108

Melawan Dengan Cinta

Embed Size (px)

DESCRIPTION

melawan

Citation preview

Page 1: Melawan Dengan Cinta
Page 2: Melawan Dengan Cinta

“...karena kemenangan Islam adalah niscaya,

tetapi ianya bukanlah hadiah percuma,

ia yang harus ditebus;

dengan berlinang airmata, bercucur keringat,

bersimbah darah, bahkan berpisahnya ruh dengan raga.”

~ MELAWAN DENGAN CINTA ~

Abay Abu Hamzah

Page 3: Melawan Dengan Cinta

Untuk Kalian

Untuk Noor Yenni, atas berjuta inspirasi, atas setiap pelajaran di sepanjang perjalanan kita.

Untuk Salim Abdurrahman, atas diskusi yang ditemani lilin dan sebotol air mineral

Untuk adik-adik di Komunitas Gugah Jiwa, Amin, Hendra, Hairan, Fadlan, Amri, Dyah,

Maria, Erna. Buku ini kakak tulis untuk kalian, dan karena kalian.

Untuk anak-anak Mymaticz dan IslamSatu, bumi ini menunggu peranmu, adik-adik hebat!

Untuk siswa-siswi tercinta, 8G SMPN 6 Banjarmasin 2009: Anggi, Anna, Nurul, Mia, Feli,

Sarah, Dinda, Iong, Gusti, Erdian, Dedy, Eric, dan lainnya yang tidak bisa kusebutkan satu

persatu.

Untuk Ustadz Fadli Ramadhan, SE, seorang penguasaha terkenal dan da’i muda tahun 2020,

atas bantuan yang demikian berharga untuk terbitnya buku kecil ini. Salam untuk keluarga

besar Pondok Samara 2.

Untuk adik-adik manisku, Amalia Rismawati, Maulida Wulandari, Muhammad Syawwal

Rafiqi, dan Muhammad Nazar Ridhani.

Untuk guru-guru yang menempa diriku, Ustadz Agung, ustadz Wahyudi, Ustadz Agus,

Ustadz Yusuf, Ustadz Fadli, Ustadzah Fitri, Bu Kamal, Pa Maksudi, Bu Fajriyah, Bu Ati, Bu

Akmil, serta guru lainnya yang tidak bisa kutuliskan satu persatu. Bukan lupa, hanya saja

halaman ini terlalu sempit untuk menyebutkan nama kalian semua.

***

Untuk dua permata hatiku;

Muhammad Nawfa Hamzah

dan Muhammad Alif Alfatih,

Cepatlah besar nak.

Page 4: Melawan Dengan Cinta

Liuk-liuk ar-Rayah tengah merindukan kalian,

Agar kalian segera menggenggam dan mendekapnya erat,

Kemudian mengibarkannya dengan penuh keagungan

Di ujung tertinggi di bumi ini.

***

Untuk kalian semua, buku ini kupersembahkan.

- MELAWAN DENGAN CINTA -

***

Page 5: Melawan Dengan Cinta

SETELAH MENGGENGGAM BARA ISLAM

(Sebuah Pengantar)

Apa kabar? Selamat berjumpa kembali. Tak terasa, detik bergulir begitu cepat. Sudah

beberapa bulan lamanya kita berpisah sejak persuaan kita di buku Menggenggam Bara Islam

(MBI). Ah, rasanya kita sudah saling mengenal cukup akrab di perjumpaan itu. Meski

perjumpaan kita hanya melalui lembaran-lembaran kertas tak bernyawa, itu semua tetap tidak

akan menjadi penghalang bersatunya cinta dua orang mukmin, karena Allah.

Pertemuan kita beberapa waktu yang lalu di buku MBI, semoga memberikan kesan yang

mendalam, di hati kalian, di hati saya. AlhamduliLlah jika buku tak bernyawa tersebut

mampu memberikan manfaat kecilnya kepada sahabat di manapun berada. Pernah ada

seorang sahabat saya dari Jakarta yang mengapresiasi buku MBI tersebut dengan kalimat,

”Langsung jatuh cinta pada pandangan pertama dengan karya-karya Abay Abu Hamzah.”

Setelah berdiskusi panjang dengannya, akhhirnya saya tahu penyebab ‘jatuh cinta’-nya pada

buku MBI. Dia adalah seorang mu’allaf yang baru beberapa waktu berislam. Dan

pembahasan saya di genggam pertama: Sekokoh Karang, memiliki kesan yang mendalam

bagi dia. Masih ingat di bagian itu kita berbicara tentang apa? Ya, tentang akidah Islam yang

anti doktrinasi. Tentang akidah Islam yang bisa dipertanggungjawabkan secara akal. Di saat

yang sama, di bagian itu kita juga menghantam rapuhnya akidah yang penuh doktrin, atau

hanya sekedar karena keturunan. Itulah yang berkesan baginya. Semoga pembuktian kita

akan kebenaran Islam mampu mengokohkan keimanan kita semua. Aamiin.

Ada lagi apresiasi lain dari seorang akhawat yang saya kenal baik,“SubhanaLlah, rasanya tak

ingin berhenti mengikuti alirannya yang begitu lembut, tak terasa sudah berada di

penghujung buku. Semoga bermanfaat untuk Islam dan kaum Muslimin.”

Tentu saja mata saya berbinar mendengar apresiasi positif tersebut. Tetapi itu tidak akan

mengubah apa-apa. Karena seindah apapun lantunan pujian yang dinyanyikan pada kita, ia

tetap tidak menambah nilai pahala kita. Pujian tersebut tidak akan menjadikan kita lebih

mulia daripada sebelumnya. Dan yang terpenting, pujian itu tidak akan hadir menemani kita

Page 6: Melawan Dengan Cinta

di saat paling menentukan itu, di padang mahsyar. Apakah pujian itu akan membela kita di

sana? Hadir saja belum tentu.

Berhati-hatilah terhadap sanjung puji.

Karena mengharapkan sanjung puji,

hanya ada di hati orang yang tak terpuji.

(Thufail al-Ghifary)

Sekarang, mari kita lihat betapa nikmatnya sebuah kritik. Tak terlalu penting lagi bagi kita,

apakah kritik itu ditujukan untuk membangun atau untuk menjatuhkan. Juga, tak terlalu

penting bagi kita, apakah kritik itu disampaikan dengan ma’ruf ataupun dengan cara yang

menyisakan perih seketika. Karena bagi kita, kritik, bagaimanapun itu, adalah tempat kita

bercermin.

Maka jika ada cermin yang menunjukkan kekurangan kita, yang dengan itu kita bisa

berbenah, kenapa kita tidak mensyukurinya? Tak terlalu penting, apakah kita memang

sengaja bercermin, atau dipaksa bercermin. Tak terlalu penting, apakah kita sedang

bercermin di kamar seorang diri, atau kita sedang berada di sebuah lapangan sepakbola.

Tentu kita akan senang, di saat kita sedang menghadiri walimah saudara kita, tiba-tiba ada

cermin di tempat ramai itu, dan darinya kita bisa berbenah diri.

Cermin tidak membuat kita jadi memiliki kekurangan. Ia hanya memperlihatkan pada kita

tentang kekurangan kita yang memang sudah ada. Artinya, diperlihatkan kepada kita ataupun

tidak, kita tetap akan memiliki kekurangan itu. Yang berbeda adalah, jika diperlihatkan

kepada kita, kita akan menyadarinya, dan dengan itu kita berbenah. Sedangkan ketika

kekurangan itu tidak diperlihatkan kepada kita, kita menjadi merasa tak sedikitpun memiliki

kekurangan, lalu bagaimana ingin berbenah?

Itulah yang saya rasakan beberapa bulan terakhir ini. Saya menunggu cermin-cermin yang

dengan ikhlas dan tulus bersedia menunjukkan kekurangan saya dan buku saya tersebut.

Beruntung. Lagi-lagi doa saya berjawab. Allah memberikan saya kesempatan untuk

Page 7: Melawan Dengan Cinta

berdiskusi dengan beberapa orang kawan, kadang dengan perjumpaan langsung, kadang

hanya melalui piranti-piranti komunikasi yang bisa saya akses, yaitu handphone dan internet.

SubhanaLlah, melalui perbincangan dengan merekalah saya menyadari letak kekurangan

buku MBI. Bukan berarti selama ini saya tidak sadar bahwa MBI memiliki kekurangan. Saya

menyadari bahwa MBI adalah karya manusia, tentu saja memiliki banyak sekali kekurangan.

Hanya saja, scanner saya tidak dapat memindainya sendiri. Maka, koreksi dari kawan-kawanlah

yang berhasil memindainya dan kemudian menunjukkannya pada saya. Jazakallah kepada

kalian semua yang peduli. Semoga Allah membalas segala kebaikan kalian dengan yang

berkali lipat. Meski kadang ’bayangan di cermin’ itu membuat perih, tetap saja ia sangat

bermanfaat dalam menyempurnakan karya kecil seorang anak manusia ini.

Di antara semua koreksi itu, ada satu hal yang nampaknya perlu saya sikapi dengan serius,

yaitu ketidaktuntasan pembahasan tentang dakwah di genggam kedua: Kebenaran Tak

Pernah Membisu. Bagi sahabat pembaca yang sudah berkesempatan membaca buku saya

tersebut, insyaaLlah masih ingat bahwa pembahasan itu adalah pembahasan tentang dakwah.

Ya, dakwah.

Meski pembahasan tersebut tentang dakwah, tapi saya tidak sempat menjelaskannya secara

utuh, karena memang buku Menggenggam Bara Islam bukan buku tentang dakwah. Ia adalah

buku yang saya dedikasikan untuk membangun karakter umum seorang Muslim yang sejati.

Karena tujuannya umum, harap maklum jika saya tidak menyajikan semuanya secara rinci.

Hanya satu pembahasan di buku itu yang saya sajikan secara cukup rinci, yaitu Genggam

Pertama: Sekokoh Karang. Saya tidak berani mengambil risiko untuk menuliskannya secara

singkat. Pembahasan itu adalah pembahasan keimanan, jika saya tidak tuntas dalam

menyajikannya, betapa berbahayanya tulisan saya terhadap akidah pembaca. Sedangkan

pembahasan tentang dakwah, saya rasa masih bisa disampaikan secara umum saja. Target

dari pembahasan di Genggam Kedua itu memang untuk sekedar menyadarkan saya dan

pembaca, bahwa kita tak punya pilihan lain dalam menjadi Muslim, selain terus mempelajari,

mengamalkan, dan menyebarkannya.

Page 8: Melawan Dengan Cinta

Nah, dalam menyebarkan Islam yang kita yakini ini, ternyata banyak sekali hal yang harus kita

perhatikan, dan itu tidak sempat saya sajikan dalam buku Menggenggam Bara Islam. Insya

Allah, buku ini adalah bentuk pertanggung-jawaban saya untuk memperinci pembahasan

yang terputus di buku itu. Semoga bermanfaat.

Tetapi afwan. Lagi-lagi perjumpaan kita tak akan lama. Ingin sekali sebenarnya, saya

berbincang dengan kalian tentang segala jenis da’wah dan di’ayah. Baik tentang hukum-

hukumnya, ushlub-ushlubnya, berbagi cerita tentang pengalaman dakwah yang pernah kita

jalani, tentang dakwah fardiyah, dakwah jama’i, menggarap sebuah acara dakwah. Banyak

sekali yang harus kita bicarakan jika menyebut kata dakwah. Karena itulah buku ini saya

rencanakan berseri. Di setiap serinya, kita akan berbincang lebih spesifik lagi tentang dakwah.

Selamat menyusuri setiap sususan huruf, rangkaian kata, serta alunan kalimat yang saya

sajikan di lembar-lembar berikutnya. Semoga buku kecil ini bermanfaat, dan – seperti kata

isteri saya di halaman endorsement buku MBI – semoga membakar!.

Page 9: Melawan Dengan Cinta

MELAWAN DENGAN CINTA

Untuk Kalian

Setelah Menggenggam Bara Islam (Sebuah Pendahuluan)

Awalnya: Wanita Berjuta Inspirasi

Daftar Isi

Keping Pertama: CINTA

• Memula

• Dengan Cinta

• Menyala

Keping Kedua: KATA

• Sebelum ‘Bertempur’

• Saat ‘Pertempuran’ Tiba

Keping Ketiga: NYATA

• Menyentuh Hati

• Mengikat Hati

• Menyeberangkan Keyakinan

• Menggerakan

Akhirnya: Mari Warnai Bumi!

Page 10: Melawan Dengan Cinta

AWALNYA:

UNTUK WANITA BERJUTA INSPIRASI

***

untuk wanita berjuta inspirasi.

yang selalu menyambutku dengan senyum termanisnya

di setiap awal pagi.

noor yenni ummu hamzah.

***

Suatu sore, saya menyempatkan diri berkeliling Banjarmasin bersama isteri dan anak-anak.

Dengan sepeda motor yang selalu menemani kemana pergi, kami menyusuri tempat-tempat

kesukaan kami di Banjarmasin.

Di perjalanan pulang, kami melewati sebuah acara konser musik yang diselenggarakan di

halaman gedung kesenian. Melihat para remaja yang bercampur-baur antara laki-laki dan

perempuan, serta aurat yang bertebaran, saya tak bisa menahan diri. Sebuah teriakan kasar

akhirnya meluncur begitu saja dari mulut saya yang emosi. Saya begitu geram melihat

kejadian itu. Seolah mereka tak akan pernah mati saja. Seolah mereka akan terus muda

selamanya. Seolah mereka tak pernah sadar bahwa neraka itu benar-benar menyala. Seolah

mereka tak ingat bahwa segala perbuatan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.

Seolah mereka tak tahu, bahwa jika maut memanggil, kesempatan bertaubat sudah tak lagi

ada. Geraham saya menggeretuk.

Sepanjang perjalanan pulang, saya tak bisa menahan kemarahan. Entah kenapa, kalimat-

kalimat hujatan mengalir begitu deras dari lisan saya. Tetapi saya heran, tak sekalipun isteri

saya menanggapi perkataan saya. Luapan kemarahan saya tak berjawab. Sepanjang perjalanan

pulang isteri saya tak mengucapkan kata sepatahpun, bahkan untuk sekedar gumam tanda

setuju.

Page 11: Melawan Dengan Cinta

Sesampai di rumah, saya baru tahu kenapa isteri saya tak sekalipun menanggapi kemarahan

saya terhadap para remaja yang keterlaluan itu. Wajahnya basah oleh linangan air mata.

Dengan perasaan bersalah, saya tanyakan sebab tangisnya. Apakah karena ada perkataan saya

yang melukainya? Apakah ada sikap saya yang menyakitinya? Ternyata tidak. Dia justeru

menjawabnya dengan sebuah kalimat tulus yang membuat saya terdiam seketika itu juga.

”Umi sedih, mereka itu saudara Umi. Umi kasihan sama mereka. Mungkin mereka tidak tahu

bahwa yang mereka lakukan itu dosa. Umi kasihan sama mereka, mereka berhak

mendapatkan dakwah, tetapi umi belum menunaikan hak mereka. Umi sedih, umi ga mau

mereka hancur...”

Sungguh, akhwat yang saya nikahi beberapa tahun lalu itu, telah mengajarkan saya satu hal

yang luar biasa: Cinta. Selama ini saya terlalu sering mengatakan bahwa dakwah adalah tanda

cinta, tapi tak sekalipun kalimat itu mewujud dalam tindakan saya. Saya malu pada isteri saya.

Dan saya bangga menikahinya.

Buku ini saya dedikasikan untuknya.. Sebagai ucapan terimakasih saya atas setiap diskusi di

sepanjang perjalanan bersepeda motor. Atas berjuta inspirasi. Atas setiap obrolan ringan di

sela menonton televisi bersama. Atas segala pelajaran berharga, yang diberikannya tanpa kata,

melainkan dengan tindakan nyata.

***

MELAWAN DENGAN CINTA

Saya sangat khawatir jika apa yang saya tulis di sini tidak mampu menjadi solusi bagi

kesulitan kawan-kawan semua dalam menyampaikan dakwah. Kekhawatiran itulah yang

sering menghentikan tarian jemari saya di atas keyboard. Seringkali saya merenung,

membolak-balik draft buku MDC ini, membersamai beberapa aktivitas dakwah di

kampus, dan juga berbincang hangat tentangnya bersama kawan-kawan saya. Sehingga,

buku yang kini antum genggam, mengalami beberapa kali proses perombakan sebelum

pencetakannya. Awalnya saya ingin menyajikannya dalam lebih dari enam Bab,

Page 12: Melawan Dengan Cinta

kemudian saya susutkan menjadi lima Bab, terakhir saya mantapkan menjadi empat Bab.

Bukan memperhitungkan jumlah halaman yang terlalu tebal, tetapi saya khawatir

kesannya bias jika saya kupas terlalu melebar. Lebih dari itu, saya takut jika target

penulisan buku ini tidak tercapai jika disajikan dalam formulasi yang kurang tepat.

Dan buku yang antum genggam ini, adalah formulasi terakhir dari hasil perenungan saya.

Ada tiga bab di dalamnya. Saya menamakan masing-masing bab dengan sebutan keping.

Dan pada setiap kepingnya, saya pecah lagi dalam beberapa bagian. Bukan untuk

membuat ribet, hanya untuk mempertegas poin-poin pembahasan saja.

Nah, sahabat semua. Agar antum bisa lebih terarah dalam mengikuti perbincangan kita di

buku ini, ada baiknya jika antum selalu melihat peta perjalanan kita. Ini dia.

Keping Pertama: CINTA

Jika kita merasakan jengah dengan dakwah egois, muak dengan dakwah yang sporadis, atau

sebal dengan dakwah yang membawa kebencian dalam menebar kebenaran, MELAWAN

DENGAN CINTA perlu kita renungkan. Di sini, kita akan banyak berbincang tentang

dakwah dan cinta.

Keping Kedua: KATA

Jika kita terbata ketika menuturkan kebenaran, gemetar setiap berdiri di hadapan, atau tidak

mampu menyusun kata untuk mengguncang kesadaran, MELAWAN DENGAN CINTA

sangat kita perlukan. Ada banyak cerita teruntai, tentang retorika Nabi, tentang pengalaman

orang-orang panggung, ataupun teori-teori komunikasi, yang akan menuntun kita menjadi

seorang penutur kebenaran yang mampu menggugah manusia dengan untaian kata dan

tatapan mata.

Keping Ketiga: NYATA

Jika dalam keseharian, kita sering kebingungan menghadapi obyek-obyek dakwah, bagaimana

menyentuh hatinya, bagaimana mengikat jiwa, dan bagaimana menggerakkannya,

MELAWAN DENGAN CINTA layak kita jadikan teman duduk. Di dalamnya tersaji

berbagai kisah RasuluLlah, para shahabatnya, maupun kisah keseharian kita., tentang dakwah

Page 13: Melawan Dengan Cinta

yang tak terlalu memerlukan kata, dakwah yang lebih fokus pada amal-amal nyata dalam

keseharian kita.

Semoga Allah menaburkan manfaat pada buku kecil ini. Semoga buku Melawan Dengan

Cinta ini hadir di saat yang tepat, pada orang yang tepat, dan dengan cara yang tepat. Agar

dengan itu, saya berharap, sesiapa yang membaca buku ini akan terbakar, menjadi seorang

pemuda Muslim yang tidak ada lain di alam pikirannya, kecuali tertegaknya Islam dengan

sempurna.

Banjarmasin, 10 Desember 2009

Sahabatmu,

Abay Abu Hamzah.

dengan cinta yang membadai

Page 14: Melawan Dengan Cinta

KEPING PERTAMA

CINTA ***

Ia adalah sebuah kata yang begitu dekat dengan kita.

Ia adalah emosi yang paling kuat dorongannya terhadap segala gerik kita. Kadang ia hadir tanpa membawa nama, tetapi kita sudah bisa mengenalinya, cinta.

Maka biarkanlah cinta itu bergerak melaju menuntun langkah kita untuk menebar cahaya

karena dakwah adalah cinta dalam wujud yang nyata kepada Allah, kepada Rasulnya, dan kepada semesta.

***

Page 15: Melawan Dengan Cinta

1

MEMULA

DIAM, UNTUNG, RUGI?

Dulu saya berpikir, jika saya diam, maka diamnya saya tidak akan menguntungkan siapapun,

sekaligus tidak merugikan siapapun. Tidak akan ada manfaat dengan diamnya saya, juga tidak

ada mudharat yang ditimbulkannya. Tidak ada pahala yang didapat, juga tidak ada dosa yang

diperbuat. Ya, bagi saya ketika itu, diam tidak akan menyebabkan apa-apa. Diam bukanlah

sebuah kejahatan.

Sampai kemudian saya merenungkan dua ayat singkat dalam surah at-Tiin berikut ini:

ôâs)s9 $ uZø)n=y{ z̀ » |¡SM}$# þí Îû Ç |̀¡ôm r& 5OÉÈqø)s? ÇÍÈ ¢OèO çm»tR ÷ä yä uë ü@ xÿóô r& tû, Î# Ïÿ» yô ÇÎÈ

“Sesungguhnya, Kami benar-benar telah menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk.

Kemudian kami lembarkan mereka ke dalam tempat yang serendah-rendahnya.” (TQS At-Tiin:

4 – 5)

Betapa indah alunan yang dirangkai Allah dalam dua ayat tersebut. Indah didengar, tetapi

mengguncang dada. Allah bertutur pada kita mengenai kondisi kita yang telah diciptakan

dalam bentuk terindah. Semua manusia, tanpa kecuali. Lalu, setelah semua manusia

diciptakan Allah dalam bentuk yang terbaik, maka semuanya Allah hempaskan ke dalam

tempat yang hina. Ya semuanya. Artinya secara umum manusia akan mengalami dua keadaan

itu; diciptakan dalam bentuk terbaik, kemudian dihempaskan ke tempat yang hina.

Semuanya.

ûwÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏHxå ur ÏM» ys Î=»¢Á9 $# óOßgn=sù íç ô_r& çéöçxî 5bq ãYøÿ xE ÇÏÈ

“Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih, maka bagi mereka balasan yang tak

pernah putus.” (TQS. At-Tiin: 60)

Page 16: Melawan Dengan Cinta

Tetapi pada ayat berikutnya Allah memberikan pengecualian, yaitu orang-orang yang beriman

dan beramal shalih. Ya, hanya merekalah orang-orang yang tidak akan dihempaskan setelah

diciptakan dengan sempurna.

Sahabat semuanya. Saya mohon maaf sebelumnya. Belum apa-apa sudah bedah ayat. Padahal

biasanya orang menyajikan pembuka yang enak-enak, yang santai-santai. Saya malah

mengajak kalian semua berpikir keras untuk merenungkan makna tiga ayat dalam surah At-

Tiin itu. Afwan ya. Bukan maksud saya mengajak kalian mumet pagi-pagi. Tapi insyaaLlah,

pembahasan berat di awal ini justeru akan meringankan pembahasan kita di lembar-lembar

berikutnya.

Buku ini saya beri judul Melawan Dengan Cinta, di sini kita akan banyak berbincang tentang

dakwah. Tetapi apa hubungannya dakwah dengan ketiga ayat pertengahan surah At-Tiin ini?

Bukankah ayat 4, 5 dan 6 surah tersebut bercerita tentang penciptaan manusia dan tentang

keimanan?

Nah, mari kita renungkan. Semua manusia telah diciptakan dalam sebaik bentuk. Bentuk

yang mulia. Ayat ini memposisikan kita pada derajat yang tinggi. Tetapi setelah itu Allah

menghempaskan kita ke dalam tempat yang serendah-rendahnya. Secara otomatis. Artinya,

kecenderungan manusia sebenarnya adalah menjadi hina. Sebenarnya secara otomatis

manusia akan dilemparkan ke dalam tempat yang sehina-hinanya. Semuanya. Ya, semuanya.

Karena secara umum akan melalui tahapan itu(diciptakan sempurna – dilemparkan), maka

tak perlu berbuat apa-apa pun kita pasti akan hina. Sebagaimana orang yang berada di air

terjun yang deras, maka kecenderungan terbesarnya adalah hanyut terjatuh. Tak perlu

berenang ke bawah, diam pun kita pasti akan terjatuh, secara otomatis. Illa, kecuali. Kecuali

orang-orang yang bergerak melawan arus deras itu, kemudian segera mencari pegangan

kokoh, lalu dia terus berpegang seraya bergerak menuju tepian. Maka orang-orang seperti

inilah yang akan selamat. Diam? Hanyut!

Begitupula dalam menjalani arus kehidupan yang begitu deras ini. Manusia yang diciptakan

dalam sebaik-baik bentuk, memiliki kecenderungan yang besar untuk ’hanyut’ dan ’jatuh’ ke

Page 17: Melawan Dengan Cinta

lembah nista. Tak perlu berbuat maksiat. Diam pun pasti kita akan jatuh ke dalam kehinaan.

Sebagimana kalam Allah dalam dalam surah At-Tiin ayat 4 dan 5 tersebut. Secara otomatis

kita diciptakan dalam sebaik bentuk, dan secara otomatis pula kita akan dilemparkan ke

tempat yang sehina-hinanya. Illa, kecuali. Kecuali orang yang beriman dan beramal shalih,

maka mereka tidak akan ikut hanyut dalam arus deras itu. Orang beriman dan beramal shalih

laksana orang yang bergerak melawan arus, kemudian mencari tempat untuk berpegang, lalu

bergerak merapat ke tepian. Ya, merekalah yang akan selamat, yang akan tetap berada dalam

kondisi semula; sebaik-baik bentuk. Tetapi orang yang diam saja, yang tak bergerak, yang tak

berpegang, merekalah orang yang akan hanyut, jatuh dari tempat mulia menuju tempat yang

paling hina.

Njlimet ya? Afwan. Bukan maksud saya membahasnya dengan ribet. Tapi itu murni karena

kelemahan saya dalam menyederhanakannya. Jika ada yang bersedia menyederhanakan

kalimat saya di beberapa paragraf yang lewat, saya sangat berterimakasih.

Kesimpulan saya sebenarnya sederhana. Kita adalah makhluq terindah. Jika kita diam, maka

kita akan dilemparkan Allah ke dalam tempat yang serendah-rendahnya. Dan untuk tetap

bertahan di tempat terindah ini, maka kita tidak boleh diam, kita harus beriman dan

melakukan amal-amal shalih. insyaaLlah.

Lalu, setelah penjelasan yang cukup memusingkan itu, apakah kita masih berpikir bahwa

diam tidak memberi mudharat? Apakah kita masih berpikir bahwa tidak melakukan apa-apa

berarti tidak menyebabkan apa-apa?

DIAMLAH, MAKA KALAH!

”Satu-satunya cara untuk membuat kejahatan menang adalah,

orang baik tidak usah berbuat apa-apa!”

(Edmund Burke)

Lagi-lagi saya terhentak. Surah At-Tiin ayat 4 - 6 telah menghentak kesadaran saya bahwa

diam berarti hanyut. Kini Edmund Burke (saya tidak tahu dia ini siapa, tetapi saya temukan

Page 18: Melawan Dengan Cinta

kalimatnya di salah satu buku, dan kalimatnya membekas di hati saya, maka saya kutipkan di

sini untuk kalian semua), ia juga menghentak kesadaran saya bahwa diam berarti kalah.

Bayangkan, berapa jam sehari kita tidur? Misalnya, delapan jam. Dan memang begitulah pola

tidur sehat yang diajarkan pada kita sejak kecil. Pola tidur sehat itu ditebarkan oleh Barat

untuk kita, kaum Muslimin. Tentu kita bisa menebak maksudnya kan? Mari kita sadari bahwa

delapan jam adalah sepertiga dari duapuluh empat jam. Ya, sepertiga hari kita habiskan untuk

tidur. Jika usia kita 60 tahun (begitu biasanya para trainer memisalkan), maka dari 60 tahun

itu, 20 tahunnya hanya kita gunakan untuk tidur! Begh!

Oiya, sebelumnya harus diingat juga bahwa tidur berarti diam. Maka, ketika delapan jam

sehari kita tidur, itu sama artinya kita telah diam selama delapan jam perhari. Apa salahnya?

Tentu saja secara syar’i tidak ada dalil yang mengharamkan tidur. Sayang saja sih, tidak

produktif. Apakah musuh-musuh Islam yang menebarkan pola tidur sehat itu benar-benar

tidur delapan jam dalam sehari? Tidak. Saat kita tidur itulah mereka bangun untuk bergerak.

Mereka memikirkan berbagai macam cara berikutnya untuk semakin melemahkan kita.

Mereka membuat film, membuat video klip, membuat majalah-majalah, membuat lirik-lirik

lagu, membuat sinetron, menulis buku, dan lain sebagainya. Untuk apa mereka melakukan itu

semua? Untuk membuat kita semakin tidak produktif lagi.

Bayangkan kawan. Dalam sehari kita sudah ’dipaksa’ tidur delapan jam. Ternyata, pas kita

bangun, kita juga dilenakan dengan perkara-perkara yang tidak bermanfaat, bahkan

menjerumuskan. Setelah bangun tidur, kita segera dihadapkan pada tontonan-tontonan yang

tidak bermutu. Atau kita langsung mendengarkan radio, untuk apa? Sekedar greeting, atau

request lagu. Agak siangan dikit kita disuuhi tayangan musik atau gosip. Benar-benar tidak

bermutu bukan?

Oke, mungkin ada sebagian dari kita yang tidak menonton televisi atau mendengar radio,

mereka memilih segera keluar rumah untuk nongkrong dengan teman-temannya. Pergi ke

kampus atau ke sekolah. Di sana mereka dipaksa terlena lagi. Coba dengarkan materi

pembicaraan mereka, apakah bermutu? Paling-paling seputar tiga hal; handphone, idola, dan

pacar.

Page 19: Melawan Dengan Cinta

Bagaimana bisa dikatakan generasi terbaik, sudahlah terlalu banyak tidur, pas bangun malah

tidak produktif. Lalu kapan kita berkarya untuk dunia?

Satu lagi, saat kita terlena itulah, saat kita diam itulah mereka melancarkan serangan

rahasianya pada kita. Bukan dengan senjata meriam atau bom. Mereka melancarkan serangan

yang sangat lembut, sampai-sampai serangannya kita rasakan sebagai belaian. Mereka

menyerang kita dengan gaya hidup bebas, kita tidak melawan, malah menjadi generasi

pertama yang mempraktikkannya. Karena kita tidak menganggap itu sebagai serangan,

melainkan sebagai belaian yang memanjakan nafsu kita. Lalu kitapun mengikutinya.

Sekadar analogi sederhana, untuk membuat pisau belati tak melukai tangan, tak perlu

memusnahkannya, cukup dengan menumpulkan matanya saja. Begitu juga, musuh-musuh

Islam sadar betul, bahwa kita, para pemuda adalah ujung tombak kekuatan kaum Muslimin.

Maka agar kita tidak membahayakan mereka, tak perlu dengan memusnahkan kita, cukup

dengan melemahkan kita, cukup dengan membuat kita terlena.

Jika ujung tombak perjuangan telah tumpul dengan diam. Maka ketika musuh-musuh Islam

benar-benar menyerang secara fisik, saat itulah, kita tak lagi peduli. Saat itu kita diam. Kita

telah tumpul. Gaya hidup kita telah berubah. Kita menjadi generasi yang tak lagi menakutkan

bagi musuh. Karena kita telah dilumpuhkan. Saat itulah, kekalahan menjadi milik kita.

MENUNGGU BUKAN PILIHAN

Izinkan saya menyajikan kisah kecil ini dulu ya.

Ada tiga tipe manusia dalam pendakian gunung: pendaki sejati, pekemah, dan penunggu.

Pendaki sejati selalu mengupayakan untuk sampai ke puncak gunung. Maka dia melengkapi

berbagai persiapan yang dibutuhkan oleh seorang pendaki. Apapun gangguan yang akan

menghadang di tengah pendakian, seorang pendaki sejati akan tetap menempuhnya. Apapun

yang dikatakan oleh orang yang tidak mendaki, pendaki sejati akan terus menempuh

pendakiannya. Seberapa banyakpun temannya yang menghentikan pendakian, ia akan terus

melangkah.

Page 20: Melawan Dengan Cinta

Sedangkan pekemah, pada awalnya dia ikut mendaki. Tetapi ia orang yang mudah puas. Ia

bahkan terlalu takut menghadapi berbagai resiko yang menghadang di tengah pendakian.

Maka iapun mendirikan kemahnya, beristirahat di sana dan menghentikan pendakiannya. Ia

telah puas, ia telah lelah.

Apalagi penunggu. Sejak awal dia tahu bahwa gunung itu perlu didaki. Tetapi dia tidak mau

mengambil peran pendakian. Ia memilih untuk berdiam diri di kaki bukit, sembari menunggu

kabar dari pada pendaki yang telah naik. Ia takut dengan resiko yang menghadang. Ia juga

merasa cukup berada di bawah saja. Ia berpikir, cukup temannya saja yang mendaki, dia tidak

ingin ambil resiko. Diapun diam, menunggu kabar dari atas.

Sang pendaki sejati telah sampai di puncak gunung. Di sana ia melihat betapa indah alam

semesta. Di sana ia merasakan kesejukan udara yang tak tercampur oleh berbagai macam gas

hasil pembakaran. Di sana ia melihat ada awal-awan kecil di bawah tempat ia berpijak. Di

sana ia menatap keindahan warna pelangi yang melengkung di depannya. Di sana ia melihat

betapa indahnya jika daratan bumi dipandang dari ketinggian. Dia puas, karena sebelumnya

dia baru saja menantang bahaya untuk mencapainya.

Sementara si pekemah, ia tengah tertidur di kemahnya. Ia tidak tahu kenikmatan apa yang

dirasakan oleh temannya yang meneruskan pendakian hingga puncak. Ia telah berpuas diri

dengan apa yang dicapainya.

Bagaimana kabar si penunggu? Dia berteriak-teriak dari bawah, menanyakan apa yang

dirasakan oleh temannya yang berhasil mencapai puncak. meskipun si pendaki

menceritakannya, tetap saja si penunggu tak bisa ikut merasakan nikmatnya. Ya, sebagaimana

jus, ia hanya benar-benar dinikmati oleh orang yang meminumnya. Sedangkan orang yang

sekedar mendengarnya, sebagus apapun deskripsi yang didengarnya tentang meminum jus, ia

tidak akan pernah bisa merasakan nikmatnya.

Page 21: Melawan Dengan Cinta

Kalian pasti sudah bisa menebak maksud saya menyajikan kisah pendaki tersebut. Ada tiga

tipe manusia dalam perjuangan mewujudkan kemenangan Islam. Golongan pertama adalah

orang yang berjuang hingga akhir (seperti pendaki sejati).

Golongan kedua adalah mereka yang berjuang pada awalnya, kemudian karena takut dengan

resiko dan merasa cukup dengan pahala perjuangannya selama ini, iapun berhenti. Ia tak lagi

berjuang karena merasa pahalanya sudah banyak.

Golongan ketiga adalah para penunggu. Mereka tahu bahwa memperjuangkan kemenangan

Islam adalah sebuah kewajiban. Tetapi mereka tidak mau mengambil peran dalam perjuangan

ini. Mereka merasa aman karena sudah ada temannya yang mau berjuang. Mereka terlalu

takut dengan resiko perjuangan. Mereka diam. Berharap akan kecipratan pahala dari

temannya yang berjuang. Berharap ikut merasakan kenikmatan setelah kemenangan Islam

mewujud. Tetapi mereka lupa, bahwa kemenangan hanya mampu diresapi oleh orang yang

ikut berjuang. Bukan para penunggu, bukan para pekemah.

***

âtã ur ª! $# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä óOä3ZÏB (#qè=ÏJ tã ur ÏM» ys Î=»¢Á9 $# óOßg̈ZxÿÎ=øÜ tG ó¡uäs9 í Îû ÇÚ öë F{$# $ yJü2 y#n=÷Ç tG óô $#

öúïÏ%©!$# Ï̀B öNÎgÎ=ö6s%

Dan Allah Telah berjanji kepada orazng-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan

amal-amal yang saleh bahwa dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka

bumi, sebagaimana dia Telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, (TQS. An-

nuur: 55)

Sebenarnya terserah saja. Kita mau mengambil peran perjuangan atau tidak, Islam tetap akan

menang. Dengan atau tanpa kita. Jika kita tidak mengambil peran perjuangan ini, tetap akan

ada orang yang akan memanggulnya. Karena kemenangan Islam adalah janji Allah, maka

Allah pasti akan selalu menyiapkan pejuang-pejuang untuk mewujudkan kemenangan itu. Jika

kita tidak mengambil peran ini, pasti yang lain.

Page 22: Melawan Dengan Cinta

Jadi tak perlu jual mahal dengan slogan, ”Kalau bukan kita, siapa lagi?” Seolah hanya kita

yang bisa memperjuangkan kemenangan Islam. Sehingga kalau kita tidak

memperjuangkannya, seolah-olah tidak ada lagi orang yang mau memperjuangkannya. Sok

pahlawan banget kan? Padahal akan selalu ada generasi yang memperjuangkannya. Sekali lagi,

jika bukan kita, pasti yang lain. Bukan Islam yang memerlukan kita, kitalah yang

membutuhkan Islam.

Sekali lagi, terserah saja, mau mengambil peran perjuangan atau tidak. Pertanyaannya, apakah

kita tidak merasa rugi jika tidak ambil bagian dalam mewujudkan kemenangan Islam?

”Dan Allah Telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan

amal-amal yang saleh bahwa dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka

bumi...”

***

JIKA KAU CINTA

Coba cek ke dalam hati kita. Adakah rasa gerah saat kemaksiatan menari di depan mata kita.

Atau saat mendapatkan kesempatan berbicara di suatu forum, adakah rasa gatal untuk

menyampaikan kebenaran Islam. Atau, jika ada orang yang kita cintai, adakah perasaan rindu

kita agar dia menggenggam kebenaran yang sama. Jika tidak, mungkin itulah yang membuat

dakwah kita tidak berenergi. Dakwah kita loyo.

Sesungguhnya, jika kebenaran Islam telah menancap kuat dalam dada seorang Muslim, maka

kebenaran itu akan menuntut untuk bergerak. Ya, itu karena Islam adalah sesuatu yang

hidup. Maka, ketika ia masuk ke dalam dada, adalah wajar jika orang yang di dadanya ada

cahaya Islam tak akan kuat untuk menahan dirinya dari mengungkapkan kebenaran tersebut.

Jika kebenaran telah merasuk dalam jiwa, maka orang yang di dalam jiwanya ada ombak

besar bernama Islam, pastilah akan gatal untuk selalu menyampaikan kebenaran tersebut di

setiap kesempatan. Setiap penggenggam kebenaran Islam juga pasti akan gerah jika

berhadapan dengan sesuatu yang bertentangan dengan Islam yang dia yakini itu. Begitu pula,

Page 23: Melawan Dengan Cinta

setiap jiwa yang diterangi cahaya kemuliaan Islam, pasti rindu orang-orang tercintanya

memegang kebenaran yang sama pula.

Gatal

”Wahai Rasulullah, aku tidak akan bisa pulang sebelum meniakkan Islam di masjid.” begitu

prinsip Abu Dzarr al-Ghifary. Memendam kebenaran justru lebih berat ketimbang

mendapatkan siksaan akibat menyampaikannya.

”Rasa takut terhadap manusia jangan sampai menghalangi kamu

untuk menyatakan apa yang sebenarnya jika memang benar

kamu melihatnya, menyaksikan atau mendengarnya.”

(HR. Ahmad)

Jika suatu ketika diberi kesempatan untuk menyampaikan gagasan terkait bencana alam,

pastilah seorang penggenggam Islam akan memanfaatkan kesempatan itu untuk berbagi

kebenaran Islam yang diyakininya. Jika dia memiliki kemampuan menulis cerpen dengan

baik, pastilah seorang penggenggam Islam akan menjadikan cerpennya sebagai media untuk

menyampaikan kebenaran Islam yang diyakininya. Jika dia menguasai ilmu bermusik, tentu ia

akan menjadikan lagu-lagunya sebagai ushlub dakwahnya. Bahkan jika pun dia hanya seorang

yang tak bisa berbicara ataupun menulis, maka dia akan mendedikasikan tenaganya untuk

memperjuangkan kebenaran agama yang diyakininya itu.

Adalah aneh, jika kita mengaku telah menggenggam kebenaran Islam, sementara kita tak

sedikit pun merasakan gatal untuk menyampaikan kebenaran Islam tersebut. Sebagaimana

Abu Dzarr, marilah kita hujamkan dalam dada kita, bahwa kebenaran yang bisu bukanlah

kebenaran. Sesungguhnya kebenaran selalu menuntut pemegangnya untuk meneriakkannya.

Gerah

“Barang siapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran hendaklah ia mengubah dengan tangannya;

jika tidak mampu, maka dengan lisannya;

jika ia masih tidak mampu, maka dengan hatinya,

dan itu adalah selemah-lemahnya iman.”

(HR. Muslim)

Page 24: Melawan Dengan Cinta

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim tersebut, sekedar membenci kemunkaran

tanpa berupaya menghentikannya adalah selemah-lemahnya iman. Gerah yang saya maksud

di sini adalah sekedar membenci tanpa menghentikan, tentu lebih baik lagi jika kita mampu

menghentikan dengan tangan kita, atau menegurnya dengan lisan kita.

Jika sekedar gerah melihat kemaksiatan adalah selemah-lemah iman, bukankah itu berarti tak

ada iman lagi bagi yang lebih rendah dari itu? Itu berarti, tak ada iman lagi di hati kita, jika

kita tak ada perasaan benci ketika melihat kemunkaran. Na’udzubillah.

Karena itu, mari kita periksa hati kita. Apakah selama ini kita masih bisa enjoy saja ketika

melihat kemaksiatan tengah menari di depan mata kita? Ataukah kita sudah ada setitik

perasaan benci terhadap kemaksiatan sekecil apapun, bersyukurlah, karena itu pertanda

masih ada setitik iman pula dalam dada kita.

Tapi sebagai seorang penggenggam kebenaran, tentu tak cukup bagi kita sekedar membenci

kemaksiatan tanpa ada upaya untuk menghentikannya. Pastilah dada ini terasa gerah untuk

mengingatkan orang yang tengah bermaksiat tersebut. Ketika melihat aurat terbuka, pastilah

penggenggam Islam akan memikirkan seribu cara (yang halal) untuk menghentikannya.

Ketika melihat hukum Allah dicampakkan oleh penguasa, tentu para penggenggam Islam

akan berteriak lantang untuk mengoreksi penguasa tersebut, sebagaimana dilakukan oleh

tokoh utama kita dalam perbincangan kali ini, Abu Dzarr al-Ghifary.

Saat itu, dua orang wanita tengah thawaf mengelilingi Ka’bah dengan thawaf jahiliyah. Dengan

semangat kebenaran yang membuncah di dadanya, Abu Dzarr memaki-maki berhala Usaf

dan Na’ilah yang dipuja-puja oleh orang-orang Quraisy. Serta merta wanita tersebut berteriak

meminta pertolongan para pemuda Quraisy yang berada di sekitar Ka’bah. Kita semua pasti

sudah tahu yang akan terjadi setelah itu, remuk redamlah Abu Dzarr akibat pukulan dan

hantaman yang dihadiahkan oleh para pemuda Quraisy tersebut. Subhanallah. Keyakinan

bahwa Tiada tuhan selain Allah, membuat Abu Dzarr gerah ketika melihat ada yang masih

menyembah ’tuhan-tuhan’ selain Allah.

Page 25: Melawan Dengan Cinta

Rindu

Apabila Allah memberi hidayah kepada seseorang melalui upayamu, itu lebih baik

bagimu daripada apa yang dijangkau matahari sejak terbit sampai terbenam.

(HR. Bukhari dan Muslim)

Jika kita telah gatal untuk menyampaikan Islam dan telah gerah ketika ada yang bertentangan

dengan Islam. Maka pastikan bahwa kita juga memiliki rasa rindu, sangat menginginkan

orang-orang yang kita cintai untuk memegang kebenaran yang sama. Rindu, pastikan rasa itu

ada di dalam dada kita, sebagaimana rindu yang membuncah dalam dada Ummu Hakim binti

al-Harits yang telah beriman, kepada suaminya yang masih kafir, Ikrimah bin Abu Jahal, putra

gembong kekufuran.

Hari itu peristiwa Fathul-Makkah, pembebasan kota Makkah. Arak-arakan pasukan Islam

telah memasuki kota Makkah yang masih dibelenggu kekufuran. Ada cinta yang membuncah

dalam dada orang beriman, ada pula kerinduan para Muhajirin akan tanah yang telah mereka

tinggalkan bertahun lamanya, ada pula kerinduan Ummu Hakim binti al-Harits pada

suaminya yang masih kafir itu.

Ah, betapa rindu Ummu Hakim agar Ikrimah bin Abu Jahal juga menjadi muslim seperti

dirinya. Maka dibujuknyalah suaminya untuk segera memasuki agama yang diridhai Allah ini.

Tetapi apa yang ia dapatkan dari suami terkasihnya?

”Seandainya seluruh manusia telah berislam, dan tinggal aku saja yang tidak, maka aku tetap

tidak akan pernah mengikuti agama Muhammad ini!” jawab Ikrimah dengan nada

kebenciannya pada Muhammad.

Ah, hidayah. Tak ada yang tahu kapan dan dari mana ia datang kepada seseorang. Kelak,

lelaki yang dirindu oleh Ummu Hakim tersebut, juga akan bergabung bersama pasukan

penggenggam Islam, dan dia mengakhiri hidupnya dalam keadaan beriman, iman yang

sebenar-benarnya iman.

Page 26: Melawan Dengan Cinta

Begitulah kerinduan. Ia selalu menginginkan orang yang dicintai untuk berdiri di barisan yang

sama. Tak rela rasanya, diri berenang di samudera ketaatan, sementara orang terkasih sedang

tenggelam dalam lumpur kemaksiatan. Tak tega rasanya, diri bertelekan di atas dipan-dipan

surga sementara orang terkasih luluh lantak dan berteriak-teriak di kobaran api neraka. Tentu

kita tak akan rela, tentu kita tak akan tega

Tentu kita merindukan orang terkasih kita, berdiri di samping kita dengan memegang

bendera yang sama, bendera Laa ilaaha illaLlah yang meliuk-liuk rindu. Ah, aku rindu kalian

semua bersamaku. Kuharap, kalian pun merindukanku bersama kalian di jalan ini.

Page 27: Melawan Dengan Cinta

2 DENGAN CINTA

MARAH DAN SEDIH

Sejenak, mari kita tengok kembali cerita yang saya sajikan di halaman Untuk Wanita Berjuta

Inspirasi. Mari kita bandingkan sikap saya dengan sikap isteri saya. Jelas sekali perbedaannya.

Saya marah ketika melihat kemaksiatan, sedangkan isteri saya sedih saat menyaksikannya.

Sikap terhadap kemaksiatan, menggambarkan cara saya memandang dakwah. Saya marah.

Kemarahan saya menunjukkan bahwa saya memandang orang yang melakukan kemaksiatan

sebagai musuh, sebagai orang yang menantang Allah.

Sedangkan isteri saya sedih. Kesedihannya menunjukkan bahwa dia memandang orang yang

melakukan kemaksiatan bukan sebagai musuh, bukan sebagai penantang Allah. Isteri saya

melihat mereka sebagai korban.

Bagi isteri saya, mereka melakukan kemaksiatan bukan untuk menantang Allah. Bukan.

Mereka melakukan itu karena alasan lain yang tidak pernah saya pedulikan sebelumnya.

Mungkin karena mereka tidak tahu, atau bisa jadi mereka tahu tetapi mereka belum kuat

untuk melawan dorongan nalurinya.

Orientasi Dakwah

Perbedaan sikap saya dan isteri terhadap kemaksiatan menunjukkan perbedaan mafahim,

perbedaan cara pandang. Sikap saya menunjukkan dakwah yang da’i-oriented (berfokus pada

diri penyampai dakwah), sebaliknya sikap isteri saya menggambarkan dakwah yang mad’u-

oriented (berfokus pada diri objek dakwah).

Dalam fikih, mungkin pembahasan saya ini tak terlalu diperlukan. Pembahasan saya bukan

soal halal atau haram, karena bagaimanapun selama ikhlas dan sesuai tuntunan kenabian,

dakwah akan menghantarkan pelakunya pada pahala yang menggunung, insyaAllah.

Page 28: Melawan Dengan Cinta

Pembahasan saya ini lebih cenderung kepada efektifitas dan efisiensi dalam dakwah. Meski

secara hukum insyaAllah sama, tetapi perbedaan orientasi akan menghantarkan pada

perbedaan sikap dalam dakwah. Perbedaan sikap akan menghantarkan pada perbedaan

kualitas dakwah kita, dan insyaAllah akan menghantarkan pada hasil yang berbeda pula.

MENYEMPURNAKAN CINTA

Karena berfokus pada da’i, biasanya dakwah yang dilakukannya juga sporadis. Dia tidak

pernah menakar-nakar lagi apakah dakwahnya efektif atau tidak. Tidak pernah ia

menghitung-hitung lagi apakah dakwahnya bisa sampai atau tidak. Tidak pernah ia

mempertimbangkan apakah orang bisa menerima dakwahnya atau tidak.

Jika antum ingin tahu bagaimana sikap dakwah yang egois dan sporadis, lihatlah sikap saya

dalam cerita pembuka bahasan ini. Betapa saya tak lagi memikirkan apakah hujatan saya

efektif atau tidak. Betapa saya tak lagi menakar-nakar apakah mereka mau mendengarkan

dakwah saya jika saya melakukannya dengan teriakan kasar.

Dakwah yang da’i-oriented akan membuat kita melemparkan dakwah secara sembarangan,

karena sudut pandangnya adalah ’yang penting aku menyampaikan’. Ketika kita

melakukannya secara sporadis, orang yang menjadi sasaran dakwah kita akan memasang hijab

setebal-tebalnya dari dakwah kita. Antum mungkin bisa membayangkan sikap orang-orang

yang saya teriaki ketika itu, apakah mereka menyambut dakwah saya dengan tangan terbuka

dan senyum mengembang? Tidak, kemungkinan terbesar adalah mereka memasang hijab

setebal-tebalnya dari dakwah saya, sebenar apapun perkataan saya.

Maka mulai sekarang, mari kita belajar melengkapi persepsi tentang dakwah. Bahwa dakwah

adalah kewajiban, tentu kita semua telah meyakininya. Tapi saya mohon tambahkan satu

kalimat ini dalam pemahaman kita: dakwah adalah hak mereka. Dengan begitu, kita akan

berpikir bagaimana agar dakwah sampai ke mereka, bukan hanya tentang bagaimana kita

menyampaikan dakwah. Bisa merasakan bedanya?

***

Page 29: Melawan Dengan Cinta

Bayangkan jika kalian yang mengalami hal ini. Saat itu saya sedang imut-imutnya, baru saja

lulus dari SMA. Dari kampung kecil di kabupaten Banjar, saya berangkat ke Banjarmasin

untuk mendaftar di Universitas Lambung Mangkurat, universitas tertua di Kalimantan.

Karena keperluan pendaftaran dan lain sebagainya tidak mungkin diselesaikan dalam satu

hari, saya memutuskan untuk menginap di masjid kampus. SubhanaLlah, meski saya tak

banyak mengenal pengurusnya, saya mendapatkan sambutan yang luar biasa. Saya harus

belajar banyak dari mereka tentang memuliakan tamu. Halaman buku ini tentu tak cukup

untuk menuliskan semua kebaikan mereka terhadap orang yang tidak mereka kenal ini.

Saya tidak ingin kesempatan ini terbuang sia-sia. Sejak SMA, saya begitu terpesona dengan

para mahasiswa yang aktif di Lembaga Dakwah Kampus pada masa itu. Maka, menginap di

’markaz’ mereka membuat hati saya berbunga-bunga. Saya sudah membayangkan akan

berkumpul dengan anak-anak muda yang mendedikasikan dirinya untuk Islam, mengikuti

ta’lim-ta’lim bersama mereka, terlibat dalam diskusi-diskusi hangat seputar Islam dan kaum

Muslimin, dan bangun untuk shalat malam bersama mereka.

AlhamduliLlah, semuanya berhasil saya dapatkan. Tak satupun meleset. Bahkan saya

mendapatkan lebih dari yang saya bayangkan. Saya diberi kesempatan untuk mengikuti

aktifitas dakwah mereka, sesuatu yang hanya bisa saya kagumi semasa SMA. Ya, malam

kedua di sana, saya berkesempatan untuk ikut menempelkan pamflet syiar Islam bersama

mereka.

Tapi ada hal yang cukup mengejutkan. Lembaran-lembaran kertas yang sudah dibubuhi lem

itu kemudian ditempelkan di tempat yang (menurut saya) aneh, tidak tepat. Pamflet-pamflet

syiar itu ditempel di sisi selokan yang menghadap ke jalan. Seketika alis saya mengernyit.

Tanpa bisa ditahan lagi, mulut saya akhirnya mengeluarkan pertanyaan ini,

”Emangnya kalo ditempel di sana, pamfletnya bisa dibaca kak?”

Page 30: Melawan Dengan Cinta

Saya yakin kalian mengerti kebingungan saya. Beruntung, kebingungan saya tak sempat lama.

Segera setelah itu, kakak senior yang saya cintai itu memberikan penjelasan mengenai

keikhlasan dalam dakwah. Penjelasannya saat itu sangat membekas di hari mahasiswa baru

seperti saya waktu itu.

”Dik, tugas kita hanya menyampaikan. Perkara orang mau membaca atau tidak, itu bukan

urusan kita.”

Bagaimana menurut kalian? Menurut saya, kalimat itu mencerminkan keikhlasan yang tak

diragukan lagi. Ya, bagi kakak senior saya itu, tak penting seperti apapun reaksi orang lain

terhadap upaya dakwahnya. Yang terpenting baginya adalah, dia menjalankan kewajibannya

untuk berdakwah, dan biar Allah saja yang menilai amalnya. Ikhlas sekali bukan?

Saat saya sajikan cerita ini kepada adik-adik saya di lembaga dakwah yang sama, semuanya

tertawa. Sebagian dari mereka bahkan menimpali, ”Kenapa ga sekalian aja pamfletnya

disimpan di dompet. Yang penting kan niat menyampaikan, tidak peduli orang bisa

membacanya atau tidak. Haha!”

Ya, benar tugas kita hanya menyampaikan. Tetapi apakah itu berarti kita hanya berpikir

tentang menyampaikan, setelah itu kita berpuas diri dengan amal kita itu? Apakah tidak

pernah terbersit di pikiran kita, berbagai macam cara agar dakwah itu tidak sekedar kita

sampaikan, tetapi juga benar-benar sampai ke hati objek dakwah kita. Apakah tidak pernah

terlintas dalam benak kita, ide-ide segar agar dakwah tadi efektif, langsung mengena ke

sasaran kita?

Maka sedari kini, tambahkanlah satu hal untuk menggelayuti pikiran kita dalam berdakwah,

yaitu pikiran tentang ’bagaimana mad’u menerima dakwah’ bukan sekedar ’bagaimana da’i

menyampaikan dakwah’.

Page 31: Melawan Dengan Cinta

3 MENYALA

TAK KENAL HENTI

Nampaknya saya harus meralat pendapat yang saya tuliskan di buku Menggenggam Bara

Islam. Di bawah judul Cerdas Beribadah, saya menyampaikan bahwa beramal habis-habisan

di hari ini tanpa memperhatikan esok hari adalah tidak cerdas. Di sana saya menyajikan

contoh orang yang menghabiskan malam ini dengan tahajjud, ternyata di esok hari malah

tidak bisa tahajjud sama sekali karena kelelahan. Lebih dari itu, bahkan (mungkin) akan ada

kewajiban yang terlalaikan karena kita kelelahan. Maka, solusi cerdasnya adalah menghemat

energi untuk amal esok hari. Lebih baik beribadah secukupnya di malam ini, daripada tidak

bisa beribadah lagi esok hari. Lebih baik beramal secukupnya di hari ini, daripada tidak bisa

melakukan apa-apa di esok hari.

Di penghujung ramadhan tahun 1430 Hijriyah lalu, saya merasakan kelelahan yang teramat

sangat. Belum pernah saya merasakan aktifitas sepadat itu sebelumnya, terlebih lagi dalam

keadaan berpuasa. Saya lalu menghitung-hitung amal saya. Rasanya sudah cukup banyak. Pagi

mengisi ta’lim, siang mengisi ta’lim, sore mengisi ta’lim, malam mengisi ta’lim.

Ah, rasanya sudah banyak yang saya lakukan untuk agama ini. Bukankah saya memiliki hak

untuk beristirahat, karena jika saya menghabiskan energi saya di hari ini, bagaimana dengan

esok hari? Karena itu, saya memohon izin beberapa hari kepada pihak-pihak yang telah dan

akan terlibat. Saya memohon izin untuk beristirahat barang beberapa hari, agar setelah itu

saya bisa memberikan energi dakwah yang lebih dahsyat lagi.

Lalu sebuah SMS masuk ke dalam inbox HP saya. Dari sahabat saya, Salim Abdurrahman.

Saya tidak akan pernah melupakan pesan itu selamanya. Ia sungguh berkesan, sungguh

menggugah, sungguh mengguncang.

Page 32: Melawan Dengan Cinta

Jika setiap kita adalah lampu minyak,

maka menyalalah dengan terang, seterang yang kita bisa

Hingga nanti, jika sang pemilik menghabiskan minyak kita

maka biarlah kita padam, setelah sebelumnya lelah memberi terang

Jika setiap kita adalah semilir sejuk angin

maka teruslah mengalir,

hingga nanti, jika Sang pemilik menitahkan kita untuk tak lagi mampu mengalir

maka biarlah aliran kita terhenti, setelah sebelumnya lelah memberi kesejukan

Lalu apalagi yang saya tunggu? Apa masalahnya jika kita kehabisan energi setelah kelelahan

membangkitkan umat? Apa yang salah, jika kita tak mampu lagi mengedipkan mata setelah

kita menghabiskan segala yang kita miliki untuk agama ini?

Memang, terkadang muncul pikiran realistis seperti yang sempat saya ceritakan di awal,

bahwa lebih baik beramal secukupnya di hari ini, daripada tak mampu melakukan apa-apa di

esok hari. Pertanyaan berikutnya, apa salahnya jika kita tidak bisa melakukan apa-apa di esok

hari? Bukankah itu semua karena kita telah menghabiskannya di hari ini? Apa yang salah?

¨b Î) ©! $# 3ìuétI ô©$# öÆÏB öúüÏZÏB÷sßJ ø9 $# óOßg|¡àÿR r& Nçl m;º uqøBr&ur  cr'Î/ ÞOßgs9 sp̈Yyf ø9 $# 4 öcqè=ÏG» s)ãÉ í Îû È@ã Î6yô «! $#

tbq è=çG ø)uäsù öcqè=tF ø)ãÉur ( #́âôã ur Ïmøã n=tã $ y)ym Ü Îû Ïp1uë öq­G9 $# È@ãÅgU M}$#ur Éb#uäöç à)ø9 $#ur 4 ô t̀Bur 4Ü nû÷rr& ¾ÍnÏâôgyè Î/ öÆÏB

«! $# 4 (#rçéųö6tF óô $$ sù ãNä3Ïè øã u; Î/ ìÏ%©!$# Läê÷è tÉ$ t/ ¾ÏmÎ/ 4 öÅÏ9º så ur uqèd ãóöqxÿø9 $# ÞOäÏàyè ø9 $# ÇÊÊÊÈ

Sesungguhnya Allah Telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu Telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang Telah kamu lakukan itu, dan Itulah kemenangan yang besar. (TQS. At-Tawbah: 111) Kawan, sesungguhnya harta dan jiwa kita telah dibeli oleh Allah, dengan surga sebagai

bayarannya. Apakah surga tidak cukup bagi kita untuk menggadaikan harta dan jiwa kita?

Kenapa kita masih berpikir untuk menyimpan energi kita untuk esok hari? Jika bisa mati hari

ini karena perjuangan kita, kenapa harus dihemat untuk esok hari? Apakah mati karena

berjuang, lebih buruk daripada terus hidup untuk berjuang?

Page 33: Melawan Dengan Cinta

Apa yang sudah kita berikan untuk Islam ini,

sehingga merasa layak rehat

jikapun harus beristirahat karena payah

beristirahatlah untuk perjuangan esok yang lebih berat

meski sesungguhnya, esok belum tentu ada

Ya, esok belum tentu ada. Belum tentu nafas kita masih berhembus hingga esok pagi. Belum

tentu jantung kita berdetak hingga bersua matahari. Belum tentu, kawan. Lantas untuk apa

kita menghemat energi untuk esok hari yang belum pasti? Bukankah lebih baik kita

menghabiskannya di hari ini?

Beristirahatlah, tetapi pastikan istirahat kita untuk perjuangan esok hari yang lebih berat. Dan

jika kita bisa mati hari ini karena memperjuangkan agama Allah, itu adalah lebih baik bagi

kita.

Menyalalah seterang kau bisa, hingga padam!

TERUS MELANGKAH

Teruslah melangkah,

meski semua manusia berhenti

teruslah melangkah,

meski duri tajam mengoyak kaki

Berhati-hatilah dengan kata. Karena bisa jadi setelah mengucap kata, seketika itu juga Allah

menuntut pembuktiannya. Saya dan sahabat saya sering mengalaminya. AlhamduliLlah,

semua itu menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi kami.

Saat itu kami sedang on-air di radio Madinatus Salam 90,9 FM Banjarmasin. Tema yang kami

perbincangkan adalah sabar menghadapi ujian. Sebagai seorang narasumber, saya pun banyak

bertutur tentang sabar dalam menghadapi ujian dan cobaan. Dan subhanaLlah, belum selesai

Page 34: Melawan Dengan Cinta

kami berbincang tentang sabar, tepat di detik itu, Hamzah, anak pertama saya yang

menunggu di luar ruang siaran menangis kencang. Tangisnya tidak bisa diatasi oleh ibunya.

Sepanjang siaran kami tidak lagi bisa konsentrasi memperbincangkan tentang kesabaran.

Ya. Tepat saat saya bertutur tentang kesabaran, saat itu pulalah Allah menuntut saya untuk

membuktikan kekata saya. Allah menguji saya dengan tangisan Hamzah, dengan itu Allah

ingin tahu, apakah saya sudah layak berbicara tentang sabar ataukah sebaliknya?

Di kesempatan berikutnya, saya dan sahabat saya tersebut mendengarkan taushiyah Ustadz

Yusuf Mansur, tentang menyerahkan segala urusan kepada Allah semata. Kisah-kisah yang

dihadirkan oleh ustadz muda tersebut begitu memukau nurani saya. Kisah itu memaksa saya

untuk berkomitmen untuk selalu menyerahkan urusan kepada Allah semata.

Berhati-hatilah dengan kata. Karena tidak sampai satu jam setelah itu, Allah menuntut

pembuktian komitmen saya. Karena kelengahan saya, uang sekitar sepuluh juta yang

dititipkan oleh salah seorang ustadz terancam hilang. Lagi-lagi kekata saya diuji secara

kontan, tidak ditunda-tunda oleh Allah. Apakah dalam keadaan panik seperti itu, saya

menyerahkan segala urusan kepada Allah, atau justeru melupakanNya saking paniknya?

Berhati-hatilah dengan kata. Karena bisa jadi Allah menuntut pembuktiannya seketika.

Oiya. Tentang kata, lupakah kita dengan janji dan permohonan kita kepada Allah di setiap

shalat kita? Lupakah kita dengan ini,

“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, matiku, hanya untuk Allah Tuhan

semesta alam.”

Lupakah kita dengan doa kita yang satu ini,

“Ihdinaa ash-shiraath al-mustaqiim,

tunjukilah kami jalan orang yang istiqamah.”

Page 35: Melawan Dengan Cinta

Berhati-hatilah dengan kata. Sungguh, doa kita agar ditunjuki jalan orang yang istiqamah,

akan segera diminta pembuktian oleh Allah. Mungkin detik ini, mungkin esok, mungkin

nanti. Yang pasti, ujian itu pasti akan ada. Karena kita tidak akan bisa dikatakan istiqamah

sebelum kita lulus menghadapi ujian keistiqamahan.

Jangan pikir, bahwa orang yang istiqamah orang yang serba memiliki fasilitas untuk

melakukan kebaikan dan menghindari keburukan. Seorang gadis yang tumbuh di keluarga

pesantren, kemudian dia tidak banyak bermaksiat, dia menutup aurat dengan baik, dia banyak

menghafal al-Quran, dan segudang kebaikan lainnya, belumlah teruji keistiqamahannya.

Mungkin ada di antara kita, yang jika ia ingin pergi ta’lim, ia mendapatkan kemudahan. Ingin

berdakwah, gampang. Ingin berhaji, ingin berkurban, ingin menutup aurat, dan lainnya,

semuanya bisa dilakukannya dengan mudah karena ia memiliki banyak fasilitas untuk

mencapai itu semua. Jika ada di antara kita yang begitu, tentu keistiqamahan kita belum teruji.

Seorang ikhwan yang mencintai seorang akhwat dengan kecintaan yang membuncah, tetapi

dia tidak memperturutkan nafsunya untuk mengumbar cinta bersama akhwat tersebut, itulah

istiqamah.

Seorang pemuda yang dimasukkan ke dalam ruangan terkunci bersama seorang wanita

cantik, kemudian wanita tersebut memaksanya berzina. Tetapi pemuda tersebut bersikukuh

mempertahankan keimanannya, itulah istiqamah.

Seorang akhwat yang mengenakan jilbab saat kuliah, kemudian pihak perguruan tinggi

mengancam untuk memberhentikannya dari perkuliahan jika ia tetap mengenakan jilbabnya,

tetapi akhwat tersebut tetap teguh dengan ketaatannya pada Allah, itulah istiqamah.

Seorang pejuang dakwah, yang dipenjara oleh rezim kufur, dipaksa bahkan disiksa, agar ia

menghentikan aktivitas dakwahnya, tetapi ia tetap teguh dengan perjuangannya, itulah

istiqamah.

Page 36: Melawan Dengan Cinta

Istiqamah akan terbukti dengan diuji. Maka, doa kita kepada Allah agar ditunjukkan jalan

orang yang istiqamah, akan segera dijawab oleh Allah dengan mendatangkan ujian. Siapkah

kita dengan konsekuensi doa tersebut? Harus!

TETAP LURUS

Jika ada sejuta pejuang kebenaran,

aku salah satunya

jika ada seribu pejuang kebenaran,

aku salah satunya

jika ada seratus pejuang kebenaran,

aku salah satunya

jika ada sepuluh perjuang kebenaran,

aku salah satunya

jika hanya ada seorang pejuang kebenaran

akulah orangnya!

Sungguh, penggenggam bara Islam tidak terlalu mempedulikan jumlah. Jika ada seribu, dia

ikut berjuang, ataupun hanya ada seratus atau sepuluh orang saja, dia juga pasti akan ikut

berjuang. Bahkan, jika pejuang kebenaran itu hanya ada satu orang, maka dia pasti akan

meyakinkan dirinya dan dunia, bahwa dialah satu-satunya penggenggam bara Islam itu.

Apa yang terjadi sekiranya RasuluLlah menolak menyampaikan Islam, hanya gara-gara beliau

sendirian? Tidak pernah RasuluLlah bertanya, ada siapa bersamaku? Tidak! Karena

kebenaran itu tidak mempedulikan berapa banyak orang yang menggenggamnya.

Di tengah perjalanan Yogyakarta – Banjarmasin, Allah mempertemukan saya dengan seorang

bapak dari salah satu sudut Indonesia. Beberapa saat lamanya kami berbincang mengenai

banyak hal, salah satunya adalah tentang peran seorang Muslim dalam mengembalikan kilau

Islam yang telah dipudarkan. Bapak itu mengangguk menyatakan setujunya. Semangat saya

berapi-api. Sayang, kalimat yang meluncur setelah itu membuat kobaran api saya perlahan

memadam.

Page 37: Melawan Dengan Cinta

“Saya sih mau aja ikut berjuang menegakkan Islam. Tapi saya lihat sekarang pejuangnya

belum banyak. Takut.”

Pastikan cara berpikir seperti itu tidak ada dalam benak kita. Kita tidak boleh memandang

kebenaran dari jumlah pejuangnya. Karena seorang pejuang sejati, tidak akan peduli berapa

jumlah orang yang membersamai. Sejuta, seribu, seratus, sepuluh, bahkan seorang diri

sekalipun ia akan tetap menggenggam bara Islam.

Page 38: Melawan Dengan Cinta

KEPING KEDUA

KATA ***

Adalah Nabi ShallaLlahu ‘Alaihi Wasallam apabila berkhutbah, kedua matanya memerah, suaranya meninggi,

dan kemarahannya sungguh-sungguh. laksana seorang komandan pasukan perang

yang sedang berkata, ”Musuh menyerang kalian pada pagi hari”

dan ”Musuh datang pada sore hari.” ~ HR. Muslim ~

***

Page 39: Melawan Dengan Cinta

KEKUATAN KATA

Pernahkah engkau terpana menyaksikan permainan seorang magician profesional, semisal

Deddy Corbuzier sang mentalis, Demian sang ilusionis, atau Romy Rafael sang ahli hipnotis.

Apa yang sering meluncur dari lisan kita tiap terpukau penampilan mereka? “Wuih, kok

bisa?!” atau “Sihir nih, pasti!”.

Sebenarnya semuanya bermodal –setidaknya- tiga kemampuan: kecepatan tangan, kekuatan

kata, dan bahasa tubuh. Kecepatan tangannya membuat kita tidak bisa melihat apa yang

sebenar dilakukannya, hingga semuanya nampak ajaib di mata. Sedangkan kekuatan kata dan

bahasa tubuh memiliki pengaruh yang kuat terhadap alam pikir kita. Jadilah kita mudah

terpengaruh dengan apa yang mereka inginkan.

Sebenarnya, dalam tingkatan yang lebih sederhana, seorang da’i memerlukan ilmu yang

mereka miliki. Bukan untuk menjadi ilusionis atau atau ahli hipnotis. Di sini kita akan

membincang hipnotis dalam tingkat yang lebih rendah, yaitu sekedar mempengaruhi pikiran

orang lain, dalam keadaan sadarnya.

Di antara tiga kunci penampilan magician, yang pertama tidak usah kita bincangkan di sini,

karena ianya tidak terlalu terkait dengan kemampuan seorang da’i mengelola forumnya. Yang

akan banyak kita perbincangkan adalah ilmu kata dan bahasa tubuhnya, karena itulah yang

akan membuat kita mampu mempengaruhi pikiran audiens saat materi kita sajikan. Mari

bincangkan satu persatu.

***

Page 40: Melawan Dengan Cinta

4

SEBELUM ‘BERTEMPUR’

Untuk memula perbincangan kita. Izinkan saya menghadirkan kisah yang saya kutip dari

buku sahabat saya, Salim A Fillah, Jalan Cinta Para Pejuang. Saya tidak tahu kisah ini benar

terjadi atau tidak, Salim A Fillah tidak menjelaskannya lebih jauh. Yang pasti kisah ini

menarik, itu saja.

Seorang pelancong bersiap menyelam di taman laut Bunaken. Dia telah mencawiskan segala

keperluannya mulai dari pakaian selam, tabung oksigen, sepatu katak, sampai kacamata dan

lampu dahi. Untuk ini semua dia sengaja memilih yang terbaik. Kualitas nomor satu. Baju

selamnya dibuat dari bahan yang nyaman dipakai, lentur sekaligus kuat. Sepatu katangnya sesuai

desain terbaru yang amat memudahkan mobilitas di bawah air. Dan, sorot lampu dahinya mampu

menguatkan jarak pandang hingga beberapa depa.

Lalu byurr! Dia masuk ke dalam air dengan punggung terlebih dahulu. Beberapa saat dia berada

di kedalaman sepuluh meter. Dan coba kita lihat! Ribuan ikar tetabar dalam bentuk, rerupa,

warna, ukuran dan jenis yang tak sanggup dihinggakan. Ada yang menyendiri, ada yang

berkumpul-kumpul dalam koloni, ada yang malu-malu, dan ada yang mendekat-dekut tanpa

tajyt. Di sekitarnya, geliang-geliut terumbu karang dan aneka ganggang. Segalanya warna-warni,

lebih kaya dari pelangi, menyatu dalam harmoni dan paduam irama yang indah tak terlukiskan.

Alangkah agungnya sang Maha Pencipta! “Subhanallah!”, gumamnya seiring syukur di hati.

Tetapi berapa depa di depan sana dilihatnya sesosok tubuh bercelana kolor berkaos oblong

berenang riang. “Hebat!” gumamnya. Menyelam tanpa alat. Mungkin ada sensasinya sendiri.

Beberapa saat menjelajah, turunlah penyelam kita ke kedalaman 20 meter. Segalanya mulai

remang-remang. Lampu dahi mulai menyorot, dan serombongan ikan menyebar ketika dia

mendekat, tapi kemudian menyatu lagi sembari menghindar darinya. Warna-warni satwa dan

herba mulai berbeda di sini. Tak seceria di atas, namun agung dan berwibawa. “Allahu akbar!”

di tiap lapis lautan, Allah tunjukkan kuasaNya yang menakjubkan. Termasuk, itu dia! Si

Page 41: Melawan Dengan Cinta

celana kolor kaos oblong yang melambai-lambaikan tangan ketika ia mengacungkan jempol.

“Luar biasa!” gumam penyelam kita. “Dua puluh meter dan dia sanggup pulang balik ambil

udara ke permukaan!”

Sekarang saatnya tiga puluh meter! Dan rasa takjubnya kepada Allah bertambah syahdu. Juga

kepada si orang itu! Si celana kolor dan kaos oblong yang kini tegak di hadapannya, di

kedalaman 30 meter! Tak sanggup menahan rasa kagum yang membuncah, ia beranikan bertanya

sambil memeluk dan berteriak di telinganya, “Pak, Bapak hebat sekali ya! Luar biasa! Untuk

sampai ke kedalaman ini saya harus pakai alat macam-macam yang sewanya mahal, juga tabung

oksigen yang berat banget! Bapak kok bisa sih sampai sini tanpa alat?! Bagi saya, Bapak adalah

penyelam terhebat di dunia! Luar biasa!!”

Si Bapak menggapai-gapai. Dan dengan tenaga penuh dia berteriak di telinga penyelam kita,

namun terdengar lirih seperti sisa-sisa, “Gua tenggelam, Goblokk!!”

Persiapan. Itu yang akan menentukan keadaan seorang penyelam saat berada dalam air.

Penyelam yang bersiap, insyaAllah akan menikmati apa yang dilihatnya di bawah permukaan

laut, di kedalaman 10 meter, 20 meter, bahkan lebih dalam lagi. Sedangkan penyelam yang

tidak bersiap, tidak melengkapi ‘persyaratannya’, tentu akan tenggelam megap-megap kehabisan

udara.

Sebelum bertempur, ada banyak persiapan yang harus kita lengkapi. Ada dhabbabah, manjanik,

pedang, tombak, kemampuan berkuda, kemampuan mengayun pedang, memanah, dan

lainnya. Nekadlah berangkat ke medan tempur tanpa membawa apapun, tanpa keahlian

apapun. Apa yang akan terjadi? Wallahu a’lam.

Itu pula yang akan terjadi pada seorang da’i. Jika kita ibaratkan penyelam tersebut adalah da’i,

maka samudera yang dalam itulah majlis yang dihadapinya. Jika seorang da’i tidak melengkapi

persiapannya, ia akan megap-megap dihadapan audiensnya. Jangan heran jika ada da’i yang

ketika berbicara di depan forum, penjelasannya nyaris tidak bisa dipahami, wajahnya pucat

pasi, dan –mungkin- celananya basah. ^_^

Page 42: Melawan Dengan Cinta

Ada banyak persiapan yang mesti kita lengkapi, yang dengan itu semoga kita mampu

menyempurnakan dakwah kita kepada mereka, agar hidayah Allah benar-benar sampai ke

hatinya, melalui lisan kita. Dua persiapan yang cukup penting untuk diperhatikan sebelum

kita terjun ke forum-forum dakwah, yaitu mengenal medan dan setelah itu menyiapkan

senjata..

Page 43: Melawan Dengan Cinta

MENGENAL MEDAN

Lazimnya, jika seorang pemimpin akan mengirim pasukan untuk futuhat/pembebasan,

sebelumnya ia pasti mempelajari medan yang akan dihadapi oleh pasukannya. Memahami

medan adalah perkara yang sangat penting. Dengan mengetahui medan yang akan dihadapi,

kita akan mengerti apa-apa saja yang perlu kita persiapkan, cara apa yang akan kita gunakan,

dan lainnya.

Begitupun dalam menjadi seorang pembicara di forum, yang pertama kali harus dilakukan

oleh seorang da’i adalah mengenali medannya, siapa saja pesertanya, apa target panitia dari

forum tersebut, dan jenis forum apa yang akan kita hadapi. Dengan begitu kita akan mengerti

apa saja yang mesti kita siapkan, gaya penyampaian seperti apa yang akan kita bawakan,

materi apa yang cocok kita sampaikan, dan lainnya.

Segmen Peserta

Saya termasuk orang yang pilih-pilih dalam memenuhi undangan mengisi acara pengajian

atau training. Bukan apa-apa, saya hanya tidak ingin salah berbicara di depan peserta. Pernah

sekali waktu saya diundang oleh salah seorang guru SMP untuk mengisi acara pesantren

ramadhan di sekolahnya. Ketika mendengar kata SMP, yang pertama terbayang di benak saya

adalah remaja-remaja baru gede, yang usianya sangat lembab. Bayangan saya, pesertanya adalah

anak-anak kelas tiga. Tentu saya mempersiapkan diri untuk menghadapi ABG kelas tiga

SMP, materinya, medianya, bahkan gaya penyampaian.

Apa yang kemudian terjadi? Dugaan saya meleset jauh. Ratusan siswa yang duduk di hadapan

saya bukanlah ABG 15 tahunan seperti yang saya bayangkan. Wajahnya masih imut-imut

semua. Kecil-kecil. Dan masih latik-latik. Yah..., jika begini, materi yang sudah saya siapkan

akan salah tempat jika tetap saya sampaikan.

Secepat kilat saya merombak materi yang akan saya sampaikan. Saat itu juga saya memikirkan

gaya penyampaian seperti apa yang cocok saya bawakan di hadapan anak-anak yang baru

beberapa minggu lulus SD.

Page 44: Melawan Dengan Cinta

Sejak kejadian itu, setiap ada yang mengundang saya untuk mengisi acara pengajian, tidak

pernah saya ketinggalan menanyakan siapa yang akan hadir. Setelah saya tahu siapa saja

pesertanya, bagaimana karakter umum mereka, berapa jumlahnya, jenis kelaminnya (laki-laki

saja, perempuan saja, atau keduanya), dan lainnya. Karena berbeda segmen peserta, berbeda

pula cara kita menyampaikan materi kepada mereka.

Mari belajar dari Sang Nabi. Kepada Badwi, Rasulullah menyampaikan materi dengan gaya

yang sesuai, dengan cara berpikir yang mudah diterima orang Badwi. Kepada yang lebih

cerdas, seperti para petinggi Quraisy, beliau berdakwah dengan gaya yang intelek pula.

Begitupun ketika seorang lelaki kekar bernama Hukamah datang menantang Nabi, “Jika

engkau bisa mengalahkanku, aku akan berislam.” Dia adalah orang yang tidak memandang

kebenaran dari kebenaran itu sendiri. Rasulullah melayani dengan cara yang sama. Kepada

yang lembut hatinya, Rasulullah menyampaikan dakwahnya dengan gaya yang mengalir

lembut pula.

Antum juga begitu bukan? Menghadapi anak SMP, siapkan materi dan gaya penyampaian

yang cocok dengan anak SMP. Jika antum menyiapkan slide powerpoint, perbanyaklah

gambar-gambar dengan warna yang mencolok. Perbanyak mengucapkan perkataan yang

sering antum dengar dari anak-anak SMP. Jika antum tahu bahwa mereka senang

membicarakan artis, komik, dan film-film kartun, sampaikan juga dengan cara itu. Coba-coba

lah cari tahu tentang artis ABG yang sedang ramai diperbincangkan. Sesekali, sempatkanlah

menonton film-film kartun yang sering tayang di televisi.

Coba lakukan itu, insyaAllah kita akan berada pada irama yang sama dengan mereka. Jika kita

dan mereka telah seirama, insyaAllah materi dakwah yang akan disampaikan akan masuk

dengan mudahnya.

Antum tahu kenapa anak-anak SMP dan SMA, bahkan sebagian mahasiswa terlihat bete

ketika menghadiri acara sejenis pesantren ramadhan di sekolahnya? Yang ternyata

pembicaranya adalah kyai yang sangat terkenal? Bukan, bukan karena materi yang

disampaikan, melainkan karena sinyal antara kyai dan anak-anak muda itu tidak seirama.

Page 45: Melawan Dengan Cinta

Karena itu, mari kita satukan irama kita dengan audiens kita. Langkah awal untuk itu adalah,

mengenali siapa mereka.

Target Forum

Poin berikutnya yang selalu saya tanyakan pada panitia adalah, apa target dari acara tersebut.

Dengan mengundang saya, panitia menginginkan peserta jadi seperti apa dan mendapatkan

apa. Hal ini penting. Seringkali tema atau kisi-kisi materi yang disuguhkan panitia ternyata

tidak mewakili target yang mereka inginkan.

Kasus ini sering saya temukan. Panitia berharap peserta akan tersemangati untuk dakwah,

tetapi setelah saya pelajari, kisi-kisi materi yang mereka sajikan sama sekali tidak bisa menjadi

wasilah tercapainya target itu. Karena yang akan berbicara adalah saya, sedangkan saya tahu

apa kekurangan dan kelebihan saya, maka adalah wajar jika saya yang paling mengerti dengan

cara saya menyampaikan materi dan juga materi yang cocok disampaikan untuk mencapai

harapan panitia.

Kadang, tema yang dipilih panitia tidak bersesuaian dengan target yang diharapkan. Saya lupa

tepatnya, saya pernah diundang mengisi taushiyah oleh anak-anak muda di Banjarmasin.

Sayang sekali mereka hanya menyuguhkan tema kepada saya. Dari tema itu, saya menerka-

nerka materi yang cocok dengannya. Setelah ketemu materi yang saya pikir cocok, kemudian

saya menyampaikannya dengan perasaan optimis bahwa target panitia akan tercapai. Apa

yang terjadi? Ternyata materi yang saya sampaikan sama sekali tidak berhubungan dengan

target yang mereka harapkan. Salah siapa coba?

Jika main salah-salahan, tentu saya akan menyalahkan panitia yang merumuskan tema seperti

itu. Tetapi jika dikaji lebih jernih, saya juga salah. Kesalahan saya adalah tidak menanyakan

target mereka, dan menerka-nerka sendiri target itu. Kesalahan saya adalah terlalu percaya

diri bahwa saya mengerti target mereka.

Sejak itu, pertanyaan kedua ini selalu saya sampaikan setiap kali undangan mengisi acara

datang kepada saya, “Apa target yang diinginkan panitia dari acara tersebut?”. Saya yakin

Page 46: Melawan Dengan Cinta

Antum semua juga akan menanyakannya, karena pengetahuan kita tentang target mereka

akan membantu kita menyusun materi yang cocok untuk mencapai target itu. Atas izin Allah,

tentunya.

Jenis Forum

Masalah ini sering kita lupakan, mungkin karena ia terlihat sepele. Sadarilah, setiap jenis

forum memiliki karakteristik yang berbeda. Ceramah berbeda dengan talkshow, training

berbeda dengan seminar, mentoring berbeda dengan pengajian. Tanpa memahami

karakteristik masing-masing forum, kita akan kesulitan memposisikan diri dengan baik.

Saya pernah menyaksikan seorang trainer yang diminta menjadi salah satu pembicara

talkshow. Karena tidak terlalu memahami perbedaan talkshow dengan training, trainer kita

kemudian berdiri meninggalkan para pembicara lain. Ia berjalan mendekat ke peserta.

Kemudian memimpin forum sebagaimana seorang trainer.

Seharusnya kejadian ini tidak pernah terjadi. Ini sangat memalukan. Coba bayangkan

seandainya Antum berposisi sebagai host dalam talkshow itu, bagaimana perasaan antum

ketika seorang pembicara berdiri dan meninggalkan Antum. Kemudian mengambil alih

forum yang sebelumnya berada di tangan Antum.

Jika antum merasa sebal dengannya, maka jangan pernah menjadi orang yang membuat

antum sebal itu. Ya, jadilah seorang pembicara, trainer, penceramah, ustadz atau siapapun,

yang terpenting adalah kita mengerti jenis forum yang sedang dihadapi.

Tempatkan diri sebagaimana peran kita dalam forum itu. Jika kita adalah penyaji dalam

seminar, maka siapkanlah makalah untuk disampaikan di depan peserta, duduk manis di meja

yang sudah disiapkan, yang di atasnya dipasang nameplate bertuliskan nama kita.

Jika kita adalah salah satu narasumber dalam talkshow, duduk manislah di sofa yang

disiapkan untuk kita. Jawablah pertanyaan dari host sesuai alokasi waktu yang disediakannya

untuk kita. Jangan pernah memotong pembicaraan dari narasumber lain, karena kita dan dia

Page 47: Melawan Dengan Cinta

sederajat di sana. Jangan protes jika host memotong pembicaraan kita, karena itu memang

haknya.

Jika kita adalah seorang penceramah yang sedang berbicara di depan jama’ah masjid,

berbicaralah. Tidak perlu menunggu pertanyaan dari host, karena memang tidak ada host

dalam forum seperti ini. Tidak perlu menyiapkan slide atau game. Ini adalah ceramah, bukan

training.

Adapun jika kita adalah seorang trainer, maka berdirilah sebagai penguasa forum itu. Buatlah

peraturan kita sendiri dalam forum itu, karena trainer adalah raja dalam forum itu. Siapkanlah

apa saja yang kita perlukan, slide, perangkat untuk game, dan lainnya.

***

Medan telah kita kenali dengan baik. Kita sudah mengkaji siapa saja yang akan menghadiri

majlis kita. Kita juga sudah mempelajari target yang diinginkan panitia. Kita juga sudah

mengerti betul jenis acara yang akan kita hadapi. Setelah itu semua, saatnya melaju ke tahap

kedua sebelum ‘pertempuran’ bermula. Saatnya menyiapkan senjata.

Page 48: Melawan Dengan Cinta

MENYIAPKAN SENJATA

Apa yang diperlukan seorang panglima perang setelah ia memahami medan yang akan

dihadapinya? Benar, ia akan menyiapkan strategi, senjata, dan kemampuan yang cocok untuk

menghadapi medan itu. Lihatlah Muhammad al-Fatih, setelah ia mengerti bahwa medan yang

yang akan ditempuhnya adalah sungai yang diproteksi oleh rantai baja, yang membuat

kapalnya tak bisa menembus masuk ke konstantinopel, disiapkannyalah bergalon-galon

minyak goreng untuk melumuri gelondong kayu. Untuk apa kayu-kayu berlumur minyak

goreng itu? Bagi yang belum pernah membaca kisah Muhammad al-Fatih, tentu akan

terkejut, karena kayu-kayu berlumur minyak goreng itu digunakan untuk menjalankan kapal-

kapalnya di daratan. Sekali lagi, untuk menjalankan kapal-kapalnya di daratan!

Begitupula semestinya seorang da’i. Setelah kita memahami medan yang akan kita hadapi,

entah itu segmen peserta, target panitia, maupun jenis forumnya, segera setelah itu kita harus

menyusun strategi yang cocok untuk menghadapi medan seperti itu.

Insyaallah di bagian ini kita akan belajar bersama, tentang persiapan apa saja yang harus

dilengkapi oleh seorang da’i sejati. Sudah siap?

Memantapkan Pemahaman

Ustadz Dwi Chondro Triono dalam bukunya Ilmu Retorika untuk Mengguncang Dunia,

menyajikan sebuah analogi yang demikian memukau. Beliau mengibaratkan dakwah sebagai

sebuah rudal. Sebagaimana kita ketahui, ada dua unsur penting dalam rudal, peluncur dan

isinya. Sebagus apapun isi rudal tersebut, jika kemampuannya meluncur hanya bisa

menjangkau jarak radius sepuluh meter, apa gunanya? Sebaliknya, sebagus apapun

kemampuan meluncurnya, mampu menjangkau kota, pulau, negara, bahkan benua yang

berbeda, tetapi isinya adalah petasan, apa pula gunanya?

Rudal terdiri dari dua unsur penting yang saling melengkapi, dakwah juga demikian. Dakwah

terdiri dari dua unsur penting, isinya dan cara penyampaiannya. Satu dari dua unsur ini tidak

Page 49: Melawan Dengan Cinta

disempurnakan, tentu kita tidak akan bisa mencapai hasil yang sempurna pula. Demikian

teorinya, tetapi dalam kehidupan nyata, belum tentu berlaku kaku seperti seperti dalam

matematika.

Untuk memudahkan, di sini saya sajikan empat macam kombinasi materi dan cara

penyampaian dakwah. Ayo kita pelajari bersama.

§ Obat

Semua orang juga tahu, hampir semua obat rasanya pahit. Meski pahit, ia memiliki

khasiat untuk menyembuhkan berbagai penyakit yang sesuai dengan kegunaannya. Akan

tetapi, apakah ada orang yang menjadikan obat sebagai menu hariannya? Bahkan orang

sakit sekalipun, jika boleh, tentu mereka tidak ingin meminum obat. Kesimpulannya,

obat adalah sesuatu yang sangat bermanfaat, sayangnya hanya diminum saat sedang sakit.

Sadarilah kawan. Terkadang kita sering menyajikan dakwah sebagaimana obat. Materi-

materi dakwah seperti kebangkitan ummat Islam, kembali kepada syariah dengan

tegaknya khilafah, tentang menutup aurat, tentang jihad dan lain sebagainya, adalah

materi yang sangat berbobot. Materi itu sangat penting dan bermanfaat untuk disajikan.

Tetapi sayang, kita jarang menyajikannya dengan cantik. Sehingga materi dakwah kita

hanya akan dipakai ketika orang sedang benar-benar membutuhkan ilmu. Materi dakwah

kita hanya didengarkan saat orang benar-benar merasakan kerontang di jiwanya, itupun

belum tentu, karena bisa jadi orang akan memilih obat (materi dakwah) yang lainnya.

Karenanya, mari kita berpikir serius tentang cara menyajikan kebenaran.

§ Junk Food

Namun, jangan juga terlalu fokus pada cara menyajikannya. Jangan terlalu berkutat pada

pengemasan dakwah. Saya pernah menyimak sebuah taushiyah yang sangat enak

didengar. Disampaikan oleh seorang ustadz muda yang wajah tampannya sering terlihat

di layar televisi. Disajikan dalam sebuah acara televisi yang sangat meremaja. Tetapi

sayang, nampaknya karena terlalu fokus terhadap cara pengemasannya, materi

Page 50: Melawan Dengan Cinta

dakwahnya malah terlupakan. Beliau menyampaikan materi dakwah yang menyesatkan.

Beliau membolehkan berpacaran. Astaghfirullah.

Jika kita analogikan ke makanan, dakwah yang seperti ini adalah layaknya junk food:

makanan sampah. Junk food adalah makanan yang sangat disenangi oleh siapa saja

karena rasanya yang enak, pengemasannya yang menarik mata, dan juga iklannya yang

‘membahana’. Tetapi di sebalik kecantikan penyajian itu, junk food membawa ancaman

yang sangat serius terhadap kesehatan pemakannya.

Begitu pula dengan dakwah yang hanya memperhatikan cara penyampaian tetapi

melupakan isi. Ia adalah dakwah yang disenangi, tetapi menyesatkan. Benar, keburukan

yang dikemas dengan cantik seperti ini lebih mudah menyesatkan ketimbang kebusukan

yang terang-terangan. Jika yang mengajarkan kemaksiatan itu bukan ustadz, mungkin

efeknya tidak terlalu berpengaruh. Tetapi jika yang mengajarkannya adalah ustadz, tentu

akan menjadi sandaran bagi ahli maksiat untuk terus melakukan kemaksiatannya.

Alasannya sederhana, “Ustadz anu aja bilang boleh...”

Na’udzubillah. Mari berpikir tentang cara pengemasan/penyajian dakwah, tetapi jangan

lupakan isinya.

§ Sapu Ijuk

Obat hanya dimakan ketika sakit (bermanfaat, tetapi tidak enak). Junk food adalah

makanan yang berbahaya (beracun, tetapi enak). Yang ini malah lebih parah lagi. Sapu

ijuk adalah yang paling buruk, sudahlah berbahaya jika dimakan, tidak enak pula! ^_^

Ada lho, dakwah yang begini. Sudahlah materinya tidak berbobot, ditambah lagi dengan

cara penyajiannya yang buruk. Jangan sampai deh kita menjadi da’i yang menyampaikan

dakwah ‘sapu ijuk’ begini.

§ Jus

Nah ini dia yang dicari-cari. Berpuluh manfaat bisa kita dapatkan dengan mengkonsumsi

jus. Bisa menyegarkan badan. Bisa meningkatkan kecerdasan. Memperkuat daya tahan

Page 51: Melawan Dengan Cinta

tubuh. Dan lainnya. Subhanallah, di samping bermanfaat, rasanya juga enak. Karena itu,

untuk meminum jus kita tidak harus sakit dulu.

Seharusnya dakwah juga begini. Materi yang kita sajikan adalah materi yang berbobot,

yang bermanfaat. Di samping itu, kita juga harus bisa menyajikannya dengan cara yang

menarik dan mengesankan. Agar mad’u tidak hanya mendengarkan dakwah kita ketika

butuh saja, tetapi mereka juga merasa rindu untuk duduk mendengarkan materi dakwah

yang kita sajikan.

Jika kita kembalikan ke analogi ustadz Chondro sebelumnya, dakwah seperti ini layaknya

sebuah rudal berisi nuklir dengan daya jelajah yang tinggi.

Sudah lebih mengerti kawan? Mari kita mempersiapkan ‘rudal berisi nuklir dengan daya

jelajah tinggi’ itu. Mari kita belajar menyiapkan dakwah yang berbobot (pemahaman yang

mantap) dengan penyajian yang menyenangkan.

Ada banyak cara yang bisa kita tempuh untuk memantapkan pemahaman kita. insyaAllah di

sini akan saya sajikan serba sedikit. Saya khawatir antum semua bosan karena pembahasan

saya terlalu bertele-tele. Jadi singkat saja ya, afwan.

§ Membaca

Klise ya? Tetapi nampaknya tetap penting untuk saya sampaikan. Ustadz Fauzil Adhim

menulis di bukunya Inspiring Words for Writers, “Bagaimana mungkin engkau bisa

menjadi penulis hebat, sedangkan membaca buku kecil saja enggan.”

Banyak di antara kita senang membaca, tetapi tidak mendapatkan manfaat yang signifikan

terhadap peningkatan ilmunya. Hal itu mungkin terjadi karena kita tidak mengerti

prioritas bacaan kita. Dulu saya sering menyesal setelah pulang dari toko buku. Mungkin

seperti kalian juga, saya membeli buku yang masih disegel. Saya tidak tahu isinya tentang

apa. Tetapi saya merasa tertarik setelah membaca sinopsis di cover belakangnya.

Sesampai di rumah, segera saya membuka segelnya untuk membaca isinya. Sebalnya,

tidak sedikit buku yang saya beli ternyata isinya jauh dari harapan saya saat membelinya.

Page 52: Melawan Dengan Cinta

Pernah juga saya membeli buku yang tidak dibungkus plastik, jadi saya sudah melihat-

lihat isinya. Apakah saya tidak lagi menyesal di kemudian hari? Sayangnya saya tetap

menyesal. Ternyata buku yang saya beli dengan harga mahal itu tidak membawa faedah

yang signifikan terhadap peningkatan ilmu saya. Apa sebab? Wallahhu a’lam. Tetapi

mungkin penjelasan dari Dr. Aidh al-Qarni dalam buku fenomenalnya Laa Tahzan,

cukup mampu menjawab masalah saya. Beliau menuturkan (dalam redaksi yang tidak

tepat sama), kita terlalu sering membeli buku-buku cabang - mungkin seperti buku kecil

yang ada dalam genggaman antum ini, hehe -, padahal buku-buku cabang biasanya

menyajikan pembahasan yang tidak jauh berbeda dengan buku yang lainnya. Ada

puluhan bahkan mungkin ratusan judul buku dengan tema yang mirip, atau bahkan sama.

Adalah wajar jika kita menyesal setelah membeli buku A, karena pembahasannya sudah

pernah kita temukan di buku B, atau buku C.

Begitulah kelemahan buku-buku furu’ (cabang). Karenanya, Dr. Aidh Al-Qarni sangat

menyarankan kepada kita untuk membeli atau membaca buku-buku induk, semisal kitab-

kitab ulama terdahulu, atau buku-buku dengan tema pembahasan yang luas.

Tetapi bukan berarti buku cabang tidak bermanfaat sama sekali. Karena setiap jenis buku

memiliki peran masing-masing. Ada teman saya yang lebih senang buku-buku cabang. Itu

karena dia termasuk orang yang terbiasa berfikir khusus-umum. Dia senang

mengumpulkan informasi-informasi khusus, untuk kemudian sampai pada kesimpulan

umum. Saya sebaliknya. Saya lebih senang mengkaji kesimpulan umumnya dulu, baru

setelah itu mencari informasi-informasi khusus yang terkait dengannya. Insya Allah

keduanya bermanfaat. Silakan pilih yang mana saja yang sesuai dengan gaya berpikir kita.

§ Menonton/mendengar

Menonton atau mendengar adalah cara menuntut ilmu yang paling enak. Tidak perlu

berkonsentrasi tinggi untuk merangkai huruf-demi-huruf dalam buku menjadi kalimat.

Kita hanya perlu duduk, atau bisa juga sambil berdiri, bahkan bisa sambil tiduran.

Sayangnya, tidak banyak yang memanfaatkan kemudahan ini. Mari kita cek isi MP3 player

saya. Mana yang lebih banyak, mp3 ceramah ataukah lagu?

Page 53: Melawan Dengan Cinta

Kenapa kita sia-siakan? Bukankah dengan mendengarkan mp3 taushiyah, akan banyak

sekali manfaat yang kita dapatkan? Kenapa di saat yang sama kita malah memilih

mengangguk-anggukkan kepala tidak karuan karena mendengarkan lagu rock?

Sedari kini, mari kita manfaatkan segala fasilitas yang kita miliki untuk meningkatkan

keilmuan kita, agar kita tidak meluncurkan ‘rudal berisi petasan kodok’ lagi.

§ Mengikuti ta’lim

Afwan, lagi-lagi yang ini nampak klise. Tetapi saya merasa bertanggung jawab untuk

menyampaikannya kepada sahabat semua. Saya seringkali menemukan fenomena yang

menyesakkan dada. Di salah satu masjid kampus, ada majlis ta’lim yang pesertanya

ikhwannya berkisar antara 2 – 4 orang. Padahal setahu saya pengurus organisasi itu cukup

banyak. Kemana mereka? Masyaallah. Saya justeru menemukan mereka terpencar-pencar

di titik yang berbeda. Ada yang bersandar di pojok masjid sebelah sana. Ada yang

berbaring di sudut sebelah situ. Ada yang lagi asyik ngobrol di teras masjid. Semoga saja

mereka melakukan itu semua karena memang aktifitas mereka lebih penting daripada

mendengarkan ta’lim yang mereka adakan sendiri. Tapi masa iya?

Yang saya khawatirkan adalah, jika mereka tidak menghadiri ta’lim itu karena merasa

ilmunya sudah cukup, kan panitia? Semoga tidak begitu, na’udzubillah.

Bagaimana kita berharap orang lain mendengarkan ceramah kita dengan seksama,

sedangkan kita saja tidak bisa duduk tenang di majlis ta’lim orang lain? Bagaimana kita

mau membuat orang tergila-gila pada ilmu yang akan kita sampaikan, jika kita saja enggan

mendengarkan ilmu? Sedari kini, hauslah akan ilmu. Duduklah dengan antusias di majlis-

majlis ta’lim. Insya Allah, jika kita telah menghargai ilmu, orang lain juga akan

menghargai ilmu yang kita sampaikan kelak. Insya Allah.

§ Berdiskusi

Ini yang paling saya senangi. Membaca, menonton, mendengar, atau mengikuti ta’lim

adalah pemasukan informasi satu arah. Sedangkan berdiskusi tidak begitu, tidak hanya

Page 54: Melawan Dengan Cinta

dari seorang penceramah kepada audiensnya, tetapi penyampaian materi berlaku dua

arah.

Karena terjadi interaksi, biasanya pembicaraan jadi berkembang. Dari satu titik

pembahasan, kita jelaskan. Kemudian penjelasan dibantah oleh lawan bicara kita, atau

ditambahkannya. Subhanallah. Pemahaman kita akan semakin mantap. Jika ada

pemahaman kita yang salah, insya Allah akan terbantah. Dengan begitu, kita akan segera

meninggalkannya dan mengambil pendapat yang lebih kuat. Begitu juga jika ada

pemahaman kita yang benar, tetapi kurang argumentatif, maka lawan bicara kita bisa

menambahkannya. Dengan begitu, semakin kuatlah pemahaman kita.

Sedari kini, biasakanlah berdiskusi. Jika suasana diskusi belum membudaya di tempat

kita, cari satu atau dua orang teman yang siap berdiskusi. Jika di organisasi kita belum

menjadi kebiasaan, kita bisa memprogramkannya mulai sekarang. Semoga dengan begitu,

terjadi percepatan dalam bertambahnya ilmu kita. insyaAllah.

***

Baik. Jika kita sudah memilih buku yang tepat untuk dibaca, tayangan yang baik untuk

ditonton, frekuensi radio yang pas untuk didengarkan, atau teman yang enak diajak diskusi,

langkah berikutnya adalah merekam poin penting yang kita dapatkan di sana. Tentu tidak

seluruhnya perlu kita hapal bukan? cukup poin-poin pentingnya saja. Waktu SMA saya

diajarkan untuk membuat kartu pengetahuan. Sekotak kartu seukuran kartu nama selalu saya

bawa kemana-mana. Setiap membaca, mendengar, atau memikirkan sesuatu yang berharga,

saya tuliskan di sebuah kartu. Jika ada informasi lainnya, saya akan menulisnya di kartu yang

berbeda. Jadi tidak ada satu kartu dengan dua informasi atau kutipan.

Itu hanya ushlub (cara). Jika cara itu antum praktikkan sekarang, nampaknya sudah tidak

efisien lagi. Masa iya antum harus membawa kotak kartu kemana-mana? Ribet sekali bukan?

Sekarang sudah banyak peralatan canggih yang bisa kita manfaatkan untuk itu. Kita bisa

mencatat kutipan tersebut di HP yang ada fasilitas untuk menulis catatan. Kita juga bisa

menyimpannya di PDA kesayangan kita. Atau jika kita ingin kutipan kita itu lebih

bermanfaat, kita bisa menulisnya di wall facebook kita kan? Lebih praktis, lebih bermanfaat.

Page 55: Melawan Dengan Cinta

Kelak, informasi-informasi tersebut kita butuhkan. Dan saat kita membutuhkannya, kita

tinggal ‘memanggilnya’.

Mengasah Pedang Malam

Tajamnya kata yang mengalir dari lisan kita tidak akan menjadi apa-apa, jika pedang malam

kita tidak terasah. Sangat berbeda kekata orang yang senantiasa menghidupkan sepertiga

malam terakhirnya, dengan mereka yang memilih mendengkur saat Allah menunggu sujud

mereka.

Kata-kata itu hanyalah boneka lilin, begitu sayyid Quthb mengibaratkan. Ruh-lah yang akan

menghidupkannya. Dan ruh kata adalah keyakinan kita pada kebenaran yang kita sampaikan,

dan juga kedekatan kita dengan Allah subhanahu wata’ala.

Meski kata yang kita ucapkan sama. Meski materi dakwah yang kita sajikan tidak berbeda.

Akan sangat terasa bedanya ketika dua orang berbeda menyampaikannya. Kata yang begitu

menggugah tidak akan berkesan apa-apa di hati yang mendengarnya, jika disampaikan oleh

orang yang tidak ada cahaya Allah di hatinya. Sedangkan kalimat yang tak terlalu memukau,

bisa menggetarkan jiwa siapapun yang mendengarkannya, jika diucapkan oleh orang yang

cahaya Allah benderang di hatinya, dengan hidupnya pertiga terakhir malamnya.

Menajamkan Lisan

Meski bukan segalanya, ketajaman lisan sangat diperlukan dalam menutur kebenaran.

insyaAllah akan saya sajikan secara cukup detail di bagian berikutnya, Saat Pertempuran Tiba.

Sampai jumpa di bagian itu ya, insya Allah tidak lama lagi.

Menjaga Stamina Fisik

Jadi enggak asik dong kalau da’inya tidak joss. Kondisi fisik kita akan berpengaruh kepada

tingkat konsentrasi audiens kita. Saya pernah mengalaminya, sering malah. Pagi sampai siang

Page 56: Melawan Dengan Cinta

saya harus menjalankan tugas mencerdaskan anak bangsa. Selepas zhuhur harus mengasuh

majlis ta’lim. Setelah itu ada kuliah sampai menjelang ashar. Usai shalat ashar harus

mengasuh ta’lim yang berbeda lagi sampai menjelang maghrib. Tidak cukup sampai di sana,

karena ba’da maghrib harus berhadapan dengan komputer lagi sampai menjelang isya. Segera

setelah shalat isya saya harus pergi ke studio untuk menjadi narasumber di salah satu radio

Islam.

Alhamdulillah semuanya bisa terlaksana. Sayang sekali, karena kondisi fisik yang terlalu

dipaksakan, hanya ta’lim pertama saja yang berjalan dengan lancar dan targetnya tercapai.

Sedangkan selainnya, meski tetap berjalan, tetapi tidak optimal karena saya kelelahan luar

biasa.

Teman saya menyarankan untuk memperbanyak berolahraga. Sekali seminggu insya Allah

cukup. Selain itu kita juga perlu memperbaiki pola makan kita. Kurangi atau bahkan hindari

makanan-makanan ringan. Meski sepele, tetapi komposisinya sangat baik untuk merusak

kesehatan kita. Ada anu, ada itu, yang jika bercampur dengan darah akan menghambat

peredarannya. Biasakan mengkonsumsi madu, sari kurma, habbatussauda, dan sejenisnya.

Berbekamlah. Karena Rasulullah mengajarkannya begitu. Dengan berbekam, darah-darah

kotor yang menghambat peredaran darah kita akan dikeluarkan. Sekarang kan sudah banyak

klinik-klinik pengobatan sesuai sunnah. Insya Allah, tubuh kita akan selalu fit, stamina kita

akan senantiasa prima.

Insya Allah, cerita tentang ustadz yang mukanya kusut dan punggungnya bongkok saat

menyampaikan materi, tidak lagi ada. Yang tersisa adalah para ustadz dengan stamina di atas

rata-rata, dengan wajah yang selalu segar bercahaya. Karena dakwah ini memang menuntut

perjuangan yang ekstra, bukan sekedar mengisi waktu luang kita.

***

Semoga persiapan-persiapan yang kita lengkapi, menjadi perantara Allah untuk

memenangkan dakwah ini. Semoga kemenangan Islam akan terwujud melalui perjuanganku,

kau, dia, dan kita semua.

Page 57: Melawan Dengan Cinta
Page 58: Melawan Dengan Cinta

4

SAAT ‘PERTEMPURAN’ TIBA

Alhamdulillah. Medan dakwah sudah kita pelajari dengan utuh. Persiapan telah kita lakukan

dengan sempurna. Kita telah menjadi seorang da’i tangguh dengan pemahaman yang

mendalam, kekuatan kata yang tajam, kekuatan tahajjud di pertiga malam, dan juga stamina

yang mengagumkan.

Kini saatnya kita terjun ke majlis atau forum yang sedang menanti kehadiran kita. Di sana

puluhan, ratusan atau mungkin ribuan peserta sedang duduk manis menunggu dimulainya

acara. Ayo, segera ke sana. Tunggu apa lagi?

Sebentar lagi nama kita disebut oleh pembawa acara. Itu berarti kita akan segera tampil di

depan forum untuk menyampaikan materi dakwah kita. Sudah siap bukan? Nah, agar

penampilan kita di forum nanti mencapai targetnya, kita berbincang dulu ya di beberapa

halaman berikut ini. Oke?!

Page 59: Melawan Dengan Cinta

MEMULAI

Memulai. Perkara yang konon paling sulit di antara semua tahapan. Wallahu a’lam benar

tidaknya. Anggap saja memulai memang benar sulit. Tetapi sulit bukan berarti tidak bisa

bukan?

Bagaimana kita memulai, akan sangat menentukan kelanjutan penyampaian kita. Salah dalam

memulai, akan berakibat fatal terhadap respons audiens kepada materi kita. Karenanya, tidak

ada salahnya jika kita mempelajari beberapa langkah penting dalam memulai penyampaian

materi dalam majelis ta’lim, training, seminar, atau forum apapun yang menjadikan kita

sebagai pembicara.

Menyiapkan Husnuzhzhan Peserta

Agar sepanjang penyampaian materi nanti, peserta bisa menerima dengan baik apa yang akan

kita sampaikan, diperlukan kepercayaan mereka terhadap kelayakan kita untuk

menyampaikannya. Tidak gampang lho membuat mereka siap menerima kita. Ada banyak

hal yang harus kita persiapkan untuk itu, insya Allah berikut ini di antaranya.

• Memperkenalkan Diri dengan Baik

Sebagian kawan mengkritik saya karena kebiasaan saya menampilkan slide perkenalan diri

saya sebelum saya menyampaikan materi. Saya memahami maksud kritiknya adalah untuk

menjaga kemurnian hati saya, agar niat tidak bergeser dari yang semestinya. Saya

berterima kasih atas kepeduliannya.

Tetapi nampaknya saya perlu menjelaskan yang sebenarnya di sini. Tidak semua audiens

kita merupakan orang yang siap menerima kebenaran dari siapa saja. Ada saja yang masih

melihat kebenaran dari diri penyampainya. Jika mereka merasa orang yang berbicara

adalah orang yang layak, mereka akan mendengarkannya. Jika tidak, jangan harap mereka

mau menyimak kita dengan seksama.

Page 60: Melawan Dengan Cinta

Karena itulah kita perlu memperkenalkan diri kita kepada mereka. Kasarnya, mereka

perlu tahu ‘siapa kita sebenarnya’. Bukan bemaksud ujub atau takabbur. Memperkenalkan

diri diperlukan agar mereka mengetahui bahwa orang yang berdiri di hadapan mereka,

yang berbicara tentang kebenaran, adalah orang yang memang layak menyampaikannya,

bukan orang yang omong doang. Begitu maksudnya. Dengan begitu, kita harapkan jiwa

mereka menjadi jiwa yang terbuka.

Nah kawan, mulai sekarang, mari kita persiapkan perkenalan diri kita dengan mereka.

Banyak fasilitas yang bisa kita manfaatkan untuk itu semua. Kita bisa memanfaatkan

program-program komputer untuk membuat tayangan yang berisi profil kita, nama, usia,

prestasi, karya dan sebagainya.

Atau jika kita tidak ingin repot membuatnya, cukup isi saja curriculum vitae yang

disediakan oleh panitia. Tetapi saya sangat menyarankan jika kita mempersiapkannya

sendiri, dengan kemasan yang menarik dan mengesankan.

• Memperhatikan Posisi Badan

Berikutnya, yang tidak kalah penting dalam menyiapkan husnuzhzhan (mental baik

sangka) peserta adalah posisi badan kita. Ini cara saya, belum ketemu teori psikologi yang

membuktikan kebenarannya, sih. Tetapi tidak ada salahnya jika saya sampaikan di sini,

karena cara ini selalu saya lakukan dan berhasil menyiapkan mental mereka.

Prinsip saya sederhana. Peserta harus merasakan perbedaan yang tegas antara sebelum

dan sesudah kita membuka pembicaraan. Untuk itu, kadang saya menampakkan

perbedaan yang signifikan pada posisi tubuh dan ekspresi saya antara sebelum dan

sesudah saya memulai penyampaian materi.

Saat dipanggil oleh pembawa acara, lalu saya duduk di kursi atau sofa yang disediakan di

depan peserta, saya selalu duduk dengan posisi badan dan ekspresi wajah yang tidak

bersemangat. Tetapi sesaat sebelum mengucap salam pembuka, wajah saya langsung

berubah menjadi sangat bersemangat, posisi tubuh saya menjadi sangat energik dan

atraktif.

Page 61: Melawan Dengan Cinta

Sebenarnya saya khawatir cara ini berkesan negatif. Tetapi sejauh ini saya melihat efeknya

cukup positif terhadap husnuzhzhan audiens kepada saya. Karena sebelum mengucap

salam wajah dan posisi badan saya lesu, dan tiba-tiba keadaan berubah drastis setelah

saya mengucap salam, audiens jadi sadar bahwa materi saya sudah dimulai. Dengan

begitu, mental mereka menjadi mental yang siap untuk mendengarkan kekata saya

nantinya.

• Dua Kali Salam

Selain dua cara sebelumnya, saya juga mengoptimalkan manfaat salam dan kalimat

pembuka dalam menyiapkan mental audiens. Hampir setiap kali memulai taushiyah atau

ceramah, saya selalu mengucapkan salam sebanyak dua kali. Salam yang pertama saya

ucapkan dalam posisi duduk dan dengan nada yang tidak bersemangat. Bisa dipastikan,

audiens juga akan menjawab salam saya dengan tidak bersemangat. Segera setelah itu,

saya berdiri tegak, kemudian mengangkat tangan kanan saya, lalu mengucapkan salam

dengan nada yang sangat bersemangat, seraya menggerakkan tangan kanan saya dari

kanan ke kiri. Maksudnya adalah, salam tersebut saya tujukan ke semua audiens. Audiens

yang merasa terkena arah telapak tangan saya, akan merasa bahwa saya sedang mengucap

salam kepadanya.

Insya Allah dengan begitu audiens akan menjawab salam kita dengan semangat yang juga

menggebu. Atas izin Allah, di saat yang sama kita juga telah menyiapkan mental mereka

untuk siap menerima apa yang akan kita sampaikan nantinya. Yakinlah!

Semoga tiga langkah awal yang baru saja kita pelajari bersama: memperkenalkan diri

dengan baik, memperhatikan posisi duduk, dan dua kali salam, akan membuat audiens

kita siap menerima kita. Tentunya akan memudahkan kita untuk mencapai target yang

sudah dirancang oleh panitia yang mempercayakannya pada kita. Sebenarnya tiga cara

tersebut hanya contoh saja. Masih sangat diperlukan kreativitas antum semua untuk

mengembangkan sendiri cara yang efektif untuk menyiapkan mental audiens kita. Atas

izin Allah.

Page 62: Melawan Dengan Cinta

Meningkatkan Konsentrasi

Setelah mental mereka siap menerima kita, bukan berarti kita sudah bisa menyampaikan inti

materi kita. Belum, itu terlalu cepat. Masih ada tahapan yang harus kita lakukan sebelum

sampai pada materi inti, yaitu meningkatkan konsentrasi audiens.

Lagi-lagi saya mengambil pelajaran dari ustadz Yusuf Mansur. Beliau memang jagonya soal

pengelolaan forum. Coba kita dengarkan pengantar materi yang sering disampaikan oleh

ustadz kita ini untuk meningkatkan konsentrasi audiensnya.

Segera setelah mengucapkan salam, hamdalah dan shalawat, beliau langsung mengguncang

konsentrasi audiens dengan pertanyaan-pertanyaan menggugah seperti:

“Bapak, Ibu. Jika sedang sakit berobat kemana?” serentak hadirin menjawab, “Dokter!”

“Kalau mobil tiba-tiba rusak, kita pergi kemana?” hadirin menjawab lagi “Bengkel!”

“Kalau laper atau haus, apa yang kita cari?” “Makanan dan minuman!” jawab mereka.

“Kalau ban kita bocor, kemana kita menuju?” “Tukang tambel ban...!” koor mereka.

“Begitulah hadirin, kita tidak mengenal Allah sebagaimana kita mengenal dokter ketika kita

sakit. Kita tidak mengenal Allah sebagaimana kita mengenal bengkel ketika mobil kita rusak.

Kita tidak mengenal Allah sebagaimana kita mengenal makanan dan minuman ketika kita

laper atau haus. Dan konyolnya, kita tidak mengenal Allah sebagaimana kita mengenal

tukang tambel ban ketika ban kita bocor.”

Subhanallah. Pengantar yang demikian sederhana, tetapi daya gugahnya tingkat tinggi. Kita

sering bertele-tele memulai pembicaraan agar terkesan intelek atau alami. Tanpa disadari, itu

semua justeru membuat audiens kita merasa bosan sejak pertama kali kita berbicara. Jika di

awal penyampaian kita saja mereka sudah bosan, jangan harap mereka bisa bertahan sampai

kita selesai menyampaikannya.

Mari kita belajar dari ustadz Yusuf Mansur. Mari kita belajar menyiapkan pengantar-

pengantar yang sederhana, tidak membingungkan, tidak bertele-tele, tetapi memiliki daya

gugah yang tinggi, dan juga mampu mengantarkan peserta untuk sampai ke pembahasan

utama kita. Insya Allah, kita akan terus belajar bersama.

Page 63: Melawan Dengan Cinta

MENJAGA STAMINA AUDIENS

Alhamdulillah kita sudah sampai di bagian ini. Sudah cukup jauh kita bercengkrama bersama.

Oiya. Sampai di sini kita (insya Allah) sudah berhasil menyiapkan mental audiens kita untuk

menerima kita dengan baik. Kita juga sudah meningkatkan konsentrasi mereka untuk

mendengarkan materi inti yang akan kita sampaikan. Jika sudah begini, pegang. Pegang

ketertarikan mereka, jangan sampai menguap karena kita tidak bisa membuat mereka tetap

tertarik pada penyampaian kita.

Insya Allah di bagian ini kita akan belajar bersama tentang ushlub (cara) mempertahankan

stamina audiens kita, agar mereka tetap bisa menikmati penyampaian kita. Tetap sabar

menekuri lembar-lembar buku ini ya. Semoga Allah menyelipkan manfaat di setiap hurufnya.

Mempertahankan Konsentrasi

Suatu ketika, saya iseng menutup mata saat salah seorang kawan sedang berbicara di forum

diskusi. Bukan untuk meremehkan, tetapi itu memang bagian dari penelitian kecil saya. Saya

ingin tahu, bagaimana rasanya jika saya jadi peserta yang mendengarkan pembicara bertutur,

tanpa saya melihat ekspesinya. Apakah saya masih bisa menikmatinya?

Jawabannya tidak. Sekitar sepuluh menit dia menyampaikan pendapatnya. Entah ada berapa

puluh kali bunyi “Ee....” terdengar. Serius. Di saat saya menutup mata, suara Eee itu

terdengar seperti orang yang sedang masuk angin, tidak henti bersendawa. Selain itu, saya

tidak bisa menemukan titik tekan pembahasannya. Mungkin saya bisa menemukannya jika

saya membuka mata dan melihat ekspresinya. Tetapi karena saya hanya menggunakan telinga,

jadinya saya tidak bisa menebak-nebak bagian mana yang merupakan poin terpenting dalam

pembicaraannya. Di samping itu, jika saya tidak bernafas setiap kali dia berbicara. Maka itu

berarti saya tidak bernafas selama sepuluh menit itu. Kenapa? Karena selama sepuluh

menitan itu sama sekali ia tidak memberikan jeda. Hanya bicara dan terus bicara. Bisa

dibayangkan jika pembicaraannya satu atau dua jam? Betapa lelahnya audiens

mendengarkannya berbicara tanpa jeda.

Page 64: Melawan Dengan Cinta

Cerita keusilan saya di sini bukan untuk menjelek-jelekkan orang lain dan memposisikan diri

saya yang paling sempurna. Bukan begitu. Cerita ini terlalu berharga untuk saya simpan

sendiri. Saya khawatir, banyak orang yang memiliki masalah seperti teman saya ini. Untuk itu,

saya coba rumuskan beberapa hal yang penting kita perhatikan untuk menjaga konsentrasi

audiens kita.

• Intonasi

Ibarat air laut, intonasi adalah turun naiknya ombak. Pada bagian tertentu ombak akan

meninggi, pada bagian lainnya ombak akan lebih rendah. Begitu pula dalam berbicara.

Ada bagian-bagian penting yang ingin kita tekankan. Ada juga bagian-bagian

pembicaraan kita yang mengantarkan pada bagian penting itu.

Untuk menekankan sesuatu, ada banyak cara, tergantung efek yang ingin kita capai.

Kita bisa melirihkan suara untuk menekankan sesuatu yang menyayat perasaan. Efeknya

berbeda jika kita melakukannya dengan nada riang. Kita bisa berbicara seperti berbisik

untuk menekankan bahwa yang kita sampaikan adalah penting, dan tidak semua orang

boleh tahu. Kita bisa meninggikan suara kita jika ingin mengalirkan semangat kepada

mereka. Masih banyak lagi jenis intonasi yang bisa kita variasikan untuk mencapai kesan

tertentu yang kita harapkan. Tentu saja yang saya sampaikan di sini hanya sepersekiannya.

Saya sarankan antum memperkayanya di buku-buku yang khusus membahas masalah

seperti ini. Di internet juga banyak artikel tentang intonasi. Insya Allah banyak jalan

untuk memperkaya kemampuan kita. oke?!

• Jeda

Sebagaimana cerita yang saya sajikan sebelumnya, banyak orang yang merasa bersalah jika

dia terdiam sejenak saat sedang menyampaikan materinya. Saya juga tidak tahu kenapa.

Yang jelas saya pernah dan mungkin masih mengalaminya, sesekali. Mungkin karena

lidah kita sedang menunggu respon otak. Mungkin kita sedang memikirkan apa yang

akan disampaikan berikutnya. Untuk menutupi diam itu, kita sering mengisinya dengan

bunyi-bunyi tidak bermakna. Seperti Eee..., Anu.., Apa namanya...!.

Page 65: Melawan Dengan Cinta

Bunyi-bunyi itu kita ucapkan sambil menunggu respon dari otak kita. Padahal, diam

tanpa suara lebih baik. Setidaknya karena dua alasan. Pertama, dengan diam, ternyata

otak akan bekerja lebih cepat untuk memikirkan kalimat yang akan kita sampaikan

berikutnya. Kedua, audiens akan merasa penasaran dengan apa yang akan kita sampaikan

berikutnya. Jeda. Diam. Itu solusinya.

Saya sendiri, bahkan menggunakan jeda tidak hanya ketika otak bergerak agak lamban.

Saya justeru menggunakannya untuk meningkatkan rasa penasaran audiens terhadap

kalimat saya berikutnya. Dengan diam sejenak, pembaca merasakan seolah-olah apa yang

akan saya sampaikan setelah ini sangatlah penting. Begini contohnya,

“Sesungguhnya,” Saya diam sebentar seraya mengalihkan pandangan saya ke kumpulan

audiens yang lain. Kemudian saya melanjutkan,

“Satu-satunya cara untuk memenangkan kebatilah adalah,” saya kembali diam sejenak

seraya memindah arah pandang,

“Orang baik, tidak usah berbuat apa-apa!” lanjut saya dengan volume suara yang sengaja

saya pelankan.

Ketika saya mengucapkan kata sesungguhnya, kemudian diam. Ditambah lagi arah mata

saya yang berpindah. Audiens merasa bahwa apa yang akan saya sampaikan setelah ini

sangat penting. Begitupula ketika saya menghentikan kalimat di kata ‘adalah’, bukan

tanpa maksud. Kata ‘adalah’ memberikan sinyal kepada mereka bahwa setelah inilah poin

yang paling penting itu. Ditambah lagi ketika mengucapkan kalimat terakhir, saya sengaja

melirihkan suara. Kesan yang didapat oleh audiens adalah, kalimat tersebut penting dan

tidak semua orang mengetahuinya.

Insya Allah begitu. Sekali waktu, mari kita coba menyampaikan beberapa kalimat

menggugah, dengan gaya yang berbeda-beda. Rasakan getarannya.

• Humor

Kurva konsentasi audiens itu seperti parabola. Di awal-awal pemaparan, biasanya

konsentrasi mereka masih tinggi. Seiring berjalannya waktu, konsentrasi itu akan

memudar perlahan, dan akan mencapai titik terendahnya di seperdelapan terakhir

Page 66: Melawan Dengan Cinta

pemaparan kita. Uniknya, konsentrasi mereka perlahan meningkat setelah itu, terutama

setelah mendengar kata “Jadi...” yang merupakan pertanda bahwa kita sudah mulai

menyimpulkan penjelasan kita. Konsentrasinya akan memuncak saat keluar dari mulut

kita kalimat “Demikian yang bisa saya sampaikan....”

Menyadari hal itu, tentu kita akan memikirkan cara agar parabola konsentrasi mereka

tidak sampai ke titik nol, yang berarti mereka tidak bisa menangkap apa yang kita

sampaikan. Sering-seringlah memecah ‘lamunan’ mereka dengan guyonan. Lima belas

menit sekali cukup. Dengan begitu konsentrasi mereka tidak akan sampai ke titik nol.

Insya Allah audiens dapat menangkap semua materi yang kita sajikan.

Menancapkan Pemahaman

Bagian selanjutnya yang paling berpengaruh terhadap tercapainya target dakwah kita adalah

bagian menancapkan pemahaman. Di sini diperlukan kemampuan luar biasa dari seorang

pembicara untuk mempengaruhi audiensnya. Agar mereka menerima dan meyakini apa yang

disampaikannya. Kemampuan ini sangat penting dimiliki oleh seorang da’i.

Magician terutama hipnotist adalah orang yang sangat lihai dalam mempengaruhi pikiran

audiensnya. Dengan kata-kata yang diucapkannya, maupun bahasa tubuh yang

diperlihatkannya, kita sebagai audiens sering terpengaruh dengan tipuan permainan mereka.

Mereka menggunakan ilmu ini untuk menghibur dengan cara menipu. Sedangkan kita tidak.

Kita menggunakan ilmu ini untuk menyampaikan kebenaran yang kita yakini. Tentu kita

memiliki energi yang lebih kuat daripada para magician itu, energi keyakinan bahwa yang kita

sampaikan adalah kebenaran.

Apa saja yang harus dipelajari oleh seorang da’i untuk memudahkannya mempengaruhi

pikiran audiens agar menerima dan meyakini kebenaran yang disampaikannya? Berikut ini

saya ramukan untuk kalian dari buku Deddy Corbuzier yang berjudul Mantra.

• ‘Tipuan’ Linguistik

Page 67: Melawan Dengan Cinta

§ Two Sides Information

Jika audiens sudah memiliki mafahim keliru tentang sesuatu, patahkan mafahim itu

bersamaan dengan melambungkan mafahim baru yang ingin kita seberangkan.

Ada contoh nyata yang disajikan oleh Deddy Corbuzier dalam bukunya.

Anggaplah kita pemilik toko sepatu, ada seorang pengunjung yang mau membeli

sepatu, tetapi dia memiliki mafahim tentang toko sepatu lain yang kualitas sepatunya

lebih bagus. Maka kita perlu mengatakan “Sepatu di sana memang bagus, tapi apa

betul harganya masuk akal untuk sepasang sepatu?”

Dalam dunia dakwah, seringkali audiens kita memiliki informasi tertentu berkaitan

dengan yang akan kita sampaikan. Misalnya adalah tentang sistem khilafah Islam.

Sementara kita tahu bahwa audiens kita sudah sejak kecil dicekoki oleh pemikiran

pluralisme, bahwa di Indonesia ini ada banyak agama, sehingga demokrasi adalah

sistem yang paling tepat untuk diterapkan di Indonesia.

Jika begitu, tahan dulu penjelasan kita tentang khilafah. Bongkar dulu kedok

demokrasi yang sebenarnya, baru kita menyampaikan pemahaman kita tentang sistem

khilafah. Dengan begitu, tidak akan terjadi pertarungan yang begitu kuat antara dua

sistem ini dalam diri audiens kita.

§ One Side Information

Tetapi jika audiens kita tidak memiliki mafahim lain terkait masalah sistem bernegara,

jangan bodoh dengan melakukan patah-lambung (mematahkan yang keliru dan

melambungkan yang benar) itu. Hal ini justeru membuat audiens kita menjadi tahu

tentang mafahim lain, dan bisa jadi dia akan mencaritahunya lebih dalam. Cukup

dengan memasukkan informasi atau pemahaman yang benar saja, tanpa harus

menceritakan sistem yang salah dulu.

Bukan berarti sistem yang salah tidak perlu dibongkar. Perlu, tetapi urutannya perlu

diperhatikan. Dalam two side information, kita perlu mematahkan yang keliru dulu

baru menyampaikan yang benar. Sedangkan dalam one side information, kita perlu

Page 68: Melawan Dengan Cinta

menyampaikan yang benar dulu, kemudian memantapkan pemahaman itu, setelah

mantap baru kita patahkan pemahaman yang keliru.

§ Induksi dan Deduksi Bawah Sadar

Masih menurut Deddy Corbuzier, jika kita lihat audiens kita cenderung sepakat

dengan apa yang kita sampaikan sejauh ini, gunakan metode deduksi dalam

menyampaikan keyakinan kita. Deduksi artinya kita memulainya dengan kesimpulan,

baru kemudian menyajikan alasannya. Misalnya kita sampaikan dulu bahwa

“Menegakkan khilafah Islam adalah kewajiban setiap mukmin. Karena ia merupakan

perintah Allah dan sunnah rasulNya, dan juga ia merupakan solusi tuntas atas

problematika yang saat ini mendera bangsa Indonesia pada khususnya.”

Sebaliknya, jika audiens kita cenderung kurang sepakat, gunakanlah metode induksi

dalam menyampaikan pemikiran kita. Induksi berarti kita menyampaikan alasan dulu,

baru kemudian menutupnya dengan kesimpulan. Contoh konkritnya begini,

“Problematika ummat ini sudah tidak bisa diselesaikan lagi oleh berbagai sistem

bernegara yang ada, kehormatan wanita tidak akan terjaga, negeri kaum Muslimin

akan terus terpecah belah. Ditambah lagi Allah memerintahkan kepada kita untuk

menerapkan Islam dalam naungan khilafah. Dengan demikian, menegakkan

khilafah mutlaq harus dilakukan oleh setiap mukmin.”

§ Keuntungan yang Datang Setelah Kegunaan

Kadang, sebagai da’i kita terlalu sering menjelaskan kegunaan dari diterapkannya

Islam. Bahwa Islam akan menjaga manusia, bahwa sistem sanksi dalam Islam akan

menghapus dosa pelakunya dan juga menjadi pencegah agar tidak ada yang

mengulangi kejahatan yang sama.

Sebenarnya saya ingin segera membahas itu. Tetapi sebelumnya, mari kita

perahatikan dua tawaran ini. Mana yang lebih mampu mempengaruhi massa?:

1. Minuman ini mengandung serat yang sangat tinggi dan vitamin yang sangat

berguna bagi pelarutan lemak di dalam tubuh, sehingga berguna mengangkat lemak

Page 69: Melawan Dengan Cinta

yang tertinggal dalam tubuh manusia ketika mengkonsumsi makanan secara

berlebihan (kegunaan).

2. Minuman ini akan membuat anda ramping bagaikan model (keuntungan).

Sebagian besar manusia memang tidak terlalu mempedulikan seratnya berapa,

vitaminnya berapa, bagaimana cara kerjanya. Kebanyakan orang memang lebih fokus

pada keuntungan yang mereka dapatkan, bagaimanapun cara kerjanya.

Jadi, alih-alih kita menjelaskan detail kegunaan tegaknya Islam seperti yang saya

paparkan sebelumnya, nampaknya akan lebih berpengaruh jika kita menjelaskan

keuntungan yang mereka dapatkan dengan tegaknya Islam. Misalnya begini, “Dengan

tegaknya khilafah, para wanita tidak perlu takut lagi diperkosa. Kita tidak perlu repot-

repot bikin visa kalau mau bepergian ke Mesir, ke Madinah, atau ke Bashrah. Kita

juga tidak perlu khawatir kelaparan. Keamanan juga terjaga.” Itu semua adalah

keuntungan yang bisa didapatkan dengan tegaknya khilafah Islam.

Semoga saya tidak terlalu gegabah mengaitkan. Pernah dengar ‘illat dan hikmah?

Tentu. ‘Illat adalah pembangkit hukum, sedangkan hikmah adalah keuntungan yang

didapat setelah hukum itu dijalankan. Diharamkannya daging babi bukan karena

cacing pitanya bukan? Tetapi untuk apa Allah menciptakan cacing pita ada pada

tubuh babi? Wallahu a’lam. Tetapi Allah memang paling mengetahui karakter kita,

yang lebih fokus pada keuntungan ketimbang kegunaan atau penjelasan-penjelasan

panjang. Mungkin ada sebagian manusia yang belum tergerak untuk tidak memakan

daging babi jika sekedar mendengar ayat ‘hurrimat alaykumud-dam walahmu khindzir...”

maka ditempatkanlah cacing pita di tubuh babi oleh Allah. Agar apa? Agar manusia

takut mendekatinya. Atau tentang zina, untuk apa pula Allah menempatkan berbagai

macam penyakit menular berbahaya pada perzinaan? Wallahu a’lam. Bisa jadi karena

Allah ingin menghentak manusia, yang memang terlalu fokus pada keuntungan jika

meninggalkannya, ketimbang alasan kenapa harus meninggalkannya. Dan memang

begitulah manusia. Selalu lebih fokus pada keuntungan, ketimbang kegunaan atau

alasan.

Page 70: Melawan Dengan Cinta

Dan itu juga yang akan kita terapkan dalam dakwah ini; menyentuh karakter umum

manusia yang lebih fokus pada keuntungan yang bisa didapatkannya. Tetapi perlu

diingat. Ini adalah ushlub untuk mempengaruhi pikiran massa. Bukan untuk

seterusnya. Jadi ke depannya tetap diperlukan penjelasan-penjelasan logis tentang

sebab-sebab keuntungan itu, bahkan kemungkinan yang menyebabkan keuntungan

itu tidak bisa kita dapatkan walaupun khilafah sudah tegak kembali. Tetapi jangan

disampaikan di awal-awal. Nanti saja jika mereka sudah terpengaruh pikirannya untuk

memilih khilafah sebagai solusi, baru dijelaskan.

§ Ancaman Pihak Ketiga

Simak dulu contoh berikut ini ya.

Ada seorang perokok, dokter sudah berulangkali memberitahunya bahaya merokok,

tetapi sama sekali tidak berhasil. Berikutnya, istrinya mengancam akan

meninggalkannya jika tidak merokok. Sejenak berhasil, tapi tak lama kemudian ia

kembali merokok. Hingga suatu hari, Mala, anak gadisnya yang berusia 14 tahun

berkata, “Papa, berhenti membunuh diri papa sendiri. Mala ingin papa ada di sana

saat Mala besar dan hendak menikah. Mala ingin papa ada untuk anak-anak Mala

nanti. Mala tidak mau kehilangan papa begitu cepat.”

Atau kisah yang berikut ini.

Seorang teroris tertangkap, oleh penyidik, dia ditanya tentang rahasia organisasinya.

Penyidik mengancamnya dengan mengatakan,

“Katakan, atau kami akan memukulimu hingga mati.” Tetapi teroris itu tetap diam

tanpa kata. Berulang kali ia dipukul, dicambuk, ditendang. Tetap tidak mengubah

pendiriannya. Penyidik tersebut mendapatkan ide yang nampaknya lebih ampuh.

“Katakan, atau anak gadismu dalam bahaya.”

Kalian pasti tahu kelanjutan kisahnya. Teroris itu buka mulut, kemudian

menceritakan semuanya. Demi anak gadis yang dikasihinya.

Kisah di atas mengingatkan kita, bahwa kadang orang tidak peduli dengan bahaya

yang mengancam dirinya sendiri. Ia baru berpikir seribu kali jika bahaya itu

mengancam orang yang dikasihinya.

Page 71: Melawan Dengan Cinta

Maka berhentilah menakut-nakuti mereka dengan ancaman krisis ekonomi jika kita

menggunakan sistem neoliberalisme. Berhentilah menakuti mereka dengan ancaman

diangkutnya harta kekayaan Indonesia ke luar negeri. Mari kita mencoba pendekatan

lain, pendekatan ancaman pihak ketiga. Kita bisa memilih kalimat yang tidak

mengancam dia, tetapi membahayakan orang yang dikasihinya,

“Tentu kamu tidak mau kan, kalau anak gadismu atau isterimu diperkosa di depan

matamu sendiri? Bayangkan jika itu terjadi pada anak isterimu, masih bisakah kamu

tersenyum? Kawan, itu pulalah yang dirasakan saudara-saudara kita di Iraq, di

Palestina, ketika mereka melihat anak isterinya diperkosa di depan matanya sendiri.

Karena itu, mari kita berjuang bersama agar apa yang terjadi pada para wanita di sana,

tidak terjadi pada anak isterimu!”

Insya Allah, dia akan berpikir.

§ Informasi Baru

Ada lagi hal penting berikutnya yang patut kita perhatikan dalam mempengaruhi

pikiran dan perasaan audiens kita, yaitu informasi baru. Apa maksudnya?

Begini. Bisa jadi audiens kita sudah berulangkali mendengarkan apa yang kita

sampaikan. Mungkin dia mendengarnya dari ustadz di kampungnya. Jika materi yang

kita sampaikan sama saja dengan materi yang disampaikan oleh ustadz di

kampungnya, lalu di mana nilai lebih kita? Apa untungnya dia mengikuti majelis

ta’lim kita?

Ada akhawat, yang sejak awal ikut pengajian, dia minta kepada pembinanya untuk

tidak membahas masalah khilafah, karena dia sudah terlalu sering mendengarkan

pembahasan itu dari kakaknya, yang ternyata tidak mampu menggugahnya. Jika kita

menemukan keadaan begini, jangan panik. Bukan berarti mad’u kita anti syariat

Islam. Bukan. Dia hanya bosan dengan materi dan cara penyampaian yang dia

dapatkan selama ini. Karena itu, pastikanlah kepadanya bahwa materi yang kita

sampaikan adalah materi yang baru. Jangan bohong. Jika kita menjanjikan bahwa

materi ini adalah materi baru, pikirkanlah bagaimana kita membuatnya menjadi baru.

Bisa jadi urutan pembahasannya yang ditukar-tukar. Bisa juga arah pandang

pembahasan yang diganti. Bahkan bisa pula kita memang tidak membahas khilafah,

Page 72: Melawan Dengan Cinta

tetapi membahas hal lain yang jika dia memahaminya, dia tidak akan bisa menolak

lagi tentang materi khilafah nanti. Pastikan materi kita adalah baru!

§ Magical Eraser

Ada ushlub lain yang bisa kita gunakan jika audiens kita nampak tidak setuju dengan

pemaparan kita. Usahakan kita menghindari penggunaan kata negatif seperti kata

‘tidak’ atau kalimat hujatan. Coba kita gunakan kata ‘tetapi’.

Jika kita mengatakan bahwa “Demokrasi itu adalah sistem brengsek yang hanya layak

dimasukkan ke tempat sampah.” Itu tidak salah. Karena memang begitulah adanya

demokrasi. Tetapi kalimat itu terasa sangat frontal. Kita bisa memilih pendekatan lain

dalam menghancurkan kepercayaan ummat terhadap sistem kufur itu.

“Demokrasi itu memang sistem yang nampaknya menghargai perbedaan, tapi

bagaimanapun juga ia adalah sistem buatan manusia. Sehingga kemungkinan salah

sangat besar. Akan terjadi kekacauan jika semua manusia diberikan hak membuat

hukum, karena setiap kepala memiliki kepentingan yang berbeda.”

Meski antum tidak harus mempraktikkan pilihan kedua saya, tetapi itu terasa lebih

halus. Sehingga lawan bicara kita tidak sedang merasa berseberangan dengan kita. kita

baru saja memuji bahwa demokrasi nampaknya menghargai perbedaan. Kata ‘tapi’

telah menghapus kebaikan yang ada pada kalimat sebelumnya. Sebagaimana kalimat

“Kamu itu ganteng, tapi goblok.” Betapapun manisnya kalimat sebelumnya, kata ‘tapi

telah menghapusnya secara ajaib. Siapapun yang mendengarkan kalimat itu tidak akan

terlalu fokus lagi pada pujiannya, yang ada di benak hanyalah gobloknya.

§ Perbandingan Massa

Pernah ada seorang artis yang dicaci temannya. Katanya suaranya jelek sekali, seperti

kaleng pecah. Dengan cerdas artis itu menjawab, “Wah, mungkin juga sih suara saya

seperti kaleng pecah. Untung saja penggemar saya yang jumlahnya jutaan itu tidak

menyadari hal itu.”

Subhanallah. Frase ‘penggemar saya yang jutaan’ itu telah membuat ciut orang yang

mencacinya. Perbandingan massa yang tidak tanggung-tanggung. Mungkin si pencaci

akan berpikir, “Aku mencacinya seorang diri, sementara ada jutaan penggemar yang

mengagumi keindahan suaranya.” Ciutlah dia.

Page 73: Melawan Dengan Cinta

Teknik itu dinamakan teknik perbandingan massa atau kapasitas. Dalam dakwah, kita

bisa menggunakan teknik seperti itu. Contoh sederhananya adalah ketika kita sedang

semangat-semangatnya menjelaskan tentang kewajiban menerapkan syariah Islam,

tiba-tiba seorang peserta mengacungkan tangannya seraya berdiri. Kemudian ia

menyela tanpa dipersilakan.

“Anda ini dari tadi bicara tentang syariah dan khilafah. Anda tidak tahu ya, bahwa

Indonesia ini negara demokrasi. Jika anda terus saja berkoar-koar tentang syariah dan

khilafah, berarti Anda tidak menghargai para pahlawan yang berjuang mati-matian

untuk kemerdekaan Indonesia. Kalau begitu, anda tidak layak tinggal di Indonesia.”

Cobalah menanggapinya dengan teknik perbandingan massa.

“Ya mungkin saja sih saya tidak layak berada di Indonesia karena dianggap

mengkhianati para pahlawan. Tapi khilafah itu adalah sistem yang diperintahkan oleh

Allah. Kalau kita tidak mau memperjuangkan tegaknya khilafah, berarti kita tidak

menghargai Allah. Kalau begitu, tidak layak dong tinggal di bumi Allah. Mau tinggal

di mana ya?”

Kita membandingkan kalimat orang yang mengkhianati para pahlawan tidak layak

tinggal di Indonesia, kita bandingkan dengan massa atau kapasitas yang lebih besar,

yaitu pengkhianat Allah tidak layak tinggal di bumi Allah. Perbandingan itu akan

membuat dia tenggelam dalam logika yang dibangunnya sendiri.

Padahal sesungguhnya tidak sedikitpun kita mengkhianati para pahlawan. Justeru apa

yang kita perjuangkan ini adalah upaya kita melanjutkan perjuangan para pahlawan,

untuk membawa Indonesia ke arah yang lebih baik.

§ Wording

Pemilihan kata yang tepat juga sangat penting dalam mempengaruhi pikiran audiens

kita. Berikut ini saya sajikan untuk Antum. Afwan serba singkat ya.

- Akan dan Pasti

Page 74: Melawan Dengan Cinta

Di salah satu permainannya, Romy Rafael memasukkan sugesti kepada salah

seorang relawannya. Berulang-ulang ia mengucapkan kalimat, “Sebentar lagi

kamu akan merasakan kantuk yang begitu berat datang di dalam matamu, kamu

pasti mulai merasa lelah, dan...”

Kata ‘akan’ dan ‘pasti’ berperan kuat dalam mempengaruhi pikiran relawan

tersebut. Kata-kata tersebut membuat orang yang mendengarnya tersugesti

dengan sangat kuat, “Kamu akan merasakan kantuk.. kamu pasti mulai merasa

lelah...” perintahnya adalah perintah pasti, bukan mungkin atau apakah.

Bayangkan jika kalimat tersebut kita ubah redaksinya, “Kamu mungkin

merasakan kantuk yang begitu berat..., apakah kamu mulai lelah?” terasa sekali

bahwa pada kalimat kedua tidak ada keyakinan di dalamnya.

Hal yang sama bisa kita lakukan di majlis kita. Hindari kata-kata yang membuat

pendapat kita terkesan lemah, terkesan meragukan. Pastikan saja.

“Anda pasti setuju jika saya katakan bahwa kita harus berjuang bersama demi

tegaknya Islam.” Atau “Saya yakin anda memilih menjadi seorang pejuang

Islam.”

Rasakan bedanya jika redaksi kalimatnya saya ganti,

“Apakah anda setuju jika saya katakan bahwa kita harus berjuang bersama demi

tegaknya Islam?” Atau “Mungkin anda memilih menjadi seorang pejuang

Islam.” Enggak yakin banget!

- Anda Pasti Tahu

Teknik wording berikutnya adalah, kita memposisikan audiens kita sebagai orang

yang sudah mengerti apa yang kita sampaikan. Efeknya terasa lebih mengena.

Sebagai contoh, bandingkan dua kalimat orang yang terlambat ini:

1. Maaf, jalanan dari rumah saya sangat macet sehingga saya terlambat sampai.

2. Anda pasti tahu, jalanan di sana macet. Maafkan saya karena sedikit

terlambat.

Page 75: Melawan Dengan Cinta

Jika kita memposisikan audiens kita sebagai orang yang sudah tahu perkara yang

kita sampaikan ke dia, dia akan sedikit kesulitan untuk menolak apa yang kita

sampaikan.

- Show Dont Tell

Bandingkan dulu dua kalimat tentang surga ini ya,

1. Surga yang indah

2. Surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, buah-buahannya mudah

dipetik lagi dekat, para bujang hilir mudik, bidadari yang bermata jeli, mereka

bertelekan di atas dipan-dipan kencana, sungai yang mengalir tiga minuman...

Mana yang lebih mudah dirasakan? Tentu kalimat yang kedua. Perbedaan bukan

sekedar panjang pendeknya kalimat. Bukan itu. Yang membedakan kalimat

pertama dengan kalimat kedua adalah gaya penjelasannya. Kalimat pertama

menjelaskan sifat. Tentu saja kita tahu bahwa kata sifat adalah sesuatu yang

abstrak, sulit dirasakan, bersifat relatif. Sedangkan kalimat kedua memilih

menjelaskan keadaan dan banyak menggunakan kata kerja. Karena itu, alih-alih

menjelaskan sifat suatu hal, jelaskan saja keadaannya atau sajikan saja dalam

bentuk kata kerja. Itu akan lebih berkesan di hati audiens kita, dan akan lebih

berpengaruh para pikiran mereka.

Begitulah kekuatan bahasa. Jika kita pandai mengelolanya, insya Allah kita bisa

memanfaatkannya demi tersebarnya dakwah Islam dengan optimal. Meski sepele, tidak

ada salahnya jika kita mempelajarinya sedikit demi sedikit. Karena dengan cara itulah para

pesulap mempengaruhi kita hingga tertipu. Dengan cara itu pulalah kita bisa

mempengaruhi audiens kita, tetapi tidak dengan menipu, karena kita membawa

kebenaran yang nyata, Islam.

• Saat Tubuhmu Bicara

Selain bahasa lisan, tubuh kita juga tidak ingin ketinggalan perannya dalam dakwah Islam.

Allah menciptakan semuanya tentu dengan maksud, tidak ada yang sia-sia di sisi Allah.

Karena itu, mari kita optimalkan pemanfaatannya dalam menyebarluaskan dakwah Islam

ini.

Page 76: Melawan Dengan Cinta

§ Wajah

Di antara semua anggota tubuh kita, wajah memiliki peran yang paling penting dalam

mempengaruhi pikiran audiens kita. Kerutnya, bergeraknya alis ke bawah, ke atas,

atau mengernyit, semuanya memiliki arti. Mari kita gunakan kelebihan ini untuk

perkara yang sangat besar nilainya di sisi Allah, dakwah.

- Mata

Jangan sekalipun kita berbicara dengan lantai atau plafon. Selalulah arahkan

pandangan ke arah peserta. Selain terlihat mantap, hal itu akan menambah

kedekatan kita dengan mereka. Setiap lima atau sepuluh detik sekali,

pergilirkanlah peserta kita untuk kita tujukan pandangan padanya. Mereka akan

merasa dihargai, mereka akan merasa berkomunikasi dengan kita.

Rasakan sendiri lah, bagaimana sulitnya berkomunikasi dengan posisi saling

membelakangi, karena kita tidak bisa melihat arah mata orang yang sedang

berbicara dengan kita. jika kita merasakan demikian, tentu kita tidak tega jika

audiens kita tersiksa, gara-gara mereka tidak menemukan pandangan mata kita.

Ketajaman pandangan bahkan cukup berpengaruh dalam membuat orang

menerima apa yang kita sampaikan. Seorang yang matanya terjaga dari yang tidak

halal, insya Allah memiliki sorot mata yang demikian tajam. Dengan itu, setiap ia

beradu tatap dengan lawan bicaranya, hampir bisa dipastikan lawan bicaranya

merasakan ada tusukan di hatinya. Perasaan seperti itulah yang (afwan)

membuatnya merasa inferior di hadapan kita. hal ini penting untuk diperhatikan,

karena salah satu sifat orang yang inferior adalah mudah menerima orang yang

superior. Dan orang yang superior itu adalah, kita.

- Ekspresi

Jika sedang menuturkan kesedihan, jangan coba-coba tersenyum saat itu.

Tersenyumlah saat bercerita tentang bahagia. Naikkanlah alis kita, pelototkan

mata, untuk membangkitkan semangat mereka. Ikutlah tertawa bersama mereka

jika ada lelucuan yang mengocok perut mereka. Jika kita sejiwa dengan mereka,

ekspresi kita akan menjadi ekspresi mereka.

Page 77: Melawan Dengan Cinta

§ Tangan

Gerakkanlah tangan kita dari atas ke bawah pada saat memula ceramah. Karena

gerakan tangan dari atas ke bawah mampu memberikan rasa tenteram, syahdu, dan

mudah menerima. Adapun jika kita ingin membangkitkan semangat audiens,

gerakkanlah tangan kita dari bawah ke atas. Itulah kenapa para orator selalu

mengangkat tangan ke atas saat memancing semangat dari peserta unjuk rasa.

Gunakanlah jari untuk menyebutkan “Ada tiga perkara, yang pertama....”

Acungkanlah jari telunjuk sejajar hidung, untuk mengatakan “Ingat, sesungguhnya...”

Kepalkanlah tengan saat kita mengajak mereka berkomitmen “Mari, kita bersama-

sama mengerahkan seluruh tenaga dan pikiran kita, untuk memenangkan agama

Allah ini...”

Tangkupkanlah kedua telapak tangan, letakkan di dada seraya mengucapkan “Afwan,

saya belum berani menjawab pertanyaan itu.”

Rapatkanlah jari-jari tangan kanan, kemudian arahkan ke audiens dengan telapak

tangan menghadap ke atas, seraya mengatakan “Saya yakin kalianlah generasi terbaik

yang dijanjikan oleh Allah.”

Sentuhkan telunjuk ke dada sebelah kiri sebanyak dua atau tiga kali, bersamaan

dengan itu katakan, “Mari kita cek ke dalam hati kita...”

Banyak sekali kombinasi gerakan tangan yang bisa kita lakukan. Tidak akan cukup

waktu jika kita membincangkannya di sini. Semoga kita bisa berbincang panjang jka

Allah memberikan kesempatan kita bersua.

§ Badan

Jika duduk, pastikan punggung tidak bungkuk. Tegakkan saja, itu akan meningkatkan

wibawa kita di hadapan audiens kita. lebih baik lagi jika kita tidak duduk bersila,

melainkan duduk di atas kedua telapak kaki kita. posisi duduk seperti itu membuat

kita terasa lebih tinggi daripada audiens. Dengan demikian, audiens akan bersikap

ta’zhim yang pada ujungnya akan membuat mereka mudah menerima kekata kita.

Page 78: Melawan Dengan Cinta

Jika berdiri, berdirilah tegap. Hindari memasukkan tangan ke dalam saku celana,

apalagi jika sakunya bolong. Khawatirnya saat kita menarik tangan kita keluar,

bolongnya ikut tertarik. Hehe.

Fokuslah menghadap audiens, jangan sekalipun membelakangi mereka. Jangan

mematung. Sesekali berjalanlah dua atau tiga langkah untuk menghidupkan suasana.

Jika kita berhasil ‘menghipnotis’ mereka, kemanapun kita berjalan, kesanalah mata

mereka mengikuti.

• Efektifitas Kalimat

Sesekali, pikirkanlah sesuatu, lalu ucapkan. Rekamlah omongan kita barang dua tiga

menit. Setelah itu dengarkan beberapa kali. Tulislah apa yang kita dengar dari rekaman itu

di kertas ataupun di komputer. Lalu saksikanlah susunannya kalimatnya. Ada

kemungkinan hasilnya begini.

Adapun yang sebenarnya eee yang meruapakan kebenaran itu adalah hanya Islam. Dan lalu

kemudian kita meyakininya. Akan tetapi, kenapa eee banyak di eee di antara kita yang di

antara kita menyukai suka sekali berbuat kemaksiatan.

Kacau sekali bukan? Jika kita yang berbicara saja, pusing ketika mendengarnya, apalagi

orang. Sadarilah, betapa sering kita menyiksa audiens dengan kalimat kita yang sulit

dimengerti. Perbaikilah. Ingatlah syarat sebuah kalimat sempurna. Bagaimana

susunannya, penggunaan kata sambung, dan lain sebagainya. Coretlah bagian yang

mengganggu. Tambahkan bagian yang seharusnya ada. Perbaiki kalimat yang kurang

tepat. Lakukan terus proses ini, hingga kita merasa makin hari susunan kalimat kita

semakin efektif.

• Artikulasi

Terakhir, yang mungkin urutannya seharusnya bukan di akhir, adalah artikulasi, pelafalan.

Kawan saya sangat serius mempelajari pelafalan. A dibaca A, jangan sampai bergeser

sedikit ke E. Karena kadang kita berbicara terlalu cepat, sehingga penyebutan kata

menjadi tidak jelas. Dalam dunia teater, kalau tidak salah ada salah satu teknik yang

Page 79: Melawan Dengan Cinta

disebut prep. Kita menyebutkan huruf A berulang-ulang dari yang sangat pelan, agak

pelan, pelan, agak keras, keras, sangat keras, dan seterusnya. Nampaknya seorang da’i

juga perlu berlatih seperti itu. Bisa menjadi bahaya yang besar jika kita salah melafalkan

suatu kata saat berbicara di forum. Karena itu, mari belajar.

Page 80: Melawan Dengan Cinta

MENUTUP

Kita telah sampai di penghujung majlis kita. jika secara sempurna kita telah menjalankan

semua langkah penting dalam mempersiapkan mental audiens, meningkatkan konsentrasi,

menjaga konsentrasinya, dan juga telah menggunakan trik terbaik dalam menancapkan

pemahaman, insya Allah kita telah memukau kesadaran mereka. Tinggal satu langkah lagi

kawan, menutup.

Jika kita tidak pandai dalam menutup pemaparan kita, semua kesan positif yang telah kita

bangun pada mereka akan menguap. Meskipun sebelumnya kita telah mampu menggugah

kesadaran mereka, tetapi jika kita tidak mampu menutup perbincangan dengan cerdas, daya

gugah itu melemah, bahkan bisa hilang sama sekali.

Seringkali kita ingin menutup ta’lim dengan kesan yang alami. Jika kita ibaratkan kurva, maka

daya gugah kita ibarat parabola terbaik. Di bagian awal, kita belum menunjukkan taring kita.

Pada pertengahannya, irama dan nada penyampaian kita jadi berubah tinggi, dengan begitu

audiens merasakan aliran energi yang besar. Kemudian menjelang akhir, perlahan daya gugah

kita menurut, terus menurun dan dalam keadaan itulah kita menutup pemaparan kita.

Agar terkesan alami, biasanya kita sengaja memberi jarak cukup jauh antara kesimpulan dan

salam penutup. Di antara kesimpulan dan salam penutup itulah kita menjembataninya

dengan berbagai macam doa, permohonan maaf, atau kalimat-kalimat (yang nampak klise)

lainnya.

Salahkah? Tidak. Bagus-bagus saja jika kita menjembatani kesimpulan dan salam dengan doa

atau permohonan maaf. Tetapi kurang greget aja. Kenapa tidak kita coba saja menutup

pemaparan kita di saat konsentrasi mereka meninggi? Saat kata-kata kita memiliki daya gugah

tinggi, nadanya meninggi, tangan kanan kita sedang mengacung, dan tatap mata kita sedang

tajam-tajamnya, “Kelak, kita akan tahu bahwa neraka itu benar-benar menyala, saat kita

dilemparkan ke dalamnya. Na’udzubillah min dzaalik. Wassalamu’alaykum Warahmatullahi

Wabarakatuh.”

Page 81: Melawan Dengan Cinta

Karena kita menghentikan forum di saat konsentrasi mereka meninggi, audiens akan

merasakan aliran energi yang kuat dalam dirinya. Dia pulang dengan membawa energi yang

masih menyala-nyala dalam dadanya.

Efek positif lainnya, karena kita menghentikan pembicaraan saat nada kita meninggi, maka

audiens merasakan bahwa materi kita belum selesai. Mereka merasa penasaran dengan

kelanjutannya. Mereka akan merindukan kita. Mereka akan merasa waktu seminggu terlalu

lama untuk kembali berkumpul di forum kita. Bahkan akan ada sebagian peserta yang

mengerumuni kita setelah forum ditutup. Saat peserta dan kita berkumpul di luar forum

(tentu suasananya lebih rileks dan bersahabat), saat itulah kita telah menjalin hubungan baik

dengan mereka, yang akan menjadi bekal bagi kita untuk sampai ke tahapan dakwah

berikutnya, dakwah tanpa kata.

Insya Allah, selepas rehat sejenak setelah ini, kita akan bertemu lagi pada keping ke ketiga:

NYATA. Di sana kita akan berbincang tentang dakwah yang tidak terlalu banyak

menggunakan kata, melainkan amal-amal nyata dalam keseharian kita. Semoga Allah

memudahkan.

***

Page 82: Melawan Dengan Cinta

KEPING KETIGA

NYATA ***

Kitab yang tergeletak di perpustakaan,

tak banyak yang membacanya. Adapun seorang Muslim,

ia adalah kitab yang terbuka. Semua orang membacanya.

Kemanapun ia pergi, ia adalah dakwah yang berjalan.

~ Imam Syahid Hasan al-Banna ~

***

Page 83: Melawan Dengan Cinta

5

MENYENTUH HATI

aat itu RasuluLlah tengah lari tergopoh-gopoh. Lemparan batu penduduk thaif masih

menyisakan luka yang berdarah-darah di betisnya. Meski datang dengan cinta,

ternyata penduduk Thaif tak menyambutnya dengan cinta yang sama. Keberadaan

bani Tsaqif yang memiliki kekerabatan dengan ibunda RasuluLlah, Aminah, juga tidak

membantu. Anak-anak dan orang-orang bodoh di Thaif tetap saja melempari Rasul dan Zaid

dengan batu dan kotoran. Sungguh memilukan.

Dalam kelelahan yang meraja, RasuluLlah dan Zaid beristirahat di salah satu kebun. Kebun

itu milik Utbah dan Syaibah, keduanya putera Rabi’ah. Beliau kemudian menghampiri

sebatang pohon anggur, kemudian beristirahat di bawah rimbunnya. Dalam kelelahan yang

sungguh menyiksa, RasuluLlah melantunkan doa yang kelak menjadi sejarah,

“Ya Allah, kepada-Mu juga kuadukan kelamahan kekuatanku, kekurangan siasatku dan

kehinaanku di hadapan manusia. Wahai Yang Paling Pengasih di antara para pengasih, Engkau

adalah Rabb orang-orang lemah. Engkaulah Rabbku, kepada siapa hendak Engkau serahkan

diriku? Kepada orang jauh yang bermuka masam padaku, ataukah kepada musuh yang

menguasai urusanku? Aku tidak peduli asal Engkau tidak murka kepadaku...”

Utbah dan Syaibah, kakak beradik pemilik kebun itu, merasakan getaran kecil di nuraninya.

Keduanya lalu memanggil pembantu mereka yang beragama Nashrani, Addas namanya.

Mereka memerintahkan Addas untuk menyuguhkan setandan buah anggur kepada

RasuluLlah saw. Segera saja Addas menemui Beliau. RasuluLlah menerima kebaikan dua

kakak beradik melalui perantara pembantu itu. Dengan tangan kanannya, Rasulullah

memasukkan buah anggur itu ke dalam mulutya, seraya membaca BismiLlah.

“Kata-kata ini tidak pernah diucapkan penduduk negeri ini,” Addas terkejut.

“Wahai Addas, kamu berasal dari mana dan apa pula agamamu?”

“Aku seorang Nashrani, dari Ninaway,” jawab Addas.

S

Page 84: Melawan Dengan Cinta

“Oh, dari negeri Yunus bin Matta, orang yang shalih itu?” sabda Nabi.

“Apa yang tuan ketahui tentang Yunus bin Matta?”

“Beliau itu saudaraku, beliau adalah seorang Nabi, begitupun aku.”

Mendengar itu, Addas merengkuh badan RasuluLlah, kemudian mencium tangan dan kaki

beliau. Utbah dan Syaibah merasa heran dengan perlakuan Addas kepada RasuluLlah.

“Celaka kamu wahai Addas, apa yang kamu lakukan?”

“Tuan, di dunia ini tidak ada sesuatupun yang lebih baik daripada orang ini, dia telah

mengabariku sesuatu yang tidak diketahui kecuali oleh seorang Nabi.”

***

Konon, perkara yang paling sulit dilakukan adalah memulai sesuatu, apapun itu. Wallahu

a’lam benar atau tidaknya kalimat tersebut. Yang jelas, memulai dakwah kepada orang yang

tidak dikenal memang sangatlah sulit. Saya sendiri merasakan kesulitan setiap kali ingin

membuka perbincangan dengan yang orang yang baru dikenal. Rasanya seperti akan bercebur

ke dalam air yang sangat dingin, antara berani dan tidak, tetapi lebih cenderung tidak berani.

Namun, fragmen sejarah yang saya sajikan tadi insyaAllah mampu menjawab kesulitan kita.

Cerita singkat antara RasuluLlah dan Addas di kebunnya Utbah dan Syaibah tersebut, telah

mengajarkan kita banyak hal tentang berdakwah kepada orang yang sama sekali belum

dikenal sebelumnya, dan iapun belum mengenal kita sebelumnya. Jika kita amati dengan

jernih, insyaAllah kita akan menemukan beberapa trik jitu dalam memulai dakwah kepada

orang yang belum kita kenal, yaitu identifikasi diri, identifikasi mad’u, melekatkan diri kita

dengan mad’u (intimisasi), mengaitkan mad’u dengan seorang tokoh yang kita ketahui dekat

dengannya, memuji tokoh tersebut, kemudian menunjukkan bahwa kita dekat dengan tokoh

yang dikagumi oleh mad’u kita. Mari kita bincangkan satu persatu.

IDENTIFIKASI DIRI

Masih ingat dengan apa yang diucapkan Nabi saat Addas menyuguhkan setandan anggur?

Ya, Nabi mengucapkan Bismillah ketika akan memasukkannya ke dalam mulut. Bismillah,

Page 85: Melawan Dengan Cinta

adalah kalimat khas yang belum pernah didengar oleh Addas sebelumnya dari penduduk

Thaif.

Identifikasi diri sangat perlu kita lakukan di awal perkenalan kita, karena ia akan menentukan

sikap mad’u (objek dakwah) terhadap kita. Kalimat Bismillah yang diucapkan Nabi membuat

Addas (mungkin) bertanya-tanya dalam hatinya, “Dari mana orang ini?, siapa dia

sebenarnya?”. Kalimat BismiLlah itu pula yang membuat Addas (nampaknya) memilih sikap

yang baik kepada Nabi.

Bisa kita bayangkan, jika dalam berkenalan dengan seorang calon mad’u, kita memilih

mengucapkan kata-kata yang tidak menunjukkan ciri khas keislaman kita, mungkin ia juga

akan bersikap yang kurang lebih sebangsa dengan kalimat yang kita ucapkan saat berkenalan

dengannya.

Saya pernah mengalaminya. Saat itu saya bersama beberapa kawan sedang berkumpul dengan

beberapa orang kawan baru yang sebagian besarnya belum pernah saya kenal sebelumnya.

Saat memperkenalkan diri, saya hanya menyebutkan nama dan latar pendidikan saya.

Memang tidak pada tempatnya jika saya memperkenalkan diri seorang ayah dari dua orang

anak, suami dari seorang akhawat shalihah, atau mungkin sebagai seorang anak muda yang

sedang belajar Islam lebih serius. Tidak pada tempatnya. Karena saat itu identitas yang

diperlukan memang hanya nama dan latar pendddikan.

Sayang sekali, karena perkenalan itu berakibat cukup besar di kemudian hari. Karena saya

hanya dikenal nama dan latar pendidikan, maka mereka juga bersikap diperlukan. Kata-kata

yang jarang saya dengar akhirnya terdengar di sana. Pola pergaulan laki-laki dengan

perempuan yang jarang saya lihat, akhirnya terlihat di sana, di depan mata kepala saya sendiri.

Bahkan, sikap yang tidak pernah saya dapatkan sebelumnya, saya dapatkan di sana.

Keadaan tersebut tentu tidak akan terjadi jika saya memperkenalkan identitas saya

selengkapnya. Jika saya memperkenalkan diri saya sebagai suami dari seorang akhawat

shalihah atau ayah dari dua orang anak lelaki, tentu perempuan yang ada di sana akan

bersikap sebagaimana sikap yang diperlukan terhadap lelaki yang telah berkeluarga.

Page 86: Melawan Dengan Cinta

Atau jika saya memperkenalkan diri saya sebagai anak muda yang sedang serius belajar Islam

(kita sering menyebutnya sebagai ikhwan), tentu mereka juga akan bersikap sebagaimana

yang diperlukan kepada para ikhwan. Tentu mereka tidak akan mengajak kita berbicara yang

tidak perlu. Tentu mereka tidak akan meminta saya untuk mengantarnya pulang

berboncengan.

Dan benar, setelah secara tidak sengaja mereka mengetahui status dan peran saya, sikap

mereka juga ikut berubah bersamaan dengan itu. Setelah mereka tahu bahwa saya seorang

ikhwan, mereka tidak lagi berkata-kata atau bersikap yang tidak pantas di hadapan seorang

ikhwan. Begitupun setelah mereka mengetahui bahwa saya sudah berkeluarga, tidak ada lagi

di antara mereka yang mencoba melakukan pendekatan-pendekatan tertentu (geer banget

ya?, hihi).

Ada lagi cerita lain yang cukup menarik. Kali ini tentang seorang ustadz muda yang sering

diminta memberikan taushiyah di ta’lim-ta’lim khusus remaja. Usia ustadz itu tidak lebih dari

24 tahun.

Ada dua kejadian yang bisa kita jadikan pelajaran dari kisah perjalanan ustadz tersebut dalam

memberikan taushiyahnya. Yang pertama, saat ia menyampaikan taushiyah, tanpa

sebelumnya diperkenalkan oleh panitia. Tidak ada audiens yang tahu bahwa dia adalah

seorang yang cukup berprestasi di bidang akademik. Juga tidak ada yang tahu bahwa dia

adalah salah satu ustadz muda yang hampir setiap majlis ta’limnya dipenuhi oleh peserta yang

berjejal-jejal. Tidak ada yang tahu juga bahwa ustadz muda kita ini adalah seorang penulis

yang cukup produktif. Lalu bagaimana sikap audiens terhadapnya? Tentu saja mereka

bersikap sebagaimana yang diperlukan kepada pemuda usia 24 tahunan yang sedang

berbicara, ya seperti kepada kakak tingkat. Ketika ustadz muda ini memancing respons

audiens, mereka meresponnya dengan tidak bersemangat. Bahkan tidak sedikit dari mereka

yang –kelihatannya- memandang sinis.

Keadaan yang berbeda terjadi ketika panitia melakukan sebaliknya. Selain memperkenalkan

nama, panitia juga memperkenalkan prestasi-prestasinya, sepakterjangnya sebagai ustadz

muda, serta berbagai kelebihan-kelebihan yang mungkin cukup membanggakan. Maka sikap

Page 87: Melawan Dengan Cinta

pesertapun berubah, sebagaimana sikap kepada orang yang berprestasi, sebagaimana sikap

kepada orang yang dianggap mengerti agama, sebagaimana sikap kepada orang yang bisa

dibanggakan.

Ketika ustadz muda kita memancing respons mereka, gemuruh suara segera menyambutnya.

Ketika ia meminta peserta berdiri, serentak mereka berdiri. Ketika ia meminta peserta

meneriakkan takbir, maka bergemuruhlah takbir di ruangan itu.

Poin pembedanya sangat sederhana, identifikasi.

Kisah berikutnya juga tentang ustadz muda yang sama. Saat itu dia sedang memberikan

taushiyahnya kepada ratusan mahasiswa baru yang belum pernah dikenalnya, dan belum

pernah mengenalnya. Sehingga dalam keadaan seperti ini sangat diperlukan identifikasi agar

audiens bersedia memberikan sikap terbaik dalam taushiyah nanti.

Usai acara, ia membaur dengan ratusan peserta ikhwan untuk menikmati hidangan yang

disuguhkan panitia. sekonyong-konyong seorang peserta datang, menyalaminya, kemudian

menganggukkan kepalanya dengan sangat sopan. Ia menyatakan keterpesonaannya dengan

materi yang disuguhkan. Dan parahnya (dan mungkin lazimnya), keterpesonaan terhadap

materi itu berawal dari keterpesonaannya dengan sosok si ustadz, yang di dahinya ada tanda

hitam bekas sujud.

Tanda hitam itulah yang katanya membuat si peserta memberikan ta’zhimnya sejak

permulaan. Tanda hitam yang (biasanya) menunjukkan bahwa si pemiliknya adalah orang

yang sering menghadap Tuhannya di sepertiga malam terakhir. Tanda hitam yang membuat

si peserta merasakan bahwa ustadz tersebut layak menyampaikan kebenaran.

Mungkin kita juga bisa membayangkan bagaimana sikap para lelaki ‘jalanan’ terhadap para

akhawat yang mengenakan jilbab lebarnya. Rasa segan akan membuat para lelaki itu tidak

berani berkata buruk, apalah lagi bersikap jahat terhadapnya. Karena si lelaki telah

mengindentifikasi bahwa wanita yang ada di hadapannya itu adalah seorang wanita shalihah,

yang menjaga dirinya dengan sempurna.

Page 88: Melawan Dengan Cinta

Teman saya juga pernah cerita. alhamduliLlah ia terlibat dengan jamaah Islam yang sering

mengetuk pintu-pintu rumah kita untuk shalat berjamaah. Suatu ketika rombongan jamaah

tersebut sedang beri’tikaf di salah satu mushalla di daerah yang banyak kos-kosan mahasiswa.

Tahu sendiri lah, bagaimana kondisi sebagian besar rumah kos mahasiswa. Khalwat,

ikhthilath dan lainnya. Nah, kebetulan malam itu sepasang mahasiswa sedang bermesraan di

teras kosnya. Tiba-tiba anggota jamaah tersebut lewat dengan mengenakan sorban dan

jubahnya. Segera. Seketika itu juga lelaki yang sedang dimabuk asmara itu melepaskan

pacarnya, kemudian berdiri meninggalkannya. Setelah itu ia pergi menyusul anggota jamaah

yang tadi lewat di depan mereka. Sesampai di mushalla, lelaki itu mencium tangan ‘ustadz’

yang tadi lewat di depan kosnya.

“Nggak lagi deh, tadi tuh saya khilaf...”

Subhanallah, padahal ketika lewat depan kosnya, lelaki bersorban itu tidak mengucapkan

apapun selain salam. Tidak ada memerintahkan lelaki itu untuk memutuskan pacarnya. Tidak

ada, hanya salam.

Identifikasi. Sungguh ia memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap sikap orang lain

kepada kita. Maka sejak permulaan, tunjukkanlah siapa kita. Sebagaimana RasuluLlah

mengucapkan Bismillah saat berkenalan dengan Addas. Maka kalimat itulah yang akan

menjadi pintu pertama masuknya dakwah ke hati mad’u kita. insyaaLlah.

IDENTIFIKASI MAD’U

Berikutnya, yang dilakukan RasuluLlah adalah mengidentifiksi mad’unya. Rasul memang

tidak menanyakan langsung siapa nama calon mad’unya itu. Rasulullah hanya mendengar

nama pembantu itu disebut oleh dua orang majikannya, Utbah dan Syaibah. Dengan begitu,

bertambahlah jembatan yang dibangun Rasul untuk menyeberangkan keyakinannya pada

Addas.

Adalah sebuah sunnah pula, menanyakan identitasnya seraya menjabat erat tangannya. Syaikh

Abbas As-Siisisy dalam kitabnya Ath-thaariq ilaa Al-quluub menuliskan bahwa eratnya

genggaman tangan saat berjabat, menunjukkan seberapa dekat jarak antara dua hati.

Page 89: Melawan Dengan Cinta

Saya punya sahabat yang demikian bersemangat mengamalkan sunnah berjabat tangan ini.

Ada energi yang mengalir dari satu hati ke hati yang lain melalui jembatan jabat tangan itu.

Apalagi jika kita menambahnya dengan tatapan mata yang sangat bersahabat.

Identifikasi mad’u adalah perkara yang sangat penting. Karena dengannya kita jadi mengerti

dengan siapa kita berbicara, dan tentunya mad’u juga merasa dihargai karena kita berupaya

mengenalnya.

Tanyakanlah namanya. Jika perlu, tulislah namanya di lembaran yang mudah kita ingat, begitu

syaikh Abbas as-Siisiy mengajarkannya pada kita. Ustadz Abbas as-Siisiy bahkan sangat

senang menghafal nama orang lain. Jangan remehkan perkara ini, meskipun ia kecil, ia

berpengaruh sangat besar untuk dakwah kita di kemudian hari.

PELEKATAN

“Wahai Addas, dari negeri manakah kamu dan apa agamamu?”

Kenapa mesti ada kalimat “Wahai Addas,”? bukankah cukup dengan bertanya, “dari negeri

manakah kamu dan apa agamamu?” bukankah itu esensi pertanyaannya?

Tetapi Rasulullah memanggil nama Addas dalam pertanyaannya. Bukan untuk

memperpanjang pertanyaan, melainkan untuk memperpendek jarak antara dua hati. Saat

Addas mendengar Rasulullah memanggil namanya dengan lembut, tentu dalam dada Addas

sedang mengalir lembut energi cinta dari Sang Nabi. Addas merasa dihargai. Addas merasa

keberadaannya dianggap oleh lawan bicaranya. Dengan begitu, pembicaraan antara

Rasulullah dan Addas akan semakin hangat, dan insyaaLlah dakwah nabi akan mudah

diterima oleh Addas.

Ustadz Abbas As-Siisiy bercerita, bahwa beliau harus naik trem setiap hari untuk pergi ke

kantor dakwahnya. Setiap harinya, beliau duduk berhadapan dengan dua orang pemuda.

Beliau tidak pernah menanyakan namanya. Hingga di suatu hari, beliau memanggil dua orang

itu dengan nama masing-masing, dan benar. Tentu saja kedua pemuda tersebut terkejut

mendengar namanya dipanggil oleh orang yang tidak mereka kenal.

Page 90: Melawan Dengan Cinta

“Dari mana anda tahu nama kami? Bukankah kita tidak pernah berkenalan?” tanya salah satu

pemuda.

“Oh, saya memang tidak pernah bertanya pada kalian, saya mengetahuinya dari pembicaraan

kalian, ketika salah satu dari kalian memanggil nama yang lainnya.”

Bisa dibayangkan perasaan dua orang pemuda itu? Tentu saja mereka merasa sangat dihargai,

sangat diperhatikan. Dan jika sudah begini, jalan menuju hati (sebagaimana judul buku

beliau) akan semakin mulus.

Ustadz Yusuf Mansur termasuk contoh yang sangat baik dalam hal ini. Dari beberapa

taushiyah beliau yang saya ikuti, hampir kesemuanya membuat saya terkagum-kagum dengan

kemampuan beliau mendekat pada audiensnya. Hampir tidak pernah ketinggalan, beliau

selalu saja berulangkali menyebutkan siapa yang ada di hadapan beliau. Jika beliau berada di

Masjid Noor Banjarmasin, beliau selalu mengulang kalimat, “Hadiri jama’ah masjid Noor

Banjarmasin yang dimuliakan Allah.” Rasanya beliau tidak pernah sekedar menyebut

“Hadirin yang dimuliakan Allah.”

Kenapa beliau mesti mengucapkan kalimat ‘jamaaah masjid Noor Banjarmasin? Nampaknya

sedikit merepotkan. Tetapi justeru kekuatannya ada pada yang repot itu. Menyebutkan

identitas mad’u menunjukkan kita mengistimewakannya. Dan mad’u yang merasa

diistimewakan, tentu akan mengistimewakan kita. Jika kita menghargai keberadaan mereka,

tentu mereka juga menghargai keberadaan mereka.

Subhanallah. Jika berbincang tentang ini, saya merasa malu untuk menceritakan pengalaman

saya. Saya ini orangnya sangat pelupa. Kadang saya merasa sangat tidak enak dengan adik-

adik yang setiap minggunya tekun menghadiri majlis ta’lim saya. Usai ta’lim, biasanya saya

bersalaman dengan mereka seraya menanyakan namanya. Untuk pertama kali, itu memang

harus dilakukan. Masalahnya, saya melakukannya setiap selesai ta’lim. Hal itu menunjukkan

bahwa saya lupa dengan nama mereka, padahal sudah berkenalan sebelumnya.

Bayangkan bagaimana perasaan mereka jika saya terus saja menanyakan nama mereka setiap

habis ta’lim? Tentu mereka merasa tidak dianggap, dan –semoga saja tidak terjadi- mereka

bisa kecewa dengan saya, akibatnya mereka tidak mau lagi hadir pada pertemuan berikutnya.

Page 91: Melawan Dengan Cinta

Solusinya, biasanya saya selalu menyiapkan lembar presensi setiap kali ta’lim. Agar dengan

begitu, saya bisa menghapalkan nama-nama mereka. alhamduliLlah sekarang sudah banyak

nama yang saya ingat.

Intimisasi, sebutkan nama mereka dalam pembicaraan kita. Niscaya mereka akan merasa

keberadaannya dihargai, dan iapun akan menghargai kita.

MENGAITKAN DENGAN YANG DEKAT

Apa yang kemudian dilakukan Rasulullah setelah Addas menjelaskan agama dan negeri

asalnya? Ya, Rasulullah segera mengaitkan nama daerah dan agama Addas dengan orang yang

dikenal oleh Rasulullah berasal dari daerah tersebut, dan juga dimuliakan dalam agama yang

diyakini Addas, Yunus bin Matta. Sebagaimana Addas, Yunus bin Matta seorang yang berasal

dari Ninaway, lebih dari itu Yunus bin Matta adalah seorang Nabi yang dimuliakan oleh

Addas.

Lagi-lagi perkara seperti ini terlihat sepele. Padahal ianya membawa pengaruh yang demikian

besar dalam memasukkan nilai-nilai ilahiah kepada mad’u. Karena itu, mulai sekarang mari

kita perhatikan lebih serius perkara-perkara kecil seperti ini. Karena banyak manusia yang

menghuni neraka karena banyak menganggap remeh perkara kecil.

Lihatlah Nabi. Apa pentingnya beliau mengaitkan Addas dengan Yunus bin Matta? Sadarilah

kawan, bahwa manusia memiliki gharizatul baqa’ (naluri mempertahankan diri) yang salah satu

wujudnya adalah kecintaan terhadap tanah kelahiran, atau perasaan cinta dengan orang-orang

yang berasal dari tanah yang sama. Bukankah dua orang yang tidak pernah saling sapa semasa

di Indonesia, akan menjadi sangat dekat saat berada di Mesir? Begitulah kerjanya gharizatul

baqa’. Rasulullah sangat mengerti hal ini. Ketika Addas mendengar Nabi mengetahui orang

yang sedaerah dengan Addas, saat itulah gharizatul baqa’ Addas bekerja. Saat itulah Addas

merasa dekat dengan orang yang mengenal Ninaway dan juga mengenal tokohnya.

Dalam kehidupan sehari-hari, saya sering mendengar dua orang yang baru saling kenal

mencoba mengaitkan lawan bicaranya dengan informasi yang diketahuinya.

Page 92: Melawan Dengan Cinta

“Kuliah di mana Mas?” tanya seseorang.

“Di Unlam Banjarmasin” jawab yang ditanya.

“Oh..di Unlam, kenal sama si anu?”

Saya yakin kalian juga sering menemukan yang begitu. Karena itu, mari kita biasakan untuk

melakukannya juga. Karena jika lawan bicara kita menyadari bahwa kita memiliki ma’lumat

(informasi) tentang daerah asalnya, tentang kampusnya, atau tentan apa saja terkait dirinya,

saat itulah ia merasa nyaman dengan kita. Dengan begitu, jembatan untuk menyeberangkan

keyakinan akan semakin lebar, atau mungkin jarak antara dua hati yang mendekat.

MEMUJI INFORMASI YANG DEKAT

Lalu apa pentingnya Rasulullah menyebutkan “Oh Ninaway, negerinya Yunus bin Matta

yang shalih itu?”

Ya, untuk apa ditambahkan keterangan ‘yang shalih itu’? bukankah esensinya sudah

tersampaikan? Begitulah hati. Yunus bin Matta adalah seorang lelaki yang berasal dari

Ninaway, negeri asalnya Addas. Terlebih lagi, Yunus bin Matta adalah seorang Nabi yang

dimuliakan oleh Addas. Jika menyebutkannya dengan predikat yang buruk, akan membuat

Addas merasa tidak nyaman dengan Rasulullah, maka menyebutnya dengan predikat yang

mulia akan membuat Addas merasa semakin nyaman dan semakin husnuzhzhan dengan

Rasulullah.

Sebagaimana ibu-ibu yang sedang ngobrol di angkot. Ketika salah satu mereka menanyakan

tentang diri yang lain, entah tentang asal daerah, suami, anak, atau apa. Jarang sekali mereka

melekatkan informasi tersebut dengan predikat yang negatif. “Oh, suami Ibu kerja di bank,

ih, itu haram lho Bu, amit-amit deh!” pernahkan kalian mendengar kalimat senada itu?

Contoh sederhana, jika kita berkenalan dengan seorang mad’u, tanyakanlah nama, asal daerah

atau kampusnya. Setelah itu, sebutkan satu atau beberapa informasi yang kita ketahui tentang

daerah atau kampusnya. Jika ia menyebutkan asal daerahnya adalah Banjarmasin, maka kita

harus mengingat-ingat informasi apa yang kita ketahui tentang Banjarmasin, misalnya adalah

Page 93: Melawan Dengan Cinta

tentang pasar terapungnya yang eksotis. Setelah itu, lekatkan informasi tentang pasar

terapung itu dengan image yang positif. Mungkin kita bisa mengatakan “Subhanallah, saya

pernah baca di koran tentang pasar terapung di Banjarmasin, eksotis sekali. Jika ada

kesempatan, saya pengen banget jalan-jalan ke sana.”

Kalimat di atas adalah contoh image positif yang bisa kita lekatkan dengan pasar terapung

Banjarmasin. Tidak usah dulu lah membahas sungainya yang kotor, kesadaran masyarakatnya

yang masih rendah terhadap kebersihan lingkungan sungai, atau kesan-kesan negatif lainnya.

Itu belum saatnya. Hanya akan membuat jarak hati kita semakin jauh dengan mad’u.

Atau jika ia menyebutkan kampusnya, segera saja kita ingat-ingat informasi terkait

kampusnya, entah dosennya, entah mahasiswa yang kita kenal, entah prestasi kampus

tersebut, atau apapun. Setelah itu, lekatkanlah kesan positif terhadap infoemasi itu. Misalnya

informasi yang kita ketahui adalah tentang mahasiswanya, lekatkanlah mahasiswa yang kita

ketahui itu dengan kesan positif. Jangan nekat mengaitkannya dengan mahasiswa yang

ketahuan berzina, nyontek, dan lainnya. Itu belum saatnya dibahas, hanya akan memperkeruh

suasana obrolan kita.

Kuncinya sederhana, kenali informasi terkait, lalu sematkan kesan positif. Sebagaimana

Rasulullah mengaitkan Ninaway dengan Yunus bin Matta, kemudian beliau sematkan

keterangan ‘yang shalih itu’. Mari kita belajar.

TUNJUKKAN KITA DEKAT DENGAN TOKOH/INFORMASI ITU

“Oh, dari negeri Yunus bin Matta, orang yang shalih itu?” sabda Nabi.

“Apa yang tuan ketahui tentang Yunus bin Matta?”

“Beliau itu saudaraku, beliau adalah seorang Nabi, begitupun aku.”

Setelah Addas merasa sangat nyaman dengan Rasulullah karena banyak tahu tentang

Ninaway, Yunus bin Matta, dan keshalihan Yunus bin Matta, Rasulullah lalu mengunci

kenyamanannya dengan kalimatnya yang terakhir, “Beliau itu saudaraku, beliau adalah

seorang Nabi, begitupun aku.”

Page 94: Melawan Dengan Cinta

Bagaimana perasaan Addas? Tidak usah ditanya lagi, Addas pasti merasa melayang-layang.

Kedekatan-kedekatan sebelumnya saja sudah sangat mempesonanya, apalah lagi jika

Rasulullah mengaku Yunus bin Matta adalah saudaranya. Sudah begitu, masih pula ditambah

Rasulullah dengan kalimat pengunci “Beliau adalah seorang Nabi, begitupun aku.”

Mungkin Addas sedang melayang-layang di angkasa. Orang yang ada di hadapannya,

berbicara dengannya, yang menyebut namanya, yang mengetahui negeri asalnya, mengetahui

Nabi yang dimuliakannya, ternyata adalah orang yang sangat dekat dengan Nabi yang

dimuliakannya. Lebih dari itu, ternyata ia juga adalah seorang Nabi. Apalagi yang bisa

menghalangi dakwah masuk ke dalam dada Addas?

Kunci Menyentuh Hati

Insyaallah, begitulah cara Nabi memulai dakwah kepada orang yang baru dikenalnya. Diawali

dengan memperkenalkan diri seutuhnya, mengenali nama mad’u, menyebutkan namanya

ketika berbicara, mengaitkan mad’u dengan tokoh yang kita kenal, memuliakan tokoh itu,

kemudian menunjukkan bahwa kita sangat dekat dengan tokoh itu. Insyaallah, jembatan

menuju hatinya akan semakin mulus. Berani mencoba?

Page 95: Melawan Dengan Cinta

6 MENGIKAT HATI

inta tumbuh karena pendeknya jarak, dan panjangnya interaksi. Begitu pepatah

arab mengajarkan kepada kita. Benar. Mungkin banyak di antara kita yang berhasil

menumbuhkan cinta di hati mad’unya sejak pertemuan pertama. Tetapi tidak

sedikit pula yang gagal melakukannya.

Berbagai fase pendekatan yang kita lakukan tidak membuahkan hasil. Sejak berkenalan, kita

telah memperkenalkan diri sebagai seorang Muslim sejati. Kita juga telah mengenali

calon mad’u dengan baik, namanya, asal sekolahnya, asal daerahnya, tempat tinggalnya, atau

informasi-informasi lainnya terkait mad’u. Setelah itu, kita juga melekatkan diri kepada

mad’u dengan menyebutkan namanya saat berbicara, atau dengan memperkenalkannya

kepada teman kita yang datang kemudian dalam pembicaraan kita dengannya. Kita juga tidak

melupakan tahap berikutnya, mengaitkan mad’u kita dengan informasi yang kita ketahui

tentang latar belakangnya. Entah itu tentang sekolah asalnya, asal daerah, kampusnya, tempat

kosnya, atau apapun. Kita sudah coba mengaitkannya dengan salah satu atau semua

informasi yang kita ketahui. Tidak lupa, kita sematkan kesan positif pada informasi yang

kita kaitkan dengannya itu. Bahkan tahap terakhir juga sudah kita lalui, kita sudah

menunjukkan bahwa kita dekat dengan informasi yang terkait dengannya itu.

Sudah. Kesemua tahapan yang dilakukan Rasulullah kepada Addas telah kita lakukan.

Seharusnya kita berhasil menyentuh hati mad’u kita kan? Tetapi sayangnya, teori tersebut

bukanlah matematika, dimana satu ditambah satu pasti sama dengan dua, tidak mungkin tiga.

Tidak. Kita tidak sedang berhadapan dengan angka-angka. Yang kita hadapi adalah manusia

yang memiliki hati, yang memiliki keinginan, yang memiliki kebutuhan. Adalah wajar jika

teori tersebut tidak bisa berlaku sepenuhnya. Ia hanyalah pendekatan. Artinya, dengan cara

itu diharapkan (besar kemungkinan) kita lebih dekat dengan keberhasilan menyentuh mad’u

kita.

C

Page 96: Melawan Dengan Cinta

Tetapi tenang saja, jika tahap pertama ini belum berhasil mencapai targetnya dengan

sempurna, masih ada tahap kedua . Sebenarnya tahap ini merupakan lanjutan dari tahap

pertama, tetapi jika tahap pertama belum berhasil sempurna, tahap ini tetap bisa kita gunakan

untuk menyentuh hati mad’u kita.

Bagi sesiapa yang telah berhasil melalui tahap pertama dengan sempurna, tahapan ini harus

kita lakukan sebelum kita menyampaikan materi dakwah yang kita rencanakan. Pada tahap

sebelumnya kita telah berhasil menyentuh hati mad’u kita, insyaaLlah di sini kita akan

melakukan proses berikutnya yang tidak kalah mengasyikkannya: mengikat hatinya.

insyaaLlah, setelah ia merasakan ikatan yang kuat dengan kita, semenjak itulah Allah akan

memudahkan kita dalam menyampaikan materi dakwah kita, untuk kemudian

menggerakkannya. insyaAllah.

MEMBERSAMAI

Seorang ustadz muda bercucuran keringat mendorong sepeda motor tuanya. Lelahnya tak

mampu menghapus senyum tulus yang senantiasa menyungging di bibirnya. Ustadz muda itu

sedang menempuh perjalanan puluhan kilometer. Ia tidak menempuhnya untuk keperluan

bisnis, tidak pula untuk menjumpai sanak familinya. Ia menempuh perjalanan itu hanya

untuk sampai ke sebuah sekolah kecil di pelosok kabupaten Banjar.

Belasan kilometer dari sana, puluhan remaja sedang berkumpul di salah satu ruang kelas di

sekolah mereka. Mereka sedang menunggu kedatangan seorang ustadz muda yang membuat

mereka terpesona pada ta’lim minggu lalu. Di antara mereka ada dua orang anak muda yang

sangat kagum pada perjuangan ustadz muda itu, sebut saja namanya Fahmi dan Hamdun.

Menariknya, beliau telah mempraktikkan hampir semua yang telah saya tuliskan pada bagian

Menyentuh Hati di buku ini. Beliau telah menyentuh hati dua pemuda itu, dengan identifikasi

dirinya yang meyakinkan, dengan pengenalannya yang melekat kepada mereka, pun tahan-

tahap berikutnya. Maka sempurnalah sentuhannya di hati mereka

Melalui kisah ini, saya hanya ingin menunjukkan kepada sahabat semua, bahwa kita tidak

cukup hanya sampai pada tahapan menyentuh hati. Karena dari dua orang yang beliau sentuh

hatinya, ternyata di kemudian hari memilih jalan yang berbeda, karena sikap yang diterima

juga berbeda.

Page 97: Melawan Dengan Cinta

Beberapa bulan pertama, ustadz itu masih sering berkunjung ke sekolah tersebut, hampir

setiap minggu, malah. Adalah wajar jika kemudian mereka merasa sangat dekat dengan

beliau. Beliau tidak sungkan berkunjung ke rumah, kemudian berbincang dengan ayah-ibu

kedua pemuda itu, seolah ingin meyakinkan bahwa mereka akan baik-baik saja bersamanya.

Beliau tidak sungkan mengajak mereka menginap di rumahnya, melihat langsung aktifitasnya,

belajar bersamanya, bahkan diajak untuk terlibat dalam aktivitas dakwah hariannya. Adalah

wajar jika mereka merasa sangat dekat dengannya.

Beberapa bulan berikutnya beliau tidak lagi berkunjung ke sekolah itu. Tentu saja dua

pemuda itu merasa kehilangan sosok ustadz yang sangat mengagumkan. Karena Fahmi

sudah sangat membutuhkan kehadiran beliau, Fahmi memutuskan untuk mengunjungi beliau

seminggu sekali. Sedangkan Hamdun, karena keterbatasan dana tidak bisa mengikuti ide

Fahmi.

Alhamdulillah, Fahmi bisa kembali berkumpul dengan beliau. Di bawah bimbingan ustadz

muda itu, semakin besarlah kecintaan Fahmi terhadap Islam, karena ternyata beliau jauh

lebih mengagumkan dari yang dikenalnya selama ini. Beliau selalu membersamai aktivitas

Fahmi, menanyakan kabar, membantu menyelesaikan masalah, mengajari, dan lainnya.

Dengan begitu, selain semangat keislamannya, pengetahuan keislamannya juga jauh

meningkat.

Di kemudian hari, Fahmi menjadi pemuda Muslim dengan komitmen keislaman yang tinggi.

Kelak ia menjadi seorang da’i muda yang menggantikan peran ustadz kebanggaannya. Hal

sebaliknya terjadi pada Hamdun. Karena tak lagi bersua dengan ustadz muda itu, dan juga tak

banyak bertemu Fahmi, Hamdun memilih berkumpul kembali dengan teman-teman masa

lalunya sebelum mengkaji Islam. Ia mulai jarang terlihat di mushalla. Lantunan al-Qur’an

sudah tidak lagi dari rumahnya yang berhadapan dengan rumah Fahmi. Ia mulai sering

terlihat di tempat nongkrong anak muda di daerahnya. Ia mulai sering kebut-kebutan di

jalanan. Ia mulai ikut lagi berjejal-jejal di acara konser musik. Bahkan, ia mulai berani

membonceng perempuan yang bukan muhrimnya, yang ternyata pacarnya. Lebih

menyedihkan lagi, ia sudah berani mengkonsumsi obat terlarang. Terakhir ia harus menginap

beberapa hari di kantor polisi karena berada di tempat kejadian saat polisi menyergap para

pemain judi di daerahnya.

Page 98: Melawan Dengan Cinta

Fahmi dan Hamdun. Dua orang yang sama-sama telah disentuh hatinya oleh seorang ustadz

muda, ternyata memilih jalan yang berbeda di kemudian hari. Ternyata, kita tidak bisa

mencukupkan diri sampai pada tahap menyentuh hati, mesti ada tahap berikutnya yang harus

kita jalani. Dan dalam kisah ini, tahap itu dijalankan oleh ustadz muda itu kepada Fahmi,

membersamai.

Kita juga harus begitu kan kawan? Setelah kita berhasil menyentuh hati mereka sejak awal

perkenalan, mari kita bersamai mereka. Kita temani setiap gerak langkahnya. Kunjungi

rumahnya. Jabatlah tangannya setiap kali berjumpa. Duduklah sejenak bersamanya.

Bicarakanlah apa saja yang bermanfaat. Tanyakan kabarnya. Tanyakan habis dari mana? Mau

kemana? Ke sini dengan siapa? Mari kita membersamai mereka, agar mereka merasakan

bahwa kita ada, bersamanya

***

MEMBERIKAN HADIAH

Budayakanlah saling memberi hadiah, maka cinta akan hadir di tengah-tengah kita.

bayangkan bagaimana perasaan Abdurrahman bin Auf saat seorang anshar berniat membagi

dua semua yang dia punya. Satu dari dua kebunnya ingin diberikan kawannya kepadanya.

Satu dari dua tokonya juga ingin dibagikannya. Bahkan satu dari dua isterinya akan

diceraikannya jika Abdurrahman bin Auf menginginkannya.

Mungkin kita tidak perlu ekstrim seperti dua sahabat itu. Kita masih bisa memberikan

hadiah-hadiah kecil yang memiliki kesan besar di hatinya. Semasa SMA, saat saya masih

malas-malasan mengaji, seorang akhawat tidak kenal lelah menghadiahkan buku, majalah dan

buletin al-Islam pada saya. Meski awalnya tidak saya baca, tetapi lama kelamaan saya

penasaran juga dengan isinya. Subhanallah.

Sayangnya, dalam kisah ini kenapa harus akhawat yang memberikan hadiah. Saran saya,

berikanlah hadiah kepada yang sejenis saja. Ikhwah kepada ikhwah, akhawat kepada akhawat.

Ada banyak pilihan judul buku yang bisa kita hadiahkan. Buku yang ada di tangan antum ini

Page 99: Melawan Dengan Cinta

salah satunya ^_^. Buatlah mad’u kita merasakan kehangatan kita. buatlah mereka merasa

nyaman bersama kita.

Hadiah tidak harus selalu berbentuk barang bukan? Saya menemukan kisah yang sangat

mengesankan di tabloid yang diterbitkan oleh Angkatan Muda Baitul Hikmah (AMBH)

Unlam. Seorang ukhti, sebut saja namanya Hani menuturkan kisah awal-awal dia ikut

pengajian di lembaga dakwah itu. Ukhti yang satu ini bergabung dalam dakwah bukan karena

kekuatan argumen yang diberikan oleh ukhti Rina yang mendakwahinya. Bukan pula karena

kejernihan pemikirannya, ia belum mempedulikan itu. Uniknya, dia bergabung dalam dakwah

karena sebuah kejadian kecil yang tidak akan pernah dilupakannya.

Saat itu sepatunya menginjak tanah becek, hingga lumpurnya mengotori bagian atas

sepatunya. Mengejutkan sekali, setelah itu Rina segera membungkuk mengambil ujung

jilbabnya (jubah/gamis), kemudian membersihkan sepatu Hani dengan ujung

jilbabnya. Itulah hadiah kecil yang berkesan besar di hati Hani. Kejadian itulah yang

membuat Hani memilih jalan dakwah ini, hadiah mengejutkan dari Rina.

MENGUNJUNGI

Sesekali, berkunjunglah ke rumah atau tempat kosnya tanpa membawa keperluan apa-apa.

Berkunjunglah hanya karena kita ingin bersilaturrahim dengannya. Jika ada keluangan rizki,

bawakanlah makanan ringan atau buah-buahan untuk dimakan bersama. Insya Allah, dia

akan merasa nyaman bersama kita. Dengan begitu, dia akan merasa bahwa kita ada,

bersamanya.

Terlebih lagi jika kita seorang ustadz dengan jama’ah puluhan, ratusan bahkan ribuan. Jika

kita menyegaja datang ke rumah atau tempat kosnya, dia merasa sangat dihargai. Dia

merasakan kehormatan luar biasa dikunjungi oleh ustadz ‘terkenal’. Dia merasa istimewa di

antara teman-temannya.

MEMUDAHKAN URUSANNYA

Page 100: Melawan Dengan Cinta

Saat itu teman saya, namanya Hamid, yang kuliah di Banjarbaru ingin pulang ke Banjarmasin,

ke rumah orangtuanya. Atas rencana Allah, saat itu tidak sepeserpun ada uang di dompetnya.

Dalam bingungnya, seorang ikhwah aktivis LDK fakultasnya datang dan bertanya,

“Mau kemana dik?”

“Mau pulang ke Banjarmasin Kak.”

“Wah, kebetulan sekali. Kakak juga sedang ada keperluan ke sana. Barengan kakak aja deh

ya.”

Terang saja Hamid segera mengiyakan. Ia ikut membonceng di belakang ikhwah tersebut.

Sepanjang perjalanan mereka banyak berbincang. Hingga tiba di rumah orangtua Hamid.

“Makasih ya Kak. Setelah ini kakak mau kemana lagi?” Tanya Hamid setelah turun dari

sepeda motor.

“Ya pulang ke Banjarbaru, kemana lagi?”

“Lho, bukannya tadi kakak bilang ada urusan ke Banjarmasin?” Hamid bingung.

“Iya, urusan kakak cuma mengantar kamu.” Jawab ikhwah itu dengan senyum manisnya yang

berwibawa. Menangislah Hamid dibuatnya. Ternyata perjalanan sejauh ini ditempuh ikhwah

tersebut hanya untuk mengantarnya.

Jika kita melihat mad’u kita sedang ada masalah, segeralah bantu menyelesaikannya. Jika kita

tidak bisa menyelesaikannya, cari orang yang bisa menyelesaikannya. Jika dia sedang perlu

uang untuk membayar SPP, bantu. Jika kita sedang tidak memiliki keluangan rizqi, cari orang

lain yang bisa membantunya. Entah kita mengumpulkan sumbangan dari teman-teman kita,

entah kita carikan dia tempat meminjam, dengan cara apa saja (sejauh halal), bantulah ia.

Insya Allah dia tidak akan melupakannya. Dan lagi-lagi ia akan merasa kita ada, bersamanya.

MEMANGGILNYA DENGAN PANGGILAN KESUKAANNYA

MEMBELA DAN MENJAGA KEHORMATANNYA

Jika tidak sedang bersamanya, jagalah kehormatannya. Jika kita mendengar ada fitnah yang

menderanya, segera luruskan, jaga nama baiknya. Ketika ada teman kita yang

membicarakannya dengan nada yang tidak nyaman, segera bela. Itu semua adalah haknya,

Page 101: Melawan Dengan Cinta

dan kewajiban kita sebagai sesama Muslim. Terlebih lagi kita adalah seorang da’i yang

bermasuk mengajaknya menjadi seorang Muslim sejati.

JIKA MENASIHATI

Sekali waktu, mungkin mad’u kita melakukan kesalahan yang cukup menyesakkan dada kita.

Mungkin kita mendengar kabar ia bermaksiat, atau kita sendiri yang menyaksikannya. Adalah

manusiawi jika kita kecewa dan ingin segera memarahinya. Betapa tidak? Dia sudah seperti

adik kandung bagi kita. Dan setiap kakak pasti ingin memarahi adiknya jika bermaksiat

bukan? Boleh saja memarahinya, tetapi secukupnya. Tunjukkanlah bahwa marah kita adalah

tanda cinta kita padanya.

Jika ingin menasihati, tahanlah dulu. Ajaklah ke tempat yang hanya ada kita dan dia. Tidak

ada yang menyaksikan kecuali Allah dan para malaikat. Jangan duduk berhadapan. Duduklah

menghadap arah yang sama. Itu akan membuat dia merasa bahwa kita sepihak dengannya,

bukan orang lain yang ingin ‘membantainya’. Tanyakanlah sebab dia melakukan kesalahan

itu, jangan langsung memvonisnya begini dan begitu. Dengarkanlah dulu dengan sabar,

karena bisa jadi kita salah paham depan apa yang kita dengar atau kita lihat tentangnya.

Jika dia sudah selesai bercerita, lakukanlah teknik menyambung dua perintah yang kita bahas

pada keping kedua. “Kakak tau antum merasa bersalah dengan ini, tidak masalah dik.

Bertaubatlah dan terus beramal sebaik mungkin.” Insya Allah dia tidak sedang merasa

diperintah dengan tegas. Dengan begitu, kita telah meluruskan amalnya tanpa mematahkan

hatinya. Atas izin Allah.

MEMBERIKAN TELADAN

Tidak ada gunanya kekata yang keluar dari mulut kita yang berbusa. Ia hanya akan menguap

begitu saja ketika mad’u kita melihat kita tidak mengamalkannya. Sebelum berbicara tentang

menundukkan pandangan, ia harus melihat bukti bahwa kita melakukannya lebih dahulu

sebelum dia. Jika berbicara tentang berkorban, kitalah orang yang telah melakukan banyak

pengorbanan untuknya.

Page 102: Melawan Dengan Cinta

Sebuah kejadian yang cukup menyebalkan pernah dialami oleh adik-adik saya di SMA.

Mereka telah tersentuh hatinya oleh Islam. Setiap minggu mereka berkumpul di mushalla

sekolah, menunggu datangnya ustadz dari kota tetangga untuk membina mereka. Setiap

minggu mereka menunggu, setiap minggu itu pula ustadznya tidak pernah datang. Ketika

ditanyakan kepada ustadz yang bersangkutan, dijawabnya “Kami kesulitan untuk datang ke

sana. Mereka aja yang datang ke sini, kita ingin tau besarnya pengorbanan mereka.”

Menggeretuklah geraham saya. Ingin rasanya saya menemui ustadz itu dan ‘mengomelinya’.

“Ustadz, mereka itu sedang belajar. Seharusnya kita memudahkan langkah mereka untuk

menuntut ilmu, bukan malah mempersulitnya. Jangan. Jangan mengajarkan pengorbanan

pada mereka, jika Antum yang sudah paham Isam saja, tidak mau berkorban menempuh

perjalanan jauh menemui mereka.”

JIKA IA TIDAK ADA, CARILAH

Ada seorang ikhwah yang sangat rajin mengikuti ta’lim-ta’lim atau pertemuan. Setelah

beberapa lama ia tidak hadir di satu pertemuan pun. Cukup lama, bahkan sampai berbulan-

bulan. Entah ada angin apa, ikhwah kita ini kembali hadir di pertemuan. Segera saja kawan-

kawan yang kecewa dengan menghilangnya ia dari dunia dakwah mencecarnya. “Kenapa

antum baru muncul? Sudah banyak amanah dakwah yang terbengkalai?”

Dengan perasaan sedih, ikhwah kita yang lama menghilang ini menjawab. “Kemana saja

kamu dan teman-teman selama ini? Mengapa tidak berusaha mencariku selama beberapa

bulan terakhir ini? Sebenarnya saya sangat memerlukan kehadiran kalian di sampingku saat

isteriku meninggal dunia, dan meninggalkan anak-anak yang masih kecil. Saya membutuhkan

orang-orang yang akrab dengan saya pada saat-saat kritis seperti ini.”

Terhenyaklah. Kadang kita terlalu cepat memvonis saudara seperjuangan kita meninggalkan

jalan dakwah, hanya karena ia jarang terlihat. Lebih dari itu, kita bahkan menjadikannya

sebagai contoh negatif untuk kawan-kawan kita. “Kalau bisa jangan menikah dulu jika belum

siap. Tuh jadinya seperti si fulan itu. Setelah menikah malah tidak peduli lagi dengan dakwah

ini.”.

Page 103: Melawan Dengan Cinta

Tahan dulu kata-kata kita. simpan dulu sampai kita menemukan buktinya. Bahkan jika kita

menemukan buktinya sekalipun, tetap saja kita tidak layak mencecarnya. Husnuzhzhan dulu.

Jangan langsung menvonis dia meninggalkan dakwah. Terlebih lagi jika dia adalah seorang

kader muda yang baru saja tersentuh oleh Islam. Dia masih sangat memerlukan bimbingan

dari kita, orang yang dulu mengajaknya menggenggam bara Islam.

Bisa jadi, dia lama tidak terlihat dalam pertemuan-pertemuan, karena dia sedang berkerja

keras untuk mencukupi biaya hidupnya. Bisa jadi dia sedang bersimbah keringat untuk

membiayai kuliah adiknya. Bisa jadi dia sedang berduka cita sepeninggal orangtuanya. Justeru

dalam keadaan seperti itulah, dia memerlukan orang-orang terdekatnya. Ia perlu dukungan, ia

perlu bantuan kita. bisa dibayangkan betapa terlukanya ia, jika di saat butuh dukungan, yang

ia dapat justeru tuduhan melalaikan dakwah.

Mari kita luruskan sikap kita. Jika salah seorang teman atau adik binaan kita jarang terlihat,

segera kunjungi. Tanyakan keadaannya. Jika ia sedang ada masalah, bantu menyelesaikannya.

Jika ia perlu dukungan, kita harus membersamainya. Jikapun ia menghilang hanya karena

malas berdakwah, tetap saja kita perlu mengunjunginya, untuk kembali mengikat hatinya

dengan dakwah Islam ini.

***

Puffh... Ternyata kita sudah berbincang terlalu banyak ya. Pada bagian pertama dari keping

ketiga: NYATA ini, kita telah mempelajari cara menyentuh hati. Setelah hatinya tersentuh,

kita masih juga harus mengikat hati mereka dengan kita, agar mereka lebih siap ketika kita

menyampaikan keyakinan kita pada mereka. Semoga apa yang kita bincangkan ini membawa

manfaat untuk kita semua, terutama dalam langkah kita menyentuh dan mengikat hati mad’u

kita. setelah dua tahap ini dilalui (menyentuh dan mengikat hati), barulah kita bisa masuk ke

tahap berikutnya, menyeberangkan keyakinan.

Page 104: Melawan Dengan Cinta

7

MENYEBERANGKAN KEYAKINAN

arena kita berbincang tentang teknik menyeberangkan keyakinan, sedikit banyak

pembahasan ini berkaitan dengan keping kedua, kata. Karena itu, tidak ada

salahnya jika kita kembali mengunjungi keping kedua di buku ini. Di sana kita

sudah sempat berbincang tentang teknik mempengaruhi pikiran lawan bicara. Dan di sini, di

bagian Menyeberangkan Keyakinan ini, kita juga akan menggunakan teknik yang kurang

lebih sama. Kita masih perlu teknik ‘tipuan’ linguistik.

Kita juga tidak bisa meninggalkan trik memilih kata, menyusun kalimat, atau merangkai

paragraf. Semuanya masih dibutuhkan di bagian ini. Yang berbeda hanya lawan bicaranya

saja. Pada keping kedua, audiens kita adalah puluhan, ratusan bahkan ribuan peserta ta’lim

atau training. Sedangkan pada keping ketiga, tepatnya di bagian Menyeberangkan Keyakinan

ini, audiens kita tidak sebanyak itu. Lawan bicara kita hanyalah satu atau dua orang yang

sedang duduk bersama kita di pojok masjid, di meja kantin, di kursi taman, atau di ruang

kelas. Ya, karena di sini kita berbicara tentang dakwah fardiyah, dakwah individual yang kita

lakukan di setiap hari kita.

Namun, meskipun berbeda lawan bicara, secara umum teknik mempengaruhi pikiran lawan

bicara kita tetap bisa diterapkan kepada satu atau dua orang lawan bicara kita. jadi, mari kita

kembali sejenak ke keping kedua: KATA. Jika sudah selesai dari sana, jangan lupa untuk

kembali ke halaman ini ya.

POSISIKAN KITA BERADA DI PIHAK YANG SAMA DENGANNYA Ada lagi beda antara Menyeberangkan Keyakinan dalam dakwah di forum dengan

Menyeberangkan Keyakinan dalam dakwah fardiyah. Bedanya adalah tingkat penerimaan

audiens. Dalam dakwah forum, audiens memang sudah menyiapkan mentalnya untuk

menerima apa yang akan kita sampaikan. Itu karena kita sebagai pembicara, diposisikan

K

Page 105: Melawan Dengan Cinta

sebagai orang yang lebih tahu, lebih mengerti, bahkan lebih ‘alim’ ketimbang mereka.

Berbeda Di samping itu, para audiens itu memang menyengaja datang ke majlis kita.

Karenanya, dalam dakwah fardiyah, kita benar-benar harus memposisikan diri kita berada di

pihak yang sama dengannya. Bukan sebagai guru terhadap muridnya, melainkan sebagai

seorang sahabat yang memiliki permasalahan yang sama.

FILTER Karena kita tidak berposisi sebagai orang yang lebih tahu, maka kita perlu sebuah filter untuk

menyampaikan kebenaran yang kita yakini. Kita bisa menggunakan pendapat ulama

terdahulu agar dia mau mendengarkan kekata kita. kita bisa pula mengutip tulisan orang yang

cukup dikenal kredibilitasnya. Sehingga, kesan yang muncul di benak dia adalah, kita tidak

sedang menyampaikan pendapat kita, kita hanya penyambung lidah saja. Dan dengan ushlub

filter ini, mad’u akan merasa bahwa kita juga sepihak dengan dia.

ISTIQAMAH Dalam upaya menyeberangkan keyakinan, kadang apa yang kita sampaikan tidak bisa

langsung diterima oleh mad’u. Bisa dimaklumi. Sekali menyampaikan, tidak bereaksi. Dua

kali, mungkin masih belum bereaksi. Tiga, empat, lima, enam, atau bahkan sepuluh kali, bisa

saja dia tetap belum bereaksi. Tetapi jangan berhenti. Rasulullah saja mengetuk pintu Abu

Jahal berpuluh-puluh kali. Bahkan sampai Abu Jahal mati, Rasulullah juga tidak berhasil

mengantarkan hidayah Allah pada Abu Jahal. Karena memang hidayah itu hanya hak Allah

saja. Kita tidak ditugaskan untuk memberi hidayah pada mad’u kita. karena kita memang

tidak mampu melakukannya, itu bukan kuasa kita. Allah hanya ingin tahu, sekeras apa usaha

kita. Dan kita akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan kerasnya usaha kita, bukan hasil

yang kita dapatkan dari dakwah itu.

Ada seorang pemuda bisu yang setiap minggunya mengantarkan buletin dakwah ke rumah

salah seorang tokoh. Pemuda itu tidak pernah mengucapkan sepatah katapun, karena dia

memang tidak bisa melakukannya. Lebih lagi, dakwah fardiyah memang dakwah yang tidak

terlalu memerlukan kata, melainkan amal nyata.

Page 106: Melawan Dengan Cinta

Setiap minggu, pemuda bisu ini selalu mengantarkan buletin dakwah itu ke rumah tokoh

tersebut. Dan setiap minggu pula, pemuda kita ini mendapatkan dampratan, cacian dan

makian dari tokoh bersangkutan. Sedih? Tentu. Tapi dia terus saja beramal. Cacian itu tak

menggoyahkan semangatnya. Makian itu tak menghentikan aliran darahnya.

Lambat laun, tokoh yang selalu mengusir pemuda kita ini, merasa takjub dengan

kegigihannya. Ada desir kagum meriak di hatinya. Dengan rasa penarasan, dipungutnya salah

satu edisi buletin yang pernah diantarkan pemuda kita ini. Perlahan ia membaca kata, kalimat,

paragrafnya. Ta’zhimlah ia dibuatnya.

“Subhanallah, pantas saja anak muda bisu itu tidak kenal lelah mengantarkan buletin ini.

Apa-apa yang ditulis di sini mengandung kebenaran yang sangat menggugah. Subhanallah!”

Dari cerita yang saya dengar, konon tokoh tersebut menjadi pendukung utama dakwah si

pemuda bisu. Bahkan ia bergabung bersama pemuda tersebut di jama’ah dakwah yang sama

Istiqamahlah. Bisa jadi bukan penyampaian kita yang menjadi kunci hidayah bagi hatinya.

Bisa jadi Allah mengetuk hatinya, karena ia melihat kegigihan kita dalam menyampaikannya.

Mengutip Salim A Fillah, “Berbuatlah, maka keajaiban!”

MENDOAKANNYA Pelajaran ini benar-benar tidak akan saya lupakan. Semasa SMA, saya sangat suka mengolok-

olok guru –astaghfirullah-. ‘Celakanya’, ada seorang guru baru yang akan mengajar selama

setahun penuh di kelas saya. Waktu itu saya tidak mengerti bahwa beliau adalah salah seorang

yang dinamakan akhwat. Boro-boro, ikut pengajian saja tidak.

Di mana ‘celakanya’? Kebiasaan saya mengolok-olok guru ini juga saya amalkan padanya.

Akhwat shalihah itu sakit hati dengan sikap saya. Diapun mengutuk saya.

Waktu berjalan. Saya merasa sangat tertarik dengan guru muda itu. Bukan karena beliau

perempuan dan saya laki-laki, melainkan karena kekuatan karakternya yang begitu unik.

Kerudung lebar, jubah tebal yang juga lebar (yang kelak saya ketahui itu adalah jilbab), tidak

pernah mau bersalaman dengan siswa laki-laki, dan pandangannya yang sangat tawadhu.

Page 107: Melawan Dengan Cinta

Selang beberapa bulan, guru muda itu membangun organisasi Rohis di sekolah kami. Dengan

segala label kenakalan yang masih menyemat dalam diri, saya ikut membidani lahirnya rohis

di sana. Entah kenapa, setiap yang dilakukan guru itu selalu saya dukung, lebih dari itu saya

selalu membantunya semampu daya. Menarik, padahal sebelumnya saya termasuk sebal

dengan guru baru itu.

Detik bergulir, waktu berjalan. Saya merasa semakin mantap dengan jalan yang telah

ditunjukkan oleh guru itu. Dengan segenap jiwa muda, saya mengikrarkan diri untuk menjadi

seorang pemuda Islam yang siap mempertaruhkan segalanya demi Islam. Bersama beberapa

kawan, saya berupaya menghidupkan suasana Islam di sekolah dan tempat tinggal kami.

Lantunan al-Qur’an, tebaran salam, genggaman erat saat berjabat, menjadi sesuatu yang

akrab dengan kami. Melalui perantara guru itu.

Setelah saya lulus SMA dan menikah, saya bersama isteri menyempatkan diri bersilaturahim

ke sekolah kebanggaan saya tersebut. Orang pertama yang ingin saya temui adalah beliau.

Ingin sekali saya menghaturkan berjuta terimakasih atas upaya beliau menghantarkan hidayah

Allah kepada saya. Dan di tengah perjumpaan singkat itu, mengalirlah sebuah cerita dari lisan

beliau, tentang saya.

“Dulu ibu sakit hati banget sama kamu Bay.”

“Kenapa Bu?”

“Pokoknya ada kata-katamu yang sangat menyakitkan.”

Mulut saya membulat.

“Tapi kamu tau nggak, saat sakit hati itu ibu berdoa.”

“Doa apa Bu?”

“Semoga anak yang menyakitiku ini, kelak menjadi seorang pengemban dakwah. Dan

alhamdulillah, doa ibu dikabulkan Allah.”

Ingin sekali saya menumpahkan air mata saat itu juga. Betapa tulus cintanya pada obyek

dakwahnya. Sehingga ketika obyek dakwahnya menyakiti hatinya, yang keluar dari hatinya

justeru sebuah doa yang sangat agung. Doa itulah yang kemudian menggiring saya menuju

perbaikan diri. Doa itu pula yang (sepertinya) membuat Allah melimpahkan cinta di hati saya

Page 108: Melawan Dengan Cinta

untuk beliau, padahal awalnya saya sangat membenci beliau. Doa. Siapa yang meragukan

kekuatannya?

Belajar dari ketulusan guru saya tersebut. Mari kita mendoakan obyek dakwah kita. Doa tulus

kita memiliki kekuatan dahsyat. Pertama, Allah pasti akan mengabulkannya. Kedua, doa kita

menunjukkan tulusnya cinta kita padanya. Yakinlah, ketika kita mencintainya dengan tulus,

Allah tidak akan membiarkan cinta itu mengawang-awang di angkasa. Allah pasti akan

menurunkan kecintaan kita di bumi, tepat menuju hatinya. Dan cinta kita pasti berbalas. Doa

itulah yang akan menggiring hatinya untuk mendekat pada kita. Yakinlah.

***

(BAB ini belum ditutup, jadi saya punya PR untuk menutup Bab ini,

Setelah itu saya bikin penutup keseluruhan buku, judul penutupnya:

AKHIRNYA)