88
MANAJEMEN KASUS PENYAKIT RHEUMATOID ARTHRITIS DI PUSKESMAS CIPAYUNG Oleh : Jemima Sartika Sainlia 0961050053 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

Embed Size (px)

DESCRIPTION

kasus

Citation preview

Page 1: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

MANAJEMEN KASUS PENYAKIT

RHEUMATOID ARTHRITIS DI PUSKESMAS

CIPAYUNG

Oleh :

Jemima Sartika Sainlia

0961050053

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

PERIODE 21 JULI 2014 – 04 OKTOBER 2014

Page 2: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Kata Manajemen berasal dari bahasa Prancis kuno yaitu ménagement, yang

memiliki arti seni melaksanakan dan mengatur. Manajemen belum memiliki definisi yang

mapan dan diterima secara universal. Kata manajemen mungkin berasal dari bahasa Italia

(1561) yaitu maneggiare yang berarti “mengendalikan,” terutamanya “mengendalikan kuda”

yang berasal dari bahasa latin manus yang berati “tangan”. Kata ini mendapat pengaruh dari

bahasa Perancis manège yang berarti “kepemilikan kuda” (yang berasal dari Bahasa Inggris

yang berarti seni mengendalikan kuda), dimana istilah Inggris ini juga berasal dari bahasa

Italia. Manajemen adalah suatu proses atau kerangka kerja, yang melibatkan bimbingan atau

pengarahan suatu kelompok orang-orang kearah tujuan-tujuan organisasional atau maksud-

maksud yang nyata (Robbins dan Coulter ,2002). Manajemen adalah Suatu keadaan terdiri

dari proses yang ditunjukkan oleh garis (line) mengarah kepada proses perencanaan,

pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengendalian, yang mana keempat proses tersebut

saling mempunyai fungsi masing-masing untuk mencapai suatu tujuan organisasi.

Fungsi manajemen adalah elemen-elemen dasar yang akan selalu ada dan melekat di

dalam proses manajemen yang akan dijadikan acuan oleh manajer dalam melaksanakan

kegiatan untuk mencapai tujuan. Fungsi manajemen pertama kali diperkenalkan oleh seorang

industrialis Perancis bernama Henry Fayol pada awal abad ke-20. Ketika itu, ia menyebutkan

lima fungsi manajemen, yaitu merancang,mengorganisir, memerintah, mengordinasi, dan

mengendalikan. Namun saat ini, kelima fungsi tersebut telah diringkas menjadi empat, yaitu:

a. Perencanaan (planning)

Yaitu memikirkan apa yang akan dikerjakan dengan sumber yang dimiliki.

Perencanaan dilakukan untuk menentukan tujuan perusahaan secara keseluruhan dan cara

terbaik untuk memenuhi tujuan itu. Manajer mengevaluasi berbagai rencana alternatif

sebelum mengambil tindakan dan kemudian melihat apakah rencana yang dipilih cocok dan

dapat digunakan untuk memenuhi tujuan perusahaan. Perencanaan merupakan proses

terpenting dari semua fungsi manajemen karena tanpa perencanaan, fungsi-fungsi lainnya tak

dapat berjalan.

Page 3: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

b. Pengorganisasian (organizing)

Dilakukan dengan tujuan membagi suatu kegiatan besar menjadi kegiatan-kegiatan

yang lebih kecil. Pengorganisasian mempermudah manajer dalam melakukan pengawasan

dan menentukan orang yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas yang telah dibagi-

bagi tersebut. Pengorganisasian dapat dilakukan dengan cara menentukan tugas

c. Pelaksanaan atau penerapan (actuating)

Merupakan implementasi dari perencanaan dan pengorganisasian, dimana seluruh

komponen yang berada dalam satu sistem dan satu organisasi tersebut bekerja secara

bersama-sama sesuai dengan bidang masing-masing untuk dapat mewujudkan tujuan.

4) Pengawasan (controlling)

Merupakan pengendalian semua kegiatan dari proses perencanaan, pengorganisasian

dan pelaksanaan, apakah semua kegiatan tersebut memberikan hasil yang efektif dan efisien

serta bernilai guna dan berhasil guna.

Puskesmas  adalah unit pelaksana teknik dinas kesehatan kabupaten / kota yang

bertanggung jawab terhadap pembangunan kesehatan diwilayah kerja terhadap

pembangunan  kesehatan di wilayah kerjanya. Puskesmas berperan menyelenggarakan upaya

kesehatan untuk meningkatkan kesadaran,kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap

penduduk agar memperoleh  derajat kesehatan yang optimal. Dengan demikian pembangunan

berwawasan kesehatan,pusat pemberdayaan kesehatan –strata pertama.

Upaya kesehatan  yang diselenggarakan di Puskesmas terdiri dari upaya kesehatan

wajib  dan upaya kesehatan pembangunan. Upaya kesehatan wajib merupakan upaya

kesehatan yang dilaksanakan oleh seluruh puskesmas di indonesai. Upaya ini memberikan

daya ungkit paling besar terhadap keberhasilan pembangunan kesehatan melalui peningkatan

indexs pembangunan manusia (IPM), serta merupakan kesepakantan global maupun nasional.

Dalam menyelenggarakan upaya kesehatan wajib dan upaya keseahtan pengembangan harus

menerapkan azas penyelenggaraan pusksemas secara terpadu yaitu azas pertanggungjawaban

wilayah pemberdayaan masyarakat keterpaduab dan rujukan.

Agar upaya kesehatan terselenggara secara optimal, maka  Puskesmas harus

melaksanakan manajemen dengan baik. Manajemen Puskesmas adalah rangkaian kegiatan

yang dilaksanakan secara sistematik  untuk menghasilkan iuran Puskesmas secara efektip dan

Page 4: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

efesien. Manajemen Puskesmas tersebut terdiri dari perencanaan,pelaksanaan  dan

pengendalian serta pengawasan dan pertanggung jawaban. Seluruh kegiatan diatas

merupakan satu  keseatuan yang paling terkait dan berkesinambungan.

Prevalensi penyakit muskuloskeletal pada lansia dengan rheumatoid arthritis

mengalami peningkatan mencapai 335 juta jiwa di dunia. Rheumatoid arthritis telah

berkembang dan menyerang 2,5 juta warga eropa, sekitar 75 % diantaranya adalah wanita

dan kemungkinan dapat mengurangi harapan hidup mereka hampir 10 tahun. Di amerika

serikat, penyakit ini menempati urutan pertama, dimana penduduk AS dengan Rheumatoid

arthritis 12,1 % yang berusia 27-75 tahun memiliki kecacatan pada lutut, panggul dan tangan,

sedangkan di inggris sekitar 25 % populasi yang berusia 55 tahun keatas menderita

Rheumatoid arthritis pada lutut.

Di indonesia, data epidemiologi tentang penyakit RA masih sangat terbatas. Menurut

survei kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 2004, penduduk dengan keluhan sendi

sebanyak 2%. Hasil penelitian yang dilakukan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), badan Penelitian dan Pengembangan kesehatan

(Balitbangkes) Depkes dan Dinas Kesehatan DKI Jakarta selama 2006 menunjukan angka

kejadian gangguan nyeri muskuloskeletal yang mengganggu aktifitas, merupakan gangguan

yang sering dialami dalam kehidupan sehari-hari sebagian besar responden. Perjalanan RA

bervariasi, tergantung dari kepatuhan penderita berobat dalam jangka waktu yang lama.

Dengan bertambahnya umur, penyakit ini meningkat baik wanita maupun laki-laki.

Puncak kejadian umur 24-45 tahun dan penyakit Rheumatoid arthritis ini sering di jumpai

pada usia diatas 60 tahun dan jarang di jumpai pada usia dibawah 40 tahun. Prevalensi lebih

tinggi pada wanita dibandingkan laki-laki, lebih dari 75 % penderita RA adalah wanita.

Rheumatoid Arhtritis terungkap sebagai keluhan atau tanda dengan keluhan utama sistem

muskuloskeletal yaitu nyeri, kekakuan, dan spasme otot serta adanya tanda utama yaitu

pembengkakan sendi, kelemahan otot, dan gangguan gerak. Jika tidak segera ditangani

Rheumatoid Arhtritis bisa membuat anggota tubuh berfungsi tidak normal, sendi akan

menjadi kaku, sulit berjalan, bahkan akan menimbulkan kecacatan seumur hidup, sehingga

aktivitas sehari-hari lansia menjadi terbatas. Selain menurunkan kualitas hidup, Rheumatoid

Arhtritis juga meningkatkan beban sosial ekonomi bagi para penderita dan tentunya akan

menimbulkan masalah untuk keluarga.

Page 5: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

2. Tujuan

2.1 Umum

Meningkatkan manajemen kasus artritis reumatoid di Puskesmas

2.2 Khusus

- Diketahuinya perencanaan manajemen kasus artritis reumatoid di Puskesmas.

- Diketahuinya pelaksanaan manajemen kasus artritis reumatoid di Puskesmas.

- Diketahuinya monitoring dan evaluasi manajemen kasus artritis reumatoid di

Puskesmas.

3. Manfaat

Bagi Instansi Kesehatan

- Sebagai referensi untuk meningkatkan upaya kesehatan baik dari segi

promotif,preventif,kuratif dan rehabilitatif.

- Meningkatkan kualitas pelayanan melalui manajemen kasus yang terintegrasi.

Bagi pribadi

Dengan tulisan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan penulis tentang

manajemen kasus artritis reumatoid

Page 6: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Puskesmas

1. Definisi

Menurut KEPMENKES No. 128/Menkes/SK/II/2004, Puskesmas adalah unit

pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten atau kota yang bertanggungjawab

menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja. Sebagai unit

pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (UPTD), puskesmas berperan

menyelenggarakan sebagian dari tugas teknis operasional Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota dan merupakan unit pelaksana tingkat pertama serta ujung tombak

pembangunan kesehatan di Indonesia. Pembangunan kesehatan adalah penyelenggaraan

upaya kesehatan oleh bangsa Indonesia untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan

kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat

yang optimal. Penanggungjawab utama penyelenggaraan seluruh upaya pembangunan

kesehatan di wilayah kabupaten/kota adalah Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota,

sedangkan puskesmas bertanggungjawab hanya sebagian upaya pembangunan kesehatan

yang dibebankan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota sesuai dengan kemampuannya.

Secara nasional, standar wilayah kerja puskesmas adalah satu kecamatan, tetapi apabila di

satu kecamatan terdapat lebih dari dari satu puskesmas, maka tanggungjawab wilayah

kerja dibagi antar puskesmas, dengan memperhatikan keutuhan konsep wilayah

(desa/kelurahan atau RW). Masing-masing puskesmas tersebut secara operasional

bertanggungjawab langsung kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

2. Visi

Visi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas adalah

tercapainya Kecamatan Sehat menuju terwujudnya Indonesia Sehat. Kecamatan Sehat

adalah gambaran masayarakat kecamatan masa depan yang ingin dicapai melalui

pembangunan kesehatan, yakni masyarakat yang hidup dalam lingkungan dan berperilaku

Page 7: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara

adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya

Indikator Kecamatan Sehat yang ingin dicapai mencakup 4 indikator utama

yakni:

- Lingkungan sehat

- Perilaku sehat

- Cakupan pelayanan kesehatan yang bermutu

- Derajat kesehatan penduduk kecamatan

3. Misi

Misi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas adalah

mendukung tercapainya misi pembangunan kesehatan nasional. Misi tersebut adalah:

- Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan di wilayah kerjanya.

- Puskesmas akan selalu menggerakkan pembangunan sektor lain yang diselenggarakan

di wilayah kerjanya, agar memperhatikan aspek kesehatan, yakni pembangunan yang

tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan, setidak-tidaknya terhadap

lingkungan dan perilaku masyarakat.

- Mendorong kemandirian hidup sehat bagi keluarga dan masyarakat di wilayah

kerjanya. Puskesmas akan selalu berupaya agar setiap keluarga dan masyarakat yang

bertempat tinggal di wilayah kerjanya makin berdaya di bidang kesehatan, melalui

peningkatan pengetahuan dan kemampuan menuju kemandirian untuk hidup sehat.

- Memelihara dan meningkatkan mutu, pemerataan dan keterjangkauan pelayanan

kesehatan yang diselenggarakan. Puskesmas akan selalu berupaya menyelenggarakan

pelayanan kesehatan yang sesuai dengan standar dan memuaskan masyarakat,

mengupayakan pemerataan pelayanan kesehatan serta meningkatkan efisiensi

pengelolaan dana sehingga dapat dijangkau oleh seluruh anggota masyarakat.

- Memelihara dan meningkatkan kesehatan perorangan, keluarga dan masyarakat

berserta lingkungannya. Puskesmas akan selalu berupaya memelihara dan

meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit, serta memulihkan

kesehatan perorangan, keluarga dan masyarakat yang berkunjung dan yang bertempat

tinggal di wilayah kerjanya, tanpa diskriminasi dan dengan menerapkan kemajuan

Page 8: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

ilmu dan teknologi kesehatan yang sesuai. Upaya pemeliharaan dan peningkatan

kesehatan yang dilakukan puskesmas mencakup pula aspek lingkungan dari yang

bersangkutan.

4. Tujuan

Tujuan pembangunan kesehatan yang diselenggarkan oleh puskesmas adalah

mendukung tercapainya tujuan pembangunan kesehatan nasional yakni meningkatkan

kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang yang bertempat

tinggal di wilayah kerja puskesmas agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-

tingginya dalam rangka mewujudkan Indonesia Sehat 2010.

5. Fungsi

a. Pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan.

Puskesmas selalu berupaya menggerakkan dan memantau penyelenggaraan

pembangunan lintas sektor termasuk oleh masyarakat dan dunia usaha di wilayah kerjanya,

sehingga berwawasan serta mendukung pembangunan kesehatan. Di samping itu puskesmas

aktif memantau dan melaporkan dampak kesehatan dari penyelenggaraan setiap program

pembangunan di wilayah kerjanya. Khusus untuk pembangunan kesehatan, upaya yang

dilakukan puskesmas adalah mengutamakan pemeliharaan kesehatan dan pencegahan

penyakit tanpa mengabaikan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan.

b. Pusat pemberdayaan keluarga dan masyarakat.

Puskesmas selalu berupaya agar perorangan terutama pemuka masyarakat, keluarga

dan masyarakat termasuk dunia usaha memiliki kesadaran, kemauan, dan kemampuan

Page 9: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

melayani diri sendiri dan masyarakat untuk hidup sehat, berperan aktif dalam

memperjuangkan kepentingan kesehatan termasuk pembiayaannya, serta ikut menetapkan,

menyelenggarakan dan memantau pelaksanaan program kesehatan. Pemberdayaan

perorangan, keluarga dan masyarakat ini diselenggarakan dengan memperhatikan kondisi dan

situasi, khususnya sosial budaya masyarakat setempat.

c. Pusat pelayanan kesehatan strata pertama.

Puskesmas bertanggungjawab menyelenggarakan pelayanan kesehatan tingkat

pertama secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Pelayanan kesehatan tingkat

pertama yang menjadi tanggungjawab puskesmas meliputi:

- Pelayanan kesehatan perorangan

Pelayanan kesehatan perorangan adalah pelayanan yang bersifat pribadi (private

goods) dengan tujuan utama menyembuhkan penyakit dan pemulihan kesehatan perorangan,

tanpa mengabaikan pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit.

Pelayanan perorangan tersebut adalah rawat jalan dan untuk puskesmas tertentu

ditambah dengan rawat inap.

- Pelayanan kesehatan masyarakat

Pelayanan kesehatan masyarakat adalah pelayanan yang bersifat publik (public

goods) dengan tujuan utama memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah

penyakit tanpa mengabaikan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan.Pelayanan

kesehatan masyarakat tersebut antara lain promosi kesehatan, pemberantasan penyakit,

penyehatan lingkungan, perbaikan gizi, peningkatan kesehatan keluarga, keluarga berencana,

kesehatan jiwa serta berbagai program kesehatan masyarakat lainnya.

6. Program Puskesmas

- Kia

- Kb

- Usaha Kesehatan Gizi

- Kesehatan Lingkungan

Page 10: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

- Pemberantasan Dan Pencegahan Penyakit Menular

- Pengobatan Termasuk Penaganan Darurat Karena Kecelakaan

- Penyuluhan Kesehatan Masyarakat

- Kesehatan Sekolah

- Kesehatan Olah Raga

- Perawatan Kesehatan

- Masyarakat

- Kesehatan Kerja

- Kesehatan Gigi Dan Mulut

- Kesehatan Jiwa

- Kesehatan Mata

- Laboratorium Sederhana

- Pencatatan Dan Pelaporan

- Pembinaan Pemgobatan Tradisional

- Kesehatan Remaja

- Dana Sehat

a. Program Pokok Puskesmas

Program pokok Puskesmas merupakan program pelayanan kesehatan yang wajib di

laksanakan karena mempunyai daya ungkit yang besar terhadap peningkatan derajat

kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.  Ada 6 Program Pokok pelayanan kesehatan

di  Puskesmas yaitu :

1. Program pengobatan (kuratif dan rehabilitatif)  yaitu bentuk pelayanan  kesehatan

untuk mendiagnosa, melakukan tindakan pengobatan pada seseorang pasien dilakukan

oleh seorang dokter  secara ilmiah berdasarkan temuan-temuan  yang diperoleh 

selama anamnesis dan pemeriksaan.

2. Promosi Kesehatan yaitu program pelayanan kesehatan puskesmas yang diarahkan

untuk membantu masyarakat agar hidup sehat secara optimal melalui kegiatan

penyuluhan (individu, kelompok maupun masyarakat).

Page 11: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

3. Pelayanan KIA  dan KB yaitu program pelayanan kesehatan KIA dan KB di 

Puskesmas yang ditujuhkan  untuk memberikan pelayanan kepada PUS (Pasangan

Usia Subur) untuk ber KB, pelayanan ibu hamil, bersalin dan nifas serta pelayanan

bayi dan balita.

4. Pencegahan dan Pengendalian Penyakit menular dan tidak menular yaitu  program

pelayanan kesehatan Puskesmas untuk mencegah dan mengendalikan penular

penyakit menular/infeksi (misalnya TB, DBD, Kusta dll).

5. Kesehatan Lingkungan yaitu  program pelayanan kesehatan lingkungan di puskesmas

untuk meningkatkan kesehatan lingkungan pemukiman melalui upaya sanitasi dasar,

pengawasan mutu lingkungan dan tempat umum termasuk pengendalian pencemaran

lingkungan dengan peningkatan peran serta masyarakat

6. Perbaikan Gizi Masyarakat yaitu program kegiatan pelayanan kesehatan, perbaikan

gizi masyarakat di Puskesmas yang meliputi peningkatan pendidikan gizi,

penanggulangan Kurang Energi Protein, Anemia Gizi Besi, Gangguan Akibat

Kekurangan Yaodium (GAKY), Kurang Vitamin A, Keadaan zat gizi lebih,

Peningkatan Survailans Gizi, dan Perberdayaan Usaha Perbaikan Gizi

Keluarga/Masyarakat.

b. Program pengembangan pelayanan kesehatan Puskesmas tersebut adalah:

1. Usaha  Kesehatan Sekolah, adalah  pembinaan kesehatan masyarakat yang dilakukan

petugas Puskesmas di sekolah-sekolah (SD,SMP dan SMP) diwilayah kerja

Puskesmas.

2. Kesehatan Olahraga  adalah semua bentuk kegiatan yang menerapkan ilmu

pengetahuan fisik untuk meningkatkan  kesegaran jasmani masyarakat, baik atlet

maupun masyarakat umum. Misalnya pembinaan dan pemeriksaan kesegaran jasmani

anak sekolah dan kelompok masyarakat yang dilakukan puskesmas di luar gedung.

3. Perawatan Kesehatan Masyarakat, adalah program pelayanan penanganan kasus

tertentu dari kunjungan puskesmas akan ditindak lanjuti atau dikunjungi ketempat

tinggalnya untuk dilakukan asuhan  keperawatan induvidu dan asuhan keperawatan

keluarganya.  Misalnya kasus gizi kurang penderita ISPA/Pneumonia.

4. Kesehatan Kerja adalah program pelayanan kesehatan kerja puskesmas yang

ditujukan untuk masyarakat pekerja informal maupun formal diwilayah kerja

Page 12: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

puskesmas dalam rangka pencegahan dan  pemberantasan penyakit serta kecelakaan

yang berkaitan dengan pekerjaan dan lingkungan kerja. Misalnya pemeriksaan secara

berkala di tempat kerja oleh petugas puskesmas.

5. Kesehatan Gigi dan Mulut, adalah program pelayanan kesehatan gizi dan mulut yang

dilakukan Puskesmas kepada masyarakat baik didalam maupun diluar gedung

(mengatasi kelainan atau penyakit ronggo mulut dan gizi yang merupakan salah satu

penyakit  yang terbanyak di jumpai di Puskesmas.

6. Kesehatan Jiwa adalah  program pelayanan kesehatan jiwa yang dilaksanakan oleh

tenaga Puskesmas dengan didukung oleh peran serta masyarakat,  dalam rangka

mencapai derajat kesehatan  jiwa masyarakat yang optimal melalui kegiatan

pengenalan/deteksi dini gangguan jiwa, pertolongan pertama gangguan jiwa dan

konseling jiwa. Sehat jiwa adalah  perasaan sehat dan bahagia serta mampu

menghadapi tantangan hidup, dapat menerima orang lain sebagaimana adanya dan

mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain. Misalnya ada konseling

jiwa di Puskesmas.

7. Kesehatan Mata adalah program pelayanan kesehatan mata terutama  pemeliharaan

kesehatan (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif)  dibidang mata dan

pencegahan kebutaan  oleh tenaga kesehatan Puskesmas dan didukung oleh peran

serta aktif masyarakat, misalnya  upaya penanggulangan  gangguan refraksi pada anak

sekolah.

8. Kesehatan Usia Lanjut adalah  program pelayanan kesehatan usia lanjut  atau upaya

kesehatan khusus yang dilaksanakan oleh tenaga Puskesmas  dengan dukungan peran

serta aktif masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat usia

lanjut, misalnya  pemeriksaan kesehatan untuk  mendeteksi dini penyakit degeneratif,

kardiovaskuler seperti : diabetes Melitus, Hipertensi dan Osteoporosis pada kelompok

masyarakat usia lanjut.

9. Pembinaan Pengobatan Tradisional adalah program pembinaan  terhadap pelayanan

pengobatan  tradisional, pengobat tradisional dan cara pengobatan tradisional. Yang

dimaksud pengobatan  tradisional adalah  pengobatan yang dilakukan secara turun

temurun, baik yang menggunakan herbal (jamu), alat (tusuk jarum, juru sunat)

maupun keterampilan (pijat, patah tulang).

10. Kesehatan haji  adalah program pelayanan kesehatan untuk calon dan jemaah haji

yang meliputi pemeriksaan kesehatan, pembinaan kebugaran dan pemantauan

kesehatan jemaah yang kembali (pulang) dari menaikan ibadah haji.

Page 13: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

11. Dan beberapa upaya kesehatan pengembangan lainnya yang spesifik lokal yang

dikembangkan di Puskesmas dan Dinas Kesehatan kabupaten/kota.

7. Organisasi

Struktur organisasi puskesmas tergantung dari kegiatan dan beban tugas masing-

masing puskesmas. Penyusunan struktur organisasi puskesmas di satu kabupaten/kota

dilakukan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota, sedangkan penetapannya dilakukan dengan

Peraturan Daerah.

Sebagai acuan dapat dipergunakan pola struktur organisasi puskesmas sebagai

berikut:

1. Kepala puskesmas

2. Wakil Kepala (disesuaikan beban kerja dan kebutuhan puskesmas dan

yang menetapkan ada atau tidak adalah Dinas Kesehatan Kabupaten

dan Kota)

3. Unit tata usaha

Unit tata usaha yang bertanggung jawab membantu kepala puskesmas dalam

pengelolaan :

1. Data dan informasi

2. Perencanaan dan penilaian

3. Keuangan

4. Umum dan kepegawaian

Unit pelaksana teknis fungsional puskesmas:

1. Upaya kesehatan masyarakat termasuk pembinaan terhadap UKBM

2. Upaya kesehatan perorangan

Jaringan pelayanan puskesmas :

1. Unit puskesmas pembantu

2. Unit puskesmas keliling

3. Unit bidan di Desa/Komunitas

Page 14: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

Tugas Struktur Organisasi Puskesmas

1. Kepala Puskesmas

Bertugas memimpin, mengawasi dan mengkoordinasikan kegiatan puskesmas yang

dapat dilakukan dalam jabatan structural, dan jabatan fungsional.

2. Kepala urusan tata usaha

Bertugas dibidang kepegawaian, keuangan perlengkapan dan surat menyurat serta

pencatatan dan pelaporan.

3. Unit I

Bertugas melaksanakan kegiatan kesejahteraan ibu dan anak, keluarga berencana dan

perbaikan gizi.

4. Unit II

Melaksanakan kegiatan pencegahan dan pemberantasan penyakit menular khususnya

imunisasi, kesehatan lingkungan dan laboratorium sederhana.

5. Unit III

Melaksanakan kegiatan kesehatan gigi dan mulut, kesehatan tenaga kerja dan manula.

6. Unit IV

Melaksanakan kegiatan perawatan kesehatan masyarakat, kesehatan sekolah dan

olahraga, kesehatan jiwa, kesehatan mata dan kesehatan khusus lainnya.

7. Unit V

Melaksanakan kegiatan pembinaan dan pengembangan upaya masyarakat dan

penyuluhan kesehatan masyarakat, kesehatan remaja dan dana sehat.

8. Unit VI

Melaksanakan kegiatan pengobatan rawat jalan dan rawat inap

9. Unit VII

Melaksanakan kegiatan kefarmasian.

Tata Kerja Puskesmas

Tata kerja koordinasi fungsional, adalah sebagai berikut:

a. Antara Puskesmas dengan RSU dalam bidang pelayanan medic

b. Antara Puskesmas dengan Camat dan Badan Penyantun Puskesmas dalam bidang

pembangunan kesehatan di wilayah Kecamatan.

Page 15: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

7. Sistem Rujukan

Seperti yang telah dirumuskan dalam SK Menteri Kesehatan Nomor 23 Tahun 1972

tentang Sistem Rujukan adalah suatu system penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang

melaksanakan pelimpahan tanggungjawab timbal balik terhadap suatu kasus penyakit atau

masalah kesehatan secara vertikal dalam arti dari unit yang berkemampuan kurang kepada

unit yang lebih mampu atau secara horizontal dalam arti antar unit-unit yang setingkat

kemampuannya.

Rujukan Pelayanan Medis :

1. Antara masyarakat dengan puskesmas

2. Antara Puskesmas Pembantu/Bidan di Desa dengan Puskesmas

3. Intern antara petugas Puskesmas/Puskesmas Rawat Inap

4. Antara Puskesmas dengan Rumah Sakit, Laboratorium atau fasilitas pelayanan

lainnya.

Rujukan Pelayanan Kesehatan :

1. Dari Puskesmas ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

2. Dari Puskesmas ke instansi lain yang lebih kompeten baik intrasektoral maupun

lintas sektoral.

3. Jika rujukan di Kabupaten/Kota masih belum mampu menanggulangi, dapat

diteruskan ke Provinsi/Pusat.

Upaya Kesehatan

Dalam garis besar usaha kesehatan, dapat dibagi dalam 3 golongan, yaitu :

1. Promotif

Promosi kesehatan berasal dari kata dalam bahasa inggris yaitu health promotion.

Penerjemahan kata health promotion atau tepatnya promotion of health kedalam bahasa

Indonesia pertama kali dilakukan ketika para ahli kesehatan masyarakat di Indonesia

menerjemahkan lima tingkatan pencegahan (five levels of prepention) dari H.R.Leavell dan E.

G. Clark Usaha pencegahan (usaha preventif).

Page 16: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

1. Preventif

Upaya preventif adalah sebuah usaha yang dilakukan individu dalam mencegah terjadinya

sesuatu yang tidak diinginkan. Prevensi secara etimologi berasal dari bahasa latin, pravenire

yang artinya datang sebelum atau antisipasi atau mencegah untuk tidak terjadi sesuatu. Dalam

pengertian yang sangat luas, prevensi diartikan sebagai upaya secara sengaja dilakukan untuk

mencegah terjadinya gangguan, kerusakan, atau kerugian bagi seseorang atau masyarakat.

Upaya preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya penyakit dan gangguan kesehatan

individu, keluarga, kelompok dan masyarakat. Usaha-usaha yang dilakukan, yaitu :

a. Pemeriksaan kesehatan secara berkala (balita, bumil, remaja, usila,dll) melalui posyandu,

puskesmas, maupun kunjungan rumah

b. Pemberian Vitamin A, Yodium melalui posyandu, puskesmas, maupun dirumah

c. Pemeriksaan dan pemeliharaan kehamilan, nifas dan menyusui

d. Deteksi dini kasus dan factor resiko (maternal, balita, penyakit).

e. Imunisasi terhadap bayi dan anak balita serta ibu hamil

2. Kuratif

Upaya kuratif bertujuan untuk merawat dan mengobati anggota keluarga, kelompok yang

menderita penyakit atau masalah kesehatan. Usaha-usaha yang dilakukan, yaitu :

a. Dukungan penyembuhan, perawatan, contohnya : dukungan psikis penderita TB

b. Perawatan orang sakit sebagai tindak lanjut perawatan dari puskesmas dan rumah sakit

c. Perawatan ibu hamil dengan kondisi patologis dirumah, ibu bersalin dan nifas

d. Pemberian obat : Fe, Vitamin A, oralit.

3. Rehabilitatif

Merupakan upaya pemulihan kesehatan bagi penderita-penderita yang dirawat dirumah,

maupun terhadap kelompok-kelompok tertentu yang menderita penyakit yang sama. Usaha

yang dilakukan, yaitu:

a. Latihan fisik bagi yang mengalami gangguan fisik seperti, patah tulang, kelainan bawaan

Page 17: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

b. Latihan fisik tertentu bagi penderita penyakit tertentu misalnya, TBC (latihan nafas dan

batuk), Stroke (fisioterapi).

Dari ketiga jenis usaha ini, usaha pencegahan penyakit mendapat tempat yang utama,

karena dengan usaha pencegahan akan diperoleh hasil yang lebih baik, serta memerlukan

biaya yang lebih murah dibandingkan dengan usaha pengobatan maupun rehabilitasi.

B. Rheumatoid arthritis

a. Definisi

Rheumatoid arthritis (RA) atau artritis reumatoid adalah penyakit autoimun dengan

inflamasi kronik, yang di tandai dengan pembengkakan, nyeri sendi serta destruksi jaringan

sinovial yang disertai gangguan pergerakan diikuti dengan kematian prematur. Artritis

reumatoid kerap dikaitkan dengan kelainan hipersensitivitas tipe III. Hal ini dikarenakan

dalam pemeriksaanya kerap ditemukan adanya kompleks imunoglobulin G yang berada pada

cairan sendi yang menyebabkan terjadinya inflamasi. Pasien mengalami nyeri kronis serta

peningkatan disabilitas, yang bila tidak diobati, dapat menurunkan angka harapan hidup.

b. Prevalensi

Prevalensi penyakit muskuloskeletal pada lansia dengan artritis reumatoid

mengalami peningkatan mencapai 335 juta jiwa di dunia. Artritis reumatoid telah

berkembang dan menyerang 2,5 juta warga eropa, sekitar 75 % diantaranya adalah wanita

dan kemungkinan dapat mengurangi harapan hidup mereka hampir 10 tahun. Di amerika

serikat, penyakit ini menempati urutan pertama, dimana penduduk AS dengan artritis

reumatoid 12,1 % yang berusia 27-75 tahun memiliki kecacatan pada lutut, panggul dan

tangan, sedangkan di inggris sekitar 25 % populasi yang berusia 55 tahun keatas menderita

artritis reumatoid pada lutut.

Di indonesia, data epidemiologi tentang penyakit RA masih sangat terbatas. Menurut

survei kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 2004, penduduk dengan keluhan sendi

sebanyak 2%. Hasil penelitian yang dilakukan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), badan Penelitian dan Pengembangan kesehatan

(Balitbangkes) Depkes dan Dinas Kesehatan DKI Jakarta selama 2006 menunjukan angka

kejadian gangguan nyeri muskuloskeletal yang mengganggu aktifitas, merupakan gangguan

Page 18: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

yang sering dialami dalam kehidupan sehari-hari sebagian besar responden. Perjalanan RA

bervariasi, tergantung dari kepatuhan penderita berobat dalam jangka waktu yang lama.

Sekitar 50-70 % penderita dengan RA akan mengalami remisi dalam 3 sampai 5

tahun dan selebihnya akan mengalami prognosis yang lebih buruk dan umumnya akan

mengalami kematian lebih cepat 10 – 15 tahun daripada penderita tanpa RA. Keadaan

penderita akan lebih buruk apabila lebih dari 30 buah sendi mengalami perandangan dan

sebagian besar penderita akan mengalami RA sepanjang hidupnya. Sekitar 80-85% penderita

RA mempunyai autoantibodi yang dikenal dengan nama Rheumatoid faktor dalam serumnya

dan menunjukkan RF positif. Faktor ini merupakan suatu faktor anti-gammaglobulin. Kadar

RF yang sangat tinggi menandakan prognosis buruk dengan kelainan sendi yang berat.

Dengan bertambahnya umur, penyakit ini meningkat baik wanita maupun laki-laki.

Puncak kejadian umur 24-45 tahun dan penyakit Rheumatoid arthritis ini sering di jumpai

pada usia diatas 60 tahun dan jarang di jumpai pada usia dibawah 40 tahun. Prevalensi lebih

tinggi pada wanita dibandingkan laki-laki, lebih dari 75 % penderita RA adalah wanita.

Artritis reumatoid terungkap sebagai keluhan atau tanda dengan keluhan utama sistem

muskuloskeletal yaitu nyeri, kekakuan, dan spasme otot serta adanya tanda utama yaitu

pembengkakan sendi, kelemahan otot, dan gangguan gerak. Jika tidak segera ditangani artritis

reumatoid bisa membuat anggota tubuh berfungsi tidak normal, sendi akan menjadi kaku,

sulit berjalan, bahkan akan menimbulkan kecacatan seumur hidup, sehingga aktivitas sehari-

hari lansia menjadi terbatas. Selain menurunkan kualitas hidup, artritis reumatoid juga

meningkatkan beban sosial ekonomi bagi para penderita dan tentunya akan menimbulkan

masalah untuk keluarga.

Tidak dapat dipungkiri bahwa aktivitas masyarakat indonesia yang kian padat dapat

menimbulkan berbagai ketidakmampuan yang diakibatkan oleh bermacam gangguan

khusunya pada penderita artritis reumatoid. Tetapi seiring dengan bertambahnya jumlah

penderita artritis reumatoid di indonesia, justru kesadaran dan salah pengertian tentang

penyakit ini masih tinggi. Banyaknya pandangan masyarakat Indonesia yang menganggap

sederhana penyakit ini karena sifatnya yang dianggap tidak menimbulkan ancaman jiwa,

padahal gejala yang ditimbulkan akibat penyakit ini justru menjadi penghambat yang

mengganggu bagi masyarakat untuk melakukan aktivitas mereka sehari-hari.

c. Patofisiologi

Page 19: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

Rheumatoid arthritis (RA) merupakan perubahan konformasi pada sendi akibat

adanya inflamasi kronis pada persendian tersebut. Inflamasi ini disebabkan karena adanya

kelainan pada sistem imun. RA kerap dihubungkan dengan adanya hipersensitivitas tipe III

dan adanya kelainan autoimun yang memicu teraktivasinya sistem imun secara berlebihan.

1. Patofisiologi Hipersensitivitas tipe III

Secara umum, hipersensitivitas tipe III adalah kelainan sistem imun yang disebabkan

adanya kompleks antibodi (imunoglobulin) yang kemudian menjadi suatu antigen yang

mengaktivasi jalur komplemen. Karena kompleks antibodi ini mengaktivasi jalur komplemen

klasik, maka akan terjadi sekresi protein-protein imun dan sel-sel imun yang kemudian dapat

memicu reaksi inflamasi sehingga dapat melukai sel ataupun bagian dimana kompleks imun

tersebut terbentuk seperti persendian dan glomerulus nefron.

Berbeda dengan hipersensitivitas tipe II, kompleks imun yang terbentuk disebabkan

oleh antigen yang terlarut dalam cairan (plasma, sinovial, dan cairan tubuh lain) sehingga

tidak terjadi kompleks dengan sel tubuh. Hipersensitivitas tipe III ini dipicu oleh berbagai

sebab seperti kelainan autoimun, toxin bakteri, maupun antigen yang terpapar dari luar seperti

spora jamur (Marc, 2009).

Proses yang terjadi adalah sebagai berikut :

Gambar 1. Pembentukan kompleks imun (Immunopaedia.org, 2010)

Hipersensitivitas tipe III ini diawali dengan adanya antigen yang khusus yang dapat

memicu pembentukan kompleks dari imunoglobulin tertentu. Beberapa antigen yang dapat

memicu kompleks antibodi adalah antigen dari dalam diri (autoimun) seperti vimetin, fibrin,

dll, kemudian dikatakan adanya infeksi dari bakteri dan virus, serta adanya alergen seperti

spora dari aspergilus yang menyebabkan terjadinya kompleks antibodi pada paru-paru.

Kompleks antibodi kemudian akan terdeposit pada jaringan terdekat (Marc, 2009).

Page 20: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

Gambar 2. Aktivasi jalur komplemen klasik (Immunopaedia.org, 2010)

Adanya timbunan kompleks imun pada jaringan ini menyebabkan teraktivasinya

protein komplemen tipe 1 (C1) yang kemudian memicu teraktivasinya komplemen jalur

klasik. Protein C1 akan menempel pada Fc di kompleks imun tersebut. Protein C1 (terdiri

dari C1 q,r,s) akan membelah protein C4 menjadi C4a dan C4b dimana C4b akan menempel

pada kompleks imun sebagai anafilotoksin yang memacu inflamasi. Selain itu, protein C1

akan membelah protein C2 menjadi protein C2a dan C2b dimana protein C2b akan menempel

pada C4b membentuk C3 konvertase yang mengubah C3 menjadi C3a dan C3b. C3b

memiliki 2 peran yang pertama bergabung dengan C3 konvertase membentuk C5 konvertase

dan yang kedua menempel pada permukaan kompleks imun dan berperan sebagai opsonin

bagi fagosit. C5 konvertase akan membelah C5 menjadi C5a sebagai opsonin dan C5b

sebagai MAC (membrane attack complex) bersama dengan protein komplemen lain (C7, C8,

dan C9).

Gambar 3.Inflamasi pada sel target (Immunopaedia.org, 2010)

Pada akhirnya, akan terjadi migrasi sel-sel imun seperti netrofil, basofil, dan

eosinofil yang juga melepaskan mediator-mediator inflamasi dan menyebabkan

peradangan sendi.

Page 21: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

2. Patofisiologi Rheumatoid Arthritis Terkait Hipersensitivitas Tipe III

Rheumatoid Arthritis merupakan penyakit yang dapat terjadi karena penyebab

internal berupa genetik maupun eksternal berupa antigen-antigen khusus (toksin bakteri

dan rokok). Dari segi genetik, seseorang akan mengalami peningkatan prosentase

menderita RA apabila pada DNA nya terdapat gen HLA-DRB1 yang diekspresikan.

Pengekspresian gen ini akan menyebabkan perubahan epitope pada sel limfosti yang

nantinya akan berikatan dengan MHC dan menghasilkan antibodi IgG yang berbeda pada

orang normal. Antibodi ini disebut dengan ACPA (Anti Citrunillated Protein Antigen).

ACPA akan berikatan dengan protein-protein tersitrunilasi dan menyebabkan

pembentukan kompleks imun pada sendi yang disebut Rheumatoid Factor (RF) (Mclnnes,

2011).

Selain adanya gen HLA-DRB1 yang diekspresikan, beberapa faktor eksternal

juga mempengaruhi terjadinya RA. Salah satu agen yang paling banyak menyebabkan RA

adalah rokok. Rokok dapat memicu terjadinya sitrunilasi pada protein-protein yang berada

dalam jaringan ikat seperti vimetin. Vimetin merupakan protein yang terdapat banyak

pada sel-sel jaringan ikat terutama persendian. Pada penderita RA, vimetin tersitrunilasi

merupakan antigen utama pemicu kelainan ini. Selain itu, beberapa sekret bakteri dapat

menyebabkan terjadinya sitrunilasi tersebut (Klareskog, 2006). Apabila terdapat sitrunilasi

protein maka akan terbentuk antigen tersitrunilasi dan ACPA akan berikatan dengan

antigen tersebut sehingga terjadilah kompleks imun (RF). Dalam diagnosisnya, ACPA

positif belum tentu menunjukkan adanya RF. Hal ini dikarenakan walaupun terdapat

ACPA, namun belum tentu seorang penderita terpapar dengan antigen tersitrunilasi

sehingga belum tentu terbentuk kompleks imun (Scott, 2010). Selain itu, walaupun tidak

diekspresikanya gen HLA-DRB1, dengan adanya antigen RA (protein tersitrunilasi),

aktivasi sel-sel imun pada cairan sinovial akan terjadi sehingga menyebabkan

terbentuknya IgG yang berlebihan dan membentuk kompleks (Ursum, 2009).

3. Peradangan Sendi Akibat Reaksi Imun pada Rheumatoid Arthritis

Pada penderita RA, dalam cairan sinovialnya terdapat banyak sel myeloid dan sel

dendrit yang melimpah. Sel-sel ini akan terkatifasi dengan adanya antigen berupa protein

tersitrunilasi. Sel T helper terutama Th 1 dan Th17 yang teraktivasi akan menghasilkan

berbagai mediator-mediator inflamasi seperti IL-17, IL-17F, IL-22, dan TNF alfa

sedangkan sel dendrit dan myeloid akan menghasilkan IL-1beta, IL-6, IL-21, dan, TGF-

Page 22: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

beta. Protein-protein inflamasi ini akan menyebabkan deferensiasi IL-17 meningkat dan

menurunkan deferensiasi sel T regulatory (sel T yang dapat menekan sistem imun). Pada

penderita RA, ditemukan dalam cairan sinovialnya sel T regulatory yang memiliki

penurunan fungsi, sehingga tidak ada proses supresi dari mediator-mediator inflamasi. Hal

ini mengakibatkan adanya inflamasi pada daerah persendian. Sel B (CD20) yang

membantu Sel T pada membran sinovial juga akan membentuk sel B plasma yang akan

mensekresikan IgG. Pada orang dengan alele HSL-DRB1, IgG yang dihasilkan merupakan

IgG dengan FC anti protein tersitrunilasi (ACPA) sehingga akan membentuk kompleks

imun dengan protein tersitrunilasi. Akibatnya, protein komplemen akan teraktivasi

menggunakan jalur klasik sehingga terjadi kerusakan pada persendian (Mclnnes, 2011).

Gambar 4. Regulasi sel-sel imun pada proses inflamasi sendi

Selain itu, sel-sel imun yang lain juga berperan dalam proses inflamasi seperti

netrofil, makrofag, sel mast, dan NK-cells. Makrofag akan mensekresikan mediator-

mediator inflamasi seperti IL-6, IL-1, (juga 12, 15, 18, dan 23) dan TNF alfa. Selain itu,

makrofag akan memfagositosis sel-sel tulang pada persendian sehingga menyebabkan

kerusakan sendi. Selain makrofag, netrofil juga berperan dalam patogenesis RA, sebagai

Page 23: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

pensintesis sitokin dan senyawa oksigen reaktif. Sel Mast juga berperan dalam mensintesis

beberapa kemokin dan amina vasoaktif penyebab inflamasi pada sendi (Scott, 2010).

Beberapa sitokin yang berperan penting dalam patogenesis RA adalah IL-1, IL-6, dan

TNF alfa. Ketiga sitokin ini akan menyebabkan osteoklas sehingga menyebabkan

deformasi sendi. Keseluruhan sitokin yang diseksresikan oleh sel-sel imun melalui protein

reseptor tirosin kinase dengan jalur JAK (Mclnnes, 2011).

d. Manifestasi Rheumatoid Arthritis

Inflamasi kronis yang terjadi akibat RA ini akan menyebabkan berbagai macam

manifestasi. Dua macam manifestasi yang paling banyak terjadi adalah kerusakan tulang

rawan dan erosi tulang.

a. Kerusakan Tulang Rawan

Pada penderita RA, terjadi kehilangan efek protektif dari sinovium (cairan sendi)

seperti menurunya ekspresi dari lubricin, mengubah karakter dari permukaan protein

binding pada kartilago, meningkatkan adhesi dan invasi FLS (Fibroblast-Like

Sinoviocyte). FLS akan mensintesis MMP (Matrix Metaloproteinase) sehingga

meningkatkan perombakan dari kolagen. Selain itu, enzim matriks lain seperti

ADAMTS akan mengurangi integritas dari kartilago. Berbagai macam sitokin pada

cairan sendi juga akan meningkatkan perombakan tulang rawan pada persendian. Hal

ini menyebabkan radiografi pada penderita RA menunjukan adanya penyempitan jarak

antar persendian (Mclnnes, 2011).

b. Erosi Tulang

Erosi pada tulang terjadi pada 80% penderita setelah 1 tahun terdiagnosa RA dan

berhubungan dengan inflamasi yang berkepanjangan dan progresif. Berbagai macam

sel imun seperti makrofag akan menyebabkan perubahan osteoklas dan invasi pada

permukaan periosteal. TNF alfa dan IL-6, IL-17, dan IL-1 akan meningkatkan

deferensiasi dari osteoclast dan aktivasinya. Osteoclast akan menyebabkan reaksi

enzimatik asam yang akn menghancurkan jaringan bermineral termasuk tulang rawan

dan tulang (Mclnnes, 2011).

Gejala dan tanda rheumatoid arthritis

Gejala umum rheumatoid arthritis datang dan pergi, tergantung pada tingkat

peradangan jaringan. Ketika jaringan tubuh meradang, penyakit ini aktif. Ketika jaringan

berhenti meradang, penyakit ini tidak aktif. Remisi dapat terjadi secara spontan atau dengan

Page 24: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

pengobatan dan pada minggu-minggu terakhir bisa bulan atau tahun. Selama remisi, gejala

penyakit hilang dan orang-orang pada umumnya merasa sehat ketika penyakit ini aktif lagi

(kambuh) ataupun gejala kembali (AHRQ, 2008).

Ketika penyakit ini aktif gejala dapat termasuk kelelahan, kehilangan energi,

kurangnya nafsu makan, demam kelas rendah, nyeri otot dan sendi dan kekakuan. Otot dan

kekauan sendi biasanya paling sering di pagi hari. Disamping itu juga manifestasi klinis

rheumatoid arthritis sangat bervariasi dan biasanya mencerminkan stadium serta beratnya

penyakit. Rasa nyeri, pembengkakan, panas, eritema dan gangguan fungsi merupakan

gambaran klinis yang klasik untuk rheumatoid arthritis (AHRQ, 2008).

Gejala sistemik dari rheumatoid arthritis adalah mudah capek, lemah, lesu,

takikardi, berat badan menurun, anemia. Pola karakteristik dari persendian yang terkena

adalah : mulai pada persendian kecil di tangan, pergelangan, dan kaki. Secara progresif

mengenai persendian, lutut, bahu, pinggul, siku, pergelangan kaki, tulang belakang serviks,

dan temporomandibular. Awitan biasanya akut, bilateral dan simetris. Persendian dapat

teraba hangat, bengkak, kaku pada pagi hari berlangsung selama lebih dari 30 menit.

Deformitas tangan dan kaki adalah hal yang umum (AHRQ, 2008).

Jika ditinjau dari stadium penyakit, terdapat tiga stadium yaitu :

1. Stadium sinovitis

Pada stadium ini terjadi perubahan dini pada jaringan sinovial yang ditandai hiperemi,

edema karena kongesti, nyeri pada saat bergerak maupun istirahat, bengkak dan kekakuan.

2. Stadium destruksi

Pada stadium ini selain terjadi kerusakan pada jaringan sinovial terjadi juga pada jaringan

sekitarnya yang ditandai adanya kontraksi tendon.

3. Stadium deformitas

Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali, deformitas dan

gangguan fungsi secara menetap (AHRQ, 2008).

Keterbatasan fungsi sendi dapat terjadi sekalipun stadium pada penyakit yang dini

sebelum terjadi perubahan tulang dan ketika terdapat reaksi inflamasi yang akut pada sendi-

sendi tersebut. Persendian yang teraba panas, membengkak, tidak mudah digerakkan dan

pasien cendrung menjaga atau melinddungi sendi tersebut dengan imobilisasi. Imobilisasi

dalam waktu yang lama dapat menimbulkan kontraktur sehingga terjadi deformitas jaringan

lunak. Deformitas dapat disebabkan oleh ketidaksejajajran sendi yang terjadi ketika sebuah

tulang tergeser terhadap lainnya dan menghilangkan rongga sendi (AHRQ,2008).

Page 25: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

Adapun tanda dan gejala yang umum ditemukan atau sangat serius terjadi pada

lanjut usia menurut Buffer (2010), yaitu: sendi terasa kaku pada pagi hari, bermula sakit dan

kekakuan pada daerah lutut, bahu, siku, pergelangan tangan dan kaki, juga pada jari-jari,

mulai terlihat bengkak setelah beberapa bulan, bila diraba akan terasa hangat, terjadi

kemerahan dan terasa sakit/nyeri, bila sudah tidak tertahan dapat menyebabkan demam, dapat

terjadi berulang.

Kerusakan sendi berlangsung dengan rasa sakit. Gejala khas pada arthritis adalah

nyeri sendi. Nyeri hebat di pagi hari setelah istirahat malam. Nyeri juga hebat ketika

beristirahat daripada ketika bekerja. Kekakuan sendi adalah gejala lain. Kekakuan otot-otot

selama pagi setelah bangun terlihat pada pasien rheumatoid arthritis serta osteoarthritis.

Namun, di antara pasien dengan osteoarthritis kekakuan pergi setelah sekitar setengah jam

aktivitas. Untuk pasien rheumatoid arthritis kekakuan dapat bertahan lebih lama. Sendi bisa

menjadi meradang. Hal ini ditandai dengan kehangatan dan kemerahan dari sendi. Ada

pembengkakan di atas sendi bersama dengan kemerahan. Sendi terasa panas dan menyakitkan

untuk disentuh. Seiring waktu sendi kecil dapat rusak dan menyebabkan cacat permanen.

Cacat yang disebabkan karena erosi tulang yang berakhir pada sendi, erosi kartilago dan

pecahnya tendon di sekitar sendi. Kelainan ini bersifat terlihat di tangan dan sendi jari.

Misalnya, ibu jari yang cacat dan ini kita disebut deformitas Boutonniere jempol. Ujung jari

melengkung atau disebut cacat leher angsa dll (NHS, 2012).

Pada pasien rheumatoid arthritis mungkin terjadi radang di sekitar sendi. Ini muncul

sebagai lesi bengkak disebut nodul rematik. Ini biasanya tidak nyeri, keras, oval atau bulat

massa yang umum selama titik-titik tekanan seperti pergelangan tangan, siku, pergelangan

kaki dll. Nodul rheumatoid dapat juga terjadi pada mata atau organ lain seperti paru-paru.

Dalam paru-paru mereka dapat menyebabkan komplikasi seperti akumulasi cairan di dalam

dan sekitar paru-paru. Gejala lain dari rheumatoid arthritis adalah anemia atau rendahnya

jumlah sel darah merah. Hal ini karena mungkin ada kekurangan produksi sel darah merah

baru untuk menebus yang hilang. Jumlah trombosit juga dapat diubah (NHS, 2012).

Beberapa pasien mungkin menderita radang pembuluh darah atau vaskulitis arthritis.

Komplikasi ini mungkin mengancam nyawa. Hal ini dapat menyebabkan ulserasi kulit yang

dapat terinfeksi, ulkus lambung dan kerusakan saraf. Ulkus lambung dapat menyebabkan

komplikasi seperti perdarahan atau perforasi dan patologi saraf dapat menyebabkan nyeri,

mati rasa atau kesemutan sensasi. Pembuluh darah dari otak dan jantung juga mungkin

terlibat menyebabkan serangan jantung atau stroke. Dalam hati mungkin ada akumulasi

cairan yang disebut pericarditis. Otot-otot jantung bisa meradang menyebabkan miokarditis.

Page 26: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

Kondisi ini dapat menyebabkan gagal jantung. Beberapa orang mungkin mengalami

peningkatan mendadak dalam gejala dan ini disebut flare-up. Flare up biasanya sulit untuk

memprediksi dan dapat terjadi lebih sering pada pagi hari setelah bangun tidur (NHS, 2012).

Rheumatoid arthritis secara keseluruhan memiliki dampak yang parah pada kualitas hidup.

Ada dampak yang parah pada fungsi fisik, sosial dan kesejahteraan emosional serta kesehatan

mental. Kondisi terkait lainnya dengan kondisi ini termasuk depresi dan kecemasan (NHS,

2012).

E. Segitiga Epidemiologi

Menurut dasar epidemiologi (Triangle Epidemiologi) apabila ada perubahan dari salah

satu faktor, maka akan terjadi perubahan keseimbangan diantara mereka, yang berakibat

akan bertambah atau berkurangnya penyakit yang bersangkutan.

Konsep segitiga epidemiologi digunakan untuk menganalisis terjadinya suatu penyakit.

Dalam konsep ini faktor-faktor yang menentukan terjadinya penyakit diklasifikasikan

sebagai berikut:

1. Agen penyakit (faktor etiologi):

a. Zat nutrisi

b. Agen kimiawi

c. Agen fisik

d. Agen infeksius

2. Faktor pejamu (mempengaruhi pajanan, kerentanan, respons terhadap agen):

a. Genetik

b. Usia

c. Jenis kelamin

Page 27: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

d. Ras

e. Status imunulogis

f. Perilaku manusia

g. Penyakit lain yang sudah pernah ada

3. Faktor lingkungan (mempengaruhi keberadaan agen, pajanan atau kerentanan

terhadap agen):

a. Lingkungan fisik (iklim)

b. Lingkungan biologis (populasi manusia, flora, fauna)

c. Lingkungan sosial ekonomi (pekerjaan, bencana alam)

Analisa penyakit rheumatoid arthritis menggunakan segitiga epidemiologi, sebagai berikut:

1. Host (Pejamu)

Faktor-faktor yang dapat menimbulkan penyakit rheumatoid arthritis pada pejamu yaitu :

a. Usia

Rheumatoid arthritis juga dipicu oleh faktor pertambahan usia. Setiap persendian

tulang memiliki lapisan pelindung sendi yang menghalangi terjadinya gesekan antara

tulang. Dan didalam sendi terdapat cairan yang berfungsi sebagai pelumas sehingga

tulang dapat digerakkan dengan leluasa. Pada mereka yang sudah berusia lanjut,

lapisan pelindung persendian mulai menipis dan cairan tulang mulai mengental,

menyebabkan tubuh menjadi kaku dan sakit saat digerakkan. Dengan bertambahnya

umur, penyakit ini meningkat baik wanita maupun laki-laki. Puncak kejadian umur

24-45 tahun dan penyakit Rheumatoid arthritis ini sering di jumpai pada usia diatas 60

tahun dan jarang di jumpai pada usia dibawah 40 tahun. Namun tidak semua penderita

rheumatoid arthritis dipengaruhi oleh proses penuaan (proses degenerative). Ada juga

rheumatoid arthritis yang menyerang anak-anak dan usia muda seperti juvenile

rheumatoid arthritis yang menyerang anak usia 4-15 tahun.

b. Jenis kelamin

Prevalensi lebih tinggi pada wanita dibandingkan laki-laki, lebih dari 75 % penderita

RA adalah wanita.

c. Genetik

Secara genetis, RA dipengaruhi oleh ekspresi dari gen HLA yang merupakan gen

pembentuk MHC. Penelitian mengungkapkan, 70% individu dengan gen HLA

Page 28: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

terekspersi mengalami RA. Hal in juga berlaku bagi kembar monozigot yang

memiliki gen tersebut.

d. Kebiasaan

Kebiasaan-kebiasaan buruk seseorang merupakan ancaman kesehatan bagi orang

tersebut seperti :

Pola makan yang salah, terutama bagi Kaum lansia sangat beresiko, sehingga harus

menjaga berat badan agar tidak kegemukan atau kelebihan gizi, dan terhindar dari

penyakit, obesitas dan sulit bergerak. Adapun bahan makanan yang bisa menimbulkan

penyakit rheumatoid arthritis, contohnya jeroan (usus, babat, hati, ginjal, paru, otak),

seafood (udang, cumi, kerang, dll), makanan yang sudah dikalengkan, daging

kambing, sapi, bebek, kacang-kacangan, sayuran (bayam, kangkung, buncis, kembang

kol, daun singkong, dll), keju, telor, buah-buahan (durian, nanas, air kelapa), makanan

di goreng atau bersantan atau di masak dengan menggunakan margarin/mentega,

minuman beralkohol dan masih ada makanan lain. Berat badan berlebih atau Obesitas

beresiko tinggi terserang rheumatoid arthritis, terutama mereka yang gemuk setelah

berusia 50 tahun dan waktu muda berbadan kurus.

Gaya hidup di zaman yang modern ini menuntut setiap orang untuk bekerja keras,

hidup penuh tuntutan dan tekanan sehingga menjaadi stress, kurang berolahraga, dan

berusaha untuk mengatasi stress tersebut dengan minuman alkohol, merokok, yang

merupakan salah satu faktor resiko penyakit rheumatoid arthritis.

Ras atau suku

Data di Amerika Serikat juga menunjukkan bahwa prevalensi tertinggi dari

rheumatoid arthritis adalah pada suku Amerika Indian dibanding dengan yang Non

Indian. Walaupun demikian penyakit ini dapat dijumpai di setiap negara di dunia. Di

Indonesia terdapat suku tertentu yang mempunyai kecenderungan terserang penyakit

ini antara lain suku Minahasa dan Tapanuli.

Pekerjaan

Sikap badan yang salah dalam melakukan pekerjaan sehari-hari memudahkan

timbulnya reumatik nonartikular. Mengangkat beban berat dari lantai dengan badan

membungkuk dapat mengakibatkan sakit pinggang.

2. Agent (Penyebab Penyakit)

Agent adalah suatu substansi tertentu yang keberadaannya atau ketidakberadaannya dapat

menimbulkan penyakit atau mempengaruhi perjalanan penyakit. Untuk penyakit

rheumatoid arthritis yang menjadi agen adalah :

Page 29: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

Bakteri dan virus

Meskipun penyebab pasti rheumatoid arthritis belum diketahui jelas, namun faktor

pencetus dari lingkungan seperti bakteri dan virus ada hubungannya dengan

penyakit RA. Hubungan antara virus seperti virus hepatitis B, virus Epstein Barr

dapat menyebabkan kerusakan mikrovaskuler serta proliferasi sinovia sehingga sel

radang yang muncul pada tahap awal adalah neutrofil, setelah itu limfosit,

makrofag dan sel plasma. Sel plasma memproduksi IgG dan IgM yang merupakan

faktor rheumatoid. Reaksi antigen dan antibodi ini menimbulkan kompleks imun

yang mengaktifkan sistem komplemen sehingga terjadi reaksi inflamasi.

3. Environment (Lingkungan)

Lingkungan adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia serta pengaruh-

pengaruh luar yang mempengaruhi kehidupan dan perkembangan manusia.

Lingkungan ini termasuk perilaku atau pola gaya hidup misalnya gaya hidup yang

kurang baik seperti gaya hidupnya penuh dengan tekanan (stress). faktor stress juga

berhubungan dengan kasus RA, seperti tiba-tiba kehilangan istri/suami, kehilangan

seluruh harta benda dalam suatu musibah, kehilangan satu-satunya anak yang di

sayangi, dan sebagainya, meskipun semuanya belum terbukti. Gaya hidup yang tidak

aktif berolahraga, merokok, alkohol, makanan yang mengandung purin, dapat memicu

terjadinya penyakit rheumatoid arthritis.

F. Faktor faktor yang mempengaruhi status kesehatan masyarakat menurut HENDRIK L

BLUM

Menurut Hendrik L Blum, sehat itu dipengaruhi beberapa faktor yaitu :

Page 30: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

Ke empat faktor tersebut diatas saling berpengaruh positif satu dengan yang lain dan tentu saja sangat berpengaruh terhadap status kesehatan seseorang. Status kesehatan akan tercapai optimal apabila ke empat faktor tersebut positif mempengaruhi secara optimal pula. Apabila salah satu faktor tidak optimal maka status kesehatan akan bergeser kearah dibawah optimal. Berikut ini akan dijelaskan satu per satu ke empat faktor tersebut sebagai berikut : 6

1. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan sangat besar pengaruhnya terhadap status kesehatan, terlihat dari diagram di atas dengan panah yang lebih besar dibanding faktor lainnya. Faktor Lingkungan terdiri dari 3 bagian besar :

a. Lingkungan Fisik

Terdiri dari benda mati yang dapat dilihat, diraba, dirasakan antara lain : bangunan, jalan, jembatan, kendaraan, gunung, air, tanah. Benda mati yang dapat dilihat dan dirasakan tapi tidak dapat diraba : api, asap, kabut dll.. Benda mati yang tidak dapat diraba, tidak dapat dilihat namun dapat dirasakan : udara, angin, gas, bau-bauan, bunyi-bunyian / suara dll.

b. Lingkungan Biologis

Terdiri dari makhluk hidup yang bergerak, baik yang dapat dilihat maupun tidak : manusia, hewan, kehidupan akuatik, amoeba, virus, plankton. Makhluk hidup tidak bergerak : tumbuhan, karang laut, bakteri dll.

c. Lingkungan Sosial

Lingkungan sosial adalah bentuk lain selain fisik dan biologis di atas. Lingkungan sosial tidak berbentuk secara nyata namun ada dalam kehidupan di bumi ini.

Lingkungan sosial terdiri dari sosio-ekonomi, sosio-budaya, adat istiadat, agama/kepercayaan, organisasi kemasyarakatan dll. Melalui lingkungan sosial manusia melakukan interaksi dalam bentuk pengelolaan hubungan dengan alam dan buatannya melalui pengembangan perangkat nilai, ideologi, sosial dan budaya sehingga dapat menentukan arah pembangunan lingkungan yang selaras dan sesuai dengan daya dukung lingkungan yang mana hal ini sering disebut dengan “etika lingkungan” (Adnan Harahap et-al)

2. Faktor Perilaku

Faktor perilaku berhubungan dengan perilaku individu atau masyarakat, perilaku petugas kesehatan dan perilaku para pejabat pengelola negeri ini (Pusat dan Daerah) serta perilaku pelaksana bisnis.

Page 31: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

Perilaku individu atau masyarakat yang positif pada kehidupan sehari-hari misalnya : membuang sampah / kotoran secara baik, minum air masak, saluran limbah terpelihara, mandi setiap hari secara higienis dll.

Perilaku petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan yang baik antara lain : ramah, cepat tanggap, disiplin tinggi, terapi yang tepat sesuai diagnosa, tidak malpraktek pemberian obat yang rasional, dan bekerja dengan penuh pengabdian.

Perilaku pemerintah Pusat dan Daerah dalam menyikapi suatu permasalahan kesehatan masyarakat secara tanggap dan penuh kearifan misalnya : cepat tanggap terhadap adanya penduduk yang gizinya buruk, adanya wabah penyakit, serta menyediakan sarana dan prasarana kesehatan dan fasilitas umum ( jalan, parit, TPA, penyediaan air bersih, jalur hijau, pemukiman sehat) yang didukung dengan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan kesehatan dan lingkungan hidup dan menerapkan sanksi hukum yang tegas bagi pelanggarnya.

3. Faktor Pelayanan Kesehatan

Faktor ini dipengaruhi oleh seberapa jauh pelayanan kesehatan yang diberikan. Hal ini berhubungan dengan tersedianya sarana dan prasarana institusi kesehatan antara lain : Rumah Sakit, Puskesmas, Labkes, Balai Pengobatan, serta tersedianya fasilitas pada institusi tersebut : tenaga kesehatan, obat-obatan, alat-alat kesehatan yang kesemuanya tersedia dalam kondisi baik dan cukup dan siap pakai.

4. Faktor Keturunan

Faktor ini lebih mengarah kepada kondisi individu yang berkaitan dengan asal usul keluarga, ras dan jenis golongan darah. Beberapa penyakit tertentu disebabkan oleh faktor keturunan antara lain : hemophilia, hypertensi, kelainan bawaan, albino dll.

Page 32: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

Penerapan teori HENDRIK L BLUM pada penyakit artritis reumatoid :

Menurut Teori Hendrik L Blum bahwa derajat kesehatan dipengaruhi oleh beberapa

faktor, diantaranya adalah faktor lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan.

Lingkungan terdiri dari lingkungan fisik dan non fisik. Lingkungan fisik terdiri dari keadaan

geografis (dataran tinggi atau rendah), kelembaban udara, temperatur atau suhu dan

lingkungan tempat tinggal (rumah dan sekitarnya). Lingkungan non fisik yaitu lingkungan

sosial (pendidikan, pekerjaan) dan ekonomi. Berikut ini pemaparan teori Hendrik L Blum

pada penyakit rheumatoid arthritis:

Lingkungan :

Psikis :

stress

Biologis :

Bakteri,virus,

jamur,daya

tahan tubuh

manusia

Genetika Pelayanan kesehatan :

Preventif:

peninjauan

lapangan

Promotif:

penyuluhan

tentang

rheumatoid

arthritis

Kuratif:

pengobatan pada

penderita

rheumatoid

arthritis

Rehabilitatif:

kepatuhan

mengikuti anjuran

dokter dengan

istirahat di rumah

Perilaku :

Sikap badan, makan makanan yang

tinggi lemak dan tinggi protein, mengkonsumsi alkohol, kurang

berolahraga, merokok, obesitas, mengalami trauma

berat

Rheumatoid Arthritis

Page 33: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

1. Lingkungan

Faktor lingkungan ini juga berpengaruh terhadap timbulnya rheumatoid arthritis. Meskipun

penyebab pasti rheumatoid arthritis belum diketahui jelas, namun faktor pencetus dari

lingkungan seperti bakteri dan virus ada hubungannya dengan penyakit RA. Hubungan antara

virus seperti virus hepatitis B, virus Epstein Barr dapat menyebabkan kerusakan

mikrovaskuler serta proliferasi sinovia sehingga sel radang yang muncul pada tahap awal

adalah neutrofil, setelah itu limfosit, makrofag dan sel plasma. Sel plasma memproduksi IgG

dan IgM yang merupakan faktor rheumatoid. Reaksi antigen dan antibodi ini menimbulkan

kompleks imun yang mengaktifkan sistem komplemen sehingga terjadi reaksi inflamasi.

Proses inflamasi inilah yang menyebabkan terjadinya proliferasi dan kerusakan sinovia.

Terjadilah edematosa, hiperemis, nyeri. Selain itu, faktor stress juga berhubungan dengan

kasus RA, seperti tiba-tiba kehilangan istri/suami, kehilangan seluruh harta benda dalam

suatu musibah, kehilangan satu-satunya anak yang di sayangi, dan sebagainya, meskipun

semuanya belum terbukti.

2. Perilaku

Perilaku hidup yang tidak sehat juga merupakan faktor resiko timbulnya penyakit rheumatoid

arthritis, meskipun belum pasti, seperti sering makan makanan yang tinggi lemak dan tinggi

protein, mengkonsumsi alkohol, kurang berolahraga, merokok, dan kurang istirahat.

Bahan makanan yang dapat menimbulkan rheumatoid arthritis contohnya jeroan

(usus, babat, hati, ginjal, paru, otak), seafood (udang, cumi, kerang, dll), makanan

yang sudah dikalengkan, daging kambing, sapi, bebek, kacang-kacangan, sayuran

(bayam, kangkung, buncis, kembang kol, daun singkong, dll), keju, telor, buah-

buahan (durian, nanas, air kelapa), makanan di goreng atau bersantan atau di masak

dengan menggunakan margarin/mentega, minuman beralkohol dan masih ada

makanan lain.

Obesitas beresiko tinggi terserang rheumatoid arthritis, terutama mereka yang gemuk

setelah berusia 50 tahun dan waktu muda berbadan kurus

Menurut The U.S. Centers for Disease Control and Prevention, aktivitas yang dapat

mencegah terjadinya rematik adalah dengan berolahraga, minimal 30 menit dengan

rutininas 3-5 kali per minggu, menurunkan berat badan, jika mengalami berat badan

berlebih. Aktivitas yang dapat dilakukan seperti pekerjaan rumah dan berkebun,

Page 34: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

berjalan-jalan, jalan cepat, renang, bersepeda, dan senam. Kurangnya aktivitas juga

mempengaruhi terjadinya RA.

Para ilmuwan telah melaporkan bahwa perokok meningkatkan resiko

mengembangankan penyakit rheumatoid arthritis.

Pernah mengalami trauma berat pada lutut sampai terjadi pembengkakan atau

berdarah, seperti pada olahragawan.

Sikap badan yang salah dalam melakukan pekerjaan sehari-hari memudahkan

timbulnya reumatik nonartikular. Mengangkat beban berat dari lantai dengan badan

membungkuk dapat mengakibatkan sakit pinggang.

3. Pelanyanan kesehatan

Dari hasil survey awal yang dilakukan oleh peneliti dari data rekam medik, pada tahun 2009

jumlah pasien yang menderita rheumatoid arthritis yang berobat, ke Poliklinik Penyakit

Dalam Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan adalah 24 orang. Hasil

wawancara yang dilakukan peneliti dari 3 orang pasien mengatakan bahwa mereka merasa

terganggu aktivitasnya apabila nyeri rheumatoid arthritis kambuh. Sehingga pelayan

kesehatan ini sangat bermanfaat, bukan hanya mengobati tetapi mulai dari pencegahan.

Tujuan Utama dari pelayanan kesehatan adalah:

a. Preventif

Tindakan preventif dapat dilakukan dengan cara aktifnya para petugas

puskesmas dengan mengujungi rumah para warga dan mengingatkan tentang

pola hidup sehat.

b. Promotif

Tindakan promotif yang bisa dilakukan dalam hal mencegah rheumatoid

arthritis adalah dengan memberikan pengetahuan tentang rheumatoid arthritis.

Pemberian pengetahuan ini antara lain dapat dilakukan dengan cara pemberian

penyuluhan kepada masyarakat.

c. Kuratif

Bagi masyarakat yang sudah terkena penyakit rheumatoid arthritis, di sarankan

untuk teratur berobat ke dokter untuk mencegah agar tidak terjadi komplikasi

dari penyakit rheumatoid arthritis.

Page 35: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

d. Rehabilitatif

Rehabilitatif dapat dilakukan dengan cara melakukan semua anjuran dokter

dan meminum obat yang sudah diberikan agar dapat cepat sembuh dari

penyakit ini.

4. Herediter

Sekitar 50 % dari risiko terjadinya rheumatoid arthritis disebabkan faktor-faktor genetik.

Secara genetis, RA dipengaruhi oleh ekspresi dari gen HLA yang merupakan gen pembentuk

MHC. Penelitian mengungkapkan, 70% individu dengan gen HLA terekspersi mengalami

RA. Hal in juga berlaku bagi kembar monozigot yang memiliki gen tersebut. Tidak semua ras

di bumi akan mengekspresikan gen dari HLA (epitope) tertentu yang berinteraksi dengan

MHC membentuk respon yang spesifik bagi RA, oleh karena itu, penyebaran penyakit RA

antar daerah berbeda-beda tergantung dominasi dari ras yang mendiami daerah tersebut.

Seseorang akan mengalami peningkatan presentase menderita RA apabila pada DNA nya

terdapat gen HLA-DRB1 yang diekspresikan. Pengekspresian gen ini akan menyebabkan

perubahan epitope pada sel limfosit yang nantinya akan berikatan dengan MHC dan

menghasilkan antibodi IgG yang berbeda pada orang normal. Antibodi ini disebut dengan

ACPA (Anti Citrunillated Protein Antigen). ACPA akan berikatan dengan protein-protein

tersitrunilasi dan menyebabkan pembentukan kompleks imun pada sendi yang disebut

Rheumatoid Factor (RF) (Mclnnes, 2011).

Definisi Operasional

1 Puskesmas Unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang

bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan

kesehatan di suatu wilayah kerja.

2 Promotif Suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan

kesehatan yang lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat

promosi kesehatan.

3 Preventif Suatu kegiatan pencegahan terhadap suatu masalah

kesehatan/penyakit.

Page 36: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

4 Kuratif Kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan untuk

mengembalikan bekas penderita ke dalam masyarakat

sehingga dapat berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat

yang berguna untuk dirinya dan masyarakat semaksimal

mungkin sesuai dengan kemampuannya.

5 Rehabilitatif Merupakan upaya pemulihan kesehatan bagi penderita-

penderita yang dirawat dirumah, maupun terhadap kelompok-

kelompok tertentu yang menderita penyakit yang sama.

Page 37: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

BAB III

PENATALAKSANAAN KASUS RHEUMATOID ARTHRITIS

3.1 Program

1. Promotif : Penyuluhan (Komunikasi, Informasi, Edukasi)

2. Preventif : Meningkatkan pola hidup sehat masyarakat

3. Kuratif : Deteksi dini (penemuan kasus) dan penatalaksanaan di puskesmas

4. Rehabilitatif : Program rehabilitasi rheumatoid arthritis (Sosialisasi dan edukasi)

3.2 Sasaran

1. Masyarakat umum (keluarga dan kelompok yang berpengaruh dan berperan di

masyarakat dan kader).

2. Masyarakat khusus (kelompok masyarakat yang berisiko artritis reumatoid)

3.3 SDM

1. Petugas puskesmas (dokter, perawat, bidan, kesmas )

2. kader kesehatan

3.4 Kegiatan

A. Promotif

1.Penyuluhan (KIE)

1) Menyusun materi penyuluhan dan mengadakan pelatihan KIE tentang artritis

reumatoid secara menyeluruh antara lain tentang pengertian, penyebab, gejala dan

tanda, faktor resiko serta pencegahan dan penanggulangan konjungtivitis bagi petugas

kesehatan (medis dan para medis), kader kesehatan maupun tokoh masyarakat.

2) Meningkatkan pengetahuan pencegahan pada petugas kesehatan (medis dan para

medis), pasien artritis reumatoid dan keluarganya.

3) Melaksanakan penyuluhan atau KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) tentang

artritis reumatoid dan faktor risikonya melalui berbagai media penyuluhan, seperti:

a) Penyuluhan tatap muka.

Page 38: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

b) Poster, leaflet, pamflet, surat kabar dan media cetak lain yang dianggap efektif

untuk mencapai kelompok sasaran.

4) Penyuluhan perorangan atau penyuluhan kelompok yang dilaksanakan oleh petugas

puskesmas, kader kesehatan dan lain-lain seperti klinik konseling.

5) Penyuluhan bagi pasien dan keluarga tentang pencegahan dan penanggulangan artritis

reumatoid.

Adapun jenis kegiatan penyuluhan artritis reumatoid bagi pasien dan keluarga pasien

antara lain:

a. Pengertian artritis reumatoid

b. Penyebab artritis reumatoid

c. Gejala artritis reumatoid

d. Kelompok rentan artritis reumatoid

e. Cara pengobatan artritis reumatoid

f. Cara pencegahan artritis reumatoid

B. Preventif

Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya Artritis rheumatoid yaitu

Meningkatkan pengetahuan tentang arthritis rheumatoid dan tindakan yang dapat dilakukan

adalah dengan menjalankan pola hidup yang sehat, menjaga berat badan agar tetap ideal, dan

aktif berolahraga misalnya dengan jalan kaki karena dapat membakar kalori,memperkuat

otot, dan membangun tulang yang kuat tanpa mengganggu persendian yang sakit

C. Kuratif

Anamnesis merupakan wawancara medis yang merupakan tahap awal dari rangkaian

pemeriksaan pasien, baik secara langsung pada pasien atau secara tidak langsung. Tujuan dari

anamnesis adalah mendapatkan informasi menyeluruh dari pasien yang bersangkutan.

Informasi yang dimaksud adalah data medis organobiologis, psikososial, dan lingkungan

pasien, selain itu tujuan yang tidak kalah penting adalah membina hubungan dokter pasien

yuang profesional dan optimal.

Data anamnesis terdiri atas beberapa kelompok data penting:

1. Identitas pasien

2. Riwayat penyakit sekarang

3. Riwayat penyakit dahulu

Page 39: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

4. Riwayat kesehatan keluarga

5. Riwayat pribadi, sosial-ekonomi-budaya

Identitas pasien meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku, agma, status perkawinan,

pekerjaan, dan alamat rumah. Data ini sangat penting karena data tersebut sering berkaitan

dengan masalah klinik maupun gangguang sistem organ tertentu.

Keluhan utama adalah keluhan terpenting yang membawa pasien minta pertolongan

dokter atau petugas kesehatan lainnya. Keluhan utama biasanya diteluskan secara singkat

berserta lamanya, seperti menuliskan judul berita utama surat kabar.

Riwayat penyakit

Riwayat penyakit sangat penting dalam langkah awal diagnoosis semua penyakit,

Sebagaimana biasanya diperlukan riwayat penyakit yang deskriptif dan kronologis;

ditanyakan pula faktor yang memperberat penyakit dan hasil pengobatan untuk mengurangi

keluhan pasien.

Umur

Penyakit reumatoid dapat menyerang semua umur, tetapi frekuensi setiap penyakit

terdapat pada kelompok umur tertentu. Misalnya artritis reumatoid lebih sering ditemukan

pada pasien usia lanjut dibandingkan dengan usia muda.

Jenis Kelamin

Pada penyakit reumatik perbandingan jenis kelamin berbeda pada beberapa

kelompok penyakit. Artritis reumatoid sering terjadi pada wanita dibanding laki-laki.

Pemeriksaan

1. Fisik

Pemeriksaan jasmani khusus pada sistem muskuloskeletal meliputi :

a. Inspeksi pada saat diam / istirahat

b. Inspeksi pada saat gerak

c. Palpasi

Deformitas

Page 40: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

Walaupun deformitas sudah tampak jelas pada keadaan diam, tetapi akan lebih nyata

pada keadaan gerak. Perlu dibedakan apakan deformitas tersebut dapat dikoreksi (misal

disebabkan gangguan jaringan lunak) atau tidak lain apat dikoreksi (misalnya restriksi kapsul

sendi atau kerusakan sendi). Berbagai deformitas di lutut dapat terjadi antara genu varus,

genu valgus, genu rekurvatum, subluksasi tibia posterior dan deformitas fleksi. Demikian

pula deformitas fleksi di siku. Pada jaringan tangan antara lain boutonniere finger, swan neck

finger, ulnar deviation, subluksasi sendi metakarpal dan pergelangan tangan. Pada ibu jari

tangan ditemukan unstable-Z-shaped thumbs. Pada kaki ditemukan telapak kaki bagian depan

melebar dan miring ke samping disertai subluksasi ibu jari kaki ke atas. Pada pergelangan

kaki terjadi valgue ankle.

Perubahan Kulit

Kelainan kulit sering menyertai penyakit reumatik atau penyakit kulit sering pula

disertai penyakit reumatik. Kelainan kulit yang sering ditemukan antara lain psoriasis dan

eritema nodosum. Kemerahan disertai deskuamasi pada kulit di sekitar sendi menunjukkan

adanya inflamasi periartikular, yang sering pula merupakan tanda artritis septik atau artritis

kristal.

Kenaikan Suhu Sekitar Sendi

Pada perubahan dengan menggunakan punggung tangan akan dirasakan adanya

kenaikan suhu disekitar sendi yang mengalami inflamasi.

Bengkak Sendi

Bengkak sendi dapat disebabkan oleh cairan, jaringan lunak atau tulang. Cairan sendi

yang terbentuk biasanya akan menumpuk di sekitar daerah kapsul sendi yang resistensinya

paling lemah dan mengakibatkan bentuk yang khas pada tempat tersebut, misalnya :

o Pada sendi interfalang pembengkakan terjadi pada sisi posterolateral di antara tendon

ekstensor dan ligamen kolateral bagian lateral.

o Efusi sendi glenohumeral akan mengisi cekungan segitiga di antara klavikula dan otot

deltoid di atas otot pektoralis.

Bulge sign ditemukan pada keadaan efusi sendi dengan jumlah cairan yang sedikit

dalam rongga yang terbatas. Misalnya pada efusi sendi lutut bila dilakukan pijatan pada

cekungan medial maka cairan akan berpindah sendiri ke sisi medial. Baloon sign ditemukan

pada keadaan efusi dengan jumlah cairan yang banyak. Bila dilakukan tekanan pada satu titik

akan menyebabkan penggelembungan di tenpat lain. Keadaan ini sangat spesifik pada efusi

Page 41: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

sendi. Pembengkakan kapsul sendi merupakan tanda spesifik sinovitis. Pada pembengkakan

tergambar batas kapsul sendi, yang makin nyata pada pergerakan dan teraba pada pergerakan

pasif.

Nyeri Raba

Menentukan lokasi nyeri raba yang tepat merupakan hal yang penting untuk

menentukan penyebab keluhan pasien. Nyeri raba kapsular / artikular terbatas pada daerah

sendi merupakan tanda artropati atau penyakit kapsular. Nyeri raba periartikular agak jauh

dari batas daerah sendi merupakan tanda bursitis atau entesopati.

Pergerakan

Pada pemeriksaan perlu dinilai luas gerak sendi pada keadaan pasif dan aktif dan

dibandingkan kiri dan kanan.

Kriteria Amrerican Rheumatism Association untuk Artritis Reumatoid Revisi tahun 1978 :

1. Kaku pada pagi hari

Kekakuan pada pagi hari pada persendian dan sekitarnya, sekurangnya selama satu

jam sebelum perbaikan maksimal.

2. Artritis pada 3 daerah persendian atau lebih

Pembengkakan jaringan lunak atau persendian atau lebih efusi (bukan pertumbuhan

tulang) pada sekurang-kurangnya 3 sendi secara bersamaan yang dionservasi oleh

seorang dokter.

3. Artritis pada persendian tangan

Sekurang-kurangnya terjadi pembengkakan satu persendian tangan.

4. Artritis simetris

Keterlibatan sendi yang sama (seoerti yang tertera pada kriteria 2 pada kedua belah

sisi (keterlibatan PIP, MCP, atau MTP bilateral dapat diterima walaupun tidak mutlak

bersifat simetris).

5. Nodul reumatoid

Nodul subkutan pada penonjolan tulang atau permukaan ekstensor atau daerah juksta

artikuler yang diobservasi oleh seorang dokter.

6. Faktor reumatoid serum positif

Terdapat titer abnormal faktor reumatoid serum yang diperiksa dengan cara yang

memberikan hasil kurang dari 5 % kelompok kontrol yang diperiksa.

7. Perubahan gambaran radiologis

Page 42: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

Perubahan gambaran radiologis yang radiologis khas bagi artritis reumatoid pada

pemeriksaan sinar-x tangan posterior atau pergelangan tangan yang harus

menunjukkan adanya erosi atau dekalsifikasi tulang yang berlokasi pada sendi atau

daerah yang berdekatan dengan sendi (perubahan akibat osteoartritis saja tidak

memenuhi persyaratan).

Pasien dikatakan menderita AR jika memenuhi sekurang-kurangnya kriteria 1 sampai 4 yang

diderita sekurang-kurangnya 6 minggu.

2. Penunjang

RADIOLOGI

Teknik pencitraan dapat mampu penegakkan diagnosis, memungkinkan penilaian

aktifitas/beratnya penyakit, distribusi penyakit, respons terhadap pengobatan secara objektif,

menilai komplikasi dan kelainan ekstra-artikuler serta meningkatkan pemahaman baru

tentang proses penyakit

o Foto Polos

Biaya murah dan resolusi spatial tinggi, sehingga detil trabekula dan erosi kecil tulang

dapat dilihat dengan baik. Jika diperlukan, resolusi dapat ditingkatkan dengan teknik

pembesaran. Resolusi kontrasnya memang tidak sebaik CT-scan atau MRI. Keterbatasan ini

terutama dirasakan jika kita ingin mengevaluasii jaringan lunak.

Dosis radiasi yang dihasilkan pada pemeriksaan struktur perifer seperti tangan dan

kaki relative rendah. Dilain pihak, pemeriksaan terhadap struktur sentral seperti vertebra

lumbal dan bagian lain tubuh mengakibatkan radiasi dosis tinggi terhadap pasien. Kedekatan

dengan kelenjar kelamin dan susm sum tulang meningkatkan potensi timbulnya efek yang

merugikan terhadap pasien. Sedapat mungkin daerah pinggul perempuan hamil atau yang

masih dapat hamil tidak terkena radiasi. Demikian juga radiasi terhadap anak – anak

hendaklah diusahakan seminimal mungkin. Jika pada pasien ini memang diperlukan

pemeriksaan radiologic, ahli fisika radiasi dapat menghitung dosis radiasi minimum yang

diperlukan untuk pemeriksaan pencitraan. Prinsip dasar ini berlaku untuk semua jenis

pemeriksaan pencitraan.

o TOMOGRAFI

Page 43: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

Teknik ini sangat berguna untuk pemeriksan daerah dengan anatomi yang kompleks,

dimana struktur yang berhimpitan akan mengaburkan gambaran anatomi. Biayanya hampir

sama dengan CT-scan. Resolusi struktur tulang sedikit lebih baik, sedangkan visualisasi

jaringan lunak jauh lebuh buruk. Dosis radiasi lebih tinggi daripada CT-scan. Dalam

praktek,teknik ini telah digantikan oleh CT-scan.

o COMPUTED TOMOGRAPHY

Meskipun relative mahal, CT-scan lebih murah daripada MRI. Resolusi spatial lebih

baik daripada MRI, tetapi lebih buruk daripada foto konvensional.CT-scan dapat

memperlihatkan kelainan jaringan lunak lebih baik daripada foto konvensional, walaupun

tidak sebaik MRI.

Dosis radiasi CT scan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan satu foto konvensional

pada daerah yang sama. Tetapi dosis radiasi ini sebanding jika diperlukan beberapa foto

konvensional pada satu daerah. Akibatnya, dosis radiasi lebih rendah daripada tomografi

konvensional pada banyak keadaan.

o MAGNETIC RESONANCE IMAGING (MRI)

MRI membawa keuntungan besar bagi pencitraan muskuloskeletal karena

kesanggupannya memperlihatkan struktur jaringan lunak yang tidak dapat diperlihatkan oleh

pemeriksaan radiologi konvensional. Teknik ini memperoleh informasi struktur berdasarkan

densitas proton dalam jaringan dan hubugan proton ini dengan lingkungan terdekatnya. MRI

dapat memberikan penekanan pada jaringan atau status metabolic yang berbeda-beda.

Dengan kata lain, pencitraan yang berbeda dapat diperoleh dari tempat anatomi yang sama

dengan mengubah parameter tertentu.

MRI relatif lebih mahal daripada pemeriksaan pencitraan lain, terutama karena harga

peralatan dan waktu yang diperlukan untuk melakukan pemeriksaan. MRI bebas dari bahaya

ionisasi akibat radiasi, suatu keuntungan dalam memeriksa bagian sentral tubuh dimana

pemeriksaan radiologi menimbulkan dosis radiasi yang tinggi. Meskipun demikian, ada juga

beberapa bahayanya. Medan magnet yang kuat dapat menggerakan objek metal seperti logam

asing dalam mata menyebabkan gangguan alat pacu jantung, memanaskan bahan logam

sehingga menimbulkan luka bakar dan menarik bahan logam kedalam magnet. Bahan logan

yang berdekatan dengan medan magnet juga dapat mempengaruhi kualitas pencitraan MRI.

Karena itu, operator MRI harus menyaring pasien dan pengunjung lain dengan teliti. Pasien

Page 44: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

yang kurang cocok dengan gadolinium, suatu bahan kontras yang digunakan pada

pemeriksaan MRI, perlu dilengkapi dengan proteksi telinga karena pengaktifan medan

magnet menimbulkan bising.

Struktur lunak jaringan sendi dapat diperlihatkan dengan jelas. Jaringan sinovium

juga dapat dapat dilihat, terutama dengan menggunakan bahan kontras paramagnetik

intravena seperti gadolinium. Demikian juga kelainan lain seperti efusi sendi, kista poplitea,

ganglioma, kista meniskus dan bursitis dapat dilihat dengan jelas dan integritas tendo dapat

dinilai. MRI makin populer untuk mengevaluasi ligament antara tulang-tulang karpan dan

fibrokartilagotrianguler.

Kalsifikasi jaringan ikat terlihat tidak sebaik foto biasa karena pancaran sinyal yang

rendah. Mula-mula diduga bahwa tulang yang juga mempunyai pancaran sinyal yang rendah

akan menimbulkan problem. Tetapi karena sumsum tulang yang mempunyai sinyal tinggi,

MRI menjadi sangat sensitif untuk mendeteksi kelainan tulang. Dalam praktek, mikrofraktur

akibat trauma atau stres sering disebut bone bruises tidak dikenal sebelum MRI.

o SYNTIGRAFI

Teknik ini merupakan cara yang mudah untuk melihat pola keterlibatan sendi dan

keadaan aktifitas penyakit. Syntigrafi setelah pemberian intravena beberapa bahan seperti

99m teknisium metilen difosfat (99mTc MDP) untuk scan tulang, 99mTc sulfur koloid untuk

scan sumsum tulang, gallium sitrat (67Ga sitrat) dan leukosit yang diberi label dengan indium

(111In-labeled WBCs) berguna untuk mengevaluasi berbagai macam kelaianan

musculoskeletal. Biaya pemeriksaannya hampis sama dengan CT scan dan dosis radiasinya

sebanding dengan pemeriksaan CT scan abdomen.

o ULTRASONOGRAFI

USG relatif murah, mudah didapat dan bebas dari bahaya radiasi. Resolusi spatial

sama dengan CT scan dan MRI, bergantung kepada tranducer. Tetapi resolusi dibatasi oleh

dalamnya jaringan yang diperiksa. Kekurangan USG ialah ketergantungannya kepada

operator. Seorang peneliti tidak selalu dpaat mengulang hasil pemeriksaan peneliti lain.

Karena USG tidak memiliki gambaran potongan lintang yang lengkap untuk menentukan

orientasi, sulit bagi orang yang tidak hadir pada waktu pemeriksaan dilakukan

menginterpretasikan hasil pemeriksaan orang lain.

Page 45: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

o ARTROGRAFI

Pada artrografi diperlukan suntikan bahan kontras dalam sendi, diikuti oleh

pemeriksaan radiologi. Pada artrografi konvensional, ruang sendi diisi dengan bahan kontras

yang mengandung yodium dan kadang-kadang udara. Biaya pemeriksaan lebih mudah

daripada CT scan atau MRI dan dapat dilakukan jika tersedia flouroskopi.

o ANGIOGRAFI

Angiografi berguna dalam mendiagnosis penyakit reumatik dimana terdapat

komponen vaskular. Biaya angiografi lebih tinggi daripada MRI dan merupakan prosedur

invasif. Sebaiknya hanya dilakukan pada situasi tertentu dimana cara lain tidak dapat

memberikan data diagnotik yang diperlukan.

o Pemilihan Pemeriksaan Pencitraan

Hampir semua pemeriksaan pencitraan sebaiknya dimulai dengan foto polos. Jika

diperlukan informasi diagnostik lain yang mungkin akan mengubah tindakan klinis, MRI

sering merupakan pilihan kedua. Dalam banyak kasus, hasil pemeriksaan MRI harus

dikorelasikan dengan foto polos karena MRI tidak memperlihatkan kalsifikasi atau erosi

ringan pada korteks.

Laboratorium

o Pemeriksaan darah tepi

Laju Endap Darah

Nilai Rujukan

Dewasa: Metode Westergen: Pria: <50 tahun: 0-15 mm/jam. Wanita: <50 tahun: 0-20

mm/jam. Pria: >50 tahun: 0-20 mm/jam. Wanita: >50: 0-30 mm/jam. Metode Wintrobe: Pria:

0-9 mm/jam. Wanita: 0-15 mm/jam. Anak: bayi baru lahir: 0-2 mm/jam; 4-14 tahun: 0-10

mm/jam.

Deskripsi

Laju endap darah adalah laju sel darah merah menetap dalam darah yang belum

membeku, dengan satuan milimeter per jam (mm/jam). LED merupakan uji yang tidak

spesifik. Laju dapat meningkat selama proses inflamasi akut, infeksi akut dan kronis,

Page 46: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

kerusakan jaringan (nekrosis), reumatoid, penyakit kolagen, malignansi dan kondisi stres

fisiologis (mis., kehamilan). Bagi sebagian ahli hematologi, nilai LED tidak andalkarena ini

bukanlah uji spesifik, dan dipengaruhi oleh faktor fisiologis yang dapat menyebabkan temuan

tidak akurat.

Uji protein C-reaktif (CRP) dipertimbangkan lebih berguna daripada LED karena

kenaikan kadar LED karena kenaikan kadar CRP terjadi lebih cepat selama proses inflamasi

akut, dan lebih cepat juga kembali ke kadar normal daripada LED. Namun, beberapa dokter

masih mengharuskan uji LED bila ingin membuat perhitungan kasar mengenai proses

penyakit, dan bermanfaat untuk mengikuti perjalanan penyakit. Jika kadar LED meningkat,

uji laboratorium lain harus dilakukan untuk mengidentifikasi dengan tepat masalah klinis

yang muncul.

Tujuannya adalah untuk membandingkan temuan uji laboratorium yang lain guna

mendiagnosis kondisi inflamasi.

Penatalaksanaan

Konsep Pengobatan AR

Walaupun hingga kini belum berhasil didapatkan suatu cara pencegahan dan

pengobatan AR yang sempurna, saat ini pengobatan pada penderita AR ditujukan untuk:

1. Menghilangkan gejala inflamasi aktif baik lokal maupun sistemik

2. Mencegah terjadinya destruksi jaringan

3. Mencegah terjadinya deformitas dan memelihara fungsi persendian agar tetap dalam

keadaan baik.

4. Mengembalikan kelainan fungsi organ dan persen dian yang terlibat agar sedapat

mungkin menjadi normal kembali.

Dalam pengobatan AR umumnya selalu dibutuh kan pendekatan multidisipliner.

Suatu team yang idealnya terdiri dari dokter, perawat, ahli fisioterapi, ahli terapi okupasional,

pekerja sosial, ahli farmasi, ahli gizi dan ahli psikologi, semuanya memiliki peranan masing

masing dalam pengelolaan penderita AR baik dalam bidang edukasi maupun penatalaksanaan

pengobatan penyakit ini. Pertemuan berkala yang teratur antara penderita dan keluarganya

Page 47: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

dengan team pengobatan ini umumnya akan memungkinkan penatalaksanaan penderita

menjadi lebih baik dan juga akan meningkatkan kepatuhan penderita untuk berobat.

Setelah diagnosis AR dapat ditegakkan, pendekatan pertama yang harus dilakukan

adalah segera berusaha untuk membina hubungan yang baik antara penderita dan keluarganya

dengan dokter atau team pengobatan yang merawatnya. Tanpa hubungan yang baik ini

agaknya akan sukar untuk dapat memelihara ketaatan penderita untuk tetap berobat dalam

suatu jangka waktu yang cukup lama.

Peranan Pendidikan dalam Pengobatan AR

Penerangan tentang kemungkinan faktor etiologi, patogenesis, riwayat alamiah

penyakit dan penatalaksanaan AR kepada penderita merupakan hal yang amat penting untuk

dilakukan. Dengan penerangan yang baik mengenai penyakitnya, penderita AR diharapkan

dapat melakukan kontrol atas perubahan emosional, motivasi dan kognitif yang terganggu

akibat penyakit ini.

Saat ini terdapat telah banyak publikasi tentang manfaat pendidikan dini pada

penderita AR. Salah satu yang banyak dilaksanakan di Amerika Serikat dan Kanada adalah

adalah The Arthritis Self Management Program, yang diperkenalkan oleh Lorig dkk. dari

Stanford University. Peningkatan pengetahuan penderita tentang penyakitnya telah terbukti

akan meningkatkan motivasinya untuk melakukan latihan yang dianjurkan, sehingga dapat

mengurangi rasa nyeri yang dialaminya.

Trend Pengobatan AR Saat Ini

Berbeda dengan trend pada dekade yang lalu, saat ini banyak di antara para ahli

penyakit reumatik yang telah meninggalkan cara pengobatan tradisional yang menggunakan

'piramida terapeutik. Beberapa ahli bahkan menganjurkan untuk menggunakan pendekatan

step down bridge dengan menggunakan kombinasi beberapa jenis DMARD yang dimulai

pada saat yang dini untuk kemudian dihentikan secara bertahap pada saat aktivitas AR telah

dapat terkontrol. Hal ini didasarkan pada pendapat bahwa penatalaksanaan yang efektif hanya

dapat dicapai bila pengobatan dapat diberikan pada masa dini penyakit.

Penggunaan OAINS dalam Pengobatan AR

Page 48: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) umum nya diberikan pada penderita AR

sejak masa dini penyakit yang dimaksudkan untuk mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi

yang seringkali dijumpai walaupun belum terjadi proliferasi sinovial yang bermakna. Selain

dapat mengatasi inflamasi, OAINS juga memberikan efek analgesik yang sangat baik.

OAINS terutama bekerja dengan menghambat enzim siklooxygenase sehingga

menekan sintesis prostaglandin. Masih belum jelas apakah hambatan enzim lipooxygenase

juga berperanan dalam hal ini, akan tetapi jelas bahwa OAINS berkerja dengan cara:

- Memungkinkan stabilisasi membran lisosomal

- Menghambat pembebasan dan aktivitas mediator inflamasi (histamin, serotonin,

enzim lisosomal dan enzim lainnya).

- Menghambat migrasi sel ke tempat peradangan

- Menghambat proliferasi seluler

- Menetralisasi radikal oksigen

- Menekan rasa nyeri

Efek Samping OAINS pada Pengobatan Penderita AR

Semua OAINS secara potensial umumnya ber-sifat toksik. Toksisitas OAINS yang

umum dijumpai adalah efek sampingnya pada traktus gastrointestinalis terutama jika OAINS

digunakan bersama obat obatan lain, alkohol, kebiasaan merokok atau dalam keadaan stress.

Usia juga merupakan suatu faktor risiko untuk mendapatkan efek samping gastrointestinal

akibat OAINS. Pada penderita yang sensitif dapat digunakan preparat OAINS yang berupa

suppositoria, pro drugs, enteric coated, slow release atau non-acidic. Akhir akhir ini juga

sedang dikembangkan OAINS yang bersifat selektif terhadap jalur COX-2 metabolisme asam

arakidonat. OAINS yang selektif terhadap jalur COX-2 umumnya kurang berpengaruh buruk

pada mukosa lambung dibandingkan dengan preparat OAINS biasa.

Efek samping lain yang mungkin dijumpai pada pengobatan OAINS antara lain

adalah reaksi hiper-sensitivitas, gangguan fungsi hati dan ginjal serta pe-nekanan sistem

hematopoetik.

Penggunaan DMARD pada Penderita AR

Page 49: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

Pada dasarnya saat ini terdapat terdapat dua cara pendekatan pemberian DMARD

pada pengobatan penderita AR. Cara pertama adalah pemberian DMARD tunggal yang

dimulai dari saat yang sangat dini. Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa

destruksi sendi pada AR terjadi pada masa dini penyakit. Brook and Corbett, pada

penelitiannya menemukan bahwa 90% penderita AR telah menunjukkan gambaran erosi

secara radiologis pada dua tahun pertama setelah menderita penyakit. Hasil pengobatan

jangka panjang yang buruk pada sebagian besar penelitian sangat mungkin disebabkan karena

pengobatan baru dimulai setelah masa kritis ini dilampaui. 1

Cara pendekatan lain adalah dengan menggunakan dua atau lebih DMARD secara

simultan atau secara siklik seperti penggunaan obat obatan imunosupresif pada pengobatan

penyakit keganasan. Kecenderungan untuk menggunakan kombinasi DMARD dalam

pengobatan AR ini timbul sejak dekade yang silam karena banyak diantara para ahli

reumatologi beranggapan bahwa terapi DMARD secara sekwensial, pada jangka panjang

tidak berhasil mencegah terjadinya kerusakan sendi yang progresif.

Sebenarnya tidak terdapat suatu batasan yang tegas mengenai kapan kita harus mulai

menggunakan DMARD. Hal ini disebabkan karena hingga kini belum terdapat suatu cara

yang tepat untuk dapat mengukur beratnya sinovitis atau destruksi tulang rawan pada

penderita AR. Dengan demikian, keputusan untuk menggunakan DMARD pada seorang

penderita AR akan sepenuhnya bergantung pada pertimbangan dokter yang mengobatinya.

Umumnya pada penderita yang diagnosisnya telah dapat ditegakkan dengan pasti, OAINS

harus diberikan dengan segera. Pada penderita yang tersangka menderita AR yang tidak

menunjukkan respons terhadap OAINS yang cukup baik dalam beberapa minggu, DMARD

dapat dimulai diberikan untuk dapat mengontrol progresivitas penyakitnya.

Beberapa jenis DMARD yang lazim digunakan untuk pengobatan AR adalah:

Klorokuin

Klorokuin merupakan DMARD yang paling banyak digunakan di Indonesia. Hal ini

disebabkan karena klorokuin sangat mudah didapat dengan biaya yang amat terjangkau

sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah Indonesia dalam hal eradikasi penyakit malaria.

Page 50: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

Sebagai DMARD, klorokuin memiliki beberapa keterbatasan. Banyak diantara para

ahli yang ber-pendapat bahwa khasiat dan efektivitas klorokuin agaknya lebih rendah

dibandingkan dengan DMARD lainnya, walaupun toksisitasnya juga lebih rendah

dibandingkan dari DMARD lainnya. Dari pengalaman penggunaan klorokuin di Indonesia

diketahui bahwa sebagian penderita akan menghentikan penggunaan klorokuin pada suatu

saat karena merasa bahwa obat ini kurang bermanfaat bagi penyakitnya.

Toksisitas klorokuin sebenarnya tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Klorokuin dapat

digunakan dengan aman jika dilakukan pemantauan yang baik selama penggunaannya dalam

jangka waktu yang panjang. Efek samping pada mata, sebenarnya hanya terjadi pada

sebagian kecil penderita saja. Mackenzie and Scherbel, pada penelitiannya telah dapat

menunjukkan bahwa toksisitas klorokuin pada retina hanya bergantung pada dosis harian saja

dan bukan dosis kumulatifnya. Dosis antimalaria yang dianjurkan untuk pengobatan AR

adalah klorokuin fosfat 250 mg/hari atau hidroksiklorokuin 400 mg/hari. Pada dosis ini

jarang sekali terjadi komplikasi penurunan ketajaman penglihatan. Efek samping lain yang

mungkin dijumpai pada penggunaan antimalaria adalah dermatitis makulopapular, nausea,

diare dan anemia hemolitik. Walaupun sangat jarang dapat pula terjadi diskrasia darah atau

neuromiopati pada beberapa penderita.

Sulfazalazine

Sulfasalazine (SASP,salicyl-azo-sulfapyridine) diperkenalkan untuk pertama kalinya

oleh Nana Svartz di Swedia pada sekitar tahun 1930. Pada mulanya obat ini digunakan untuk

mengobati artritis inflamatif yang diduga disebabkan karena infeksi, akan tetapi setelah

digunakan beberapa waktu, perhatian terhadap obat ini menurun akibat dipublikasikannya

laporan Sinclair dan Duthie mengenai pengaruh yang kurang baik pada penggunaan obat ini

di Inggris. Obat ini kemudian kembali menjadi populer setelah di publikasikannya laporan

McConkey, Bird dan kawan kawan yang meneliti kembali khasiat SASP pada penderita AR

dengan metodologi penelitian yang lebih baik.

Untuk pengobatan AR sulfasalazine dalam bentuk enteric coated tablet digunakan

mulai dari dosis 1 x 500 mg / hari, untuk kemudian ditingkatkan 500 mg setiap minggu

sampai mencapai dosis 4 x 500 mg. Setelah remisi tercapai dengan dosis 2 g / hari, dosis

diturunkan kembali sehingga mencapai 1 g /hari untuk digunakan dalam jangka panjang

sampai remisi sempurna terjadi. Jika sulfasalazine tidak menunjukkan khasiat yang di

Page 51: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

kehendaki dalam 3 bulan, obat ini dapat dihentikan dan digantikan dengan DMARD lain atau

tetap digunakan dalam bentuk kombinasi dengan DMARD lainnya.

Kurang lebih 20% penderita AR menghentikan pengobatan SASP karena mengalami

nausea, mun-tah atau dispepsia. Gangguan susunan syaraf pusat seperti pusing atau

iritabilitas dapat pula dijumpai. Neutropenia, agranulositosis dan pansitopenia yang reversibel

telah pernah dilaporkan terjadi pada penderita yang mendapatkan SASP. Ruam kulit terjadi

kurang lebih pada 1% sampai 5% dari penderita yang menggunakan SASP. Penurunan

jumlah sel spermatozoa yang reversibel juga pernah dilaporkan walaupun belum pernah

dilaporkan adanya pening-katan abnormalitas foetus.

D-penicillamine

D-penicillamine (DP) mulai meluas penggunaannya sejak tahun tujuhpuluhan.

Walaupun demikian, karena obat ini bekerja sangat lambat, saat ini DP kurang disukai lagi

untuk digunakan dalam pengobatan AR. Umumnya diperlukan waktu pengobatan kurang

lebih satu tahun untuk dapat mencapai keadaan remisi yang adekwat, dan rentang waktu ini

dianggap terlalu lama bagi sebagian besar penderita AR.

Dalam pengobatan AR, DP (Cuprimin 250 mg atau Trolovol 300 mg) digunakan

dalam dosis 1 x 250 sampai 300 mg/hari kemudian dosis ditingkatkan setiap dua sampai 4

minggu sebesar 250 sampai 300 mg/hari untuk mencapai dosis total 4 x 250 sampai 300

mg/hari.

Efek samping DP antara lain adalah ruam kulit urtikarial atau morbilformis akibat

reaksi alergi, stomatitis dan pemfigus. DP juga dapat menyebabkan trombositopenia,

lekopenia dan agranulositosis. Pada ginjal DP dapat menyebabkan timbulnya proteinuria

ringan yang reversible sampai pada suatu sindroma nefrotik. Efek samping lain yang juga

dapat timbul adalah lupus like syndrome, polimiositis, neuritis, miastenia gravis, gangguan

mengecap, nausea, muntah, kolestasis intrahepatik dan alopesia.

Garam emas

Auro Sodium Thiomalate (AST) intramuskular telah dianggap sebagai suatu gold

standard bagi DMARD sejak 20 tahun terakhir ini. Khasiat obat ini tidak diragukan lagi,

Page 52: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

walaupun penggunaan obat ini seringkali menyertakan efek samping dari yang ringan sampai

yang cukup berat.

AST (Tauredon ampul 10, 20 dan 50 mg) diberikan secara intramuskular yang

dimulai dengan dosis percobaan pertama sebesar 10 mg, disusul dengan dosis percobaan

kedua sebesar 20 mg setelah 1 minggu kemudian. Setelah 1 minggu, dosis penuh diberikan

sebesar 50 mg / minggu selama 20 minggu. Jika respons penderita belum memuaskan setelah

20 minggu, pengobatan dapat dilanjutkan dengan pemberian dosis tambahan sebesar 50 mg

setiap 2 minggu sampai 3 bulan. Kalau masih diperlukan AST kemudian dapat diberikan

dalam dosis sebesar 50 mg setiap 3 minggu sampai keadaan remisi yang memuaskan dapat

tercapai.

Efek samping AST antara lain adalah pruritus, stomatitis, proteinuria, trombositopenia

dan aplasia sumsum tulang. Efek samping AST agaknya terjadi lebih sering pada pengemban

HLA- DR3A. Jika timbul efek samping yang ringan, dosis AST dapat dikurangi atau

dihentikan untuk sementara. Jika gejala efek samping tersebut menghilang, AST kemudian

dapat diberikan lagi dalam dosis yang lebih rendah.

Ridaura (auranofin tablet 3 mg) adalah preparat garam emas oral telah dikenal sejak

awal dekade yang lalu dan dianggap sebagai DMARD yang berlainan sifatnya dari AST.

Walaupun obat ini terbukti berkhasiat dalam pengobatan AR, lebih mudah digunakan serta

tidak memerlukan pemantauan yang ketat seperti AST, banyak para ahli yang berpendapat

bahwa khasiat auranofin tidaklah lebih baik dibandingkan dengan AST. 1

Auranofin sangat berguna bagi penderita AR yang menunjukkan efek samping

terhadap AST. Auranofin diberikan dalam dosis 2 x 3 mg sehari. Efek samping proteinuria

dan trombositopenia lebih jarang dijumpai dibandingkan dari penggunaan AST. Pada awal

penggunaan auranofin, banyak penderita yang mengalami diare, yang dapat diatasi dengan

menurun- kan dosis pemeliharaan yang digunakan.

Methotrexate

Methotrexate (MTX) adalah suatu sitostatika golongan antagonis asam folat yang

banyak digunakan sejak 15 tahun yang lalu. Obat ini sangat mudah digunakan dan rentang

waktu yang dibutuhkan untuk dapat mulai bekerja relatif lebih pendek (3 - 4 bulan) jika

Page 53: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

dibandingkan dengan DMARD yang lain. Dalam pengobatan penyakit keganasan, MTX

bekerja dengan menghambat sintesis thymidine sehingga menyebab-kan hambatan pada

sintesis DNA dan proliferasi selular. Apakah mekanisme ini juga bekerja dalam

penggunaannya sebagai DMARD belum diketahui dengan pasti.

Pemberian MTX umumnya dimulai dalam dosis 7.5 mg (5 mg untuk orang tua) setiap

minggu. Walaupun dosis efektif MTX sangat bervariasi, sebagian besar penderita sudah akan

merasakan manfaatnya dalam 2 sampai 4 bulan setelah pengobatan. Jika tidak terjadi

kemajuan dalam 3 sampai 4 bulan maka dosis MTX harus segera ditingkatkan.

Efek samping MTX dalam dosis rendah seperti yang digunakan dalam pengobatan

AR umumnya jarang dijumpai akan tetapi juga dapat timbul berupa kerentanan terhadap

infeksi, nausea, vomitus, diare, stomatitis, intoleransi gastrointestinal, gangguan fungsi hati,

alopesia, aspermia atau leukopenia. Efek samping ini biasanya dapat diatasi dengan

mengurangi dosis atau menghentikan pemberian MTX. Kelainan hati dapat dicegah dengan

tidak menggunakan MTX pada penderita AR yang obese, diabetik, peminum alkohol atau

penderita yang sebelumnya telah memiliki kelainan hati.

Pada penderita AR yang menunjukkan respons yang baik terhadap MTX, pemberian

asam folinat (Leucovorin) dapat mengurangi beratnya efek samping yang terjadi. Leucovorin

diberikan dalam dosis 6 sampai 15 mg/m2 luas permukaan badan setiap 6 jam selama 72 jam

jika terdapat efek samping MTX yang dapat membahayakan penderita. Walaupun

penggunaan MTX memberikan harapan yang baik dalam pengobatan AR, akan tetapi seperti

halnya penggunaan sitostatika lain, MTX sebaiknya hanya diberikan kepada penderita AR

yang progresif dan gagal di kontrol dengan DMARD standard lainnya.

Cyclosporin - A

Cyclosporin - A (CS-A), adalah suatu undeca-peptida siklik yang di isolasi dari jamur

Tolypocladium inflatum Gams pada tahun 1972. Dalam dosis rendah, CS-A telah terbukti

khasiatnya sebagai DMARD dalam mengobati penderita AR. Pengobatan dengan CS-A

terbukti dapat menghambat progresivitas erosi dan kerusakan sendi. Kendala utama

penggunaan obat ini adalah sifat nefrotoksik yang sangat bergantung pada dosis yang

digunakan. Gangguan fungsi ginjal ini dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kadar

Page 54: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

kreatinin serum atau hipertensi. Efek samping lain CS-A adalah gangguan fungsi hati,

hipertrofi gingiva, hipertrikosis, rasa terbakar pada ekstremitas dan perasaan lelah.

Dosis awal CS-A yang lazim digunakan untuk pengobatan AR adalah 2,5

mg/KgBB/hari yang diberikan terbagi dalam 2 dosis setiap 12 jam. Dosis dapat ditingkatkan

sebesar 25% dosis awal setelah 6 minggu hingga mencapai 4 mg/KgBB/hari sehingga

sehingga tercapai kadar CS-A serum sebesar 74 - 150 ng/ml atau jika kadar kreatinin serum

meningkat mencapai lebih dari 50% nilai basal. Dosis peme-liharaan rata rata berkisar antara

4 mg/KgBB/hari. Dalam dosis tersebut ternyata terjadi perbaikan yang bermakna dalam

beberapa outcome yang diukur.

Bridging Therapy dalam Pengobatan AR

Bridging therapy adalah pemberian glukokortikoid dalam dosis rendah (setara dengan

prednison 5 sampai 7,5 mg/hari) sebagai dosis tunggal pada pagi hari. Walaupun pemberian

glukokortikoid dosis rendah tidak menimbulkan perubahan yang bermakna kadar dan irama

kortisol plasma atau growth hormone, pemberian glukokortikoid dosis rendah ini akan sangat

berguna untuk mengurangi keluhan penderita sebelum DMARD yang diberikan dapat

bekerja.

Pengobatan AR Eksperimental

Selain dari cara pengobatan di atas, terdapat pula beberapa cara lain yang dapat

dipakai untuk mengobati penderita AR, akan tetapi karena belum dilakukan uji klinik

mengenai khasiat dan efektivitas dari modalitas tersebut, cara pengobatan tersebut masih

bersifat eksperimental dan belum digunakan secara luas dalam pengobatan AR. Pengobatan

eksperimental AR ini antara lain meliputi penggunaan plasmaferesis, thalidomide, J-

interferon, inhibitor IL-1 dan antibodi monoclonal.

Peranan Dietetik dalam Pengobatan AR

AR adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik dan bukan suatu penyakit metabolik.

Walaupun beberapa jenis modifikasi dietetik, antara lain yang terakhir berupa suplementasi

asam lemak omega 3 seperti asam eikosapentanoat pernah dicoba dalam beberapa penelitian,

ternyata hasilnya tidak begitu meyakinkan. Dengan demikian hingga saat ini sebagian besar

Page 55: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

para ahli berpendapat bahwa selain untuk mencapai berat badan ideal, agaknya modifikasi

dietetik saat ini belum jelas kegunaannya dalam merubah riwayat alamiah penyakit ini

BAB IV

MONITORING DAN EVALUASI

3.1 Monitoring

Pemantauan dimaksudkan untuk mensinkronkan kembali keseluruhan proses

kegiatan agar sesuai dengan rencana yang ditetapkan dengan perbaikan segera agar dapat

dicegah kemungkinan adanya penyimpangan ataupun ketidaksesuaian yang berpotensi

mengurangi bahkan menimbulkan kegagalan pencapaian tujuan dan sasaran. Untuk itu,

pemantauan diarahkan guna mengidentifikasi kualitas kegiatan, permasalahan yang terjadi

serta dampak yang ditimbulkannya.

Pemantauan keberhasilan setiap kegiatan program manajemen kasus reumatoid

ertritis di puskesmas dilakukan dengan teknik monitoring bulanan. Monitoring bulanan ini

dilakukan untuk mengetahui apakah kegiatan program promotif, preventif, kuratif dan

rehabilitatif yang dilaksanakan pada bulan tertentu di puskesmas telah sesuai dengan yang

diharapkan atau belum. Bila hasilnya belum sesuai dengan harapan, maka akan dicari

penyebabnya untuk kemudian dilakukan intervensi.

Beberapa contoh program monitoring sebagai berikut:

1. Program monitoring promotif dan preventif:

Adanya perwakilan dari puskesmas (supervisi) yang memantau kegiatan

penyuluhan dilapangan

Dibentuknya suatu kelompok kerja yang fokus kepada program promotif,

yang bekerja melihat kebutuhan pengetahuan yang harus ditingkatkan

ditiap wilayah, menyusun jadwal penyuluhan rutin dan yang memfokuskan

pada media promosi kesehatan dengan media cetak.

2. Program monitoring kuratif:

Page 56: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

Pembentukan tim supervisi yang memantau program kuratif kasus

reumatoid artritis, evaluasi SDM dan memberikan diklat sebagai

penyegaran pengetahuan dan ketrampilan, melakukan pencatatan laporan

untuk melihat jumlah pasien reumatoid artritis apakah mengalami

peningkatan atau penurunan sebagai indikator keberhasilan program.

3. Program monitoring rehabilitatif:

Monitoring apakah petugas kesehatan memberi edukasi setelah pengobatan

dan kunjungan ke rumah pasien untuk memantau apakah pasien mengikuti

anjuran dokter.

3.2 Evaluasi

Penilaian ini bertujuan untuk menilai keberhasilan penyelenggaraan program

kegiatan manajemen kasus reumatoid artritis di puskesmas. Penilaian dimaksudkan untuk

memberikan bobot atau nilai terhadap hasil yang dicapai dalam seluruh tahap kegiatan, untuk

proses pengambilan keputusan apakah suatu program atau kegiatan diteruskan, dikurangi,

dikembangkan atau diperkuat. Untuk itu penilaian diarahkan guna mengkaji efektifiktas dan

efisensi pengelolaan program. Penilaian kinerja program manajemen kasus reumatoid artritis

dilaksanakan berdasarkan indikator kinerja yang telah ditetapkan dalam pencapaian sasaran.

Indikator yang di nilai adalah sebagai berikut:

1. Tingkat pengetahuan , perilaku dan sikap masyarakat terhadap penyakit reumatoid

artritis

2. Faktor penyebab reumatoid artritis di lingkungan

3. Jumlah SDM petugas kesehatan (dokter,bidan,perawat, kesmas) dan kader kesehatan

yang terampil dalam hal promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif di bidang

kesehatan khususnya penyakit reumatoid artritis

4. Kualitas hidup penderita reumatoid artritis

Beberapa contoh program monitoring sebagai berikut:

1. Promotif dan preventif:

Dengan melakukan pre test dan post test saat penyuluhan untuk menilai

apakah terjadi peningkatan pengetahuan pada masyarakat. Indikator

keberhasilan program adalah didapatkan peningkatan pengetahuan > 50 %.

Page 57: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

Dengan melakukan peninjauan langsung ke rumah warga untuk menilai

keadaan lingkungan masyarakat. Hal ini dilakukan untuk menilai apakah

masyarakat melakukan anjuran-anjuran yang diberikan pada saat

penyuluhan. Indikatornya adalah kondisi lingkungan yang semakin bersih

dan hiegine perorangan yang semakin lebih baik.

2. Kuratif dan rehabilitatif

Indikator yang digunakan adalah data kasus reumatoid artritis apakah

mengalami peningkatan atau penurunan dilihat dari angka kesakitan, kasus baru dan

kasus lama (apakah pasien yang sebelumnya datang ke puskesmas dengan

konjungtivitis, datang lagi atau tidak denganpenyakit yang sama). Hal ini sebagai

indikator keberhasilan program.

Page 58: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Kasus artritis reumatoid sering terjadi dikalangan masyarakat. Penatalaksanaan kasus

artritis reumatoid tidak lah sulit namun perlu manajemen yang baik untuk mengatasinya, jika

tidak angka kesakitan artritis reumatoid akan tetap tinggi. Program kegiatan manajemen

kasus artritis reumatoid berupa promosi kesehatan dengan penyuluhan, preventif dengan

kesehatan lingkungan, kuratif dengan penemuan kasus dan penatalaksanaan, rehabilitatif

dengan sosialisasi dan edukasi. Diharapkan melalui program-program ini dan dengan

manajemen kasus yang baikdapat menurunkan angka kesakitan karena artritis reumatoid.

5.2 Saran

1. Untuk Penulis Selanjutnya

Untuk penulis selanjutnya diharapkan dapat melanjutkan kegiatan program

manajemen kasus artritis reumatoid dengan lebih baik lagi dan juga diharapkan membuat

lebih banyak lagi program kegiatan yang inovatif guna perbaikan status kesehatan

masyarakat dan supaya dapat memberikan kontribusi yang baik bagi pembangunan kesehatan

khususnya untuk menurunkan angka kesakitan karena artritis reumatoid.

2. Kepada Petugas Kesehatan :

a. Melakukan penyuluhan dan sosialisasi kepada masyarakat yang pengetahuannya

masih kurang tentang artritis reumatoid.

b. Meninjau secara langsung keadaan masyarakat sekitar tentang pola hidup sehat

sehingga dapat terhindar dari penyakit artritis reumatoid.

c. Menguasai materi tentang artritis reumatoid agar bisa membagikan pengetahuan itu

kepada masyarakat luas .

Page 59: Manajemen Kasus Penyakit Rheumatoid Arthritis Di Puskesmas

Daftar Pustaka

1. Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jilid III.

Jakarta : EGC, 2007. Hal 2495-2502

2. Rheumatoid Arthritis Medicines: A Guide for Adults, Available at :

http://www.effectivehealthcare.ahrq.gov/repfiles/rheumarthritisconsumerguide_Single

page.pdf

3. Rheumatoid artrhitis. 2009 Available at : http://www.nice.org.uk/guidance/cg79

4. Tingkat Pengetahuan Lansia Tentang Penyakit Reumatoid Artritis. 2009. Diunduh

dari : http://perpus.fkik.uinjkt.ac.id/file_digital/SKRIPSI.pdf.

5. Media Informasi Peresepan Rasional Bagi Tenaga Kesehatan Indonesia. Volume 9,

2011. Di unduh dari : piolk.ubaya.ac.id/img/layanan/24_20110728104725.pdf

6. Budiman, Suyono. Kesehatan Lingkungan. 2012. Diunduh dari : http://e-

journal.kopertis4.or.id/file.php?file=karyailmiah&id=742.

7. Konsep terkait menua. Diunduh dari :

www.library.upnvj.ac.id/pdf/2s1keperawatan/205312026/bab2.pdf

8. Hartati A.S. pemeriksaan rheumatoid faktor pada penderita tersangka rheumatoid

arthritis. Di unduh dari : http://download.portalgaruda.org/article.php?

article=119655&val=5479