42
MATERIAL MEDIS PENAMBAL MEMBRAN TIMPANI BERBASIS KOMPOSIT CHITOSAN MELALUI PENDEKATAN MEKANOAKUSTIK I WAYAN DARYA KARTIKA DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

MATERIAL MEDIS PENAMBAL MEMBRAN TIMPANI … · Tuli konduktif pada berbagai tingkatan terjadi akibat gangguan hantaran bunyi pada sistem konduksi di dalam telinga, termasuk bila terjadi

Embed Size (px)

Citation preview

MATERIAL MEDIS PENAMBAL MEMBRAN TIMPANI

BERBASIS KOMPOSIT CHITOSAN MELALUI

PENDEKATAN MEKANOAKUSTIK

I WAYAN DARYA KARTIKA

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

i

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Material Medis

Penambal Membran Timpani Berbasis Komposit Chitosan Melalui Pendekatan

Mekanoakustik adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing

dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.

Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun

tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan

dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.

Bogor, 23 Februari 2014

I Wayan Darya Kartika

NIM C34090077

ii

ABSTRAK

I WAYAN DARYA KARTIKA. Material Medis Penambal Membran Timpani

Berbasis Komposit Chitosan Melalui Pendekatan Mekanoakustik. Dibimbing oleh

BAMBANG RIYANTO dan WINI TRILAKSANI.

Model penambal perforasi organik berbasis chitosan melalui pendekatan

mekano-akustik untuk mengkaji kualitas penutupan perforasi dari segi kuantitas

tekanan suara merupakan inspirasi baru. Tujuan penelitian ini adalah untuk

mengembangkan model membran komposit chitosan sebagai material medis

penambal membran timpani melalui pendekatan mekano-akustik. Membran

komposit chitosan diformulasikan dengan polivinil alkohol (PVOH) saja (A00),

3% chitosan - 3% gliserol (B33), dan 5% chitosan - 1% gliserol (C51). Formulasi

optimum diperoleh pada komposit chitosan, gliserol, dan PVOH berasio

3%/3%/5% (B33) dengan karakteristik densitas 622,29 kg/m3, ketebalan

160,70 µm, laju transmisi uap air 1,43×10-2

g/mm hari. Secara morfologis,

terbentuk pori-pori, granula, dan suasana higroskopis yang bervariasi pada

membran komposit akibat penambahan chitosan dan gliserol pada rasio berbeda.

Hasil uji mekano-akustik membran komposit dengan formula tersebut memiliki

modulus Young 0,30×106.N/m

2; koefisien serap suara 0,18 cm

-1; kelajuan pada

medium 0,22×102

m/s; sensitivitas membran 203,52 dBSPL; dan tingkat atenuasi

suara 94%.

Kata kunci: chitosan, komposit, membran timpani, terperforasi, mekanoakustik.

ABSTRACT

I WAYAN DARYA KARTIKA. Medical Patch Material of Tympanic Membrane

based on Chitosan Composite by Mechanoacoustical Approach. Supervised by

BAMBANG RIYANTO and WINI TRILAKSANI.

Perforation patch scaffold organic model-based on chitosan through

mechano-acoustical approach to assess the perforation enclosure quality in terms

of sound pressure quantity is the new inspiration of perforation closure method.

The objectives of this research was to develop a model of composite chitosan as

medical patch material of tympanic membrane through mechanoacoustical

approach. Chitosan composite membrane formulated with polyvinyl alcohol

(PVA) only (A00), 3% chitosan-3% glycerol (B33), and 5% chitosan-1% glycerol

(C51). Optimum formulation is obtained on a composite chitosan, glycerol, and

PVA with 3%/4%/5% ratio (B33) had characteristics of 622,29 kg/m3 in density,

160,70 µm in thickness, 1.43×10-2

g/mm a day in water vapour transmission rate.

Its formed varied pores, granule, and hygroscopic condition on composite

membrane due to the addition of chitosan and glycerol on varied ratio.

Mechanoacoustical test results of composite membranes with the formula had

0,30×106.N/m

2 in Young's modulus; 0,18 cm

-1 in sound absorption coefficient;

0,22×102

m/s in velocity on medium; 203,52 dBSPL in membrane sensitivity; and

94% of sound attenuation rate.

Keyword: chitosan, composite, mechanoacoustical, tympanic membrane

perforation.

iii

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

iv

v

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Perikanan pada

Departemen Teknologi Hasil Perairan

MATERIAL MEDIS PENAMBAL MEMBRAN TIMPANI

BERBASIS KOMPOSIT CHITOSAN MELALUI

PENDEKATAN MEKANOAKUSTIK

I WAYAN DARYA KARTIKA

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

vi

vii

Judul Skripsi : Material Medis Penambal Membran Timpani Berbasis

Komposit Chitosan Melalui Pendekatan Mekanoakustik

Nama : I Wayan Darya Kartika

NIM : C34090077

Program Studi : Teknologi Hasil Perairan

Disetujui oleh

Bambang Riyanto, SPi, MSi

Pembimbing I

Dr Ir Wini Trilaksani, MSc

Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Joko Santoso, MSi

Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah

memberikan asung kerta wara nugraha-Nya sehingga penyusunan skripsi yang

berjudul “Material Medis Penambal Membran Timpani Berbasis Komposit

Chitosan Melalui Pendekatan Mekanoakustik” ini dapat diselesaikan. Skripsi

disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di

Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak

yang telah membantu dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, terutama

kepada:

1. Bambang Riyanto, SPi, MSi dan Dr Ir Wini Trilaksani, MSc selaku dosen

pembimbing yang telah memberikan pengarahan dalam penyusunan

skripsi ini,

2. Dr Eng Uju selaku dosen penguji yang telah memberikan pengarahan

dalam penyusunan skripsi ini,

3. Dr Desniar selaku Program Studi Teknologi yang telah memberikan

pengarahan dalam penyusunan skripsi ini,

4. Prof Dr Eko Baroto W, APU (LIPI), Prof Dr Leonardus Broto Sugeng

Kardono (LIPI), Prof Dr Ismunandar (ITB), yang telah menguji argumen

dan memberi saran konstruktif dalam penelitian saya,

5. Ibu Ema Masruroh, SSi dan Dini Indriani, yang telah membantu penulis

selama penelitian di Laboratorium,

6. Ayah, Ibu, dan Adik, serta seluruh keluarga yang telah memberikan

motivasi kepada penulis,

7. Teman seperjuangan THP 46, adik-adik THP 47, THP 48, dan kakak-

kakak THP Pascasarjana, atas segala bantuan dan kerja samanya selama

penelitian berlangsung serta saat penyusunan skripsi ini,

8. Teman-teman KMHD IPB.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna.

Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak

sangat diharapkan. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua

pihak yang memerlukannya.

Bogor, 23 Februari 2014

I Wayan Darya Kartika

ix

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ............................................................................................... x DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... x DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... x PENDAHULUAN .............................................................................................. 1

Latar Belakang .............................................................................................. 1 Tujuan Penelitian .......................................................................................... 3

METODE PENELITIAN .................................................................................... 3 Waktu dan Tempat ....................................................................................... 3 Bahan ........................................................................................................... 4 Alat ............................................................................................................... 4 Prosedur Penelitian ...................................................................................... 4

Formulasi larutan membran komposit (Kim et al 2008; Fadhallah

2012) ................................................................................................... 4 Pembuatan membran komposit chitosan (Kim et al 2008;

modifikasi suhu dan waktu) ................................................................ 5 Karakterisasi mekanoakustik membran komposit chitosan ............... 5

Prosedur Analisis ......................................................................................... 5 Viskositas larutan dasar membran (ASTM D789 2007) .................... 5 Spektroskopi gugus fungsi larutan dasar (ASTM E1252 2013) ......... 6 Kenampakan membran komposit (Leceta et al. 2013, mengacu

Rohaeti & Rahayu 2012, Tripathi et al. 2009) ................................... 6 Laju transmisi uap air membran (ASTM E96M 2012) ...................... 6 Ketebalan membran komposit (El-Hefian et al. 2011)....................... 6 Kerapatan membran komposit (ASTM D1238 2012) ........................ 7 Modulus elastisitas membran komposit (ASTM D882 2012) ............ 7

Koefisien serap suara (JIS A1405 1963) ............................................ 7 Tingkat atenuasi model membran (JIS A1405 1963) ......................... 8 Kelajuan suara pada model membran (Kinsler et al. 2000) ............... 8 Intensitas tekanan suara pada membran (Garbe et al. 2010) .............. 8

HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................... 8 Kekentalan Larutan Membran Komposit Chitosan ..................................... 8 Spektroskopi Gugus Fungsi Membran Komposit Chitosan ........................ 9

Morfologi Membran Komposit Chitosan .................................................... 11 Karakteristik Fisik Membran Komposit Chitosan ....................................... 14 Karakteristik Mekanik Membran Komposit Chitosan ................................. 15

Karakteristik Akustik Membran Komposit Chitosan .................................. 16 KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... 20

Kesimpulan .................................................................................................. 20

Saran ............................................................................................................ 20

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 21 LAMPIRAN ........................................................................................................ 26 RIWAYAT HIDUP ............................................................................................. 30

x

DAFTAR TABEL

1 Formula pembuatan larutan polimer komposit chitosan .................................. 4 2 Ketebalan, kerapatan, dan laju transmisi uap air (WVTR) membran

komposit chitosan ............................................................................................ 14 3 Kekuatan tarik, perpanjangan, dan modulus Young membran komposit

chitosan. ........................................................................................................... 15 4 Kerapatan, elastisitas, prediksi kelajuan suara, dan SPL membran

komposit chitosan ............................................................................................ 17 5 Ketebalan, koefisien serap suara serta prediksi nilai atenuasi membran

komposit chitosan. ........................................................................................... 19

DAFTAR GAMBAR

1 Model penambal dan skema penambalan timpani pada perforasi membran

membra telinga berbasis membran komposit chitosan .................................... 5 2 Rataan viskositas larutan membran komposit chitosan pada suhu ruang ......... 9 3 Spektrum transmitan FTIR komposit chitosan.. ............................................... 10 4 Kenampakan membran komposit chitosan setelah dehidrasi. .......................... 12 5 Analisis SEM membran komposit chitosan. .................................................... 13 6 Kurva tegangan-regangan membran komposit chitosan.. ................................ 16 7 Koefisien serap suara membran komposit chitosan.. ....................................... 18

DAFTAR LAMPIRAN

1 Pengujian mandiri kadar air chitosan ........................................................... 26 2 Pengujian mandiri kadar abu chitosan ......................................................... 26

3 Pengujian mandiri berat molekul chitosan pada konsentrasi berbeda dengan

dengan metode viskometer Oswald .............................................................. 26 4 Rumus, massa, berat jenis molekul bahan penyusun komposit ................... 26

5 Pengujian mandiri [M], pH, [H+], Kion, α ion ................................................. 26

6 Aransemen dan interpretasi spektrum IR komposit chitosan ....................... 27 7 Prediksi struktur monomer komposit chitosan/gliserol/PVOH .................... 28

8 Peningkatan bobot harian membran komposit akibat transmisi uap air (20 ºC)

air (20 ºC) ..................................................................................................... 28 9 Data kurva tegangan-regangan menggunakan Tensile Strength and

and Elongation Tester Zwick/Roell Z005 dan pembentukan polanya ......... 29

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Proses penyerapan informasi pada tuna rungu sangat kurang sempurna,

akibat dari hilangnya fungsi indera pendengaran. Rata-rata tuna rungu hanya dapat

menyerap informasi sebesar 87%, dan itu semua berasal dari keempat indera yang

masih aktif (Astutik 2010). Masyarakat kurang mengetahui dan belum menyadari

bahwa dampak ketulian cukup berat. Apabila tidak dapat mendengar, maka

individu terhambat dalam bicara dan berkomunikasi. Lebih jauh, penderita

menjadi sulit untuk bisa belajar, menjadi warga terbelakang, SDM rendah serta

akhirnya menjadi beban keluarga, masyarakat dan negara.

Keputusan Menkes RI No. 879/Menkes/SK/XI/2006 tentang Rencana

Strategi Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian untuk

Mencapai Sound Hearing 2030 serta merujuk pada Surat Keputusan Menkes

No. 768/Menkes/SK/VII/2007 tentang Pendengaran dan Ketulian, terdapat 5

prioritas masalah yang harus ditanggulangi yaitu tuli konduktif akibat infeksi

telinga tengah (otitis media supuratif kronik/OMSK); tuli kongenital; tuli akibat

pajanan bising (noise induced hearing loss/NIHL); dan tuli presbikusis pada usia

lanjut (Depkes 2007).

Tuli konduktif pada berbagai tingkatan terjadi akibat gangguan hantaran

bunyi pada sistem konduksi di dalam telinga, termasuk bila terjadi perforasi

membran timpani permanen. Perforasi membran timpani permanen merupakan

suatu lubang pada membran timpani yang tidak dapat menutup secara spontan

dalam waktu 3 bulan setelah perforasi (Edward et al. 2010). Pelubangan membran

ini dikategorikan ke dalam kerusakan fisik atau deformasi organ antara lain

dengan kategori perforasi sentral, perforasi marginal hingga perforasi atique.

Hartanto (2004) menyatakan bahwa radang telinga tengah disertai perforasi

atau otitis merupakan salah satu penyakit infeksi yang banyak di Indonesia. Hasil

Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran tahun 1994-1996 yang

dilaksanakan di 7 provinsi di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi ketulian

0,4 %, morbiditas telinga 18,5%, penyakit telinga luar (6,8%), penyakit telinga

tengah (3,9%), presbikusis (2,6%), ototoksisitas (0,3%), tuli mendadak (0,2%) dan

tuna rungu (0,1%). Penyebab terbanyak dari morbiditas telinga luar adalah

serumen prop (3,6%) dan penyebab terbanyak morbiditas telinga tengah adalah

Otitis Media Supurativa Kronik (OMSK) tipe jinak (3,0%), dengan prevalensi

tertinggi pada kelompok usia sekolah antara 7-18 tahun (Komnas PGPKN 2007).

Penutupan perforasi membran timpani dengan metode bedah dan tambal

pertama kali menggunakan autograft kulit dari lengan (Berthold 1879) dan

autograft jaringan temporalis fascia. Penggunaan fascia otot atau perichondrium

digunakan untuk menutup perforasi dengan tingkat kesuksesan antara 88% – 97%

(Quraishi & Jones 1995; Laidlaw et al. 2001). Proses penutupan perforasi dengan

perawatan bedah memerlukan biaya tinggi, peralatan khusus, donor jaringan,

keterampilan ahli THT, keahlian bedah dan prosedur aseptik. Metode penutupan

perforasi dengan pembuatan luka baru di seluruh tepi perforasi timpani untuk

menstimulasi regenerasi mulai dilakukan, dilanjutkan dengan pemberian serum

2

autologous (Bhadouriya et al. 2012) berupa cairan kaustik silver nitrat dan

trikloroasetat untuk membuat luka baru tepi perforasi.

DiLeo & Armadee (1996) memperkenalkan metode tambal (patch) graft

kertas untuk membran timpani terperforasi akut permanen pada hewan guinea pig.

Tambalan tersebut memandu migrasi epitelium kepada material perancah dari tepi

perforasi. Metode ini masih diaplikasikan pada perforasi akut dan traumatis

karena mudah untuk dilekatkan dan resisten dari infeksi; meskipun graft kertas

tidak biokompatibel dan tidak fleksibel (Kristensen et al. 1989). Kemudian

dilakukan kombinasi kaustik sebagai “jembatan” dengan patch kertas

(Chun et al. 1999) yang memberikan hasil lebih baik. Hingga saat ini penggunaan

patch scaffold terus dikembangkan seiring kemajuan teknologi tissue-engineering,

terutama berasal dari polimer-polimer alam.

Beberapa penelitian patch scaffold yang kompatibel dan teruji untuk

merangsang penutupan perforasi dan regenerasi adalah dengan bahan polimer

seperti Seprafilm® dari asam hyaluronat dan Seprafilm

® dari

karboksimetilselulosa (Konakci et al. 2004). Penelitian material penambal lain

adalah berbahan dasar kolagen (Salen et al. 1965) kondroitin sulfat

(Swartz & Santi 1997), dan kalsium alginat (Weber et al. 2006). Salah satu hasil

perairan yang berpotensi dijadikan patch yakni chitosan ( Begum et al. 2011).

Chitosan merupakan polimer organik konvensional dari laut berbentuk

selulosa beramin dan berasetil (No & Meyers 1995). Kim & Lee (1997)

menyatakan bahwa chitosan memiliki sifat kompatibel, kuat, fleksibel, melekat

pada sel lebih baik, berfungsi sebagai anti jamur dan anti bakteri, dan mampu

menstimulasi penyembuhan luka dalam biomedis. Berger et al. (2004)

menyampaikan bahwa dalam pembuatan membran chitosan harus dikompositkan

dengan polimer lain dan membentuk struktur serta interaksi kompleksasi agregat

matriks melalui taut silang kovalen dan ionik.

Peningkatan kualitas chitosan mulai terlihat dari karakteristik rheologi dan

termal dalam asam asetat (El-Hefian et al. 2009), namun bila menggunakan

larutan asam asetat saja, diduga sifat mekanik akan kurang. Penambahan material

polimer pembentuk plastik polivinil alkohol (PVOH) ternyata dapat meningkatkan

ketahanan sobek dan kompresi (Stammen et al. 2001), absorpsi protein jaringan

(dos Reis et al. 2006) dan stabilitas kimia (El-Deen dan Hafez 2009). Peningkatan

kualitas mekanik secara tidak langsung berimplikasi pada sifat akustik dari

lapisan/membran. Beberapa kajian sifat akustik membran, antara lain penambahan

PVOH dan gliserol pada selulosa membentuk fraktura dan porositas permukaan

(Mao et al. 2002), penambahan PVOH pada polimer amida meningkatkan sifat

akustik dan tegangan permukaan (Ravichandran dan Ramanathan 2012), dan

struktur membran PVOH nanofibrous untuk aplikasi penyerapan suara

(Mohrova dan Kalinova 2012). Membran memenuhi sifat akustik apabila

memiliki sensitivitas terhadap daya, merambatkan gelombang menurut densitas,

dan mengalami atenuasi di sistem lapisan porous (Guastavino 2006).

Membran timpani sebagai membran secara fisik memiliki tebal, densitas

dan elastisitas (Fay et al. 2005), sehingga material penambal harus memenuhi

kualitas mekanik sekaligus akustik sebelum digunakan pada proses penutupan.

Proses penambalan perforasi mengedepankan kualitas tutupan, belum mencakup

kuantitas penerimaan intensitas suara pasca penutupan perforasi. Perlu dilakukan

analisis mekanoakustik pada membran telinga beserta kesatuan sistem

3

pendengaran melalui kajian pembuatan model yang disederhanakan untuk sistem

telinga tengah (Ganesan et al. 2013), analisis dinamik perilaku biomekanis

melalui finite model (Garbe et al. 2010), hingga kajian hubungan antara perforasi

terhadap intensitas pendengaran melalui fungsi transformasi akustik pada

pemasangan telinga kongkrit/RECD (Ghannoum et al. 2009) dan observasi

gangguan pendengaran dengan otitis media supuratif kronis tipe tubotimpanik

(Maharjan et al. 2009).

Penelitian melalui pendekatan mekano-akustik untuk mengkaji kualitas

penutupan perforasi dari segi intensitas tekanan suara dalam bentuk model

penambal berbasis chitosan menjadi sangat penting dilakukan karena diharapkan

dapat memprediksi sifat akustik berupa sensitivitas terhadap daya, kecepatan

rambat suara, dan nilai atenuasi di sistem lapisan material membran di luar

jaringan. Diharapkan model penambal perforasi ini dapat dimanfaatkan pada

bidang kedokteran THT (Telinga-Hidung-Tenggorokan) sebagai kandidat

autograft organik tanpa harus menunggu donor jaringan hidup. Melalui uji klinis,

model ini dapat diproduksi massal dalam skala industri menjadi chitosan patch

scaffold (setara paper patch scaffold) sehingga mengurangi permasalahan tuna

rungu di Indonesia (4,6%), khususnya akibat tuli konduktif (3,0%).

Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengembangkan material membran

komposit chitosan sebagai penambal timpani terperforasi melalui pendekatan

mekanoakustik. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini antara lain:

1 Mengetahui pengaruh konsentrasi chitosan terhadap struktur morfologis,

sifat fisik, dan sifat mekanik membran; serta mementukan masing-masing

kandidat terbaik.

2 Mengetahui serta memprediksi nilai-nilai parameter mekanoakustik yang

bersesuaian dengan membran timpani.

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2013 hingga Oktober 2013.

Formulasi larutan hingga pencetakan sampel membran komposit dilakukan di

Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan,

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Karakterisasi fisik dilakukan di Balai

Pengujian Mutu Barang Ekspor Impor Ciracas. Karakterisasi FTIR dilakukan di

Laboratorium Analisis Bahan, Departemen Fisika IPB; dan karakterisasi SEM

dilakukan di Laboratorium Geologi Kuarter, Puslitbang Geologi Laut Bandung.

Pengujian koefisien serap suara dilakukan di Laboratorium Riset Akustik,

Departemen Fisika UNS dan Laboratorium Elektronika Departemen Fisika IPB.

4

Bahan

Bahan utama yang digunakan meliputi chitosan dari cangkang udang,

berbentuk bubuk tidak larut air, berat molekul 15-20 kDa, DD 75-85% melalui

pengujian mandiri (Lampiran 1, Lampiran 2, Lampiran 3); akuades; 2 ml asam

asetat p.a. (CH3COOH) dilarutkan akuades hingga 100 ml (larutan stok asetat

2%); gliserol 98%, kristal polivinil alkohol (PVOH).

Alat

Alat yang digunakan antara lain oven Yamato DS400 (kapasitas 99 L,

akurasi ±10°C), wadah kaca (29,5 cm × 24,5 cm × 3,1 cm), viskometer Brookfield

LV (spindle 3-5, 40-50 rpm), SEM model JEOL JSM-6510LA (20kV dengan

1000× dan 5000× perbesaran optik) untuk analisis morfologi, spektrofotometer

Bruker Tensor 27 (λ 4000-400 cm−1

KBr beam splitter) untuk analisis FTIR.

Mikrometer digital Micro-cal Mizo (ketelitian 0,001 mm) untuk mengukur

ketebalan membran, Tensile Strength and Elongation Tester Zwick/Roell Z005

untuk kuat tarik serta elongasi material. Koefisien serap suara diukur dengan 1 set

alat uji karakteristik akustika model tabung impedansi tipe 4206 Bruel & Kjaer.

Prosedur Penelitian

Penelitian dilakukan dalam 3 tahapan yaitu: (1) formulasi larutan membran,

(2) pembuatan membran komposit chitosan, (3) karakterisasi model membran

penambal timpani. Diagram alir prosedur penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.

Tahapan lengkap prosedur penelitian adalah sebagai berikut:

Formulasi larutan membran komposit (Kim et al 2008; Fadhallah 2012)

Sebanyak 3 g dan 5 g chitosan dilarutkan dalam 100 mL larutan stok asetat

2% hingga homogen. Sebanyak 3 ml dan 1 ml gliserol masing-masing dilarutkan

dalam 100 larutan chitosan 3 g dan 5 g. Sebanyak 5 g kristal PVOH dilarutkan

dalam 100 ml akuades bersuhu 90°C. Larutan dasar membran penambal perforasi

dicampur hingga benar-benar homogen sesuai Tabel 1. Aktivitas ini mengacu

pada kandidat terbaik penelitian Kim et al. (2008), kemudian diintegrasikan

dengan PVOH 5% hasil penelitian Fadhallah (2012) dengan volume larutan

campuran akhir sebesar 200 ml dalam dua ulangan.

Tabel 1 Formula pembuatan larutan polimer komposit chitosan

Formula Chitosan (P)

(Kim et al. 2008)1

Gliserol (G)

(Kim et al. 2008)2

PVOH (P)

(Fadhallah 2012)3

A00 0% 0% 5%

B33 3% 3% 5%

C51 5% 1% 5% Keterangan:

1campuran chitosan dengan asam asetat 2% didiamkan hingga gelembung

udara hilang, 2gliserol dicampurkan setelah gelembung larutan chitosan-

asetat 2% hilang, 3setelah buih larutan PVOH hilang, campurkan pada

larutan chitosan-asetat 2%-gliserol

5

Parameter uji kualitas larutan campuran (larutan dasar membran) berupa

viskositas (Abu-Aiad et al. 2005).

Pembuatan membran komposit chitosan (Kim et al 2008; modifikasi suhu

dan waktu)

Model membran penambal berbentuk tipis transparan ini disiapkan untuk

dapat disisipkan pada jaringan ikat dengan luas permukaan yang mampu menutupi

perforasi. Bentuk membran tipis dalam fungsinya sebagai penambal timpani

telinga terperforasi dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Model penambal dan skema penambalan timpani pada perforasi

membran telinga berbasis membran komposit chitosan

Teknik pembuatan diawali dengan penuangan larutan dasar membran

diatas wadah kaca sebanyak ±120 ml atau hingga mencapai tinggi 0,16 mm.

Target ketebalan yang ingin dicapai adalah 0,10 mm pasca pengeringan (mengacu

Feenstra et al. 1984). Larutan dalam cetakan dikeringkan dalam oven selama 12

jam pada suhu 60oC. Setelah itu dibiarkan kering pada suhu ± 45

oC selama 12

jam; kemudian diangkat dan dilepaskan dari wadah (El-Hefian et al. 2011).

Karakterisasi mekanoakustik membran komposit chitosan

Membran dari cetakan utama (Lampiran 1) dipotong dalam beberapa jenis

dimensi untuk tiap analisis. Analisis fisik meliputi analisis ketebalan, kerapatan,

dan laju transmisi uap air. Analisis mekanik meliputi modulus elastisitas dan

koefisien serap suara sebagai analisis akustik. Prediksi akustiik disajikan melalui

hubungan parameter mekanik dan fisik meliputi tingkat atenuasi, kelajuan suara

pada membran dan sensitivitas membran terhadap intensitas tekanan suara.

Prosedur Analisis

Viskositas larutan dasar membran (ASTM D789 2007)

Viskositas larutan (η) diukur dengan viskometer Brookfield model LV.

Spindle dipasang ke alat, pilih (tekan tombol “select spindle”) serta masukkan

nomor dan kecepatan putar spindle. Pengukuran viskositas dimulai (tekan tombol

“ON”) sehingga pisau spindel berputar dalam sampel larutan (± 80 ml; selama 1

menit) dan nilai tertera pada alat (tekan tombol “OFF”). Viskositas terukur (dalam

cP) adalah nilai tertera × faktor konversi/fK (nilai fK disesuaikan jenis larutan).

aplikasi membran chitosan pada

jaringan ikat gendang telinga terperforasi

6

Spektroskopi gugus fungsi larutan dasar (ASTM E1252 2013)

Larutan membran (dalam bentuk serbuk) bersama KBr dibentuk pellet bulat.

Spektrum gelombang infra merah (λ = 4000-400 cm-1

) “ditembakkan” ke pellet

yang tersisip antara elektroda spektrofotometer model Bruker Tensor 27, untuk

kemudian diteruskan ke receiver (komputer). Hasil pengukuran berupa grafik

persentase transmitan spektrum (Y)-panjang gelombang (X). Spektrum yang

dihasilkan kemudian dianalisis secara kualitatif untuk menginterpretasikan gugus

fungsi yang terkandung dalam membran.

Analisis ini dilakukan dengan cara membandingkan spektrum yang terbaca

dengan standar. Selain itu, kekuatan ikatan berdasarkan persentase serapan dan

posisi ikatan diprediksi dengan software IR Pal v2.0 Tabeldriven Infrared

Application. Setiap puncak/lembah spektrum diinterpretasikan sebagai gugus

fungsi khas polimer penyusun (chitosan, gliserol dan PVOH) sampel yang

memiliki variasi vibrasi tertentu (Costa-Junior et al. 2009).

Kenampakan membran komposit (Leceta et al. 2013, mengacu Rohaeti &

Rahayu 2012, Tripathi et al. 2009)

Membran yang telah dilepas dari cetakan, diamati karakteristiknya secara

kasat mata meliputi bentuk, warna, transparansi warna, kelenturan, tekstur,

permukaan, dan kelengketan mengacu Rohaeti & Rahayu (2012). Sampel

dikondisikan segera setelah proses dehidrasi selesai, pada suhu ruang. Bentuk

membran didokumentasikan dengan kamera dengan jarak fokus 50 mm.

Morfologi preparat membran diamati dengan Scanning Electron Microscope

Jeol JSM-6510LA Philips (tegangan 20 kV). Sampel yang diperkecil (hingga

berukuran 1×1 cm2) diletakkan di depan lensa objektif; terhubung dengan kamera.

Preparat diamati (perbesaran 1.000×) secara melintang (untuk kenampakan

permukaan) mengacu Tripathi et al. (2009).

Laju transmisi uap air membran (ASTM E96M 2012)

Laju transmisi uap air diukur dengan menggunakan water vapor

transmission rate (WVTR) tester Bergerlahr metode cawan. Membran

berdiameter 7 cm dikondisikan pada ruangan bersuhu 22 o

C dan RH 70-80% (24

jam). Sampel diletakkan di atas cawan yang telah dimuati bahan desikan (silica

gel); sedemikian rupa sehingga permukaan desikan berjarak 3 mm dari membran

uji. Tepian membran dilekatkan dengan bibir cawan dengan bekuan parafin cair.

Berat membran dan sistem cawan mula-mula ditimbang. Cawan ditimbang setiap

hari (pada jam yang hampir sama) dan ditentukan pertambahan berat (gram) dan

waktu (jam). Nilai laju transmisi uap air dihitung dengan rumus:

dimana

WVTR = laju transmisi uap air (g.mm-1

.24 jam-1

), Δw = pertambahan berat

(gram), t = waktu antar 2 penimbangan terakhir (jam), A = luas permukaan

membran uji (cm2), 24 = jumlah jam dalam 1 hari.

Ketebalan membran komposit (El-Hefian et al. 2011)

Ketebalan (Δx) membran komposit diukur dengan alat Micro-cal Mizo

(ketelitian 0,001) mengacu El-Hefian et al. (2011). Membran berukuran 1,5 cm2

7

diukur ketebalannya pada 5 titik berbeda (diulang 2 kali untuk setiap jenis

formulasi membran). Nilai ketebalan diambil dari rataan kelima pengukuran.

Kerapatan membran komposit (ASTM D1238 2012)

Contoh uji berukuran 10 cm × 10 cm ditimbang berat kering udara (BKU),

luas (A), dan tebal (Δx) dengan timbangan (ketelitian 0,0001 g). Kerapatan

dihitung berdasakan rumus:

Modulus elastisitas membran komposit (ASTM D882 2012)

Penentuan modulus elastisitas (modulus Young) dilakukan simultan

bersama kuat tarik dan kemuluran membran komposit diukur menggunakan alat

Tensile Strength and Elongation Tester Zwick/Roell Z005. Sampel dengan lebar

250 mm; panjang ≥ 4 inci dikondisikan dalam ruangan bersuhu 20oC, RH 50%

(24 jam). Alat ukur diset pada initial grip separation 10 cm (± 4 inci), kecepatan

crosss head 50 mm/menit, diukur minimal dalam 5 kali pengulangan. Hasil

pengukuran ditampilkan dalam output kurva pada computer dengan menggunakan

software TestXpert Tensile Tester for Zwick/Roell. Kuat tarik/tensile strength (TS

dalam Pascal) dan kemuluran/elongation at break (EB dalam %).

Secara kualitatif, modulus elastisitas digambarkan dalam kurva stress-

strain. Kurva ketiga komposit digabung dalam satu layer menggunakan metode

ekstrapolasi sehingga terbentuk perbandingan pola kurva dengan software

Microsoft Office Visio 2010 dan CorelDRAW Graphic Suite 14. Kurva diberi

warna yang berbeda, keterangan nilai E, dan nilai pembanding E (P* dan P0),

Secara kuantitatif, modulus elastisitas/Young’s Modulus (YM) ditentukan

berdasarkan perbandingan tegangan dan regangan berdasarkan rumus:

⁄ dimana

E = modulus Young (dalam PSI), ε = tegangan/stress (dalam N.m-1

) serta σ =

regangan/strain.

Koefisien serap suara (JIS A1405 1963)

Koefisien serap/absorpsi suara (α0) diukur menggunakan metode tabung

impedans. Kit tabung impedansi dikondisikan pada lower frequency limit 500 Hz;

Vs = 343,24 m/s; ρa = 1,202 kg/m³; impedansi udara = 412,6 Pa/(m/s). Sampel

(diameter 480 mm) dimasukkan dalam tabung impedansi, kemudian diberi impuls

suara dalam rentang frekuensi 200 - 6400 Hz (filter 1/3 oktaf), untuk kemudian

diteruskan ke receiver (komputer). Hasil pengukuran berupa grafik frekuensi (X) -

α (Y). Koefisien absorbsi (α) ini adalah perbandingan antara energi suara yang

diserap oleh membran komposit dengan energi suara yang datang pada permukaan

membran tersebut, didefinisikan sebagai:

| | dimana

Eabs = energi suara yang terserap bahan, Eins = energi datang yang mengenai bahan

α = koefisien serap suara, R = koefisien pantul suara.

8

Tingkat atenuasi model membran (JIS A1405 1963)

Prediksi tingkat atenuasi (e−2αx

) mengacu pada koefisien absorpsi rata-rata

dan rataan ketebalan masing-masing membran komposit, dihitung berdasakan

rumus:

dimana

Iat = intensitas atenuasi (dalam “kali”), Iin = intensitas suara energi datang

yang mengenai bahan (tidak diketahui, x), e−2αx

= tingkat atenuasi membran (e =

bilangan Euler; α = koefisien serap suara, x = tebal membran uji).

Kelajuan suara pada model membran (Kinsler et al. 2000)

Prediksi kelajuan suara (vs) mengacu pada perbandingan rataan elastisitas

terhadap rataan kerapatan membran, dihitung berdasakan rumus:

dimana

vs = kelajuan suara dalam medium membran (dalam m/s), E = modulus

Young (dalam N/m2), ρ = kerapatan membran (dalam kg/m

3).

Intensitas tekanan suara pada membran (Garbe et al. 2010)

Prediksi tingkat tekanan suara terhadap membran mengacu pada

perbandingan logaritmik batas elastis/tekanan maksimal terhadap ambang batas

pendengaran, dihitung berdasakan rumus:

dimana

SPL = Sound Pressure Level (dalam dB), P = batas elastis/modulus Young

(dalam Pa), P0 = batas elastis referensi/ambang batas pendengaran = 2×10-5

Newton/m2

Tingkat tekanan suara bersesuaian dengan tekanan akibat vibrasi, sehingga dBSPL

menjadi prediksi sensitivitas model membran komposit untuk dapat bergetar jika

terpapar tekanan partikel udara.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kekentalan Larutan Membran Komposit Chitosan

Pembentukan struktur solid membran pasca dehidrasi tergantung dari

interaksi polimer-polimer yang kuat dalam larutan, diketahui melalui peningkatan

kekentalan larutan chitosan/gliserol/PVOH. Kekentalan larutan polimer tersebut

tergantung peningkatan konsentrasi chitosan dan gliserol dalam larutan polimer,

disajikan pada Gambar 2. Nilai viskositas larutan polimer diamati untuk rasio

0/0/5, 3/3/5 dan 5/1/5 berturut-turut yaitu 10400 ± 283 cPs, 17650 ± 919 cPs, dan

32750 ± 354 cPs pada suhu ruang.

9

Gambar 2 Rataan viskositas larutan membran komposit chitosan pada suhu ruang

( A00 = 0% C + 0% G + 5% P; B33 = 3% C + 3% + 5% P;

C51 = 5% C + 1% G + 5% P)

Secara alami, kekentalan meningkat seiring bobot massa terlarut dalam

pelarut. Struktur, bobot dan densitas molekul komposit penyusun (Lampiran 4)

meningkatkan molaritas, pH, dan ion H+ secara simultan (Lampiran 5), sehingga

terjadi interaksi spesifik pada setiap gugus fungsional (Zhang et al. 2007) pada

larutan polimer. Polimerisasi cross-linking (taut silang) PVOH dan selulosa

(chitosan) mengubah kristal PVOH menjadi bentuk amorf dalam matriks

chitosan. Konsentrasi selulosa berkorelasi positif dengan tautan ikatan hidrogen

pada matriks sehingga sangat kental di dalam bentuk fluida (Othman et al. 2011).

Penurunan konsentrasi gliserol diduga menurunkan difusi dan kondensasi uap air

di udara menjadi air dalam larutan polimer, sesuai Mao et al. (2002) bahwa agen

hidrofilik membawa suasana higroskopis pada material.

Spektroskopi Gugus Fungsi Membran Komposit Chitosan

Spektroskopi FTIR digunakan untuk identifikasi gugus kimia polimer

(chitosan/gliserol) dan memeriksa formasi ikatan taut silang campuran dengan

PVOH pada Gambar 3A dan Gambar 3B. Interpretasi spektrum (Lampiran 9)

nerkisar antara 400-4000 cm-1

, dimana pada rentang 1200-4000 cm-1

disebut

group frequency dan 400-1200 cm-1

disebut fingerprint regions sehingga 1450 cm-

1 adalah transisi vibrasi stretching dan bending.

Spektrum serapan intensitas tinggi gugus OH− terikat N H

+ (komposit

chitosan 3% dan 5%) serta gugus OH− terikat H

+ (komposit PVA 5%) pada

rentang 3788-3217 cm-1

diduga akibat peningkatan laju ionisasi molekul air

bergugus fungsi pada chitosan dan PVOH. Pelepasan residu OH− berjalan

simultan dengan defisiensi H+ pada 3200-3400 cm

-1 membentuk ikatan tak jenuh

(Costa-Junior et al. 2009),. Pada tingkat polimer, residu OH- berikatan tak jenuh

dengan gugus amin maupun alkohol membentuk gula semi-amino yang disebut

polyols (Mao et al. 2002). Setiap molekul O-H bervibrasi regang menunjukkan

10

terjadinya ikatan hidrogen antara gliserol dengan chitosan (selulosa). Gugus

alkohol atau hidroksil merupakan prekursor ikatan hidrogen (Meneghello et al.

2008) antar molekul sehingga mempererat struktur membran.

(A)

(B)

Gambar 3 Spektrum transmitan FTIR komposit chitosan. ( A00 = 0% C + 0%

G + 5% P; B33 = 3% C + 3% G + 5% P; C51 = 5% C + 1% G

+ 5% P).

Gugus amina N-H (2°) atau amina sekunder terdeteksi pada 3356 cm-1

(3%

chitosan) dan 3325 cm-1

(5% chitosan). Indikasi gugus amina pada zona gugus

alkohol dan sebelum zona hidrokarbon diduga akibat terpicunya ikatan peptida

antara PVOH dan chitosan. Atom karbon pada gugus anhidrida (C=O) berbagi

11

elektron dengan atom nitrogen dari gugus amina (N-H) membentuk gugus amida

(CO-NH). Gugus amina juga merupakan salah satu ion utama pada chitosan;

sebagai zwitterion gugus alkohol dan hidrokarbon (Begum et al. 2011). Perbedaan

konsentrasi chitosan menimbulkan bentukan gugus dengan tingkat serapan serta

vibrasi yang berbeda, selanjutnya karakteristik membran akan dipengaruhi oleh

gugus tersebut.

Setelah rentang 3200 cm-1

, pada 3000 cm-1

terbentuk puncak tajam transmisi

gugus C-H yang sama untuk komposit chitosan 3% dan chitosan 5%. Rentang

3000 cm-1

indikasi reaksi adisi H+ pada rantai karbon hidrokarbon lebih kompleks,

sesuai Costa-Junior et al. (2009) batas ini menjadi batas ikatan jenuh dan tak

jenuh hidrokarbon. Hidrokarbon alkana terbentuk pada rentang 2939-2932 cm-1

dengan detail gugus C-C aromatik (sikloalkana) pada 1420 cm-1

, diduga akibat

konjugasi alkohol dan asetat. Sesuai No & Meyers (1995) gugus amin pada

chitosan dapat bereaksi secara bersamaan pada dua jenis pelarut bergugus etil

secara bersamaan membentuk cincin aromatik. Alkana adalah hidrokarbon

pembentuk rantai karbon tak jenuh bertitik didih tinggi (Othman et al. 2011)

sehingga dapat meningkatkan kualitas mekanik membran. Peningkatan sifat

mekanik didapat dari sifat alkana yang memiliki titik didih tinggi sehingga perlu

energi besar untuk menghancurkan ikatan (Ravichandran & Kumari 2011).

Lembah curam terbentuk pada rentang 849-1659 cm-1

indikasi pembentukan

hidrokarbon dengan ikatan kompleks seperti, alkena dan haloalkana. Hidrokarbon

alkena terbentuk pada rentang 1659 cm-1

dengan detail gugus etinil pada 849 cm-1

,

diduga akibat PVOH terhidrolisis air, kemudian terhidrolisis asam asetat menjadi

polivinil asetat (PVA) (Costa-Junior et al. 2009).

Sepanjang 1750-2700 tidak ditemukan gugus fungsi pada ketiga komposit

terkecuali, pada komposit chitosan 3 yaitu serapan gugus fungsi peralihan

isosianat di 2275 cm-1

(N=C=O) ke karbon dioksida (O=C=O).di 2349 cm-1

pada

2345-2284 cm-1

pada membran komposit chitosan 3%. Isocyanat adalah senyawa

bentukan gliserol dalam sintesis poliuteran densitas rendah (Sondari et al. 2010)

sebagai agen enkapsulasi)

Komposisi polimer-selulosa-gula amino ini diduga membentuk senyawa

sakarolipid (Lampiran7). Gugus asam sulfonat (S=O), nitril (N-O), isosianat

(N=C=O), dan gugus hidroksil bebas (O-H) ditemukan sebagai gugus residu

akibat faktor oksidasi dan suhu lingkungan (dos Reis et al. 2006). Gugus fungsi

sejenis di setiap sampel memiliki perbedaan bilangan gelombang yang tidak

berbeda jauh. Hasil ini menandakan bahwa chitosan, gliserol, dan PVOH

berikatan kimia dengan baik serta mewarisi sifat-sifat unggul polimer

penyusunnya. Perubahan bilangan gelombang ini dapat terjadi akibat interaksi

antara gugus-gugus dari bahan-bahan yang dicampurkan (Zhang et al. 2007).

Morfologi Membran Komposit Chitosan

Analisis morfologis mencakup kenampakan secara makroskopis dan

mikroskopis membran komposit chitosan setelah pengeringan. Membran

komposit chitosan A00, B33, dan C51 berbentuk lapisan tipis transparan

bergradasi setelah pengeringan (60ºC selama 12 jam) disajikan pada Gambar 4.

Gradasi warna kekuningan meningkat seiring peningkatan konsentrasi gliserol

12

(Leceta et al. 2013), sekaligus reaksi pencoklatan (Maillard) komponen selulosa

selama diberi kalor (El-Hefian et al. 2009). Reaksi Maillard terstabilkan polivinil

alkohol (PVOH) dalam bentuk suspensi ketika masih berwujud larutan saat

terkena suhu melebihi 50°C (Ravichandran & Kumari 2011).

A00 B33 C51

Gambar 4 Kenampakan membran komposit chitosan setelah dehidrasi. (A00 = 0%

C + 0% G + 5% P; B33 = 3% C + 3% G + 5% P; C51 = 5% C + 1% G

+ 5% P)

Membran bersifat lentur, tekstur kompak (rasio 0/0/5) hingga tekstur kenyal

(rasio 3/3/5 dan 5/1/5). Kelenturan dan tekstur penanda peningkatan kualitas

mekanik secara tidak langsung karena penambahan PVOH dan gliserol sebagai

agen plasticizer. Gliserol adalah plasticizer berbasis asam amino polyols, yang

merupakan gula-gula nabati (Mao et al. 2002); menjembatani polimerisasi dan

ikatan cross-linking (taut silang) chitosan-PVOH. Larutan PVOH merupakan

plasticizer berbasis turunan resin plastik polistirena (Stammen et al. 2001) yang

diduga membentuk struktur kompak tersendiri seperti plastik (tanpa penambahan

chitosan dan gliserol).

Kelicinan permukaan dan kelengketan meningkat, berturut-turut mulai rasio

0/0/5, 5/1/5 dan 3/3/5. Permukaan membran licin serta lengket diduga akibat

dehidrasi larutan dasar membran menyisakan molekul air, ketika gugus alkohol

telah teruapkan. Molekul air memiliki titik didih (titik uap) 100ºC (belum

menguap pada suhu 60ºC), sehingga permukaan agak basah dan licin. Jarak antar

molekul padatan terlarut semakin merenggang (Park & Chinnan 1995) akibat

proses penguapan, membentuk pori (Mao et al. 2002) sekaligus memaksa

komponen terlarut merapat membentuk struktur solid.

Pengamatan morfologi membran komposit B33 dan C51 lebih detail dengan

SEM perbesaran 1000 kali dan 5000 kali disajikan pada Gambar 5. Interaksi

antara chitosan, gliserol, dan PVOH dalam pembentukan pori (matriks chitosan

dan granula PVOH terletak berselang-seling) terjadi berkat kesamaan aspek

morfologi chitosan/PVOH pada rasio polimer berbeda. Membran komposit A00

tidak dianalisis SEM karena tidak mengandung bahan penyusun chitosan,

melainkan lebih kepada variabel kontrol yang dianalisis lebih lanjut melalui

literatur.

Pengamatan permukaan membran komposit chitosan pada perbesaran 1000

kali menunjukkan komposit berasio 3/3/5 memiliki granula lebih kecil dibanding

rasio 5/1/5. Granula membran komposit chitosan rasio 5/1/5 terdistribusi jarang,

mengelompok, berukuran besar. Granula terdistribusi banyak, seragam, berukuran

13

kecil diamati pada komposit 3/3/5. Sesuai hasil Costa-Junior et al. (2011) dengan

perbesaran 2500 kali, granula merupakan bentuk khas dari komposit PVOH dalam

membran. Granula terlihat lebih tersebar acak pada perbesaran lebih tinggi, yang

mungkin disebabkan oleh beberapa pemisahan fase yang mungkin terjadi karena

berbeda pertautan silang kinetika chitosan dan PVOH. Granula PVOH besar di

permukaan memperbesar sudut pantul gelombang & mereduksi intensitas tekanan

udara (Kinsler et al. 2000).

B33 (3% C + 3% G + 5% P) C51 (5% C + 1% G + 5% P)

Gambar 5 Analisis SEM membran komposit chitosan. (perbesaran 1000 kali

(A,B), perbesaran 5000 kali (C,D))

Permukaan membran komposit chitosan pada perbesaran 5000 kali

menunjukkan bahwa komposit berasio 3/3/5 memiliki bintik putih yang tidak

ditemukan pada rasio 5/1/5. Menurut hasil Tripathi et al. (2009) dengan

perbesaran 2500 kali, bintik yang tersusun secara teratur membentuk kumpulan

rongga mikro dibatasi kerangka ikatan gugus fungsi, berbentuk seperti

bintik/matriks selulosa (Othman et al. 2011) di antara granula. Ketika waktu

dehidrasi bertambah cenderung meningkatkan kerapatan membran, karena ketika

pelarut diuapkan. Larutan polimer yang masih berbentuk cair bergerak mengisi

pori sehingga menghasilkan pori yang lebih rapat dibanding tanpa penguapan

pelarut (Meneghello et al. 2008). Interaksi polimer dominasi gliserol dengan

PVOH menciptakan suasana basa (Mao et al. 2002) sehingga ionisasi gugus

hidroksil (O-H) meningkat pesat; menyebabkan adanya transmisi uap air dari

lingkungan ke membran komposit.

14

Karakteristik Fisik Membran Komposit Chitosan

Membran komposit chitosan yang telah dikeringkan memiliki tebal,

kerapatan dan laju transmisi uap air menurut kecenderungan rasio chitosan dan

gliserol yang ditambahkan, disajikan pada Tabel 2. Ketebalan membran

meningkat seiring peningkatan konsentrasi chitosan dan gliserol, namun disertai

penurunan kerapatan membran. Membran komposit berasio 0/0/5 menjadi

membran paling tipis sekaligus paling rapat, sebaliknya membran tertebal

sekaligus berpori adalah komposit chitosan berasio 5/1/5. Perilaku kontradiktif

tersebut sesuai El-Hefian et al. (2011) bahwa partikel chitosan terlarut berpotensi

lebih tinggi menghasilkan ikatan struktur lebih padat, dengan banyak pori-pori

mikro. Pori tersebut terbentuk dari struktur matriks chitosan (Othman et al. 2011)

sehingga menyebabkan strukur tidak rapat, kemudian kerapatan menurun. Massa

kristal PVOH setiap perlakuan sama, sehingga perbedaan ketebalan hanya

disumbang dari perbedaan konsentrasi chitosan.

Tabel 2 Ketebalan, kerapatan, dan laju transmisi uap air (WVTR) membran

komposit chitosan

Model membran Ketebalan

(µm)

Kerapatan

(kg/m)

WVTR

(g/mm hari)

A00 145,30 ± 2,12 688.30 ± 10,05 0,12×10-2

B33 160,70 ± 0,99 622.29 ± 3,83 1,43×10-2

C51 188,50 ± 0,14 530.50 ± 0,40 0,38×10-2

Membran komposit B33 memiliki tebal yang konsisten (dibandingkan A00

dan C51) dari awal pencetakan hingga berbentuk membrane patch. Aplikasi

membran komposit chitosan B33 ke membran timpani secara langsung cukup sulit

karena tebal membran timpani antara 30 – 90 µm (Lim 1970). Patch yang terlalu

tipis cenderung mudah dilipat atau terlepas dari gendang telinga, sedangkan yang

terlalu tebal sulit beradaptasi dengan baik pada cekung gendang (Kim et al. 2008).

Hasil penelitian pendahuluan oleh Chung et al. (2007), model penambal yang

sangat tipis sehingga tidak mudah dikontrol, sebaliknya dengan ketebalan lebih

dari 40 µm dapat terlepas dengan mudah dari timpani. Kim et al. (2008)

berasumsi bahwa ketebalan ideal CPS (chitosan patch scaffold/penambal kitosan

artifisial) mendekati 30-40 µm (setara 0,030 – 0,040 mm). Ketebalan pembuatan

model membran penambal timpani penting diperhitungkan untuk memperbaiki

kualitas mekaniknya (melalui pemberian suhu dehidrasi lebih tinggi, standar

volume, dan tinggi pencetakan).

Peningkatan nilai WVTR diduga akibat peningkatan konsentrasi gliserol

mulai 0% sampai 3%, sesuai Leceta et al. (2013) yang menyatakan bahwa

kenaikan bobot terjadi akibat interaksi antara gugus hidrofilik pada bahan dengan

uap air di udara. Kecepatan molekul air dalam fase uap/gas melalui suatu unit

luasan membran akibat adanya perbedaan tekanan uap air antara bahan dengan

lingkungan pada suhu dan kelembaban tertentu. Peningkatan bobot membran

harian berkorelasi positif dengan kelajuan transmisi uap air masing-masing

membran (Lampiran 6). Gradien peningkatan bobot ketiga membran komposit per

hari konstan selama 96 jam, kecuali komposit chitosan 3% pada peralihan 72 ke

96 jam. Gugus OH sebagai salah satu gugus hidrofilik sekaligus plasticizer yang

15

mampu meningkatkan difusi oksigen ke dalam material bahan (Mao et al. 2002).

Membran komposit dengan nilai WVTR tinggi diharapkan dapat menyerap uap

air dalam rongga telinga serta air terikat pada jaringan epitel sehingga

mempercepat pelekatan pada perforasi membran timpani. Pengukuran WVTR

komposit, dikondisikan dengan luas permukaan yang sama sehingga faktor

dimensi tebal, densitas, dan morfologi dapat mempengaruhi kecepatan difusi uap

air melewati membran.

Karakteristik Mekanik Membran Komposit Chitosan

Sifat mekanik dari model membran sebagian erat kaitannya dengan

distribusi dan kerapatan dari interaksi intermolekular dan intramolekular jaringan

pada membran komposit. Pengaruh penambahan chitosan dan gliserol terhadap

ketahanan tarik, perpanjangan, dan modulus elastisitas disajikan pada Tabel 3

(Lampiran 8).

Tabel 3 Kekuatan tarik, perpanjangan, dan modulus Young membran

komposit chitosan.

Model

membran

Ketahanan tarik

(106 Pa)

Perpanjangan

(%)

Modulus Young

(106 N/m

2)*

A00 1,10 ± 0,09 95,00 ± 14,20 1,02 ± 0,12

B33 0,29 ± 0,04 94,26 ± 28,71 0,30 ± 0,10

C51 1,11 ± 0,35 60,72 ± 2,89 0,68 ± 0,14

Sumber: *hasil prediksi dari penelitian ini

Ketahanan tarik merupakan gambaran ketahanan model penambal membran

telinga ketika menerima gaya tarik berlawanan secara aksial. Membran komposit

berasio 5/1/5 memiliki ketahanan tarik (tensile strength) paling tinggi, sebaliknya

kuat tarik terendah dimiliki membran komposit rasio 3/3/5. Menurut hasil

penelitian Kim et al. (2008), kekuatan tarik komposit chitosan lebih didominasi

pengaruh konsentrasi chitosan akibat kemampuan meng-ion secara aktif

membentuk kompleks matriks. Peningkatan nilai kuat tarik ini selaras dengan

terbentuknya ikatan hidrogen yang kuat dari interaksi antara chitosan, gliserol dan

PVOH. Menurut Zhou et al. (1990) adanya gugus CH2 dan OH− dari PVOH akan

membentuk ikatan hidrogen bila bertemu dengan gugus hidrokarbon dan amina

sehingga menghasilkan ikatan hidrogen yang kuat, secara simultan meningkatkan

nilai kuat tarik.

Perpanjangan putus merupakan gambaran persentase pertambahan panjang

maksimal model membran penambal timpani hingga terdeformasi. Perpanjangan

terbesar dimiliki komposit rasio 0/0/5; sebaliknya komposit rasio 3/3/5 memiliki

elongasi terendah. Elongasi membran komposit dipengaruhi sifat plastis dari

gugus vinil-klorida pada PVOH (Stammen et al. 2001) serta pengaruh konsentrasi

gliserol (Kim et al. 2008). Gugus OH pada gliserol menjembatani polimerisasi

chitosan-PVOH sehingga memperlambat pemutusan ikatan hidrogen keduanya

(Mao et al. 2002). Peningkatan nilai elongasi ini selaras dengan terbentuknya pori

kecil dalam jumlah banyak di permukaan membran antara matriks chitosan,

gliserol dan rantai polimer PVOH.

16

Gambar 6 Kurva tegangan-regangan membran komposit chitosan. (A00 = 0% Chi

+ 0% Gli + 5% PVA; B33 = 3% Chi + 3% Gli + 5%PVA; C51 = 5%

Chi + 1% Gli + 5%PVA; × = titik putus; ● = titik deformasi).

Tingkat elastisitas membran komposit chitosan diketahui melalui penentuan

modulus Young pada setiap perlakuan. Kurva stress-strain memperlihatkan

kecenderungan membran komposit dalam menerima tegangan dan mengalami

regangan. Modulus Young merupakan gambaran kualitatif dan kuantitatif kualitas

mekanik material, termasuk pula material komposit (Stammen et al. 2001; El

Hefian et al. 2012). Nilai rataan kurva tegangan-regangan sebagai proyeksi

elastisitas dari ketiga material komposit, disajikan pada Gambar 6.

Chitosan membentuk struktur polimer semi-amorf pada membran komposit

sehingga modulus lentur merupakan adaptasi struktur rigid/kristal. Semakin tinggi

nilai modulus, maka semakin kaku model penambal tersebut. Semakin rendah

nilai modulus, maka batas elastisnya semakin rendah pula. Modulus lentur juga

merupakan batas elastis membran apabila menerima daya maksimal pada suatu

luasan membran, sehingga dapat kembali ke posisi normal (setimbang). Meskipun

memiliki batas elastis terbesar (1,10×106 N/m

2), namun membran komposit 5%

PVOH tidak direkomendasikan sebagai model penambal karena berperilaku

plastis ketika diberi peningkatan tegangan/gaya serta tidak kembali ke posisi awal

setelah meregang maksimal setelah melewati batas elastisnya. Perilaku ini rentan

terhadap deformasi permanen pada kondisi tekanan udara ekstrim (misal: paparan

bising atau ledakan). Model terbaik elastisitasnya adalah komposit chitosan 3%

karena mampu meregang lebih baik daripada komposit chitosan 5%.

Karakteristik Akustik Membran Komposit Chitosan

Perpindahan koordinat membran (membrane displacement) terjadi pada

permukaan membran timpani akibat variasi tekanan udara di lingkungan.

17

Sepanjang perpindahan membran terjadi konversi besaran energi mekanik

menjadi energi akustik (Kinsler et al. 2000), sehingga terjadi dualisme peran

membran timpani sebagai membran fisik sekaligus panel akustik. Parameter

akustik yang mempengaruhi performa model membran penambal timpani

diprediksi melalui parameter fisik terkait, disajikan pada Tabel 4.

Waktu tempuh energi melalui rapatan-regangan partikel dipengaruhi oleh

kerapatan bahan (Kinsler et al. 2000). Tabel 4 menunjukkan bahwa model

membran komposit berasio 5/1/5 diprediksi mampu merambatkan suara lebih

cepat daripada model pars tensa (Garbe et al. 2010), yaitu sebesar 0,55×102

m/s.

Laju rambat suara meningkat seiring peningkatan elastisitas membran, sekaligus

menurun seiring peningkatan densitas bahan (Gustavino 2006); sehingga

perambatan suara terbaik dihasilkan komposit 5% chitosan. Laju rambat suara

tidak mutlak dipengaruhi densitas, karena struktur morfologi menentukan gerak

vektor partikel (Ghannoum et al. 2009) dan bergantung jumlah pori.

Tabel 4 Kerapatan, elastisitas, prediksi kelajuan suara, dan SPL membran

komposit chitosan

Model

membran

Kerapatan

(kg/m3) Elastisitas

(106 N/m

2) Kelajuan suara

(m/s)*

SPL

(dB)*

B33 619,58 0,30 ± 0,10 0,22×102 203,52

C51 530,79 1,62 ± 1,62 0,55×102 218,17

Timpani

(pars tensa) 1200,00

1 3,56

1 5,45×10

-2 105,00

Sumber: 1Garbe et al. (2010), *hasil prediksi dari penelitian ini

Jika partikel udara terkompresi dalam kondisi cepat rambat maksimal (Vmax)

ketika menabrak lapisan (membran), partikel tersebut akan memberikan tekanan

maksimal (Pmax dalam Pa) sebanding batas elastis (E dalam Pa) membran

sehingga menggeser posisi membran sejauh amplitudo maksimal (Amax) dari

keadaan setimbang. Dalam kondisi tersebut, membran komposit akan menerima

tingkat tekanan suara (dBSPL) sebanding perbandingan logaritmik batas elastis (E)

dan batas elastis referensi (P0) seperti dapat dilihat pada Tabel 4. Ambang batas

standar pendengaran dinyatakan sebagai P0 pada Gambar 6 senilai 2×10-5

N/m2

dalam hal tekanan dan intensitas suara (SPL) dalam desibel (dB) dapat dinyatakan

dalam hal tekanan suara. Tabel 4 menunjukkan bahwa pemberian tekanan sebesar

3,56 Pa atau setara 105 dBSPL menyebabkan model pars tensa bergetar (Garbe et

al. 2010) dengan amplitudo maksimal. Dengan kata lain, model pars tensa

diprediksi memiliki sensitvitas penerimaan SPL lebih tinggi daripada membran

komposit berasio 3/3/5 (203,52 dBSPL) karena mampu bergetar (membran

displacement) dengan pemberian intensitas paling minim. Tingkat tekanan suara

bersesuaian dengan tekanan akibat vibrasi, sehingga dBSPL didefinisikan sebagai

perbandingan logaritmik tekanan suara maksimal dengan P0. Secara tidak

langsung, dBSPL dapat menjadi prediksi sensitivitas model membran komposit

untuk dapat bergetar jika terpapar tekanan partikel udara. Batas elastis minimal

memicu sensitivitas area bahan yang tinggi terhadap variasi tekanan relatif.

Komposit chitosan 3% memiliki sensitivitas terbaik karena mampu bergetar

dengan pemberian intensitas suara yang lebih rendah daripada komposit chitosan

5%.

18

Selain menerima tekanan, membran juga mereduksi intensitas tekanan suara

yang datang lewat konversi energi dalam bentuk lain. Konversi energi tersebut

dilakukan dengan menyerap sebagian intensitas tekanan suara yang datang,

sehingga perbandingan intensitas tekanan suara yang datang dengan intensitas

yang diteruskan merupakan suatu tetapan serapan suara, disajikan pada Gambar 7.

Laju atenuasi yang merupakan fungsi koefisien serap suara dan ketebalan

membran, disajikan pada Tabel 5

Gambar 7 Koefisien serap suara membran komposit chitosan. (−−Avg-A = 3%

Chi + 3% Gli + 5% PVA; −−Avg-B = 5% Chi + 1% Gli + 5% PVA).

Membran komposit chitosan 3% menyerap impuls suara tertinggi (α =

0,576985) pada frekuensi 5592 Hz, di saat membran komposit 5% bahkan tidak

menyerap sepenuhnya (α = 0,090498). Komposit 5% memiliki koefisen serap

suara tertinggi (α = 0,110198) pada frekuensi 3864 Hz dengan nilai α cenderung

menurun setelah mencapai puncak tertinggi; sebaliknya komposit 5% chitosan

meningkat nilai α-nya setelah melewati PTA. Koefisien serap suara rata-rata

membran komposit sebesar 0,18 ± 0,17 untuk komposit chitosan 3% dan 0,08 ±

0,02 untuk komposit chitosan 5%. Menurut Bucur (2006), koefisien serap per

definisi adalah perbandingan energi suara yang diserap oleh material akustik

terhadap energi suara yang datang padanya. Bila harga koefisien ini besar (misal ≥

0,2), maka material akan disebut sebagai bahan penyerap suara. Sebaliknya bila

koefisien ini kecil (misal ≤ 0,2), maka akan disebut bahan pemantul. Membran

komposit chitosan 3% lebih dapat menyerap suara (nilai koefisien mendekati

0,20) dibanding komposit chitosan 5% meskipun keduanya dikategorikan bahan

pemantul untuk skala material akustik. Oleh karena itu, membran komposit

chitosan 3% menjadi model dengan koefisien serap terbaik. Harga koefisien serap

(absorpsi) merupakan fungsi frekuensi dari amplitudo maupun perbedaan tekanan

19

atmosfer. Penyerapan pada frekuensi tinggi lebih banyak ditentukan oleh pori-pori

(bukaan) pada bahan, sedangkan pada frekuensi rendah ditentukan oleh rapat

massa (densitas) bahan (Nitidara 2013).

Membran chitosan memanipulasi gelombang akustik yang mengenainya

ditinjau dari jumlah granula berukuran mikro, distribusi pori merata, serta

keseragaman butir-butir halus di permukaan. Membran dengan banyak granula

mikro membentuk permukaan yang tidak rata, sehingga dominan memantulkan

(reflect) dan membatasi (barrier) gelombang yang diterima. Granula yang dengan

ukuran bervariasi mempengaruhi sudut pantul yang tercipta dari sudut datang

gelombang serta mereduksi intensitas tekanan udara (Kinsler et al. 2000).

Distribusi pori meningkatkan sifat penyerapan (absorb) gelombang sekaligus

resonansi, karena masing-masing pori memungkinkan gelombang untuk

berinterferensi dengan koefisien absorpsi tertentu (Guastavino 2006).

Tabel 5 Ketebalan, koefisien serap suara serta prediksi nilai atenuasi membran

komposit chitosan.

Model

membran

Ketebalan

(µm)

Koefisien absorpsi

(cm-1

)

Laju atenuasi

(n-kali) B33 160,70 ± 0,99 0,18 ± 0,17 0,94 ± 0,05

C51 188,50 ± 0,14 0,08 ± 0,02 0,97 ± 0,01

Paper patch 29,43 ± 2,971 - -

Membran timpani dapat menghantarkan getaran ke tulang-tulang osilasi

akibat variasi tekanan udara di permukaan membran timpani dan mengubahnya

menjadi energi vibrasi/resonansi. Proses pendengaran yang baik memerlukan

jumlah konversi energi gelombang suara ke energi getar dengan transmisi yang

minim. Energi suara yang diserap bahan solid seperti membran sebagian akan

diubah menjadi energi panas akibat getaran dalam pori-pori bahan komposit

(Mohrova dan Kalinova 2012), dan sebagian lagi akan diteruskan ke medium lain

setelahnya (transmisi). Karakteristik membran komposit 3% chitosan mampu

menerima peningkatan frekuensi impuls suara dengan menurunkan tingkat

penyerapan energi (koefisien serap suara). Karakteristik ini sangat cocok

digunakan sebagai membran artifisial, karena pada saat rekonstruksi perforasi,

membran tetap bisa meminimalkan hilangnya energi vibrasi akibat penyerapan di

sekitar jaringan epitel. Pori dari matriks chitosan di permukaan memungkinkan

terjadinya resonansi dan menyerap energi dengan koefisien absorpsi tertentu.

Apabila suatu gelombang bunyi dengan energi tertentu merambat melalui

suatu medium, maka energinya akan berkurang (tereduksi) sebagai fungsi jarak.

Energi yang berkurang dapat saja diserap oleh partikel-partikel medium dan

diubah menjadi energi panas, dapat juga direfleksikan dan dihamburkan oleh

material tersebut (Bucur 2006), namun dua hal terakhir sangat kecil pengaruhnya.

Menurut Alim et al. (1994), atenuasi atau pelemahan intensitas suara (energi

suara) selama ia merambat dalam medium jaringan lebih disebabkan penyerapan

energi oleh jaringan tubuh (soft tissue). Koefisien serap suara menunjukkan pola

atenuasi, yaitu sebanding dengan eksponen negatif basis Euler dari koefisien

absorpsi untuk setiap ketebalan jaringan. Model membran diprediksi mengalami

atenuasi rata-rata sebesar 94% (komposit chitosan 3%) dan 97% (komposit

chitosan 5%) intensitas yang diterima untuk setiap 1 mm jarak yang ditempuh

20

gelombang suara. Tingkat atenuasi terbaik bersifat relatif terhadap kondisi akustik

sekitar, sesuai Kinsler et al. (2000) bahwa ketika noise berlebih diperlukan

atenuasi maksimal.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Material medis penambal membran timpani dapat dikembangkan melalui

membrane komposit chitosan/gliserol/PVOH dengan rasio 3%/3%/5% (B33) dan

5%/1%/5% (C51). Formulasi optimum diperoleh pada komposit chitosan,

gliserol, dan PVOH berasio 3%/3%/5% (B33) secara morfologis, fisik, mekanik,

dan akustik. Penambahan chitosan, gliserol dan polivinil alkohol (PVOH) dengan

rasio berbeda mempengaruhi variasi pembentukan matriks, granula, sifat plastis,

serta sifat hidrofilik membran komposit. Hasil uji mekano-akustik membran

komposit dengan formula tersebut memiliki modulus Young 0,30×106.N/m

2;

koefisien serap suara 0,18 cm-1

; kelajuan pada medium 0,22×102

m/s; sensitivitas

membran 203,52 dBSPL; dan tingkat atenuasi suara 94%.

Saran

Perlu dilakukan variasi komposit membran sehingga dapat menyatu dengan

jaringan serta menghasilkan komposit densitas tinggi dengan ketebalan minimal.

Selain itu penambahan konsentrasi gliserol pada komposisi harus disesuaikan

sehingga menghasilkan sifat elastis namun mengurangi tingkat difusi oksigen

pada membran.

Perlu dilakukan proses pencetakan membran dengan suhu dan waktu yang

berbeda, sehingga terbentuk karakteristik fisik dan mekanik yang beragam.

Karakteristik fisik dan mekanik yang beragam diperlukan untuk mengetahui

pengaruh performa akustik yang dihasilkan membran komposit sebagai panel

akustik.

Perlu dikembangkan membran telinga artifisial yang teraplikasi dalam

bidang medis (teruji secara klinis). Selain itu, perlu dikembangkan metode implan

yang sesuai dengan model membran penambal perforasi ini. Metode tersebut

kemudian diulang beberapa kali sehingga menghasilkan standar aplikasi membran

pada membran timpani

21

DAFTAR PUSTAKA

[AOAC] Association of Official Analitycal Chemist. 1995. Official Method of

Analysis of The Association of Official Analitycal of Chemist. Arlington,

Virginia, USA (US): Association of Analitycal Chemist, Inc.

[ASTM] American Society for Testing Material. 2007. ASTM D789: Standard

Method for Determination of Solution Viscosities of Polyamide (PA).

Amerika (US): American Society for Testing Material.

[ASTM] American Society for Testing Material. 2012. ASTM D882: Standard

Test Method for Tensile Properties of Thin Plastic Sheeting. Amerika(US):

American Society for Testing Material.

[ASTM] American Society for Testing and Material. 2012. Standard Method For

Oxygen Gas Transmission Rate of Material. Philadelphia: ASTM Book of

Standards D3985-81.

[ASTM] American Society for Testing Material. 2004. ASTM E413:

Classification for Rating Sound Insulation. Amerika(US): American Society

for Testing Material.

[ASTM] American Society for Testing Material. 2013. ASTM E1252: Standard

Practice for General Techniques for Obtaining Infrared Spectra for

Qualitative Analysis. Amerika(US): American Society for Testing Material.

[Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Keputusan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.879/Menkes/SK/XI/2006

Tentang Rencana Strategi Nasional Penanggulangan Gangguan

Pendengaran dan Ketulian untuk Mencapai Sound Hearing 2030.

[JIS] Japanese Industrial Standard. 1963. JIS A 1405. Methods of Test for Sound

Absorption of Acoustical Material by the Tube Method. Jepang (JP):

Japanese Standard Association.

[Komnas PGPKN]. Komite Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran

dan Ketulian. 2007. Rencana Strategi Nasional Penanggulangan Gangguan

Pendengaran dan Ketulian untuk Mencapai Sound Hearing 2030.

http://ketulian.com/. akses 27 Agustus 2013.

Abu-Aiad THM, Abd-El-Noura KN, Hakima IK, Elsabeeb MZ. 2005. Dielectric

and interaction behavior of chitosan/polyvinyl alcohol and

chitosan/polyvinyl pyrrolidone blends with some antimicrobial activities.

Polymer 47: 379-389.

Alim AMM, Mohamed, Shaat L. 1994. Modeling the acoustic attenuation process

of soft tissues. Journal De Physique IV Colloque C5: 1263-1266

Astutik EP. 2010. Metode Maternal Reflektif untuk Meningkatkan Kemampuan

Berbicara Anak Tuna Rungu Kelas 3 SLB-B Widya Bhakti Semarang Tahun

2009/2010 [skripsi] Program Studi Pendidikan Luar Biasa, Jurusan Ilmu

Pendidikan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Solo (ID): Universitas

Sebelas Maret.

Begum AA, Radhakrishnan R, Nazeer KP. 2011. Study of structure-property

relationship on sulfuric acid crosslinked chitosan membranes. Malaysian

Polymer Journal 6(1): 27-38.

Berger J, Reist M, Mayer JM, Felt O, Peppas NA, Gurny R. 2004. Structure and

interactions in covalently and ionically crosslinked chitosan hydrogels for

22

biomedical applications. European Journal of Phamaceutics and

Biophamaceutics 57: 35-52.

Berthold E. 1879. Uber myringoplastik. Medicinisch-Chuutgisches Central-Blatt

14: 195–207.

Bhadouriya S, Srivastava M, Gaur S, Lavania A, Saxena R. 2012. A study of

chemical cauterization of tympanic membrane perforations by using

trichloroacetic acid. International Journal of Institutional Pharmacy and

Life Sciences 2 (2): 195-204.

Bucur V. 2006. Acoustic of Wood. 2nd

Edition. Springer (US): CRC Press.

Chun SH, Lee DW, Shin JK. 1999. A clinical study of traumatic tympanic

perforation. Korean Journal of Otolaryngology 42: 437-441.

Chung JH, Kim JH, Choung YH, Im AL, Lim KT, Hong JH, Choung PH. 2007.

Biomechanical properties and cytotoxicity of chitosan patch scaffold for

artificial eardrum. Journal of Biosystem Engineering 32(1): 57-62.

Costa-Junior ES, Barbosa-stancioli EF, Mansur AAP, Vasconcelos WL. 2009.

Preparation and characterization of chitosan/poly(vinyl alcohol) chemically

crosslinked blends for biomedical applications. Journal of Carbohydrate

Polymers 76: 472–481.

DiLeo MD, Amedee RG. 1996. Fibrin-glue-reinforced paper patch myringoplasty

of large persistent tympanic membrane perforations in the guinea pig.

Journal Otorhinolaryngol Relat Spec. 58(1): 27-31.

dos Reis EF, Campos FS, Lage AP, Leite RC, Heneine LG, Vasconcelos WL,

Lobato ZIP, Mansur HS. 2006. Synthesis and characterization of poly (vinyl

alcohol) hydrogels and hybrids for rMPB70 protein adsorption. Journal of

Materials Research 9 (2): 185-191.

Edward Y, Nasrul E, Fitria H. 2010. Penggunaan Tetes Telinga Serum

Autologous dengan Amnion untuk Penutupan Perforasi Membran Timpani.

Padang (ID): Unversitas Andalas.

El-Deen HZ dan Hafez AI. 2009. Physico–chemical stability of PVOH films

doped with Mn2+

ions against weathering conditions. The Arabian Journal

for Science and Engineering 34 (1A): 13-26.

El-Hefian EA, Elgannoudi ES, Mainal A, Yahaya AH. 2009. Characterization of

chitosan in acetic acid: Rheological and thermal studies. Turk Journal of

Chemistry 34: 47-56.

El-Hefian EA, Nasef MM, Yahaya AH. 2011. Preparation and characterization

of chitosan/poly(vinyl alcohol) blended films: mechanical, thermal and

surface investigations. Electronic Journal of Chemistry 8(1): 91-96.

Fadhallah EG. 2012. Prototype Material Penyerap Gelombang Radar dari

Komposit Polimer Chitosan-Polivinil Alkohol [skripsi] Departemen

Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Bogor

(ID): Institut Pertanian Bogor

Fay J, Puria S, Decraemer WF, Steele C. 2005. Three approaches for estimating

the elastic modulus of the tympanic membrane. Journal of Biomechanics

38: 1807–1815

Feenstra L, Kohn FE, Feyen J. 1984. The concept of an artificial tympanic

membrane. Clinical Otolaryngology 9(1):215-220.

23

Ganesan AV, Swaminathan S, Jayaraj R. 2013. A Simplified solid mechanical

and acoustic model for human middle ear. World Academy of Science,

Engineering and Technology 73: 833-837.

Garbe C, Gentil F, Parente M, Ferreira AJM, Jorge RN. 2010. Dynamic analysis

of the biomechanic behavior of the middle ear and tympanic membrane

through the application of the finite element method. Latin Am Journal of

Telehealth Belo Horizonte 2 (1): 75-88

Guastavino R. 2006. Elastic and acoustic characterisation of porous layered

system [Thesis] Departement of Aeronautical and Vehicle Engineering,

Kungliga Tekniska Hogskolan. Stockholm (RU): Royal Institute of

Technology.

Ghannoum MT, El-Dabae MEB, El-Abd SM, Dabbous AO, Fadel HA. 2009.

The effect of tympanic membrane perforation on real-ear to coupler

difference acoustic transform function. Cairo University Medical Journal

77 (1): 79-87.

Hartanto D. 2004. Daya klinis membran amnion sebagai bahan bridge pada

penutupan perforasi membran timpani secara konservatif. [Tesis].

Yogyakarta (ID): Universitas Gajah Mada: 26-40.

HyperPhysics. 2009. The Ear and Hearing. http://hyperphysics.phy-

astr.gsu.edu/hbase/sound/earsens.html#c4. akses 27 Agustus 2013

Kim SK dan Lee EH. 1997. Biocompatibility and medical applications of chitin

and chitosan. Journal of Chitin Chitosan 2(2): 39-74.

Kim JH, Bae JH, Lim KT, Choung PH, Park JS, Choi SJ, Im, AL, Lee LT,

Choung YH, Chung JH. 2008. Development of water-insoluble chitosan

patch scaffold to repair traumatic tympanic membrane perforations.

Journal of Biomedical Material Research Part A: 446-455.

Kinsler LE, Frey AR, Coppens AB, Sanders JV. 2000. Fundamentals of

Acoustic 4th

Edition. USA (US): John Wiley & Sons, Inc.

Konakci E, Koyuncu M, Unal R, Tekat A, Uyar M. 2004. Repair of subtotal

tympanic membrane perforations with Seprafilm. Journal Laryngology

Otoogyl 118: 862–865.

Kristensen S, Juul A, Gammelgaard NP, Rasmussen OR. 1989. Traumatic

tympanic membrane perforations: Complication and management. Ear Nose

Throat Journal 68: 503–516.

Laidlaw DW, Costantino PD, Govindaraj S, Hiltzik DH, Catalano PJ. 2001.

Tympanic membrane repeat with dermal allograft. Laryngoscope 111: 702–

707.

Leceta I, Guerrero P, de la Caba K. 2013. Functional properties of chitosan-based

films. Carbohydrate Polymers 93: 339-346.

Lim DJ. 1970. Human tympanic membrane: An ultrastructural observation. Acta

Otolaryng 70: 176-186.

Maharjan M, Kafle P, Bista M, Shrestha S, Toran KC. 2009. Observation of

hearing loss in patients with chronic suppurative otitismedia tubotympanic

type. Kathmandu University Medical Journal 7 (4): 397-401.

Mao L, Imam S, Gordon S, Cinelli P, and Chiellni E. 2002. Extruded cornstarch

glycerol polyvinyl alcohol blends mechanical properties, morphology, and

biodegradability. Journal of Polymers and the Environtment Vol. 8 (4): 205-

211.

24

Meneghello G, Ainsworth B, de Bank P, Ellis MJ, Chaudhuri J. 2008. Effect of

polyvinyl alcohol and sodium hypochlorite on porosity and mechanical

properties of PLGA hollow fibre membrane scaffolds. European Cell and

Materials 16 (3): 82.

Mohrova J and Kalinova K. 2012. Different Structures of PVOH nanofibrous

membrane for sound absorption application. Journal of Nanomaterials: 1-4.

Nitidara NPA, Merthayasa IGN, Sarwono J. 2013. Modeling and simulation of

gamelan bali concert hall based on objective acoustic parameters. Acoustical

Society of America 19: 1-5.

No HK dan Meyers SP. 1995. Preparation and Characterization of Chitin and

Chitosan - A Review. Journal of Aquatic Food Product Technology Vol.

4(2)

Othman N, Azahari NA, Ismail H. 2011. Thermal properties of polyvinyl alcohol

(PVOH)/corn starch blend film. Malaysian Polymer Journal Vol. 6 (6):

147-154.

Park HJ dan Chinnan MS. 1995. Gas and water vapour barrier properties of edible

films from protein and cellulose materials. Journal of Food Engineering 25:

766.

Quraishi MS dan Jones NS. 1995. Day case myringoplasty using tragal

perichondrium. Clinical Otolaryngology 20:12–14.

Ravichandran S dan Kumari CRT. 2011. Effect of anionic surfactant on the

thermo acoustical properties of sodium diodecyl sulphate in polyvinyl

alcohol solution by ultrasonic method. E-Journal of Chemistry 8 (1): 77-84.

ISSN 0973-4945.

Ravichandran S dan Ramanathan K. 2012. Acoustical properties and surface

tension study of some potassium salts in polyacrylamide solution at 303K.

Research Journal of Chemical Sciences 2 (10): 49-54. ISSN 2231-606X

Rohaeti E dan Rahayu T. 2012. Sifat Mekanik Bacterial Cellulose Dengan Media

Air Kelapa Dan Gliserol Sebagai Material Pemlastis. Prosiding Seminar

Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA.

Yogyakarta (ID): Universitas Negeri Yogyakarta.

Salen B dan Simbach I. 1965. Exogenous collagen in the closure of tympanic

membrane. Journal of Laryngology 79:159–165.

Sondari D, Septevani AA, Randy A, Triwulandari E. 2010. Polyurethane

microcapsule with glycerol as the polyol component for encapsulated self

healing agent. International Journal of Engineering and Technology 2 (6):

466-471

Stammen JA, William S, Ku DN, Guldberg RE. 2001. Mechanical properties of a

novel PVOH hydrogel in shear and unconned compression. Biomaterials

22: 799-806.

Swartz DJ dan Santi PA. 1997. Immunohistochemical localization of keratan

sulfate in the chinchilla inner ear. Hear Resolution 109 (1-2): 92-101.

Tripathi S, Mehrotra GK, Dutta PK. 2009. Physicochemical and bioactivity of

cross-linked chitosan film for food packaging applications. International

Journal of Biological Macromolecules 45: 372-376.

Weber DE, Semaan M, Wasman JK, Beane R, Bonassar LJ, Megerian CA. 2006.

Tissue-engineered calcium alginate patches in the repair of chronic

chinchilla tympanic membrane perforations. Laryngoscope 116:700–704.

25

Zhang Y, Huang X, Duan B, Wu L, Li S, Yuan W. 2007. Preparation of

electrospun chitosan/poly(vinyl alcohol) membranes. Colloid Polymer

Science 285: 855-863.

Zhou JL, Chen SZ, Zuo CM, Ji XJ. 1990. XPS investigation of hydrogen bond in

hydroxyapatite. Journal of Acta. Chim. Sin. 6(05): 629-632.

26

LAMPIRAN

Lampiran 1 Pengujian mandiri kadar air chitosan

Sampel Cawan (g) Sampel (g) Setelah oven Kadar air (%)

Ulangan 1 26,18 2,00 27,97 10,50

Ulangan 2 27,00 2,00 28,86 7,00

Lampiran 2 Pengujian mandiri kadar abu chitosan

Sampel Cawan (g) Sampel (g) Setelah tanur Kadar abu (%)

Ulangan 1 29,84 2,00 29,85 99,500

Ulangan 2 29,26 2,00 29,27 99,500

Lampiran 3 Pengujian mandiri berat molekul chitosan pada konsentrasi

berbeda dengan metode viskometer Oswald

Larutan yang

diuji

Rumus

molekul b/v (%) Molaritas (M)

Bobot

molekular

Chitosan 2% [C8H13NO5]n 2 0.0984 203,20

Chitosan 3% [C8H13NO5]n 3 0.1476 203,20

Chitosan 4% [C8H13NO5]n 4 0.1968 203,20

Chitosan 5% [C8H13NO5]n 5 0.2460 203,20

Lampiran 4 Rumus, massa, berat jenis molekul bahan penyusun komposit

Komposit Rumus molekul Berat molekul Berat jenis (g/cm3)

Chitosan [C8H13NO5]n 203,197 1342

Gliserol C3H5(OH)3 92,094 1,126

PVOH [C4H6O2 * C2H4O]n 130,143 1,300

Lampiran 5 Pengujian mandiri [M], pH, [H+], Kion, α ion

Larutan uji [M] ̅̅ ̅̅ [H+] (×10

-4) Kionisasi α ion (×10

-3)

Chitosan 2% 0.0984 3.5667 2,7122 0,7474×10-6

2.7556

Chitosan 3% 0.1476 3.5667 3,3218 0,7474×10-6

2.2500

Chitosan 4% 0.1969 3.5667 3,8457 0,7474×10-6

1.9485

Chitosan 5% 0.2461 3.5667 4,2884 0,7474×10-6

1.7428

Gliserol 98% 10.6413 3.8400 1,4454 0,0196×10-6

0,0135

PVOH 5% 0.3842 6.0200 0,0009 2,3738×10-12

0,0024

di mana;

[ ]

[ ] ̅̅ ̅̅

[ ]

[ ]⁄ √

[ ]

27

Lampiran 6 Aransemen dan interpretasi spektrum IR komposit chitosan

Keterangan: Rentang : a) Database OChemOnline; ___ (rentang transisi)

Posisi ikatan : x (gugus residu/sampingan), ↔ (stretching), dan ˅ (bending)

Kurva ikatan : ● (broad/puncak melebar) dan • (narrow/puncak menajam)

Intensitas : ‴)kuat ″)sedang ′)lemah ꜝ)bervariasi

Vibrasi Stretching VibrasiBending

Gugus fungsi Rentang

(cm-1

)

Intensitas

Abs. (%)

Posisi

ikatan

Rentang

(cm-1

)

Intensitas

Abs. (%)

Posisi

ikatan

Spektrum FTIR komposit chitosan A00

2901 19,85‴ CH2-CH3↔

1420 13,34 ArC-C↔

Alkana 1458 18,84″

C-H3 & C-

H3 1427 13,00″ ArC-C

1265 12,89‴ -CH3

1342 12,74″ S=O˅

3124 16,24 =C-H↔

856 11,87ꜝ C-H˅ Alkena

2947 15,87‴ C-H↔

1651 15,00ꜝ C-C↔

Alkil

3217 14,36‴ O-H H-

bond↔

1095 4,82‴ O-C

↔˅

Alkohol &

Fenol

2839 14,00″ O-H• 949 4,61‴ RCOOH

O-H˅

Asam

karboksilat

Spektrum FTIR komposit chitosan B33

2939 26,73″ CH2-CH3↔

1420 36,67″ C-C↔

Alkana

1659 32,18ꜝ CH=CH↔

849a 26,00‴ CH3=CH˅ Alkena

656a 28,95‴ C-Br

↔˅

Alkil halida

617a 29,24‴ C-Br

↔˅

1566 31,98″ C=C↔

Alkena alif.

3788 44,57‴ O-H● 1327a 32,44″ ×

N-O↔

Alkohol &

Fenol

3356 37,85′ N-H (2°)

Amina

1720 24,97‴ C=O↔

1088a 47,00‴ C-O

Aldehid &

Keton

2291a 27,90‴ O=C=O

Asam

karboksilat 2345a 27,53″ O=C=O

2284a 27,89‴ N=C=O

Isosianat

Spektrum FTIR komposit chitosan C51

2939 26,73″ CH2-CH3↔

1420 36,67″ C-C↔

Alkana

1381 17,00″ -C-H3

1659 15,94ꜝ CH=CH ↔

849 12,85″ CH3=CH˅ Alkena

1582a 16,43″

×N=O

663 13,21ꜝ C-Br↔

˅ Alkil halida

1327a 16,43‴ C-F

↔˅

3688a 19,80″ O-H● Alkohol &

Fenol 3634a 21,07″

×O-H

3325 32,74′ N-H (2°) Amina

1720 12,85‴ C=O 1080a 26,72‴ C-O

Aldehid &

Keton

28

Lampiran 7 Prediksi struktur monomer komposit chitosan/gliserol/PVOH

Lampiran 8 Peningkatan bobot harian membran komposit akibat transmisi uap air

(20 ºC)

Keterangan: A00 = 5% PVA; B33 = 3% Chi + 3% Gli + 5%PVA;

C51 = 5% Chi + 1% Gli + 5%PVA).

29

Lampiran 9 Data kurva tegangan-regangan menggunakan Tensile Strength and

Elongation Tester Zwick/Roell Z005 dan pembentukan polanya

Kurva tegangan-regangan membran komposit chitosan 0% + gliserol 0% + PVOH

5% dan pola elatisitas (3 kali ulangan)

Kurva tegangan-regangan membran komposit chitosan 3% + gliserol 3% + PVOH

5% dan pola elatisitas (3 kali ulangan)

Kurva tegangan-regangan membran komposit chitosan 5% + gliserol 1% + PVOH

5% dan pola elatisitas (3 kali ulangan)

30

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Denpasar pada tanggal 23 Februari 1991. Penulis

berstatus putra pertama dari dua bersaudara pasangan I Ketut Sudarwa dan Ni

Made Aryawati. Tahun 2009 penulis lulus dari SMA Negeri 4 Denpasar dan pada

tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB)

melalui jalur Ujian Talenta Mandiri IPB dan diterima di Departemen Teknologi

Hasil Perairan.

Selama perkuliahan, penulis aktif berorganisasi dalam Divisi Informasi dan

Komunikasi Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perairan tahun kepengurusan

2010-2011 dan Divisi Keilmuan 2011-2012. Penulis juga aktif menjadi asisten

praktikum Iktiologi pada tahun ajaran 2010/2011 dan 2011/2012, asisten

praktikum Diversifikasi dan Pengembangan Produk Perairan tahun ajaran

2011/2012, dan asisten praktikum Teknologi Pemanfaatan Limbah dan Hasil

Samping Industri Hasil Perairan 2011/2012.

Penulis juga pernah aktif mengikuti lomba karya tulis ilmiah PKM-

Penelitian 2012 yang didanai oleh DIKTI serta terpilih sebagai Peringkat Pertama

Pemilihan Peneliti Remaja Indonesia 2013 Bidang IPA. Sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar sarjana pada program studi Ilmu dan Teknologi

Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis

menyusun skripsi dengan judul “Kajian Mekano-Akustik Model Penambal

Membran Timpani Terperforasi Berbasis Membran Komposit Chitosan”.