39
MAKALAH PSIKOPATOLOGI ANAK INTELLECTUAL DISABILITY DAN LEARNING DISORDER Oleh : Ardan Aziz Rahman (1306458603) Dinda Ayu Septya A (1306414803) Josephine Indah Setyawati (1306410175) Nurul Fitriana Dewi (1306406373) Zeni Hadiqoh (1306379164) FAKULTAS PSIKOLOGI

Mental Disability and Learning Disorders

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Makalah psikopatologi anak

Citation preview

Page 1: Mental Disability and Learning Disorders

MAKALAH PSIKOPATOLOGI ANAKINTELLECTUAL DISABILITY

DANLEARNING DISORDER

Oleh :Ardan Aziz Rahman (1306458603)Dinda Ayu Septya A (1306414803)Josephine Indah Setyawati(1306410175)

Nurul Fitriana Dewi (1306406373)Zeni Hadiqoh (1306379164)

FAKULTAS PSIKOLOGIUNIVERSITAS INDONESIA

DEPOK, 2015

Page 2: Mental Disability and Learning Disorders

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangTidak semua manusia terlahir sempurna. Beberapa di antaranya

mengalami gangguan, salah satunya adalah intellectual disability dan learning disorder. Intellectual disability atau mental retardation adalah kondisi dimana fungsi intelektual secara signifilkan berada di bawah rata-rata yang diiringi dengan menurunnya perilaku adaptif dan termanifestasi selama masa perkembangan (Weiner, 1982). Sedangkan learning disorder adalah gangguan yang memiliki ciri sulitnya seorang anak dalam memahami pelajaran dan menggunakan kemampuan akademis dirinya (DSM-5, 2013).

Di Indonesia sendiri, pada tahun 2000 jumlah penderita intellectual disability mencapai 12,7% dari semua jumlah disabilitas yang ada di Indonesia. 65,71% dari penderita tersebut berada di wilayah pedesaan (Japan International Cooperation Agency Planning and Evaluation Department, 2002).

Kondisi penderita di Indonesia yang cukup banyak dan jauh dari pusat kota tersebut menyebabkan anak-anak dengan intellectual disability sulit mendapatkan perawatan dan pelatihan yang dibutuhkan. Keluarga dari anak dengan intellectual disability juga banyak yang belum memiliki pengetahuan mengenai intellectual disability, sehingga penerimaan dan perlakuan yang diterima anak terkadang cukup memprihatinkan (Hendriani, Handariyati, & Sakti, 2006).

Di berbagai daerah, banyak anak dengan intellectual disability disisihkan dari lingkungannya. Bahkan dalam beberapa kasus, keluarga dari anak tersebut juga menolak kehadiran anak tersebut (Hendriani, Handariyati, & Sakti, 2006).

Dari fenomena tersebut, kami mengetahui pentingnya pengetahuan mengenai intellectual disability dan learning disorder, agar masyarakat dan lingkungan dapat menerima dan memperlakukan penyandang

Page 3: Mental Disability and Learning Disorders

dengan baik. Dalam makalah ini akan dijelaskan lebih rinci mengenai kedua gangguan tersebut.

1.2 TujuanPembuatan makalah ini bertujuan untuk membantu kelompok

dalam memperdalam berbagai hal terkait intellectual disability dan learning disorder pada anak. Hal-hal tersebut antara lain definisinya, kriteria diagnostik, etiologi, bagaimana penanganannya, kelainan lain yang dapat dialami oleh anak menyertai intellectual disability dan learning disorder tersebut, dan prognosa dari gangguan tersebut. Pembuatan makalah juga membantu kelompok untuk mempersiapkan diri sebelum membagikan apa yang sudah dipelajari kepada teman-teman di kelas.

Page 4: Mental Disability and Learning Disorders

BAB IIISI

2.1 Intellectual Disability2.1.1 Definisi

Intellectual disability adalah kondisi dimana individu memiliki kemampuan kognitif di bawah normal secara signifikan (Papalia & Martorel, 2013). Indikasi individu mengalami intellectual disability yaitu individu tersebut memiliki skor IQ kurang dari atau sama dengan 70 dan mengalami kekurangan dalam perilaku adaptif yang sesuai usianya (Kanaya, Scullin, & Ceci dalam Papalia & Martorel, 2013). Intellectual disability juga disebut sebagai mental retardation (Papalia & Martorel, 2013).

Menurut Grossman dalam Erickson (1982), mental retardation merupakan kondisi dimana fungsi intelektual individu berada di bawah rata-rata yang diikuti dengan penurunan perilaku adaptif dan termanifestasi selama masa perkembangan. Hal ini juga sesuai dengan definisi yang dikeluarkan AAMD (American Association on Mental Deficiency) yang menjelaskan bahwa mental retardation adalah kondisi dimana fungsi intelektual secara signifilkan berada di bawah rata-rata yang diiringi dengan menurunnya perilaku adaptif dan termanifestasi selama masa perkembangan (Weiner, 1982). Terdapat dua standar sebagai dalam penentuan fungsi intelektual di bawah rata-rata. Jika mengacu pada skala Wechser, kondisi intelektual di bawah rata-rata yaitu individu yang memiliki skor IQ di bawah 70, sedangkan jika mengacu pada skala Stanford-Binet, kondisi intelektual di bawah rata-rata yaitu individu yang memiliki skor IQ di bawah 68 (Weiner, 1982).

Jika mengacu pada definisi AAMD, individu dikatakan mengalami mental retardation apabila kondisi tersebut terjadi ketika individu berada pada masa perkembangan, yaitu berada pada usia di bawah 18 tahun. Jadi, apabila individu di atas usia 18 tahun mengalami penurunan skor IQ sehingga berada di bawah rata-rata karena kerusakan otak, maka hal tersebut tidak bisa dikatakan sebagi mental retardation (Weiner,1982).

Page 5: Mental Disability and Learning Disorders

Standar yang digunakan sebagai penentu seseorang mengalami penurunan perilaku adaptif adalah standar usia dan budaya di lingkungan individu tinggal (Weiner, 1982). Perilaku adaptif yang dimaksud yaitu seberapa efektif individu dapat mengatasi tuntutan hidup, dan seberapa mampu individu dapat hidup secara mandiri dan menyesuaikan dengan standar komunitas (Hodapp, Thornton-Wells, & Dykens, dalam Mash & Wolfe, 2013).

Dari definisi di atas, dapat kami simpulkan bahwa seorang anak mengalami intellectual disability ketika kemampuan intelektualnya berada di bawah rata-rata dengan diikuti menurunnya kemampuan adaptif dan termanifestasi selama masa perkembangan.

2.1.2 Kriteria DiagnostikKriteria diagnostik anak yang mengalami intellectual disability

(menurut Erickson, 1982, dan DSM 5) di antaranya adalah :1. Fungsi intelegensinya secara signifikan berada di bawah rata-rata

(memiliki skor IQ di bawah 70-skala Wechsler atau di bawah 68-skala Stanford-Binet). Anak memiliki kekurangan dalam fungsi intelektual, seperti pemikiran, pemecahan masalah, perencanaan, berpikir abstrak, penilaian (judgment), pembelajaran akademik, belajar dari pengalaman, dan semuanya terbukti dari asesmen klinis dan tes inteligensi yang terstandarisasi.

2. Menurunnya kemampuan adaptif anak, dimana anak tidak berperilaku sesuai dengan usia dan budaya di lingkungan sekitar.

3. Kondisi kurangnya intelektual dan perilaku adaptif tersebut termanifestasi pada masa perkembangan (kurang dari 18 tahun).

2.1.3 Jenis-Jenis Intellectual DisabilityTerdapat beberapa klasifikasi gangguan ini berdasarkan skor IQ

yang dimiliki oleh anak. Klasifikasi tersebut antara lain:1. Mild

Anak-anak dengan gangguan intellectual disabilitymild ini memiliki skor IQ dalam kisaran 67-52 (berdasarkan skala Stanford-Binet dan

Page 6: Mental Disability and Learning Disorders

Cattel), atau dalam kisaran 69-55 (berdasarkan skala Wechsler). Anak dengan kategori ini tergolong mampu didik (educable mental retardates), ia masih dapat membaca. menulis, dan melakukan operasi hitung sederhana (Weiner,1982). Ciri-ciri anak yang mengalami intelegent disability pada kategori ini yaitu anak mengalami keterlambatan dalam kemampuan sosial, motorik, dan komunikasinya, namun biasanya baru terdeteksi ketika anak tersebut sudah mulai masuk SD (Weiner,1982). Biasanya anak dalam kategori ini masih dapat bersekolah hingga kelas 3 sampai 4 SD (Weiner,1982). Di masa remaja dan dewasanya, anak dalam kategori ini masih dapat melakukan hal-hal yang dilakukan teman-temannya, seperti berkencan, seks, mencintai, dan menikah (Weiner,1982). Selain itu, anak dalam kategori ini dapat hidup mandiri sampai batas tertentu (Weiner,1982).

2. ModerateAnak-anak dengan gangguan intellectual disability moderate ini

memiliki skor IQ dalam kisaran 51-36 (berdasarkan skala Stanford-Binet dan Cattel), atau dalam kisaran skor 54-40 (berdasarkan skala Wechsler). Anak dengan kategori ini tergolong mampu latih (trainable mental retardates), ia masih mampu untuk melakukan self-care dan self-help, seperti makan, minum, dan menggunakan pakaian sendiri (Weiner,1982). Ciri-ciri anak yang mengalami intellegent disability kategori ini yaitu anak tersebut mengalami keterlambatan dalam kemampuan sosial, motorik, dan komunikasinya (Weiner,1982). Ketrelambatan kemampuan tersebut terdeteksi sebelum ia masuk SD (Weiner,1982). Biasanya anak dalam kategori ini masih dapat dilatih ketrampilan sederhana, namun melatihnya harus bertahap, dari tahapan yang paling sederhana dan mudah ke tahapan yang lebih rumit dan sulit (Weiner,1982).

3. SevereAnak-anak dengan gangguan intellectual disability severe ini

memiliki skor IQ dalam kisaran 35-20 (berdasarkan skala Stanford-Binet dan Cattel), atau dalam kisaran skor 39-25 (berdasarkan skala Wechsler). Anak dengan kategori intellectual disorder severe ini disebut juga untrainable atau custodial retardates (Weiner,1982). Biasanya anak

Page 7: Mental Disability and Learning Disorders

dengan intellectual disorder kategori ini ditempatkan di suatu lembaga untuk mendapatkan pelatihan intensif agar dapat melakukan kegiatan basic self-care, seperti makan dan menggunakan baju (Weiner,1982).

4. Profound Anak-anak dengan gangguan intellectual disability profound

memiliki skor IQ 19 ke bawah (berdasarkan skala Stanford-Binet dan Cattel), atau dalam kisaran skor 24 ke bawah (berdasarkan skala Wechsler). Sama dengan kategori severe, kategori intellectual disorder ini juga tergolong untrainable atau custodial retardates (Weiner,1982). Anak dengan intellectual disorder profound ini membutuhkan bantuan orang lain selama kelangsungan hidupnya (total nursing care). Hal ini disebabkan anak dalam kategori ini memiliki batasan dalam kemampuan motoriknya, ia bahkan tidak mampu untuk mengontrol gerak anggota tubuhnya dan tidak mampu untuk berjalan (Weiner,1982).

2.1.4 Perkembangan PsikopatologiPerkembangan psikopatologi pada anak terjadi pada masa

perkembangan. Berikut merupakan perkembangan intellectual disability pada anak menurut DSM V (2013). Kriteria masing-masing kategori intellectual disability tergantung dari etiologi dan tingkat keparahan dari disfungsi otaknya. Pada kategori severe dan profound, keterlambatan motorik, bahasa, dan sosial terindentifikasi pada 2 tahun pertama usianya. Sedangkan pada kategori mild, keterlambatan tersebut tidak dapat diidentifikasi hingga anak berada di usia sekolah, ketika anak mengalami kesulitan mengikuti pelajaran di sekolah. Anak di bawah usia 5 tahun yang teridentifikasi mengalami intellectual disability juga mengalami keterlambatan pekembangan secara umum.

Intellectual disability merupakan gangguan yang nonprogesif, dimana kondisinya tidak semakin parah, atau sebaliknya menjadi sembuh. Setelah usia early childhood, gangguan ini pada umumnya akan bertahan seumur hidup, meskipun tingkat keparahannya dapat berubah. Intervensi dini dapat membantu meningkatkan kemampuan perilaku adaptif anak dengan intellectual disability.

Page 8: Mental Disability and Learning Disorders

2.1.5 EtiologiTerdapat berbagai faktor penyebab (etiologi) dari gangguan

intellectual disability ini. Berbagai faktor tersebut antara lain :a. Kelainan kromosom, terjadi pada anak yang mengalami down

syndrome atau mongolism. Kelainan kromosom biasanya mengakibatkan anak mengalami intellectual disability pada kategori moderete dan severe (Erickson, 1982). Kelainan pada kromosom juga dapat terjadi di sex chromosomes, kromosom yang mengatur jenis kelamin pada anak. Kelainan ini mengakibatkan sindrom mental retardation lain seperti Klinefelter (XXY, anak laki-laki memiliki kelebihan kromosom X), dan Turner (XO, anak perempuan kekurangan satu kromosom X) (Mash & Wolfe, 2013). Pada sindrom Klinefelter, adanya retardasi mental terjadi pada 25-50 % kasus, tetapi biasanya mild dan tidak ada defisit lain yang khusus (Erickson, 1982). Pada anak dengan Down syndrome, biasanya kelainan itu terjadi karena adanya fenomena nondisjuction. Artinya adanya kegagalan pasangan kromosom 21 dari ibu untuk berpisah ketika proses meisosis. Kemudian pasangan kromosom 21 itu bergabung dengan satu kromosom 21 milik ayah, yang menghasilkan adanya 3 kromosom 21 pada anak, yang disebut sebagai trisomy 21, padahal anak normal hanya memiliki 2 kromosom 21 (Mash & Wolfe, 2013).

b. Maternal illness, berbagai masalah kesehatan yang dialami ibu selama masa kehamilan meningkatkan resiko anak yang dikandungnya mengalami masalah keterlambatan (Weiner,1982). Pada trimester pertama, kondisi kehamilan masihlah labil, sehingga sering terjadi infeksi seperti rubella (Weiner,1982). 50% anak dari ibu yang mengalami rubella mengalami masalah mental dan kecacatan fisik. Sebagian dari mereka mengalami ketulian dan sekitar 25% mengalami mental retardation (Weiner,1982). Selain infeksi, nutrisi yang buruk pada saat kehamilan juga dapat

Page 9: Mental Disability and Learning Disorders

menyebabkan masalah pada perkembangan otak anak (Weiner,1982).

c. Komplikasi pada saat kelahiran, hal ini meningkatkan resiko anak mengalami gangguan mental dan kecacatan fisik, terutama apabila anak terlahir prematur dan memiliki berat badan kurang dari 1500 gram (Weiner,1982). Komplikasi lain yang sering terjadi pada saat kelahiran yaitu anoxia, merupakan kondisi dimana suplai oksigen ke otak tidak memadai. Hal ini disebabkan karena bayi kesulitan untuk bernafas (Weiner,1982). Suplai oksigen ke otak yang terganggu ini menyebabkan kondisi otak mengalami masalah. Masalah pada otak tersebut menyebabkan anak memiliki resiko mengalami intellectual disability (Weiner,1982).

d. Harmful postnatal experiences, 9 dari 10 kasus kejadian fisik yang berpengaruh pada perkembangan otak terjadi setelah bayi lahir (Yannet dalam Weiner,1982). Beberapa kejadian yang menyebabkan kerusakan otak permanen tersebut yaitu demam tinggi yang disebabkan oleh enchepalitis dan meningitis (Weiner,1982). Selain itu, luka pada kepala yang cukup parah juga dapat menyebabkan seorang anak mengalami intellectual disability (Weiner,1982). Kondisi anak yang mengalami malnutrisi pun dapat pula mengganggu perkembangan otaknya sehingga menyebabkan terjadinya intellectual disability (Weiner,1982).

e. Faktor Genetik, anak yang terlahir dari keluarga yang memiliki sejarah anggota keluarga lainnya mengalami intellectual disability memiliki resiko mengalami intellectual disability juga (Weiner,1982).

f. Faktor lingkungan, anak kurang mendapat stimulasi dari lingkungan memiliki resiko mengalami intellectual disability (Weiner,1982). Hal ini disebabkan karena kurangnya pengalaman anak mengenai hal-hal di sekitarnya. Menurut culture drift hypothesis yang dikemukakan oleh Hermstein, kebanyakan keluarga anak yang mengalami intellectual disability adalah keluarga dari kelas sosial ekonomi menengah ke bawah. Hal ini terjadi karena adanya keterbatasan sosial dan pengetahuan (Weiner,1982).

Page 10: Mental Disability and Learning Disorders

g. Interaksi antara faktor genetik dan lingkungan, karena kedua hal tersebut saling berhubungan dalam munculnya intellectual disability.

2.1.6 Treatmenta. Program Edukasi

Anak-anak dengan gangguan intelektual ini biasanya terbagi menjadi 2 golongan besar, yaitu anak-anak yang mampu didik dan mampu latih (Erickson, 1982). Lebih lanjut menurut Erickson (1982), dijelaskan bahwa anak-anak mampu didik yaitu anak yang skor IQnya masih di dalam rentang mild, sedangkan anak-anak mampu latih yaitu anak yang skor IQnya berada di rentang moderate sampai severely retarded. Anak-anak yang tergolong mampu didik dapat dimasukkan ke dalam sekolah berkebutuhan khusus.

b. Terapi BehavioralPada anak dengan gangguan intelektual, perilaku adaptifnya tidak sesuai dengan anak seusianya. Terapi perilaku yang dibutuhkan antara lain self-feeding, toilet training, dan kemampuan motorik dan verbal.

Anak-anak dengan gangguan intelektual biasanya sulit untuk melakukan perilaku self-feeding atau makan sendiri. Oleh karena itu, perilakunya harus terus dilatih dan dikoreksi (Erickson, 1982). Azrin dan Armstrong (dalam Erickson, 1982), mengatakan bahwa cara paling efektif untuk membantu mengajarkan perilaku self-feeding yaitu dengan kombinasi dari backward chaining dan physical guidance. Pada prosedur itu, tangan anak dituntun untuk mengambil sendok, menyendok makanan, kemudian membawa sendok itu ke mulutnya, lalu melepaskan tuntunan sesaat sebelum sendok masuk ke dalam mulut. Physical guidance itu sedikit demi sedikit dikurangi porsinya, dari step paling belakang, dan step terakhir yaitu membiarkan anak mengambil sendoknya sendiri (Erickson, 1982). Akan tetapi, menurut Mash dan Wolfe (2013), cara untuk mengajarkan anak self-feeding yaitu dengan metode modeling dan graduated guidance. Artinya, anak ditunjukkan bagaimana

Page 11: Mental Disability and Learning Disorders

cara mengambil makanan hingga dimasukkan ke dalam mulutnya. Kemudian, anak juga dituntun untuk melakukan hal tersebut hingga ia bisa.

Toilet training pada anak dengan mental retarded hampir serupa dengan melatih anak normal, yaitu dengan menempatkan anak pada interval waktu tertentu di toilet ketika anak dianggap mau buang air kecil atau melakukan defekasi, kemudian memberikan reward kepada anak ketika anak berhasil, atau memberikan punishment kepada anak jika anak tidak berhasil (Erickson, 1982).

Selanjutnya terapi untuk kemampuan motorik dan verbal. Menurut Erickson (1982), kombinasi antara pemberian reinforcement dan modeling merupakan cara yang efektif untuk mengajarkan kemampuan motorik dan verbal. Pelatihan penggunaan bahasa merupakan modal dasar sebelum anak diajarkan skill lain yang tingkatnya lebih tinggi (Mash & Wolfe, 2013). Menurut Garcia dan De Haven (dalam Erickson, 1982), operant conditioning merupakan prosedur yang efektif untuk memunculkan perilaku imitative verbal dan untuk mengajarkan functional speech dan spontaneous speech pada anak yang belum pernah bicara atau anak yang memperlihatkan vocalization yang sangat minim.

c. Terapi Cognitive-BehavioralTerapi ini paling efektif bagi anak yang memiliki kemampuan

bahasa yang reseptif dan ekspresif (Mash & Wolfe, 2010). Salah satu terapi yaitu self-instructional training, yang efektif bagi anak yang memiliki kemampuan berbahasa, tetapi tetap sulit dalam memahami dan mengikuti instruksi. Self-instructional training tersebut mengajarkan anak untuk menggunakan verbal cues untuk memproses informasi, dimana terapis mengajarkan anak untuk tetap fokus pada tugasnya dan membuat anak memahami tugas baru yang diberikan padanya (Mash & Wolfe, 2010). Selain itu, terapi lain yaitu metacognitive training, pelatihan untuk mengembangkan kemampuan self-management melalui pembelajaran pada berbagai situasi (Mash & Wolfe, 2010).

d. Psikoterapi

Page 12: Mental Disability and Learning Disorders

Terapi yang dapat diberikan yaitu terapi bermain bagi anak yang masih kecil, karena kemampuan verbalnya masih belum berkembang (Erickson, 1982). Terapi bermain dapat mengembangkan perkembangan motorik kasar, motorik halus, bahasa, dan personal-social (Frankenburg & Dodds, dalam Erickson, 1982). Terapi lain yaitu group psychotherapy, yang dapat diterapkan kepada penyandang disabilitas yang sudah cukup dewasa, dan manfaatnya yaitu untuk meningkatkan kesadaran peserta terapi mengenai permasalahan yang dimiliki oleh orang lain, mengurangi perilaku mengabaikan lingkungannya, dan membuat penyandang disabilitas tanggap terhadap lingkungannya (Gunzburg, dalam Erickson, 1982).

e. Physical TreatmentPhysical treatment yang diberikan kepada penyandang disabilitas

yaitu penggunaan berbagai obat dan diberlakukan diet khusus untuk membantu mengontrol tingkah lakunya(Erickson, 1982).

2.1.7 KomorbidBerdasarkan DSM V, anak dengan gangguan intellectual disability

biasanya juga mengalami gangguan lain, seperti gangguan komunikasi, gangguan spektrum autisme, gangguan fungsi motorik, dan gangguan fungsi sensori. Selain itu, anak dengan gangguan intellectual disability biasanya juga teridenfikasi mengalami gejala mudah marah, regulasi mood yang buruk, agresif, gangguan makan, gangguan tidur, dan gangguan perilaku adaptif lainnya.

Gangguan mental dan gangguan perkembangan saraf yang paling sering muncul pada anak intellectual disability yaitu attention-deficit/hyperactifity disorder (ADHD), depresi, gangguan bipolar, gangguan kecemasan, gangguan spektrum autisme, stereotypic movement disorder, gangguan kontrol impuls, dan gangguan neurocognitive lainnya.

2.1.8 Prognosa

Page 13: Mental Disability and Learning Disorders

Berdasarkan DSM V (2013), dijelaskan bahwa gangguan intellectual disability tidak bersifat progresif. Terapi-terapi yang dilakukan bertujuan untuk memaksimalkan potensi yang dimilki anak dan untuk melatih anak dalam perilaku adaptifnya sehingga tingkat keparahannya bisa berkurang, meskipun tidak dapat sembuh total.

2.1.9 KesimpulanDisabilitas intelektual atau disebut juga mental retardation

merupakan gangguan yang ditandai oleh tingkat kecerdasan yang berada di bawah rata-rata dan memiliki kekurangan dalam perilaku adaptif yang tidak sesuai dengan anak seusianya yan terdeteksi sebelum usia 18 tahun. Terdapat 4 kategori, yaitu mild, moderete, severe, dan profound. Etiologi dari gangguan ini diantaranya adalah faktor genetis, faktor lingkungan, faktor sebelum kelahiran, sesudah kelahiran, ataupun adanya interaksi antara faktor lingkungan dan genetik. Terdapat beberapa penanganan atau treatment yang dapat diberikan, antara lain edukasi, terapi behavioral, terapi cognitif-behavioral, psikoterapi, dan terapi fisik.

2.2 Learning Disorder2.2.1 Definisi

Mengacu pada DSM V, Learning disorder merupakan gangguan yang memiliki ciri sulitnya seorang anak dalam memahami pelajaran dan menggunakan kemampuan akademis yang dimilikinya. Learning disorder juga dapat dilihat dari kemampuan seorang anak yang tidak sesuai dengan perkembangan usia kronologisnya. Sebagai contoh adalah kasus Charles yang berumur 7 tahun namun kemampuan menulisnya sama seperti adik perempuannya yang berumur 3 tahun. Terlepas dari pengajaran akademis yang didapatkan oleh Charles (Mash & Wolfe, 2010). Jadi dapat disimpulkan bahwa learning disorder adalah kemampuan seorang anak yang tidak sesuai dengan perkembangan usia kronologisnya dan dapat mempengaruhi kemampuan dalam belajar.

DSM-V membagi Learning disorder menjadi tiga klasifikasi, yaitu Mild, Moderate, dan Severe. Mild adalah kondisi dimana seseorang

Page 14: Mental Disability and Learning Disorders

memiliki masalah dengan satu atau dua domain akademis, namun masih bisa menyesuaikan dirinya apabila terdapat fasilitas yang mendukung dirinya. Kedua adalah moderate, kondisi dimana seseorang memiliki gangguan belajar, sehingga dirinya membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menyesuaikan dirinya dengan orang lain. Sedangkan severe adalah kondisi dimana anak sulit untuk ditangani dan jika telah mendapat penanganan khusus pun ia tidak dapat sembuh secara total.

2.2.2 Kriteria Diagnostik Menurut DSM V, kriteria spesifik anak yang memiliki gangguan

learning disorder dapat dilihat dari berikut :1. Anak cenderung tidak tepat atau lambat dalam membaca sebuah

tulisan2. Sulit memahami arti dari tulisan yang dibaca.3. Kesulitan dalam mengeja suatu kata.4. Kesulitan dalam menulis dan menggunakan tata bahasa

(menggunakan huruf dan tanda baca dalam kalimat)5. Kesulitan dalam memahami angka, melakukan operasi matematika.6. Kesulitan dalam mengaplikasikan matermatika dalam kehidupan

sehari-hari. Beberapa contoh tersebut dapat menjadi indikasi Learning disorder apabila telah terjadi selama enam bulan.

2.2.3 Jenis-Jenis Learning DisorderMenurut Mash & Wolfe (2010), learning disorder dapat dibagi

menjadi tiga masalah spesifik. Pertama adalah gangguan membaca (Reading Disorder) atau Dysgraphia, gangguan menulis (Writing Disorder) atau Dyslexia, dan gangguan matematika (Mathematics Disorder) atau Dyscalculia.

2.2.3.1 Writing Disorder / DysgraphiaSalah satu bagian dari learning disorder pada anak adalah

gangguan menulis (writing disorder). Anak dengan writing disorder

Page 15: Mental Disability and Learning Disorders

memiliki kemampuan visual motor yang rendah dibanding anak-anak lainnya. Anak yang memiliki writing disorder memiliki kelemahan dalam menuliskan sebuah huruf, mengulangi contoh gambar, dan membayangkan sebuah benda yang diputar (Mash & Wolf, 2010). Salah satu kasus yang dapat dijadikan contoh writing disorder ada pada kasus Charles (7 tahun). Charles merupakan anak yang memiliki kesulitan dalam koordinasi visual dan motorik. Hal ini dibuktikan dengan sulitnya Charles mengikuti pattern gambar, menggunakan pensil dengan normal (Charles terlalu menekan pensil yang digunakannya), menulis dengan huruf dengan baik (Charles selalu menulis huruf dengan arah terbalik d=b, p=q), dan Charles selalu mengganti preferensi tangan pada saat kegiatan menulis. Orangtua Charles cemas karena tulisan yang dihasilkan anak nya sama dengan tulisan adik perempuannya yang berumur 5 tahun. Selain itu kelemahan Charles menyebabkan ia selalu memiliki nilai rendah dalam prakarya seni, meletakkan puzzle, dan tugas tugas serupa. Saat Charles diuji tes psikologis, ia memiliki skor WISC-IV : 91 (rendah) dan verbal IQ: 117 (tinggi). Sedangkan pada neuropsychological testing Charles diduga memiliki finger agnosia atau gangguan dimana seseorang tidak bisa merasakan jari mana yang disentuh apabila tangan diletakkan di belakang badan ( Mash & Wolf, 2010 ) .

Anak dengan writing disorder memiliki masalah dengan pekerjaan yang berhubungan dengan koordinasi mata/tangan, di luar masalah perkembangan motorik kasar nya. Berbeda dengan anak yang memiliki kemampuan normal dalam skill menulis, anak yang memiliki writing disorder cenderung menghasilkan esai yang pendek dan kondisinya kurang tertata rapih. Kemungkinan besar akan sedikit sekali memperhatikan ejaan, tanda baca, dan susunan kata dalam melakukan penjelasan (Mash & Wolf, 2010 ).

2.2.3.2 Reading Disorder (Dyslexia)Definisi Bentuk lain dari learning disorder adalah gangguan

membaca (dyslexia). Dyslexia adalah gangguan perkembangan bahasa saat kemampuan dalam membaca relatif rendah bila dibandingkan

Page 16: Mental Disability and Learning Disorders

dengan IQ atau usia (Papalia & Martorel, 2013). Gangguan ini menghalangi perkembangan kemampuan bahasa secara oral serta tertulis, mengeja, tata bahasa, memahami ucapan, dan membaca (National Center of Learning Disability dalam Papalia & Martorel, 2013) . Pada anak normal, membaca dan kecerdasan dapat dikaitkan satu sama lain, namun pada anak yang mengalami dyslexia tidak dapat dikaitkan satu sama lain (Papalia & Martorel, 2013). Dengan demikian, dyslexia bukanlah masalah kecerdasan (Ferrer, dkk. dalam Papalia & Martorel, 2013).

Menurut Mangunsong (2014), anak dengan gangguan dyslexia mengalami masalah dalam tiga aspek membaca, yaitu decoding, kelancaran (fluency),dan pemahaman (comprehension). Anak mengalami kesulitan dalam mengubah bahasa tulisan menjadi bahasa lisan (decoding), misalnya kesulitan menyebutkan huruf-huruf yang membentuk kata topi, yaitu t, o, p, dan i. Mash & Wolfe (2010) permasalahan dalam decoding yang lambat akan mempengaruhi kemampuan anak untuk mempertahankan makna kalimat satu dengan makna kalimat lainnya dalam suatu paragraf atau halaman. Anak juga mengalami kesulitan dalam membaca dengan lancar (fluency) dan memahami arti bacaan (comprehension).

Anak yang tidak mengalami dyslexia menggunakan sistem visual dan auditori untuk mendapatkan informasi (Mash & Wolfe, 2010). Penggunaaan sistem visual dan auditori dalam mendapatkan informasi tidak dapat dilakukan oleh anak dengan gangguan dyslexia secara maksimal. Anak dengan gangguan dyslexia mengalami masalah dalam hal phonological. Kesalahan yang sering dialami oleh anak dengan gangguan dyslexia menurut Mash & Wolfe (2010) adalah reversals (b/d; p/q), transpositions (was/saw; scared/sacred), inversions (m/w; u/n), dan omission (reading place for palace of section for selection).

Tipe paralexic errors pada neglect dyslexia (Rusconi, Scala, Cappa, & Meneghello, 2004) terdiri dari:

a. Omissions: menghilangkan beberapa huruf paling kiri (casa dibaca asa)

Page 17: Mental Disability and Learning Disorders

b. Substitutions: menyebutkan kata dengan jumlah huruf yang sama tetapi mengganti beberapa huruf di bagian kiri (rosa menjadi cosa)

c. Substitutions plus deletion: mengganti dan menghapus beberapa huruf di bagian kiri (portone, main door menjadi cotone, cotton)

d. additions: menambahkan satu atau lebih huruf ke bagian kiri (capacity menjadi incapacity)

e. additions plus substitutions: mengganti dan menambah satu huruf atau lebih dengan cara subtitusi (porta menjadi storta).

2.2.3.3. Mathematics Disorder (Dyscalculia)Dyscalculia merupakan istilah yang paling banyak digunakan untuk

mendefinisikan masalah belajar dan kesulitan dalam matematika yang dihadapi oleh anak-anak dengan learning disorder (Mangal dalam Raja & Kumar, 2012). Dyscalculia adalah salah satu gangguan belajar yang menghambat kemampuan untuk memperoleh keterampilan aritmatika yang diperlukan untuk melakukan perhitungan matematis (Raja & Kumar, 2012). Dyscalculia merupakan ketidakmampuan belajar yang spesifik di mana murid menghadapi masalah berat dalam perolehan keterampilan matematika. Seorang anak dengan ketidakmampuan belajar memiliki masalah di sebagian besar jenis materi pelajaran, sementara anak dengan ketidakmampuan belajar tertentu memiliki masalah besar dengan satu jenis bahan pokok seperti aritmatika yang disebut sebagai Dyscalculia (Jaya & Geetha, 2004). Ketidakmampuan belajar yang spesifik seperti Dyscalculia membutuhkan instruksi dan bimbingan yang terfokus.

Jenis Dyscalculia menurut Kosc dalam Raja & Kumar (2012) ada enam, yaitu:

a. Verbal dyscalculia, yaitu kesulitan menggunakan konsep matematika dalam bahasa

lisan. Kosc mencatat dua aspek jenis dyscalculia ini:

(1) kesulitan mengidentifikasi pengucapan angka (meskipun individu dapat membaca

angka), dan

(2) kesulitan mengingat nama suatu besaran (walaupun mereka bisa membaca dan

menulis nomor).

Page 18: Mental Disability and Learning Disorders

b. Practognostic dyscalculia, yaitu kesulitan menggunakan konsep matematika dalam

kehidupan sehari-hari. Individu dapat membaca, menulis, mengartikulasi konsep

tetapi tidak bisa mengaplikasikannya.

c. Lexical dyscalculia, yaitu kesulitan membaca simbol matematika seperti angka.

Individu dengan kesulitan ini dapat berbicara tentang ide-ide matematika dan

memahami diskusi lisan mereka namun mengalami kesulitan membaca simbol dan

nomor kalimat.

d. Graphic dyscalculia, yaitu kesulitan menulis simbol matematika. Siswa dapat

memahami ide-ide matematika secara diskusi lisan dan dapat membaca informasi

numerik tetapi mengalami kesulitan menulis pemahaman simbolisme matematika.

e. Ideognostic dyscalculia, yaitu kesulitan untuk memahami ide-ide yang berhubungan

dengan matematika.

f. Operational dyscalculia, yaitu kesulitan melakukan operasi matematika.

2.2.4 Kriteria Diagnostik

2.2.4.1 Kriteria diagnostik Writing Disorder (Dysgraphia)Menurut DSM V masalah writing expression dapat dilihat dari berbagai

kriteria, yaitu :1. Kurangnya Spelling accuracy

Anak yang memiliki masalah dalam spelling accuracy memiliki kecenderungan untuk salah dalam menggunakan susunan huruf dalam suatu kata. Salah satu contoh gangguan spelling accuracy adalah menuliskan Makan menjadi Maqan, Healthy menjadi Helthi.

2. Kurangnya ketepatan dalam susunan kata dan tanda bacaAnak yang memiliki writing disorder akan memiliki kesulitan dalam menempatkan kata kata dalam suatu kalimat serta menggunakan tanda bacanya. Sebagai contoh, Aku akan makan diluar. = Aku makan. diluar

3. Kurangnya kejelasan dan keteraturan dalam tulisan.Anak yang memiliki writing disorder akan memiliki kesulitan dalam menggambarkan secara jelas huruf apa yang akan dituliskan. Beberapa kasus dari writing disorder adalah tidak ada perbedaan

Page 19: Mental Disability and Learning Disorders

huruf besar dan huruf kecil, tidak ratanya antar huruf, dan kurang jelasnya bentuk suatu huruf.

2.2.4.1 Kriteria diagnostik Reading Disorder (Dyslexia)Menurut Najib Sulhan (http://digilib.uinsby.ac.id/7306/2/bab

%202.pdf) dalam bukunya “Pembangunan Karakter Pada Anak Manajemen Pembelajaran Guru Menuju Sekolah Efektif” dijelaskan bahwa kriteria anak dyslexia adalah sebagai berikut :

1. Tidak lancar dalam membaca2. Sering terjadi kesalahan dalam membaca3. Kemampuan memahami isi bacaan sangat rendah4. Sulit membedakan huruf yang mirip

Selain ciri-ciri tersebut di atas, ketika belajar menulis anak-anak dyslexia kemungkinan akan melakukan hal-hal berikut :

a. Menuliskan huruf-huruf dengan urutan yang salah dalam sebuah kata.

b. Tidak menuliskan sejumlah huruf-huruf dalam kata-kata yang ingin ia tulis.

c. Menambahkan huruf-huruf pada kata-kata yang ia tulis. d. Mengganti satu huruf dengan huruf lainnya, sekalipun bunyi huruf-

huruf tersebut tidak sama. e. Menuliskan sederetan huruf yang tidak memiliki hubungan sama

sekali dengan bunyi kata-kata yang ingin ia tuliskan. g. Mengabaikantanda-tandabaca yang terdapatdalamteks-teks yang

sedangiabaca.

2.2.4.1 Kriteria diagnostik Mathematics Disorder (Dyscalculia)Dua kriteria utama dyscalculia menurut Landerl dkk, 2004 adalah

1. Kesulitan dalam mempelajari dan mengingat fakta-fakta aritmatika. Anak dengan gangguan diskalkulia mengalami kesulitan dalam mempelajari dan mengingat fakta aritmatika seperti makna dan sifat simbol angka, pembandingan, deret, dan lainnya.

Page 20: Mental Disability and Learning Disorders

2. Kesulitan dalam melaksanakan prosedur perhitungan. Prosedur perhitungan tidak bisa dilakukan oleh anak dengan gangguan diskalkulia, dimana mereka kurang atau tidak mengerti maksud dan penggunaan simbol-simbol perhitungan (+, -, x, : ).

Hannel (2005) juga menjelaskan bahwa ada berbagai warning signs yang ditunjukkan oleh penderita dyscalculia pada kesulitan matematika mereka. Hal tersebut termasuk kelambatan dalam memberikan jawaban dari pertanyaan matematika dibandingkan dengan anak lainnya, kesulitan dalam perhitungan mental, menggunakan jari untuk menghitung total sederhana, kesalahan dalam menafsirkan masalah kata, kesulitan untuk mengingat fakta-fakta matematika dasar, kehilangan jejak ketika menghitung atau mengatakan tabel perkalian, kesulitan dalam mengingat langkah-langkah dalam proses multistage, kesulitan dengan posisi dan organisasi spasial.

Sedangkan, Soares and Patel (2015) membedakan kriteria anak yang mengalami gangguan Dyscalculia berdasarkan tingkat pendidikannya, yaitu:

A. Kriteria pada Anak Pre-School dan Kindergarteno Memiliki kesulitan belajar menghitung, terutama ketika

menempatkan setiap objek dalam kelompok angkao Memiliki kesulitan mengenali simbol nomor, seperti membuat

hubungan antara "7" dan kata tujuho Sulit menghubungkan angka untuk situasi kehidupan nyata,

seperti mengetahui bahwa "3" bisa berlaku untuk setiap kelompok yang memiliki tiga hal di dalamnya: 3 kue, 3 mobil, 3 anak-anak, dll

o Memiliki kesulitan mengingat angka dan urutannyao Sulit untuk mengenali pola dan mengurutkan item dengan

ukuran, bentuk atau warnao Menghindari permainan yang melibatkan angka

Page 21: Mental Disability and Learning Disorders

B. Kriteria pada Anak Elementary dan Middle Schoolo Memiliki kesulitan mengenali angka dan simbolo Memiliki kesulitan belajar dan mengingat fakta-fakta

matematika dasar, seperti 2 + 4 = 6. Butuh waktu yang lama untuk mengidentifikasi +, - dan tanda-tanda lain dan menggunakannya dengan benar

o Masih menggunakan jari untuk menghitungo Sulit memahami kata-kata yang berhubungan dengan

matematika, seperti lebih besar dari dan kurang dario Memiliki kesulitan mengingat nomor telepon dan skor gameo Menghindari bermain yang melibatkan strategi angkao Memiliki kesulitan memberitahu waktu

2.2.5 Perkembangan Psikopatologi2.2.5.1. Perkembangan Psikopatologi Writing Disorder (Dysgraphia)

Pada DSM-V, Dysgraphia sudah tidak lagi dalam bagian terpisah. Berbeda dengan edisi sebelumnya, Dysgraphia menjadi bagian dari spesific learning disorder. Sebelumnya Dysgraphia menjadi bagian dari learning disorder dalam DSM-IVTR dan menggantikan term academic skills disorder dalam DSM III ( 1968 ). Pada DSM V Dysgraphia memiliki beberapa ciri spesifik yang harus bertahan selama enam bulan agar seorang anak bisa dikatakan dysgraphia.

2.2.5.2 Perkembangan Psikopatologi Reading Disorder (Dyslexia)

Istilah dyslexia diciptakan pertama kali pada tahun 1887 oleh Rudolf Berkhan. Rudolf Berkhan adalah seorang ahli mata. Ia menggunakan istilah tersebut untuk seorang pemuda yang mengalami penurunan dalam membaca dan menulis. Pada tahun 1896 W.Pringle Morgan menerbitkan gambaran perihal gangguan belajar membaca pada British Medical Journal. Tulisan tersebut mengambarkan budak 14 tahun yang tidak mampu belajar membaca, namun menunjukkan kecerdasan yang normal. Castles dan Coltheart mengambarkan perkembangan fonologis yang

Page 22: Mental Disability and Learning Disorders

berkaitan dengan kemampuan membaca. Perbedaan merujuk pada dua mekanisme, yang satu berkaitan dengan pengucapan dan yang satunya lagi berkaitan dengan visual perception impairment.

2.2.5.3. Perkembangan Psikopatologi Mathematics Disorder (Dyscalculia)Raja dan Kumar (2012) menjelaskan bahwa pada tahun 1925,

Henschen menciptakan istilah acalculia pertama kali untuk menunjukkan hilangnya keterampilan aritmatika seseorang yang telah diperoleh sebelumnya. Di sisi lain, dyscalculia atau Development Dyscalculia (DD) pertama kali diciptakan pada tahun 1974 oleh Kosc. Edisi pertama dari DSM, yaitu DSM I dan II digunakan label lain seperti learning disturbances, yang masuk dalam subkategori special symptom reactions. Selanjutnya, gangguan itu diklasifikasikan sebagai Axis II. Istilah dyscalculia pertama kali ada pada DSM, yaitu pada DSM-III. Dalam DSM-IV, namanya diubah menjadi Mathematics Disorder. Kemudian di DSM-V, namanya diubah kembali menjadi dyscalculia, yang didefinisikan sebagai istilah altematif yang digunakan untuk merujuk kepada pola yang didefinisikan sebagai kesulitan-kesulitan yang ditandai dengan masalah pengolahan informasi numerik, belajar fakta aritmatika, dan melakukan perhitungan akurat atau fasih.

2.2.6 EtiologiLearning disorder tidak hanya disebabkan oleh satu faktor saja,

tetapi banyak faktor yang merupakan gabungan dari faktor berikut:1. Genetis

Berdasarkan pada perkiraan behavioral genetic mengindikasikan bahwa heritabilityM empengaruhi 60% dari varian dalam masalah membaca (Bishop, 2006; Viding et. al., 2004, dalam Mash and Wolfe, 2010). Papalia & Martorel (2013) menyatakan bahwa gen yang paling bertanggung jawab dalam gangguan bahasa, membaca, dan matematika. Gen yang mempengaruhi satu tipe gangguan juga akan mempengaruhi tipe gangguan lainnya.

Page 23: Mental Disability and Learning Disorders

2. Neurobiological factorWriting Disorder disebabkan oleh berbagai hal, mulai dari ketidak

mampuan otak dalam melakukan koordinasi motorik, gangguan pada sistem bahasa, dan perkembangan yang tidak normal (Chung & Patel, 2015). Jika dilihat dari sisi motorik, anak yang mengalami writing disorder memiliki keterbelakangan motoris. Sebagai contoh, anak dengan writing disorder akan sulit dalam mengikat tali sepatu, berjalan mundur, berenang, mengendarai sepeda dan lain-lainnya. Jika dilihat dari sisi psychobiology, kerusakan cerebellum menyebabkan pengaruh yang signifikan dalam writing Disorder.

Dyslexia terjadi karena adanya kerusakan pada otak bagian bahasa. Kerusakan ini ditandai dengan adanya ketidaknormalan pada cellular di hemisphere kiri, bagian penting dari bahasa (Galaburda, Sherman, Rosen, & Geschwind dalam Mash & Wolfe, 2010). S. E. Shaywitz, B. A. Shaywitz, et al. dalam Mash & Wolf (2010), menemukan adanya aktivitas yang rendah di banyak tempat, utamanya di hemisphere kiri dari otak anak dyslexia yang dibandingkan dengan anak yang tidak lemah dalam hal inferior frontal, parietotemporal, danoccipito temporal gyri. Tiga bagian tersebut adalah area dari otak yang bertanggungjawab untuk memahami phonemes, menganalisis kata, atau mendeteksi kata secara otomatis. Penelitian mengenai citra otak menunjukkan bahwa dyslexia terjadi akibat neurologis yangmengganggu proses pengenalan suara (Shaywitz, Mody, & Shaywitz dalam Papalia &Martorel, 2013).3. Lingkungan dan emosional

Lingkungan juga sangat mempengaruhi terbentuknya learning disorder. Faktor lingkunganyang dapat menyebabkan learning disorder adalah lingkungan yang tidak sehat dan stabil, sepertikomplikasi kehamilan atau kelahiran, trauma setelah lahir, kekurangan nutrisi, dan terpapartimbal (National Center for Learning Disability dalam Papalia & Martorel, 2013). Mash &Wolfe (2010), menyatakan bahwa gangguan emosional dan beberapa tanda lain berhubungandengan kemampuan adaptif yang rendah sering menyebabkan gangguan membaca.

Page 24: Mental Disability and Learning Disorders

2.2.7 Treatment1. Keluarga

Keluarga harus memberikan suasana yang nyaman bagi anak. Selain itu, keluarga harus memberikan fasilitas untuk mengurangi dampak negatif dari learning disorder. Keluarga memberikan feedback yang positif ketika anak berusaha mengatasi learning disordernya sehingga termotivasi untuk terus berusaha.2. Mengajarkan anak kemampuan fonologis dan kemampuan verbal.

Anak tidak hanya diajari kosa kata, tetapi harus memahami makna dari kata tersebut. Nation et al. dalam Mash & Wolfe (2010), menyatakan bahwa teknik memanipulasi fonem dapat meningkatkan kemampuan decoding, fluency, dan memperkuat asosiasi antara pesan yang ada dalam tulisanuntuk diungkapkan dalam bentuk suara.3. CognitiveBehavioral Intervention

Prosedur ini secara aktif melibatkan siswa dalam belajar, khususnya dalam proses berpikir mereka sendiri. Penekanan ditempatkan pada self control dengan strategi, seperti selfrecording, self management of reinforcement, dan sebagainya (Cobb, Contoh, Alwell, & Johns 2006 dalam Mash &Wolfe, 2010).4. ComputerAssisted Learning

Metode yang dibantu komputer untuk mengeja, membaca, dan matematika memberikan keterlibatan yang lebih akademik dan prestasidaripada metode tradisional yang menggunakan pensil dan kertas (Mash & Wolfe, 2010). Belajar dengan komputer dianggap lebih menarik karena terdapat berbagai macam fitur yang dapat meningkatkan motivasi membaca.5. The Inclusion Movement

Menyekolahkan anak dengan gangguan learning disorder ke dalam sekolah inklusi merupakan salah satu pilihan yang kurang tepat. Hasil penelitian menyatakan bahwa pemisahan kelas untuk siswa penyandang cacat tidak efektif dan cenderung berbahaya (Baldwin dalam Mash & Wolfe, 2010). Anak dengan gangguan dyslexia seharusnya dimasukkan ke

Page 25: Mental Disability and Learning Disorders

dalam kelas reguler apabila ia mampu untuk mengikuti proses pembelajarannya.

6. Strategi akomodasi, modifikasi, dan remediation. Menurut Chung & Patel (2015), terdapat tiga strategi yang dapat

digunakan untuk menghadapi anak dengan kebutuhan menulis yaitu akomodasi, modifikasi, dan remediation. Akomodasi di sini adalah dengan mengakses kurikulum yang ada agar anak bisa lebih ramah dengan pembelajaran menulis. Akomodasi berusaha mengubah lingkungan agar tidak menimbulkan tekanan menulis yang besar. Contoh sederhana adalah memberikan fasilitas spell checker, penggunaan keyboard, touchpad yang memudahkan anak dengan writing disorder. Sedangkan untuk modifikasi adalah dengan mengubah bentuk tantangan akademis anak dengan writing disorder. Hal ini dapat dilaksanakan dengan mengubah bentuk ujian dengan hal yang minim dengan kebutuhan menulis. Remediation adalah proses melatih anak dengan writing disorder dengan tahapan sistematis. Anak dengan writing disorder dapat dimulai dengan memberikan pekerjaan menulis yang mudah. Setelah anak menguasai hal yang mudah tingkat kesulitan akan ditambah. Sehingga pengalaman yang dilaksanakan oleh anak yang writing disorder dapat membantunya untuk menemukan titik normal seperti anak yang lain.

2.2.8 Komorbid1. Anak dengan gangguan ini cenderung kurang berorientasi pada pelajaran dan mudah teralihkan perhatiannya bila dibandingkan dengan anak lainnya, menjadi kurang terorganisir, dan kurang banyak menggunakan strategi untuk mengingat (Papalia & Martorel, 2013).2. Anak yang mengalami learning disorder mengalami kecemasan, penurunan motivasi, dan prestasi akademikyang rendah karena tidak bisa menyesuaikan diri dengan teman seusiannya.3. Mereka lebih terisolasi dan kurang populer di kalangan temantemannya dan mereka cenderung membuat kesan negatif pada orang lain (Marton, Abramof, & Rosenzweig dalam Mash & Wolfe, 2010).

Page 26: Mental Disability and Learning Disorders

4. Seorang anak dengan gangguan belajar juga bisa menjadi beban emosional bagi anggota keluarga, seperti rasa bersalah, frustasi, penolakan, marah, dan putus asa (Mash &Wolfe, 2010).5. Kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan sekolah baru. Menurut Mash & Wolfe(2010), anak perempuan biasanya mengalami masalah berkaitan dengan pelecehan seksual dan lakilaki cenderung lebih positif daripada perempuan.6.Anak dengan gangguan attention deficit and Hyperacidity disorder ( ADHD ), developmental coordination disorder, dan cerebral palsy memiliki gangguan dalam menulis. Berninger dalam ( Chung & Patel, 2015).7. Hal terpenting juga adalah menghilangkan stigma negatif bahwa anak dengan writing disorder merupakan bodoh atau malas.

2.2.9 Prognosa Langkah paling efektif adalah mencegah berbagai komorbid dari learning disorder agar tidak muncul. Keluarga dan lingkungan sosial perlu mendukung anak dengan gangguan learning disorder supaya bisa mengembangkan kemampuannya. Banyak anak dan orang dewasa dengan dyslexia dapat diajarkan membaca melalui latihan sistematis fonologis, tetapi prosesnya tidak bisa menjadi otomatis sembuh seperti pembaca normal lainnya (Eden dkk., 2004; S. E. Shaywitz, 1998, 2003 dalam Papalia & Martorel, 2013).

2.2.10 KesimpulanMengacu pada the Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM V),

Learning disorder adalah suatu kondisi dimana seseorang anak memiliki kesulitan dalam

memahami pelajaran dan menggunakan kemampuan akademis yang dimilikinya. Learning

disorder dapat dibagi menjadi tiga masalah spesifik. Pertama adalah gangguan membaca

(Reading Disorder), gangguan menulis (Writing Disorder), dan gangguan matematika

(Mathematics Disorder). Reading disorder adalah Menurut Mangunsong (2014), anak

dengan gangguan dyslexia mengalami masalah dalam tiga aspek membaca, yaitu decoding,

kelancaran (fluency),dan pemahaman (comprehension). Sedangkan writing disorder atau

Page 27: Mental Disability and Learning Disorders

dysgraphia merupakan suatu kondisi dimana seorang anak memiliki kesulitan dalam

menuliskan sebuah kalimat di luar faktor pendidikan dan pengasuhan yang digunakan.

Sedangkan mathematics disorder atau dyscalculia adalah istilah yang digunakan untuk

masalah belajar dan kesulitan dalam matematika yang dihadapi oleh anak-anak dengan

ketidakmampuan belajar (Mangal dalam Raja & Kumar, 2012). Dengan kata lain, dyscalculia

adalah salah satu gangguan belajar yang menghambat kemampuan untuk memperoleh

keterampilan aritmatika yang diperlukan untuk melakukan perhitungan matematis (Raja &

Kumar, 2012).

Pada DSM-V, reading disorder, writing disorder, dan mathematics disorder sudah tidak

lagi dalam bagian terpisah. Berbeda dengan edisi sebelumnya, dalam DSM-IV TR dan

menggantikan term academic skills disorder dalam DSM III ( 1968 ). Pada DSM V

dysgraphia memiliki beberapa kriteria spesifik tertentu yang harus bertahan selama enam

bulan agar seorang anak bisa dikatakan dysgraphia.

Page 28: Mental Disability and Learning Disorders

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan

Disabilitas intelektual atau disebut juga mental retardation merupakan gangguan yang

ditandai oleh tingkat kecerdasan yang berada di bawah rata-rata dan memiliki kekurangan

dalam perilaku adaptif yang tidak sesuai dengan anak seusianya yan terdeteksi sebelum usia

18 tahun. Terdapat 4 kategori, yaitu mild, moderete, severe, dan profound. Etiologi dari

gangguan ini diantaranya adalah faktor genetis, faktor lingkungan, faktor sebelum kelahiran,

sesudah kelahiran, ataupun adanya interaksi antara faktor lingkungan dan genetik. Terdapat

beberapa penanganan atau treatment yang dapat diberikan, antara lain edukasi, terapi

behavioral, terapi cognitif-behavioral, psikoterapi, dan terapi fisik.

Sedangkan Learning disorder adalah suatu kondisi dimana seseorang anak memiliki

kesulitan dalam memahami pelajaran dan kesulitan dalam menggunakan kemampuan

akademis yang dimilikinya. Learning disorder dapat dibagi menjadi tiga masalah spesifik.

Pertama adalah gangguan membaca (Reading Disorder/Dyslexia), gangguan menulis

(Writing DisorderD/ysgraphia), dan gangguan matematika (Mathematics

Disorder/Dyscalculia). Menurut Mangunsong (2014), anak dengan gangguan membaca /

dyslexia mengalami masalah dalam tiga aspek membaca, yaitu decoding, kelancaran

(fluency), dan pemahaman (comprehension). Sedangkan writing disorder atau Dysgraphia

merupakan suatu kondisi dimana seorang anak memiliki kesulitan dalam menuliskan sebuah

kalimat di luar faktor pendidikan dan pengasuhan yang digunakan. Sedangkan Math Disorder

atau Dyscalculia adalah istilah yang digunakan untuk masalah belajar dan kesulitan dalam

matematika yang dihadapi oleh anak-anak dengan ketidakmampuan belajar (Mangal dalam

Raja & Kumar, 2012). Dengan kata lain, dyscalculia adalah salah satu gangguan belajar yang

menghambat kemampuan untuk memperoleh keterampilan aritmatika yang diperlukan untuk

melakukan perhitungan matematis (Raja & Kumar, 2012). Learning Disorder memiliki

komorbid dengan ADHD dan Dyslexia. Langkah yang dapat dilakukan adalah mencegah

berbagai komorbid dari writing disorder agar tidak muncul.

3.2 Saran

Intellectual Disorder dan Learning Disorder memiliki beberapa ciri yang dapat

dideteksi secara dini. Penanganan yang tepat sangat dibutuhkan untuk menghindari berbagai

masalah nyang dapat di timbulkan gangguan tersebut terhadap kehidupan sang anak. Dari

Page 29: Mental Disability and Learning Disorders

sudut pendidikan, penting memperhatikan bahwa anak yang memiliki gangguan akan

memiliki kebutuhan yang lebih khusus dibanding anak yang normal. Guru yang baik adalah

guru yang dapat mengakomodir kebutuhan sang anak. Selain itu stigma negatif yang sering

muncul pada anak akan menyebabkan berbagai masalah mental terhadap dirinya. Baik untuk

tetap memberikan anak berkebutuhan khusus support sehingga dapat mengurangi kecemasan

dalam hidupnya.

Page 30: Mental Disability and Learning Disorders

Daftar Pustaka

Chung, P.& Patel, D, R.(2015) Dysgraphia. California:Nova Science Publishers,

Erickson, M.T.(1982).Child psychopathology (ed.2).

Hannell, Glynis. (2005). Dyscalculia: Action Plans for successful learning in

Mathematics. New York: David Fulton Publishers.

Hendriani, W., Handariyati, R., & Sakti, T. M. (2006). Penerimaan Keluarga

terhadap Individu yang Mengalami Keterbelakangan Mental.INSAN

Vol. 8 No. 2.

Japan International Cooperation Agency Planning and Evaluation

Department. (2002). Country Profile on Disability Republic of

Indonesia.

Jaya., & Geetha. (2004). Remedial package for Dyscalculic children.

Avinashalingam Institute of Deemed University for Women,

Coimbatore.

Landerl, K., Bevana, A., & Butterworth, B. (2004 ). Developmental

Dyscalculia and Basic Numerical Capacities: A Study of 8–9-Year-Old

Students. Cognition 93 , 99–125.

Mash, E.J. & Wolf, D.A. 2005.Abnormal Child Psychology. 4rd edition.

Belmont, C.A.: Thomson Wadsworth.

Mash.E.J.&Wolfe,D.A.(2013).Abnormal child psychology, 5th ed.Belmont,

C.A.: Thomson Wadsworth.

Papalia, D. E. & Martorell, G. (2013). Experience Human Development

(13thed). New York: McGraw-Hill International Edition.

Page 31: Mental Disability and Learning Disorders

Raja, B William Dharma., Kumar, S Praveen. (2011). Findings of Studies in

Dyscalculia.Journal on Educational Psychology, Vol. 5.

Rusconi, M. L., Scala, M., Cappa, S. F., Meneghello, F. (2004). A Lexical

Stress Effect in Neglect Dyslexia. Neuropsychology, Vol. 18, No. 1,

135–140. Diakses dari:

http://search.proquest.com/psycarticles/docview/614444648/fulltextP

DF/149966F97C394A0BPQ/3?accountid=17242

Soares, Neelkamal., Patel, Dilip R. (2015). Dyscalculia. US: Nova Science

Publisher.

Weiner, I. B. (1982). Child and adolescent psychopathology.