Upload
parlindungan-siregar
View
1.022
Download
15
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Masjid Kebon Jeruk yang dibangun pada 1786 oleh seorang Kapiten Cina di Batavia merupakan potret akulturasi masyarakat Muslim. Pada bangunan masjid ini ditemukan unsur-unsur budaya jawa, Arab, dan Eropa, disampin budaya Cina. Ini membuktikan bahwa telah terjadi kerukunan antar umat Islam yang berasal dari beragam suku-suku di Indonesia pada waktu itu
Citation preview
LAPORAN HASIL PENELITIANMASJID KEBON JERUK:
POTRET AKULTURASI MASYARAKAT MUSLIM DI JAKARTA
ABAD XVIII
Oleh: Parlindungan Siregar
NIP. 19590115 199403 1002
KEMENTERIAN AGAMA RI
BADAN LITBANG DAN DIKLAT
PUSLITBANG LEKTUR DAN KHAZANAH KEAGAMANN
2010
ABSTRAK
Penelitian ini menunjukkan bahwa gaya arsitektur Cina lebh dominan pada Masjid
Kebon Jeruk. Sekalipun demikian, unsur-unsur budaya lain di luar budaya Cina tetap
ditemukan dalam komponan-komponen materialnya. Dengan demikian telah terjadi proses
corak akulturasi budaya di bangunan Masjid Kebon Jeruk.
Berbeda dengan Heuken, Lombard, dan Valenteen yang menganggap bahwa banguna
masjid di Jawa umumnya mempunyai atap tumpang yang jumlahnya ganjil, Masjid Kebon
Jeruk mempunyai atap tumpang yang jumlahnya genap (dua) yang menunjukkan bahwa atap
tumpang dua sangat dipengaruhi oleh gaya arsitektur Cina.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian analitik-deskriptik, artinya
mendeskripsikan komponen-komponen bangunan Masjid kemudian dilakukan analisis dan
penafsiran. Disamping itu digunakan analisis morfologis, analisis stilistik, dan analisis
teknologi bangunan masjid.
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penelitian yang berjudul “Masjid Kebon Jeruk: Potret
Akulturasi Budaya Masyarakat Muslim di Jakarta Abad XVIII” dapat diselesaikan dengan
sempurna. Salawat dan salam penulis sampaikan kepada junjngan Nabi Muhammadi Saw.
sebagai penerang bagi umat manusia.
Dalam penyelesaian penelitian ini penulis sangat berterimakasih kepada Kapuslitbang
Lektur Keagamaan Balitbang Kementerian Agama RI yang memberikan kesempatan dan
dana untuk meneliti salah satu masjid tertua di Jakarta dengan pendekatan arkeologi.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada pengurus Masjid Kebon Jeruk dan
jama’ah tabligh yang memberi peluang bagi penulis meneliti masjid ketika melakukan
pengumpulan data dengan cara memfoto seluruh bagian-bagian masjid hingga ke menara
paling atas. Demikian juga penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada rekan-rekan di
Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta, peserta diklat arkeologi keagamaan tahun 2009,
peneliti dn staff Puslit Lektur Keagamaan Balitbang Kementerian Agama RI, dan para
pemberi materi diklat dari UI dan UIN Jakarta. Atas bantuan mereka berupa masukan-
masukan dan saran-saran penelitian ini dapat penulis lakukan dengan baik. Semoga Allah
Swt. memberi ganjaran pahala yang setimpal kepada mereka dan memasukkan mereka
bersama penulis ke dalam surge-Nya.
Ciputat, Desember 2010
Penulis
DAFTAR ISI
ABSTRAK………...……………………………………………………………………. ii
KATA ENGANTAR…………………………………………………………………… iii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………… iv
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah……………………………………………… 1
B. Rumusan dan Pembatasan Masalah…………………………………. 6
C. Tujuan…………………………………………………………………. 7
D. Manfaat………………………………………………………………… 7
E. Tinjauan Pustaka..……………………………………………………. 8
F. Metodologi Penelitian………………………………………………… 10
G. Sistematika Penulisan………………………………………………… 13
BAB II: SEJARAH PERKEMBANGAN MASJID KEBON JERUK SEJAK
ABAD KE- 18
A. Pengertian, Bentuk, dan Fungsi Masjid……………………………. 15
B. Masjid Kuno Sejak Abad ke- 18 di Jakarat……………………….. 19
C. Corak Arkeologi Masjid Kebon Jeruk……………………………… 27
D. Asal-usul Masjid Kebon Jeruk…………………………………...…. 28
BAB III: ANALISIS MASJID KEBON JERUK
A. Tata Letak…………………………………………………………..... 35
B. Pondasi/Ruang Utama……………………………………………….. 36
C. Mimbar dan Mihrab…………………………………………………. 36
D. Serambi……………………………………………………………….. 37
E. Tempat Berwudlu’…………………………………………………… 38
F. Atap…………………………………………………………………… 38
G. Mustaka………………………………………………………………. 40
H. Menara……………………………………………………………….. 41
I. Bedug…………………………………………………………...……. 41
J. Pintu……………………………………………...…………………… 42
K. Jendela………………………………………………………...……… 43
L. Tiang………………………………...………………………………... 43
M. Ragam Hias………………………...…………………………………. 44
N. Makam……………………...…………………………………………. 47
BAB IV: MASJID KEBON JERUK SEBAGAI POTRET AKULTURASI BUDAYA
MASYARAKAT MUSLIM DI JAKARTA
A. Pengertian Akulturasi………...…………………………………….... 49
B. Corak Akulturasi Masjid Kebon Jeruk…………………………….. 50
C. Akulturasi Masyarakat Muslim Jakarta Abad ke- 18……...…….. 56
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………………… 64
B. Saran-saran………………………………...………………………... 65
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
P E N D A H U L U A N
A. Latar Belakang Masalah
Masjid Jami’ Kebon Jeruk adalah masjid pertama yang dibangun di kawasan
pinggiran Jalan Hayam Wuruk Jakarta Barat. Masjid ini dibangun tahun 1786 Masehi oleh
seorang saudagar Cina dari daerah Sin Kiang, negeri Tiongkok, ialah Chau Tsien Hwu
(Tamien Dossol Seng). Chau Tsien Hwu adalah seorang pemeluk Islam yang taat. Ia datang
ke tanah Jawa karena merasa ditindas oleh pemerintah di negaranya.1 Secara administratif,
saat ini, Masjid Jami Kebon Jeruk terletak di jalan Hayam Wuruk No. 85, Kelurahan
Tamansari, Kecamatan Tamansari, Jakarta Barat. Di sebelah barat masjid adalah Jalan
Harmoni dan Kali Ciliwung.
Dari segi arsitektur, keaslian beberapa bagian bangunan belum tersentuh perubahan.
Jadi keasliannya masih tetap dipertahankan. Meskipun demikian, proses renovasi sudah
berkali-kali dilakukan untuk menjaga kekokohan masjid. Bahkan dilakukan perluasan di
bagian timur, utara dan barat masjid untuk menampung jamaah dalam jumlah yang lebih
besar.
Saat ini mimbar baru berukuran 2 X 1,5 m. melekat dengan dinding tembok.
Sementara mimbar2 yang asli dibawa ke Museum Fatahillah sebagai benda arkeologis
bersejarah untuk dipamerkan kepada masyarakat. Mimbar kuno merupakan hadiah dari salah
seorang sultan dari Kalimantan. Bagian dinding dan tiang mimbar diukir dengan pahat,
1Tentang ini dikutip dari beberapa situs internet, di antaranya: www.eramuslim.com; www.esnips.com dll. Uka Tjandrasasmita menyebut pendiri masjid ini Tamien Dosol Seeng. Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: KPG. 2009. Hlm. 156. Beliau juga di dalam buku ini menyebut nama-nama mesjid tua lainnya di Jakarta.
2Mimbar Masjid Kebon Jeruk merupakan karya seni. Disini masih terdapat karya-karya seni lainnya seperti arsitekturat bangunan masjid, dan makam serta batu nisan di atasnya. Fungsi Seni menurut Dr. A. Aris Munandar adalah 1) dibuat untuk keperluan keagamaan, 2) sebagai penunjuk strata sosial tertentu, 3) ekspresi estetika dari para senimannya, dan 4) masa sekarang: untuk mencari nafkah.
terbuat dari kayu pilihan anti rayap yang tahun pembuatannya diperkirakan pada 1718 M.3,
hingga saat ini mimbar yang sudah berusia lebih dari dua setengah abad masih sangat kokoh
dan sama sekali tak tersentuh oleh binatang rayap.
Jika dilihat dari bentuk dan ukurannya hampir sama dengan mimbar-mimbar lain di
Kalimantan atau Pulau Jawa. Namun ia tetap memiliki ciri tersendiri, misalnya dalam ukiran
pahat dinding dan tiang-tiangnya. Penempatan jumlah kayu tegak lurus di antara ukiran-
ukiran kayu sedikit menyerupai motif kain sarung asli Kalimantan yang bergaris vertikal.
Ukiran-ukirannya tidak mengambarkan makhluk hidup; ular naga, burung, atau lainnya
seperti ukiran mimbar di Masjid Sendang Dhuwur yang di dalamnya terdapat sebuah mimbar
bermotif Kala Merga yang merupakan motif gabungan antara Batara Kala dan Merga
(kijang). Sementara, ukiran mimbar Masjid Kebon Jeruk motifnya tumbuh-tumbuhan sulur-
suluran.
Bangunan masjid Kebon Jeruk dikelilingi pagar tembok pada bagian utara dan timur.
Sedangkan sisi barat dan selatan dilengkapi pagar besi setinggi hampir 2 meter. Tembok dan
pagar besi bukanlah bangunan asli, ia hasil renovasi dan tambahan. Sementara Kubah masjid
ada dua buah. Sebuah kubah lama dan lainnya baru. Kubah lama bersegi empat yang terbuat
dari kaca dengan teralis kayu. Puncaknya berbentuk empat persegi dengan sebuah mustaka
berhiaskan bulan bintang di dalamnya dan ukiran Cina terbuat dari keramik. Ruang tengah
mesjid yang masih dipertahankan keasliannya dihiasi dengan ukiran kayu yang memiliki
motif tertentu.
Pengadopsian ragam seni arsitektur ke dalam sebuah bangunan masjid hampir terjadi
di semua masjid, masuk di dalamnya Masjid Kebon Jeruk, sebab tidak ada aturan baku
bentuk atau corak bangunan masjid yang tercantum dalam Alqur’an dan Hadis. Dengan
3Team Penulis. Petunjuk Museum Sejarah. Pemerintah DKI Jakarta Dinas Museum dan Sejarah. 1995. Hlm. 23. Buku kecil ini tidak menjelaskan tentang keberadaan dan asal-usul mimbar ini. Ia diletakkan di bagian masa Islam Jakarta
demikian kalangan masyarakat Muslim Jakarta mempunyai kebebasan untuk berkreasi dan
berekspresi membuat bangunan masjid sekalipun mengadopsi budaya di luar Islam.4
Sebagai bukti sejarah, disebelah timur halaman masjid, terdapat makam dengan batu
nisan bertuliskan Fatimah Hwu. Ia adalah istri dari Chau Tsien Hwu, pendiri masjid. Nisan
ini berbentuk kepala naga dengan tulisan huruf Cina dan di sebelah barat terdapat
penanggalan Arab bertulis angka Arab (1257 H.) dan penanggalan masehi 1792. Tahun
wafatnya fatimah. Nisan itu pula yang menjadi lambang keunikan dari masjid Jami Kebon
Jeruk. Di dinding makam terdapat ornamen makhluk hidup dan tumbuh-tumbuhan menyamai
ornamen-ornamen di bangunan-bangunan kuno seperti candi atau makam masa Hindu-
Budha.
Sekalipun sudah menjadi seorang muslim, ular dianggap sebgai sebuah simbol
kemakmuran. Banyak legenda tentang ular naga di kalagan masyarakat Muslim dan diyakini
kebenarannya. Maka tidak mengherankan jika batu nisan makam Fatimah kerkepala ular
naga.
Menempatkan makam dekat masjid sudah merupakan tradisi masyarakat Muslim
Jakarta, terutama dari kalangan keluarga terpandang. Banyak masjid kuno/tua di Jakarta di
bagian barat atau timurnya terdapat makam. Ini mungkin sebuah indikasi bahwa keluarga
Fatima pendiri masjid mengadopsi corak pamakaman di Jakarta.
Jika dianalisis secara mendalam, dibangunnya Masjid Kebon Jeruk tidak dapat
dilepaskan dari kondisi masyarakat Muslim Jakarta. Setelah berhasil mengusir Portugis dari
Sunda Kelapa, masyarakat muslim Sunda Kelapa dikomandoi oleh Falatehan mengganti
nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Kemudian VOC, pada abad ke- 17, mengubahnya
menjadi Batavia. Sejak melepaskan diri dari kolonial, namanya menjadi Jakarta.
4Uka Tjandrasasmita. “Masjid-Masjid Di Indonesia”. Dalam Nafas Islam Kebudayaan Indonesia. Festifal Istiqlal, 1991. Hlm. 48-79
Berabad-abad lamanya Jakarta menjadi tempat subur bagi kebudayaan India. Pada
tahun 1527 Jakarta memasuki era baru dengan masuknya kebudayaan Islam, berikutnya
masuk kebudayaan Cina, Eropa, Arab, dan suku-suku lain di Indonesia. Suku-suku di Jakarta
ini hidup dalam perkampungan tersendiri dan mempertahankan budaya asli mereka, misalnya
orang Bali tinggal di kampung Bali, orang Makasar dan Bugis membangun rumah-rumah
adat di Jakarta di kampung mereka.5
Pada abad ke- 17 mulai tumbuh budaya Betawi sebagai manifestasi menyatunya
budaya suku-suku di atas. Sangat mungkin bangunan Masjid Kebon Jeruk beserta ornamen-
ornamen di dalamnya dapat membuktikan hal ini. Berbagai faktor bisa menjelaskan mengapa
akulturasi terjadi dalam masyarakat muslim Jakarta, di antaranya sebagian besar suku-suku,
misalnya orang Bali di Jakarta masuk Islam, mereka membawa tradisinya ke dalam Islam.
Faktor lain yang sangat mungkin adalah agar masyarakat Muslim mau membaur dengan
masyarakat Muslim Cina di Kebon Jeruk.
Interaksi antar suku dan budaya yang melahirkan suku baru Betawi tidak terbatas
setelah mereka masuk Islam. Namun, banyak serdadu dalam tentara VOC adalah orang
Bugis, Bali, dan Ambon yang tinggal di Jakarta yang beriteraksi yang berdampak terjadinya
akulturasi budaya. Disamping itu, semakin memudarnya hidup berkelompok dan bertetangga
antar masyarakat berdasar suku-suku di Jakarta terjadi pada masa Deandels, karena dia
menghapus sistem kontrol “like over like” yakni suku dikepalai oleh orang asli dari suku itu.6
Banyak faktor lain yang menyebabkan penduduk nusantara di Jakarta menjadi satu,
misalnya faktor agama, khususnya agama Islam, bermacam-macamnya ritual, dan adat
5Gouw Giok Siong menyatakan bahwa dari segi budaya penduduk Batavia terbagi dalam tiga kelompok yaitu : orang Eropa, orang Asia (Cina, Arab, dan India) dan orang Indonesia, dari segi hukum setiap kelompok harus memakai pakaian identitas dan bahasa mereka, dan harus menghormati orang Eropa yang merupakan kelas utama, dan orang Eropa saja yang boleh menggunakan Bahasa Belanda. (Gouw Giok Siong. Segi-segi Peraturan Perkawinan Tjampuran. Jakarta: Jambatan, 1969. Hlm. 7 – 8)
6Hasan Muarif Ambary dan Parlindungan Siregar. “Sejarah Perkembangan Kota Jakarta Sejak Awal Berdirinya Hingga Abad XIX Masehi”. Laporan Penelitian Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta, 2005. Hlm. 52
istidat. Mayoritas orang Indonesia di Jakarta adalah senasib menghadapi persoalan dan
kesulitan yang sama, yaitu diskriminasi penjajah, kondisi sosial ekonomi yang paling rendah.
Hal ini juga merupakan faktor yang dominan bersatunya masyarakat jakarta.
Sekalipun terjadi arus urbanisasi ke Jakarta, penduduknya belum mencapai 50.000
orang, baru pada paruh kedua abad ke- 18 penduduk mencapai angka ini.7 Hampir
separuhnya adalah budak. Orang Cina berkisar 6000 orang. Pada saat ini penduduk masih
terpusat di Jakarta Kota8 (Jakarta sebelah barat tempat dibangunnya Masjid Jami’ Kebon
Jeruk).
Keberadaan Cina Muslim di Glodok tak terlepas dari kondisi setelah terjadinya
pembunuhan massal terhadap Cina tahun 1740 M. yang menyebabkan banyak orang Cina
Masuk Islam. Jumlah peranakan Cina yang masuk agama Islam meningkat. Mereka masuk ke
Jakarta sebagai Muslim karena orang Islam tidak dilarang berdagang di kota Jakarta. Mereka
hidup dalam komunitas Islam mulai tahun 1776. Pada sekitar tahun 1780 peranakan Cina
Islam tinggal di luar Glodok bagian timur, di Kebon Jeruk. Toko-toko mereka tersebar di
Tanah Abang, Pasar Senin, dan Pasar Baru. Dari saat inipun sudah mulai tampak akulturasi
budaya masyarakat Muslim.
Cina Muslim yang berada di Glodok dan Kebon Jeruk bukan hanya pintar berdagang,
mereka juga berprofesi sebagai petani, dan bahkan sebagai tukang. Jika demikian sangat
mungkin bahwa bentuk arsitektur Masjid Kebon Jeruk dikerjakan oleh orang-orang Cina
Muslim bersama penduduk Betawi lainnya. Sejauhmana keakuratan pernyataan ini perlu
pembuktian yang bersifat arkeologis. Jika benar maka hal ini adalah bagian dari akulturasi
budaya.
7Melihat angka ini Jakarta masih seperti sebuah kecamatan pinggiran saat ini. 8Alwi Shahab. Rabinhood dari Betawi. Jakarta:Republika, 2002. Hlm. 25. Buku ini merupakan
kumpulan karangan yang dimuat dalam harian Republika setia hari Minggu yang khusus membahas Jakarta tempo dulu.
Potret terbentuknya akulturasi budaya dapat dilihat dari berbagai perspektif, di
antaranya perspektif arkeologis (benda-benda yang digunakan masyarakat). Arsitektur
bangunan, artefak, gaya hidup, pendidikan, efigraf, dan ekofak di lingkungan masyarakat
Jakarta secara arkeologis membuktikan pandangan ini, maka arsitektur masjid Kebon Jeruk9
yang bergaya campuran dengan dominasi arsitektur Cina menunjukkan bahwa masyarakat
muslim di Jakarta pada abad kedelapan belas mengalami akulturasi budaya.
Benda-benda kuno yang merupakan bagian dari masjid harus diteliti keaslian dan
motif-motifnya untuk menemukan kebenaran dibalik pembuatan benda dimaksud dan untuk
diketahui apakah ia keberlanjutan akulturasi budaya yang sudah berlangsung sebelumnya
serta berdasar kearifan local (local genuine).
Berangkat dari kekunoan arsitektur Masjid Kebon Jeruk serta corak bangunannya
sangat mungkin ia dibangun atas kearifan lokal dan untuk mewujudkan kerukunan umat
Islam di Jakarta. Sejauhmana kebenaran asumsi ini perlu dilakukan penelitian yang lebih
komprehensif.
B. Rumusan dan Pembatasan Masalah
Untuk melakukan penelitian ini perlu diajukan suatu pertanyaan sebagai rumusan
masalah yaitu, “Bagaimana Keberadaan Masjid Kebon Jeruk sebagai potret akulturasi budaya
masyarakat Muslim di Jakarta pada abad XVIII”.
Mengingat luasnya kajian yang mungkin dilakukan terhadap Masyarakat Jakarta abad
ke XVIII, penelitian dibatasi hanya pada beberapa aspek kajian saja yang meliputi:
9Masjid ini digolongkan sebagai bangunan Benda Cagar Budaya (BCB) yang dilindungi kelesatariannya berdasarkan 1) UU No. 5 dan PP No. 10 tentang Benda Cagar Budaya. 2) SK Gubernur No. Cb/11/1/12/72 Tanggal 10 Januari 1972, Lembaran Daerah ….. / 1972. Di papan pengumuman di depan mesjid disebutkan: 1. Gedung ini dilindungi Undang-Undang Monumen STBL 193.. Nomor 230. 2. Segala tindakan berupa tindakan berupa pembongkaran, perubahan, perubahan, pemindahan di atas bangunan-bangunan ini hanya dapat dilakukan seizing Gubernur Kepala Daerah. 3. Setiap pelanggaran akan dituntut sesuai Undang-Undang yang berlaku. Tanah masjid bersertifikat No. : m710 Tanggal 30-12-1991; AIW/PPAW: K3/MJ.5/111/14/1991 Tanggal 27-05-1991; Luas Tanah 2220 M2; wakif: Hj. Aiasah ; Nazir KH H. Zulfakar
1. Bagaimana Perkembangan Masjid-masjid kuno di Jakarta dan Masjid Kebon
Jeruk sejak didirikan hingga saat ini.
2. Sejauhmana kekunoan ragam hias dalam komplek Masjid Kebon Jeruk dan corak
arsitekturnya.
3. Analisis dan interpratasi Masjid Kebon Jeruk sebagai potret akulturasi masyarakat
Muslim Jakarta abad XVIII.
4. Bagaimana akulturasi budaya masyarakat Muslim di Jakarta hingga abad XVIII
terhadap kerukunan masyarakat Muslim Jakarta.
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui corak ragam hias di Masjid Kebon Jeruk dan seni arsitektur
bangunannya.
2. Menambah khazanah pengetahuan tentang peranan Masjid dalam meningkatkan
kesadaran berkerukunan interen umat Islam.
3. Untuk mengetahui bahwa akulturasi budaya masyarakat Muslim Jakarta sudah
berlangsung dalam kurun waktu yang sangat lama.
4. Agar Masyarakat Muslim kini dan mendatang yang bermukim di Jakarta tetap
memlihara warisan budaya masyarakat Muslim masa lalu
D. Manfaat
1. Meningkatnya kesadaran Masyarakat Muslim Jakarta bahwa kerukunan umat
beragama dapat dilakukan melalui berbagai upaya di antara mengadopsi budaya
masyarakat atau akulturasi budaya.
2. Penelitian terhadap bangunan suci keagamaan misalnya terhadap Masjid Jami
Kebon Jeruk sangat berguna agar generasi sekarang semakin mendekatkan diri ke
Masjid
3. Masjid-masjid Kuno di Jakarta dibangun di atas kearifan local, maka manfaat yang
dapat diambil dari penelitin ini adalah bahwa membangun masjid tidak semata-matan
berorientasi timur tengah dengan ciri kubahnya yang setengah bundaran, tapi dapat
mengadopsi budaya setempat.
E. Tinjauan Pustaka
1. Hasan Muarif Ambari dan Parlindungan Siregar. Sejarah Islam Jakarta Abad XVI-
XIX. Penelitian Fakultas Adab UIN Jakarta. Penelitian ini mengkaji perkembangan
Islam di Jakarta sejak awal kedatangannya hingga abad kesembilan belas. Penelitian
setebal dua ratus lima puluh halaman ini menggunakan pendekatan sejarah sosial,
sekalipun demikian bukan berarti pendekatan-pendekatan kesejarahan lainnya sama
sekali ditinggal. Sebab ilmu sejarah tidak akan lengkap jika tidak didukung disiplin
ilmu lainnya, sebut saja arkeologi. Penelitian ini menelaah bagaimana bermacam-
macam etnis memasuki kota Jakarta sebelum dan sesudah abad kedelapan belas. Pada
akhirnya melahirkan sebuah suku yang disebut Betawi. Proses berfusinya suku
betawi ini diawali akulturasi budaya. Sekalipun demikian, oleh karena proses imigrasi
terus berlangsung memasuki Jakarta ciri-ciri kesukuan ini masih tampak. Akan tetapi
Islam telah mempersatukan mereka menghadapi kaum kolonial.
Mulai dari halaman empat puluh sampai halaman empat puluh lima dibahas secara
khusus sepak terjang dan keberadaan orang Cina di Batavia.
2. Uka Tjandrasasmita. “Sejarah Jakarta Ditinjau dari Perspektif Arkeologi”. Dalam
Arkeologi Islam Nusantara. Buku Kenang-kenangan 80 tahun Uka Tjandrasasmita
yang diterbitkan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta, 2009. Tulisan ini
mengkaji masa Prasejarah Jakartadengan menggunakan bukti-bukti arkeologis, masa
Hindu-Budha, masa Islam (Jayakarta), masa kolonial, dan masa keerdeaan.
Penjelasan tentang masa kolonial dimulai dari VOC yang mengganti nama Jayakarta
menjadi Batavia. Disini Uka menyebutkan ada 132 bangunan yang masuk dala BCB
di Jakara. Beliau menunjukkan buku-buku F. de Haan dalam Oud Batavia (1922, 3
jild), A. Heuken dalam Historical Sites Of Jakarta (1982), dan J.R. van Diessen
dalam Jakarta/Batavia (1989) dan lain-lain yang membahas bangunan-bangunan
bersejarah di Jakarta. Di bagian lain Uka mengatakan,: “Meskipun selama VOC
sampai Hindia-Belanda banyak banguna ala Indies berupa greja yang didirikan, pada
masa tersebut juga banyak pengiggalan Islam yang didirikan oleh masyarakat
Muslim, terutama Masjid. Di antara masjid-masjid tersebut adalah: Masjid Tambora
(1761), didirikan oleh Haji Mustoyib Ki Daeng; Masjid al-Mansur (abad ke- 18);
Masjid Angke (1761); Masjid Bandengan (1749); Langgar Tinggi (1740); Masjid al-
Anshor (1848); Masjid Marunda (abad ke- 17s.d ke- 18)); Masjid Kebon Jeruk
(1785/1786), didirikan Tamien Dosol Seeng, seorang keturunan Cina-Muslim.10
3. Alwi Shahab. Rabinhood dari Betawi. Jakarta:Republika, 2002. Buku ini merupakan
kumpulan tulisan beliau di Harian Rupublik setiap hari minggu. Tentang Masjid Jami
Kebon ia sebutkan bahwa ini merupakan masjid peninggalan sejarah. Kini, masjid
yang berdiri tahun 1786 ini oleh Dinas Kebudayaan dan Permusiuman dilestarikan
sebagai salah satu cagar budaya. Pendirinya adalah Tuan Tschoa yang mengepalai
Muslim Cina di Batavia antara 1780 - 1797. Di masjd tua yang telah diperluas ini kita
masih dapat menemukan beberapa unsur asli, yang telah berusia lebih 200 tahun.
10Uka Tjandrasasmita. “Sejarah Jakarta Ditinjau dari Perspektif Arkeologi”. Dalam Arkeologi Islam Nusantara. Buku Kenang-kenangan 80 tahun Uka Tjandrasasmita yang diterbitkan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta, 2009. Hlm. 145
Sebut misalnya empat tiang bersegi empat yang menopang atap yang indah dan
jendela ukir di atas pintu-pintu tua.
Kendati masjid telah diperluas, tapi unsur asli ini tetap dilestarikan. Ketika terjadi
kerusahan dan pembantaian orang Cina yang diperkirakan menewaskan lima ribu
hingga 10 ribu orang warga Cina (September 1740), banyak keturunan Cina yang
masuk Islam. Mereka menyelamatkan diri dari penganiayaan. Akibatnya, penguasa
kolonial Belanda menjadi tidak senang dan mengambil langkah-langkah untuk
menyetop warga Tionghoa menjadi Muslim. Alasan Belanda melarang orang Cina
masuk Islam karena dianggap sangat merugikan pemerintah kolonial. Karena
mengurangi jumlah penduduk yang tidak terkena pajak (pribumi tidak dikenai pajak).
Di samping masuknya ke dalam Islam mempermudah pembauran antara mereka
dengan pribumi.11
F. Metododologi Penelitian
Penelitian terhadap Masjid Jami’ Kebon Jeruk sebagai potret akulturasi budaya
masyarakat Muslim di Jakarta bersifat penelitian kualitatif yang harus dilakukan secara
holistik dan bersifat deskriptik analitik dengan data artefaktual, yaitu bangunan Masjid Kebon
Jeruk beserta ragam-ragam hias yang melekat di dalamnya. Di komplek bangunan Masjid
Kebon Jeruk terdapat data tekstual di batu nisan makam Fatimah Hwu berupa inskripsi.
Pendekatan deskriptik analitik digunakan untuk menggambarkan data-data arkeologis serta
mencari bagaimana hubungan antar variabelnya. Langkah-langkah yang ditempuh adalah
pengumpulan data melalui observasi lapangan dan studi kepustakaan serta analisis data.
1. Pengumpulan Data
Pada dasarnya data-data baik primer maupun sekunder didapatkan melalui
pengumpulan data perpustakaan serta data lapangan.
11http://www.republika.co.id / . Didownload pada jam 04.45, 28 November 2009. Lihat juga Republika. 19 Maret 2004.
1.1 Data Perpustakaan:
Data perpustakaan sangat dibutuhkan dalam penelitian ini baik yang bersifat primer atau
sekunder. Data primer berupa tulisan, gambar, foto, peta lokasi, dan manuskrip.
Sementara data-data sekunder adalah tulisan-tulisan berupa buku-buku, majalah, surat
kabar-surat kabar yang terbit masa itu atau saat ini yang mengkaji atau menelaah Masjid
Kebon Jeruk atau bangunan-bangunan tua di Jakarta. Data-data ini didapatkan di
berbagai perpustakaan di Jakarta.
1.2 Data Lapangan:
Data lapangan diperoleh melalui penjajagan dan survei. Data Lapangan berupa Masjid
Kuno yang masih berdiri kokoh. Masjid Jami Kebon Jeruk telah mengalami beberapa
kali perbaikan dan penambahan. Namun bentuk bangunan dan bahan bangunan asli
beserta material yang melekat dengannya masih dipertahankan keasliannya dan berada di
posisi tengah bangunan masjid. Di bagian timur terdapat pula makam kuno beserta
ragam ornamennya yang merupakan bagian dari masjid ini,12 sedang data material
setidaknya kini berada di dua tempat; di lokasi masjid berada saat ini dan di Museum
Fatahillah Jakarta Kota.
Data lapangan bisa diperoleh melalui waancara. Peneliti akan mewawancarai pengurus
Masjid Kebon Jeruk untuk mendapatkan data-data yang lebih banyak. Misalnya
berkaitan dengan keberadaan benda-benda masjid yang sudah kuno.
2. Metode Analisis Data
Data-data terkumpul, baik tertulis maupun dalam bentuk material diklasifikasikan dan
dianalisis dengan pendekatan arkeologis, ditelaah, dan akhirnya diinterpretasikan. Teknik
analisis bangunan suci keagamaan dan artefak-artefak yang melekat di dalamnya dilakukan
dengan langkah-langkah berikut ini:
12PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN ARKEOLOGI NASIONAL. Metode Penelitian Arkeologi. Jakarta:Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Cet. II, 2008. Hlm. 21-22
2.1 Analisis Morfologi:
Menganalisis bentuk, variabel-variabel yang diamati, yakni ukuran bangunan, denah
bangunan, arah hadap, bagian fondasi, tubuh, atap, dan ragam hias yang merupakan
bagian-bagian mesjid yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Bangunan masjid sudah sangat
jelas menghadap ke qiblat (arah barat). Dianalisis juga dinding, pintu, jendela, ventilasi,
tiang, atap bangunan, mustaka kubah bangunan dengan segala bentuk dan ukurannya.
2.2 Analisis terhadap teknologi bangunan Masjid:
Menganalisis bahan-bahan bangunan berupa bata, dan batu. Menganalisis terbuat dari
apakah atap Masjid Kebon Jeruk ; c) analisis gaya; dan d) analisis kontekstual.13
2.3 Analisis Stilistik
Analisis stilistik berkaitan dengan variable-variabel berupa ragam hias yang menghiasi
dinding, jendela, pintu, dan lain-lain. Biasanya ragam hias semacam ini mendapat dari
pengaruh ari Eropa, Cina, atau Timur Tengah.
Masjid Kebon Jeruk tidak bisa dipisahkan dari makam di bagian timurnya. Makam
inipun dianalisis dari aspek morfologi, teknologi, stilistik, dan kontekstualnya.
Berangkat dari ketiga analisis di atas, maka akan dicari bagian-bagian mana saja dari
Masjid Kebon Jeruk yang merupakan wujud akulturasi budaya masyarakat Muslim.
3. Kerangka Teoritis
Masjid bukanlah sebuah bangunan berupa material-material mati yang berdiri tepisah dari
lingkungannya. Justru ia adalah bagian integral dari masyarakat muslim. Sejak pertama
kali menginjakkan kakinya di Madinah yang pertama Nabi Muhammad lakukan adalah
membangun masjid. Beliau memandang bahwa masjid tidak semata-mata berfungsi
sebagai tempat mendekatkan diri kepada Tuhan dengan beribadah secara vertikal, tapi
masjid secara horizontal merupakan sebuah sarana dan prasarana interaksi sosial. Maka
13PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN ARKEOLOGI NASIONAL. Metode Penelitian …. Hlm. 89-92
sangat wajar jika untuk mengakrabkan jama’ah dengan masjidnya arsitektur masjid
didominasi kultur masyarakat yang membangunnya.
Masjid Kebon Jeruk adalah salah satu contoh bangunan yang seni arsitekturnya
didominasi oleh kultur masyarakat setempat yang sudah mengalami akulturasi budaya
saat masjid ini dibangun. Pembuktian asumsi di atas menuntut berbagai langkah yang
harus ditempuh, mulai dari 1) observasi, 2) deskripsi, dan 3) eksplanasi.
Ketiga kegiatan tersebut dibarengi dengan kegiatan analisis, artinya analisis di tingkat
observasi, deskripsi, dan eksplanasi. Pendekatan De Saussure yang kemudian
dikembangkan Roland Barthes (1915 – 1950) dan mempengaruhi pemikiran Foucault
sangat mungkin digunakan dalam menganalisis benda-benda dengan sebutannya sebagai
analisis semiotis. Masing-masing kegiatan tetap mengacu pada menjawab pertanyaan-
pertanyan penelitian di sekitar apa, kapan, dimana, mengapa, dan bagaimana yang sasaran
akhirnya adalah sebuah rekonstruksi kebudayaan. Istilah rekonstruksi mula-mula
dikemukakan oleh Foucault dalam L’archeoloie du savoir (arkeologi pengetahuan). Dia
menyebutkan bahwa arkeologi sebagai ilmu monumen bisu, jejak lembam, dan benda
yang ditinggalkan masa silam berkecenderungan sejarah dan hanya berarti bila
merekonstruksi suatu wacana historis.14
G. Sistematika Panulisan
Data-data yang terkumpul dianalisis latar belakang masalah, rumusan dan pembatasan
masalah, tujuan, manfaat, tinjauan pustaka, dan metodologi peneliatian.
Kemudian dalam bab II akan dibahas tentang sejarah perkembangan Masjid Kebon
Jeruk. Bab III Analisis terhadap kekunoan dan corak arsitektur Masjid Kebon Jeruk. Dalam
bab IV merupakan analisis dan interpretasi terhadap Masjid Kebon Jeruk sebagai potret
akulturasi masyarakat Muslim di Jakarta. Kemudian bab V adalah kesimpulan.
14Michel Foucault. L’archeoloie du savoir. Paris:Gallimard, 1969. H. 14 – 15. Baca juga Mohammad Arkoun Nalar Islami dan Nalar Modern:Berbagai Tantangan Dan Jalan Baru. Jakarta:INIS, 1994. Hlm.22 - 23
BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN MASJID KEBON JERUK
SEJAK ABAD KE- 18
A. Pengertian, Bentuk, dan Fungsi Masjid
1. Pengertian
Perkataan “masjid” berasal dari bahasa Arab yang akar katanya sajada,15 yaitu
ج�ـدا م�س� ـ ساجدا ـ سجودا ـ سجدا ـ يسجد ـ yang سجد arti kata
sebenarnya adalah tempat sujud, tempat orang sujud atau shalat sesuai dengan sunnah. Islam
mengajarkan bahwa setiap jengkal bumi Allah ini adalah masjid, sebab Allah yang disembah
ada dimana saja tak harus pada suatu tempat tertentu untuk menyembahnya.16
Dalam prakteknya, untuk shalat selalu disiapkan tempat tertentu yang disebut masjid.
Masjid berarti suatu bangunan tempat orang Islam menjalankan ibadah shalat baik secara
berjamaah maupun sendirian (munfarid) serta kegiatan lain yang berhubungan dengan ajaran
Islam. Masjid adalah sebuah bangunan yang berdiri di atas tanah yang sudah diberi batas-
batas tertentu. Di Indonesia pengertian masjid lebih dikhususkan lagi yakni jika ia dapat
digunakan untuk shalat Jum’at dan ber’itikaf,17 untuk dapat melakukan shalat Jum’at,
menurut madzhab Syafi’i minimal empat puluh orang jama’ah, sedang jika tidak maka
namanya adalah mushalla, langgar, atau surau.18
15 ?Masjid berasal dari kata sajada yang artinya tempat sujud. Secara teknis sujud (sujudun) adalah meletakkan kening ke tanah. Secara maknawi, jika kepada Tuhan sujud mengandung arti menyembah, jika kepada selain Tuhan, sujud mengandung arti hormat kepada sesuatu yang dipandang besar atau agung. http://www.mail-archive.com / , download 29 Sept 201016 ? Soekmono, R. 1981. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3.Jakarta:Kanisius. Hlm. 75; lihat juga Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Kedua. Balai Pustaka. Hlm. 634
17I’tikaf adalah diam beberapa waktu di masjid sebagai suatu ibadah dengan syarat tertentu (sambil menjauhkan pikiran dari kedunian untuk mendekatkan diri kepada Allah. Biasanya umat Islam melakukan ibadah ‘Itikaf sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan sambil menunggu kedatangan malam lailatur qadr.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia… Hlm. 369. Pada umumnya umat Islam mengadakan I’tikaf di sepuluh terakhir bulan Ramadlah yang tujuannya untuk mendapatkan lailatul qadr.
18 Soekmono, R. 1981. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3… Hlm. 75
Disebutkan bahwa masjid sebagai tempat sujud, pengertian sujud adalah kepatuhan,
ketundukan, ketaatan kepada Allah secara khusyu’ dan khidmat. Sebaliknya, menolak taat
dan patuh kepasa selain-Nya. Jika demikian, maka benar bahwa semua bumi Allah di adalah
untuk sujud dan dapat dijadikan sebagai masjid dalam arti fisik atau bangunan material.
2. Bentuk
Umumnya, masjid, mushalla, surau, atau langgar bentuk dan susunannya sama yakni,
berbetuk bujur sangkar ditambah sebuah serambi di depannya. Di ruang bujuar sangkar inilah
dilaksanakan shalat. Ia mempunyai atap tersendiri yang ditopang empat buah tiang utama.
Tiang utama ini disebut “soko guru”. Di Masjid Demak, Jawa Tengah, bahkan “soko
guru”nya yang awalnya berasal dari kayu tatal diberinama para wali.
Umumnya masjid menghadap ke timur, sedang bagian belakangnya adalah bagian
dimana mihrab berada atau di sisi barat setiap masjid terdapat sebuah ceruk yang disebut
mihrab tempat imam mengimami jamaah dalam shalat berjamaah yang arahnya ke kiblat. Di
sebelah kanan mihrab terdapat mimbar untuk tempat menyampaikan khutbah khususnya pada
waktu shalat Jumat.
Masjid di zaman Madya Indonesia memiliki ciri-cirinya tersendiri. Bisa terjadi
demikian, sebab baik di dalam Al-Qur’an maupun hadis nabi tidak ditemukan perintah untuk
membangun masjid dengan bentuk atau format arsitektur tertentu. Umat Islam Indonesia
memiliki kreasi tersendiri seni arsitektur masjid. Atap masjid di zaman in yaitu atap yang
melingkupi ruang bujur sangkar. Kubah sebagai atap mesjid merupakan seni bangunan berciri
Islam pada umumnya tidak terdapat di Indonesia pada masa ini di Pulau Jawa. Masjid di
Pulau Jawa adalah “Atap Tumpangan”19 yaitu atap yang bersusun semakin ke atas semakin
kecil sedangkan tingkatan yang paling atas berbentuk limas.20 Jumlah tingkatan selalu ganjil 19Lihat lampiran 1, atap tumpangan bandingkan tumpangan atap Masjid Agung Banten 5, sementara
tumpangan atap masjid Agung Demak 3. Bandingkan pula atap tumpangan masjid-masjid kuno di Jakarta di abad ke- 18.
20Bentuk merunjung ke atas (tt bentuk atap bangunan), seperti bentuk piramida: benda yang alasnya berbentuk segitiga (segi empat dsb.) dan bidang sisinya berbentuk segitiga dengan titik puncak yang berimpit.
(gasal), biasanya tiga dan juga lima seperti pada Masjid Agung Banten dan Masjid Agung
Demak. Sesekali ada yang tumpangnya dua tapi yang demikian itu dinamakan tumpang satu,
jadi anka gasal pula. Sampai saat ini atap tumpangan masih sering dijumpai terutama di Bali.
Namanya “Meru”. Pada relief-relief candi-candi jawa juga atap tumpang. Bangunan Islam
tentulah menggunakan seni bangunan yang sudah ada lebih dulu.21
Biasanya di puncak atap mesjid atau suarau masih diberi lagi sebuah kemuncak dari
tanah bakar (semacam keramik) atau benda lainya yang seakan-akan lebih memberi tekanan
akan keruncingannya. Penutup puncak atap itu dinamakan mustaka.22Mustaka dibentuk
dalam berbagai cara dan pola ditambah dengan ornament, sehingga tidak ada yang seragam.
Sekalipun demikian ia berbentuk vertikal.23
Menara-menara masjid kuno di Indonesia pada umumnya tidak ada. Menara Masjid
Agung Demak, Masjid Agung Banten, bahkan Masjid Kudus awalnya bukanlah bagian
masjid sebab dibangun jauh sesudah dan sebelum masjid dibangun. Fungsi menara adalah
tempat mengumandangkan suara azan menandai waktu shalat. Waktu itu yang igunakan
adalah bedug. Jadi pada dasarnya azan dan bedung berfungsi menandai masuknya waktu
shalat. Sebagian masjid saat ini menggunakan keduanya sekaligus untuk menandai masuknya
waktu shalat.
Di zaman kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, tata ruang kotanya masih sangat
sederhana. Namun, tata letak Istana, Alun-alun, dan Masjid selalu berdampingan. Letak
masjid sangat dekat dengan istana. Ketika seorang raja keluar istanya, maka lebih dulu ia
menginjak alun-alun lantas kea rah baratnya lagi aka nada masjid. Tata letak semacam ini
pastilah mengan filosofi tersendiri.
Limasan berarti berbentuk limas. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta:Balai Pustaka. Hlm.672
21Soekmono, R. 1981. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3… Hlm. 76 22Soekmono, R. 1981. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3… Hlm. 76 23Idealisasi tempat yang tingi itu yang baik adalah bukti aspek-aspek kehidupan masyarakat dalam
mengatur desain bangunan, arsitektr keagamaan.
Biasa juga masjid berada di pemakaman raja-raja atau para wali. Tempatnya pun
harus berada di bagian yang sacral dari tempat pemakaman ini. Penggabungan makam
dengan masjid tidak saja terdapat pada tempat-tempat suci tetapi juga ditemukan di ibukota-
ibukota kerajaan.24
Di area masjid-makam akan didapatkan makam-makam yang dibuatkan rumahnya
sendiri yang disebut cungkup atau kubba. Ada juga gapura-gapura di gugusan masjid-
makam dalam bentuk candi bentar atau kori agung (beratap dan berpintu). Kori agung
biasanya ditempatkan di bagian-bagian tersuci dari komplek masjid-makam. Jelaslah bahwa
bangunan semacam ini sudah memasukkan unsure local atau kelanjutan seni bangunan zaman
purba yang memang tidak secara qath’I (mutlak) dilarang dalam Islam. Masjid-masjid kuno
yang dibangun di zaman madya sudah mengalami perubahan dan perbaikan yang kaang-
kadang tidak terlihat lagi keaslianya atau ahkan sudah mendapat pengaruh seni bangun Timur
Tengah dengan misalnya membuat kubah.
3. Fungsi
Fungsi masjid sangatlah jelas sebagai tempat mengadakan hubungan dengan Allah
(hablun minallah) dan (hablun minannasi). Atau dengan kata lain sebagai pusat ibadah
mahdlah, khususnya shalat lima waktu dan pusat pengembangan muamalah, yakni urusan-
urusan keduniaan. 25
Fungsinya sebagai pusat ibadah mahdlah dan muamalah pada prinsipnya tidak bisa
dipisah-pisah. Yang disebut ibadah mahdlah adalah semua ibadah yang wajib dilaksanakan
seorang mukallaf ; shalat, puasa, zakat, dan haji yang tatacaranya sudah diatur dan ditetapkan
oleh Allah dan Rasul-Nya. Semua ibada-ibadah ini tampaknya tak bisa dipisahkan dari
24Soekmono, R. 1981. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3… Hlm. 78
25Wiryoprawiro, M. Zein. 1985. Perkembangan Arsitektur Masjid di Jawa Timur. Surabaya:Bina Ilmu. Hlm. 155
usrusan keduniaan dan social/budaya. Dengan berzakat seseorang dapat melakukan hubungan
social/budaya dengan sesame manusia.
Masjid peran strategis untuk kemajuan peradaban ummat Islam. Sejarah telah
membuktikan multi fungsi pe2ranan masjid tersebut. Masjid juga sebagai pusat pendidikan,
pengajian keagamaan, pendidikan militer dan fungsi-fungsi sosial-ekonomi lainnya.
Rasulullah Muhammad SAW memfungsikan masjid dalam membina dan
mengurusi seluruh kepentingan umat, baik di bidang ekonomi, politik, sosial , pendidikan,
militer, dan lain sebagainya. Sejarah juga mencatat, bahwa masjid Nabawi difungsikan oleh
Rasulullah SAW sebagai (1) pusat ibadah, (2) pusat pendidikan dan pengajaran, (3) pusat
penyelesaian problematika umat dalam aspek hukum (peradilan) (4). pusat pemberdayaan
ekonomi umat melalui Baitul Mal (5) pusat informasi Islam, (6) bahkan pernah sebagai pusat
pelatihan militer dan urusan-urusan pemerintahan Rasulullah. Masih banyak fungsi masjid
yang lain. Singkatnya, pada zaman Rasulullah, masjid dijadikan sebagai pusat peradaban
Islam.26
B. Masjid Kuno Sejak Abad ke- 18 di Jakarta
Pada abad kedelapan belas penduduk Jakarta baru sekitar lima puluh ribu orang,
sebagian besar beragama Islam. Oleh karena Islam menyuruh pemeluknya untuk menyembah
Allah, maka suatu keharusan bagi mereka untuk membangun rumah ibadah yang di dalam
budaya Islam sering disebut mushala, langgar, surau atau masjid. Masing-masing memiliki
makna kata dan fungsinya; secara harfiah masjid berarti tempat sembahyang atau tempat
26http://www.pesantrenvirtual.com , download, 29 September 2010. Rasulullah membangun pertama kali Masjid Quba’ saat melakukan Hijrah ke Madinah sebelum beliau membangun masjid di Madinah. Masjid yang beliau bangun terbuat dari pohon kurma dan batu-batuan yang terdapat di sekitar Madinah. Di masjid Madinah Rasul menyampaikan pesan-pesan keagamaan kepada penduduk Madinah. Dengan demikian masjid yang dibangun Rasul menjadi pusat informasi dan pusat pembinaan umat Islam dan pusat menyusun strategi peperangan untuk melawan orang-orang kafir dan musyriq yang sangat tidak menginginkan berkembangnya Islam.
sujud, sementara fungsinya selain sebagai tempat sembahyang (fungsi keagaman) juga
dijadikan sebagai tempat membina masyarakat Islam (fungsi sosial).27
Demikianlah umat Islam, pada abad kedelapan belas telah mendirikan beberapa
masjid untuk kepentingan shalat mereka, baik untuk shalat infirad maupun shalat jama’ah
juga untuk membina umat. Masjid-masjid yang dibangun serta berdiri pada abad ke- 18 di
Jakarta adalah:
1 Masjid al-Mansur, 1717
2 Masjid Luar Batang, 1736
3 Masjid Kampung Baru, Bandengan Selatan, 1748
4 Masjid An-Nawier, Pekojan, 1760
5 Masjid Angke, 1761
6 Masjid Tambora, 1761
7 Masjid Krukut, 1785
8 Masjid Kebon Jeruk, 1786
9 Masjid Al-Mukarraomah, Jalan Lodan 1789.28
1. Masjid al-Mansur
Masjid al-Mansur terletak di Jalan Sawah Lio II, Jembatan Lima, Jakarta Barat.
Masjid dirintis oleh Abdul Muhit dari Kerajaan Mataram yang berperang di Jakarta.29
Hingga saat ini telah mengalami beberapa kali perbaikan dan perubahan konstruksi, mulai
dari perbaikan mihrab oleh Muhammad Arsyad al-Banjari, pembetulan arah kiblat, perluasan
bangunan, pemasangan pagar tembok. Saat ini, di bagian selatan merapat ke jalan, di bagian
utara dan timur berdampingan dengan pemukiman penduduk. Ruang utama, bangunan 27Juliadi. 2007. Masjid Agung Banten Nafas Sejarah dan Budaya. Yogyakarta:Ombak. Hlm. 3 dan 10.
Lihat juga Sidi Gazalba. 1962. Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam. Djakarta:Pustaka Antara. Hlm. 112; http://id.wikipedia.org, didownload 13.43, 15 September 2010
28SJ, A. Heuken. 2003. Mesjid-mesjid Tua di Jakarta. Jakarta:Yayasan Cipta Loka Caraka. Hlm. 29-31
29Atthiyat, Gandrian (Ed.). 1995. Bangunan Cagar Budaya di Wilayah DKI Jakarta. Jakarta:Dinas Museum DKI Jakarta. Hlm. 88 – 89
tertuanya, bersegi empat yang ditopang pula dengan empat sokoguru. Bagian bawah tiap-tiap
tiang bersegi delapan dan di atasnya terdapat pelipit penyangga, pelipit genta serta rata.
Batang utama (di bagian utama) berbentuk bulat dan dihiasi pelipit juga. Bagian teratas
berbentuk persegi empat dan dibatasi pelipit. Bangunan asli masjid berukuran 10 x 10 M2
(mungkin juga 12 x 14.40 M2). Nama K.H. Muhammad Mansur diabadikan sebagai nama
masjid sejak tahun 1967, karena beliau mengibarkan bendera merah putih di menara masjid
saat perang melawan NICA pada tahun 1947.30
2. Masjid Luar Batang 31
Masjid Luar Batang berada di Pasar Ikan persisnya Jalan Luar Batang V Nomor 1
Kelurahan Penjaringan Ancol Jakarta Utara. Masjid sudah mengalami perbaikan dan
perubahan. Sekalipun demikian, konstruksi masjid ini masih memiliki ciri-ciri keasliannya.
Soko guru sebagai penopang atap masih asli, langit-langit ruang utama masih asli yang
berbentuk balok melintang. Seorang turis asal Cina menulis bahwa saat meninggalkan Jakarta
pada tahun 1736 bertolak dari sheng mu gang (pelabuhan makam keramat), yaitu dari
pelabuhan Sunda Kelapa. Artinya sudah ada makam keramat di sekitar masjid sekarang.
Hingga saat ini makam keramat tersebut masih diziarahi oleh masyarakat.
Masjid didirikan oleh Alhabib Husein bin Abubakar bin Abdillah Al 'Aydrus yang
meninggal pada tanggal 24 Juni 1756. Nama masjid ini diberikan sesuai dengan julukan
Habib Husein,yaitu Habib Luar Batang. Ia dijuluki demikian karena konon dahulu ketika
Habib Husein dikuburkan, pada saat digotong ke "kurung batang", tiba-tiba jenazahnya sudah
tidak ada. Hal tersebut berlangsung sampai tiga kali. Akhirnya para jama'ah kala itu
30SJ, A. Heuken. 2003. Mesjid-mesjid Tua di Jakarta… Hlm. 43. Lihat juga www.al-Shia.org. didownload pada jam 12.54, 15 September 2010.
31Kampung Luar Batang terletak di Kelurahan Penjaringan Ancol Jakarta Utara. Diperkiraan perkampungan ini dibangun sekitar 1630-an. Alwi Shahab. 2004. Saudagar Baghdad dari Betawi.. Jakarta:Republika. Hlm. 20
bermufakat untuk memakamkan beliau di tempatnya sekarang ini. Jadi maksudnya, keluar
dari "kurung batang".32
Masjid dilindungi SK. Mendikbud No. 0128/M/1998. Arsitekturnya bergaya Eklektik
Moor - Islam jawa (bangunan dahulunya). Ia mempunyai denah dasar segi empat
bujursangkar yang ditopang oleh soko-guru serta beratap tumpang sebagai cirri masjid tua di
Jakarta. Di sebelah utara terdapat ruang kaputren dengan pintu di bagian depan dan
belakang.33
3. Masjid Kampung Baru
Masjid Kampung Baru berada di Jl Bandengan Selatan no. 34 Kel. Pekojan Kec.
Tambora Jakarta Barat (Jakarta 11240). Dibangun antara tahun (1748–1817), oleh orang-
orang imigran Islam dari India. Masjid yang terletak di kawasan Pekojan34 ini adalah masjid
kedua yang dibangun oleh orang-orang Muslim India yang tinggal sejak sebelum pertengahan
abad ke 17 di daerah tersebut. Masjid pertama mereka yang dibangun di Jl Pengukiran
menjadi terlalu sempit diakibatkan oleh pembunuhan massal orang Tionghoa pada tahun
1740 yang ternyata memberikan kesempatan dagang yang lebih leluasa bagi orang-orang
Muslim, sehingga jumlah mereka bertambah banyak. Dalam sebuah karangan Belanda pada
tahun 1829 masjid ini disebut juga sebagai Moorsche Tempel. Denah dasar masjid ini
berbentuk persegi dengan atap bertumpuk (tumpang), atap bagian atas berbentuk limasan.
Bentuk mesjid semacam ini menyerupai bentuk-bentuk bangunan tradisional Jawa, di mana
32http://www.jakarta.go.id , didownload 04.34, 17 September 2010
33Atthiyat, Gandrian (Ed.). 1995. Bangunan Cagar Budaya di Wilayah DKI Jakarta. …. Hlm. 70
34 Pekojan merupakan salah satu tempat bersejarah di Jakarta. Daerah pekojan pada era kolonial Belanda dikenal sebagai kampung Arab. Namun kini, mayoritas penghuni Pekojan adalah keturunan Tionghoa. Sebelum ditetapkan sebagai kampung Arab, Pekojan merupakan tempat tinggal warga Koja (Muslim India). Sampai kini, masih terdapat Gang Koja --yang telah berganti nama jadi Jl Pengukiran II. Pekojan berasal dari kata “Koja” merupakan sebutan untuk orang Muslim India yang datang dari Benggali. Alwi Shahab. 2004. Saudagar Baghdad dari Betawi.. Jakarta:Republika. Hlm. 29
biasanya terdapat 4 tiang soko guru pada bagian tengah bangunan sebagai penyangga atap
berbentuk limas tersebut.35
4. Masjid An-Nawier, Pekojan
Masjid An-Nawier disebut juga sebagai Masjid Pekojan terletak di Jalan Pekojan No
79 Tambora Jakarta Barat.36 Dibangun oleh sekitar tahun 1760 - 1780 oleh Sayid Abdullah
bin Husain Alaydrus berasal dari Hadramaut.37 Arsitekturnya bergaya Arab dan Indies (Jawa-
Eropa). Sebagai kontraktor pembangunannya adalah Orang Cina dan saat ini sudah dilindungi
sebagai BCB (Benda Cagar Budaya) berdasar SK Mendiknas RI No. 0128/M/1998,
Golongan A.38
Masjid an-Nawier mengalami beberapa kali perbaikan dan renovasi. Pada tahun 1850
direhab oleh Komandan Dachlan.39 Tujuh puluh enam tahun kemudian direhab kembali.
Sekalipun mengalami renovasi dan perbaikan, masjid ini masih memiliki ciri-ciri
keasliannya. Disisi utara terdapat 5 pintu, di sebelah timur 6 pintu empat pintu sama
sementara yang di tengah berbeda dengan pintu-pintu lainnya. Pintu tengah ini dihiasi oleh
ukiran-ukiran motif kebudayaan Cina. Di sebelah barat terdapat sebuah mimbar kuno hadiah
Sultan Pontianak, Kalimantan Barat abad ke- 18 dan gantungan lampu kuno. Menara masjid
menyerupai menara mercusuar di dalamnya terdapat tangga yang melingkar hingga ke
35http://www.jakarta.go.id , didownload 04.34, 17 September 2010 lihat juga Atthiyat, Gandrian. 1995. Bangunan Cagar Budaya di Wilayah DKI Jakarta. …. Hlm. 93
36Atthiyat, Gandrian (Ed.). 1995. Bangunan Cagar Budaya di Wilayah DKI Jakarta. …. Hlm. 85
37SJ, A. Heuken. 2003. Mesjid-mesjid Tua di Jakarta… Hlm. 59
38Atthiyat, Gandrian (Ed.). 1995. Bangunan Cagar Budaya di Wilayah DKI Jakarta. …. Hlm. 85 . http://Jakarta.go.id, download jam 13.42. tanggal 21 Sept. 2010 . Lihat juga Dinas Pariwisata Provinsi DKI Jakarta.
39Zein, Abdul Baqir.1999. Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia”. Jakarta:Gema Insani Press. Hlm. 127
puncak. Masjid memiliki 33 buah tiang di ruangan shalatnya, 17 tiang teras.40 Memiliki
empat bagian atap limas an tak bertingkat. Atap mihrab berbentuk kubah.
Ciri lain masjid adalah di lisplang atau entabulatur atap bagian utara terdapat hiasan
berupa empat persegi dan pelipit rata, ceplok, bunga serta bulan bintang dalam liangkaran
dan lain-lain.41
5. Masjid Angke
Masjid Angke, sekarang dikenal Masjid al-Anwar, sejak dibangun pada 1761 sudah
beberapa kali dipugar khususnya oleh Pemda DKI mulai dari lantai dalam, kaso-kaso bagian
atap susun, dan langit-langit (plafon), tempat wudhu, tempat bedug, dan pintu masuk.
Sekalipun demikian, masih terlihat gaya arsitekturnya yang asli yakni campuran Arab, Jawa,
Cina, Belanda, dan sedikit Bali. Ditambah di sebelah barat masjid terdapat makam-makam
dengan bentuk nisan-nisan kuno,42 nisan Nyonya Chen men Wang shi zhi mu – nisan Ny.
Chen yang lahir sebagai Wang seorang wanita Cina Muslim.43
Bentuk Masjid Angke adalah bujursangkar yang memperlihatkan adanya pengaruh
Jawa. Ujung-ujung atap Masjid Angke yang sedikit melengkung ke atas menunjuk pada
punggel rumah Bali. Lima anak tangga di depan, daun pintu ganda, lubang angin di atas pintu
yang dihiasi ukiran bagus sama seperti kusen pintu dan (bekas) pot batu alam di pucuk atap
yang yang semuanya bercirikan rumah-rumah Belanda. 44
Masjid terletak di Jalan Tubagus Angke, gang Masjid, Rt 01/05, Kelurahan Angke,
Kecamatan Tambora, Jakarta Barat yang dulunya merupakan perkampungan orang Bali
Muslim. Didirikan pada tahun 1761 oleh seorang bangsa Cina dari Tartar yang menikah
40“Masjid Jami’ Annawier Pekojan”. Kompas. Rabu 4 Desember 2002. Hlm. 6. http://Jakarta.go.id, Http://hamzirwan.wordpress.com. Download jam 13.09, tanggal 21 Sept. 2010
41SJ, A. Heuken. 2003. Mesjid-mesjid Tua di Jakarta… Hlm. 61 - 62 42Atthiyat, Gandrian (Ed.). 1995. Bangunan Cagar Budaya di Wilayah DKI Jakarta. …. Hlm. 87 - 88 43SJ, A. Heuken. 2003. Mesjid-mesjid Tua di Jakarta… Hlm. 69 44SJ, A. Heuken. 2003. Mesjid-mesjid Tua di Jakarta… Hlm. 67 – 68. Marco Kusumawijaya.
“Membaca Arsitektur, Membaca Umat”. Tempo. 28 Juli 2003. Lihat http://www.majalah.tempointeraktif.com.,
dengan putri Banten. Kontraktor bangunan adalah seorang Cina. Sejak 1931 telah dilindungi
Undang-Undang Monumen (Monumen Ordonantie Stbl) No. 238 serta diperkuat SK
Gubernur KDKI tanggal 10 Januari 1972. 45
6. Masjid Tambora
Masjid Tambora merupakan BCB (Benda Cagar Budaya) mulai tahun 1994 yang
dilindungi Undang-Undang. Terletak di Jalan Tambora No. 4 Kelurahan Tambora,
Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Dibangun oleh K. H. Mustoyib ki Daeng dan kawan-
kawan pada tahun 1761 (abad ke- 18).
Meskipun sudah mengalami pemugaran pada tahun 1979 dan tahun 1980 ciri-ciri
keasliannya masih terlihat. Arsitektur Masjid Tambora bergaya paduan Arab, Cina, dan
Belanda, juga dipengaruhi kebudayaan Hindu.46 Menurut Lombard bangunan kecil di atas
makam memperlihatkan unsure gaya bangunan Cina dan Belanda. Tampak juga pada
penyangkka siku pengaruh Cina yang disebut tou-kung. Atap masjid tumpang dua berbentuk
limasan dari genteng dan pada puncaknya terdapat mustaka berbentuk buah nanas. Di
halaman depan masjid di sudut tenggara terdapat bangunan makam bercungkup yang
merupakan makam pendiri masjid wafat tahun 1836.47 Bangunan asli (10 x 10 m) kini
membentuk bangunan inti masjid yang diperluas (1971).
7. Masjid Krukut
Masjid Krukut merupakan salah satu masjid tertua di Jakarta yang dibangun sejak
abad ke- 18 (1785). Abad ke- 19 dan ke- 20 mengalami perubahan dan perbaikan besar.
Masjid Krukut adalah salah satu masjid yang didirikan dan dibangun Cina Muslim
dari tiga masjid tua di Jakarta; 1) Masjid Tambora, 2) Masjid Krukut, dan 3) Masjid Kebon
45http://Jakarta.go.id , download pukul 13.42, tanggal 21 Sept. 2010. Dr. F. de Haan dalam bukunya “Out Batavia” yang didasarkan dari cerita-cerita masyarakat di sekitar bahwa masjid ini mulai dibangun pada Kamis, 26 Sya’ban 1174 atau 2 April 1761. http://www.al-shia.org, didownload pukul 13.19, tanggal 21 Sept. 2010.
46Atthiyat, Gandrian (Ed.). 1995. Bangunan Cagar Budaya di Wilayah DKI Jakarta. …. Hlm. 90 47http://Jakarta.go.id , download pukul 13.42, tanggal 21 Sept. 2010.
Jeruk. Masjid Krukut memiliki ciri khasnya tersendiri yakni di dalamnya terdapat sebuah
mimbar asli , namun sudah dicat. Mimbar ini diukir oleh orang Cina yang masuk Islam.
Bagian luar masjid pun tidak menyisakan peninggalan-peninggalan sejarah masa lalu masjid
ini. Masyarakat dan pengurus masjid telah memoderenkan bentuk masjid di abad ke- 19 dan
ke- 2048
8. Masjid al-Mukarromah atau Masjid Kampung Bandan
Masjid Al-Mukarraomah terletak di Jalan Lodan, Kelurahan Ancol, Kecamatan
Pademangan, Jakarta Utara. Didirikan dan dibangun oleh Sayid Abdul Rachman bin Alwi Al-
Syatiri pada tahun 1789. Putranya Sayid Alwi bin Abdul Rachman bin Alwi Al-Syatiri
meneruskan pembangunan masjid ini pada tahun 1913 dan selesai tahun 1917.49
Bangunan masjid sudah mengalami berbagai perubahan dan pemugaran dimulai tahun
1956 dengan memperluas bangunan dan pada tahun 1972 dipugar secara total oleh Dinas
Museum dan Sejarah DKI Jakarta. Demikian pula pada tahun 1978 dilakukan pemugaran
secara total dengan mengganti komponan bangunan lama menjadi baru, namun dalam bentuk
yang sama dengan aslinya. Di sisi utara masjid terdapat makam Sayid Moh. Bin Umar al-
Quds, Sayid Ali bin Abdurrahman ba’ lawi, dan Abdul Rachman bin Alwi Al-Syatiri.
9. Masjid Kebon Jeruk
Masjid Kebon Jeruk terletak di pinggiran Jalan Hayam Wuruk, No. 85, Kelurahan
Tamansari, Kecamatan Tamansari, Jakarta Barat.50 Persisnya di bagian Timur kali Ciliwung.
Daerah ini merupakan daerah padat penduduk, sehingga aktivitas warganya tak pernah
berhenti sejak dulu. Masjid ini dapat dijangkau dengan kendaraan umum dari arah jalan
48Ihsan Tanggok dkk. 2010. Menghidupkan Kembali Jalur Sutra Baru. Cet. IJakarta: Gramedia Pustaka Utama.Hlm
49Atthiyat, Gandrian (Ed.). 1995. Bangunan Cagar Budaya di Wilayah DKI Jakarta. …. Hlm. 73
50 ?Nomenklatur kelurahan, RT, RW, dan bahkan nomor alamat masjid ini sudah beberapa kali berubah sejalan dengan perkembangan lingkungan sekitarnya.
Merdeka Barat menuju kota melewati Jalan Gajah Mada atau sebaliknya melewati jalan
Hayam Wuruk yang kedua jalan ini dipisahkan oleh Kali Ciliwung.
Di sebelah kanan masjid adalah bangunan-bangunan perkantoran, sedan di sebelah
kiri berbatasan langsung dengan Jalan Kebon Jeruk. Di bagian Timur masjid terdapat
pemukiman warga Tionghoa yang padat, mayoritas beragama non-Muslim. Penduduk
muslim berada di sebelah timur pemukiman Cina non-muslim tersebut.
Masjid Jami Kebon Jeruk adalah masjid pertama yang dibangun di kawasan pinggir
Jalan Hayam Wuruk saat ini dengan kubah bergaya arsiterktur Cina. Masjid ini dibangun
tahun 1786 Masehi oleh seorang saudagar dari daerah Sin Kiang, negeri Tiongkok, Tamien
Dosol Seeng .51
Sekarang masjid ini berbatasan langsung dengan kompleks pertokoan di sebelah
selatan dan utara. Sedangkan di bagian timur, terdapat pemukiman penduduk yang cukup
padat. Bagian barat masjid adalah Jalan Harmoni dan Kali Ciliwung. Bangunan masjid
Kebon Jeruk dikelilingi pagar tembok pada bagian utara dan timur. Sedangkan sisi barat dan
selatan dilengkapi pagar besi setinggi hampir 2 meter. Tembok dan pagar besi bukanlah
bangunan asli, ia hasil renovasi dan tambahan.
C. CORAK ARKEOLOGI MASJID KUNO DI JAKARTA
Bentuk dan corak bengunan masjid dari berbagai bangsa di dunia sangat beragam atau
berbeda antara satu satu masjid dengan masjid yang lain sejalan dengan latar belakang
budaya masyarakat Muslim dimana masjid dibangun. Demikian bangunan masjid di Jakarta
pada abad kedelapan belas. Sekalipun demikian masih terdapat masjid-masjid yang dalam
berbepa bentuk atau pola pembangunannya sama. Apalagi jika memang diakui kebenaran
51Uka Tjandrasasmita.2009.Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta:Gramedia. Hlm. 156. Menurut Heuken pendapat yang menyebutkan bahwa pendiri masjid ini adalah orang yang bernama Chau Tsien Hwu agak baru yang sulit dibuktikan berdasar data-data sejarah. SJ, A. Heuken. 2003. Mesjid-mesjid Tua di Jakarta… Hlm. 71
pendapat bahwa pengaruh pertukangan Cina sangat kuat di Pulau Jawa sebelem abad
kedelapan belas.
Masjid-masjid di Jakarta yang dibangun di abad kedelapan belas sangat mendapat
pengaruh arsitektur Cina dan petukangan Cina. Namun tidak berarti bahwa di bangunan
masjid itu tidak terdapat unsur-unsur arsitektur non-Cina.
D. ASAL-USUL MASJID KEBON JERUK
Gambar Masjid Kebon Jeruk di Awal Abad Keduapuluh (kiri) dan Gambar Masjid Saat in (kanan):
1. Orang Cina di Jakarta
Sejak diambil-alih oleh Falatehan hingga dikuasai oleh kolonialis Belanda dan
menjadi ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jakarta sudah ramai dikunjungi dan
dijadikan tempat tinggal oleh para pedagang dari nusantara dan berbagai negeri, khususnya
oleh orang Cina. Tawalinudin Haris menyebutkan,:
“Jayakarta sebagai salah satu di antara Bandar terpenting di pantai utara Jawa Barat telah dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai pelosok Nusantara dan dari berbagai negeri , seperti orang Keliling (mungkin Keling ; catatan penulis), Cina, Belanda, Inggris, dan Portugis. Sebagian di antara pedagang tersebut tinggal menetap selama mereka berdagang atau menunggu musim yang baik untuk kembali ke tempat asal, sedang sebagian lagi menetap dan bermukim untuk jangka lama. Lama kelamaan muncullah perkampungan-perkampungan dan loji-loji tempat penimbunan barang dagangan, seperti kampung Cina…”52
52Haris, Tawalinudin. 2007. Kota dan Masyarakat Jakarta Dari Kota Tradisional Ke Kota Kolonial (Abad XVI – XVIII). Jakarta:Wedatama Widya Sastra. Hlm. 142 - 143
Dibanding etnis-etnis lain, pertambahan penduduk etnis Cina sangat signifikan
kecuali saat terjadinya pembantaian terhadap orang-orang Cina pada tahun 1740. Korban
orang Cina akibat pembantaian diperkirakan antara lima sampai sepuluh ribu orang Cina.
Populasi Cina, kemudian, setelah peristiwa tahun 1740, hingga tahun 1780 bertambah
tiga kali lipat dan menyebar di berbagai wilayah di Jakarta. Pada tahun 1779, beberapa tahun
menjelang dibangunnya Masjid Kebon Jeruk, populasi Cina mencapai 28.801 orang.53
Secara kultural, Cina dapat dibagi menjadi dua kelompok: Singkeh, orang Cina yang
lahir di Cina, dan kelompok kedua peranakan Tionghoa, orang Cina yang lahir di Indonesia
(perantauan).54 Pendiri Masjid kebon Jeruk adalah Singkeh jika berangkat dari dua kategori
ini, sebab ia lahir di Cina yang merantau ke Jakarta. Dalam bahasa Indonesia Singkeh disebut
‘totok’ orang Cina yang lahir di Cina serta masih mempertahankan budaya aslinya, sekalipun
mereka sudah bergaul dengan berbagai etnis lainya di Jakarta.55
Orang Cina Singkeh datang ke Pulau Jawa secara bergelombang mulai sebelum abad
ke- 17. Pendiri Masjid Kebon Jeruk saja datang awal abad kedelapan belas bersama
rombongan orang Cina muslim yang berasal dari Sin Kiang. Di negerinya mereka ditindas
dan diisolasi oleh orang-orang Cina lainnya yang non-muslim di masa Dinasti Chi’ing (1664
– 1912).56 Kemungkinan, rombongan Cina muslim ini masuk Jakarta setelah peristiwa tahun
1740, artinya setelah peristiwa ini orang Cina yang datang ke Jakarta semakin bertambah. 53Haris, Tawalinudin. 2007. Kota dan Masyarakat Jakarta Dari Kota Tradisional Ke Kota Kolonial
(Abad XVI – XVIII)… Hlm. 167. Dalam buku ini Tawal tidak membuat table komposisi penduduk berdasarkan agama, padahal saat ini penduduk Jakarta sudah mencakup orang-orang penganut agama Islam, Hindu, Budha, Kristen, dan lain-lain. Konflik-konflik yang berkaitan dengan SARA pun sudah terjadi di masa ini. Lihatlah peristiwa tahun 1740.
54Skinner, G. William. 1963. The Chinese Minority in Indonesia. New Heaven:Yale University.Hlm. 102. Orang Cina perantauan lahir dari hasil asimilasi perkawinan antara orang Cina dengan non-Cina atau orang Cina yang lahir di negeri yang jauh dari Tiongkok. Orang Cina yang di perantauan.
55Muhammad Ali menggunakan istilah “diaspora” bagi Cina totok ini. Lihat Ali, Muhammad. 2007. “Chinese Muslims in Colonial and Postcolonial Indonesia.” Rxplorations. Vol. 7. Nomor 2. Hlm. 2. Istilah diaspora sering dikaitkan dengan orang-orang Yahudi yang diusir dari Palestina sejak Nebuchadnesar menguasai Palestian. Jadi agak beda dengan Muslim Cina yang merantau ke Indonesia bukan karena diusir, tapi karena mendapat tekanan dari kaiasr Cina.
56Winoto, Soeryo. “The Old Mosque Was Built By Chinese Convert”. The Jakarta Post. Saturday, 22 Juni 1985.
Orang-orang Cina yang datang ke Jakarta, disamping sebagai pedagang adalah
orang-orang pekerja keras dan ulet dalam bidang pertukangan/perkayuan, pertanian, dan
sebagainya. Karenanya dari segi ekonomi, apakah oleh karena konsesi yang diberikan oleh
kompeni atau sebab usaha yang tekun, mereka berada di posisi teratas dan terkaya di antara
orang Timur Asing.57
Para Singkeh pada abad ke- 17 dan 18 merupakan pedagang kaya di Jakarta. Mereka
sering ‘mudik’ ke kampung halaman dengan membawa uang yang banyak. Mereka tetap
memelihara adat-istiadat mereka di Jakarta seperti; bahasa Cina. Sebagian mereka
mempunyai isteri orang Cina.58
Pendiri masjid Kebon Jeruk yang datang dari Cina sesudah tahun 1700-an, tepatnya
pada tahun 1718, beristerikan orang Cina yang nama Islamnya adalah Fatimah. Ia datang ke
pulau Jawa bersama kelompok orang-orang Cina dari daerah Sin Kiang sebab mendapat
penindasan dari penguasa Cina yang berkuasa pada waktu itu yakni Dinasti Chi’ng (1664 –
1912). Bersamaan dengan itu Gubernur Jenderal Belanda di Batavia Speelman sejak 1682
menarik orang-orang Cina masuk ke Batavia (Jakarta) untk dipekerjakan dan berdagangatau
sebagai broker perdagangan.59 Iapun menjadi pemimpin komunitas Cina di Jakarta, Tamien
Dossol diangkat menjadi Kapiten Cina dari tahun 1780 sampai 1790, selain sebagai seorang
ulama.
Sampai tahun 1740 orang Cina tinggal di dalam tembok kota Jakarta (Batavia) namun
sejak tahun 1741 mereka harus tinggal di luar kota di kampung Cina yang didirikan di luar
pagar kota yang kini disebut Glodok.60 Sebelum matahari terbenam mereka harus masuk di
57Haris, Tawalinudin. 2007. Kota dan Masyarakat Jakarta Dari Kota Tradisional Ke Kota Kolonial (Abad XVI – XVIII)… Hlm. 164
58Milone, Pauline Dublin.1966. Queen City of the East:The Metamorposis of a Colonial Capital. (Ph.D. Thesis), University of California.Hlm. 197.
59Tjandrasasmita, Uka. 1995. Sejarah Jakarta Dari Zaman Prasejarah Sampai Batavia Tahun 1750. Jakarta:Dinas Museum dan Sejarah. Hlm. 107
kampung halaman mereka di Glodok. Sekitar tahun 1780, peranakan Cina Islam tinggal di
luar Glodok bagian timur, di Kebon Jeruk.
2. Pembangunan Masjid
a. Pendapat dan Cerita Pembangunan
Sangat sulit untuk melacak dan menelusuri bagaimana proses pembangunan sebuah
masjid yang didirikan pada abad kedelapan belas dan sebelumnya di Jakarta. Mulai dari
kepemilikan tanah, luas tanah wakaf milik masjid, pemborong (tukang), asal material
bangunan, harga material, sampai berdirinya, dan sebagainya, bahkan sebagian masjid kuno
tidak diketahui tahun berapa pastinya mulai dibangun dan siapa penggagas awal
pembangunannya.61
Yang sangat mungkin diketahui adalah kepemilikan tanah, karena pemerintah
kolonial pada abad kedelapan belas sudah memiliki catatan-catatan., khususnya tanah-tanah
di pusat pemerintahan Batavia waktu itu dan sekitarnya. Maka jika dikatakan bahwa pemilik
tanah pertapakan masjid Kebon Jeruk adalah Tuan Tschoa, mungkin sangat benar.
Sebagaimana disebutkan oleh Heuken. “Mesjid 62 Kebon Jeruk didirikan pada tahun 1786
pada sebidang tanah milik Tuan Tshoa yang juga disebut Kapiten Tamien Dossol Seng. Ia
mengepalai kaum Muslim Tionghoa antara tahun 1780 dan 1797.”63 1) Pendapat ini didukung
juga oleh Uka Tjandrasasmita64dan Emot Rahmat yang menyatakan bahwa, awalnya tanah
pertapakan Masjid Kebon Jeruk merupakan tanah milik kapiten Keturunan Cina yang telah
60Milone, Pauline Dublin.1966. Queen City of the East:The Metamorposis of a Colonial Capital. Hlm. 209
61Masjid adalah milik umat Islam , karena ia dibangun secara bersama-sama oleh umat Islam, khususnya, umat Islam di sekitar masjid dibangun. Oleh karena itu, masjid Kebon Jeruk bukan milik Tuan Dossol, kalaupun valid riwayatnya hanya tanah yang menjadi miliknya sebelum diwakafkan.
62Saat ini kata yang benar adalah masjid dan umum digunakan sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia
edisi terbarunya. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Hlm. 719
63SJ, A. Heuken. 2003. Mesjid-mesjid Tua di Jakarta… Hlm. 71 64. Uka Tjandrasasmita menyebut pendiri masjid ini Tamien Dosol Seeng. Arkeologi Islam Nusantara.
Jakarta: KPG. 2009. Hlm. 156
masuk Islam, yaitu Tuan Tamien Dossol. Pada tahun 1786 M.. ia dirikan di atasnya Masjid Kebon Jeruk.65
Sekalipun demikian masih ada nama lain selain ini, yaitu Chau Tsien Hwu.66 Apakah dua
nama ini orangnya satu atau dua masih tidak jelas.
2) Pendapat lain menyebutkan bahwa pendiri masjid Kebon Jeruk adalah orang asli
Betawi67 yang bermula dari sebuah surau kecil beratap nipah yang disanggah oleh empat
buah tiang dan delapan soko dengan empat pintu berukuran kira-kira 144 M2. Sedang Tuan
Tamien Dossol hanya sebagai pembeli tanah pertapakan surau dan merenovasi bangunan yang
sudah ada. Akan tetapi pendapat kedua ini tak didukung oleh data-data yang kuat.
3) Menurut Nur Iman (70) salah seorang pengurus masjid, pendapat lain dari sejarah
pembangunan masjid yang saat ini telah berusia kurang lebih 224 tahun itu adalah, masjid
tersebut dibangun oleh seorang panglima perang Cina yang beragama Islam yang ketika itu
tengah singgah di Kebon Jeruk dari perjalanannya. Saat itu sang panglima dan pasukannya
yang beragama Islam hendak menunaikan shalat, akhirnya, sang panglima memerintahkan
kepada para prajuritnya untuk mendirikan masjid Kebun Jeruk tersebut."Nama panglimanya
saya lupa. Banyak versi deh pokoknya," ucapnya.68
4) Cerita dalam situs web resmi dinas pariwisata yang dilansir situs web Indonesia
travel berbeda pula dengan pendapat di atas. Di situs tersebut dinyatakan sebagai berikut,:
“Di Jalan Hayam Wuruk, terdapat Masjid Bandengan yang didirikan pada tahun 1786 dan merupakan masjid pertama didirikan bagi oleh para Cina peranakan di daerah
65Emot Rahmat Taendiftia dkk. Gado-gado Betawi: Masyarakat Betawi dan Ragam Budayanya.Jakarta:Grasindo. Hlm. 5
66Tentang ini dikutip dari beberapa situs internet, di antaranya: www.eramuslim.com; www.esnips.com dll
67 Budaya Betawi mulai tumbuh pada abad ke- 17. sejak pudarnya suku-suku di Jakarta. Banyak orang Bali masuk Islam sehingga terjadi interaksi antar suku. Orang Bugis, Bali, dan Ambon yang tinggal di Jakarta berinteraksi satu sama lain yang akhirnya melahirka suku Betawi. Banyak faktor mengapa penduduk kepulauan nsantara di Jakarta menyatu dan melahirkan suku betawi, misalnya agama Islam. Adanya rasa senasip sepenanggungan menghadapi kompeni yang dengan sengaja memelaratkan rakyat, melakukan diskriminasi, kondisi social-ekonomi yang memarah. Lihat Ambary, Hasan Muarif dan Parlindungan Siregar. 2005. “Sejarah Perkembangan Kota Jakarta Sejak Awal Berdirinya Hingga Abad XIX Masehi”. Laporan Penelitian Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta. Hlm. 52
68http://nasional.kompas.com , 4 Oktober 2010.
Glodok. Masjidnya dibangun di atas tanah milik Kapten Cina yang telah masuk Islam. Dibagian belakang masjid terdapat sebuah makam Islam yang pada batu nisannya terdapat tulisan Cina yaitu Fatimah Hwu serta angka Arab yang menyebutkan tahun 1792 serta terdapat pula ornamenornamen seperti kepala naga. Fatimah Hwu adalah istri Kapten Tamiem Dosol.”
Sebelum masjid Kebon Jeruk didirikan sudah ada masjid kecil yang dibangun pada abad ke-
15 di atas tanah milik Tuan Dossol ini, sebagai ditulis dalam situs ini,:
“Masjid Jami Kebon Jeruk terletak di pinggir Jalan Hayam Wuruk. Menurut sejarahnya didirikan pada tahun 1718. Jauh sebelumnya, …, di lokasi ini telah berdiri sebuah mesjid kecil, yang lebih tepat disebut surau atau langgar. Bangunannya bundar, beratap daun nipah, bertiang empat, masing-masing penuh dengan ukiran. Siapa saja pendirinya tidak diketahui. Pada tahun 1718, datanglah seorang Cina bernama Chan tsin Hwa beserta istrinya Fatima hwu ke daerah Kebon Jeruk sekarang ini. Rupanya mereka ini adalah rombongan muhajirin (pengungsi) yang memeluk agama Islam, yang terpaksa meninggalkan negrinya karena terdesak oleh penguasa Dinasti Chien yang menganut agama leluhur mereka, Budha. Oleh karena itu mereka tidak berniat lagi untuk kembali ke negri leluhurnya, mereka bermukim di sini. Lalu Mendirikan mesjid di lokasi bekas mesjid mungil tersebut tadi. Itulah Mesjid Kebun Jeruk yang sekarang.”69
5) Cerita Dudy (86 tahun), mantan penjaga masjid Jami Kebon Jeruk yang kini sudah
pensiun berbeda dengan pendapat-pendapat di atas. Dia menyatakan bahwa Masjid ini
didirikan atas niat Fatimah Hwu yang juga seorang muslimah. Saat tinggal di kawasan
Glodok, keluarganya berdagang, sambil ikut mensiarkan agama Islam di kalangan orang-
orang Tionghoa yang tinggal di kawasan Glodok. Namun, saat mau salat bingung. Tidak ada
masjid di kawasan itu. Lantas dia bangun masjid di situ dengan terlebih dulu meminta pada
suaminya untuk memakaikan sebagian tanahnya di Glodok yang kini jadi Jalan Hayam
Wuruk untuk membangun masjid.70
Dari pendapat dan cerita di atas setidaknya dapat disebutkan bahwa pendiri masjid
yang kini disebut sebagai Masjid Kebon Jeruk adalah keluarga Kapiten Tamien Dossol yang
beristerikan Fatimah Hwu yang makamnya terletak di bagian timur masjid, sementara
suaminya meninggal dan dimakamkan di Cirebon.
b. Benda Cagar Budaya (BCB)
69http://www.indonesia.travel/arsip_id , 5 Oktober 2010 70http://bataviase.co.id , download 5 Oktober 2010
Pemerintah DKI Jakarta Dinas Museum dan Sejarah melalui SK Gubernur No
Cb11/1/12/72 tanggal 10 Januari 1972 menetapkan Masjid Jami’ Kebon Jeruk di Jl Hayam
Wuruk, Jakarta Barat, ditetapkan sebagai monumen sejarah (lihat gambar papan
pengumuman di bawah ini). Dengan demikian, tidak diperbolahkan membangun, merenovasi,
dan memindahkan masjid kecuali seizin gubernur DKI. Bangunan-bangunan yang ada
dipertahankan bentuk dan gayanya untuk mempertahankan nilai-nilai sejarah yang terkandng
di dalamnya.
BAB III
ANALISIS MASJID KEBON JERUK
Untuk mengetahui Masjid Kebon Jeruk, maka langkah yang harus dilakukan adalah
dengan pendeskripsian. Pendeskripsian dimulai dengan menguraikan bangunan masjid dan
materi-materi yang melekat di dalamnya, mulai dari bangunan induk, komponen bangunan,
ragam hias, dan makam.71
71 ?Masjid Kebon Jeruk yang asli sudah tidak ada, karena ia telah mengalami empat kali pemugaran. 1.Tahun 1950 masjid diperluas pada semua sisinya. Sisi barat diperluas sampai batas pagar Jalan Hayam Wuruk. 2.Pada tahun 1974 masjid dipugar kembali dengan dana bantuan Gubemur DKI Jakarta dengan kegiatanmemperbaiki bagian yang rusak. 3.Untuk yang ke tiga kali masjid dipugar oleh Dinas Museum dan
Bangunan induk Masjid Kebon Jeruk meliputi tata letak, Ruang utama, serambi,
tempat bersuci, atap, menara, dan bedug.Komponen bangunan meliputi pintu, jendela, tiang-
tiang. Ragam hias dan makam Fatimah Hwu juga harus dideskripsikan.
A. Tata Letak
Kecenderungan masyarakat Muslim Jakarta hingga abad kedelapanbelas membangun
masjid dekat sungai sangat kuat. Masjid Tambora dan masjid Kampung Bandan terletak di
pinggiran aliran sungai Ciliwung, majid Angke berada di pinggir kali Angke, masjid
Marunda di pinggir kali Krukut, masjid Kebon Jeruk persis di pinggir Kali Ciliwung (lihat
peta Kali Ciliwung persis berada di antara Jalan Hayam Wuruk dan Jalan Gajah Mada di
bagian timurnya adalah masjid ), dan sebagainya. Demikian juga pemukiman penduduk
Jakarta sangat dekat dengan aliran sungai. Artinya masjid dan pemukiman penduduk
didekatkan ke sungai untuk mempermudah mandapatkan air bagi kehidupan mereka.
Masjid Kebon Jeruk menghadap ke arah kiblat (barat) yang saat ini bangunannya
dikelilingi pagar tembok pemukiman penduduk disisi utara dan timurnya. Disisi barat dan
selatan terdapat pagar besi yang panjangnya lebih 30 M2.
Seiring dengan perkembangan zaman, setelah dua abad lebih, sisi-sisi bangunan
Masjid Kebon Jeruk sudah dipadati pemukiman dan pertokoan modern.
B. Pondasi/Ruang utama
Sejarah DKI Jakarta pada tahun 1983/1984-1985/1986. 4.Pada tahun 1998 Masjid Kebon Jeruk dipugar kembali untuk yang keempat kali oleh Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta. Hingga saat ini terus dilakukan perbaikan-perbaikan disana-sini. Sekalipun demikian bentuknya yang asli masih dipertahankan. http://www.fatawisata.com/wisata-sejarah/masjid/579-masjid-kebon-jeruk, 18 Okt. 2010, jam 07.39
Sebagian dari Ruang Utama Masjid
Pada awalnya bangunan masjid Kebon Jeruk berukuran 10 X 10 M.2 yang saat ini
menjadi ruang utama masjid (lihat gambar), sedangkan saat ini bentuk masjid trapesium
dengan ukuran 38,25 X 36,8 X 20,75 X 10,5 X 3 M. Pondasi berada 1 M. dari permukaan
tanah ke bawah.
C. Mihrab dan Mimbar
Pada setiap masjid mihrab dan mimbar tidak bisa dipisahkan. Mihrab untuk tempat
imam memimpin shalat jamaah, sedang mihrab yang di sebelah kiri atau kanannya tempat
menyampaikan khutbah. Mihrab Masjid Kebon Jeruk merupakan mihrab baru berukuran 2 ×
1,5 m yang menyatu dengan dinding tembok, mihrab lama telah dibongkar untuk perluasan
masjid di bagian barat . Sedang mimbar telah dipindah ke Museum Fatahilah untuk
memelihara keutuhan dan kekuatannya dan untuk dipamerkan di museum sebagai benda
purbakala.
Mimbar Kuno Masjid Kebon Jeruk
D. Serambi
Masjid Kebon Jeruk dilengkapi dengan serambi di bagian selatan masjid yang
berdapan langsung dengan jalan Kebon Jeruk. Serambi memiliki lima tiang penyangga.
Serambi sisi utara yang asli sudah dijadikan bagian dari masjid. Serambi sebelah timur
berhadapan langsung dengan ruang terbuka masjid.
E. Tempat Berwudlu’
Di sebelah timur laut masjid terdapat tempat berwudhu yang terbuat dari batu bata. Di
tempat berwudhu’ disediakan tempat duduk untuk berwudhu.
F. Atap
Gambar di bawah ini merupakan bagian atap Masjid Kebon Jeruk yang berbentuk
limasan dari genteng seperti menara. Atap limasan yang masih ada saat ini pada (gambar 4)
adalah yang tertua yang terpasang saat ini. Masjid lama sebelum renovasi memperlihatkan
bahwa atap masjid bertumpang dua (gambar 2). Atap bertumpang dua masih dipertahankan
Sisi selatan masjid terdapat serambi
keberadaannya hingga saat ini yaitu pada atap sebelah timur Masjid (gambar 4). Puncak atap
lama berbentuk persegi empat yang keberadaannya seperti di atas lantai dua (lihat gambar 5).
Teralis kayu di bawah atap paling atas seperti gambar 3 diganti dengan kaca (lihat gambar 5).
Pada gambar 5 dan 6 terdapat beberapa jenis komponen utama konstruksi atap yang
menopang atap di atasnya, yaitu: 1) Balok Jurai Limasan, 2) Bantalan/balok pangkal kasau,
3) Bantalan ujung kasau, 4) Bantalan tengah kasau yang dilengkapi dengan tiang penopang
gantung, yaitu tiang penopang yang tidak langsung meneruskan berat beban yang
diperolehnya ke tanah/bumi, tetapi beban tersebut diteruskan ke tanah/bumi melalui bidang
atau titik penopangnya dalam hal ini tiang utama masjid. 5) Balok loteng dan balok bangsal
yang berfungsi melekatkan langit-langit atap agar dapat menutupi bagian dalam system
konstruksi yang kurang bagus dilihat dan menahan serapan panas yang dipancarkan matahari
terhadap genting tidak sampai ke ruang utama, sehingga suhu di dalam ruangan utama tetap
stabil.
Sistem konstruksi atap kedua tidak jauh berbeda dengan tingkat pertama.
Perbedaannya hanya pada bentuk puncak atap, sehingga ada beberapa unsure komponan pada
konstruksi atap kedua yang tidak ada pada atap pertama yaitu pertemuan ujung kasau yang
merupakan pembentuk puncak atap, Keberadaan pertemuan ujung kasau ini mempengaruhi
bentuk limas an atap. Jika semua ujung kasau tidak disatukan pada satu titik pertemuan, maka
atap tidak membentuk limas an uth lagi, tetapi bentuknya menjadi seperti limas an yang
terpenggal pada bagian puncaknya. Pada konstruksi atap kedua ini juga dilengkapi dengan
penyangga.
Atap masjid yang kedua berbentuk limasan segi delapan, dengan konstruksi atap yang
tidak jauh berbeda dengan konstruksi atap limasan tumpang dua, bedanya hanya pada bentuk
balok jurai octagonal yang ditopang oleh delapan tiang yang juga berbentuk segi delapan.
Gambar Atap Masjid Kebon Jeruk
Gambar 1 Gambar 2
Gamab 3 Gambar 4
Gambar 5 Gambar 6
G. Mustaka
Pada umumnya di puncak atas atap atau kubah masjid diletakkan benda hias untuk
mempecantik atap. Di puncak atap Masjid Kebon Jeruk terdapat ragam hias mustaka yang
berbentuk lekuk-lekuk ke dalam yang sering dijumpai pada arsitektur bangunan Cina (liha
gambar di bawah ini). Bangunan semacam ini sering dijumpai pada bangunan-bangunan
masji di Cina bahkan bangunan-bangunan masjid di pulau jawa abad kelima belas dan
keenam belas.72 Di dindingnya terdapat lukisan berupa gambar bulan dan bintang yang
bintang berada dalam lingkaran bulan sabit. Sementara sebatang besi yang terdapat di paling
puncak mustaka adalah penangkal petir yang dipasang pada tahun 1938.73
H. Menara
72Handinoto dan Samuel Hartono.2007. “Pengaruh Pertukangan Cina Pada Bangunan Mesjid Kuno di Jawa Abad ke- 15 – 16.” Dimensi Teknik Aristektur. Vol. 38 No. 1, Juli 2007. Hlm. 23 – 24.
73Fijper, G.F. 1992. Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900 – 1950. Terjemahan Tudjimah dan Yessy Augusdin. Jakarta:UI-Press. Hlm. 24
Bentuk Mustaka Masjid Kebon Jeruk
Menara masjid ada satu buah (Gambar 1 foto tahun 1920) yang juga berfungsi
sebagai tempat azan. Menara ini berada di sisi selatan belakang berpotongan dengan sisi
kanan. Menara terbuat dari semen dengan bentuk bulat dan hiasan seperti pada dinding
masjid. Saat ini menara tesebut sudah dihilangkan dan diganti dengan atap. Jadi atap mesjid
saat ini menjadi dua buah yang berfungsi sebagai menara (gambar 2).
I. Bedug
Bedug Masjid Kebon Jeruk masih dapat disaksikan di Museum Sejarah Jakarta.
Bedug terbuat dari batang pohon kelapa yang dalamnya kosong yang panjangnya 150 Cm.
kulit bedug sudah tidak ada.
J. Pintu
Masjid Kebon Jeruk memiliki beberapa buah pintu. Pada dinding sebelah timur
terdapat tiga pintu dengan dua pintu bentuk atasnya lengkung setengah lingkaran dan pintu
dengan persegi panjang terdapat ditengahnya dengan kusen yang dicat berwarna hijau serta di
atas pintu bagian tengah ini terdapat lubang angin yang dihiasi pohon hayat kelopak bunga
yang tumbuh dari lengkungan di pintu pengapit (kiri-kanan). Pada dinding bagian utara dan
selatan terdapat masing tiga pintu berbentuk lengkung setengah lingkaran yang ditengahnya
Gambar 1 Gambar 2
terdapat pintu persegi panjang yang di atasnya terdapat lubang angin berbentuk ketupat. Di
sisi barat ruang utama terdapat dua buah pintu.
Daun pintu masjid sudah tidak ada, yang tampak (gambar 1 dan 2) adalah kusen pintu
yang terbuat dari kayu berwarna hijau tua dan terdapat bekas kaitan engsel pintu yang
menunjukkan bahwa pintu mempunyai daun pintu yang sama ukurannya.74
K. Jendela
Jendela yan asli berada di tingkat kedua dengan bentuk kusen bangun empat persegi
panjang polos yang dilengkapi dengan jeruji-jeruji kayu yang terpasang dengan posisi
vertikal. Jeruji berbentuk selinder yang dihiasi dengan bentukan yang menggembung dan
mengempis secara beraturan. Setiap satu kusen tersebut terdapat 12 jeruji. Dalam satu sisi
terdapat dua kusen. Jadi dalam satu sisi terdapat 24 jeruji. Untuk ventilasi udara terbentuk
dari susunan papan dengan posisi horizontal yang terbagi dua sama besar di sisi kiri dan
kanan di setiap kusennya. (lihata gambar di bawah ini)
74SJ, A. Heuken. 2003. Mesjid-mesjid Tua di Jakarta. Jakarta:Yayasan Cipta Loka Caraka. Hlm. 74
Pintu Masjid Kebon Jeruk
Gambar 1 Gambar 2
Jendela masjid saat ini berada di sebelah selatan dengan terdapat empat buah dan di
sebelah utara depan dua buah dengan bahan kusen kayu yang dicat hijau dan kuning dengan
bentuk silang geometris yang dibagi menjadi empat buah dengan kaca Kristal. Adapun
jendela masjid sebelumnya hanya berbentuk polos.
L. Tiang
Konstruksi tiang-tiang Masjid Kebon Jeruk berdiri di atas susunan pelipit miring
yang di atasnya terdapat bidang kosong empat persegi panjang (gambar 1 dan gambar 2). Di
atas bidang kosong yang berbentuk empat persegi panjang adalah badan tiang. Pada badan
tiang terdapat galur-galur yang berjumalah enam buah (gambar 3). Galur-galur yang
berjumlah enam buah ini terdapat di semua tiang masjid utama yang jumlah tiangnya
sebanyak sepuluh buah, empat tiang utama yang terleyak di sudut-sudut siku-siku masjid dan
enam buah tiang di dinding utara, timur, dan barat.75 Semua tiang masjid menyatu dengan
dinding, seakan-akan tiang semu. Bagian atas tiang terdiri dari pelipit kumuda, rata,
penyangga, dan miring.
75Perhitungan Heuken jumlah tiang ruang utama yang menyatu dengan tembok sebelas buah. SJ, A. Heuken. 2003. Mesjid-mesjid Tua di Jakarta. Jakarta:Yayasan Cipta Loka Caraka. Hlm. 73
Bagian bawah dan atas tiang Masjid Kebon Jeruk
Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3
M. Ragam Hias
Pendiri dan pengurus Masjid Kebon Jeruk membuat dan meletakkan ragam hias di
dalam masjid, seakan keberadaannya sangat diperlukan. Gambar ragam hias di bawah ini
diletakkan di atas pintu bagian utara dan pintu sebelah timur Masjid Kebon Jeruk. Di atas
pintu sebelah utara dan selatan (gambar 1) terdapat hiasan pintu berbentuk segi empat belah
ketupat berwarna kuning keemasan yang diapit dua kusen pintu yang posisinya di antara dua
tiang utama masjid. Sedang di atas pintu sebelah timur (gambar 2) merupakan hiasan flora
berupa ukiran sulur-suluran,buah, kelopak bunga yang tumbuh dari lengkungan sempurna
dan lain-lain yang keluar dari pas bunga yang diletakkan di atas sebuah bejana semuanya
berwarna kuning keemasan serta diapit oleh dua kusen pintu yang posisinya berada di antara
dua ting utama masjid.
Pintu masuk ruangan utama masjid terdapat juga di dinding utara dan selatan
berbentuk lengkung setengah lingkaran serta lubang angin di bagian tengah berbentuk belah
ketupat.
Ragam hias lainnya dapat dilihat di batu nisan makam Fatimah Hwu.Batu nisan ini
menyerupai kepala naga (lihat gambar 5, 6, dan 7). Motof hias di jirat makam Fatimah Hwu,
isteri Kapiten Tamien Dossol (Tuan Tschoa) sisi Timur dan sisi Selatan berupa sulur-sulur,
gambar burung, dan seekor rusa berasal dari masa dinasitiMing dan Qing.
Ragam hias di atas pintu Masjid Kebon JerukGambar sebelah kiri di atas pintu sebelah utara dan gambar
kanan di atas pintu sebelah timur
Gambar 1 Gambar 2
Ragam Hias Makam Fatimah Hwu sisi Timur dan sisi Selatan (Kaki)
Gambar 1 Gambar 2
Ragam Hias Makam Fatimah Hwu dilihat sisi Barat
Gambar 3
Ragam Hias Batu Nisan dilihat dari sisi Selatan (kaki)
Gambar 4
Ragam Hias Batu Nisan dilihat dari sisi utara (kepala)
Gambar 5
Ragam Hias Batu Nisan dilihat dari sisi utara (kepala)
Gambar 6
Ragam Hias Mustaka Masjid Kebon Jeruk
Gambar 8
Ragam Hias Batu Nisan dilihat dari sisi selatan (kaki)Bagian dalam
Gambar 7
N. Makam
Di komplek Masjid Kebon Jeruk dibagian timurnya terdapat dua buah makam kuno.
Satu di antaranya adalah makam Fatimah Hwu, isteri Kapiten Tamien Dossol (Tuan
Tschoa).76 Nama Fatimah tertera di sisi batu nisan, sedang tanggal wafatnya tertera di jirat
sisi barat dan jirat sisi timur. Tahun wafat Fatimah di jirat sebelah barat beraksara Arab dan
bertahun hijrah, 1027 H., sementara di jirat timur menunjukkan tahun 1792 M. beraksara latin
tahun wafatnya Fatimah Hwu.
Di atas makam Fatimah terdapat dua buah batu nisan di sisi utara dan selatannya.
Tulisan Cina berwarna kuning keemasan yang melakat di batu nisan berbunyi “Fatimah
Hwu” dan “Hsienpi Chai Men Tsu Mow” (artinya inilah makam Cina dari keluarga Chai).77
76Makam tuan Dossol terdapat di Cirebon
77Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta.
Makam Fatimah Hwu dilihat dari sudut selatan
BAB IV
MMASJID KEBON JERUK SEBAGAI POTRET
AKULTURASI BUDAYA MASYARAKAT MUSLIM JAKARTA
A. Pengertian Akulturasi
Akulturasi berasal dari kata Inggeris acculturation; bahasa Italianya adalah
acculturazione; sedang bahasa Jerman Akkulturation. Akar katanya culture (bahasaInggeris).
Kata akulturasi menunjukkan adanya suatu prose transformasi dan adaptasi budaya suatu
kelompok masyarakat yang memiliki budaya sendiri dengan budaya masyarakat lain yang
juga memiliki budaya tersendiri pula. Keduanya menjalin hubungan untuk melahirkan
Jirat Sisi Barat
Jirat sisi Timur
budaya yang baru. Para ahli antropologi; R. Linton, M.J. Herskovits dan R. Redfield,
menyimpulkan bahwa akulturasi mencakup semua fenomena interaksi antar individu dengan
kelompok atau kelompok dengan kelompok lain yang sifatnya berkesinambungan. Budaya
yang dimiliki individu atau kelompok tadi masih asli dari tangan pertama, sehingga
bertransformasi lebih jauh yang kemudian melahirkan model budaya yang asli dan baru.78
Dalam kamus bahasa Indonesia disebutkan bahwa akulurasi adalah percampuran dua
kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling mempengaruhi. Disebutkan juga
bahwa dalam definisi antropologi akulturasi berarti proses masuknya pengaruh kebudayaan
asing di suatu masyarakat, sebagian menyerap secara selektif sedikit atau banyak unsur
kebudayaan asing itu, dan sebagian menolak pengaruh itu.79
Pendapat lain menyatakan bahwa akulturasi bukan saja berkaitan dengan adaftasi dan
transformasi, tapi juga dengan konflik antar budaya yang berbeda-beda.
B. Corak Akulturasi Masjid Kebon Jeruk
Jika disebutkan bahwa bangunan masjid kuno di Jakarta sangat diwarnai corak
arsitektur Cina, maka satu di antaranya adalah Masjid Kebon Jeruk. Sekalipun demikian,
unsur-unsur kebudayaan lain dapat ditemukan di Masjid Kebon Jeruk ini sebagai wujud
akulturasi masyarakat muslim di Jakarta, di antaranya unsur budaya Arab, budaya Eropa, dan
budaya Jawa.
1. Akulturasi Atap
Unsur seni arsitektur Cina yang melekat sejak awal hingga saat ini di bangunan
Masjid Kebon Jeruk adalah atap. Bentuk atap Masjid Kebon Jeruk bertumpang dua.80 Pada
78Bolaffi, Guido dkk.(Ed.). 2003. Dictionary of Race, Ethnicity & Culture.London, Thousand Oaks, New Delhi:SAGE Publications. Hlm. 20 79 ?Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta:Balai Pustaka. Hlm. 24
80Masjid Krukut dan Masjid Tambora yang dua-duanya dibangun oleh orang Cina Muslim di abad ke- 18 beratap tumpang dua, demikian juga masjid-masjid lain yang dibangun oleh bukan orang Cina di daerah
dasarnya hitungan atap bertumpang adalah ganjil; satu, tiga, lima, tujuh, dan seterusnya.
Jika demikian, maka sekalipun Masjid Kebon Jeruk beratap tumpang dua ia dihitung satu.
Masjid-masjid kuno yang atapnya bertumpang tiga dan lima sangat mungkin ia
diadopsi dari bentuk atap bertumpang pura. Suparjo menyebutkan,:
“… Dalam tradisi Hindu yang sarat dengan kelas sosial, jumlah susunan atap setiap Pura menunjukkan orang yang membangun dan komunitas yang berhak menggunakannyaPura beratap susun sebelas adalah pura yang dibangun oleh raja besar (raja yang mempunyai daerah taklukan) dan hanya boleh digunakan untuk beribadah bagi raja dan kalangan bangsawan. Pura dengan atap bersusun tujuh menunjukkan bahwa pura tersebut dibangun oleh raja dan bangsawan. Pura dengan atap bersusun tiga adalah pura yang dibangun oleh rakyat biasa digunakan sebagai tempat beribadah. Pada model ini bisa jadi dibangun oleh raja atau bangsawan tetapi ia dipergunakan untuk ibadah rakyat jelata.”81
Jika demikian, pertanyaan besar yang sulit untuk menjawabnya adalah mengapa atap
Masjid Kebon Jeruk bertumpang dua. Padahal, bangunan-bangunan rumah ibadah di Jawa
dan Bali sebagai hasil peninggalan budaya tradisional Indonesia atap bertumpang ganjil.
Bahkan pagoda-pagoda di Tiongkok, kampung halaman asal pendiri Masjid Kebon Jeruk atap
bertumpangnya jumlahnya ganjil. Masjid-masjid kuno di Jawa jumlah atap bertumpangnya
dalam hitungan ganjil.
Jawaban atas pertanyaan di atas masih bersifat kemungkinan, sebab tidak ada catatan
dari pendiri masjid yang ditemukan mengapa ia membangun atap Masjid Kebon Jeruk
bertumpang dua. Kemungkinan pertama adalah ia masih terpengaruh pada falsafat Cina yang
sudah terbiasa dengan hitungan-hitungan genap yang berpasang-pasangan terutama dengan
angka 2. Maka falsafah hidup orang Cina sangat dekat dengan Yin dan Yang. Atap bersusun
dua hanya ada di Jakarta yang mengisaratkan dekatnya hubungan arsitektur masjid ini dengan
falsafah hidup Cina.
Jakarta abad ke- 18 sebagian beratap tumpang dua, misalnya Masjid Al-Anwar atau Masjid Angke, Masjid, al-Alam, Masjid Bandengan, dan Masjid al-Makmur. Heuken menyebutkan bahwa yang mengerjakan bangunan masjid-masjid ini adalah tukang-tukang etnis Cina.
81Suparjo. 2007. “Strategi Kultural Walisongo Dalam Membangun Masyarakat Muslim Indonesia (Sebuah Persepektif Sosio-Historis).”Jurnal Ilmu Dakwah. Vol. 15. Nomor 2, Oktober. Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN). Purwokerto, Hlm.204
Atap Masjid Kebon Jeruk menggunakan penyangga siku. Penggunaan penyangga siku
di bagian atap merupakan warisan budaya dan ciri bangunan Cina. Bangunan kelenteng atau
rumah yang berarsitektur Cina pada umumnya menggunakan penyangga siku di atapnya.
Sedangkan atap Masjid Kebon Jeruk berbentuk limasan yang berasal dari budaya
Jawa. Masjid Demak dan Masjid Agung Banten yang lebih dulu dibangun atapnya berbentuk
limasan. Dengan demikian bantuk atap Masjid Kebon Jeruk diadopsi dari bentuk atap masjid
di Jawa
2. Akulturasi Pewarnaan
Unsur warna yang digunakan di Masjid Kebon Jeruk adalah hijau dan kuning. Bagi
orang Cina warna kuning mengandung arti bahwa mereka akan diberikan kekuatan oleh
Tuhan nenek moyangnya orang Cina atau yang diyakini sebagai dewa Kaisar pertama orang
Cina. Huang Ti adalah kaisar pertama dii Cina yang mula-mula memerintah. Ia diyakini
pembawa kesejahteraan bagi rakyat, penguasa yang bijaksana dan masih dipuja hingga saat
ini. Di makam Fatimah Hwu terdapat tulasan yang berwarna kekuningan emas, demikian pula
ragam hias di atas pintu masuk. Dinding masjid berwarna hijau yang mengartikan bahwa ala
mini diliputi hutan yang hijau yang sangat bermanfaat bagi kehidupan makhluk hidup di
dunia ini.
3. Akulturasi Pembuatan Mustaka
Mustaka di puncak atap Masjid Kebon Jeruk, menurut Uka Tjanrasasmita terbuat dari
keramik dan kuningan yang bersusun tiga yang semakin keatas semakin kecil. Di atasnya
terdapat besi yang memanjang sebagai penangkal petir yang bukan bagian dari aslinya.
Hiasan pada masing-masing tingkatan berupa lekukan-lekukan ke dalam yang sangat mirip
dengan bangunan-bangunan atap rumah di Kota Kudus dan di negeri Tiongkok. Lekukan ini
terbentuk dari jurai luar yang terbagi empat, delapan atau bilangan genap lainnya.
Mustaka di puncak atap Masjid Kebon Jeruk memiliki hiasan bulan sabit yang
ditengahnya terdapat bintang. Lambang bulan bintang adalah lambang Islam yang berasal
dari budaya Arab.
4. Akulturasi Pemakaman
Istilah makam berasal dari kata Arab “maqam” yang berarti tempat berdiri dalam
bahasa Indonesia diartikan tempat bersemayam atau tempat bersemayam orang meninggal.
Pemakaman dalam Islam memiliki aturannya sendiri terutama yang berkaitan dengan posisi
makam, bagian kepala dan kaki, serta bahkan bentuk pemakaman.
Sekalipun sebagian ulama menetapkan bentuk pemakaman dan makam yang sejalan
dengan sunnah Rasul, tapi sebagian besar umat Islam mengekspressikan kreasi-kreasi seninya
di pemakaman. Tak sedikit kreasi-kreasi seni tersebut berangkat dari budaya pra Islam dan
budaya lokal (local geneune). Kreasi-kreasi seni estetika, baik lewat ukiran, pahatan, atau
lukisan itu melekat mulai dari bagian-bagian kijing/jirat, batu nisan/maesan, cungkup, gapura
dan tembok keliling.
Lokasi makam pun sangat beragam dan dikaitkan dengan status sosial seseorang, ada
1) makam di daerah-daerah di atas bukit, 2) di tanah datar, 3) di dalam suatu komplek
pemakaman yang khusus 4) didalam lingkungan masjid.82 Makam-makam yang dianggap
keramat umumnya ditempatkan di suatu komplek pemakaman khusus agar mudah dipelihara,
dan dijaga dengan ketat dan diziarahi, seperti komplek pemakaman Sunan Kalijga di Demak,
komplek pemakaman Sudan Kudus di Kudus, komplek pemakaman Sultan Maulana
Hasanuddin, dan sebagainya. Para raja dan keluarganya umumnya dimakamkan di komplek
pemakaman di atas bukit, seperti pemkaman raja-raja Mataram Islam di Imogiri, Yogyakarta.
Dengan demikian, pemakaman para wali dan raja dan orang-orang terpandang dapat disebut
sebagai ekspresi seni masyarakat muslim yang mengadopsikan dan mentransformasikan
82Nasution, Isman Pratama. “Studi Arkeologi tentang Makam.” Makalah disampaikan pada Diklat Arkeologi Keagamaan PUSDIKLAT TENAGA TEKNIS KEAGAMAAN BADAN LITABANG DAN DIKLAT KEMENAG RI. Ciputat, 3 Juni 2010. Hlm. 2
budaya pra-Islam dan budaya lokal ke dalam pemakaman Islam. Makam Fatimah Hwu
masuk dalam kategori makam di dalam lingkungan masjid.
Makam Fatimah Hwu yang terdapat di bagian sebelah timur Masjid Kebon Jeruk dan
di area tanah datar mendapat pengaruh dari berbagai unsur budaya. Pertama, penempatan
makam di area tanah datar sudah merata di kalangan masyarakat Jakarta dari berbagai
golongan dan status sosial. Sebelum pemakaman Fatimah Hwu di lingkungan Masjid Kebon
Jeruk sudah terdapat pemakaman kauman di wilayah Jatinegara Jakarta Timur, yakni
komplek pemakaman raja-raja Jakarta. Kedua, menempatkan makam di sisi rumah ibadah
sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat muslim di Jakarta, ia bukan dari
budaya Hindu atau Budha serta India atau Cina. Sebagian masyarakat muslim menempatkan
makam disisi barat masjid,83 terutama makam-makam orang terpandang atau tokoh ditengah-
tengah masyarakat. Hal ini erat kaitannya dengan budaya dan ajaran Islam yang sangat
menganjurkan umat Islam menyembahyangkan jenazah untuk mendekatkan si jenazah ke
surga, kemudian dimakamkan tidak jauh dari masjid. Sebagian masyarakat muslim Jakarta
terutama keluarga terpandang dalam masyarakat memakamkan keluarganya di dekat masjid.
Pemakaman kuno di Jakarta dan di daerah Jawa umumnya berada di sisi masjid.
Jumlah batu nisan dua buah yang diletakkan disisi selatan dan utara merupakan tradisi
umat Islam, bukan merupakan sebuah kewajiban. Yang unik dari makam ini adalah tulisan di
batu nisannya. Tulisannya gaya li-shu (persegi) adalah tulisan resmi yang bunyinya “Fatimah
Hwu atau Cai isteri tuan Tschoa.” Nisan bergambar kepala naga juga sesuatu yang unik dari
83Makam-makam di sekitar masjid kuno di pesisir pantai utara Pulau Jawa diletakkan di bagian belakang atau samping masjid. Sebagian makam disakralkan dan dimitoskan. Misalnya di masjid Sendang Duwur di Paciran Lamongan, masjid Mantingan di Jepara, Masjid Menara Kudus di Kudus, masjid Sunan Ampel di Surabaya, masjid Agung Demak di Demak, masjid Agung Banten di Banten, dan sebagainya. Pemakaman yang yang ditempatkan di area perbukitan dan merupakan pemakaman orang terpandang dalam masyarakat dijumpai pada pemakaman Sunan Gunung Jati di Cirebon, pemakaman Sunan Muria di gunung Muria Kudus, pemakaman Sunan Giri di Diri Jawa Timur, pemakaman Sultan-sultan Mataram Islam dan Yogyakarta di Gunung Imogori Yogyakarta, dan makam Sunan Sendang di Sendang Duwur. Handinoto dan Samuel Hartono. 2007.“Pengaruh Pertukangan Cina Pada Bangunan Mesjid Kuno di Jawa Abad 15 – 16.” Dimensi Teknik Arsitektur. Vol. 35, No.1, Juli 2007. Universitas Kristen Petra Surabaya. Hlm. 26
makam ini, demikian juga ukiran burung dan pepohonan sulur-suluran serta hiasan
medallion.
Gambar kepala ular naga di batu nisan sisi utara dan selatan di bagian luar dan
dalamnya serta berkaki empat di jirat bawah pada dasarnya bukanlah tradisi asli Cina. Ular
naga memang telah dikenal di Tiongkok, ia dianggap makhluk yang mendatangkan hujan, air,
dan embun untuk kesuburan tanam-tanaman. Sedangkan di Indonesia ia sudah dibuat menjadi
dekorasi candi-candi seperti di Jawa Timur, namun yang paling banyak ia dibuat untuk
mendekorasi monument misalnya linggayoni dari Prambanan ada juga di Sumatra dan
Madura. Bahkan, naga dijadikan dekorasi di berbagai tempat oleh orang Indonesia dalam
bentuk bermacam-macam motif dan sebagiannya bermotif yang pengaruh Cina sudah sangat
kuat. Gambar naga kita temukan juga di naskah-naskah bertuliskan aksara Jawi (Arab-
Melayu.84 Jika demikian, kepala naga di batu nisan makam Fatimah Hwu sangat kuat
pengaruh Cinanya. Sementara tradisi naganya bukanlah berasal dari Cina. Berbagai tradisi di
Indonesia yang berkaitan dengan upacara keagamaan dan upacara adat-istiadat sangat erat
kaitannya dengan naga. Maka dikenal di Indonesia nama-nama naga; naga dina, naga bulan,
naga tahun, naga bumi.
Tradisi Hindu sudah mengajarkan bahwa tumbuh-tumbuhan berasal dari air liur ular.
Jika demikian, maka penghormatan terhadap ular aslinya adalah ajaran agama Hindu bukan
berasal dari Cina, mungkin saja ketika Hindu dan Budha masuk ke Cina ajaran ini mengalami
akulturasi.85 Sri Suryatmi Satari mengatakan, :
“ The Naga is one of the most popular decorative motifs in Indonesia. It is found as ornamentation on ethnological as well as archeological objects ranging from daily
84Tjandrasasmita, Uka.2009.Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta:Gramedia. Hlm. 185. Naskah Melayu yang bergambar dua ekor ular naga yang saling berhadap-hadapan bertanggal 1893 tentang tempayan yang dipasarkan di daerah Sintang pada masa itu.
85Satari, Sri Soejatmi. “The Role of Naga in The Indonesian Culture”. Dalam PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN ARKEOLOGI NASIONAL.2008. Untuk Bapak Guru. Jakarta:Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional.Hlm. 209-216. Lihat juga Fitzgerald, C.P. TT. China a Short Cultural History. London:The Cresent Press. Hlm. 126.
utensils to venerate monuments. The religion and artistic traditions are based on the Indian culture, but the Indonesian artist managed to modify them into a new creation. Naga as temple decoration is not common in central Java, but more apparent on smaller monuments, such as yonis or pedestals. Here it either stands alone, or combined with garuda or turtles, and sometimes with a kalahead.”86
Pada jirat makan bagian timur dan barat terdapat gambar dua ekor burung yang
sedang terbang dekat pohon. Burung adalah lambang musim semi dan hidup muda bagi orang
Cina. Burung juga dianggap sebagai lambang keabadian, khususnya burung feniks yang
dikenal dalam cerita kuno. Untuk melambangkan arti penting burung dalam kehidupan dan
kematian dibuatlah gambar atau ukirannya di tempat-tempat semisal makam atau gafura
pemakaman.87 Burung adalah perlambang keabadian. Pada bagian atas batu nisan makam
Fatimah Hwu terdapat gambar medalion88 yang bagi orang Cina mengadung arti sistem
sirkulasi atau perputaran serta perlambang langit untuk kebahagiaan.
C. Akulturasi Masyarakat Muslim Jakarta Pada Abad ke- 18
Keberhasilan Falatehan mengambil-alih kekuasaan di Sunda Kelapa awal abad
keenam belas merupakan kemenangan Allah/Islam. Sesuai dengan namanya Fathullah
(kemenangan Allah) yang lidah asing menyebutnya Falatehan.
Pengambil-alihan Sunda Kelapa oleh Islam disebabkan berbagai faktor, satu di
antaranya adalah terjadinya perjanjian antara Pajajaran dengan Portugis untuk meningkatkan
perdagangan, perekonomian, dan perlindungan politik. Hal ini membuat kemarahan Sultan
Demak (Sultan Bintara III, Sultan Treggono) dan tokoh-tokoh ulama dan umara di Cirebon.89
Sunan Gunung Jati dan Sultan Trenggono meminta Falatehan merebut Sunda Kelapa. Dengan
86Satari, Sri Soejatmi. “The Role of Naga in The Indonesian Culture… Hlm.214 87Hidayatin, Titin. 1997. “Unsur-Unsur Cina Pada Masjid Kebon Jeruk”. Skripsi Sarjana Jurusan
Sejarah dan Peradaban Islam Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Hlm. 42. Lihat juga Berg, H.J. Van Den. 1952. Dari Panggung Peristiwa Sedjarah Dunia I.Jakarta:Groningen, JB. Wlters. Hlm 144. Lihat Diessen, J.R. van. 1989.Jakarta/Batavia. UitgeverijWestland n.v. Schoten. Hlm.225
88Medalion adalah perhiasan berbentuk bulat (lonjong, jantung dsb.) yang dibuat dari emas, dsb. Yang digantungkan pada kalung, rantai, arloji, dsb. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia… Hlm. 726.
89Rahardjo, Supratikno, MPB Manus, dan Suryo Harsono. 1996, “Sunda Kelapa Sebagai Bandar di Jalur Sutra”. Laporan Penelitian. Jakarta:Departemen P dan K RI. Hlm. 48 - 49
Pasukan Gabungan dari Demak, Cirebon, dan Banten, Falatehan berhasil merebut Sunda
Kelapa pada 22 Juni 152790 serta mengganti namanya menjadi “Jayakarta” yang berarti
kemenangan murni.
Pada masa pemerintahan Pangeran Jayakarta Wijayakrama berkuasa, Jakarta menjadi
pelabuhan internasional91 yang menarik pedagang-pedagang asing berdatangan membawa
barang-barang asal Cina, Jepang, Gijarat-India, Persia, Arab, Pegu, dan Birma membanjiri
Jayakarta. Disamping itu terjalin pula hubungan dagang dengan saudagar local dari Ambon,
Maluku, Banjarmasin, Sulawesi, Jawa, dan Sumatra. Sungai-sungai Cisadane, Citarum, dan
Ciliwung dimanfaatkan untuk angkutan barang.
Pada 30 Mei 1619 Jayakarta berganti nama dengan Batavia, sementara penduduknya
sudah mencapai 12.000 jiwa, sebagiannya adalah muslim. Antara tahun 1700 -1730
penduduk Jakarta sekitar 30.000 jiwa bersal dari berbagai etnik nusantara dan luar negeri.
Saat terjadi pembunuhan missal orang-orang Cina tahun 1740, penduduk Jakarta menurun.
Status sosial penduduk Jakarta di abad ke- 18 terdiri dari berbagai tingkatan, namun,
sebagian besarnya adalah budak. Orang-orang Eropa merupakan kelas utama, Kristen Asia-
Eropa dan Indonesia kelas dua, kemudian disusul orang Cina dan Arab . Status kepegawaian
orang Islam adalah yang terendah yang tertinggi orang Eropa. Dari segi ekonomi, status
tertinggi diduduki oleh orang Eropa disusul orang Cina, Arab, India, dan paling rendah
adalah orang Islam Indonesia.92 Status sosial-budaya masyarakat Jakarta tersusun menjadi
tiga tingkatan; tingkat paling tinggi adalah orang Eropa kemudia disusul orang Asia (Cina,
Arab, dan India), selanjutnya diduduki orang Indonesia yang sebagian besarnya Muslim.
90Soekanto. 1954. Dari Jakarta ke Jakarta. Djakarta:Soeroengan. Hlm. 51 91Ambary, Hasan Muarif. 1983. The Establishment of Islamic Rule in Jayakarta. Jakarta:Departemen
P dan K, Hlm. 18 92Milone, Pauline Dublin. 1966. Queen City of the Last. The Metamorphosis of Colonial Capital. Ph.
D.Thesis. University of California. Hlm. 149.
Sebagai daerah pelabuhan Jakarta disinggahi dan dijadikan tempat menetap berbagai
suku bangsa di dunia bahkan lahir pula anak-anak hasil campuran atau asimilasi dari mereka.
Orang Indo, misalnya, adalah anak-anak bapak Eropa dan anak-anak campuran berbagai suku
Indonsia dan Eropa. Sebagian orang Eropa yang menikahi wanita muslim konversi ke dalam
Islam.
Di Jakarta ditemukan juga orang Jepang yang bekerja sebagai serdadu, petani,
pedagang, dan eksportir. Ada juga orang Mardijkers dan Papanger, yaitu orang merdeka
campuran India dan Portugis yang datang dari India Selatan; daerah Coromandel, Arakan,
Malabar, dan Bengal. Pada abad ke- 18 mereka sudah merdeka semua dan menjadi penduduk
Jakarta yang disebut Burgers (campuran). Mereka memperkenalkan budaya Portugis di
Jakarta.
Bangsa atau suku lain yang hijrah ke Jakarta serta menetap untuk selama-lamanya
adalah orang Afrika, Orang Cina, Orang Arab, orang Melayu, dan Orang Bali. Orang Afrika
datang dari Angola dan Mozambique dan bekerja sebagai pembantu polisi serta tukang
gantung. Mereka memiliki fisik yang kuat dan keberanian untuk mampu membantu
pengamanan.
Orang-orang Cina yang sebagian besar dari Cina bagian selatan Cina menetap di
Jakarta dan menjadi orang kaya. Mereka sudah lebih dulu datang dibanding orang Afrika,
bahkan menjadi penduduk pendatang yang mayoritas. Mereka sudah lama tinggal di Banten
dan Sunda Kelapa. Antara tahun 1730 dan 1740 jumlah mereka sudah mencapai 5.000 jiwa di
Jakarta.
Orang Cina di Jakarta dibagi menjadi tiga bagian; Cina peranakan, Cina Singkeh, dan
Cina Kanton. Cina peranakan adalah Cina yang lahir dari ibu orang Indonesia. Cina Singkeh
adalah Cina asli yang datang dari daratan Cina, mereka disebut Cina “totok”. Cina totok
inilah yang tetap mempertahankan budayanya dan berbahasa Hokkien di Jakarta. Cina
Kanton adalah Cina yang berasal dari daerah Kanton di Cina.
Sebagian Cina Singkeh beristerikan wanita Indonesia asli yang sebagian besarnya
wanita berasal dari Bali. Wanita Bali tidak mempersoalkan makanan Cina yaitu babi. Dari
mereka lahir Cina peranakan yang berdialek campuran Hokkien dan bahasa Melayu Betawi.
Cina Totok dibutuhkan di Jakarta dalam bidang pertukangan dan perdagangan,93 salah
seorang di antaranya adalah pendiri Masjid Kebon Jeruk, Tamien Dossol Seng.
Kedatangan orang-orang Cina di Jakarta disebabkan berbagai hal, di antaranya
dibawa oleh Belanda untuk membangun kota Jakarta. Pendiri Masjid Kebon Jeruk datang ke
Jakarta disebabkan tekanan politik di negerinya. JP. Coen mendatangkan Cina ke Jakarta
karena menyukai usaha mereka di bidang industri gula dan distilasi arak. Belanda
mengirimkan kapal-kapal ke Tiongkok untuk menangkap orang-orang Cina untuk
dimasukkan ke kapal dan membawa mereka ke Jakarta.
Kadatangan orang Cina secara besar-bessaran terjadi awal abad ke- 18, sehingga
banyak yang tidak kebagian pekerjaan dan tempat tinggal. Mereka mulai merampok dan
membunuh serta melakukan penyelundupan. Penguasa Belanda cemas dengan kondisi ini
serta mulai melakukan pengawasan. Sebagian orang Cina dibuang ke Srilanka, pulau Bangka,
dan Cape (Afrika).
Orang Cina terus melakukan tindakan-tindakan melawan hokum, bahkan tersiar kabar
bahwa pada tahun 1740 mereka malakukan pemberontakan untuk menguasai Jakarta.
Perangpun pecah antara Belanda dan orang Cina yang mengakibatkan pengusiran terhadap
orang Cina keluar dari Jakarta. Sebagiannya ditahan dan dibunuh secara missal.
93Milone, Pauline Dublin. 1966. Queen City of the Last. The Metamorphosis of Colonial Capital… Hlm. 193
Untuk dapat kembali memasuki Jakarta, banyak orang Cina masuk Islam. Demikian
pula Cina peranakan, bahkan mereka ikut budaya Barat. Ada juga orang Cina yang
memelihara konde, rambut gaya Dinasti Ming, suatu kebanggan di Cina.
Konversi ke dalam Islam dalam jumlah besar sesudah peristiwa pemberontakan
mempermudah mereka masuk ke Jakarta sebagai seorang Islam. Mereka pun tidak dilarang
berdagang di Jakarta, mereka hidup dalam komunitas Muslim dengan mandur mereka sendiri
sejak tahun 1776. Para Singkeh yang awalnya kelas buruh lama kelamaan menyimpan uang
dan berdagang sehingga menjadi orang kaya. Sejak tahun 1780, peranakan Cina Islam tinggal
di luar Glodok bagian timur, di Kebon Jeruk, di antara kota lama dan kota baru Weltevieden.
Mereka punya took di Tanah Abang, Pasar Senen, dan Pasar Baru. Pada saat bersamaan
Tamien Dossol Seng membangun masjid di sekitar Kebon Jeruk untuk menampung orang-
orang Cina muslim beribadah.
Berbeda dengan orang Cina, umumnya kedatangan orang Arab di Nusantara dan
khususnya ke Jakarta untuk berdagang dan da’wah menyebarluaskan ajaran Islam. Mereka
merupakan penduduk pendatang terbesar di nusantara dan jumlah mereka sangat besar di
Jakarta. Belanda membedakan perlakuannya mengahadapi orang Cina dan orang Arab. Orang
Arab termarjinalkan dari kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pemerintah. Sebagian
orang Arab tingga di Krukut, Tanah Abang, dan lingkungan pribumi.
Pada dasarnya orang Arab memiliki budayanya sendiri, namun di antara mereka
sudah ada yang memakai pakaian ala Eropa karena berbagai faktor.94 Pada abad ke 17 dan
abad ke- 18 mayoritas orang Arab tinggal di kota-kota pelabuhan di Jawa, di antaranya di
Jakarta.
Sebagian besar orang Arab tidak membawa isteri ke Indonesia, mereka menikahi
wanita-wanita muslimah Indonesia dan anak-anak mereka adalah Indo-Arab yang
94Berg, LWC Van Den. 1989. Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara. Jakarta:INIS Book. Hlm. 72 -73 dan 123.
menciptakan budaya Arab-Indonesia di Jakarta. Mereka yang bekerja di pemerintahan
memakai pakaian Barat.
Hampir sama dengan orang-orang Arab di Jakarta, orang-orang India yang ada di
Jakarta adalah Muslim. Mereka disebut Mooren dari kata Portugis Moura yang berarti Islam.
Kedatangan orang-orang India di Jakarta setelah terjadinya pembantaian terhadap orang-
orang Cina tahun 1740 untuk menggantikan orang-orang Cina di bidang perdagangan dan
perekonomian hanya saja orang-orang Cina segera mengantisipasinya.
Umumnya orang Muslim India memakai baju panjang sesuai pakaian ala India. Pada
abad ke- 17 dan ke- 18 mereka tinggal di luar tembok kota, di daerah Pakojan. Bersama-sama
muslim lainnya dari suku Arab, dan Jawa mereka berdagang menjual kebutuhan sandang
khususnya dari India.
Di Jakarta pada abad ke- 17 dan ke- 18 terdapat orang Melayu. Mereka adalah
muslim. Ada juga orang Melayu yang kaya di Jakarta dan pemerintah Belanda sangat
menghormati mereka.95 Mereka diberi barbagai jabatan, di antaranya di bidang urusan
diplomatik penghubung dengan kesutanan dan penerjemah. Orang-orang Melayu bekerja juga
dalam bidang perdagangan dan pelayaran.
Orang Bali merupakan sebagian dari penduduk Jakarta, khususnya di abad ke- 18.
Orang Bali bekerja di sektor pembangunan sebagai kuli dan montir kapal. Berbagai faktor
yang menyebabkan orang Bali masuk ke Jakarta di abad ke- 18. Di antaranya, para budak
wanita Bali ditekan oleh kaum feudal. Sebab lain adalah kehidupan para budak di Jakarta
lebih baik dari daerah-daerah lain. Sekitar tahun 1770 terdapat sekitar empat ribu budak di
Jakarata.
95Milone, Pauline Dublin. 1966. Queen City of the Last. The Metamorphosis of Colonial Capital… Hlm. 217
Budak-budak asala Bali sebagian ada yang masuk Kristen untuk bisa merdeka, tapi
setelah merdeka mereka masuk Islam. Abad ke- 17 dan ke- 18 ditengah tekanan pemerintah
Belanda terjadi islamisasi di Jakarta, sebagian dari orang Bali bahkan setelah mereka masuk
Kristen, mereka masuk ke dalam Islam.
Orang-orang Islam dari berbagai suku dan bangsa di Jakarta menjadi mayoritas.
Mereka memakai pakaian seperti Arab, India, Melayu, bahkan berpakaian ala Eropa; di atas
jas, tapi di bawah sarung. Karena sesama Muslim, penduduk dari berbagai suku dan bangsa
ini sekalipun tinggal di perkampungan masing-masing; Cina muslim tiggal di perkampungan
Cina, India muslim tinggal di perkampungan India, Jawa muslim tinggal di perkampungan
Jawa mereka tetap menjalin hubungan yang baik serta berinteraksi, bahkan berasimilasi dan
berakulturasi.
Suku Betawi bukanlah berasal dari Jakarta secara turun temurun sejak jaman purba,
seperti etnis batak, sunda, jawa, dan sebagainya, tapi suku Betawi lahir dari suku dan bangsa
yang menetap di Jakarta. Mereka adalah suku yang dilahirkan berkat terjadinya asimilasi dan
akulturasi antar-suku-etnis-bangsa di Jakarta, bahkan budaya dan kesenian Betawi merupakan
kesenian tradisional yang sangat kental unsur Cina, Arab, dan Eropa. Demikian juga bahasa
sehari-hari yang dipakai suku Betawi adalah bahasa yang kata per katanya gabungan dari
berbagai bahasa di dunia. Kita tidak mendapati seni arsitektur bercirikan asli dari Betawi
kecuali arsitektur bangunan yang diadopsi dan ditransformasikan dari berbagai etnis dan
bangsa di Jakarta.
Berbagai faktor yan menyebabkan terjadinya akulturasi budaya, asimilasi antar suku
dan bangsa, adopsi dan adaptasi antar budaya, dan transformasi budaya di Jakarta hingga
abad kedelapan belas di antaranya adalah agama Islam, adanya rasa senasib menghadapi
persoalan dan kesulitan yang sama, yaitu diskriminasi yang dilakukan Belanda dan kondisi
sosial eknomi yang sangat lemah. Disamping itu, pada masa Deandels berkuasa dia hapuskun
sistem kcontrol “like over like”, yakni suku dikepalai oleh orang asli suku tersebut.
Kebijakan ini mengakibatkan pudarnya suku-suku di Jakarta serta terkikisnya system
perkampungan berdasar suku, misalnya suku Bali tinggal di kampung Bali, orang Bugis dan
Makasar tinggal di Kampung Makasar, dan sebagainya.
Ajaran Islam tidak membeda-bedakan antara suku atau bangsa. Pada abad ke- 17
ajaran ini telah mendorong orang-orang Bali yang hijrah ke Jakarta sebagaian besar masuk
Islam dan menyatu dengan orang-orang Islam lainnya bahkan pria dan wanitanya dinikahi
oleh wanita atau pria dari suku lain. Bukan hanya orang Bali yang melakukan hal serupa,
tapi suku-suku lain pun melakukannya, seperti orang Cina yang menikahi wanita-wanita
bukan Cina, orang Arab, orang Eropa, orang India juga menikah dengan orang-orang yang
berasal dari suku bukan India. Mereka juga melakukan proses akulturasi; adaptasi dan
transformasi budaya sebagai tampak dalam seni yang mereka miliki; seni musik, seni ukir,
seni arsitektur dan lain sebagainya. Seni arsitektur yang berasal dari berbagai unsur budaya
masyarakat Jakarta di antaranya diwakili oleh seni arsitektur Masjid Kebon Jeruk.
BAB V
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Sekalipun sulit, upaya menggali sejarah Masjid Kebon Jeruk masih mendapatkan
jalan untuk menelusurinya. Jalan penelusurannya dimulai dari mengamati arsitektur
bangunannya yang masih berdiri di tengah kota metropolitan Jakarta. Bangunannya yang asli
saat berdiri pada tahun 1786 sudah tidak ada walaupun dalam bentuk foto, sebab fotografhi
masa itu belum ditemukan. Sekiranya ada hanyalah berupa sketsa, fotonya baru diambil awal
abad dua puluh artinya bangunan yang sudah berdiri kurang lebih seratus dua puluh tahun
sudah sangat mungkin mengalami perubahan atau rehabilitasi. Dengan demikian foto yang
diambil di awal abad kedua puluh sangat mungkin bukan bangunan yang seluruhnya utuh
sejak berdirinya.
Jalan meretas sejarah Masjid Kebon Jeruk dapat juga dilakukan melalui catatan-
catatan yang dibuat para pelancong yang menyinggahi Batavia atau arsip-arsip yang
ditinggalkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Umumnya, pelancong yang mencatatkan
perjalannya berasal dari Eropa atau Cina. Akan tetapi catatan-catatan ini tak hanya berkaitan
tentang suatu masalah, kaitannya hanya dengan perjalanan yang mereka lakukan. Demikian
pula arsip-arsip pemerintah kolonial, walaupun tentang Batavia ia sangat terpilah-pilah pula,
terkadang berkaitan dengan tanah, bangunan, tata praja, tata kota, kebijakan tentang sosial
kemasyarakatan, dan perdagangan. Memang sesekali menyinggung Masjid Kebon Jeruk,
namun bukan merupakan sebuah kisah tentang Masjid Kebon Jeruk.
Tutur dari mulut ke mulut tentang Masjid Kebon Jeruk masih didapati hingga saat ini;
baik melalui garis keturunan pendiri masjid atau orang dekatnya yang memiliki keturunan
yang dapat menuturkan kisah Masjid Kebon Jeruk. Sejarah lisan yang lebih valid jika si
penutur adalah sumber primer, sementara sumber primer berdirinya Masjid Kebon Jeruk
sudah mustahil ditemukan. Dengan demikian penutur-penutur sekarang merupakan generasi
keempat atau kelima.
Komunitas Cina di Jakarta berasal dari Tiongkok bagian selatan yang sebagiannya
sudah memeluk agama Islam. Pendiri Masjid Kebon Jeruk Chau Tsien Hwu (Tamien Dossol
Seng) adalah salah seorang di antaranya yang menetap di daerah Kebon Jeruk Jakarta Kota
saat masjid ini dibangunnya.
Di Jakarta terdapat bangunan masjid bergaya arsitektur Cina seperti pada umumnya
masjid-masjid kuno di pesisir utara pulau Jawa. Masjid Kebon Jeruk disebut bergaya
arsitektur Cina, sebab bisa dilihat dari kerangka atapnya dan bentuknya yang limasan
bertumpang dua. Persentase unsur arsitektur Cina lebih besar jika dibangdingkan dengan
unsur-unsur budaya non-Cina. Mustaka berbentuk nanas, kerangka kusen atap dan cara
pemasangannya, atap bertumpang dua, ornamen di dalam masjid dan batu nisan kuburan
Fatimah, dan lain-lain merupakan bagian-bagian masjid yang berasal dari budaya Cina.
Unsur-unsur lain yang melekat di masjid berlatar kultur yang sangat beragam; yakni
kultur Jawa, Eropa, dan Arab yang mencerminkan beragamnya budaya etnis masyarakat
Muslim yang tinggal di Jakarta sejak abad kedelapan belas.
Masjid Kebon Jeruk, sejak dibangun, mengalami perkembangan dan perbaikan fisik,
dengan adanya perluasan bangunan dan ditingkat menjadi du sehubungan pertambahan
jumlah penduduk Kebon Jeruk dari waktu ke waktu. Pambatasan rehabilitasi dilakukan untuk
mempertahankan ciri keasliannya baru terjadi sejak ditetapkannya bangunan ini menjadi BCB
(Benda Cagar Budaya).
B. Saran-saran
1. Masjid-masjid di Jakarta yang dibangun pada abad kedelapan belas memiliki seni
arsitektur berlatar belakang beragam budaya masyarakat Muslim yang hidup di
Jakarta, satu di antaranya adalah Masjid Kebun Jeruk. Hal ini menunjukkan bahwa
masyarakat Muslim Jakarta telah mengalami akulturasi budaya.
2. Terjadinya akulturasi budaya masyarakat Muslim berjalan dengan aman dan damai.
Mereka hidup dalam kerukunan dan kedamaian. Oleh karena itu sangat diharapkan
jika pemerintah DKI menjadikan masjid-masjid yang dibangun di abad kedelapan
belas ini sebagai pilot proyek mempromosikan kehidupan rukun dan damai di
tengah-tengah masyarakat sebagai tergambar dalam bangunan masjid.
3. Disarankan juga kepada pemerintah DKI untuk terus melestarikan budaya lokal
(local geneune) agar budaya masyarakat terdahulu tidak hilang ditelan oleh keadaan
kota metropolitan Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad. 2007. “Chinese Muslims in Colonial and Postcolonial Indonesia.” Rxplorations. Vol. 7. Nomor 2.
Ambary, Hasan Muarif dan Parlindungan Siregar. 2005. “Sejarah Perkembangan Kota Jakarta Sejak Awal Berdirinya Hingga Abad XIX Masehi”. Laporan Penelitian Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta
Ambary, Hasan Muarif. 1983. The Establishment of Islamic Rule in Jayakarta. Jakarta:Departemen P dan K.
Atthiyat, Gandrian (Ed.). 1995. Bangunan Cagar Budaya di Wilayah DKI Jakarta. Jakarta:Dinas Museum DKI Jakarta
Berg, LWC Van Den. 1989. Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara. Jakarta:INIS Book
Bolaffi, Guido dkk.(Ed.). 2003. Dictionary of Race, Ethnicity & Culture.London, Thousand Oaks, New Delhi:SAGE Publications
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Kedua. Balai Pustaka
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta:Balai Pustaka
Emot Rahmat Taendiftia dkk. Gado-gado Betawi: Masyarakat Betawi dan Ragam Budayanya.Jakarta:Grasindo.
Fijper, G.F. 1992. Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900 – 1950. Terjemahan Tudjimah dan Yessy Augusdin. Jakarta:UI-Press
Gazalba, Sidi. 1962. Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam. Djakarta:Pustaka Antara
Haris, Tawalinuddin. “Masjid-masjid di Dunia Melayu – Nusantara.” Makalah disampaikan pada Diklat Arkeologi Keagamaan PUSDIKLAT TENAGA TEKNIS KEAGAMAAN BADAN LITABANG DAN DIKLAT KEMENAG RI. Ciputat, 2 Juni 2010
------------. 2007. .Kota dan Masyarakat Jakarta Dari Kota Tradisional Ke Kota Kolonial (Abad XVI – XVIII). Jakarta:Wedatama Widya Sastra
Hidayatin, Titin. 1997. “Unsur-Unsur Cina Pada Masjid Kebon Jeruk”. Skripsi Sarjana Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Juliadi. 2007. Masjid Agung Banten Nafas Sejarah dan Budaya. Yogyakarta:Ombak
Milone, Pauline Dublin.1966. Queen City of the East:The Metamorposis of a Colonial Capital. (Ph.D. Thesis), University of California
Nasution, Isman Pratama. “Studi Arkeologi tentang Makam.” Makalah disampaikan pada Diklat Arkeologi Keagamaan PUSDIKLAT TENAGA TEKNIS KEAGAMAAN BADAN LITABANG DAN DIKLAT KEMENAG RI. Ciputat
Satari, Sri Soejatmi. “The Role of Naga in The Indonesian Culture”. Dalam PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN ARKEOLOGI NASIONAL.2008. Untuk Bapak Guru. Jakarta:Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional.
Shahab, Alwi. 2004. Saudagar Baghdad dari Betawi.. Jakarta:Republika.
SJ, A. Heuken. 2003. Mesjid-mesjid Tua di Jakarta. Jakarta:Yayasan Cipta Loka Caraka.
Skinner, G. William. 1963. The Chinese Minority in Indonesia. New Heaven:Yale University
Soekmono, R. 1981. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3.Jakarta:Kanisius.
Tanggok, Ihsan dkk. 2010. Menghidupkan Kembali Jalur Sutra Baru. Cet. IJakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Tjandrasasmita, Uka.2009.Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta:Gramedia
Winoto, Soeryo. “The Old Mosque Was Built By Chinese Convert”. The Jakarta Post. Saturday, 22 Juni 1985.
Wiryoprawiro, M. Zein. 1985. Perkembangan Arsitektur Masjid di Jawa Timur. Surabaya:Bina Ilmu.
Zein, Abdul Baqir.1999. Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia”. Jakarta:Gema Insani Press
Surat Kabar/Jurnal:
Kompas.
Jurnal Ilmu Dakwah
Dimensi Teknik Arsitektur