat dengan pole
atas 1 jari bawah pusat, dan pole bawah setentang sympisis, permukaan tidak rata,
immobile, nyeri (-). Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat ditetapkan diagnosis
banding yaitu mioma uteri dan adenomiosis. Dilakukan pemeriksaan ultrasonografi
dan didapatkan kesan mioma uteri multipel. Laboratorium menunjukkan Hb 9,2 gr %.
Ditetapkan diagnosis kerja yaitu mioma uteri dan os direncanakan laparotomi untuk
dilakukan histerektomi.
Indikasi operasi pada pasien ini adalah adanya perdarahan abnormal (terjadi pada
35-50% pasien mioma) dan nyeri kronik nyeri perut (terjadi pada 65% pasien
29
mioma) dan anemia akibat perdarahan kronik. Tindakan operatif yang dipilih adalah
histerektomi karena didapatkan mioma uteri yang multipel berdasarkan hasil
pemeriksaan. Pasien sebelumnya sudah pernah operasi dan dilakukan miomektomi
dengan tujuan mempertahankan fertilitas, dimana miomektomi bukanlah terapi
definitif. Usia pasien 41 tahun dan pasien tidak membutuhkan lagi fungsi reproduksi.
Durante operasi ditemukan adanya abses tubo ovarial sebesar tinju dewasa. Pada
pasien ini diagnosis abses tubo ovarial tidak bisa ditegakkan sebelum operasi. Dari
anamnesis tidak didapatkan adanya keluhan berupa nyeri perut yang menetap, yang
bertambah dengan aktivitas fisik atau coitus, riwayat keputihan yang banyak, dan
riwayat demam. Dari pemeriksaan fisik tidak didapatkan palpasi abdomen yang
tegang dan nyeri serta tidak ada nyeri pada pemeriksaan ginekologi. Dari
laboratorium didapatkan lekosit 11.080/mm3 yang sedikit meningkat dari nilai
normal. Pemeriksaan USG tidak menunjukkan adanya massa di adneksa. Dilakukan
aspirasi pus dari abses dan dilakukan kultur dan tes sensitivitas. Pada pasien ini tidak
didapatkan diagnosis abses tubo ovarial. Menurut literatur, spektrum gejala dan
tanda klinis abses tuboovarial sangat bervariasi dari tanpa gejala pada wanita dengan
massa adneksa hingga gejala abdomen akut dan syok septik. Pada pasien ini
diberikan terapi regimen B dengan pemberian Ceftazidime 1 g/12 jam i.v. dan
Klindamisin 3 x 300 mg. Setelah pasien pulang diberikan terapi Metronidazole 2 x
500 mg dan Klindamisin 3 x 300 mg selama 14 hari.
30