Upload
gustiayusinta
View
50
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada peternakan sapi perah, Stapylococcus. aureus mempunyai arti penting
sebagai penyebab mastitis karena bakteri dapat menyebar ke mana-mana dan
dapat membentuk koloni dengan baik pada kulit dan puting ambing. Selain itu S.
aureus juga cepat resisten terhadap penisilin dan pengobatan biasanya kurang
berhasil dibandingkan pada mastitis yang disebabkan oleh S. agalactiae (Duval
1997). Infeksi S. aureus memerlukan terapi antibiotika dalam jangka waktu yang
lama, padahal pemberian antibiotika yang lama pada masa laktasi sangat tidak
menguntungkan secara ekonomi (Sandholm et al. 1991).
Tingkat kejadian infeksi S. aureus dalam satu kandang dapat mencapai 35%
(Subronto 1985). Selain menyebabkan penurunan produksi dan kualitas susu,
infeksi oleh S. aureus juga tidak jarang mengakibatkan kematian hewan penderita.
Kerugian lain berupa meningkatnya biaya penggantian sapi perah, susu terbuang,
biaya obat-obatan, biaya dokter hewan dan upah buruh (Kirk et al. 1994). S. aureus
sebagai salah satu penyebab mastitis klinis maupun subklinis, dikenal pula sebagai
bakteri komensal yang dapat diisolasi dari sebagian besar permukaan tubuh (Warsa
1994; Clements 1999).
S. aureus mempunyai arti penting sebagai penyebab mastitis subklinis
karena bakteri ini dapat menyebar ke mana-mana dan dapat membentuk koloni
dengan baik pada kulit dan puting ambing. Keberadaannya pada kulit merupakan
suatu keuntungan bagi bakteri ini untuk terhindar dari sel fagosit, sehingga bakteri
menjadi persisten (Todar 1997). S. aureus dapat dimusnahkan dari permukaan kulit
1
ambing dengan terapi antibiotika, namun bakteri akan tetap tumbuh pada jaringan
ikat yang lebih dalam, menyebabkan S. aureus cenderung menjadi resisten terhadap
antibiotika (Hoblet dan Eastridge 1992 ; Arpin et al. 1996). Sifat resistensi ini juga
ditentukan oleh gen resisten yang terbawa oleh plasmid (Woodford et al. 1998).
Kegagalan pengobatan juga disebabkan karena kegagalan antibiotika mencapai
jaringan yang terinfeksi atau bakteri penyebabnya (Godkin 1998). Bakteri umumnya
bertahan pada jaringan dalam beberapa minggu atau bulan sebagai penyebab
mastitis subklinis (Bramley 1991).
Tahap awal infeksi bakteri adalah adanya kontak permukaan antara sel inang
dan bakteri, dimana dalam proses ini melibatkan komponen permukaan sel seperti
protein dan karbohidrat (Mims 1986). Proses adhesi merupakan tahap infeksi yang
sangat penting dan dominan sebagai penentu ekspresi penyakit yang bersifat
subklinis. Peran adhesi dan kolonisasi bakteri pada permukaan sel ambing, jauh
lebih penting dibandingkan dengan kemampuan invasi bakteri tersebut.
Menempelnya bakteri pada permukaan sel epitel ambing menyebabkan degenerasi
dan nekrosa sel epitel (Estuningsih 2001).
Berbagai komponen S. aureus yang berperan dalam mekanisme infeksi
adalah : (1) Polisakarida dan protein yang merupakan substansi penting di dalam
dinding sel, seperti protein adhesin hemaglutinin (Wahyuni 1998) dan glikoprotein
fibronectin (Nelson et al. 1991). Protein permukaan ini berperan dalam proses
kolonisasi bakteri pada jaringan inang; (2). Invasin yang berperan dalam penyebaran
bakteri di dalam jaringan, misalnya leukocidin, kinase, hyaluronidase; (3). Kapsul
dan protein A yang dapat menghambat fagositosis oleh leukosit polimorfonuklear ;
(4). Substansi biokimia, seperti : carotenoid dan produk katalase, dapat membuat
bakteri bertahan hidup dalam fagosit ; (5). Protein A, coagulase dan clumping factor
2
untuk menghindarkan diri dari respon imun inang. S. aureus dengan coagulase
negatif terbukti kurang virulen dibandingkan dengan yang mempunyai faktor
coagulase (Haraldsson dan Jonsson 1984) ; dan (6). Toksin yang dapat melisis
membran sel dan jaringan inang (Todar 1998).
1.2 Maksud dan Tujuan
1. Mengetahui pengaruh infeksi S. aureus pada ambing terhadap struktur dan
sekresi susu ambing mencit.
2. Mempelajari secara histopatologi perubahan-perubahan yang terjadi pada
jaringan atau sel-sel ambing mencit yang diinfeksi oleh S. aureus,
khususnya yang berkaitan dengan sekresi susu.
1.3 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk memahami pengaruh infeksi
bakteri S. aureus terhadap sekresi susu pada mencit. Informasi yang diperoleh
diharapkan dapat digunakan sebagai acuan untuk mempelajari pengaruh infeksi
bakteri S. aureus pada sapi penderita mastitis.
1.4 Hipotesis
1. Ada perubahan struktur dan sekresi susu pada jaringan ambing mencit yang
diinfeksi bakteri S. aureus.
2. Terjadi variasi kerusakan jaringan ambing penderita mastitis subklinis yang
disebabkan oleh S. aureus sesuai dengan lamanya waktu infeksi.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Staphylococcus aureus sebagai Penyebab Mastitis
S. aureus tersebar luas di dunia dan banyak menyebabkan kelainan-kelainan
pada kulit dan membran mukosa hewan maupun manusia. Bakteri ini bersifat gram
positif, fakultatif anaerob, katalase positif, koagulase positif dan menghasilkan asam
laktat. Pada biakan agar padat membentuk koloni kuning keemasan (Todar 1998).
S. aureus tidak membentuk spora, tidak ada flagela, tumbuh baik pada suhu 37 C
dan mati apabila dipanaskan pada suhu 80 C selama setengah jam.
Berbagai komponen S. aureus yang berperan dalam mekanisme infeksi
adalah : (1) Polisakarida dan protein yang merupakan substansi penting di dalam
dinding sel, seperti protein adhesin hemaglutinin (Wahyuni 1998) dan glikoprotein
fibronectin (Nelson et al. 1991). Protein permukaan ini berperan dalam proses
kolonisasi bakteri pada jaringan inang; (2). Invasin yang berperan dalam penyebaran
bakteri di dalam jaringan, misalnya leukocidin, kinase, hyaluronidase; (3). Kapsul
dan protein A yang dapat menghambat fagositosis oleh leukosit polimorfonuklear ;
(4). Substansi biokimia, seperti : carotenoid dan produk katalase, dapat membuat
bakteri bertahan hidup dalam fagosit ; (5). Protein A, coagulase dan clumping factor
untuk menghindarkan diri dari respon imun inang. S. aureus dengan coagulase
negatif terbukti kurang virulen dibandingkan dengan yang mempunyai faktor
coagulase (Haraldsson dan Jonsson 1984) ; dan (6). Toksin yang dapat melisis
membran sel dan jaringan inang (Todar 1998).
4
S. aureus mempunyai arti penting sebagai penyebab mastitis subklinis
karena bakteri ini dapat menyebar ke mana-mana dan dapat membentuk koloni
dengan baik pada kulit dan puting ambing. Keberadaannya pada kulit merupakan
suatu keuntungan bagi bakteri ini untuk terhindar dari sel fagosit, sehingga bakteri
menjadi persisten (Todar 1997). S. aureus dapat dimusnahkan dari permukaan kulit
ambing dengan terapi antibiotika, namun bakteri akan tetap tumbuh pada jaringan
ikat yang lebih dalam, menyebabkan S. aureus cenderung menjadi resisten terhadap
antibiotika (Hoblet dan Eastridge 1992 ; Arpin et al. 1996). Sifat resistensi ini juga
ditentukan oleh gen resisten yang terbawa oleh plasmid (Woodford et al. 1998).
Kegagalan pengobatan juga disebabkan karena kegagalan antibiotika mencapai
jaringan yang terinfeksi atau bakteri penyebabnya (Godkin 1998). Bakteri umumnya
bertahan pada jaringan dalam beberapa minggu atau bulan sebagai penyebab
mastitis subklinis (Bramley 1991).
Selain sebagai penyebab mastitis klinis maupun subklinis, S. aureus dikenal
pula sebagai bakteri komensal, yang dapat diisolasi dari sebagian besar permukaan
tubuh. Bakteri ini bersifat “strain-host specific”, artinya ada kaitan antara biotipe
dengan spesies inang (Hajek dan Marsalek 1971). S. aureus merupakan flora
normal pada manusia, terutama ditemukan pada saluran pernapasan bagian atas,
kulit dan mukosa. Pada babi sehat, S. aureus banyak ditemukan pada cairan
bronchoalveolar (Hensel et al. 1994).
Kemampuan S. aureus menginvasi dan hidup dalam sel-sel endotel diyakini
dapat menyebabkan infeksi endovascular yang bersifat persisten dengan
menimbulkan kerusakan pada sel-sel endotel. Kerusakan sel-sel endotel ini diduga
sebagai bagian dari proses apoptosis yang disebabkan oleh infeksi S. aureus
(Menzies dan Kourteva 1998).
5
2.2 Histologi Kelenjar Ambing Mencit
Sampai saat ini mencit adalah hewan percobaan yang banyak sekali
digunakan dalam dunia biomedis untuk keperluan pengujian dan pendidikan. Mencit
dewasa mempunyai panjang antara 12 – 15 cm dan pada betina memiliki lima
pasang kelenjar ambing, tiga pasang di antaranya terletak di regio cervico-thorasica
dan dua pasang lainnya berada pada regio inguino-abdominal (Vandenberg 2000).
Struktur kelenjar ambing tersusun dari jaringan parenkim dan stroma
(connective tissue). Parenkim merupakan jaringan sekretori berbentuk kelenjar
tubulo-alveolar yang mensekresikan susu ke dalam lumen alveol. Lumen alveol
dibatasi oleh selapis sel epitel kuboid. Lapisan sel epitel ini dikelilingi oleh sel-sel
myoepitel yang bersifat kontraktil sebagai responnya terhadap hormon oxytocin dan
selanjutnya dikelilingi oleh stroma berupa jaringan ikat membrana basalis. Pembuluh
darah dan kapiler terdapat pada jaringan ikat di antara alveol-alveol ini. Beberapa
alveol bersatu membentuk suatu struktur lobulus dan beberapa lubulus bergabung
dalam suatu lobus yang lebih besar. Penyaluran susu dari alveol sampai ke glandula
sisterna melalui suatu sistem duktus yang disebut ductus lactiferus (Hurley 2000).
Sel yang melapisi alveol bervariasi penampilannya, tergantung aktivitas
fungsionalnya. Pada keadaan kelenjar tidak laktasi, sel berbentuk kuboid. Bila aktif
menghasilkan sekret (susu), selnya berbentuk silindris. Dan bila susu dicurahkan ke
dalam lumen, meregang, sel-sel kembali berbentuk kuboid dengan ukuran yang jauh
lebih besar dan sel-sel penuh berisi sekret (Singh 1991). Sel-sel sekretoris alveol
kaya akan ribosom, kompleks golgi dan droplet lemak serta banyak memiliki vakuol
sekretoris (Russo dan Russo 1996).
6
Pada mencit, masa laktasi berlangsung selama 3 – 4 minggu tergantung
strain mencit dan sekresi susu maksimal terjadi antara 12-13 hari post partus.
Setelah masa sapih, sel-sel epitel mulai berdegenerasi dan alveol mulai menurun
aktifitasnya untuk memproduksi susu dan berubah bentuk menjadi kumpulan struktur
massa sel tanpa lumen. Pada saat ini lobulus alveolar mulai diisi dengan jaringan
lemak (fat pad).
2.3 Histopatologi Mastitis
Secara histopatologi, pada mastitis subklinis dapat ditemukan adanya
peradangan dan degenerasi pada parenkim (epitel) saluran-saluran air susu. Selain
itu juga ditemukan adanya reruntuhan sel-sel somatik yang meningkat (Ressang
1984; Duval 1997), deskuamasi dan regresi epitel. Sel-sel radang (leukosit-leukosit
berinti polimorf) banyak ditemukan di dalam lumen saluran air susu (Ressang 1984).
Penelitian pada mastitis subklinis yang disebabkan oleh S. agalactiae
menunjukkan bahwa patogenesis penyakit dimulai dengan menempelnya bakteri
pada permukaan sel epitel, kemudian masuk ke dalam sel epitel alveol kelenjar susu
menyebabkan degenerasi dan nekrosa. Nekrosa berlanjut dan menyebabkan atrofi
alveol kelenjar susu disertai respon peradangan yang menyebabkan terjadi involusi
kelenjar susu. Selanjutnya terjadi proses persembuhan berupa pembentukan
jaringan ikat. Pada hari keempat setelah diinfeksi, sebagian jaringan ikat digantikan
oleh jaringan lemak dan bakteri terperangkap di dalam kelenjar ambing (Estuningsih
2001).
7
2.4 Patogenesis Bakteri Staphylococcus aureus
Duval (1997) menjelaskan bahwa proses infeksi pada mastitis terjadi melalui
beberapa tahap, yaitu adanya kontak dengan mikroorganisme dimana sejumlah
mikroorganisme mengalami multiplikasi di sekitar lubang puting (sphincter),
kemudian dilanjutkan dengan masuknya mikroorganisme akibat lubang puting yang
terbuka ataupun karena adanya luka. Tahap berikutnya, terjadi respon imun pada
induk semang. Respon pertahanan pertama ditandai dengan berkumpulnya leukosit-
leukosit untuk mengeliminasi mikroorganisme yang telah menempel pada sel-sel
ambing. Apabila respon ini gagal, maka mikroorganisme akan mengalami
multiplikasi dan sapi dapat memperlihatkan respon yang lain, misalnya demam.
Penelitian pada mencit yang diinfeksi dengan S. aureus, memperlihatkan
bahwa tahap kritis patogenesis mastitis terjadi ketika terjadi interaksi antara neutrofil
dan S. aureus pada 12 sampai 18 jam setelah diinokulasi S. aureus melalui kelenjar
ambing. Fagositosis bakteri oleh neutrofil mulai terlihat pada 6 jam setelah infeksi.
Setelah 12 jam pasca infeksi, neutrofil mengalami perubahan-perubahan yang
bersifat degeneratif, mengakibatkan S. aureus dapat mencapai lumen alveol dan
terjadi peningkatan jumlah bakteri ekstraseluler pada 18 jam setelah infeksi
(Anderson dan Chandler 1975).
Hurley dan Morin (2000), menjelaskan bahwa peradangan pada ambing
diawali dengan masuknya bakteri ke dalam ambing yang dilanjutkan dengan
multiplikasi. Sebagai respon pertama, pembuluh darah ambing mengalami
vasodilatasi dan terjadi peningkatan aliran darah pada ambing. Permeabilitas
pembuluh darah meningkat disertai dengan pembentukan produk-produk inflamasi,
seperti prostaglandin, leukotrine, protease dan metabolit oksigen toksik yang dapat
meningkatkan permeabilitas kapiler ambing. Adanya filtrasi cairan ke jaringan
8
menyebabkan kebengkakan pada ambing. Pada saat ini terjadi diapedesis, sel-sel
fagosit (PMN dan makrofag) keluar dari pembuluh darah menuju jaringan yang
terinfeksi dilanjutkan dengan fagositosis dan penghancuran bakteri. Tahap
berikutnya, terjadi proses persembuhan jaringan.
Lebih lanjut dijelaskan, bahwa terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi
kemampuan kelenjar ambing untuk bertahan dari infeksi, di antaranya adalah :
jaringan yang menjadi kurang efektif pada umur tua; PMN yang terlalu muda pada
kelenjar dan adanya PMN yang tidak memusnahkan bakteri tapi sebaliknya malah
melindungi bakteri dari proses penghancuran berikutnya. Hal lain juga disebabkan
karena adanya komponen lipid pada susu yang kemungkinan menghambat reseptor
Fc pada leukosit, menyebabkan degranulasi yang berlebihan dan meningkatnya
gejala peradangan. Lemak dan casein susu yang tertelan oleh PMN dapat
menyebabkan kegagalan PMN dalam proses ingesti bakteri. Kemampuan PMN
dalam fagositosis dan membunuh bakteri juga dapat menurun pada keadaan
defisiensi vitamin E atau selenium.
Pemusnahan bakteri melalui sistem oxygen respiratory burst membutuhkan
oksigen yang lebih banyak, namun kadar oksigen pada susu jauh lebih rendah
daripada konsentrasi oksigen dalam darah. Demikian juga glukosa sebagai sumber
energi pada susu sangat rendah konsentrasinya, padahal untuk fagositosis
diperlukan energi yang lebih tinggi. Di samping itu, susu mengandung komponen
opsonin (seperti : imunoglobulin dan komplemen) yang relatif sedikit dan dalam susu
hampir tidak ada aktivitas lisosim (Hurley dan Morin 2000).
9
BAB III
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Patologi FKH-IPB, Laboratorium
Bakteriologi FKH-IPB dan di Laboratorium PT. Bio Farma (Persero) Bandung selama
8 bulan.
3.2 Bahan dan Peralatan
3.2.1 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :
1. Mencit strain ddY yang sedang laktasi (5 hari post partum) sebagai hewan
model. Mencit diperoleh dari PT. Bio Farma (Persero) Bandung.
2. Isolat bakteri S. aureus lapangan yang diperoleh dari kasus mastitis subklinik
pada sapi perah. Isolasi dan identifikasi bakteri telah dilakukan oleh Abrar
(2000).
Media dan bahan lain yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :
1. Media untuk kultur bakteri Todd Hewitt Broth (THB).
2. Berbagai bahan untuk pembuatan preparat histopatologi, yaitu Normal Buffer
Formalin (BNF), xylol, alkohol bertingkat yang dimulai dari 70% sampai absolut,
parafin dan perekat.
10
3. Bahan-bahan yang digunakan dalam pewarnaan Warthin-Starry, seperti ; perak
nitrat, asam sitrat, gelatin, hidroquinon serta pewarna Hematoxylin-eosin.
3.2.2 Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian meliputi :
1. Alat-alat gelas, yaitu gelas piala, cawan petri, tabung reaksi, gelas obyek, gelas
penutup, pipet dan mikropipet
2. Tabung sentrifus, rak tabung reaksi, sentrifus, penangas.
3. Gunting, pinset dan peralatan untuk pembuatan preparat histopatologi.
3.3 Metode Penelitian
3.3.1 Desain Penelitian
Sebanyak 42 ekor mencit diinfeksi dengan isolat S. aureus dan 3 ekor mencit
tidak diinfeksi sebagai kontrol negatif. Euthanasi dan pengambilan jaringan ambing
dilakukan dalam 14 tahap waktu, yaitu 2, 4, 6, 8, 12, 16, 20, 24, 36, 48, 60, 72, 84
dan 96 jam pasca infeksi, masing-masing sebanyak 3 ekor. Kemudian dibuat
preparat histopatologi. Pengamatan pada jaringan dilakukan dengan pewarnaan HE
dan Warthin-Starry.
3.3.2 Reidentifikasi Bakteri S. aureus
Dipilih satu isolat bakteri S. aureus yang diperoleh dari kasus mastitis
subklinis lapangan yang telah diisolasi dan diidentifikasi oleh peneliti sebelumnya
(Abrar 2000).
Untuk reidentifikasi, bakteri ditumbuhkan pada perbenihan agar darah
selama 18 jam pada suhu 37 oC. Bentuk koloni dan pola hemolitik yang dihasilkan
diamati secara makroskopis. Uji hemagutinasi dilakukan untuk melihat keberadaan
11
hemaglutinin. Reaksi ini dapat dilihat dari suspensi bakteri (109 bakteri / ml)
sebanyak 25 l diinkubasikan dengan 20 l berbagai jenis eritrosit 2% (sapi,
manusia, domba, kuda, ayam, anjing dan kelinci). Reaksi positif ditandai dengan
adanya reaksi hemaglutinasi.
Untuk melihat adanya protein A, dilakukan dengan menumbuhkan bakteri
pada soft agar (SA) dan serum soft agar (SSA) berdasarkan bentuk koloni yang
ditampilkan (Djanatun 2001).
3.3.3 Preparasi Bakteri
Sebelum dilaksanakan infeksi bakteri pada mencit, perlu disiapkan
bakterinya terlebih dahulu dengan cara sebagai berikut. Sebanyak 50 ml Todd
Hewitt Broth (THB) ditambah dengan isolat bakteri lapangan, diinkubasikan pada
suhu 37 C selama 18 jam, kemudian disentrifus selama 10 menit dengan kecepatan
3000 rpm sehingga terbentuk pelet. Pelet dipisahkan dari supernatan dan dibuat
suspensi dengan menambahkan 5 ml NaCl fisiologis, kemudian disentrifus. Pelet
yang terbentuk dibuat suspensi dengan menambahkan NaCl fisiologis dan
disetarakan dengan kekeruhan Barium Sulfat menggunakan spektrofotometer,
sehingga menghasilkan suspensi bakteri yang diperkirakan mengandung 109
bakteri/ml suspensi.
3.3.4 Persiapan Hewan Model (Mencit)
Pengamatan patogenesis infeksi S. aureus sebagai penyebab mastitis
subklinis dilakukan pada hewan model mencit. Sebanyak 45 ekor mencit yang umur
kebuntingannya kira-kira sama dipelihara secara konvensional dalam kandang
individu. Pakan dan minum diberikan ad libitum. Infeksi pada mencit dilakukan 5 hari
12
post partus dan langsung dipisahkan dengan anaknya (dilakukan penyapihan).
Mencit-mencit tersebut dibagi menjadi 15 kelompok perlakuan berdasarkan lamanya
infeksi yang terdiri atas 1 kelompok kontrol yang tidak diinfeksi dan 14 kelompok
yang diinfeksi S. aureus. Masing-masing kelompok terdiri atas 3 ekor mencit.
3.3.5 Infeksi In Vivo pada Mencit Laktasi
Suspensi bakteri yang telah disiapkan dengan kepadatan 109 sel/ml
diinfeksikan pada mencit secara intra mammari dengan cara meneteskan 50 l
suspensi bakteri tersebut tepat di atas lubang puting (orificium externa) ambing
menggunakan pipet mikro (Biorad).
Mencit dipegang dengan posisi dorso-ventral menghadap ke atas sehingga
memudahkan melakukan infeksi. Sebelum diinfeksi, bagian ventral tubuh mencit
didesinfeksi menggunakan kapas beralkohol, ditunggu hingga kering kemudian
dilakukan infeksi secara bertahap setetes demi setetes (satu tetes sebanyak 5 l),
ditunggu sampai terabsorbsi baru dilanjutkan dengan tetes berikutnya. Selanjutnya
mencit dikandangkan secara individual, diberi pakan dan minum ad libitum dan
diamati keadaan kelenjar ambingnya dan gejala kilinis yang mungkin timbul.
3.3.6 Jaringan Kontrol Positif
Untuk jaringan kontrol positif digunakan jaringan yang berasal dari mencit
yang telah diinfeksi S. aureus secara intra peritonium dan subkutan. Mencit
kemudian dieuthanasi 24 jam setelah infeksi dan jaringan yang terinfeksi diambil
untuk dibuat preparat histopatologi, selanjutnya dilakukan pewarnaan Hematoksilin-
Eosin .
13
3.3.7 Pembuatan Preparat Histopatologi
Semua kelompok mencit yang sudah diinfeksi kemudian dieuthanasi masing-
masing 3 ekor mencit dari setiap kelompok sesuai dengan desain penelitian.
Perubahan yang terjadi pada kelenjar ambing diamati secara makroskopis dengan
cara melepaskan bagian kulit penutup. Jaringan kelenjar susu kemudian diambil
untuk pembuatan preparat histopatologi. Fiksasi kelenjar susu mencit dilakukan
dengan menggunakan buffer normal formalin (BNF) 10%, dipotong tipis dan
diletakkan dalam kaset untuk proses dehydrasi dalam alkohol bertingkat (80%, 90%,
95%) dan dilanjutkan dengan clearing menggunakan xylol. Proses ini dilakukan
secara otomatis dalam tissue processor. Tahap berikutnya dilakukan embedding
dengan parafin yang memiliki titik leleh 58o C (Richert Jung, Germany) dan dicetak
dalam cetakan khusus. Setelah dingin, cetakan dilepas dan dilakukan pemotongan
jaringan dengan ketebalan 5 m menggunakan mikrotom. Potongan tipis jaringan
diletakkan pada permukaan air agar terapung, kemudian diambil dengan gelas objek
dan dibiarkan menempel selama semalam atau dipanaskan pada suhu kurang lebih
60o C dan dapat digunakan untuk berbagai teknik pewarnaan.
3.3.8 Pewarnaan Jaringan
Untuk melihat perubahan struktur jaringan secara umum, preparat diwarnai
dengan metode pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE). Pengamatan dilakukan di
bawah mikroskop berdasarkan perubahan-perubahan yang terjadi pada struktur dan
sekresi susu kelenjar ambing mencit.
Metode pewarnaan Hematoksilin-Eosin dilakukan dengan cara sebagai
berikut :
14
1. Defarafinisasi. Gelas objek direndam dalam larutan xylol dan alkohol dengan
konsentrasi degradasi mulai dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah agar
parafin terlarut dari jaringan kelenjar ambing yang akan diwarnai. Perendaman
dimulai dari larutan xylol sebanyak 2 kali dilanjutkan dengan alkohol 95%, 90%,
80% dan akuades.
2. Gelas objek diwarnai dengan hematoksilin selama 10 menit, kemudian dicuci
dengan air kran hingga sisa pewarnaan habis.
3. Gelas objek dicelupkan dalam larutan Lithium Carbonat (Bluing Solution)
kurang lebih selama 1 menit hingga memberi kesan kebiruan, kemudian dicuci
dengan akuades.
4. Gelas objek diwarnai dengan Eosin selama 10 menit, kemudian dicuci dengan
air kran hingga sisa pewarnaan hilang.
5. Gelas objek direndam dalam akuades, kemudian dicelupkan dalam alkohol
mulai dari konsentrasi 80%, 90%, 95%, alkohol absolut.
6. Gelas objek dicelupkan ke dalam xylol sebanyak 2 kali untuk proses
penjernihan.
7. Gelas objek ditutup dengan kaca penutup yang sebelumnya diberi mounting
medium Permount (Merck, Germany).
8.
3.3.9 Parameter
Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah perubahan struktur
jaringan kelenjar ambing dan sekresi susu yang tampak dalam lumen alveol dan
lumen duktus.
15
3.3.10 Metode Skoring Perubahan Jaringan
Skoring untuk perubahan pada struktur jaringan kelenjar ambing dan sekresi
susu yang tampak dalam lumen alveol dan lumen duktus menggunakan
perbandingan antara bagian yang terkena dan luas keseluruhan sediaan jaringan
yang dinyatakan dalam persentasi, sebagai berikut :
0 : tanpa perubahan berarti
+1 : bila terdapat perubahan berkisar 25% dari luas sediaan jaringan
+2 : bila terdapat perubahan berkisar 50% dari luas sediaan jaringan
+3 : bila terdapat perubahan berkisar 75% dari luas sediaan jaringan
+4 : bila terdapat perubahan melebihi 75% atau menyeluruh dari luas
sediaan jaringan.
(Estuningsih 2001).
3.3.11 Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan metode non parametrik, membandingkan
perubahan struktur dan sekresi susu kelenjar ambing yang diinfeksi dengan S.
aureus berdasarkan skoring yang diperoleh pada tiap-tiap kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol. Apabila terdapat perbedaan, dilanjutkan dengan uji Kruskal-Wallis
(Mendenhall 1987).
16
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Reidentifikasi Isolat
Berdasarkan pengamatan morfologi koloni, pada media padat agar darah
tumbuh koloni kuning keemasan. Pengamatan terhadap aktivitas hemolitik
menunjukkan bahwa bakteri tidak menghemolisis darah. Pada media THB, isolat
menunjukkan adanya pertumbuhan (keruh) dan adanya protein A ditunjukkan
dengan tumbuhnya koloni difus pada media soft agar (SA) menjadi kompak pada
serum soft agar (SSA). Uji hemaglutinasi menunjukkan hasil positif lemah pada sel
darah merah sapi, ayam, kuda, anjing dan kelinci. Hal ini sesuai dengan hasil
identifikasi terdahulu oleh Abrar (2000).
4.2 Tanda Klinis dan Perubahan Makroskopis Kelenjar Ambing Mencit setelah Diinfeksi S. aureus
Ambing dari semua kelompok mencit yang diinfeksi dengan S. aureus tidak
menampakkan adanya tanda-tanda peradangan dan terlihat sama dengan kelompok
kontrol. Puting tampak normal, tidak menampakkan adanya pembengkakan,
eksudasi maupun keropeng. Keadaan ini tampak pada seluruh kelompok perlakuan.
Puting pada semua mencit berwarna putih, tersembunyi di antara rambut abdomen.
Mencit juga tidak memperlihatkan tanda-tanda gelisah, tidak menggaruk-garuk dan
tidak menunjukkan tingkah laku yang berbeda dibandingkan dengan mencit kontrol.
Aktivitas makan dan minum berjalan normal, menunjukkan bahwa infeksi S. aureus
tidak menimbulkan perubahan secara klinis.
Ketika kulit bagian ventral mencit dibuka, tampak ada perubahan pada
bagian subkutis. Subkutis tampak lebih basah pada mencit yang diinfeksi S. aureus.
17
Hal ini terlihat pada kelompok mencit 12, 16, 20, 24 dan 36 jam pasca infeksi.
Diperkirakan karena terjadinya edema radang ringan. Sedangkan pada kelompok
mencit 2 jam sampai dengan 8 jam pasca infeksi tidak tampak adanya perubahan
ini. Hiperemi pada pembuluh darah yang menuju ke kelenjar ambing tampak pada
kelompok mencit 2 jam sampai dengan 36 jam pasca infeksi. Juga disertai adanya
sedikit eksudat disekitarnya. Hal ini menunjukkan bahwa pada kelenjar ambing
sedang terjadi peradangan. Dan pada kelompok mencit 48 jam pasca infeksi,
keadaan subkutis sedikit kering sehingga kulit agak susah dipisahkan dari kelenjar
ambing.
4.3 Histologi KelenjarAmbing Mencit Normal
Struktur kelenjar ambing mencit merupakan bagian dari kulit yang terdiri atas
lapisan superfisial epidermis berupa epitel berlapis pipih, dan lapisan dalam dermis
terdiri atas jaringan ikat. Sejumlah kelenjar sebasius tampak berjajar di sepanjang
lapisan kulit. Kelenjar ambing mencit normal (kontrol) memperlihatkan gambaran
sesuai dengan susunan histologis kelenjar ambing sapi normal (Hurley 2000).
Struktur kelenjar ambing mencit normal tersusun dari jaringan sekretori berbentuk
kelenjar tubulo-alveolar yang mensekresikan susu ke dalam lumen alveol. Lumen
alveol dibatasi oleh selapis sel epitel kuboid (Gambar 1). Dalam keadaan aktif, sel
epitel ini sangat pipih dan lumen penuh terisi susu. Penglepasan sekret (susu)
disertai dengan penglepasan bagian apikal sel alveol, sehingga sel epitel tampak
kasar. Singh (1991) menjelaskan, bahwa protein yang terdapat dalam sitoplasma
sebagai unsur yang membentuk bagian sekret dilepaskan dari sel melalui
eksositosis.
18
Gambar 1. Struktur kelenjar ambing mencit normal. Struktur terdiri dari susunan kelenjar tubulo-alveol berisi sekresi susu.(HE 86 X)
Pembuluh darah dan kapiler terdapat pada jaringan interstitium (stroma) di
antara alveol-alveol. Beberapa alveol bersatu membentuk suatu struktur lobulus
yang dibatasi oleh jaringan ikat. Interstitium juga mengandung jaringan ikat longgar
dan terdapat sel-sel lemak di antara kelenjar ambing. Sel lemak akan meluas
membentuk jaringan lemak (fat pad) pada keadaan kelenjar tidak aktif untuk
menggantikan tempat kelenjar yang tidak berproduksi lagi.
Susu disalurkan dari alveol sampai ke glandula sisterna dalam suatu sistem
duktus yang disebut ductus lactiferus yang mempunyai susunan selapis sel epitel
yang lebih kompak dilengkapi dengan jaringan ikat berupa membrana basalis yang
lebih tebal. Dari ductus lactiferus, susu dialirkan menuju kisterna atau duktus yang
lebih besar sebagai saluran pengumpul. Dengan pewarnaan HE, inti sel tampak
berwarna biru tua sedangkan sitoplasma berwarna merah keunguan. Sel-sel epitel
tubulus mengambil warna lebih kuat dibandingkan dengan sel epitel alveol kelenjar
ambing, sedangkan sekresi susu tampak berwarna merah muda keunguan dengan
19
globula lemak berupa ruang-ruang kosong berwarna putih di dalam lumen alveol
(Gambar 2).
Gambar 2. Sekresi susu dalam lumen alveol ambing mencit normal. Tampak globula lemak dalam sekresi susu sebagai gelembung-gelembung berwarna putih (HE 350 X)
4.4 Perubahan Struktur Kelenjar Ambing Mencit Laktasi setelah Diinfeksi oleh S. aureus.
Pengamatan menggunakan pewarnaan HE pada kelompok 2 jam pasca
infeksi memperlihatkan edema jaringan interstitium dan pembendungan pembuluh
darah inter-alveoler. Sel-sel epitel alveol mulai mengalami hiperplasia. Struktur
kelenjar ambing dan sekresi susu tidak berbeda nyata (P>0,05) bila dibandingkan
dengan kelenjar ambing mencit kontrol. Susunan kelenjar masih dalam batas
normal.
Empat jam pasca infeksi, masih terlihat adanya edema jaringan interstitium
dan pembendungan pembuluh darah. Pada saat ini, dilatasi pembuluh darah disertai
dengan diapedesis mulai tampak sebagai respon inang terhadap infeksi. Juga
20
tampak adanya infiltrasi sel-sel radang polimorfonuklear (PMN) pada jaringan
interstitium. Arsitektur kelenjar dan sekresi susu masih dalam batas normal
(P>0,05). Tampak adanya stagnasi sekresi susu pada lumen ductus lactiverus
sebagai akibat dari adanya hambatan pengaliran susu.
Hasil uji statistik pada Tabel 1 memperlihatkan struktur kelenjar ambing
mencit kontrol berbeda tidak nyata (P>0,05) bila dibandingkan dengan kelompok
perlakuan, namun kelompok mencit 2 dan 4 jam pasca infeksi (p.i.) memperlihatkan
struktur kelenjar yang berbeda nyata (P<0,05) bila dibandingkan dengan kelompok
72, 84 dan 96 jam p.i.; serta kelompok 6 jam p.i. berbeda nyata (P<0,05) dengan
kelompok 72 dan 96 jam p.i.
Penurunan jumlah alveol yang aktif terjadi pada kelompok mencit 60 sampai
96 jam p.i. (P<0.05) bila dibandingkan dengan kontrol menunjukkan adanya
pengaruh infeksi oleh S. aureus akibat terjadinya atrofi kelenjar, menyebabkan
penurunan sekresi susu. Isi lumen alveol dan keutuhan epitel menunjukkan
kemampuan epitel alveol dalam mensekresikan susu. Namun demikian, keberadaan
susu di dalam lumen alveol dapat pula dipandang sebagai keadaan retensi susu jika
disertai dengan terjadinya degenerasi epitel alveol dan tubular. Hambatan
pengaliran susu dapat terjadi jika terdapat kebengkakan atau hambatan akibat
banyaknya reruntuhan sel pada sistem duktus penyalur. Stagnasi sekresi susu
tampak pada tubulus ductus lactiverus pada 4 dan 6 jam p.i.
Penurunan sekresi susu juga tampak nyata (P<0,05) pada kelompok mencit
60, 72 dan 96 jam p.i dibandingkan dengan kelompok 6 dan 20 jam p.i. Penurunan
sekresi susu terjadi karena berkurangnya jumlah kelenjar yang aktif dan terjadi atrofi
kelenjar alveol (Gambar 3).
21
Tabel 1. Hasil uji statistika arsitektur, kemampuan sekresi dan reaksi inflamasi pada kelenjar ambing mencit setelah diinfeksi S. aureus (Hematoksilin – Eosin).
Rataan skor perubahan dan hasil uji statistik (P<0,05)No Lama infeksi (jam) Struktur kelenjar Sekresi susu
1 Kontrol 2,33a 2,67a
2 2 4,00ab 1,00abc
3 4 4,00ab 1,67abc
4 6 3,67ab 2,00ac
5 8 3,33abc 0,67abc
6 12 3,00abc 1,00abc
7 16 2,67abc 1,67abc
8 20 1,67abc 2,33ac
9 24 3,33abc 1,00abc
10 36 2,33abc 1,33abc
11 48 2,33abc 0,67abc
12 60 2,00abc 0,00b
13 72 1,00ac 0,00b
14 84 1,33ac 0,33bc
15 96 1,00ac 0,00b
Keterangan : Huruf yang berbeda ke arah kolom pada masing-masing perlakuan menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,005).
Gambar 3 : Penurunan jumlah kelenjar yang aktif dan atrofi alveol menyebabkan penurunan sekresi susu pada mencit 60 jam setelah diinfeksi S. aureus. Tanda panah menunjukkan atrofi kelenjar. (HE 350 X).
22
Gambar 4. Degenerasi sel-sel epitel ambing mencit setelah diinfeksi S. aureus 24 jam p.i. ditunjukkan oleh tanda panah. (HE 350 X).
.
Gambar 5. Degenerasi sel epitel alveol (tanda panah) dan infiltrasi sel radang (tanda bintang) pada pusat-pusat radang 6 jam p.i. (HE 350 X).
23
Gambar 6. Nekrosis sel-sel epitel ambing mencit setelah diinfeksi S. aureus 12 jam p.i. ditunjukkan oleh tanda panah.(HE 350 X).
Gambar 7. Sel-sel radang (PMN) menginfiltrasi fokus peradangan, terjadi di sekeliling alveol yang mengalami atrofi (tanda panah) 48 jam p.i. (HE 350 X).
24
Degenerasi (Gambar 4 dan 5) ditandai dengan perubahan struktur normal
sitoplasma sel dan selanjutnya dapat terjadi nekrosis (Gambar 6) yang diikuti
dengan mengecilnya lumen alveol dan bahkan menghilang, menyebabkan
terhentinya produksi susu. Sel-sel radang berupa sel polimorfonuklear (PMN),
makrofag dan limfosit menginfiltrasi fokus peradangan (Gambar 7).
Secara umum dapat dilihat bahwa perubahan pada struktur dan sekresi susu
kelenjar ambing yang diinfeksi oleh S. aureus terjadi lebih cepat jika dibandingkan
dengan perubahan jaringan yang diinfeksi oleh S. agalactiae pada penelitian
Estuningsih (2001). Hal ini mungkin terjadi karena faktor-faktor virulensi yang dimiliki
oleh S. aureus, misalnya keberadaan protein A dan kapsul polisakarida yang dapat
menghambat terjadinya proses fagositosis, enzim hyaluronidase yang
mempermudah bakteri menginvasi jaringan, adesin fibronectin memudahkan
perlekatan bakteri pada sel inang (Nelson et al. 1991) dan adanya coagulase dan
clumping factor membantu bakteri untuk menghindar dari respon kekebalan inang
serta toksin yang dihasilkan S. aureus dapat menyebabkan kerusakan-kerusakan
pada jaringan kelenjar ambing (Anderson dan Chandler 1975).
25
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Infeksi bakteri S. aureus pada ambing mencit tidak menyebabkan adanya
perubahan jaringan ambing secara klinis.
2. Perubahan pada struktur kelenjar susu mencit yang diinfeksi S. aureus tidak
berbeda nyata (P>0.05) dibandingkan dengan kontrol.
3. Terjadi penurunan jumlah alveol yang aktif (P<0,05) pada kelompok mencit 60
sampai 96 jam p.i. yang diikuti dengan menurunnya sekresi susu.
4. Mencit kemungkinan besar dapat digunakan sebagai hewan model untuk
mempelajari pengaruh infeksi S. aureus pada kelenjar ambing sapi perah
5.2 Saran
1. Perlu dilakukan penelitian pada jaringan kelenjar ambing sapi untuk
mempelajari pengaruh infeksi S. aureus pada kelenjar ambing sapi perah.
2. Penggunaan metode lain dalam mempelajari infeksi S. aureus perlu
dikembangkan, misalnya dengan menggunakan teknik imunositokimia,
mikroskop elektron ataupun dengan pewarnaan khusus lainnya.
26
DAFTAR PUSTAKA
Abrar M. 2001. Isolasi, Karakterisasi dan Aktivitas Biologi Hemaglutinin Staphylococcus aureus dalam Proses Adhesi pada Permukaan Sel Epitel Ambing Sapi Perah. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana IPB.
Anderson JC, Chandler RL. 1975. Experimental Staphylococcal Mastitis in The Mouse : Histological, Ultrastructural and Bacteriological Changes Caused by A Virulent Strain of Staphylococcus aureus. J. Comp. Path. 85:499-510.
Arpin C, Lagrange I, Gachie JP, Bebear C, Quentin C. 1996. Epidemiologycal Study of an Outbreak of Infection with Staphylococcus aureus Resistant to Lincosamides and Streptogramin A in a French Hospital. J.Med.Microbiol. 44:303-310.
Bramley, AJ. 1991. Mastitis : Physiology or Pathology? Flem.Vet.J. (62) : Suppl. 1, 3-11.
Clements M. 1999. Stress Resistance in Staphylococcus aureus. Trends in Microbiology. 7(11):458-462.
Djanatun T. 2001. Metode Sederhana dan Praktis Pengujian Keberadaan Protein A Staphylococcus aureus Isolat Asal Manusia dan Sapi Perah Serta Aplikasinya dalam Pembuatan Perangkat Diagnostika. Disertasi Doktor Program Pascasarjana. IPB.
Duval J. 1997. Treating Mastitis Without Antibitiocs. Ecological Agriculture Projects. http://www.eap.mcgill.ca/Publications/EAP69.htm. [15-12-2000].
Estuningsih S. 2001. Patogenesis Mastitis Subklinis pada Sapi Perah : Pendekatan Histopatologis Mastitis Subklinis Akibat Infeksi Streptococcus agalactiae Hemaglutinin Positif pada Mencit. Disertasi Doktor Pascasarjana. IPB.
Godkin A. 1998. Staphylococcus aureus Mastitis : A contagious bacterial infection of the udder. Health Management, OMAFRA (519):846-965. [email protected]. [22-10-1998].
Hajek V, Marsalek E. 1971. The Differentiation of Pathogenic Staphylococci and Sugestion for Their Taxonomic Classification. Zbl. Bacteriol. Parasit. (Abt I Orig.) 217a:176-182
Haraldsson I, Jonsson P. 1984. Histopathology and Pathogenesis of Mouse Mastitis Induced with Staphylooccus aureus Mutans. J. Comp. Path. 94:183196.
Hensel A, Ganter M, Kipper S, Krehon S, Wittenbrink MM, Petzoldt K. 1994. Prevalence of Aerobic Bacteria in Bronchoalveolar Lavage Fluids from Healthy Pigs. Am. J. Vet. Res. 55(12) : 1697-1702.
27
Hoblet KH, Eastridge ML. 1992. Control of Contagious Mastitis. Dairy Guide Leaflet. Ohio.
Hurley WL. 2000. Mammary Gland Anatomy of Cattle. Lactation Biology. ANSCI 308. Departement of Animal Sciences University of Illionis. Urbana-Champaign. http://classes aces.uiuc.edu/Ansci 308/. [13-12-2001].
Hurley WL, Morin DE. 2000. Mastitis Lesson A. ANSCI 308. Lactation Biology. http://classes aces.uiuc.edu/Ansci 308/. [13-12-2001].
Hurley WL, Morin DE. 2000. Mastitis Lesson B. ANSCI 308. Lactation Biology. http://classes aces.uiuc.edu/Ansci 308/. 13-12-20
Kirk JH, De Graves F, Tyler J. 1994. Recent Progess in Treatment and Control of Mastitis in Cattle. JAVMA 204:1152-1158.
Mendenhall W. 1987. Introduction to probability and statistics. Seventh ed. PWS Publishers. USA. Pp. 727-775.
Menzies BE, Kourteva I. 1998. Internalization of Staphylococcus aureus by Endothelial Cells Induces Apoptosis. Infection and Immunity. 66(12):5994-5998.
Mims CA. 1986. The Pathogenesis of Infectious Disease. Third Ed. Akademic Press. London
Ressang AA. 1984. Patologi Khusus Veteriner. NV Percetakan Bali. pp. 153-163.
Russo IH, Russo J. 1996. Mammary Gland Neoplasia in Long-term Rodent Studies. Eviron Health Perpect. 104:938-967.
Sandholm M, Ali-Vehmas T, Nyholm K, Honkanen-Buzalski T, Louhi M. 1991. Failure Mechanisms Lactional Therapy of Staphylococcal Mastitis. Flem. Vet. J. 62, Suppl. (1) : 171-186.
Siegmund OH. 1979. The Merck Veterinary Manual. A Hand Book of Diagnosis and Therapy for The Veterinarian. Fifth Ed. Merck and Co., Inc. Rahway, N.J., USA.
Singh I. 1991. Teks dan Atlas Histologi Manusia. Alih Bahasa : Jan Tambayong. Edisi I. Binarupa Aksara. Jakarta. 300-301.
Subronto. 1985. Ilmu Penyakit Ternak. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Todar K. 1997. Bacteriology 330 Lecture Topics : Colonization and Invasion. http://www.bact.wisc.edu/bact330/lecturecoli
Todar K. 1998. Bacteriology 330 Lecture Topics : Staphylococcus. http://www.bact.wisc.edu/bact330/lecturestaph
28
Vandenberg J. 2000. Laboratory Animal Science and Husbandry in Vaccine Production and Quality Control. Terjemahan Panitia Workshop Bio Farma. Bandung.
Wahyuni AETH. 1998. Peran Hemaglutinin Streptococcus agalactiae dalam Proses Adhesi pada Sel Epitel Sapi Perah. Thesis Magister Program Pascasarjana IPB.
Warsa UC. 1994. Stafilokokus. Kokus Positif Gram. Dalam Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Edisi Revisi. Binarupa Aksara. Jakarta. 103-124.
Woodford N, Watson AP, Patel S, Jevon M, Waghorn DJ, Cookson BD. 1998. Heterogeneous Location of The mupA High-Level Mupirocin Resistance Gene in Staphylococcus aureus. J.Med.Microbiol. 47:829-835.
29
Lampiran 1.Tabel 2. Arsitektur dan kemampuan sekresi pada kelenjar ambing mencit setelah
diinfeksi S. aureus (Hematoksilin – Eosin).
No. Lama infeksi(jam)
Kode sampel Struktur kelenjar Sekresi susu
1 Kontrol S/46/01.1 +2 +32 S/46/01.37 +3 +23 S/46/01.40 +2 +34 2 S/46/01.2 +4 +15 S/46/01.38 +4 +16 S/46/01.39 +4 +17 4 S/46/01.4 +4 +28 S/46/01.17 +4 +19 S/46/01.18 +4 +210 6 S/46/01.5 +3 +211 S/46/01.41 +4 +212 S/46/01.42 +4 +213 8 S/46/01.6 +4 +114 S/46/01.7 +3 +115 S/46/01.19 +3 016 12 S/46/01.20 +3 +117 S/46/01.21 +3 +118 S/46/01.23 +3 +119 16 S/46/01.9 +3 +120 S/46/01.10 +2 +221 S/46/01.25 +3 +222 20 S/46/01.49 +2 +323 S/46/01.50 +1 +224 S/46/01.51 +2 +225 24 S/46/01.11 +4 +126 S/46/01.12 +3 +127 S/46/01.43 +3 +128 36 S/46/01.52 +2 +229 S/46/01.54 +3 +130 S/46/01.56 +2 +131 48 S/46/01.13 +3 +132 S/46/01.14 +2 +133 S/46/01.33 +2 034 60 S/46/01.44 +2 035 S/46/01.45 +2 036 S/46/01.46 +2 037 72 S/46/01.53 +1 038 S/46/01.55 +1 039 S/46/01.57 +1 040 84 S/46/01.47 +2 +141 S/46/01.48 +1 042 S/46/01.58 +1 043 96 S/46/01.15 +1 044 S/46/01.16 +1 045 S/46/01.59 +1 0
30
Lampiran 2. Tabel 3. Reaksi inflamasi kelenjar ambing mencit setelah diinfeksi oleh S. aureus
(Hematoksilin-Eosin).
No. Lama infeksi(jam)
Kode sampel Deskuamasi
Degenerasi
Nekrosa Peradangan
1 Kontrol S/46/01.1 +1 0 0 02 S/46/01.37 +1 0 0 03 S/46/01.40 +1 0 0 04 2 S/46/01.2 +2 0 0 05 S/46/01.38 +3 +1 0 +16 S/46/01.39 +2 0 0 07 4 S/46/01.4 +3 +1 0 +18 S/46/01.17 +3 +1 0 +19 S/46/01.18 +3 +1 +1 +110 6 S/46/01.5 +3 +1 +1 +111 S/46/01.41 +3 +1 +1 +112 S/46/01.42 +2 +1 +1 +113 8 S/46/01.6 +1 +1 +2 +214 S/46/01.7 +1 +1 +1 +215 S/46/01.19 +2 +2 +2 +316 12 S/46/01.20 +2 +1 +2 +317 S/46/01.21 +1 +1 +2 +318 S/46/01.23 +2 +2 +2 +319 16 S/46/01.9 +1 +1 +1 +220 S/46/01.10 +2 +1 +2 +221 S/46/01.25 +1 +1 +2 +322 20 S/46/01.49 +1 +1 +1 +223 S/46/01.50 +1 +1 +1 +124 S/46/01.51 +1 +1 +1 +125 24 S/46/01.11 +2 +3 +2 +126 S/46/01.12 +1 +1 +1 +227 S/46/01.43 +1 +2 +2 +228 36 S/46/01.52 +1 +2 +1 +129 S/46/01.54 +1 +1 0 +130 S/46/01.56 +1 0 +1 +131 48 S/46/01.13 +1 0 +1 +132 S/46/01.14 0 +1 +1 +133 S/46/01.33 0 +1 0 +134 60 S/46/01.44 0 0 0 +135 S/46/01.45 0 0 0 +136 S/46/01.46 0 0 0 +137 72 S/46/01.53 0 0 0 +138 S/46/01.55 0 0 0 +139 S/46/01.57 0 0 0 +140 84 S/46/01.47 +1 0 0 +141 S/46/01.48 +1 0 0 +142 S/46/01.58 0 0 0 +143 96 S/46/01.15 +1 0 0 +144 S/46/01.16 0 0 0 +145 S/46/01.59 0 0 0 +1
31
32