Upload
septi-sharah-soneta
View
7
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
makalah
Citation preview
PENDAHULUAN
Arsitektur adalah seni dan ilmu dalam merancang bangunan. Dalam artian yang lebih luas, Istilah
ini mencakup merancang dan membangun keseluruhan lingkungan binaan, mulai dari level makro yaitu
perencanaan kota, perancangan perkotaan, lansekap, hingga ke level mikro yaitu desain bangunan,
desain perabot dan desain produk.
Setiap manusia dalam menjalani kehidupannya; membutuhkan suatu tempat yang pada saat
tertentu dapat hidup tanpa diganggu oleh orang lain. Kebutuhan akan sebuah bangunan merupakan
salah satu motivasi untuk mengembangkan kehidupan yang lebih tinggi, di samping kebutuhan jasmani
lainnya, yaitu sandang, pangan dan kesehatan. Rumah merupakan suatu ruang yang betul-betul menjadi
milik seseorang yang bisa diatur menurut selera dan kehendak yang memilikinya.
Pada jaman dahulu, manusia purba menggunakan gua-gua sebagai rurnah, supaya terlindungi dari
binatang-binatang buas serta gangguan-gangguan alam lainnya, seperti misalnya hujan, angin, panas,
dan sebagainya. Dengan berkembangnya jaman, melalui berbagai tahapan arsitektur semakin
berkembang, bentuk rumah semakin berkembang juga, sehingga akhirnya mencapai tahap seperti
sekarang, mempunyai dinding serta atap yang kuat, sejalan dengan perkembangan fungsi dan teknologi,
yang merupakan cerminan dari budaya dan lingkungannya.
a. Sejalan dengan kebutuhan manusia penghuninya, maka sebuah rumah harus memenuhi
tiga fungsi utamanya, yaitu: Rumah sebagai tempat tinggal, tempat di mana seseorang
bermukim (menetap), dan mendapatkan ketenangan fisik dan mental.
b. Rumah merupakan mediasi antara manusia dengan dunia. Dengan mediasi ini terjadi
suatu dialektik antara manusia dengan dunianya. Dari keramaian dunia manusia menarik
diri de dalam rumahnya dan tinggal dalam suasana ketenangannya, untuk kemudian
keluar lagi menuju dunia luar untuk bekerja dan berkarya. Demikian seterusnya terjadi
berulang-ulang.
c. Rumah merupakan arsenal, di mana manusia mendapatkan kekuatannya kembali, setelah
melakukan pekerjaan yang melelahkan.
Rumah adalah kebudayaan fisik, yang dalam konteks tradisional merupakan bentuk ungkapan
yang berkaitan erat dengan kepribadian masyarakatnya. Ungkapan fisiknya sangat dipengaruhi oleh
faktor sosio-kulural dan lingkungan di mana ia tumbuh dan berkembang. Perbedaan wilayah dan latar
budaya akan menyebabkan perbedaan pula dalam ungkapan arsitekturalnya.
Rumah panggung kayu mewakili sebuah tradisi yang bertahan lama bagi masyarakat Sulawesi
Selatan, tradisi yang juga tersebar luas di dunia Melayu. Bentuk dasar rumah adalah sebuah kerangka
1
kayu di mana tiang menahan lantai dan atap, dengan dan lantai dan atap diri pelbagai bahan, keaneka-
ragaman bahan kian meningkat dalam dunia kontemporer setelah pendirian rumah menjadi kian
dimodifikasi. Rumah adat kayu mencerminkan sebuah estetika tersendiri yang menjadikannya objek
budaya materil yang indah (Robinson, 2005 : 271-272).
Namun, rumah-rumah di Sulawesi Selatann khususnya lebih dari sekedar tempat berteduh bagi
penghuninya, atau objek materil yang indah dan menyenangkan. Rumah adalah ruang sakral di mana
orang lahir, kawin dan meninggal dan di tempat ini pula kegiatan-kegiatan sosial dan ritual tersebut
diadakan. Terbuat dari bahan-bahan alami, rumah juga memiliki ciri sakral yang diwakili oleh sifat
alami tersebut. Praktik kehidupan religius sehari-hari dari komunitas Islam di Sulawesi Selatan
menghadirkan hibriditas yang lazim ada di sebuah provinsi kepulauan yang selama berabad-abad telah
terlibat dalam lintas perdagangan yang ramai di Asia Tenggara, dan jalur perdagangan dengan Afrika,
Eropa dan China, dan memiliki persamaan dengan tradisi-tradisi sinkretis lainnya di nusantara
(Robinson,2005: 272).
Rumah dalam tulisan ini adalah rumah sebagai tempat tinggal orang Bugis, dapat dibedakan
berdasarkan status sosial orang yang menempatinya. Oleh karena itu, di daerah ini dikenal istilah Sao
Raja (salassa) dan Bola. Nama Sao Raja yang berarti rumah besar adalah rumah ditempati oleh
keturunan raja atau kaum bangsawan, sedangkan Bola adalah rumah yang ditempati oleh rakyat biasa
(Yunus, 1999: 99).
Pada dasarnya kedua jenis rumah ini tidak mempunyai perbedaan yang mendasar bila dilihat dari
segi bangunan, tetapi berbeda karena status penghuninya. Rumah Sao Raja karena ditempati oleh
keturunan raja atau bangsawan, maka selain bentuknya lebih besar juga diberikan identitas-identis
tertentu yang mendukung tingkat status sosial dari penghuninya. Misalnya, timpanon yang berjumlah 3-
5 tingkat, hiasan yang digunakan dan lain sebagainya.
BAB II PEMBAHASAN
( TINJAUAN ARSITEKTURAL )
2
A. FUNGSI
Orang Bugis juga mengenal sistem tingkatan sosial yang sangat berkait dengan arsitektur.
Pelapisan sosial tersebut antara lain adalah Anakarung (bangsawan), to maradeka (rakyat biasa),
dan ata (sahaya). Berdasarkan lapisan sosial penghuninya, berdampak pada pola bentuk rumah yang
disimbolkan berbeda-beda, yaitu:
1. Sao-raja (sallasa) Rumah besar yang didiami keluarga kaum bangsawan (Anakarung).
Biasanya memiliki tiang dengan alas bertingkat di bagian bawah dan dengan atap di atasnya
(sapana) yang memiliki bubungan bersusun tiga atau lebih,
2. Sao-piti Bentuknya lebih kecil tanpa sapana, dan memiliki bubungan yang bersusun dua.
3. Bola merupakan rumah bagi masyarakat umumnya. Berdasarkan pola morfologinya, arsitektur
Tradisional Bugis dapat dilihat dari beberapa segi sebagai berikut:
I. Pola Penataan Spatial
Arsitektur rumah Bugis umumnya tidak bersekat-sekat. Bentuk denah yang umum adalah
rumah yang tertutup, tanpa serambi yang terbuka. Tangga depan biasanya di pinggir. Di depan
tangga tersedia tempat air untuk mencuci kaki. Tangga rumah tersebut berada di bawah atap
(Sumintardja, 1981). Selain itu rumah Bugis umumnya memiliki suatu ruang pengantar yang
berupa lantai panggung di depan pintu masuk, yang dinamakan tamping. Biasanya tempat ini
difungsikan sebagai ruang tunggu bagi para tamu sebelum dipersilakan masuk oleh tuan rumah.
Rumah Bugis juga dapat digolongkan menurut fungsinya (Mattulada dalam
Koentjaraningrat, 1999). Secara spatial vertikal dapat dikelompokkan dalam tiga bagian berikut:
1. Rakeang bagian atas rumah di bawah atap, terdiri dari loteng dan atap rumah yang dipakai
untuk menyimpan padi dan lain persediaan pangan serta benda-benda pusaka. Selain itu
karena letaknya agak tertutup sering pula digunakan untuk menenun dan berdandan.
2. Alo-bola (alle bola) terletak antara lantai dan loteng ruang dimana orang tinggal dan
dibagi-bagi menjadi ruang-ruang khusus, untuk menerima tamu, tidur, makan,
3. Awaso kolong rumah yang terletak di bagian bawah antara lantai dengan tanah atau bagian
bawah lantai panggung yang dipakai untuk menyimpan alat-alat pertanian dan ternak.
Sedangkan penataan spatial secara horisontal, pembagian ruang yang dalam istilah Bugis
disebut lontang (latte), dapat dikelompokkan dalam tiga bagian sebagai berikut :
1. Lontang risaliweng (ruang depan) Sifat ruang semi private, berfungsi sebagai tempat
menerima tamu, tempat tidur tamu, tempat bermusyawarah, tempat menyimpan benih
dan tempat membaringkan mayat sebelum dikebumikan. Ruang ini adalah ruang tempat
3
berkomunikasi dengan orang luar yang sudah diijinkan untuk masuk. Sebelum memasuki
ruang ini orang luar diterima lebih dahulu di ruang transisi (tamping).
2. Lontang retengngah (latte retengngah) atau ruang tengah. Sifat ruangprivate, berfungsi
untuk tempat tidur kepala keluarga dan anak-anak yang belum dewasa, tempat makan,
melahirkan. Pada ruang ini sifat kekeluargaan dan kegiatan informal dalam keluarga amat
menonjol.
3. Lontang rilaleng (latte rilaleng), sifat sangat private Fungsi ruang ini untuk tempat tidur
anak gadis atau nenek/kakek. Anggota keluarga ini dianggap sebagai orang yang perlu
perlindungan dari seluruh keluarga.
Untuk Sao raja, ada tambahan dua ruangan lagi:
1. Lego-lego adalah Ruang tambahan, jika di depan difungsikan sebagai tempatsandaran,
tempat duduk tamu sebelum masuk, tempat menonton ada acara di luar rumah.
2. Dapureng (jonghe) Biasanya diletakkan di belakang atau samping. Fungsinya untuk
memasak danmenyimpan peralatan masak.
B. BENTUK
Manusia selalu berdampingan dengan alam dan tidak dapat melepaskannya dari batasan dan
hukum-hukumnya. Karenanya iklim dan lingkungan memegang peranan yang penting dalam
membentuk cara hidup manusia atau (lebih jauh) kebudayaan manusia. Keadaan alam yang berbeda
melahirkan kebudayaan berbeda pula, demikian pula dengan arsitektur.
Semula arsitektur lahir sekadar untuk menciptakan tempat tinggal sebagai wadah perlindungan
terhadap gangguan lingkungan: alam dan binatang (Rapoport,1969). Dengan demikian bentuk dan
fungsi dalam arsitektur adalah respon manusia terhadap lingkungan (Crowe, 1995). Dalam
perkembangannya respon terhadap lingkungan yang sama memiliki kecenderungan untuk
menghasilkan satu cara dan bentuk yang sama. Suatu cara yang lahir begitu saja dan kemudian
membentuk satu pola yang dianut bersama dan menjadi satu tradisi yang dikenal sebagai arsitektur
vernacular (Rudolvsky, 1964). Grillo (dalam Sutedjo, 1982) memperkenalkan pula istilah
archetype, yaitu bangunan pada suatu daerah yang sama memiliki bentuk dan ciri-ciri yang sama
pula.
Salah satu faktor penting pewujud bentuk dalam arsitektur adalah fungsi. Karena pada
dasarnya arsitektur adalah wadah pemenuhan kebutuhan terhadap aktivitas manusia, tercakup di
4
dalamnya kondisi alami. Sedangkan aktivitas timbul dari kebutuhan manusia, baik fisik maupun
psikologis. Fungsi dapat berubah dan berkembang terus-menerus tidak pernah berhenti. Menurut
Horatio Greenough (dalam Sutrisno, 1984) terdapat hubungan erat antara bentuk, fungsi, dan alam.
Ia memperkenalkan form follow function (bentuk mengikuti fungsi) dengan dua prinsip utama:
bentuk akan berubah jika fungsi berubah dan fungsi baru tidak mungkin diikuti bentuk lama.
Schultz (1988), membagi tugas bangunan menjadi dua kutub utama yakni lingkungan fisik dan
simbol yang saling berkaitan. Pallasma juga mengemukakan bahwa penghuni atau pengamat dalam
arsitektur terhadap keseluruhan bentuk fisiknya tidak semata melayani fungsi arsitektur berkenaan
dengan kenyamanan dalam pengertian termal, cahaya dan kekakuan secara fisik tetapi juga kesan,
pengalaman dan makna yang terpendam yang mengajak dan diajak berkelana ke dalam keseluruhan
penampakannya dalam sebuah geometri rasa. Ada berbagai kemungkinan penyelesaian bentuk
dalam arsitektur sekali pun tujuan fungsional dan kondisi lingkungannya sama.
Arsitektur adalah lingkungan alamiah yang sengaja ditata dan dibangun untuk kepentingan
tertentu dalam hidup manusia. Bentuk, fungsi dan simbol adalah perangkat yang saling
berhubungan dan secara bersama-sama membentuk wujud keseluruhan dari objek arsitektur.
Seluruh kultur dalam sebuah lingkungan dapat saja mempengaruhi dan membentuk cara bagaimana
arsitektur dibangun dan dikembangkan (Agrest,1976). Penyusunan seluruh elemen dalam keutuhan
arsitektur tidak bisa ditafsirkan dalam satu frame tunggal atau parsial. Perwujudan bentuk dan
keterkaitan dengan fungsi di dalamnya melibatkan banyak aspek yang perlu dilihat secara holistik.
Bentuk (Form) dalam arsitektur, banyak mengacuh pada bentuk-bentuk geometri seperti : Segi
empat, segi tiga, bundar, dan lain-lain. Bentuk dalam arsitektur adalah suatu elemen yang tertuju
langsung terhadap mata. Bedanya (matter) adalah suatu elemen, yang tetuju pada jiwa dan akal budi
manusia.
Arsitektur rumah trdisional Bugis adalah refleksi kebudayaan bugis. Bentuk rumah dan
strukturnya mencerminkan pandangan orang bugis terhadap tata ruang jagad raya (makro kosmos)
dan kehidupan manusia. Dalam pandangan kosmologis Bugis, rumah adalah mikro kosmos yang
merupakan replica dari makro kosmos yang terdiri dati tiga susun, yakni Boting-Langi (Dunia
Atas), Ale-Kawa (Dunia Tengah), dan Buri-Liung (Dunia Bawah).
Ketiga susun dunia itu, tercermin pada bentuk rumah bugis yang terdiri dari tiga susun, yaitu :
1. Rakeang, bagian atas rumah di bawah atap, terdiri dari loteng dan atap rumah yang
dipakai untuk menyimpan padi dan lain persediaan pangan serta benda-benda pusaka.
Selain itu karena letaknya agak tertutup sering pula digunakan untuk menenun dan
berdandan.
5
2. Alo-bola (alle bola), terletak antara lantai dan loteng ruang dimana orang tinggal dan
dibagi-bagi menjadi ruang-ruang khusus, untuk menerima tamu, tidur, makan,
3. Awa-bola (kolong rumah), mencerminkan Buri-Liung (Dunia Bawah), merupakan ruang
di bawah badan rumah. Awa-bola ini berlantai tanah dan tidak berdinding, berfungsi
sebagai tempat memelihara ternak seperti kuda, kerbau, kambing, atau unggas juga
sebagai tempat menyimpan alat-alat pertanian, atau tempat bertenun kain sarung dan
tempat bercanda atau tempat bermain anak-anak.
Gbr. Rangka rumah tradisonal bugis
Rumah tradisional Bugis atau dalam bahasa Bugis disebut Bola Ugi adalah rumah
panggung yang terbuat dari kayu, berbentuk segi empat panjang dengan tiang-tiang yang tinggi
menopang lantai dan atap berbentuk pelana. Di jaman dahulu, badan rumah merupakan ruangan
besar tanpa sekat-sekat (kamar). Pola ruang terbentuk oleh baris tiang yang memikul lantai
rumah.
Tiang rumah biasanya berjumlah 20 buah (5 tiang x 4 baris); 30 buah ( 6 tiang x
5 baris); dan 42 buah (7 tiang x 6 baris), yang terakhir ini adalah jumlah tiang untuk rumah raja
atau bangsawan. Jumlah tiang menunjukkan status sosial pemilik rumah. Semakin banyak
tiangnya, semakin tinggi status sosial pemiliknya. Bola ugi di Sualwesi Selatan mempunyai
beberapa variasi bentuk yang berciri local, cirri daerah di mana rumah berada, seperti rumah
Luwuq, Rumah Bone atau Rumah Wajo. Tetapi perbadaan itu hanya bersifat detail pada
bagian-bagian tertentu dari badan rumah dan detail konstruksinya.
C. KESATUAN (UNITY)
Rumah orang Bugis terdiri dari beberapa bagian yang berbeda diantaranya adalah Awa Bola,
Ale Bola, dan Rakkeang. Konstruksi ini bagi orang Bugis memiliki nilai mitis. Dan bila didekati
6
dalam konsep struktural rumah tradisional Bugis, maka secara struktural fungsional dipahami
sebagai berikut: Pandangan kosmologis suku Bugis mengganggap bahwa makrokosmos (alam raya)
ini bersusun tiga tingkat yaitu: Boting langi’ (dunia atas), Ale Kawa (dunia tengah), dan Uri liyu
(dunia bawah), dan segala pusat dari ketiga bagian alam ini adalah Boting langi’ (langit tertinggi)
tempat Dewata SeuwaE (Tuhan Yang Maha Kuasa) bersemayam. Pandangan ini diwujudkan dalam
bangunan rumahnya yang dipandang sebagai mikrokosmos. Oleh karena itu pula, rumah tempat
tinggal orang Bugis dibagi pula atas tiga tingkatan, yaitu: 1. Rakkeang (loteng, kepala), 2. Alle Bola
(badan rumah), 3. Awa Bola (kolong rumah, kaki). Dengan struktur bangunan terdiri dari lima
bagian yang dibuat dengan cara lepas-pasang (knock down), yaitu:
Rangka utama (tiang dan balok)
Konstruksi atap
Konstruksi lantai
Konstruksi dinding
Tangga
Dari segi fungsinya, kelima bagian tersebut dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu
kategori elemen structural, dan kategori elemen non structural.
a. Elemen Struktural
Elemen structural meliputi rangka utama yang mendukung berdirinya bangunan rumah,
terdiri dari tiang-tiang vertical (aliri) dan balok-balok induk horizontal (arateng, bareq,
dan pattoloq). Aliri berfungsi memikul semua beban dari balok induk dan
menyalurkannya langsung ke dalam tanah. Sedang balok arateng, bareq, dan pattoloq
berfungsi mengikat baris aliri dalam arah sumbu x dan z, menerima beban horizontal
dan vertical lalu mendistribusikannya ke baris-baris aliri.
b. Elemen non stuktural
Elemen non structural meliputi elemen ‘pembungkus’ bangunan (atap, lantai, dan
dinding) dan perlengkapan bangunan yakni tangga untuk naik ke rumah.
1. RANGKA UTAMA
a. Aliri
Aliri artinya tiang, berfungsi memikul beban lantai, dinding, dan atap rumah. Profil
tiang biasanya bundar, persegi delapan, bersegi sepuluh, bersegi dua belas, dan bersegi
empat, bahannya dari kayu bitti atau kayu sappu. Aliri memakai alas, semacam pondasi
7
umpak, dari batu kali yang dibentuk seperti kubus. Di jaman dahulu, aliri tidak
memakai alas tetapi tertanam langsung di tanah.
b. Arateng
Arateng yakni balok induk bawah yang berfungsi memikul beban lantai badan rumah
dan mengikat bagian tengah tiang-tiang yang berbaris searah dengan panjang badan
rumah.
c. Bareq
Bareq yakni balok induk atas yang berfungsi memikul beban lantai rakkeang dan
mengikat puncak atas aliri yang berbaris searah panjang badan rumah (bareq sejajar
dengan arateng).
d. Pattoloq riawa
Pattoloq riawa adalah balok induk di bawah arateng yang berfungsi mengikat bagian
tengah tiang yang berbaris searah lebar badan rumah.
e. Pattoloq riase
Pattoloq riase adalah balok induk dibawah bareq yang berfungsi mengikat bagian atas
tiang-tiang yang berbaris searah lebar badan rumah.
2. KONSTRUKSI ATAP
Penampakan bangunan tersusun dari tiga bagian sesuai dengan fungsinya. Bagian atas
(rakeang) baik untuk rumah bangsawan (Sao raja) maupun rumah rakyat biasa (Bola),
terdiri dari loteng dan atap. Atap berbentuk prisma, memakai tutup bubungan yang disebut
Timpak Laja. Timpak laja memiliki bentuk yang berbeda antara sao raja dan bola. Bagian
ini diibaratkan sebagai kepala bangunan. Pada sao raja terdapat timpak laja yang
bertingkat-tingkat antara tiga sampai lima. Timpak laja yang bertingkat lima menandakan
rumah tersebut kepunyaan bangsawan tinggi. Timpak laja bertingkat empat, adalah milik
bangsawan yang memegang kekuasaan dan jabatan-jabatan tertentu. Bagi bangsawan yang
tidak memiliki jabatan pemerintahan timpak lajanya hanya bertingkat tiga. Rakyat biasa
yang diklasifikasikan ke dalam kelompok to maradeka dapat juga memakai timpak laja
pada atap rumahnya, tetapi hanya dibenarkan membuat maksimal dua tingkatan timpak
laja.
Rangka atap terdiri dari :
1. Sudduq yaitu tiang tengah yang berfungsi memikul aju-lekke.
2. Aju-lekke yaitu balok puncak bubungan yang berfungsi memikul ajute.
8
3. Aju-te yakni balok miring yang bersandar pada aju-lekke, berfungsi sebagai kuda-kuda
atap.
4. Pateppo bareqkapu adalah balok pengikat ujung-ujung barakapu dan berfungsi sebagai
tumpuan aju-te.
5. Bahan penutup atap tradisional adalah ijuk, bamboo, nipa dan ilalang, sedang bahan
baru adalah seng gelombang, sirap dan genteng.
3. KONSTRUKSI LANTAI
Konstruksi lantai badan rumah adalah tunebbaq, balok-balok kayu berukuran 5/7 cm atau
6/8 cm. Konstruksi lantai rakkeang disebut bareqkapu, berukuran sama dengan ukuran
tunebbaq. Bahan lantai biasanya dari bamboo atau papan. Lantai dari bamboo disebut
salima, bamboo dibela dan diraut dengan ukuran sebesar 3-4 cm lalu7 diikat ritan dengan
jarak 1-1,5 cm. Lantai dari papan disebut katabang terdiri dari papan selebar 15-20 cm
dipasang dengan cara dipaku pada balok tunebbaq. Pada rumah jaman dahulu, papan
katabang dipasang dengan jarak 1-1,5 cm, sekarang papan bias rapat tanpa jarak. Pada
bagian ruang tertentu, papan lantai diberi jarak, seperti ruang makan dan tempat
memandikan jenasah.
4. KONSTRUKSI DINDING
Konstruksi renring (dinding) adalah rangka dinding yang terdiri dari balok berdiri
(vertical) dan balok berbaring (horizontal), bahannya dari bambu atau balok kayu. Balok
berdiri disebut tau-tau renring sedang balok berbaring disebut paletteang. Tau-tau renring
umumnya berukuran 4/6 cm atau 5/7 cm sedang paleteang berukuran 5/10 cm atau 6/12 cm.
Dinding dari kayu disebut renring pepeng artinya dinding papan. Di jaman dahulu,
Saoraja dan rumah-rumah bangsawan menggunakan dinding dari kayu cenrana sedang
orang biasa memakai dinding dari bambu atau kayu dari jenis lain.
5. TANGGA
Konstruksi tangga terdiri dari indoq addeng (induk tangga), umumnya berukuran 4/25 cm,
anaq addeng (anak tangga) berukuran 3/20 cm atau 3/25 cm dan accucureng (susuran
tangga). Rumah biasa memakai dua induk tangga dengan anak tangga 3 sampai 9 buah.
Dari segi penempatannya, tangga dibedakan atas dua macam, yakni tangga depan dan
tangga belakang. Induk tangga tidak boleh sama panjang, induk tangga disebelah kiri (pada
waktu naik ke rumah) harus lebih panjang. Jumlah anak tangga harus selalu ganjil.
(Mardanas, dkk. 1986).
9
D. KESEIMBANGAN (BALANCE)
Arsitektur sebagai unsur kebudayaan merupakan salah satu bentuk bahasa nonverbal manusia,
alat komunikasi manusia nonverbal ini mempunyai nuansa sastrawi dan tidak jauh berbeda dengan
sastra verbal. Arsitektur itu sendiri dapat dipahami melalui wacana keindahan, sebab dari sanalah
akan muncul karakteristiknya. Dalam naskah kuno sastra jawa dan kitab lontara Bugis Makassar
dapat ditemukan hubungan relevansi antara lingkungan kehidupan budaya manusia dengan rumah
adat yang diciptakannya.
Setiap bangunan bagian-bagiannya harus melalui garis imaginative mengekspresikan dalam
rencananya suatu keadaan seimbang. Ini merupakan salah satu dasar keindahan. Suatu bangunan
memiliki balance yang baik akan kelihatan indah dan sejuk dipandang mata sehingga tercapai
perasaan yang menyenangkan. Sebaliknya bangunan yang tidak balance akan menimbulkan
gangguan dan ketegangan pada penglihatan.
Bahan bangunan utama yang banyak digunakan umumnya kayu. Bahan bangunan yang
biasanya digunakan : Kayu Bitti, Ipi, Amar, Cendana, Tippulu, Durian, Nangka, Besi, Lontar,
Kelapa, Batang Enau, Pinang, Ilalang dan Ijuk.
Dinding dari anyaman bambu atau papan. Atap dari daun nipah, sirap atau seng. Sistem
struktur menggunakan rumah panggung dengan menggunakan tiang penyangga dan tidak
menggunakan pondasi. Rumah tradisional yang paling tua, tiang penyangganya langsung ditanam
dalam tanah. Tahap yang paling penting dalam sistem struktur bangunan adalah pembuatan tiang
(aliri). Pembuatan tiang dimulai dengan membuat posi bola (tiang pusat rumah). Bila rumah terdiri
dari dua petak maka letak tiang pusat ialah pada baris kedua dari depan dan baris kedua dari
samping kanan. Bila tiga petak atau lebih maka letak tiang pusat adalah baris ketiga dari depan dan
baris kedua dari samping kanan.
Untuk menjaga keseimbangan ( Balance ) dan keindahan, secara terinci ciri-ciri struktur rumah
orang bugis antara lain adalah:
1. Minimal memiliki empat petak atau 25 kolom (lima-lima) untuk sao-raja dan tiga petak
atau 16 kolom (untuk bola)
2. Bentuk kolom adalah bulat untuk bangsawan, segiempat dan segidelapan untuk orang biasa.
3. Terdapat pusat rumah yang disebut di Pocci (posi bola) berupa tiang yang paling penting
dalam sebuah rumah, biasanya terbuat dari kayu nangka atau durian; letaknya pada deretan
kolom kedua dari depan, dan kedua dari samping kanan.
4. Tangga diletakkan di depan atau belakang, dengan ciri-ciri:
a. Dipasang di ale bola atau di lego-lego.
b. Arahnya ada yang sesuai dengan panjang rumah atau sesuai dengan lebar rumah.
10
5. Atap berbentuk segitiga sama kaki yang digunakan untuk menutup bagian muka atau
bagaian belakang rumah
6. Lantai (dapara/salima) menurut bentuknya bisa rata dan tidak rata. Bahan yang digunakan
adalah papan atau bamboo.
7. Dinding (renring/rinring) terbuat dari kulit kayu, daun rumbia, atau bambu.
8. Jendela (tellongeng) jumlahnya tiga untuk rakyat biasa, tujuh untuk bangsawan
9. Pintu (tange sumpang) diyakini jika salah meletakkan dapat tertimpa bencana, sehingga
diletakkan dengan cara sebagai berikut:
E. RITME (IRAMA)
Setiap bangunan disebut indah antar lain harus memiliki komposisi suatu hubungan dan
lainnya berirama (rutme). Ritme dari suatu bangunan dihasilkan oleh adanya pengulangan
disana-sini dari suatu elemen yang mempunyai karakter ritme yang kuat.
Ragam hias ornamen pada rumah tradisional Bugis merupakan salah satu bagian
tersendiri dari bentuk dan corak rumah tradisional Bugis. Selain berfungsi sebagai hiasan, juga
dapat berfungsi sebagai simbol status pemilik rumah. Ragam hias umumnya memiliki pola
dasar yang bersumber dari alam flora dan fauna.
Ornamen corak tumbuhan, umumnya bermotifkan bunga/kembang, daun yang
memiliki arti rejeki yang tidak putus putusnya, seperti menjalarnya bunga itu, di samping motif
yang lainnya. Ornamen corak binatang, umumnya bentuk yang sering ditemukan adalah: kepala
11
Jika lebar rumah sembilan depa, maka pintu diposisikan pada
depa ke-8; artinya lebar rumah selelu ganjil dan pintu diletakan
pada angka genap.
kerbau yang disimbolkan sebagai bumi yang subur, penunjuk jalan, bintang tunggangan dan
status sosial. Bentuk naga yang diartikan simbol wanita yang sifatnya lemah lembut, kekuatan
yang dahsyat. Bentuk ayam jantan yang diartikan sebagai keuletan dan keberanian, agar
kehidupan dalam rumah senantiasa dalam keadaan baik dan membawa keberuntungan.
Ornamen corak alam, umumnya bermotifkan kaligrafi dari kebudayaan Islam.
Penempatan ragam hias ornamen tersebut pada sambulayang/timpalaja, jendela, anjong, dan
lain-lain. Penggunaan ragam hias ornamen tersebut menandakan bahwa derajat penghuninya
tinggi.
Dalam arsitektur Bugis, terdapat beberapa ritme atau irama dalam suatu rumah bugis,
diantaranya:
1. Pembagian ruang baik secara vertical maupun secara horizontal.
a. Pembagian ruang secara vertical meliputi:
1) Rakeang, bagian atas rumah di bawah atap, terdiri dari loteng dan atap rumah yang
dipakai untuk menyimpan padi dan lain persediaan pangan serta benda-benda
pusaka. Selain itu karena letaknya agak tertutup sering pula digunakan untuk
menenun dan berdandan.
2) Alo-bola (alle bola), terletak antara lantai dan loteng ruang dimana orang tinggal
dan dibagi-bagi menjadi ruang-ruang khusus, untuk menerima tamu, tidur, makan,
3) Awaso, kolong rumah yang terletak di bagian bawah antara lantai dengan tanah atau
bagian bawah lantai panggung yang dipakai untuk menyimpan alat-alat pertanian
dan ternak.
b. Pembagian ruang secara horizontal atau bagian dalam rumah, meliputi:
1) Lontang risaliweng (ruang depan), Sifat ruang semi private, berfungsi sebagai
tempat menerima tamu, tempat tidur tamu, tempat bermusyawarah, tempat
menyimpan benih dan tempat membaringkan mayat sebelum dikebumikan. Ruang
ini adalah ruang tempat berkomunikasi dengan orang luar yang sudah diijinkan
untuk masuk. Sebelum memasuki ruang ini orang luar diterima lebih dahulu di
ruang transisi (tamping).
2) Lontang retengngah (latte retengngah) atau ruang tengah. Sifat ruang private,
berfungsi untuk tempat tidur kepala keluarga dan anak-anak yang belum dewasa,
tempat makan, melahirkan. Pada ruang ini sifat kekeluargaan dan kegiatan
informal dalam keluarga amat menonjol.
12
3) Lontang rilaleng (latte rilaleng), sifat sangat private. Fungsi ruang ini untuk tempat
tidur anak gadis atau nenek/kakek. Anggota keluarga ini dianggap sebagai orang
yang perlu perlindungan dari seluruh keluarga.
Gbr. Pembagian ruangan Rumah tradisional Bugis.
2. Penempatan pintu dan jendela
Dinding terbuat dari kayu yang disusun secara Salah satu bukaan yang terdapat pada
dinding depan ialah pintu (babang/tange). Fungsinya adalah untuk jalan keluar/masuk
rumah. Tempat pintu biasanya selalu diletakkan pada bilangan ukuran genap, misalnya
ukuran rumah 7 (tujuh depa) maka pintu harus diletakkan pada depa yang ke 6 (enam) atau
ke 4 (empat) diukur dari kanan rumah. Bila penempatan pintu ini tidak tepat pada bilangan
genap, dapat menyebabkan rumah mudah untuk dimasuki pencuri atau penjahat.
Jendela (tellongeng). Fungsinya adalah bukaan pada dinding yang sengaja dibuat untuk
melihat keluar rumah dan juga berfungsi sebagai ventilasi udara ke dalam ruangan.
Peletakannya biasanya pada dinding diantara dua tiang. Pada bagian bawahnya biasanya
diberi tali atau penghalang (Sumintardja, 1981). Untuk memperindah biasanya
ditambahkan hiasan berupa ukiran sebagai hiasan atau terali dari kayu dengan jumlah
bilangan ganjil. Jumlah terali dapat menunjukkan status penghuninya. Jika jumlah terali 3-5
menunjuukan rakyat biasa dan jika 7-9 menunjukkan rumah bangsawan.
3. Ragam hias
Ragam hias bangunan arsitektur Bugis umumnya bersumber dari alam sekitar, biasanya
berupa flora, fauna dan tulisan huruf Arab atau kaligrafi.
13
F. PROPORSI
Proporsi adalah skala perbandingan panjang, lebar, dan tinggi bangunan. Proporsi yang baik
dari suatu bangunan umumnya adalah mutu yang dimiliki oleh bangunan itu, yang sanggup
memberikan impressi menyenangkan, yaitu adanya skala perbandingan panjang lebar dan tinggi
yang serasi. Prinsip proporsi yang baik adalah syarat skala. Proporsi yang baik adalah syarat untuk
mendapatkan skala yang baik pula. Skala dalam arsitektur adalah nilai-nilai dari konsepsi yang
ditangkap oleh yang melihatnya dari ukuran yang sesunggunya.
Orang Bugis membangun rumah tanpa gambar. Pembangunan rumah dilaksanakan oeh Panrita
Bola (ahli rumah) dan Panre Bola (tukang rumah). Panrita Bola menangani hal-hal yang bersifat
spiritual, adat dan kepercayaan. Sedang Panre Bola mengerjakan hal-hal bersifat teknis, mengolah
bahan kayu menjadi komponen struktur sampai rumah berdiri dan siap dihuni.
Sistem struktur dan konstruksi rumah terdiri atas lima komponen: (1) rangka utama (tiang dan
balok induk), (2) konstruksi lantai, (3) konstruksi dinding, (4) konstruksi atap, (5) konstruksi
tangga. Semuanya dibuat dengan sistem knock down. Tiang, balok induk, dan tangga dibuat dari
kayu kelas satu, sedang komponen konstruksi lainnya dibuat dari kayu kelas dua.
Pekerjaan biasanya dimulai dengan membuat Posi Bola (pusar rumah), sebuah tiang yang
dianggap sebagai simbol 'perempuan', ibu yang mengendalikan kehidupan di dalam rumah. Jumlah
tiang rumah tergantung pada besarnya rumah, biasanya 20 tiang (5x4 baris tiang) atau 30 tiang (5x6
baris tiang). Jumlah tiang menunjukkan status sosial penghuni. Semakin banyak tiangnya semakin
tinggi status sosial pemilik rumah. Rumah raja (sao raja), istana raja biasanya memiliki tiang 40
buah atau lebih.
Dalam pembangunan rumah Bugis, ukuran panjang, lebar dan tinggi rumah selalu dihubungkan
dengan bagian-bagian badan manusia. Hal ini didasari oleh pandangan bahwa rumah merupakan
refleksi dari wujud manusia. Ia mempunyai kepala (ulu-bola), badan (ale-bola), pusar (posi-bola),
dan kaki (aje-bola). Ukuran rumah juga dianggap berpengaruh terhadap nasib dan keberuntungan
penghuninya. Namun demikian, tidak ada keharusan menuruti suatu pedoman tunggal dalam
menetapkan ukuran rumah. Ukuran biasanya diserahkan kepada pemilik rumah untuk menetapkan
sendiri ukuran yuang diinginkan.
Ukuran rumah selalu dibuat dalam bilangan ganjil, misalnya sebuah rumah diberi ukuran:
panjang = 9 reppa suami, lebar = 7 reppa isteri, dan tinggi lantai dari tanah = 1,5 tinggi badan
suami, tinggi rakkeang dari lantai = 1,5 tinggi badan isteri.
Disamping ukuran-ukuran yang ganjil yang bersifat umum tersebut, juga dikenal adanya
ukuran-ukuran spesifik yang dipercaya bias memberi pengaruh baik kepada si penghuni rumah.
14
Untuk membuat ukuran yang spesifik, biasanya ukuran umum dalam reppa itu ditambah atau
dikurangi dengan jengkal atau jari.
G. HARMONI
Harmoni dari bentuk arsitektur adalah persoalan yang lebih sulit. Harmoni adalah nilai-nilai
yang diciptakan penuh kejujuran sesuai dengan material struktur yang digunakan. Selain dari bahan
bangunan, harmoni juga menciptakan keselarasan antara bangunan Yang satu dengan bangunan
yang lain. Arsitektur bugis khususnya dalam pembangunan rumah adat jika dilihat dari segi
harmoni sangatlah diperhatikan. Contoh yang paling signifikan saat melakukan pemilhan bahan
bangunan dari kayu dimulai dari ma’baang atau menebang pohon di hutan. Semua itu tidak
dilakukan secara sembarang, tidak sembarang pohon yang akan digunakan sebagai bahan pembuat
bangunan.
Pada umumnya rumah tradisional Bugis Makassar berbentuk panggung dengan penyangga
terdiri dari 4 buah tiang. Secara vertikal terdiri atas tiga bagian yaitu: Rakkeang/Pammakkang,
terletak pada bagian atas, di sini melekat plafond tempat atap menaungi, penyimpanan padi sebagai
lambang kehidupan dan tempat atribut adat disimpan.
Ale bola/kale balla, terletak pada bagian tengah, di mana sebuah tiang ditonjolkan di antara
tiang tiang lainnya, yang terbagi atas beberapa petak dengan fungsinya masing-masing.
Awaso/siring, terletak pada bagian bawah, sebagai tempat penyimpanan alat cocok tanam, ternak,
alat bertukang dan lain lain. Sedang secara horisontal ruangan dalam rumah terbagi atas tiga bagian
yaitu: Lontang ri saliweng/padaserang dallekang, letaknya di ruang bahagian depan. Lontang ri
tengnga/padaserang tangnga, terletak di ruang bahagian tengah. Lontang ri laleng /padaserang
riboko, terletak di ruang bahagian belakang.
Selain ruang ruang tersebut, masih ada lagi tambahan di bagian belakang annasuang atau
appalluang, dan ruang samping yang memanjang pada bagian samping yang disebut tamping, serta
ruang kecil di depan rumah yang disebut lego-lego atau paladang.
H. KLIMAKS (AKSEN)
Klimaks atau aksentuasi adalah penekanan pada titik tertentu dari bangunan, atau dengan kata
lain bagian dari bangunan yang dibuat lebih menarik dari yang lainnya. Klimaks dapat dibut lebih
15
dari satu, dan dapat juga berada pada tiap-tiap tampak. Dalam praktek, titik-titik perhatian itu dapat
diciptakan melalui penekanan patung-patung, atau tanaman-tanaman, atau juga melalui perubahan-
perubahan pemakaian bahan, atau adanya bayangan gelap secara tiba-tiba dari bangunan itu, atau
dengan penggunaan warna-warna tertentu.
Ragam hias ornamen pada rumah tradisional Bugis dan Makassar merupakan salah satu
bagian tersendiri dari bentuk dan corak rumah tradisional Bugis dan Makassar. Selain berfungsi
sebagai hiasan, juga dapat berfungsi sebagai simbol status pemilik rumah. Rumah bugis memiliki
keunikan tersendiri, dibandingkan dengan rumah panggung dari suku yang lain ( sumatera dan
kalimantan ). Bentuknya biasanya memanjang ke belakang, dengan tanbahan disamping bangunan
utama dan bagian depan orang bugis menyebutnya lego – lego.
Rumah tradisional Bugis juga memiliki klimaks atau aksen diantaranya adalah:
1. Pemberian hiasan atau ukiran pada pintu dan jendela. Ukiran pada pintu terdapat pada ambang
atas pintu Dan daun pintu, sedang pada jendela terdapat pada ambang atas dan bawah serta daun
jendela.
2. Ukiran pada balok arateng dan pattoloq. Pemberian ukiran pada balok Arateng dan balok
pattoloq biasanya di setiap ujung balok yang berfungsi untuk memperindah setiap ujung balok
yang kelihatan.
3. Ukiran pada atap. Ukiran yang ditempatkan di puncak atap disebut Anjong yang mencerminkan
status sosial pemilik rumah. Anjong merupakan ukiran berpola bentuk naga atau ayam jantan
yang dipadukan dengan pola bunga parenreng.
4. Pemasangan terali (balok kayu atau papan) di lego-lego atau teras rumah dan sebagian juga
pada tangga yang dibentuk sedemikian rupa menjadi terali yang indah.
I. EKSPRESI FUNGSIONAL
Ekspresi erat hubungannya dengan harmoni dan langgam, namun makna psikologisnya lebih
mendalam berdasar pada tuntutan jiwa manusia dalam usahanya mencari nilai-nilai estetika.
Secara konsepsual arsitektur, masyarakat tradisional Bugisberangkat dari suatu pandangan
hidup ontologis, memahami alam semesta secara universal. Filosofi hidup masyarakat tradisional
Bugis Makassar yang disebut sulapa appa, menunjukkan upaya untuk menyempurnakan diri, filosofi
ini menyatakan bahwa segala aspek kehidupan manusia barulah sempurna jika berbentuk segi empat,
yang merupakan mitos asal kejadian manusia yang terdiri dari empat unsur, yaitu: tanah, air, api, dan
angin.
Bagi masyarakat tradisional Bugis Makassar yang berpikir secara fotolitas, rumah tradisional
Bugis Makassar dipengaruhi oleh: Struktur kosmos, di mana alam terbagi atas tiga bagian yaitu alam
16
atas sebagai tempat suci, alam tengah, sebagai tempat berlangsungnya kehidupan manusia, dan alam
bawah, tempat terjadinya interaksi dengan lingkungan sekitar dan makhluk hidup lainnya.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam prosesi mendirikan rumah antara lain: meminta
pertimbangan dari panrita bola untuk mencari tempat dan arah yang dianggap baik. Beberapa wasiat
dalam hal menentukan arah rumah yaitu: sebaiknya menghadap kearah terbitnya matahari,
menghadap kedataran tinggi, dan menghadap ke salah satu arah mata angin.
Selain itu salah satu faktor pertimbangan lain yang perlu diperhitungkan adalah pemilihan
waktu untuk mendirikan rumah. Adapun hari ataupun bulan yang baik biasanya ditentukan atas
bantuan orang-orang yang memiliki kepandaian dalam hal memilih waktu.
Untuk pendirian rumah, biasanya didahului oleh upacara ritual, yang pada tahap selanjutnya
secara berurutan mulai mendirikan rumah dengan mengerjakan tiang pusat rumah (posi'bola) terlebih
dahulu, menyusul tiang tiang yang lain, hingga pekerjaan secara keseluruhan selesai dikerjakan.
Rumah orang Bugis terdiri dari tiga bagian. Ketiga bagian itu adalah Awa Bola, Ale Bola,
dan Rakkeang. Konstruksi ini bagi orang Bugis memiliki nilai mitis. Dan bila didekati dalam konsep
struktural rumah tradisional Bugis, maka secara struktural fungsional dipahami sebagai berikut:
Pandangan kosmologis suku Bugis mengganggap bahwa makrokosmos (alam raya) ini bersusun tiga
tingkat yaitu: Boting langi’ (dunia atas), Ale Kawa (dunia tengah), dan Uri liyu (dunia bawah), dan
segala pusat dari ketiga bagian alam ini adalah Boting langi’ (langit tertinggi) tempat Dewata
SeuwaE (Tuhan Yang Maha Kuasa) bersemayam. Pandangan ini diwujudkan dalam bangunan
rumahnya yang dipandang sebagai mikrokosmos.
I. GAYA (LANGGAM)
Gaya dalam arsitektur lebih banyak berarti corak, sifat, atau langgam. Corak atau langgam ini
dibatasi oleh :
a. Menurut periode waktu dan negaranya
b. Menurut bentuknya
Berbicar tentang gaya atau langgam dalam arsitektur, juga tidak dapat dipisahkan
dengan aliran-aliran sejarah dan perkembangan arsitektur, adapun aliran-aliran sejarah
arsitektur tersebut antara lain aliran klasik (Arsitektur Klasik) Neo klasik, Tradisianal ( Vernacular ),
Elektisme, Fungsionalisme, kubisme, futurism, brutalisme, monumental, metabilosme, neo
vernacularisme, dan modern kontemporer.
17
Ragam hias ornamen pada rumah tradisional Bugis merupakan salah satu bagian tersendiri
dari bentuk dan corak rumah tradisional Bugis. Selain berfungsi sebagai hiasan, juga dapat berfungsi
sebagai simbol status pemilik rumah. Ragam hias umumnya memiliki pola dasar yang bersumber
dari alam flora dan fauna.
Ragam hias fauna biasanya berupa ayam jantan, kepala kerbau dan bentuk ular naga. Ragam
hias kepala kerbau melambangkan kekayaan dan status sosial. Biasanya ditempatkan pada pucuk
depan atau belakang bubungan untuk rumah bangsawan. Ragam hias naga atau ular besar
melambangkan kekuatan yang dahsyat. Biasanya ditempatkan pada pucuk bubungan atau induk
tangga. Ayam jantan dalam bahasa Bugis disebut manuk yang berarti baik-baik. Selain itu juga
sebagai simbol keberanian. Biasanya ditempatkan di puncak bubungan rumah bagian depan atau
belakang.
Gbr. Contoh ragam hias ayam jantang ( manuk )
Ragam hias flora yang berupa sulur-sulur bunga yang menjalar biasanya menggunakan teknik
pahat tiga dimensi yang membentuk lobang terawang. Bentuk demikian selain makin menampakkan
keindahan karena adanya efek pencahayaan yang dibiaskan juga dapat menyalurkan angin dengan
baik
Ornamen corak tumbuhan, umumnya bermotifkan bunga/kembang, daun yang memiliki arti
rejeki yang tidak putus putusnya, seperti menjalarnya bunga itu, di samping motif yang lainnya.
Ornamen corak binatang, umumnya bentuk yang sering ditemukan adalah: kepala kerbau yang
disimbolkan sebagai bumi yang subur, penunjuk jalan, bintang tunggangan dan status sosial. Bentuk
naga yang diartikan simbol wanita yang sifatnya lemah lembut, kekuatan yang dahsyat. Bentuk
ayam jantan yang diartikan sebagai keuletan dan keberanian, agar kehidupan dalam rumah
senantiasa dalam keadaan baik dan membawa keberuntungan.
18
Ornamen corak alam, umumnya bermotifkan kaligrafi dari kebudayaan Islam. Penempatan
ragam hias ornamen tersebut pada sambulayang/timpalaja, jendela, anjong, dan lain-lain.
Penggunaan ragam hias ornamen tersebut menandakan bahwa derajat penghuninya tinggi.
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
Karya seni tidak hanya menghasilkan sesuatu yang indah tetapi memiliki makna simbolis dan
fungsional di dalamnya. Hal tersebut nampak pada konstruksi rumah Bugis. Di mana nilai idea
direpresentasikan ke dunia riil sebagai wujud pemaknaan akan hidup yang religius dan memberikan
manfaat pada pelaku seni tersebut. Bangunan rumah tersebut dibuat tidak hanya memberi fungsi tetapi
juga memberi nilai estetik yang pada dasarnya merupakan bentuk prilaku spiritual para pemiliknya. Hal
tersebut terlihat pada bagaimana mereka membuat ruang sesuai dengan pandangan kosmologis mereka.
Rumah Bugis dibangun memiliki makna simbolis yang sangat kuat, di mana konstruksi rumah dibangun
dalam tiga ruang yang mewakili tiga makna. Makna yang diwakili tersebut merupakan cerminan akan
tiga dunia yang diyakini manusia Bugis, yaitu dunia atas, dunia tengah dan dunia bawah. Sedangkan
secara fungsional, rumah Bugis memiliki fungsi yang menjelaskan bagaimana kehidupan itu harus
19
dibangun dan sosialitas mereka terhadap keluarga, masyarakat dan lingkungan mereka. Fungsi ruang-
ruang dalam rumah Bugis juga mewakili konsep kosmologis mereka. Orang Bugis memandang rumah
tidak hanya sekedar tempat tinggal tetapi juga sebagai ruang pusat siklus kehidupan. Tempat manusia
dilahirkan, dibesarkan, kawin, dan meninggal. Karena itu, membangun rumah haruslah didasarkan
tradisi dan kepercayaan yang diwarisi secara turun temurun dari leluhur.
Analisis simbolis yang dilakukan dalam melihat karya seni berupa rumah Bugis tersebut sangat
membantu dalam mengungkap idea sebuah karya seni. Rumah Bugis yang dilihat dari pendekatan
simbolis telah memberi gambaran yang lebih komprehensif tentang bagaimana sebuah karya seni
dinilai. Karya seni tidak hanya dinilai dari segi keindahan semata, tetapi penilaian tersebut sepatutnya
pula melihat makna dibalik mengapa sebuah karya seni dibuat. Dan hal demikian menjadi padu dalam
karya seni orang Bugis berupa rumah panggung. Di mana unsur estetika nampak dan makna-makna
simbolis juga sangat kuat di dalamnya.
20