Upload
omadasari
View
1.961
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Antara Keteraturan dan Perubahan, Antara Kesadaran Kolektif dan Kesadaran Palsu: Perbandingan Metodologi dan Teori Agama Emile Durkheim dan Karl Marx
Citation preview
1
Keteraturan dan Perubahan:
Perbandingan Metodologi dan Teori Agama Emile Durkheim dan Karl Marx
Oleh: Okky Madasari
Pendahuluan
Emile Durkheim (1858-1917) dan Karl Marx (1818-1883) merupakan peletak dasar-
dasar teori strukturalisme dalam Sosiologi. Keduanya memfokuskan unit analisis pada
struktur masyarakat dan tidak berbicara dalam konteks individu. Durkheim dan Marx sama-
sama melihat struktur masyarakat yang membentuk dan mempengaruhi individu, bukan
sebaliknya.
Di luar kesamaan ini, Durkheim dan Marx memiliki pemikiran-pemikiran yang
bertolak belakang. Makalah ini akan mengulas pemikiran Durkheim dan Marx serta
membandingkan pemikiran keduanya khususnya dalam dua hal. Pertama dalam hal
metodologi, kedua dalam pemikiran tentang agama.
I. METODOLOGI
Emile Durkheim dan Positivisme
Emile Durkheim sejak awal melihat penelitian dalam ilmu sosiologi seharusnya
memiliki disiplin yang serupa dengan penelitian ilmu alam. Penelitian sosiologi harus
berdasarkan fakta-fakta obyektif dan bukan sekedar asumsi, opini, atau spekulasi. Pemikiran-
pemikiran Durkheim tentang metodologi dituangkan dalam bukunya The Rules of
2
Sociological Method (1895/1966). Buku ini merupakan buku kunci untuk penelitian sosial
yang menggunakan pendekatan positivisme (Neuman, 2003: 71).1
Menurut Durkheim, untuk bisa menghasilkan penelitian sosial yang serupa ilmu alam,
terlebih dulu harus dibuat rumusan apa saja obyek yang bisa diteliti dalam penelitian sosial.
Untuk ini, Durkheim membuat definisinya tentang fakta sosial (social fact). Pertama-tama,
fakta sosial haruslah diperlakukan sebagai benda mati.
“The first and most fundamental rule is: Consider social facts as things”
(Emile Durkheim, The Rules of Sociological Method, 1895/1966: 14)
Dengan memperlakukan sebagai benda mati, fakta sosial akan menjadi obyek yang
bisa diamati, diukur, dan dibandingkan. Meski demikian, tidak setiap gejala sosial adalah
fakta sosial yang bisa dijadikan obyek dalam penelitian sosiologi. Suatu gejala sosial bisa
menjadi fakta sosial dan menjadi obyek penelitian sosiologi jika memenuhi syarat-syarat
tertentu.
Syarat pertama adalah terjadi di luar individu (Durkheim, 1966: 3). Durkheim
menyebut fakta sosial bisa berupa aturan, norma, gejala, atau perilaku yang berada di luar
individu. Artinya, fakta sosial bukanlah sesuatu yang berupa pikiran atau kondisi kejiwaan
dari individu. Meski demikian, tidak serta merta setiap fenomena sosial yang terjadi di luar
individu adalah fakta sosial. Durkheim merumuskan syarat kedua fakta sosial yakni harus
bersifat umum (Durkheim, 1966: 7). Bersifat umum di sini artinya, fenomena tersebut tidak
1 Emile Durkheim bukanlah orang pertama yang memperkenalkan positivisme dalam penelitian sosiologi.
Sebelum Durkheim, Auguste Comte yang juga dikenal sebagai Bapak Sosiologi sudah lebih dulu
memperkenalkan pendekatakn positivisme melalui karyanya The Course of Positive Philosophy (Neuman, 2003:
71). Meski demikian, Durkheim yang meletakkan dasar-dasar penelitian empiris dalam metodologinya. Melalui
empirisme, Durkheim mengoreksi Comte dan Hebert Spencer yang hanya mendasarkan pemikiran mereka dari
perenungan filsafat (Ritzer, 1996: 77).
3
hanya terjadi pada satu atau dua individu saja. Gejala sosial baru bisa disebut fakta sosial jika
telah menjadi fenomena umum yang terjadi dalam masyarakat tertentu.
Pemikir Sosiologi yang menulis buku Emile Durkheim: His Life and Work, Steven
Lukes, memilah fakta sosial yang terjadi di luar individu dalam dua kelompok, material dan
non material (Ritzer, 1996: 79). Fakta sosial yang sifatnya material antara lain masyarakat,
komponen dari struktur masyarakat seperti agama dan negara, komponen morfologi dalam
masyarakat, seperti penyebaran populasi, dan perjanjian rumah tangga. Sementara fakta
sosial yag sifatnya non material adalah moral, kesadaran kolektif, perwakilan kolektif, dan
arus sosial (social currents).
Dalam satu penelitiannya yang terkemuka tentang bunuh diri (Suicide, 1897/1951),
Durkheim melihat bunuh diri sebagai fakta sosial yang terjadi pada umat Katolik dan
Protestan karena terjadi tidak hanya pada satu atau dua individu tapi pada banyak individu.
Bunuh diri merupakan gejala sosial yang bersifat umum baik di kalangan Katolik maupun
Protestan. Melalui penelitiannya, Durkheim terlebih dahulu mengukur lebih tinggi mana
tingkat bunuh diri antara umat Katolik dan Protestan. Setelah mengetahui bahwa tingkat
bunuh diri di kalangan Protestan lebih tinggi daripada Katolik, penelitian dilanjutkan dengan
mencari tahu mengapa bunuh diri di kalangan Protestan lebih tinggi daripada kalangan
Katolik. Jelaslah di sini, Durkheim tidak mengamati pelaku bunuh diri sebagai individu,
melainkan sebagai bagian dari sistem sosial dalam hal ini agama. Individu hanyalah akibat
dari struktur dan sistem masyarakat. Melalui penelitian Durkheim tentang bunuh diri
diketahui bahwa tingkat bunuh diri dalam umat Protestan lebih tinggi daripada umat Katolik
karena rendahnya solidaritas sosial dalam masyarakat Protestan.
Dari sini terlihat bagaimana fakta sosial memiliki sifat membatasi atau memaksa
individu (Durkheim, 1966: 4). Individu tidak memiliki kemampuan untuk melawan gejala
4
sosial yang bersifat umum ini. Bahkan, kebanyakan individu tidak merasa hal ini adalah
batasan atau sesuatu yang memaksa karena mereka menganggapnya sebagai hal yang wajar.
Individu baru merasakannya ketika ia mencoba melawan batasan ini.
Dari teorinya tentang fakta sosial dan bagaimana ia meneliti tingkat bunuh diri,
jelaslah Durkheim seorang empiris. Ini sejalan dengan keinginan Durkheim agar sosiologi
menggunakan dasar-dasar penelitian seketat ilmu alam dengan meneliti obyek konkret yang
bisa dilihat, diukur, dan dibandingkan. Prinsip empirisme yang membedakan Durkheim
dengan Auguste Comte dan Herbert Spencer yang lebih dulu mengenalkan positivisme
(Neuman, 2003: 71). Dengan empirisme, Durkheim telah menarik garis tegas yang
memisahkan sosiologi dan filsafat. Batasannya tentang fakta sosial juga telah memisahkan
sosiologi dari psikologi yang menjadikan hal-hal internal di dalam individu sebagai obyek
penelitiannya.
“By defining a social fact as a thing that is external to, and coercive of,the actor,
Durkheim seems to have done a reasonably good job (at least for that historical era)
of attaining his objective of separating sociology from both philosophy and
psychology.”
(George Ritzer, Sociological Theory, 1996: 77)
Sebagai penganut positivisme, Durkheim menggunakan prinsip nomothetic dalam
menjelaskan suatu gejala sosial. Nomothetic bisa diartikan sebagai upaya menjelaskan gejala
sosial dengan hukum sebab akibat yang sifatnya umum (Neuman, 2003: 73). Itu artinya,
setiap penelitian sosiologi yang menggunakan pendekatan positivisme merupakan penelitian
deduksi yang menggunakan dasar teori pada awal penelitian, lalu membuktikan secara
empiris, dan menghasilkan kesimpulan yang sifatnya generalisasi. Meski sifatnya
generalisasi, Durkheim tetap percaya sebuah penelitian sosiologi yang ketat mengikuti
5
rumusan-rumusan fakta sosial dan berdasarkan penelitian empiris tetap memiliki validitas
tinggi, sebagaimana ilmu alam. Dan validitas tersebut hanya bisa dihasilkan jika peneliti
bersikap obyektif, berjarak, dan bebas nilai.
Karl Marx dan Materalisme Dialektika
Berbeda dengan Emile Durkheim yang membuat pondasi metodologi positivisme
dalam sosiologi, metodologi Karl Marx menjadi dasar lahirnya metodologi alternatif yakni
pendekatan kritis (critical). Pendekatan kritis berorientasi pada aksi yang bertujuan untuk
mengubah tatanan masyarakat (Neuman, 2003: 81).
“The critical approach uses praxis to separate good from bad theory. It puts the
theory into practice and uses the outcome of applications to reformulate theory.
Praxis means that explanations are valued when they help people really understand
the world and to take action that changes it”
(W. Lawrence Neuman, Social Research Methods, 2003: 85)
Metodologi Marx berangkat dari kritiknya pada konsep dialektika Hegel. Jika Hegel
mendasarkan dialektikanya pada gagasan, Marx menggunakan konsep dialektika pada hal-hal
yang sifatnya material atau nyata (Ritzer, 1996: 44).
Konsep Materialisme Marx melawan aliran pemikiran idealisme yang dominan dalam
pemikiran filsafat saat itu. Aliran idealisme melihat kesadaran dan gagasan sebagai pangkal
yang mempengaruhi dan menyebabkan tindakan individu sekaligus membentuk realita sosial.
Sementara bagi Marx, dunia dan realita sosial tidak berawal dari gagasan yang ada dalam
kepala individu, melainkan dari hal-hal nyata, dari sesuatu yang sifatnya material (bisa
dilihat, bisa diamati, bisa dialami). Kesadaran dan tindakan individu tidak lahir dari apa yang
ada dalam pikirannya, melainkan lahir dari apa yang dialami langsung setiap hari.
6
“It is not the consciousness of men that determines their being, but, on the contrary,
their social being that determines their consciousness”
(Karl Marx, On Society and Social Change, 1973: 5)
Hal nyata yang bersifat materi dan dialami langsung setiap hari itu tidak lain adalah
upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Dalam upaya pemenuhan
kebutuhan, kemampuan produksi merupakan hal dasar yang harus dikuasai. Penguasaan
faktor produksi menjadi masalah dasar dalam upaya pemenuhan kebutuhan tersebut.
Kenyataannya faktor produksi hanya dikuasai oleh kelas borjuis atau kelas kapitalis.
“The social history of men is never anything but the history of their individual
development, whether they are conscious of it or not.”
(Karl Marx, On Society and Social Change, 1973: 4)
“The bourgeois relations of production are the last antagonistic form of the social
process of production… at the same time the productive forces developing in the
womb of bourgeois society create the material conditions for the solution of the
antagonism.”
(Karl Marx, On Society and Social Change, 1973: 6)
Dialektika diartikan sebagai kondisi penuh paradoks atau kontradiksi yang membawa
pada perubahan (Neuman, 2003: 82). Mengacu pada konsep Hegel, dialektika adalah
perjalanan sejarah manusia yang terbangun atas tiga bagian yang disebut sebagai tesis
(thesis), antitesis (antithesis), dan sintesis (synthesis). Tesis merupakan persoalan yang ada.
Antitesis adalah tanggapan kritis dari persoalan tersebut. Tesis dan antitesis adalah kondisi
yang saling berlawanan, yang kemudian menghasilkan perubahan berupa sintesis. Sementara
7
sintesis merupakan kondisi baru yang tercapai setelah tesis mengoreksi antitesis. Dialektika
melihat keberadaan masyarakat sebagai proses yang terus bergerak dan penuh perubahan.
Konsep dialektika sangat berbeda dengan metodologi sosiologi lainnya, terutama
positivisme yang dibangun Durkheim. Pertama, dialektika tidak melihat realita sosial sebagai
gejala satu arah atau hubungan sebab akibat. Kedua, dialektika tidak bisa dilepaskan dari
nilai-nilai ideologi Marx. Sementara, sebagian sebagian besar sosiolog terlebih penganut
positivisme berpendapat bahwa nilai-nilai ideologi dari peneliti harus dipisahkan dari sebuah
penelitian (Ritzer, 1996: 44).
“The dialectical thinker believes that it is not only impossible to keep values out of the
study of the social world but also undesirable because is produces a dispassionate,
inhuman sociology that has little to offer to people in search of answers to the
problems they confront.”
(George Ritzer, Sociological Theory, 1996: 44-45)
Metodologi materialisme dialektika tidak bisa dilepaskan dari nilai dan ideologi yang
dianut Marx. Dari penjelasan sebelumnya tentang konsep materialisme, jelas bahwa realita
yang ada dalam masyarakat saat ini adalah dikuasainya faktor produksi di tangan borjuis.
Maka dialektika bagi Marx adalah perjalanan untuk mengubah realita sosial tersebut.
Dalam karyanya Capital (1867), Marx memaparkan bagaimana kelas borjuis
melakukan eksploitasi pada kelas pekerja (proletar). Marx melahirkan beberapa teori, salah
satunya mengenai surplus value yang menjelaskan bahwa seharusnya pekerja mendapatkan
nilai melebihi dari upah yang mereka dapatkan (Marx, Capital vol I, 1976: 320-321). Teori-
teori Marx merupakan kritik pada sistem kapitalisme yang ditandai keberadaan kelas borjuis
sebagai penguasa faktor produksi. Kondisi ini tidak bisa dibiarkan. Perubahan harus
8
dilakukan. Terbentuknya masyarakat tanpa kelas atau masyarakat komunis adalah tujuan
perubahan itu.
Metodologi Durkheim dan Marx: Antara Obyektivitas dan Nilai Ideologi
Pada bagian pendahuluan makalah ini telah disebutkan bahwa Durkheim dan Marx
memiliki unit analisis yang sama, yakni struktur dan sistem sosial (makro level). Keduanya
tidak menjadikan individu (mikro level) sebagai unit analisis dan memandang bahwa apa
yang terjadi pada individu merupakan akibat dari struktur sosial dalam masyarakat. Durkheim
dan Marx adalah pemikir strukturalis yang menjadi dasar teori-teori strukturalisme dalam
ilmu sosiologi. Dalam hal ini, pendekatan Durkheim dan Marx sangat berbeda dengan
metodologi Max Weber yang melalui interaksionis simbolis menjadikan individu dan
interaksi antar individu sebagai unit analisis.
Di luar persamaan tersebut, dalam masing-masing uraian metodologi Durkheim dan
Marx pada makalah ini, terlihat jelas bagaimana kedua metodologi memiliki perbedaan yang
sangat besar, bahkan cenderung bertolak belakang. Masing-masing menawarkan kelebihan
yang tidak dimiliki oleh metodologi lainnya.
Positivisme Durkheim merupakan metodologi utama dalam penelitian sosiologi saat
ini. Keunggulan metodologi Durkheim ada pada empirismenya dan obyektivitas dalam
melakukan penelitian. Dengan demikian, hasil penellitian yang dihasilkan akan memiliki
validitas tinggi yang tidak terpengaruh oleh kepentingan pribadi peneliti.
“Positivists argue for a value-free science that is objective.”
(W. Lawrence Neuman, Social Researchs Methods, 2003: 74)
9
Keunggulan lainnya adalah kemampuan menjelaskan gejala sosial secara generalisasi
untuk kemudian menjadi sebuah kesimpulan atau teori yang berlaku umum. Metodologi ini
berpandangan apa yang ada dalam realita sosial memiliki hubungan sebab akibat.
“Positivism assumes that the laws operate according to strict, logical reasoning…The
laws of human behaviour should be universally valid, holding in all historical eras
and all cultures. ”
(W. Lawrence Neuman, Social Research Methods 2003: 73)
Kepercayaan pada hubungan sebab akibat yang berlaku umum ini jugalah yang
kemudian menjadi kelemahan terbesar metodologi ini. Durkheim melihat struktur masyarakat
sebagai sebuah keteraturan (order) dan tetap harus dipertahankan keseimbangannya. Ia
mengesampingkan kenyataan bahwa perubahan dalam masyarakat diperlukan, akan terus ada,
sekuat apapun upaya untuk mencegahnya. Upaya untuk menghasilkan hukum sebab akibat
yang berlaku universal juga mengabaikan faktor sejarah dan budaya yang berlaku pada satu
masyarakat dan secara spesifik membentuk konteks sosial yang berbeda dengan masyarakat
lainnya.
Kelemahan berikutnya dari metodologi ini adalah memandang manusia dan fakta
sosial sebagai benda mati. Bagi positivis, manusia tidak ubahnya seperti robot atau wayang
yang akan memberi reaksi sama atas apa yang ada di luar dirinya (Neuman, 2003: 72).
Kenyataannya, manusia tetaplah manusia yang tidak bisa disamakan dengan benda.
Durkheim juga melihat individu sebagai makhluk yang hanya mementingkan kesenangan
individu, oleh karenanya harus diatur dengan sistem yang ada di luar dirinya (Neuman, 2003:
72). Ini juga yang menjadi ketidaksetujuan metodologi Marx pada positivisme yang dibangun
Durkheim.
10
Bagi Marx, manusia sebenarnya memiliki potensi besar yang tidak disadari. Manusia
adalah makhluk-makhluk yang kreatif dan memiliki kemampuan beradaptasi. Sistem
masyarakat kapitalis lah yang membuat manusia terkungkung, dieksploitasi, kehilangan
kemerdekaan dan kebebasan, serta tak lagi bisa mengontrol dirinya sendiri (Neuman, 2003:
83).
Kelebihan utama metodologi Marx ada pada upayanya mengkritik dan mengubah
struktur masyarakat untuk membebaskan manusia dari dominasi kelas borjuis. Metodologi ini
berangkat dengan asumsi ada yang salah dalam struktur masyarakat dan perubahan adalah
sebuah keharusan. Bandingkan dengan metodologi Durkheim yang cenderung anti-perubahan
demi melindungi keteraturan dan keseimbangan.
“The critical researcher asks embrassing questions, exposes hypocrisy, and
investigates conditions in order to encourage dramatic grass-roots action.”
(W. Lawrence Neuman, Social Research Methods 2003: 82)
Asumsi dan tujuan yang dipegang sejak awal inilah yang menjadi kelemahan terbesar
metodologi Marx. Pada bagian sebelumnya juga telah dipaparkan bagaimana penganut
metodologi Marx melihat nilai dan ideologi sebagai hal yang tidak terpisahkan dari penelitian
sosial. Bagi peneliti kritis, penelitian yang bebas nilai hanya akan membuat sosiologi
menjadi tidak manusiawi dan tidak mampu memberi solusi atas permasalahan yang ada
(Ritzer, 1996: 44-45).
Metodologi yang bias nilai dan ideologi ini membuat Marx tidak bisa diterima
sepenuhnya sebagai pemikir sosiologi (Ritzer, 1996: 43). Akan tetapi adakah pemikir yang
bisa benar-benar bebas dari nilai dan ideologi? Durkheim yang mengagungkan obyektivitas
pun sudah mendasarkan metodologi yang dibangunnya dari nilai yang ia anut: keyakinan
11
bahwa manusia cenderung mencari kesenangan individu dan karenanya dibutuhkan kekuatan
di luar manusia untuk mengendalikan dan mengatur manusia tersebut (Neuman, 2003: 72).
Bahkan bisa dikatakan tak ada satupun pemikir sosiologi yang bebas nilai.
“There is no such thing as a “value-free” sociological theory. In theorizing about
social phenomena, sociologist find it impossible to be completely neutral, and this
remains true whether or not they are willing to recognize it or to admit it.”
(George Ritzer, Sociological Theory, 1996: 43)
Ideologi yang dibawa Marx penuh dengan nilai pembebasan manusia, perlawanan
atas eksploitasi dan ketidakadilan. Metodologi dan teori-teori Marx memberi sumbangan
besar bagi ilmu sosiologi, sehingga tidak perlu diragukan bahwa dia jugalah seorang pemikir
sosiologi. Marx telah menempatkan metodologi sebagai upaya memperjuangkan
kemanusiaan. Perubahan adalah sebuah keniscayaan jika kondisi saat ini hanya
menghadirkan penindasan dan ketidakadilan. Sangat berbeda dengan metodologi Durkheim
yang melihat tatanan masyarakat sebagai hal yang harus dipertahankan dan dijaga
keseimbangannya demi menghindari kekacauan dan ketidak-teraturan.
II. TEORI AGAMA
Emile Durkheim dan Karl Marx menggunakan metodologi yang mereka bangun
dalam melihat realita sosial. Agama adalah salah satu realita sosial yang menjadi fokus
pengamatan mereka.
12
Emile Durkheim: Agama dan Kesadaran Kolektif
Pemikiran Durkheim tentang agama lahir setelah ia meneliti secara empiris kehidupan
beragama suku Aborigin di Australia yang menganut Totemism. Penelitian Durkheim
berpusat pada fakta sosial, yakni aktivitas religius kelompok tersebut. Hasil penelitian ditulis
dalam buku The Elementary Forms of Religious Life (1912). Dalam buku tersebut, Durkheim
Durkheim mendefinisikan agama adalah sebuah kesatuan kepercayaan dan tindakan-tindakan
yang menyatukan individu dalam satu kesatuan kelompok moral. Jelaslah bagi Durkheim
agama dihasilkan oleh masyarakat.
“A religion is a unified system of beliefs and practices relative to sacred things, that
is to say, things set apart and forbidden-beliefs and practices which unite into one
single moral community”
(Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life, 1912/1965: 62)
Dari definisi tersebut terlihat bahwa agama bagi Durkheim adalah satu keyakinan
kolektif atau berkelompok dalam masyarakat. Agama bukan sebuah keyakinan individu yang
lepas dari individu lainnya.
Keyakinan dalam agama membuat individu tunduk untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu. Inilah menurut Durkheim fungsi yang sebenarnya dari agama. Agama
tidak berfungsi untuk membuat individu berpikir atau menambah pengetahuan individu.
Fungsi agama adalah menjadi tuntunan bagaimana manusia bertindak dalam hidup.
“The real function of religion is not to make us think, to enrich our knowledge…, it is
to make us act, to aid us to live”
(Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life, 1912/1965 : 463-464)
13
Karena bisa membuat individu melakukan atau tidak melakukan sesuatu, maka agama
memiliki kekuatan untuk memaksa (forces). Bahkan Durkheim menyebut kekuatan untuk
memaksa inilah yang menjadi asal usul agama (Durkheim, 1965: 234).
Kekuatan agama untuk memaksa individu ini mewujud dalam kekuatan moral (moral
forces) yang dipegang dan dijadikan pedoman bersama oleh individu-individu dalam
kelompok agama tersebut. Kesadaran akan adanya moral bersama melahirkan rasa sebagai
satu kesatuan dalam satu kelompok individu (collective sentiments). Perasaan sebagai satu
kesatuan itu kemudian mendorong kelompok individu tersebut untuk bertindak bersama-sama
sesuai tuntunan moral yang ada (collective effervescence). Dari sinilah terwujud kesadaran
bersama bahwa masing-masing individu adalah bagian dari satu kelompok individu tersebut,
yang bergerak bersama atas dasar moral yang sama (collective consciousness) (Durkheim,
1965: 473-474).
Dalam penelitiannya tentang bunuh diri, Durkheim menemukan fakta bagaimana
solidaritas yang ada dalam satu agama mempengaruhi keputusan seseorang untuk bunuh diri.
Solidaritas terbentuk melalui pertemuan-pertemuan yang dilakukan bersama. Solidaritas dan
moral merupakan komponen agama yang menjadikan agama sebagai kekuatan dahsyat untuk
mengatur masyarakat (Durkheim, Suicide, 1951: 216).
Karl Marx: Agama dan Kesadaran Palsu
Berbeda dengan Durkheim yang melakukan penelitian tentang agama, Marx tidak
pernah mempelajari agama secara detail. Pemikiran tentang agama banyak dipengaruhi
filsuf dan teolog awal abad 19, terutama Ludwig Feuerbach (Giddens, 2009: 679). Ini tidak
bisa dilepaskan dari pemikiran Marx tentang materialisme yang melihat pemenuhan
kebutuhan ekonomi adalah dasar dari struktur masyarakat. Agama, sebagai salah satu bentuk
14
budaya hanyalah imbas dari dasar materialisme yang oleh Marx disebut sebagai super-
struktur (Ritzer, 1996: 68).
Serupa dengan Feuerbach yang melihat agama sebagai produk manusia (Giddens,
2009: 679), Marx kembali menegaskan hal tersebut dalam bukunya On Religion (1955) dan
tulisannya The Basis of Religion yang dimuat dalam buku On Society and Social Change
(1973).
“Man makes religion; religion does not make man.”
(Karl Marx, On Society and Social Change, 1973:13)
Feuerbach juga mengungkapkan bagaimana agama hanyalah membuat manusia
teralienasi dari keberadaannya sebagai manusia demi keberadaan Tuhan (Giddens, 2009:
679). Menguatkan pendapat Feuerbach tersebut, Marx menyatakan bahwa agama hanyalah
fantasi manusia dan pelarian atas realita yang dihadapi (Marx, 1973: 13). Agama hanyalah
penghibur di dunia yang kejam, yang disebut Marx sebagai “heart of a heartless world”, dan
karena itulah agama tak lebih dari sekedar candu bagi manusia (Marx, 1973: 14).
Agama menjanjikan balasan dan kebahagiaan setelah mati. Segala ketidakadilan yang
dialami selama hidup di dunia akan mendapat gantinya pada kehidupan selanjutnya. Dengan
demikian, agama hanya membiarkan dan menjadi pembenar segala ketidakadilan yang terjadi
di dunia (Giddens, 2009: 680). Bahkan, agama kerap menjadi pencipta dari penindasan dan
ketidakadilan tersebut. Misalnya bagaimana agama Hindu memilki sistem kasta yang
membeda-bedakan manusia berdasarkan tingkat sosial ekonominya. Hal yang sama juga
terjadi di Islam, di mana terdapat konsep sedekah untuk membantu orang miskin. Itu artinya
orang miskin akan terus dibiarkan ada dan hanya menjadi sasaran sedekah bagi orang yang
tingkat ekonominya di atasnya.
15
Buaian agama dengan keyakinan akan kehidupan setelah mati dan doktrin yang
menjadikan ketidakadilan sebagai “takdir” membuat manusia terus tunduk dan menerima
penindasan kelas borjuis dalam sistem kapitalis. Inilah yang disebut Marx sebagai bentuk
kesadaran palsu (false consciousness).
“False consciousness describes the situation throughout the capitalist epoch, whereas
class consciousness is the condition that awaits the proletariat and that can help
bring about the change from capitalist to communist society.”
(George Ritzer, Sociological Theory, 1996: 70)
Fundamentalisme Agama: Perspektif Durkheim dan Marx
Fundamentalisme agama khususnya fundamentalisme Islam menjadi fenomena global
semenjak peristiwa pengeboman di Amerika Serikat 11 September 2001. Indonesia sebagai
negara dengan penduduk Islam terbanyak di dunia juga menjadi ladang subur tumbuhnya
terorisme. Dimulai dari peristiwa bom Bali tahun 2002 lalu disusul oleh berbagai bom di
berbagai wilayah bahkan hingga saat ini.
Fundamentalisme bisa diartikan sebagai keyakinan bahwa hanya pendapat mereka
dan kelompok mereka yang benar, dan pendapat lain diluar itu merupakan hal yang salah dan
harus diluruskan atau dimusnahkan (Giddens, 2009: 710).
Tumbuhnya kelompok fundamentalis ini memunculkan pertanyaan besar tentang
fungsi agama. Kenapa fundamentalisme bisa muncul dan berkembang? Bagaimana cara
menghentikan fundamentalisme dalam masyarakat? Teori agama dari Emile Durkheim dan
Karl Marx bisa digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
16
Disfungsi Agama
Dilihat dari perspektif Durkheim, tumbuhnya fundamentalisme adalah akibat dari
tidak berjalannya fungsi agama. Fenomena ini disebut Durkheim disebut sebagai patologi.
Sebagaimana disebut pada bagian sebelumnya, fungsi agama menurut Durkheim adalah
memberikan panduan bagaimana manusia harus bertindak. Agama harus menjadi sumber
moral yang bisa memaksa manusia untuk melakukan hal-hal baik dalam masyarakat.
Bagi Durkheim, agama bukanlah keyakinan individu yang hanya berwujud relasi
manusia dengan keyakinannya atau tuhannya. Agama merupakan kumpulan dari ritual yang
dijalankan bersama, nilai yang dianut bersama, yang akhirnya membawa penganutnya dalam
sebuah kebersamaan dan solidaritas. Dasar kolektivitas sehingga membentuk kesadaran
moral bersama (collective consciousness) inilah esensi dari agama.
Ketika agama tak lagi bisa mengarahkan umatnya untuk berbuat baik, maka agama
sudah gagal menjalankan fungsinya. Kegagalan tersebut bisa karena pemuka-pemuka agama
sudah tidak bisa lagi menjadi pemimpin umat. Bisa juga karena pemuka agama salah dalam
menjelaskan atau mengintepretasikan maksud dari ajaran agama. Sebagai sebuah keyakinan
kolektif dan sistem sosial, pemuka atau pemimpin agama punya peran besar dalam menjaga
fungsi agama. Sebagaimana sudah diuraikan pada bagian sebelumnya, Durkheim melihat
individu tak ubahnya seperti wayang atau robot. Individu harus diatur dan dibentuk oleh
struktur yang ada di luarnya. Dalam konteks agama, struktur di luar individu itu adalah ajaran
moral dari agama, pemuka agama, dan ritual-ritual yang dijalankan bersama.
Salah satu bentuk fundamentalisme adalah fenomena bom bunuh diri. Kesediaan
seseorang untuk mati karena meyakini itu sesuatu yang baik dalam nilai yang mereka anut
dikategorikan Durkheim sebagai bunuh diri altruistric. Bunuh diri Altruistic terjadi ketika
individu terikat kuat dalam solidaritas dan moral. Bunuh diri dilakukan karena individu
17
merasa itu merupakan kewajibannya, berdasarkan nilai moral yang mereka pegang bersama,
Dalam bunuh diri altruistic, sesorang tidak melakukannya karena merasa berhak secara
individu, melainkan karena ini adalah tugas, kehormatan, dan juga hukuman karena telah
melanggar hukum dan moral (Durkheim, Suicide, 1951: 177). Meski demikian, tidak setiap
bunuh diri yang dilakukan karena dorongan nilai dan keyakinan adalah sesuatu yang sifatnya
kewajiban dalam masyarakat. Durkheim membedakan bunuh diri artruistic dalam dua
kelompok. Yang pertama karena diwajibkan oleh sistem masyarakat, yang kedua adalah
semata karena keyakinan dari individu tersebut (Durkheim, 1951: 180). Contoh bunuh diri
altruistic yang diwajibkan adalah kebudayaan di India kuno yang mewajibkan istri membakar
diri ketika suami meninggal. Bom bunuh diri bukanlah sebuah kewajiban atau tugas yang
diperintahkan agama Islam. Faktanya, pelaku bom bunuh diri hanyalah segelintir orang di
antara penganut agama Islam di seluruh dunia. Pelaku bom bunuh diri melakukannya semata
karena keyakinan mereka atau setidaknya keyakinan yang dibentuk dalam kelompok
fundamentalis tersebut.
Pertanyaannya kini, kenapa kelompok yang jumlahnya minoritas seperti itu bisa
terus berkembang? Selain karena kegagalan pemuka agama sebagaimana dikemukakan
sebelumnya, juga karena kurangnya ikatan solidaritas di antara seluruh umat beragama,
khususnya antara kelompok mayoritas yang moderat dengan kelompok minoritas garis keras
yang berfungsi menjadi fundamentalis. Durkheim melihat aspek kunci dari agama adalah
ritual yang dilakukan bersama-sama. Kebersamaan ritual inilah yang berfungsi membangun
ikatan solidaritas antar individu dalam satu agama (Giddens, 2009: 682).
Maka dari perspektif Durkheim, cara untuk menghentikan fundamentalisme adalah
meningkatkan peran pemuka agama dan memperbaiki solidaritas yang menyatukan kelompok
moderat dengan kelompok radikal. Pemuka agama harus lebih aktif memberikan ceramah
dan meluruskan intepretasi yang salah. Pemuka agama juga harus melakukan pendekatan
18
persuasif dan menularkan semangat pluralisme dan perdamaian sebagai manifestasi dari
ajaran tertinggi agama. Sementara solidaritas bisa dibentuk dengan mengaktifkan pengajian-
pengajian yang membawa misi perdamaian hingga ke level terkecil dalam masyarakat..
Masjid harus difungsikan sebagai ruang publik yang bisa menarik seluruh umat beragama
untuk bertemu dan saling berhubungan satu sama lain. Dengan ikatan yang kuat seperti itu,
kecil kemungkinan seseorang akan terlibat dalam fundamentalisme, lebih-lebih
mengorbankan diri melalui bom bunuh diri.
Ketidakadilan Ekonomi
Dari kacamata Marx, fundamentalisme tidak ada kaitannya dengan moral, ritual, atau
solidaritas. Bahkan Marx sama sekali tidak melihat fundamentalisme sebagai fenomena yang
terkait agama. Bagi Marx, fundamendalisme terjadi akibat ketimpangan penguasaan sumber
daya ekonomi dan faktor produksi. Fundamentalisme tumbuh seiring dengan suburnya
ketidakadilan dalam masyarakat.
Hal ini diperkuat dengan kenyataan bahwa orang-orang yang terjebak dalam
kelompok fundamentalis mayoritas berasal dari kelompok masyarakat miskin. Dalam film
yang mengangkat kisah nyata kelompok fundamentalis di Indonesia, Mata Tertutup (2011),
diceritakan bagaimana pelaku bom bunuh diri adalah anak muda pengangguran yang berasal
dari keluarga miskin. Dalam kebingungan dan keputusasaan, pemuda tersebut tergoda ajakan
seorang fundamentalis. Awalnya sekedar mengaji rutin. Tapi lama-lama pengajian berubah
menjadi doktrinasi. Si pemuda tergoda oleh janji kehidupan setelah ia bunuh diri. Sebuah
kehidupan yang jauh dari penderitaan dan kemiskinan yang dia alami di dunia.
19
Pelaku bom bunuh diri sebagian besar juga orang-orang berpendidikan rendah. Jika
seseorang berpendidikan rendah, ia akan lebih mudah dipengaruhi, tidak mampu berpikir
kritis, dan menerima dogma sebagai sebuah kebenaran tunggal. Lagi-lagi ini adalah akibat
ketimpangan dan ketidakadilan dalam penguasaan sumber daya ekonomi dan faktor produksi.
Maka bagi Marx, satu-satunya jalan menghentikan fundamentalisme adalah dengan
mewujudkan keadilan ekonomi. Itu artinya mewujudkan sistem masyarakat tanpa kelas di
mana sumber daya ekonomi dan faktor produksi dimiliki bersama oleh anggota masyarakat.
Dan untuk mencapai hal tersebut, agama haruslah terlebih dulu ditinggalkan. Sebab agama
hanya akan membuai orang dengan kesadaran palsu yang menghalangi terbentuknya
kesadaran kelas untuk melakukan revolusi.
KESIMPULAN
Meski sama-sama memfokuskan analisis pada struktur masyarakat, Emile Durkheim
dan Karl Marx memiliki metodologi yang berbeda dalam melahirkan teori-teori Sosiologi.
Durkheim adalah seorang positivis yang mendasarkan penelitian pada fakta empiris dengan
berlaku obyektif pada hal yang diteliti. Sementara Marx mengusung materialisme dialektika
sebagai metodologi. Dengan metodologi tersebut, Marx sejak awal telah berangkat dengan
nilai ideologi dan mengarahkan semmua kegiatan berpikirnya untuk menumbuhkan
kesadaran kelas demi terwujudnya masyarakat tanpa kelas. Metodologi Marx menjadi dasar
lahirnya metodologi kritis (critical).
Pemikiran Durkheim selalu berangkat dari pandangan filosofisnya bahwa individu
pada dasarnya hanyalah pencari kesenangan pribadi, karena itu haruslah diatur oleh struktur
dan sistem masyarakat. Seluruh teori Durkheim tidak lepas dari upaya untuk menjaga tatanan
20
masyarakat dan menjaga keseimbangan equilibrium. Untuk itu, sistem dalam masyarakat
haruslah berfungsi dengan baik. Jika tidak, akan terjadi fenomena akibat disfungsi sistem
yang ia sebut patologi serta situasi di mana tak ada lagi aturan yang mengikat individu, yang
disebutnya sebagai anomie. Pemikiran Durkheim menjadi dasar perspektif struktural
fungsional dalam sosiologi.
Sementara Marx, melihat penguasaan sumber daya ekonomi dan faktor produksi di
tangan kelompok borjuis sebagai sumber ketidakadilan dalam masyarakat. Itulah hal yang
paling dasar dalam realita masyarakat. Marx mencurahkan seluruh pemikirannya untuk
menunjukkan bagaimana kapitalisme hanya akan mengakibatkan penindasan pada sesama
manusia. Bagi Marx, pertentangan kelas adalah alat analisis utama untuk melihat realita
sosial. Marx menjadi dasar lahirnya perspektif konflik dalam sosiologi.
Perbedaan landasan berpikir membuat Durkheim dan Marx akan melihat setiap hal
secara berbeda. Dalam hal agama, Durkheim melihat agama sebagai sistem sosial yang
berperan meningkatkan solidaritas dan menjaga keteraturan dalam masyarakat melalui nilai-
nilai yang dianut bersama. Dari agama lah bisa lahir kesadaran kolektif sebagai anggota
masyarakat. Sementara bagi Marx, agama hanyalah produk buatan kelas borjuis yang
digunakan untuk terus melanggengkan sistem kapitalisme. Agama adalah sumber kesadaran
palsu yang terus menghalangi tumbuhnya kesadaran kelas untuk melakukan revolusi demi
terwujudnya masyarakat tanpa kelas. Karena itu, agama haruslah ditinggalkan.
Bagi Durkheim, tatanan masyarakat yang telah ada ini harus terus dijaga keteraturan
dan keseimbangannya. Bagi Marx, hanya ada satu kata: perubahan.
***
21
Daftar Pustaka
Durkheim, Emile. The Rules of Sociological Method. New York: The Free Press, 1966
____________ The Elementary Forms of The Religious Life. New York: The Free Press,
1965
______________ On Morality and Society. Chicago: The University of Chicago Press, 1973
______________ Suicide . New York: The Free Press, 1951
Giddens, Anthony. Sociology. Cambridge: Polity Press, 2009
Marx, Karl. On Society and Social Change. Chicago: The University of Chicago Press.1973
__________ Capital Volume 1. London: Penguin.1976
___________ On Religion. Moscow: Foreign Languages Publishing House, 1955
Neuman, W.Lawrence. Social Research Methods. Boston: Pearson Education, 2003
Ritzer, George. Sociological Theory. New York: Yhe McGraw-Hill Companies, 1996