Upload
nurul-mahfuzah
View
215
Download
13
Embed Size (px)
Citation preview
MAKALAH
TEORI HUKUM DAN KONSTITUSI
FAKTOR-FAKTOR MENGIKATNYA HUKUM KONSTITUSI
Dosen Pembimbing :
Drs. Zainul Akhyar, M.H
Disusun Oleh : kelompok 7
Ma’al Abrar (A1A210024)Ni Made Tria Monica (A1A210011)Nurul Mahfuzah (A1A210025)Syaipullah (A1A209 )
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2013
FAKTOR-FAKTOR DAYA IKAT KONSTITUSI
Yang dimaksud faktor disini adalah sebab-sebab warga negara bersedia untuk
taat kepada konstitusi. Terdapat tiga jalur pendekatan untuk menjawab faktor-faktor
diatas bagi warga negara untuk mentaati konstitusi, yaitu pendekatan jalur hukum,
politik, dan moral.
Warga negara adalah penduduk sebuah negara atau bangsa yang berdasarkan
keturunan, tempat kelahiran, dan atau orang-orang lain (bangsa lain) yang disahkan
dengan undang-undang sebagai warga negara yang mempunyai kewajiban dan hak
penuh sebagai seorang warga negara dalam suatu negara tertentu. Negara adalah
suatu susunan kelas atau organisasi satu kelas yang terdiri atas kelas-kelas lain.
Definisi lainnya adalah satu-satunya organisasi yang mengatasi kelas-kelas dan
mewakili masyarakat sebagai suatu keutuhan.
Tiga jalur pendekatan mengenai faktor-faktor ketaatan warga negara terhadap
konstitusi:
A. Pendekatan dari Aspek Hukum
Hukum sebagai pengaturan perbuatan-perbuatan menusia oleh kekuasaan
dikatakan sah bukan hanya dalam keputusan melainkan juga dalam pelaksanaannya
sesuai dengan hukum harus sesuai dengan hukum kodrati 9ideologi dan pengayom
rakyat).
Dalam pelaksanaannya hukum dapat dipaksakan daya berlakunya oleh
aparatur negara untuk menciptakan masyarakat yang damai, tertib dan adil. Terhadap
perilaku manusia, hukum menuntut manusia agar melakukan perbuatan yang lahir
sehingga manusia terikat pada norma-norma hukum yang berlaku dalam masyarakat
negara. Walaupun hukum dalam bentuk hukum positif daya berlakunya terikat oleh
ruang dan waktu.
Titik taut antara hukum dengan konstitusi diatas adalah menurut K.C. Wheare,
kalau berangkat dari aliran positivisme hukum maka konstitusi itu mengikat, karena
ia ditetapkan oleh badan yang berwenang membentuk hukum dan konstitusi itu dibuat
untuk dan atas nama rakyat (yang di dalamnya sarat dengan ketentuan sanksi yang
diatur lebih lanjut dalam undang-undang organik).
Jika dilihat dari prinsip-prinsip wawasan negara berdasar atas hhukum
(rechtsstaat) sebagaimana dikatakan oleh Zippelius, konstitusi merupakan alat untuk
membatasi kekuasaan negara. Prinsip-prinsip ini mengandung jaminan terhadap
ditegakanya hak-hak asasi, adanya pembagian kekuasaan dalam negara,
penyelenggaraan yang didasarkan pada undang-undang dan adanya pengawasan
yudisial terhadap penyelenggaraan pemerintah tersebut atau dikenal dengan Prinsip
Wawasan Negara Hukum.
Berarti berbicara tentang esensi hukum positif, wawasan negara berdasarkan
atas hukum (rechsstaat), inklusif di dalamnya pemahaman tentang konstitusi sebagai
dokumen formal yang terlembagakan oleh alat-alat negara dan sekaligus sebagai
hukum dasar yang tertinggi. Bila demikian halnya maka konstitusi akan selalu
mengikat seluruh warga negara.
B. Pendekatan dari Aspek Politik
Dua hal menarik dalam pendekatan dari aspek politik yaitu pernyataan hukum
sebagai produk politik dan bagaimana hubungan hukum dengan kekuasaan.
Menurut Mulyana W. Kusuma hukum sebagai sarana kekuasaan politik
menempati posisi yang lebih dominan dibandingkan dengan fungsi lain. Salah satu
indikasinya adalah negara sebagai suatu organisasi kekuasaan/kewibawaan,
mempunyai kompetensi untuk menciptakan keadaan di mana rakyatnya dapat
memenuhi kebutuhan - kebutuhannya secara maksimal. Dalam kerangka pelaksanaan
kekuasaan inilah tindakan pemerintah dalam suatu negara perlu dibatasi dengan
konstitusi, walaupun dalam praktik kenegaraannya kadang-kadang hukum sering
disimpangi dengan dalih politik.
Van Apeldoorn dalam hubungannya “hukum dan kekuasaan” menyatakan
bahwa banyak orang yang mengikuti pendapat bahwa hukum adalah identik dengan
kekuasaan. Padahal sebenarnya tidak semua kekuasaan adalah hukum, karena
kaduanya tidak mempunyai arti yang satu. Memang hhukum mendekati pengertian
kekuasaan, dikarenakan negara harus diberi kekuasaan untuk menegakkan hukum.
Sebaba tanpa kekuasaan hukum hanya akan merupakan kaidah sosial yang berisikan
anjuran dan sebaliknya kekuasaan sendiri akan ditentukan batas-batasnya oleh
hukum.
Pengikut paham hukum adalah kekuasaan adalah :
Kaum Shopis (Yunani), berpendapat bahwa keadilan adalah apa yang berfaedah
bagi orang yang lebih kuat.
Kaum Lassalie, bependapat bahwa konstitusi suatu negara bukanlah UUD yang
tertuli yang hanya merupakan secarik kertas melainkan juga merupakan
hubungan-hubungan kekuasaan yang nyata dalam suatu negara. Hanya sebagai
kekucualian dan dalam keadaan luar biasa (revolusi) para pekerja dan orang
kecil merupakan bagian dari konstitusi.
Kaum Gumplowics, berpendapat bahwa berdasar atau penaklukan yang lemah
oleh yang kuat, hukum adalah susunan definisi yang dibentuk oleh pihak yang
kuat untuk mempertahankan kekuasaanya.
Pengikut aliran positivisme, berpendapat bahwa kepatuhan kepada hukum tidak
lain dari tunduknya orang yang lebih lemah pada kehendak yang lebih kuat,
sehingga hukum merupakan hak orang terkuat.
Melalui pendekatan politis maka hukum adalah produk politik yang
menjadikan badan konstituante (lembaga lain yang ditunjuk) sebagai badan perumus
dan pembuat konstitusi suatu negara, kemudian peran itu dilanjutkan oleh lembaga
legislatif sebagai pembuat undang-undang. Proses yang dilakukan oleh kedua badan
ini merupakan kristalisasi dan atau proses politik. Sehingga produk politik yang
berupa konstitusi atau segala macam peraturan perundang-undangan mempunyai
daya ikat pemberlakuannya oleh warga negara. Kemudian hubungan hukum dan
kekusaaan telah terimplementasikan dalam konstitusi baik dalam pengertian hukum
dasar tertuli dan hukum dasar tidak tertulis, yang pada dasarnya telah membatasi
tindakan penguasa yang mempunyai kewenangan memaksa warga negara untuk
mentaatinya.
C. Pendekatan dari Aspek Moral
Moral adalah pengaturan perbuatan manusia sebagai manusia ditinjau dari
baik buruknya di pandang dari hubunganya dengan tujuan akhir hidup manusia
berdasarkan hukum kodrati. Moral tidak dapat dipaksakan dalam pelakasanaannya.
Moral menutut untuk mematuhi penyerahan diri secara mutlak dan tidak mengenal
tawar-menawar, menuntut ketaatan secara mutlak serta tidak melembaga. Tetapi
moral tidak mengenal aparat atau sarana untuk menuntut pelaksanaan apa yang
diminta olehnya. Moral tidak hanya menunut perbuatan lahiriah manusia malinkan
juga sikap batin manusia. Manusia secara total sebagai pribadi maupun sebagai
mahkluk sosial yang tunduk kepada norma moral.
Menurut Paul Scholten keputusan moral adalah otonom/teonom. Yang
dimaksud teonom adalah hukum anadi, yakni kehendak ilahi yang mengarahkan
segala ciptaan-Nya ke arah tujuan mereka, sebagai landasan yang terdalam dari
segala hukum dan peraturan. Dalam moral dikenal sanksi tapi tidak bersifat lahiriah
melainkan batiniah, seperti rasa malu, menyesal, tidak tenang dan tidak tenteram.
Disinilah esensi dari tujuan moral yaitu untuk mengatur hidup manusia sebagai
manusia, tanpa pandang bulu, suku, agama dan ras. Moral tidak terikat pada waktu
tertentu dan juga tidak tergantung pada tempat tertentu.
Otoritas konstitusi jika dipandang dari segi moral sama halnya dengan
pandangan aliran hukum alam, yaitu mempunyai daya ikat terhadap warga negara,
karena penetapan konstitusi juga didasarkan pada nilai-nilai moral dan fundamental
yang tidak boleh bertentang dengan nilai-nilai universal dari erika moral.
Menurut K.C. Wheare konstitusi mengklaim diri mempunyai otortitas dengan
dasar moral. William H. Hewet dalam pendiriannya menyatakan bahwa masih ada
hukum yang lebih tinggi diatas konstititusi yaitu moral karena moral mempunyai
otoritas untuk memerintah seperti halnya semua hukum dapat memerintah suatu
komunitas untuk mentaatinya. Adapun teori moral yang digunakan untuk
mendefinisikan ketaatan terhadap hukum yang berlaku pula bagi konstitusi. Jadi
secara constitutional phylosophy jika aturan konstitusi bertentangan dengan etika
moral, ia dapat disampingi.
Menurut Baharuddi Lopa mengenai kaitannya dengan sikap patuh masyarakat
terhadap konstitusi, bahwa kepatuhan kepada hukum, bisa disebabkan karena adanya
faktor “ keteladanan dan rasio”. Pola keteladanan itu dapat dipakai bahkan efektif
berlakunya apabila lapisan atas (suprastruktur) mempunyai loyalitas yang tinggi
terhadap hukum dan berakhlak mulia sebab bila tidak akan berbahaya. Sementara
arus bawah (lapisan bawah/infrastuktur) dapat terbawa-bawa mengiktui apa saja yang
dilihat dari perilaku atasanya. Atau bisa saja menjadi ‘sikap berontak’ akibat
pemasungan struktural yang dikondidikannya. Visi keteladanan ini sejalan dengan
misi Kerasulan Muhammad SAW ke dunia ini untuk memakmurkan bumi dan
memberi contoh keteladanan ‘akhlak yang mulia’ (al-Hadis).
DAFTAR PUSTAKA
Minarty. 2009. Faktor-Faktor Daya Ikat Konstitusi. (diakses tanggal 17 Februari
2013). From: http://minarty.multiply.com/journal/item/7 .
Thaib, Dahlan. 1999. Teori dan Hukum Konstitusi. Jakarta: PT. Raja grafindo
persada.