Upload
pdkl
View
1.136
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Rasyid Ridha's Thougt in hadits
Citation preview
PEMIKIRAN RASYID RIDHA TERHADAP HADITS
(Studi Pemikiran Hadits Kontemporer)
Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas mandiri
Pada mata kuliah Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam
Dosen Pembimbing :
Prof. Dr. Muhaimin, MA/ Didin Nurul Rosyidin, Ph.D
Disusun Oleh :
SUGIYONO
NIM : 505930019
PAI-A Semester 1
Konsentrasi Pendidikan Agama Islam
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) SYEKH NURJATI CIREBON
2009
1
Bab 1 : Pendahuluan
Selain sebagai agama ilahi, posisi Islam sebagai a living culture (kebudayaan yang
hidup) mempunyai vitalitas, daya kreatifitas, dan adaptabilitas yang luar biasa. Dari
sumber primer al-Qur’an dan al-Sunnah, para ulama’ dan cendikiawan Muslim
memiliki potensi untuk mengembangkan sistem dan pola pikir sesuai dengan tingkat
interaksi mereka dengan ilmu, budaya dan peradaban yang disentuhnya.[1]
Dalam sejarah Islam, sikap dan pola pikir masyarakat Muslim terhadap teks (al-
Qur’an dan al-Sunnah) mengalami dinamika yang menarik untuk diperhatikan.
Pasca masa kejumud-an (awal abad 19 M), para cendekiawan Islam (khususnya
dari timur tengah) dengan semangat reformasi telah mulai mengoarkan suara
pembaharuan dalam memahami teks-teks tersebut.
Selain Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh, Syaikh Muhammad Ridha
telah mengukir namanya dalam daftar ulama’ pembaharu Islam khusunya di dunia
pemikiran. Meskipun Rasyid Ridha lebih familiar sebagai tokoh tafsir al-Qur’an, akan
tetapi tidak sedikit gagasan-gagasannya tentang hadis dituangkan dalam beberapa
bukunya.
Dalam makalah ini, penulis mencoba menggali dan mengkritisi gagasan-gagasan
tentang islam dan hadis yang dibangun oleh pembaharu Ridha selain terlebih
dahulu mengenal sosok dan kiprahnya dalam kancah keislaman khususnya hadis.
penulis berharap, hipotesa singkat yang dipaparkan nantinya akan sedikit membuka
jendela pengetahuan pembaca untuk kemudian dikonsumsi dan ditransformasikan
secara kritis.
2
Bab 2 : PEMBAHASAN
2.1 Biografi Muhammad Rasyid Ridha
Sayyid[2] Muhammad Rasyid Ridha[3] dilahirkan di Qalmun, suatu kampung sekitar
4 km dari Tripoli, Lebanon, pada 27 Jumadil ‘Ula 1282 H. Dia adalah seorang
bangsawan Arab yang mempunyai garis keturunan langsung dari Sayyidina Husain,
putra Ali bin Abi Thalib dan Fatimah putri Rasulullah SAW.
Keluarga Ridha dikenal oleh lingkungannya sebagai keluarga yang taat beragama
serta menguasai ilmu-ilmu agama, sehingga mereka juga dikenal dengan “syaikh”.
Salah seorang kakek Rasyid Ridha, yaitu Sayyid Syaikh Ahmad, sedemikian patuh
dan wara’-nya sehingga seluruh waktunya hanya digunakan untuk membaca dan
beribadah, serta tidak menerima tamu kecuali sahabat-sahabat terdekat dan ulama’,
itu pun terbatas pada waktu-waktu tertentu. Ketika Rasyid Ridha mencapai umur
remaja, ayahnya telah mewarisi kedudukan, wibawa, serta ilmu sang nenek
sehingga Rasyid Ridha banyak terpengaruh dan belajar dari ayahnya, sebagaimana
yang ditulis olehnya dalam buku hariannya yang dikutip oleh Ibrahim Ahmad
Al-‘Adawi:
“ ketika saya mencapai umur remaja, saya melihat di rumah kami pemuka-pemuka agam Kristen dari Tripoli dan Lebanon. Bahkan saya lihat pula pendeta-pendeta, khususnya pada hari-hari raya. Saya melihat ayahku rahimahullah berbasa-basi dengan mereka sebagaimana beliau berbasa-basi dengan para pemuka-pemuka masyarakat Islam. Ayahku menyebut apa yang beliau ketahui tentang kebaikan-kebaikan mereka secara obyektif, tetapi tidak dihadapan mereka. Ini adalah salah satu sebab mengapa saya menganjurkan untuk bertoleransi serta mencari titik temu dan kerja sama antara semua penduduk negeri atas dasar keadilan, kebijakan yang dibenarkan oleh agama, demi kemajuan negara”[4].
2.2 Pendidikan Muhammad Rasyid Ridha
Disamping orang tuanya sendiri, Rasyid Ridha juga memperdalam ilmunya kepada
sekian banyak guru. Taman-taman pendidikan, yang ketika itu dinamai al-Kuttab,
menjadi tempat pembelajaran dimasa kecilnya, disana diajarkan membaca al-
Qur’an, menulis, dan dasar-dasar menghitung. Setelah tamat, Ridha melanjutkan
pendidikannya di madrasah Ibtidaiyah di Tripoli (Lebanon) yang mengajarkan
Nahwu, Sharaf, Aqidah, Fiqh, berhitung, dan ilmu bumi. Saat proses pembelajaran,
3
bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Turki dan mereka disiapkan
untuk menjadi pegawai-pegawai pemerintah.
Setahun kemudian, yaitu pada tahun 1299 H/1822 M, Rasyid Ridha pindah ke
sekolah Islam Negeri yang merupakan salah satu sekolah terbaik pada saat itu dan
menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar selain bahasa-bahasa yang
lain. Sekolah ini didirikan dan dipimpin oleh seorang ulama’ besar Syam ketika itu,
yaitu Syaikh Husain Al-Jisr. Syaikh inilah yang kemudian mempunyai andil besar
terhadap pola pemikiran Ridha, karena hubungan antara keduanya tidak terhenti
meskipun kemudian sekolah itu ditutup oleh pemerintah Turki. Syaikh Husain juga
memberikan kesempatan kepada Ridha untuk menulis di beberapa surat kabar di
Tripoli, kesempatan itulah yang kelak mengantarkannya memimpin majalah Al-
Manar.
Pada tahun 1314 H/1897 M, Syaikh Al-Jisr memberikan kepada Rasyid Ridha ijasah
dalam bidang ilmu-ilmu agama, bahasa dan filsafat. Selain guru tersebut, Rasyid
Ridha juga belajar pada guru-guru lain, walaupun pengaruh mereka kepadanya
tidak sebesar pengaruhnya. Guru-guru tersebut antara lain:
1.Syaikh Mahmud Nasyabah, seorang ahli dalam bidang hadis yang
mengajarkannya sampai selesai sehingga Ridha mampu menilai hadis-
hadis yang dhaif dan maudhu’.
2.Syaikh Muhammad Al-Qawijiy, seorang ahli hadis yang mengajarkan salah
satu kitab karangannya dalam bidang hadis.
3.Syaikh Abdul Ghani al-Rafi, guru yang mengajarkan sebagian kitab Nail al-
Authar.
4.Al-Ustadz Muhammad al-Husaini; dan
5.Syaikh Muhammad Kamil al-Rafi.
Selain mencari ilmu, Rasyid Ridha juga merupakan seorang yang
mempunyai kepribadian alim dalam beribadah. Masjid tempat khalwat dan
membaca kakeknya (Syaikh Sayyid Ahmad) dijadikan Ridha sebagai tempat belajar
dan beribadah. Dalam buku hariannya Rasyid Ridha menulis:“Aku selalu berusaha
agar jiwaku suci dan hatiku jernih, supaya aku siap menerima ilmu yang bersifat
ilham, serta berusaha agar jiwaku bersih sehingga mampu menerima segala
pengetahuan yang dituangkan kedalamnya”.[5]
4
Ridha gemar membaca dan mempelajari kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din karya al-Ghazali.
Perbuatan inilah yang sangat mempengaruhi, jiwa, sikap dan tingkah lakunya. Ridha
sangat berhati-hati dalam bersikap, ini dilakukan demi menjaga dirinya agar terjauh
dan tidak hanyut dengan sifat-sifat yang tercela, beliau menjadi pemuda yang “nyufi”
dalam kehidupan sehari-harinya, dan tarikat Naqsabandiyah dijadikan sebagai
wadah dalam penguat spritualnya.
2.3 Pertemuan Rasyid Ridha dengan Muhammad Abduh
Pada saat Rasyid Ridha memulai perjuangan dakwahnya di kampung halamannya,
baik melalui pengajian-pengajian maupun tulisan-tulisan, Muhammad Abduh sedang
memimpin gerakan pembaharu di Mesir. Gerakan yang digagas oleh Abduh dan
Jamaluddin al-Afghani menekankan perubahan-perubahan yang terjadi pada
masyarakat islam melalui tulisan-tulisan yang diterbitkan oleh majalah Al-Urwah Al-
Wutsqa. Majalah tersebut sampai ditangan Rasyid Ridha yang kemudian
menjadikannya tertarik untuk membaca dan mengikuti alur pemikiran yang digagas
di dalamnya.
Kekagumannya kepada Muhammad Abduh bertambah mendalam sejak ia
bertemu langsung pada pertama kalinya, yaitu ketika Syaikh Muhammad Abduh
berkunjung ke Tripoli untuk menemui temannya Syaikh Abdullah al-Barakah yang
mengajar di Al-Khanutiyah pada tahun 1885 H. pada saat itu juga Abduh sedang
mengajar dan aktif dalam dunia tulis-menulis.
Pertemuan kedua terjadi pada tahun 1312 H/1894 M. Juga di Tripoli dan pada
beberapa tahun kemudian yakni 1315 H/1898 H mempertemukannya kembali di
Kairo Mesir. Setelah rangkaian pertemuan tersebut, Ridha mempunyai gagasan
untuk menerbitkan suatu surat kabar yang mengelola masalah sosial, budaya, dan
agama.
Pada mulanya, gagasan tersebut tidak mendapat persetujuan dari Abduh, karena
pada saat itu di Mesir sudah terdapat banyak surat kabar dan tema yang
diusungpun dianggap tidak begitu menarik. Akan tetapi, dengan tekad yang begitu
kuat, Rasyid Ridha akhirnya dapat menerbitkan surat kabar tersebut yang kemudian
diberi nama Al-Manar pada 22 Syawal 1315 H/17 Maret 1898 M.
5
Hubungan monologis maupun dialogis yang terjalin diantara Abduh dan Ridha
sangat mempengaruhi pola pikir Ridha. Pembaharuan dan kebangkitan senantiasa
disuarakan dan dijadikan semangat perjuangan oleh Ridha.
Selain tafsir Al-Manar, Muhammad Rasyid Ridha berhasil menulis beberapa karya
ilmiah yang lain, diantaranya: Al-Sunnah wa Al-Syi’ah, Al-Wahdah Al-Islamiah,
Haqiqah al-Riba, Risalatu Hujjah Al-Islam Al-Ghazali, Zikra al-Maulid al-Nabawi,
Nida’ li Al-Jins Al-Lathif, Tarikh Al-Ustadz Al-Imam, Al-Azhar wa Al-Manar, Al-
Hikmah Al-Syar’iah fi Muhakamat Al-Dadiriyah wa al-Rifa’iyah, dan sebagainya
2.4 Sketsa Pemikiran Muhamad Rasyid Ridha
Majalah Al-‘Urwah al-Wutsqa yang diterbitkan oleh Jamaluddin al-Afghani dan
Muhammad Abduh di Paris pada tahun 1884 M, yang tersebar ke seluruh dunia
Islam, ikut dibaca pula oleh Rasyid Ridha dan memberi pengaruh yang sangat besar
pada jiwanya, sehingga mengubah sikap pemuda yang berjiwa sufi[6] ini menjadi
seorang pemuda yang penuh semangat seperti yang ditulisnya:
“Setiap edisi majalah itu (Al-‘Urwah Al-Wutsqa), bagaikan kabel listrik yang bersambung denganku sehingga memunculkan kekagetan, kedasyatan, reaksi, kepanasan dan kebakaran pada diriku, yang melemparkan diriku dari satu tingkatan ke tingkatan lain dan dari satu kondisi ke kondisi lain. Saya belajar darinya bahwa Islam bukan hanya agama ruhani-ukhrawi semata, tetapi dia adalah agama ruhani dan jasmani, akhirat dan agama dunia, diantara tujuan-tujuannya adalah memberi petunjuk kepada manusia untuk memimpin bumi dengan kebenaran agar menjadi khalifah Allah SWT dalam menetapkan kecintaan dan keadilan, sehingga hatiku terfokus pada kewajiban memberi petunjuk umat Islam secara umum kepada kehidupan madani dan menjaga kepemilikan mereka, berlomba dengan umat yang maju dalam ilmu, seni, dan industri, serta segala hal mendasar dalam kehidupan. Aku pun menyiapkan diri untuk hal tersebut dengan persiapan yang sempurna”.[7]
Jika mulanya Ridha hanya terbatas pada usaha perbaikan aqidah, syariah
masyarakatnya serta menjauhkan mereka dari kemewahan duniawi dengan
melakukan zuhud, maka dengan membaca majalah tersebut beralih kepada usaha-
usaha membangkitkan semangat kaum muslim untuk melaksanakan ajaran agama
seutuhnya serta membela dan membangun negara dengan ilmu pengetahuan dan
industri.
Tema sentral ide pembahuruan pemikiran dalam Islam terletak pada kata kunci
I’adatul Islam, yakni keinginan masyarakat Muslim untuk mengembalikan peran
6
dunia Islam dalam percaturan global peradaban dunia. Akan tetapi, meskipun Abduh
dan Ridha sama-sama mempunyai tujuan yang senada, gagasan yang mereka
tawarkan tidaklah sama. Jika Muhammad Abduh menjadikan Tajdid al-Fahm[8]
(memperbaruhi pemahaman Islam) sebagai kata kunci dalam pola pemikirannya,
Rasyid Ridha mempunyai konsep Tathbiq al-syari’ah, atau Tathbiq qanun al-
Syari’ah. Konsep tersebut disiapkan untuk menyembuhkan penyakit imperialisme-
kolonialisme yang membelunggu umat Islam, yakni dengan cara mengaplikasikan
kembali atau mempraktikkan kembali materi undang-undang dan tatacara
kenegaraan yang pernah dilakukan oleh generasi Muslim terdahulu.[9] Alur
pemikiran inilah yang melandasi penilaian para cendekiawan bahwa pemikiran
Ridha juga sangat terpengaruh pada Ibn Taimiyah (w. 1328).
Sebagai tokoh yang bekarakter reformis, Rasyid Ridha berpendapat bahwa
pembaharuan mutlak dilakukan, karena tanpa itu umat Islam senantiasa berada
dalam ke-jumud-an dan akan menjadi umat yang terlantar. Menurut Ridha islam
telah dimasuki oleh faham-faham diluar Islam yang menyebabkan terjadinya
dekadensi dalam dunia Islam seperti tahayyul, kurafat, fatalisme, bid’ah dan lain-lain
yang tidak sesuai dengan semangat ajaran Islam.
Dari berbagai pandangan diatas, kiranya telah jelas bahwa Rasyid Ridha
mempunyai dua motivasi penting dalam pemikiran dan gerakanya. Pertama, Ridha
mempunyai tekad untuk mempertahankan keajegan agama Islam, dan kedua, Ridha
mempunyai cita-cita luhur dalam menghendaki perubahan dan kemajuan Islam.
2.5 Pandangan dan sikap Ridha terhadap hadits
Perdebatan tentang hadis, merupakan perdebatan yang sangat kompleks yang
dihadapai oleh para kritikus hadis baik dari kalangan orang islam maupun diluar
kaum Muslim. Tema-tema yang diperdebatkan pun tidak hanya terbatas pada satu,
dua atau tiga. Dimulai dari definisi, kriteria, kedudukan bahkan otentisitas hadis
dijadikan diskursus yang problematis. Sehinga tidak heran, jika ditemukan semacam
perdebatan sengit diantara ahli hadis yang memang merupakan sebuah
keniscayaan dalam kajian hadis.
Mayoritas ulama sepakat bahwa hadis mempunyai kedudukan dan fungsi yang amat
penting bagi al-Qur’an. Meskipun tidak semua hadis dapat diterima atau diamalkan,
7
akan tetapi hadis yang merupakan manivestasi dari ucapan dan perbuatan Nabi
diyakini mempunyai nilai penjelas al-Qur’an. Imam al-Syathibi mengatakan:”hadis
mempunyai posisi dalam menafsirkan dan menjelaskan makna-makna yang
terdapat dalam al-Qur’an. Penjelasan tersebut dapat berupa pengecualian,
memperinci, menjelaskan kata-kata yang problematis dan sebagainya[10]”.
Rasyid Ridha mengatakan bahwa Nabi adalah penjelas al-Qur’an baik
melalui ucapan maupun perbuatannya. Penjelasan tersebut dapat berupa
pengkhususan, pembatasan (taqyid), maupun perincian (tafsil). Namun demikian,
menurut Ridha Nabi tidak dapat menggugurkan hukum-hukum yang terdapat dalam
al-Qur’an atau merusak cerita-cerita di dalamnya. Oleh karena itu, dikatakan bahwa
sunnah tidak dapat menghapus (naskh) al-Qur’an.[11] Sumber pokok ajaran dalam
Islam adalah al-Qur’an dan sunnah amaliyah yang disepakati dan ditetapkan Nabi
menempati posisi yang kedua, kemudian hadis-hadis ahad yang mempunyai riwayat
yang banyak dan petunjuk-petunjuk menjadi sumber ajaran yang ketiga.[12]
Keyakinan Ridha terhadap hadis, dapat tergambar dari kutipan pernyataannya yang
termuat dalam Al-Manar XXVII halaman 616, berikut:
“tiang iman adalah al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang diriwayatkan melalui hadis-hadis mutawatir; Sunnah ini merupakan sunnah amaliyah sepeti shalat dan upacara haji (manasik), dan sebagian sabda Nabi (ahadis qawliyah) yang telah diterima oleh sebagian besar leluhur yang mulia. Ijtihad dapat dilakukan atas hadis-hadis yang memiliki satu atau hanya beberapa isnad (ahad), yang periwayatannya meragukan atau yang tidak secara khusus menunjukkan sesuatu. Kita melihat bahwa beberapa imam madzhab dengan menggunakan pemikiran mereka sendiri telah menolak banyak hadis shahih, bahkan diantaranya hadis riwayat oleh Bukhari dan Muslim.”
Dalam buku “ The Oxfort Encyclopedia of The Modern Islamic Word”, karya
John. L. Espito dijelaskan bahwa terdapat tiga poin penting mengenai Muhammad
Rasyid Ridha dalam memaknai hadis nabi, selalu menggunakan hadis-hadis yang
otentik, ketika memahami sebuah teks, maka teks tersebut harus ditafsirkan kembali
sesuai dengan kemaslahatan umat, kemudian sumber agama Islam yang
dipakainya adalah al-Qur’an, sunnah, dan ijma’.” [13]
8
2.6 Otentisitas hadis dalam pandangan Rasyid Ridha
Langkah pertama yang harus dilakukan untuk dapat mengamalkan hadits adalah
mentahkik (memeriksa, menguji) kesahihan hadits.[14] Rasyid Ridha dan
Muhammad Abduh sama-sama memandang tinggi sunnah dan kodifikasinya dalam
literatur hadits, tetapi sebagaimana gurunya, Ridha tidak bersandar pada kritik hadis
dari masa-masa klasik. Ridha memandang sunnah sebagai akar kedua dari agama,
dan karena itu hadis, sebagai registrasi sunnah harus mengalami penelitian yang
seksama agar dapat diketahui mana yang sahih dan mana yang tidak sahih.[15]
Rasyid Ridha sangat berhati-hati dalam memahami hadis-hadis Nabi.[16] Meskipun
suatu hadis terdapat dalam Sahih Bukhari atau Shahih Muslim, beliau lebih
mengedepankan fakta historis, kajian ilmiah dan logika sentris.
Ridha berpandangan bahwa dosa-dosa kecil sebagian perawi lain yang dapat
dipercaya, tidak menghalangi diterimanya semua hadis mereka, di lain pihak,
semata-mata menegaskan bahwa mereka dapat dipercaya, bukanlah suatu kriteria
yang memadai untuk menerima semua hadis mereka, tanpa meneliti hadis-hadis
tersebut dengan seksama.[17]
Dalam mengomentari hadis-hadis ahad, Ridha menunjukkan penghargaan
yang mendalam terhadapnya, meskipun terkadang isnad hadis-hadis tersebut tidak
sahih. Beliau mengatakan “karya-karya agung yang menakjubkan, yang
memperlihatkan kefasihan dan kearifan”. Kemudian, Ridha menanbahkan “hadis-
hadis ahad dibutuhkan (dijadikan hujjah) dalam masalah-masalah akidah”[18].
Disamping itu, Ridha juga sangat kritis terhadap semua periwayatan hadis.
Hadis riwayat Bukhari dan Muslim yang pada saat itu terkesan “sakral” dikalangan
masyarakat Islam pun tidak terlepas dari kritiknya. Syarat dan prasyarat yang
dikonsepsikan oleh para ulama terdahulu tidak membuatnya ittiba’ terhadap
hipotesa yang telah ada.[19]
Sikap kritis Ridha terhadap hadis dapat tercermin dari penjelasannya tentang
hadis dibawah ini:
9
1.Hadis tentang sihir
ع�ن� �ي ب� أ �ي �ن ح�د�ث ق�ال� ام� ه�ش� �ا �ن ح�د�ث �ى �ح�ي ي �ا �ن ح�د�ث �ى �ن �م�ث ال �ن� ب م�ح�م�د� �ي �ن ح�د�ث
�ه� �ن أ �ه� �ي �ل إ �ل� ي �خ� ي �ان� ك �ى ح�ت ح�ر� س� �م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل �ه� الل ص�ل�ى �ي� �ب الن �ن� أ ة� �ش� ع�ائ
�ع�ه� �ص�ن ي �م� و�ل 2ا �ئ ي ش� �ع� ] 20 [ص�ن
Sebagaimana halnya Muhammad Abduh, Rasyid Ridha juga menolak adanya
sihir seperti yang dipahami oleh masyarakat umum. Menurutnya, sihir tiada lain
hanya tipu daya yang tidak mempunyai hakikat atau wujud sendiri.
Mengenai hal ini Ridha menambahkan bahwa hadis yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari diatas ditolak. Seorang “Hisyam”[21] yang terdapat dalam deretan
rawi diatas mendapat sorotan dari ulama’ Al-Jarhu wa Al-Ta,dil.[22] Dari penjelasan
tersebut terlihat Rasyid Ridha tidak sekedar menolak suatu hadis dengan tolak ukur
akal semata-mata, akan tetapi juga menggunakan tolak ukur disiplin ilmu Hadis.
2.Hadis tentang penciptaan alam semesta
م�ح�م�د6 �ن� ب ح�ج�اج� �ا �ن ح�د�ث ق�اال� �ه� الل �د� ع�ب �ن� ب ون� و�ه�ار� �س� �ون ي �ن� ب �ج� ي ر� س� �ي �ن ح�د�ث
�د� ع�ب ع�ن� �د6 ال خ� �ن� ب @وب� �ي أ ع�ن� �ة� م�ي� أ �ن� ب م�ع�يل� �س� إ �ي ن �ر� ب �خ� أ �ج6 ي ج�ر� �ن� اب ق�ال� ق�ال�
ص�ل�ى �ه� الل ول� س� ر� �خ�ذ� أ ق�ال� ة� �ر� ي ه�ر� �ي ب� أ ع�ن� �م�ة� ل س� Dم� أ �ى م�و�ل اف�ع6 ر� �ن� ب �ه� الل
�ق� ل و�خ� �ت� ب الس� �و�م� ي �ة� ب @ر� الت و�ج�ل� ع�ز� �ه� الل �ق� ل خ� ف�ق�ال� �د�ي �ي ب �م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل �ه� الل
�و�م� ي وه� �ر� �م�ك ال �ق� ل و�خ� �ن� �ي �ن ث اال� �و�م� ي ج�ر� الش� �ق� ل و�خ� �ح�د� األ� �و�م� ي �ال� ب �ج� ال ف�يه�ا
�ق� ل و�خ� �خ�م�يس� ال �و�م� ي الد�و�اب� ف�يه�ا �ث� و�ب �ع�اء� ب ر�� األ� �و�م� ي @ور� الن �ق� ل و�خ� �اء� ث @ال� الث
ر� آخ� ف�ي ل�ق� �خ� ال آخ�ر� ف�ي �ج�م�ع�ة� ال � �و�م ي م�ن� �ع�ص�ر� ال �ع�د� ب م ال� الس� �ه� �ي ع�ل آد�م�
�ا �ن ح�د�ث اه�يم� �ر� �ب إ ق�ال� �ل� �ي الل �ى �ل إ �ع�ص�ر� ال �ن� �ي ب ف�يم�ا �ج�م�ع�ة� ال اع�ات� س� م�ن� اع�ة6 س�
�ت� �ن ب �ن� اب اه�يم� �ر� �ب و�إ ع�م�ار6 �ن� ب ه�ل� و�س� ع�يس�ى �ن� ب �ن� ي �ح�س� ال و�ه�و� �س�ط�ام�ي@ �ب ال
�ح�د�يث� ال �ه�ذ�ا ب ح�ج�اج6 ع�ن� ه�م� �ر� و�غ�ي ] 23 [ح�ف�ص6
Dalam pandangan Rasyid Ridha, hadis ini tidak dapat diakui kesahihannya, ia
berkomentar: “Hadis Abu Hurairah ini tertolak karena matan-nya bertentangan
dengan nash al-Qur’an. Adapun sanadnya maka anda janganlah terpedaya oleh
riwayat Muslim, karena dia meriwayatkan dari Hajjaj bin Muhamad Al-A’war Al-
10
Mashih dari Ibnu Juraij sedang yang bersangkutan telah berubah pikirannya (pikun)
pada akhir usianya. Dan telah terbukti bahwa ia meriwayatkan hadis setelah
perubahan akalnya itu seperti yang dikemukakan dalam kitab Tahdzib al-Tahdzib
dan lain-lain. Agaknya hadis tersebut merupakan salah satu hadis yang
diriwayatkannya setelah perubahan tersebut. Al-Hafidz Ibnu Katsir dalam tafsirnya
menukil hadis diatas ketika menafsirkan ayat 54 dari Al-A’raf dan berkomentar:
dalam hadis ini disebutkan ketujuh hari (dalam seminggu) sedang Allah berfirman “fi
sittati ayyam” (dalam enam hari) dan oleh karena itu Bukhari dan beberapa ulama
lain membicarakan hadis tersebut dan meyatakan bahwa ia bersumber dari abu
Hurairah melalui Ka’ab Al-Akhbar dan bukannya suatu hadis yang marfu’
(bersumber dari Nabi)”.[24]
Yang patut digaris bawahi terhadap cara Rasyid Ridha dalam mengkritisi bahkan
menolak suatu hadis adalah bahwa akal bukanlah satu-satunya instrumen yang
digunakan Ridha, akan tetapi fakta historis serta disiplin ilmu-ilmu hadis acap kali
disertakan demi menguatkan argumen-argumennya. Cara inilah yang tidak
dilakukan oleh gurunya (Abduh) sehingga menunjukkan bahwa Ridha sedikit
memiliki kelebihan dan keluasan dalam disiplin ilmu hadis.
2.7 Tadwin dalam pandangan Rasyid Ridha
Penulisan hadis tidak luput dari wacana yang didiskusikan oleh Rasyid Ridha.
Menurut Ridha pada semua hadis yang memperbolehkan melakukan pencatatan
kalau tidak lemah, dirujukkan terhadap kasus-kasus tertentu dan bagi orang-orang
tertentu pula. Disamping itu, hadis-hadis yang menunjukkan adanya larangan
pencatatan hadis ditemukan dalam beberapa riwayat dan yang paling shahih adalah
riwayat Abu Sa’ia al-Hudhri:
�ن� ب ع�ط�اء� ع�ن� �م� ل �س� أ �ن� ب �د� ي ز� ع�ن� ه�م�ام� �ا �ن ح�د�ث د�ي@ �ز� األ� �د6 ال خ� �ن� ب ه�د�اب� �ا �ن ح�د�ث
ق�ال� �م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل �ه� الل ص�ل�ى �ه� الل ول� س� ر� �ن� أ Dخ�د�ر�ي� ال ع�يد6 س� �ي ب� أ ع�ن� ار6 �س� ي
ج� ح�ر� و�ال� Dي ع�ن �وا و�ح�دDث �م�ح�ه� �ي ف�ل آن� �ق�ر� ال �ر� غ�ي Dي ع�ن �ب� �ت ك و�م�ن� Dي ع�ن �وا �ب �ت �ك ت ال�
الن[�ار� م�ن� د�ه� م�ق�ع[�� �ب[�و�أ �ت �ي ف�ل د2ا D]ع�م� م�ت ال� ق[� �ه� ب �ح�س[� أ ام� ه�م[� ال� ق[� ع�ل�ي� ك[�ذ�ب� [و�م�ن�
25 [
11
Menghadapi dua hadis yang bertentangan,[26] Ridha menggagas diberlakukannya
konsep naskh, yaitu menghapus satu teks dengan teks yang lain. Kedua teks
tersebut harus ditentukan sejarah dimunculkannya. Yang datang lebih akhir
menghapus hadis yang datang sebelumnya.
Dalam hal ini, Ridha menganut pandangan bahwa penulisan hadits pada
mulanya memang dibenarkan, tetapi kemudian datang hadis yang melarang adanya
penulisan. Menurut teori Ridha, sebabnya ialah Nabi tidak memaksudkan hadis-
hadis itu sebagai sumber hukum yang abadi ataupun sebagian dari agama. Karena
itu kemudian menuliskan hadis, larangan itu menurut Ridha dita’ati oleh para
sahabatnya. Khususnya oleh para khalifah empat yang pertama. Menurut Ridha
karena itu berbagai hadis yang mengisyaratkan persetujuan atau apalagi anjuran
menuliskan hadis adalah lemah dan dikemukakan hanya untuk tujuan tertentu.[27]
Dengan melihat semua fakta ini, Ridha cenderung beranggapan bahwa para
sahabat tidak ingin memandang hadis memiliki otoritas ilahiyah, abadi, universal
seperti al-Qur’an. Dengan kata lain menurut Ridha hadis hanya ketentuan-ketentuan
sementara tentang agama, tidak berlaku selamanya (temporal). Anggapan itulah
yang mendasari larangan penulisan hadis.
2.8 Kritik terhadap Pemikiran Rasyid Ridha
Tema sentral yang digagas oleh Ridha dan kemudian mendapatkan apresiasi para
ulama setelahnya adalah teori naskh dalam memahami hadis kontradiktif tentang
kodifikasi hadis. Banyak diantara mereka yang menolak terhadapnya dan tidak
sedikit juga para pembaharu yang menanggapi positif teori tersebut.
Al-Siba’i berpendapat bahwa itu banyak membuka pintu bagi orang lain sesudahnya
untuk bersikap inkar pada hadis termasuk menimbulkan heboh dikalangan ulama’
hadis. Penolakan juga datang dari Azami seorang pakar hadis kontemporer dengan
beberapa argumen yang tidak berbeda jauh dan dilengkapi dengan data-data yang
lebih lengkap.[28]
Berbeda dengan Al-Siba’i dan yang lainnya (baca: ulama-ulama yang menolak teori
Ridha), bagi Nur Khalis Majid, Rasyid hanyalah salah satu dari banyak sarjana yang
mempersoalkan hadis. seluk-beluk teori ini tidak menjadikan inkar melainkan nanti
12
potensial melahirkan wacana baru ilmu kritik tentang hadis.[29] Senada dengan
pendapat Cak Nur, Jalaluddin Rahmat mempunyai pandangan bahwa sikap Ridha
yang demikian itu, pada gilirannya Ridha mengecap penutupan pintu ijtihad yang
manapun (ijtihad mutlak atau bukan) mengikuti gurunya Abduh.[30] Bagi Ridha
taqlid bukan perbuatan terpuji, karena akan berakibat pada terbengkalainya akal,
terputusnya pengembangan ilmu dan terhalanginya kemajuan pemikiran.
Bagi penulis, selain tema tadwin, penolakan Rasyid Ridha terhadap hadis tentang
sihir dengan menggunakan kata kunci ”Hisyam” patut diperhatikan serius. Ungkapan
Ridha bahwa Hisyam merupakan perawi yang dipersoalkan bagi penulis kurang bisa
dipertanggung jawabkan. Sejauh pembacaan penulis, dalam beberapa kitab Rijal
kebanyakan para ulama hadis menilai Hisyam sebagai rawi yang tsiqah dan dapat
dipercaya.[31]
13
Bab 3 : Kesimpulan dan penutup
Dari sedikit pembacaan diatas, Hal fundamental yang harus dipahami ketika
menangkap dan mengkonsumsi pemikiran Rasyid Ridha tentang adalah:
Pemikiran Risyid Ridha sangat terpengaruh oleh guru-gurunya (khususnya
Muhammad Abduh). Sehingga tema dan gagasan yang diperdebatkan pun
tidak jauh berbeda diantara keduanya.
Secara keseluruhan, kemapanan intelektual dan jiwa kritis yang tertancap
pada Ridha, merupakan awal kebangkitan dan pembaharuan yang
mengharuskannya berani untuk menentang praktek-praktek yang tidak
sesuai dengan nilai-nilai keislaman.
Dibandingkan dengan Abduh, Rasyid Ridha memiliki pengetahuan hadis yang
lebih. Sehingga dalam mengkritisi hadis akal bukanlah satu-satunya
standarisasi, akan tetapi disiplin Ilmu hadis juga harus terlibat didalamnya.
Pada akhirnya, pemikiran Rasyid Ridha memberikan konstribusi yang
signifikan bagi perkembangan dunia pemikiran Islam khususnya hadis. Dalam setiap
gagasan ulama’ setelahnya, pemikiran Rasyid Ridha sering kali tercatat dan
menghiasi argumentasi-argumentasi yang dipaparkan.
Sadar akan kedangkalan dan keterbatasan (dalam segala aspek) makalah
ini, penulis berharap adanya kritik dan saran dari semua pembaca demi perbaikan di
masa-masa mendatang.
“Apabila kita memprediksi kemampuan akal manusia dalam memahami sesuatu,
niscaya kita akan menemukan bahwa puncak kemampuannya hanya dapat
mencapai pada sisi luar saja”
14
Catatan :
[1] Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan tinggi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm.142.
[2] Sayyid merupakan sebuah gelar yang pada permulaannya diberikan kepada semua yang mempunyai garis keturunan langsung dengan rasulullah. Pada perkembanganya, sayyid digunakan oleh kaum arab untuk memberikan julukan bagi ketua (ra’is) atau pemimpin (imam) suatu kebaikan. Seperti dikatakan sayyiduna, sayyidu qaum, dan sebagainya. Lihat : Ibnu al-Mandzur, Lisan al-Arab,(CD al-Maktabah al-Syamilah),juz III, hlm. 231.
[3] Nama lengkapnya adalah Muhammad Rasyid bin Ali bin Ridha bin Muhammad bin Syamsyuddin al-Qalamuni. Lihat: Saiful Amin Ghafur, Profil Para Mufasir Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008), hlm. 145.
[4] Ibrahim Ahmad al-Dahlawiy, Rasyid Ridha: al-Imam al-Mujahid, (Kairo: Mathba’ah Mishr, 1964) dalam M. Quraisy Syihab, studi kritis Tafsir Al-Manar, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), hlm.60.
[5] Ibrahim Ahmad al-Dahlawiy, Rasyid Ridha: al-Imam…hlm. 32.
[6] Meminjam bahasa Muhammad ‘Imarah pola pikir Rasyid Ridha pada waktu itu cendrung mengarah pada manhaj al-manqul. Lihat: Muhammad ‘Imarah,Syahsyiyat laha Tarikh, terj. Ahmad Syakur, 45 Tokoh Pengukir Sejarah, (Solo: Era Intermedia, 2007), hlm. 231.
[7] Lihat: Muhammad ‘Imarah,Syahsyiya…hlm. 232.
[8] Pandangan inilah yang nantinya akan menelurkan gagasan-gagasan progresif dengan memberkukan beberapa istilah baru seperti reinterpretasi, reaktualisasi, reorientasi, kontekstualisasi dan sebagainya.
[9] Amin Abdullah, Islamic…hlm. 250-251.
[10] Mahmud Abu Rayah, Adhwa ala al-Sunah al-Muhammadiyah, (Kairo: Dar al-Ma’arif, tt), hlm. 14.
[11] Ketidak dapatan hadis untuk menghapus hukum dalam al-Qur’an dalam pandangan Ridha menunjukkan perbedaan persepsinya dengan sebagian ulama yang meyakini bahwa hadis-hadis mutawatirah dapat menghapus sebagian hukum hadis.
[12] Mahmud Abu Rayah, Adhwa…hlm. 14-15.
[13] John. L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic Word, Vol, 3(New York: Oxford University, 1995), hlm. 411.
15
[14] Para ulama hadis sepakat bahwa terdapat lima kriteria yang harus dipenuhi agar suatu hadis dapat disebut shahih. selainKetersambungan sanad, hadis dapat dikatakan sahih jika perawi yang meriwayatkannya adil dan dhabit, serta tidak adanya illat dan juga tidak ditemukan syadz dalam hadis tersebut. Baca: M. Ajaj Al-Khatib, Ushul al-Hadis, (Kairo: Dar al-Fikr, 2006), hlm.200-201.
[15] G.H.A. Junynboll, The Aunticity of the Tradition Literature Discussions, terj. Ilyas Hasan, Kontroversi Hadits di Mesir, (Bandung: Mizan, 1999), hlm.30-31.
[16] Dalam kesimpulannya, Ridha menegaskan bahwa hadis-hadis yang tidak dipraktikkan oleh umat itu, atau yang tidak diterapkan oleh Khalifah-khalifah pertama atau sahabat-sahabat yang lain tidak perlu diteliti dan dikaji oleh setiap Muslim. Baca: G.H.A. Junynboll, The Aunticity…hlm. 42. Jika diperhatikan lebih lanjut, pendapat tersebut merupakn bahasa lain yang digunakan oleh Ridha untuk menolak hadis-hadis amaliyah yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat Nabi dan tidak dapat dibuktikan oleh sejarah. Pandangan ini merupak hasil turunan dari gurunya Muhammad Abduh.
[17] G.H.A. Junynboll, The Aunticity…hlm. 42.
[18] Pandangan inilah yang menunjukkan adanya perbedaan kerangka Rasyid Ridha dengan gurunya Abduh. Jika Abduh dengan tegas menyatakan bahwa hadis-hadis ahad (sekalipun berkualitas shahih) tidak dapat diterima dalam masalah akidah, maka hal tersebut tidak diikuti oleh Ridha. Lihat: M. Ismail al-Syarbiny, Raddu Syubhat haula ‘Ismah al-Nabi, CD ROM al-Maktabah al-Syamilah, juz I, hlm. 346.
[19] Ridha tidak dapat menerima persyaratan-persyaratan ahli-ahli hadis zaman dulu tanpa terlebih dahulu mengkaji sendiri persyaratan-persyaratan tersebut. Sering dia tiba pada kesimpulan mengenai kesahihan sanad yang berbeda dengan kesimpulan yang dirumuskan ulama-ulama klasik . semata-mata menegaskan bahwa seorang perawi memiliki ‘adalah, tidaklah mencukupi untuk menerima segala yang diriwayatkannya. Harus selalu dilakukan studi yang seksama terhadap isnad dan matn sebelum menerima hadis. Lihat : G.H.A. Junynboll, The Aunticity… hlm. 80.
[20] Hadis riwayat Imam Bukhari no: 2939. Hadis tersebut juga terdapat pada riwayat bukhari no: 3029, Muslim no: 4059, Ibnu Majah no: 3535, Imam Ahmad no: 23165, 23211, 23509.
[21] Nama lengkapnya adalah Hisyam bin Urwah bin al-Zubair bin al-Awam dengan kunyah Abu al-Mandzur (w. 145 H) di Baghdad. Beliau merupakan seorang tabiin kecil. (CD al-Mausuah al-Syarif).
[22] M. Quraisy Syihab, studi kritis Tafsir Al-Manar….hlm. 79.
[23] Hadis riwayat Imam Muslim no: 4497. Hadis ini juga dapat dijumpai pada hadis riwayat Imam Ahmad no: 7761.
[24] M. Quraisy Syihab, studi kritis Tafsir Al-Manar….hlm. 84.
[25] Hadis riwayat Imam Muslim no: 5327. Juga dapat ditemukan pada: Tirmidzi: 2589, Ibnu Majah: 37, Ahmad 10663; 19731; 10916; 10976; 11001; 11110, Al-Darimi: 451.
16
[26] Salah satu hadis yang bertentangan tersebut adalah hadis kontradiktif tentang tadwin al-ahadis.
[27] Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, (Jakarta: Firdaus, 1994), hlm. 47-48.
[28] Untuk lebih jelasnya dapat diteliti pada kitab-kitab karyanya.
[29] Nur Khalis Majid, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995)hlm. 215.
[30] Dalam suatu tulisan disebutkan bahwa Ridha menyatakan “kita tidak menemukan manfaat apapun dari penutupan pintu ijtihad.
[31] Diantara ulama yang menta’dil-nya adalah: Muhammad bin Sa’ad; tsiqah, Ya’qub bin Syibah; tsiqah tsabat, Abu Hatim al-Razi: tsiqah Imam al-Hadis, Ibnu Khuraisy; shiddiq, Al-Ajly; tsiqah, Ibnu Hibban; mutqin hafidz. Pendapat ini dapat dikonsumsi dari beberapa kitab Rijal. Lihat: CD. ROM, Al-Maktabah Al-Syamilah, Ibnu Hajar al-asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, Juz VI, hlm. 136-137. Dan kitab yang lain.
17
Daftar Pustaka
Abdullah, Amin. Islamic Studies di Perguruan tinggi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Al-Khatib, M. Ajaj. Ushul al-Hadis. Kairo: Dar al-Fikr, 2006.
CD ROM al-Maktabah al-Syamilah. Al-Mandzur, Ibnu. Lisan al-Arab. juz III.
——————————————–. Hajar, Ibu. Tahdzib al-Tahdzib. Juz VI.
Esposito, John. L.The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic Word. Vol, 3. New York:
Oxford University, 1995.
Ghafur, Saiful Amin. Profil Para Mufasir Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani,
2008.
‘Imarah, Muhammad. Syahsyiyat laha Tarikh. terj. Ahmad Syakur. 45 Tokoh Pengukir
Sejarah. Solo: Era Intermedia, 2007.
Majid, Nur Khalis. Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina,
1995.
Rayah, Mahmud Abu. Adhwa ala al-Sunah al-Muhammadiyah. Kairo: Dar al-Ma’arif, tt.
Syihab, M. Quraisy. studi kritis Tafsir Al-Manar. Bandung: Pustaka Hidayah, 1994.
18
19