25
MEMBANGUN KUALITAS KEISLAMAN Mengapa kita perlu membangun dan membentuk kualitas keislaman? Kualitas keislaman seringkali disebut pula dengan kualitas keimanan. Sedangkan keimanan pada individu bisa naik dan nisa pula turun. Sebagai misal, ketika kita sedang berada dalam lingkungan yang baik dan dalam keadaan mood yang baik, mungkin keimanan kita berada dalam tingkat yang tinggi pula. Namun, bila sebaliknya, bila kita sedang dalam mood yang jelek, mungkin tingkat keimanan kita sedang dalam tingkatan rendah. Seperti halnya ibarat seorang pendaki yang berjalan ke puncak sebuah gunung. Dalam menggapai angan itu, dia tentunya tidak selalu memperoleh kemulusan. Namun, kadang ia harus melewati tebing, jurang, sungai, pohon yang tumbang, padang pasir, rawa, padang ilalang, atau apapun yang bisa menghambat perjalanannya. Oleh karenanya, ia seharusnya telah mempersiapkan segala sesuatunya sebelum berangkat baik itu persiapan mental, fisik, peralatan, dan bekal tentunya. Demikian pula Islam, orang beragama memiliki motivasi yang bermacam-macam. Ada yang karena memang keyakinan, karena untuk perlindungan bisnis, karena terpaksa, karena untuk menikah, karena orang tua, dan karena beribu alasan lainnya. Namun pada dasarnya hampir semua pemeluk agama memiliki keyakinan bahwa mereka beragama karena ada keyakinan bahwa setelah mati mereka akan hidup di surga bagi yang di dunianya berbuat baik. Karena motivasi itulah maka Rasulullah memberikan nasihat pada umatnya untuk selalu menjaga keimanan. Rasullullah mengatakan bahwa orang muslim yang baik adalah orang yang hari esoknya lebih baik dari hari yang kemarin. Dari sini, penulis

MEMBANGUN KUALITAS KEISLAMAN.doc

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: MEMBANGUN KUALITAS KEISLAMAN.doc

MEMBANGUN KUALITAS KEISLAMAN

Mengapa kita perlu membangun dan membentuk kualitas keislaman?

Kualitas keislaman seringkali disebut pula dengan kualitas keimanan. Sedangkan

keimanan pada individu bisa naik dan nisa pula turun. Sebagai misal, ketika kita sedang

berada dalam lingkungan yang baik dan dalam keadaan mood yang baik, mungkin keimanan

kita berada dalam tingkat yang tinggi pula. Namun, bila sebaliknya, bila kita sedang dalam

mood yang jelek, mungkin tingkat keimanan kita sedang dalam tingkatan rendah. Seperti

halnya ibarat seorang pendaki yang berjalan ke puncak sebuah gunung. Dalam menggapai

angan itu, dia tentunya tidak selalu memperoleh kemulusan. Namun, kadang ia harus

melewati tebing, jurang, sungai, pohon yang tumbang, padang pasir, rawa, padang ilalang,

atau apapun yang bisa menghambat perjalanannya. Oleh karenanya, ia seharusnya telah

mempersiapkan segala sesuatunya sebelum berangkat baik itu persiapan mental, fisik,

peralatan, dan bekal tentunya. Demikian pula Islam, orang beragama memiliki motivasi yang

bermacam-macam. Ada yang karena memang keyakinan, karena untuk perlindungan bisnis,

karena terpaksa, karena untuk menikah, karena orang tua, dan karena beribu alasan lainnya.

Namun pada dasarnya hampir semua pemeluk agama memiliki keyakinan bahwa mereka

beragama karena ada keyakinan bahwa setelah mati mereka akan hidup di surga bagi yang di

dunianya berbuat baik.

Karena motivasi itulah maka Rasulullah memberikan nasihat pada umatnya untuk

selalu menjaga keimanan. Rasullullah mengatakan bahwa orang muslim yang baik adalah

orang yang hari esoknya lebih baik dari hari yang kemarin. Dari sini, penulis dapat

menyimpulkan bahwa Rasulullah memberi nasihat untuk selalu menjaga iman bahkan

meningkatkan keimanan secara terus menerus. Hal itu sesuai dengan ayat di atas tadi ( al

Baqarah: 208) bahwa dalam berislam kita harus menyeluruh. Menyeluruh di sini otomatis

memiliki korelasi dengan peningkatan keimanan. Logikanya tidak mungkin orang beragama

islam langsung mengetahui dan memahami 100% ajarannya. Dia perlu tahap-tahap untuk

mengetahui keseluruhannya. Dan dalam proses tersebut, tentunya perlu didukung dengan

peningkatan keimanan pula.

Bagaimana membangun dan membentuk kualitas keislaman?

Sekarang marilah kita lihat masa kini dimana kita bisa melihat banyak sekali orang yang

pemahamannya tentang Islam kurang. Sehingga otomatis kualitas keislamannya kurang pula.

Ada sebagian diantara kita yang melihat kualitas keislaman seseorang melalui tampilan

dhohir (luar)nya saja. Kalau orang memakai gamis dan peci atau sorban maka ia dikatakan

Page 2: MEMBANGUN KUALITAS KEISLAMAN.doc

kyai atau orang yang kualitas Islamnya bagus. Padahal nabi mengatakan bahwa “iman itu di

hati” jadi yang mengetahui iman itu hanya dia dan Allah. Namun, rasulullah juga memberi

sedikit gambaran. Bahwa orang yang disipilin dalam ibadah dan orang yang memiliki akhlak

yang baik maka itu adalah sebagian dari cerminan iman dan Islam yang berkualitas.

Disamping itu masih banyak penyimpangan-penyimpangan yang menurut penulis

adalah penyimpangan yang telah besar. Yaitu, ajaran sekuler yang memisahkan agama

dengan kehidupan dunia. Dalam bahasa sederhananya penulis mengatakan bahwa agama itu

hanya di tempat ibadah dan hanya urusan individu dengan Tuhannya. Sedangkan dalam

pergaulan keseharian mereka meninggalkan ajaran agama itu sendiri. Hal ini menurut penulis

disebabkan rendahnya kualitas keislaman dan keimanan inividu itu sendiri.

Lalu bagaimana kita membangun dan membentuk kualitas keislaman kita?

Karena pada dasarnya kekurangan mereka adalah buruknya pondasi iman dan Islam

yang mereka miliki, maka hal yang pertama kali harus ditata adalah pondasinya terlebih

dahulu. Bangunan yang kuat adalah bangunan yang didirikan di atas pondasi yang kuat pula.

Iman adalah pondasinya. Mereka diharapkan tidak hanya mengetahui tentang rukun iman

yang 5 saja, tetapi lebih dari itu mereka harus ditanamkan perasaan untuk menjiwai apa

sebenarnya yang terkandung dalam rukun iman itu semuanya dan memahami cabang-

cabangnya. Sehingga kita mengharapkan dalam hati mereka tercermin karakter yang kuat

sesuai dengan Islam. Dalam realitasnya, kita bisa menanamkan tujuan itu dengan tarbiyah

seperti halnya yang dilakukan di perguruan tinggi-perguruan tinggi di Indonesia yang

melakukan kegiatan mentoring atau assistensi, menggerakkan gerakan dakwah yang kompak,

meningkatkan diskusi-diskusi global yang berkorelasi dengan agama.

Faktor kedua adalah tiang dari bangunan harus kuat. Dalam hal ini tiang agama

adalah sholat. Sedangkan sholat adalah bagian dari rukun Islam. Maka proses kedua adalah

menegakkan tiang-tiang agama atau rukun Islam. Seorang muslim hendaknya tidak hanya

menganggap rukun-rukun Islam sebagai rutinitas belaka. Hal ini sangat mungkin terjadi pada

diri individu seorang muslim. Kita menganggap bahwa syahadat, sholat, puasa, zakat, dan

haji adalah sesuatu yang wajib dalam rutinitas ritual ibadah biasa, sehingga dalam

pelaksanaannya bentuk kegiatan ibadah tersebut sangatlah miskin akan nilai spiritual dan

makna. Seharusnya kita mulai menyadari hal ini. Kita harus memaknai syahadat adalah

sebuah ikrar janji kepada Allah dan Muhammad untuk selalu tunduk dalam aturan Islam.

Sholat adalah sarana muhasabah, harapan, dan sarana komunikasi dengan Allah. Dan pada

Page 3: MEMBANGUN KUALITAS KEISLAMAN.doc

intinya kita harus menanamkan kepada diri kita bahwa ritual ibadah itu bukan sekedar ritual,

melainkan lebih dari itu terdapat makna yang besar di balik semua hal tersebut.

Apabila hal-hal yang mendasar di atas sudah tertanam, maka hal ketiga yang harus

dibangun adalah membuat atap pelindung untuk menyempurnakan fungsi bangunan itu.

Dalam hal ini sangatlah penting kiranya kita menambah makna hidup secara umum dengan

memunculkan nilai-nilai Islami dalam pergaulan umum. Secara umum, orang menganggap

kualitas seseorang itu dari akhlak, intelektual, dan kebaikannya. Jadi, sesuai dengan prinsip

Islam yang rahmatan lil alamin, seorang muslim harus mampu mentransformasikan sunnah

Rasul dan ajaran Islam dalam pergaualan umum. Nilai-nilai Islam atau ajaran Islam yang

dimaksud di sini antara lain sikap-sikap kedisiplinan dalam segala hal, kesopanan, kerajinan,

kesungguhan, dan nilai–nilai Islami lainnya. Dan penulis menganggap bahwa sifat yang

paling penting adalah sifat seorang mujahidin dan muhlisin. Mujahidin di sini dirtikan

sebagai seorang yang selalu bekerja keras dan bersungguh-sungguh dalam segala aspek

kegiatan. Sedangkan muhlisin adalah sifat seseorang yang dalam setiap kegiatan sehari-

harinya didasarkan selalu karena Allah. Sehingga dari dua sifat ini saja, seumpanya kita

mengambil contoh seorang anggota dewan legislative, kita bisa melihat betapa hebatnya

seseorang itu. Bila dua sifat itu diterapkan maka seorang anggota legislatif akan selalu hadir

dalam setiap sidang, memperhatikan suara rakyat keseluruhan, membela hak rakyat, menolak

nepotisme, tidak korupsi, dan mengurangi tidurnya di malam hari karena ia memiliki jiwa

mujahid sebagaimana dicontohkan Rasul SAW dan para Khulafaur Rasyidin. Bahkan ia

justru akan selalu berdoa, sholat, dan puasa untuk mengharapkan petunjuk Allah SWT.

Hal-hal tersebut sebetulnya dapat kita lihat sejarahnya dalam kisah para Nabi,

sahabat, dan tabi’in. Ada juga teladan itu terletak pada ilmuwan-ilmuwan muslim yang

berpengaruh dalam pengetahuan modern di dunia. Sebut saja Ibnu Syina, Ibnu Khaldun,

Ibnu Rusyd, dan Ibnu Bathutah yang tidak hanya seorang ahli ilmu tapi juga paham akan

keislaman. *(Dialog Jumat, H. U. Repubika, edisi 3 September 2004)

Page 4: MEMBANGUN KUALITAS KEISLAMAN.doc

4 Langkah Untuk Meningkatkan Kualitas Keislaman Seorang muslim

Kebanyakan kaum muslimin masih beranggapan kewajibannya untuk agama ini

hanyalah beramal dan beribadah (sholat, puasa dan sejenisnya). Dan itu mereka anggap sudah

cukup membuat mereka selamat menuju akhirat. 

Padahal ada 4 hal yang harus dilakukan setiap muslim untuk meningkatkan kualitas

keislamannya, dimana dengannya ia selamat menuju akhirat.  Tanpa menjaga 4 kewajibannya

ini maka mereka akan termasuk orang-orang yang merugi dan gagal di dunia dan akhirat.

Berikut ini kami kutip penjelasan mengenai 4 langkah yang menjadi kewajiban setiap

muslim agar kualitas iman dan keislamannya bisa terjaga kokoh dan meningkat dari hari ke

hari.  Tulisan ini kami sarikan berdasarkan salah satu tulisan Abu Umamah Abdurrohim bin

Abdul Qohhar Al Atsary sesuai keterangan sumber pustaka pada catatan kaki.

Agama Islam akan bermanfaat bagi setiap muslim setelah ia menjalankan tugas yang

telah diwajibkan oleh Alloh Subhanahu wa ta’ala.

Keempat tugas dan kewajiban telah Alloh subhanahu wata’ala sebutkan dalam

firmanNya  (artinya) :

“Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam keadaan merugi (celaka),

kecuali orang-orang yang beriman, beramal shalih, saling menasehati dalam kebenaran, dan

saling menasehati dalam kesabaran.” (QS, Al ‘Ashr: 1-3)

Imam As-Syafi’i berkata: “Seandainya semua manusia memikirkan apa yang ada di

dalam surat ini (surat Al ‘Ashr), sesungguhnya surat ini mencukupi mereka”. Penjelasannya

adalah bahwa martabat itu ada empat, dengan menyempurnakan keempatnya, maka

seseorang mendapatkan puncak kesempurnaannya. (seperti ditulis Imam Ibnul Qoyyim  di

dalam Miftah Darus Sa’adah 1/56)(sebagai tambahan penerbit) 

Kewajiban setiap muslim terhadap agamanya itu ada 4 yaitu :

1. Mempelajari Islam (Berilmu)

Allah Subhanahu wa ta’ala mewajibkan setiap muslim untuk mempelajari agamanya secara

terus-menerus, hingga akhir hayat, sebagaimana telah disabdakan Rasulullah Shalallahu

alaihi wassalam (artinya) :

“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim”

(HR. Ibnu Majah, Abu Ya’la, Thabrani, dan Al Albany telah menshohihkannya)

Adapun diantara sebab-sebab diwajibkannya belajar agama adalah :

Page 5: MEMBANGUN KUALITAS KEISLAMAN.doc

Kita tidak dapat menjalankan agama dengan baik dan benar kalau tidak belajar

(memahami) terlebih dahulu dengan baik apa yang akan kita amalkan.  Orang yang

tidak mau atau bermalas-malasan belajar agama tidak akan mendapatkan kebaikan. 

Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam bersabda (artinya) :

“Barangsiapa yang dikehendaki oleh Alloh kebaikan baginya, maka Alloh akan

mengkaruniakan kepahaman agama baginya”   (HR Al Bukhori).

Al Imam Al Bukhori menafsirkan hadits ini dengan mengatakan : “Orang yang

tidak mau belajar kaidah-kaidah Islam, terhalang baginya kebaikan”

Ibadah atau amal shalih yang dicintai dan diridhoi Alloh Subhanahu wa ta’ala adalah

jika amalan itu sesuai dengan (cara dan tujuan yang dijelaskan di) Al Qur’an dan As-

Sunnah.  Maka kita wajib mempelajari Al Qur’an dan As-Sunnah karena keduanya

menerangkan segala sesuatu yang dicintai dan diridhoi Alloh subhanahu wata’ala

untuk kita amalkan. Didalamnya juga diterangkan hal-hal yang dibenci dan dimurkai

oleh-Nya yang harus kita jauhi dan tinggalkan.

Rosululloh shalallahu alaihi wassalam menyampaikan pesan untuk seluruh

umat Islam, melalui sabdanya (artinya) :

“Aku tinggalkan bagi kalian dua perkara, yang kalian tidak akan tersesat selama

berpegang teguh dengan keduanya, yaitu kitabulloh dan sunnahku.  Keduanya tidak

akan berpisah sampai kalian (bertemu) kembali denganku di telaga Al Haudh”  (Al

Hadits,  diantaranya ada dalam riwayat Hakim (I/172), dan Daruquthni(hadits no.

149), HR Imam Malik 1395 bersumber dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu

dihasankan oleh Al-Albani di dalam kitabnya Manzilatus Sunnah fil Islam 1/18]

Alloh subhanahu wata’ala telah melarang untuk mengerjakan sesuatu yang tidak

diketahui ilmunya. Alloh subhanahu wata’ala berfirman (artinya) :

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan

tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan

diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra: 36)

Jadi orang Islam yang tidak mau belajar agama, dia tidak akan mengerti mana

jalan yang lurus (baik) dan mana jalan yang menyesatkan, mana yang benar dan mana

yang salah. Mereka tidak akan mengerti mana perbuatan yang dicintai Alloh dan

mana yang dibenci dan dimurkai-Nya.

Orang yang tidak mau belajar agama telah berdosa karena tidak taat kepada

Alloh subhanahu wata’ala.

Page 6: MEMBANGUN KUALITAS KEISLAMAN.doc

Adapun ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap muslim ada tiga yaitu

mempelajari tentang Alloh subhanahu wata’ala, mempelajari tentang Nabi-Nya

shalallahu alaihi wassalam, dan mempelajari tentang agama Alloh subhanahu

wata’ala.

2.     Mengamalkan Ajaran Islam

Kewajiban setiap muslim setelah mempelajari ilmu agama adalah mengamalkan

ilmunya.  Orang yang belajar agama tapi tidak mengamalkannya, tidak ada gunanya dan tetap

berada dalam kesesatan dan murkan Alloh subhanahu wata’ala. 

Orang yang mengerti dengan baik ajaran Islam namun tidak mengamalkannya, sangat

menyerupai orang Yahudi yang tahu kebenaran Islam tapi menyangkalnya, kemudian

dilaknat Alloh subhanahu wata’ala. Adapun orang yang mengamalkan agama tetapi tidak

diadasari ilmu yang benar, maka mereka menyerupai orang Nasrani (Kristen) yang beribadah

dengan cara yang salah, dan telah dilaknat Alloh subhanahu wata’ala.

Orang Islam wajib mempelajari agamanya dengan sebaik-baiknya, kemudian

mengamalkannya dengan cara menjalankan perintah dan menjauhi apa yang dilarangNya dan

dimurkaiNya.  Mempelajari dan mengamalkan Islam merupakan jalan yang ditempuh oleh

orang-orang yang telah diberi petunjuk dan diberi nikmat oleh Alloh subhanahu wata’ala

yaitu para Nabi, shiddiqun, syuhada dan orang-orang yang sholih.

3.   Mendakwahkan ajaran Islam

Kewajiban selanjutnya adalah menyampaikan dan mengajak kaum muslimin untuk

mempelajari Islam dengan baik kemudian mengamalkannya, juga mengajak orang-orang

yang diluar Islam agar memeluk agama Islam yang jelas telah diridhoi Alloh Subhanahu

wata’ala, yang akan menyelamatkan manusia di dunia dan akhirat.

Alloh subhanahu wata’ala telah menerangkan kewajiban berdakwah ini dalam

firmanNya (artinya) :

“Serulah manusia ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan peringatan yang baik dan

bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik”  (QS An Nahl : 125) 

4.   Bersabar dalam menjalankan kewajiban beragama

Bersabar artinya menahan hawa nafsu untuk taat dan tidak bermaksiat kepada Alloh

subhanahu wata’ala serta tidak mencela dan membenci takdir Alloh subhanahu wata’ala.

Sabar itu ada 3 macam :

1. Bersabar ketika menjalankan ketaatan kepada Alloh subhanahu wata’ala

2. Bersabar ketika menjauhi larangan dan maksiat

Page 7: MEMBANGUN KUALITAS KEISLAMAN.doc

3. Bersabar ketika menerima ujian dan cobaan dari Alloh subhanahu wata’ala

MENJELASKAN KEPRIBADIAN ISLAM

1. KEPRIBADIAN DALAM WACANA ISLAM

        Dalam Islam, istilah kepribadian (personality) dalam studi keislaman lebih dikenal

dengan term al-syakhshiyah. Syakhshiyah berasal dari kata syakhsh yang berarti “pribadi”.

Kata itu kemudian diberi ya nisbah sehingga menjadi kata benda buatan (mashdar shina’iy)

syakhshiyah yang berarti “kepribadian”.

        Dalam literatur keislaman, terutama pada khazanah klasik abad pertengahan, kata

syakhshiyah(sebagai padanan dari kepribadian) kurang begitu dikenal. Terdapat beberapa

alasan mengapa term itu tidak dikenal: (1) dalam Alquran maupun al-Sunnah tidak

ditemukan term syakhshiyah, kecuali dalam beberapa hadis disebutkan term syakhs yang

berarti pribadi, bukan kepribadian;(2) dalam khazanah Islam klasik, para filusuf maupun sufi

lebih akrab menggunakan istilah akhlak. Penggunaan istilah ini karena ditopang oleh ayat

Alquran dan Hadis Rasul;(3) term syakhshiyah hakikatnya tidak dapat mewakili nilai-nilai

fundamental Islam untuk mengungkap suatu fenomena atau prilaku batihan manusia. Artinya,

term syakhshiyah yang lazim dipakai dalam Psikologi Kepribadian Barat aksentuasinya lebih

pada deskripsi karakter, sifat, atau perilaku unik individu, sementara term akhlak lebih

menekankan pada aspek penilaiannya terhadap baik-buruk suatu tingkah laku. Syakhshiyah

merupakan akhlak yang didevaluasi (tidak dinilai baik-buruknya), sementara akhlak

merupakan syakhshiyah yang dievaluasi.

        Dalam literatur keislaman modern, term syakhshiyah telah banyak digunakan untuk

menggambarkan dan menilai kepribadian individu. Sebutan syakhshiyah al-muslim memiliki

arti kepribadian orang Islam. Pergeseran makna ini menunjukkan bahwa term syakhshiyah

telah menjadi kesepakatan umum untuk dijadikan sebagai padanan dari personality. Yusuf

Murad menyebut dua istilah yang terkait dengan kepribadian. Pertama, istilah al-syakhshiyah

al-iniyah atau al-syakhshiyah al-zatiyah untuk mendeskripsikan kepribadian yang tampak

dari perspektif diri sendiri; Kedua, istilah al-syakhshiyah al-maudhu’iyah atau al-

syakhshiyah al-khalq untuk mendeskripsikan kepribadian yang tampak dari perspektif orang

lain, sebab kepribadian individu menjadi objek penggambaran.

Term lain yang tidak kalah populernya adalah term akhlak. Secara etimologis, akhlak

berarti character, disposition dan moral constitution. Al-Gazali berpendapat bahwa manusia

Page 8: MEMBANGUN KUALITAS KEISLAMAN.doc

memiliki citra lahiriah yang disebut dengan khalq, dan citra bathiniyah yang disebut dengan

khulq. Khalq merupakan citra fisik manusia, sedang khulq merupakan citra psikis manusia.

Berdasarkan kategori ini, khulq secara etimologi memiliki arti gambaran atau kondisi

kejiwaan seseorang tanpa melibatkan unsur lahirnya.

        Al-Gazali lebih lanjut menjelaskan bahwa khulq adalah “suatu kondisi dalam jiwa yang

suci, dan dari kondisi itu tumbuh suatu aktivitas yang mudah dan gampang tanpa

memerlukan pemikiran dan pertimbangan terlebih dahulu”. Sedangkan Ibnu Miskawaih

mendefinisikan khulq dengan “suatu kondisi jiwa yang menyebabkan suatu aktivitas dengan

tanpa dipikirkan atau dipertimbangkan terlebih dahulu. Al-Jurjawiy mengemukakan bahwa

akhlak itu hanya mencakup kondisi batiniah, bukan kondisi lahiriah. Misalnya, orang yang

memiliki akhlak pelit bisa juga ia banyak mengeluarkan uangnya untuk kepentingan riya’,

boros, dan sombong. Sebaliknya, orang yang memiliki akhlak dermawan bisa jadi ia

menahan mengeluarkan uangnya demi kebaikan dan kemaslahatan.

        Apabila maksud jiwa dalam definisi akhlak di atas mencakup psikofisik, term khulq

dapat dijadikan sebagai padanan term personality. Namun, apabila maksud jiwa sebatas pada

kondisi batin term khulq tidak dapat dijadikan padanan personality, sebab personality

mencakup kepribadian lahir dan batin. Oleh karena ambiguitas makna ini maka diperlukan

definisi lain yang dapat mengcoper hakikat khulq sesungguhnya.

        Manshur Ali Rajab memberi batasan khulq dengan al-tab’u dan al-sajiyah.Tab’u

(karakter) adalah citra batin manusia yang menetap. Citra ini terdapat pada konstitusi

manusia yang diciptakan oleh Allah sejak lahir. Sedangkan sajiyah adalah kebiasaan manusia

yang berasal dari hasil integrasi antara karakter manusiawi dengan aktivitas-aktivitas yang

diusahakan. Kebiasaan ini ada yang teraktualisasi menjadi suatu tingkah laku lahiriah dan ada

juga yang masih terpendam.

        Menurut Muhammad ‘Imad Al-Din Ismail, terminologi akhlak dan syakhshiyah dalam

literatur klasik digunakan secara bergantian, karena memiliki makna satu. Namun dalam

literatur modern, keduanya dibedakan karena memiliki konotasi makna. Akhlak merupakan

usaha untuk mengevaluasi kepribadian, atau evaluasi sifat-sifat umum yang terdapat pada

perilaku pribadi dari sudut baik-buruk, kuat-lemah dan mulia-rendah. Sementara syakhshiyah

tidak terkait dengan diterima atau tidaknya suatu tingkah laku, sebab di dalamnya tidak ada

unsur-unsur evaluasi.

2. STUKTUR KEPRIBADIAN DALAM ISLAM

Page 9: MEMBANGUN KUALITAS KEISLAMAN.doc

        Struktur adalah “komposisi pengaturan bagian-bagian komponen, dan susunan suatu

kompleks keseluruhan”. James P.Chaplin mendefinisikan stuktur dengan “satu organisasi

permanen, pola atau kumpulan unsur-unsur yang bersifat relatif stabil, menetap dan abadi”.

Para psikolog menggunakan istilah ini untuk menunjukkan pada proses-proses yang memiliki

stabilitas. Struktur kepribadian memiliki arti “integrasi dari sifat-sifat dan sistem-sistem yang

menyusun kepribadian”. Atau lebih tepatnya “aspek-aspek kepribadian yang bersifat relatif

stabil, menetap, dan abadi serta merupakan unsur-unsur pokok pembentukan tingkah laku

individu.”

        Pada pengertian tersebut menunjukkan tiga elemen pokok, yaitu pertama, struktur

kepribadian adalah suatu komponen yang mesti ada dalam setiap pribadi, yang menentukan

konsep “kepribadian” sebenarnya; kedua, eksistensi struktur dalam kepribadian manusia

memiliki ciri relatif stabil, menetap dan abadi. Maksud dari ciri ini adalah bahwa secara

proses psikologis aspek-aspek yang terdapat pada kepribadian itu memiliki natur menetap

sesuai dengan irama dan pola perkembangannya. Secara potensial masing-masing aspek

kepribadian ini menetap dan tidak ada perubahan, tapi secara aktual aspek-aspek ini berubah

sesuai dengan lingkungan yang mempengaruhinya. Pola seperti ini merupakan ketantuan

yang ditetapkan oleh Tuhan; ketiga, kepribadian seseorang merupakan wujud konkret dan

aktualisasi dari proses integrasi sistem-sistem atau aspek-aspek struktur. Proses stuktur yang

bersifat psikologis (batiniah) terekspresi dalam pola-pola tingkah laku, seperti berpikir,

bertindak, berperasaan, dan sebagainya.

        Dalam Islam, penentuan struktur kepribadian tidak dapat terlepas dari pembahasan

substansi manusia, sebab dengan pembahasan substansi tersebut dapat diketahui hakikat dan

dinamika prosesnya. Substansi manusia terdiri atas jasad dan ruh. Masing-masing aspek yang

berbeda naturnya ini pada prinsipnya saling membutuhkan. Jasad tanpa ruh merupakan

substansi yang mati, sedang ruh tanpa jasad tidak dapat teraktualisasi. Karena saling

membutuhkan, diperlukan sinergi antara keduanya, yang dalam terminologi Psikologi Islam

disebut dengan nafs.

1. Substansi Jasmani

        Jasad (jisim) adalah substansi manusia yang terdiri atas struktur organisme fisik manusia

lebih sempurna dibanding dengan organisme fisik makhluk-makhluk lain. Setaip makhluk

biotik-lahiriah memiliki unsur material yang sama, yakni terbuat dari unsur tanah, api, udara,

dan air. Keempat unsur di atas merupakan materi yang abiotik (mati). Ia akan hidup jika

diberi energi kehidupan yang bersifat fisik (thaqah al-jismiyah). Energi kehidupan ini

lazimnya disebut dengan nyawa, karena nyawa manusia hidup. Ibnu Miskawih dan Abu Al-

Page 10: MEMBANGUN KUALITAS KEISLAMAN.doc

Hasan Al-Asy’ary menyebut energi tersebut dengan al-hayah (daya hidup), sedang Al-Gazali

menyebutnya dengan al-ruh jasmaniyah (ruh material). Dengan daya ini, jasad manusia dapat

bernapas, merasakan sakit,panas-dingin, pahit-manis, haus-lapar, seks dan sebagainya. Al-

hayat berbeda dengan al-ruh, sebab ia ada sejak adanya sel kelamin, sedang al-ruh menyatu

dalam tubuh manusia setelah embrio berusia empat bulan dalam kandungan. Ruh bersifat

substansi (jauhar) yang hanya dimiliki manusia, sedang nyawa merupakan sesuatu yang baru

(‘aradh) yang juga dimiliki oleh hewan.

2. Substansi Ruhani

        Ruh merupakan substansi psikis manusia yang menjadi esensi kehidupannya. Sebagian

ahli menyebut ruh sebagai badan halus (jisim lathif), ada yang substansi sederhana (jauhar

basith), dan ada juga substansi ruhani (jauhar ruhani). Ruh yang menjadi pembeda antara

esensi manusia dengan esensi makhluk lain. Ruh berbeda dengan spirit dalam terminologi

psikologi, sebab term ruh memiliki arti jauhar (subtance) sedang spirit lebih bersifat ‘aradh

(accident).

        Ruh adalah substansi yang memiliki natur tersendiri. Menurut Ibnu Sina, ruh adalah

kesempurnaan awal jisim alami manusia yang tinggi yang memiliki kehidupan dengan daya.

Sedang bagi A-Farabi, ruh berasal dari alam perintah (amar) yang mempunyai sifat berbeda

dengan jasad. Hal itu dikarenakan ia dari Allah, kendatipun ia tidak sama dengan zat-Nya.

Sedang menurut Al-Gazali, ruh ini merupakan latifah (sesuatu yang halus) yang bersifat

ruhani. Ia dapat berpikir, mengingat, mengetahui dan sebagainya. Ia juga sebagai penggerak

bagi keberadaan jasad manusia. Sifatnya gaib. Sedangkan Ibnu Rusyd memandang ruh

sebagai citra kesempurnaan awal bagi jasad alami yang organik. Kesempurnaan awal ini

karena ruh dapat dibedakan dengan kesempurnaan yang lain yang merupakan pelengkap

dirinya, seperti yang terdapat pada berbagai perbuatan. Sedangkan disebut organik karena ruh

menunjukkan jasad yang terdiri dari organ-organ.

        Fitrah ruh multidimensi yang tidak dibatasi ruang dan waktu. Ruh dapat keluar masuk

ke dalam tubuh manusia. Ruh hidup sebelum tubuh manusia ada (QS Al-A’raf (7):172, Al-

Ahzab(33):72). Kematian tubuh bukan berarti kematian ruh. Ruh masuk pada tubuh manusia

ketika tubuh tersebut siap menerimanya. Menurut hadis nabi, bahwa kesiapan itu ketika

manusia berusia empat bulan dalam kandungan. Pada saat inilah ruh berubah nama menjadi

al-nafs (gabungan antara ruh dan jasad).

        Di alam arwah (sebelum bersatunya ruh dengan jasad), sebagaimana QS Al-

A’raf(7):172, Allah swt, telah mengadakan perjanjian primordial dengan ruh,yang mana

perjanjian itu merupakan natur aslinya.

Page 11: MEMBANGUN KUALITAS KEISLAMAN.doc

        Pembahasan tentang ruh dibagi menjadi dua bagian: pertama, ruh yang berhubungan

dengan zatnya sendiri; dan kedua, ruh yang berhubungan dengan badan jasmani. Ruh yang

pertama disebut dengan al-munazzalah, sedang yang kedua disebut dengan al-garizah, atau

disebut dengan nafsaniah. Ruh al-munazzalah berkaitan dengan esensi asli ruh yang

diturunkan atau diberikan secara langsung dari Allah swt. kepada manusia. Ruh ini esensinya

tidak berubah, sebab jika berubah berarti berubah pula eksistensi manusia.

3. Substansi Nafsani

        Nafs dalam khazanah Islam memiliki banyak pengertian. Nafs dapat berarti jiwa, nyawa,

ruh, konasi yang berdaya syahwat dan gadhab, kepribadian,dan substansi psikofisik manusia.

Maksud nafs dalam bahasan ini adalah dalam pengertian yang terakhir. Pada substansi nafs

ini, komponen jasad dan ruh bergabung. Nafs adalah potensi jasad-ruhani (psikofisik)

manusia yang secara inhern telah ada sejak manusia siap menerimanya. Potensi ini terikat

dengan hukum yang bersifat jasadi-ruhani. Semua potensi yang terdapat pada nafs bersifat

potensial, tetapi dapat aktual jika manusia mengupayakan.

        Substansi nafs memiliki potensi garizah. Jika potensi garizah ini dikaitkan dengan

substansi jasad dan ruh, dapat dibagi menjadi tiga bagian;(1) al-qalb yang berhubungan

dengan rasa atau emosi;(2) al-aql yang berhubungan dengan cipta atau kognisi; dan (3) daya

al-nafs yang berhubungan dengan karsa atau konasi. Ketiga potensi tersebut merupakan

subsistem nafs manusia yang dapat membentuk kepribadian.

a. Qalbu

        Qalbu merupakan materi organik yang memiliki sistem kognisi yang berdaya emosi. Al-

Gazali secara tegas melihat qalbu dari dua aspek, yaitu qalbu jasmani dan qalbu ruhani.

Qalbu jasmani adalah daging sanubari yang berbentuk seperti jantung pisang yang terletak di

dalam dada sebelah kiri. Qalbu ini lazimnya disebut jantung (heart). Sedangkan qalbu ruhani

adalah sesuatu yang bersifat halus (lathif), rabbani, dan ruhani yang berhubungan dengan

qalbu jasmani. Bagian ini merupakan esensi manusia. Al-Gazali berpendapat bahwa qalbu ini

memiliki insting yang disebut dengan al-nur al-ilahiy(cahaya ketuhanan) dan al-bashirah al-

batinah (mata batin) yang memancarkan keimanan dan keyakinan.

b. Akal

        Secara etimologi, akal memiliki arti al-imsak (menahan), al-ribath (ikatan), al-hajr

(menahan), al-nahy (melarang), dan man’u (mencegah). Berdasarkan makna bahasa ini maka

yang disebut orang yang berakal (al-‘aqil) adalah orang yang mampu menahan dan mengikat

hawa nafsunya. Jika hawa nafsunya terikat jiwa rasionalitasnya mampu bereksistensi.

Page 12: MEMBANGUN KUALITAS KEISLAMAN.doc

        Akal merupakan organ tubuh yang terletak di kepala (lazimnya disebut dengan otak (al-

dimagh) yang memiliki cahaya (al-nur) nurani dan dipersiapkan dan mampu memperoleh

pengetahuan (al-ma’rifah) dan kognisi (al-mudrikat). Akal juga diartikan sebagai enegi yang

mampu memperoleh, menyimpan dan mengeluarkan pengetahuan. Akal mampu

mengantarkan manusia pada substansi humanistik (zat insaniyah). Atau potensi fitriah yang

memiliki daya-daya pembeda antara hal-hal yang baik dan yang buruk, yang berguna dan

yang membahayakan. Pengertian di atas dapat dipahami bahwa akal merupakan daya berpikir

manusia untuk memperoleh pengetahuan yang bersifat rasional dan dapat menentukan

eksistensi manusia.

c. Nafsu

        Nafsu adalah daya nafsani yang memilliki dua kekuatan, yaitu kekuatan al-ghadhabiyah

dan al-syahwaniyah. Al-ghadhab adalah suatu daya yang berpotensi untuk menghindari diri

dari segala yang membahayakan. Ghadhab dalam terminologi psikoanalisa disebut dengan

defence (pertahanan, pembelaan dan penjagaan), yaitu tingkah laku yang berusaha membela

atau melindungi ego terhadap kesalahan, kecemasan, dan rasa malu; perbuatan untuk

melindungi diri sendiri dan memanfaatkan dan merasionalisasikan perbuatannya sendiri. Al-

syahwat adalah suatu daya yang berpotensi untuk menginduksi diri dari segala yang

menyenangkan. Syahwat dalam terminologi psikologi disebut dengan appetite, yaitu suatu

hasrat (keinginan, birahi, hawa nafsu), motif atau impuls berdasarkan perubahan fisiologi.

       Prinsip kerja nafsu mengikuti prinsip kenikmatan (pleasure principle) dan berusaha

mengumbar impuls-impuls primitifnya. Apabila impuls-impuls ini tidak terpenuhi maka

terjadi ketegangan diri. Prinsip kerja nafsu ini memiliki kesamaan dengan prinsip kerja jiwa

binatang, baik binatang buas (al-subu’iyah), maupun binatang jinak (al-bahimiyah). Binatang

buas memiliki impuls agresif (menyerang), sedangkan binatang jinak memiliki impuls

seksual. Oleh karena prinsip inilah maka nafsu disebut juga fithrah hayawaniyah.

       Nafsu dalam terminologi psikologi lebih dikenal dengan sebuah konasi (daya karsa).

Konasi (kemauan) adalah bereaksi, berbuat, berusaha, berkemauan, dan berkehendak. Aspek

konasi kepribadian ditandai dengan tingkah laku yang bertujuan dan impuls untuk berbuat.

Nafsu menunjukkan struktur di bawah-sadar dari kepribdian manusia. Apabila manusia

mengumbar dominasi nafsunya maka kepribadiannya tidak akan mampu bereksistensi, baik

di dunia apalagi di akhirat. Manusia model ini memiliki kedudukan sama dengan binatang

bahkan lebih hina (Q.S Al-A’raf [7]:179).

Page 13: MEMBANGUN KUALITAS KEISLAMAN.doc

        Melalui pemetaan di atas, struktur kejiwaan manusia (nafsani) bersumber dari peran-

peran ruh dan jasad, dengan berbagai naturnya. Tingkatan kepribadian manusia sangat

tergantung kepada substansi mana yang lebih dominan menguasai dirinya.

3. DINAMIKA KEPRIBADIAN ISLAM

       Berdasarkan struktur di atas, kepribadian dalam Psikologi Islam adalah “integrasi sistem

kalbu, akal,dan nafsu manusia yang menimbulkan tingkah laku”. Meskipun defenisi ini amat

sederhana, namun memiliki konsep yang mendalam.

       Substansi nafsani manusia memiliki tiga daya, yaitu; (1) kalbu (fitrah ilahiyah) sebagai

aspek supra-kesadaran manusia yang memiliki daya emosi (rasa); (2) akal (fitrah insaniyah)

sebagai aspek kesadaran manusia yang memiliki daya kognisi (cipta); dan (3) nafsu ( fitrah

hayawaniyah) sebagai aspek pra atau bawah-kesadaran manusia yang memiliki daya konasi

(karsa). Ketiga komponen nafsani ini berintegrasi untuk mewujudkan suatu tingkah laku.

Kalbu memiliki kecenderungan natur ruh, nafs (daya syahwat dan gadhab) memiliki

kecenderungan pada natur jasad, sedang akal memiliki kecenderungan antara ruh dan jasad.

Dari sudut tingkatannya, kepribadian itu merupakan integrasi dari aspek-aspek supra-

kesadaran (fitrah ketuhanan), kesadaran (fitrah kemanusiaan), dan pra atau bawah-kesadaran

(fitrah kebinatangan). Sedang dari sudut fungsinya, kepribadian merupakan integrasi dari

daya-daya emosi, kognisi, dan konasi, yang terwujud dalam tingkah laku luar (berjalan,

berbicara, dan sebagainya) maupun tingkah laku dalam (pikiran, perasaan, dan sebagainya).

1. Kepribadian Ammarah (nafs al-ammarah)

        Kepribadian ammarah adalah kepribadian yang cenderung pada tabiat jasad dan

mengejar pada prinsip-prinsip kenikmatan. Ia menarik kalbu manusia untuk melakukan

perbuatan-perbuatan yang rendah sesuai dengan naluri primitifnya, sehingga ia merupakan

tempat dan sumber kejelekan dan tingkah laku yang tercela.

Firman Allah swt:ان النفس ألمارة بالسوء اال ما رحم ربى“Sesungguhnya nafsu itu selalu menyerukan pada perbuatan buruk, kecuali nafsu yang

diberi rahmat oleh Tuhanku (QS. Yusuf:53)”

       Kepribadian ammarah adalah kepribadian di bawah sadar manusia. Barangsiapa yang

berkepribadian ini maka sesungguhnya ia tidak lagi memiliki identitas manusia, sebab sifat-

sifat humanitasnya telah hilang. Kepribadian model ini rela menurunkan derajat asli manusia.

Page 14: MEMBANGUN KUALITAS KEISLAMAN.doc

Manusia yang berkepribadian ammarah tidak saja dapat merusak dirinya sendiri, tetapi juga

merusak diri orang lain. Keberadaannya ditentukan oleh dua daya, yaitu (1) daya syahwat

yang selalu menginginkan birahi, kesukaan diri, ingin tahu dan campur tangan urusan orang

lain, dan sebagainya; (2) daya gadhab yang selalu menginginkan tamak, serakah, mencekal,

berkelahi, ingin menguasai yang lain, keras kepala, sombong, angkuh, dan sebagainya. Jadi

orentasi kepribadian ammarah adalah mengikuti sifat-sifat binatang.

2. Kepribadian lawwamah (nafs al-lawwamah)

        Kepribadian lawwamah adalah kepribadian yang telah memperoleh cahaya kalbu, lalu ia

bangkit untuk memperbaiki kebimbangannya antara dua hal. Dalam upayanya itu kadang-

kadang tumbuh perbuatan yang buruk yang disebabkan oleh watak zulmaniyah (gelap)-nya

namun kemudian ia di diingatkan oleh nur ilahi, sehingga ia mencela perbuatannya dan

selanjutnya ia bertaubat dan beristigfar. Hal itu dapat dipahami bahwa kepribadian

lawwamah berada dalam kebimbangan antara kepribadian ammarah dan kepribadian

muthmainnah Firman Allah swt:

 وال اقسم بالنفس اللوامة

   “Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali ( QS.al-Qiyamah:2)

       Kepribadian lawwamah merupakan kepribadian yang didominasi oleh komponen akal.

Sebagai komponen yang bernatur insaniah, akal mengikuti prinsip kerja rasionalistik dan

realistik yang membawa manusia pada tingkat kesadaran. Apabila sistem kendalinya

berfungsi maka ia mampu mencapai puncaknya seperti berpaham rasionalisme. Rasionalisme

banyak dikembangkan oleh kaum humanis yang mengorentasikan pola pikirnya pada

kekuatan serba manusia, sehingga sifatnya antroposentris.

       Oleh karena kedudukan yang tidak stabil ini maka Ibnu Qayyim al-Jauziyah membagi

kepribadian lawwamah menjadi dua bagian, yaitu: (1) Kepribadian lawwamah malumah,

yaitu kepribadian lawwamah yang bodoh dan zalim; (2) Kepribadian lawwamah ghayr

malumah, yaitu kepribadian yang mencela atas perbuatannya yang buruk dan berusaha untuk

memperbaikinya.

3. Kepribadian Muthmainnah (nafs al-Muthmainnah)

        Kepribadian muthmainnah adalah kepribadian yang telah diberi kesempurnaan nur

kalbu, sehingga dapat meninggalkan sifat-sifat tercela dan tumbuh sifat-sifat yang baik.

Kepribadian ini selalu berorentasi ke komponen kalbu untuk mendapatkan kesucian dan

menghilangkan segala kotoran, sehingga dirinya menjadi tenang. Begitu tenangnya

kepribadian ini sehingga ia dipanggil oleh Allah swt:

Page 15: MEMBANGUN KUALITAS KEISLAMAN.doc

ياأيتهاالنفس المطمئنة-ارجعى الى ربك راضية مرضية Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya

(QS.al-Fajr: 27-28)

       Kepribadian mutmainnah bersumber dari kalbu manusia. Sebab hanya kalbu yang

mampu merasakan tuma’ninah (QS.Al-Ra’d:28), sebagai komponen yang bernatur ilahiah,

kalbu selalu cenderung pada ketenangan dalam beribadah, mencintai, bertaubat, bertawakkal,

dan mencari ridha Allah swt. Orientasi kepribadian ini adalah teosentris (QS.al-Nazi’at: 40-

41).

       Kepribadian mutmainnah merupakan kepribadian atas-sadar atau supra-kesadaran

manusia. Dikatakan demikian sebab kepribadian ini merasa tenang dalam menerima

keyakinan fitriah. Keyakinan fitriah adalah keyakinan yang dihujamkan pada ruh manusia

(fitrah al-munazzalah) di alam arwah dan kemudian dilegitimasi oleh wahyu ilahi.

Penerimaan ini tidak bimbang apalagi ragu-ragu seperti yang dialami oleh kepribadian

lawwamah, tetapi penuh keyakinan. Oleh sebab itu ia terbiasa menggunakan metode zawq

(cita-rasa) dan ‘ain albashirah (mata batin) dalam menerima sesuatu sehingga ia mersa yakin

dan tenang. Al-Gazali menyatakan bahwa daya kalbu (yang mendominasi kepribadian

mutmainnah) mampu mencapai pengetahuan (ma’rifah) melalui daya cita-rasa (zawq) dan

kasyf (terbukanya tabir misteri yang menghalangi penglihatan batin manusia)

       Kepribadian mutmainnah berbentuk enam kompotensi keimanan,lima kompotensi

keislaman, dan multi kompotensi keihsanan. Aktualisasi bentuk-bentuk ini dimotivasi oleh

energi psikis yang disebut dengan amanah  yang dihujamkan Allah swt. Di alam arwah (ruh

al-Munazzalah). Realisasi amanah selain berfungsi memenuhi kebutuhan juga melaksanakan

kewajiban jiwa. Dikatakan kebutuhan sebab jika tidak direalisasikan maka mengakibatkan

kecemasan, kegelisahan, dan ketegangan, dan dikatakan kewajiban sebab pelaksanaannya

telah diatur sedemikian rupa oleh Tuhan.