Upload
others
View
13
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 40 NO. 2 2019
100
Menelusuri Akar Konflik dan Kebijakan Damai
di Tanah Papua
Cahyo Pamungkas
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Abstract
Violent conflicts that have been occurring in the Land of Papua since 1965 indicate no signs of coming
to an end, even compounded by repression, discrimination, and marginalization of indigenous
Papuans. This article aims to trace a number of studies of the Papuan conflict and its consequences
to encourage the peace process. In addition, it aims to identify the gap between knowledge about the
Papua conflict produced by researchers and the government policy to resolve the conflict. This
research uses literature study. These studies were selected due to their focus on the asymmetrical
power relations between the state and the people of Papua and the social context of research in the
post-1998 Reform period that allowed the transformation of the independent Papua movement into a
non-violent political movement. It argues that a number of social studies have identified the root
causes of the Papua conflict and provided a variety of alternative peaceful solutions. However, a
number of policies to make peace in Papua have failed, since the policymakers tend to base their
policies on the political ideology of nationalism and the construction of colonial knowledge, namely
'civilizing' Papuans.
Keywords: political violence, conflict studies, nationalism, colonial mission, peace policy.
Pendahuluan
Tulisan ini bertolak dari penyerangan Tentara
Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB)
terhadap sejumlah pekerja jalan Trans-Papua
di Nduga, Papua, pada 2 Desember 2019 yang
mengakibatkan 17 orang meninggal, termasuk
anggota TNI (Elisabeth dkk., 2019).
Pemerintah kemudian merespons dengan
menggelar operasi militer di Kabupaten
Nduga untuk menghancurkan TPN-PB.
Operasi militer ini telah menyebabkan tiga
orang Papua menjadi korban dan sekitar
22.000 orang warga tinggal dalam
pengungsian. Insiden Nduga telah menambah
statistik kekerasan di Tanah Papua sejak
‘Tragedi Paniai Berdarah,’ 7 Desember 2014,
di mana delapan pelajar asli Papua terbunuh
oleh aparat keamanan. Selama pemerintahan
Presiden Joko Widodo antara 2014–2018,
beberapa operasi militer telah dilakukan
secara terbatas di Papua. Misalnya, Operasi
Tembagapura (Desember 2017–Februari
2018) untuk membebaskan warga pendatang
yang disandera oleh TPN-PB. Dalam operasi
ini, TNI/Polri melakukan penyisiran sehingga
menyebabkan suku Amungme, Dani, Damal,
dan Mee mengungsi ke hutan (ULMWP,
2019:3).
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 40 NO 2 2019
101
Konflik Nduga merupakan bagian dari
sejarah kekerasan politik di Tanah Papua yang
terus berlanjut, dimulai dari perlawanan
Gerakan Papua Merdeka di Manokwari pada
1965 (May, 1978; Osborne, 1985, Budiardjo
& Liong, 1988). Meminjam konsep Galtung
(1969), Björkhagen (2016) menyebut situasi
di Papua sebagai ‘absennya perdamaian
negatif.’ Walaupun berbagai kebijakan telah
diambil, seperti pembangunan infrastruktur,
otonomi khusus, pemekaran daerah, serta
percepatan pembangunan di Papua dan Papua
Barat, semuanya belum mampu mengatasi
akar persoalan konflik Papua dan
menghentikan siklus kekerasan politik di
daerah tersebut.
Beberapa studi telah dilakukan untuk
menarasikan konflik, khususnya kekerasan
politik, di Tanah Papua baik oleh peneliti dari
dalam maupun luar negeri. Studi-studi dari
berbagai disiplin ilmu sosial tersebut telah
menjelaskan penyebab konflik di daerah ini
serta mengajukan sejumlah gagasan
penyelesaian damai. Namun, berbagai studi
tersebut belum menjadi acuan bagi para
pengambil kebijakan untuk mencari terobosan
atau inisiatif baru penyelesaian damai. Artikel
ini bertujuan untuk mendiskusikan kembali
hasil-hasil kajian konflik Papua dan
konsekuensinya untuk mendorong proses
perdamaian sekaligus mencegah kekerasan
struktural maupun simbolik di Tanah Papua.
Selain itu, juga bertujuan untuk
mengidentifikasi kesenjangan antara hasil
penelitian konflik Papua dengan praktik
kebijakan damai yang diimplementasikan
pemerintah. Penulis berargumen bahwa
sejumlah penelitian sosial telah
mengidentifikasi akar persoalan konflik
Papua dan memberikan berbagai alternatif
penyelesaian damai, namun kebijakan-
kebijakan untuk mewujudkan Papua damai
belum juga berhasil karena para pengambil
kebijakan mendasarkannya pada ideologi
politik nasionalisme dan konstruksi
pengetahuan di masa kolonial, yakni
‘memberadabkan’ orang asli Papua.
Beberapa hasil penelitian mengenai
konflik Papua yang menjadi fokus
pembahasan dalam tulisan ini terdiri atas studi
Rutherford (2012), Kirksey (2012), Hernawan
(2013), Ondawame (2000), Anderson (2015),
Viartasiwi (2018), dan LIPI (2008, 2016).
Rutherford, Kirksey, Hernawan, dan
Ondawame berangkat dari subjek orang asli
Papua sebagai ‘korban’ dalam relasinya
dengan negara. Oleh karena itu, muncul
gagasan melawan hegemoni kekuasaan,
berkolaborasi dengan negara dan kekuatan
internasional, mengubah panggung kekerasan
menjadi perdamaian, atau berkomitmen pada
proses non-kekerasan. Riset Anderson dan
Viartasiwi menunjukkan bahwa konflik tidak
hanya bersifat vertikal, tetapi juga horizontal
antarorang asli Papua, dan perlunya kehadiran
negara melalui pelayanan publik. Adapun
riset LIPI merekomendasikan peta jalan
damai untuk menyelesaikan konflik Papua,
termasuk melalui dialog, rekonsiliasi,
rekognisi, dan pembangunan berbasis
kebudayaan. Walaupun menggunakan
kerangka konseptual yang berbeda-beda,
ketujuh studi tersebut bertemu pada titik yang
sama: memajukan, baik secara implisit
maupun eksplisit, alternatif penyelesaian
konflik Papua secara damai.
Studi-studi di atas telah menjadi
rujukan bagi para sarjana yang mengkaji
konflik Papua pasca-Reformasi 1998. Momen
Reformasi menjadi titik penting dalam sejarah
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 40 NO 2 2019
102
konflik di Tanah Papua karena pemerintah
memberlakukan ‘sistem politik demokrasi’
yang memungkinkan Gerakan Papua
Merdeka bertransformasi menjadi gerakan
politik sipil, dan ‘desentralisasi’ yang
memungkinkan orang Papua memerintah di
tanahnya sendiri. Reformasi juga
memungkinkan pemerintah Indonesia
mengoreksi kebijakan operasi militer pada
masa lalu dengan mempertimbangkan
berbagai alternatif kebijakan yang lebih
‘akomodatif’ terhadap aspirasi orang asli
Papua.
Gambaran Kekerasan Di Tanah Papua
Kekerasan merupakan narasi yang dominan
tentang Tanah Papua hingga saat ini. Setiap
operasi militer di Tanah Papua telah
menimbulkan dampak kekerasan baik fisik
maupun psikologis. Webb-Ganon (2017)
berdasarkan pengalaman risetnya di Papua
menyebutkan bahwa kehadiran Komando
Pasukan Khusus (Kopassus) dan unit-unit
aparat keamanan lainnya telah
mengintimidasi orang Papua secara terus-
menerus. Asrama tentara yang terletak di
antara permukiman penduduk dan pos
pemeriksaan di pintu masuk kampung
menyebabkan orang Papua merasakan
kehadiran pasukan keamanan dalam
kehidupan sehari-hari mereka. Webb-Ganon
melihat fenomena ini sebagai strategi perang
psikologis Indonesia dengan orang Papua,
yang disebut sebagai perang rahasia. Orang
Papua melakukan respons dengan berbagai
cara, dari perang gerilya sampai diplomasi
internasional. Namun, aparat keamanan
mengatasinya dengan melakukan persekusi
terhadap orang Papua, menambah jumlah
aparat keamanan, dan melancarkan tekanan
psikologis untuk mengintimidasi orang
Papua. Dampaknya, terbentuk memori
kolektif tentang sejarah penderitaan dan
kekerasan (memoria passionis) yang dialami
orang Papua (Haluk, 2019:10-11).
Laporan Amnesty International
(2018:10) menginformasikan bahwa antara
2010 dan 2018 terdapat 69 kasus pembunuhan
di luar hukum di Papua. Sejumlah peristiwa
tersebut mengakibatkan jatuhnya 95 orang
korban, terdiri atas 85 orang Papua dan 10
non-Papua—39 orang menjadi korban tindak
kekerasan oleh polisi, 27 korban oleh anggota
TNI, 28 korban oleh polisi bersama TNI, dan
satu korban oleh anggota Satpol PP. Jumlah
kasus paling tinggi dapat terjadi pada 2015
(13 kasus) dan 2012 (11 kasus). Laporan
tersebut (2018:7) menyebutkan bahwa 41
kasus tidak berkaitan dengan tuntutan
kemerdekaan, tetapi lebih pada penggunaan
kekuatan yang berlebihan untuk menangani
protes sosial, upaya menangkap terduga
kriminal, atau bentuk kesalahan aparat
keamanan. Adapun 28 kasus terkait dengan
penanganan aksi massa yang menuntut
kemerdekaan. Dari 69 kasus pembunuhan di
luar hukum ini, tidak satu pun pelakunya
diajukan ke pengadilan. Hanya pada 26 kasus
dilakukan investigasi internal, namun
hasilnya tidak diumumkan ke publik.
Meskipun pasca-Reformasi 1998
terdapat transformasi Gerakan Papua
Merdeka dari penggunaan strategi kekerasan
menjadi politik, namun represi terhadap
aktivitas-aktivitas kelompok pro-
kemerdekaan tidak pernah surut (Al Rahab,
2016:19). Misalnya, penembakan massal di
Biak pada saat orang asli Papua menggelar
aksi doa untuk kemerdekaan pada 1998. Juga
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 40 NO 2 2019
103
pembunuhan terhadap Thomas Theys Eluay
pada 2001 dan Kelly Kwalik pada 2009, serta
dua pendeta dari Gereja Kingmi di Puncak
Jaya pada 2010 (Catholic Justice Peace and
Comission, 2016). Dari sejumlah peristiwa
kekerasan pada periode 1998–2004, Komnas
HAM telah mengategorikan insiden Wasior
(2001) dan Wamena (2003) di Papua sebagai
kasus pelanggaran HAM berat (Pigai,
2014:29-30). Beberapa tindak kekerasan
pasca-2004 yang menyebabkan banyak
korban orang Papua terjadi ketika aparat
keamanan membubarkan aksi damai di
Universitas Cenderawasih (Uncen) pada 2006
dan Kongres Rakyat Papua III pada Agustus
2011.
Kekerasan terhadap orang dari luar
Papua sempat meluas pada 2012.
International Crisis Group (2012:3)
melaporkan kekerasan semakin meningkat
ketika elemen radikal Gerakan Papua
Merdeka mendapat dukungan dari berbagai
kelompok dan tekad Jakarta menindak
gerakan separatis semakin keras. Kepolisian
menuduh KNPB terlibat dalam tujuh insiden
penembakan terhadap warga non-Papua dari
29 Mei sampai 14 Juni 2012. Tuduhan
tersebut menjadi alasan bagi kepolisian untuk
melakukan persekusi terhadap pimpinan
pengurus KNPB, termasuk menembak mati
salah satu ketuanya, Mako Tabuni.
Penembakan terhadap tokoh ini telah
menurunkan kredibilitas kepolisian di mata
orang Papua.
Jika kita telusuri lebih jauh lagi,
sebelum 1998 berbagai peristiwa kekerasan
oleh aparat keamanan Indonesia terhadap
orang Papua tidak pernah berhenti. Catholic
Justice and Peace Comission (2016)
melaporkan adanya tiga bulan pengeboman di
sejumlah wilayah di Pegunungan Tengah
dengan Pesawat OV-10 Bronco pada 1977
yang diperkirakan menyebabkan 25.000
korban jiwa. Juga termasuk pembunuhan
terhadap para aktivis Papua, seperti Arnold
Up pada 1982, dan penahanan terhadap
Thomas Wanggai pada 1996. Dari sejumlah
peristiwa tersebut, yang menarik perhatian
internasional adalah penyanderaan tim
ekspedisi Lorentz. Pada 1996, sekelompok
pasukan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di
bawah pimpinan Kelly Kwalik dan Daniel
Kogoya melakukan penyanderaan terhadap
tim ekspedisi tersebut di Mpenduma,
Pegunungan Tengah. Mereka yang disandera
terdiri atas 24 warga sipil, termasuk 13
ilmuwan Inggris, Belanda, Jerman dan
Indonesia anggota Tim Lorentz 1995. Pada 8
Januari–15 Mei 1996, mereka sedang
melakukan penelitian di Taman Nasional
Lorentz (ELS-HAM, 1999). OPM meminta
perhatian dunia internasional bahwa
Indonesia memanipulasi Perjanjian New York
1962 untuk menguasai Irian Jaya serta
menuntut demiliterisasi, penghentian
transmigrasi, dan penghentian perusakan
lingkungan oleh Freeport. Panglima OPM
Matias Tabuni mengirimkan surat kepada
Kelly pada 9 April 1996 yang memerintahkan
agar Kelly sebagai Panglima Komando
Daerah Militer III (Fak-fak) dan Daniel
Kogoya sebagai Komandan Operasi diminta
tidak membebaskan para sandera hingga
pihak Indonesia bersedia berunding dengan
OPM. Namun, TNI di bawah Brigjend
Prabowo Subianto menolak tuntutan tersebut
dan membebaskan para sandera melalui
operasi militer pada 15 Mei 1996. Pasca-
penyanderaan, TNI melakukan penyisiran
antara 9–15 Mei 1996 yang menyebabkan
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 40 NO 2 2019
104
pemerkosaan, pengungsian, penembakan
terhadap penduduk, dan pembakaran gereja
(Pigay, 2000).
Hasil-Hasil Studi Tentang Konflik Papua
Danilyn Rutherford memfokuskan tulisannya
pada pendefinisian relasi antara Indonesia dan
Papua dan menyarankan perlawanan terhadap
kekuasaan yang dominan. Rutherford (2012),
dalam disertasinya ‘Laughing at Leviathan:
Sovereignty and Audience in West Papua,’
menggunakan metafora ‘seekor gajah liar’
untuk menunjukkan perlunya meneorisasikan
peran audiens yang berbeda-beda dalam
pertunjukan kedaulatan Indonesia di tanah
Papua. Buku ini didasarkan atas data sejarah
untuk menguji bagaimana kekuatan ‘audiens’
membentuk upaya-upaya kontemporer orang
Papua dalam mencapai kedaulatan dari situasi
yang terjajah. Menurutnya, tantangan
perdamaian di Papua terletak pada relasi
kekuasaan asimetris antara Indonesia dan
Papua. Dia mengeksplorasi motivasi aktor-
aktor dan audiens yang terlibat, memperluas
analisisnya ke dalam kontradiksi antara
diskursus nasionalisme Indonesia dan orang
Papua.1
Untuk menjelaskan konsep
‘kedaulatan,’ Rutherford mendiskusikan
karya Benjamin, Schmidt, Faoucault, dan
1 Jaarsma (2013:698-700) mengulas buku Rutherford, menunjukkan bahwa Pemerintah Kolonial Belanda pada abad ke-
20 berusaha membentuk Papua sebagai daerah koloni yang ideal. Daerah ini menjadi solusi yang jelas dari masalah
pemerintahan kolonial terkait perubahan demografi di Hindia-Belanda. Akhir abad ke-20, migrasi di Hindia Belanda
menjadi sesuatu yang umum dan elite Indonesia terdidik menuntut posisi dalam masyarakat setempat. Sebagai
akibatnya, ras kulit putih dan ras campuran yang kurang beruntung menjadi termarginalkan. Rutherford mengeksplorasi
motivasi Belanda mengapitalkan Papua sebagai sebuah solusi dari persoalan ini, sebagai daerah koloni tempat
menampung penduduk ras campuran atau ras kulit putih yang termarginalkan. 2 Rutherford berpendapat bahwa legitimasi kedaulatan mengandaikan audiensi semacam itu dan hak menyaksikan ini
tidak pernah sepenuhnya dapat dikendalikan oleh penguasa. Dengan perspektif Agamben, dia mengatakan bahwa orang
Papua dalam Indonesia dapat diimajinasikan sebagai homo sacer, orang yang dikecualikan dari sistem politik dan hak-
haknya dicabut dalam keseluruhan agama sipil.
Agamben. Merujuk pada pemikiran para
filosof tersebut, ia sampai pada kesimpulan
adanya paradoks dalam membuat klaim
tentang kedaulatan. Logika yang dibangun
ialah kedaulatan menuntut orang lain agar
mengakui otonomi seseorang, namun orang
tersebut bergantung pada pihak yang
memberikan pengakuan ini. Oleh karena itu,
otonomi penuh tidak pernah ada. Dalam
praktiknya, otonomi harus diwujudkan
melalui kehadiran berbagai audiens. Terlebih,
merujuk pada pemikiran Austin, ia
mengatakan bahwa pernyataan tentang
kedaulatan hanya akan bermakna jika
diterima oleh publik yang sesuai (Gibson,
2014:781).
Rutherford menunjukkan bahwa
Papua berperan sebagai wilayah yang
posisinya marginal dan ditentukan oleh pihak
lain yang berdaulat, seperti Kesultanan
Tidore, Belanda, dan sekarang Indonesia.
Rutherford menunjukkan bukan hanya
bagaimana proyek-proyek kekuasaan tersebut
diimajinasikan dan dilaksanakan, tetapi dalam
situasi tertentu, proyek-proyek ini diproduksi
dan dibatasi oleh titik-titik perpisahan,
ketidakpastian, dan ketidaksesuaian
(Errington, 2012). Konsekuensi politik
muncul ketika orang-orang Papua terlibat
sebagai ‘audiens’ yang merealisasikan
simbol-simbol budayanya.2 Nerenberg
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 40 NO 2 2019
105
(2013:471) mengatakan bahwa Rutherford
melihat upaya yang tidak kenal lelah dari
penguasa Indonesia untuk terus-menerus
memperbarui kerja-kerja supremasi
kekuasaan. Berdasarkan pengamatannya
terhadap Peristiwa Biak Berdarah 1998, dia
menyimpulkan bahwa pertunjukan kekuasaan
sering kali gagal dan mendapat tantangan dari
dunia internasional, bahkan pada saat yang
sama menyebarkan gagasan Papua merdeka
secara lebih luas.
Berbeda dengan Rutherford yang
membicarakan asimetri relasi kekuasaan,
Kirksey (2012) menekankan perlunya
kolaborasi antara Papua dan Indonesia.
Analisis Kirksey mengeksplorasi dinamika
internal OPM, mengacu pada keterlibatannya
dengan OPM selama periode 1994–2003.
Kirksey mengembangkan tesis yang menarik
tentang ‘kolaborasi sebagai alternatif untuk
perlawanan’ (hlm. 1). Gagasan ini menyerang
jantung gerakan perlawanan Papua, yang
cenderung melihat keterlibatan dengan
otoritas kekuasaan Indonesia sebagai dosa
besar—kolaborasi disamakan dengan
pengkhianatan. Strategi yang diusulkan
Kirskey didasarkan atas simpati mendalam
bagi pejuang kemerdekaan Papua selama
penelitiannya di lapangan.3 Kirksey
berpandangan bahwa para pejuang tersebut
terjerat dalam tiga dunia sosial yang berbeda:
gerakan reformasi, aparat keamanan
Indonesia, dan pasar global (hlm. 90).
3 Kirksey (2012:48–49) menunjukkan argumennya, dimulai dengan menceritakan pembantaian terhadap para
demonstran di Biak pada 1998. Meskipun aksi tersebut dilaksanakan secara damai, aparat keamanan menembak mati
29 orang dan menangkap 139 orang. Menurut Kirksey, tindakan kekerasan ini tidak menghalangi gerakan politik Papua
merdeka. Gerakan ini menyebar lebih jauh di bawah tanah setelah peristiwa tersebut dan mengambil struktur ‘rimpang’
Deleuze dan Guattari, sebuah tanaman yang menyebar secara lateral di lapisan atas tanah dan mengirimkan akar.
Struktur 'perlawanan rhizoma’ ini diterapkan oleh Kirksey (2012:51) karena kemampuannya untuk bertahan hidup dan
masih dapat tumbuh kembali di titik-titik baru. 4 Narenberg (2013:489) menyebutkan bahwa dalam mendokumentasikan berbagai bentuk perlawanan dan kolaborasi,
Kiksey menggunakan berbagai pemikiran teoretis dari Derrida, Chaterjee, Deleuze, dan Guattari.
Terinspirasi Deleuze dan Guattari,
Kirksey menggunakan metafora rizhoma
pohon beringin atau rimpang banyan (hlm.
57) untuk menggambarkan strategi
kolaborasi.4 Rizhoma tumbuh secara
horizontal, mendorong setiap penghalang dan
mempertahankan kelangsungan hidup
tanaman. Seperti rimpang banyan, Kirksey
berpendapat, kolaborasi bisa menjadi
alternatif yang layak untuk bertahan hidup
dan memengaruhi komunitas internasional.
Metafora ini bertujuan untuk menggambarkan
situasi yang dapat mentransformasikan
ketidakberdayaan orang Papua ke dalam
struktur kekuasaan Indonesia tanpa
meninggalkan aspirasi merdeka. Menurut
Kirksey (2002:79), perjuangan orang Papua
dapat tetap berlanjut dengan menegosiasikan
antara taktik pragmatis dalam keterbelitan dan
spirit mesianistik untuk merdeka.
Kembali ke metafora pohon beringin,
di bawah cabang-cabang yang saling
bertautan, terbentuk struktur dari perpaduan
akar udara dan kehidupan tanaman lainnya.
Sama halnya di Papua, para pemimpin lokal
tidak dikerdilkan oleh beringin. Sebaliknya,
mereka menemukan kemungkinan di dalam
strukturnya. Para aktivis ini, ‘mulai merusak,
memanjat, menyesuaikan, dan mereplikasi
arsitektur dominasi.’ Mereka tidak
mengambil nutrisi dari inang, tetapi hanya
menggunakannya untuk dukungan arsitektur.
Demikian juga dalam narasi Gerakan Papua
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 40 NO 2 2019
106
Merdeka, sulit untuk mengatakan apakah
pemerintah Indonesia mengooptasi gerakan
merdeka atau apakah gerakan merdeka
mengeksploitasi pemerintah. Papua adalah
entitas kecil di bawah tekanan negara-bangsa
yang lebih besar dan modal global, tetapi
dalam keterjeratan, orang Papua tidak pernah
menyerah pada kekuatan superior ini
(Thomposon, 2012).
Campbell (2013: 88-89), berdasarkan
temuan Kirksey, mengatakan bahwa
kolaborasi dapat menjadi strategi gerakan
kemerdekaan Papua. Ketika kolaborasi
digabungkan dengan imajinasi, maka orang-
orang dapat ‘mengaktualisasikan kebebasan
terbatas’ yang tampaknya tidak mungkin
dalam situasi tanpa kebebasan (Kirksey,
2012:14–15). Kolaborasi, kompromi, dan
aliansi dengan musuh adalah pilihan strategi
untuk aktivis kemerdekaan yang sedang
menghadapi ‘dunia terjerat’ di bawah militer
Indonesia, perusahaan multinasional, dan
relasi kekuasaan yang tidak setara dari sistem
dunia. Kirksey berpendapat bahwa negosiasi
dalam keterikatan semacam itu memperbesar
kemungkinan untuk kebebasan, tetapi
membutuhkan harapan yang luas dan ‘mimpi
bersama.’
Karya ilmiah lainnya ditulis oleh
Hernawan (2013), seorang peneliti Fransiscan
International yang bekerja di Tanah Papua. Ia
menulis disertasinya di Australia National
University: ‘From the Theatre of Torture to
the Theatre of Peace: The Politics of Torture
5 Hernawan menjelaskan apa yang disebut sebagai data set penyiksaan. Dengan mengombinasikan data dan teori, dia
menyatakan bahwa penyiksaan di Papua menyerupai sebuah teater, sesuatu yang dipertontonkan di depan publik yang
bertujuan tidak hanya menghukum, tetapi menunjukkan kekuasaan negara kepada audiens yang lebih luas. Ketika terjadi
di Papua, Jakarta dengan tegas menolak mempertimbangkan sesuatu yang dapat menentang kedaulatan negara.
Hernawan menjelaskan arogansi penguasa Indonesia dengan merujuk pada konstruksi kolonial dan poskolonial Papua,
sebagai sesuatu yang dibuang dan di luar batas-batas norma. Ketika berhadapan dengan orang Papua, para pejabat
Indonesia dan aparat keamanannya tidak dibatasi oleh legalitas. Bahkan, kekerasan di luar hukum merupakan prosedur
operasi standar dari TNI dan kepolisian.
and Re-imagining Peacebuilding in Papua.’
Ia menggunakan konsep Foucault mengenai
penyiksaan simbolik sebagai alat untuk
mengomunikasikan kekuasaan melalui tubuh
seseorang yang dihukum. Penyiksaan bukan
saja teknik untuk memunculkan rasa sakit,
tetapi modus pengelolaan yang terdiri dari
teknologi dan strategi kekuasaan dengan
menggunakan tubuh manusia (Hernawan,
2013:70). Selain itu, Hernawan menggunakan
teori Kristeva mengenai ‘abjeksi’ (abjection).
Kata ini berarti pengucilan, pengusiran, atau
pembuangan, sebuah konsep dalam
psikoanalisis. Abjek tidak sepenuhnya dapat
dikendalikan dan tidak memiliki kekuasaan.
Penggunaan siksaan didesain untuk
membuang orang Papua dari pola pikir negara
Indonesia dan memperlakukan mereka
sebagai orang asing. Namun, represi tidak
sepenuhnya berhasil mendiamkan orang
Papua, dan malah memantik perlawanan
terhadap Indonesia dalam bentuk pergerakan
(Hernawan, 2013:75-76).
Hernawan (2013) mengatakan bahwa
negara mengomunikasikan kedaulatannya
melalui penderitaan publik atas rasa sakit fisik
pada individu.5 Menurutnya, terdapat
beberapa elemen utama yang memelihara
modus pengelolaan kekerasan di Tanah
Papua. Pertama, tulisan dari para korban
langsung maupun tidak langsung yang
selamat serta pendamping korban
menunjukkan intensitas bekerjanya memoria
passionis. Narasi yang muncul dari kalangan
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 40 NO 2 2019
107
korban adalah narasi penderitaan. Kedua, para
pelaku kekerasan mendasarkan tindakannya
pada sanksi negara yang brutal terhadap orang
Papua. Narasi proseduralisme, habitus,
penyangkalan, dan kepuasan telah menjadi
rasionalitas siksaan yang direpresentasikan
pada tingkat individu. Rasionalitas ini
membentuk unsur-unsur integral dari narasi
dominasi yang lebih luas. Dinamika dari
narasi penderitaan dan dominasi membuat
relasi kekuasaan yang asimetris antara
Indonesia dan Papua.
Hernawan (2013: 246) memajukan
model transformasi dari teater penyiksaan
menuju teater perdamaian. Memoria passionis
menjadi basis transformasi ini, di samping
pembentukan komisi rekonsiliasi dan
kebenaran untuk menggabungkan dan
menuliskan sejarah penderitaan orang Papua.
Memoria passionis telah menjadi akar dan
petunjuk bagi pembangunan perdamaian,
yang dapat mengubah narasi dominasi
menjadi narasi memberontak, dari narasi
penderitaan menjadi narasi penyembuhan,
serta dari narasi menyaksikan menjadi narasi
solidaritas. Implikasi praktis dari studi ini
adalah perlunya peningkatan upaya-upaya
rekonsiliasi dari kasus-kasus pelanggaran
HAM pada masa lalu maupun sekarang.
Persoalan utama dari konflik Papua adalah
kekerasan politik yang dilakukan oleh negara,
dengan didasari oleh kebijakan teror terhadap
orang Papua sebagai suatu pertunjukan
kekuasaan.
Adapun penelitian oleh sarjana Papua
dilakukan oleh Ondawame (2000), seorang
intelektual sekaligus aktivis OPM dan
pimpinan West Papua National Coalition for
6 Ondawame (2000) menyarankan pemerintah Indonesia melakukan reformasi di Tanah Papua. Misalnya melaksanakan
demiliterisasi, melakukan pengurangan jumlah migrasi, mendorong pembangunan budaya Papua, tradisi, dan cara hidup
Liberation (WPNCL). Dia menulis disertasi
di Australia National University: ‘West Papua
Nationalism and the Organisasi Papua
Merdeka.’ Ondawame (2000:373)
menunjukkan bahwa OPM telah gagal untuk
mencapai tujuannya. Ketidakmampuan untuk
mengembangkan strategi-strategi produktif
serta memperkuat organisasi dan
kepemimpinannya telah mengurangi
efektivitas organisasi tersebut. Kelemahan ini
telah dieksploitasi oleh pemerintah melalui
berbagai operasi militer dan adu domba. Pada
sisi lain, reaksi melawan Indonesia menjadi
semakin besar. Militerisasi, eksploitasi
sumber daya alam, tingginya imigrasi, dan
kebijakan menghapus kebudayaan Papua,
telah menciptakan persoalan politik, ekonomi,
dan budaya yang serius dan memberikan
bahan bakar bagi nasionalisme Papua.
Pada bagian lain, Ondawame
(2000:375) mengemukakan bahwa konflik
Papua menjadi berkepanjangan karena tidak
adanya kehendak politik untuk mencapai
suatu konsensus. Selain itu, juga tidak ada
dukungan internasional untuk memediasi
konflik, sehingga tidak ada solusi yang cepat
untuk menyelesaikan konflik Papua. OPM
harus menunjukkan komitmennya pada
negosiasi untuk menghindari perang dengan
menekankan pada isu-isu pembangunan,
HAM, hak atas tanah, hak orang asli,
militerisasi, imigrasi, dan lingkungan.
Komitmen untuk menyelesaikan konflik
politik secara damai yang disarankan oleh
Ondawame dapat bermula dari persetujuan
terhadap otonomi khusus, sistem federal atau
asosiasi bebas antara Indonesia dan Papua.6
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 40 NO 2 2019
108
Namun persoalannya, OPM sebelum
2000 masih memiliki banyak kelemahan.
Misalnya, meskipun nasionalisme Papua tidak
akan memudar, namun kekuatan politik OPM
akan menurun jika hubungan antara Indonesia
dan Papua semakin longgar. Disertasi
Ondawame (2000:378) menyebutkan kurang
seriusnya tradisi berorganisasi di Papua. OPM
dan orang Papua pada umumnya mengambil
inspirasi dari mentalitas kultus kargoisme,
yakni memercayai bahwa kemerdekaan Papua
merupakan berkah yang turun dari langit.
Kurangnya komitmen personal dan visi
politik telah berdampak pada pengembangan
OPM sebagai gerakan pembebasan utama di
Papua. Empat belas tahun setelah disertasi ini
ditulis, konsolidasi gerakan politik Papua
merdeka baru berhasil dengan terbentuknya
the United Liberation Movement for West
Papua (ULMWP).
Penelitian lainnya dilakukan oleh
Anderson (2015), diterbitkan oleh East West
Center, Hawaii University, untuk
memberikan perspektif yang berbeda dari
studi-studi sebelumnya. Kebanyakan studi
mengenai konflik Papua selama ini melihat
penyebab ketidak-amanan (insecurity) di
Tanah Papua sebagai persoalan orang Papua
yang terancam oleh kehadiran negara
(Brundige et al., 2004; Elmslie, 2003; Webb-
Ganon, 2013; King, 2004). Anderson (2015)
berargumen, meskipun represi militer dan
perlawanan orang Papua adalah faktor utama
ketidak-amanan, tetapi situasi tersebut
hanyalah bagian kecil cerita. Pada realitasnya
yang terjadi adalah vigilantisme, konflik
antarklan, dan berbagai bentuk kekerasan
seperti mengadopsi nama-nama Papua, mengakui hak-hak orang asli Papua dan juga tanah komunal, serta menawarkan
kompensasi terhadap peristiwa-peristiwa pada masa lalu. Indonesia harus membuka batas Papua New Guinea (PNG)
serta mengizinkan Belanda, Amerika Serikat, Australia, serta Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk membuka
konsulat di Papua..
horizontal lain yang menimbulkan banyak
korban.
Inti dari studi Anderson (2015:24)
adalah negara sebagai salah satu sumber
ketidak-amanan di Tanah Papua merupakan
implikasi dari kebijakan pengelolaan
keamanan dan industri ekstraktif. Keduanya
berdampingan dengan kebijakan pengelolaan
kesehatan, pendidikan, pembangunan,
migrasi, dan sektor-sektor lain yang tidak
koheren. Pendekatan keamanan yang
konsisten dan kerangka kerja pembangunan
manusia yang tidak koheren telah berdampak
negatif terhadap orang asli Papua. Dalam
realitasnya, kebijakan otonomi khusus (Otsus)
berhasil mengooptasi elite-elite Papua, namun
gagal meningkatkan perlindungan hak-hak
dasar orang asli Papua. Sebagai buktinya,
Pemerintah telah mengeluarkan Inpres No. 1
Tahun 2007 tentang Percepatan
Pembangunan di Provinsi Papua dan Papua
Barat.
Ketika elemen pemerintahan sipil di
Papua tidak hadir, elemen keamanan
pemerintah terus-menerus memunculkan
ketidak-amanan dengan melaksanakan
aktivitas pencarian rente. Anderson
menyebutkan bahwa kehadiran sekitar 14.000
TNI dan 14.000 polisi di Tanah Papua jarang
ditemukan di daerah yang tidak memiliki
sumber daya alam. Selain itu, beberapa kasus
kekerasan terhadap orang Papua yang
melibatkan aparat keamanan Indonesia
umumnya berakhir pada impunitas para
pelaku. Militer dan kepolisian lebih banyak
memproduksi dan mereproduksi wacana
separatisme sebagai ancaman yang berbahaya
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 40 NO 2 2019
109
dan membangun mitologi bahwa kehadiran
militer di Papua bertujuan untuk
menghancurkan gerakan separatis.
Sumber ketidak-amanan lainnya yang
tidak kalah penting adalah persoalan konflik
antarklan pada saat pemekaran wilayah atau
pemilihan kepala daerah, juga migrasi
penduduk dari luar Papua ke Tanah Papua
yang berlangsung secara masif sejak Orde
Baru (Anderson, 2015:38–39). Mereka
menguasai perekonomian sektor menengah ke
bawah sehingga menjadi saingan bagi
ekonomi orang Papua. Meskipun Pemerintah
Daerah Papua sudah mengeluarkan Perdasus
No. 11 Tahun 2013 yang membatasi
pendatang dari luar Papua, namun belum
diimplementasikan.7
Terakhir, sumber ketidak-amanan
dalam kehidupan sehari-hari adalah
pelayanan kesehatan dan pendidikan yang
sebagian besar berpusat di kota-kota atau
permukiman yang didominasi oleh pendatang.
Misalnya, di pedalaman banyak perempuan
hamil yang meninggal dunia karena layanan
kesehatan yang tidak layak (Anderson,
2015:40). Fakta-fakta di atas menunjukkan
kehadiran negara di Tanah Papua, terutama
dalam memberikan perlindungan dan
pelayanan publik, tidaklah cukup dan
bukannya terlalu banyak. Korban meninggal
justru lebih banyak jatuh karena
ketidakhadiran negara daripada korban
konflik vertikal (Anderson, 2015:18).
Dalam bagian penutup, Anderson
(2015, 46–47) mengatakan bahwa pedalaman
Papua berbeda dengan daerah lainnya di Asia
7 Sensus Penduduk 2010 menunjukkan bahwa Papua dihuni oleh 2,8 juta dan Papua Barat 760 ribu jiwa. Jumlah
pendatang diperkirakan mencapai 47,7% di Papua Barat dan 23,8% di Papua, pada umumnya mendiami kawasan
perkotaan. Pendatang di kedua daerah ini sering kali diasosiasikan dengan Muslim Jawa. Namun dalam realitasnya,
juga mencakup orang Ambon, Bugis, Buton, Minahasa, Makasar, Minangkabau, dan lain-lain.
Tenggara karena tidak adanya pembangunan
secara masif. Orang Papua mendukung
gerakan kemerdekaan karena mereka tidak
melihat manfaat dari negara, merasa
dilupakan dan diperlakukan dengan buruk
pada saat yang sama. Mereka memilih
merdeka karena tidak ada alternatif lain untuk
memperbaiki kehidupannya. Di pedalaman,
pelayanan pendidikan dan kesehatan masih
kurang memadai, masyarakat asli hidup
secara subsisten, dan tidak ada aturan hukum
di daerah yang didominasi oleh penduduk
lokal yang masih memiliki tradisi melakukan
kekerasan. Adapun elite Papua terjebak dalam
tirani desentralisasi, pemekaran wilayah, dan
otonomi khusus. Sumber ketidak-amanan
sebagian besar berasal dari tidak berfungsinya
aparat keamanan dalam melayani masyarakat.
Studi lainnya dilakukan oleh
Viartasiwi (2018) yang menulis disertasi di
Kyoto University: ‘Beyond Separatist
Conflict: Political Economy of Violence in
West Papua.’ Penelitiannya berupaya
melakukan dekonstruksi atas narasi arus
utama konflik Papua dengan memahami
berbagai jenis konflik yang muncul di daerah
ini. Ia berargumen, narasi arus utama, yakni
Papua sebagai daerah konflik, telah
menguntungkan banyak orang yang terlibat
dalam konflik tersebut. Menurutnya, gerakan
separatisme Papua merupakan refleksi
pemerintah dalam melihat konflik Papua dan
represi terhadap orang Papua. Persepsi ini
telah membangun interpretasi yang kuat
tentang konflik Papua secara domestik
maupun internasional. Gagasan bahwa
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 40 NO 2 2019
110
konflik Papua merupakan akibat dari gerakan
separatis telah diarus-utamakan, dan bahkan
telah menjadi ‘hegemonik’ dalam
menjelaskan sifat konflik di daerah tersebut.
Viartasiwi (2018:220) mengatakan bahwa
masyarakat asli Papua merupakan masyarakat
yang ‘terpecah’ dengan ‘kecenderungan
melakukan tindakan kekerasan.’ Semakin
meningkatnya jumlah pendatang, hilangnya
tanah suku karena kemiskinan, manipulasi
praktik budaya, serta kontestasi kelompok
agama telah menjadi penyebab ketegangan
dan konflik. Dalam politik sehari-hari, elite
memanipulasi etnis dan praktik adat, serta
fanatisme agama untuk meningkatkan
kekuasaan mereka. Akibatnya, setiap
ketegangan di Papua dapat dengan mudah
meningkat menjadi konflik komunal.
Konflik telah secara ekonomi dan
politik memberdayakan aktor-aktor tertentu
dengan memberikan penyamaran sempurna
untuk praktik-praktik penyelenggaraan
pemerintahan yang ‘keliru’ (Viartasiwi,
2018:222). Konflik di Papua bertahan tidak
hanya karena sulitnya menemukan solusi,
tetapi juga karena elite pemangsa telah
mengambil keuntungan dari status quo.
Konflik telah menciptakan peluang bagi
mereka yang memiliki akses, seperti
pemimpin tradisional, pejabat pemerintah,
tentara, polisi, politisi lokal, milisi, dan geng
setempat. Jaringan para aktor ini
membutuhkan konflik dan kekerasan untuk
membangun ‘industri konflik.’ Untuk
menyelesaikan konflik ini, pemerintah
melakukan pendekatan keamanan dan
pembangunan, yang dibungkus dengan slogan
8 Hasil penelitian ini telah didiskusikan secara luas dan dibahas dalam studi-studi tentang Papua, misalnya dalam ICG
(2010; 2012), King, Elmslie, & Webb-Gannon (2011), Barber & Moiwend (2011), Macleod (2011), Drooglever (2010),
dan Anderson (2015).
‘damai untuk kesejahteraan;” namun dalam
realitasnya, yang hadir justru ‘konflik menuju
kesejahteraan’ (Viartasiwi, 2018).
Pembangunan dalam arti pemberdayaan
ekonomi perlu ditinjau kembali karena,
sebagaimana disampaikan oleh Anderson
(1999), ada kemungkinan pembangunan
ekonomi dan bantuan menjadi penyebab
konflik.
Terakhir, Tim Kajian Papua - LIPI
(Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia),
Widjojo dkk. (2008), telah menerbitkan
Papua Road Map.8 Widjojo dkk. (2018)
menyimpulkan bahwa sumber konflik Papua
dapat dikategorikan menjadi empat masalah
utama. Pertama, marginalisasi dan
diskriminasi yang dirasakan oleh orang Papua
sebagai konsekuensi dari pembangunan
ekonomi, kebijakan asimilasi, dan
transmigrasi sejak 1970. Untuk menjawab
masalah ini, kebijakan-kebijakan afirmatif
yang disebut dengan rekognisi perlu
dikembangkan. Kedua, kegagalan
pembangunan yang disebabkan oleh
kebijakan pembangunan yang tidak
didasarkan pada perlindungan hak-hak dasar
orang Papua dan sekaligus kegagalan otonomi
khusus. Untuk itu, diperlukan paradigma baru
pembangunan Papua. Ketiga, kontradiksi
dalam pemahaman sejarah integrasi dan
konstruksi identitas politik antara Papua dan
Jakarta. Berkaitan dengan masalah ini, Tim
LIPI melihat dialog sebagai kemungkinan
yang perlu ditindaklanjuti. Keempat,
pengalaman sejarah panjang kekerasan politik
di Papua. Dalam hal ini, jalan tengah antara
pengadilan HAM dan rekonsiliasi merupakan
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 40 NO 2 2019
111
pilihan-pilihan yang mungkin bisa
menebarkan perasaan keadilan.
Tujuh tahun setelah publikasi buku
Papua Road Map, Tim LIPI kembali
melakukan penelitian lapangan dan hasilnya
dipublikasikan pada 2016, dengan judul
Updating Papua Road Map. Buku ini
memperbarui temuan-temuan lapangan
sebelumnya dan berfokus pada pemetaan
aktor dalam konflik di Papua, gerakan
pemuda dan diaspora Papua di luar negeri,
serta dialog sebagai pendekatan perdamaian
untuk Papua. Dari segi persoalan yang
dikonflikkan, empat akar masalah yang telah
dianalisis dalam Papua Road Map masih
cukup relevan dengan situasi sosial di Tanah
Papua pada masa kini. Hasil penelitian tim
tersebut menunjukkan tidak ada perubahan
yang signifikan dari kebijakan dan
implementasi pembangunan perdamaian yang
dilaksanakan pemerintah. Selain itu, juga
tidak ada kemajuan dalam perbaikan kondisi
HAM dan kesejahteraan orang Papua maupun
rekonsiliasi damai antara pemerintah dengan
rakyat Papua.
Diskusi Atas Narasi Konflik Papua
Berdasarkan paparan di muka, kita dapat
menyarikan temuan-temuan utama dari
berbagai penelitian tentang konflik Papua
yang telah dibahas, sebagai berikut:
Tabel 1. Ringkasan Hasil Penelitian Konflik Papua Pasca-1998
No. Penelitian Kerangka konsep Temuan utama
1. Rutherford Benjamin, Schmidt,
Foucault, Agamben,
Austin (sovereignty,
governmentality,
audience)
Penguasa Indonesia selalu melakukan pertunjukan untuk
memperoleh pengakuan akan kedaulatannya dari orang Papua
yang dijajah.
2. Kirksey Derrida, Chaterjee,
Deleuze dan
Guatarri
(rhyzomatic society)
Perkembangan orang Papua yang terglobalkan, menyerupai
rhizomatik, membuat mereka harus berkolaborasi dengan
pemerintah Indonesia dan kekuatan global untuk perdamaian.
3. Hernawan Schimidt, Kristeva,
Foucault (power,
abject)
Penyiksaan merupakan metode untuk mempertahankan
kekuasaan Indonesia di Tanah Papua. Perlunya transformasi
dari teater penyiksaan ke teater perdamaian berdasarkan narasi
memoria passionis.
4. Ondawame Transformasi
gerakan politik
Kegagalan OPM sebelum 2000 yakni kemampuan organisasi
yang lemah. Dialog Jakarta dan Papua merupakan
penyelesaian untuk mengakhiri konflik dengan kesepakatan
terhadap bentuk integrasi Papua.
5. Anderson Insecurity, conflict,
and development
Ketidak-amanan di Tanah Papua disebabkan oleh
ketidakhadiran negara dalam bentuk pelayanan publik
(pendidikan dan kesehatan) dan tidak adanya aturan hukum.
6. Viartasiwi Typology of conflict,
horizontal conflict,
predator elites
Konflik di Tanah Papua tidak hanya vertikal, namun juga
horizontal. Konflik berlanjut karena narasi utama separatisme
serta adanya industri konflik.
7. Widjojo
dkk.
Identitas politik,
rekognisi, dan
dialog.
Empat akar persoalan mendasar: identitas politik, kekerasan,
marginalisasi orang asli Papua, dan kegagalan pembangunan
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 40 NO 2 2019
112
Penelitian Rutherford (2012), Kirksey (2012),
dan Hernawan (2013) menarasikan situasi
konflik Papua yang cukup rumit. Ketiganya
menggunakan konsep-konsep yang sering
digunakan dalam tradisi ilmu sosial
postmodern, seperti audiens (audience),
pengelolaan (govermentality), abjek (abject),
rimpang (rhizome), dan keterjeratan
(entanglement). Dalam pendekatan
Rutherford, orang Papua lebih banyak
didefinisikan dari posisinya sebagai korban
kolonialisasi. Pihak kolonial selalu saja
menggelar pertunjukan kedaulatan untuk
mendapatkan pengakuan dari subjek yang
dijajah. Implikasi dari studi ini adalah orang
Papua harus memiliki kapabilitas dan daya
juang agar mampu melawan pertunjukan
kedaulatan Indonesia. Namun, persoalannya,
merujuk pada Anderson (2015) dan
Viartasiwi (2018), orang asli Papua secara
politik tidak bersifat tunggal dan
terfragmentasi berdasarkan agama, etnisitas,
dan kepentingan politiknya, sehingga
pertunjukan kekuasaan tidak hanya bersifat
vertikal tetapi juga horizontal.
Berbeda dengan Rutherford (2012),
Kirksey (2012) mengusulkan gagasan agar
para aktivis gerakan Papua merdeka
melakukan kolaborasi dengan pihak
Indonesia dan kekuatan global untuk
mencapai tujuan-tujuan perjuangan. Seperti
sebuah rhizoma, ia akan tumbuh dan
berkembang jika dapat membelitkan dirinya
pada pohon induknya. Namun persoalannya,
Kirksey tidak mengeksplorasi strategi
kolaborasi seperti apa yang efektif untuk
mencapai kebebasan orang Papua. Berbeda
dengan Kirksey, Hernawan (2013)
mengajukan gagasan transformasi dari teater
penyiksaan ke teater perdamaian atas dasar
narasi memoria passionis yang menjadi
panduan bagi rekonsiliasi. Namun,
persoalannya, sekarang ini pemerintah masih
didominasi elite-elite politik konservatif yang
tidak mendorong rekonsiliasi dan
mendengarkan narasi penderitaan korban
kekerasan politik Papua.
Studi Ondawame (2000), walaupun
lebih memfokuskan pada analisis tentang
kegagalan OPM sebelum 2000, mengajukan
usulan agar baik Jakarta maupun Papua
memiliki komitmen untuk mewujudkan
perdamaian. Langkah yang terbaik adalah
memulai suatu dialog untuk menentukan
bentuk-bentuk asosiasi yang disepakati
bersama. Menurutnya, gerakan politik Papua
merdeka akan hilang jika Indonesia benar-
benar mengakui identitas orang Papua dan
melindungi hak-hak dasarnya. Proses
perdamaian yang lahir dari kajian Hernawan
(2015) dan Ondawame (2000) memiliki titik
temu yang sama, yakni dialog untuk
rekonsiliasi dan untuk menyelesaikan
identitas politik orang Papua.
Dua studi lain, Anderson (2015) dan
Viartasiwi (2018), mengajukan perspektif
yang berbeda dalam melihat konflik Papua.
Anderson (2015) lebih melihat bahwa
persoalan utama dari ketidak-amanan di
Papua disebabkan oleh ketidakhadiran negara
dalam bentuk layanan publik, seperti
pendidikan dan kesehatan, serta tidak adanya
aturan hukum. Adapun Viartasiwi (2018)
memandang konflik di Papua tidak hanya
bersifat vertikal, namun lebih cenderung
horizontal. Konflik terus berlanjut karena
narasi utama yang dibangun pemerintah
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 40 NO 2 2019
113
adalah narasi separatisme serta adanya elite
predator yang terlibat dalam industri konflik.
Sebagai implikasi dari kedua kajian ini,
negara dituntut untuk hadir lebih banyak
dalam menjamin keamanan manusia (human
security), di antaranya dengan memberikan
layanan pendidikan, kesehatan, mendorong
perkembangan ekonomi lokal, serta
menegakkan aturan hukum. Kehadiran negara
akan memperbesar kemungkinan untuk
menekan industri konflik di daerah ini.
Keenam studi di atas sejalan dengan
temuan-temuan Papua Road Map (2008).
Dialog, rekonsiliasi, politik rekognisi, dan
pembangunan berbasis kultural merupakan
gagasan yang muncul dari kajian-kajian
konflik Papua. Namun selama ini, pemerintah
hanya mengambil satu aspek saja, yakni
rekognisi yang bersifat administratif, seperti
memberikan jabatan birokrasi pada orang
Papua dan memberikan beasiswa pendidikan
untuk orang asli Papua. Dengan mendasarkan
pada kajian-kajian di muka, pertanyaannya
kemudian ialah mengapa selama ini
pemerintah menolak dialog, rekonsiliasi, dan
politik rekognisi untuk melindungi identitas
politik Papua, menjamin pemenuhan hak-hak
dasar orang asli Papua, dan menghancurkan
industri konflik di daerah ini? Penulis melihat
kesenjangan antara hasil penelitian yang
dilakukan oleh para peneliti dengan kebijakan
yang diimplementasikan pemerintah untuk
mengatasi konflik Papua, termasuk Otsus
Papua, pemekaran, dan proyek infrastruktur.
Untuk mengetahui kesenjangan antara narasi
perdamaian dan kebijakan perdamaian
pemerintah, kita harus menelusuri secara
historis ideologi dan klaim pengetahuan
seperti apa yang mendasari kebijakan
Indonesia terhadap Papua.
Penulis akan mendiskusikan narasi
Papua dalam perspektif Indonesia yang
bermula dari sejarah pembentukan negara
Indonesia oleh BPUPKI pada 1945,
menjelang berakhirnya Perang Dunia Kedua.
Tiga tokoh pergerakan yang memiliki gagasan
tentang negara Indonesia adalah M. Yamin,
Soekarno, dan Muh. Hatta (Bahar, Sinaga, &
Kusuma, 1995). Dalam perdebatan di
BPUPKI, M. Yamin, Soekarno, dan Muzakir
berpandangan bahwa teritori Indonesia
mencakup semua bekas wilayah Hindia
Belanda dari Sabang sampai Merauke.
Adapun Mohammad Hatta menolak
pandangan ini dan mengusulkan agar
Indonesia hanya meliputi sukusuku ras
Melayu dengan mengecualikan Papua.
Sumber literatur lainnya, Soewarsono
(2013), menceritakan tiga pandangan politik
yang berbeda mengenai wilayah negara
Indonesia yang akan dibentuk. Pandangan
pertama, oleh Muhammad Yamin, menyebut
Sriwijaya dan Majapahit sebagai konteks
sejarah politik Indonesia. Oleh karena itu,
wilayah Indonesia harus merujuk pada
Nusantara yang dianggap pernah berada di
bawah imperium kedua kerajaan ini. Dalam
perspektif Yamin, negara Indonesia yang
akan dibentuk harus identik dengan
Nusantara, lebih besar dari Hindia Belanda.
Pandangan ini mendasarkan diri pada
pandangan bahwa Indonesia kultural (cultural
Indonesia) mencakup Filipina, Assam,
Burma, dan Formosa, sedangkan Indonesia
politik (political Indonesia) menyangkut
Hindia Belanda (Emmerson, 1984).
Pandangan kedua, oleh Soekarno,
menyebutkan bahwa Indonesia adalah seluruh
bekas Hindia Belanda. Adapun pandangan
ketiga, Hatta, mendasarkan pada perbedaan
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 40 NO 2 2019
114
ras untuk menentukan wilayah negara
Indonesia. Menurutnya, Indonesia yang
dicita-citakan hanyalah bekas wilayah Hindia
Belanda ‘van Sabang tot Ambon’ karena
Papua termasuk ke dalam ras Melanesia yang
berbeda dengan bangsa Indonesia lainnya.
Hatta menghendaki agar seluruh wilayah
Pulau Kalimantan menjadi bagian dari
Indonesia karena mereka memiliki persamaan
(Soewarsono 2007:76–77).
Perbedaan pandangan mengenai
wilayah negara tidak dapat diselesaikan
dengan mufakat, sehingga pemungutan suara
dilakukan. Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI
28 Mei–22 Agustus 1945 (Bahar, Sinaga, &
Kusuma 1992:60) menyebutkan bahwa terkait
dengan persoalan wilayah negara Indonesia
yang akan dibentuk, mayoritas (39 suara)
menyetujui gagasan Indonesia terdiri atas
bekas wilayah Hindia Belanda ditambah
Malaya, Kalimantan Utara, Papua, Timor
Portugis. Sebagian yang lain (19 suara)
menyepakati Indonesia adalah bekas wilayah
Hindia Belanda, dan lainnya (6 suara)
mendukung Indonesia adalah bekas Hindia
Belanda digabung dengan Malaysia dan
dikurangi Papua. Namun dalam sidang Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI),
usulan Soekarno diterima dalam sidang.
Pandangan bangsa menurut Soekarno sejalan
dengan konsepsi bangsa menurut Anderson
(1996), yakni komunitas politik terbayang di
mana setiap anggotanya memiliki perasaan
dan impian yang sama sebagai sebuah
komunitas yang disebut bangsa walaupun
mereka belum pernah bertemu dan mengenal
satu sama lain. Namun, ironisnya dalam
perdebatan ini, orang Papua tidak diwakili
dalam BPUPKI, sebagaimana orang Papua
juga tidak pernah diminta pendapatnya pada
waktu Belanda dan Inggris membagi tanah
mereka.
Tidak lama sejak kehadiran
pemerintah Indonesia pada 1962 di Papua,
kekerasan politik mulai muncul. Pada 1965
terjadi penyerangan terhadap asrama TNI di
Manokwari. Selama periode awal ini,
pertarungan antara Gerakan Papua Merdeka
dan TNI memuncak sekitar 1965–1969.
Kemudian, diikuti perlawanan bersenjata
Pegunungan Tengah pada kurun waktu 1977–
1978, dan pada 1984 dilanjutkan oleh
serangan Gerakan Papua Merdeka di
Jayapura. Jumlah korban dari rangkaian
peperangan itu, menurut nasionalis Papua dan
pengamat HAM, mencapai lebih dari 30.000
jiwa. Setelah aksi-aksi militer Indonesia pada
akhir 1983, setidaknya 11.000 orang Papua
mengungsi dan menyeberang ke Papua New
Guinea pada awal 1984. Pada kurun waktu
1993–1994 kekerasan politik dilakukan oleh
aparat TNI di sekitar wilayah suku Amungme
yang berada di kisaran Freeport. Pemerintah
telah melakukan sejumlah operasi militer di
Tanah Papua seperti Operasi Sadar (1965–
1967), Operasi Bharatayudha (1967–1969),
Operasi Wibawa (1969), operasi militer di
Jayawijaya (1977), Operasi Sapu Bersih
(1981), Operasi Galang (1982), Operasi
Tumpas (1983–1984), dan Operasi Sapu
Bersih II (Budiardjo & Liong 1988:77–92).
Tindakan intimidasi terhadap orang
asli Papua dalam Penentuan Pendapat Rakyat
(Pepera) sudah banyak diceritakan dalam
studi-studi mengenai Papua. Misalnya,
Saltford (2000: 87) menyebutkan pidato
Mayjend Ali Murtopo menjelang Pepera yang
mengatakan bahwa Indonesia hanya
menginginkan tanah Papua; kalau orang
Papua ingin membentuk negara sendiri, maka
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 40 NO 2 2019
115
mereka dapat meminta Amerika Serikat untuk
meminta sekeping tanah di bulan kepada
Amerika Serikat. Pandangan tersebut
menunjukkan bahwa kaum nasionalis
Indonesia tidak memiliki kepentingan
terhadap nasib orang Papua. Kepentingan
mereka lebih kepada tanah Papua beserta
segala kekayaan yang terkandung di atas dan
di bawahnya. Nasionalisme seperti inilah
yang dikembangkan pada masa Orde Baru
sampai sekarang, didukung oleh narasi
gerakan separatis sebagaimana telah
dijelaskan oleh Viartasiwi (2018).
Selain ideologi politik nasionalisme
Indonesia, akar kekerasan politik terhadap
orang Papua pada masa kini juga berasal dari
pengetahuan yang dikonstruksi oleh para
sarjana Barat pada masa kolonial. Kirksey
dalam esai yang ditulisnya pada 2014
menjelaskan strategi kolonial memperlakukan
orang Papua. Dalam esai tersebut diceritakan
seorang antropolog Rusia, Miklouho-Maclay,
melakukan ekspedisi ke Koiwai pada 1874.
Berdasarkan catatan Miklouho-Mclay (1982),
Greenop (1944), dan Oglobin (1997), Kirksey
(2002) menceritakan bahwa Miklouho-
Maclay berpandangan, untuk menyelamatkan
orang Papua dari dampak buruk penjajahan,
mereka harus hidup di sebuah wilayah yang
bebas dari kendali dan eksploitasi penjajah.
Masyarakat-masyarakat pribumi Papua yang
sederhana akan dirusak dan dihancurkan oleh
masyarakat Eropa yang lebih maju atau oleh
‘pengaruh yang mencemari’ dari peradaban
Indonesia. Kekerasan yang dilakukan orang
Koiwai bukanlah karena sifat inheren mereka
yang biadab, tetapi karena sejarah panjang
interaksi dengan pendatang dan kolonial
(Miklouho-Maclay, 1982:239).
Seorang antropolog Italia, Luigi Maria
D’Albertis, telah melakukan ekspedisi
menyusuri Sungai Fly melalui tiga perjalanan
pada 1876 dan 1877 (Kirksey, 2002).
D’Albertis memiliki kepercayaan bahwa
orang Papua pada dasarnya adalah biadab.
Volume pertama dari catatan perjalanannya
ditutup dengan sebuah permohonan untuk
mendukung dan memandu orang-orang
Papua: ‘Mereka harus kita berlakukan sebagai
teman, bukan sebagai budak; mereka harus
kita hargai, bukan kita rusak’ (D’Albertis,
1880). Tidak seperti Miklouho-Maclay yang
ingin melestarikan kebudayaan Papua dari
pengaruh pasar tenaga kerja dan serangan-
serangan Eropa lainnya, D’Albertis melihat
proyek penjajahan sebagai sebuah
kesempatan untuk menggantikan kebiadaban
orang Papua dengan peradaban.
Menurut Kirksey (2002), misi
memperadabkan orang Papua tetap menjadi
agenda yang kuat. Gerakan politik Papua
merdeka yang bertujuan untuk
memperjuangkan kedaulatan rakyat Papua
dari kolonialisme Indonesia diimajinasikan
oleh media massa Indonesia sebagai
kelompok kriminal yang barbar, yang
membunuh warga sipil, membakar tempat
ibadah, dan sejenisnya. Tentara Indonesia
selalu mencitrakan bahwa peran mereka
dalam misi memperadabkan orang Papua ini
tidak lain ialah melawan orang-orang Papua
yang barbar (Kirksey, 2002).
Merujuk pada Steinmetz (2007),
Kirsch (2010:15) berpandangan bahwa alasan
utama tidak adanya hubungan antara wacana
etnografi dan kebijakan kolonial adalah
karena relasi kolonial ditandai oleh
kontradiksi internal. Belanda mengatakan
bahwa Papua merupakan orang dari ras
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 40 NO 2 2019
116
Melanesia yang berbeda dengan Indonesia,
karena memiliki motivasi untuk
mempertahankan koloni di daerah tropis.
Pada posisi yang sama, Indonesia juga
mengeksploitasi narasi perbedaan antara
Indonesia dan Papua untuk mempertahankan
kontrolnya terhadap wilayah ini. Narasi
Indonesia masih menceritakan bahwa
peradaban Papua masih berada pada zaman
batu, oleh karena Indonesia memiliki misi
membangun dan memperadabkan orang
Papua. Meskipun gambaran orang Papua
sudah mulai berubah pada masa kini, narasi
ini terus-menerus memengaruhi politik di
Papua. Misalnya, klaim bahwa orang Papua
secara inheren memiliki kekerasan digunakan
untuk membenarkan militerisasi di daerah ini.
Indonesia lebih memilih
menyelesaikan konflik Papua dengan misi
peradaban, namun realitasnya hanya
menekankan pada pembangunan ekonomi
yang berorientasi pada eksploitasi orang asli
Papua. Untuk menyelesaikan konflik Papua,
Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus Papua. Setelah status otonomi khusus
ini, pemerintah menerapkan beberapa langkah
lanjutan (Pamungkas, 2015). Pertama,
pemekaran
provinsi/kabupaten/distrik/kampung untuk
meningkatkan pelayanan publik. Namun,
langkah ini gagal mencapai tujuan karena
keterbatasan infrastruktur, kapasitas birokrat,
dan target pembangunan di Papua yang tidak
didefinisikan dengan baik. Kebijakan ini juga
membawa lebih banyak migran ke daerah
baru yang memunculkan ketegangan dengan
9 Fenomena ini juga dikaji oleh Kusumaryati (2017) yang mengatakan bahwa pembangunan jalan trans-Papua
cenderung memfasilitasi pergerakan masyarakat dari luar Papua ke daerah-daerah yang selama ini terisolit dan
mempercepat aliran sumber daya alam dari Papua ke pasar nasional dan dunia.
penduduk asli karena persaingan ekonomi dan
perubahan demografis. Kedua, peningkatan
anggaran untuk pembangunan di Papua,
namun belum dapat mencapai tujuan
pembangunan yang diharapkan. Ketiga,
karena otonomi khusus tidak berjalan
sebagaimana diharapkan, pemerintah
membentuk UP4B (Unit Percepatan
Pembangunan Provinsi Papua dan Papua
Barat) untuk mempercepat pembangunan di
Tanah Papua. Sekali lagi, program terebut
terbukti lebih banyak kegagalannya.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo
memiliki perhatian yang lebih besar terhadap
Tanah Papua dibanding pemerintahan
sebelumnya, terutama dengan mendorong
proyek infrastruktur sejak 2015. Sampai 2019,
pemerintah telah menyambung jaringan jalan
trans-Papua sepanjang 4.330 km, tetapi 1.678
km masih belum diaspal. Penelitian LIPI dan
the Asia Foundation (2018) menyebutkan
bahwa pembangunan jalan trans-Papua telah
berhasil meningkatkan konektivitas
antarkabupaten di Tanah Papua. Namun, jalan
ini belum mampu meningkatkan penghidupan
orang asli Papua karena komunitas pendatang
dengan posisi ekonomi yang lebih baik
mampu memanfaatkan infrastruktur jalan
untuk kegiatan ekonomi. Konektivitas jalan di
Pegunungan Tengah menjadi ancaman baru
bagi penduduk lokal karena kemungkinan
membanjirnya pendatang serta sejumlah
komoditas yang menyaingi komoditas
mereka, seperti babi (Pamungkas, 2018).9
Fenomena ini sudah diingatkan oleh
antropolog Van Baal, yang ditegaskan
kembali oleh Koentjaraningrat (1994:453),
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 40 NO 2 2019
117
bahwa suatu pembangunan yang bersifat
paternalistik, dalam arti ditentukan dari luar
Papua secara top-down, hanya akan
menyebabkan tergusurnya penduduk asli
menjadi penduduk pinggiran yang apatis dan
pasif, serta terjadi proses akulturasi yang
salah.
Selain mendorong pembangunan
infrastruktur yang masif, pemerintah berusaha
menciptakan narasi kebudayaan Papua
sebagai basis integrasi nasional. Pada 2019,
Kementrian Pendidikan Nasional
menerbitkan buku Papua dalam Arus Sejarah
Bangsa, yang ditulis Abdullah dkk. (2019).
Buku ini mencoba membangun perspektif
baru bahwa integrasi Papua dan Indonesia
secara ekonomi sudah berlangsung sejak abad
ke-7 pada masa Raja Syailendra di Sriwijaya.
Adapun integrasi kebudayaan sudah terjadi
sejak abad ke-16, yang ditandai dengan
perdagangan dan relasi kekeluargaan antara
penduduk Seram Timur dengan Raja Ampat,
Onin, dan Koiwai. Oleh karena ‘perspektif
Jakarta’ yang masih kuat, buku ini kemudian
mendapatkan reaksi dari beberapa tokoh
Papua di Jakarta sebagai alat propaganda
pemerintah yang tidak sesuai dengan
semangat rekonsiliasi.
Penutup
Deskripsi di muka menunjukkan bahwa masih
ada kesenjangan antara pengetahuan ilmiah
tentang konflik di Tanah Papua dan kebijakan
pemerintah untuk mengatasi konflik tersebut.
Seolah-olah, berbagai penelitian sosial
tentang konflik Papua berdiri pada suatu
ruang yang terpisah dengan kebijakan
pemerintah. Dengan kata lain, wacana hasil
riset seakan-akan tidak memiliki konsekuensi
politik apa pun dalam mendorong proses
perdamaian di Tanah Papua. Dalam hal ini,
terdapat dua perbedaan mendasar yang sulit
dipertemukan antara para peneliti yang
memproduksi pengetahuan dengan para
pengambil kebijakan negara. Pihak pertama
mendasarkan pengetahuannya untuk
melindungi hak-hak dasar dan kemanusiaan
orang Papua melalui konstruksi gagasan anti-
kekerasan, Papua Tanah Damai, dialog,
rekonsiliasi, rekognisi, dan pemenuhan hak-
hak dasar orang Papua. Adapun pihak kedua
mengimplementasikan praktik-praktik
pembangunan yang kapitalistik atas dasar
politik nasionalisme Indonesia dan misi
memperadabkan orang Papua agar menjadi
manusia modern di bawah negara Indonesia.
Dalam realitasnya, misi membuat orang
Papua menjadi beradab dilakukan dengan
cara-cara yang tidak liberal (illiberal),
termasuk dengan pendekatan keamanan dan
memecah belah orang Papua melalui politik
lokal dan pembangunan.
Penelitian sosial tentang konflik Papua
pada masa kini sebenarnya telah banyak
memberikan kontribusi pada upaya-upaya
untuk mendeskripsikan, menarasikan, dan
menjelaskan persoalan konflik Papua dan
pembangunan perdamaian. Namun, kekuatan-
kekuatan kapital dan negara yang melakukan
kontrol terhadap pembangunan serta industri
konflik, tidak menggunakan hasil penelitian
tersebut. Mereka justru mereproduksi hasil
penelitian etnografi pada masa kolonial yang
menganggap orang Papua ‘tidak beradab.’
Pengetahuan tersebut, sebagai antitesis dari
pengetahuan hasil riset sosial—etnografi pada
masa kini—justru melegitimasi eksploitasi
dan kekerasan politik terhadap orang Papua.
Bukannya membuat orang Papua menjadi
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 40 NO 2 2019
118
lebih beradab, pembangunan dan pendekatan
keamanan justru pelan-pelan melemahkan
daya hidup orang Papua dan memperkuat
gerakan politik Papua merdeka.
Pengembangan orang Papua
seharusnya ditujukan untuk membangun
identitas kepapuaan yang nantinya dapat
dikembangkan sebagai bagian dari identitas
keindonesiaan. Sebagaimana dijelaskan
Widjojo dkk. (2008), ‘Indonesia’ adalah
konsep supra-etnis yang mengatasi identitas-
identitas etnis dalam negara Indonesia.
Pengakuan identitas orang Papua akan
mendorong mereka untuk membangun
kesadaran sebagai bagian dari suatu entitas
yang lebih besar daripada sukunya sendiri.
Dengan kata lain, konstruksi identitas Papua
adalah sebagai upaya untuk menjembatani
orang Papua ke identitas ‘Indonesia.’
Referensi
Abdullah, T. (Ed.)
2019 Papua Dalam Arus Sejarah Bangsa. Jakarta: Direktorat Sejarah, Diektur Jenderal
Kebudayaan-Kementrian Pendidikan Nasional Republik Indonesia.
Al Rahab, A.
2016 ‘Operasi-Operasi Militer di Papua: Pagar Makan Tanaman?’ Jurnal Penelitian Politik
3(1):3–23.
Amnesty International
2018 “Don't Bother, Just Let Him Die!” Killing with Impunity in Papua. Jakarta: Amnesti
Internasional Indonesia.
Anderson, B.
2015 Papua's insecurity: state failure in the Indonesian periphery. Honolulu, HI: East-West
Center.
Anderson, B. R. O. G.
1991 Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. Second
Edition. New York: Verso.
Anderson, M. B.
1999 Do No Harm: How Aid Can Support Peace--or War. Lynne Rienner Publishers.
Björkhagen, M.
2016 Understanding Illiberal Peace-building: an Analysis of Conflict, Peace and Reconciliation
in North Maluku Province, Indonesia.
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 40 NO 2 2019
119
Brundige, E., King, W., Vahali, P., Vladeck, S., & Yuan, X.
2004 Indonesian Human Rights Abuses in West Papua: Application of the Law of Genocide to
the History of Indonesian Control. New Haven: Allard K. Lowenstein Internationaal
Human Rights Clinic, Yale Law School.
Budiardjo, C., & Liong, L. S.
1988 West Papua: the obliteration of a people. Thornton Heath: Tapol.
Campbell, M.
2014 ‘Freedom in Entangled Worlds: West Papua and the Architecture of Global Power.’
Anthropological Forum 24(1): 88–90). Routledge.
Catholic Justice Peace and Comission of the Archdiocese of Brisbane
2016 We Will Lose Everything: A Report on a Human Rights Fact Finding Mission To West
Papua. Brisbane: Catholic Justice Peace and Comission.
D’Albertis, Luigi Maria
1880 New Guinea: What I Did and What I Saw. S. Low, Marston, Searle, & Rivington.
Drooglever, P. J.
2010 Tindakan Pilihan Bebas! Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri. Kanisius.
Elisabeth, A., Pamungkas, C., Budiatri, A. P., Satriani, S.
2019 Menuju Papua yang Stabil dan Sejahtera, policy paper. Jakarta: Pusat Penelitian Politik-
LIPI.
Elmslie, J.
2003 Irian Jaya Under the Gun. Honolulu: University of Hawai‘i Press.
Emmerson, D. K.
1984 ‘“Southeast Asia”: What's in a Name?’ Journal of Southeast Asian Studies, 15(1): 1–21.
Errington, J.
2012 ‘Laughing at Leviathan: Sovereignty and Audience in West Papua (review).’ Indonesia
94:141–144. https://muse.jhu.edu/ (diakses 12 Maret 2019).
Galtung, J.
1969 ‘Violence, Peace, and Peace Research.’ Journal of Peace Research, 6(3):167–191.
Gibson, T.
2014 ‘Laughing at Leviathan: Sovereignty and Audience in West Papua. Danilyn Rutherford.
Chicago: University of Chicago Press, 2012. xvi+ 301 pp.’ American Ethnologist,
41(4):781–782.
Greenop, F. S.
1944 Who Travels Alone. KG Murray Publishing Company.
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 40 NO 2 2019
120
Haluk, M.
2019 Konflik Nduga, Tragedi Kemanusiaan Papua. Denpasar: Pustaka Larasan.
Hernawan, Y. B.
2012 ‘Freedom in Entangled Worlds: West Papua and the Architecture of Global Power by Eben
Kirksey.’ Contemporary Southeast Asia: A Journal of International and Strategic Affairs,
34(3):445–448.
2013 From the Theatre of Torture to the Theatre of Peace: The Politics of Torture and Re-
Imagining Peacebuilding in Papua, Indonesia. Dissertation in Australia National
University.
International Crisis Group (ICG)
2012 Indonesia: Dinamika Kekerasan di Papua. Jakarta: ICG.
2010 Radicalisation and Dialogue in Papua. Jakarta: ICG.
Jaarsma, S. R.
2013 ‘Laughing at Leviathan: Sovereignty and Audience in West Papua.’ Pacific Affairs,
86(3):698–700.
King, P.
2004 West Papua & Indonesia Since Suharto: Independence, Autonomy or Chaos? UNSW
Press.
King, P., Elmslie, J., & Webb-Gannon, C.
2011 Comprehending West Papua. Sydney: Centre of Peace and Conflict Studies, University of
Sydney
Kirksey, E.
2002 Anthropology and Colonial Violence in West Papua. Cultural Survivval Quarterly, 26(3).
2012 Freedom in Entangled Worlds: West Papua and the Architecture of Global Power. Duke
University Press.
Kirsch, S.
2010 Ethnographic Representation and the Politics of Violence in West Papua. Critique of
Anthropology, 30(1):3–22.
Koentjaraningrat
1994 ‘Kebijaksanaan Pembangunan dari Bawah.’ Dalam Koentjaraningrat (Ed.), Irian Jaya:
Membangun Masyarakat Majemuk, pp. 453–162. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Kusumaryati, V.
2017 ‘The Great Colonial Roads.’ Landscape Architecture Frontiers, 5(2):137–143.
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 40 NO 2 2019
121
Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ELS-HAM)
1999 Operasi Militer Pembebasan Sandera dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di
Pegunungan Tengah Irian Jaya Menyingkap Misteri Misi Berdarah ICRC Keterlibatan
Tentara Asing dan Tentara Nasional Indonesia. Jayapura: ELS-HAM.
Macleod, J.
2011 The Struggle for Self-Determination in West Papua (1969-Present): Summary of Events
Related to the Use or Impact of Civil Resistance. International Center on Nonviolent
Conflict
May, B.,
1978 The Indonesian Tragedy (pp. 137-ff). London: Routledge & K. Paul.
Miklouho-Maclay, N. N.
1982 Travels to New Guinea: Diaries, Letters, Documents. Central Books Limited.
Moiwend, R., & Barber, P.
2011 Internet Advocacy and the MIFEE Project in West Papua. Comprehending West Papua.
Nerenberg, J.
2013 Review Essay, The Asia Pacific Journal of Anthropology, 14(5):486–495.
Ondawame, O.
2000 One People, One Soul: West Papuan Nationalism and the Organisasi Papua Merdeka.
Dissertation in Australia National University.
Osborne, R.
1985 Indonesia's Secret War: The Guerilla Struggle in Irian Jaya. Pandora Press.
Pamungkas, C.
2014 Efektivitas Pembangunan Ekonomi Sosial dan Kebijakan Afirmatif di Papua sebagai
Resolusi Konflik. Noken: Jurnal Ilmiah Bahasa, Sastra & Sosial-Budaya, 3:324–340.
2018 ‘Can Infrastructure Based Development Bring Peace to West Papua?’ Makalah dalam
Konferensi Asosiasi Peneliti Perdamaian Internasional 24–28 November 2018 di
Ahmedabad, India.
Pamungkas, C. & Rusdiarti, S. R. (Ed.)
2017 Updating Papua Road Map: Proses Perdamaian, Politik Kaum Muda, dan Diaspora
Papua. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Pigai, N.
2014 ‘Solusi Damai di Tanah Papua (Mengubur Tragedi HAM dan Mencari Jalan Kedamaian).’
Jurnal Administrasi Publik, 11(2).
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 40 NO 2 2019
122
Pigay, D. N.
2000 Evolusi Nasionalisme dan Sejarah Konflik Politik di Papua: Sebelum, Saat, dan Sesudah
Integrasi. Pustaka Sinar Harapan.
Rutherford, D.
2012 Laughing at Leviathan: Sovereignty and Audience in West Papua. University of Chicago
Press.
Saltford, J.
2000 United Nations Involvement with the Act of Self-Determination in West Irian (Indonesian
West New Guinea) 1968 to 1969. Indonesia, 69:71–92.
Sinaga, N. H., Kusuma, A. B., & Bahar, S.
1992 Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 29 Mei 1945–19 Agustus
1945. Sekretariat Negara, Republik Indonesia.
Soewarsono
2013 ‘Tanah Merah, Boven Digul, dan Manokwari dalam Jejak Sejarah Kebangsaan Indonesia.’
Dalam Soewarsono dan A. Windarsih (Ed.), Jejak Kebangsaan Kaum Nasionalis di
Manokwari dan Boven Digul, pp. 1–30). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Steinmetz, G.
2008 The Devil's Handwriting: Precoloniality and the German Colonial State in Qingdao,
Samoa, and Southwest Africa. University of Chicago Press.
Thomposon, M.
2012 ‘Book Review-Freedom in Entangle Worlds by Eben Kirksey. Savage Mind, Notes and
Queries in Anthropology, https://savageminds.org/2012/06/11/book-review-freedom-in-
entangled-worlds-by-eben-kirksey/
Viartasiwi, N.
2016 Beyond Separatist Conflict: Political Economy of Violence in West Papua. Doctoral
dissertation, 立命館大学.
Webb-Gannon, C.
2013 ‘Indonesia's Reign of Violence in West Papua.’ Refugee Transitions: 33–37.
2017 ‘Effecting Change through Peace Research in A Methodological ‘No-Man’s Land’: A Case
Study of West Papua.’ The Asia Pacific Journal of Anthropology, 18(1):18–35.
Widjojo, M. S., Amiruddin, A. R., Pamungkas, C. and Dewi, R.
2008 Papua Road Map. Jakarta: LIPI.