16
“Meraba Dunia Maba” Muhammad Alfisyahrin

Meraba Dunia Maba (Teaser Version)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Sinopsis buku untuk mahasiswa baru

Citation preview

  • Meraba Dunia Maba

    Muhammad Alfisyahrin

  • Daftar Isi

    Meraba Dunia Maba

    Mengapa Maba?

    Meraba Kelas Maba

    Ketua Kelas: Pemimpin Sejati yang (Hampir Selalu) Berprestasi

    Mendadak Kutu Buku

    Power Word

    Telat

    Menabung IP Pertama

    Turun Naiknya Level Kebanggaan

    Meraba Hari-Hari Maba

    Kisah si Banyak Tahu

    Waktunya Tobat

    Sosiologi Makanan: Makan Aja Kok Repot

    Nyasar

    Dari MT hingga Diakui: Posisi di Mata Teman

    Terjebak Incest (Tidak) Taboo

    Galau di Rumah Kaca

    Terlalu Banyak Kehilangan

    Parade Istilah

    Meraba Organisasi Maba

    Mengangkat Ketua Angkatan

    Haus Simbol

    Takut Ospek

    Reformasi Ospek

    Menjadi Pemilih Rasional

    Kuli Danus

    (Jangan) Jadi Aktipis!

    Kukel Ranger, Lingkungan Baru, dan Tantangan Baru

    Agar Tidak Ada Penyesalan: Sebuah Epilog

  • Meraba Dunia Maba

    Muhammad Alfisyahrin, itulah nama yang diberikan oleh ayah saya, Zulkomar. Sebuah

    doa sederhana, karena nama saya, alfisyahrin, artinya seribu bulan dan nama ayah, komar,

    berarti bulan. Ayah ingin agar saya seribu kali lebih baik dari dirinya.

    Di masa kecil, seperti yang dikisahkan ibu, saat teman-teman sebaya saya sedang

    bermain bersama, saya lebih senang asyik dengan mainan sendiri. Setelah mengenal komputer

    di kelas 4 SD, keasyikan dengan dunia diri sendiri pun semakin menjadi-jadi. Meski tetap punya

    teman, saya selalu merasa lebih bisa menemukan diri saya dalam kesendirian. Pada akhirnya,

    kesendirian adalah zona nyaman. Itulah mengapa, hingga kini, saya tetap nyaman menjadi anak

    rumahan. Pendiam.

    Meski demikian, saya cenderung banyak tingkah ketika berada di zona nyaman,

    misalnya di rumah. Sewaktu kecil, di zona nyaman itu, saya bertingkah dengan

    mencampurkan air ke dalam minyak goreng juga mencoba memegang setrika panas. Sampai

    sekarang, saya seakan selalu punya sisi lain yang hanya akan orang temukan ketika mereka

    cukup dekat dengan saya, memasuki zona nyaman saya.

    Masalah kemudian muncul ketika ada letupan-letupan kecil di dalam dada yang biasa

    disebut jatuh cinta. Cinta monyet, tentu saja. Ketika ada pesan yang hendak disampaikan, tetapi

    yang dituju belum masuk dalam zona nyaman saya, saya tak bisa bertingkah banyak.

    Beruntung, perkenalan saya yang cukup cepat dengan komputerlah yang membuat saya dapat

    menyalurkan pesan yang sulit terbahasakan melalui lisan itu. Berbekal imajinasi dari novel

    teenlit, saya pun mulai membuat cerpen cinta-cintaan saat SMP. Sayangnya, tidak ada satu pun

    dari cerpen itu yang selesai sebagai sebuah karya utuh. Sejak saat itu, saya menemukan zona

    nyaman saya untuk bertingkah selain rumah.

    Memasuki masa putih abu-abu, saya sudah semakin prososial, apalagi semenjak aktif di

    kerohanian islam (rohis). Saya mulai meninggalkan kesendirian. Akan tetapi, turbulensi yang

  • terjadi saat saya menjadi mahasiswa baru (maba) di jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan

    Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) nampaknya mengembalikan saya pada tabiat lama

    untuk lebih asyik bertingkah di zona nyaman. Saya enggan dan malas, bahkan untuk aktivitas

    yang sangat fundamental bagi kehidupan maba: kumpul angkatan. Oleh karena itu, wajar jika

    kemudian saya cukup sulit beradaptasi di awal masa maba. Saya hampir tidak ikut aktivitas apa-

    apa di semester satu kuliah, lingkar pertemanan tidak berkembang signifikan, Indeks Prestasi

    (IP) pertama pun ternyata pas-pasan.

    Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, sedikit demi sedikit saya berubah, terlebih saat

    semester dua kuliah. Saya mulai balas dendam. Saya tantang diri saya untuk berkembang.

    Hasilnya, masa maba saya pun jadi semakin berwarna. Tidak hanya deretan kegagalan yang bisa

    jadi pelajaran, tetapi juga hasil pengamatan dan keberhasilan yang bisa jadi teladan. Masa

    menjadi maba itu ibarat ruang gelap yang memaksa kita untuk meraba kiri dan kanan. Tidak

    banyak yang menceritakannya sehingga sulit pula untuk dibayangkan. Namun, bagi saya,

    pengalaman semasa menjadi maba benar-benar mengagumkan, layak dibagikan!

    Saya pasti tidak sendiri, banyak yang sudah, sedang, atau pun akan menjalani masa

    maba, tetapi sayangnya salah satu potongan kisah dari hidup kita ini masih jarang

    terbahasakan. Izinkan saya untuk sekali lagi, bertingkah di zona nyaman saya dan membuat

    potongan kisah ini jadi abadi. Agar yang pernah mengalami bisa mengingat kembali dan yang

    akan mengalami bisa mempersiapkan diri.

    Selamat meraba dunia maba!

    Muhammad Alfisyahrin

  • Menabung IP Pertama

    Akhirnya salah satu beban akademis terberat usai: Ujian Akhir Semester (UAS). Teman-

    teman sekelas saya berhamburan ke berbagai arah. Ada yang menuju kantin, musala,

    perpustakaan, dan ada pula yang langsung janjian ke tempat futsal. Setelah salat As ar, saya

    memutuskan untuk langsung pulang ke indekos. Bukannya merasa lega, saya justru merasa

    pusing saat itu. Saya hanya ingin segera berbaring di kasur.

    Saat sudah sampai di kompleks indekos dan beberapa meter lagi menuju kamar, saya

    dikagetkan oleh sebuah panggilan.

    Fi, UAS udah kelar? tanya salah satu teman satu indekos saya yang juga teman satu

    SMA. Selain teman yang memanggil itu, ada enam teman se-SMA saya yang lain yang juga

    tinggal di indekos (Kukel) tersebut. Kami bertujuh yang dulu sama-sama aktif di rohis,

    melanjutkan persahabatan kami karena sama-sama masuk UI dan kemudian memilih untuk

    indekos di tempat yang sama. Entah siapa yang memulai duluan, kami bertujuh kemudian

    punya julukan: Kukel Ranger.

    Iyah, tadi UAS terakhir, jawab saya singkat.

    Gue juga udah abis nih. Tinggal kita lihat aja nanti hasil akhirnya ye.

    Tiba-tiba saya teringat dengan perjanjian kami di awal semester bahwa siapa pun yang

    mendapatkan Indeks Prestasi (IP) pertama terendah akan menraktir Kukel Ranger yang lain.

    Siaaap-siaaap, jawab saya sok yakin kala itu.

    Btw, nanti malem mau ikutan main PES gak di kamar gue?

    Wah, boleh tuh, yowes, ke kamar dulu yak.

    Malam nanti saya sebenarnya sedang tidak ingin melakukan apa-apa. Akan tetapi,

    setelah saya pikir-pikir, buat apa terlalu dipikirin hal yang sudah berlalu. Dibawa santai saja,

    sekarang jatah saya tinggal tawakal. Akan tetapi, sugesti saya ternyata tidak berhasil. Sepanjang

  • sore itu, meski jemari terus scrolling timeline Twitter dan newsfeed Facebook, pikiran saya tidak

    beranjak ke mana-mana. Saya masih saja memikirkan nasib hasil UAS saya. Dapet nilai berapa

    yah kertas folio cuma kepake 2 halaman gitu? Bisa-bisa gue nih yang traktir anak-anak?

    Selain memang saya cukup kesulitan menguraikan jawaban secara panjang lebar seperti

    teman saya yang sampai meminta kertas folio tambahan, harus diakui saya memang kurang

    belajar. Saya baru kumpulkan bahan-bahan yang perlu saya baca beberapa hari menjelang

    ujian. Itu pun baru saya baca tepat di malam sebelum ujian mata kuliah yang bersangkutan.

    Malangnya, hanya membaca saja, tidak lebih. Awalnya saya santai saja. Saya mulai sedikit panik

    ketika melihat teman sekelas saya semakin banyak yang membuat semacam ringkasan materi

    berbentuk materi kemudian mereka menjadikannya panduan untuk mengingat kembali

    sebelum kelas dimulai.

    Saat Ujian Tengah Semester (UTS), masih sedikit yang melakukan itu. Saya pun enggan

    melakukannya karena ribet. Saya baru sedikit tenang ketika ada teman saya yang berkata,

    Aduh belum belajar nih gue. Entah itu niatnya bercanda, ingin merendah, atau justru hendak

    melenakan orang-orang seperti saya. Karena faktanya, teman saya itu justru yang meminta

    kertas folio tambahan ketika menjawab soal. Apanya yang belum belajar?

    Akhirnya hari itu tiba. Saya sudah nothing to lose saat itu. Saya sudah relakan sebagian

    isi dompet saya jika itu untuk membahagiakan teman-teman terbaik saya sebagai konsekuensi

    dari IP saya yang rendah. Alhamdulillah, semester itu saya dan isi dompet saya selamat. Tidak

    terlalu buruk. Saya mendapatkan IP 3.49, sangat hampir cumlaude, peringkat 4 dari 7 orang

    Kukel Ranger. Isi dompet saya jadi bisa saya tabung untuk Islamic Book Fair bulan depan.

    Kegalauan saya akan IP pertama pun dengan sendirinya usai.

    Saat Maba, Saatnya Menabung

    Berbagai hal yang baru pertama kali kita alami itu biasanya tidak terlupakan. Entah itu

    pengalaman baik atau buruk. Karena memang memori kita hanya punya tempat untuk

    pengalaman di dua titik ekstrem tersebut. Pengalaman yang biasa saja, biasanya akan terlupa.

    Saat maba, salah satu di antara sekian pengalaman pertama itu adalah pengalaman

  • mendapatkan IP pertama, sesuatu yang sebagian orang enggan menceritakannya. Entah kalian

    menempatkannya sebagai bagian dari pengalaman baik, buruk, atau bahkan pengalaman biasa

    yang sekarang sudah kalian lupa. Bagi saya, pengalaman mendapatkan IP pertama adalah

    sesuatu yang awalnya saya syukuri, kemudian sesali, lalu setelah menjadi mantan maba,

    kembali saya syukuri. Menjadi pembelajaran penting yang layak untuk dibagi.

    Saya sempat bersyukur di awal karena saya hanya membandingkannya dengan para

    Kukel Ranger yang empat di antaranya, termasuk saya, mahasiswa FISIP UI. Akan tetapi, setelah

    masuk semester dua dan saya bertanya berapa IP pertama teman-teman sejurusan saya di

    Sosiologi UI, sesal itu kembali muncul. Saya galau akademik lagi, seperti saat baru selesai UAS di

    semester satu kemarin. Betapa tidak, IP pertama mereka rata-rata 3.6-sekian, 3.7-sekian,

    bahkan ada yang 3.99. Sedih. Akan tetapi, mau bagaimana lagi, semester 1 sudah berlalu. Saya

    pun bertekad untuk memperbaiki kuantitas dan kualitas belajar saya di di semester 2.

    Meskipun, sejak SD dulu, orang tua saya tidak pernah memarahi saya ketika saya mendapatkan

    nilai yang kurang baik, saya tetap ingin mendapatkan IP kedua yang lebih baik.

    Akan tetapi, saya kembali gagal. Sepertinya upaya perbaikan saya masih kurang optimal.

    IP kedua saya hanya 3.42 dan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK)1 saya menjadi 3.45 di semester 2.

    Semester-semester berikutnya, lebih parah, grafik IP dan IPK saya mengalami regresi

    (penurunan). Walaupun sempat naik kembali di semester 5, tetap saja belum bisa setinggi IP di

    semester 1. Hal ini karena setelah kita benar-benar jadi mahasiswa, setelah semester 1 dan 2,

    beban akademik dari mata kuliah dan (mungkin) juga organisasi akan semakin berat.

    Kemungkinan kita untuk mendapatkan nilai yang baik semakin kecil. Meskipun, teori ini tidak

    berlaku untuk beberapa orang yang berkategori jenius seperti salah satu teman saya yang

    pernah kesal saat mendapatkan nilai A- di saat saya sudah bersyukur mendapatkan nilai B+

    untuk sebuah mata kuliah.

    Dengan konfigurasi mata kuliah dan jenjang karier organisasi (yang bisa anda lalui jika

    mau) yang ada, setiap mahasiswa seakan-akan dituntut untuk bisa menabung IP di semester

    1 Indeks Prestasi adalah jumlah nilai yang kita dapat di semester tersebut dibagi jumlah mata kuliah, sedangkan IPK

    adalah jumlah IP dibagi jumlah semester

  • awal sebanyak-banyaknya saat mereka masih menjadi mahasiswa baru. Khususnya di semester

    1, ketika masih banyak mata kuliah pengantar dan open recruitment organisasi belum dibuka.2

    Jika pelari jarak jauh menabung tenaga dengan berlari stabil lalu sprint menjelang garis finish,

    yang ditabung oleh mahasiswa adalah IP pertama sehingga sprint-nya justru di awal

    perlombaan.

    Secara keseluruhan, IPK saya tidak luar biasa karena tabungan saya di semester 1 dan 2

    tidak mencukupi dan tidak bisa menutupi keborosan saya di semester-semester berikutnya.

    Oleh karena itu, jika memang menginginkan IPK yang luar biasa, manfaatkanlah masa maba

    sebaik-baiknya. Tabunglah IP pertama setinggi-tingginya. Karena faktanya, di dunia

    pascakampus nanti, meski yang dilihat bukan sekadar IPK, nilai IPK yang luar biasa tetap

    menjadi pertimbangan untuk melewati pintu masuk.

    2 Periodisasi kepengurusan lembaga kemahasiswaan di UI biasanya Januari-Desember sehingga mahasiswa baru

    paling cepat baru bisa masuk organisasi ketika semester 2, walaupun beberapa membuka program magang saat mahasiswa baru masih di semester 1

  • Waktunya Tobat

    Malam ini terasa begitu menenangkan bagi saya dan teman sekamar saya. Tidak ada

    tugas dan besok pun tidak ada kelas pagi. Biasanya di waktu-waktu seperti ini, kami biasanya

    menghabiskan malam dengan main game sepakbola virtual besutan Konami: Pro Evolution

    Soccer (PES). Namun, kami sedang tidak berselera untuk main PES malam ini. Kami hanya main

    internet dengan laptop kami masing-masing.

    Eh, Fi, si A sekarang pake jilbab tahu, ucap teman sekamar saya memecah keheningan.

    Serius? Tahu dari mana? tanya saya penasaran.

    Coba lihat Facebooknya deh, ucap teman sekamar saya sambil meninggalkan

    laptopnya dan beranjak ke laptop saya untuk menunjukkan apa yang dia maksud.

    Ho iyah bener, alhamdulillah yah, ucap saya spontan ketika melihat halaman

    Facebook teman SMA saya dulu.

    Kejadian semacam malam itu ternyata bukan yang terakhir. Beberapa kali saya

    mendapatkan kabar atau pun melihat sendiri di facebook, teman saya saat SMA dulu akhirnya

    memutuskan untuk mengenakan jilbab di semester-semester awal kuliah alias saat masa maba.

    Padahal, setahu saya, sebagian besar dari mereka tidak pernah mengikuti rohis atau lingkungan

    sosial yang begitu kondusif dan memungkinkan (enabling) bagi munculnya perempuan-

    perempuan berjilbab.

    Meskipun tidak seperti tahun 1980-an, tidak ada lagi hambatan struktural bagi seorang

    perempuan yang ingin mengenakan jilbab, tetap saja ada semacam hambatan kultural.

    Misalnya, berbagai stigma tentang perempuan berjilbab maupun hambatan psikologis yang

    sering jadi alasan muslimah enggan mengenakan jilbab: belum siap. Lalu, mengapa beberapa

    teman saya siap untuk berjilbab ketika jadi maba?

    Mulai dari nol

  • Ketika kita jadi mahasiswa baru atau masuk ke lingkungan baru, secara sosial terkadang

    kita harus mulai dari nol. Entah karena kita benar-benar belum mempunyai peer group baik di

    tingkat jurusan, fakultas, maupun universitas atau kita memang memilih untuk mengganti peer

    group lama kita. Dalam situasi semacam itu, kenalan dan teman baru kita tidak punya

    gambaran apa pun tentang seperti apa kita di masa lalu.

    Dalam Sosiologi, diri kita ini kadang berperan sebagai I, kadang berperan sebagai me.

    Tindakan-tindakan yang awalnya kita lakukan sebagai I, entah dengan motivasi apa,

    membentuk gambaran orang lain tentang diri kita. Pada gilirannya nanti, gambaran itu terus

    membayang-bayangi diri kita sebagai me dan seakan melabel bahwa itulah sebenarnya diri kita.

    Seperti seorang mantan narapidana yang sulit sekali diterima kembali oleh masyarakat,

    walaupun dia sudah menjalani hukuman dan bertobat. Artinya, gambaran orang lain tentang

    dirinya sebagai orang jahat membuat lingkungan sosial menjadi tidak kondusif dan

    menghambat (constraining) baginya untuk bertobat atau berubah.

    Situasi tersebut akan berbeda jika si mantan narapidana pindah ke suatu tempat antah-

    berantah. Dia bisa jadi sangat diterima jika tindakan-tindakannya di tempat tersebut membuat

    orang lain memandangnya sebagai orang baik. Ekstremnya, dia bisa saja akhirnya dipanggil Pak

    Ustaz, seperti film Dalam Mihrab Cinta. Artinya, selain tantangan baru, lingkungan baru juga

    menyediakan kesempatan baru untuk tampil secara berbeda. Memungkinkan (enabling) siapa

    saja untuk untuk bertobat. Untuk berubah.

    Sama seperti ketika seseorang memutuskan untuk bergabung ke rohis, lingkungan baru

    saat maba, membuat hambatan kultural seperti stigma atau pun gambaran diri di mata teman

    lama hilang. Ketika lingkungan sosial di sekitar sudah memungkinkan (enabling), seseorang

    hanya tinggal berurusan dengan dirinya sendiri saja untuk kemudian sampai pada suatu titik:

    siap berjilbab.

    Tidak hanya dalam urusan berjilbab, banyak hal lain yang bisa kita ubah ketika kita

    menjalani masa maba. Jika dulu kita dikenal malas belajar, saat maba, kita bisa memulai untuk

    lebih rajin hingga selama empat tahun ke depan kita akan dikenal demikian. Jika dulu kita

  • dikenal pasif dan hanya sekolah-pulang, saat maba, kita bisa memulai untuk lebih aktif dan

    peduli sekitar hingga selama empat tahun ke depan kita akan dikenal demikian. Jika dulu kita

    dikenal sebagai siswa biasa yang nirprestasi, saat maba, kita bisa memulai untuk ikut berbagai

    kompetisi dan berguru pada orang lain yang sudah terlebih dahulu berprestasi hingga selama

    empat tahun ke depan kita akan dikenal demikian.

    Masa maba hanya satu tahun. Ini adalah kesempatan emas yang tidak boleh disia-

    siakan. Kita bisa menjadi sebaik-baiknya manusia yang pernah kita bayangkan. Sebaliknya, jika

    tidak dimanfaatkan dengan baik, kita pun bisa terus terkurung dengan bayang-bayang hitam

    kekurangan kita di masa lalu atau bahkan justru menjadi semakin buruk. Ingin dikenal sebagai

    apa pun kita nanti, mulailah susun batu bata dan pondasinya sejak maba.

    Walaupun agama memerintahkan kita untuk bertobat secepatnya, Sosiologi

    mengajarkan saya bahwa agar berhasil, tobat perlu dilakukan di waktu yang tepat.

  • Takut Ospek

    Saat upacara bendera di hari Senin, diumumkan bahwa saya menjadi juara III lomba esai

    di rangkaian acara Bulan Bahasa yang diselenggarakan oleh OSIS SMA N 13. Alhamdulillah, bisa

    dibilang ini adalah satu-satunya prestasi saya di SMA. Di tengah perjalanan menuju kelas, saya

    bertemu dengan guru Sosiologi yang ditakdirkan mengajar saya dari kelas X sampai kelas XII.

    Beliau adalah satu guru favorit yang juga paling sering menginspirasi saya untuk menulis.

    Kamu mau ambil jurusan apa nanti Alfi? tanyanya ramah.

    Insya Allah Manajemen FE UI, Bu, jawab saya dengan yakin. Pilihan hati yang sudah

    saya mantapkan sejak saya gagal masuk IPA, tetapi kemudian merasakan bahwa dunia saya

    memang di IPS. Saat itu bahkan saya berprinsip kalau pun saya gagal masuk Manajemen FE UI,

    saya akan mengulang seleksi masuk tahun depan.

    Gurat wajah guru itu sedikit berubah, kemudian beliau kembali bertanya, Gak masuk

    FISIP aja? Kayaknya kamu bakat deh di sosial politik.

    Saya hanya bisa tersenyum. Sejak saat itu, pilihan hati saya mulai goyang. Karena yang

    memberi saya saran bukan sembarang orang, saya pun mulai menimbang-nimbang untuk

    berganti pilihan. Terlebih saat itu masih di awal-awal semester 2 kelas XII. Belum terlambat saya

    pikir. Beberapa minggu kemudian, saya berbincang dengan salah satu senior yang masih sering

    berkunjung ke sekolah. Dia adalah guru ngaji saya, seorang mahasiswa Ilmu Politik FISIP UI

    angkatan 2005. Beliau menanyakan satu per satu teman satu kelompok ngaji saya memilih

    jurusan apa. Salah satunya adalah teman saya, sebut saja A yang memilih jurusan Psikologi dan

    Sosiologi.

    Sontak senior sekaligus guru ngaji saya itu langsung berkomentar, A kayaknya lebih pas

    Psikologi, kalau Sosiologi lebih pas ente, Fi. Padahal, saya yakin, beliau masih ingat beberapa

    waktu lalu saya pernah mengatakan padanya bahwa saya memilih jurusan Manajemen.

    Kebetulan adik dari senior saya itu sekarang sedang berkuliah di Sosiologi FISIP UI dan alumni

  • SMAN 13 juga. Beberapa kali dia pun merekomendasikan jurusan Sosiologi kepada saya. Salah

    satu perkataannya yang paling saya ingat, Indonesia butuh banyak Sosiolog.

    Akhirnya, beberapa hari kemudian, setelah mempertimbangkannya masak-masak,

    sewaktu pulang dari bimbingan belajar di Nurul Fikri, tepatnya di angkot M-14 menuju rumah,

    saya update status Facebook. Dengan yakin, saya pun mendeklarasikan pilihan hati saya yang

    baru: Sosiologi FISIP UI.

    Awalnya saya hanya berniat menambahkan Sosiologi dalam daftar pilihan saya saja

    karena memang ada jatah dua pilihan. Akan tetapi, karena passing grade dari Manajemen FE UI

    jauh lebih tinggi dari Sosiologi FISIP UI, maka secara logis saya harus menempatkan Sosiologi

    FISIP UI di pilihan kedua. Padahal, hati saya saat itu sudah semakin condong dan tertambat di

    Sosiologi FISIP UI. Apa boleh buat, daripada kecemplung di pilihan pertama, padahal saya lebih

    cocok di pilihan kedua, akhirnya saya pun menjadikan Sosiologi sebagai pilihan pertama

    sekaligus satu-satunya dalam SIMAK UI yang dulu digelar lebih awal, tidak hanya dibanding

    seleksi masuk PTN, bahkan lebih dari Ujian Nasional (UN).

    Pilihan hati saya yang baru itu pun semakin kuat ketika seorang teman saya yang dikenal

    karena kecerdasan dan keluasan wawasannya mengatakan sesuatu yang membuat saya

    menjadi takut untuk masuk Manajemen FE UI.

    FISIP UI tuh salah satu fakultas yang paling modern ospeknya, kalau FE UI malah salah

    satu fakultas yang masih barbar ospeknya, ucapnya meyakinkan. Saat itu saya memang tidak

    melakukan validasi dan verifikasi lebih jauh saat itu. Akan tetapi, toh saya memang sudah lebih

    condong ke Sosiologi FISIP UI. Tapi memang, harus saya akui, saya memang takut ospek yang

    barbar. Ospek yang menggunakan kekerasan, meski sekadar kekerasan verbal.

    Justru karena Jarang

    Meski punya rasa takut terhadap kebarbaran ospek, sejujurnya saya tidak punya trauma

    tertentu karena memang saya cukup jarang mengalaminya. Saya justru lebih sering melewati

    momen-momen di mana teman saya di-bully, meski menurut mereka itu masih wajar, sebagai

  • pengamat. Paling, saya hanya sekali mengalami hal yang semacam itu, yakni ketika mengikuti

    LDKS (Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa). Saat itu pun saya hanya diam saja dan tidak ikut-

    ikut membuat ulah dengan panitia, meskipun sekadar ungkapkan pendapat. Sebaliknya,

    teman-teman saya yang lain yang mungkin sudah pernah merasakan atmosfer sejenis, justru

    banyak berkoar dan beradu argumen dengan panitia, bahkan ada yang hingga naik pitam dan

    hampir saja menyulut keributan.

    Terlebih, dalam momen seperti ini pasti ada kegiatan fisik, seperti push up. Inilah salah

    satu momok yang membuat saya enggan mengikuti momen semacam ini. Saya tidak bisa push

    up secara sempurna, tangan dan badan saya hanya turun setengah, saya tidak kuat untuk turun

    hingga bawah. Saya pun cukup mudah lelah ketika kegiatan fisik itu dilakukan dalam kuantitas

    yang cukup banyak. Kejarangan saya mengikuti momen semacam inilah yang membuat saya

    merasa takut ketika berada dalam atmosfer tekanan, baik mental maupun fisik. Belum lagi,

    dengan gambaran yang sering saya lihat di media tentang kebarbaran ospek. Saya makin yakin

    untuk hindari jurusan yang punya ospek semacam ini.

    Alhamdulillah, perubahan pilihan hati saya dari Manajemen FE UI ke Sosiologi FISIP UI

    ternyata tepat. Meski tidak membandingkannya dengan semua jurusan, sekilas saya melihat,

    benar kata teman SMA saya yang kemudian masuk FH UI itu, ospek di FISIP memang salah satu

    yang paling modern dan manusiawi. Begitu pun dengan Sosiologi yang ospeknya jauh lebih

    modern lagi. Di Sosiologi FISIP UI, ospek jurusan atau yang dikenal dengan istilah study skill,

    bernilai 3 SKS alias jadi mata kuliah.

    Sayangnya, meski begitu, saya bisa dibilang tidak maksimal dalam menjalani masa-masa

    ospek, khususnya ospek jurusan yang saya jalani selama satu semester. Mulai dari

    ketidakberanian berargumen di sepanjang acara ospek hingga keengganan untuk ikut maju

    dalam pemilihan ketua angkatan. Lagi-lagi, rasa takut saya muncul ketika dalam atmosfer

    tekanan. Di study skill yang saya jalani selama satu semester lebih parah lagi, meski dijadikan

    salah satu mata kuliah, tetap saja ada kegiatan lain selain di kelas plus tugas nonakademis selain

    tugas akademis.

  • Namun, dibanding tugas akademis yang memang jadi dunia saya, saya bisa dibilang tidak

    terlalu serius mengerjakan tugas nonakademis, wawancara senior misalnya. Apalagi setelah

    saya tahu kontribusi dari tugas nonakademis yang ternyata tidak terlalu besar dalam nilai akhir.

    Semakin malas saja rasanya. Hasilnya, di pertemuan terakhir, saat sebagian besar teman saya

    sudah mewawancarai 20 hingga 30-an senior, saya stuck di angka 12.

    Melawan Takut

    Itulah mengapa, pengalaman itu memainkan peran penting. Jangan heran, jika yang

    menjadi ketua-ketua lembaga di kampus ternyata pernah menjadi ketua OSIS dahulunya.

    Seseorang yang berprestasi di kampus ternyata juga sudah memulainya sejak SMA. Mereka

    sudah tidak lagi takut dalam melangkah karena mereka sudah pernah melakukannya. Akan

    tetapi, jika kita sedikit menarik garis pengalamannya ke belakang, di awal mereka memulai.

    Apakah mereka juga merasakan takut? Tentu saja. Takut adalah adalah perasaan yang sangat

    manusiawi, terlebih ketika kita ingin melakukan sesuatu pertama kali. Akan tetapi, mereka

    mampu melawannya dan tidak terbelenggu olehnya.

    Bayangkan, jika saja saya melawan ketakutan saya semasa SMA, sesederhana untuk

    berani berargumen dalam atmosfer tekanan, tentu saya akan lebih percaya diri ketika

    menghadapi hal serupa di kampus. Kendati demikian, saya yakin ketakutan itu pasti akan

    hilang, entah karena kita usahakan atau lingkungan yang membantu menghilangkan.

    Masalahnya kini adalah kapan ketakutan itu akan hilang, sekarang atau nanti, kita yang

    menentukan. Satu hal yang pasti, selain urusan dengan Tuhan, ketakutan hadir dalam hidup

    kita hanya untuk satu tujuan: kita kalahkan!

  • Last But Not Least Pertama dan yang paling utama, saya ingin mengucapkan terimakasih pada teman-teman yang

    sudah membaca buku Meraba Dunia Maba versi teaser ini. Semoga bisa jadi sedikit proyeksi

    masa depan bagi teman-teman yang akan menjadi maba dan media nostalgia bagi teman-

    teman yang sudah pernah mengalaminya.

    Saya pun berterimakasih sekali lagi jika teman-teman dengan senang hati membagikan buku

    Meraba Dunia Maba versi teaser ini ke adik teman-teman atau pun teman seperjuangan yang

    sama-sama sedang melalui proses transisi ini. Saya berharap, lewat buku ini, tidak ada lagi nanti

    maba yang mengalami cultural shock atau keterkejutan budaya karena dunia maba yang

    ternyata benar-benar berbeda dengan saat di SMA, SMK, atau MA.

    Penasaran bagaimana cerita tentang dunia maba lainnya?

    Sabar yah. Tidak lama lagi buku Meraba Dunia Maba akan bisa teman-teman pesan. Jika ada

    masukan dan pertanyaan, feel free yah untuk menghubungi saya lewat email atau sosmed.

    Semangat!

    Muhammad Alfisyahrin

    @bang_alfi

    bang-alfi.tumblr.com