44
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada peternakan sapi perah, Stapylococcus. aureus mempunyai arti penting sebagai penyebab mastitis karena bakteri dapat menyebar ke mana-mana dan dapat membentuk koloni dengan baik pada kulit dan puting ambing. Selain itu S. aureus juga cepat resisten terhadap penisilin dan pengobatan biasanya kurang berhasil dibandingkan pada mastitis yang disebabkan oleh S. agalactiae (Duval 1997). Infeksi S. aureus memerlukan terapi antibiotika dalam jangka waktu yang lama, padahal pemberian antibiotika yang lama pada masa laktasi sangat tidak menguntungkan secara ekonomi (Sandholm et al. 1991). Tingkat kejadian infeksi S. aureus dalam satu kandang dapat mencapai 35% (Subronto 1985). Selain menyebabkan penurunan produksi dan kualitas susu, infeksi oleh S. aureus juga tidak jarang mengakibatkan kematian hewan penderita. Kerugian lain berupa meningkatnya biaya penggantian sapi perah, susu terbuang, biaya obat-obatan, biaya dokter hewan dan upah buruh (Kirk et al. 1994). S. aureus sebagai salah satu penyebab mastitis 1

Mastitis Maj

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Mastitis Maj

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada peternakan sapi perah, Stapylococcus. aureus mempunyai arti penting

sebagai penyebab mastitis karena bakteri dapat menyebar ke mana-mana dan

dapat membentuk koloni dengan baik pada kulit dan puting ambing. Selain itu S.

aureus juga cepat resisten terhadap penisilin dan pengobatan biasanya kurang

berhasil dibandingkan pada mastitis yang disebabkan oleh S. agalactiae (Duval

1997). Infeksi S. aureus memerlukan terapi antibiotika dalam jangka waktu yang

lama, padahal pemberian antibiotika yang lama pada masa laktasi sangat tidak

menguntungkan secara ekonomi (Sandholm et al. 1991).

Tingkat kejadian infeksi S. aureus dalam satu kandang dapat mencapai 35%

(Subronto 1985). Selain menyebabkan penurunan produksi dan kualitas susu,

infeksi oleh S. aureus juga tidak jarang mengakibatkan kematian hewan penderita.

Kerugian lain berupa meningkatnya biaya penggantian sapi perah, susu terbuang,

biaya obat-obatan, biaya dokter hewan dan upah buruh (Kirk et al. 1994). S. aureus

sebagai salah satu penyebab mastitis klinis maupun subklinis, dikenal pula sebagai

bakteri komensal yang dapat diisolasi dari sebagian besar permukaan tubuh (Warsa

1994; Clements 1999).

S. aureus mempunyai arti penting sebagai penyebab mastitis subklinis

karena bakteri ini dapat menyebar ke mana-mana dan dapat membentuk koloni

dengan baik pada kulit dan puting ambing. Keberadaannya pada kulit merupakan

suatu keuntungan bagi bakteri ini untuk terhindar dari sel fagosit, sehingga bakteri

menjadi persisten (Todar 1997). S. aureus dapat dimusnahkan dari permukaan kulit

1

Page 2: Mastitis Maj

ambing dengan terapi antibiotika, namun bakteri akan tetap tumbuh pada jaringan

ikat yang lebih dalam, menyebabkan S. aureus cenderung menjadi resisten terhadap

antibiotika (Hoblet dan Eastridge 1992 ; Arpin et al. 1996). Sifat resistensi ini juga

ditentukan oleh gen resisten yang terbawa oleh plasmid (Woodford et al. 1998).

Kegagalan pengobatan juga disebabkan karena kegagalan antibiotika mencapai

jaringan yang terinfeksi atau bakteri penyebabnya (Godkin 1998). Bakteri umumnya

bertahan pada jaringan dalam beberapa minggu atau bulan sebagai penyebab

mastitis subklinis (Bramley 1991).

Tahap awal infeksi bakteri adalah adanya kontak permukaan antara sel inang

dan bakteri, dimana dalam proses ini melibatkan komponen permukaan sel seperti

protein dan karbohidrat (Mims 1986). Proses adhesi merupakan tahap infeksi yang

sangat penting dan dominan sebagai penentu ekspresi penyakit yang bersifat

subklinis. Peran adhesi dan kolonisasi bakteri pada permukaan sel ambing, jauh

lebih penting dibandingkan dengan kemampuan invasi bakteri tersebut.

Menempelnya bakteri pada permukaan sel epitel ambing menyebabkan degenerasi

dan nekrosa sel epitel (Estuningsih 2001).

Berbagai komponen S. aureus yang berperan dalam mekanisme infeksi

adalah : (1) Polisakarida dan protein yang merupakan substansi penting di dalam

dinding sel, seperti protein adhesin hemaglutinin (Wahyuni 1998) dan glikoprotein

fibronectin (Nelson et al. 1991). Protein permukaan ini berperan dalam proses

kolonisasi bakteri pada jaringan inang; (2). Invasin yang berperan dalam penyebaran

bakteri di dalam jaringan, misalnya leukocidin, kinase, hyaluronidase; (3). Kapsul

dan protein A yang dapat menghambat fagositosis oleh leukosit polimorfonuklear ;

(4). Substansi biokimia, seperti : carotenoid dan produk katalase, dapat membuat

bakteri bertahan hidup dalam fagosit ; (5). Protein A, coagulase dan clumping factor

2

Page 3: Mastitis Maj

untuk menghindarkan diri dari respon imun inang. S. aureus dengan coagulase

negatif terbukti kurang virulen dibandingkan dengan yang mempunyai faktor

coagulase (Haraldsson dan Jonsson 1984) ; dan (6). Toksin yang dapat melisis

membran sel dan jaringan inang (Todar 1998).

1.2 Maksud dan Tujuan

1. Mengetahui pengaruh infeksi S. aureus pada ambing terhadap struktur dan

sekresi susu ambing mencit.

2. Mempelajari secara histopatologi perubahan-perubahan yang terjadi pada

jaringan atau sel-sel ambing mencit yang diinfeksi oleh S. aureus,

khususnya yang berkaitan dengan sekresi susu.

1.3 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk memahami pengaruh infeksi

bakteri S. aureus terhadap sekresi susu pada mencit. Informasi yang diperoleh

diharapkan dapat digunakan sebagai acuan untuk mempelajari pengaruh infeksi

bakteri S. aureus pada sapi penderita mastitis.

1.4 Hipotesis

1. Ada perubahan struktur dan sekresi susu pada jaringan ambing mencit yang

diinfeksi bakteri S. aureus.

2. Terjadi variasi kerusakan jaringan ambing penderita mastitis subklinis yang

disebabkan oleh S. aureus sesuai dengan lamanya waktu infeksi.

3

Page 4: Mastitis Maj

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Staphylococcus aureus sebagai Penyebab Mastitis

S. aureus tersebar luas di dunia dan banyak menyebabkan kelainan-kelainan

pada kulit dan membran mukosa hewan maupun manusia. Bakteri ini bersifat gram

positif, fakultatif anaerob, katalase positif, koagulase positif dan menghasilkan asam

laktat. Pada biakan agar padat membentuk koloni kuning keemasan (Todar 1998).

S. aureus tidak membentuk spora, tidak ada flagela, tumbuh baik pada suhu 37 C

dan mati apabila dipanaskan pada suhu 80 C selama setengah jam.

Berbagai komponen S. aureus yang berperan dalam mekanisme infeksi

adalah : (1) Polisakarida dan protein yang merupakan substansi penting di dalam

dinding sel, seperti protein adhesin hemaglutinin (Wahyuni 1998) dan glikoprotein

fibronectin (Nelson et al. 1991). Protein permukaan ini berperan dalam proses

kolonisasi bakteri pada jaringan inang; (2). Invasin yang berperan dalam penyebaran

bakteri di dalam jaringan, misalnya leukocidin, kinase, hyaluronidase; (3). Kapsul

dan protein A yang dapat menghambat fagositosis oleh leukosit polimorfonuklear ;

(4). Substansi biokimia, seperti : carotenoid dan produk katalase, dapat membuat

bakteri bertahan hidup dalam fagosit ; (5). Protein A, coagulase dan clumping factor

untuk menghindarkan diri dari respon imun inang. S. aureus dengan coagulase

negatif terbukti kurang virulen dibandingkan dengan yang mempunyai faktor

coagulase (Haraldsson dan Jonsson 1984) ; dan (6). Toksin yang dapat melisis

membran sel dan jaringan inang (Todar 1998).

4

Page 5: Mastitis Maj

S. aureus mempunyai arti penting sebagai penyebab mastitis subklinis

karena bakteri ini dapat menyebar ke mana-mana dan dapat membentuk koloni

dengan baik pada kulit dan puting ambing. Keberadaannya pada kulit merupakan

suatu keuntungan bagi bakteri ini untuk terhindar dari sel fagosit, sehingga bakteri

menjadi persisten (Todar 1997). S. aureus dapat dimusnahkan dari permukaan kulit

ambing dengan terapi antibiotika, namun bakteri akan tetap tumbuh pada jaringan

ikat yang lebih dalam, menyebabkan S. aureus cenderung menjadi resisten terhadap

antibiotika (Hoblet dan Eastridge 1992 ; Arpin et al. 1996). Sifat resistensi ini juga

ditentukan oleh gen resisten yang terbawa oleh plasmid (Woodford et al. 1998).

Kegagalan pengobatan juga disebabkan karena kegagalan antibiotika mencapai

jaringan yang terinfeksi atau bakteri penyebabnya (Godkin 1998). Bakteri umumnya

bertahan pada jaringan dalam beberapa minggu atau bulan sebagai penyebab

mastitis subklinis (Bramley 1991).

Selain sebagai penyebab mastitis klinis maupun subklinis, S. aureus dikenal

pula sebagai bakteri komensal, yang dapat diisolasi dari sebagian besar permukaan

tubuh. Bakteri ini bersifat “strain-host specific”, artinya ada kaitan antara biotipe

dengan spesies inang (Hajek dan Marsalek 1971). S. aureus merupakan flora

normal pada manusia, terutama ditemukan pada saluran pernapasan bagian atas,

kulit dan mukosa. Pada babi sehat, S. aureus banyak ditemukan pada cairan

bronchoalveolar (Hensel et al. 1994).

Kemampuan S. aureus menginvasi dan hidup dalam sel-sel endotel diyakini

dapat menyebabkan infeksi endovascular yang bersifat persisten dengan

menimbulkan kerusakan pada sel-sel endotel. Kerusakan sel-sel endotel ini diduga

sebagai bagian dari proses apoptosis yang disebabkan oleh infeksi S. aureus

(Menzies dan Kourteva 1998).

5

Page 6: Mastitis Maj

2.2 Histologi Kelenjar Ambing Mencit

Sampai saat ini mencit adalah hewan percobaan yang banyak sekali

digunakan dalam dunia biomedis untuk keperluan pengujian dan pendidikan. Mencit

dewasa mempunyai panjang antara 12 – 15 cm dan pada betina memiliki lima

pasang kelenjar ambing, tiga pasang di antaranya terletak di regio cervico-thorasica

dan dua pasang lainnya berada pada regio inguino-abdominal (Vandenberg 2000).

Struktur kelenjar ambing tersusun dari jaringan parenkim dan stroma

(connective tissue). Parenkim merupakan jaringan sekretori berbentuk kelenjar

tubulo-alveolar yang mensekresikan susu ke dalam lumen alveol. Lumen alveol

dibatasi oleh selapis sel epitel kuboid. Lapisan sel epitel ini dikelilingi oleh sel-sel

myoepitel yang bersifat kontraktil sebagai responnya terhadap hormon oxytocin dan

selanjutnya dikelilingi oleh stroma berupa jaringan ikat membrana basalis. Pembuluh

darah dan kapiler terdapat pada jaringan ikat di antara alveol-alveol ini. Beberapa

alveol bersatu membentuk suatu struktur lobulus dan beberapa lubulus bergabung

dalam suatu lobus yang lebih besar. Penyaluran susu dari alveol sampai ke glandula

sisterna melalui suatu sistem duktus yang disebut ductus lactiferus (Hurley 2000).

Sel yang melapisi alveol bervariasi penampilannya, tergantung aktivitas

fungsionalnya. Pada keadaan kelenjar tidak laktasi, sel berbentuk kuboid. Bila aktif

menghasilkan sekret (susu), selnya berbentuk silindris. Dan bila susu dicurahkan ke

dalam lumen, meregang, sel-sel kembali berbentuk kuboid dengan ukuran yang jauh

lebih besar dan sel-sel penuh berisi sekret (Singh 1991). Sel-sel sekretoris alveol

kaya akan ribosom, kompleks golgi dan droplet lemak serta banyak memiliki vakuol

sekretoris (Russo dan Russo 1996).

6

Page 7: Mastitis Maj

Pada mencit, masa laktasi berlangsung selama 3 – 4 minggu tergantung

strain mencit dan sekresi susu maksimal terjadi antara 12-13 hari post partus.

Setelah masa sapih, sel-sel epitel mulai berdegenerasi dan alveol mulai menurun

aktifitasnya untuk memproduksi susu dan berubah bentuk menjadi kumpulan struktur

massa sel tanpa lumen. Pada saat ini lobulus alveolar mulai diisi dengan jaringan

lemak (fat pad).

2.3 Histopatologi Mastitis

Secara histopatologi, pada mastitis subklinis dapat ditemukan adanya

peradangan dan degenerasi pada parenkim (epitel) saluran-saluran air susu. Selain

itu juga ditemukan adanya reruntuhan sel-sel somatik yang meningkat (Ressang

1984; Duval 1997), deskuamasi dan regresi epitel. Sel-sel radang (leukosit-leukosit

berinti polimorf) banyak ditemukan di dalam lumen saluran air susu (Ressang 1984).

Penelitian pada mastitis subklinis yang disebabkan oleh S. agalactiae

menunjukkan bahwa patogenesis penyakit dimulai dengan menempelnya bakteri

pada permukaan sel epitel, kemudian masuk ke dalam sel epitel alveol kelenjar susu

menyebabkan degenerasi dan nekrosa. Nekrosa berlanjut dan menyebabkan atrofi

alveol kelenjar susu disertai respon peradangan yang menyebabkan terjadi involusi

kelenjar susu. Selanjutnya terjadi proses persembuhan berupa pembentukan

jaringan ikat. Pada hari keempat setelah diinfeksi, sebagian jaringan ikat digantikan

oleh jaringan lemak dan bakteri terperangkap di dalam kelenjar ambing (Estuningsih

2001).

7

Page 8: Mastitis Maj

2.4 Patogenesis Bakteri Staphylococcus aureus

Duval (1997) menjelaskan bahwa proses infeksi pada mastitis terjadi melalui

beberapa tahap, yaitu adanya kontak dengan mikroorganisme dimana sejumlah

mikroorganisme mengalami multiplikasi di sekitar lubang puting (sphincter),

kemudian dilanjutkan dengan masuknya mikroorganisme akibat lubang puting yang

terbuka ataupun karena adanya luka. Tahap berikutnya, terjadi respon imun pada

induk semang. Respon pertahanan pertama ditandai dengan berkumpulnya leukosit-

leukosit untuk mengeliminasi mikroorganisme yang telah menempel pada sel-sel

ambing. Apabila respon ini gagal, maka mikroorganisme akan mengalami

multiplikasi dan sapi dapat memperlihatkan respon yang lain, misalnya demam.

Penelitian pada mencit yang diinfeksi dengan S. aureus, memperlihatkan

bahwa tahap kritis patogenesis mastitis terjadi ketika terjadi interaksi antara neutrofil

dan S. aureus pada 12 sampai 18 jam setelah diinokulasi S. aureus melalui kelenjar

ambing. Fagositosis bakteri oleh neutrofil mulai terlihat pada 6 jam setelah infeksi.

Setelah 12 jam pasca infeksi, neutrofil mengalami perubahan-perubahan yang

bersifat degeneratif, mengakibatkan S. aureus dapat mencapai lumen alveol dan

terjadi peningkatan jumlah bakteri ekstraseluler pada 18 jam setelah infeksi

(Anderson dan Chandler 1975).

Hurley dan Morin (2000), menjelaskan bahwa peradangan pada ambing

diawali dengan masuknya bakteri ke dalam ambing yang dilanjutkan dengan

multiplikasi. Sebagai respon pertama, pembuluh darah ambing mengalami

vasodilatasi dan terjadi peningkatan aliran darah pada ambing. Permeabilitas

pembuluh darah meningkat disertai dengan pembentukan produk-produk inflamasi,

seperti prostaglandin, leukotrine, protease dan metabolit oksigen toksik yang dapat

meningkatkan permeabilitas kapiler ambing. Adanya filtrasi cairan ke jaringan

8

Page 9: Mastitis Maj

menyebabkan kebengkakan pada ambing. Pada saat ini terjadi diapedesis, sel-sel

fagosit (PMN dan makrofag) keluar dari pembuluh darah menuju jaringan yang

terinfeksi dilanjutkan dengan fagositosis dan penghancuran bakteri. Tahap

berikutnya, terjadi proses persembuhan jaringan.

Lebih lanjut dijelaskan, bahwa terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi

kemampuan kelenjar ambing untuk bertahan dari infeksi, di antaranya adalah :

jaringan yang menjadi kurang efektif pada umur tua; PMN yang terlalu muda pada

kelenjar dan adanya PMN yang tidak memusnahkan bakteri tapi sebaliknya malah

melindungi bakteri dari proses penghancuran berikutnya. Hal lain juga disebabkan

karena adanya komponen lipid pada susu yang kemungkinan menghambat reseptor

Fc pada leukosit, menyebabkan degranulasi yang berlebihan dan meningkatnya

gejala peradangan. Lemak dan casein susu yang tertelan oleh PMN dapat

menyebabkan kegagalan PMN dalam proses ingesti bakteri. Kemampuan PMN

dalam fagositosis dan membunuh bakteri juga dapat menurun pada keadaan

defisiensi vitamin E atau selenium.

Pemusnahan bakteri melalui sistem oxygen respiratory burst membutuhkan

oksigen yang lebih banyak, namun kadar oksigen pada susu jauh lebih rendah

daripada konsentrasi oksigen dalam darah. Demikian juga glukosa sebagai sumber

energi pada susu sangat rendah konsentrasinya, padahal untuk fagositosis

diperlukan energi yang lebih tinggi. Di samping itu, susu mengandung komponen

opsonin (seperti : imunoglobulin dan komplemen) yang relatif sedikit dan dalam susu

hampir tidak ada aktivitas lisosim (Hurley dan Morin 2000).

9

Page 10: Mastitis Maj

BAB III

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Patologi FKH-IPB, Laboratorium

Bakteriologi FKH-IPB dan di Laboratorium PT. Bio Farma (Persero) Bandung selama

8 bulan.

3.2 Bahan dan Peralatan

3.2.1 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :

1. Mencit strain ddY yang sedang laktasi (5 hari post partum) sebagai hewan

model. Mencit diperoleh dari PT. Bio Farma (Persero) Bandung.

2. Isolat bakteri S. aureus lapangan yang diperoleh dari kasus mastitis subklinik

pada sapi perah. Isolasi dan identifikasi bakteri telah dilakukan oleh Abrar

(2000).

Media dan bahan lain yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :

1. Media untuk kultur bakteri Todd Hewitt Broth (THB).

2. Berbagai bahan untuk pembuatan preparat histopatologi, yaitu Normal Buffer

Formalin (BNF), xylol, alkohol bertingkat yang dimulai dari 70% sampai absolut,

parafin dan perekat.

10

Page 11: Mastitis Maj

3. Bahan-bahan yang digunakan dalam pewarnaan Warthin-Starry, seperti ; perak

nitrat, asam sitrat, gelatin, hidroquinon serta pewarna Hematoxylin-eosin.

3.2.2 Peralatan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian meliputi :

1. Alat-alat gelas, yaitu gelas piala, cawan petri, tabung reaksi, gelas obyek, gelas

penutup, pipet dan mikropipet

2. Tabung sentrifus, rak tabung reaksi, sentrifus, penangas.

3. Gunting, pinset dan peralatan untuk pembuatan preparat histopatologi.

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Desain Penelitian

Sebanyak 42 ekor mencit diinfeksi dengan isolat S. aureus dan 3 ekor mencit

tidak diinfeksi sebagai kontrol negatif. Euthanasi dan pengambilan jaringan ambing

dilakukan dalam 14 tahap waktu, yaitu 2, 4, 6, 8, 12, 16, 20, 24, 36, 48, 60, 72, 84

dan 96 jam pasca infeksi, masing-masing sebanyak 3 ekor. Kemudian dibuat

preparat histopatologi. Pengamatan pada jaringan dilakukan dengan pewarnaan HE

dan Warthin-Starry.

3.3.2 Reidentifikasi Bakteri S. aureus

Dipilih satu isolat bakteri S. aureus yang diperoleh dari kasus mastitis

subklinis lapangan yang telah diisolasi dan diidentifikasi oleh peneliti sebelumnya

(Abrar 2000).

Untuk reidentifikasi, bakteri ditumbuhkan pada perbenihan agar darah

selama 18 jam pada suhu 37 oC. Bentuk koloni dan pola hemolitik yang dihasilkan

diamati secara makroskopis. Uji hemagutinasi dilakukan untuk melihat keberadaan

11

Page 12: Mastitis Maj

hemaglutinin. Reaksi ini dapat dilihat dari suspensi bakteri (109 bakteri / ml)

sebanyak 25 l diinkubasikan dengan 20 l berbagai jenis eritrosit 2% (sapi,

manusia, domba, kuda, ayam, anjing dan kelinci). Reaksi positif ditandai dengan

adanya reaksi hemaglutinasi.

Untuk melihat adanya protein A, dilakukan dengan menumbuhkan bakteri

pada soft agar (SA) dan serum soft agar (SSA) berdasarkan bentuk koloni yang

ditampilkan (Djanatun 2001).

3.3.3 Preparasi Bakteri

Sebelum dilaksanakan infeksi bakteri pada mencit, perlu disiapkan

bakterinya terlebih dahulu dengan cara sebagai berikut. Sebanyak 50 ml Todd

Hewitt Broth (THB) ditambah dengan isolat bakteri lapangan, diinkubasikan pada

suhu 37 C selama 18 jam, kemudian disentrifus selama 10 menit dengan kecepatan

3000 rpm sehingga terbentuk pelet. Pelet dipisahkan dari supernatan dan dibuat

suspensi dengan menambahkan 5 ml NaCl fisiologis, kemudian disentrifus. Pelet

yang terbentuk dibuat suspensi dengan menambahkan NaCl fisiologis dan

disetarakan dengan kekeruhan Barium Sulfat menggunakan spektrofotometer,

sehingga menghasilkan suspensi bakteri yang diperkirakan mengandung 109

bakteri/ml suspensi.

3.3.4 Persiapan Hewan Model (Mencit)

Pengamatan patogenesis infeksi S. aureus sebagai penyebab mastitis

subklinis dilakukan pada hewan model mencit. Sebanyak 45 ekor mencit yang umur

kebuntingannya kira-kira sama dipelihara secara konvensional dalam kandang

individu. Pakan dan minum diberikan ad libitum. Infeksi pada mencit dilakukan 5 hari

12

Page 13: Mastitis Maj

post partus dan langsung dipisahkan dengan anaknya (dilakukan penyapihan).

Mencit-mencit tersebut dibagi menjadi 15 kelompok perlakuan berdasarkan lamanya

infeksi yang terdiri atas 1 kelompok kontrol yang tidak diinfeksi dan 14 kelompok

yang diinfeksi S. aureus. Masing-masing kelompok terdiri atas 3 ekor mencit.

3.3.5 Infeksi In Vivo pada Mencit Laktasi

Suspensi bakteri yang telah disiapkan dengan kepadatan 109 sel/ml

diinfeksikan pada mencit secara intra mammari dengan cara meneteskan 50 l

suspensi bakteri tersebut tepat di atas lubang puting (orificium externa) ambing

menggunakan pipet mikro (Biorad).

Mencit dipegang dengan posisi dorso-ventral menghadap ke atas sehingga

memudahkan melakukan infeksi. Sebelum diinfeksi, bagian ventral tubuh mencit

didesinfeksi menggunakan kapas beralkohol, ditunggu hingga kering kemudian

dilakukan infeksi secara bertahap setetes demi setetes (satu tetes sebanyak 5 l),

ditunggu sampai terabsorbsi baru dilanjutkan dengan tetes berikutnya. Selanjutnya

mencit dikandangkan secara individual, diberi pakan dan minum ad libitum dan

diamati keadaan kelenjar ambingnya dan gejala kilinis yang mungkin timbul.

3.3.6 Jaringan Kontrol Positif

Untuk jaringan kontrol positif digunakan jaringan yang berasal dari mencit

yang telah diinfeksi S. aureus secara intra peritonium dan subkutan. Mencit

kemudian dieuthanasi 24 jam setelah infeksi dan jaringan yang terinfeksi diambil

untuk dibuat preparat histopatologi, selanjutnya dilakukan pewarnaan Hematoksilin-

Eosin .

13

Page 14: Mastitis Maj

3.3.7 Pembuatan Preparat Histopatologi

Semua kelompok mencit yang sudah diinfeksi kemudian dieuthanasi masing-

masing 3 ekor mencit dari setiap kelompok sesuai dengan desain penelitian.

Perubahan yang terjadi pada kelenjar ambing diamati secara makroskopis dengan

cara melepaskan bagian kulit penutup. Jaringan kelenjar susu kemudian diambil

untuk pembuatan preparat histopatologi. Fiksasi kelenjar susu mencit dilakukan

dengan menggunakan buffer normal formalin (BNF) 10%, dipotong tipis dan

diletakkan dalam kaset untuk proses dehydrasi dalam alkohol bertingkat (80%, 90%,

95%) dan dilanjutkan dengan clearing menggunakan xylol. Proses ini dilakukan

secara otomatis dalam tissue processor. Tahap berikutnya dilakukan embedding

dengan parafin yang memiliki titik leleh 58o C (Richert Jung, Germany) dan dicetak

dalam cetakan khusus. Setelah dingin, cetakan dilepas dan dilakukan pemotongan

jaringan dengan ketebalan 5 m menggunakan mikrotom. Potongan tipis jaringan

diletakkan pada permukaan air agar terapung, kemudian diambil dengan gelas objek

dan dibiarkan menempel selama semalam atau dipanaskan pada suhu kurang lebih

60o C dan dapat digunakan untuk berbagai teknik pewarnaan.

3.3.8 Pewarnaan Jaringan

Untuk melihat perubahan struktur jaringan secara umum, preparat diwarnai

dengan metode pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE). Pengamatan dilakukan di

bawah mikroskop berdasarkan perubahan-perubahan yang terjadi pada struktur dan

sekresi susu kelenjar ambing mencit.

Metode pewarnaan Hematoksilin-Eosin dilakukan dengan cara sebagai

berikut :

14

Page 15: Mastitis Maj

1. Defarafinisasi. Gelas objek direndam dalam larutan xylol dan alkohol dengan

konsentrasi degradasi mulai dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah agar

parafin terlarut dari jaringan kelenjar ambing yang akan diwarnai. Perendaman

dimulai dari larutan xylol sebanyak 2 kali dilanjutkan dengan alkohol 95%, 90%,

80% dan akuades.

2. Gelas objek diwarnai dengan hematoksilin selama 10 menit, kemudian dicuci

dengan air kran hingga sisa pewarnaan habis.

3. Gelas objek dicelupkan dalam larutan Lithium Carbonat (Bluing Solution)

kurang lebih selama 1 menit hingga memberi kesan kebiruan, kemudian dicuci

dengan akuades.

4. Gelas objek diwarnai dengan Eosin selama 10 menit, kemudian dicuci dengan

air kran hingga sisa pewarnaan hilang.

5. Gelas objek direndam dalam akuades, kemudian dicelupkan dalam alkohol

mulai dari konsentrasi 80%, 90%, 95%, alkohol absolut.

6. Gelas objek dicelupkan ke dalam xylol sebanyak 2 kali untuk proses

penjernihan.

7. Gelas objek ditutup dengan kaca penutup yang sebelumnya diberi mounting

medium Permount (Merck, Germany).

8.

3.3.9 Parameter

Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah perubahan struktur

jaringan kelenjar ambing dan sekresi susu yang tampak dalam lumen alveol dan

lumen duktus.

15

Page 16: Mastitis Maj

3.3.10 Metode Skoring Perubahan Jaringan

Skoring untuk perubahan pada struktur jaringan kelenjar ambing dan sekresi

susu yang tampak dalam lumen alveol dan lumen duktus menggunakan

perbandingan antara bagian yang terkena dan luas keseluruhan sediaan jaringan

yang dinyatakan dalam persentasi, sebagai berikut :

0 : tanpa perubahan berarti

+1 : bila terdapat perubahan berkisar 25% dari luas sediaan jaringan

+2 : bila terdapat perubahan berkisar 50% dari luas sediaan jaringan

+3 : bila terdapat perubahan berkisar 75% dari luas sediaan jaringan

+4 : bila terdapat perubahan melebihi 75% atau menyeluruh dari luas

sediaan jaringan.

(Estuningsih 2001).

3.3.11 Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan metode non parametrik, membandingkan

perubahan struktur dan sekresi susu kelenjar ambing yang diinfeksi dengan S.

aureus berdasarkan skoring yang diperoleh pada tiap-tiap kelompok perlakuan dan

kelompok kontrol. Apabila terdapat perbedaan, dilanjutkan dengan uji Kruskal-Wallis

(Mendenhall 1987).

16

Page 17: Mastitis Maj

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Reidentifikasi Isolat

Berdasarkan pengamatan morfologi koloni, pada media padat agar darah

tumbuh koloni kuning keemasan. Pengamatan terhadap aktivitas hemolitik

menunjukkan bahwa bakteri tidak menghemolisis darah. Pada media THB, isolat

menunjukkan adanya pertumbuhan (keruh) dan adanya protein A ditunjukkan

dengan tumbuhnya koloni difus pada media soft agar (SA) menjadi kompak pada

serum soft agar (SSA). Uji hemaglutinasi menunjukkan hasil positif lemah pada sel

darah merah sapi, ayam, kuda, anjing dan kelinci. Hal ini sesuai dengan hasil

identifikasi terdahulu oleh Abrar (2000).

4.2 Tanda Klinis dan Perubahan Makroskopis Kelenjar Ambing Mencit setelah Diinfeksi S. aureus

Ambing dari semua kelompok mencit yang diinfeksi dengan S. aureus tidak

menampakkan adanya tanda-tanda peradangan dan terlihat sama dengan kelompok

kontrol. Puting tampak normal, tidak menampakkan adanya pembengkakan,

eksudasi maupun keropeng. Keadaan ini tampak pada seluruh kelompok perlakuan.

Puting pada semua mencit berwarna putih, tersembunyi di antara rambut abdomen.

Mencit juga tidak memperlihatkan tanda-tanda gelisah, tidak menggaruk-garuk dan

tidak menunjukkan tingkah laku yang berbeda dibandingkan dengan mencit kontrol.

Aktivitas makan dan minum berjalan normal, menunjukkan bahwa infeksi S. aureus

tidak menimbulkan perubahan secara klinis.

Ketika kulit bagian ventral mencit dibuka, tampak ada perubahan pada

bagian subkutis. Subkutis tampak lebih basah pada mencit yang diinfeksi S. aureus.

17

Page 18: Mastitis Maj

Hal ini terlihat pada kelompok mencit 12, 16, 20, 24 dan 36 jam pasca infeksi.

Diperkirakan karena terjadinya edema radang ringan. Sedangkan pada kelompok

mencit 2 jam sampai dengan 8 jam pasca infeksi tidak tampak adanya perubahan

ini. Hiperemi pada pembuluh darah yang menuju ke kelenjar ambing tampak pada

kelompok mencit 2 jam sampai dengan 36 jam pasca infeksi. Juga disertai adanya

sedikit eksudat disekitarnya. Hal ini menunjukkan bahwa pada kelenjar ambing

sedang terjadi peradangan. Dan pada kelompok mencit 48 jam pasca infeksi,

keadaan subkutis sedikit kering sehingga kulit agak susah dipisahkan dari kelenjar

ambing.

4.3 Histologi KelenjarAmbing Mencit Normal

Struktur kelenjar ambing mencit merupakan bagian dari kulit yang terdiri atas

lapisan superfisial epidermis berupa epitel berlapis pipih, dan lapisan dalam dermis

terdiri atas jaringan ikat. Sejumlah kelenjar sebasius tampak berjajar di sepanjang

lapisan kulit. Kelenjar ambing mencit normal (kontrol) memperlihatkan gambaran

sesuai dengan susunan histologis kelenjar ambing sapi normal (Hurley 2000).

Struktur kelenjar ambing mencit normal tersusun dari jaringan sekretori berbentuk

kelenjar tubulo-alveolar yang mensekresikan susu ke dalam lumen alveol. Lumen

alveol dibatasi oleh selapis sel epitel kuboid (Gambar 1). Dalam keadaan aktif, sel

epitel ini sangat pipih dan lumen penuh terisi susu. Penglepasan sekret (susu)

disertai dengan penglepasan bagian apikal sel alveol, sehingga sel epitel tampak

kasar. Singh (1991) menjelaskan, bahwa protein yang terdapat dalam sitoplasma

sebagai unsur yang membentuk bagian sekret dilepaskan dari sel melalui

eksositosis.

18

Page 19: Mastitis Maj

Gambar 1. Struktur kelenjar ambing mencit normal. Struktur terdiri dari susunan kelenjar tubulo-alveol berisi sekresi susu.(HE 86 X)

Pembuluh darah dan kapiler terdapat pada jaringan interstitium (stroma) di

antara alveol-alveol. Beberapa alveol bersatu membentuk suatu struktur lobulus

yang dibatasi oleh jaringan ikat. Interstitium juga mengandung jaringan ikat longgar

dan terdapat sel-sel lemak di antara kelenjar ambing. Sel lemak akan meluas

membentuk jaringan lemak (fat pad) pada keadaan kelenjar tidak aktif untuk

menggantikan tempat kelenjar yang tidak berproduksi lagi.

Susu disalurkan dari alveol sampai ke glandula sisterna dalam suatu sistem

duktus yang disebut ductus lactiferus yang mempunyai susunan selapis sel epitel

yang lebih kompak dilengkapi dengan jaringan ikat berupa membrana basalis yang

lebih tebal. Dari ductus lactiferus, susu dialirkan menuju kisterna atau duktus yang

lebih besar sebagai saluran pengumpul. Dengan pewarnaan HE, inti sel tampak

berwarna biru tua sedangkan sitoplasma berwarna merah keunguan. Sel-sel epitel

tubulus mengambil warna lebih kuat dibandingkan dengan sel epitel alveol kelenjar

ambing, sedangkan sekresi susu tampak berwarna merah muda keunguan dengan

19

Page 20: Mastitis Maj

globula lemak berupa ruang-ruang kosong berwarna putih di dalam lumen alveol

(Gambar 2).

Gambar 2. Sekresi susu dalam lumen alveol ambing mencit normal. Tampak globula lemak dalam sekresi susu sebagai gelembung-gelembung berwarna putih (HE 350 X)

4.4 Perubahan Struktur Kelenjar Ambing Mencit Laktasi setelah Diinfeksi oleh S. aureus.

Pengamatan menggunakan pewarnaan HE pada kelompok 2 jam pasca

infeksi memperlihatkan edema jaringan interstitium dan pembendungan pembuluh

darah inter-alveoler. Sel-sel epitel alveol mulai mengalami hiperplasia. Struktur

kelenjar ambing dan sekresi susu tidak berbeda nyata (P>0,05) bila dibandingkan

dengan kelenjar ambing mencit kontrol. Susunan kelenjar masih dalam batas

normal.

Empat jam pasca infeksi, masih terlihat adanya edema jaringan interstitium

dan pembendungan pembuluh darah. Pada saat ini, dilatasi pembuluh darah disertai

dengan diapedesis mulai tampak sebagai respon inang terhadap infeksi. Juga

20

Page 21: Mastitis Maj

tampak adanya infiltrasi sel-sel radang polimorfonuklear (PMN) pada jaringan

interstitium. Arsitektur kelenjar dan sekresi susu masih dalam batas normal

(P>0,05). Tampak adanya stagnasi sekresi susu pada lumen ductus lactiverus

sebagai akibat dari adanya hambatan pengaliran susu.

Hasil uji statistik pada Tabel 1 memperlihatkan struktur kelenjar ambing

mencit kontrol berbeda tidak nyata (P>0,05) bila dibandingkan dengan kelompok

perlakuan, namun kelompok mencit 2 dan 4 jam pasca infeksi (p.i.) memperlihatkan

struktur kelenjar yang berbeda nyata (P<0,05) bila dibandingkan dengan kelompok

72, 84 dan 96 jam p.i.; serta kelompok 6 jam p.i. berbeda nyata (P<0,05) dengan

kelompok 72 dan 96 jam p.i.

Penurunan jumlah alveol yang aktif terjadi pada kelompok mencit 60 sampai

96 jam p.i. (P<0.05) bila dibandingkan dengan kontrol menunjukkan adanya

pengaruh infeksi oleh S. aureus akibat terjadinya atrofi kelenjar, menyebabkan

penurunan sekresi susu. Isi lumen alveol dan keutuhan epitel menunjukkan

kemampuan epitel alveol dalam mensekresikan susu. Namun demikian, keberadaan

susu di dalam lumen alveol dapat pula dipandang sebagai keadaan retensi susu jika

disertai dengan terjadinya degenerasi epitel alveol dan tubular. Hambatan

pengaliran susu dapat terjadi jika terdapat kebengkakan atau hambatan akibat

banyaknya reruntuhan sel pada sistem duktus penyalur. Stagnasi sekresi susu

tampak pada tubulus ductus lactiverus pada 4 dan 6 jam p.i.

Penurunan sekresi susu juga tampak nyata (P<0,05) pada kelompok mencit

60, 72 dan 96 jam p.i dibandingkan dengan kelompok 6 dan 20 jam p.i. Penurunan

sekresi susu terjadi karena berkurangnya jumlah kelenjar yang aktif dan terjadi atrofi

kelenjar alveol (Gambar 3).

21

Page 22: Mastitis Maj

Tabel 1. Hasil uji statistika arsitektur, kemampuan sekresi dan reaksi inflamasi pada kelenjar ambing mencit setelah diinfeksi S. aureus (Hematoksilin – Eosin).

Rataan skor perubahan dan hasil uji statistik (P<0,05)No Lama infeksi (jam) Struktur kelenjar Sekresi susu

1 Kontrol 2,33a 2,67a

2 2 4,00ab 1,00abc

3 4 4,00ab 1,67abc

4 6 3,67ab 2,00ac

5 8 3,33abc 0,67abc

6 12 3,00abc 1,00abc

7 16 2,67abc 1,67abc

8 20 1,67abc 2,33ac

9 24 3,33abc 1,00abc

10 36 2,33abc 1,33abc

11 48 2,33abc 0,67abc

12 60 2,00abc 0,00b

13 72 1,00ac 0,00b

14 84 1,33ac 0,33bc

15 96 1,00ac 0,00b

Keterangan : Huruf yang berbeda ke arah kolom pada masing-masing perlakuan menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,005).

Gambar 3 : Penurunan jumlah kelenjar yang aktif dan atrofi alveol menyebabkan penurunan sekresi susu pada mencit 60 jam setelah diinfeksi S. aureus. Tanda panah menunjukkan atrofi kelenjar. (HE 350 X).

22

Page 23: Mastitis Maj

Gambar 4. Degenerasi sel-sel epitel ambing mencit setelah diinfeksi S. aureus 24 jam p.i. ditunjukkan oleh tanda panah. (HE 350 X).

.

Gambar 5. Degenerasi sel epitel alveol (tanda panah) dan infiltrasi sel radang (tanda bintang) pada pusat-pusat radang 6 jam p.i. (HE 350 X).

23

Page 24: Mastitis Maj

Gambar 6. Nekrosis sel-sel epitel ambing mencit setelah diinfeksi S. aureus 12 jam p.i. ditunjukkan oleh tanda panah.(HE 350 X).

Gambar 7. Sel-sel radang (PMN) menginfiltrasi fokus peradangan, terjadi di sekeliling alveol yang mengalami atrofi (tanda panah) 48 jam p.i. (HE 350 X).

24

Page 25: Mastitis Maj

Degenerasi (Gambar 4 dan 5) ditandai dengan perubahan struktur normal

sitoplasma sel dan selanjutnya dapat terjadi nekrosis (Gambar 6) yang diikuti

dengan mengecilnya lumen alveol dan bahkan menghilang, menyebabkan

terhentinya produksi susu. Sel-sel radang berupa sel polimorfonuklear (PMN),

makrofag dan limfosit menginfiltrasi fokus peradangan (Gambar 7).

Secara umum dapat dilihat bahwa perubahan pada struktur dan sekresi susu

kelenjar ambing yang diinfeksi oleh S. aureus terjadi lebih cepat jika dibandingkan

dengan perubahan jaringan yang diinfeksi oleh S. agalactiae pada penelitian

Estuningsih (2001). Hal ini mungkin terjadi karena faktor-faktor virulensi yang dimiliki

oleh S. aureus, misalnya keberadaan protein A dan kapsul polisakarida yang dapat

menghambat terjadinya proses fagositosis, enzim hyaluronidase yang

mempermudah bakteri menginvasi jaringan, adesin fibronectin memudahkan

perlekatan bakteri pada sel inang (Nelson et al. 1991) dan adanya coagulase dan

clumping factor membantu bakteri untuk menghindar dari respon kekebalan inang

serta toksin yang dihasilkan S. aureus dapat menyebabkan kerusakan-kerusakan

pada jaringan kelenjar ambing (Anderson dan Chandler 1975).

25

Page 26: Mastitis Maj

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Infeksi bakteri S. aureus pada ambing mencit tidak menyebabkan adanya

perubahan jaringan ambing secara klinis.

2. Perubahan pada struktur kelenjar susu mencit yang diinfeksi S. aureus tidak

berbeda nyata (P>0.05) dibandingkan dengan kontrol.

3. Terjadi penurunan jumlah alveol yang aktif (P<0,05) pada kelompok mencit 60

sampai 96 jam p.i. yang diikuti dengan menurunnya sekresi susu.

4. Mencit kemungkinan besar dapat digunakan sebagai hewan model untuk

mempelajari pengaruh infeksi S. aureus pada kelenjar ambing sapi perah

5.2 Saran

1. Perlu dilakukan penelitian pada jaringan kelenjar ambing sapi untuk

mempelajari pengaruh infeksi S. aureus pada kelenjar ambing sapi perah.

2. Penggunaan metode lain dalam mempelajari infeksi S. aureus perlu

dikembangkan, misalnya dengan menggunakan teknik imunositokimia,

mikroskop elektron ataupun dengan pewarnaan khusus lainnya.

26

Page 27: Mastitis Maj

DAFTAR PUSTAKA

Abrar M. 2001. Isolasi, Karakterisasi dan Aktivitas Biologi Hemaglutinin Staphylococcus aureus dalam Proses Adhesi pada Permukaan Sel Epitel Ambing Sapi Perah. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana IPB.

Anderson JC, Chandler RL. 1975. Experimental Staphylococcal Mastitis in The Mouse : Histological, Ultrastructural and Bacteriological Changes Caused by A Virulent Strain of Staphylococcus aureus. J. Comp. Path. 85:499-510.

Arpin C, Lagrange I, Gachie JP, Bebear C, Quentin C. 1996. Epidemiologycal Study of an Outbreak of Infection with Staphylococcus aureus Resistant to Lincosamides and Streptogramin A in a French Hospital. J.Med.Microbiol. 44:303-310.

Bramley, AJ. 1991. Mastitis : Physiology or Pathology? Flem.Vet.J. (62) : Suppl. 1, 3-11.

Clements M. 1999. Stress Resistance in Staphylococcus aureus. Trends in Microbiology. 7(11):458-462.

Djanatun T. 2001. Metode Sederhana dan Praktis Pengujian Keberadaan Protein A Staphylococcus aureus Isolat Asal Manusia dan Sapi Perah Serta Aplikasinya dalam Pembuatan Perangkat Diagnostika. Disertasi Doktor Program Pascasarjana. IPB.

Duval J. 1997. Treating Mastitis Without Antibitiocs. Ecological Agriculture Projects. http://www.eap.mcgill.ca/Publications/EAP69.htm. [15-12-2000].

Estuningsih S. 2001. Patogenesis Mastitis Subklinis pada Sapi Perah : Pendekatan Histopatologis Mastitis Subklinis Akibat Infeksi Streptococcus agalactiae Hemaglutinin Positif pada Mencit. Disertasi Doktor Pascasarjana. IPB.

Godkin A. 1998. Staphylococcus aureus Mastitis : A contagious bacterial infection of the udder. Health Management, OMAFRA (519):846-965. [email protected]. [22-10-1998].

Hajek V, Marsalek E. 1971. The Differentiation of Pathogenic Staphylococci and Sugestion for Their Taxonomic Classification. Zbl. Bacteriol. Parasit. (Abt I Orig.) 217a:176-182

Haraldsson I, Jonsson P. 1984. Histopathology and Pathogenesis of Mouse Mastitis Induced with Staphylooccus aureus Mutans. J. Comp. Path. 94:183196.

Hensel A, Ganter M, Kipper S, Krehon S, Wittenbrink MM, Petzoldt K. 1994. Prevalence of Aerobic Bacteria in Bronchoalveolar Lavage Fluids from Healthy Pigs. Am. J. Vet. Res. 55(12) : 1697-1702.

27

Page 28: Mastitis Maj

Hoblet KH, Eastridge ML. 1992. Control of Contagious Mastitis. Dairy Guide Leaflet. Ohio.

Hurley WL. 2000. Mammary Gland Anatomy of Cattle. Lactation Biology. ANSCI 308. Departement of Animal Sciences University of Illionis. Urbana-Champaign. http://classes aces.uiuc.edu/Ansci 308/. [13-12-2001].

Hurley WL, Morin DE. 2000. Mastitis Lesson A. ANSCI 308. Lactation Biology. http://classes aces.uiuc.edu/Ansci 308/. [13-12-2001].

Hurley WL, Morin DE. 2000. Mastitis Lesson B. ANSCI 308. Lactation Biology. http://classes aces.uiuc.edu/Ansci 308/. 13-12-20

Kirk JH, De Graves F, Tyler J. 1994. Recent Progess in Treatment and Control of Mastitis in Cattle. JAVMA 204:1152-1158.

Mendenhall W. 1987. Introduction to probability and statistics. Seventh ed. PWS Publishers. USA. Pp. 727-775.

Menzies BE, Kourteva I. 1998. Internalization of Staphylococcus aureus by Endothelial Cells Induces Apoptosis. Infection and Immunity. 66(12):5994-5998.

Mims CA. 1986. The Pathogenesis of Infectious Disease. Third Ed. Akademic Press. London

Ressang AA. 1984. Patologi Khusus Veteriner. NV Percetakan Bali. pp. 153-163.

Russo IH, Russo J. 1996. Mammary Gland Neoplasia in Long-term Rodent Studies. Eviron Health Perpect. 104:938-967.

Sandholm M, Ali-Vehmas T, Nyholm K, Honkanen-Buzalski T, Louhi M. 1991. Failure Mechanisms Lactional Therapy of Staphylococcal Mastitis. Flem. Vet. J. 62, Suppl. (1) : 171-186.

Siegmund OH. 1979. The Merck Veterinary Manual. A Hand Book of Diagnosis and Therapy for The Veterinarian. Fifth Ed. Merck and Co., Inc. Rahway, N.J., USA.

Singh I. 1991. Teks dan Atlas Histologi Manusia. Alih Bahasa : Jan Tambayong. Edisi I. Binarupa Aksara. Jakarta. 300-301.

Subronto. 1985. Ilmu Penyakit Ternak. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Todar K. 1997. Bacteriology 330 Lecture Topics : Colonization and Invasion. http://www.bact.wisc.edu/bact330/lecturecoli

Todar K. 1998. Bacteriology 330 Lecture Topics : Staphylococcus. http://www.bact.wisc.edu/bact330/lecturestaph

28

Page 29: Mastitis Maj

Vandenberg J. 2000. Laboratory Animal Science and Husbandry in Vaccine Production and Quality Control. Terjemahan Panitia Workshop Bio Farma. Bandung.

Wahyuni AETH. 1998. Peran Hemaglutinin Streptococcus agalactiae dalam Proses Adhesi pada Sel Epitel Sapi Perah. Thesis Magister Program Pascasarjana IPB.

Warsa UC. 1994. Stafilokokus. Kokus Positif Gram. Dalam Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Edisi Revisi. Binarupa Aksara. Jakarta. 103-124.

Woodford N, Watson AP, Patel S, Jevon M, Waghorn DJ, Cookson BD. 1998. Heterogeneous Location of The mupA High-Level Mupirocin Resistance Gene in Staphylococcus aureus. J.Med.Microbiol. 47:829-835.

29

Page 30: Mastitis Maj

Lampiran 1.Tabel 2. Arsitektur dan kemampuan sekresi pada kelenjar ambing mencit setelah

diinfeksi S. aureus (Hematoksilin – Eosin).

No. Lama infeksi(jam)

Kode sampel Struktur kelenjar Sekresi susu

1 Kontrol S/46/01.1 +2 +32 S/46/01.37 +3 +23 S/46/01.40 +2 +34 2 S/46/01.2 +4 +15 S/46/01.38 +4 +16 S/46/01.39 +4 +17 4 S/46/01.4 +4 +28 S/46/01.17 +4 +19 S/46/01.18 +4 +210 6 S/46/01.5 +3 +211 S/46/01.41 +4 +212 S/46/01.42 +4 +213 8 S/46/01.6 +4 +114 S/46/01.7 +3 +115 S/46/01.19 +3 016 12 S/46/01.20 +3 +117 S/46/01.21 +3 +118 S/46/01.23 +3 +119 16 S/46/01.9 +3 +120 S/46/01.10 +2 +221 S/46/01.25 +3 +222 20 S/46/01.49 +2 +323 S/46/01.50 +1 +224 S/46/01.51 +2 +225 24 S/46/01.11 +4 +126 S/46/01.12 +3 +127 S/46/01.43 +3 +128 36 S/46/01.52 +2 +229 S/46/01.54 +3 +130 S/46/01.56 +2 +131 48 S/46/01.13 +3 +132 S/46/01.14 +2 +133 S/46/01.33 +2 034 60 S/46/01.44 +2 035 S/46/01.45 +2 036 S/46/01.46 +2 037 72 S/46/01.53 +1 038 S/46/01.55 +1 039 S/46/01.57 +1 040 84 S/46/01.47 +2 +141 S/46/01.48 +1 042 S/46/01.58 +1 043 96 S/46/01.15 +1 044 S/46/01.16 +1 045 S/46/01.59 +1 0

30

Page 31: Mastitis Maj

Lampiran 2. Tabel 3. Reaksi inflamasi kelenjar ambing mencit setelah diinfeksi oleh S. aureus

(Hematoksilin-Eosin).

No. Lama infeksi(jam)

Kode sampel Deskuamasi

Degenerasi

Nekrosa Peradangan

1 Kontrol S/46/01.1 +1 0 0 02 S/46/01.37 +1 0 0 03 S/46/01.40 +1 0 0 04 2 S/46/01.2 +2 0 0 05 S/46/01.38 +3 +1 0 +16 S/46/01.39 +2 0 0 07 4 S/46/01.4 +3 +1 0 +18 S/46/01.17 +3 +1 0 +19 S/46/01.18 +3 +1 +1 +110 6 S/46/01.5 +3 +1 +1 +111 S/46/01.41 +3 +1 +1 +112 S/46/01.42 +2 +1 +1 +113 8 S/46/01.6 +1 +1 +2 +214 S/46/01.7 +1 +1 +1 +215 S/46/01.19 +2 +2 +2 +316 12 S/46/01.20 +2 +1 +2 +317 S/46/01.21 +1 +1 +2 +318 S/46/01.23 +2 +2 +2 +319 16 S/46/01.9 +1 +1 +1 +220 S/46/01.10 +2 +1 +2 +221 S/46/01.25 +1 +1 +2 +322 20 S/46/01.49 +1 +1 +1 +223 S/46/01.50 +1 +1 +1 +124 S/46/01.51 +1 +1 +1 +125 24 S/46/01.11 +2 +3 +2 +126 S/46/01.12 +1 +1 +1 +227 S/46/01.43 +1 +2 +2 +228 36 S/46/01.52 +1 +2 +1 +129 S/46/01.54 +1 +1 0 +130 S/46/01.56 +1 0 +1 +131 48 S/46/01.13 +1 0 +1 +132 S/46/01.14 0 +1 +1 +133 S/46/01.33 0 +1 0 +134 60 S/46/01.44 0 0 0 +135 S/46/01.45 0 0 0 +136 S/46/01.46 0 0 0 +137 72 S/46/01.53 0 0 0 +138 S/46/01.55 0 0 0 +139 S/46/01.57 0 0 0 +140 84 S/46/01.47 +1 0 0 +141 S/46/01.48 +1 0 0 +142 S/46/01.58 0 0 0 +143 96 S/46/01.15 +1 0 0 +144 S/46/01.16 0 0 0 +145 S/46/01.59 0 0 0 +1

31

Page 32: Mastitis Maj

32