Upload
arie-wahyudi
View
64
Download
5
Embed Size (px)
DESCRIPTION
wawasan wilayah kepulauan
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Salah satu bagian terpenting dari kondisi geografis Indonesia sebagai
wilayah kepulauan adalah wilayah pantai dan pesisir dengan garis pantai
sepanjang 81.000 km. Wilayah pantai dan pesisir memiliki arti yang strategis
karena merupakan wilayah interaksi/peralihan (interface) antara ekosistem darat
dan laut yang memiliki sifat dan ciri yang unik, dan mengandung produksi biologi
cukup besar serta jasa lingkungan lainnya. Kekayaan sumber daya yang dimiliki
wilayah tersebut menimbulkan daya tarik bagi berbagai pihak untuk
memanfaatkan secara langsung atau untuk meregulasi pemanfaatannya karena
secara sektoral memberikan sumbangan yang besar dalam kegiatan ekonomi
misalnya pertambangan, perikanan, kehutanan, industri, pariwisata dan lain-lain.
Wilayah pesisir merupakan ekosistem transisi yang dipengaruhi daratan dan
lautan, yang mencakup beberapa ekosistem, salah satunya adalah ekosistem hutan
mangrove. Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan
penting di wilayah pesisir dan kelautan. Selain mempunyai fungsi ekologis
sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan
(nursery ground) berbagai macam biota, penahan abrasi pantai, amukan angin
taufan dan tsunami, penyerap limbah, pencegah interusi air laut, hutan mangrove
juga mempunyai fungsi ekonomis yang tinggi seperti sebagai penyedia kayu,
obat-obatan, alat dan teknik penangkapan ikan.
Mangrove merupakan salah satu ekosistem langka, karena luasnya hanya
2% permukaan bumi. Indonesia merupakan kawasan ekosistem mangrove terluas
di dunia. Ekosistem ini memiliki peranan ekologi, sosial-ekonomi, dan sosial -
budaya yang sangat penting; misalnya menjaga menjaga stabilitas pantai dari
abrasi, sumber ikan, udang dan keanekaragaman hayati lainnya, sumber kayu
bakar dan kayu bangunan, serta memiliki fungsi konservasi, pendidikan,
ekoturisme dan identitas budaya. Tingkat kerusakan ekosistem mangrove dunia,
termasuk Indonesia sangat cepat akibat pembukaan tambak, penebangan hutan
mangrove, pencemaran lingkungan, reklamasi dan sedimentasi, pertambangan,
1
sebab-sebab alam seperti badai/tsunami, dan lain-lain. Restorasi mangrove
mendapat perhatian luas mengingat tingginya nilai sosial-ekonomi dan ekologi
ekosistem ini. Restorasi dapat menaikkan nilai sumber daya hayati mangrove,
memberi mata pencaharian penduduk, mencegah kerusakan pantai, menjaga
biodiversitas, produksi perikanan, dan lain-lain (Setyawan, 2002).
Pesisir memiliki peranan sangat penting bagi berbagai organisme yang
berada di sekitarnya. Kawasan pesisir memiliki beberapa ekosistem vital seperti
ekosistem terumbu karang, ekosistem padang lamun dan ekosistem hutan
mangrove (Souhoka, 2009). Ekosistem mangrove secara ekologis memiliki
produktivitas yang tinggi untuk mendukung lingkungan sekitar. Tingginya
produktivitas ekosistem mangrove disebabkan oleh produksi serasah yang
dihasilkan dari vegetasi mangrove (Hogart, 1999). Kerusakan wilayah pesisir
berdampak pada terjadinya erosi di daerah hilir, kerusakan ekosistem pesisir, dan
sedimentasi yang membahayakan kehidupan di lingkungan pesisir. Hutan
mangrove sebagai salah satu ekosistem yang terdapat di wilayah pesisir memiliki
peranan yang besar dalam mempertahankan wilayah pesisir. Beberapa fungsi
hutan mangrove antara lain, secara fisik hutan mangrove dapat mencegah
terjadinya abrasi pantai dan meredam gelombang dan angin laut serta sebagai
perangkap sedimen (Pramudji, 2004). Secara kimia hutan mangrove berperan
dalam penyerapan bahan pencemar (polutan), sumber energi serta pensuplai bahan
organik bagi lingkungan di sekitarnya (Pramudji, 2002). Sedangkan secara
biologis hutan mangrove berfungsi sebagai daerah pemijahan (spawning ground),
daerah asuhan (nursery ground) dan daerah pencarian makan (feeding ground)
serta sebagai habitat bagi berbagai jenis organisme (Tomlinson, 1994;
Supriharyono, 2009). Ekosistem hutan mangrove memiliki fungsi ekologis,
ekonomis dan sosial yang penting di wilayah pesisir (Rawana, 2002). Hutan
mangrove juga merupakan habitat bagi berbagai organisme baik darat maupun
laut seperti kepiting, udang, ikan, reptilia, monyet dan lain sebagainya.
Luas hutan mangrove di Indonesia pada tahun 1982 adalah 4,25 juta ha,
namun pada tahun 1987 luasnya berkurang menjadi 3,24 juta hektar, dan menjadi
2,5 juta hektar pada tahun 1993 (Widigdo, 2000). Nur (2002) menyebutkan bahwa
kerusakan ekosistem mangrove terjadi karena pengaruh dua faktor, yakni faktor
2
alam dan faktor manusia. Faktor alam yang menyebabkan kerusakan mangrove
yaitu terjadinya badai, pemanasan global dan kenaikan muka air laut. Kerusakan
yang diakibatkan oleh faktor manusia antara lain adanya penebangan yang tidak
bertanggung jawab, konversi lahan yang tidak terkendali serta pemanfaatan
wilayah pesisir yang tidak sinkron antar satu wilayah dengan wilayah yang lain.
Hutan mangrove sebagai salah satu ekosistem wilayah pesisir dan lautan
yang sangat potensial bagi kesejahteraan masyarakat baik dari segi ekonomi,
sosial dan lingkungan hidup, namun sudah semakin kritis ketersediaannya. Di
beberapa daerah wilayah pesisir di Indonesia sudah terlihat adanya degradasi dari
hutan mangrove akibat penebangan hutan mangrove yang melampaui batas
kelestariannya. Hutan mangrove telah dirubah menjadi berbagai kegiatan
pembangunan seperti perluasan areal pertanian, pengembangan budidaya
pertambakan, pembangunan dermaga dan lain sebagainya. Hal seperti ini terutama
terdapat di Aceh, Sumatera, Riau, pantai utara Jawa, Sulawesi Selatan, Bali, dan
Kalimantan Timur. Kegiatan pembangunan tidak perlu merusak ekosistem pantai
dan hutan mangrovenya, asalkan mengikuti penataan yang rasional, yaitu dengan
memperhatikan segi-segi fungsi ekosistem pesisir dan lautan dengan menata
sempadan pantai dan jalur hijau dan mengkonservasi jalur hijau hutan mangrove
untuk perlindungan pantai, pelestarian siklus hidup biota perairan pantai (ikan dan
udang, kerang, penyu), terumbu karang, rumput laut, serta mencegah intrusi air
laut. Salah satunya model pendekatan pengelolaan sumberdaya alam termasuk
didalamnya adalah sumberdaya hutan mangrove adalah pendekatan pengelolaan
yang berbasis masyarakat. Selama ini, kebijakan pengelolaan sumberdaya alam
dikontrol kuat oleh negara yang pengelolaannya selalu didelegasikan kepada
pengusaha besar, jarang kepada rakyat kecil. Pemerintah sepertinya
kurangpercaya bahwa rakyat mampu mengelola sumberdaya alam yang ada di
lingkungannya (Sallatang dalam Golar, 2002). Berdasarkan hal di atas, maka
tulisan ini mencoba menguraikan bagaimana pemulihan mangrove berdasarkan
pendekatan kepada masyarakat yang berada di kawasan ekosistem mangrove.
3
1.2. Tujuan Pengelolaan
Berkaitan dengan semakin menurunnya kondisi dan luas area hutan
mangrove di berbagai kawasan pesisir di Indonesia, maka perlu ada suatu
pemikiran tentang langkah-langkah penahapan program yang sangat urgen bagi
keberadaan hutan mangrove. Adapun tujuan dari pengelolaan hutan mangrove
tersebut ada dua, yaitu tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang.
Gambaran dari masing-masing tujuan pengelolaan tersebut, secara terperinci
dibahahas antara lain sebagai berikut:
Tujuan jangka pendek
Melakukan evaluasi eksistensi hutan mangrove di seluruh kawasan pesisir
Indone-sia, merehabilitasi hutan mangrove yang sudah rusak serta mengelola
hutan mangrove dengan mengacu pada peraturan yang ada dan sekaligus unruk
melindungi biota yang hidup pada ekosistem mangrove. Untuk mencapai tujuan
program jangka pendek pengelolaan dan rehabilitasi hutan mangrove ini, dapat
dilakukan dengan cara antara lain sebagai berikut:
a. Melakukan koordinasi dengan berbagai institusi negeri dan swasta dalam
menginventarisir dan mengelola hutan man-grove.
b. Membuat jaringan kerja untuk mengelola hutan mangrove.
c. Mensosialisasikan peran dan manfaat hutan mangrove kepada masyarakat.
d. Memberikan pendidikan dan training yang berkaitan dengan cara untuk
merehabilitasi dan pengelolaan utan mangrove.
e. Memberikan sanksi hukum yang tegas bagi pelanggar.
Tujuan jangka panjang
Sedangkan tujuan jangka panjang program pengelolaan dan rehabilitasi
hutan mangrove di Indonesia adalah untuk menjaga dan mempertahankan fungsi,
serta manfaat ekosistem hutan mangrove melalui jaringan kerja yang baik. Untuk
mendukung agar tujuan program tersebut tercapai, perlu melakukan koordinasi
kepada institusi pemerintah terkait, antara lain Departemen Kehutanan,
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Menteri Negara Riset dan Teknologi
(RISTEK), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Menteri Negara
Lingkungan Hidup dan Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional
(BAKOSURTANAL). Selain itu, perlu juga melakukan koordinasi dengan pihak
4
swasta dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). misalnya Yayasan Terangi,
Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) dan WWF Indonesia,
maupun LSM yang lain yang ada di seluruh Indonesia, khususnya yang
menangani tentang kawasan pesisir.
5
BAB II
PERMASALAHAN, POTENSI DAN STRATEGI PELESTARIAN
2.1. Permasalahan
Pemanfaatan kawasan hutan mangrove di Indonesia yang selama ini
dikonversi sebagai lahan pertambakan, kenyataannya telah memberikan
sumbangan yang sangat besar terhadap menurunnya luas areal hutan man-grove di
Indonesia, baik itu secara kualitatif maupun kuantitatif. Permasalahan lain yang
terkait dengan rusaknya hutan mangrove adalah konversi hutan mangrove yang
diperuntukkan sebagai lahan pertanian, lahan perkebunan, kawasan pemukiman,
bangunan dermaga dan berbagai kegiatan penambangan serta bangunan lainnya
yang semakin semarak di kawasan pesisir. Namun demikian, kontribusinya masih
jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan dengan kegiatan pertambakan udang
dan ikan.
Disamping permasalahan di atas, dampak dari kegiatan pembangunan
dermaga di berbagai wilayah secara tidak langsung akan memicu munculnya
bangunan pertokoan dan pemukiman, sehingga pada akhirnya juga akan semakin
menambah perambahan hutan man-grove. Selanjutnya, dengan berkembangnya
kota dan pemukiman penduduk semakin bertambah tentunya akan menyebabkan
semakin banyak sampah rumah tangga dan berbagai bahan polutan yang dibuang
ke kawasan perairan pesisir. Oleh karena itu, dengan menurunnya areal hutan
mangrove yang cukup drastis pada beberapa dekade terakhir ini, akan
menimbulkan dampak yang cukup rumit dan sangat kompleks, antara lain adalah
terjadinya erosi garis pantai, intrusi air laut, banjir, menurunnya kualitas perairan
dan selanjutnya menyebabkan menurunnya produksi perikanan.
Kegiatan manusia, pola pemanfaatan sumberdaya alam dan pola
pembangunan dituding sebagai faktor penyebab penting yang menyebabkan
terjadinya kerusakan ekosistem hutan mangrove. Tindakan manusia seperti
membuka lahan untuk tambak yang melampaui batas daya dukung maupun
memanfaatkan hutan mangrove secara berlebihan tanpa melakukan rehabilitasi
akan menyebabkan terjadinya degradasi ekosistem hutan mangrove. Pola
6
pemanfaatan lahan yang bersifat tidak ramah lingkungan juga akan mengancam
keberadaan ekosistem hutan mangrove. Demikian pula pola pembangunan yang
dijalankan di daerah akan mempengaruhi kelestarian sumberdaya hutan
mangrove. Pada saat ini ada indikasi bahwa kerusakan ekosistem hutan mangrove
dan ancaman kepunahan spesies mangrove di wilayah pesisir semakin meningkat.
Faktor penyebab kerusakan dan akar permasalahannya cukup komplek. Namun
inti dari semua permasalahan degradasi hutan mangrove itu pada hakekatnya
bersumber pada manusia beserta perilaku nya, dalam hal ini adalah masyarakat
yang ada disekitarnya. Persepsi dan partisipasi merupakan unsur perilaku manusia
yang akan mempengaruhi bagaimana seorang manusia bertindak. Guna menjamin
fungsi ekosistem berjalan dengan baik bagi lingkungan secara keseluruhan di
wilayah pesisir maka sangat diperlukan suatu strategi kebijakan pengelolaan
ekosistem hutan mangrove yang efektif yang berlandaskan prinsip-prinsip
pengelolaan lingkungan secara berkelanjutan yaitu pengelolaan yang dilakukan
secara terpadu (integral) dan menyeluruh (holistik) dari aspek-aspek lingkungan
terkait yang mencakup aspek ekologi, ekonomi dan sosial. Perumusan strategi
kebijakan itu sendiri memerlukan sejumlah data dan informasi yang memadai agar
menghasilkan arahan kebijakan pengelolaan ekosistem hutan mangrove yang
jelas. Dalam konteks sosial budaya masyarakat, maka perlu dilakukan studi
komprehensif mengenai aspek sosial budaya masyarakat yang ada di sekitar hutan
mangrove. Komponen sosial budaya yang diteliti meliputi persepsi dan partisipasi
masyarakat.
Berbagai upaya pemerintah dalam mensosialisasikan dan mengelola
sumberdaya mangrove telah banyak dilakukan, namun hasilnya hingga saat ini
kurang optimal. Hal ini terlihat di lapangan bahwa sebagian besar hutan mangrove
di Indonesia, kondisinya semakin menurun dan sebagian besar dikonversi menjadi
usaha pertambakan. Disamping itu, berbagai upaya yang berkaitan dengan
program rehabilitasi juga sudah banyak dilakukan, namun hingga saat ini hasilnya
belum optimal, kecuali di daerah Benoa Bali yang dilakukan oleh Departemen
Kehutanan dan JICA (Japan International Cooperation Agency), Jepang.
Sedangkan program yang dilakukan oleh pemerintah di beberapa daerah seperti di
pantai utara Jawa, Sinjai (Sulawesi Selatan) dan Penajam (Kalimantan Timur)
7
kelihatannya tidak seperti yang kita inginkan. Kelemahan dari program yang
selama ini diterapkan adalah hanya untuk memenuhi target program, tetapi bukan
difokuskan kepada upaya yang serius agar dapat memperoleh hasil yang baik.
Masalah kebijaksanaan perlindungan sumberdaya mangrove yang terkait
dengan pengelolaan sumberdaya alam secara lestari, hingga saat ini kurang efektif
atau bahkan tidak berfungsi. Penyebab kurang efektifnya kebijaksanaan tersebut
antara lain adalah kebijaksanaan yang telah disepakati tidak disertai dengan
penegakan hukum yang semestinya, serta masih ada kebijaksanaan dari lembaga
pemerintah yang berbeda dan sering kurang koordinatif, sehingga dampaknya
menimbulkan perbedaan interpretasi khususnya pada tingkat pelaksana lapangan.
Selain hal tersebut, kebijakan pemerintah yang diterapkan kurang mengakomodasi
terhadap berbagai kepentingan dari "stakeholders".
Dari beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa permasalahan riil yang
ada sekarang terhadap hutan mangrove baik di dunia maupun di Indonesia secara
khusus adalah terjadinya kerusakan akibat pemanfaatan yang melebihi kebutuhan
dan meninggalkan asas keberlanjutan. Faktor penyebab terjadinya kerusakan pada
hutan mangrove diantaranya;
1. Pemanfaatan yang tidak terkontrol, karena ketergantungan masyarakat yang
menempati wilayah pesisir sangat tinggi.
2. Konversi hutan mangrove untuk berbagai kepentingan (perkebunan, tambak,
pemukiman, kawasan industri, wisata dll.) tanpa mempertimbangkan
kelestarian dan fungsinya terhadap lingkungan sekitar.
Atas dasar pemikiran tersebut, maka perlu adanya strategi dan kebijaksanaan
pengelolaan dari berbagai stakeholder yang terkait berdasarkan potensi, peranan
secara terintegrasi, sehingga akan memberikan hasil yang mampu memulihkan
fungsi hutan mangrove baik secara ekologis maupun ekdnomis yang berorientasi
kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat pesisir yang
hidup disekitar kawasan hutan mangrove.
8
2.1.1. Faktor Penyebab Kerusakan Hutan Mangrove
Walaupun memiliki sangat banyak fungsi, umumnya hutan mangrove
mengalami kerusakan yang sangat parah.
Faktor-faktor penyebab kerusakan hutan mangrove, adalah sebagai berikut :
1. Substrat mangrove pada umumnya lumpur berpasir atau lempung
berpasir, manakala substrat berganti menjadi dominan pasir atau sampah
padat, maka pertumbuhan mangrove akan menjadi kerdil dan
berkemungkinan menuju pada kepunahan.
2. Eksploitasi yang berlebihan tidak akan memberikan kesempatan
tumbuhan mangrove sampai pada umur optimal, sehingga di sana sini
dapat meloloskan gempuran ombak sampai ke batas terdalam.
3. Konversi hutan mangrove menjadi areal tambak yang berlebihan sampai
ke batas areal terluar akan memberikan kesempatan pada :
- Ombak untuk mengubah posisi garis pantai
- Arus untuk memindahkan volume pasir /sedimen ke tempat lain
Proses perusakan hutan mangrove dapat dilihat dari penyebab perusakan
secara fisis dan non fisis, seperti berikut :
a. Aspek Fisik
1. Adanya pemanfaatan kayu bakau secara berlebihan atau tidak terkendali,
baik oleh masyarakat setempat maupun oleh pihak luar dan swasta.
2. Pembukaan lahan mangrove untuk kegiatan pertambakan, pembangunan
industri, permukiman dan lain-lain
3. Hilangnya terumbu karang sebagai peredam ombak alami
4. Adanya sebaran pencemaran seperti tumpahan minyak, limbah bahan
organik, sampah padat.
b. Aspek Non Fisik
1. Rendahnya tingkat pemahaman masyarakat termasuk pemda dan dunia
usaha tentang manfaat keberadaan kawasan mangrove.
2. Tidak jelasnya tata ruang dan pemanfaatan wilayah pesisir
3. Belum adanya penetapan jalur hijau
9
4. Tidak tersosialisasinya dengan baik segala peraturan perundangan yang
berkaitan dengan perlindungan wilayah pesisir.
5. Masih rendahnya penegakan hukum dalam upaya mengambil tindakan
terhadap setiap kegiatan ilegal yang terjadi disekitar kawasan pesisir dan
laut.
Kerusakan terhadap hutan mangrove dapat terjadi secara alamiah atau
adanya tekanan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar hutan mangrove.
Secara alamiah timbul karena adanya peristiwa alam seperti adanya
topan badai atau iklim yang berkepanjangan yang menyebabkan
akumulasi garam dalam tanaman mangrove (Murdiyanto, 2003).
Menurut Simbolon (1990), gangguan yang serius terhadap kelestarian
hutan mangrove yaitu terjadinya perombakan hutan dan penebangan liar.
Gangguan lainnya adalah pelanggaran dalam pelaksanaan pengusahaan
hutan dan adanya sedimentasi.
Ada tiga faktor utama penyebab kerusakan hutan mangrove (Kusmana, 2002)
yaitu :
1. Pencemaran.
Pencemaran yang terjadi pada areal hutan mangrove terutama disebabkan oleh
minyak dan logam berat. Dua sumber utama pencemaran areal mangrove ini
merupakan dampak negatif dari kegiatan pelayaran, industri serta kebocoran
pada pipa/tanker industri dan tumpahan dalam pengangkutan.
2. Konversi lahan hutan mangrove.
Konversi hutan mangrove untuk budidaya perikanan, lahan pertanian, jalan
raya, industri, perkotaan, pertambangan, penggalian pasir dan sebagainya.
3. Penebangan yang berlebihan.
Penebangan kayu mangrove secara legal maupun ilegal untuk produksi kayu
bakar, arang dan chip telah berlangsung lama. Eksploitasi tersebut dilakukan
secara berlebihan sehingga telah menimbulkan kerusakan dan menurunkan
fungsi atau potensi produksi hutan mangrove.
10
Selanjutnya, Kusmana (2002) mengemukakan adanya faktor – faktor
pendukung penyebab kerusakan hutan mangrove yang antara lain adalah
pertumbuhan ekonomi memerlukan tersedianya sarana dan prasarana
transportasi terutama jalan raya, terminal, pelabuhan dan prasarana lainnya,
urbanisasi dan sebagainya merupakan indikator terjadinya peningkatan
aktivitas perekonomian. Peningkatan aktivitas perekonomian seperti ini ikut
mempercepat terjadinya kerusakan areal hutan mangrove.
2.1.2. Akibat / Dampak Kerusakan Hutan Mangrove
Kerusakan hutan mangrove mengakibatkan beberapa hal diantaranya:
1. Instrusi air laut
Instrusi air laut adalah masuknya atau merembesnya air laut ke arah
daratan sampai mengakibatkan air tawar sumur/ sungai menurun mutunya,
bahkan menjadi payau atau asin (Harianto, 1999). Dampak instrusi air laut
ini sangat penting, karena air tawar yang tercemar intrusi air laut akan
menyebabkan keracunan bila diminum dan dapat merusak akar tanaman.
2. Turunnya kemampuan ekosistem mendegradasi (pengikisan) sampah
organik, minyak bumi dll.
3. Menurunnya keanekaragamanhayati di wilayah pesisir
4. Meningkatnya abrasi pantai
5. Turunnya sumber makanan, tempat pemijah & bertelur biota laut. Akibatnya
produksi tangkapan ikan menurun.
6. Turunnya kemampuan ekosistem flora pesisir pantai dalam menahan tiupan
angin, gelombang air laut dlll.
7. Meningkatnya pencemaran pantai.
Selain beberapa hal diatas, dampak kerusakan hutan mangrove juga
mempengaruhi beberapa bidang, diantaranya sebagai berikut :
a. Dampak Biofisis
1. Tidak ada pelemah energi ombak alami, sehingga perairan akan sangat
dinamik dan membahayakan posisi garis pantai
11
2. Tekanan air pasang akan memperkuat laju instruksi air asin dalam air
tanah, instrusi air laut yang akan mencemari sumber air permukaan yang
umumnya dimanfaatkan oleh penduduk setempat baik untuk memenuhi
kebutuhan air rumah tangga maupun untuk keperluan pertanian.
3. Tidak ada produksi unsur hara yang diperlukan biota pantai
4. Terputusnya siklus hidup biota perairan laut, misalnya berbagai jenis
ikan, kerang-kerangan, kepiting, udang dan lain-lain
b. Dampak Sosial Ekonomi
1. Hilangnya sumber-sumber penghidupan bagi masyarakat
2. Bergesernya nilai-nilai kearifan tradisional
3. Bergesernya perilaku kebersamaan dalam pengelolaan mangrove
4. Menimbulkan konflik sosial akibat perebutan lahan sumberdaya
mangrove yang semakin menipis
5. Menimbulkan perusakan pada habitat lain sebagai pengganti alternatif
sumber daya mangrove.
2.2. Potensi Hutan Mangrove
Indonesia adalah satu-satunya negara dengan wilayah hutan mangrove
terluas yaitu mencapai 27.072 km2 (19.5% dari total wilayah hutan mangrove
dunia). Hasil penelitian terbaru yang diterbitkan dalam situs Proceedings of the
National Academy of Sciences (PNAS), Senin (30/7) mengungkapkan, jika
lestari, potensi hutan mangrove secara ekonomi, ekologis dan sebagai tempat
penyimpanan karbon sangat besar.
Penelitian ini disusun oleh tiga orang peneliti yaitu Juha Siikamäkia, James
N. Sanchiricoa dan Sunny L. Jardinec dari tiga lembaga yaitu Resources for the
Future; Department of Environmental Science and Policy; dan Department of
Agricultural and Resource Economics, University of California, Davis. Mereka
berhasil mengungkap potensi ekonomi, ekologis dan penyimpanan karbon dari
hutan mangrove guna memromosikan pelestarian sumber daya alam yang
berharga ini. Hutan mangrove selain sebagai tempat berkembangbiaknya ikan,
kerang, burung dan mamalia laut, juga berfungsi sebagai penahan abrasi dan
melindungi penduduk dari gelombang air laut. Selain fungsi ekologis di atas,
12
ketiga peneliti menyimpulkan, setiap hektar hutan mangrove, mampu menyimpan
karbon dalam jumlah yang lebih banyak dibanding hutan tropis di dataran tinggi
(upland tropical forests). Peran ini penting untuk mengurangi jumlah emisi CO2,
penyebab pemanasan global yang saat ini terus meningkat.
Walau luas hutan mangrove hanya 0.7% (sekitar 140.000 km2) dari luas
hutan tropis dunia, hutan mangrove mampu menyimpan emisi karbon dioksida
hingga 20 miliar ton (20 Pg C) atau 2,5 kali lipat lebih banyak dari emisi CO2
yang dihasilkan dunia setiap tahun. Dan upaya menghindari emisi CO2 dengan
menjaga kelestarian hutan mangrove bisa dilakukan dengan biaya antara US$4-10
per ton CO2 – relatif lebih murah jika dibandingkan upaya yang sama pada hutan
tropis lain yang mencapai US$10-20 per ton CO2.
Jika mangrove dijaga akan tetap lestari, kemampuan ini akan terus
meningkat, namun jika tren kerusakan hutan mangrove saat ini terus berlanjut,
maka potensi akumulasi penyimpanan karbonnya akan musnah. Salah satu sistem
yang bisa digunakan untuk mempromosikan upaya konservasi hutan mangrove
adalah program pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD).
Menurut para peneliti, potensi pasar karbon dengan melindungi hutan mangrove
ini masih belum banyak digali sebagaimana potensi penyimpanan karbon di hutan
tropis.
Untuk itu, penting mengetahui dan menghitung potensi penyimpanan
karbon di atas, di bawah dan di dalam tanah hutan mangrove. Kecepatan
kerusakan yang terjadi di hutan mangrove juga harus diperhitungkan guna
melindungi hutan mangrove dan mencegah pelepasan emisi CO2. Dengan
mengetahui semua informasi tersebut, penduduk dan negara bisa memperoleh
manfaat ganda yaitu manfaat ekonomi melalui pasar karbon dan peluang ekologis
guna memromosikan konservasi hutan mangrove dan keanekaragaman hayati
yang ada di dalamnya.
13
2.3. Strategi Pelestarian Hutan Mangrove
Strategi pelestarian hutan mangrove yang digunakan adalah pelestarian
dengan melibatkan masyarakat. Pelestarian hutan mangrove adalah merupakan
suatu usaha yang sangat kompleks untuk dilaksanakan, karena kegiatan tersebut
sangat membutuhkan suatu sifat akomodatif terhadap segenap elemen yang berada
di sekitar kawasan maupun di luar kawasan.
Salah satu strategi yang dapat diterapkan dalam konteks pengelolaan
ekosistem hutan mangrove adalah pengelolaan berbasis masyarakat (Community
Based Management). Dahuri (2001) mengemukakan bahwa pengelolaan berbasis
masyarakat mengandung arti keterlibatan langsung masyarakat dalam mengelola
sumberdaya alam di suatu kawasan. Tujuan mendasar dari pengelolaan ekosistem
mangrove adalah untuk meningkatkan konservasi, rehabilitasi dan pemanfaatan
berkelanjutan ekosistem mangrove (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2005).
Tujuan ini dapat dicapai melalui prinsip :
1. Pengelolaan ekosistem mangrove yang mengedepankan prinsip kehati – hatian
(precautionary) dengan mempertimbangkan praktek yang sudah ada, kearifan,
keyakinan dan kebiasaan masyarakat setempat.
2. Pengelolaan mangrove yang didasarkan pada pendekatan ekosistem dengan
mempertimbangkan kegiatan dan dampaknya baik di kawasan hulu dan hilir.
3. Pengelolaan kawasan mangrove yang berorientasi pada keberlanjutan fungsi
lingkungan dan nilai – nilai ekologi untuk mendukung kesejahteraan
masyarakat, utamanya masyarakat pesisir.
4. Upaya mitigasi dampak lingkungan akibat aktivitas pembangunan di kawasan
ekosistem mangrove.
5. Pengelolaan ekosistem mangrove merupakan proses berulang (interative
process) yang terdiri atas perencanaan, pelaksanaan, pemeliharaan dan
pemanfaatan lestari serta didukung dengan upaya – upaya pembinaan dan
pengendalian yang konsisten dan berkelanjutan.
6. Pengelolaan ekosistem mangrove yang berlandaskan pada asas keterpaduan,
keberlanjutan, desentralisasi, dan perencanaan berbasis masyarakat.
14
2.4. Pengelolaan dan Pelestarian Hutan Mangrove
Dalam pengelolaan dan pelestarian hutan mangrove, menurut Bengen (2001)
terdapat dua konsep utama yang dapat diterapkan yaitu perlindungan hutan
mangrove dan rehabilitasi hutan mangrove.Salah satu cara yang dapat dilakukan
dalam rangka mengupayakan perlindungan terhadap keberadaan hutan mangrove
adalah dengan menunjuk suatu kawasan mangrove untuk menjadi kawasan hutan
konservasi, dan suatu bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai.
Bentuk perlindungan hutan mangrove seperti ini cukup efektif dilakukan dan
membawa hasil, contohnya seperti yang dapat dilihat di Pulau Rambut dan Pulau
Dua, Jawa Barat yang telah ditunjuk sebagai suatu kawasan suaka
margasatwa(Dahuri, 2001).
Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang
didominasi oleh tanaman jenis Avicenia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiriera,
Xylocarpus, serta tanaman Nipa. Jenis yang disebut terakhir ini bukan merupakan
salah satu jenis mangrove, tetapi merupakan vegetasi yang juga bisa ditemukan di
hamparan areal mangrove. Areal mangrove tumbuh di wilayah pesisir yang
tergenang oleh air pasang dan berada pada teluk, kuala (estuaria) pantai-pantai
yang dangkal, pantai sekitar muara berdelta dan daerah pantai yang terlindung.
Selain bergantung pada morfologi pantai, areal mangrove biasa tumbuh pada
pantai yang memiliki substrat berlumpur. Daerah yang terdekat ke perairan laut
dengan substrat agak berpasir sering ditumbuhi oleh Avicennia Sp dan biasanya
berasosiasi dengan jenis Sonneratioa spp. Untuk jenis Rhizophora Spp biasanya
menempati zona berikutnya ke arah darat dengan substrat berlumpur.
Persyaratan tumbuh bagi hutan mangrove adalah sebagai berikut :
1. Mangrove tumbuh dengan baik pada wilayah pesisir yang susbstratnya
lumpur berpasir atau lempung berpasir.
2. Hamparannya tergenang air laut pada saat pasang secara berkala, apakah
harian, setengah harian, atau campuran.
3. Kedalaman genangannya menerima pasokan air tawar yang cukup
4. Terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat
5. Perairannya bersalinitas payau (2-22 permil) hingga asin (mencapai 38
permil).
15
Hutan mangrove memiliki banyak fungsi. Fungsi-fungsi tersebut antara lain :
a. Fungsi Ekologi
Hutan mangrove yang merupakan habitat dari suatu ekosistem peralihan darat
dan perairan yang mempunyai peranan ekologi yang sangat vital di daerah
perairan tersebut. Secara umum fungsi ekologi mangrove untuk semua
kawasan tersebut, antara lain :
1. Habitat bagi aneka ragam biota darat dan perairan yang berperan dalam
keberlangsungan ekosistem pantai
2. Daerah asuhan (Nursey ground) berbagai larva biota perairan seperti
ikan, udang dan biota lainnya
3. Penghasil sejumlah besar detritus dari daun dan dahan mangrove
4. Sumber produktivitas perairan seperti sumber makanan, moluska sesuai
dengan rantai makanan yang ada
b. Fungsi Fisik
Keberadaan mangrove ditepi pantai memerlukan fluktuasi genangan air laut
antara satu sampai dua meter. Pada saat angin berhembus kencang, maka air
laut bergelombang menjalarkan ombak ke tepi pantai. Mangrove dengan
genangan air laut dapat mereduksi tinggi ombak, sehingga dinamika air
kurang energik. Kondisi seperti ini memungkinkan proses-proses
pengendapan partikulat yang melayang dalam badan air berlangsung sangat
intensif.
Berdasarkan dinamika air genangan dalam areal mangrove tersebut, maka
dapat diturunkan faedah-faedah mangrove sebagai berikut :
1. Mereduksi tinggi ombak atau melemahkan energi ombak
2. Menahan tekanan air pasang sehingga mengurangi laju instrusi air asin
3. Mengendapkan partikulat yang melayang dalam badan air pada saat
kecepatan arus pasang terhenti
4. Menyebarkan unsur hara ketika badan air sedang surut
5. Menjaga dan memelihara posisi garis pantai dari bahaya erosi
16
c. Fungsi Ekonomi
Bagi masyarakat lokal keberadaan hutan Mangrove dapat memberikan
berbagai pencarian penghidupan alternatif atau bahkan yang utama :
1. Menyuburkan habitat untuk peningkatan perolehan hasil tangkapan
seperti kepiting, udang dan ikan baik untuk kepentingan keluarga
maupun komersial
2. Memanfaatkan Mangrove sendiri untuk kepentingan bahan bakar
maupun industri kerajinan rumah tangga (pembuatan atap nipa,
minuman tuak, gula merah)
3. Sebagai sumber pemenuhan sebagian variasi makanan seperti sayur yang
belum terindifikasi nama latin dan Indonesia
4. Pemenuhan bibit untuk tambak (nener benur)
5. Lahan budidaya (Empang parit)
Bagi masyarakat pengusaha areal hutan mangrove menjadi areal yang sangat
menarik untuk melakukan investasi dalam berbagai kegiatan ekonomi
diantaranya adalah :
1. Pengusahaan komoditi bahan bakar (arang) untuk pemenuhan
permintaan eksport maupun domestik
2. Pengusahahan komoditi udang dengan pembukaan areal hutan mangrove
sebagai areal tambak
3. Pengusahaan komoditi biota selain udang seperti kepiting, ikan, dan bibit
baik untuk pemenuhan eksport maupun domestik
4. Pengusahaan kayu mangrove sebagai bahan baku industri (kosmetik,
kertas dan lain-lain)
d. Fungsi Sosial
Hutan Mangrove memberikan lahan yang baik dibagian terdalamnya untuk
areal permukiman, karena kemudahan perolehan air tawar, keterlindungan
dari hembusan angin kencang dan gempuran ombak. Tumbuhnya permukiman
akan memberikan peluang kepada setiap individu untuk berinteraksi,
bersosialisasi dan membangun kelembagaan sosial. Secara rinci fungsi sosial
tersebut diurut seperti berikut :
17
1. Menciptakan rasa aman bagi masyarakat akibat terlindung dari abrasi
maupun terpaan angin.
2. Mengundang proses keterhubungan antar individu yang kuat karena
masyarakat setempat memiliki rasa kecemasan dan kebutuhan yang sama
3. Motivasi masyarakat untuk mendapatkan penghargaan lingkungan
4. Menciptakan dinamika musyawarah antar warga dalam kaitan
pengelolaan dan pemanfaatan keberadaan Mangrove
5. Melalui musyawarah akan terungkap proses sejarah kemudian
penyamaan persepsi melahirkan konsep dan pada gilirannya
mengukuhkan kearifan-kearifan tradisional misalnya falsafah assidiang
dan abbulo sibatang
6. Dengan kearifan tradisional maka warga setempat menemukan
karakteristik yang sekaligus sebagai daya saing untuk meningkatkan
kesejahteraan.
2.4.1. Pengelolaan Berbasis Masyarakat
Salah satu komponen penting dalam upaya rehabilitasi mangrove adalah
masyarakat pesisir. Masyarakat sekitar hutan mangrove mempunyai peranan yang
sangat penting bagi kelestarian hutan. Mereka dapat berperan sebagai perusak
atau penjaga hutan mangrove dari berbagai ancaman. Mansyarakat sekitar hutan
mangrove memanfaatkan berbagai produk hutan mangrove guna mencukupi
kebutuhan hidup dan memerlukannya untuk mempertahankan stabilitas
lingkungan. Untuk itu diperlukan pengembangan peranserta masyarakat yang
dapat melakukan usaha konservasi hutan mangrove guna menjaga kestabilan
ekosistem mangrove tersebut.
Usaha reklamasi hutan mangrove dengan pendekatan sistem keproyekan
yang selama ini dilakukan oleh pemerintah melalui Departeman Kehutanan
maupun Departemen Perikanan dan Kelautan tingkat keberhasilannya cenderung
kecil dan sangat tidak sebanding dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkan. Jika
dilihat lebih mendalam dan ditelusuri dengan teliti ternyata salah satu penyebab
kegagalannya adalah kurangnya peran serta masyarakat dalam rehabilitasi hutan
mangrove dan masyarakat masih dianggap sebagai obyek bukan sebagai subyek.
18
Pelaksanaan proyek dengan pendekatan top–down tentu saja kurang
memberdayakan masyakakat sekitar hutan mangrove. Pemerintah hanya berperan
sebagai penyedia dana, pengontrol dan fasilitator. Akibatnya setelah selesai
proyek tersebut dan dana telah habis maka pelaksana proyek merasa sudah habis
pula tanggung jawabnya. Disisi lain masyarakat tidak ikut merasa memiliki (tidak
punya sense of belonging). Akhirnya masyarakat beranggapan hutan magrove
tersebut milik pemerintah bukan milik mereka sehingga mereka acuh tak acuh
dengan kerusakan mangrove disekitar mereka.
Masyarakat pesisir hendaknya dijadikan sebagai ujung tombak dalam
program rehabilitasi mangrove yang dilakukan pemerintah. Pemerintah
diposisikan sebagai penyandang dana, sedang untuk perencanaan, pelaksanaan,
evaluasi keberhasilan dan pemanfaatan kedepan diserahkan oleh masyarakat
dengan pelibatan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), perangkat desa,
pemimpin umat, ketua adat dan lain-lain. Dengan pendekatan semacam ini proses
rehabilitasi mangrove yang dimulai dari pembibitan, penanaman, perawatan,
penyulaman dilakukan oleh masyarakat. Melalui mekanisme ini masyarakat tidak
merasa dianggap sebagai buruh tapi masyarakat merasa sebagai pemilik dari hutan
mangrove itu sendiri. Secara tidak langsung masyarakat jadi mempunyai rasa
tanggung jawab untuk turut menjaga kelestarian dari hutan mangrove di sekitar
mereka.
Upaya reklamasi mangrove sudah berjalan sedemikian lama. Untuk
pelaksanaan kedepan hendaknya pemerintah meggunakan sistem pendekatan
bottom up dengan meletakkan mayarakat sebagai subyek bukan sebagai obyek.
Tugas pemerintah lebih pada pemberian pengarahan secara berkelanjutan agar
kedepan tidak terjadi konflik kepentingan diantara mereka.
2.4.2. Rehabilitasi
Karena umumnya hutan Mangrove mengalami kerusakan, maka harus
dilakukan upaya rehabilitasi. Rehabilitasi hutan Mangrove adalah kegiatan
penghijauan yang dilakukan terhadap hutan-hutan mangrove yang telah telah
mengalami kerusakan, yang bertujuan untuk mengembalikan fungsi ekologis,
ekonomis, sosial, fisis dan aestetis. Kegiatan rehabilitasi dilakukan dikawasan
19
hutan mangrove yang telah ditebas dan dialih fungsikan untuk kegiatan lain.
Kegiatan rehabilitasi hutan mangrove telah dirintis sejak tahun 1960, dikawasan
pantai utara Pulau Jawa.
Berbagai pihak berkepentingan dan terkait dengan keberadaan, pengelolaan
dan pemanfaatan mangrove. Pihak-pihak tersebut yang biasa disebut Stakeholder,
adalah sebagai berikut :
1. Pemerintah : melahirkan kebijakan – kebijakan yang menjamin
perlindungan dan pengembangan hutan mangrove.
2. Pengusaha : Memanfaatkan keberadaan mangrove secara ekonomis
tanpa mengabaikan aspek ekologis
3. Masyarakat lokal : untuk memanfaatkan secara ekonomis sehingga
menjamin dinamika sosial
4. Perguruan tinggi : menjadi regulator (manajemen) atau sebagai
konsultan masyarakat untuk memanfaatkan hutan bakau secara lestari.
5. ORNOP : sebagai konsultan pengembangan masyarakat.
Untuk melakukan rehabilitasi, harus dipenuhi beberapa persyaratan.
Persyaratan tersebut antara lain :
a. Oceanografi
Untuk penanaman kembali areal mangrove diperlukan beberapa
persyaratan oceanografi pantai guna mendukung keselamatan bibit
mangrove yang ditanam. Persyaratan itu antara lain :
1. Areal pesisir yang datar sampai landai agar membentangkan lahan yang
luas
2. Tergenang secara berkala dengan periode harian atau setengah harian
oleh campuran air asin dan air tawar, atau air asin saja.
3. Substrat yang baik adalah lumpur berpasir
4. Bibit ditanam ketika musim ombak kecil, dan disiapkan APO untuk
mengantisipasi musim ombak besar, agar perakaran bibit tetap berada
pada substrat yang tidak terkikis.
20
b. Habitat
Syarat pertama yang harus dipenuhi dalam menentukan lokasi
kegiatan rehabilitasi mangrove adalah bahwa lokasi yang ditunjuk
merupakan bekas habitat tanaman mangrove, yang memiliki ciri :
1. Lokasi yang dimaksud harus merupakan wilayah pesisir yang
dipengaruhi oleh pasang surut air laut.
2. Perairan yang menggenanginya harus memenuhi salinitas untuk
pertumbuhan mangrove.
3. Jenis tanahnya sebagai substrat harus merupakan lumpur berpasir atau
lumpur berlempung jenis tanah ini harus diketahui untuk menentukan
jenis tanaman mangrove yang akan ditanam.
Apabila lokasi rencana rehabilitasi setelah penilaian dinyatakan telah sesuai
dengan habitatnya, maka penilaian berdasarkan syarat kedua yaitu “motivasi”
dapat dilanjutkan.
2.5. Kebijakan dan Peraturan Pelestarian Hutan Mangrove
Menurut Departemen Kelautan dan Perikanan (2005), terdapat beberapa
kebijakan – kebijakan dasar dalam pengelolaan hutan mangrove yang antara lain,
meliputi :
1. Untuk kawasan mangrove yang masih asli atau mendekati kondisi asli,
harus dilakukan pengelolaan dengan tujuan pelestarian dan konservasi.
Pengelolaan dengan tujuan pelestarian dan konservasi ini terus
dipertahankan sebelum tersedia data dan informasi untuk menganalisis
dampak bentuk pengelolaan lainnya.
2. Untuk kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan pemanfaatan, misalnya
untuk budidaya ramah lingkungan, pariwisata, maka harus
mengedepankan pendekatan kehati – hatian (precautionary approach),
khususnya apabila tidak tersedia informasi tentang pemanfaatannya secara
berkelanjutan.
3. Apabila direncanakan pemanfaatan ekonomi, khususnya yang
menyebabkan hilangnya mangrove seperti industri, permukiman, pertanian
dan pertambakan, maka perlu diambil seperti analisis dampak lingkungan,
21
audit lingkungan dan rencana pengelolaan lingkungan.
Untuk kawasan mangrove yang berfungsi sebagai jalur hijau, berada pada
pantai yang rawan erosi, bantaran sungai dan mengurangi dampak negatif
fenomena alam seperti badai tropis, maka harus dilakukan pengelolaan
untuk perlindungan dan konservasi.
22
BAB III
KESIMPULAN
3.1. Kesimpulan
Permasalahan wilayah pesisir pantai khususnya hutan mangrove sangat
kompleks. Di satu sisi terdapat hutan mangrove yang mutlak harus dijaga dan
dilestarikan, tapi di sisi lain ada masyarakat yang berkepentingan untuk bertahan
hidup dan menggunakan lahan mangrove sebagai mata pencahariannya. Tarik
menarik pemerintah dengan warga setempat mengenai penggunaan lahan masih
sulit mencapai titik temu, karena tidak ada pemahaman dari kedua belah pihak
terhadap kepentingan masig-masing.
Pembukaan tambak yang dilakukan masyarakat di kawasan hutan bakau
bukan semata-mata karena masyarakat gemar dan ingin bertambak, melainkan
masyarakat tidak punya banyak pilihan untuk meneruskan kelangsungan
hidupnya. Masyarakat pesisir yang semula bekerja sebagai nelayan, sekarang
mereka sudah tidak sanggup lagi melaut karena populasi ikan semakin berkurang
akibat sedimentasi, untuk sehari melaut para nelayan terkadang tidak
mendapatkan sepeser pun, bahkan mereka merugi. Jika melihat dari aksi-aksi
yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah, fenomena tersebut belum
difahami oleh pemerintah. Terbukti belum ada penyelesaian hingga saat ini.
Hal yang terpenting dari permasalahan ini adalah bagaiamana agar habitat
mangrove bisa kembali normal dan masyarakat sekitar pesisir pantai dapat
mencari nafkah dan mendekati kehidupan yang sejahtera menuju kondisi ideal,
karena bagaiamanapun juga kehidupan masyarkat pesisir sangat berkaitan dengan
kawasan Mangrove, jika tanaman Mangrove dalam kondisi kritis maka secara
tidak langsung kehidupan masyarakat pesisir pun terancam. Hal ini memang
menjadi tanggung jawab bersama, tetapi pemerintah mendapat porsi yang besar
dalam mewujudkan kondisi ideal tersebut. Tidak perduli bagaimana kaitan dan
bagaimana konflik di antar instansi yang mengelola kawasan Mangrove, karena
konflik dan tidak jalannya fungsi-fungsi yang dimiliki oleh instansi terkait bukan
kesalahan masyarakat, bukan kesalahan LSM, bukan kesalahan Negara tetangga,
23
melainkan kesalahan daripada instansi-instansi tersebut, dan merupakan kesalahan
pemerintah sebagai penyelenggara Negara.
3.2. Saran
Sebaiknya untuk melakukan pelestarian dan pengelolaan Hutan Mangrove
Pemerintah harus melibatkan masyarakat. Jika pemerintah bekerja dengan benar
dan memberi perhatian yang cukup kepada daerah pesisir, niscaya fenomena
pengrusakan hutan mangrove serta alih fungsi hutan mangrove dapat
diminimalisir. Penyelesaian permasalahan hutan mangrove menuntut suatu
manajemen terbuka yang menjamin keberlangsungan proses koordinasi antar
lembaga. Partisipasi masyarakat dalam penyusunan rencana, pelaksanaan,
monitoring dan evaluasi harus disertakan. Pemerintah harus memiliki kekuatan
untuk menjalankan apa yang harus dijalankan demi kesejahteraan rakyat.
24
DAFTAR PUSTAKA
Alil. Hutan Mangrove, Permasalahan dan Solusinya.
http://farchantp049.blogspot.com/2012/04/hutan-mangrove-permasalahan-
dan.html 2012.
BPPP. Strategi Pelestarian Hutan Mangrove.
http://www.bppp-tegal.com/v1/index.php?
option=com_content&view=article&id=238:strategi-pelestarian-hutan-
mangrove&catid=44:artikel&Itemid=85 2012.
Novesha, Neneng. Pelestarian Hutan Mangrove dan Peraturan Perundang
undangan tentang Lingkungan Lidup.
http://nnovesha.blogspot.com/2012/10/makalah-plh-hutan-mangrove-dan-
undang.html 2012.
Setiawan, Heru. Potensi Pengembangan Hutan Mangrove.
https://seputarmangrove.wordpress.com/2011/01/11/potensi-pengembangan-
hutan-mangrove/ 2011.
25