Upload
buitruc
View
266
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunat lainnya.
(4) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengganggu atau mengurangi kenyamanan pelaksanaan shalat Tarawih berjamaah di lingkungannya.
Pasal 11
Setiap orang yang berada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam wajib menghormati pengamalan ibadah.
BAB V
PENYELENGGARAAN SYI’AR ISLAM
Pasal 12
(1) Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota dan institusi masyarakat dianjurkan menyelenggarakan peringatan hari-hari besar Islam.
(2) Setiap Instansi Pemerintah/ lembaga swasta, institusi masyarakat dan perorangan dianjurkan untuk mempergunakan tulisan Arab Melayu disamping tulisan Latin.
(3) Setiap Instansi Pemerintah / Lembaga Swasta dianjurkan untuk mempergunakan penanggalan Hijriah dan penanggalan Masihiah dalam surat-surat resmi.
(4) Setiap dokumen resmi yang dibuat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam wajib mencantumkan penanggalan Hijriah di samping penanggalan Masihiah.
Pasal 13
(1) Setiap orang Islam wajib berbusana Islami. (2) Pimpinan instansi pemerintah, lembaga pendidikan, badan usaha
dan atau institusi masyarakat wajib membudayakan busana Islami di lingkungannya.
BAB VI
PENGAWASAN, PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN
Pasal 14
(1) Untuk terlaksananya Syariat Islam di bidang aqidah, ibadah dan syi’ar Islam, Pemerintah Provinsi, Kabupaten / Kota membentuk Wilayatul Hisbah yang berwenang melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Qanun ini.
(2) Wilayatul Hisbah dapat dibentuk pada tingkat gampong, kemukiman, kecamatan atau wilayah / lingkungan lainnya.
(3) Apabila dari hasil pengawasan yang dilakukan oleh Wilayatul Hisbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini terdapat cukup alasan telah terjadinya pelanggaran terhadap Qanun ini, maka pejabat pengawas (Wilayatul Hisbah) diberi wewenang
paham atau aliran sesat (2) Setiap orang dilarang menyebarkan paham atau aliran sesat (3) Setiap orang dilarang dengan sengaja keluar dari aqidah dan atau
menghina atau melecehkan agama Islam.
Pasal 6
Bentuk-bentuk paham dan atau aliran yang sesat di tetapkan melalui fatwa MPU
BAB IV
PENGAMALAN IBADAH
Pasal 7
(1) Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota dan institusi masyarakat berkewajiban menyediakan fasilitas dan menciptakan kondisi dan suasana lingkungan yang kondusif untuk pengamalan ibadah.
(2) Setiap keluarga/ orang tua bertanggung jawab untuk membimbing pengamalan ibadah kepada anak-anak dan anggota keluarga yang berada dibawah tanggung jawabnya.
Pasal 8
(1) Setiap orang Islam yang tidak mempunyai uzur syar’i wajib menunaikan shalat Jum’at.
(2) Setiap orang, instansi pemerintah, badan usaha dan atau / institusi masyarakat wajib menghentikan kegiatan yang dapat menghalangi / mengganggu orang Islam melaksanakan shalat Jum’at.
Pasal 9
(1) Setiap instansi pemerintah, lembaga pendidikan dan badan usaha wajib menggalakkan dan menyediakan fasilitas untuk shalat berjamaah.
(2) Pimpinan gampong diwajibkan memakmurkan mesjid dan atau meunasah dengan shalat berjamaah dan menghidupkan pengajian agama.
(3) Perusahaan pengangkutan umum wajib memberi kesempatan dan fasilitas kepada pengguna jasa untuk melaksanakan shalat fardhu.
Pasal 10
(1) Setiap orang/ badan usaha dilarang menyediakan fasilitas/ peluang kepada orang muslim yang tidak mempunyai uzur syar’i untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadhan.
(2) Setiap muslim yang tidak mempunyai uzur syar’i dilarang makan atau minum di tempat / di depan umum pada siang hari bulan Ramadhan.
(3) Selama bulan Ramadhan masyarakat dianjurkan untuk
ibadah untuk menyemarakkan dan mengagungkan pelaksanaan ajaran Islam.
6. Syariat Islam adalah tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan.
7. Aqidah adalah Aqidah Islamiah menurut Ahlussunnah wal Jama’ah.
8. Ibadah adalah shalat dan puasa Ramadhan. 9. MPU adalah Majelis Permusyawaratan Ulama Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam. 10. Penyidik adalah pejabat kepolisian Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang diangkat dan diberi wewenang untuk melakukan penyidikan yang berhubungan dengan pelaksanaan Syariat Islam.
11. Wilayatul Hisbah adalah badan yang bertugas mengawasi pelaksanaan Syariat Islam.
BAB II
TUJUAN DAN FUNGSI
Pasal 2
Pengaturan pelaksanaan Syariat Islam bidang aqidah, ibadah dan syi’ar Islam bertujuan untuk :
a. membina dan memelihara keimanan dan ketaqwaan individu dan masyarakat dari pengaruh ajaran sesat;
b. meningkatkan pemahaman dan pengamalan ibadah serta penyediaan fasilitasnya;
c. menghidupkan dan menyemarakkan kegiatan-kegiatan guna menciptakan suasana dan lingkungan yang Islami.
Pasal 3
Ketentuan-ketentuan dalam Qanun ini berfungsi sebagai pedoman pelaksanaan Syariat Islam bidang aqidah, ibadah dan Syi’ar Islam.
BAB III
PEMELIHARAAN AQIDAH
Pasal 4
(1) Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota dan institusi masyarakat berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat serta mengawasinya dari pengaruh paham dan atau aliran sesat.
(2) Setiap keluarga/ orang tua bertanggung jawab menanamkan aqidah kepada anak-anak dan anggota keluarga yang berada di bawah tanggung jawabnya.
Pasal 5
(1) Setiap orang berkewajiban memelihara aqidah dari pengaruh
8. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 114 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4134);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
10. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 3 Tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 2000 Nomor 23), yang telah diubah Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 43 Tahun 2001 tentang Perubahan Pertama atas Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 3 Tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 2001 Nomor 75);
11. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 2000 Nomor 30);
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
MEMUTUSKAN :
Menetapkan: QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TENTANG PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM BIDANG AQIDAH, IBADAH DAN SYI’AR ISLAM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Qanun ini yang dimaksud dengan: 1. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah
perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas Presiden beserta para Menteri.
2. Provinsi adalah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 3. Pemerintah Provinsi adalah Gubernur beserta perangkat Daerah
Otonom yang lain sebagai Badan Eksekutif Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
4. Gubernur adalah Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 5. Syi’ar Islam adalah semua kegiatan yang mengandung nilai-nilai
QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 11 TAHUN 2002
TENTANG
PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM BIDANG AQIDAH, IBADAH DAN SYI’AR ISLAM
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA KUASA
GUBERNUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM,
Menimbang : a. bahwa aqidah dan ibadah merupakan bagian pokok pengamalan Syariat Islam yang perlu mendapat perlindungan dan pembinaan sehingga terbina dan terpelihara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;
b. bahwa kehidupan masyarakat Aceh yang Islami dan menjunjung tinggi ajaran Islam merupakan landasan untuk mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin, baik pribadi, keluarga dan masyarakat;
c. bahwa dalam rangka penyelenggaraan keistimewaan dan otonomi khusus, perlu penegasan hak-hak khusus tentang penyelenggaraan kehidupan beragama, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;
d. bahwa bedasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b dan c, perlu ditetapkan dengan suatu Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Mengingat : 1. Al-Qur’an;
2. Al-Hadits; 3. Pasal 18 b dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945; 4. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan
Daerah Otonom Propinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1103);
5. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
6. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3448);
7. Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3893);
menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunat lainnya.
(4) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengganggu atau mengurangi kenyamanan pelaksanaan shalat Tarawih berjamaah di lingkungannya.
Pasal 11
Setiap orang yang berada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam wajib menghormati pengamalan ibadah.
BAB V
PENYELENGGARAAN SYI’AR ISLAM
Pasal 12
(1) Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota dan institusi masyarakat dianjurkan menyelenggarakan peringatan hari-hari besar Islam.
(2) Setiap Instansi Pemerintah/ lembaga swasta, institusi masyarakat dan perorangan dianjurkan untuk mempergunakan tulisan Arab Melayu disamping tulisan Latin.
(3) Setiap Instansi Pemerintah / Lembaga Swasta dianjurkan untuk mempergunakan penanggalan Hijriah dan penanggalan Masihiah dalam surat-surat resmi.
(4) Setiap dokumen resmi yang dibuat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam wajib mencantumkan penanggalan Hijriah di samping penanggalan Masihiah.
Pasal 13
(1) Setiap orang Islam wajib berbusana Islami. (2) Pimpinan instansi pemerintah, lembaga pendidikan, badan usaha
dan atau institusi masyarakat wajib membudayakan busana Islami di lingkungannya.
BAB VI
PENGAWASAN, PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN
Pasal 14
(1) Untuk terlaksananya Syariat Islam di bidang aqidah, ibadah dan syi’ar Islam, Pemerintah Provinsi, Kabupaten / Kota membentuk Wilayatul Hisbah yang berwenang melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Qanun ini.
(2) Wilayatul Hisbah dapat dibentuk pada tingkat gampong, kemukiman, kecamatan atau wilayah / lingkungan lainnya.
(3) Apabila dari hasil pengawasan yang dilakukan oleh Wilayatul Hisbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini terdapat cukup alasan telah terjadinya pelanggaran terhadap Qanun ini, maka pejabat pengawas (Wilayatul Hisbah) diberi wewenang
paham atau aliran sesat (2) Setiap orang dilarang menyebarkan paham atau aliran sesat (3) Setiap orang dilarang dengan sengaja keluar dari aqidah dan atau
menghina atau melecehkan agama Islam.
Pasal 6
Bentuk-bentuk paham dan atau aliran yang sesat di tetapkan melalui fatwa MPU
BAB IV
PENGAMALAN IBADAH
Pasal 7
(1) Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota dan institusi masyarakat berkewajiban menyediakan fasilitas dan menciptakan kondisi dan suasana lingkungan yang kondusif untuk pengamalan ibadah.
(2) Setiap keluarga/ orang tua bertanggung jawab untuk membimbing pengamalan ibadah kepada anak-anak dan anggota keluarga yang berada dibawah tanggung jawabnya.
Pasal 8
(1) Setiap orang Islam yang tidak mempunyai uzur syar’i wajib menunaikan shalat Jum’at.
(2) Setiap orang, instansi pemerintah, badan usaha dan atau / institusi masyarakat wajib menghentikan kegiatan yang dapat menghalangi / mengganggu orang Islam melaksanakan shalat Jum’at.
Pasal 9
(1) Setiap instansi pemerintah, lembaga pendidikan dan badan usaha wajib menggalakkan dan menyediakan fasilitas untuk shalat berjamaah.
(2) Pimpinan gampong diwajibkan memakmurkan mesjid dan atau meunasah dengan shalat berjamaah dan menghidupkan pengajian agama.
(3) Perusahaan pengangkutan umum wajib memberi kesempatan dan fasilitas kepada pengguna jasa untuk melaksanakan shalat fardhu.
Pasal 10
(1) Setiap orang/ badan usaha dilarang menyediakan fasilitas/ peluang kepada orang muslim yang tidak mempunyai uzur syar’i untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadhan.
(2) Setiap muslim yang tidak mempunyai uzur syar’i dilarang makan atau minum di tempat / di depan umum pada siang hari bulan Ramadhan.
(3) Selama bulan Ramadhan masyarakat dianjurkan untuk
ibadah untuk menyemarakkan dan mengagungkan pelaksanaan ajaran Islam.
6. Syariat Islam adalah tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan.
7. Aqidah adalah Aqidah Islamiah menurut Ahlussunnah wal Jama’ah.
8. Ibadah adalah shalat dan puasa Ramadhan. 9. MPU adalah Majelis Permusyawaratan Ulama Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam. 10. Penyidik adalah pejabat kepolisian Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang diangkat dan diberi wewenang untuk melakukan penyidikan yang berhubungan dengan pelaksanaan Syariat Islam.
11. Wilayatul Hisbah adalah badan yang bertugas mengawasi pelaksanaan Syariat Islam.
BAB II
TUJUAN DAN FUNGSI
Pasal 2
Pengaturan pelaksanaan Syariat Islam bidang aqidah, ibadah dan syi’ar Islam bertujuan untuk :
a. membina dan memelihara keimanan dan ketaqwaan individu dan masyarakat dari pengaruh ajaran sesat;
b. meningkatkan pemahaman dan pengamalan ibadah serta penyediaan fasilitasnya;
c. menghidupkan dan menyemarakkan kegiatan-kegiatan guna menciptakan suasana dan lingkungan yang Islami.
Pasal 3
Ketentuan-ketentuan dalam Qanun ini berfungsi sebagai pedoman pelaksanaan Syariat Islam bidang aqidah, ibadah dan Syi’ar Islam.
BAB III
PEMELIHARAAN AQIDAH
Pasal 4
(1) Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota dan institusi masyarakat berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat serta mengawasinya dari pengaruh paham dan atau aliran sesat.
(2) Setiap keluarga/ orang tua bertanggung jawab menanamkan aqidah kepada anak-anak dan anggota keluarga yang berada di bawah tanggung jawabnya.
Pasal 5
(1) Setiap orang berkewajiban memelihara aqidah dari pengaruh
8. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 114 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4134);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
10. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 3 Tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 2000 Nomor 23), yang telah diubah Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 43 Tahun 2001 tentang Perubahan Pertama atas Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 3 Tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 2001 Nomor 75);
11. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 2000 Nomor 30);
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
MEMUTUSKAN :
Menetapkan: QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TENTANG PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM BIDANG AQIDAH, IBADAH DAN SYI’AR ISLAM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Qanun ini yang dimaksud dengan: 1. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah
perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas Presiden beserta para Menteri.
2. Provinsi adalah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 3. Pemerintah Provinsi adalah Gubernur beserta perangkat Daerah
Otonom yang lain sebagai Badan Eksekutif Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
4. Gubernur adalah Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 5. Syi’ar Islam adalah semua kegiatan yang mengandung nilai-nilai
QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 11 TAHUN 2002
TENTANG
PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM BIDANG AQIDAH, IBADAH DAN SYI’AR ISLAM
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA KUASA
GUBERNUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM,
Menimbang : a. bahwa aqidah dan ibadah merupakan bagian pokok pengamalan Syariat Islam yang perlu mendapat perlindungan dan pembinaan sehingga terbina dan terpelihara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;
b. bahwa kehidupan masyarakat Aceh yang Islami dan menjunjung tinggi ajaran Islam merupakan landasan untuk mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin, baik pribadi, keluarga dan masyarakat;
c. bahwa dalam rangka penyelenggaraan keistimewaan dan otonomi khusus, perlu penegasan hak-hak khusus tentang penyelenggaraan kehidupan beragama, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;
d. bahwa bedasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b dan c, perlu ditetapkan dengan suatu Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Mengingat : 1. Al-Qur’an;
2. Al-Hadits; 3. Pasal 18 b dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945; 4. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan
Daerah Otonom Propinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1103);
5. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
6. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3448);
7. Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3893);
IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN
2002 DAN DAMPAKNYA TERHADAP
KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DI KOTA
BANDA ACEH
Juli Ahsani
IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
dan Dampaknya Terhadap Kerukunan Umat Beragama di Kota Banda Aceh
Penulis : Juli Ahsani Editor : Imam Zaki Fuad Desain Sampul : Numay Layout : Zahrul A.
ISBN: 978-602-6747-06-8
Penerbit Cinta Buku Media Redaksi: Alamat : Jl. Musyawarah, Komplek Pratama A1 No.8 Kp. Sawah, Ciputat, Tangerang Selatan Hotline CBMedia 0858 1413 1928 e_mail: [email protected] Cetakan: Ke-1 Juli 2017 All rights reserverd Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit.
iii
Secara special penulis khidmatkan
karya sederhana ini untuk kedua
orang tua tercinta; Ayahanda
Supangat & Ibunda Mukatriyah.
iv
v
ABSTRAK
tonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh
sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tertera
pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 yang kemudian
disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 yang
mengamanatkan pemberlakuan syari’at Islam secara kāffah di
wilayah Aceh. Sebagai wujud nyata dari pelaksanaan undang-
undang tersebut, maka dibuatlah beberapa Qanun tentang
pelaksanaan syari’at Islam, di antaranya ialah Qanun Nomor 11
Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Bidang Akidah,
Ibadah dan Syi’ar Islam. Lahirnya Qanun ini merupakan bentuk
keseriusan pemerintah dalam upayanya untuk melaksanakan syari’at
Islam disetiap sendi-sendi kehidupan masyarakat. Diharapkan
dengan lahirnya Qanun Nomor 11 Tahun 2002 akan dapat
membentuk kebiasan masyarakat (habit) menuju pada perbuatan
baik berupa peningkatan aktivitas keberagamaan yang lebih intens
yang kemudian membawa dampak terhadap situasi dan kondisi
kerukunan hidup umat beragama di Kota Banda Aceh.
Dalam pengumpulan data pada penelitian ini, penulis
menggunakan dua metode, yakni Kajian Kepustakaan (Library
Research) dan Penelitian Lapangan (Field Reaserch). Kajian
Kepustakaan (Library Research) dilakukan dengan cara meneliti,
mengkaji, dan menelaah literatur-literatur, seperti: naskah Undang-
Undang Negara Republik Indonesia, naskah Qanun Nomor 11 Tahun
2002 sebagai referensi utama, dan berbagai produk Qanun lainnya
yang berhubungan langsung dengan syari’at Islam. Di samping itu
juga melakukan kajian terhadap buku, jurnal ilmiah, koran, laporan
hasil penelitian, serta sumber kepustakaan lainnya tentang syari’at
Islam dan kerukunan umat beragama sebagai data penunjang.
O
vi
Penelitian Lapangan (Field Reaserch), dalam hal ini penulis
melakukan pengamatan langsung dengan tujuan untuk memperoleh
keyakinan terhadap keabsahan data-data yang telah ada serta ingin
mendapat pengalaman dengan cara mengalami dan memahami
langsung segala peristiwa/situasi yang terjadi di lapangan selama
proses penelitian. Selain itu, penulis juga mengadakan kegiatan
wawancara kepada para narasumber untuk menggali data.
Key words: Qanun, Kerukunan.
vii
بسم هللا الرمحن الرحيم
KATA PENGANTAR
egala puji bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon
pertolongan-Nya, dan meminta ampunan-Nya. Dengan-
Nya kami berlindung dari keburukan jiwa-jiwa kami dan kejelekan
amal perbuatan kami. Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, niscaya
dia takkan tersesat. Dan barangsiapa Dia sesatkan, niscaya takkan
ada yang dapat memberi petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak ada
Tuhan selain Allah, yang tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi
bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Penulis
persembahkan syukur yang tak terbilang kepada-Nya. Tuhanku dan
Tuhan semesta alam karena kesehatan fisik dan mental yang telah
diberikan-Nya, sehingga penulis dapat merampungkan penulisan
tesis ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah dan
terlimpah selalu pada Nabi Muhammad saw., beserta sahabat, dan
orang-orang yang senantiasa istiqamah di jalan Islam, sebagaimana
Nabi dan sahabatnya berjalan di atasnya.
Selama proses penelitian dan penulisan tesis ini tidak sedikit
kesulitan maupun hambatan yang dihadapi dan dialami, baik yang
menyangkut pengaturan waktu, pengumpulan bahan-bahan, maupun
pembiayaan dan lain sebagainya. Namun berkat kesungguhan hati
dan doa serta kerja keras, dorongan dan bantuan dari berbagai pihak,
maka segala kesulitan dan hambatan itu dapat diatasi dengan
sebaik-baiknya sehingga tesis ini dapat terselesaikan. Sehingga
sudah menjadi keharusan dan kewajiban penulis untuk
menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang setinggi-
tingginya kepada semua pihak yang telah mendukung dan
S
viii
memberikan kerjasama yang positif. Maka dengan tidak mengurangi
rasa hormat kepada yang lain, perkenankan dalam kesempatan ini
penulis secara khusus mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya dan rasa hormat yang mendalam di tujukan kepada:
Yang Mulia, Tuan Guru Prof. Dr. H. M. Ridwan Lubis, MA
sebagai pembimbing dalam penulisan tesis ini yang di tengah
kesibukannya masih berkenan meluangkan waktu dan tenaga serta
kesabaran untuk memberikan arahan, masukan, dan bimbingan
kepada penulis sehingga membuka cakrawala berfikir dan nuansa
keilmuan yang baru. Hanya Allah yang dapat membalas semua
kebaikan Bapak, dan semoga Bapak beserta keluarga selalu
dikaruniai kesehatan, umur panjang, kelancaran rizki dan bahagia
dunia maupun akhirat kelak.
Yang Mulia, Tuan Guru Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer yang
banyak mendorong dan merekomendasikan penulis untuk kembali
melanjutkan studi S2 di Jurusan Perbandingan Agama. Serta Tuan
Guru Dr. Media Zainul Bahri, MA dan Ismatu Ropi, Ph.D yang
telah membuka cakrawala berfikir bagi penulis untuk terus
menemukan gagasan dan ide-ide baru, semoga Tuan Guru lekas
menyandang gelar profesor.
Demikian pula ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada
Pimpinan Dekan Fakultas Ushuluddin; Prof. Dr. Masri Mansoer,
M.Ag (Dekan), Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M.Si (Pudek I), Dr. M.
Suryadinata, MA (Pudek II), dan Dr. Bustamin, MA (Pudek III).
Ketua dan Sekretaris Program Magister; Dr. Atiyatul Ulya, MA dan
Drs. Maulana, M.Ag, terimakasih atas motivasi dan dukungannya
untuk kelancaran penulisan tesis ini. Pimpinan beserta staf
Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Perpustakaan Utama UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas kepada
penulis dalam memenuhi studi pustaka.
Secara spesial penulis khidmatkan karya akademik ini kepada
kedua orang tua tercinta; Ayahanda Supangat dan Ibunda
ix
Mukatriyah yang selalu memberikan doa restu dan dukungan berupa
materi, motivasi, nasehat, serta kasih sayang yang tiada hentinya.
Munajat doanya disetiap waktu telah memberikan kekuatan lahir
batin dalam mengarungi bahtera kehidupan serta kesuksesan studi
dan penyelesaian tesis yang melelahkan ini. “Your love make me
strong!”. Abang dan Kakak; Bang Deny dan Kak Riska, Bang Ohim
dan Kak Ina, terima kasih atas bimbingan dan nasehat-nasehatnya,
abang dan kakak panutan yang dibanggakan oleh adek-adeknya,
semoga keluarga kecilnya selalu bahagia dan senantiasa dalam ridha
Allah. Adek-adekku; Fery Hamzah, semoga lekas wisuda bro, calon
cikgu hebat, ntar lanjut S2 ya. Adekku yang paling cantik Vivit
Ardiani, semangat dan lancar kuliahnya dek, harus sabar dan
prihatin hidup di perantauan ya. Muhammad Irfandi, anak bungsu
yang disayangi abang dan kakaknya, lanjut terus sekolahnya ya bro,
harus punya cita-cita besar dan kuliah. Kedua keponakanku
tersayang; Aulia Fitri Rahmadhani (Dek Aya), dan Adila Nisa
Ardani (Dek Ica), nanti sekolah ya sayang, jadi anak pinter, solehah
dan berbakti sama Ayah dan Bundanya. Teruntuk Om Muji dan
Tante Menik, terima kasih telah menjadi orang tua July di Jakarta,
perhatian dan kasih sayangnya telah memberi kekuatan dan
kesabaran selama July di Jakarta.
Ucapan terima kasih juga amat patut penulis sampaikan
kepada seluruh dewan guru selagi penulis menempuh pendidikan di
SD (SDN I Laot Tadu - Nagan Raya), tidak mungkin penulis bisa
menyelesaikan studi master ini tanpa jasa dari beliau semua. Sangat
besar andil mereka dalam mengantarkan penulis memperoleh
pendidikan hingga setingkat ini. Kepada seluruh dewan guru pada
waktu penulis menempuh pendidikan di SMP (SMPN 4 Kuala -
Nagan Raya), semoga Bapak/Ibu selalu mendapatkan limpahan
rahmat Allah swt,. dan semoga amal ibadah Bapak/Ibu yang telah
mendidik penulis akan dibalas oleh Allah swt. Kepada seluruh
Bapak/Ibu dewan guru saat penulis menempuh pendidikan di SMA
x
(SMAS Sukma Bangsa - Pidie), rasa syukur, bangga dan menjadi
sebuah kehormatan bagi penulis bisa menimba ilmu dan menjadi
murid Bapak/Ibu. Semoga Bapak/Ibu selalu dilimpahkan rahmat dan
kesehatan oleh Allah swt. Dan juga kepada seluruh Bapak/Ibu dosen
Fakultas Ushuluddin terutama Jurusan Perbandingan Agama yang
telah mentransfer ilmunya kepada penulis, semoga selalu diberikan
kesehatan dan ilmu yang telah diberikan dapat diamalkan serta
bermanfaat di masyarakat.
Akhirnya, penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat
khususnya buat penulis dan umumnya bagi para pembaca. Semoga
Allah swt., membalas jasa baik yang telah diberikan dari berbagai
pihak dalam penyelesaian tesis ini, dan semoga Allah senantiasa
memberikan taufik, hidayah dan meridhai upaya yang kita lakukan
bersama. Aamiin
Terima kasih!
Wallah al muwaffiq ila aqwam al tariq.
Jakarta, 20 Juli 2017
Penulis,
Juli Ahsani
xi
DAFTAR ISI
Persembahan ................................................................................. iii
Abstrak ......................................................................................... v
Kata Pengantar ............................................................................ vii
Daftar Isi ..................................................................................... xi
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah ................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................. 6
C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian ................................... 6
D. Kerangka Teori ................................................................. 7
E. Tinjauan Pustaka ............................................................... 20
F. Metodologi Penelitian ....................................................... 24
BAB II
Gambaran Umum Kota Banda Aceh
A. Kondisi Sosio-Historis ...................................................... 27
B. Potret Pluralitas Masyarakat ............................................. 30
C. Format Relasi dan Interaksi Sosial .................................... 36
BAB III
Kandungan Qanun Nomor 11 Tahun 2002
A. Latar Belakang Pembentukan ........................................... 41
1. Landasan Filosofis ............................................................ 42
2. Landasan Konstitusional ................................................... 46
B. Maksud dan Tujuan ........................................................... 51
C. Muatan Aturan ................................................................... 52
xii
1. Pemeliharaan Akidah ......................................................... 53
2. Pengamalan Ibadah ........................................................... 56
3. Penyelenggaraan Syi’ar Islam ........................................... 60
D. Sanksi ................................................................................ 61
E. Peraturan Daerah Tentang Syari’at Islam
dan Kerukunan Umat Beragama ....................................... 64
BAB IV
Implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002
A. Pemeliharaan Akidah ......................................................... 69
B. Pengamalan Ibadah ............................................................ 78
C. Penyelenggaraan Syi’ar Islam ............................................ 89
BAB V
Dampak Terhadap Kerukunan Umat Beragama
A. Kerukunan Internal Umat Islam ........................................ 99
B. Kerukunan Antarumat Beragama ...................................... 106
C. Kerukunan Umat Beragama dengan Pemerintah ............... 127
BAB VI
Penutup
A. Kesimpulan ........................................................................ 133
B. Saran .................................................................................. 134
Daftar Pustaka .............................................................................. 137
Lampiran-Lampiran .................................................................... 145
Biodata Penulis ............................................................................ 163
1
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Beberapa abad terakhir timbul dan berkembang dikalangan
masyarakat Islam cita-cita mendirikan Negara Islam, yaitu sebuah
Negara yang sepenuhnya diberlakukan syari’at Islam secara
menyeluruh. Mereka terkenang pada beberapa abad pertama
perkembangan Islam yang mencapai puncak keemasannya yang
ditandai dengan adanya kota-kota megah seperti yang pernah terjadi
di Bagdad, Kairo, Cordova, dan lain sebagainya. Lahirnya peradaban
ini pada dasarnya karena dilandasi oleh komitmen mereka terhadap
pelaksanaan syari’at secara paripurna. Kota-kota ini dalam catatan
sejarah pernah menjadi pusat kemajuan dalam segi perdagangan,
pertanian, perkebunan, kebudayaan maupun ilmu pengetahuan.
Demikian pula halnya yang terjadi di Indonesia saat ini, muncul
gagasan untuk melaksanakan syari’at Islam yang tidak hanya
sebatas wacana namun harus menjadi kenyataan yang dipraktikkan
oleh sebagian daerah di Nusantara. Hal itu disebabkan karena
berbagai daerah di Nusantara telah memiliki kaitan dengan sejarah
panjang islamisasi dalam berbagai pranata sosial. Di antara daerah
yang berupaya mempraktikkan syari’at Islam tersebut ialah Aceh.1
1 Berdasarkan Pergub Aceh Nomor 46 Tahun 2009 tentang Penggunaan
Sebutan Nama Aceh dan Gelar Pejabat Pemerintahan dalam Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Aceh, maka sebutan nama untuk Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam lebih disingkat menjadi Aceh dengan menghilangkan dua suku kata
Nanggroe dan Darussalam. Dalam Pergub tersebut ditegaskan bahwa sebutan
Daerah Otonom, Pemerintahan Daerah, Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Nomenklatur dan Papan Nama Satuan Kerja
Pemerintah Aceh (SKPA), Titelatur Penandatangan, Stempel Jabatan dan Stempel
Instansi dalam Tata Naskah Dinas dilingkungan Pemerintah Aceh, diubah dan
2 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
Provinsi Aceh yang secara geografis terletak paling ujung
barat di pulau Sumatera ini mempunyai luas wilayah mencapai
55.930 Km². Masyarakat Aceh sejak sebelum Indonesia merdeka
juga dikenal sebagai masyarakat yang plural. Keniscayaan itu
diperoleh manakala ditinjau dari aspek yang melingkupinya, mulai
dari etnis, adat istiadat, bahasa, budaya, dan agama.2 Ini artinya
bahwa pluralitas merupakan sebuah realitas bagi masyarakat Aceh
sejak zaman dahulu.3
Secara administratif, wilayah Aceh terdiri dari 18 Kabupaten
dan 5 Kota, 280 Kecamatan, 755 Mukim, dan 6.423 Gampong
(Desa). Secara lebih rinci kabupaten dan kota yang ada di wilayah
Aceh ialah: Kabupaten Aceh Singkil, Aceh Selatan, Simeulue, Aceh
Barat Daya, Nagan Raya, Aceh Barat, Aceh Jaya, Aceh Besar, Pidie,
Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Timur, Aceh Utara, Aceh Tamiang, Aceh
Tengah, Gayolues, Aceh Tenggara, Bener Meriah, Kota Banda
Aceh, Sabang, Langsa, Lhokseumawe, dan Subulussalam.
Sementara dari segi etnis dan buadaya, wilayah Aceh dihuni oleh
beraneka ragam, antara lain: Etnis Aceh yang mendominasi hampir
diseluruh kabupaten/kota di wilayah Aceh; Etnis Alas yang
mendiami sebagian daerah Aceh Tenggara; Etnis Aneuk Jamee yang
mendiami Aceh Selatan dan sebagian Aceh Barat Daya; Etnis Gayo
diseragamkan dari sebutan/nomenklatur Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)
menjadi sebutan/nomenklatur Aceh.
2 Marzuki, “Kerukunan dan Kebebasan Beragama dalam Pelaksanaan Syariat Islam Di Aceh” (Jakarta: Jurnal Harmoni, Vol. IX, Nomor 36, 2010), h. 157.
3 Dalam lingkup kehidupan bangsa yang lebih luas, Indonesia memang telah
ditakdirkan Tuhan sebagai bangsa yang hidup dalam pluralitas dan multikultural
dari segi etnis, agama, bahasa, budaya, dan adat istiadat. Sehingga tidak ada satu
bangsa pun di dunia yang mempunyai sifat keragaman seperti bangsa Indonesia
yang terdiri lebih tiga ratus suku bangsa dengan bahasa yang berbeda-beda. Kondisi
ini bisa menjadi kekuatan yang potensial dan disebut sebagai kekuatan pluralisme
apabila di dalamnya terkandung nilai-nilai (cultural and religious pluralism as value). Lihat Bahrul Hayat, Mengelola Kemajemukan Umat Beragama (Jakarta:
PT. Saadah Cipta Mandiri, 2012), h. 4.
Pendahuluan 3
yang mendiami Aceh Tengah, Bener Meriah dan sebagian Aceh
Tenggara; Etnis Kluet yang mendiami daerah Kluet di Aceh
Selatan; Etnis Tamiang yang mendiami Aceh Tamiang dan sebagian
Aceh Timur; Etnis Singkil yang mendiami Aceh Singkil; Etnis
Simeulue yang mendiami Aceh Simeulue; Etnis Jawa yang
mendiami sebagian Kota Langsa, Aceh Tengah dan Nagan Raya;
serta Etnis Tapanuli Utara yang mendiami sebagian Kota Langsa.4
Bahasa yang digunakan di Aceh juga beragam, antara lain:
Bahasa Aceh yang digunakan hampir diseluruh kabupaten/kota di
wilayah Aceh; Bahasa Alas yang digunakan di Aceh Tenggara;
Bahasa Aneuk Jamee yang digunakan di Aceh Selatan dan sebagian
Aceh Barat Daya; Bahasa Gayo yang digunakan di Aceh Tengah,
Bener Meriah dan Aceh Tenggara; Bahasa Kluet yang digunakan di
Aceh Selatan; Bahasa Tamiang yang digunakan di Aceh Tamiang
dan Aceh Timur; Bahasa Julu yang digunakan di Subulussalam dan
Aceh Singkil; Bahasa Haloban, Pakpak, dan Nias juga digunakan di
Aceh Singkil; serta Bahasa Lekon, Sigulai, dan Devayan digunakan
di Simeulue.5 Wilayah Aceh juga dihuni oleh enam agama besar
yang ada di Indonesia sesuai dengan ketetapan Undang-Undang
Nomor 1 PNPS Tahun 1965, namun penganut yang beragama Islam
merupakan terbesar oleh karena itu penganut Islam menjadi
mayoritas dikalangan masyarakat Aceh.6
Peta kehidupan umat
beragama berdasarkan data Kantor Wilayah Kementerian Agama
Provinsi Aceh tahun 2014, terdiri dari penduduk beragama Islam
4 Humas Provinsi Aceh: http://humas.acehprov.go.id. Diakses tanggal 29
Februari 2016.
5 Dinas Kebubudayaan dan Pariwisata Provinsi Aceh: http://disbudpar .aceh
prov.go.id/. Diakses tanggal 29 Februari 2016.
6 Undang-Undang Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS
Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Penjelasan atas Pasal 1: “Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khong Hu Cu”.
4 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
98,92%; Katolik 0,16%; Protestan 0,79%; Hindu 0,01%; Buddha
0,10%, dan Khonghucu 0,005%.7 Dari penjelasan dan paparan data
tersebut terlihat fakta bahwa masyarakat Aceh merupakan
masyarakat yang hidup dalam pluralitas dan multikultural dengan
latar belakang dan keanekaragaman yang berbeda-beda.8 Selain itu,
wilayah Aceh juga mempunyai kekayaan sumber daya alam,
kesuburan tanah serta hasil laut yang melimpah.
Selanjutnya, dari 18 Kabupaten dan 5 Kota yang ada di
wilayah Aceh tersebut, penulis hanya memfokuskan penelitian ini
pada Kota Banda Aceh sebagai ibukota provinsi. Dipilihnya Kota
Banda Aceh sebagai tempat penelitian bukan saja karena kota ini
merupakan ibu kota provinsi, tetapi atas berbagai pertimbangan
lainnya. Salah satu alasan mendasar adalah karena penduduk Kota
Banda Aceh sangat majemuk yang dihuni oleh beragam etnis,
bahasa, budaya, dan agama tersebut. Selain itu, meski Islam menjadi
agama nomor satu yang dipeluk oleh masyarakat, namun
kesempatan bagi pemeluk agama lain untuk beribadah dan
mengamalkan ajaran agamanya juga terbuka lebar.
Penerapan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan
Syari’at Islam Bidang Akidah, Ibadah, dan Syi’ar Islam di Kota
Banda Aceh dianggap telah berjalan baik dan sudah memenuhi
harapan masyarakat selama ini. Karena posisinya strategis sebagai
pusat pemerintahan, maka setiap kebijakan yang dibuat melalui
Qanun dapat langsung diterapkan serta pengawasan terhadap
pelaksanaannya pun juga mudah. Di sisi lain, sebagai pusat ibukota
provinsi, Kota Banda Aceh dapat dijadikan sebagai acuan dan
7 Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Aceh: http://aceh.bps.go.id. Diakses
tanggal 29 Februari 2016.
8 Kehidupan dan budaya suku bangsa Aceh yang terdiri atas berbagai etnik
yang sangat majemuk dan plural tersebut membuat masyarakat Aceh sangat
terbuka kepada sesama temannya, tetangganya, dan juga kepada tamunya. Lihat
Abdul Rani Usman, Sejarah Peradaban Aceh: Suatu Analisa Interaksionis, Integrasi, dan Konflik (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), h. 94.
Pendahuluan 5
representatif dari pelaksanaan syari’at Islam di wilayah Aceh. Selain
itu, adanya atmosfir religius dan respon positif di tengah masyarakat
atas penerapan syari’at Islam, sehingga dapat dikatakan bahwa
Qanun Nomor 11 Tahun 2002 ini juga dapat diterima dengan baik
dan dijalankan oleh masyarakat. Mayoritas masyarakat tidak
keberatan dengan penerapan syari’at Islam.9 Namun tentu saja hal
ini masih perlu adanya kajian dan pengamatan lebih mendalam.
Dengan telah berjalannya pelaksanaan Qanun dan adanya respon
positif tersebut berarti telah membawa dampak positif bagi
keberagamaan dan kuantitas ibadah masyarakat. Di sisi lain,
berbagai anggapan dan pemberitaan kerap muncul bahwa
pelaksanaan yang bersifat private seperti ibadah, pelaksanaannya
lebih bersifat syari’at Islam di Aceh dianggap melanggar hak asasi
manusia karena mengatur bidang-bidang politis serta diskriminatif
dan menindas agama minoritas sehingga bertentangan dengan nilai-
nilai kebebasan dan kerukunan umat beragama.10
Maka sehubungan
dengan hal itu, menarik untuk dilihat bagaimana pelaksanaan
syari’at Islam dan dampaknya terhadap kerukunan hidup umat
bergama. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, perlu
dilakukan sebuah penelitian mendalam guna mencari data dan fakta
secara real dilapangan.
Bertitik tolak pada pola pikir di atas, penulis tertarik untuk
menggali lebih dalam lagi mengenai pelaksanaan syari’at Islam dan
9 Dara Yusilawati, Penerapan Syariat Islam Di Nanggroe Aceh Darussalam
dan Identitas Rakyat Aceh, dalam Masykuri Abdillah, dkk, Formalisasi Syariat Islam Di Indonesia: Sebuah Pergulatan yang Tak Pernah Tuntas (Jakarta: Renaisan,
2005), h. 214.
10 Lihat Taufiq Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam dari Indonesia Hingga Nigeria (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2004), h. 38-41.
Lihat Danial, “Syariat Islam dan Pluralitas Sosial: Studi Tentang Minoritas Non-Muslim dalam Qanun Syariat Islam di Aceh” (Banda Aceh: Jurnal Analisis, Vol.
XII, Nomor 1, 2012), h. 73-74. Lihat juga Marzuki, “Kerukunan dan Kebebasan Beragama dalam Pelaksanaan Syariat Islam Di Aceh” (Jakarta: Jurnal Harmoni, Vol. IX, Nomor 36, 2010), h. 165.
6 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
dampaknya terhadap kerukunan umat beragama di Kota Banda
Aceh. Untuk itu penulis mengambil penelitian ini yang terfokus
dengan judul: "Implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002 dan
Dampaknya Terhadap Kerukunan Umat Beragama Di Kota Banda
Aceh”. Penulis meyakini bahwa kajian tentang topik ini sangat
urgen dan menarik untuk dijadikan bahan kajian akademik dan juga
kajian umum serta patut untuk diangkat ke permukaan dalam rangka
ikut berkontribusi dalam memberikan sumbangsih berupa pemikiran
yang signifikan terhadap pemerhati syari’at Islam terutama oleh
instansi pemerintahan dalam upayanya untuk menegakkan syari’at
Islam secara kāffah dan menciptakan kerukunan kehidupan
beragama di wilayah Kota Banda Aceh.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, selanjutnya
penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini yang
dikonstruksikan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002 pada
masyarakat Kota Banda Aceh?.
2. Apakah implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002
berdampak terhadap kondisi kerukunan umat beragama di
Kota Banda Aceh?.
C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian dan penulisan
tesis ini ialah: Pertama, mendeskripsikan bagaimana implementasi
Qanun Nomor 11 Tahun 2002 pada masyarakat Kota Banda Aceh.
Kedua, mengetahui apakah implementasi Qanun Nomor 11 Tahun
2002 berdampak terhadap kondisi kerukunan umat beragama di
Kota Banda Aceh. Adapun dari sudut kepentingan teoritis
akademis, penelitian ini diharapkan dapat melengkapi dan
menambah khazanah keilmuan dalam kajian syari’at Islam dan juga
Pendahuluan 7
kerukunan kehidupan umat beragama. Serta diharapkan hasil
penelitian ini dapat menjadi langkah awal yang meningkatkan minat
para peneliti selanjutnya untuk menggali lebih dalam lagi terhadap
kajian implementasi syari’at Islam yang dituangkan dalam Qanun
dan kaitannya dengan kerukunan hidup umat beragama.
Sedangkan signifikansi secara praktis yang ingin dicapai
dalam penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi sebagai
bahan informasi dan masukan pengambilan kebijakan dalam
pembangunan kehidupan keagamaan dan peningkatan kerukunan
oleh Pemerintah Kota Banda Aceh dan Pemerintah Provinsi Aceh
dalam rangka penyempurnaan pengaturan dan pelaksanaan syari’at
Islam. Selanjutnya juga menjadi dasar kebijakan Pemerintah di
Pusat tentang kebijakan implementasi nilai-nilai keagamaan dalam
kebangsaan sehingga dua hal tersebut dapat beriringan di dalam
kehidupan berdemokrasi. Selain itu, penulis juga berharap semoga
dengan tulisan ini dapat menjadi bahan renungan bagi para
pengambil kebijakan baik Pemerintah Kota Banda Aceh beserta
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di seluruh Indonesia. Di
samping itu, secara umum dapat dijadikan sebagai bahan kajian atau
pemikiran lebih lanjut bagi para peneliti untuk mengadakan studi-
studi lanjutan terhadap berbagai kebijakan publik di dalam
implementasi nilai-nilai keberagamaan dalam pembangunan di
daerah.
D. Kerangka Teori
Dalam tulisan tesis ini penulis menggunakan beberapa istilah
dasar yang dijadikan sebagai kerangka teori, yaitu: implementasi,
dampak, syari’at Islam, Qanun, dan kerukunan umat beragama.
Untuk itu dalam subbab ini akan menjelaskan istilah-istilah yang
digunakan tersebut guna mengantarkan pemahaman secara
mendalam dan terfokus.
8 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
1. Implementasi dan Dampak
Untuk memberikan gambaran kepada para pembaca mengenai
penggunaan kata yang digunakan dalam judul tesis ini, penulis
memberikan definisi sederhana tentang implementasi dan dampak
sebagai berikut. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata
implementasi dapat diartikan sebagai pelaksanaan atau penerapan.
Mengimplementasikan berarti melaksanakan; menerapkan.
Pengimplementasi ialah orang yang mengimplementasi.
Pengimplementasian berarti proses, cara, atau perbuatan
mengimplementasikan. Sedangkan terimplementasi berarti
terlaksana atau terterapkan.11
Sementara kata dampak dapat
diartikan sebagai benturan atau pengaruh kuat yang dapat
mendatangkan akibat (baik negatif maupun positif). Dalam ilmu
fisika, kata dampak diartikan sebagai benturan yang cukup hebat
antara dua benda sehingga menyebabkan perubahan yang berarti
dalam momentum (pusa) sistem yang mengalami benturan itu.12
Dari pengertian kedua kata tersebut, selanjutnya penulis
menggunakan kata implementasi dan dampak dalam konteks kajian
sosiologis yang digunakan untuk menganalisa apakah terdapat
dampak dari implementasi Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2002
terhadap kerukunan hidup umat beragama di Kota Banda Aceh.
2. Syari’at dan Qanun
Kata syari’at merupakan istilah yang telah lazim didengar dan
diucapkan oleh umat Islam. Secara etimologi syari’at berasal dari
kata syara’a syai yang bermakna menjelaskan dan menyatakan
sesuatu, atau asy-syiratu dan asy-syari’atu yang artinya suatu
tempat yang dapat menghubungkan sesuatu untuk sampai pada
sumber air yang tidak ada habis-habisnya, sehingga orang yang
11 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat
Bahasa (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2012) Edisi Keempat, h. 529.
12 Departemen Pendidikan, Kamus Besar, h. 488.
Pendahuluan 9
membutuhkannya tidak lagi butuh alat untuk mengambilnya. Dalam
kata lain, syari’at juga dimaknai sebagai jalan atau cara untuk
menuju Allah melalui jalur ibadah, muamalah, dan etika. Syari’at
juga berarti peraturan atau ketetapan yang Allah perintahkan kepada
hamba-hamba-Nya, seperti puasa, shalat, haji, zakat dan seluruh
kebajikan. Sedangkan dalam kehidupan sehari-hari kata syari’at
sering dipahami sebagai hukum atau ketentuan yang berasal dari
Tuhan sehingga dibutuhkan aktualisasi dalam kehidupan sehari-
hari.13
Sementara kata yang sudah baku dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kata syari’at diartikan sebagai hukum agama atau yang
bertalian dengan agama Islam.14
Menurut Yusuf Al Qardhawi, antara syari’at dengan Qanun
terdapat perbedaan yang mendasar, yaitu: Pertama, dilihat dari
aspek pembuatannya, Qanun merupakan produk manusia sedangkan
syari’at produk yang langsung berasal dari Allah. Untuk itu masing-
masing mencerminkan sifat pembuatannya. Di dalam syari’at yang
berasal dari Allah, maka ia mewakili sifat-sifat Allah berupa
kekuasaan, kesempurnaan, dan keagungan-Nya. Jangkauan Allah
meliputi apa yang telah terjadi, sedang, dan akan terjadi. Allah
menurunkan syari’at Islam sebagai syari’at yang tidak menerima
perubahan dan pergantian. Sedangkan di dalam Qanun terdapat
kekurangan, karena ia mencerminkan sifat kurang, lemah, dan
keterbatasan manusia. Oleh karena itu Qanun menerima adanya
perubahan, pergantian, dan perkembangan sesuai dengan
dinamismenya masyarakat. Jadi, Qanun sangat rawan dengan
kekurangan dan kelemahan. Ia tidak mungkin mencapai derajat
kesempurnaan. Hukum syari’at dasarnya berasal dari wahyu Allah,
13 Yusuf Al Qardhawi, Membumikan Syari’at Islam (Penerjemah
Muhammad Zakki dan Yasir Tajid) (Surabaya: Dunia Ilmu Offset, 1996), h. 1.
14 Departemen Pendidikan, Kamus Besar, h. 488.
10 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
sedangkan Qanun merupakan rakyu atau dasarnya bersumber dari
produk manusia.15
Kedua, syari’at mempunyai kaidah-kaidah yang diproduk oleh
Allah untuk selamanya guna mengatur permasalahan manusia.
Kaidah-kaidah dalam syari’at dan nash-nya bersifat umum dan
sangat lentur, artinya ia dapat merespon kebutuhan masyarakat,
meski kondisi, kebutuhan, dan zamannya berkembang. Selain itu,
kaidah dan nash dalam syari’at bernilai tinggi dan modern, artinya
ia tidak ketinggalan zaman. Syari’at Islam merupakan syari’at yang
ajarannya tidak hanya berlaku dan diperuntukkan pada masyarakat
tertentu, akan tetapi untuk seluruh umat manusia, baik orang Arab
maupun non-Arab, orang Timur maupun non-Timur, meskipun adat
dan tradisi mereka berbeda. Sedangkan Qanun mempunyai kaidah
yang bersifat temporer yang diproduk oleh sekelompok manusia
untuk mengatur setiap perkara dan memenuhi kebutuhannya.
Kaidahnya muncul setelah adanya masyarakat. Dengan kata lain
Qanun bersifat dinamis, ia akan relevan dengan kondisi masyarakat
sekarang, akan tetapi belum tentu relevan untuk masa mendatang.16
Berkaitan dengan penjelasan tersebut, secara spesifik kata
Qanun dalam tata hukum Pemerintahan Aceh dipahami sebagai
Peraturan Daerah yang digunakan untuk pelaksanaan syari’at Islam.
Lebih jauh Qanun Aceh merupakan seperangkat aturan sebagai
pelaksanaan undang-undang di wilayah Aceh yang telah
diamanatkan dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia,
baik sebagai penyelenggaraan otonomi khusus maupun pelaksanaan
syari’at Islam dalam sejumlah aspek kehidupan. Hal ini sebagaimana
yang diterangkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh yang berbunyi: “Qanun
Aceh adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah
15 Yusuf Al Qardhawi, Membumikan Syari’at Islam (Penerjemah
Muhammad Zakki dan Yasir Tajid) (Surabaya: Dunia Ilmu Offset, 1996), h. 1.
16 Yusuf Al Qardhawi, Membumikan Syari’at, h. 1.
Pendahuluan 11
provinsi yang mengatur penyelenggaraan pemerintah dan kehidupan
masyarakat Aceh”.17
3. Kerukunan Umat Beragama
Agama Islam telah menggariskan dua pola dasar hubungan
yang harus dijalin oleh setiap pemeluknya, yaitu hubungan kepada
Allah (hablum minallah), dan hubungan kepada sesama manusia
(hablum minannas). Pertama, hubungan vertikal yang terjadi antara
pribadi dengan Khaliknya yang direalisasikan dalam bentuk ibadat
sebagaimana yang telah digariskan oleh setiap agama. Hubungan ini
dilaksanakan secara individu, tetapi lebih diutamakan secara
kolektif atau berjamaah (contohnya shalat berjamaah). Pada
hubungan ini berlaku toleransi agama yang hanya terbatas dalam
lingkungan atau intern satu agama saja. Kedua, hubungan yang
terjalin antara manusia dengan manusia. Pada hubungan ini tidak
terbatas pada lingkungan suatu agama saja, melainkan juga berlaku
kepada semua orang yang tidak seagama, dalam bentuk kerjasama
dalam masalah-masalah kemasyarakatan atau kemaslahatan umat.
Dalam hal seperti inilah berlaku kerukunan dan toleransi dalam
pergaulan hidup antarumat beragama.18
Kerukunan merupakan sebuah term yang digunakan untuk
menggambarkan suatu kondisi hidup dan kehidupan yang
mencerminkan suasana damai, tertib, tentram, sejahtera, hormat
menghormati, harga menghargai, tenggang rasa, gotong royong
sesuai dengan ajaran agama dan kepribadian Pancasila.19
Dalam
17 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintah Aceh, BAB I, Pasal 1.
18 Said Agil Al Munawar, Fiqih Hubungan Antar Agama (Jakarta: Ciputat
Press, 2003), h. 14
19 Departemen Agama Republik Indonesia, Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat Beragama di Indonesia (Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Agama Proyek Peningkatan Kerukunan Umat Beragama, 1997), h. 8-20.
12 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
bahasa Arab, kerukunan berasal dari kata ruknun, jamaknya adalah
arkan yang berarti asas, dasar atau pondasi (arti generiknya).
Sedangkan dalam kaidah bahasa Indonesia, kata rukun dapat
diartikan dalam beberapa pengertian: Pertama, secara nominal, kata
rukun dapat diartikan sebagai sesuatu yang harus di penuhi untuk
sahnya dalam melakukan pekerjaan. Contohnya tidak sah seseorang
melakukan shalat apabila tidak memenuhi syarat dan rukunnya.
Kedua, secara adjektif, kata rukun dimaknai sebagai sesuatu yang
baik, damai dan tidak bertentangan. Hendaknya kita hidup rukun
dengan tetangga, bersatu dan sepakat. Merukunkan berarti
mendamaikan atau menjadikan bersatu hati. Sedangkan kerukunan
menyangkut perihal hidup rukun, rasa rukun, kesepakatan dan
kerukunan hidup bersama.20
Dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam
Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum
Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat
mengartikan kerukunan umat beragama sebagai keadaan hubungan
sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian,
saling menghormati, menghargai kesetaraaan dalam pengamalan
ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.21
Dalam definisi yang lain, kata kerukunan dapat diartikan
sebagai sebuah kesepakatan dalam perbedaan-perbedaan yang ada
dan menjadikan perbedaan-perbedaan itu sebagai titik tolak untuk
20 Imam Syaukani, Kompilasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-
Undangan Kerukunan Umat Beragama (Jakarta: Pusat Penelitian dan
Pengembangan, 2008), h. 5.
21 PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006. BAB I Ketentuan Umum, Pasal 1.
Pendahuluan 13
membina kehidupan sosial yang saling pengertian serta menerima
dengan ketulusan hati yang penuh keikhlasan. Kerukunan juga
berarti kondisi dan proses tercipta dan terpeliharannya pola-pola
interaksi yang beragam diantara unit-unit, unsur atau sub-sistem
yang otonom. Kerukunan mencerminkan hubungan timbal balik
yang ditandai oleh sikap saling menerima, saling mempercayai,
saling menghormati dan menghargai, serta sikap saling memaknai
kebersamaan.22
Megutip pendapat Franz Magnis Suseno,
mengatakan bahwa kata kerukunan yang berasal dari kata rukun
dapat diartikan berada dalam keadaan selaras, tenang dan tentram
tanpa perselisihan dan pertentangan, dan bersatu dalam maksud
untuk saling membantu. Dapat dipahami juga bahwa pengertian
keadaan rukun merupakan suatu keberadaan semua pihak berada
dalam suatu keadaan damai satu sama lain, suka bekerjasama, saling
menerima dalam suasana tenang dan sepakat.23
Dalam kompilasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-
undangan Kerukunan Umat Beragama dijelaskan bahwa sebuah
kerukunan harus mengandung tiga unsur penting, yaitu: Pertama,
kesediaan untuk menerima adanya perbedaaan keyakinan dengan
orang atau kelompok lain. Kedua, kesediaan membiarkan orang lain
untuk mengamalkan ajaran yang diyakininya. Ketiga, kemampuan
untuk menerima perbedaaan dan selanjutnya berusaha menikmati
kesyahduan yang dirasakan orang lain sewaktu mereka
mengamalkan ajaran agamanya.24
Selanjutnya untuk mewujudkan
kerukunan hidup umat beragama, maka dibentuk dalam konsep
22M. Ridwan Lubis, Cetak Biru Peran Agama (Jakarta: Pusat Penelitian dan
Pengembangan, 2005), h. 7-8.
23 Franz Magnis Suseno, Etika Jawa Sebuah Analisa Filsafat tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), h. 39.
24 Departemen Agama Republik Indonesia, Kompilasi Peraturan Kerukunan Hidup Umat Beragama (Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Agama,
2009), h. 6.
14 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
Trilogi Kerukunan, yaitu kerukunan internal umat beragama,
kerukunan antarumat beragama, dan kerukunan umat beragama
dengan pemerintah. 25
a. Kerukunan Internal Umat Beragama
Konsep kerukunan ini mencakup pada internal masing-masing
umat dalam satu agama, seperti halnya kerukunan di antara aliran-
aliran, paham-paham atau mazhab-mazhab yang ada dalam suatu
umat atau komunitas agama tertentu. Dalam konsep Islam,
kerukunan ini biasa diistilahkan dengan ukhuwwah islamiyah, yaitu
persaudaraan di antara sesama umat Islam berdasarkan nilai-nilai
islami. Dalam mewujudkan suasana damai tersebut tidak hanya
sebatas dalam tataran normatif namun juga harus teraktualisasi
dalam kehidupan keseharian.
Ukhuwwah islamiyah sebagai persaudaraan antara sesama
umat Islam berdasarkan nilai-nilai islami harus didasari atas
kesadaran untuk saling menghargai dan menjunjung tinggi adanya
perbedaan, baik perbedaan dalam segi suku, ras, bahasa, maupun
dalam tingkatan yang lebih besar, yakni perbedaan negara. Selain
itu, setiap umat Islam juga harus mempunyai kesadaran dalam
dirinya bahwa dengan adanya latar belakang perbedaan suku, ras,
bahasa, maupun negara tersebut, tentunya juga akan menimbulkan
adanya perbedaan dalam segi pemikiran. Oleh sebab itu, setiap
Muslim dituntut untuk selalu mengedepankan sikap keterbukaan
terhadap Muslim yang lain.26
Dalam Al Qur’an juga sudah jelas
diterangkan bahwa manusia diciptakan oleh Allah dari seorang laki-
laki dan perempuan dan menjadikannya bersuku-suku dan berbangsa
agar saling mengenal satu sama lain. Sehingga adanya perbedaan
bukan sebagai penghalang untuk saling mengenal, dan tolong
25 Syamsul Rijal (Penyunting), Kerukunan Umat Beragama: Substansi dan
Realitas Nilai-Nilai Universal Keagamaan (Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2003), h. 28.
26 Syamsul Rijal (Penyunting), Kerukunan Umat, h. 30.
Pendahuluan 15
menolong antara sesama Muslim. Hal ini sebagaimana yang
diterangkan dalam Al Qur’an Surah Al Hujurat ayat 13: “Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu bersuku-suku dan
berbangsa-bangsa agar saling kenal mengenal (berinteraksi),
sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang
paling bertaqwa”.
Dalam konsep persaudaraan ukhuwwah islamiyah ini, Allah
juga telah menegaskan bahwa sesungguhnya orang-orang Mukmin
itu bersaudara. Firman Allah dalam Surah Al Hujurat ayat 10:
“Sesungguhnya orang-orang Mukmin adalah bersaudara, karena itu
damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada
Allah, supaya kamu mendapat rahmat”. Kemudian dalam Surah Ali
Imran ayat 103 Allah juga menegaskan bahwa di antara sesama
umat Islam dilarang saling bercerai berai: “Dan berpeganglah kamu
semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai
berai...”.
Selain itu, akan pentingnya agar umat Islam selalu menjaga
persaudaraan di antara sesamanya, Rasulullah SAW juga bersabda
dalam beberapa hadis sebagai berikut. Hadis yang diriwayatkan oleh
Muslim, bahwa Rasulullah bersabda: “Seorang Muslim adalah
saudara bagi Muslim lainnya. Ia tidak boleh tidak menzaliminya,
merendahkannya dan tidak pula meremehkannya. Takwa adalah di
sini. Beliau menunjuk dadanya sampai tiga kali - Kemudian beliau
bersabda lagi – Cukuplah seseorang dikatakan buruk bila
meremehkan saudaranya sesama Muslim. Seorang Muslim terhadap
Muslim lain; haram darahnya, kehormatannya dan hartanya”. Hadis
berikutnya yang juga diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang
berbunyi: “Perumpamaan kaum mukminin satu dengan yang lainnya
dalam hal saling mencintai, saling menyayangi dan saling berlemah
lembut di antara mereka adalah seperti satu tubuh. Apabila salah
satu anggota badan sakit, maka semua anggota badannya juga
16 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
merasa demam dan tidak bisa tidur”. Selanjutnya hadis yang
diriwayatkan oleh Ahmad, bahwa Rasulullah bersabda: “Orang
Muslim itu adalah orang yang dapat menyelamatkan (menjaga)
Muslim yang lain dari gangguan tangannya dan lidahnya”.
b. Kerukunan Antarumat Beragama
Dalam konsep ini diwujudkan dalam bentuk kerukunan di
antara umat atau komunitas agama yang berbeda-beda, seperti
kerukunan antara pemeluk agama Islam dengan pemeluk agama
Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, Khonghucu, dan lain
sebagainya. Jika melihat dalam lintas sejarah, relasi antarumat
beragama pada dasarnya sudah terjadi sejak zaman Nabi
Muhammad SAW. Saat itu, umat Islam dikenal sangat menjunjung
tinggi perdamaian dan bersikap toleran terhadap orang-orang non-
Muslim.27
Sikap toleran masyarakat Muslim merujuk pada sikap dan
perilaku kaum Muslim terhadap non-Muslim yang mengacu pada
hubungan antara kaum Muslim dan para pengikut agama Semitis
lainnya, yakni Yahudi dan Nasrani. Nabi Muhammad dan para
sahabatnya ketika berada di Madinah telah menunjukkan sikap
toleransi dan penghargaan yang tinggi terhadap kaum mereka. Nabi
Muhammad selalu mengajarkan agar para penduduk Madinah baik
Islam, Nasrani dan Yahudi agar selalu bersikap santun, toleran,
pemaaf, menghormati, dan tidak pernah menghianati perjanjian
27 Sejatinya makna perdamaian adalah ketika setiap umat beragama
memahami bahwa tujuan tertinggi dari agama yaitu ketika setiap orang
memandang saudaranya yang lain sebagai sahabat seperjalanan (fellow travel). Karena semua agama pada dasarnya menyerukan perdamaian, persatuan dan
persaudaraan serta keselamatan. Sedangkan tujuan dari perdamaian adalah agar
setiap orang atau kelompok memiliki pandangan positif (positive thinking) kepada
orang lain sehingga esensi keberagamaan adalah pendalaman dan penghayatan
terhadap ajaran agamanya yang tidak ada habis-habisnya. Dikutip dari pertemuan
kelas bersama Prof. Dr. H. M. Ridwan Lubis, MA pada Mata Kuliah Studi Konflik dan Perdamaian. Program Magister Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 25 April 2015.
Pendahuluan 17
yang sudah disepakati. Selain itu, Nabi Muhammad juga
mengajarkan kepada kaum Nasrani dan Yahudi agar dapat menjaga
kehormatan, harta benda, dan keluarga mereka yang hidup damai
dengan umat Islam.28
Nabi Muhammad sebagai pemimpin umat sekaligus
pemimpin Negara telah meletakkan dasar-dasar pemerintahan dan
menetapkan regulasi hubungan antarumat beragama yang dibentuk
dalam sebuah monumen perdamaian melalui traktat Mu’ahadah
Madinah atau Piagam Madinah yang menjadi dasar kerjasama antara
penghuni Madinah yang terdiri dari Islam, Kristen, dan Yahudi. Isi
Piagam Madinah secara umum mengatur kehidupan dan hubungan
antara komunitas-komunitas yang merupakan komponen
masyarakat majemuk di Madinah. Selain itu, Piagam Madinah juga
menjamin hak politik, budaya, dan rasa aman penduduk, mengatur
kebebasan beragama, tata cara membangun aliansi politik,
mekanisme penyelesaian konflik, dan sistem perpajakan untuk
keberlangsungan masyarakat terutama ketika terjadi konflik.
Demikian sifat mulia yang telah ditunjukkan oleh Nabi Muhammad
dalam menjaga hubungan baik dengan sesama umat manusia yang
berbeda keyakinan, dengan tetap mengedepankan kerukunan serta
toleransi hidup antarumat beragama.29
Agama Islam mengajarkan agar pemeluknya dapat
menghormati dan menghargai penganut agama yang berbeda dan
mengajarkan amar ma’ruf nahi munkar; mengarahkan supaya hidup
rukun, hidup sejahtera baik materil maupun spiritual.
Mengembangkan sikap hormat menghormati, berkerjasama antar
28 Demikian seperti diungkap oleh sejarawan Muslim, ‘Auf Ibn
Burhanuddin al-Halaby al-Syafi’i dalam bukunya al-Sirah. Lihat Abu Bakar Aceh,
Toleransi Nabi Muhammad dan Sahabat-Sahabatnya (Jakarta: Yayasan
Pengetahuan Islam, 1966), h. 28-30.
29 Dikutip dari pertemuan kelas bersama Prof. Dr. H. M. Ridwan Lubis, MA
pada Mata Kuliah Studi Konflik dan Perdamaian. Program Magister Perbandingan
Agama Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 25 April 2015.
18 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
pemeluk agama sehingga terbina kerukunan, memberi kebebasan
untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan
kepercayaannya. Islam juga mengajarkan agar pemeluknya berbuat
baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi
dan memusuhi. Prinsip inilah yang diajarkan oleh Islam melalui
firman Allah dalam Surah Al Mumtahanah ayat 8 dan 9. Ayat 8:
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan
tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berlaku adil”. Ayat 9: “Sesungguhnya
Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-
orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari
negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan
barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah
orang-orang yang zalim”. Dari kedua ayat tersebut dapat diambil
suatu kesimpulan bahwa Allah hanya melarang umat Islam
berteman dengan orang-orang yang memusuhi dan mengusir umat
Islam dari negerinya. Untuk itu, terhadap orang-orang yang
memusuhi umat Islam, Allah mengingatkan agar bertindak waspada
dan hati-hati. Karena mereka senantiasa mengintai orang-orang
Islam untuk satu saat menjatuhkannya. Namun Allah sama sekali
tidak menyebutkan agama sebagai faktor yang menyebabkan
mereka memusuhi orang Islam itu.30
Dalam kehidupan sehari-hari, Islam mengajarkan agar umat
Muslim menjaga hubungan yang harmonis dengan non-Muslim dan
dapat menciptakan kerukunan antar pemeluk agama. Hubungan
tersebut dapat juga dibentuk dengan adanya sikap toleransi
(tasamuh) yakni kesediaan menerima kenyataan pendapat yang
berbeda-beda tentang kebenaran yang dianut. Dapat menghargai
keyakinan orang lain terhadap agama yang dianut serta memberikan
30 Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan; Tafsir Al-Ayat Al-
Tarbawiy (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2012), Cet V, h. 218.
Pendahuluan 19
kebebasan untuk menjalankan apa yang dianut dengan tidak
bersikap mencela atau memusuhinya.31
Menurut Said Agil Al
Munawar, kerukunan antarumat beragama ini bukan berarti
merelatifir agama-agama yang ada dan melebur kepada satu
totalitas (sinkretisme agama) dengan menjadikan agama-agama
yang ada itu sebagai mazhab dari agama totalitas itu, melainkan
sebagai cara atau sarana untuk mempertemukan, mengatur
hubungan luar antara orang yang tidak seagama atau antara
golongan umat beragama dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.32
Mengutip pendapat Abuddin Nata, dalam rangka membangun
kerukunan antarumat beragama ini, umat Islam harus melihat pula
adanya persamaan-persamaan di antara umat beragama tersebut.
Dari segi agama mungkin berbeda. Namun sebagai manusia mereka
memiliki persamaan. Sederhananya mereka sama-sama keturunan
Nabi Adam, diciptakan dari bahan dan struktur tubuh yang sama,
hidup di bumi yang sama, makan dan minum dari bahan yang sama,
menghirup udara yang sama, dibatasi oleh kematian yang sama,
memiliki potensi rohaniah yang sama (yakni akal, hati, jiwa, dan
perasaan), kecendrungan psikologis yang sama (merasa ingin ber-
Tuhan, ingin dihargai, ingin dihormati, ingin disayangi dan
seterusnya). Dengan adanya banyak sekali unsur persaman ini maka
tidaklah beralasan jika perbedaan agama membawa kepada
perpecahan. Secara keyakinan berbeda tetapi secara manusiawi
adalah sama. Untuk itu jika suatu ketika ada orang yang terkena
musibah, maka harus segera dibantu, tanpa mempertanyakan agama
yang dianutnya. Hal yang demikian karena musibah yang terjadi
seperti kecelakaan adalah bukan persoalan agama, tetapi persoalan
kemanusiaan. Dalam Al Qur’an persoalan kemanusiaan ini termasuk
31 Thoyib I. M dan Sugiyanto, Islam dan Pranata Sosial Kemasyarakatan
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), h. 42-182.
32 Said Agil Al Munawar, Fikih Hubungan, h. 4-5.
20 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
hal yang harus diperhatikan dengan sebaik-baiknya. Dengan cara
demikian itulah kerukunan antarumat beragama dapat diciptakan.33
c. Kerukunan Umat Beragama dengan Pemerintah
Kerukunan antarumat atau komunitas agama dengan
Pemerintah yaitu adanya keserasian dan keselarasan di antara para
pemeluk atau pejabat agama dengan para pejabat pemerintah dengan
saling memahami dan menghargai tugas masing-masing dalam
rangka membangun masyarakat dan bangsa Indonesia yang
beragama.34
Seluruh komponen bangsa yang meliputi pemerintah,
masyarakat, dan organisasi sosial-politik sama-sama memiliki rasa
tanggung jawab demi terwujudnya persatuan dan kesatuan nasional.
Jalinan hubungan antara pemerintah dan rakyat seharusnya terwujud
dalam bentuk tanggung jawab di mana peran dan fungsi pemerintah
ialah menjamin kesejahteraan, mewujudkan keadilan sosial,
perlindungan atas kehidupan, dan kepastian hukum. Demikian juga
dengan rakyat, memiliki tanggung jawab untuk mematuhi peraturan
dan perundang-undangan yang berlaku sehingga melalui kesadaran
dan tanggung jawab antar komponen tersebut, maka akan terwujud
integritas nasional yang dinamis dan berkesinambungan.
E. Tinjauan Pustaka
Banyak para pemerhati yang telah melakukan penelitian
terkait isu-isu syari’at Islam dan kerukunan umat beragama di
Indonesia. Hal itu setidaknya dengan telah banyaknya
dipublikasikan melalui seminar, lokakarya, press release di media
massa, menerbitkan buku, makalah/jurnal ilmiah dengan isu syari’at
Islam maupun kerukunan umat beragama sebagai temanya. Maka
guna untuk lebih menelaah, mendalami dan menghindari terjadinya
33 Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat, h. 228-229.
34 Departemen Agama, Bingkai Teologi Kerukunan, h. 8-10.
Pendahuluan 21
plagiasi serta memperkuat dan memperkaya kajian pustaka, penulis
melakukan beberapa tinjauan pustaka sebagai berikut.
Ada tiga penelitian tentang syari’at Islam di Indonesia yang
cukup orisinil, yakni: Pertama, dalam bentuk Tesis (2003) karya
Busman Edyar, mahasiswa S2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
berjudul “Formalisasi Syari’at Islam di Indonesia Pasca Orde Baru”.
Dalam penelitiannya, ia berbicara tentang perjuangan umat Islam
dalam memformalkan syari’at Islam di Indonesia pasca Orde Baru.
Oleh karena itu pembahasannya hanya satu aspek saja, yaitu aspek
formalistik, belum mengupas aspek-aspek lain. Kedua, hasil
penelitian berbahasa Inggris yang dilakukan oleh Azyumardi Azra
dan Arskal Salim, dengan judul “The State and Shari’a in the
Perspectif of Indonesian Legal Politics” (Negara dan Syariat dalam
Perspektif Politik Hukum di Indonesia). Dalam penelitiannya,
peneliti mencoba mendeskripsikan fenomena ekspresi Islam
formalistik pasca Orde Baru dalam konteks relasi agama dan Negara
di Indonesia. Penelitian ini sekedar berusaha memaparkan tentang
peranan Negara dalam merespon isu syari’at Islam bagi penduduk
Muslim dalam background masyarakat Indonesia yang pluralistik.
Ketiga, penelitian Tesis (2011) yang dilakukan oleh
Muhammad Yani mahasiswa S2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang berjudul “Pelaksanaan Hukum Jinayat Di Aceh dalam
Perspektif Fiqh dan HAM (Studi Peraturan Daerah Nomor 12, 13,
dan 14 Tahun 2013)”. Dalam penelitiannya ia berbicara tentang
pemberlakuan hukum jinayat di Aceh yang secara spesifik dilihat
dari cara pandang ilmu fiqh dan perspektif HAM. Sehingga
pembahasannya hanya sebatas perspektif ilmu-ilmu hukum saja
secara formalistik, tetapi belum menyentuh masalah lain semisal
bagaimana kondisi kerukunan umat beragama di Aceh setelah
berlakunya syari’at Islam.
Dalam bentuk buku banyak ditemukan tulisan tentang
syari’at Islam, di antaranya: “Menegakkan Syariat Islam dalam
22 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
Konteks ke Indonesiaan, Prospek Penerapan Nilai-Nilai Islam dalam
Aspek Hukum, Politik dan Lembaga Negara”, yang disusun oleh H.
Hartono Mardjono, SH. Dalam buku ini ada tiga pokok pembahasan
yang diketengahkan oleh penulis. Pertama, penulis menguraikan
penerapan nilai Islam dalam aspek hukum. Kedua, dalam bagian
buku ini penulis menguraikan tentang penerapan nilai Islam dalam
aspek politik. Ketiga, dalam bagian buku ini penulis menguraikan
tentang penerapan nilai Islam dalam kinerja lembaga Negara. Buku
selanjutnya adalah “Syari’at Islam, Pandangan Muslim Liberal”,
buku ini diedit oleh Burhanuddin. Secara umum dalam
pembahasannya buku ini berusaha menyuguhkan sederetan fakta
pengalaman Negara-negara Islam dalam berdialektika dengan
syariat Islam dan isu-isu kontemporer soal demokrasi, Hak Asasi
Manusia, Civil Society, dan lain-lain. Secara khusus dalam
pembahasannya buku ini berusaha mengetengahkan dua bagian.
Pertama, terdiri dari “Syari’at Islam, Konstitusionalisme dan
Demokrasi”, pembahasaan ini ditulis oleh Saiful Mujani. Kedua,
mengenai “Negara dan Syariat Islam dalam Perspektif Hukum
Indonesia”, pembahasaan ini diketengahkan oleh Arskal Salim dan
Azyumardi Azra. Ketiga, memberikan gambaran tentang “Syariat
Islam di Aceh”, yang ditulis oleh Taufik Adnan Amal dan
Samsurizal Panggabean. Keempat, berbicara mengenai “Simbolisasi,
Politisasi dan Kontrol terhadap Perempuan, study kasus di Aceh”
yang ditulis oleh Lili Z, Munir.
Selanjutnya adalah buku “Membumikan Hukum Pidana Islam,
Penegakan Syari’at Islam dalam Wacana dan Agenda” yang ditulis
oleh Topo Santoso, SH, MH. Secara umum dalam buku ini penulis
ingin menepis image negatif masyarakat muslim dan dunia luar
bahwa Hukum Pidana Islam sebagai hukum yang sadis, kejam,
melanggar HAM dan telah kadaluarsa. Penulis buku ini berusaha
untuk menggambarkan Hukum Pidana Islam secara utuh.Gambaran
tentang administrasi Peradilan Pidana Islam, Perlindungan HAM
Pendahuluan 23
dalam Hukum Pidana Islam, efektifitas penerapan syariat Islam
untuk membentuk “Non criminal society” (masyarakat anti
kriminal) dan agenda serta tantangan untuk membumikan Hukum
Pidana Islam. Buku terakhir karya Haedar Nashir dengan judul Islam
Syariat; Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, dalam buku
ini penulis banyak menyoroti ideologi Islam sebagai dasar gerakan
umat dan bagaimana bentuk syariat Islam dapat diterapkan di
daerah-daerah khususnya Indonesia. Dan tentunya masih banyak
buku lain yang berbicara seputar syari’at Islam dan tidak semua
penulis cantumkan.
Dalam bentuk jurnal yang terkait dengan syari’at Islam dan
kerukunan di Aceh terdapat beberapa tulisan yang relevan, di
antaranya: Pertama, Danial, Syariat Islam dan Pluralitas Sosial:
Studi Tentang Minoritas Non-Muslim dalam Qanun Syariat Islam di
Aceh (Banda Aceh: Jurnal Analisis, Vol. XII, Nomor 1, Juni 2012).
Kedua, Syamsul Bahri, Pelaksanaan Syariat Islam Di Aceh Sebagai
Bagian Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
(Banda Aceh: Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12, Nomor 2, Mei
2012). Ketiga, Muhammad Sahlan, Pola Interaksi Interkomunal
Umat Beragama Di Kota Banda Aceh (Banda Aceh: Jurnal
Substantia, Vol. 16, Nomor 1, April 2014). Keempat, Marzuki,
Kerukunan dan Kebebasan Beragama dalam Pelaksanaan Syariat
Islam di Aceh (Jakarta: Jurnal Harmoni, Vol. IX, Nomor 36,
Oktober-Desember 2010).
Menurut penulis, penelitian-penelitian di atas cakupannya
masih sangat luas, yakni masyarakat Indonesia secara umum, bukan
fokus pada satu daerah, meski ada juga penelitian yang di lakukan di
Aceh namun pembahasannya masih dalam lingkup teori subjektif.
Selain itu, pembahasannya juga masih dalam tataran kajian hukum
Islam, sedikit yang menyinggung tentang kerukunan. Sedangkan
penelitian yang ingin penulis lakukan dalam tesis ini terfokus pada
satu daerah, yakni Kota Banda Aceh yang majemuk karena dihuni
24 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
oleh beragam etnis, bahasa, budaya, dan agama. Di samping itu,
Kota Banda Aceh juga dianggap sebagai representatif dari
pelaksanaan syari’at Islam di wilayah Aceh. Dari segi kerukunan
juga sangat memadai, karena wilayah Kota Banda Aceh juga dihuni
oleh penduduk dengan latar belakang agama yang berbeda-beda.
Karena memenuhi kriteria-kriteria tersebut, sehingga penelitian ini
ingin mengangkat tentang implementasi Qanun Nomor 11 Tahun
2002 dan dampaknya terhadap kerukunan umat beragama di Kota
Banda Aceh.
F. Metodologi Penelitian
Dalam subbab ini penulis membahas mengenai langkah-
langkah yang dilakukan dalam melakukan penelitian, yaitu meliputi
pendekatan penelitian, teknik pengumpulan data, dan metode
analisa data.
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini meneliti tentang implementasi Qanun Nomor
11 Tahun 2002 dan dampaknya terhadap kerukunan umat beragama
di Kota Banda Aceh. Berdasarkan paradigma yang muncul, maka
pendekatan yang penulis gunakan dalam menulis tesis ini ialah
sosiologis. Pendekatan sosiologis terhadap agama bermaksud untuk
mencari relevansi dan pengaruh agama terhadap fenomena sosial.
Michael S. Northcott menjelaskan bahwa pendekatan sosiologis
dibedakan dari pendekatan lainnya karena fokusnya pada interaksi
agama dan masyarakat. Praanggapan dasar perspektif sosiologis
adalah perhatiannya pada struktur sosial, konstruksi pengalaman
manusia dan kebudayaan termasuk agama. Obyek-obyek,
pengetahuan, praktik-praktik dan institusi-institusi dalam dunia
sosial, oleh para sosiolog dipandang sebagai produk interaksi
manusia dan konstruksi sosial. Bagi para sosiolog, agama adalah
salah satu bentuk konstruksi sosial. Tuhan, ritual, nilai, hirarki
keyakinan-keyakinan, dan perilaku religius, menurut sosiolog adalah
Pendahuluan 25
untuk memperoleh kekuatan kreatif atau menjadi subyek dari
kekuatan lain yang lebih hebat dalam dunia sosial. Dalam definisi
yang singkat, penggunaan pendekatan sosiologis terhadap agama
bertujuan untuk mencari hubungan sejauhmana agama berpengaruh
terhadap struktur-struktur sosial dalam memainkan perannya.35
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan cara yang penulis
gunakan untuk mengumpulkan berbagai keterangan data sebagai
sumber utama dalam penelitian ini. Dalam proses pengumpulan
data, penulis menggunakan dua metode, yaitu:
a. Data Kepustakaan (Library Research)
Kajian kepustakaan dilakukan dengan cara meneliti,
mengkaji, dan menelaah literatur-literatur, seperti: naskah Undang-
Undang Negara Republik Indonesia, naskah Qanun Aceh Nomor 11
Tahun 2002 sebagai referensi utama, dan berbagai produk Qanun
lainnya yang berhubungan langsung dengan syari’at Islam. Di
samping itu juga melakukan kajian terhadap buku, jurnal ilmiah,
koran, laporan hasil penelitian, serta sumber kepustakaan lainnya
tentang syari’at Islam dan kerukunan sebagai data penunjang.
b. Data Lapangan (Field Research)
Untuk mendapatkan data lapangan, penulis memakai teknik
pengamatan langsung dan wawancara. Teknik pengamatan langsung
penulis gunakan dengan tujuan untuk memperoleh keyakinan
terhadap keabsahan data-data yang telah ada, serta ingin mendapat
pengalaman dengan cara mengalami dan memahami langsung segala
35 Kautsar Azhari Noer dan Media Zainul Bahri, Laporan Penelitian
Kolektif Buku Ajar Pengantar Studi Perbandingan Agama (Jakarta: Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat, 2008), h. 84.
26 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
peristiwa/situasi yang terjadi di lapangan selama proses penelitian.36
Dalam pengamatan ini penulis berusaha untuk mencatat dan
mendokumentasikan segala peristiwa yang terjadi terhadap objek
yang diteliti. Sedangkan teknik wawancara dilakukan kepada
beberapa tokoh yang berkompeten dan dianggap cakap serta kepada
beberapa warga masyarakat biasa sebagai narasumber untuk
memperkuat data.
c. Metode Analisa Data
Setelah data kepustakaan dan lapangan diperoleh lengkap,
selanjutnya penulis menganalisa kedua data tersebut. Analisa
dilakukan secara deduktif (deductive approach) sekaligus mencoba
untuk memahami dengan mengkaitkan antara aspek yang satu
dengan aspek lainnya guna mempertajam pembahasan. Cara ini
digunakan untuk memperoleh pemahaman (insight) yang
menyeluruh (whole) dan tuntas (exhaustive) tentang aspek-aspek
yang relevan dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian.
Pendekatan deduktif juga sering digambarkan sebagai pengambilan
kesimpulan atau mencari kebenaran yang berangkat dari hal-hal
bersifat umum ke hal yang bersifat khusus (going from the general
to the specific).
36 Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2007. Cet. 23), h. 174.
27
BAB II
Gambaran Umum Kota Banda Aceh
A. Kondisi Sosio-Historis
Sejarah Kota Banda Aceh diawali dari berdirinya Kerajaan
Aceh Darussalam yang dipimpin oleh Sultan Johan Syah pada tahun
601 H/1205 M. Keterangan ini didapat berdasarkan naskah tua dari
hasil penemuan batu-batu nisan yang berada di Kampung Pande.
Dari salah satu batu nisan tersebut terdapat batu nisan salah seorang
sultan Aceh, yakni Sultan Firman Syah yang merupakan salah
seorang cucu dari Sultan Johan Syah. Kerajaan Aceh Darussalam
dibangun diatas puing-puing kerajaan Hindu dan Buddha yang
pernah ada sebelumnya setelah berhasil ditaklukkan oleh Sultan
Johan Syah. Beberapa kerajaan tersebut antara lain Kerajaan Indra
Purba dengan ibukotanya Bandar Lamuri, Kerajaan Indra Purwa,
Kerajaan Indra Patra, dan Kerajaan Indra Pura. Kerajaan Aceh
Darussalam beribukotakan Banda Aceh Darussalam yang kemudian
menjadi cikal bakal Kota Banda Aceh saat ini. Tercatat bahwa
Banda Aceh Darussalam hingga saat ini telah berusia 811 tahun dan
menjadi salah satu Kota Islam tertua di Asia Tenggara.1
Keberadaan Kerajaan Aceh Darussalam saat itu tidak lepas
dari eksistensi Kerajaan Islam yang berada di Lamuri. Hingga pada
akhir abad 15 terjalinlah hubungan baik antar kedua kerajaan
tersebut, dan akhirnya Kerajaan Lamuri dipindahkan ke Meukuta
Alam yang berada diwilayah Kerajaan Aceh Darussalam. Menurut
catatan sejarah, ada yang mengatakan bahwa Lamuri merupakan
suatu daerah yang terletak di Aceh Besar, yaitu Lam Urik
1 Web Pemko Banda Aceh: http://bandaacehkota.go.id/p/sejarah.html.
Diakses tanggal 20 Agustus 2016.
28 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
(sekarang). Hal ini juga ditegaskan oleh N.A. Baloch dan Lance
Castle, menurut mereka yang dimaksud dengan Lamuri adalah
Lamreh yang berada di Pelabuhan Malahayati, Krueng Raya
(sekarang). Sedangkan istana pada masa itu dibangun di tepi Kuala
Naga (kemudian menjadi Krueng Aceh) di Kampung Pande, yang
saat ini dikenal dengan nama Kandang Aceh. Pada masa
pemerintahan Sultan Alaidin Mahmud Syah, dibangun istana baru di
seberang Kuala Naga (Krueng Aceh) dengan nama Kuta Dalam
Darud Dunia yang sekarang ini berada dalam kawasan Meligoe
Aceh atau Pendopo Gubernur. Selain itu, pada tahun 691 H, Sultan
Alaidin Mahmud Syah juga mendirikan Masjid Djamil
Baiturrahman.2
Pada saat Belanda menjajah wilayah Aceh, terjadi perlawanan
sengit yang dilakukan oleh Sultan dan seluruh rakyat yang
berlangsung selama 70 tahun. Kekuatan dan ekspansi tentara
Belanda yang begitu besar dalam usahanya untuk menaklukkan
Aceh, membuat wilayah Kerajaan Aceh Darussalam mengalami
kehancuran. Akhirnya tentara Belanda berhasil menduduki istana
kerajaan pada saat agresi militer kedua, peristiwa ini terjadi tanggal
24 Januari 1874. Sehingga di bawah kepemimpinan Gubernur Van
Swieten, nama Kota Banda Aceh Darussalam diganti menjadi
Kutaraja. Perubahan nama ini disetujui langsung oleh Gubernur
Jenderal Belanda di Batavia pada tangal 16 Maret 1874. Maka
semenjak saat itu, nama Banda Aceh Darussalam telah resmi
menjadi Kutaraja sebagai lambang dari kolonialisme.3
Namun
dikalangan tentara Belanda yang pernah bertugas di Aceh
menentang atas pergantian nama kota ini, mereka menganggap
2 Web Pemko Banda Aceh: http://bandaacehkota.go.id/p/sejarah.html.
Diakses tanggal 20 Agustus 2016.
3 Nama kuta raja sebenarnya berasal dari nama sebuah tempat pertahanan
atau benteng Sultan atau Raja yang terdapat dalam istana bagian dari Kota Banda
Aceh Darussalam.
Gambaran Umum Kota Banda Aceh 29
bahwa Van Swieten hanya mencari muka dihadapan pejabat tinggi
Kerajaan Belanda karena telah berhasil menaklukkan kesultanan dan
para pejuang Aceh. Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1963
nama Kutaraja diganti kembali menjadi Banda Aceh. Hal ini
berdasarkan Keputusan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi
Daerah Nomor Des 52/1/43-43 tanggal 09 Mei 1963. Atas
perubahan nama tersebut, maka secara resmi nama Kutaraja
dikembalikan kepada nama aslinya yaitu Banda Aceh dan menjadi
ibu kota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.4
Seiring dengan perkembangan zaman, Kota Banda Aceh
banyak mengalami perubahan dan terus mencatatkan sejarahnya dari
waktu ke waktu; dari zaman kerajaan, perlawanan terhadap Belanda,
konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah
Republik Indonesia, hingga bencana tsunami. Bencana gempa dan
tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004 lalu telah meluluh
lantakkan dan menghancurkan sepertiga wilayah Kota Banda Aceh.
Merenggut ratusan ribu nyawa, menyebabkan rusaknya berbagai
infrastruktur, menghilangkan tempat tinggal, harta benda, dan
mengakibatkan kehidupan sosial masyarakat menjadi terganggu.
Bencana gempa dan tsunami dengan kekuatan 8,9 Skala Richer
dalam dua abad terakhir ini juga tercatat sebagai bencana terdahsyat
dan terbesar yang pernah terjadi dalam sejarah dunia. Dengan
bencana ini menjadikan Kota Banda Aceh sebagai pusat perhatian
masyarakat dunia nasional maupun internasional; baik lembaga
Pemerintah, Non Goverment Organization (NGO), Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM), serta berbagai kalangan ikut serta
berpartisipasi dalam memulihkan dan membangun kembali wilayah
Kota Banda Aceh.
Setahun pasca bencana gempa dan tsunami tersebut, Aceh
kembali mencatatkan sejarah dengan ditandatanganinya perjanjian
4 Web Pemko Banda Aceh: http://bandaacehkota.go.id/p/sejarah.html.
Diakses tanggal 20 Agustus 2016.
30 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
damai antara GAM dengan Pemerintah RI yang dikenal dengan
Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki. Konflik Aceh yang
berkepanjangan menyebabkan jatuhnya banyak korban jiwa dan
orang hilang serta menghambat stabilitas politik dan keamanan
yang pada dasarnya menjadi modal dasar bagi pembangunan
Provinsi Aceh, khusunya Kota Banda Aceh. Sehingga kesepakatan
damai yang ditandatangani tanggal 15 Agustus 2005 ini menjadi
tahapan penting bagi masyarakat Aceh dalam memasuki kehidupan
damai yang telah didamba-dambakan selama ini.
Secara astronomis, Kota Banda Aceh terletak antara 05º 16’
15” – 05º 36’ 16” Lintang Utara dan 95º 16’ 15” – 95º 22’ 35” Bujur
Timur atau berada di belahan bumi bagian utara dengan ketinggian
rata-rata 0.80 meter di atas permukaan laut. Berdasarkan posisi
geografisnya, Kota Banda Aceh memiliki batas-batas yakni sebelah
Utara berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah Selatan berbatasan
dengan Kabupaten Aceh Besar, sebelah Barat berbatasan dengan
Samudera Hindia dan sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten
Aceh Besar.5
B. Potret Pluralitas Masyarakat
Berdasarkan letak geografisnya, Kota Banda Aceh berada di
ujung utara Pulau Sumatera sekaligus menjadi wilayah paling barat
dari Pulau Sumatera. Luas daerah Kota Banda Aceh berkisar 61.36
Km² yang terbagi dalam 9 kecamatan, 17 kemukiman dan 90
gampong. Adapun kecamatan yang berada di Kota Banda Aceh ialah
Kecamatan Meuraxa, Jaya Baru, Banda Raya, Baiturrahman, Lueng
Bata, Kuta Alam, Kuta Raja, Syiah Kuala, dan Ulee Kareng. Banda
Aceh dengan statusnya sebagai sebuah Wilayah Administratif Kota
dipimpin oleh seorang Walikota dengan membawahi Pemerintah
Daerah yaitu Camat sebagai pemimpin Kecamatan. Sementara
5 Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Banda Aceh Tahun 2015.
Gambaran Umum Kota Banda Aceh 31
Camat membawahi Kepala Gampong yang berada di dalam
wilayahnya. Setiap kepala pemerintahan tersebut memiliki
wewenang dan tanggung jawab untuk mengatur roda administrasi
wilayahnya masing-masing.6
Gambar 2.1 Peta Administratif Kota Banda Aceh
Pasca gempa dan tsunami 2004 lalu, Kota Banda telah
berbenah diri dan selalu siap untuk menjadi salah satu tujuan wisata
di wilayah Aceh. Hal ini terbukti dengan banyaknya event yang
sudah dilakukan oleh pemerintah daerah guna menggaet wisatawan
lokal maupun wisatawan asing agar berkunjung ke tempat wisata
yang berada di wilayah ini. Objek wisata yang sudah diperbaiki dan
diperindah merupakan salah satu omset daerah di sektor jasa
hiburan. Sehingga sejak tahun 2009, Pemerintah Kota telah
mencanangkan program tahun kunjungan wisata atau “Visit Banda
Aceh Year”. Di antara keindahan objek pariwisata di Kota Banda
Aceh yang dapat dinikmati oleh wisatawan ialah: Wisata Alam
(Pantai Syiah Kuala, Pantai Gampong Jawa, Pantai Alue Naga, dan
6 Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Banda Aceh Tahun 2015.
32 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
Pantai Ulee Lheue); Wisata Spiritual (Masjid Raya Baiturrahman,
Masjid Baiturrahim, Masjid dan Makam Tgk. Dianjong, Masjid dan
Makam Tgk. Dibitai, dan Masjid Omman); Wisata Sejarah (Makam
Sultan Iskandar Muda, Makam Kandang XII, Komplek Makam Raja
Dinasti Bugis, Makam Kandang Meuh, Komplek Makam Sultan
Ibrahim Mansur Syah, Makam Tgk Syiah Kuala, dan lain-lain); dan
Wisata Tsunami (PLTD Apung, Kapal di Atas Rumah, Taman
Thanks To The World, Kuburan Massal, dan Museum Tsunami
Aceh).7
Sementara secara demografis, berdasarkan hasil sensus
penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS)
Republik Indonesia, jumlah penduduk Kota Banda Aceh yang
tersebar di 9 kecamatan pada pertengahan tahun 2014 sebanyak
249.282 jiwa yang terdiri dari 128.333 penduduk laki-laki dan
120.949 penduduk perempuan dengan sex ratio sebesar 106,11.
Dalam hal ini, yang dimaksud dengan penduduk Kota Banda Aceh
adalah semua orang yang berdomisili di wilayah Kota Banda Aceh
selama 6 bulan atau lebih dan atau mereka yang berdomisili kurang
dari 6 bulan tetapi bertujuan menetap.8
Sebagai ibu kota provinsi dan pusat pemerintahan, Kota
Banda Aceh menjadi pusat kegiatan ekonomi, politik, sosial dan
budaya; sehingga kota ini menjadi sangat heterogen. Hal ini dapat
ditandai dengan adanya berbagai macam latar belakang penduduk
baik dari segi suku, bahasa, ras, agama maupun pekerjaan. Suku asli
yang mendiami wilayah ini merupakan suku Aceh, sedangkan suku-
suku yang lain kebanyakan dari mereka merupakan pendatang yang
merantau, kuliah, dan menetap di Banda Aceh. Mayoritas penduduk
Kota Banda Aceh merupakan penganut agama Islam, yakni sekitar
98 persen penduduk memeluk agama Islam dan dua persen pemeluk
7 Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Banda Aceh Tahun 2015.
8 Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Banda Aceh Tahun 2015.
Gambaran Umum Kota Banda Aceh 33
agama lainnya. Secara rinci jumlah penganut agama di Kota Banda
Aceh tercatat 264.015 Muslim, 383 Protestan, 600 Katolik, Hindu
150, dan Buddha 3.075. Sedangkan menurut penyebarannya di
masing-masing kecamatan dapat dilihat pada tabel berikut:9
Tabel 2.1 Jumlah Penganut Agama menurut Kecamatan
No Kecamatan Islam Protestan Katolik Hindu Buddha
1 Meuraxa 21.026 - - - -
2 Jaya Baru 26.525 8 - - -
3 Banda Raya 26.640 12 - - 22
4 Baiturrahman 36.834 71 18 4 218
5 Lueng Bata 26.037 78 165 2 266
6 KutaAlam 48.745 125 28 6 2.370
7 Kuta Raja 12.977 68 315 118 199
8 Syiah Kuala 38.188 21 74 20 -
9 Ulee Kareng 27.043 - - - -
Jumlah Total 264.015 383 600 150 3.075
Sementara dari jumlah sarana peribadatan di Kota Banda
Aceh tahun 2014 yang tersebar dimasing-masing kecamatan
terdapat 264 tempat ibadah umat Islam (Masjid, Meunasah dan
Mushalla), 4 Gereja (Protestan dan Katolik), 1 Kuil dan 1 Klenteng.
Untuk penyebarannya perkecamatan dapat dilihat pada tabel
berikut:10
9 Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Banda Aceh Tahun
2015.
10 Kantor Kementerian Agama Kota Banda Aceh Tahun 2014.
34 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
Tabel 2.2 Jumlah Tempat Ibadah menurut Kecamatan
No Kecamatan
Masjid,
Mushalla,
dan
Meunasah
Gereja
Kuil Klenteng Protestan Katolik
1 Meuraxa 31 - - - -
2 Jaya Baru 31 - - - -
3 Banda Raya 21 - - - -
4 Baiturrahman 40 - - - -
5 Lueng Bata 23 - - - -
6 KutaAlam 45 3 1 - 1
7 Kuta Raja 20 - - 1 -
8 Syiah Kuala 39 - - - -
9 Ulee Kareng 14 - - - -
Jumlah Total 264 3 1 1 1
Dalam bidang profesi atau pekerjaan, masyarakat Kota Banda
Aceh juga sangat beragam, mulai dari Pegawai Negeri Sipil (PNS)
hingga pegawai swasta. Namun yang paling menonjol dari profesi
ini dan mudah ditemui ialah berdagang, baik di pusat kota yang
mendiami ruko (rumah toko), di pasar, maupun tempat-tempat lain.
Dari segi pendidikan, terlihat bahwa adanya kemajuan yang pesat di
wilayah ini, hal ini karena didukung dengan adanya sarana dan
prasarana yang memadai yang dimiliki oleh Kota Banda Aceh.
Setiap kecamatan telah memiliki fasilitas pendidikan dari tingkat
pendidikan kanak-kanak sampai dengan tingkat pendidikan
menengah pertama. Kemajuan pendidikan di kota ini juga dapat
ditandai dengan adanya keberadaan sekolah-sekolah bertaraf
nasional maupun internasional. Selain itu, keberadaan universitas-
universitas ternama seperti Universitas Syiah Kuala, UIN Ar-
Raniry, Politeknik Aceh dan universitas lainnya juga menjadi salah
satu tolak ukur kemajuan Kota Banda Aceh dalam bidang
Gambaran Umum Kota Banda Aceh 35
pendidikan. Dengan keberadaan sekolah-sekolah bertaraf nasional
maupun internasional dan juga universitas-universitas tersebut,
sehingga Kota Banda Aceh menjadi tujuan utama bagi para siswa
dan mahasiswa dari Aceh maupun luar daerah Aceh untuk belajar
dan menimba ilmu di tempat ini.
Dalam upaya mewujudkan ketentraman dan kenyamanan
hidup di tengah masyarakat majemuk, serta untuk mewujudkan
harapan dan aspirasi stakeholders dan melaksanakan tugas pokok
dan fungsinya dalam upayanya mendukung pelaksanaan syari’at
Islam, maka Kota Banda Aceh di tahun 2012-2017 mempunyai visi,
yaitu: “Banda Aceh Model Kota Madani”. Penggunaan istilah
madani mengacu pada kehidupan masyarakat Islam di Kota
Madinah yang telah dibangun oleh Nabi Muhammad SAW. Kata
madani dapat dipahami dalam dua pengertian, yaitu madani yang
merujuk pada Kota Madinah, dan madani yang diartikan sebagai
peradaban. Model Kota Madani bercirikan sebuah kota yang
penduduknya beriman dan berakhlak mulia, menjaga persatuan dan
kesatuan, toleran dalam perbedaan, taat hukum, dan memiliki ruang
publik yang luas. Di samping itu masyarakatnya ikut berpartisipasi
dalam penyelenggaraan pembangunan, mampu bekerjasama untuk
menggapai tujuan bersama yang dicita-citakan. Keadaan ini
diharapkan melahirkan warga Kota Banda Aceh yang memiliki jati
diri yang ramah, taat aturan, damai, sejahtera, harga diri tinggi,
berbudaya, dan beradab.11
Selanjutnya untuk mewujudkan visi
tersebut, Kota Banda Aceh menjabarkannya dalam misi-misi
sebagai berikut:12
1. Meningkatkan kualitas pengamalan agama menuju
pelaksanaan syariat Islam secara kāffah.
11 Web Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah Kota Banda
Aceh: satpolpp-wh.bandaacehkota.go.id/profil/visi/misi/. Diakses tanggal 20
November 2016.
12 Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Banda Aceh Tahun 2015.
36 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
2. Memperkuat tata kelola pemerintah yang baik.
3. Memperkuat ekonomi kerakyatan.
4. Menumbuhkan masyarakat yang berintelektualitas, sehat dan
sejahtera.
5. Melanjutkan pembangunan infrastruktur pariwisata yang
islami.
6. Meningkatkan partisipasi perempuan dalam ranah publik dan
perlindungan anak.
7. Meningkatkan peran generasi muda sebagai kekuatan
pembangunan kota.
C. Format Relasi dan Interaksi Sosial
Sebagai makhluk sosial, setiap manusia tidak dapat hidup
sendiri maupun terpisah dari lingkungannya, antara manusia satu
dengan manusia lainnya saling ketergantungan. Karena hubungan
antara sesamanya merupakan suatu keharusan dan kewajaran.
Hubungan antara manusia satu dengan lainnya diakibatkan karena
adanya keinginan untuk saling membutuhkan. Mengutip pendapat
Aristoteles, seorang filsuf besar mengatakan bahwa pada dasarnya
manusia sebagai makhluk sosial selalu mempunyai naluri untuk
berkumpul dan bergaul dengan sesamanya melalui proses sosial,
yang kemudian ia istilahkan manusia sebagai zoon politicon.13
Proses sosial tersebut dapat terjadi melalui sebuah interaksi sosial
yang merupakan syarat utama terjadinya aktifitas sosial. Interaksi
sosial dapat dimaknai sebagai hubungan antara orang perorangan,
antara kelompok dengan kelompok yang berlangsung secara
dinamis. Sehubungan dengan hal tersebut, Soerjono Soekanto
mengatakan bahwa interaksi sosial dapat terjadi apabila adanya
hubungan timbal balik antara dua belah pihak, dan dapat dilakukan
13 Syafri Hamid, Azas-Azas Sosiologi: Suatu Bahasan Teoritis dan
Sistematis (Jakarta: UI Press, 1999), h. 75.
Gambaran Umum Kota Banda Aceh 37
melalui cara saling menegur, berjabat tangan, saling berbicara dan
lain sebagainya.14
Dalam kehidupan masyarakat, relasi sosial akan
selalu terjadi dengan sendirinya karena adanya desakan kebutuhan
batiniah dalam diri setiap orang guna memenuhi segala kebutuhan
hidupnya. Dengan kata lain, terjadinya interaksi sosial tersebut
didasarkan atas saling membutuhkan satu sama lain dan tidak ada
unsur keterpaksaan. Interaksi dan relasi sosial telah menjadi
kebutuhan yang tidak mungkin untuk dihindari.
Berkaitan dengan teori di atas, penulis melihat bahwa relasi
dan interaksi sosial warga masyarakat Kota Banda Aceh terjadi
dalam dua pola, yakni pola interaksi secara individual dan pola
interaksi secara melembaga. Pola interaksi secara individual dalam
kehidupan sehari-hari ini biasanya terjadi secara spontan atau tanpa
direncanakan oleh warga masyarakat. Namun kadang dalam
beberapa kesempatan, pola interaksi ini juga diciptakan oleh warga
masyarakat dengan melakukan beberapa kegiatan seperti gotong
royong baik ditingkat dusun maupun gampong, festival budaya,
kegiatan sosial kemanusiaan seperti bakti sosial, donor darah, dan
lain-lain yang memungkinkan untuk berkumpul bersama-sama.
Dalam pengamatan yang dilakukan oleh peneliti, interakasi melalui
kegiatan sosial ini berjalan sangat baik, dalam tingkat dusun
maupun gampong di lingkungan Kota Banda Aceh. Tradisi
mengunjungi salah seorang warga yang tertimpa musibah seperti
meninggal dunia atau sakit juga sering dilakukan. Selain itu,
interaksi sosial masyarakat juga sering terjadi ditempat-tempat
umum yang tersedia sehingga membuka kesempatan bagi warga
masyarakat untuk bertemu, seperti halnya di pasar, warung kopi,
taman-taman kota atau ruang terbuka hijau, dan lain sebagainya.
Pola interaksi kedua yang juga dilakukan oleh warga
masyarakat Kota Banda Aceh yaitu melalui kegiatan yang sifatnya
14 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT Raja
Grafindo, 2001), Cet. 21, h. 169.
38 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
formal dan melembaga. Kegiatan ini biasanya difasilitasi langsung
oleh Pemko Banda Aceh dengan mempertemukan berbagai tokoh
masyarakat dari latar belakang yang berbeda, baik tokoh adat
maupun tokoh agama. Dalam kesempatan ini, kegiatan yang
dilakukan biasanya berupa dialog dengan tema tertentu yang sedang
hangat dan berkembang di masyarakat pada saat itu, seperti dialog
lintas agama yang melibatkan Pemko Banda Aceh, Kementerian
Agama, dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Penulis
menilai bahwa dalam upaya untuk membangun, menjaga dan
mempertahankan kerukunan umat beragama yang telah ada di Kota
Banda Aceh, peran pemuka agama menjadi sangat penting.
Sehingga pertemuan tokoh-tokoh lintas agama untuk berdiskusi dan
bermusyawarah adalah wahana yang cukup positif untuk
membangun kebersamaan dan saling memahami. Dengan seringnya
melakukan pertemuan-pertemuan antar tokoh lintas agama, maka
nantinya dapat memberikan pengaruh positif kepada umat
beragama.
Dari semua relasi dan interaksi sosial dalam kehidupan sehari-
hari warga masyarakat Kota Banda Aceh tersebut, yang sering
dijumpai dan menjadi fenomena unik ialah pertemuan di warung
kopi. Bagi masyarakat Aceh, warung kopi merupakan tempat yang
nyaman dan aman untuk bertemu dengan teman, saudara maupun
tetangga yang hanya sekedar membicarakan hal-hal ringan hingga
yang berat sekalipun. Karena hanya dengan bermodalkan segelas
kopi, orang Aceh akan betah duduk berjam-jam di tempat ini.
Kebiasaan duduk di warung kopi pada masyarakat Aceh sudah
berlangsung cukup lama. Kebiasaan itu dipercaya sudah ada sejak
ratusan tahun yang lalu, terutama di kawasan pelabuhan dan pusat
perdagangan. Kebiasaan ini terus berlanjut hingga kini, tidak
mengherankan jika di Aceh banyak terdapat warung kopi. Sehingga
dapat dikatakan bahwa kebiasaan minum kopi sudah mengakar bagi
masyarakat Aceh.
Gambaran Umum Kota Banda Aceh 39
Topik pembicaraan di warung kopi biasanya juga berbeda-
beda sesuai dengan kondisi saat itu, tergantung musim yang sedang
berlagsung. Misalnya saja apabila sedang musim bola (liga
champions, piala dunia, dan lain-lain), maka pembicaraannya
seputar bola, selain itu tema pilkada juga bisa menjadi bahan diskusi
yang menarik, tetapi masalah-masalah lain juga bukan hal yang
asing untuk diperbincangkan. Sebagai ulasan singkat, bentuk-bentuk
warung kopi di Aceh dapat digambarkan dalam beberapa kategori
sebagai berikut: Warung kopi tradisional ialah proses penyajian
minuman kopi yang direbus lalu menggunakan saringan saat hendak
disajikan. Fasilitasnya tak lebih dari meja dan kursi. Warung kopi
ini digolongkan sebagai generasi pertama. Generasi kedua adalah
warung kopi yang dikembangkan dengan waralaba. Generasi ketiga
adalah warung kopi yang memberi fasilitas tak hanya minuman dan
makanan, tetapi juga musik, televisi satelit, dan akses internet yang
lebih modern dan mempunyai daya tarik yang tinggi bagi para
pecinta kopi.15
Proses interaksi sosial di warung kopi ternyata dapat
mengubah fungsi tempat minum kopi, dari sekedar warung kopi
menjadi sejenis ruang sosial. Warung kopi menjadi tempat
berinteraksi dan berkomunikasi antara semua lapisan masyarakat,
masyarakat umum dan pejabat publik dengan beragam topik diskusi
baik sosial, budaya, ekonomi, hingga politik. Dapat dikatakan
bahwa warung kopi telah menjadi pranata sosial dalam masyarakat
Aceh yang sulit dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari, juga tidak
berlebihan jika disebut sebagai bagian dari identitas masyarakat
Aceh. Keberadaan pranata sosial ini menyebar di seluruh pelosok
Aceh, baik di pusat-pusat kota maupun di gampong-gampong serta
memiliki fungsi sebagai kegiatan sosialisasi dan interaksi di antara
warga masyarakat. Kebiasaan duduk di warung kopi bagi
15 Lihat https://khairulummami.wordpress.com/2015/06/04/kedai-kopi-
budaya-diskusi-orang-aceh/. Diakses tanggal 21 November 2016.
40 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
masyarakat Aceh bukanlah kebiasaan yang lahir begitu saja, tetapi
kebiasaan ini telah berlangsung lama dan diwariskan dari generasi
ke generasi.16
Penulis menilai bahwa keberadaan warung kopi dan kebiasaan
minum kopi bagi masyarakat Aceh ibarat dua sisi mata uang. Di
satu sisi, keberadaan warung kopi sebagai wahana bertemunya
warga masyarakat menjadikan fungsi warung kopi sebagai tempat
yang tepat untuk bertemu, berinteraksi dan saling mengenal satu
sama lain. Pertemuan yang tidak formal dan berlangsung santai ini
dapat menumbuhkan rasa kekeluargaan bagi masyarakat Aceh,
sehingga dapat menciptakan kerukunan sosial. Disisi lain, kebiasaan
minum kopi bagi masyarakat Aceh ternyata juga berdampak negatif,
hal ini karena kebiasaan minum kopi tersebut menyita hampir
separuh waktu masyarakat. Karena hanya dengan segelas kopi,
orang Aceh akan betah duduk berlama-lama ditempat tersebut.
Tentunya banyak waktu yang terbuang dan tidak produktif, yang
seharusnya dapat digunakan untuk bekerja dan melakukan kegiatan
lainnya yang lebih bermanfaat. Alangkah bijaknya jika kebiasaan ini
dapat dimanfaatkan dengan kegiatan-kegiatan positif, sehingga
dapat memunculkan ide serta gagasan-gagasan penting dalam
rangka membangun opini publik tentang berbagai hal, seperti
pembangunan di wilayah Aceh.
16 Lihat https://khairulummami.wordpress.com/2015/06/04/kedai-kopi-
budaya-diskusi-orang-aceh/. Diakses tanggal 21 November 2016.
41
BAB III
Kandungan Qanun Nomor 11 Tahun 2002
A. Latar Belakang Pembentukan
Masyarakat Aceh dikenal mempunyai semangat tinggi dan
sikap fanatik dalam menjalankan rukun Islam. Akibat kentalnya
nuansa keislaman maka daerah ini populer dengan sebutan Serambi
Mekkah, sebagai suatu gambaran dari cita-cita kehidupan
masyarakat Aceh yang islami.1 Sebutan nama Aceh dengan Serambi
Mekkah juga karena dari wilayah inilah kaum Muslimin dari
berbagai wilayah di Indonesia berangkat ke tanah suci Mekkah
untuk menunaikan ibadah haji.2 Dari segi politik, Islam menjadi
semangat perjuangan masyarakat dalam mempertahankan wilayah
dari pendudukan dan penjajahan Belanda. Pada masa penjajahan,
rakyat Aceh sangat anti dengan orang asing (Belanda) dan
menganggapnya sebagai kafir, maka dengan semangat Islam
tersebut mereka rela mati demi mempertahankan negerinya dengan
sebutan Perang Sabil. Sehingga fanatisme Islam telah menyatu
dalam kehidupan masyarakat Aceh.3
Adanya semangat dan
fanatisme kuat terhadap Islam tersebut yang kemudian melahirkan
gerakan pemberlakuan syari’at Islam secara formal. Di samping itu,
konflik di Aceh dalam rentang sejarah sejak masa penjajahan juga
selalu terkait dengan syari’at Islam. Hal ini pula yang kemudian
1 Haedar Nashir, Islam Syari’at: Reproduksi Salafiyah Ideologis di
Indonesia (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2013), h. 334.
2 Lihat Penjelasan Umum Perda Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
3 Syamsul Rizal, Perilaku Pacaran Anak Muda Kota Langsa - Aceh Dalam Bayang-Bayang Syariat, dalam Irwan Abdullah, dkk (Editor), Agama dan Kearifan Lokal Dalam Tantangan Global (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 384-385.
42 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
menjadi landasan dalam memperjuangkan legalitas formal untuk
menjalankan syari’at Islam secara paripurna.
Namun demikian, fakta yang tidak dapat dihilangkan bahwa
pemberlakuan syari’at Islam di Aceh jauh lebih banyak diwarnai
oleh dinamika politik tawar menawar antara Aceh dan Pemerintah
Pusat. Munculnya gerakan penerapan syari’at Islam tidak
sepenuhnya murni tumbuh dari gerakan masyarakat, tetapi lebih
karena akomodasi dan kebijakan politik dalam konteks penyelesaian
konflik yang berkepanjangan di wilayah ini sejak era Orde Baru.
Konflik politik itu bahkan memiliki akar kesejarahan sejak
Indonesia merdeka hingga Orde Lama yang melahirkan ketegangan
yang berskala luas dan lama.4 Dengan kata lain, pemberlakuan
syari’at Islam secara formal di Aceh tidak dapat dipisahkan dari
upaya tawar menawar Negara melalui pendekatan agama untuk
menyelesaikan permasalahan Aceh agar tetap berada dalam NKRI,
kendati faktor gerakan pun juga ikut mewarnainya. Dengan
diberlakukan syari’at Islam di Aceh, menimbulkan persepsi di
kalangan rakyat Aceh yang memandang Negara serius
menyelesaikan permasalahan konflik. Bersamaan dengan
pendekatan militer dan politik yang dilakukan, ternyata pendekatan
islamisasi Aceh dipandang terbukti berhasil.
1. Landasan Filosofis
Masyarakat Aceh sepanjang sejarah telah menjadikan agama
Islam sebagai pedoman hidup dengan segala kelebihan maupun
kekurangannya. Penghayatan dan pengamalan terhadap ajaran Islam
dalam rentang sejarah yang cukup panjang itu telah melahirkan
suasana masyarakat dan budaya Aceh yang islami, budaya dan adat
yang lahir dari renungan para ulama yang kemudian dipraktekkan,
4 Haedar Nashir, Islam Syari’at, h. 333.
Kandungan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 43
dikembangkan dan dilestarikan.5
Sejarah mencatat bahwa
masyarakat Aceh dikenal sangat tunduk dan taat kepada ajaran
Islam. Penghayatan terhadap ajaran Islam itu kemudian melahirkan
budaya Aceh yang tercermin dalam kehidupan adat.6
Sehingga
muncul sebuah hadih maja yang menggambarkan adanya kondisi
sosio-kultural masyarakat Aceh yang mengidentikkan antara adat
dan budaya selalu searah dan relevan dengan Islam. “Adat bak po
teumeureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Kanun bak putroe phang,
Reusam bak laksamana, Adat ngon hukom lagee zat ngon sifeut”.
Artinya: “Adat budaya diurus oleh raja, hukum syara’ dikelola oleh
ulama (Syiah Kuala), kanun diurus oleh permaisuri raja (Puteri
Phang), reusam (tata cara kehidupan) dikelola oleh panglima, adat
dengan hukum seperti zat dengan sifat”.
Pemahaman terhadap hadih maja tersebut mengandung arti
adanya konsep pembagian kekuasaan dalam Kesultanan Aceh
Darussalam. Kekuasaan politik dan adat berada di tangan Sultan (Po
Teumeureuhom), kekuasaan pelaksanaan hukum berada di tangan
ulama (Syiah Kuala), kekuasaan pembuat undang-undang berada di
tangan Putroe Phang, dan peraturan protokoler (reusam) berada di
tangan Laksamana (Panglima Perang Aceh). Dalam keadaan
bagaimana pun, baik adat, Qanun, maupun reusam tidak boleh
dipisahkan dari hukum, hal ini dapat diartikan sebagai ajaran Islam.
Antara adat dan ajaran Islam merupakan harmonisasi yang tidak
5 Lihat Penjelasan Umum Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang
Pelaksanaan Syari’at Islam bidang Akidah, Ibadah, dan Syi’ar Islam.
6 Adat dalam bahasa Arab berasal dari kata ‘adah yang berarti kebiasaan.
Selanjutnya adat dalam kehidupan masyarakat Aceh dapat diartikan sebagai suatu
tradisi yang secara turun temurun dipraktekkan oleh masyarakat Aceh yang
diwarisi oleh para pelaksana hukum, di samping sebagai landasan berprilaku dan
tuntutan hidup dari nenek moyang yang diturunkan secara terus menerus kepada
generasi penerusnya. Artinya adat di sini merupakan sesuatu yang tertulis maupun
yang tidak tertulis yang menjadi pedoman dalam kehidupan masyarakat Aceh.
Lihat Abdul Rani Usman, Sejarah Peradaban Aceh: Suatu Analisa Interaksionis, Integrasi, dan Konflik (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), h. 107.
44 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
dapat dipisahkan satu sama lain. Menurut Hosein Djajadiningrat,
yang dimaksudkan hukom dalam peribahasa tersebut dalam
kehidupan masyarakat Aceh ialah hukum Islam, sedangkan adat
bermakna pemerintahan dan segala jenis pajak. Reusam diartikan
sebagai tata cara setempat, sedangkan Qanun artinya hukum yang
mengatur. Adanya adagium ini pada dasarnya mengungkapkan latar
belakang kehidupan keseharian masyarakat Aceh yang sangat
dipengaruhi oleh hukum adat dan agama. Bagi masyarakat Aceh,
adat merupakan ketentuan hukum yang bertalian dengan kehidupan
kemasyarakatan dan ketatanegaraan duniawi yang berada di tangan
raja sebagai Khadam Adat. Hukom mengandung arti sebagai
ketentuan hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan
lingkungan sekitar yang bersumber dari ajaran Islam. Qanun
merupakan adat dan budaya wanita dalam berbagai upacara
kemasyarakatan. Sedangkan reusam menyangkut aturan tata krama
bagi lelaki dalam melaksanakan adat kebiasaan dan budaya dalam
kehidupan masyarakat.7
Adat tersebut hidup dan berkembang dalam kehidupan
masyarakat, sehingga jauh sebelum syari’at Islam di formalisasikan
dan dituangkan dalam bentuk Qanun, masyarakat Aceh telah
dikenal sebagai masyarakat yang taat terhadap hukum agama dan
menjadikan Islam sebagai pegangan hidupnya. Lebih jauh,
pelaksanaan syariat Islam di Aceh saat ini merupakan sebuah
perwujudan dari cita-cita adagium hadi maja tersebut. Sehingga
bagi masyarakat Aceh, Islam bukan hanya dipandang sebagai
pedoman semata melainkan telah menjadi rutinitas dalam realitas
kehidupan.8
Bagi orang Aceh, mempersepsikan dirinya sebagai
orang Islam merupakan bagian dari kehidupan budaya. Ketika hal
7 Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam
dari Indonesia Hingga Nigeria (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2004), h. 14.
8 Syamsul Bahri, Pelaksanaan Syariat Islam Di Aceh Sebagai Bagian Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), h. 361.
Kandungan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 45
ini terjadi, seakan diri mereka telah menyatu dengan ajaran Islam,
sehingga hampir tidak ada di antara mereka yang menyalahi atau
bertentangan dengannya. Penerapan syari’at Islam di Aceh sangat
erat kaitannya dengan identitas rakyat Aceh sebagai Muslim yang
taat dan mau menjalankan ajaran Islam. Bagi orang Aceh, Islam
bukan hanya dianggap sebagai agama; lebih dari itu, Islam dijadikan
sebagai pedoman hidup dan bagian dari budaya masyarakat itu
sendiri.9 Selain itu, adanya kenyataan historis tentang kerajaan-
kerajaan Islam yang dulu berjaya di Aceh, dan pernah secara formal
menerapkan syariat Islam, selalu menjadi tolak ukur kemajuan masa
sekarang bahwa agama dan kemajuan ilmu pengetahuan dapat
berjalan seiring.10
Hal ini yang kemudian selalu dijadikan landasan
berfikir/filosofis mengapa syari’at Islam perlu diterapkan dan
diimplementasikan di tanah rencong tersebut.11
Dan ini sah bahwa
penerapan syari’at Islam di Aceh adalah salah satu cara, media dan
proses pengembalian identitas rakyat Aceh dan juga kenyataan yang
harus diterima. Komitmen rakyat Aceh untuk menjalankan syari’at
Islam secara formal pun harus dihormati.12
Secara umum syari’at Islam meliputi aspek akidah, ibadah,
muamalah dan akhlak. Setiap orang Muslim dituntut untuk mentaati
keseluruhan aspek tersebut. Ketaatan terhadap aspek yang mengatur
akidah dan ibadah sangat tergantung pada kualitas iman dan takwa
atau hati nurani seseorang. Sedangkan ketaatan kepada aspek
muamalah dan akhlak di samping ditentukan pada kualitas iman dan
9 Muliadi Kurdi, Aceh Di Mata Sejarawan: Rekonstruksi Sejarah Sosial
Budaya (Banda Aceh: LKAS dan Pemerintah Aceh, 2009), h. 28-29.
10 Dara Yusilawati, Penerapan Syariat Islam Di Nanggroe Aceh Darussalam dan Identitas Rakyat Aceh, dalam Masykuri Abdillah, dkk, Formalisasi Syariat Islam Di Indonesia: Sebuah Pergulatan yang Tak Pernah Tuntas (Jakarta: Renaisan,
2005), h. 211-212.
11 Tanah Rencong merupakan nama lain dari Aceh. Kata ini merujuk pada
senjata khas tradisional Aceh yakni rencong.
12 Dara Yusilawati, Penerapan Syariat, h. 215.
46 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
takwa juga disertai adanya sanksi duniawi dan ukhrawi terhadap
orang yang melanggarnya. Dalam sistem hukum Islam terdapat dua
jenis sanksi, yaitu sanksi yang bersifat ukhrawi yang akan diterima
di akhirat kelak, dan sanksi yang diterapkan manusia melalui
kekuasaan eksekutif, legislatif, dan judikatif. Kedua jenis sanksi
tersebut mendorong masyarakat untuk patuh pada ketentuan hukum.
Dalam banyak hal penegakan hukum menuntut peranan Negara.
Hukum tidak mempunyai arti bila tidak ditegakkan oleh Negara.
Sebaliknya Negara juga tidak akan tertib bila hukum tidak
ditegakkan.13
Maka secara de facto dan de jure, hukum sangat
penting dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.14
2. Landasan Konstitusional
Landasan konstitusional pelaksanaan syari’at Islam di Aceh
sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh, merujuk kepada Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh; Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam; Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah; dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan. Di samping, didasarkan pada aturan pelaksanaan
berupa Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun
2003 tentang Mahkamah Syar’iyyah Provinsi Nanggroe Aceh
13 Lihat Penjelasan Umum Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang
Pelaksanaan Syari’at Islam bidang Akidah, Ibadah, dan Syi’ar Islam.
14 Dalam bahasa Arab kata hukum berasal dari al-hukm, akar kata hakama
yang berarti memerintah, mengatur, dan mengadili.Al-hakim berarti yang
memerintah, mahkum alaih berarti yang diperintah (rakyat), dan mahkum bih yang
berarti aturan untuk memerintah. Lihat Mutammimul ‘Ula, Perspektif Penerapan Syari’at Islam, dalam Salim Segaf Al-Jufri, dkk, Penerapan Syari’at Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Globalmedia Cipta Publishing, 2004), h. 61.
Kandungan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 47
Darussalam dan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor: KMA/070/SK/X/2004 tentang Pelimpahan
Sebagian Kewenangan dari Peradilan Umum kepada Mahkamah
Syar’iyyah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.15
Dalam penjelasan resmi Undang-Undang Nomor 44 Tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah
Istimewa Aceh antara lain dinyatakan: “Isi Keputusan Perdana
Menteri Republik Indonesia Nomor 1/ Missi/1959 tentang
Keistimewaan Propinsi Aceh yang meliputi agama, peradatan, dan
pendidikan, yang selanjutnya diperkuat dengan Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, bahkan
ditambah dengan penambahan peran ulama dalam menentukan
kebijakan daerah. Untuk menindak lanjuti ketentuan-ketentuan
mengenai Keistimewaan Aceh tersebut dipandang perlu untuk
menyusun penyelenggaraan keistimewaan Aceh tersebut dalam
suatu undang-undang. Undang-undang yang mengatur mengenai
penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh ini
dimaksudkan untuk memberikan landasan bagi Propinsi Daerah
Istimewa Aceh dalam mengatur urusan-urusan yang telah menjadi
keistimewaannya melalui kebijakan daerah. Undang-undang ini
mengatur hal-hal pokok untuk selanjutnya memberi kebebasan
kepada Daerah dalam mengatur pelaksanaannya sehingga Kebijakan
Daerah lebih akomodatif terhadap aspirasi masyarakat Aceh”.16
Mengenai pelaksanaan syari’at Islam, dalam Pasal 4 ayat (1)
dan (2) dijelaskan: (1) Penyelenggaraan kehidupan beragama di
Daerah diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan syari’at Islam bagi
15 Danial, “Syari’at Islam dan Pluralitas Sosial: Studi Tentang Minoritas
Non-Muslim dalam Qanun Syari’at Islam di Aceh” (Banda Aceh: Jurnal Analisis,
Vol. XII, Nomor 1, 2012), h. 75.
16 Dinas Syari’at Islam Provinsi Aceh, Himpunan Undang-Undang, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah/Qanun, Instruksi Gubernur dan Surat Edaran Gubernur Berkaitan dengan Pelaksanaan Syari’at Islam (Banda Aceh: Dinas
Syari’at Islam Provinsi NAD, 2005), h. 9.
48 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
pemeluknya dalam bermasyarakat; dan (2) Daerah mengembangkan
dan mengatur penyelenggaraan kehidupan beragama, sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 dengan tetap menjaga kerukunan hidup
antarumat beragama.17 Merujuk pada kutipan pasa-pasal tersebut,
maka dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, umat Islam diberi
izin untuk melaksanakan syari’at Islam di dalam kehidupannya,
sebagai bentuk pengakuan atas keistimewaan Aceh. Istilah dalam
bermasyarakat yang termaktub dalam pasal 4 ayat 2 di atas menurut
tim penyusun rumusan ini adalah untuk menegaskan dan
menguatkan bahwa syari’at Islam yang akan dilaksanakan di Aceh
bukan hanya aturan dalam bidang ibadah, melainkan mencakup
berbagai aturan lainnya dalam kehidupan bermasyarakat.18
Kedua,
pelaksanaan syari’at Islam di Aceh hanya berlaku bagi pemeluk
agama Islam. Sehingga setiap perumusan pasal dan pelaksanaannya
harus tetap menjaga kerukunan antarumat beragama, khususnya
yang ada di Aceh. Ketiga, daerah diberikan kewenangan untuk
mengembangkan dan mengatur penyelenggaraan kehidupan
beragama. Salah satu bentuk pengaturannya adalah dengan
dibuatnya Qanun pelaksanaan syari’at Islam.19
Dalam rangka menindak lanjuti pelaksanaan syari’at Islam
sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun
1999 di atas, maka disahkanlah Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh
sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Konsideran huruf (e)
undang-undang ini berbunyi: “Bahwa pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan
17 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999, BAB III Penyelenggaraan
Keistimewaan. Bagian Kedua, Penyelenggaraan Kehidupan Beragama, Pasal 4.
18 Al Yasa’ Abubakar, Syari’at Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; Paradigma, Kebijakan, dan Kegiatan (Banda Aceh: Dinas Syari’at
Islam Propinsi NAD, 2005), h. 46.
19 Danial, Syari’at Islam, h. 76.
Kandungan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 49
Propinsi Daerah Istimewa Aceh perlu diselaraskan dalam
penyelenggaraan pemerintahan di Propinsi Daerah Istimewa Aceh
sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam”. Selanjutnya, dalam
Pasal 25 ayat (1) (2) dan (3) undang-undang ini menjelaskan: (1)
Peradilan Syari’at Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam
sebagai bagian dari sistem peradilan nasional dilakukan oleh
Mahkamah Syar’iyyah dan bebas dari pengaruh pihak manapun; (2)
Kewenangan Mahkamah Syar’iyyah sebagaimana dimaksud pada
ayat 1 didasarkan atas syari’at Islam dalam sistem hukum nasional,
yang diatur lebih lanjut dengan Qanun Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam; dan (3) Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam
ayat 2 diberlakukan bagi pemeluk agama Islam.20
Setelah keluarnya legalitas formal untuk menjalankan syari’at
Islam, kemudian Pemerintah Aceh merespon dengan mengeluarkan
beberapa Qanun sebagai hukum dasar dalam menjalankan syari’at
Islam secara kāffah. Menurut Al Yasa’ Abubakar, kata kāffah dalam
pelaksanaan syari’at Islam di Aceh perlu ditambahkan karena
sebagian orang memahami syari’at Islam hanya sebatas ibadah dan
sebagian hukum keluarga (perkawinan, pewarisan, dan kematian).
Bagi umat Islam melaksanakan syari’at Islam secara kāffah dalam
kehidupan sehari-hari, baik dalam kehidupan pribadi atau dalam
kehidupan kemasyarakatan (sosial) adalah perintah Allah SWT dan
kewajiban suci yang harus selalu diupayakan dan diperjuangkan.
Selain itu, kata ini juga sangat penting secara politik praktis, karena
pemberlakuan syari’at Islam di Aceh telah melibatkan Negara,
dalam hal ini Pemerintah Aceh yang didukung oleh Pemerintah
Pusat dan Undang-Undang.21
Pada tahun 2000, sebagai upaya untuk menjabarkan dari
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tersebut, Pemerintah Aceh
20 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001, BAB XI Mahkamah Syar’iyah
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Pasal 25.
21 Al Yasa’ Abubakar, Syari’at Islam, h. 43.
50 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2000
tentang Pelaksanaan Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam. Selanjutnya sebagai kewajiban pengembangan dari
pelaksanaan syari’at Islam, dalam Pasal 2 Perda ini menyebutkan
bahwa Pemerintah Daerah berkewajiban untuk mengembangkan dan
membimbing serta mengawasi pelaksanaan syari’at Islam dengan
sebaik-baiknya. Kemudian secara rinci dalam Pasal 3 ayat (1) (2)
dan (3) dijelaskan: (1) Setiap pemeluk agama Islam wajib menaati,
mengamalkan/menjalankan Syari’at Islam secara kāffah dalam
kehidupan sehari-hari dengan tertib dan sempurna; (2) Kewajiban
menaati dan mengamalkan/menjalankan Syari’at Islam sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) pasal ini dilaksanakan dalam kehidupan
sehari-hari melalui diri pribadi, keluarga, masyarakat dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara; dan (3) Setiap warga Negara RI
atau siapapun yang bertempat tinggal atau singgah di Daerah
Istimewa Aceh, wajib menghormati pelaksanaan Syari’at Islam di
daerah.22
Untuk mewujudkan Keistimewaan Aceh dalam bidang
penyelenggaraan kehidupan beragama, setiap orang atau badan
hukum yang berdomisili di daerah mempunyai kewajiban agar
menjunjung tinggi pelaksanaan syari’at Islam dalam kehidupannya.
Selanjutnya dalam Perda Nomor 5 Tahun 2000 ini ditetapkan 13
pokok yang menjadi aspek pelaksanaan syari’at Islam di Aceh,
yakni: (1) Akidah, (2) Ibadah, (3) Muamalah, (4) Akhlak, (5)
Pendidikan dan dakwah islamiyah/ amar ma’ruf nahi mungkar, (6)
Baitul mal, (7) Kemasyarakatan, (8) Syi’ar Islam, (9) Pembelaan
Islam, (10) Qadha, (11) Jinayat, (12) Munakahat, dan (13)
Mawaris. 23
Di tahun-tahun berikutnya kemudian lahir beberapa
22 Perda Nomor 5 Tahun 2000, BAB III Kewajiban dan Pengembangan, dan
Pelaksanaan Syari’at Islam, Pasal 3 dan 4.
23 Perda Nomor 5 Tahun 2000, BAB IV Aspek Pelaksanaan Syari’at Islam,
Pasal 5.
Kandungan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 51
Qanun Aceh lainnya sebagai tindak lanjut dari Perda Nomor 5
Tahun 2000 tersebut, di antaranya ialah: Qanun Nomor 11 Tahun
2002 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Bidang Akidah, Ibadah,
dan Syi’ar Islam; Qanun Nomor 12 Tahun 2003 tentang Khamar;
Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir; Qanun Nomor 14
Tahun 2003 tentang Khalwat; Qanun Nomor 7 Tahun 2004 tentang
Pengelolaan Zakat; dan Qanun Jinayat tahun 2014. Sedangkan
mengenai kelembagaannya disahkan Qanun Nomor 10 Tahun 2002
tentang Peradilan Syari’at Islam; dan Qanun Nomor 11 Tahun 2004
tentang Kepolisian Daerah. Selanjutnya pada tahun 2006, dengan
diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh, maka penerapan syari’at Islam di Aceh
memiliki landasan yuridis yang semakin kokoh.24
B. Maksud dan Tujuan
Secara umum, tujuan utama syari’at Islam ialah untuk
menegakkan keadilan di antara seluruh umat manusia dan
mewujudkan persaudaraan di antara mereka. Selain itu,
diberlakukannya hukum syari’at Islam juga bertujuan untuk
melindungi agama, moral, darah, kehormatan, harta benda, dan akal
pikiran orang-orang Islam. Dengan demikian tujuan akhirnya ialah
akan tercapai kemaslahatan bagi seluruh umat manusia.25
Pengaturan tentang akidah yang diatur dalam Qanun ini bertujuan
untuk membentengi masyarakat Aceh dari segala ajaran sesat yang
dapat merusak keimanan dan ketakwaan. Pengaturan ibadah baik
shalat fardu, shalat Jum’at, maupun puasa ramadhan juga
dimaksudkan untuk mendorong dan menggalakkan orang Islam
untuk melaksanakan dan meningkatkan kualitas serta intensitas
ibadah sebagai wujud pengabdiannya yang hanya diperuntukkan
24 Danial, Syari’at Islam, h. 77.
25 Al Yasa’ Abubakar, Syari’at Islam, h. 45.
52 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
kepada Allah semata. Upaya tersebut juga perlu didukung oleh
kondisi dan situasi syi’ar Islam yang berjalan baik, namun masih
dalam lingkup ibadah.26
Selanjutnya secara lebih rinci tujuan dan fungsi pengaturan
pelaksanaan syari’at Islam bidang akidah, ibadah, dan syi’ar Islam
diterangkan dalam pasal perpasal sebagai berikut.27
Pasal 2 ayat (1)
(2) dan (3): (1) Membina dan memelihara keimanan dan ketakwaan
individu dan masyarakat dari pengaruh ajaran sesat; (2)
Meningkatkan pemahaman dan pengamalan ibadah serta penyediaan
fasilitasnya; dan (3) Menghidupkan dan menyemarakkan kegiatan-
kegiatan guna menciptakan suasana dan lingkungan yang islami.
Pasal 3: “Ketentuan-ketentuan dalam Qanun ini berfungsi sebagai
pedoman pelaksanaan syari’at Islam bidang akidah, ibadah, dan
syi’ar Islam”.28
C. Muatan Aturan
Muatan aturan dalam Qanun Nomor 11 Tahun 2002 ini
menyangkut tiga aspek penting sebagai pondasi bagi masyarakat
dalam menjalankan ajaran Islam, yakni akidah, ibadah, dan syi’ar
26 Lihat Penjelasan Umum Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang
Pelaksanaan Syari’at Islam bidang Akidah, Ibadah, dan Syi’ar Islam.
27 Legalisasi pelaksanaan syari’at Islam bidang akidah, ibadah, dan syi’ar
Islam bukanlah upaya untuk mengatur substansi dari akidah dan ibadah tersebut.
Karena masalah substansi telah di atur oleh nash dan telah dikembangkan oleh para
ulama dalam berbagai disiplin ilmu keislaman. Lahirnya Qanun Nomor 11 Tahun
2002 berupaya untuk memelihara tradisi kultural yang telah ada. Selain itu,
legislasi pelaksanaan syari’at Islam yang diatur dalam Qanun Nomor 11 Tahun
2002 hanyalah sebagai upaya untuk membina, menjaga, memelihara serta
melindungi akidah orang Islam di Aceh dari berbagai aliran sesat. Di samping itu,
hadirnya Qanun itu juga diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan intensitas
ibadah (ketaatan) sebagai wujud pengabdian kepada Allah. Lihat Penjelasan Umum
Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam bidang Akidah, Ibadah, dan Syi’ar Islam.
28 Qanun Nomor 11 Tahun 2002, BAB II Tujuan dan Fungsi, Pasal 2-3.
Kandungan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 53
Islam. Berikut secara rinci penjelasan ketiga aspek dalam Qanun
tersebut.
1. Pemeliharaan Akidah
Dalam konsep Islam, akidah dikaitkan dengan keyakinan
bukan perbuatan. Seperti yang tergambar dalam kalimat syahadat
“Asyhadu an-laa ilaaha illallaah Wa asyhadu anna Muhammadan
rasuulullaah” (Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan
Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul utusan Allah).
Konsep yang demikian dikenal dengan istilah tauhid. Secara
etimologi, tauhid berarti mengesakan, yaitu mengesakan Allah.29
Formulasi paling pendek dari tauhid itu ialah kalimat thayyibah: la
ilaha illa Allah, yang artinya tidak ada Tuhan selain Allah. Iman
kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW merupakan asas
dalam akidah Islam.
Al Qur’an juga telah menetapkan seperangkat iman dasar dan
kriteria tentang iman versus kafir yang terangkum dalam Rukun
Iman, yakni: Iman kepada Allah, para Malaikat, kitab suci yang
diwahyukan, Nabi dan Rasul, hari kebangkitan, dan iman kepada
qada baik dan qadar buruk. Hal ini sebagaimana yang diterangkan
dalam Al Qur’an Surah An Nisa ayat 136: “Wahai orang-orang yang
beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada
kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah
turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari
kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-
jauhnya”. Menerima konsep keimanan dasar tersebut memberi hak
kepada seseorang untuk disebut Mukmin, sementara jika menolak
kriteria tersebut berarti telah menjadi kafir.30
Iman menempatkan
29 Departemen Pendidikan, Kamus Besar, h. 1411.
30 Menurut Harun Nasution, penentuan seseorang kafir atau tidak kafir
bukan lagi soal politik, tetapi soal teologi. Kafir ialah orang yang tidak percaya dan
lawannya ialah mu’minin, orang yang percaya. Di dalamnya kata kafir dipakai
54 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
seorang Muslim di atas jalan yang lurus, dan dilandasi dengan
perbuatan yang menunjukkan komitmen dan kesungguhan terhadap
imannya. Karena dalam Islam, tujuan seseorang hidup bukanlah
untuk sekedar menyatakan tetapi lebih dari itu ialah berusaha untuk
mewujudkan kehendak Tuhan, yaitu untuk menyebarkan risalah dan
hukum Islam. Jika beriman saja tanpa perbuatan maka akan hampa
dan tidak bermanfaat.31
Islam adalah iman dan amal. Iman
merupakan akidah yang menjadi dasar bagi syari’at Islam. Akidah
adalah pokok dan syari’at adalah cabang. Iman dan amal atau akidah
dan syari’at saling terkait dan berhubungan, seperti buah dan
pohonnya, atau sebab dan akibat, atau seperti konklusi dengan
premisnya. Karena itulah Al Qur’an selalu menggandengkan amal
saleh kepada iman.32
Dengan demikian kata akidah dapat diartikan sebagai suatu
perkara yang wajib dibenarkan oleh hati dan jiwa dengan keimanan
yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah dengan segala
pelaksanaan kewajiban untuk bertauhid, sehingga menjadi suatu
kenyataan yang teguh dan kokoh. Sayid Sabiq dalam salah satu
bukunya yang berjudul Akidah Islamiyah menyatakan bahwa
sesungguhnya akidah Islam merupakan jiwa bagi setiap individu.
terhadap orang yang tidak percaya pada Nabi Muhammad dan ajaran yang beliau
bawa, yaitu orang yang belum menjadi mu’min atau masuk Islam. Dengan kata
lain, kata kafir dipakai untuk golongan di luar Islam. Lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Depok: UI Press, 1985), Jilid II, Cet-V, h. 27.
31 John L. Eposito, Islam Warna-Warni: Ragam Ekspresi Menuju Jalan Lurus, (Penerjemah Arif Maftuhin) (Jakarta: Paramadina, 2004), Cet. I, h. 87.
32 Zainun Kamal, Kontekstualisasi Syari’at Islam: Sebuah Pendekatan Hermeneutik, dalam Masykuri Abdillah, dkk, Formalisasi Syari’at Islam Di Indonesia: Sebuah Pergulatan yang Tak Pernah Tuntas (Jakarta: Renaisan, 2005), h.
13.
Kandungan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 55
Akidah menjadikan hidup seseorang akan lebih baik. Bila
kehilangan akidah, maka ruhaniyahnya mengalami kematian.33
Pemahaman akidah islamiyah berdasarkan ahlussunnah wal
jama’ah yang dimaksudkan dalam Qanun ini sesuai dengan
pemahaman umum yang selama ini dipahami, yakni keimanan yang
teguh dan bersifat pasti kepada Allah SWT dengan segala
pelaksanaan kewajiban; seperti bertauhid, taat kepada-Nya, beriman
kepada malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya,
hari akhir, takdir baik dan buruk dan mengimani seluruh apa-apa
yang telah sahih tentang prinsip-prinsip agama, perkara-perkara
yang gaib, serta seluruh berita-berita yang qathi’ (pasti), baik secara
ilmiah maupun secara amaliah yang telah ditetapkan menurut Al
Qur’an dan Sunnah yang sahih.34
Lebih jauh, dalam memahami
paham ahlussunnah wal jama’ah dapat dilihat secara semantis dan
historis. Secara semantis, ahlussunnah wal jama’ah identik dengan
agama Islam. Munculnya suatu kelompok ahlussunnah wal jama’ah
sudah dikenal sejak zaman Rasulullah. Salah satu wujudnya
terungkap dalam hadis yang menerangkan bahwa umat Islam kelak
akan terpecah menjadi 73 golongan: 72 golongan masuk neraka,
sedangkan satu golongan masuk surga. Ketika ditanya siapa
golongan yang terakhir tersebut, Rasul menjawab ma ana alaihi wa
ashabi (apa yang ada padaku dan sahabatku).35
Sedangkan secara
historis, ahlussunnah wal jama’ah lahir dari sebuah proses politik
33 Sri Suyanta, dkk, Buku Panduan Pelaksanaan Syari’at Islam untuk
Remaja, Pelajar dan Mahasiswa (Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam Provinsi Aceh,
2008), Cet-II, h. 17.
34 Lihat artikel Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Pengertian Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, dalam almanhaj.or.id. Diakses tanggal 1 September 2016.
35 Hadis yang terkenal dalam meriwayatkan hal ini ialah At-Tabrani dan
At-Turmudzy. Ketika ditanya siapa golongan yang masuk surga, dalam At-Tabrani
disebutkan Rasul menjawab ahlussunnah wal jama’ah; sedangkan dalam At-
Turmudzy disebutkan ana alaihi al-yaum wa ashabi. Lihat Ali Masykur Musa,
Nasionalisme Di Persimpangan: Pergumulan NU dan Paham Kebangsaan Indonesia
(Jakarta: Erlangga, 2011), h. 30.
56 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
sepeninggal Rasulullah terkait khilafah: siapa yang akan
menggantikan beliau sebagai pemimpin umat?. Perbedaan
pemahaman keislaman tersebut akhirnya menjadi perbedaan garis
politik dengan munculnya paham Syiah, Khawarij, Murjiah, dan
Mu’tazilah.36
Upaya pemeliharaan akidah yang diatur dalam Qanun Nomor
11 Tahun 2002 dapat dilihat dalam penjelasan pasal perpasal
tentang Pemeliharaan Akidah sebagai berikut. “Pasal 4 ayat (1) dan
(2): (1) Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota dan institusi
masyarakat berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat
serta mengawasinya dari pengaruh paham dan atau aliran sesat; dan
(2) Setiap keluarga/orang tua bertanggung jawab menanamkan
aqidah kepada anak-anak dan anggota keluarga yang berada di
bawah tanggung jawabnya. Pasal 5 ayat (1) (2) dan (3): (1) Setiap
orang berkewajiban memelihara aqidah dari pengaruh paham atau
aliran sesat;37 (2) Setiap orang dilarang menyebarkan paham atau
aliran sesat; dan (3) Setiap orang dilarang dengan sengaja keluar
dari aqidah dan atau menghina atau melecehkan agama Islam. Pasal
6: “Bentuk-bentuk paham dan atau aliran yang sesat di tetapkan
melalui fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU)”.38
2. Pengamalan Ibadah
Menurut ajaran Islam, manusia diciptakan ke alam dunia ini
membawa dua risalah, yaitu: Pertama, risalah ibadah. Hal ini
sebagaimana yang diterangkan dalam Al Qur’an Surah Adz Dzariyat
36 Ali Masykur Musa, Nasionalisme Di Persimpangan, h. 31.
37 Paham sesat yang dimaksud ialah pendapat-pendapat tentang akidah
yang tidak berdasarkan kepada Al Qur’an atau Hadis Shahih, atau penafsiran yang
tidak memenuhi persyaratan metodologis atas kedua sumber tersebut di bidang
akidah. Lihat Qanun Nomor 11 Tahun 2002, BAB III Pemeliharaan Aqidah, Pasal
4-6.
38 Qanun Nomor 11 Tahun 2002, BAB III Pemeliharaan Aqidah, Pasal 4-6.
Kandungan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 57
ayat 56: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka menyembah-Ku”. Kedua, risalah khilafah. Al Qur’an
Surah Al An’am ayat 165 menjelaskan: “Dan Dialah yang
menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan
sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk
mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu.
Sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat siksaan-Nya, dan
sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Dari
kedua risalah itu apabila ada manusia mampu melaksanakan risalah
ibadah dengan baik dan mampu melaksanakan risalah khilafah
dengan sukses, maka ia pantas disebut sebagai manusia yang paling
ideal. Namun di dunia ini hanya ada satu manusia yang mampu
melaksanakan keduanya, yakni Nabi Muhammad SAW, sehingga ia
diutus oleh Allah untuk menjadi Nabi dan Rasul serta mendapat
julukan uswatun hasanah atau manusia teladan. Sebagaimana yang
di terangkan dalam Al Qur’an Surah Al Ahzab ayat 21:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.
Secara etimologi ibadah berarti taat, tunduk, patuh,
merendahkan diri dan tunduk. Kesemua pengertian itu mempunyai
makna yang berdekatan. Seseorang yang tunduk, patuh
merendahkan dan hina diri di hadapan yang disembah disebut abid
(yang beribadah).39
Dalam pengertian Islam ibadah dapat diartikan
sebagai kepatuhan secara total kepada Allah dengan melaksanakan
dan mengikuti segala cara yang diperintah-Nya melalui lisan para
Rasul-Nya, baik secara ucapan maupun perbuatan, zahir ataupun
batin.40
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ibadah
39 A Rahman Ritonga dan Zainuddin, Fiqih Ibadah (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1997), h. 1.
40 Muhammad Tholhah Hasan, Prospek Islam dalam Menghadapi Tantangan Zaman (Jakarta: Lantabora Press, 2005), Cet. V, h. 227.
58 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
diartikan sebagai segala usaha lahir dan batin sesuai dengan perintah
Tuhan untuk mendapatkan kebahagiaan dan keseimbangan hidup,
baik untuk diri sendiri, keluarga, masyarakat maupun terhadap alam
semesta.41
.
Aspek ibadah dalam hukum syari’at merupakan ajaran dan
tuntutan mengenai kehidupan praktis bagaimana seorang Muslim
menyembah Allah, berinteraksi dengan keluarga, tetangga,
masyarakat, bangsa dan Negara. Aspek lainnnya yaitu tentang
bagaimana seorang Muslim harus menahan diri untuk tidak berbuat
sesuka hatinya sehingga masyarakat aman, tentram serta bagaimana
memperlakukan sumber daya alam dengan baik yang dapat memberi
manfaat bagi seluruh makhluk. Oleh karenanya, hukum syari’at
yang hanya sekedar dimengerti secara aqliyah, dikuasai secara
teoritis, dan hanya dipahami secara normatif saja akan memberi
sedikit dampak bagi jiwa manusia, sedangkan hukum syari’at yang
diterapkan secara amaliyah, dilakukan secara praktis dan dihayati
secara operatif akan memberi dampak luar biasa bagi setiap jiwa
manusia yang melaksanakannya. Ibadah yang harus dipraktekkan
sesuai syari’at Islam ialah ibadah yang sebagaimana telah diajarkan
oleh ulama-ulama mazhab ahlussunnah wal jama’ah yang termaktub
dalam kitab-kitab fiqih karangan mereka.42
Ulama yang dianggap
representatif dalam mengajarkan ibadah sesuai dengan tuntutan
syari’at Islam dan bermazhab Sunni ialah para imam mazhab yang
empat, yaitu: Mazhab Malikiyah (Malik Ibn Anas, 713-795);
Mazhab Hanafiyah (Abu Hanifah, 699-767); Mazhab Hanbaliyah
41 Departemen Pendidikan, Kamus Besar Bahasa, h. 515.
42 Pemahaman ahlussunnah wal jama’ah sebagai ajaran yang mengandung
segi-segi Islam sesuai dengan ajaran Rasulullah ialah yang bersumber dari Al
Qur’an, Sunnah, Ijma, dan Qiyas. Dengan demikian ahlussunnah wal jama’ah tidak
terbatas pada aspek akidah, akan tetapi juga menyangkut pada ketiga aspek ajaran
Islam, yaitu akidah, syariah, dan akhlak. Ketiga ajaran tersebut diamalkan secara
serasi, seimbang, dan selaras dalam satu kesatuan. Lihat Ali Masykur Musa,
Nasionalisme Di Persimpangan, h. 33.
Kandungan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 59
(Ahmad Ibn Hanbal, 780-855); dan Mazhab Syafi’iyah (Muhammad
Ibn Idris al-Syafi’i, 767-820).43
Di wilayah Aceh khususnya, ajaran
fiqih yang paling banyak diikuti dan dikembangkan oleh para ulama
dan masyarakat adalah praktek ibadah yang dikembangkan oleh
Imam Syafi’i.44
Upaya pengamalan ibadah yang diatur dalam Qanun Nomor
11 Tahun 2002 dapat dilihat dalam penjelasan pasal perpasal
tentang Pengamalan Ibadah sebagai berikut. Pasal 7 ayat (1)
Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota dan institusi masyarakat
berkewajiban menyediakan fasilitas dan menciptakan kondisi dan
suasana lingkungan yang kondusif untuk pengamalan ibadah; dan
ayat (2) Setiap keluarga/orang tua bertanggung jawab untuk
membimbing pengamalan ibadah kepada anak-anak dan anggota
keluarga yang berada di bawah tanggung jawabnya. Pasal 8 ayat (1)
Setiap orang Islam yang tidak mempunyai uzur syar’i wajib
menunaikan shalat Jum’at; dan ayat (2) Setiap orang, instansi
pemerintah, badan usaha dan atau/institusi masyarakat wajib
menghentikan kegiatan yang dapat menghalangi/ mengganggu orang
Islam melaksanakan shalat Jum’at. Pasal 9 ayat (1) Setiap instansi
pemerintah, lembaga pendidikan dan badan usaha wajib
menggalakkan dan menyediakan fasilitas untuk shalat berjamaah;45
ayat (2) Pimpinan gampong diwajibkan memakmurkan masjid dan
atau Meunasah dengan shalat berjamaah dan menghidupkan
pengajian agama; dan ayat (3) Perusahaan pengangkutan umum
43 Taufik Adnan dan Samsu Rizal, Politik Syariat, h. 15.
44 Sri Suyanta, dkk, Buku Panduan, h. 242-243.
45 Diharapkan dengan mendirikan shalat fardhu lima waktu sehari semalam,
dan juga shalat-shalat sunat lainnya maka senantiasa kita akan mengingat Allah
dan terasa selalu dekat dengan-Nya. Sehingga rasa diawasi akan membuat
seseorang jauh dari perbuatan mungkar karena merasa malu untuk melakukan
maksiat, dan meyakini meskipun orang tidak melihatnya namun Allah melihatnya,
sehingga kita menjadi hamba yang selalu dekat dengan Allah. Lihat Sri Suyanta,
dkk, Buku Panduan, h. 110.
60 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
wajib memberi kesempatan dan fasilitas kepada pengguna jasa
untuk melaksanakan shalat fardhu. Pasal 10 ayat (1) Setiap
orang/badan usaha dilarang menyediakan fasilitas/peluang kepada
orang muslim yang tidak mempunyai uzur syar’i untuk tidak
berpuasa pada bulan Ramadhan; ayat (2) Setiap muslim yang tidak
mempunyai uzur syar’i dilarang makan atau minum di tempat/di
depan umum pada siang hari bulan Ramadhan;46 ayat (3) Selama
bulan Ramadhan masyarakat dianjurkan untuk menegakkan shalat
tarawih dan mengerjakan amalan sunat lainnya; dan ayat (4) Setiap
orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengganggu atau
mengurangi kenyamanan pelaksanaan shalat Tarawih berjamaah di
lingkungannya. Pasal 11: “Setiap orang yang berada di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam wajib menghormati pengamalan
ibadah”.47
3. Penyelenggaraan Syi’ar Islam
Dalam upaya mengangungkan Islam dalam kehidupan
masyarakat, syi’ar Islam menjadi bagian terpenting dan tidak
terpisahkan dalam pelaksanaan syari’at Islam di Aceh. Kata syi’ar
berasal dari syu’ur yang bermakna rasa, karena syi’ar dibangun agar
setiap orang yang melihatnya merasakan keagungan Allah. Selain
itu kata syi’ar juga bisa diartikan sebagai tanda atau rambu-rambu
yang dipasang untuk mengenali sesuatu atau menyampaikan kabar
berita kepada orang-orang yang tadinya tidak tahu menjadi tahu.
46 Namun meski demikian, dalam Qanun ini juga memberikan kemudahan
bagi seseorang yang sedang mengalami uzur syar’i, yaitu keadaan dimana seseorang
diperbolehkan untuk tidak berpuasa dengan alasan sakit dan sedang dalam
perjalanan (musafir) yang mengharuskan untuk berbuka karena rukhsah (izin
pengurangan atau keringanan karena adanya uzur). Lihat Penjelasan Umum Qanun
Nomor 11 Tahun 2002, Pasal 10.
47 Qanun Nomor 11 Tahun 2002, BAB IV Pengamalan Ibadah, Pasal 7-11.
Kandungan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 61
Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata syi’ar
mempunyai arti kemuliaan atau kebesaran.48
Upaya penyelenggaraan syi’ar Islam yang diatur dalam Qanun
Nomor 11 Tahun 2002 dapat dilihat dalam penjelasan pasal perpasal
tentang Penyelenggaraan Syi’ar Islam sebagai berikut. Pasal 12 ayat
(1) Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota dan institusi masyarakat
dianjurkan menyelenggarakan peringatan hari-hari besar Islam; ayat
(2) Setiap Instansi Pemerintah/lembaga swasta, institusi masyarakat
dan perorangan dianjurkan untuk mempergunakan tulisan Arab
Melayu di samping tulisan Latin; ayat (3) Setiap Instansi
Pemerintah/Lembaga Swasta dianjurkan untuk mempergunakan
penanggalan Hijriah dan penanggalan Masihiah dalam surat-surat
resmi; dan ayat (4) Setiap dokumen resmi yang dibuat di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam wajib mencantumkan penanggalan
Hijriah di samping penanggalan Masihiah. Pasal 13 ayat (1) Setiap
orang Islam wajib berbusana Islami;49 ayat (2) Pimpinan instansi
pemerintah, lembaga pendidikan, badan usaha dan atau institusi
masyarakat wajib membudayakan busana Islami di
lingkungannya”.50
D. Sanksi
Pada dasarnya maksud dan tujuan pemberian sanksi bagi para
pelanggar ialah sebagai upaya pencegahan (ar-rad’u waz-zajru/
48 Departemen Pendidikan, Kamus Besar, h. 1368.
49 Berbusana islami yang dimaksud yaitu pakaian yang menutup aurat, bagi
wanita seluruh tubuh kecuali tangan, kaki, dan wajah. Selain itu juga tidak tembus
pandang, dan tidak memperlihatkan bentuk tubuh. Sedangkan bagi laki-laki seperti
dilarang mengenakan celana pendek di bawah lutut (celana pongol) di tempat-
tempat umum. Mengenakan celana pendek dianggap menampakkan aurat dan dapat
menimbulkan kemaksiatan di lingkungan. Lihat Penjelasan Umum Qanun Nomor
11 Tahun 2002, Pasal 13.
50 Qanun Nomor 11 Tahun 2002, BAB III Penyelenggaraan Syi’ar Islam, Pasal 12-13.
62 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
preventive) dan pengajaran atau pendidikan (al-islah wat-tahzib).
Pencegahan adalah suatu usaha agar seorang pelanggar tidak lagi
mengulangi perbuatan dan memberi pelajaran bagi orang lain agar
tidak melakukannya. Diberikannya sanksi atau hukuman juga
bertujuan untuk menakut-nakuti, syari’at Islam sangat peduli dan
memberi perhatian agar para pelaku kejahatan tidak akan
mengulangi lagi perbuatannya. Demikian juga dengan masyarakat
lainnya yang mempunyai niat untuk melakukan kejahatan, mereka
akan pikir-pikir dahulu sebelum melakukannya. Pada dasarnya
hukuman cambuk yang diberikan tidak terlalu berat (sesuai
pelanggarannya), namun efek lain yang ditimbulkan sesudah
dicambuk, yakni pelaku akan menanggung hukuman lain berupa
sanksi sosial di lingkungannya karena diberikan hukuman cambuk di
depan umum, menanggung malu dan bisa jadi pelaku akan
dikucilkan oleh masyarakatnya. Pada akhirnya sanksi yang diberikan
nantinya dapat menumbuhkan kesadaran pada diri individu dan
masyarakat secara umum. Selain itu, dengan adanya sanksi tersebut
secara otomatis akan dapat mengurangi kejahatan serta
menumbuhkan rasa aman dan kesejahteraan bagi warga
masyarakat.51
Selanjutnya sanksi yang diberikan bagi pelanggaran Qanun
Nomor 11 Tahun 2002 ini dijelaskan dalam uraian pasal perpasal
tentang Ketentuan Pidana sebagai berikut.52
Pasal 20 ayat (1)
Barang siapa yang menyebarkan paham atau aliran sesat
sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (2) dihukum dengan
ta’zir berupa hukuman penjara paling lama 2 (dua) tahun atau
hukuman cambuk di depan umum paling banyak 12 (dua belas) kali;
51 Sri Suyanta, dkk, Buku Panduan, h. 301-303
52 Selain sanksi-sanksi yang telah diatur dalam Qanun ini, bagi pelanggar
yang dianggap berat dan menciderai kehidupan adat di Aceh juga dapat dikenakan
sanksi lain berupa hukuman Adat yang telah diatur dalam Qanun Nomor 9 Tahun
2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat.
Kandungan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 63
dan ayat (2) Barang siapa yang dengan sengaja keluar dari aqidah
Islam dan atau menghina atau melecehkan agama Islam
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) akan dihukum dengan
hukuman yang akan diatur dalam qanun tersendiri.53 Pasal 21 ayat
(1) Barang siapa tidak melaksanakan shalat jum’at tiga kali
berturut- turut tanpa uzur syar’i sebagaimana dimaksud dalam pasal
8 ayat (1) dihukum dengan ta’zir berupa hukuman penjara paling
lama 6 (enam) bulan atau hukuman cambuk di depan umum paling
banyak 3 (tiga) kali; dan ayat (2) Perusahaan pengangkutan umum
yang tidak memberi kesempatan dan fasilitas kepada pengguna jasa
untuk melaksanakan shalat fardhu sebagaimana dimaksud dalam
pasal 9 ayat (3) dipidana dengan hukuman ta’zir berupa pencabutan
izin usaha.54
Pasal 22 ayat (1) Barang siapa yang menyediakan
fasilitas/peluang kepada orang muslim yang tidak mempunyai uzur
syar’i untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadhan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 10 ayat (1) dipidana dengan hukuman ta’zir
berupa hukuman penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda
paling banyak 3 (tiga) juta rupiah atau hukuman cambuk di depan
umum paling banyak 6 (enam) kali dan dicabut izin usahanya; dan
ayat (2) Barang siapa yang makan atau minum di tempat/di depan
umum pada siang hari bulan Ramadhan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 10 ayat (2) dipidana dengan hukuman ta’zir berupa
hukuman penjara paling lama 4 (empat) bulan atau hukuman
cambuk di depan umum paling banyak 2 (dua) kali. Pasal 23:
“Barang siapa yang tidak berbusana Islami sebagaimana dimaksud
53 Ancaman hukuman bagi setiap orang dengan sengaja keluar dari akidah
Islam, menghina, atau melecehkan Islam diatur dalam Qanun tersendiri tentang
Hudud. Lihat Penjelasan Umum Qanun Nomor 11 Tahun 2002.
54 Qanun Nomor 11 Tahun 2002, BAB VIII Ketentuan Pidana, Pasal 20-21.
64 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
dalam pasal 13 ayat (1) dipidana dengan hukuman ta’zir setelah
melalui proses peringatan dan pembinaan oleh Wilayatul Hisbah”.55
E. Peraturan Daerah Tentang Syari’at Islam dan Kerukunan
Umat Beragama
Tuhan Yang Maha Esa telah menganugerahkan bangsa
Indonesia dengan penduduk yang bercorak plural. Pluralitas itu
ditandai dengan adanya kesatuan-kesatuan sosial yang beraneka
ragam; dari suku, ras, budaya, hingga agama. Dari segi agama
khususnya, Indonesia ditempati oleh penduduk dengan latar
belakang agama yang berbeda-beda, baik agama mondial maupun
agama lokal telah hidup dan tumbuh subur di Indonesia dengan
jumlah pemeluk yang bervariasi. Maka dengan adanya pluralitas
tersebut, Negara menjamin kemerdekaan dan memberi perlindungan
bagi setiap orang untuk memeluk dan menjalankan aktivitas
keagamaannya masing-masing. Hal ini sebagaimana yang telah
diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 29 ayat (2) yang
berbunyi: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut
agamanya dan kepercayaannya itu”.56
Pasal 28E ayat (1) dan (2)
juga menyebutkan: (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan
beribadat menurut agamanya; dan (2) Setiap orang berhak atas
kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap
sesuai hati nuraninya.57
Selain itu, Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 22 ayat (1) dan (2)
juga menegaskan: (1) Setiap orang bebas memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan
kepercayaannya itu; dan (2) Negara menjamin kemerdekaan setiap
55 Qanun Nomor 11 Tahun 2002, BAB VIII Ketentuan Pidana, Pasal 22-23.
56 Undang-Undang Dasar 1945, BAB XI Agama, Pasal 29.
57 Undang-Undang Dasar 1945, BAB XA Hak Asasi Manusia, Pasal 28E.
Kandungan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 65
orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu.58
Agama mondial seperti Katolik, Kristen, Hindu, Buddha
maupun Khonghucu sejak dahulu telah hidup berdampingan dengan
masyarakat Aceh yang beragama Islam sehingga telah dianggap
menjadi bagian dari kehidupan masyarakat.59
Agama-agama
tersebut berkembang dan tetap eksis di wilayah ini meskipun
menjadi agama yang minoritas.60
Tak ubahnya dalam Negara
Indonesia yang secara resmi telah sah melayani keenam agama besar
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965,
keberadaan agama-agama tersebut di wilayah Aceh juga mempunyai
hak yang sama, yaitu diakui dan mendapat pelayanan serta
perlindungan dari pemerintah.61
Hal ini sesuai ketetapan dalam
Perda Nomor 5 Tahun 2000 yang mengisyaratkan bahwa agama
selain Islam juga diakui di Aceh, begitu juga para pemeluknya
dihormati dan dilindungi keberadaannya serta diberi kebebasan
untuk beribadat sesuai ajaran dan kewajiban agamanya. Sehingga
umat non-Muslim tidak perlu resah berada di wilayah ini karena
telah mempunyai payung hukum yang pasti. Dalam Pasal 2 ayat (2)
58 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, BAB III Hak Asasi Manusia dan
Kebebasan Dasar Manusia, Bagian Kelima Hak Atas Kebebasan Pribadi, Pasal 22.
59 Pluralitas dalam segi agama meniscayakan dibangunnya kerukunan dan
keharmonisan kehidupan umat beragama demi terciptanya kondisi yang ideal bagi
pembangunan bangsa di segala bidang. Lihat Bahrul Hayat, Mengelola Kemajemukan, h. 7.
60 Minoritas dalam makna kuantitas merujuk pada jumlah yang sedikit,
sedangkan dalam arti kualitas akses dan peran yang sedikit. Sementara dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, minoritas bermakna golongan sosial yang jumlah
warganya jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan golongan lain di suatu
masyarakat. Departemen Pendidikan, Kamus Besar, h. 917.
61 Keenam agama ini adalah agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk
Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan, tetapi mereka juga mendapat
bantuan-bantuan dan perlindungan dari Pemerintah. Lihat Penjelasan atas Pasal 1
Undang-Undang Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS Tahun
1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
66 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
ditegaskan: “Keberadaan agama lain di luar agama Islam tetap
diakui di daerah ini, pemeluknya dapat menjalankan ajaran
agamanya masing-masing”.62
Hukum syari’at Islam tidak menginginkan adanya aktivitas
yang merusak, mengusik dan mengabaikan hak-hak asasi yang
menjadi milik semua orang. Dalam hal ini menjaga hubungan
kehidupan masyarakat bahwa syari’at Islam mengemban misi
menanamkan rasa tanggung jawab sosial sebagai suatu ikatan fungsi
kemasyarakatan, menjaga opini umum dan mendukung berjalannya
sistem kenegaraan yang sah.63
Cita-cita tersebut yang kemudian
selalu diupayakan dalam mewujudkan pelaksanaan syari’at Islam di
Aceh. Di samping itu, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh juga secara tegas mengatakan bahwa
syari’at Islam hanya diperuntukkan bagi warga Muslim. Sedangkan
bagi warga non-Muslim atau orang yang tinggal di Aceh tidak
dituntut untuk mengikuti berbagai produk hukum yang berlaku
dalam Qanun. Dalam kata lain hanya sebatas menghormati
pelaksanaannya tanpa terikat dan tidak harus ikut menjalankannya.
Pasal 126 ayat (1) dan (2) menyebutkan: (1) Setiap pemeluk agama
Islam di Aceh wajib menaati dan mengamalkan syari’at Islam; dan
(2) Setiap orang yang bertempat tinggal atau berada di Aceh wajib
menghormati pelaksanaan syari’at Islam.64
Dari penjelasan poin pasal 126 tersebut dapat diambil
kesimpulan sederhana bahwa sekalipun hukum syari’at Islam berada
di bawah hukum positif Negara Indonesia, namun dari segi
implementasinya tidak mengganggu komunitas agama lain di Aceh,
karena hukum syari’at hanya diberlakukan bagi umat Muslim.
Dalam undang-undang ini juga memberi perhatian besar pada
62 Perda Nomor 5 Tahun 2000, BAB II Tujuan dan Fungsi, Pasal 2.
63 Abdul Majid, Syari’at Islam, h. 24.
64 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, BAB XVII Syari’at Islam dan Pelaksanaannya, Pasal 126.
Kandungan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 67
toleransi dan kerukunan hidup antrumat beragama, karena
kerukunan juga merupakan hal mutlak yang sangat diperlukan di
Aceh. Pemerintah beserta segenap masyarakat menjamin kebebasan
dan menghormati hak-hak non-Muslim untuk menjalankan
ibadahnya sesuai dengan ajaran agama yang dianut, serta bersama-
sama menjaga dan membina kerukunan hidup antarumat beragama.
Pasal 127 ayat (2) menyebutkan bahwa: “Pemerintah Aceh dan
kabupaten/kota wajib menjamin kebebasan, membina kerukunan,
menghormati nilai-nilai agama yang dianut oleh umat beragama dan
melindungi sesama umat beragama untuk menjalankan ibadah sesuai
dengan agama yang dianutnya”.65
Dalam Qanun Nomor 11 Tahun 2002 secara eksplisit tidak
menyebutkan adanya kaitan dengan kerukunan antarumat beragama.
Hal ini karena poin tentang kerukunan umat beragama telah
disebutkan dalam Perda Nomor 5 Tahun 2000 (Pasal 2) dan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2006 (Pasal 126-127) sebagai landasan
konstitusional pelaksanaan syari’at Islam di Aceh. Untuk itu, dalam
hal kaitan dengan kerukunan, penulis ingin melihat suasana
kesyahduan masyarakat Kota Banda Aceh dalam
mengimplementasikan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 dalam
kehidupan sehari-hari. Tentunya dalam mengimplementasikan
aturan Qanun tentang akidah, ibadah, dan syi’ar Islam tersebut tidak
lepas dari persinggungan baik orang perorang maupun antar
kelompok yang berbeda latar belakang suku, ras, dan agama di Kota
Banda Aceh. Selanjutnya melalui metode penelitian yang dipakai,
penulis berusaha merekam dan menganalisis setiap peristiwa demi
peristiwa terhadap segala kegiatan warga masyarakat Kota Banda
Aceh dalam mengimplementasikan Qanun tersebut yang kemudian
menghubungkannya dengan konsep trilogi kerukunan (kerukunan
65 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, BAB XVII Syari’at Islam dan
Pelaksanaannya, Pasal 127.
68 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
intern umat beragama; kerukunan antara umat yang berbeda-beda
agama; dan kerukunan antara umat beragama dengan Pemerintah).
69
BAB IV
Implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002
ab ini membicarakan seputar kegiatan-kegiatan
masyarakat Kota Banda Aceh dalam mengimplemen
tasikan syari’at Islam secara kāffah yang diatur dalam Qanun
Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Bidang
Akidah, Ibadah dan Syi’ar Islam.
A. Pemeliharaan Akidah
Umat Islam menjadikan akidah sebagai pegangan utama
dalam hidupnya. Bagi seorang Muslim, akidah juga menjadi
identitas diri dan pondasi yang akan menopang kehidupan
keislamannya. Pondasi itu harus benar-benar kuat dan kokoh karena
kalau tidak itu akan mengurangi hakekat keislaman seseorang.
Untuk itu bagi umat Islam diwajibkan agar selalu berpegang teguh
pada akidah islamiyah yang telah ditetapkan. Maka apabila ada
orang yang dengan sengaja keluar atau beralih dari akidah islamiyah
tersebut dianggap murtad. Untuk menghindari hal tersebut terjadi
pada umat Islam di Aceh, maka diwajibkan agar mengokohkan dan
membentengi diri dengan akidah islamiyah berdasarkan ahlussunnah
wal jama’ah dalam kehidupannya sehari-hari.
Kekhawatiran terkikisnya akidah umat Islam di Aceh pada
dasarnya sangat beralasan, hal ini sebagaimana yang pernah terjadi
dalam beberapa peristiwa pasca bencana gempa dan tsunami 26
Desember 2004. Setelah bencana gempa dan tsunami menimpa
Aceh, perhatian masyarakat dunia tertuju ke wilayah ini, mereka
prihatin terhadap masyarakat yang tertimpa musibah. Sehingga
hampir semua orang tergerak hatinya untuk memberi berbagai
macam bantuan, seperti mengirimkan relawan, makanan, pakaian,
B
70 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
tenda darurat hingga penggalangan dana. Pasca tsunami, daerah
Aceh sangat terbuka luas, hal ini memungkinkan kepada siapa saja
dengan latar belakang yang berbeda-beda untuk datang ke Aceh
dengan sebuah misi kemanusiaan.1 Namun masalah lain timbul
ketika berbagai macam orang dari latar belakang yang berbeda-beda
itu datang ke Aceh, yakni muncul isu yang berkembang di
masyarakat tentang adanya pengalihan akidah orang-orang Islam di
Aceh untuk beralih pada akidah agama lain. Hal ini seiring dengan
adanya dugaan upaya kristenisasi yang dilakukan oleh orang-orang
asing yang datang ke Aceh.2
Tidak dapat dipungkiri bahwa seminggu setelah bencana itu,
sejumlah NGO, LSM dan berbagai kalangan baik luar negeri
maupun dalam negeri datang memberi bantuan kepada para korban.
Namun bantuan kemanusiaan yang dianggap sebagai tugas dan
pekerjaan mulia itu ternyata dibungkus dengan kegiatan lain berupa
misi pemurtadan umat Islam di Aceh. Sasaran utama para misionaris
ini ialah anak-anak Aceh yang mereka anggap masih belum
mempunyai pendirian dan ketaatan beragama yang kuat sehingga
dapat dipengaruhi atau dicuci otaknya dengan hal-hal (kepercayaan)
baru. Banyak anak-anak yang diambil dari kamp-kamp pengungsian
yang selanjutnya mereka dibawa keluar dari wilayah Aceh, seperti
ditempatkan di Medan, Jakarta maupun tempat-tempat lainnya.
Target utama mereka satu, yakni menjadikan anak-anak tersebut
beralih keyakinan dari Islam menjadi keyakinan Kristen. Contoh
lain upaya pengkristenisasian kepada anak-anak yakni dengan cara
memberikan mainan boneka listrik yang jika dipencet salah satu
1 Dengan bencana ini juga menjadikan Kota Banda Aceh sebagai pusat
perhatian masyarakat dunia nasional maupun internasional; baik lembaga
Pemerintah, NGO, LSM, serta berbagai kalangan ikut serta berpartisipasi dalam
memulihkan dan membangun kembali wilayah Kota Banda Aceh.
2 Hasanuddin Yusuf Adan, Refleksi Implementasi Syariat Islam Di Aceh
(Banda Aceh: Adnin Foundation Publisher dan PeNA Banda Aceh, 2009), h. 110.
Implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002 71
tombolnya dapat mengeluarkan suara-suara doa pengantar tidur
dalam bahasa Inggris yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia bermakna penyatuan roh manusia dengan roh-roh kudus.3
Adanyan upaya kristenisasi terhadap anak-anak tersebut juga
menyita perhatian para tokoh organisasi Islam di Indonesia.
Sehingga pada tahun 2005, sejumlah tokoh dan wakil-wakil
organisasi Islam seperti Al-Irsyad, Dewan Dakwah Islam Indonesia
(DDII), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Ikatan Cendekiawan Muslim
Indonesia (ICMI), Majelis Mujahidin, Wanita Islam, dan lain-lain
melakukan kerjasama guna menunjukkan kepedulian mereka
terhadap anak-anak Aceh korban tsunami agar ditangani secara
Islam.4 Kesaksian lain dari upaya kristenisasi di Aceh juga dapat
ditelusuri dalam beberapa peristiwa dan laporan yang penulis kutip
dari berbagai sumber berikut. Aksi damai mahasiswa Unsyiah dan
IAIN Ar-Raniry Banda Aceh pada 12 Juli 2005 lalu di Kantor
Gubernur Aceh yang tergabung dalam Koalisi Mahasiswa Anti
Pemurtadan (Komandan) meminta agar Gubernur bertindak tegas
terhadap sejumlah LSM yang disinyalir telah melakukan kegiatan
pemurtadan pada sejumlah lokasi pengungsian. Pada kesempatan
aksi tersebut para mahasiswa membawa sejumlah bukti yang
ditemukan disejumlah lokasi kamp-kamp pengungsi, seperti buku
bacaan berjudul Roh Kudus Pembaruan (Yayasan Kemanusiaan
Bersama), buku bacaan siswa SLTA berjudul Desa dalam Kristus
Gaya Hidup Kristenan, popok bayi yang di dalamnya ditemukan
mainan anak-anak berupa kalung berlambang palang salib, dan
terakhir copy buku kumpulan doa-doa Hanan el-Khouri berjudul
3 Hasanuddin Yusuf Adan, Refleksi Implementasi, h. 111.
4 Bahrul Hayat, Mengelola Kemajemukan Umat Beragama (Jakarta: PT.
Saadah Cipta Mandiri, 2012), h. 42-43.
72 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
Rahasia Doa-Doa yang Dikabulkan, dalam buku tersebut berisikan
doa-doa yang dikutip dari Injil dengan tulisan berbahasa Arab.5
Selain itu, pada kesempatan silaturrahmi yang diadakan oleh
para tokoh agama dan tokoh masyarakat di Banda Aceh, juga
menyampaikan berbagai bukti lain yang terkait dengan upaya
kristenisasi di Aceh. Di antaranya ialah ditemukannya Injil
berbahasa Aceh, selimut bergambarkan salib, boneka anak-anak
bergambar sinterklas, booklet, brosur, pamflet yang berciri Islam
tetapi isinya tentang agama Kristen yang diperlihatkan kepada
publik di Masjid Raya Baiturrahman.6 Pasca bencana itu, serbuan
misionaris Kristen di Aceh memang bukan lagi isapan mimpi.
Faktanya banyak rakyat Aceh yang selamat dalam musibah itu yang
kemudian menjadi mangsa pemurtadan dan perdagangan manusia
(terutama anak-anak). Kelompok Gospel for Asia (GFA) mencari
dan melatih 100.000 misionaris lokal untuk diterjunkan di wilayah-
wilayah bencana untuk membantu korban dan memberikan
bimbingan spiritual atas nama Tuhan Yesus. Relawan FPI juga
melihat sejumlah bantuan yang disalurkan melalui PMI bermuatan
unsur misi Kristen. Seperti halnya ada ratusan kardus bantuan yang
kemasannya bertulis Jesus Love You. Para misionaris Kristen tentu
paham bahwa Aceh adalah wilayah Muslim, tetapi mereka
memanfaatkan itu kesempatan untuk menyebarkan misi melalui
pemberian bantuan kepada para korban tsunami.7
Berbagai bukti yang telah dipaparkan di atas rasanya sudah
sangat cukup kuat untuk menyimpulkan bahwa beberapa NGO dan
LSM yang datang ke Aceh pasca tsunami dalam misi
kemanusiaannya mempunyai agenda lain yakni pemurtadan. Namun
5 Harian Serambi Indonesia, Mahasiswa Demo Anti Pemurtadan. Senin, 13
Juli 2005.
6 Hasanuddin Yusuf Adan, Refleksi Implementasi, h. 111.
7 Adian Husaini, Kerukunan Beragama dan Kontroversi Penggunaan Kata Allah dalam Agama Kristen (Jakarta: Gema Insani, 2015), h. 138.
Implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002 73
yang perlu digaris bawahi adalah tidak semua LSM mempunyai misi
terselubung dalam memberikan bantuan tsunami ke Aceh, karena
faktanya masih banyak LSM dan lembaga kemanusiaan lainnya
yang secara suka rela dan ikhlas membantu para korban tsunami.8
Sejak kejadian itu, hingga saat ini masyarakat diminta agar selalu
waspada, karena tidak menutup kemungkinan upaya-upaya
kristenisasi bisa saja terjadi lagi di Aceh, meski tidak dalam bentuk
pemberian bantuan, namun bisa dengan cara-cara lain. Untuk itu,
dengan lahirnya Qanun Nomor 11 Tahun 2002 yang dalam salah
satu pasalnya mengatur tentang akidah menjadi benteng bagi
masyarakat. Guna merespon berbagai isu dan upaya-upaya tentang
pemurtadan tersebut, pemerintah dan masyarakat Aceh menjadikan
Perda Nomor 5 Tahun 2000 dan Qanun Nomor 11 Tahun 2002
sebagai payung hukum yang sah untuk menindak berbagai LSM
yang mempunyai misi terselubung dalam memberikan bantuan
tsunami ke Aceh. Dengan demikian, usaha para misionaris tersebut
dapat dicegah dan selanjutnya LSM yang terbukti telah melakukan
upaya pengkristenisasian terhadap para korban tsunami kemudian
diusir dari wilayah Aceh.
Mengenai paham atau aliran sesat sebagaimana yang telah
disebutkan dalam Qanun Nomor 11 Tahun 2002 yang menyatakan
bahwa bentuk-bentuk paham atau aliran sesat ditetapkan melalui
fatwa MPU. Kemudian untuk menindaklanjuti Qanun tersebut,
MPU Aceh mengeluarkan Fatwa Nomor 4 Tahun 2007 tentang
Pedoman Identifikasi Aliran Sesat. Dalam fatwa ini mendefinisikan
aliran sesat sebagai faham atau pemikiran yang dianut atau
diamalkan oleh orang Islam yang dinyatakan oleh MPU sebagai
faham atau pemikiran yang menyimpang berdasarkan dalil-dalil
syara’ yang dapat dipertanggungjawabkan. Kesesatan merupakan
kekeliruan pemahaman dalam bidang akidah maupun syari’ah
8 Hasanuddin Yusuf Adan, Refleksi Implementasi, h. 109.
74 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
berdasarkan dalil syara’ yang sah. Kekeliruan itu diyakini sebagai
suatu kebenaran sehingga akibatnya menjadi kufur atau murtad.9
Majelis Ulama Aceh tidak menyebutkan secara langsung
aliran-aliran apa saja yang dianggap sesat, namun hanya
memberikan kriteria-kriteria khusus terhadap berbagai aliran yang
dianggap sesat. Ada 13 (tiga belas) kriteria aliran atau paham
keagamaan dapat dinyatakan sesat dan menyimpang dari Islam
apabila memenuhi salah satu dari kriteria berikut: Pertama,
mengingkari salah satu dari rukun iman yang 6 (enam), yaitu
beriman kepada Allah, kepada malaikat-Nya, kepada kitab-kitab-
Nya, kepada rasul-rasul-Nya, kepada hari akhirat dan kepada qadha
dan qadar dari-Nya. Kedua, mengingkari salah satu dari rukun Islam
yang 5 (lima), yaitu mengucap dua kalimat syahadat, menunaikan
shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan
menunaikan ibadah haji. Ketiga, meyakini atau mengikuti akidah
yang tidak sesuai dengan i’tiqad ahlussunnah wal jama’ah.
Keempat, meyakini turunnya wahyu setelah Al Qur’an. Kelima,
mengingkari kemurnian dan kebenaran Al Qur’an. Keenam,
melakukan penafsiran Al Qur’an tidak berdasarkan kaidah-kaidah
tafsir. Ketujuh, mengingkari kedudukan hadis nabi sebagai sumber
ajaran Islam. Kedelapan, melakukan pensyarahan terhadap hadis
tidak berdasarkan kaidah-kaidah ilmu mushthalah hadis.
Kesembilan, menghina dan melecehkan para nabi dan rasul Allah.
Kesepuluh, mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan
rasul terakhir. Kesebelas, menghina dan melecehkan para sahabat
Nabi Muhammad SAW. Keduabelas, merubah, menambah atau
mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh
syaria’at, seperti berhaji tidak ke baitullah, shalat fardhu tidak 5
waktu dan lain sebagainya. Ketigabelas, mengkafirkan sesama
9 Fatwa MPU Aceh Nomor 4 Tahun 2007, BAB I Ketentuan Umum, Ayat 3
dan 5.
Implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002 75
Muslim tanpa dalil syar’i yang sah, seperti mengkafirkan Muslim
hanya karena bukan anggota kelompoknya.10
Berkaitan dengan paham aliran sesat tersebut, dari hasil
penelusuran yang penulis lakukan menemukan dua kasus aliran yang
dianggap sesat di Kota Banda Aceh, yakni Aliran Millata Abraham
dan Gerakan Fajar Nusantara. Kasus pertama ialah munculnya
kelompok aliran sesat pada tahun 2011 yang mengatasnamakan
dirinya sebagai Aliran Millata Abraham. Kelompok ini dianggap
sesat karena ajaran yang mereka praktikkan sangat jauh dari akidah
dan nilai-nilai syari’at Islam.11
Di Aceh, kelompok ini pertama kali
berkembang di salah satu wilayah di Kabupaten Bireuen. Atas
laporan masyarakat, kelompok ini kemudian ditangkap oleh pihak
kepolisian. Di wilayah Kota Banda Aceh, kelompok Millata
Abraham ini diketahui berada di Gampong Peurada Kecamatan
Syiah Kuala dengan bukti tertangkapnya tiga orang yang dianggap
sebagai pembawa dan penyebar ajaran tersebut. Mereka kemudian
diamankan oleh pihak kepolisian Polresta Banda Aceh untuk
kemudian ditindak sesuai hukum yang berlaku.12
Di Kota Banda
10 Fatwa MPU Aceh Nomor 4 Tahun 2007, BAB IV Kriteria Aliran Sesat,
Ayat 1-13.
11 Beberapa ajaran yang mereka percayai dan dipraktekkan di antaranya:
meragukan isi kitab suci Al Qur’an dan menafsirkan Al Qur’an sesuai kehendak
hati mereka tanpa mengikuti kaidah tafsir; tidak mengakui hadis sebagai sumber
kebenaran; tidak mempercayai Nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir;
mengubah lafadz kalimat syahadat menjadi “Asyhadu an laa ilaaha illallah wa asyhadu anna al Masih al Maw’ud Ahmad Mushadeq Rasulullah”; dan tidak
melakukan shalat lima waktu sehari semalam sebagaimana yang diajarkan dalam
Islam, namun mereka menggantinya dengan melakukan shalat hanya sekali dalam
sehari, yakni di tengah malam dengan posisi duduk dan hanya diterangi lilin.
12 Adanya kelompok aliran sesat Millata Abraham ini juga menjadi
perhatian Pemprov Aceh, yaitu dengan mengeluarkan Pergub Nomor 9 Tahun 2011
tentang Larangan Kegiatan Aliran Millata Abraham di Aceh. Dengan
diterbitkannya Pergub tersebut, para penganut ajaran Millata Abraham dilarang
melakukan aktivitas dan kegiatan dalam bentuk apapun yang berkaitan dengan
kegiatan penyebaran, penafsiran, dan aktivitas yang menyimpang dari akidah dan
76 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
Aceh, kelompok ini telah berhasil merekrut beberapa orang dari
kalangan mahasiswa dan pelajar. Pihak Pemko Banda Aceh
kemudian secara tegas meminta polisi menindak para pelaku yang
membawa dan menyebarkan aliran Millata Abraham tersebut.13
Sementara pihak Dinas Syari’at Islam Kota Banda Aceh juga sangat
menyayangkan aliran sesat tersebut bisa berkembang di masyarakat
yang membuat risau dengan menistai dan menodai agama Islam, dan
merasa prihatin kepada para generasi muda dengan intelektual baik
bisa terpengaruh dengan ajaran paham sesat tersebut.14
Kasus kedua mengenai paham sesat yang sempat menyita
perhatian publik ialah organisasi Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar).
Organisasi ini juga berkembang di Aceh, hal ini terbukti dengan
adanya penahanan kepada belasan orang yang dianggap sebagai
pengikut Gafatar oleh Polresta Banda Aceh. Selain itu, dengan
tertangkapnya mereka, hal itu juga membuktikan bahwa kelompok
Gafatar telah hidup dan berkembang lama di wilayah ini dan sudah
mendirikan kantor khusus sebagai pusat kegiatan mereka di
Gampong Lamgapang, Kecamatan Krueng Barona Jaya Kabupaten
syari’at Islam. Pelarangan aktivitas tersebut meliputi penyebaran Aliran Millata
Abraham baik secara lisan, tulisan melalui media cetak atau media elektronik,
pemasangan papan nama organisasi di tempat rumah ibadat, lembaga pendidikan
atau tempat umum lainnya dengan identitas Aliran Millata, dan penggunaan atribut
Aliran Millata Abraham dalam segala bentuk.
13 Sebagai bentuk keseriusan dalam merespon adanya penyebaran aliran
sesat tersebut, sehingga masih pada tahun itu, Pemko Banda Aceh secara khusus
mengeluarkan Perwal Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pengawasan Aliran Sesat dan Kegiatan Pendangkalan Aqidah dalam Wilayah Kota Banda Aceh. Langkah ini
kemudian disusul dengan membentuk Komite Penguatan Akidah dan Peningkatan
Amalan Islam pada Mei 2011. Kemudian pada tahun 2012, Pemko Banda Aceh
kembali mengeluarkan Perwal Nomor 3 Tahun 2012 tentang Pendidikan Akhlak.
Semua Perwal tersebut dikeluarkan dengan tujuan untuk membentengi akidah umat
Islam di Kota Banda Aceh dan melakukan pembinaan mental spiritual serta
memperbaiki akhlak generasi muda agar tidak terjerumus ke dalam berbagai aliran
sesat tersebut.
14 Berita Sore Online: beritasore.com/2011/04/04/aliran-sesat-guncang-bumi-serambi-mekkah/. Diakses tanggal 7 November 2016.
Implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002 77
Aceh Besar. Namun keberadaan mereka di Aceh baru diketahui pada
Januari 2015 setelah MUI memfatwakan sesat kelompok tersebut.
Pada dasarnya kasus tentang Gafatar ini masih berhubungan dengan
kasus sebelumnya tentang paham sesat Millata Abraham. Hal ini
karena dalam praktek yang dijalankan oleh kelompok Gafatar
merupakan ajaran-ajaran dari Millata Abraham. Sehingga warga
masyarakat menganggap bahwa Gafatar membawa ajaran sesat dan
berupaya untuk mendangkalkan akidah orang-orang Islam di Aceh
karena mereka terbukti telah menyebarkan ajaran Millata Abraham.
Menurut Pemko Banda Aceh bahwa Gafatar telah menjalankan misi
ajaran Millata Abraham, yakni ajaran sesat yang menyimpang dari
Islam. Hal ini terbukti dengan belasan orang yang tertangkap
sebagai kelompok Gafatar tersebut merupakan muka-muka lama
yang erat kaitannya dengan Millata Abraham yang sempat
berkembang di Kota Banda Aceh.15
Dari hasil kajian lapangan dan analisa, penulis menilai bahwa
hingga saat ini benteng akidah ahlussunnah wal jama’ah di Aceh
masih tetap kokoh, sehingga masyarakat Aceh tidak mudah
dipengaruhi oleh aliran-aliran lain yang dianggap melenceng dari
ajaran Islam. Kemurnian ajarannya masih tetap dipertahankan dan
senantiasa direalisasikan dalam kehidupan seharai-hari masyarakat.
Memang jika dilihat dalam perspektif sosiologis, akidah dapat
dikatakan bersifat fluktuatif sesuai dengan tantangan dan
pengalaman yang dihadapi oleh masyarakat. Selain itu, akidah juga
dipengaruhi oleh situasi sosial sehingga dapat berubah seiring
dengan kemunculan nilai-nilai baru disebuah masyarakat. Desakan
akan nilai-nilai baru yang tidak sejalan dengan paham akidah yang
berkembang, akan dapat memicu adanya perlawanan secara sporadis
sehingga berdampak pada kemunculan konflik yang dapat
15 Sumatra: sumatra.bisnis.com/m/read/20150108/3/54051/wali-kota-banda-
aceh-nyatakan-ormas-gafatar-aliran-sesat. Diakses tanggal 7 November 2016.
78 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
mengganggu ketentraman masyarakat.16
Sehingga hadirnya Qanun
dan peraturan lain tentang akidah menjadi payung hukum yang sah
untuk membentengi akidah umat Islam di Aceh. Dengan adanya
upaya-upaya pemurtadan pasca tsunami dan juga adanya paham-
paham sesat yang sempat berkembang di masyarakat, untuk itu
masyarakat dan juga pemerintah dituntut agar selalu waspada,
karena tidak menutup kemungkinan kasus-kasus serupa dapat terjadi
lagi di Aceh. Untuk itu masyarakat selalu dihimbau agar menjaga
kemurnian akidah Islam ahlussunnah wal jama’ah yang telah ada
dan berkembang di Aceh selama ini.
B. Pengamalan Ibadah
Ibadah merupakan serangkaian kegiatan ritual yang
dikerjakan oleh seorang Muslim sebagai bentuk penghambaan diri
kepada Allah dengan berbagai cara dan ketentuannya masing-
masing.17
Dalam ajaran Islam terdapat banyak rangkaian ibadah
yang dapat dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah
tersebut. Sementara aturan yang tertuang dalam Qanun Nomor 11
Tahun 2002 yang mengatur tentang pengamalan ibadah ini
merincikan kegiatan ibadah yang harus diupayakan agar dikerjakan
oleh seluruh umat Islam di Aceh yakni memakmurkan Masjid
dengan shalat fardhu berjamaah; mengerjakan shalat Jum’at;
menghidupkan pengajian agama; melaksanakan puasa sebulan penuh
di bulan ramadhan, dan dianjurkan menegakkan shalat tarawih serta
mengerjakan amalan sunah lainnya.
1. Shalat Fardhu
Shalat merupakan suatu perkara yang wajib dilaksanakan oleh
seluruh umat Islam di dunia baik laki-laki maupun perempuan.
Shalat hukumnya fardhu ‘ain dan merupakan hal paling utama yang
16 Pemerintah Aceh, Naskah Akademik Rancangan Qanun Pembinaan dan
Perlindungan Akidah (Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam, 2012), h. 14.
17 Hasanuddin Yusuf Adan, Refleksi Implementasi, h. 113.
Implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002 79
akan ditanya oleh Allah di akhirat kelak.18
Shalat mempunyai
kedudukan khusus dan sangat istimewa dalam ajaran Islam. Shalat
diibaratkan sebagai tiang agama, mi’raj bagi orang yang beriman,
penopang agama Islam dan dapat mencegah dari perbuatan keji dan
mungkar.19
Di samping itu, amalan shalat menjadi penentu bagi
amalan-amalan lainnya. Ibadah shalat menjadi amalan pertama yang
akan diperiksa dan dipertanyakan kepada seorang hamba di akhirat
kelak. Maka apabila amalan shalat tidak sempurna berakibat pada
seluruh amalan yang lain tidak akan sempurna. Sebaliknya, jika
amalan shalat sempurna maka amalan lain juga akan ikut
sempurna.20
Untuk itu dalam hal ini, Al Qur’an maupun Hadis selalu
menegaskan kepada seluruh umat Islam agar tidak melalaikan
shalatnya dan mengerjakan dengan baik dan sempurna.
Ketaatan masyarakat Kota Banda Aceh dalam melaksanakan
ibadah shalat dapat dibilang tinggi, namun hal ini bukan saja di
tempat penulis melakukan penelitian, melainkan juga di tempat-
tempat lain di wilayah Aceh. Kegiatan ibadah shalat fardhu lima
waktu yang dikerjakan di tempat ibadah seperti Masjid, Mushalla,
dan Meunasah secara berjamaah; maupun yang hanya dikerjakan
sendiri di rumah. Meski kadang adakalanya dalam melaksanakan
kewajiban ini tidak tepat waktu, namun hampir dipastikan warga
masyarakat melaksanakannya dengan teratur. Hal-hal yang sering
menyebabkan tertundanya shalat atau tidak tepat waktu biasanya
karena sedang dalam perjalanan dan terkena macet, sedang sakit,
18 Syahruddin El-Fikri, Sejarah Ibadah (Jakarta: Republika, 2014), h. 29.
19 Lihat hadis Rasulullah yang berbunyi: “Shalat adalah tiang agama. Barang siapa yang menegakkan shalat, maka berarti ia menegakkan agama, dan barang siapa yang meninggalkan shalat, berarti ia merobohkan agama”. (HR.
Bukhari Muslim). Lihat juga Al Qur’an Surah Al Ankabut ayat 45: “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar”.
20 Sri Suyanta, dkk, Buku Panduan Pelaksanaan Syari’at Islam untuk Remaja, Pelajar dan Mahasiswa (Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam Provinsi Aceh,
2008), Cet-II, h. 108.
80 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
sedang sibuk dengan pekerjaannya, dan mungkin ada hal lain yang
tidak berhasil penulis dapatkan alasannya. Namun ada kesan dan
anggapan dari warga masyarakat bahwa lebih baik melaksanakan
shalat dengan tertunda waktunya dari pada tidak melaksanakan
sama sekali. Shalat di awal waktu secara psikologis juga dapat
berdampak pada jiwa seseorang, yaitu agar terdidik untuk hidup
disiplin dalam menjaga waktu-waktu lainnya di semua aspek
kehidupan. Untuk itu membiasakan diri mengerjakan shalat tepat
waktu dan berjamaah terutama di Masjid merupakan upaya yang
harus dilakukan dan dibiasakan oleh warga masyarakat Aceh, karena
selain Masjid dapat berfungsi dengan baik, juga berdampak pada
disiplin waktu yang digunakan secara efektif dan efesien.21
Dalam kitab fikih diajarkan bahwa shalat fardhu lima waktu
sebaiknya dikerjakan secara bersama-sama. Hal ini juga karena
pahala yang diberikan lebih besar; shalat berjamaah pahalanya 27
derajat, sedang shalat sendiri hanya 1 derajat.22
Pada dasarnya shalat
berjamaah selain dapat dilakukan di Masjid juga dapat dilakukan di
rumah dengan keluarga. Namun aturan yang tertuang dalam Qanun
ini sangat menganjurkan agar shalat fardhu berjamaah dilakukan di
Masjid, Mushalla, atau Meunasah dengan tujuan untuk kemakmuran
tempat-tempat ibadah tersebut. Dalam pengamatan penulis,
masyarakat Kota Banda Aceh banyak yang melakukan shalat
berjamaah di Masjid, khususnya kaum laki-laki. Disetiap waktu
shalatnya, jumlah jamaah yang hadir tidak selalu sama, terlebih
waktu subuh, zuhur dan ashar; jumlah jamaah tidak sebanyak di
21 Sri Suyanta, dkk, Buku Panduan, h. 110.
22 Mengenai hal ini, Rasulullah SAW telah bersabda dalam sebuah hadis
yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, yang berbunyi: “Shalat berjamaah lebih utama dibandingkan shalat sendiri dengan dua puluh tujuh derajat”. Dari
hadis tersebut dapat diambil beberapa pesan: bahwa shalat berjamaah lebih baik
dibanding shalat sendiri; perbandingan keduanya 27:1; dan karena lebih baik maka
kepada umat Islam disarankan untuk selalu menjalankan shalat fardhu lima waktu
secara berjamaah.
Implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002 81
waktu shalat magrib dan isya. Namun meski demikian, tidak ada
satupun Masjid, Mushalla, atau Meunasah di wilayah Kota Banda
Aceh yang tidak melaksanakan shalat berjamaah. Biarpun jumlah
jamaahnya hanya lima orang, namun shalat berjamaah tersebut tetap
dilaksanakan disetiap waktunya.23
Untuk mendukung berjalannya Qanun ini, Pemerintah Aceh
juga telah membuat aturan khusus bagi seluruh stasiun televisi
maupun radio untuk menyiarkan adzan ketika waktu shalat tiba.
Akibat dari aturan ini, maka setiap kali waktu shalat tiba seluruh
stasiun televisi menghentikan siaran yang sedang berlangsung saat
itu dan menggantinya dengan siaran adzan. Setiap Muslim juga
berkewajiban untuk menunda atau menghentikan segala
aktivitasnya pada waktu-waktu tertentu untuk melaksanakan
ibadah. Selain itu, secara khusus Pemko Banda Aceh juga membuat
aturan tentang kewajiban menghentikan berbagai aktivitas jual beli
sebelum adzan berkumandang. Setiap toko diharuskan menutup
usahanya sejak 10 menit sebelum adzan berkumandang hingga
sampai proses pelaksanaan shalat selesai. Aturan tersebut
merupakan upaya untuk membangun suasana agama dan
menghargai saat-saat pelaksanaan waktu shalat. Di samping itu juga
diharapkan agar kesadaran masyarakat dapat tumbuh dengan
sendirinya untuk meluangkan waktu sejenak mengerjakan shalat
saat waktunya tiba.24
Pantauan penulis di lapangan selama ini
melihat sudah banyak toko dan tempat-tempat usaha lain seperti
SPBU yang tutup sementara waktu saat shalat tiba.25
Di samping
itu, untuk menjaga kekhusyukan kegiatan ibadah yang dilakukan
23 Pengamatan di Meunasah Nurul Iman Gampong Aso Nanggroe,
Kecamatan Meuraxa Kota Banda Aceh.
24 Harian Serambi Indonesia: http://aceh.tribunnews.com/2015/03/12/ tutup-toko-10-menit-sebelum-adzan. Diakses tanggal 20 Agustus 2016.
25 Biasanya toko ditutup seadanya dengan kayu atau kursi dan meletakkan
kertas yang bertuliskan “tutup waktu shalat”.
82 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
oleh umat Islam, kepada umat non-Muslim juga tidak dibenarkan
melakukan berbagai kegiatan yang dapat mengganggu ketenangan
dan kekhusyukkan selama ibadah berlangsung. Hal ini bukan berarti
membatasi aktivitas warga non-Muslim selama shalat berlangsung,
kepada mereka tetap diberikan kebebasan untuk beraktivitas seperti
biasanya, namun aktivitas yang tidak mengganggu kekhusyukan
kegiatan ibadah. Sikap toleransi dan kerukunan antarumat beragama
harus tetap ditumbuhkan dan selalu dijaga, dengan cara
menghormati kegiatan ibadah orang lain yang sedang dijalankan.
2. Shalat Jum’at
Bagi kaum laki-laki yang tidak mempunyai uzur syar’i
diwajibkan untuk mengerjakan shalat Jum’at. Shalat Jum’at sendiri
merupakan pengganti shalat zuhur yang dilaksanakan secara
berjamaah di Masjid dengan diisi ceramah agama atau khutbah.
Sebagaimana pengamatan penulis, kesadaran warga masyarakat
Kota Banda Aceh dalam melaksanakan shalat Jum’at juga dapat
dikatakan tinggi. Masjid-Masjid besar di pusat kota maupun yang
berada di gampong-gampong terlihat selalu penuh dengan
jamaahnya. Seluruh aktivitas toko dan warung di wilayah Kota
Banda Aceh juga tutup menjelang tengah hari saat shalat Jum’at
tiba, dan akan dibuka kembali setelah kegiatan shalat Jum’at
selesai. Demikian juga dengan angkutan umum, harus segera
menghentikan aktivitasnya mencari penumpang menjelang shalat
Jum’at tiba.
Bagi orang yang berhalangan karena sedang sakit, Islam
telah memberikan kelonggaran untuk melaksanakan shalat menurut
kemampuan yang bisa dikerjakan. Bisa dengan cara duduk atau
dengan berbaring, karena yang paling terpenting ialah mengerjakan
shalat dan tidak boleh ditinggalkan. Hal ini juga berlaku bagi
seseorang yang tidak dapat pergi ke Masjid untuk melaksanakan
shalat Jum’at, dengan alasan sakit atau dalam perjalanan tertentu.
Implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002 83
Secara tegas dalam Qanun ini juga telah diatur mengenai penyebab
seseorang diperbolehkan tidak melaksanakan shalat Jum’at di
Masjid dengan beberapa alasan, seperti musafir, sakit, atau
melakukan tugas darurat, seperti perawat atau dokter jaga.26
3. Pengajian Agama
Aturan lain yang tertuang dalam Qanun ini yaitu warga
masyarakat dianjurkan untuk memakmurkan Masjid dengan
menghidupkan pengajian agama. Dalam pengamatan penulis,
masyarakat Kota Banda Aceh juga terlihat rutin melakukan
kegiatan pengajian agama ini. Pengajian agama yang dilakukan
biasanya berbentuk majelis taklim di Masjid-Masjid yang dilakukan
setelah selesai shalat magrib dan subuh. Meski jumlah jamaah yang
hadir tidak selalu ramai, namun kegiatan semacam ini hampir
dipastikan sering dilakukan setiap harinya.27
Namun ada juga
Masjid-Masjid yang menyelenggarakan pengajian agama ini hanya
seminggu sekali, yakni pada malam Jum’at saja. Kegiatan pengajian
agama ini biasanya diisi dengan ceramah agama oleh seorang
teungku,28
tema yang dibawakan juga selalu berbeda-beda setiap
pertemuannya, namun yang paling sering ialah kajian tentang fikih.
4. Bulan Suci Ramadhan
Bulan ramadhan dikenal sebagai bulan suci yang penuh
ampunan dan berkah. Di bulan tersebut, Allah mewajibkan kepada
26 Lihat Penjelasan Umum Qanun Nomor 11 Tahun 2002, Pasal 8.
27 Pengamatan di Masjid Agung Al-Makmur (Masjid Oman) Gampong
Bandar Baru, Kecamatan Kuta Alam Kota Banda Aceh.
28 Teungku merupakan sebutan untuk ulama dalam masyarakat Aceh yang
dianggap cakap dan memahami agama Islam secara sempurna serta
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
84 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
orang-orang yang beriman untuk berpuasa selama sebulan penuh.29
Untuk kesempuraan dalam menjalankan ibadah puasa, seorang
Muslim harus pula menghindari segala perkataan dan perbuatan
tercela, dan menahan diri dari hawa nafsu dengan penuh kesabaran.
Banyak hal yang penulis amati dilapangan selama bulan ramadhan
di Kota Banda Aceh. Karena selain melakukan pengamatan, lebih
jauh penulis juga ikut terlibat langsung dalam berbagai kegiatan
yang dilakukan oleh warga masyarakat selama bulan ramadhan.
Sehingga hal itu yang kemudian menambah pengalaman tersendiri
bagi penulis untuk terus menggali, mencatat dan kemudian
melaporkannya dalam bentuk tulisan sederhana selama perjalanan
penelitian ini. Berikut uraian singkat tentang kegiatan warga Kota
Banda Aceh dalam menjalankan ibadah puasa selama bulan
ramadhan.
Bagi masyarakat Aceh, bulan suci ramadhan dianggap sebagai
bulan yang penuh ibadah. Karena dalam bulan ini segala bentuk
ibadah yang dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT lebih
ditingkatkan kuantitasnya dari biasanya. Kegiatan mencari nafkah
yang dapat mengganggu kekhusyukan selama bulan puasa juga
dibatasi. Tempat-tempat ibadah seperti Masjid maupun Meunasah
juga tampak selalu ramai. Maka untuk menunjang kegiatan ibadah
selama bulan ramadhan tersebut, rumah-rumah ibadah dipercantik,
dibersihkan, dan diperbaiki. Rumah ibadah ini nantinya selain
sebagai tempat untuk menjalankan berbagai macam ibadah selama
bulan puasa, juga berfungsi untuk menyelenggarakan kegiatan
29 Lihat Al Qur’an Surah Al Baqarah ayat 182: “Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu beriman dan bertakwa”. Secara bahasa, puasa
berasal dari kata shaum (jamaknya shiyam) yang bermakna al-imsak (menahan).
Sedangkan menurut istilah, puasa itu menahan diri dari makan, minum dan
hubungan seksual suami istri dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari dengan
niat melaksanakan perintah Allah. Lihat Syahruddin El-Fikri, Sejarah Ibadah, h. 45.
Implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002 85
berbuka bersama.30
Sejak malam pertama masuk bulan ramadhan,
suasana tempat-tempat ibadah selalu ramai. Para penduduk, baik
pria, wanita maupun anak-anak terlihat berbondong-bondong
menuju Masjid untuk mengikuti kegiatan shalat isya dan dilanjutkan
dengan shalat tarawih. Kegiatan shalat sunah tarawih berjalan
dengan semarak, terlihat hampir seluruh Masjid yang ada di Kota
Banda Aceh penuh dengan jamaah yang ingin melakukan shalat
tarawih di malam pertama tersebut. Hal ini dapat dikatakan menjadi
fenomena unik, karena tidak seperti biasanya ketika bulan ramadhan
tiba Masjid-Masjid sangat penuh jamaahnya, sehingga banyak
jamaah yang tidak tertampung diruang utama dan harus
melangsungkan shalatnya di halaman Masjid.31
Sebelum rangkaian prosesi shalat tarawih berlangsung, atau
setelah pelaksanaan shalat isya berjamaah, biasanya para jamaah
melakukan shalat sunnah rawatib sebanyak dua rakaat. Selanjutnya,
panitia Masjid akan memberikan pengumuman dan ajakan kepada
warga untuk mengikuti semua kegiatan yang akan dilangsungkan
dalam Masjid tersebut selama bulan ramadhan. Kegiatan itu
biasanya berupa pelaksanaan shalat tarawih berjamaah sebulan
penuh; tadarus Al Qur’an; menyediakan takjil atau menu berbuka
puasa; kuliah tujuh menit (kultum) sebelum waktu berbuka dan
setelah shalat subuh; menerima dan menyalurkan zakat; peringatan
nuzulul Qur’an; serta kegiatan lain yang sifatnya mendukung
kegiatan beribadah selama bulan suci ramadhan. Setelah panitia
30 Setelah ada kepastian dari pemerintah pusat melalui sidang isbat yang
disiarkan melalui televisi bahwa ibadah puasa bisa dimulai esok harinya,
masyarakat menyambutkan dengan penuh suka cita.
31 Pada dasarnya fenomena seperti ini tidak hanya terjadi di Kota Banda
Aceh saja, melainkan hampir diseluruh kota dan tempat-tempat di Indonesia ketika
pertama kali memasuki bulan ramadhan dan melaksanakan shalat tarawih semua
Masjid akan penuh jamaahnya.
86 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
Masjid selesai memberikan pengumuman, kegiatan dilanjutkan
dengan ceramah agama.32
Setelah ceramah selesai selanjutnya semua jamaah
melaksanakan shalat tarawih. Kegiatan shalat tarawih berlangsung
dengan khidmat. Jumlah rakaat shalat tarawih pada umumnya
diseluruh Kota Banda Aceh sebanyak 20 rakaat yang terdiri dari
bagian-bagian dua rakaat dan ditambah dengan 3 witir. Sesudah
setiap bagian, salah seorang bilal membacakan shalawat yang
disahuti oleh jamaah lainnya. Setiap sesudah dua rakaat biasanya
juga dibacakan doa-doa pendek, namun sesudah rakaat 20 bacaan
doanya lebih panjang. Shalat witir dilakukan sebanyak tiga rakaat
juga dilakukan secara bersama-sama. Sedikit catatan bahwa dalam
penentuan jumlah rakaat ini kebanyakan masyarakat tidak
memperdebatkannya, ada yang mengerjakan 23 dan ada yang
mengerjakan 11 saja. Hal ini yang semakin menegaskan bahwa
kerukunan internal umat Islam di Kota Banda Aceh sangat baik,
mereka dapat menerima adanya perbedaan tersebut. Namun ada
pemandangan unik yang penulis lihat, yaitu ada Masjid yang
jamaahnya terbagi dalam dua kategori. Ada yang mengerjakan
shalat tarawih dengan 11 rakaat ada juga yang 23 rakaat. Dalam
pelaksanaannya, mereka yang shalat 23 rakat melakukannya secara
bersama-sama dengan jamaah yang 11 rakaat. Kemudian tiba
dirakaat kedelapan, jamaah yang 23 akan mundur dan memberikan
tempat kepada jamaah 11 untuk melanjutkan shalat witirnya.
Kemudian setelah jamaah 11 selesai mengerjakan shalat witir
tersebut, giliran jamaah 23 melanjutkan shalat tarawih dan witirnya
hingga selesai.33
32 Pengamatan di Masjid Raya Baiturrahman, Kecamatan Baiturrahman
Kota Banda Aceh.
33 Pengamatan di Masjid Syuhada Gampong Lamgugob, Kecamatan Syiah
Kuala Kota Banda Aceh.
Implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002 87
Setelah semua rangkaian kegiatan shalat tarawih selesai,
kegiatan lain yang dilakukan oleh para pemuda dan remaja Masjid
yaitu melakukan tadarusan. Kegiatan tadarusan ini hampir serempak
dilakukan disetiap Masjid di Kota Banda Aceh, sehingga suara-
suara dari Masjid yang terdengar hanya bacaan ayat suci Al Qur’an.
Kegiatan tadarusan ini dilakukan hingga pagi hari sebelum waktu
sahur tiba. Kemudian setibanya waktu sahur, melalui pengeras suara
yang ada di Masjid, orang-orang diberitahu saat makan sahur, yang
diulangi berkali-kali hingga waktu imsak tiba.34
Setelah kegiatan
makan sahur selesai, banyak warga yang kemudian berbondong-
bondong ke Masjid untuk menunaikan shalat subuh secara
berjamaah.
Ketaatan warga Kota Banda Aceh selama menjalankan ibadah
puasa dapat dikatakan cukup tinggi. Kegairahan dalam menjalankan
ibadah juga semakin meningkat. Orang yang dalam hari-hari biasa
tidak pernah ikut shalat di Masjid, sekarang menjadi peserta yang
aktif. Baik dalam mengerjakan shalat wajib lima waktu, tarawih,
shalat sunah lainnya juga dikerjakan dengan rajin yang utamanya
dikerjakan oleh orang-orang tua. Seperti sudah disinggung di atas,
pada siang hari, di pusat kota maupun di gampong-gampong tidak
ada warung makan maupun warung kopi yang buka. Maka terlihat
tidak ada warga yang berani makan, minum atau bahkan merokok
secara terbuka di tempat umum, sehingga sangat terasa khidmat
selama bulan ramadhan di wilayah ini. Selain takut dengan adanya
sanksi pidana tersebut, penulis beranggapan bahwa ada faktor lain
yang menyebabkan warga tidak berani makan, minum dan bahkan
merokok di tempat umum, yakni adanya perasaan berdosa dan tidak
beretika jika harus makan dan minum ataupun merokok di tempat
umum tersebut sedangkan warga disekelilingnya sedang berpuasa.
Hal ini senada dengan pendapat salah satu warga Kota Banda Aceh
34 Pengamatan di Masjid Raya Baiturrahman, Kecamatan Baiturrahman
Kota Banda Aceh.
88 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
yang mengatakan bahwa jika kita makan dan minum bahkan
merokok di tempat umum sedangkan yang lainnya sedang berpuasa,
sama artinya kita tidak punya etika. Kita harus menghormati orang
yang sedang berpuasa, dengan cara tidak mengganggu kekhusyukan
ibadah mereka, tidak makan atau minum di tempat umum.
Pelaksanaan ibadah puasa selama ini di Kota Banda Aceh sudah
sangat bagus, ia juga sangat mendukung dengan adanya aturan yang
dibuat dalam Qanun yang mengatur tentang hal ini. Maka dengan
adanya sanksi pidana bagi para pelanggar dalam Qanun ini akan
semakin membuat kualitas ibadah di bulan ramadhan di Kota Banda
Aceh semakin baik.
Pada dasarnya masyarakat Kota Banda Aceh sejak dahulu
telah melakukan kegiatan ibadah secara intens; baik shalat fardhu
berjamaah, shalat Jum’at, pengajian agama, maupun
menyemarakkan kegiatan ibadah puasa di bulan ramadhan. Semua
pengamalan ibadah tersebut dapat dikatakan telah menjadi kegiatan
rutin masyarakat setiap harinya. Sehingga adanya Qanun ini bukan
suatu hal baru, namun sebagai upaya legalitas terhadap kebiasaan
yang telah dijalankan oleh orang Aceh selama ini agar terus terjaga
dan dilestarikan. Selain itu, tujuan lain yang ingin dicapai ialah
untuk mengajak agar warga yang belum melakukan kegiatan ibadah
dengan baik agar melakukannya bersama-sama dan meningkatkan
ketakwaan serta keimanan kepada Allah SWT. Lahirnya aturan
tentang pengamalan ibadah dalam Qanun ini juga telah membawa
dampak positif bagi masyarakat, terlihat bahwa intensitas warga
Kota Banda Aceh dalam melakukan ibadah semakin meningkat.
Masjid-Masjid semakin ramai disetiap shalat lima waktu. Kaum
laki-laki juga semakin rajin pergi ke Masjid untuk melaksanakan
shalat Jum’at. Di bulan ramadhan, semarak dan nuansa islami sangat
terlihat. Secara umum masyarakat Kota Banda Aceh merespon
positif dengan adanya Qanun ini, dan selalu mendukung kebijakan
pemerintah kota maupun provinsi untuk melahirkan aturan-aturan
Implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002 89
yang bernuansa islami lainnya sebagai pendukung berjalannya
syari’at Islam di Provinsi Aceh secara kāffah.
C. Penyelenggaraan Syi’ar Islam
Aturan ketiga yang tertuang dalam Qanun Nomor 11 Tahun
2002 yakni tentang Penyelenggaraan Syi’ar Islam. Syi’ar Islam
menjadi bagian yang tidak dapat terpisahkan dalam pelaksanaan
syari’at Islam di Aceh, karena syi’ar Islam menjadi jalan dalam
upayanya mengagungkan ajaran Islam dalam kehidupan
masyarakat.35
Kegiatan penyelenggaraan syi’ar Islam yang
dimaksud diantaranya ialah memperingati hari-hari besar Islam;
menggunakan tulisan Arab Melayu di samping tulisan Latin dan
menggunakan penanggalan Hijriah serta Masehi dalam surat-surat
resmi; dan bagi orang Islam diwajibkan berbusana islami baik di
lingkungan kantor, sekolah, wisata, pasar, maupun tempat-tempat
umum lainnya.
1. Peringatan Hari-Hari Besar Islam
Hari-hari besar Islam dalam kalender Hijriah secara resmi
diperingati dalam beberapa tanggal dan peristiwa (sesuai urutan
penanggalan Hijriah) sebagai berikut. Tanggal 27 Rajab diperingati
sebagai Isra Mi’raj; tanggal 17 Ramadhan diperingati sebagai
turunnya Al Qur’an (nuzulul Qur’an); tanggal 1 Syawal diperingati
sebagai hari raya idul Fitri; tanggal 10 Dzulhijjah diperingati
sebagai hari raya idul Adha; tanggal 1 Muharram diperingati sebagai
tahun baru Islam (asura); dan tanggal 12 Rabiulawal diperingati
sebagai kelahiran Nabi Muhammad SAW (maulid).
Kegiatan pertama dalam perayaan hari-hari besar Islam yang
dilakukan oleh masyarakat Kota Banda Aceh ialah memperingati
peristiwa perjalanan Nabi Muhammad SAW menghadap Allah SWT
yang terjadi pada tanggal 27 Rajab, peristiwa ini biasa disebut
35 Sri Suyanta, dkk, Buku Panduan, h. 250.
90 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
sebagai Isra Mi’raj. Dalam perayaan isra mi’raj, warga Kota Banda
Aceh juga sibuk merayakannya, semua kegiatan biasanya
berlangsung secara kolektif yang dipusatkan di Masjid, Meunasah,
maupun sekolah-sekolah. Rangkaian acaranya berisi pembacaan ayat
suci Al Qur’an, ceramah agama yang menceritakan seputar
perjalanan nabi ketika isra mi’raj, doa dan diakhiri dengan makan
bersama.
Kegiatan kedua yang dilakukan oleh masyarakat Kota Banda
Aceh dalam peringatan hari besar Islam ialah peringatan nuzulul
Qur’an atau turunnya Al Qur’an yang diperingati tanggal 17
Ramadhan. Meski bertepatan dengan bulan ramadhan, namun
terlihat kegiatan perayaan nuzulul Qur’an ini juga tidak kalah
ramainya. Acara ini juga dilangsungkan secara kolektif, namun
hanya dipusatkan di Masjid-Masjid saja. Kegaiatan nuzulul Qur’an
biasanya diisi dengan pembacaan ayat suci Al Qur’an dan ceramah
agama seputar turunnya Al Qur’an dan puasa ramadhan.
Kemeriahan acara ini dapat terlihat dari banyaknya jamaah yang
hadir ketika acara berlangsung. Karena biasanya jamaah lain yang
melaksanakan shalatnya di Meunasah, ketika datang malam
peringatan nuzulul Qur’an mereka berbondong-bondong mendatangi
masji-masjid tersebut.36
Hari besar Islam selanjutnya yang dirayakan oleh masyarakat
Kota Banda Aceh yaitu hari raya idul Fitri tanggal 1 Syawal dan
hari raya idul Adha tanggal 10 Dzulhijjah.37
Kedua hari raya ini
36 Pengamatan di Masjid Syuhada Gampong Lamgugob, Kecamatan Syiah
Kuala Kota Banda Aceh.
37 Sedikit catatan bahwa ada perbedaan bagi masyarakat Aceh dalam
merayakan kedua hari raya tersebut, yakni hari raya idul adha biasanya lebih ramai
dibandingkan hari raya idul fitri. Pada saat hari raya Idul Adha, cara penyembelihan
hewan qurban biasanya dilakukan pada hari ketiga lebaran. Hewan yang dijadikan
qurban oleh warga Kota Banda Aceh seperti pada umumnya seperti kerbau, sapi,
maupun kambing (tergantung kemampuan). Lokasi yang dijadikan tempat
Implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002 91
sepertinya menjadi idaman bagi seluruh masyarakat, karena
kedatangannya yang selalu dinanti-nanti. Orang yang merantau jauh
dari kampung halamannya, ketika lebaran idul fitri tiba mereka
pulang kampung (mudik) untuk dapat berkumpul dengan
keluarganya merayakan lebaran bersama-sama. Kemeriahan dalam
merayakannya juga terlihat dari persiapan yang dilakukan, seperti
menghiasi rumah dengan cat baru, membeli baju-baju baru, serta
mempersiapkan makanan sebagai hidangan terlezat yang disantap
saat lebaran. Kegiatan lain yang dilakukan sehari menjelang lebaran
idul fitri yakni berburu daging (meugang), berziarah kubur kepada
orang tua maupun saudara yang telah meninggal, dan melakukan
pembayaran zakat fitrah.
Pada malam hari raya idul fitri, gema takbir terdengar hampir
diseluruh penjuru wilayah Kota Banda Aceh. Acara takbir keliling
dilakukan dengan berjalan kaki dengan menggunakan obor yang
terbuat dari bambu (pawai obor). Tua muda maupun anak-anak tak
ketinggalan terlihat sangat antusias dalam mengikuti takbir keliling
tersebut. Setelah takbir keliling selesai, selanjutnya takbiran
dipusatkan di Masjid maupun Meunasah, yang juga terlihat ramai
sampai esok hari menjelang waktu subuh. Keesokan harinya, warga
berbondong-bondong mendatangi Masjid atau lapangan yang telah
dipersiapkan untuk melakukan shalat ‘id. Kegiatan shalat ‘id ini di
Kota Banda Aceh biasanya dipusatkan di Masjid-Masjid besar yang
mampu menampung jamaah dengan jumlah banyak, seperti Masjid
Raya Baiturrahman, dan ada juga sebagian warga yang memilih
melaksanakan shalat ‘id dilapangan terbuka. Sekembalinya dari
tempat shalat ‘id, orang-orang biasanya melakukan kunjungan
kepada orang tuanya, kerabat, orang lain yang dituakan, dan tokoh-
tokoh masyarakat yang ada disekitar tempat tinggalnya.
penyembelihan hewan-hewan ini biasanya disekitaran halaman Masjid maupun
lapangan terbuka.
92 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
Kegiatan perayaan hari besar Islam berikutnya yang biasa
dilakukan oleh masyarakat Kota Banda Aceh yakni tanggal 1
Muharram yang diperingati sebagai tahun baru Islam (asura). Pada
malam harinya biasanya warga terutama anak-anak dan remaja
melakukan kegiatan pawai obor yang berlangsung di jalan-jalan
seputaran gampong. Sepanjang pawai berlangsung, anak-anak dan
remaja tersebut mengumandangkan shalawat serta zikir.
Kegiatan selanjutnya dalam perayaan hari-hari besar Islam
yang selalu dilakukan oleh masyarakat Kota Banda Aceh ialah
memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yang jatuh
pada tanggal 12 Rabiulawal. Peringatan hari kelahiran nabi dalam
masyarakat Aceh biasa disebut maulod atau maulid, asal kata dalam
bahasa Arab mawlud yang berarti kelahiran. Bulan ini juga dinamai
sebagai bulan maulid, karena dalam banyak tradisi budaya yang
telah berkembang di masyarakat Aceh, memperingati Maulid Nabi
Muhammad SAW merupakan yang terbesar dan berlangsung lama,
yaitu selama tiga bulan. Rangkaian kegiatan maulid tersebut
biasanya selalu diisi dengan shalawat, zikir, dan pembacaan syair-
syair mengangungkan nama Allah, mendoakan keselamatan
Rasulullah beserta keluarganya, para sahabat nabi, ulama dan
seluruh umat Islam. Biasanya bacaan shalawat zikir dan syair ini
dibawakan para remaja putra maupun putri. Suara-suara itulah yang
dirangkum dalam bentuk barzanji yang merupakan salah satu ciri
khusus dalam tradisi perayaan maulid di Aceh.38
Ciri khas lain dari perayaan maulid di Aceh yaitu ceramah
agama tentang Pang Ulee yang disampaikan oleh teungku yang
diundang secara khusus dari daerah lain. Karena pada dasarnya
perayaan maulid merupakan peringatan hari kelahiran Pang Ulee
(Penghulu Alam) yakni Nabi Muhammad SAW, utusan Allah dan
nabi terakhir yang membawa risalah Islam kepada umat manusia.
38 Web Kemdikbud RI: www.kemdikbud.go.id/main/blog/2014/12/tradisi-
kenduri-aceh-rayakan-maulid-nabi. Diakses tanggal 01 Oktober 2016.
Implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002 93
Untuk itu hal-hal yang disampaikan dalam ceramah agamanya tidak
lepas dari kehidupan Rasulullah sejak masa kanak-kanak hingga
wafatnya beliau. Ceramah Pang Ulee ini juga menjadi puncak acara
dari serangkaian kegiatan perayaan maulid yang dilakukan. Ciri
khas selanjutnya dalam merayakan maulid di Aceh yakni Kenduri
Maulid atau Kanduri Maulod. Acara ini merupakan kegiatan makan
bersama yang dilakukan oleh warga dan juga para tamu undangan
dari gampong tetangga. Panitia yang menjadi tuan rumah pada
kegiatan itu biasanya akan memasak kuah belangong, yakni
masakan khas Aceh yang berbahan gulai sapi atau kambing.
Sementara para tamu undangan yang datang akan membawa
makanan sendiri yang kemudian ditukar dengan makanan yang telah
disediakan oleh tuan rumah. Saling tukar menukar makanan menjadi
hal yang lumrah dan wajib pada saat itu. Acara kanduri maulod ini
biasanya dilaksanakan di Masjid atau Meunasah yang telah
dipersiapkan oleh tuan rumah selaku penyelenggara.39
Masyarakat Aceh menganggap bahwa kanduri maulod
merupakan sebuah tradisi. Hal itu didasarkan atas pemahaman pada
Nabi Muhammad yang telah membawa umat manusia dari alam
kebodohan hingga ke alam ilmu pengetahuan yang karenanya
manusia menjadi mulia. Seperti telah disinggung di atas, bahwa
kegiatan kanduri maulod di Aceh merupakan perayaan terbesar dan
terlama, yakni selama tiga bulan, sejak Rabiulawal, Rabiulakhir,
hingga Jumadilawal. Pelaksanaan kanduri maulod selama rentang
tiga bulan tersebut mempunyai tujuan supaya masyarakat Aceh
dapat melaksanakan kenduri secara keseluruhan dan merata.
Sehingga apabila pada bulan Rabiulawal belum mampu
melaksanakan kenduri, pada bulan Rabiulakhir belum juga mampu,
39 Web Kemdikbud RI: www.kemdikbud.go.id/main/blog/2014/12/tradisi-
kenduri-aceh-rayakan-maulid-nabi. Diakses tanggal 01 Oktober 2016.
94 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
maka masih ada kesempatan pada bulan Jumadilawal.40
Setiap
perayaan yang dilakukan pada ketiga bulan yang berbeda tersebut
juga mempunyai julukannya masing-masing. Seperti kenduri maulid
yang dilaksanakan pada bulan Rabiulawal disebut Maulod Awai
(Maulid Awal) yang dimulai dari tanggal 12 Rabiulawal sampai
akhir bulan Rabiulawal. Kenduri maulid yang dilaksanakan pada
Rabiulakhir disebut Maulod Teungoh (Maulid Tengah) yang dimulai
dari tanggal 1 bulan Rabiulakhir sampai berakhirnya bulan
Rabiulakhir tersebut. Sedangkan kenduri maulid pada bulan
Jumadilawal disebut Maulod Akhee (Maulid Akhir) yang
dilaksanakan sepanjang bulan Jumadilawal hingga selesai.41
2. Tulisan Arab Melayu
Penggunaan tulisan Arab Melayu di samping tulisan Latin
untuk penulisan nama kantor dan toko belum berjalan maksimal, hal
ini dapat terlihat dihampir seluruh wilayah Kota Banda Aceh, tidak
semua instansi pemerintahan maupun swasta dan toko-toko yang
sudah ditulis dengan menggunakan huruf Arab Melayu tersebut.
Tentunya dengan berbagai alasan mengapa hal ini belum dijalankan;
seperti belum mengetahui adanya aturan ini, tidak adanya sosialisasi
dari pihak terkait, dan tidak tahu cara menulisnya karena tidak ada
pedoman yang baku. Namun meski belum terlihat seluruhnya
menggunakan tulisan Arab Melayu, dari amatan penulis dilapangan
melihat telah ada sebagian nama kantor pemerintah dan sebagian
nama toko di wilayah ini yang sudah ditulis dengan menggunakan
huruf Arab Melayu tersebut. Tapi karena kaidah penulisannya belum
40 Perayaan maulid di Aceh dapat dikatakan sebagai pesta rakyat namun
dalam nuansa santun dan penuh nilai-nilai islami. Umumnya seluruh masyarakat
Aceh mengadakan Kenduri Maulod, hanya waktu pelaksanaannya saja yang
berbeda-beda tergantung pada kemampuan masyarakat untuk menyelenggarakan.
41 Web Kemdikbud RI: www.kemdikbud.go.id/main/blog/2014/12/tradisi-kenduri-aceh-rayakan-maulid-nabi. Diakses tanggal 01 Oktober 2016.
Implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002 95
ada yang baku, maka sering kali terjadi perbedaan penggunaan huruf
antara nama satu instansi dengan instansi lainnya.42
Gambar 4.3 Kantor Satpol PP/WH Kota Banda Aceh yang ditulis
dengan huruf Latin dan Arab Melayu
Selain penggunaan tulisan Arab Melayu, aturan lain yakni
penggunaan tanggal Hijriah dan Masehi dalam surat-surat resmi
juga terlihat belum berjalan maksimal. Instansi pemerintah maupun
swasta di Kota Banda Aceh masih belum banyak yang
menggunakan penanggalan Hijriah di samping penanggalan Masehi
dalam surat-surat resmi yang dikeluarkan.
3. Berbusana Islami
Sebagai salah satu wujud pelaksanaan syari’at Islam yang
nyata dan dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari di Kota Banda
Aceh ialah berbusana islami. Aturan penggunaan busana islami ini
tidak hanya berlaku bagi kaum wanita saja tetapi juga berlaku bagi
42 Ahsanul Khalikin, Pelaksanaan Syari’at Islam Di Kota Banda Aceh,
dalam Ahmad Syafi’i Mufid (Ed), Kasus-Kasus Aliran/Paham Keagamaan Aktual Di Indonesia (Jakarta: Departemen Agama RI, Badan Litbang dan Diklat
Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2009), h. 259.
96 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
kaum pria. Namun demikian, pada tataran pelaksanaannya,
penerapan aturan berbusana islami ini lebih ditekankan pada kaum
wanita. Dengan alasan karena wanita memiliki batasan-batasan
aurat yang lebih banyak daripada pria, terutama pada bagian kepala.
Maka sejak aturan ini diimplementasikan sudah banyak menuai hal
positif, kuantitas wanita di Kota Banda Aceh yang memakai busana
islami terlihat semakin meningkat meski belum maksimal. Di
samping itu, bagi sebagian besar masyarakat telah menganggap
bahwa busana islami merupakan sebuah simbol identifikasi diri
bahwa ia seorang muslimah. Busana islami juga menunjukkan
tentang kesopanan dan keindahan bagi siapa saja yang memakainya.
Selain itu, diwajibkan berbusana islami yang diatur dalam Qanun ini
pada dasarnya juga untuk mengangkat harkat dan martabat seorang
wanita sebagai muslimah dan menjaga serta melindungi kehormatan
manusia dari gangguan tangan dan mata jahil.
Dikalangan instansi pemerintahan di Aceh, pegawai
pemerintahan (PNS) termasuk TNI dan Polri, selain memakai baju
dinas juga diwajibkan untuk mengenakan jilbab pada saat jam kerja.
Warna jilbab yang dikenakan selalu disesuaikan dengan warna
pakaian dinas instansi masing-masing serta harus seragam. Akibat
dari aturan ini, dari amatan penulis dilapangan melihat tidak ada
satupun pegawai pemerintahan di Kota Banda Aceh yang tidak
mengenakan jilbab saat jam kerja. Para anggota TNI wanita
(Kowad, Kowal dan Wara) juga terlihat selalu memakai jilbab.
Begitu juga Polwan saat bertugas di jalan raya sebagai pengatur
lalu-lintas juga terlihat mengenakan jilbab. Seperti telah disinggung
sebelumnya bahwa aturan berbusana islami ini tidak hanya berlaku
bagi wanita saja, melainkan juga berlaku bagi kaum pria. Maka
dengan aturan ini terlihat banyak kaum pria di Kota Banda Aceh
yang tidak lagi memakai celana pendek di tempat-tempat umum
(kecuali dilapangan bola/futsal), meskipun kadang juga masih
ditemukan ada beberapa orang yang tidak mematuhinya.
Implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002 97
Sejak mulai diberlakukannya kewajiban berbusana islami dan
untuk menegakkan aturan ini, maka secara berkala Satpol PP/WH
dengan dibantu oleh aparat Kepolisian setempat telah aktif
melakukan berbagai razia. Khusus bagi kaum wanita bila ditemukan
tidak menggunakan jilbab dan berpakaian ketat di luar rumah, maka
akan dikenakan sanksi secara berjenjang, yaitu: Pertama, teguran
lisan, terkadang disertai pemasangan jilbab atau kerudung di tempat
terjadinya razia oleh aparat Satpol PP/WH wanita. Kedua, bila
pelaku ditemukan lagi melakukan pelanggaran serupa, identitas
berserta alamatnya akan dicatat oleh petugas dan kemudian pelaku
diwajibkan untuk membuat pernyataan secara tertulis bahwa tidak
akan mengulangi perbuatannya lagi. Ketiga, bila masih ditemukan
pelaku yang melakukan pelanggaran serupa, maka akan dibawa ke
kantor Satpol PP/WH dan akan diberikan pembinaan. Umumnya
pelanggaran tentang kewajiban berbusana islami ini banyak
dilakukan oleh anak-anak yang masih berusia muda atau remaja.
Pada dasarnya, sebelum lahirnya Qanun yang mengatur
tentang berbusana islami ini, dalam Perda Nomor 5 Tahun 2000
(Pasal 15) secara khusus juga telah mengatur tentang kewajiban
berbusana islami bagi umat Islam di Aceh dan para
pelancong/wisatawan yang datang berkunjung ke Aceh. Di katakan
bahwa setiap Muslim dan Muslimah wajib berbusana sesuai dengan
tuntunan ajaran Islam, baik dalam kehidupan keluarga maupun
dalam pergaulan masyarakat, setiap pemeluk agama selain agama
Islam diharapkan menghormati dan menyesuaikan pakaian/
busananya sehingga tidak melanggar tata krama dan kesopanan
dalam masyarakat, dan bagi para pelancong atau wisatawan dari luar
Aceh supaya dapat menyesuaikan tindakan, kegiatan dan busananya
dengan kehidupan masyarakat Aceh yang islami.43 Hemat penulis,
pasal ini bukan bertujuan untuk membatasi umat non-Muslim atau
43 Perda Nomor 5 Tahun 2000 Pasal 15, BAB IV Aspek Pelaksanaan
Syari’at Islam. Bagian Ketujuh Pelaksanaan Bidang Kemasyarakatan, Pasal 15.
98 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
wisatawan yang berkunjung ke Aceh, tetapi agar terciptanya
masyarakat yang lebih teratur, rapi serta penuh kesopanan sesuai
dengan tata krama.
99
BAB V
Dampak Terhadap Kerukunan Umat Beragama
ab ini membicarakan tentang dampak implementasi
Qanun Nomor 11 Tahun 2002 terhadap kondisi
kerukunan hidup umat beragama di Kota Banda Aceh dari waktu ke
waktu hingga yang penulis amati selama penelitian berlangsung.
A. Kerukunan Internal Umat Islam
Islam adalah esensi sekaligus nama. Esensinya kepasrahan
kepada Tuhan, dan namanya adalah Islam itu sendiri seperti yang
dimengerti oleh masyarakat awam. Islam sebagai nama agama
merupakan bentuk dari akar yang sama yakni salam yang berarti
perdamaian, kata ini kemudian menunjuk pada Islam sebagai agama
yang damai. Dalam interaksi dikehidupan masyarakat, maka setiap
orang dianjurkan untuk menebarkan kedamaian dengan sesama
melalui ucapan salam; “assalammualaikum” (semoga keselamatan,
keberkahan, dan kasih sayang dari Allah menyertai Anda sekalian).1
Memberikan ucapan salam kepada orang lain merupakan sebuah
perwujudan yang nyata dari sikap seseorang bahwa bersama-sama
untuk menjalani kehidupan yang sejahtera dan perdamaian. Oleh
karena itu, dengan Islam setiap manusia dapat menjalani kehidupan
yang damai, sejahtera dan penuh cinta kasih antarsesama umat
manusia. Hal tersebut kemudian mengharuskan setiap umat manusia
untuk saling menghargai dan menghormati antarsesama sesuai
dengan hak-hak yang terdapat pada diri setiap individu. Bentuk
1 Syamsul Rijal (Penyunting), Kerukunan Umat Beragama: Substansi dan
Realitas Nilai-Nilai Universal Keagamaan (Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2003), h. 30.
B
100 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
penghargaan dan penghormatan itu diwujudkan dalam persaudaraan
antarsesama umat Islam berdasarkan nilai-nilai islami (ukhuwwah
islamiyah).
Berdasarkan uraian di atas, jika dilihat dalam kehidupan
masyarakat Aceh pada dasarnya telah menunjukkan adanya
kehidupan yang penuh kedamaian dan juga sangat mementingkan
hubungan antarsesama manusia. Persaudaraan antara umat Islam
telah berjalan baik dan serasi, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai
keislaman tersebut. Fakta tersebut dapat dilihat apabila ada
kemalangan atau hajatan dalam masyarakat, maka tetangga dekat
disekelilingnya akan membantu dengan senang hati. Masyarakat
Aceh dikenal sangat toleran dan mempunyai sifat gotong royong
yang tinggi. Namun sejak terjadi konflik bersenjata tahun 1989
hingga masa damai 2005 lalu, orang asing (non-Aceh) enggan untuk
masuk ke Aceh dengan berbagai alasan, salah satunya yaitu karena
orang Aceh dianggap tidak mau menerima orang luar dan tertutup.
Kenyataan ini pada dasarnya diakibatkan karena adanya konflik
yang berlangsung lama, sehingga ketakutan, kecemasan, dan
kecurigaan selalu membayangi masyarakat Aceh, sehingga orang
luar merasa enggan untuk berkunjung ke Aceh. Setelah terjadi
tsunami dan kesepakatan damai melalui MoU Helsinki, kini orang
Aceh kembali terbuka dengan dunia luar dan tidak lagi tertutup.2
Amatan penulis melihat bahwa kehidupan organisasi
masyarakat Islam seperti NU, Muhammadiyah dan ormas lainnya di
Kota Banda Aceh juga terlihat kondusif, sikap gotong royong dan
kerjasama telah terlihat tumbuh diantara sesama anggota ormas.3
2 Abdul Rani Usman, Sejarah Peradaban Aceh: Suatu Analisa Interaksionis,
Integrasi, dan Konflik (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), h. 102.
3 Sedikit catatan bahwa dalam kehidupan bangsa saat ini kerukunan internal
umat Islam dapat dikatakan berjalan baik, khususnya di antara kelompok-kelompok
besar keagamaan.Secara jelas dapat dilihat lompatan yang sangat jauh hubungan
NU dengan Muhammadiyah sekarang dibandingkan masa silam. Lihat Bahrul
Dampak Terhadap Kerukunan Umat Beragama 101
Hal ini berbeda dengan organisasi partai politik yang terlihat lebih
mengedepankan sikap persaingan diantara mereka, sehingga
benturan gagasan maupun fisik sering terjadi yang berujung pada
pertikaian diantara mereka (terutama pada momen pilkada).
Tentunya sikap-sikap seperti itu dilatar belakangi atas berbagai
kepentingan dari masing-masing kelompok, baik kepentingan
jabatan maupun kekuasaan. Dalam lingkup yang lebih luas,
persaingan yang terjadi antar anggota kelompok partai tidak lebih
dari perebutan aset dan akses untuk memenuhi anggota
kelompoknya masing-masing, baik itu partai lokal maupun nasional
di Kota Banda Aceh.
Dalam hal toleransi, masyarakat Aceh juga dapat dikatakan
memiliki budaya yang penuh dengan toleransi tinggi. Hal ini
misalnya ketika dihadapkan dengan berbagai persoalan, termasuk
persoalan memberi hak dan penghormatan kepada orang lain.
Contoh prinsip sederhana ini dapat dilihat dalam kehidupan sehari-
hari, ketika ada sekelompok orang Aceh sedang berbicara
menggunakan bahasa daerah, apabila ada orang lain yang datang
bergabung dengan kelompok itu sementara tidak bisa berbahasa
Aceh, orang Aceh bisa mengalihkan bahasanya dari bahasa Aceh ke
bahasa Indonesia. Di samping memberi toleransi dalam aspek
kebahasaan, orang Aceh juga telah memberikan toleransi kepada
kaum wanita, yakni dengan memposisikan mereka pada
kewanitaannya. Hal ini terlihat dari sejarah beberapa ratus tahun
lalu bahwa masyarakat Aceh telah merealisasikan kesetaraan
gender. Dalam catatan sejarah, Aceh pernah mempunyai panglima
perang wanita yang rela mati dan terjun langsung ke medan
pertempuran untuk melawan dan mengusir penjajah, seperti Cut
Nyak Dhien, Cut Mutia, Pocut Baren, dan lain sebagainya. Selain
itu, Aceh juga mempunyai laksamana wanita yang memimpin
Hayat, Mengelola Kemajemukan Umat Beragama (Jakarta: PT. Saadah Cipta
Mandiri, 2012), h. 42.
102 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
armada angkatan laut, yakni Laksamana Keumalahayati, Laksamana
Leurah Ganti, Laksamana Muda Cut Meurah Inseuen, dan lain-lain.
Sejarah tersebut memberi gambaran bahwa budaya Aceh telah
memberi toleransi kepada masyarakat dan menjunjung tinggi
persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Dengan demikian
budaya toleransi, penghormatan terhadap hak-hak wanita, dan
masyarakat asing merupakan karakter budaya Aceh yang sudah
tertanam sejak lama.4
Di salah satu Gampong Asoe Nanggroe, Kecamatan Meuraxa
Kota Banda Aceh yang penulis amati, terlihat bahwa kehidupan
umat Islam berjalan damai, atmosfir persaudaraan sangat terlihat
kental di tempat ini. Budaya gotong royong, saling menghargai,
mengormati, dan bekerjasama telah menjadi realitas dalam
kehidupan keseharian masyarakat. Hal ini terlihat dalam setiap
kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat selalu berlangsung secara
kolektif. Selain itu, kegiatan dalam bulan suci ramadhan juga
dilakukan secara bersama-sama oleh umat Muslim, baik shalat
tarawih, tadarus Al Qur’an, maupun buka puasa bersama. Sikap
gotong royong warga masyarakat juga sangat terlihat seperti halnya
ketika prosesi pembangunan rumah ibadah. Dalam hal ini setiap
warga masyarakat tak terkecuali juga terlihat berperan aktif dalam
mengikuti kegiatan gotong royong pembangunan rumah ibadah ini,
dari mulai peletakan batu pertama hingga sampai selesai
pembangunan. Dalam bidang sosial kemasyarakatan, umat Muslim
juga terlihat sangat kompak, kegiatan bakti sosial sering dilakukan
di wilayah Kota Banda Aceh. Seperti halnya donor darah, santunan
anak yatim, dan lain sebagainya. Suasana kekeluargaan yang telah
terjalin dengan baik di Gampong Aso Nanggroe juga dirasakan oleh
warga suku Jawa yang merantau dan tinggal di wilayah tersebut. Ia
menuturkan bahwa orang Aceh sangat bersahabat dan bersikap
4 Muliadi Kurdi, Aceh Di Mata Sejarawan: Rekonstruksi Sejarah Sosial
Budaya (Banda Aceh: LKAS dan Pemerintah Aceh, 2009), h. 28-29.
Dampak Terhadap Kerukunan Umat Beragama 103
terbuka kepada dirinya. Setiap kegiatan sosial maupun keagamaan
yang diadakan di gampong tersebut selalu ia ikuti tanpa rasa takut,
ia menganggap bahwa warga Aceh telah menerimanya dan
menganggapnya sebagai saudara.
Penghayatan terhadap hukum agama yang diimplementasikan
melalui syari’at Islam juga berperan besar dalam membentuk
masyarakat Kota Banda Aceh yang lebih santun. Aturan untuk
memperbanyak kegiatan ibadah yang diatur dalam Qanun Nomor 11
Tahun 2002 ini telah menunjukkan hal positif di masyarakat.
Misalnya perintah untuk melakukan shalat berjamaah di Masjid,
telah terbukti dapat menyatukan umat Islam dan meredam gejala-
gejala konflik yang sewaktu-waktu dapat terjadi di Kota Banda
Aceh. Selain itu, sejalan dengan visi Kota Banda Aceh sebagai
model Kota Madani merupakan sebuah cita-cita terbentuknya
masyarakat yang damai, adil, dan beradab.
Namun meskipun kehidupan masyarakat Islam terlihat damai,
bukan berarti tidak pernah terjadi konflik. Hasil temuan penulis
mencatat bahwa konflik berskala lokal (kecil) yang pernah terjadi
dalam internal umat Muslim di Kota Banda Aceh yaitu adanya
pandangan berbeda dalam hal pengelolaan manajemen pelaksanaan
shalat Jum’at Masjid Raya Baiturrahman. Meski peristiwa ini
terbilang lokal (tidak menimbulkan korban jiwa, tidak melibatkan
banyak pihak dan juga tidak meluas), namun sempat menyita
perhatian masyarakat. Peristiwa ini terjadi pada Jum’at 19 Juni 2015
di mana saat itu umat Muslim tengah bersiap-siap untuk melakukan
shalat Jum’at di Masjid tersebut. Kejadian ini bermula ketika
pemuka agama dari Himpunan Dayah Aceh (HUDA), Majelis
Ulama Nanggroe Aceh (MUNA), dan Front Pembela Islam (FPI)
mengambil alih manajemen pelaksanaan tata tertib shalat Jum’at di
Masjid Raya Baiturrahman.
Para pemuka agama yang datang ini memaksa khatib untuk
menggunakan tongkat dalam menyampaikan khutbahnya dan
104 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
mengharuskan mengumandangkan azan dua kali, hal ini yang tidak
pernah dilakukan dalam ritual shalat Jum’at di Masjid Raya
Baiturrahman sebelumnya.Para ulama ini menganggap bahwa
pelaksanaan ibadah terutama dalam hal tata tertib shalat Jum’at di
Masjid Raya Baiturrahman telah melenceng jauh dari kaidah
ahlussunnah wal jama’ah, sehingga harus dikembalikan sesuai
kaidahnya. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Tgk. Bulqani
Tanjongan selaku Sekjen HUDA, mengatakan bahwa pihaknya dan
seluruh ulama di Aceh ingin mengembalikan pelaksanaan ibadah di
Masjid Raya Baiturrahman sebagaimana kejayaan Aceh di masa
Kerajaan Sultan Iskandar Muda dahulu. Menurutnya bahwa masalah
ini bukan upaya untuk mengkudeta masjid, bukan juga tentang
khilafiah tapi sesuatu yang telah dipolitisir sedemikian rupa oleh
kalangan yang telah menguasai manajemen Masjid Raya
Baiturrahman. Sehingga ia menginginkan tata cara pelaksanaan
shalat Jum’at harus sesuai dengan mazhab Syafi’i dan kaidah
ahlussunnah wal jama’ah.5
Dari berbagai kajian referensi yang penulis dapatkan, pada
dasarnya benturan atau konflik yang terjadi sesama umat Islam di
Kota Banda Aceh tidak terkait dengan politik kekuasaan untuk
menguasai manajemen Masjid Raya Baiturrahman. Akan tetapi ada
masalah yang dianggap serius oleh para ulama, yakni adanya
penetrasi dari aliran Wahabi yang sangat agresif di kalangan
masyarakat, sehingga menurut para ulama aliran ini sangat
bertentangan dan jauh dari nilai-nilai Islam dalam praktek ibadah
masyarakat Aceh yang sesuai dengan ahlussunnah wal jama’ah
selama ini.6 Selain itu, konsep akidah dan ibadah yang berdasarkan
5 Harian Serambi Indonesia: aceh.tribunnews.com/2015/06/26/menyoal-
benturan-antaramazhab-di-aceh. Diakses tanggal 1 September 2016.
6 Sedikit catatan, sesungguhnya perbedaan-perbedaan mazhab ini telah
banyak berkembang di dunia Islam, baik yang menolak maupun yang fanatik
terhadap mazhab. Khususnya perbedaan mazhab yang menyangkut tentang akidah
Dampak Terhadap Kerukunan Umat Beragama 105
ahlussunnah wal jama’ah dalam kehidupan sehari-hari masyarakat
Aceh telah mendapat legalitas formal melalui Qanun Nomor 11
Tahun 2002 yang wajib untuk dijalankan.
Pendapat penulis mengatakan bahwa pada intinya kasus
konflik/benturan mazhab yang pernah terjadi di Kota Banda Aceh
tersebut seyoginya tetap dilihat sebagai kasus yang dalam
kehidupan bermasyarakat juga kerap terjadi (masih dalam tingkat
kewajaran), karena kasus seperti itu juga pernah terjadi di wilayah
lain di Indonesia maupun dunia Islam lainnya. Jika dicermati bahwa
timbulnya kasus di atas memang sempat menodai wajah kerukunan
internal umat Islam di Kota Banda Aceh yang selama ini dikenal
rukun dan damai, namun dengan adanya kasus itu tidak juga
menghancurkan gambaran kehidupan kerukunan umat Muslim di
Kota Banda Aceh saat ini. Ini menunjukkan bahwa pada dasarnya
umat Muslim di Kota Banda Aceh memiliki daya resistensi yang
tinggi dalam memelihara kerukunan dan menjaga persaudaraan
ukhuwwah islamiyah. Meminjam istilah dari Adian Husaini bahwa
wajah kerukunan umat beragama (Umat Muslim di Kota Banda
Aceh) saat ini tetap cantik. Kasus-kasus yang muncul bisa
diibaratkan laksana jerawat yang muncul di wajah yang cantik.
Pandanglah wajah yang cantik itu secara keseluruhan; jangan hanya
memandangi dan membesar-besarkan jerawat yang muncul. Tentu
saja jerawat itu mengganggu dan jika tidak diobati bisa
menimbulkan infeksi yang dapat merusak wajah cantik secara
keseluruhan. Upaya sejumlah pihak untuk menonjol-nonjolkan kasus
(madzahib i’tiqadiyah) telah membawa berbagai tragedi dan musibah di negeri-
negeri Islam dan memecah belah barisan kaum Muslimin. Perbedaan ini sangat
disayangkan dan harus ditiadakan. Umat Islam harus bersatu dalam mazhab
ahlussunnah wal jama’ah yang mencerminkan pemikiran Islam yang benar di masa
Rasulullah dan Khilafah Rasyidah yang telah diumumkan oleh Nabi Muhammad
sebagai kelanjutan dari Sunnahnya. Lihat Yusuf Al Qardhawi, Fiqih Perbedaan Pendapat (Penerjemah Aunur Rafiq Shaleh Tamhid) (Jakarta: Robbani Press 2007),
Cet. 15, h. 94.
106 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
dengan menutup gambaran besar wajah kerukunan umat Islam yang
harmonis, justru bisa menjadi sumber masalah baru.7
Secara keseluruhan kehidupan umat Muslim di Kota Banda
Aceh terlihat harmonis. Adanya ikatan kekerabatan dan
kekeluargaan dalam kehidupan sosial masyarakat di Kota Banda
Aceh juga menjadi faktor penting, ini terlihat dari interaksi dengan
adanya kerja sama saling membantu dan tolong menolong satu sama
lainnya merupakan hal biasa yang sering dilakukan oleh masyarakat.
Timbulnya kasus konflik/benturan mazhab yang sempat terjadi
merupakan sebuah dinamika dalam mewarnai kehidupan umat Islam
di kota ini. Karena dengan adanya konflik tersebut, saat ini
masyarakat terlihat lebih terbuka untuk menerima adanya perbedaan
pandangan, pendapat, dan lebih mementingkan persatuan ukuwwah
islamiyah antarsesama masyarakat Kota Banda Aceh. Pelaksanaan
Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Akidah, Ibadah, dan Syi’ar
Islam telah memberi dampak positif terhadap persatuan umat Islam
di Kota Banda Aceh, karena yang paling ditekankan dalam Qanun
tersebut adalah praktek-praktek yang sifatnya kolektif bukan
individual, seperti shalat fardhu berjamaah, pengajian agama, dan
lain sebagainya yang pada intinya akan membuat umat Islam
bersatu dan rukun.
B. Kerukunan Antarumat Beragama
Secara keseluruhan, kondisi kerukunan umat beragama di
Aceh telah berjalan baik. Hal ini sebagaimana yang disampaikan
oleh Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Ziauddin
dalam focus group discussion yang diselenggarakan oleh Kantor
Wilayah Kementrian Agama Aceh menyatakan bahwa toleransi dan
kerukunan umat beragama di Aceh berjalan dengan baik sehingga
7 Adian Husaini, Kerukunan Beragama dan Kontroversi Penggunaan Kata
Allah dalam Agama Kristen (Jakarta: Gema Insani, 2015), h. 20-21.
Dampak Terhadap Kerukunan Umat Beragama 107
perlu terus untuk dipertahankan.8
Sementara menurut pemuka
agama Katolik, Pastor Sebastianus Eka BS menilai bahwa toleransi
dan kerukunan antarumat beragama di Aceh telah terjalin baik dan
harmonis selama ini meski non-Muslim menjadi pemeluk agama
minoritas. Kerukunan itu tercapai dengan hal yang sederhana,
misalnya rela bertegur sapa secara baik dan mengusahakan selalu
agar tidak menyinggung perasaan orang lain. Selain itu juga
berusaha selalu ikut menghargai kebiasaan masyarakat Muslim
Aceh. Misalnya saat bulan puasa, umat Katolik tidak makan minum
atau merokok di tempat umum, pengenaan busana juga disesuaikan
dengan penduduk setempat.9 Sementara itu, Gubernur Aceh, Zaini
Abdullah juga mengatakan bahwa pemerintah Aceh menjamin
kebebasan dan kerukunan hidup antarumat beragama serta tidak
diskriminatif terhadap pemeluk agama minoritas. Pelaksanaan
syari’at Islam di wilayah Aceh hanya berlaku bagi umat Muslim
saja, sehingga tidak benar jika ada berita yang mengatakan bahwa
umat non-Muslim juga harus mengikuti hukum syari’at Islam yang
diberlakukan. Isu negatif dan provokatif tentang pelaksanaan
syari’at Islam diterapkan bagi non-Muslim di Aceh itu tidak lebih
dari konsumsi politik untuk mendiskreditkan masyarakat dan
Pemerintah Aceh. Ia juga menegaskan bahwa syari’at Islam yang
diberlakukan di Aceh lebih mengedepankan pendekatan pendidikan,
adat dan budaya, sehingga hal itu tidak akan mengganggu
kerukunan hidup antarumat beragama yang telah terjalin lama di
Aceh.10
8 Antara News: http://www.antaranews.com/berita/528897/fkub-kerukunan-
umat-beragama-di-aceh-terlaksana-baik. Diakses tanggal 29 Februari 2016.
9 Kabar Gereja: http://www.kabargereja.papua.us/2011/06/mengintip-toleransi-antar-umat-beragama.html. Diakses tanggal 29 Februari 2016.
10 Republika: republika.co.id/berita/nasional/daerah/14/02/21/gubernur-aceh-tegaskan-jamin-kebebasan-beragama. Diakses tanggal 2 Juni 2016.
108 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
Demikian juga dengan Kota Banda Aceh, meskipun secara
mayoritas penduduk kota ini adalah Muslim, namun masyarakat
non-Muslim tetap nyaman dan aman berada di wilayah ini. Fakta ini
terlihat dari hasil kajian-kajian dan amatan dilapangan, penulis
melihat bahwa kehidupan warga non-Muslim di Kota Banda Aceh
tidak mengalami kendala apapun baik dalam pelaksanaan ibadah
maupun dalam aktifitas sehari-hari. Mereka juga tidak merasa
keberatan dengan diberlakukannya syari’at Islam. Sikap saling
menghormati dan semangat hidup berdampingan telah menjadi
warna dalam kehidupan antarumat beragama di Kota Banda Aceh.
Sehingga pemberlakuan syari’at Islam secara menyeluruh bukan
menjadi sebuah ancaman bagi non-Muslim di kota ini.
Kota Banda Aceh telah dikenal dunia nasional maupun
internasional sebagai salah satu kota yang sangat toleran dalam
kehidupan umat beragama. Sudah dari dulu kota ini dikenal sebagai
kota yang sangat toleran terhadap keberagamaan umat beragama,
bahkan hingga saat ini Banda Aceh menjadi kota yang kondusif
dengan tingkat kerukunan umat beragama yang tinggi. Bagi
masyarakat Aceh, hidup bersanding dengan keanekaragaman suku,
ras, dan agama merupakan bagian dari warisan endatu.11
Kesetaraan
adalah hak setiap orang, dan hal itu terus menerus diwariskan
kepada generasi selanjutnya, hingga sampailah pada kearifan lokal
yang kemudian membentuk sebuah peradaban bagi masyarakat Kota
Banda Aceh. Hal yang sama juga disampaikan oleh Wakil Ketua
FKUB Kota Banda Aceh, Eliaudin Gea yang mewakili umat Nasrani
juga mengakui bahwa kerukunan antarumat beragama di Banda
Aceh telah terjalin sejak lama. Ia menuturkan bahwa sudah 38 tahun
11 Endatu merupakan istilah yang digunakan oleh orang Aceh untuk
menyebut leluhur mereka (Nenek Moyang).
Dampak Terhadap Kerukunan Umat Beragama 109
tinggal di Kota Banda Aceh namun tidak pernah terjadi konflik,
kehidupan antarumat beragama telah berjalan harmonis di kota ini.12
Selanjutnya dalam kaitan dengan implementasi Qanun Nomor
11 Tahun 2002 oleh masyarakat Kota Banda Aceh, penulis berusaha
melakukan kajian dari berbagai sumber pustaka dan amatan
lapangan yang kemudian menganalisis dan mengklasifikasikannya
terhadap dampak-dampak apa saja yang ditimbulkan dalam
kehidupan sosial yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama.
1. Aktivitas Ekonomi
Amatan dan analisa penulis mengungkapkan bahwa
kehidupan antarumat beragama di Kota Banda Aceh nampak
harmonis, serasi dan saling tolong menolong dengan ikatan
persaudaraan. Hal tersebut telah menciptakan institusi atau tradisi
yang mampu meredam terjadinya konflik antarumat beragama.
Interaksi sosial yang terjalin antara umat Muslim dan non-Muslim
telah terjadi begitu lama di wilayah ini, dan tidak hanya sewaktu-
waktu saja, sehingga hal tersebut telah melahirkan kerukunan
antarumat yang berbeda agama. Semua umat beragama mendapat
peluang yang sama dalam menjalani kehidupan dan juga bekerja di
Kota Banda Aceh. Dalam sektor perdagangan, dapat dikatakan
bahwa hampir setengahnya tokok-toko yang berada di kawasan
Kota Banda Aceh pemiliknya adalah non-Muslim. Bahkan
dikawasan pasar Peunayong hampir 70 persen dikuasai oleh etnis
Tionghoa yang beragama Buddha dan Kristen. Di sini terlihat
bahwa status sebagai umat minoritas yang melekat pada mereka
tidak menjadi hambatan untuk terus berkembang dan turut andil
dalam menyumbang pajak daerah, menciptakan lapangan kerja dan
juga turut serta dalam memajukan Kota Banda Aceh dalam sektor
perekonomian. Toko-toko yang mereka miliki itu baik karyawan
maupun pelanggannya kebanyakan juga dari kalangan Muslim,
12 Web Dinas Syari’at Islam Kota Banda Aceh: syariatislam.bandaaceh.
go.id/illiza-masyarakat-madani-sangat-toleran/. Diakses tanggal 20 Oktober 2016.
110 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
sehingga interaksi yang terjalin antara sesama pedagang yang
berlatar belakang agama berbeda sering terjadi setiap saat. Dengan
demikian terlihat bahwa interaksi yang terjalin antara umat Muslim
dan non-Muslim tidak hanya sebatas pada acara-acara formal saja,
namun juga dalam kegiatan sehari-hari yang lebih sederhana dan
bersahabat. Interaksi antara masyarakat yang berbeda agama
tersebut terjadi dalam aktivitas ekonomi. Benteng akidah Islam
telah tertanam kuat dalam diri umat Muslim di Kota Banda Aceh.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa implementasi Qanun
Nomor 11 Tahun 2002 telah membawa dampak positif bagi warga
Muslim dan non-Muslim, hal ini karena implementasi Qanun
tersebut tidak menghambat atau mengganggu segala aktivitas
ekonomi warga Kota Banda Aceh yang berbeda keyakinan.
2. Pendidikan dan Perayaan Hari Besar Keagamaan
Disalah satu wilayah Kota Banda Aceh yang penulis amati,
yakni dikawasan Peunayong terdapat keanekaragaman yang menarik
di mana terdapat Masjid, Gereja Protestan dan Katolik, Kuil Hindu,
dan Vihara Buddha berada dalam satu kawasan. Di kawasan ini juga
dapat dijumpai masyarakat majemuk yang tidak hanya dalam bidang
agama, budaya tetapi juga pendidikan. Seperti halnya terdapat
Sekolah Methodist yang didirikan oleh umat Protestan di bawah
naungan Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB), di
mana tenaga guru maupun siswa-siswinya tidak hanya dari GPIB
Protestan saja, melainkan dari berbagai latar belakang yang berbeda-
beda. Diantaranya tercatat bahwa terdapat tenaga pengajar yang
beragama Islam, siswa beragama Kristen, Katolik, Buddha dan
Islam. Pada dasarnya dalam bidang pendidikan, umat non-Muslim
juga mendapatkan hak yang sama untuk menerima pendidikan yang
baik di sekolah-sekolah negeri maupun swasta. Sehingga terlihat
seperti ada pertukaran tempat belajar, misalnya siswa non-Muslim
ada yang sekolah di tempat umum yang notabenenya sekolah
Dampak Terhadap Kerukunan Umat Beragama 111
Muslim, sebaliknya siswa Muslim ada yang sekolah di tempat non-
Muslim, namun jumlahnya sedikit. Untuk kasus seperti ini biasanya
siswa non-Muslim tidak mengikuti pelajaran agama Islam yang
diberikan di sekolahnya, namun mereka mengambil nilai pelajaran
agama dari Gereja atau tempat-tempat ibadah lainnya. Begitu juga
bagi siswa Muslim, mereka akan mengambil nilai mata pelajaran
agama Islam di tempat ia biasa mengaji, seperti di TPA atau tempat
pengajian lainnya.
Menurut umat Protestan bahwa ada beberapa aspek yang
mempengaruhi kerukunan antarumat beragama di Kota Banda Aceh,
diantaranya ialah telah timbul kesadaran beragama dari semua
warga untuk saling menghargai, menghormati, dan memberi
kebebasan khususnya kepada non-Muslim untuk menjalankan hak
dan kewajiban sesuai dengan ajaran agamanya. Begitu juga mereka
meyakini bahwa setiap agama yang mereka anut mempunyai aturan-
aturan tersendiri dalam menjalin hubungan dengan Tuhan, alam,
maupun dengan sesama manusia. Nilai-nilai inilah yang sepertinya
telah tertanam pada masyarakat Kota Banda Aceh. Sehingga seperti
terlihat sekarang antara umat Protestan dan Muslim hidup
berdampingan dalam keadaan rukun dan damai, tidak pernah terjadi
keributan antara kedua agama ini. Umat Protestan dapat bergaul,
bekerja dan membaur dengan masyarakat Muslim lainnya.
Sementara itu, dikawasan lain tepatnya didekat lapangan Blang
Padang, terdapat Yayasan Pendidikan Perguruan Katolik Budi
Dharma Banda Aceh. Lembaga sekolah dalam naungan yayasan ini
terdiri dari tiga jenjang, yaitu SD, SMP, dan SMA. Dalam ketiga
jenjang sekolah ini juga terdapat kemajemukan, di mana tenaga guru
dan siswanya juga berasal dari agama yang berbeda. Di tingkatan
SD dan SMP hampir setengah dari tenaga gurunya adalah Muslim,
dan di SMA lebih meningkat yakni banyak tenaga gurunya yang
berasal dari kalangan Muslim. Sedangkan siswa yang sekolah di
tempat ini rata-rata berasal dari agama yang berbeda pula, yakni
112 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
Katolik, Protestan, Buddha, dan Islam. Seperti halnya pada kasus
sebelumnya, khusus bagi siswa-siswa non-Katolik, mereka akan
mengambil nilai mata pelajaran agama di tempat ia biasa belajar
agama, seperti gereja, vihara, dan TPA atau tempat pengajian
lainnya.
Umat Hindu terlihat damai hidup di Kota Banda Aceh,
persahabatan dengan umat Muslim sudah terjalin sangat lama.
Dalam kehidupan sehari-hari mereka sering berinteraksi dengan
umat Muslim. Bentuk interaksi yang sering terjadi biasanya tatap
muka langsung melalui aktivitas jual beli, pertemuan-pertemuan
antar warga dalam kegiatan sosial, dan kegiatan-kegiatan
keagamaan lainnya yang sering dilakukan. Misalnya saja ketika
umat Islam merayakan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, umat
Hindu selalu menyempatkan diri untuk berkunjung ke tetangga-
tetangga disekitar rumah mereka yang Muslim. Atas kunjungan itu,
umat Muslim yang dikunjungi juga menerima mereka dengan ramah
dan penuh persaudaran. Hal yang sama biasanya juga dilakukan oleh
umat Muslim, di mana saat umat Hindu sedang merayakan hari-hari
keagamaannya, sebagian umat Muslim ada juga yang datang ke Kuil
walaupun tujuan mereka hanya sekedar melihat-lihat saja. Umat
Hindu biasa melakukan ibadah setiap malam Jum’at, waktunya
biasa dimulai dari jam delapan malam hingga selesai. Jamaah yang
hadir biasanya selalu ramai, selain jamaah tetap kadang juga jamaah
yang berasal dari luar Kota Banda Aceh. Dari segi sarana
pendidikan, umat Hindu belum memiliki lembaga pendidikan
sendiri, hal ini dikarenakan jumlah umat Hindu sangat sedikit
sehingga hal itu belum dapat diwujudkan. Maka untuk sementara
siswa-siswa yang beragama Hindu harus belajar di sekolah-sekolah
umum yang ada di Kota Banda Aceh.
Umat Buddha juga merasa aman dan nyaman berada di
wilayah Kota Banda Aceh, karena hukum syari’at Islam yang
diberlakukan tidak menghalangi atau mengganggu ibadah dan
Dampak Terhadap Kerukunan Umat Beragama 113
aktivitas keseharian mereka. Justru sikap toleran lebih banyak
diajarkan oleh para Bikhu kepada para umatnya, seperti halnya saat
bulan puasa dilarang untuk makan dan minum di tempat-tempat
umum yang nantinya dapat mengganggu kekhusyukan ibadah umat
Muslim. Toleransi dan kerukunan antarumat beragama terjalin
sangat baik di Kota Banda Aceh. Untuk menjaga keakraban dengan
umat Muslim, biasanya umat Buddha selalu melakukan silaturrahmi
ke tempat-tempat orang Muslim, terutama saat Idul Fitri dan Idul
Adha. Selama ini belum terlihat ada hal-hal yang mengarah kepada
perpecahan dan konflik antara umat Muslim dan umat Buddha.
Sehingga persaudaraan yang terjalin antara kedua agama ini sangat
harmonis dan rukun. Dalam segi pendidikan, agama Buddha sama
halnya dengan agama Hindu, yaitu belum mempunyai lembaga
pendidikan khusus bagi mereka dengan alasan jumlah umat Buddha
yang masih sedikit. Sehingga mereka juga harus sekolah di tempat
lembaga lain, seperti di Sekolah Methodist, Yayasan Katolik,
maupun sekolah umum lainnya yang ada di Kota Banda Aceh.
3. Sosial Budaya dan Kemanusiaan
Ada beberapa kegiatan yang biasanya sering dilakukan secara
bersama-sama antara warga masyarakat Muslim dan non-Muslim
yang bersifat sosial. Seperti halnya gotong royong membersihkan
lingkungan gampong sekitar dalam menyambut hari kemerdekaan
Republik Indonesia. Semangat gotong royong ini merupakan salah
satu elemen yang berkembang di masyarakat yang telah berlangsung
selama bertahun-tahun, hal ini yang menjadi penyebab mereka dapat
hidup rukun antar warga yang berbeda keyakinan. Antara warga
Muslim dan non-Muslim tidak menaruh curiga dan justru sebaliknya
mereka saling mendukung satu sama lain. Amatan penulis kegiatan
yang bersifat sosial ini nampak berjalan baik di wilayah Kota Banda
Aceh. Kegiatan lain sepertitradisi mengunjungi salah seorang warga
yang tertimpa musibah meninggal dunia atau sakit juga masih
114 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
sangat kuat. Bahkan kegiatan saling kunjung mengunjungi ini
dilakukan oleh warga tanpa memandang latar belakang etnis, suku,
maupun agama.
Peran dan partisipasi aktif lain bersifat budaya yang pernah
diikuti oleh warga non-Muslim di Kota Banda Aceh yakni
keikutsertaannya dalam kegiatan Festival Peunayong dalam rangka
Visit Banda Aceh dan memeriahkan Hari Ulang Tahun ke-806 Kota
Banda Aceh yang diadakan pada 6 hingga 7 Mei 2011. Bahkan
keterlibatan non-Muslim dalam kegiatan ini tidak hanya sebagai
peserta festival, namun juga sebagai panitia pelaksana. Dalam
kegiatan tersebut, panitia menampilkan pameran budaya dari warga
keturunan Tionghoa, membuka stand jajanan khas etnis Tionghoa
serta menampilkan atraksi Barongsai. Di stand tersebut masyarakat
umum dapat melihat secara langsung berbagai karya seni, kerajinan
tangan, foto-foto sejarah dan berbagai foto kegiatan warga
Tionghoa di Aceh dari masa ke masa. Dengan adanya stand
tersebut, masyarakat umum dapat secara langsung mengetahui dan
mempelajari tentang berbagai macam kebudayaan khas etnis
Tionghoa. Selain itu, adanya atraksi Barongsai dalam festival
tersebut telah menyita perhatian dan antusiasme masyarakat Kota
Banda Aceh yang datang menyaksikan langsung. Hal ini menjadi
pemandangan luar biasa karena baru pertama kali diadakan atraksi
Barongsai di Kota Banda Aceh. Selain atraksi Barongsai, dalam
festival tersebut juga menampilkan beberapa tarian khas Aceh,
seperti Tari Seudati dan Ranup Lampuan. Uniknya peserta dari dua
tarian tersebut tidak hanya berasal dari orang Aceh yang beragama
Islam saja, tetapi juga melibatkan orang-orang Tionghoa yang
beragama Kristen dan Buddha. Dalam konteks menjaga kerukunan
antarumat beragama, kegiatan-kegiatan budaya semacam ini
ternyata dapat membantu dalam mengantisipasi timbulnya
ketegangan dan konflik di masyarakat yang multikultural. Festival
Peunayong tersebut menjadi bukti bahwa masyarakat yang berbeda
Dampak Terhadap Kerukunan Umat Beragama 115
agama di Kota Banda Aceh dapat dipersatukan dan tidak kaku
dalam menyikapi adanya perbedaan.13
Dalam kegiatan sosial kemanusiaan, peran dan partisipasi
warga etnis Tionghoa di Kota Banda Aceh juga aktif, hal ini terlihat
dengan adanya berbagai kegiatan yang pernah dilakukan oleh
kominitas Hakka, yaitu organisasi yang menaungi salah satu suku
Cina yang ada di Kota Banda Aceh. Seperti halnya donor darah,
kegiatan ini merupakan kegiatan rutin tahunan yang selalu
dilakukan. Setiap tahun rata-rata 93 kantong darah berhasil
dikumpulkan oleh komunitas ini yang kemudian disumbangkan
melalui PMI; Aksi penyaluran bantuan beras bagi keluarga miskin
yang ada ditiap-tiap gampong di Kota Banda Aceh yang berasal dari
sumbangan warga keturunan Tionghoa; Pemberian bantuan untuk
korban banjir bandang di daerah Tangse Kabupaten Pidie pada
tahun 2010; dan aksi damai turun ke jalan dalam upaya untuk
membela etnis Rohingya yang tertindas di Myanmar. Mereka
menuntut agar pemerintah Myanmar yang mayoritas beragama
Buddha agar menghentikan penindasan terhadap warga Muslim
Rohingya.
4. Rumah Ibadah
Berkaitan dengan pendirian rumah ibadah di Indonesia yang
masih sering menjadi persoalan dan tak kunjung selesai hingga saat
ini, di Aceh khususnya telah berlaku aturan khusus untuk mengatur
hal tersebut.14
Mendirikan rumah ibadat di Aceh tentunya tidak
13 Muhammad Sahlan, “Pola Interaksi Interkomunal Umat Beragama Di
Kota Banda Aceh” (Banda Aceh: Jurnal Substantia, Vol. 16, Nomor 1, 2014), h.
124-125.
14 Dalam konteks budaya, rumah ibadat bagi masyarakat Indonesia bukan
hanya dimaknai sekedar simbol keagamaan saja, tetapi juga sebagai aktualisasi
keyakinan bagi tiap-tiap pemeluk umat beragama. Adanya rumah ibadat juga
sebagai sarana regenerasi bagi kelangsungan kehidupan kelompok keagamaan
melalui pelestarian sistem keyakinan keagamaan yang dianut kelompok agama.
116 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
semudah mendirikan rumah ibadat di daerah-daerah lain di
Indonesia, hal ini dikarenakan Pemerintah Aceh telah membuat
regulasi khusus yang diatur dalam Pergub Aceh Nomor 25 Tahun
2007 tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah. Hal ini yang
membedakan dari daerah-daerah lain di Indonesia yang secara umum
masih berpedoman pada PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006. Secara
garis besar pendirian rumah ibadat di Provinsi Aceh harus
didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan
komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang
bersangkutan di wilayah gampong yang dilakukan dengan tetap
menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu ketentraman
dan ketertiban umum serta mematuhi peraturan perundang-
undangan.15
Pada dasarnya aturan dalam Pergub ini tidak jauh berbeda
dari aturan sebelumnya yang termaktub dalam PBM, yakni untuk
mendirikan rumah ibadah setidaknya harus memenuhi beberapa
syarat, diantaranya syarat administratif, persyaratan teknis
bangunan gedung serta syarat khusus lainnya. Namun dalam
beberapa poin antara Pergub dan PBM terdapat perbedaan. Menurut
PBM, selain harus memenuhi persyaratan administratif dan teknis
bangunan gedung, pendirian rumah ibadat juga harus memenuhi
persyaratan khusus. Syarat khusus itu adalah daftar nama dan KTP
pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh
pejabat setempat. Selain itu, ada dukungan dari masyarakat
setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah atau
kepala desa. Syarat lainnya, punya rekomendasi tertulis kepala
kantor Departemen Agama kabupaten/kota dan rekomendasi tertulis
dari FKUB kabupaten/kota. Sementara perbedaan yang sangat
Lihat Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian
Agama Republik Indonesia (Jurnal Harmoni, Vol. IX, Nomor 33, 2010), h. 5.
15 Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007, BAB II Syarat Pendirian Rumah Ibadat, Pasal 2.
Dampak Terhadap Kerukunan Umat Beragama 117
fundamental yakni tentang syarat utama pengajuan pembangunan
rumah ibadat. Dalam PBM disebutkan bahwa syarat utama yang
diajukan untuk membangun rumah ibadat adalah daftar nama dan
KTP calon pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 orang dan
dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang.16
Sedangkan dalam Pergub Aceh mengharuskan daftar nama KTP
calon pengguna rumah ibadat paling sedikit 150 orang dan
dukungan masyarakat setempat paling sedikit 120 orang.17
Dalam membuat perizinan rumah ibadat di Aceh memang
tidaklah mudah. Karena dalam praktiknya, aturan ini terkait dengan
banyak pihak, kerukunan hidup bersama, dan sejumlah nilai lokal
yang dipegang teguh oleh masyarakat. Apalagi di Aceh yang
mayoritas Muslim, perizinan pendirian rumah ibadah non-Muslim
menjadi perkara yang sensitif. Selain itu, sejak banyaknya LSM
yang masuk ke Aceh setelah tsunami, isu-isu pemurtadan dan
penyebaran agama menjadi salah satu isu penting dalam
perbincangan dialog antarumat beragama. Karena bagi masyarakat
Aceh kedua isu tersebut menjadi masalah yang sangat serius.
Memang sudah sepatutnya Pemerintah Pusat maupun Pemerintah
Daerah ketika membuat sebuah kebijakan yang menyangkut tentang
urusan umat seperti pembangunan rumah ibadat jangan sampai
merugikan satu pihak dan malah menguntungkan pihak lain. Prinsip
dasar yang harus kita junjung dalam hal pendirian rumah ibadat
selain harus memenuhi peraturan perundang-undangan yang ada,
tetapi pada saat yang sama juga harus tetap menjaga kerukunan
antarumat beragama dan menjaga ketentraman serta ketertiban
masyarakat.
16 PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, BAB IV Pendirian Rumah Ibadat,
Pasal 14.
17 Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007, BAB II Syarat Pendirian Rumah Ibadat, Pasal 3.
118 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
Secara khusus Pemko Banda Aceh melalui Perwal Nomor 24
Tahun 2007 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Forum Kerukunan
Umat Beragama, mendefiniskan rumah ibadah sebagai bangunan
yang memiliki ciri-ciri tertentu yang khusus dipergunakan untuk
beribadat bagi para pemeluk masing-masing agama secara
permanen, tidak termasuk tempat ibadah keluarga.18
Dari amatan
dan penilaian penulis di Kota Banda Aceh bahwa pendirian rumah
ibadah khususnya bagi non-Muslim masih stagnan, karena belum
terlihat adanya perkembangan/penambahan rumah ibadah baru sejak
Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007 tentang Pendirian Rumah
Ibadah mulai diberlakukan. Namun meski demikian, fakta yang
telah terlihat dilapangan menunjukkan bahwa sudah banyak tempat
ibadah umat Muslim dan non-Muslim yang telah berdiri megah dan
selalu aktif dalam menjalankan aktifitas ibadahnya sehari-hari di
kota ini. Masjid-masjid besar sebagai tempat ibadah umat Islam
sangat banyak dijumpai di Kota Banda Aceh dengan berbagai
keunikan yang terkandung di dalamnya; mulai ornamen, arsitektur,
hingga nilai sejarahnya. Salah satunya yakni Masjid Raya
Baiturrahman. Masjid ini terletak di pusat kotayang menjadi
kebanggan dan icon masyarakat Aceh serta tercatat sebagai salah
satu keajaiban dunia. Selain itu, keberadaan Masjid ini juga menjadi
tempat tujuan wisata islami bagi para wisatawan yang datang ke
Aceh.
Umat Katolik juga mempunyai tempat ibadah yang megah,
yakni Gereja Hati Kudus. Bahkan keberadaan gereja ini tidak jauh
dari Masjid Raya Baiturrahman yang hanya dipisahkan oleh sungai
Krueng Aceh dan jembatan saja. Gereja yang menjadi kebanggaan
bagi umat Katolik ini merupakan gereja tertua di Kota Banda Aceh
yang didirikan oleh kolonial Belanda pada tahun 1926 dan telah
resmi dipakai sebagai tempat kebaktian sejak 26 September 1962.
18 Perwal Banda Aceh Nomor 24 Tahun 2007. BAB I Ketentuan Umum,
Pasal 1.
Dampak Terhadap Kerukunan Umat Beragama 119
Gereja ini juga merupakan gereja terbesar dan menjadi pusat
beribadah bagi umat Katolik di Aceh. Sehingga gereja tersebut
mempunyai jumlah jemaat terbesar di wilayah ini khususnya di Kota
Banda Aceh. Kemudian sekitar satu kilometer dari Gereja Hati
Kudus, juga terdapat gereja megah, yakni Gereja Protestan di
Indonesia bagian Barat (GPIB), dan di sisi kiri GPIB, juga terdapat
Gereja Katolik Methodist. Selanjutnya sekitar satu kilometer dari
Gereja Katolik Methodist, juga terdapat Gereja Huria Kristen Batak
Protestan (HKBP). Umat Katolik maupun Kristen merasa aman dan
nyaman dalam melaksanakan ibadahnya di tempat gerejanya
masing-masing, baik ibadah mingguan maupun perayaan hari besar
keagamaan, seperti natal.
Selain gereja-gereja tersebut, di Kota Banda Aceh juga
terdapat Kuil Palani Andawer yang terletak di Kecamatan Kuta
Radja. Kuil ini bernama lengkap Maha Kumbha Abhisegam Palani
Andawer yang tercatat telah berdiri sejak tahun 1934 M. Kuil ini
merupakan satu-satunya tempat ibadah bagi umat Hindu di Aceh,
dan juga sebagai pusat kegiatan keagamaan bagi umat Hindu di
Kota Banda Aceh. Umat Buddha juga mempunyai rumah ibadah
megah, yakni Vihara Dharma Bhakti. Vihara yang terletak di daerah
Peunayong ini merupakan tempat ibadah tertua dan terbesar bagi
umat Buddha di Kota Banda Aceh. Vihara ini telah berdiri sejak
1936 M dengan nama Ta Pek Kong, salah satu dewa yang namanya
juga tertulis di wadah atau tempat menaruh dupa. Vihara ini
merupakan tempat ibadah bagi umat Buddha yang berada di bawah
naungan Budhayana. Di Vihara tersebut setiap umat Buddha diberi
kebebasan untuk mengerjakan ajaran agamanya, umat Muslim
sangat mendukung dan tidak pernah mengusiknya.
Namun meski demikian, dari hasil penelusuran penulis
menemukan bahwa kasus-kasus kecil seperti penutupan tempat
ibadah yang tidak resmi juga pernah terjadi di Kota Banda Aceh
pada tahun 2012. Dalam kasus ini, sembilan gereja dan lima vihara
120 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
dipaksa tutup karena dianggap ilegal dan menyalahi fungsi
bangunan ruko (rumah toko) sebagai tempat ibadah yang tidak
resmi. Pemko Banda Aceh membuat kesepakatan kepada pihak
gereja dan vihara untuk menutup kegiatan peribadatan mereka
karena tidak memiliki izin sebagai tempat ibadah. Selain itu, dalam
kesepakatan itu Pemko Banda Aceh menyarankan agar para jemaat
dari sembilan gereja dan lima vihara itu untuk meminjam gedung
kepada tempat ibadah yang telah berizin di Kota Banda Aceh.19
Sementara itu, terkait dengan memberikan rekomendasi
tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadah, hal ini sudah
berjalan dengan baik sebagaimana mestinya. FKUB Kota Banda
Aceh sering memberikan rekomendasi atas permohonan pendirian
rumah ibadah khususnya Masjid. Sedangkan bagi umat agama lain
belum pernah ada yang mengajukan surat permohonan tersebut. Hal
ini tentu saja dapat dimaklumi, karena dengan masyoritas Muslim
terbanyak di wilayah kota ini, syarat untuk memenuhi pendirian
rumah ibadah bagi umat Muslim akan lebih mudah dibandingkan
dengan umat agama lain. Dari kasus tersebut penulis juga menilai
bahwa hal ini merupakan dampak dari ketatnya syarat yang harus
dipenuhi dalam pengajuan pendirian rumah ibadah di Aceh. Karena
untuk mendapat 120 persetujuan/dukungan dari warga sekitar
bukanlah perkara yang mudah, di tambah lagi beberapa umat
minoritas terkadang jumlahnya tidak lebih dari 150 orang sebagai
syarat pengajuan calon pengguna rumah ibadah. Maka sejak
dikeluarkannya Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007 belum terlihat
ada rumah ibadah baru bagi umat non-Muslim di Kota Banda Aceh.
5. Kegiatan Dialog Antarumat Beragama
Kegiatan dialog antarumat beragama juga sering dilakukan
oleh Pemerintah Aceh, Kementerian Agama Wilayah Aceh, maupun
19 Kompas:regional.kompas.com2012/10/22.Gereja.di.Banda.Aceh. Kesuli
tan. Beribadah. Diakses tanggal 9 Agustus 2016.
Dampak Terhadap Kerukunan Umat Beragama 121
FKUB dengan melibatkan para tokoh dari berbagai lintas agama dan
elemen masyarakat di wilayah Kota Banda Aceh. Beberapa dialog
yang pernah dilakukan di antaranya ialah sebagai berikut.Acara
dialog multikultural dan silaturrahmi antarumat beragama di Banda
Aceh tahun 2011 yang dihadiri oleh tokoh-tokoh lintas agama dari
sejumlah perwakilan organisasi keagamaan di Jakarta dan Banda
Aceh serta perwakilan umat beragama di Banda Aceh, seperti dari
MUI, PGI, Walubi, NU, Muhammadiyah, dan FPI. Dalam
kesempatan pertemuan tersebut, masing-masing perwakilan
menyampaikan kebanggaannya atas terjaganya toleransi antarumat
beragama di Aceh walaupun ada penerapan syari’at Islam. Umat
minoritas merasa aman dan cukup mendapat kebebasan dalam
menjalankan ritual keagamaannya di tengah dominasi mayoritas.20
Kemudian dialog antarumat beragama dan dialog antara umat
beragama dengan pemerintah pada tahun 2013 yang mengusung
tema Memelihara Kerukunan Umat Beragama Tugas Kita Bersama.
Dalam dialog yang dihadiri oleh berbagai unsur pemerintahan dan
utusan tokoh dari lintas agama ini menghasilkan beberapa
rekomendasi penting, yakni: Pemerintah Aceh dan Pemerintah
Kabupaten/Kota diminta untuk lebih berkomitmen dalam menjaga
dan memelihara kerukunan antarumat beragama, intern umat
beragama dan kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah;
Dalam rangka memelihara kerukunan umat beragama di Aceh,
Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota diminta untuk
membentuk FKUB; Dalam setiap penyelenggaraan pemilu
diharapkan agar tidak mempolitisasi agama dan umat beragama
dalam politik praktis yang dapat merusak kerukunan umat beragama
di Provinsi Aceh; dan mendesak Pemerintah Aceh dan DPRA segera
20 Kompas: https://www.google.co.id/amp/nasional.kompas.com/amp/read/
kerukunan-umat-beragama-di-Aceh-terjaga. Diakses 20 November 2016.
122 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
mengesahkan Qanun tentang Kerukunan Umat Beragama dan
Pendirian Rumah Ibadah.21
Selanjutnya dialog yang diselenggarakan oleh Kantor
Wilayah Kementrian Agama (Kanwil Kemenag) Provinsi Aceh di
Kota Banda Aceh tahun 2013. Dalam acara dialog tersebut, Pgs
Kanwil Kemenag Aceh H. Habib Badaruddin mengatakan bahwa
Kemenag Aceh terus berupaya meningkatkan dialog antarumat
beragama dalam upaya menjaga kerukunan umat beragama di
wilayah Aceh. Salah satunya dialog antarumat beragama melalui
FKUB yang merupakan salah satu langkah dalam mengatasi konflik
antarumat beragama. Kerukunan umat beragama di Aceh telah
berjalan dengan baik dan tidak ada konflik antarumat beragama.
Untuk itu kegiatan dialog-dialog antarumat beragama agar dapat
terus dilakukan guna menumbuhkan kesadaran dalam masyarakat
bahwa perbedaan suku, bangsa, dan perbedaan keyakinan adalah
sebuah realitas dalam kehidupan. Kesejahteraan sosial dan ekonomi
masyarakat akan terus berkembang jika terciptanya kondisi yang
kondusif, damai, dan kerukunan umat beragama yang ada di
masyarakat berjalan dengan baik. Kanwil Kemenag Aceh juga terus
mengajak para tokoh agama, pemuka agama, pemerintah dan semua
komponen masyarakat untuk bekerja sama dan terus berkoordinasi
dalam pemberdayaan kerukunan umat beragama yang telah terbina
baik selama ini di Provinsi Aceh. Kegiatan dialog ini diikuti oleh 40
peserta yang terdiri dari tokoh lintas agama dan FKUB dari
kabupaten/kota di wilayah Aceh.22
Kemudian kegiatan dialog dan workshop evaluasi dan
koordinasi tugas dan fungsi kerukunan umat beragama dan
21 Kemenag Aceh: https://aceh.kemenag.go.id/berita/134101/dialog-antar-
umat-beragama-dan-dialog-antara-umat-beragama-dengan-pemerintah-hasilkan-rekomendasi. Diakses 20 November 2016.
22 Berita Sore: beritasore.com/2013/06/07/kemenag-aceh-tingkatkan-dialog-antar-umat-beragama. Diakses 20 November 2016.
Dampak Terhadap Kerukunan Umat Beragama 123
pembinaan Khonghucu pusat tahun 2015. Dalam acara tersebut,
Kanwil Kemenag Aceh, H.M Daud Pakeh mengatakan bahwa secara
umum kondisi kerukunan umat beragama di Aceh berjalan dengan
baik dan harmonis dan selama ini tidak pernah ada konflik antara
etnik ataupun konflik agama. Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota
menjamin kebebasan, membina kerukunan, menghormati nilai
agama yang dianut oleh umat beragama dan melindungi sesama
umat beragama dalam menjalankan ibadah sesuai dengan agama
yang dianut.23
Berikutnya kegiatan dialog dan rapat koordinasi
FKUB Provinsi Aceh di Banda Aceh tahun 2016. Dalam
kesempatan tersebut Gubernur Aceh meminta agar seluruh
Pemerintah Aceh, organisasi masyarakat, pemuka agama, dan
pengurus FKUB untuk terus bersatu padu guna mengantisipasi
potensi konflik dilingkungan umat beragama. Untuk itu peran aktif
dari para tokoh agama, pemuka agama, dan seluruh jajaran
pemerintah daerah untuk bersama-sama menjaga situasi kerukunan
yang kondusif di Aceh. Peran FKUB juga sangat vital dan selalu
dibutuhkan untuk merawat kerukunan antarumat beragama sehingga
potensi konflik dapat direda sedini mungkin.Selain itu masyarakat
juga diharapkan agar selalu menumbuhkan kesadaran untuk saling
menghargai perbedaan dan toleransi antarumat beragama.24
Sejak syari’at Islam secara resmi mulai diimplementasikan,
pihak pemerintah lebih intens dalam melakukan kegiatan dialog
antarumat beragama tersebut. Karena selain sebagai sarana
sosialisasi dalamupaya memberikan pemahaman terhadap berbagai
macam kebijakan, baik Perwal maupun Qanun Aceh lainnya,
kegiatan dilaog juga bertujuan untuk menampung aspirasi dan
masukan dari berbagai pihak, sehingga dalam pelaksanaan syari’at
23 Antara News: aceh.antaranews.com/berita/26338/kemenag-tak-ada-
konflik-agama-di-aceh. Diakses 20 November 2016.
24 NRM News: https://nrmnes.com/2016/06/17/kerukunan-antar-umat-beragama-butuh-peran-aktif-tokoh-agama. Diakses 20 November 2016
124 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
Islam nantinya tidak mengganggu dan menciderai kerukunan umat
beragama yang telah terbina baik di Kota Banda Aceh. Selain itu,
kegiatan sosialisasi dan dialog juga bertujuan untuk meningkatkan
kualitas hubungan dan silaturrahmi antara pemerintah dengan para
pemeluk umat beragama di Kota Banda Aceh. Dalam upaya
mensosialisasikan setiap kebijakan baru, Pemko Banda Aceh
berusaha agar sedekat mungkin dengan masyarakat. Untuk itu
dalam beberapa kesempatan, Pemko Banda Aceh juga sering
mengadakan dialog yang melibatkan para tokoh lintas agama dan
elemen masyarakat lainnya yang bertempat di cafe ataupun warung
kopi. Diharapkan dengan pertemuan santai di warung kopi tersebut,
suasana kekeluargaan yang jauh dari kata formal itu akan lebih
mudah bagi masyarakat untuk menerima dan menyerap setiap
penjelasan dari maksud dan tujuan setiap kebijakan yang dibuat
pemerintah.
Selain itu, dalam menjaga kerukunan dan toleransi antarumat
beragama, peran FKUB sangat vital, hal ini karena dalam organisasi
FKUB telah mewakili dari masing-masing tiap umat beragama.
Tentu saja suasana kerukunan yang telah berjalan kondusif selama
ini di Kota Banda Aceh tidak lepas dari peran aktif FKUB dalam
mensosialisasikan kerukunan di wilayah tersebut. Karena itu dalam
beberapa kesempatan, FKUB juga sering mengadakan dialog dengan
pemuka agama (Islam, Katolik, Kristen, Hindu dan Buddha) serta
tokoh masyarakat lainnya dengan berbagai tema yang sedang hangat
dan berkembang pada saat itu. Tema itu tentunya tidak lepas dari
koridor kerukunan yang menjadi fokus utama FKUB. Beberapa
kegiatan dialog yang pernah dilakukan oleh FKUB di antaranya:
Pertama, Dialog Tokoh Lintas Iman pada tahun 2016 yang dihadiri
oleh berbagai tokoh dari lintas agama. Suasana dialog berjalan
komunikatif. Pertanyaan-pertanyaan sensitif tapi positif juga sering
diutarakan oleh peserta dialog, seperti pihak umat Kristen memohon
Dampak Terhadap Kerukunan Umat Beragama 125
pengajuan pendirian rumah ibadah.25
Selain itu, FKUB juga
berupaya untuk menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi
masyarakat yang dianggap penting yang kemudian diteruskan ke
Walikota. Selain aktif melakukan pertemuan dalam bentuk dialog,
FKUB juga berperan aktif dengan terjun langsung ke masyarakat.
Seperti halnya yang pernah dilakukan oleh FKUB yaitu ikut
langsung dalam aksi damai yang dilakukan oleh Pemko Banda Aceh
untuk mendukung kemerdekaan Palestina di bulan ramadhan tahun
2014.
Sebutan untuk Banda Aceh sebagai Model Kota madani pada
dasarnya tidaklah berlebihan, hal ini terlihat dengan adanya
keanekaragaman yang hidup di kota ini namun warga
masyarakatnya tetap menjaga ketentraman, kerukunan, saling
tenggang rasa dengan nilai-nilai perbedaan yang terkandung di
dalamnya. Umat Islam sebagai penganut agama nomor satu terbesar
tidak pernah berupaya untuk mendiskreditkan atau bahkan
mengusik keberadaan kaum minoritas di wilayah ini. Mereka diberi
hak untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya, dan
diberi tanggung jawab serta berkewajiban untuk menjaga ketertiban
dan keamanan masyarakat secara bersama-sama. Namun tentunya
untuk mewujudkan cita-cita Kota Madani tentunya tidaklah mudah.
Karena Kota Madani merupakan sebuah cerminan kehidupan kota
yang telah dibangun oleh Rasulullah ketika membangun Kota
Madinah. Ciri khusus kota madani ialah adanya sinergi dan
kerjasama antara pemimpin dengan rakyatnya. Kota Madani
ditandai dengan kota yang rakyatnya hidup damai, sejahtera, dan
penuh toleransi dengan selalu mengedepankan hukum-hukum
syari’at Islam. Banda Aceh sebagai kota madani tentunya
mengharuskan para warga masyarakatnya paham dengan aturan-
aturan yang ditetapkan dalam hukum Islam dan menumbuhkan sikap
25 Kemenag Aceh: https://aceh.kemenag.go.id/berita/411026/dialog-tokoh-
lintas-agama. Diakses 20 November 2016.
126 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
toleransi dan kerukunan terhadap umat agama lain yang berada di
wilayah kota ini.
Dari uraian di atas, hemat penulis bahwa pada dasarnya
konsep kebebasan beragama sebagai landasan teologis bagi
kerukunan hidup antarumat beragama merupakan pengelaborasian
konsep kerukunan dalam kehidupan bermasyarakat yang kemudian
diimplementasikanmelalui interaksi sosial antara umat yang berbeda
agama dalam kehidupan sehari-hari. Konsep tersebut yang telah
dilakukan oleh warga Muslim dan non-Muslim di Kota Banda Aceh
dalam interaksi sehari-hari yang sudah berlangsung lama. Hal itu
yang kemudian melahirkan kerukunan dan keharmonisan
antarsesama warga, sehingga telah membawa pengaruh yang sangat
besar bagi proses kehidupan yang membentuk keakraban dan
kebersamaan antarsesama masyarakat. Sebab lain yang
menyebabkan terjadinya kerukunan antarumat beragama di Kota
Banda Aceh ialah karena masyarakat telah sadar dan dewasa dalam
berfikir, dengan adanya perbedaan diantara mereka. Hal tersebut
yang kemudian menimbulkan sikap saling menghormati,
menghargai, dan menganggap masyarakat yang berbeda keyakinan
sebagai saudara. Secara faktual, pelaksanaan Qanun Nomor 11
Tahun 2002 berdampak positif terhadap kondisi kerukunan
antarumat beragama di Kota Banda Aceh, karena pelaksanaan
Qanun tersebut tidak mengganggu kehidupan warga non-Muslim,
baik kehidupan sosial maupun keagamaannya.
Sebagai penduduk dengan jumlah penganut Islam mayoritas,
umat Islam di Kota Banda Aceh diharuskan agar senantiasa
meneladani akhlak Nabi Muhammad dalam hidup bermasyarakat
yang majemuk tersebut.26
Untuk itu, agar teladan yang telah
26 Nabi Muhammad diutus ke dunia ini sebagai suri tauladan bagi umat
manusia. Lihat Al Quran Surah Al Ahzab ayat 21: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang
Dampak Terhadap Kerukunan Umat Beragama 127
ditunjukkan oleh Nabi Muhammad dapat berdampak pada
kehidupan antarumat beragama (khususnya di Kota Banda Aceh);
mengutip pendapat dari Media Zainul Bahri, maka ada dua hal yang
bisa menjadi pelajaran dan dapat diterapkan, yaitu: Pertama, kaum
Muslim harus mampu mensosialisasikan semangat serta keteladanan
Nabi Muhammad. Kerukunan dan toleransi yang telah diajarkan
oleh Nabi Muhammad harus selalu menjadi acuan dan pedoman
dalam berinteraksi. Kedua, umat Islam harus mampu memahami
kepekaan masing-masing terkait kecintaan serta ikatan batin dengan
panutannya. Umat Islam, demikian umat agama lain, seyogyanya
tidak terpengaruh oleh sejarah konflik yang pernah terjadi.27
C. Kerukunan Umat Beragama dengan Pemerintah
Dalam upaya mewujudkan ketentraman dan kenyamanan
hidup di tengah masyarakat yang majemuk dengan tujuan menjaga
kerukunan hidup antarumat beragama, khususnya dalam bidang
kebijakan keagamaan; Pemko Banda Aceh telah merumuskan
beberapa peraturan yang masih terkait dengan PBM Nomor 9 dan 8,
yakni berupa Peraturan Walikota Banda Aceh Nomor 24 Tahun
2007 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Forum Kerukunan Umat
Beragama. Dalam Perwal ini disebutkan bahwa beragama
merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun dan setiap orang bebas memilih agama dan
beribadat menurut agamanya. Untuk itu pemerintah berkewajiban
melindungi setiap penduduk dalam beribadat dan melaksanakan
ajaran agamanya, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, tidak menyalah gunakan atau menodai agama,
serta tidak mengganggu ketentraman dan ketertiban umum. Dengan
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.
27 Media Zainul Bahri, Tasawuf Mendamaikan Dunia (Jakarta: Erlangga,
2010), h. 223.
128 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
demikian pemerintah Kota Banda Aceh mempunyai tugas untuk
memberikan bimbingan dan pelayanan agar setiap penduduk dalam
melaksanakan ajaran agamanya dapat berlangsung dengan rukun,
lancar, dan tertib.28
Selanjutnya dalam Perwal ini juga menjelaskan bahwa
kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat
beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling
menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran
agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Pemeliharaan kerukunan umat beragama merupakan upaya bersama
umat beragama dan pemerintah dibidang pelayanan, pengaturandan
pemberdayaan umat beragama. Kemudian usaha pemeliharaan
kerukunan umat beragama menjadi tanggung jawab bersama, baik
umat beragama dan pemerintah Kota Banda Aceh.29
Dalam
pemeliharaan kerukunan umat beragama, Pemko Banda Aceh
mengemban tugas untuk memelihara ketentraman dan ketertiban
masyarakat termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat
beragama di kota, mengkoordinasikan kegiatan instansi vertikal di
kota dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama,menumbuh
kembangkan keharmonisan saling pengertian, saling menghormati,
dan saling percaya diantara umat beragama, membina dan
mengkoordinasikan camat/lurah atau geuchik dalam
penyelenggaraan pemerintah daerah di bidang ketentraman dan
ketertiban masyarakat dalam kehidupan beragama, dan menertibkan
Izin Mendirikan Bangunan (IMB) rumah ibadah.30
28 Perwal Banda Aceh Nomor 24 Tahun 2007.Menimbang, huruf a-d.
29 Perwal Banda Aceh Nomor 24 Tahun 2007. BAB I Ketentuan Umum,
Pasal 1.
30 Perwal Banda Aceh Nomor 24 Tahun 2007. BAB II Tugas dan Tanggung Jawab, Pasal 2-4.
Dampak Terhadap Kerukunan Umat Beragama 129
Lahirnya Perwal tersebut pada dasarnya merupakan bentuk
keseriusan dari Pemko Banda Aceh dalam rangka menjaga hubungan
baik dengan umat beragama, serta sebagai upaya pemeliharaan
kerukunan antara Pemerintah dengan umat beragama di wilayah
Kota Banda Aceh. Hal ini tentunya demi kemajuan kota dalam
berbagai bidang pranata sosial, maka kondisi dan situasi yang aman,
tentram, dan suasana kerukunan yang baik menjadi faktor utama
yang harus di kedepankan oleh seluruh elemen masyarakat. Dalam
kata lain, pemerintah dan masyarakat mempunyai tanggung jawab
yang sama untuk memajukan Kota Banda Aceh. Maka dengan
lahirnya Perwal Nomor 24 Tahun 2007 itu menegaskan adanya
kepedulian Pemko Banda Aceh terhadap kondisi kerukunan di
masyarakat yang mencakup pada trilogi kerukunan:
1. Kerukunan internal umat Islam, yakni agar umat Islam saling
mengingatkan untuk bersama-sama menjalankan syari’at
Islam secara kāffah. Hal ini juga sebagai upaya mewujudkan
cita-cita dari visi Kota Banda Aceh sebagai model Kota
Madani.
2. Kerukunan antarumat beragama, yakni agar semua pemeluk
umat beragama di Kota Banda Aceh dapat hidup damai,
aman, dan nyaman tanpa ada gangguan apapun dalam
menjalankan aktifitas keagamaannya;
3. Kerukunan umat beragama dengan pemerintah, yakni agar
umat beragama dan pemerintah saling bersinergi dalam upaya
menjaga kesatuan dan persatuan, sehingga dapat
memunculkan keseimbangan (equilibrium) dalam kehidupan
masyarakat di wilayah Kota Banda Aceh.
Amatan penulis melihat bahwa kerukunan antara umat
beragama dengan pemerintah telah berjalan dengan baik, keduanya
terlihat sama-sama saling mendukung. Sebagai kota yang majemuk
dan memproklamirkan diri sebagai model Kota Madani, Pemko
130 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
Banda Aceh mempunyai cita-cita agar warganya mempunyai akhlak
mulia, dengan selalu menjunjung tinggi toleransi dan memelihara
kerukunan yang telah tercipta. Karena itu, Pemko Banda Aceh
berkomitmen untuk meningkatkan kualitas pengalaman agama
menuju pelaksanaan syari’at Islam secara kāffah sesuai dengan
aturan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 di wilayah ini. Bentuk nyata
dari komitmen tersebut yaitu dengan melakukan berbagai terobosan
dan mengeluarkan berbagai program baik jangka panjang maupun
jangka pendek. Selain itu, Pemko Banda Aceh selalu mengajak
warganya untuk berkomitmen agar selalu menjaga nilai-nilai
keislaman, mempunyai akhlak mulia, dan juga senantiasa
menumbuhkan sikap toleran, karena itu merupakan cita-cita
bersama dalam mewujudkan Kota Madani tersebut. Meski cita-cita
Kota Madani merujuk pada kehidupan Kota Madinah di zaman
Rasulullah, namun Pemko Banda Aceh berusaha untuk
menterjemahkan kemadanian itu di era sekarang. Wujud nyatanya
yaitu dengan melakukan sejumlah perubahan, seperti
memodernisasikan tata kelola pemerintahan, mereformasi birokrasi
melalui e-Government untuk menuju smart city, green city, liveable
city yang kesemuanya menuju pada upaya pembentukan Kota
Madani di era modern saat ini.31
Di samping kebijakan yang telah
dikeluarkan, Pemko Banda Aceh bersama-sama masyarakat juga
berusaha untuk meningkatkan kualitas pengamalan keagamaan
dengan cara melakukan berbagai macam kegiatan keagamaan secara
massal dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat. Seperti
halnya zikir akbar, safari subuh di Masjid-Masjid, pengajian agama,
dan kegiatan keagamaan lainnya sesuai yang tertuang dalam Qanun
Aceh Nomor 11 Tahun 2002.
Sementara itu, berhubungan dengan FKUB yang diatur dalam
Perwal ini, menjelaskan bahwa FKUB merupakan forum yang
31 Detik: https://m.detik.com/news/berita/3158090/mengenal-lebih-dekat-
kota-banda-aceh-dan-visinya-soal-kota-madani#.Diakses tanggal 01 Januari 2017.
Dampak Terhadap Kerukunan Umat Beragama 131
dibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi oleh Pemerintah dalam
rangka membangun, memiliki dan memberdayakan umat beragama
untuk kerukunan dan kesejahteraan. FKUB mempunyai hubungan
yang bersifat konsultatif dengan pemerintah. FKUB Kota Banda
Aceh memiliki tugas dan wewenang untuk melakukan dialog dengan
pemuka agama dan tokoh masyarakat, menampung dan
menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam
bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan Walikota, melakukan
sosialisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang
keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan
pemberdayaan masyarakat, dan memberikan rekomendasi tertulis
atas permohonan pendirian rumah ibadah.32
Jumlah keanggotaan FKUB paling banyak tujuh belas orang
yang terdiri dari pemuka agama setempat. Hal ini berdasarkan pada
perbandingan jumlah pemeluk agama setempat dengan keterwakilan
minimal satu orang dari setiap agama yang ada di Kota Banda Aceh.
Dalam struktur organisasinya, FKUB dipimpin oleh satu orang
ketua, dua orang wakil ketua, dan satu orang sekretaris yang dipilih
secara musyawarah oleh setiap anggota. Selain itu, dalam
pemberdayaan FKUB, maka dibentuk dewan penasehat FKUB
tingkat kota. Dewan penasehat ini nantinya mempunyai tugas untuk
membantu kepala daerah dalam merumuskan kebijakan
pemeliharaan kerukunan umat beragama, dan memfasilitasi
hubungan kerja antara FKUB dengan pemerintah daerah dan
hubungan antarsesama instansi pemerintah di daerah dalam
pemeliharaan kerukunan umat beragama. Keanggotaan dewan
penasehat FKUB Kota ditetapkan oleh Walikota, yang terdiri dari
Ketua (Wakil Walikota Banda Aceh), Wakil Ketua (Kepala Depag
32 Perwal Banda Aceh Nomor 24 Tahun 2007. BAB III Forum Kerukunan
Umat Beragama, Pasal 6.
132 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
Kota Banda Aceh), Sekretaris (Kepala Linmas dan Kesbang Kota),
dan Anggota yang berasal dari tiap-tiap instansi terkait.33
33 Perwal Banda Aceh Nomor 24 Tahun 2007. BAB III Forum Kerukunan
Umat Beragama, Pasal 5-8.
133
BAB VI
Penutup
A. Kesimpulan
Setelah melalui tahap-tahap kajian pustaka, pengamatan
lapangan dan analisis mendalam terhadap rumusan masalah yang
dimunculkan dalam penelitian ini, selanjutnya penulis
menyimpulkan bahwa implementasi Qanun Nomor 11 Tahun 2002
tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Bidang Akidah, Ibadah dan
Syi’ar Islam di Kota Banda Aceh masih belum berjalan maksimal.
Padahal secara hukum, pelaksanaan syari’at Islam telah kuat, baik
filosofis maupun konstitusionalnya. Namun disisi lain, implementasi
Qanun Nomor 11 Tahun 2002 secara langsung telah berdampak
signifikan dalam membentuk kebiasan masyarakat (habit) menuju
pada perbuatan baik berupa peningkatan aktivitas keberagamaan
yang lebih intens yang kemudian membawa dampak terhadap situasi
dan kondisi kerukunan hidup umat beragama di Kota Banda Aceh.
Hal ini dapat ditandai dengan adanya situasi dan kondisi hubungan
antarsesama warga Kota Banda Aceh dalam perilaku sosial terlihat
selalu harmonis meski berlatar belakang suku, ras, maupun agama
yang berbeda-beda.
Lebih jauh, dari hasil penelitian tesis ini penulis ingin
mengungkapkan bahwa pada dasarnya pelaksanaan syari’at Islam di
Aceh tidak berupaya untuk mendiskriminatifkan dan menindas
agama minoritas, karena itu pelaksanaan syari’at Islam tidak
bertentangan dengan nilai-nilai kebebasan dan kerukunan umat
beragama. Dari segi implementasinya tidak mengganggu komunitas
agama lain di Aceh, karena hukum syari’at hanya diberlakukan bagi
umat Muslim. Karenanya prinsip utama yang selalu dipegang dalam
pelaksanaan syari’at Islam di Aceh ialah bahwa hukum syari’at
134 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
Islam tidak menginginkan adanya aktivitas yang merusak, mengusik
dan mengabaikan hak-hak asasi yang menjadi milik semua orang.
B. Saran
Setelah melalui kajian dan analisa mendalam terhadap
penelitian ini, berikut penulis memberikan beberapa saran dan
rekomendasi yang dapat dipertimbangkan sebagai berikut:
1. Pemerintah Aceh, baik tingkat provinsi maupun
kabupaten/kota dan lembaga lainnya yang terkait, harus
intens dan berkesinambungan dalam mensosialisasikan setiap
kebijakan daerah; baik itu Qanun, Pergub, Perwal maupun
peraturan lainnya tentang syari’at Islam agar masyarakat
semakin memahami esensi dari pelaksanaan syari’at Islam,
sehingga cita-cita pelaksanaan syari’at Islam secara kāffah
dapat terwujud.
2. Pelaksanaan syari’at Islam secara kāffah di Kota Banda Aceh
tidak mengganggu atau bahkan mengusik keberadaan umat
non-Muslim. Toleransi dan kerukunan umat beragama tetap
terjaga, sehingga dapat dikembangkan dan menjadi sebuah
model kerukunan yang dapat diikuti oleh daerah lain di
Indonesia yang bercita-cita melaksanakan syari’at Islam.
3. Dalam upayanya untuk melaksanakan syari’at Islam secara
kāffah, diharapkan pemerintah agar memberikan jaminan
kebebasan kepada non-Muslim untuk menjalankan keyakinan
dan beribadah sesuai ajaran agamanya masing-masing tanpa
merasa takut atau terancam. Untuk itu kepada pemerintah
agar segera mewujudkan Qanun yang mengatur tentang
kerukunan umat beragama dalam rangka memberi kepastian
hukum dan kebebasan untuk menjalankan ajaran agamanya
sesuai dengan kearifan lokal dan peraturan perundang-
undangan negara Republik Indonesia.
Penutup 135
4. Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kata
sempurna karena masih banyak kekurangan yang harus
diperbaiki, untuk itu kepada para peneliti agar dapat
mengadakan studi-studi lanjutan terhadap berbagai kebijakan
publik di dalam implementasi nilai-nilai keberagamaan dalam
pembangunan di daerah.
136 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
137
Daftar Pustaka
A. Buku
Abdillah, Masykuri dkk. Formalisasi Syariat Islam Di Indonesia; Sebuah Pergulatan yang Tak Pernah Tuntas. Jakarta:
Renaisan, 2005.
Abdullah, Irwan, dkk (Ed). Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Abubakar, Al-Yasa’. Tanya Jawab Pelaksanaan Syariat Islam Di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Banda Aceh:
Dinas Syariat Islam Propinsi NAD, 2003.
_______. Syariat Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam: Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan. Banda Aceh:
Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh, 2005.
______. Bunga Rampai Pelaksanaan Syariat Islam: Pendukung Qanun Syariat Islam . Banda Aceh: Dinas Syariat Islam
Provinsi Aceh, 2009.
Aceh, Abu Bakar. Toleransi Nabi Muhammad dan Sahabat-Sahabatnya. Jakarta: Yayasan Pengetahuan Islam,
1966.
Adan, Hasanuddin Yusuf. Refleksi Implementasi Syariat Islam Di Aceh. Banda Aceh: Adnin Foundation Publisher dan
PeNA Banda Aceh, 2009.
Al-Jufri, Salim Segaf dkk, Penerapan Syariat Islam di Indonesia.
Jakarta: PT. Globalmedia Cipta Publishing, 2004.
Alimron. Toleransi Antarumat Beragama dalam Perspektif Al Quran. Padang: IAIN Imam Bonjol, 1999.
Amal, Taufik Adnan dan Samsu Rizal Panggabean. Politik Syariat Islam dari Indonesia Hingga Nigeria. Jakarta: Pustaka
Alvabet, 2004.
Amin, Ma’ruf. Empat Bingkai Kerukunan Nasional. Jakarta:
Yayasan An-Nawawi, 2013.
138 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
Arif, Mahmud. Epistemologi Pendidikan Islam: Kajian Atas Nalar Masa Keemasan Islam dan Implikasinya di Indonesia.
Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Press, 2006.
Aziz, Abdul. Esai-Esai Sosiologi Agama. Jakarta: Diva Pustaka,
2006.
Bahri, Media Zainul. Tasawuf Mendamaikan Dunia. Jakarta:
Erlangga, 2010.
Bisri, Cik Hasan (Editor). Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia. Jakarta: Logos, 1998.
Burhanuddin (Editor). Syariat Islam; Pandangan Muslim Liberal. Jakarta: JIL-TAF, 2003.
Departemen Agama Republik Indonesia, Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat Beragama di Indonesia.
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Agama
Proyek Peningkatan Kerukunan Hidup Umat
Beragama, 1997.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2012. Edisi Keempat.
Dinas Syari’at Islam Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam,
Himpunan Undang-undang, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah/Qanun, Instruksi Gubernur dan Surat Edaran Gubernur Berkaitan dengan Pelaksanaan Syari’at Islam. Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam
Propinsi NAD, 2005.
El-Fikri, Syahruddin. Sejarah Ibadah. Jakarta: Republika, 2014.
Eposito, John L. Islam Warna-Warni: Ragam Ekspresi Menuju Jalan Lurus, (Penerjemah Arif Maftuhin) (Jakarta:
Paramadina, 2004.
Harahap, Syahrin. Teologi Kerukunan. Jakarta: Prenada, 2011.
Hardi. Daerah Istimewa Aceh; Latar Belakang Politik dan Masa Depannya. Jakarta: Cita Paca Serangkai, 1993.
Hasan, Muhammad Tholhah. Prospek Islam dalam Menghadapi Tantangan Zaman. Jakarta: Lantabora Press, 2005.
Daftar Pustaka 139
Hayat, Bahrul. Mengelola Kemajemukan Umat Beragama. Jakarta:
PT. Saadah Cipta Mandiri, 2012.
Hurgronje, C. Snouck. Aceh: Rakyat dan Adat Istiadatnya. (Penerjemah Sutan Maimoen). Jakarta: INIS, 1996.
Husaini, Adian. Kerukunan Beragama dan Kontroversi Penggunaan Kata Allah dalam Agama Kristen. Jakarta: Gema
Insani, 2015.
Ismail, Faisal. Dinamika Kerukunan Antarumat Beragama; Konflik, Rekonsiliasi, dan Harmoni. Bandung: Rosda, 2014.
Johnsons, Doyle Paul. Teori Sosiologi Klasik dan Modern.
(Penerjemah Robert M.Z Lawang). Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 1990. Jilid 1.
Khamami. Pemberlakuan Hukum Jinayah di Aceh dan Kelantan.
Pamulang: LSIP, 2014.
Kurdi, Muliadi. Aceh Di Mata Sejarawan; Rekonstruksi Sejarah Sosial Budaya. Banda Aceh: LKAS dan Pemerintah
Aceh, 2009.
Lubis, M. Ridwan. Cetak Biru Peran Agama. Jakarta: Pusat
Penelitian dan Pengembangan, 2005.
Nashir, Haedar. Islam Syariat; Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia. Bandung: PT Mizan Pustaka, 2013.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Depok: UI
Press, 1985.
Nata, Abuddin. Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan; Tafsir Al-Ayat Al-Tarbawiy. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2012), Cet
V.
Majid, Abdul. Syari’at Islam dalam Realitas Sosial: Jawaban Islam Terhadap Masyarakat di Wilayah Syari’at. Banda
Aceh: Yayasan PeNA, 2007.
Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2007. Cet. 23.
Muhammad, Rusjdi Ali. Revitalisasi Syariat Islam Di Aceh; Problem, Solusi dan Implementasi Menuju Pelaksanaan
140 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
Hukum Islam di NAD. Banda Aceh: Ar-Raniry Press,
2000.
Munawar, Said Agil. Fikih Hubungan Antarumat Beragama.
Jakarta: Ciputat Press, 2003.
Noer, Kautsar Azhari dan Media Zainul Bahri, Laporan Penelitian Kolektif Buku Ajar Pengantar Studi Perbandingan Agama. Jakarta: Fakultas Ushuluddin dan Filsafat,
2008.
Pemerintah Aceh. Naskah Akademik Rancangan Qanun Pembinaan dan Perlindungan Akidah. Banda Aceh: Dinas Syari’at
Islam, 2012.
Prasetyo, Bambang dan Lina Miftahul Jannah. Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2008.
Qardhawi, Yusuf Al. Minoritas Non-Muslim di dalam Masyarakat Islam. (Penerjemah Muhammad Baqir). Bandung: PT
Mizan Pustaka, 1985.
_______. Membumikan Syariat Islam, (Penerjemah Muhammad
Zakki dan Yasir Tajid). Surabaya: Dunia Ilmu Offset,
1996.
Rani, Abdul. Sejarah Peradaban Aceh: Suatu Analisa Interaksionis, Integrasi, dan Konflik. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2003.
Rijal, Syamsul (Editor). Dinamika Sosial Keagamaan dalam Pelaksanaan Syariat Islam. Banda Aceh: Dinas Syariat
Islam Provinsi NAD, 2011. Cet. II.
Rijal, Syamsul (Penyunting). Kerukunan Umat Beragama: Substansi dan Realitas Nilai-Nilai Universal Keagamaan. Banda
Aceh: Dinas Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, 2003.
Ritonga, A Rahman dan Zainuddin, Fiqih Ibadah. Jakarta: Gaya
Media Pratama, 1997.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja
Grafindo, 2001. Cet. 21.
Daftar Pustaka 141
Suseno, Franz Magnis. Etika Jawa Sebuah Analisa Filsafat tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2001.
Suyanta, Sri dkk. Buku Panduan Pelaksanaan Syariat Islam untuk Remaja, Pelajar dan Mahasiswa. Banda Aceh: Dinas
Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,
2008.
Syaukani, Imam. Kompilasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan Umat Beragama. Jakarta: Pusat
Penelitian dan Pengembangan, 2008.
Yewangoe, AA. Agama dan Kerukunan. Jakarta: Gunung Mulia,
2009.
B. Jurnal Ilmiah
Abubakar, Marzuki. “Syariat Islam Di Aceh: Sebuah Model Kerukunan dan Kebebasan Beragama”. Lhokseumawe:
Jurnal Media Syariah, Vol. XIII, Nomor 1, 2011.
_______, “Tradisi Peusijuek dalam Masyarakat Aceh: Integritas Nilai-Nilai Agama dan Budaya” (Malang: Jurnal Elharakah, Vol. 13, Nomor 2, 2011).
Danial. “Syariat Islam dan Pluralitas Sosial: Studi Tentang Minoritas Non-Muslim dalam Qanun Syariat Islam di Aceh”. Banda Aceh: Jurnal Analisis, Vol. XII, Nomor
1, 2012.
Marzuki. “Kerukunan dan Kebebasan Beragama dalam Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh”. Jakarta: Jurnal Harmoni, Vol.
IX, Nomor 36, 2010.
Sahlan, Muhammad. “Pola Interaksi Interkomunal Umat Beragama Di Kota Banda Aceh”. Banda Aceh: Jurnal Substantia,
Vol. 16, Nomor 1, 2014.
C. Peraturan Perundang-Undangan
Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Nomor 4
Tahun 2007 tentang Pedoman Identifikasi Aliran Sesat.
142 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
Peraturan Gubernur Aceh Nomor 9 Tahun 2011 tentang Larangan Kegiatan Aliran Millata Abraham di Aceh.
Peraturan Walikota Banda Aceh Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Pedoman Pelaksanaan Tugas Forum Kerukunan Umat Beragama.
Peraturan Walikota Banda Aceh Nomor 11 Tahun 2011 tentang
Pengawasan Aliran Sesat dan Kegiatan Pendangkalan Aqidah dalam Wilayah Kota Banda Aceh.
Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Akidah, Ibadah dan Syi’ar Islam.
Qanun Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pembinaan dan Perlindungan Aqidah.
Undang-Undang Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor
1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalah gunaan dan/atau Penodaan Agama.
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
D. Link Internet
http://humas.acehprov.go.id.
http://disbudpar.acehprov.go.id/.
http://aceh.bps.go.id.
http://bandaacehkota.go.id/p/sejarah.html.
http://satpolppwh.acehprov.go.id/index.php/profil.html.
http://beritasore.com/2011/04/04/aliran-sesat-guncang-bumi-serambi- mekkah/.
Daftar Pustaka 143
http://mpubandaaceh.wordpress.com/tag/aliran-sesat/.
http://regional.kompas.com/read/2012/10/22/14504434/9.Gereja.di.Banda.Aceh.Kesulitan.Beribadah.
https://m.detik.com/news/berita/3158090/mengenal-lebih-dekat-kota-banda-aceh-dan-visinya-soal-kota-madani#
http://sumatra.bisnis.com/m/read/20150108/3/54051/wali-kota-banda-aceh-nyatakan-ormas-gafatar-aliran-sesat.
http://aceh.tribunnews.com/2015/03/12/tutup-toko-10-menit-sebelum-azan.
http://aceh.antaranews.com/berita/913/banda-aceh-potret-penerapan-syariat-islam.
http://aceh.tribunnews.com/2015/06/26/menyoal-benturan-antaramazhab-di-aceh.
http://www.antaranews.com/berita/528897/fkub-kerukunan-umat-beragama-di-aceh-terlaksana-baik.
http://republika.co.id/berita/nasional/daerah/14/02/21/gubernur-aceh-tegaskan-jamin-kebebasan-beragama.
http://syariatislam.bandaaceh.go.id/illiza-masyarakat-madani-sangat-toleran/.
144 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002
Lampiran-Lampiran
QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 11 TAHUN 2002
TENTANG
PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM BIDANG AQIDAH, IBADAH DAN SYI’AR ISLAM
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA KUASA
GUBERNUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM,
Menimbang : a. bahwa aqidah dan ibadah merupakan bagian pokok pengamalan Syariat Islam yang perlu mendapat perlindungan dan pembinaan sehingga terbina dan terpelihara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;
b. bahwa kehidupan masyarakat Aceh yang Islami dan menjunjung tinggi ajaran Islam merupakan landasan untuk mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin, baik pribadi, keluarga dan masyarakat;
c. bahwa dalam rangka penyelenggaraan keistimewaan dan otonomi khusus, perlu penegasan hak-hak khusus tentang penyelenggaraan kehidupan beragama, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;
d. bahwa bedasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b dan c, perlu ditetapkan dengan suatu Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Mengingat : 1. Al-Qur’an;
2. Al-Hadits; 3. Pasal 18 b dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945; 4. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan
Daerah Otonom Propinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1103);
5. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
6. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3448);
7. Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3893);
8. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 114 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4134);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
10. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 3 Tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 2000 Nomor 23), yang telah diubah Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 43 Tahun 2001 tentang Perubahan Pertama atas Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 3 Tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 2001 Nomor 75);
11. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 2000 Nomor 30);
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
MEMUTUSKAN :
Menetapkan: QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TENTANG PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM BIDANG AQIDAH, IBADAH DAN SYI’AR ISLAM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Qanun ini yang dimaksud dengan: 1. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah
perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas Presiden beserta para Menteri.
2. Provinsi adalah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 3. Pemerintah Provinsi adalah Gubernur beserta perangkat Daerah
Otonom yang lain sebagai Badan Eksekutif Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
4. Gubernur adalah Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 5. Syi’ar Islam adalah semua kegiatan yang mengandung nilai-nilai
ibadah untuk menyemarakkan dan mengagungkan pelaksanaan ajaran Islam.
6. Syariat Islam adalah tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan.
7. Aqidah adalah Aqidah Islamiah menurut Ahlussunnah wal Jama’ah.
8. Ibadah adalah shalat dan puasa Ramadhan. 9. MPU adalah Majelis Permusyawaratan Ulama Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam. 10. Penyidik adalah pejabat kepolisian Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang diangkat dan diberi wewenang untuk melakukan penyidikan yang berhubungan dengan pelaksanaan Syariat Islam.
11. Wilayatul Hisbah adalah badan yang bertugas mengawasi pelaksanaan Syariat Islam.
BAB II
TUJUAN DAN FUNGSI
Pasal 2
Pengaturan pelaksanaan Syariat Islam bidang aqidah, ibadah dan syi’ar Islam bertujuan untuk :
a. membina dan memelihara keimanan dan ketaqwaan individu dan masyarakat dari pengaruh ajaran sesat;
b. meningkatkan pemahaman dan pengamalan ibadah serta penyediaan fasilitasnya;
c. menghidupkan dan menyemarakkan kegiatan-kegiatan guna menciptakan suasana dan lingkungan yang Islami.
Pasal 3
Ketentuan-ketentuan dalam Qanun ini berfungsi sebagai pedoman pelaksanaan Syariat Islam bidang aqidah, ibadah dan Syi’ar Islam.
BAB III
PEMELIHARAAN AQIDAH
Pasal 4
(1) Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota dan institusi masyarakat berkewajiban membimbing dan membina aqidah umat serta mengawasinya dari pengaruh paham dan atau aliran sesat.
(2) Setiap keluarga/ orang tua bertanggung jawab menanamkan aqidah kepada anak-anak dan anggota keluarga yang berada di bawah tanggung jawabnya.
Pasal 5
(1) Setiap orang berkewajiban memelihara aqidah dari pengaruh
paham atau aliran sesat (2) Setiap orang dilarang menyebarkan paham atau aliran sesat (3) Setiap orang dilarang dengan sengaja keluar dari aqidah dan atau
menghina atau melecehkan agama Islam.
Pasal 6
Bentuk-bentuk paham dan atau aliran yang sesat di tetapkan melalui fatwa MPU
BAB IV
PENGAMALAN IBADAH
Pasal 7
(1) Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota dan institusi masyarakat berkewajiban menyediakan fasilitas dan menciptakan kondisi dan suasana lingkungan yang kondusif untuk pengamalan ibadah.
(2) Setiap keluarga/ orang tua bertanggung jawab untuk membimbing pengamalan ibadah kepada anak-anak dan anggota keluarga yang berada dibawah tanggung jawabnya.
Pasal 8
(1) Setiap orang Islam yang tidak mempunyai uzur syar’i wajib menunaikan shalat Jum’at.
(2) Setiap orang, instansi pemerintah, badan usaha dan atau / institusi masyarakat wajib menghentikan kegiatan yang dapat menghalangi / mengganggu orang Islam melaksanakan shalat Jum’at.
Pasal 9
(1) Setiap instansi pemerintah, lembaga pendidikan dan badan usaha wajib menggalakkan dan menyediakan fasilitas untuk shalat berjamaah.
(2) Pimpinan gampong diwajibkan memakmurkan mesjid dan atau meunasah dengan shalat berjamaah dan menghidupkan pengajian agama.
(3) Perusahaan pengangkutan umum wajib memberi kesempatan dan fasilitas kepada pengguna jasa untuk melaksanakan shalat fardhu.
Pasal 10
(1) Setiap orang/ badan usaha dilarang menyediakan fasilitas/ peluang kepada orang muslim yang tidak mempunyai uzur syar’i untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadhan.
(2) Setiap muslim yang tidak mempunyai uzur syar’i dilarang makan atau minum di tempat / di depan umum pada siang hari bulan Ramadhan.
(3) Selama bulan Ramadhan masyarakat dianjurkan untuk
menegakkan shalat tarawih dan mengerjakan amalan sunat lainnya.
(4) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengganggu atau mengurangi kenyamanan pelaksanaan shalat Tarawih berjamaah di lingkungannya.
Pasal 11
Setiap orang yang berada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam wajib menghormati pengamalan ibadah.
BAB V
PENYELENGGARAAN SYI’AR ISLAM
Pasal 12
(1) Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota dan institusi masyarakat dianjurkan menyelenggarakan peringatan hari-hari besar Islam.
(2) Setiap Instansi Pemerintah/ lembaga swasta, institusi masyarakat dan perorangan dianjurkan untuk mempergunakan tulisan Arab Melayu disamping tulisan Latin.
(3) Setiap Instansi Pemerintah / Lembaga Swasta dianjurkan untuk mempergunakan penanggalan Hijriah dan penanggalan Masihiah dalam surat-surat resmi.
(4) Setiap dokumen resmi yang dibuat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam wajib mencantumkan penanggalan Hijriah di samping penanggalan Masihiah.
Pasal 13
(1) Setiap orang Islam wajib berbusana Islami. (2) Pimpinan instansi pemerintah, lembaga pendidikan, badan usaha
dan atau institusi masyarakat wajib membudayakan busana Islami di lingkungannya.
BAB VI
PENGAWASAN, PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN
Pasal 14
(1) Untuk terlaksananya Syariat Islam di bidang aqidah, ibadah dan syi’ar Islam, Pemerintah Provinsi, Kabupaten / Kota membentuk Wilayatul Hisbah yang berwenang melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Qanun ini.
(2) Wilayatul Hisbah dapat dibentuk pada tingkat gampong, kemukiman, kecamatan atau wilayah / lingkungan lainnya.
(3) Apabila dari hasil pengawasan yang dilakukan oleh Wilayatul Hisbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini terdapat cukup alasan telah terjadinya pelanggaran terhadap Qanun ini, maka pejabat pengawas (Wilayatul Hisbah) diberi wewenang
untuk menegur/menasehati si pelanggar. (4) Setelah upaya menegur / menasehati dilakukan sesuai dengan
ayat (3) di atas, ternyata perilaku sipelanggar tidak berubah, maka pejabat pengawas menyerahkan kasus pelanggaran tersebut kepada pejabat penyidik.
(5) Susunan organisasi Kewenangan dan tata kerja Wilayatul Hisbah diatur dengan Keputusan Gubernur setelah mendengar pertimbangan MPU.
Pasal 15
(1) Penyidikan terhadap pelanggaran Qanun ini, dilakukan oleh: a. Pejabat kepolisian Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, atau b. Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan
Pemerintahan Provinsi, Kabupaten / Kota yang diberi wewenang khusus untuk itu.
(2) Syarat pengangkatan, kepangkatan dan kedudukan serta pemberhentian Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) b di atas ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.
(3) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) b pasal ini, berwenang :
a. menerima laporan dari Wilayatul Hisbah tingkat gampong atau dari seseorang tentang adanya pelanggaran Qanun ini;
b. melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat kejadian dan melakukan pemeriksaan;
c. melakukan penyitaan benda dan atau surat; d. mengambil sidik jari dan memotret seseorang; e. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi; f. mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungan dengan
pemeriksaan perkara; g. menghentikan penyidikan bila pelanggaran tersebut tidak
cukup alasan untuk diajukan ke Mahkamah Syar’iyah; h. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat
dipertanggung jawabkan. (4) Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksudkan dalam
ayat (3) di atas penyidik wajib menjunjung tinggi Syariat Islam dan hukum yang berlaku.
Pasal 16
(1) Penuntut umum adalah jaksa atau pejabat lain yang diberi wewenang oleh Qanun untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan atau penetapan hakim Mahkamah Syar’iyah.
(2) Syarat pengangkatan, kepangkatan dan kedudukan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di atas ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.
Pasal 17
Penuntut umum berwenang :
a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik;
b. mengadakan pra penuntutan apabila berkas perkara hasil penyidikan terdapat kekurangan disertai petunjuk penyempurnaannya;
c. membuat surat dakwaan; d. melimpahkan perkara ke Mahkamah Syar’iyah; e. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang hari
dan waktu perkara disidangkan yang disertai dengan surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi untuk datang pada hari sidang yang ditentukan;
f. melakukan penuntutan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku;
g. mengadakan tindakan lain dalam lingkungan tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut peraturan perundangan;
h. melaksanakan putusan hakim.
Pasal 18
Penuntut umum menuntut perkara pelanggaran Qanun ini yang terjadi dalam wilayah hukumnya.
BAB VII
PENGADILAN
Pasal 19
Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Qanun ini diperiksa dan diputuskan oleh Mahkamah Syar’iyah.
BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 20
(1) Barang siapa yang menyebarkan paham atau aliran sesat sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (2) dihukum dengan ta’zir berupa hukuman penjara paling lama 2 (dua) tahun atau hukuman cambuk di depan umum paling banyak 12 (dua belas) kali.
(2) Barang siapa yang dengan sengaja keluar dari aqidah Islam dan atau menghina atau melecehkan agama Islam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) akan dihukum dengan hukuman yang akan diatur dalam qanun tersendiri.
Pasal 21
(1) Barang siapa tidak melaksanakan shalat jum’at tiga kali berturut-turut tanpa uzur syar’i sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat
(1) dihukum dengan ta’zir berupa hukuman penjara paling lama 6 (enam) bulan atau hukuman cambuk di depan umum paling banyak 3 (tiga) kali.
(2) Perusahaan pengangkutan umum yang tidak memberi kesempatan dan fasilitas kepada pengguna jasa untuk melaksanakan shalat fardhu sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (3) dipidana dengan hukuman ta’zir berupa pencabutan izin usaha.
Pasal 22
(1) Barang siapa yang menyediakan fasilitas/ peluang kepada orang muslim yang tidak mempunyai uzur syar’i untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadhan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (1) dipidana dengan hukuman ta’zir berupa hukuman penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak 3 (tiga) juta rupiah atau hukuman cambuk di depan umum paling banyak 6 (enam) kali dan dicabut izin usahanya.
(2) Barang siapa yang makan atau minum di tempat / di depan umum pada siang hari bulan Ramadhan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (2) dipidana dengan hukuman ta’zir berupa hukuman penjara paling lama 4 (empat) bulan atau hukuman cambuk di depan umum paling banyak 2 (dua) kali.
Pasal 23
Barang siapa yang tidak berbusana Islami sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (1) dipidana dengan hukuman ta’zir setelah melalui proses peringatan dan pembinaan oleh Wilayatul Hisbah.
BAB IX
PEMBIAYAAN
Pasal 24
Segala pembiayaan yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Qanun ini dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 25
Semua peraturan perundang-undangan yang ada sepanjang tidak diatur dengan qanun ini dinyatakan tetap berlaku di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 26
Hal-hal yang belum diatur dalam Qanun ini sepanjang mengenai pedoman, tehnis dan tata cara pelaksanaan akan ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Gubernur, setelah mendengar pertimbangan MPU.
Pasal 27
Qanun ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan
Agar semua orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Qanun ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Disahkan di Banda Aceh pada tanggal 14 Oktober 2002 7 Sya’ban 1423
Diundangkan di Banda Aceh pada tanggal 15 Oktober 2002 8 Sya’ban 1423
LEMBARAN DAERAH PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TAHUN 2002 NOMOR 54 SERI E NOMOR 15
GUBERNUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM,
ABDULLAH PUTEH
SEKRETARIS DAERAH PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
THANTHAWI ISHAK
PENJELASAN
ATAS
QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
NOMOR 11 TAHUN 2002
TENTANG
PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM BIDANG AQIDAH, IBADAH, DAN SYIAR ISLAM
I. UMUM
Sepanjang sejarah, masyarakat Aceh telah menjadikan agama Islam sebagai pedoman dalam kehidupannya. Penghayatan dan pengamalan ajaran Islam dalam rentang sejarah yang cukup panjang itu telah melahirkan suasana masyarakat dan budaya Aceh yang Islami, budaya dan adat yang lahir dari renungan para ulama, kemudian dipraktekan, dikembangkan dan dilestarikannya. Bahkan dalam perjalanan sejarah mulai abad ke-17 sampai dengan pertengahan abad ke-19, Nanggroe Aceh Darussalam mencapai puncak kejayaannya dalam bidang ilmu pengetahuan, politik, hukum, pertahanan dan ekonomi. Puncak keemasan Nanggroe Aceh Darussalam tersebut tidak dapat dilepaskan dari pemberlakuan Syariat Islam secara kaffah sebagai pedoman hidup rakyat Nanggroe Aceh dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kondisi tersebut tercermin dalam ungkapan bijak “Adat bak Poteumeureuhom, Hukum bak Syiah Kuala, Qanun bak Putro Phang, Reusam bak Laksamana”. Ungkapan tersebut merupakan pencerminan bahwa Syari’at Islam telah menyatu dan menjadi pedoman hidup bagi masyarakat Aceh melalui peranan para ulama sebagai pewaris para rasul.
Sementara itu sejak pertengahan abad ke-20, baik karena alasan internal maupun eksternal, Syariat Islam mulai ditinggalkan sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Persamaan dengan kondisi demikian, rakyat Nanggroe Aceh menuju masa-masa suram dan sampai sekarang dalam kondisi yang sungguh memprihatinkan. Selama itu pula sebagai rakyat Nanggroe Aceh merindukan berlakunya kembali Syari’at Islam yang dapat mengantarkan Nanggroe ini untuk meraih kejayaannya dan berada pada posisi Baldatun Tayibatun Warabbun Ghafur.
Dengan munculnya era reformasi pada tahun 1998, semangat dan peluang yang terpendam untuk memberlakukan Syari’at Islam di beberapa daerah di Indonesia muncul kembali, terutama di Nanggroe Aceh yang telah lama di kenal sebagai Serambi Mekkah. Semangat dan peluang tersebut kemudian terakomodir dalam undang-undang nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Peluang tersebut semakin dipertegas dalam undang-undang nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Nanggroe Aceh Darussalam.
Disamping itu pada tingkat Daerah pelaksanaan Syari’at Islam telah dirumuskan secara yuridi melalui Peraturan Daerah nomor 3 tahun 2000 tentang pembentukan organisasi dan tata kerja MPU Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Peraturan Daerah nomor 5 tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam.
Secara umum Syari’at Islam meliputi aspek, aqidah, ibadah, muamalah dan akh+lah. Setiap orang muslim dituntut untuk mentaati keseluruhan aspek tersebut. Ketaatan terhadap aspek yang mengatur aqidah dan ibadah sangat tergantung pada kualitas iman dan taqwa atau hati nurani seseorang. Sedangkan ketaatan kepada aspek muamalah dan akhlak disamping ditentukan pada kualitas iman dan taqwa atau hati nurani, juga disertai adanya sanksi duniawi dan ukhrawi terhadap orang yang melanggarnya.
Dalam sistem hukum Islam terdapat dua jenis sanksi; yaitu sanksi yang bersifat ukhrawi, yang akan diterima di akhirat kelak, dan sanksi yang diterapkan manusia melalui kekuasaan eksekutif, legislative dan judikatif. Kedua jenis sanksi tersebut mendorong masyarakat untuk patuh pada ketentuan hukum. Dalam banyak hal penegakan hukum menuntut peranan negara. Hukum tidak mempunyai arti bila tidak ditegakkan oleh negara. Disisi lain suatu negara tidak akan tertib bila hukum tidak ditegakkan.
Upaya legislasi pelaksanaan Syari’at Islam bidang Aqidah, Ibadah (Shalat dan Puasa Ramadhan) serta Syi’ar Islam bukanlah upaya untuk mengatur substansi dari Aqidah dan Ibadah. Masalah substansi telah di atur oleh nash dan telah dikembangkan para ulama dalam berbagai disiplin ilmu ke Islaman.
Dengan demikian upaya legislasi Pelaksanaan Syari’at Islam sebagaimana diatur dalam Qanun ini adalah dalam upaya membina, menjaga, memelihara dan melindungi aqidah orang Islam Nanggroe Aceh Darussalam dari berbagai warna, paham dan atau aliran sesat. Terhadap pelanggaran bidang aqidah di dalam Qanun ini hanya diancam bagi setiap orang yang menyebarkan paham dan atau aliran sesat. Sedangkan ancaman hukuman bagi setiap orang dengan sengaja keluar dari aqidah Islam dan atau menghina atau melecehkan Agama Islam, ancaman hukumannya diatur dalam Qanun tersendiri tentang HUDUD.
Demikian pula dengan pengaturan aspek ibadah, baik shalat Fardhu/ Jumat maupun puasa Ramadhan dimaksudkan untuk mendorong, menggalakkan orang Islam melaksanakan dan meningkatkan kualitas iman dan kualitas serta intensitas ibadah sebagai wujud pengabdiannya yang hanya diperuntukkan kepada Allah semata. Upaya tersebut perlu didukung oleh kondisi dan situasi Syi’ar Islam, namun masih dalam lingkup nilai ibadah.
Adanya sanksi pidana cambuk di depan umum, disamping sanksi penjara dan atau denda serta sanksi administratif, dimaksudkan sebagai upaya pendidikan dan pembinaan, sehingga sipelaku akan menyadari dan menyesali kesalahan yang dilakukan dan mengantarkannya untuk memprosisikan diri dalam Taubat Nasuha. Pelaksanaan hukuman cambuk di depan umum dimaksudkan sebagai upaya preventif dan pendidikan sehingga orang berupaya menghindari pelanggar hukum lainnya untuk tidak melakukan pelanggaran terhadap Qanun ini khususnya dan terhadap segala ketentuan Syari’at Islam pada umumnya.
Bentuk ancaman hukuman cambuk bagi pelaku tindak pidana, dimaksudkan sebagai upaya memberi kesadaran bagi si pelaku dan sekaligus menjadi peringatan bagi masyarakat agar tidak melakukan tindak pidana. Hukuman cambuk diharapkan akan lebih efektif karena terpidana merasa malu dan tidak menimbulkan resiko bagi keluarganya. Jenis hukuman cambuk juga menjadikan biaya yang harus ditanggung oleh pemerintah lebih murah dibandingkan dengan jenis hukuman lainnya seperti yang dikenal dalam sistem KUHP sekarang ini.
Wilayatul Hisbah sebagai lembaga pengawasan, diberi pula peran untuk mengingatkan, membimbing dan menasehati sehingga sehingga pelanggaran yang dilakukan kepada penyidik untuk di usut dan diteruskan ke Pengadilan, adalah pelanggaran yang sudah memperoleh nasehat, bimbingan dan peringatan. Jadi bentuk-bentuk pelanggaran yang tidak bisa di perbaiki dengan bimbingan dan nasehat
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1 Cukup jelas
Pasal 2 Paham sesat adalah pendapat-pendapat tentang aqidah yang tidak berdasarkan
kepada Al-Quran atau Hadits Shahih, atau penafsiran yang tidak memenuhi persyaratan metodologis atas kedua sumber tersebut di bidang aqidah.
Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4 Cukup jelas
Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Ketentuan ini tidak untuk menghalangi kebebasan ilmiah, kepentingan
penelitian, pengkajian dan pengembangan ajaran Islam itu sendiri di perguruan tinggi atau lembaga ilmiah lainnya.
Ayat (3) Cukup jelas
Pasal 6 Cukup jelas
Pasal 7 Ayat (1) Pemerintah Provinsi, Kabupaten/ Kota, dan atau institusi masyarakat harus
aktif dan berinisiatif mendorong serta menyediakan fasilitas sekaligus memotivasi masyarakat, sehingga mudah dan nyaman mengamalkan ibadah.
Ayat (2) Cukup jelas
Pasal 8 Ayat (1) Yang dimaksud dengan uzur Syar’i, adalah keadaan yang menurut fiqih
membolehkan seseorang tidak menghadiri Shalat Jum’at, seperti musafir, sakit, atau melakukan tugas ”darurat” seperti perawat atau dokter jaga (dinas).
Ayat (2) Instansi Pemerintah adalah Instansi Sipil dan Militer. Kantor pemerintah dan
swasta, serta badan usaha wajib memberi kesempatan kepada karyawannya untuk melaksanakan Shalat Jum’at; lebih dari itu semua kegiatan harus dihentikan, kecuali yang menyangkut kepentingan umum dan “darurat” (emergency).Mesjid-mesjid dianjurkan untuk menyediakan tempat shalat Jum’at bagi orang perempuan.
Pasal 9 Ayat (1) Pemimpin kantor, sekolah atau badan usaha wajib berinisiatif sehingga shalat
berjamaah dapat berjalan dengan baik dan berkesinambungan di lingkungan masing-masing.
Ayat (2) Adanya azan pada setiap awal waktu dan terlaksananya shalat fardhu
berjamaah dan pengajian secara berkesinambungan menjadi tanggung jawab pimpinan gampong terutama Tengku Imeum. Pengajian agama meliputi pengajian untuk anak-anak, remaja dan dewasa, baik laki-laki atau perempuan.
Ayat (3) Pengemudi angkutan umum harus menghentikan kenderaan untuk memberi
kesempatan kepada penumpang melaksanakan shalat fardhu. Setiap kantor perusahaan/perwakilannya harus menyediakan tempat shalat bagi langganan (calon penumpangnya). Kecuali di dekat kantor tersebut ada tempat shalat yang memenuhi syarat dan dapat dipergunakan.
Pasal 10 Ayat (1) Menyediakan fasilitas/ peluang, adalah seperti membuka warung dan restoran
pada siang hari Ramadhan, atau menjual makanan dan minuman yang patut diduga akan dikomsumsi sebelum waktu berbuka puasa. Uzur syar’i adalah keadaan yang membolehkan seseorang tidak berpuasa. Jadi boleh menjual makanan kepada orang musafir dan orang sakit.
Ayat (2) Tempat umum adalah tempat terbuka yang dapat didatangi atau dilihat oleh
siapa saja. Sedang di depan umum adalah didepan orang lain, seperti di dalam kenderaan umum, ruang tunggu atau kantor.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 11 Cukup jelas
Pasal 12 Ayat (1) Peringatan hari-hari besar Islam tidak boleh dilakukan dengan kegiatan yang
tidak sejalan (sesuai) dengan ketentuan ajaran Islam.
Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Yang dimaksud dengan dokumen resmi adalah seperti : Akte Notaris, Ijazah,
Akte Kelahiran, dan Sertifikat Tanah.
Pasal 13 Ayat (1) Busana Islami adalah pakaian yang menutup aurat yang tidak tembus
pandang, dan tidak memperlihatkan bentuk tubuh.
Ayat (2) Wajib membudayakan busana Islami, maksudnya bertanggung jawab
terhadap pemakaian busana Islami oleh pegawai, anak didik atau karyawan (karyawati) di lingkungan masing-masing, termasuk pada saat kegiatan olah raga.
Pasal 14 Cukup jelas
Pasal 15 Ayat (1) Pejabat Kepolisian Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Pejabat
Kepolisian yang diberi tugas dibidang penegakan Syariat Islam.
Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 16 Cukup jelas
Pasal 17 Cukup jelas
Pasal 18 Cukup jelas Pasal 19 Cukup jelas
Pasal 20 Ayat (1) Tata cara pelaksanaan hukum cambuk akan diatur dengan ketentuan
tersendiri.
Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Penjatuhan hukuman ini hanya dapat dilakukan setelah melalui proses
peringatan oleh Wilayatul Hisbah, dan dengan mempertimbangkan keadaan lingkungan sosial dari orang yang bersangkutan. Hukuman ta’zir di sini hendaklah diarahkan kepada pendidikan dan pembinaan, bukan untuk semata-mata penghukuman dan atau penjeraan.
Pasal 22 Ayat (1) Pembayaran denda disetor langsung ke Badan Baitul Mal. Sementara Badan
Baitul Mal belum terbentuk, disetor ke Bazis Kabupaten/Kota setempat.
Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24 Cukup jelas
Pasal 25 Cukup jelas
Pasal 26 Cukup jelas
Pasal 27 Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 5
163
Tentang Penulis
Juli Ahsani, pria kelahiran Aceh, 20 Juli 1990 ini merupakan
putra ketiga dari Bpk. Supangat dan Ibu Mukatriyah. Pada tahun
2014, ia telah menyelesaikan studi S-1 di Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Jurusan
Perbandingan Agama. Kemudian masih ditahun yang sama,
melanjutkan ke Program Magister di almamaternya dengan
Konsentrasi Kerukunan Umat Beragama, dan lulus tahun 2017.
Semasa kuliah, Julay, sapaan akrabnya, aktif di organisasi
intra maupun ekstra kampus, seperti: Badan Eksekutif Mahasiswa
(BEM) Fakultas Ushuluddin, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI),
dan Ikatan Mahasiswa dan Pemuda Aceh (IMAPA Jakarta). Ia bisa
dihubungi melalui email: [email protected].
164 IMPLEMENTASI QANUN NOMOR 11 TAHUN 2002