Upload
fandy-sipata
View
72
Download
8
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Study of SFT
Citation preview
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia dengan penduduk yang tersebar
luas dan wilayah yang terdiri dari banyak pulau
membutuhkan jaringan transportasi yang baik dan
tepat untuk menghubungkan pulau-pulau yang ada
di dalam wilayahnya agar setiap penduduk mudah
dalam menjalankan aktifitasnya. Selain itu,
ketersediaan infrastruktur sebagai faktor
pendukung dalam trasportasi adalah keharusan.
Saat ini di dunia, infrastruktur transportasi yang
berfungsi sebagai penghubung antar tempat adalah
jembatan konvensional yang berada di atas
permukaan air atau inmerge dan tunnel
underground. Keduanya baik dari segi pengerjaan
maupun biaya membutuhkan waktu pengerjaan
yang cukup lama dan biaya yang tidak murah.
Oleh karena itu, muncul sebuah ide baru dalam
dunia Teknik Sipil untuk membuat suatu jembatan
penyeberangan yang berbeda dengan jembatan
yang telah ada di dunia. Ide baru tesebut adalah
jembatan dengan sistem SFT (Submerge Floating
Tunnel) atau terowongan layang bawah air.
Struktur jembatan dengan sistem SFT
merupakan struktur yang belum pernah dibuat di
dunia. Beberapa negara masih melakukan
penelitian tentang struktur ini, salah satunya adalah
Indonesia. Beberapa negara lain yang juga sedang
melakukan penelitian tentang struktur ini
diantaranya adalah Norwegia, Italia, Jepang dan
Cina. Struktur jembatan dengan sistem SFT
merupakan pengembangan dari infrastruktur yang
telah lama ada.
Secara umum sistem ini mendapatkan
bantuan kekuatan dari pengaruh uplift (gaya
apung) akibat berada di dalam air sehingga sistem
ini memiliki kelebihan dibandingkan dengan
jembatan inmerge dan tunnel underground karena
gaya uplift tersebut akan dijadikan alat bantu untuk
menghilangkan lendutan ke bawah tunnel SFT
akibat berat sendirinya. Dari segi volume
pengerjaan, SFT tidak memiliki volume terlalu
banyak karena tidak perlu membuat tiang pancang
seperti pada jembatan inmerge.
Pada sistem ini akan digunakan kabel
dengan sistem mooring untuk memperkaku posisi
tunnel SFT di dalam laut. Bentuk dan susunan
kabel yang akan digunakan sangat mempengaruhi
perilaku struktur SFT. Pada dasarnya bentuk dan
susunan kabel tersebut harus kuat menahan gaya
uplift yang terjadi pada struktur akibat berada
dalam air laut dan kuat menahan struktur agar tidak
terlalu bergoyang ketika menerima beban
gelombang dan arus air laut yang terjadi secara
terus menerus. Oleh karena itu, perlu dilakukan
studi atau penelitian tentang konfigurasi kabel
tersebut untuk mendapatkan bentuk dan susunan
yang paling efektif bagi struktur SFT. Ada 6
(enam) bentuk dan susunan kabel yang sedang
diteliti oleh negara-negara yang ikut meneliti
tentang SFT ini, dimana keenam bentuk tersebut
dibuat oleh seorang peneliti dari Jepang yang
bernama Profesor Maeda (Maeda, 1994). Keenam
bentuk kabel tersebut telah menjadi acuan bagi
seluruh negara peneliti struktur SFT untuk mencari
bentuk dan susunan kabel yang paling efektif.
Selain dari keenam konfigurasi tersebut, terdapat
gagasan lain untuk membuat konfigurasi kabel
yang sama dengan jembatan kabel konvensional,
tapi Indonesia sebagai salah satu negara yang ikut
meneliti sistem ini hanya ingin meneliti
konfigurasi kabel yang telah dibuat oleh Profesor
Maeda (Maeda, 1994).
Indonesia sebagai salah satu negara yang
ikut dalam penelitian SFT berencana membangun
SFT tersebut sebagai penghubung antara Pulau
Panggang dan Pulau Karya di Kepulauan Seribu
dengan bentang 150 meter.
1.2. Rumusan Masalah
Agar tujuan dari penelitian yang dilakukan
yaitu tentang konfigurasi kabel pada Submerged
Floating Tunnel dapat terlaksana dengan baik
maka dibuat rincian permasalahan yang diuraikan
sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi perairan/lingkungan dari 2
(dua) pulau yang akan dihubungkan dengan
SFT.
2. Beban-beban apa saja yang akan terjadi dan
bagaimana menghitung beban-beban tersebut
pada struktur SFT.
3. Bagaimana memodelkan SFT dengan bantuan
finite element software.
4. Bagaimana kelakuan dinamis kabel dan gaya-
gaya dalam pada struktur SFT saat menerima
beban hidrodinamik dan berat sendiri.
5. Bagaimana konfigurasi kabel yang paling
efektif pada struktur SFT
1.3. Tujuan
Tujuan umum dari penelitian ini adalah
mencari bentuk dan susunan kabel yang paling
cocok, aman dan ekonomis bagi Submerged
Floating Tunnel (SFT) yang merupakan alternatif
sarana transportasi antar pulau, dengan rincian
tujuannya adalah sebagai berikut:
3
1. Mengetahui kondisi perairan/lingkungan dari
2 (dua) pulau yang akan dihubungkan dengan
SFT
2. Mengetahui beban-beban yang terjadi pada
struktur SFT.
3. Membuat pemodelan struktur SFT dengan
bantuan finite element software.
4. Menganalisa kelakuan dinamis dan gaya-gaya
dalam pada struktur SFT akibat menerima
beban hidrodinamik dan berat sendiri.
5. Mengetahui konfigurasi kabel yang paling
efektif pada struktur SFT.
1.4. Batasan Masalah
Penelitian SFT (Submerged Floating
Tunnel) ini sangatlah luas, maka dari itu agar
diperoleh hasil yang lebih akurat, perlu diberikan
batasan-batasan dalam menganalisa masalah.
Batasan masalah dari penelitian ini adalah:
1. Studi ini menggunakan peraturan SNI
(Standar Nasional Indonesia)/BMS (Bridge
Management System), Peraturan Beton
Indonesia 1971 (PBI 1971) dan API
(American Petroleum Institute).
2. Studi ini merupakan studi kasus dengan
menempatkan SFT di Kepulauan Seribu,
sehingga kondisi lingkungan yang dipakai
adalah kondisi lingkungan di Kepulauan
Seribu yaitu perairan antara Pulau Panggang
dan Pulau Karya.
3. Riset mengenai SFT (Submerged Floating
Tunnel) dilakukan secara kelompok sehingga
dalam studi tentang konfigurasi kabel ini
beban gempa tidak dimasukkan dalam
penelitian ini.
4. Hanya dilakukan studi konfigurasi kabel hasil
modifikasi dari 6 (enam) konfigurasi kabel
yang telah dibuat oleh Profesor Maeda
(Maeda, 1994) sehingga studi konfigurasi
kabel yang sama dengan konfigurasi kabel
pada jembatan kabel konvensional tidak
dimasukkan dalam penelitian ini.
5. Tidak dilakukan desain dan analisis perletakan
pada bentang tunnel SFT serta tidak dilakukan
juga analisa dinamis pada dinding tunnel SFT
pada studi ini.
1.5. Manfaat
Penelitian dengan judul “Studi Konfigurasi
Kabel pada Submerged Floating Tunnel (SFT)” ini
merupakan penelitian yang diharapkan dapat
meningkatkan daya saing dan mutu mahasiswa di
Indonesia khususnya mahasiswa ITS (Institut
Teknologi Sepuluh Nopember) Surabaya agar
sejajar di tingkat internasional. Penelitian
mengenai SFT ini masih jarang dilakukan sehingga
pemikiran-pemikiran yang inovatif perlu dilakukan
agar penelitian ini berhasil dengan baik. Hasil
penelitian ini dikhususkan juga untuk menambah
referensi bagi mahasiswa di bidang Teknik Sipil
bahwa jembatan tidak hanya yang konvensional
saja, tetapi juga ada inovasi baru dengan membuat
terowongan melayang sebagai jembatan antar
pulau. Selain itu penelitian ini juga dapat
meningkatkan pengetahuan penulis dalam
menganalisa struktur yang berada pada daerah
perairan laut atau struktur yang mendapat pengaruh
hydrodinamik.
Penelitian ini diharapkan mempunyai efek
diseminasi yaitu:
a. Bagi masyarakat
Masyarakat dapat menikmati adanya
kemudahan untuk menyeberang antar pulau
sehingga komunikasi akan lebih lancar karena
dengan kemudahan akses tansportasi maka
diharapkan adanya peningkatan tingkat
kesejahteraan masyarakat.
b. Bagi ekonomi
Transportasi masyarakat di daerah
tempat dibangunnya SFT tersebut menjadi
terbuka dengan daerah sekitarnya, yang
berarti ada perputaran roda ekonomi yang
lebih baik dan mempercepat pertumbungan
pembangunan nasional
c. Bagi industri.
Diharapkan dengan melakukan
penelitian ini, akan didapatkan model SFT
yang lebih murah dibandingkan dengan
jembatan konvensional sehingga pihak
perencana maupun kontaktor bisa membuat
alternatif ini untuk menghubungkan pulau-
pulau yang banyak dimiliki negara Indonesia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Umum
Submerged Floating Tunnel (SFT) adalah
jembatan berbentuk terowongan melayang dalam
laut penghubung antara dua pulau. Pada model,
struktur SFT ditahan oleh kabel, dimana kabel
yang berbentuk segitiga, sehingga bisa menahan
gaya horisontal dari semua sisi, sedangkan gambar
yang kedua SFT diberi sabuk dan ditahan oleh
kabel-kabel dalam posisi horizontal.
4
Secara umum, gaya yang terjadi pada
struktur SFT sama dengan prinsip hukum
Archimedes (Wikipedia, 2010), dimana benda yang
berada dalam air akan mendapat gaya tekanan ke
atas dari air tersebut. Ilustrasi hukum Archimedes
yang juga terjadi pada struktur SFT dapat dilihat
pada gambar di bawah ini :
. Oleh karena itu, pada struktur SFT akan
dipasang kabel baja untuk menahan badan
penampang SFT agar tetap kokoh dan walaupun
mengalami pergoyangan akibat beban lingkungan,
struktur SFT tidak akan mengalami pergoyangan
yang berlebihan.
2.2 Metode Perencanaan
Struktur SFT merupakan struktur lepas
pantai sehingga dalam perencanaannya hampir
sama dengan bangunan-bangunan lepas pantai
lainnya seperti struktur offshore atau rig. Dalam
sistem perencanaan sruktur SFT di Indonesia, akan
digunakan peraturan SNI 03-2847-2002, SNI 03-
1729-2002, BMS (Bridge Management System)
dan juga API (American Petroleum Institute) RP
2A ataupun API RP 2T 1997 yang lazim
digunakan dalam perencanaan struktur offshore.
Perencanaan struktur SFT memiliki beberapa
perbedaan dengan struktur offshore lainnya seperti
pemanfaatan gaya apung (buoyancy) untuk
mengurangi beban struktur yang terjadi pada SFT
bahkan gaya apung tersebut diasumsikan lebih
besar daripada beban struktur SFT itu sendiri agar
lendutan ke bawah akibat berat sendiri tunnel SFT
yang terlalu besar dapat dihilangkan. Dalam
kondisi seperti itu, struktur SFT akan ditahan oleh
kabel-kabel baja untuk menyeimbangkan posisi
strukturnya dan menjaga agar struktur dari tunnel
SFT tetap dalam keadaan melayang. Kabel baja ini
juga berfungsi untuk menahan atau
menyeimbangkan struktur SFT jika terkena
pengaruh beban luar atau pengaruh akibat
lingkungan seperti tekanan gelombang dan arus air
laut.
Bentuk dan susunan kabel sangat
berpengaruh pada struktur SFT agar kuat menahan
struktur SFT supaya tetap kaku dan tidak
menghasilkan biaya yang besar dalam
pemasangannya nanti, oleh karena itu penelitian ini
akan mencari bentuk kabel yang paling efektif bagi
struktur SFT yang akan dibangun di Indonesia.
Sebelum menentukan bentuk kabel yang paling
efektif pada struktur SFT yang akan dibangun di
Indonesia, perlu diketahui hal-hal yang harus
diperhatikan dalam perencanaannya agar bentuk
kabel yang diteliti nantinya benar-benar efektif
bagi struktur SFT yang akan dibangun.
2.2.1 Ratio Gaya Apung dan Berat Sendiri
Sebuah patokan kriteria desain dari
Mazzolani (Mazzolani, 2007) bahwa perbandingan
antara gaya uplift dengan beban permanen dan
beban lalu lintas dari SFT adalah sekitar 120%
sampai 130%. Namun demikian, pada kondisi
tertentu beban SFT tidaklah begitu berat
dibandingkan gaya apungnya, maka dalam kondisi
ini ratio 120% bisa digunakan. Perbandingan gaya
apung dan berat sendiri adalah:
W
UrU (1)
Dimana :
W = berat sendiri SFT (kg/m)
U = gaya apung pada penampang SFT (kg/m),
akan dihitung pada Persamaan 3
Rasio dari persamaan di atas harus memenuhi
kriteria gaya apung SFT yaitu antara 1,2 – 1,3 kali
berat SFT.
Apabila berat fasilitas di dalam rongga SFT
seperti balok, lantai dan sebagainya diasumsikan
sebesar 30% dari berat SFT, maka untuk
menghitung berat dari tunnel adalah sebagai
berikut :
CCAW 3.1 [kN/m] (2)
Dimana :
AC = luas penampang beton bertulang (m2)
C = berat jenis beton bertulang (25 kN/m3)
Sedangkan untuk menghitung besarnya gaya uplift
yang terjadi pada struktur SFT digunakan
persamaan sebagai berikut :
wTAU [kN/m] (3)
Dimana
AT = luas seluruh penampang (m2)
w = berat jenis air laut (10,3 kN/m3)
Luas dari penampang struktur SFT nantinya
juga akan memperhatikan efek dari marine growth
yang mengakibatkan pertambahan luas secara
melintang atau pertambahan luas pada penampang
SFT itu sendiri karena struktur SFT adalah struktur
yang terbenam di dalam air yang akan
mendapatkan efek dari marine growth namun efek
tersebut tergantung pada letakpenempatan SFT
dari dasar laut jika semakin dalam maka pengaruh
dari marine growth akan semakin kecil.
5
2.2.2 Konsep Sistem SFT
Konsep dasar yang digunakan untuk
mendesain kekuatan struktur SFT adalah struktur
badan SFT disatukan dengan approach tunnel.
Bagian sambungan yang mengakomodasi
pergerakan (akibat pemuaian, gempa, tsunami,
dsb.) adalah antara approach dengan struktur darat
di atas permukaan air (misal: abutment). Hal ini
dimaksudkan agar bagian sambungan yang flexible
tidak harus didesain kedap air. Dengan konsep ini,
modul SFT dan approach merupakan kesatuan
yang ditahan oleh sistem mooring.
Selain sistem mooring, ada sistem lain yang
bisa dilakukan untuk mendapatkan jembatan
melayang yaitu dengan sistem pontoon. Biasanya
sistem ini juga digabung dengan sistem mooring.
Dalam penelitian untuk mendapatkan
konfigurasi kabel yang paling efektif ini, SFT
dianggap sebagai sistem mooring karena pada
sistem mooring pengaruh kabel lebih besar
dibandingkan pada sistem pontoon selain itu sistem
mooring inilah yang rencananya akan dibangun di
Indonesia.
Pada umumnya, konsep sistem SFT hampir
mirip dengan konsep struktur bangunan offshore
dengan sistem TLP (Tension Leg Platform).
Konsep struktur offshore dengan sistem TLP ini
juga menggunakan kabel tendon atau tali jangkar
yang lebih dikenal dengan istilah tether untuk
menjaga stabilitas strukturnya terhadap beban
lingkungan dimana struktur ini biasanya digunakan
untuk melakukan eksplorasi minyak di laut yang
kedalamannya lebih dari 500 m, tapi struktur TLP
direncanakan lebih flexible terhadap beban
lingkungan dibandingkan dengan struktur SFT
yang direncanakan lebih kaku. Struktur offshore
dengan sistem TLP dapat dilihat pada gambar di
bawah ini :
Sistem TLP dengan kabel tendon
menggunakan sistem mooring pada pemasangan
kabelnya tapi tetap menggunakan sistem pontoon
pada strukturnya untuk memperbesar buoyancy
agar struktur TLP bisa lebih flexible dalam
menerima atau menahan beban gelombang, arus
dan angin.
2.2.3 Bentuk Penampang SFT
Desain penampang SFT dari literatur yang
ada bisa berbentuk lingkaran, segiempat, maupun
elips. Sedangkan bahan yang digunakan bisa
berupa beton bertulang, beton-baja komposit
maupun beton pratekan seperti yang dilakukan
oleh Long (Long, 2009) yang menganalisa SFT
bentuk lingkaran yang menggunakan bahan
komposit beton-baja dan dilapisi oleh aluminium
pada sisi luar SFT dan bentuk lingkaran beton yang
dianalisa oleh Tveit (Tveit, 2000).
Diameter SFT yang digunakan tergantung
dari perencanaan lebar jalan atau plat kendaraan
yang dibuat nanti. Bagaimanapun bentuk yang
akan dianalisis, yang terpenting adalah berat
sendiri dari tunnel tersebut lebih kecil daripada
gaya uplift air laut tempat dibangunnya SFT ini,
sama seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa
gaya uplift harus lebih besar daripada 1,2-1,3 kali
berat sendiri tunnel.
Penelitian ini akan mencoba alternatif
bentuk penampang lingkaran dengan material
beton. Bentuk penampang lingkaran ataupun elips
memiliki keuntungan dibandingkan dengan
penampang persegi karena dapat meminimalkan
besarnya gaya akibat arus gelombang yang hampir
setiap saat terjadi pada struktur SFT. Contoh
bentuk penampang tunnel yang akan digunakan
pada studi konfigurasi kabel SFT ini adalah
sebagai berikut :
Pada bentuk lingkaran penampang tunnel
komposit (baja-beton-aluminium) dan non
komposit (beton). Tebal lapisan untuk material
penampang tergantung dari besar tekanan ke atas
air di tempat pelaksanaannya, semakin tebal
lapisan material maka semakin besar pula berat
sendiri dari struktur SFT. Oleh karena itu, tebal
lapisan harus tetap dikontrol agar tidak
menghasilkan berat sendiri struktur SFT yang lebih
besar daripada gaya uplift air di lingkungan tempat
SFT dibangun.
2.2.4 Karakteristik Material
Material yang digunakan untuk penampang
SFT bisa berupa beton, baja ataupun komposit
antara baja, beton dan aluminium. Pada
penampang tunnel dengan material baja akan
digunakan baja dengan mutu yang biasanya
digunakan pada bangunan offshore sesuai
persyaratan API RP 2A-LRFD 1997 tabel I.1 untuk
karakteristik material baja yang digunakan pada
plat baja. Pada tabel material struktur baja API RP
2A-LRFD 1997, telah ditentukan kelas dan grup
untuk pengaruh baja terhadap lingkungan dan
kemampuannya saat beban bekerja.
Sedangkan untuk karakteristik material
kabel baja akan digunakan, minimum harus sesuai
dengan peraturan API RP 2A untuk bentuk baja
struktural.
Material beton yang digunakan harus tahan
terhadap pengaruh air laut dan kuat diberi gaya
prategang karena bagian-bagian dari tunnel SFT
akan dihubungkan dengan kabel prategang. Oleh
6
sebab itu, pada studi ini akan digunakan beton
yang biasa digunakan pada sistem prategang dan
juga bisa digunakan di daerah perairan laut.
Beberapa persyaratan khusus untuk beton
yang terkena pengaruh lingkungan sesuai SNI 03-
2847-2002 pada pasal 6.2
SNI mensyaratkan kuat tekan (f’c) beton
minimum yang harus digunakan pada beton yang
terkena pengaruh air laut adalah 35 MPa sama
dengan kuat tekan (f’c) minimum beton prategang
yang biasanya digunakan. Kriterial lain pada
material yang akan digunakan terdapat dibawah ini
:
Esteel =210.000 MPa ; ρ=7850 Kg/m3; ν = 0.30
Ealu =70.000 MPa ; ρ=2800 Kg/m3; ν = 0.33
Dimana : E = Modulus Elastisitas ; ν = Rasio
Poisson ; ρ = Berat Volume Material
2.2.5 Bentuk dan Susunan Kabel SFT
Studi konfigurasi kabel SFT ini
menggunakan konfigurasi kabel hasil modifikasi
dari konfigurasi yang telah diciptakan oleh salah
seorang peneliti dari Jepang yaitu Profesor Maeda
(Maeda, 1994). Menurut Profesor Maeda,
konfigurasi tersebut adalah konfigurasi yang tepat
digunakan pada struktur SFT. Studi ini akan
memilih konfigurasi kabel paling efektif pada SFT
di Kepulauan Seribu dimana konfigurasi tersebut
kuat menahan badan tunnel akibat beban
lingkungan dan tidak membutuhkan biaya yang
besar dalam penggunaannya.
Pada studi ini akan dianalisis konfigurasi
kabel longitudinal serta kombinasinya dengan
konfigurasi kabel transversal pada saat menahan
badan tunnel ketika beban luar bekerja pada badan
tunnel tersebut.
2.2.6 Metode Pembebanan
Dalam studi konfigurasi kabel ini hanya
akan membahas beban permanen yang terjadi pada
struktur SFT dan beban akibat lingkungan tempat
SFT dibangun karena beban-beban lainnya yang
terdapat pada tunnel telah diasumsikan sebesar
30% dari berat sendiri tunnel. Berikut akan
dijelaskan beban-beban yang akan diperhitungkan
pada studi konfigurasi kabel ini :
1. Beban Permanen Yang Terjadi Pada Struktur
SFT
Beban yang akan terus terjadi pada struktur
SFT. Beban-beban tersebut adalah sebagai berikut
:
a. Beban Mati Struktur
Beban mati struktur SFT adalah beban yang
diakibatkan oleh berat sendiri dari tunnel SFT ini
beserta fasilitas-fasilitasnya. Berat sendiri tunnel
akan dihitung sesuai Persamaan 2, dimana berat
tunnel tersebut tergantung dari luas penampang
dan berat jenis material penampang tunnel.
Fasilitas-fasilitas yang terdapat di dalam tunnel
adalah plat lantai kendaraan yang menggunakan
material beton dan balok baja profil WF yang
berada pada posisi memanjang dan melintang
dimana balok baja tersebut berfungsi sebagai
pemikul plat lantai kendaraan.
b. Beban Akibat Tekanan Hidrostatis Air Laut
Beban ini terjadi pada bagian struktur SFT
yang terendam oleh air laut. Beban ini akan
tergantung dari tekanan hidrostatis pada perairan
tempat SFT akan dibangun. Pada peraturan API RP
2A-WSD 2000 pasal 3.2.5.a diberikan cara untuk
menghitung tekanan hidrostatis sebagai berikut :
( 4 )
Dimana :
p = Tekanan hidrostatis air ( N/m2 )
γ = Kerapatan air laut, ( 10050 N/m3 )
Hz = Design head ( m )
Untuk menghitung Design head ( Hz ) diberikan
juga persamaan pada pasal 3.2.5.a API RP 2A-
WSD 2000 sebagai berikut :
( 5 )
Dimana :
Hw = Tinggi gelombang, ( m )
z = Tinggi di bawah SWL termasuk pada saat air
pasang ( m ), z diukur ke bawah dari SWL
k =
( m-1 ), dengan L adalah panjang
gelombang
d = Kedalaman air laut, ( m )
L = panjang gelombang (m)
Dalam menentukan tinggi (Hw) dan periode
gelombang ( T ) pada Persamaan 5, digunakan
tinggi gelombang maksimum dan periode
gelombang pada periode ulang tahun yang ditinjau.
Misalnya, tinggi dan periode gelombang
maksimum pada periode ulang 1 tahun atau tinggi
dan periode gelombang pada periode ulang 100
tahun. Tinggi gelombang maksimum yang
dianjurkan untuk perencanaan bangunan lepas
pantai adalah sebagai berikut :
7
( 6 )
Dimana :
Hmax = tinggi gelombang maksimum (m)
Hs = tinggi gelombang signifikan hasil pencatatan
di lapangan (m)
c. Tekanan Ke Atas ( buoyancy ) oleh air laut
Gaya ini terjadi akibat gaya Archimedes di
dalam air laut pada penampang dan kabel SFT.
Nilai dari gaya Archimedes atau gaya apung yang
terjadi pada penampang SFT akan dihitung sesuai
dengan Persamaan 3 sedangkan pada kabel SFT
gaya apung yang terjadi sangat kecil. Walaupun
demikian, pada kabel SFT yang terletak di bawah
laut juga pasti akan mendapat gaya apung dari air
laut sehingga dikhawatirkan gaya tersebut akan
mempengaruhi kemampuan kabel dalam menahan
penampang tunnel. Dr. S. Nallayarasu (offshore
stucture analysis and design, 2009) memberikan
persamaan dengan metode rasional untuk
menghitung gaya apung dari suatu struktur sebagai
berikut :
( 7 )
Dimana :
B = gaya apung/buoyancy ( kg/m )
D = diameter kabel ( m )
ρw = massa jenis air laut ( 1030 kg/m3 )
2. Beban Akibat Fungsi Dari SFT
Beban ini adalah beban akibat dari fungsi
dari SFT sendiri yang meliputi beban akibat lalu-
lintas, beban akibat perubahan pada kondisi
seimbang, dan variabel-variabel beban pada saat
konstruksi. Dalam studi konfigurasi kabel ini,
semua beban tersebut akan diasumsikan jika berat
tersebut sudah masuk dalam 30% dari berat sendiri
tunnel. Beban lalu-lintas pada SFT akan mengikuti
peraturan BMS 1992 sebagai berikut :
Beban yang akan dihitung pada SFT hanya
beban akibat UDL dan KEL karena beban tersebut
diakibatkan oleh kendaraan ringan yang memang
direncanakan pada SFT. Jadi beban truk tidak akan
diperhitungkan. Beban lalu-lintas akan membebani
plat kendaraan kemudian beban dari plat kedaraan
dan beban lalu-lintas akan dipikul oleh balok baja
pada posisi memanjang lalu disalurkan ke balok
baja pada posisi melintang. Hal ini menyebabkan
plat kendaraan, balok memanjang dan balok
melintang perlu dicek kekuatannya terlebih dahulu
ketika dibebani oleh beban hidup lalu-lintas dan
beban mati. Besarnya beban terbagi rata UDL akan
mengikuti peraturan BMS 1992 pasal 2.3.3.1a dan
2.3.3.1b sebagai berikut :
( L < 30 m ) ( 8 )
( L > 30 m ) ( 9 )
Sedangkan beban KEL digunakan 44 kN/m. Jika
balok memanjang dan balok melintang yang telah
ditentukan profilnya sudah dianggap aman jika
telah dibebani oleh beban mati dan beban hidup,
maka balok-balok tersebut sudah dianggap layak
untuk dipakai sebagai fasilitas struktural di dalam
tunnel SFT. Intensitas penyebaran beban lalu-lintas
dalam tunnel SFT nantinya akan mengikuti lebar
jalan yang direncanakan pada tunnel SFT sehingga
intensitas penyebaran arah beban tersebut akan
digunakan untuk menentukan total seluruh berat
sendiri tunnel beserta beban hidupnya.
3. Beban Akibat Lingkungan
Beban ini disebabkan oleh gelombang
dan arus air laut yang akan membebani struktur
SFT baik pada bagian tunnel maupun pada
kabel, meskipun beban akibat lingkungan yang
bekerja pada kabel akan sangat kecil.
Perhitungan pembebanan ini akan didasarkan
pada peraturan API RP 2A-WSD 2000. API RP
2A–WSD 2000 telah menjelaskan prosedur
untuk menentukan pembebanan gelombang
yang disertai dengan arus air laut. Prosedur
tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah ini :
Pada perencanaan bangunan lepas pantai,
beban gelombang dan arus harus diasumsikan
terjadi secara bersamaan dan dengan arah yang
sama agar kondisi kritis dapat diperhitungkan
(TU Delft Open Course, 2005). Asumsi yang
menjadikan arah gelombang dan arus terjadi
pada arah yang sama dilakukan dengan
penambahan kecepatan arus dan gelombang
dalam persamaan Morrison untuk perhitungan
beban gelombang. Penambahan kecepatan
tersebut dilakukan sebagai berikut :
( 10 )
Dimana :
Vw = kecepatan gelombang (m/s)
Vc = kecepatan arus (m/s)
Tinggi gelombang yang akan digunakan dalam
menghitung gaya gelombang dan arus juga
harus menggunakan tinggi gelombang
maksimum. Pergerakan gelombang dan arus di
laut dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
8
a. Beban Gelombang
Gelombang terjadi akibat gangguan pada
fluida. Gangguan tersebut dapat berupa
gangguan pada permukaan air seperti hembusan
angin atau dapat juga berupa gangguan pada
dasar laut seperti pergerakan tanah atau gempa
bumi. Pada umumnya bentuk gelombang di
alam sangat kompleks dan sulit digambarkan
secara sistematis karena ketidak-linieran, tiga
(tiga) dimensi dan mempunyai bentuk yang
random (suatu deret gelombang mempunyai
periode dan tinggi tertentu). Beberapa teori
yang ada hanya menggambarkan bentuk
gelombang yang sederhana dan merupakan
bentuk pendekatan gelombang alam. Ada
beberapa teori dengan berbagai derajat
kekomplekan dan ketelitian untuk
menggambarkan gelombang di alam
diantaranya adalah teori Airy, Stokes, Gertsner,
Mich, Knoidal, dan tunggal. Masing – masing
teori tersebut mempunyai batasan keberlakuan
yang berbeda–beda. Teori yang paling
sederhana adalah teori gelombang linier yang
pertama kali ditemukan oleh Airy pada tahun
1845.
Teori gelombang yang terdapat pada API
RP 2A merupakan teori gelombang yang
memiliki amplitudo berhingga. Teori
gelombang yang terdapat pada API RP 2A
adalah sebagai berikut :
Teori gelombang Airy/Linear
Di dalam teori gelombang amplitudo
kecil (Airy) dianggap bahwa tinggi gelombang
sangat kecil terhadap panjangnya atau
kedalamannya. Persamaan gelombang
diturunkan dengan mengabaikan (melinearkan)
suku (u2 +v2) dari persamaan Bernoulli sebagai
berikut :
( 11 )
Dimana :
φ = potensial kecepatan
t = waktu
u = komponen horizontal kecepatan partikel air
v = komponen vertikal kecepatan partikel air
g = percepatan gravitasi
p = tekanan
ρ = rapat massa za cair
Apabila tinggi gelombang relatif besar
suku tidak linear tersebut tidak boleh diabaikan.
Dalam keadaan ini digunakan teori gelombang
amplitudo berhingga yang memperhitungkan
besaran dengan orde yang lebih tinggi.
Untuk gelombang dengan amplitudo
berhingga harus diperhitungkan besaran-
besaran yang lebih tinggi yang mempunyai
bentuk umum sebagai berikut :
Pada persamaan fluktuasi muka air di
atas, B2,B3,.....Bn adalah fungsi dari panjang
gelombang dan kealaman air. Teori gelombang
Airy/Linear hanya memperhitungkan suku
pertama dari ruas kanan. Apabila
diperhitungkan dua (dua) suku pertama disebut
teori orde kedua, bila tiga (tiga) suku pertama
diperhitungkan disebut orde ketiga dan
seterusnya.
Teori gelombang Stokes
Stokes (1847) mengembangkan teori
gelombang Airy dengan melanjutkan analisis
sampai orde ke-tiga untuk mendapatkan
ketelitian yang lebih baik dalam kecuraman
muka gelombang (wave stepness) H/L.
Pengembangan lebih jauh dilakukan oleh
Skjelbra dan Hendrickson (1961) sampai ode
ke-5 yang sampai saat ini banyak digunakan
dalam perhitungan teknik kelautan untuk
gelombang dan amplitudo kecil. Karena
masalah konvergensi yang lebih sulit untuk
kondisi laut dangkal, teori gelombang stokes
orde-5 dianggap valid untuk kondisi perairan
dimana rasio kedalaman h/L lebih besar dari
1/10. Kondisi ini umumnya sesuai dengan
gelombang badai (storm wave) yang biasanya
diperhitungkan dalam perancangan bangunan
lepas pantai.
Teori gelombang Cnoidal
Untuk gelombang panjang dengan
amplitudo berhingga yang terjadi pada laut
dangkal lebih sesuai apabila menggunakan teori
Cnoidal. Gelombang ini merupakan gelombang
periodik yang biasanya mempunyai puncak
tajam yang dipisahkan oleh lembah yang cukup
panjang. Teori ini berlaku apabila d/L < 1/8 dan
parameter Ursell (UR) > 26. Parameter Ursell
didefinisikan sebagai berikut :
( 13 )
Dimana :
H = tinggi gelombang
L = panjang gelombang
( 12 )
9
D = kedalaman laut
Dalam peraturan API RP 2A-WSD 2000,
telah ditentukan cara untuk penentuan teori
gelombang yang akan digunakan. Cara
penentuan tersebut menggunakan grafik
validitas gelombang pada gambar 2.3.1-3 API
RP 2A-WSD 2000. Grafik itu dapat dilihat pada
gambar di bawah ini:
Parameter-parameter yang digunakan dalam
pembacaan diagram untuk menentukan teori
gelombang di atas adalah sebagai berikut :
d = kedalaman air ( m )
g = percepatan gravitasi ( 9,81 m/s2 )
H = tinggi gelombang hasil pengamatan (m)
Tapp= periode gelombang hasil perhitungan (s)
Dr. S. Nallayarasu (Dr. S. Nallayarasu,
2009) memberikan persamaan untuk
menentukan nilai Tapp sebagai berikut :
( 14 )
Dimana :
L = panjang gelombang pada periode ulang
tertentu ( m )
k =
( m-1 ), dengan L adalah panjang
gelombang pada periode ulang tertentu
h = kedalaman laut (m)
g = percepatan gravitasi ( m/s2 )
Perbedaan antara Tapp dan T pada API RP 2A
adalah Tapp merupakan periode gelombang yang
sudah terpengaruh oleh kecepatan arus
sedangkan T adalah periode gelombang yang
didapat langsung dari pengukuran di lapangan
untuk menentukan komponen arus yang terjadi
pada gelombang, tapi pada penentuan awal teori
gelombang dapat menggunakan nilai T.
Gaya gelombang terdiri dari gaya drag dan
gaya inersia. Sesuai dengan peraturan API RP
2A–WSD 2000 pasal 2.3.1.b.10, gaya
gelombang per kedalaman yang terjadi pada
suatu struktur dihitung sesuai persamaan
Morrison, sebagai berikut :
( 15 )
( 16 )
Dimana :
F = Gaya gelombang ( kN/m )
w = Berat jenis air laut (10,3 kN/m3 )
A = Luas penampang ( m2 )
Cd = Koefisien drag
Cm = Koefisien inersia
D = Diameter tunnel SFT ( m3 )
g = percepatan gravitasi ( 9,8 m/s2 )
v = kecepatan aliran gelombang pada
kedalaman yang ditinjau ( m/s )
|v| = Nilai absolut dari nilai v ( m/s )
= percepatan gelombang per kedalaman yang
ditinjau ( m/s2 )
FD = Gaya drag ( kN/m )
FI = Gaya inersia ( kN/m )
Perhitungan gaya gelombang
menggunakan koefisien drag dan koefisien
inersia. Ir. Suntoyo (Ir. Suntoyo dkk, 2009)
memberikan persamaan untuk menentukan nilai
dari koefisien-koefisien tersebut. Untuk
menentukan koefisien inersia tergantung dari
angka Reynold yang telah dihitung
menggunakan persamaan berikut :
( 17 )
Dimana :
Umax = kecepatan gelombang maksimum pada
arah horisontal ( m/s )
D = Diameter/lebar struktur ( m )
v = viskositas kinematik air laut ( m2/s )
Penentuan koefisien inersia menggunakan
persyaratan di bawah ini :
Cm = 2,0 apabila Re < 2,5 x 105
Cm = 2,5 -
apabila 2,5 x 105 < Re < 5 x
105
Cm = 1,5 apabila Re > 5 x 105
Sedangkan untuk menentukan nilai dari
koefisien drag adalah dengan menggunakan
grafik hubungan antara nilai Re dengan nilai
Keulegen and Carpenter.
API RP 2A WSD-2000 pasal 2.3.1.b.7
memberikan nilai koefisien drag dan inersia
sesuai dengan situasi permukaan struktur saat
desain. Nilai koefisien drag dan inersia pada
API RP 2A WSD-2000 terdapat pada tabel
berikut :
Tabel Koefisien drag dan inersia menurut
API RP 2A WSD-2000
Pada API RP 2A WSD-2000, penggunaan
faktor kinematika dalam perencanaan beban
gelombang diijinkan dengan besaran 0.85-0.95
untuk kondisi badai pada daerah tropis yang
diterapkan pada kecepatan horizontal partikel
air dan akselerasi vertikal dari dua dimensi
10
gelombang. Untuk gelombang saat badai
dengan periode ulang 100 tahun digunakan
faktor rata-rata sebesar 0.90. Dr.S.Nallayarasu
(Dr.S.Nallayarasu, 2009) memberikan
persamaan untuk menentukan nilai dari faktor
kinematik gelombang sebagai berikut :
( 18 )
Dimana :
H = tinggi gelombang ( m )
= frekuensi gelombang (s-1 ) ,
k =
, dengan L adalah panjang gelombang (
m-1 )
x = jarak horizontal yang ditinjau ( m )
t = waktu ( s )
= faktor kinematik gelombang
API RP 2A-WSD 2000 pasal 2.3.2.e
menjelaskan bahwa pengaruh angin pada profil
gelombang harus ditambahkan koefisien bentuk
profil (Cs) dimana koefisien ini tergantung pada
bentuk struktural dari struktur yang terkena
beban gelombang. Koefisien tersebut dapat
dilihat dibawah ini :
Tabel Koefisien profil bentuk sesuai
persyaratan API RP 2A-WSD 2000
Beams 1,5
Sides of buildings 1,5
Cylindrical section 0,5 Overall projected area of
platform 1,0
Sumber : API RP 2A-WSD 2000
Menurut Bambang Triatmojo (Bambang
Triatmojo, 1999) dalam menghitung gaya
gelombang, perlu diketahui kecepatan dan
percepatan gelombang pada arah vertikal dan
horisontal dengan berbagai kedalaman dan
waktu.
Untuk menghitung kecepatan gelombang
pada arah vertikal dapat menggunakan
persamaan berikut :
( 19 )
Dimana :
vwy = kecepatan gelombang vertikal ( m/s )
H = tinggi gelombang ( m )
T = periode gelombang (s )
d = kedalaman air laut ( m )
y = kedalaman yang ditinjau ( m )
k =
, dengan L adalah panjang gelombang (
m-1 )
L = panjang gelombang (m)
x = jarak horizontal yang ditinjau ( m )
t = waktu ( s )
= frekuensi gelombang,
Sedangkan untuk menghitung besarnya
kecepatan gelombang pada arah horisontal
dengan berbagai kedalaman dan waktu dapat
dihitung sesuai persamaan berikut :
( 20 )
Dimana :
vwx = kecepatan gelombang horizontal ( m/s )
H = tinggi gelombang ( m )
T = periode gelombang (s )
d = kedalaman air laut ( m )
y = kedalaman yang ditinjau ( m )
k =
, dengan L adalah panjang gelombang (
m-1 )
L = panjang gelombang (m)
x = jarak horizontal yang ditinjau ( m )
t = waktu ( s )
= frekuensi gelombang ( s-1 ),
Untuk menghitung percepatan gelombang
pada arah horisontal, digunakan persamaan
sebagai berikut :
( 21 )
Dimana :
= percepatan gelombang horizontal (m/s2)
H = tinggi gelombang ( m )
T = periode gelombang (s )
d = kedalaman air laut ( m )
y = kedalaman yang ditinjau ( m )
k =
, dengan L adalah panjang gelombang (
m-1 )
L= panjang gelombang (m)
x = jarak horizontal yang ditinjau ( m )
t = waktu ( s )
= frekuensi gelombang,
Sedangkan untuk menghitung percepatan
gelombang pada arah vertikal, digunakan
persamaan sebagai berikut :
(22)
11
Dimana :
= percepatan gelombang vertikal ( m/s2 )
H = tinggi gelombang ( m )
T = periode gelombang (s )
d = kedalaman air laut ( m )
y = kedalaman yang ditinjau ( m )
k=
, L adalah panjang gelombang (m-1)
L = panjang gelombang (m)
x = jarak horizontal yang ditinjau ( m )
t = waktu ( s )
= frekuensi gelombang,
Dalam perhitungan beban gelombang pada
struktur offshore perlu untuk memperhatikan
efek dari marine growth. Struktur yang berada
di lingkungan air laut akan mengalami
pertambahan luas secara melintang akibat efek
dari marine growth. Pertambahan luas secara
melintang tersebut mengakibatkan gaya
gelombang yang terjadi pada struktur akan
semakin besar.
Marine growth merupakan efek dari
organisme laut yang menempel pada
permukaan struktur. Konsentrasi efek marine
growth terjadi pada daerah dekat permukaan
laut dan dasar laut.
Menurut Donna Ahrens (Donna Ahrens,
1997), jika SFT tidak diletakkan di lokasi
permukaan laut yang kritis, efek dari marine
growth akan sangat kecil. Semakin dekat
dengan permukaan laut atau semakin dekat
dengan dasar laut lokasi SFT dibangun,
semakin besar pula pengaruh dari marine
growth. Walaupun demikian, marine growth
perlu diperhitungkan karena efek tersebut juga
akan mengakibatkan pertambahan berat sendiri
pada struktur SFT, sehingga rasio dari tekanan
ke atas oleh air laut yang terjadi pada struktur
SFT dengan berat sendiri struktur SFT perlu
diperhatikan. Donna Ahrens (Donna Ahrens,
1997) memberikan grafik hubungan antara
kedalaman dan pertambahan tebal lapisan SFT
yang diakibatkan oleh efek dari marine growth.
Efek dari marine growth juga tergantung
dari lingkungan sekitar karena setiap lokasi
perairan memiliki kondisi yang berbeda-beda.
API RP 2A-WSD 2000 hanya memberikan
detail efek dari marine growth terhadap
pertambahan ketebalan pada lokasi-lokasi laut
di Amerika.
Efek dari marine growth juga akan
berpengaruh pada kekasaran penampang akibat
pertumbuhan organisme laut disepanjang
permukaannya. Oleh karena itu, efek dari
marine growth ini akan mempengaruhi
koefisien yang akan digunakan untuk
memperhitungkan beban hidrodinamik. The
UK’s Departement of Energy memberikan nilai
koefisien drag dan inersia yang tidak biasa
dalam memperhitungan beban hidrodinamik
yang dipengaruhi oleh efek marine growth
(Ibrahin Jusoh, 1996), sebagai berikut :
Tabel Koefisien drag dan inersia akibat
pengaruh marine growth oleh The UK’s
Departement of Energy CD 0.6 no marine growth
CD 0.7 with marine growth
CM 1.7 extreme condition
CM 2.0 fatigue condition
b. Beban Arus
Beban arus merupakan salah satu beban
lingkungan yang memberikan gaya terhadap
offshore structure seperti SFT ini. Pembebanan
akibat arus yang disebabkan oleh air laut
tergantung kepada kondisi lapangan yang akan
ditinjau nanti. Hal ini disebabkan karena arus
tersebut terjadi akibat adanya pasang surut dan
gesekan angin pada permukaan air laut
sehingga besarnya arus yang terjadi
berdasarkan dari hasil pengukuran di lapangan.
API RP 2A–WSD 2000 mengharuskan
untuk menggunakan faktor hambatan (blockage
factor) yang akan mengurangi kecepatan arus
karena dengan adanya struktur bisa
mengakibatkan arus menyebar sehingga
sebagian arus mengelilingi struktur dan tidak
melaluinya. API RP 2A–WSD 2000
menentukan nilai dari blockage factor sebesar
0.7-1.0. API 2A–WSD 2000 pasal 2.3.3.c
menjelaskan bahwa jika diasumsikan hanya
terjadi arus air laut dan tidak terjadi gelombang,
maka Persamaan 16 bisa digunakan dengan
nilai du/dt = 0. Pasal 2.3.1.b juga menjelaskan
bahwa untuk menentukan beban akibat arus air
laut, bisa menggunakan grafik hubungan antara
Tapp/T dan VI/gT untuk mendapatkan nilai VI
yang merupakan komponen arus air laut dimana
terdapat garis d/gT2, tetapi cara tersebut hanya
untuk arus yang ekstrim karena tidak mendapat
reduksi dari blockage factor.
Dr. S. Nallayarasu (Dr. S. Nallayarasu,
2009) menjelaskan bahwa ada 2 (dua) cara
untuk menentukan profil kecepatan arus yang
terjadi pada bangunan lepas pantai, yaitu
kecepatan arus yang disebabkan oleh pasang-
surut air laut dan kecepatan arus yang
12
disebabkan oleh gesekan angin terhadap air
laut. Untuk menentukan profil kecepatan arus
akibat pasang surut air laut diberikan persamaan
sebagai berikut ini :
(23)
Dimana :
VCT = kecepatan arus akibat pasang surut
dengan berbagai ukuran dari dasar laut (m/s)
VCoT = kecepatan arus akibat pasang surut yang
terjadi di permukaan air laut (m/s)
y = berbagai ukuran ketinggian dari dasar laut
(m)
h = ketinggian normal air laut ( m )
sedangkan untuk menentukan profil arus akibat
gesekan angin terhadap air laut diberikan oleh
persamaan berikut ini :
( 24 )
Dimana :
VCw = kecepatan arus akibat angin dengan
berbagai ukuran dari dasar laut ( m/s )
VCow = kecepatan arus akibat angin yang terjadi
di permukaan air laut ( m/s )
y = berbagai ukuran ketinggian dari dasar laut (
m )
h = ketinggian normal air laut ( m )
Dawson (Dawson, 1983) memberikan
formulasi matematis untuk menghitung
besarnya gaya arus yang bekerja pada suatu
struktur lepas pantai. Formulasi matematis
tersebut adalah sebagai berikut:
( 25 )
Dimana :
Fc = gaya arus pada kedalaman yang ditinjau
dari dasar laut ( kg/m )
w = berat jenis air laut ( 1003 kg/m3 )
g = percepatan gravitasi ( 9,8 m/s2 )
CD = koefisien drag
= kecepatan arus pada kedalaman yang
ditinjau ( m/s )
|Uc| = kecepatan arus absolut ( m/s )
D = diameter sruktur ( m2 )
Gaya arus hanya terdiri dari gaya drag yang
tidak memiliki percepatan. Oleh karena itu,
pada persamaan di atas tidak terdapat
persamaan gaya inersia yang memiliki
percepatan.
2.3 Metode Analisis Konfigurasi Kabel SFT
Hasil analisis dari pembebanan yang telah
dilakukan pada struktur SFT (Submerge Floating
Tunnel) akan digunakan dalam menganalisa bentuk
kabel yang paling efektif pada struktur dimana
diharapkan bentuk kabel yang digunakan akan
mudah terjangkau dari segi biaya dan kuat dalam
menahan struktur tunnel pada saat beban luar
terjadi. Dalam menganalisa bentuk kabel
dibutuhkan gaya-gaya dalam yang terjadi pada
kabel setelah pembebanan dan analisis dilakukan.
Hal yang terpenting dalam studi konfigurasi kabel
ini adalah menentukan tegangan ijin dan lendutan
ijin yang bisa diterima oleh kabel saat semua beban
bekerja pada struktur SFT. Selain itu, tunnel juga
perlu ditentukan lendutan dan tegangan ijinnya
karena akan diteliti apakah tegangan dan lendutan
yang terjadi pada tunnel juga dipengaruhi oleh
bentuk dan susunan kabel.
Kabel pada SFT akan mengalami
displacement akibat beban luar seperti buoyancy,
gelombang dan arus serta dikhawatirkan akan
mempengaruhi besarnya gaya tarik yang terjadi
pada kabel. Pada studi ini, akan dianalisis juga
displacement yang terjadi pada kabel. Skema
diagram displacement yang terjadi pada kabel SFT
dapat dilihat pada gambar dibawah ini :
Pada gambar di atas displacement pada arah
Z disebabkan oleh gaya apung (buoyancy)
sedangkan pada arah X disebabkan oleh gaya
gelombang dan arus air laut yang terjadi pada
struktur. Besarnya gaya tarik yang ditimbulkan
oleh displacement (Xu Long dkk, 2008) tersebut
dapat dihitung menggunakan persamaan berikut :
( 26 )
Dimana :
= Perubahan gaya tarik akibat
displacement (kg)
A = Luas penampang kabel ( m2 )
E = modulus elastisitas kabel ( kg/m2 )
= displacement ( m )
L’ = panjang kabel ( m )
2.3.1 Tegangan Ijin Pada Tendon SFT
Sesuai peraturan API RP 2T 1997, tendon
SFT yang didesain akan dikategorikan dalam
tendon kategori A. Tegangan aksial tarik ijin yang
terjadi pada komponen tendon SFT akan dihitung
sesuai peraturan API RP 2T 1997 pasal 9.6.2.2
safety criterion B (safety crietria for extreme
condition) sebagai berikut:
( 27 )
13
atau
( 28 )
Dimana :
σp = Net section stress (MPa)
Fy = Tegangan leleh tendon (MPa)
Fu = Tegangan putus tendon (MPa)
Dan
( 29 )
atau
( 30 )
Dimana :
σs = Local bending stress (MPa)
Fy = Tegangan leleh tendon (MPa)
Fu = Tegangan putus tendon (MPa)
Dari persamaan di atas, tegangan aksial tarik
yang terjadi pada tendon SFT (ft) harus lebih kecil
daripada tegangan aksial tarik ijin kabel tendon
baja (σp atau σs). Nilai dari tegangan ijin tersebut
harus diambil yang terkecil dari salah satu
persamaan di atas. Pada kabel tendon SFT,
tegangan yang terjadi juga harus lebih kecil
daripada tegangan ijin yang disyaratkan oleh
produsen kabel tendon baja yang akan digunakan
pada studi ini.
2.3.2 Tegangan dan Lendutan ijin Pada Badan
Tunnel SFT
Tunnel pada SFT akan diasumsikan sebagai
struktur lentur balok beton prategang karena pada
tunnel nantinya akan dipasang kabel prategang
sebagai penghubung antara elemen-elemen tunnel.
Tegangan ijin beton untuk komponen struktur
lentur menurut SNI 03-2847-2002 pasal 20.4.1
adalah sebagai berikut :
Tegangan tekan serat terluar akibat pengaruh
prategang, beban mati, dan beban hidup tetap
(kondisi layan)
( 31 )
dimana f’c ( MPa ) adalah mutu beton
prategang yang digunakan
Setelah pengecekan terhadap pengaruh
prategang ketika badan tunnel belum diletakkan di
dalam air, maka pengecekan terhadap tegangan
dinding akan ditinjau dari besarnya tegangan yang
terjadi akibat beban yang bekerja. Tegangan yang
terjadi akan dicek dan harus tidak melebihi
besarnya tegangan retak beton sebagai berikut :
( 32 )
Perhitungan tegangan ijin di atas
mengasumsikan bahwa beton prategang telah
mengalami kehilangan prategang akibat dudukan
angkur pada saat penyaluran gaya, perpendekan
elastis beton, rangkak beton, susut beton, relaksasi
tegangan tendon dan akibat friksi.
Untuk menghitung lendutan ijin pada tunnel
akan digunakan persamaan pada peraturan SNI 03-
2847-2002 pasal 11.5.4 sebagai berikut :
( 33)
Dimana :
= lendutan ijin ( m )
L’ = panjang kabel ( m )
BAB III
METODOLOGI
3.1 Umum
Metodologi ini akan menguraikan dan
menjelaskan urutan pelaksanaan penyelesaian
tugas akhir. Mulai dari pengumpulan dan studi
literatur, penetapan jenis material yang akan
digunakan pada struktur SFT, pengumpulan data,
pemodelan struktur dan konfigurasi kabel pada
tunnel SFT, pembebanan struktur, analisa dan
perbandingan hasil konfigurasi kabel SFT, kontrol
desain struktur SFT sampai dengan deskripsi atau
kesimpulan akhir hasil studi ini yaitu untuk
mendapatkan konfigurasi kabel yang efektif bagi
perencanaan SFT di Indonesia.
3.2 Uraian Penyelesaian Tugas Akhir
Langkah-langkah pengerjaan tugas akhir ini
adalah sebagai berikut :
a. Studi Literatur
Melakukan studi referensi berupa peraturan,
literatur, buku pustaka dan penelitian terdahulu
yang berkaitan dengan studi struktur SFT
b. Peraturan Perencanaan dan Desain
Struktur SFT, antara lain :
1) SNI 03-1729-2002, Tata Cara
Perencanaan Struktur Baja Untuk
Bangunan Gedung
2) SNI 03-2847-2002, Tata Cara
Perencanaan Struktur Beton Untuk
Bangunan Gedung
3) Bridge Management System (BMS) 1992,
Bridge Desain Manual
4) API RP 2A-WSD 2000, Recommended
Practice for Planning, Designing and
Constructing Fixed Offshore Platforms –
Working Stress Design
5) API RP 2A-LRFD 1997, Recommended
Practice for Planning, Designing and
Constructing Fixed Offshore Platforms –
Load Resistance Factor Design
14
6) API RP 2T 1997, Recommended Practice
for Planning, Designing and Constructing
Tension Leg Platform
c. Literatur yang berkaitan
1) M. Di Pelato, F. Perotti, P. Fogazzi.
2007. 3D Dynamic Response of
Submerged Floating Tunnels Under
Seismic and Hydrodynamic Excitation.
Milan : Department of Structural
Engineering, Politecnico di Milano
2) F.M. Mazzolani. 2007. Structural
Behaviour Under Extreme Loading.
Naples : University of Naples “Federico
II”.
3) F.M. Mazzolani, B. Faggiano, M.
Esposto, G. Martire. 2007. A New
Challenge for Strait Crossings : The
Immersed Inversed Cable Supported
Bridge. Naples : Department of
Structural Engineering, University of
Naples “Federico II”.
4) Xu Long, Fei Ge, Lei Wang, Youshi
Hong. 2008. Effects of fundamental
structure parameters on dynamic
responses of submerged floating tunnel
under hydrodynamic loads. Beijing :
Institute of Mechanics, Chinese Academy
of Sciences
5) CHEN Zhi-jie, WANG Yong-xue,
WANG Guo-yu. 2008. Time-Domain
Responses of Immersing Tunnel Element
Under Wave Actions. China : State Key
Laboratory of Coastal and Offshore
Engineering, Dalian University of
Technology.
6) P. Tveit. 2000. Ideas on Downward
Arched and Other Underwater Concrete
Tunnels. Norwegia : Agder College
7) F.M. Mazzolani, B. Faggiano, G.
Martire. 2010. Design aspects of the AB
prototype in the Qiandao Lake. Italy :
Department of Structural Engineering,
University of Naples “Federico II”.
8) Bernt Jakobsen. 2010. Design of the
Submerged Floating Tunnel operating
under various conditions. Norwegia.
Cowi AS, Grenseveien 88
9) Hiroshi Kunisu. 2010. Evaluation of
wave force acting on Submerged
Floating Tunnels. Jepang. the Society of
submerged Floating Tunnel Technology
Research in Hokkaido University.
10) Youshi Hong, Fei Ge. 2010. Dynamic
response and structural integrity of
submerged floating tunnel due to
hydrodynamic load and accidental load.
Beijing : LNM, Institute of Mechanics,
Chinese Academy of Sciences.
11) Wei Lu, Fei Ge, Lei Wang, Youshi
Hong. 2010. Slack phenomena in tethers
of submerged floating tunnels under
hydrodynamic loads. Beijing : Institute of
Mechanics, Chinese Academy of
Sciences.
12) Donna Ahrens. 1997. Submerged
Floating Tunnels - A Concept Whose
Time Has Arrived. USA : Tunnelling and
Underground Space Technology.
13) F.M. Mazzolani, B. Faggiano, G.
Martire, M. Esposto. 2009. A new
challenge for strait crossings: the
immersed inversed cable. Italia :
Department of Structural Engineering,
University of Naples “Federico II”.
14) Iberahin Jusoh. 1996. Effects of Marine
Growth and Hydrosynamic Loading on
Offshore Structures. Malaysia :
Department of Thermo Fluid, Faculty of
Mechanical Engineering, Universiti
Teknologi Malaysia.
15) Iberahin Jusoh. 1996. Stress Utilisation
of Jacket Structure Under Environmental
Loading. Malaysia : Department of
Thermo Fluid, Faculty of Mechanical
Engineering, Universiti Teknologi
Malaysia.
d. Penetapan Jenis Material Property
Struktural SFT
Hal ini dilakukan untuk menetapkan material
struktur yang akan digunakan dalam analisa
struktur SFT. Khusus material pada tunnel SFT,
akan digunakan material beton sesuai dengan
rencana BPPT (BPPT.go.id, 2010) yang
merupakan pencetus penelitian SFT di Indonesia
dan karakteristik mutu beton (f’c) tersebut adalah
45 MPa. Sedangkan pada type karakteristik kabel
tendon baja yang akan digunakan pada struktur
SFT ini adalah karakteristik tipe kabel tendon
VSL. Balok memanjang dan balok melintang
yang akan berfungsi sebagai pemikul plat
kendaraan di dalam tunnel SFT akan digunakan
balok baja profil WF dengan mutu baja BJ 41.
Karakteristik mutu beton yang akan digunakan
pada plat kendaraan sama dengan yang
digunakan pada badan tunnel SFT sedangkan
untuk sabuk baja akan digunakan kakakteristik
material yang sama dengan balok baja yang ada
di dalam tunnel.
15
e. Pengumpulan Data
Mengumpulkan data – data yang diperlukan
berupa :
1) Data kedalaman perairan lokasi
pembangunan SFT di Kepulauan Seribu
2) Data gelombang lokasi Kepulauan Seribu
3) Data arus lokasi Kepulauan Seribu
4) Data type kabel tendon yang akan
digunakan sebagai kabel pada struktur
f. Preliminary Desain Struktur SFT
Dalam menentukan bentuk struktur SFT yang
akan digunakan dalam studi konfigurasi kabel ini,
bentuk struktur tersebut harus disesuaikan dengan
beberapa aspek seperti lebar plat kendaraan,
tinggi bebas tunnel, ketinggian permukaan air
laut, alinemen vertikal yang wajar pada suatu
jalan raya yaitu maksimum 6,28% dan berat
sendiri dari tunnel yang berada di dalam laut
harus memenuhi nilai rasio perbandingan gaya
apung dan berat sendiri badan tunnel yang
sebesar 1,2-1,3. Oleh karena itu, pada bagian ini
akan dilakukan cara trial and error untuk
mendapatkan dimensi-dimensi bagian struktural
yang paling cocok.
Penentuan tebal dinding tunnel akan
dilakukan dengan cara coba-coba apakah tebal
dinding yang digunakan akan kuat dan tidak
mengalami overstress ketika menerima beban
hidrostatis. Pada studi ini desain plat lantai
kendaraan tidak sampai menghitung jumlah
tulangan yang dibutuhkan tapi hanya menentukan
tebal dari plat lantai kedaraan tersebut. Penentuan
tebal plat lantai kendaraan pada tunnel akan
disesuaikan dengan persyaratan tebal plat lantai
kendaraan pada jembatan konvensional yaitu
berdasarkan BMS (Bridge Management System)
1992 pasal 6.7.1.2 sebagai berikut :
( 34 )
( 35 )
Dimana :
b1 = jarak balok baja pemikul plat lantai
kendaraan (m)
d’ = tebal plat lantai kendaraan (mm)
Balok baja yang akan digunakan pada struktur
SFT akan dikontrol kekuatan lentur, geser dan
lendutannya. Lendutan akibat beban terbagi rata
dan beban terpusat pada balok baja akan dihitung
menggunakan persamaan berikut :
( 36 )
Dimana :
q = Beban terbagi rata (kg/cm)
P = Beban terpusat (kg)
λ = Panjang balok (cm)
E = Modulus elastisitas baja (2.000.000 kg/cm2)
Ix = Momen inersia penampang balok pada
sumbu kuat (cm4)
∆ = Lendutan yang terjadi (cm)
Sedangkan lendutan ijin yang terjadi pada balok
baja adalah sebagai berikut :
( 37 )
Dimana :
λ = Panjang balok (cm)
∆ijin = Lendutan ijin (cm)
Jika ∆ijin > ∆, maka balok baja tersebut sudah
aman digunakan
Balok baja yang akan digunakan diusahakan
agar memiliki penampang yang kompak agar
dalam menentukan momen nominalnya (Mn) bisa
lebih praktis. Kuat lentur dari balok baja akan
dihitung menggunakan persamaan berikut :
( 38 )
( 39 )
Penampang balok baja bisa disebut penampang
kompak jika memenuhi persamaan berikut :
( 40 )
( 41 )
Dimana :
Mn = Momen nominal (kN.m)
Mp = Momen plastis (kN.m)
Zx = Modulus plastis (m3)
fy = kuat leleh baja (kN/m2)
h = tinggi penampang balok (m)
tw = tebal badan balok (m)
b = lebar flens balok (m)
Kuat lentur balok baja bisa dikatakan aman
jika momen nominal berfaktor (ǿMn) dari balok
baja yang telah ditentukan profilnya lebih besar
daripada momen ultimate yang terjadi (Mu) yaitu
momen berfaktor yang diakibatkan oleh beban-
beban yang bekerja pada balok (ǿMn > Mu (Ok)).
Sedangkan kuat geser dari balok akan dihitung
sesuai SNI 03-1729-2002 pasal 8.8.3a yaitu
sebagai berikut :
( 42 )
Kuat geser balok baja bisa dikatakan aman
jika kuat geser nominal berfaktor (ǿVn) dari balok
baja yang telah ditentukan profilnya lebih besar
daripada gaya geser ultimate yang terjadi yaitu
16
beban aksial berfaktor yang diakibatkan oleh
beban-beban yang bekerja pada balok (ǿVn > Vu
(Ok)).
g. Kontrol Desain dan Rasio Struktur SFT
Kontrol rasio dilakukan untuk mengecek
apakah rasio gaya apung dan struktur SFT masih
sesuai dengan rasio yang telah ditentukan yaitu
sekitar 1,2-1,3 sesuai Persamaan 1. Gaya apung
akan dihitung sesuai Persamaan 3 Bab II
sedangkan berat total SFT akan dihitung sesuai
Persamaan 2 Bab II. Struktur SFT akan
diusahakan untuk mencapai rasio ini agar konsep
SFT yang memanfaatkan gaya apung untuk
membantu mengimbangi beban gravitasi (Gravity
Load) dapat terpenuhi tapi akan diusahakan juga
agar rasio tidak terlalu besar karena hal ini dapat
mengakibatkan kabel tendon baja yang menahan
badan tunnel bisa cepat lelah atau dimensinya
akan terlalu besar sehingga akan semakin boros
juga dalam pelaksanaannya. Jika rasio telah
terpenuhi akan dilanjutkan dengan pemodelan
struktur SFT pada finite element software tapi
jika rasio belum memenuhi, maka akan dilakukan
preliminary desain lagi sampai menghasilkan
rasio yang memenuhi.
h. Pemodelan Struktur SFT Pada Finite
Element Software
Dalam penelitian konfigurasi kabel ini akan
digunakan software Autocad 2009 untuk
memodelkan struktur SFT dalam bentuk 3 (tiga)
dimensi kemudian melakukan export ke software
SAP 2000 14.2.2 atau software FEM (Finite
Element Method) lainnya. Contoh desain bentuk
struktur SFT yang digunakan dalam studi
konfigurasi kabel SFT terdapat pada gambar di
bawah ini :
Gambar di atas menunjukkan tampak
memanjang SFT dengan hanya menampakkan
tampak samping kabel transversalnya. Pada
bagian miring tunnel tersebut nantinya akan
disesuaikan kemiringannya maksimamum 6,28%
dan panjangnya tergantung dari data bathymetri
dan elevasi tanah daerah sekitar pemasangan
protoype SFT ini. Pada studi ini juga akan
menganalisis konfigurasi kabel longitudinal.
Konfigurasi kabel longitudinal yang akan
digunakan pada studi ini ada 3 type. Gambar
ketiga type konfigurasi kabel longitudinal SFT
tersebut dapat dilihat di bawah ini:
Gambar ketiga type konfigurasi kabel
longitudinal di atas akan dikombinasikan dengan
konfigurasi kabel transversal jika pengaruh
deformasi struktur SFT pada arah longitudinal
sangat besar. Konfigurasi kabel transversal yang
akan digunakan adalah konfigurasi kabel
transversal yang paling efektif dalam hal ini
adalah yang kuat dalam menahan badan tunnel
akibat beban luar dan murah dalam
pemakaiannya. Sambungan antara kabel
baja/tendon dan badan tunnel beton akan
menggunakan sabuk baja yang akan dililitkan
pada badan tunnel.
Konfigurasi kabel transversal yang akan
dianalisis dalam studi ini adalah konfigurasi
kabel hasil modifikasi dari konfigurasi kabel
yang telah diciptakan oleh Profesor Maeda
(Maeda, 1994) dimana dari konfigurasi tersebut
akan dipilih bentuk yang paling efektif dalam hal
ini kuat dalam menahan badan tunnel akibat
beban luar dan murah bagi pembangunan SFT
(Submerge Floating Tunnel) di Indonesia
tepatnya di Kepulauan Seribu sebagai
penghubung antara Pulau Panggang dan Pulau
Karya. Detail konfigurasi-konfigurasi tersebut
dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
Penampang yang akan digunakan dalam
desain SFT pada studi ini adalah penampang
lingkaran dengan material beton. Gambar contoh
bentuk penampang badan tunnel yang akan
digunakan pada studi ini dapat dilihat pada
gambar di bawah ini:
i. Pembebanan Struktur
Perencanaan pembebanan pada struktur ini
berdasarkan API RP 2A dan SNI 03-2847/BMS
1992. Pembebanan yang dilakukan akan
menggunakan metode-metode pembebanan yang
terdapat pada Bab II.
j. Analisa Struktur SFT
Dalam melakukan analisa dan perbandingan
hasil konfigurasi kabel akan digunakan
peraturan-peraturan API RP 2T dan SNI/BMS.
Analisis struktur meliputi :
1. Analisis tegangan dan lendutan tunnel SFT
2. Analisis tegangan kabel SFT
3. Analisis displacement kabel akibat beban
luar
Metode analisis yang akan digunakan pada
studi ini dibahas pada Bab II. Analisa struktur
tunnel harus memenuhi syarat tegangan dan
lendutan ijin sesuai peraturan SNI 03-2847-2002
dimana syarat tersebut terdapat pada Persamaan
31, Persamaan 32 dan Persamaan 33 Bab II,
sedangkan kabel SFT harus memenuhi syarat
tegangan ijin sesuai peraturan API RP 2T yang
terdapat pada Persamaan 27-30.
17
k. Perbandingan Hasil Konfigurasi Kabel
SFT
Setelah melakukan analisa struktur pada SFT,
hasil dari analisa akan dibandingkan untuk
mendapatkan konfigurasi kabel SFT yang paling
efektif dimana konfigurasi yang efektif tersebut
kuat dalam menahan badan tunnel saat beban luar
terjadi dan tidak boros dalam penggunaannya
pada struktur SFT.
l. Deskripsi Hasil Studi
Deskripsi hasil studi akan digunakan untuk
memberikan hasil dan kesimpulan dari
keseluruhan studi konfigurasi kabel ini.
BAB IV
ANALISA DATA
4.1 Umum
Analisa struktur prototype SFT direncanakan
menggunakan peraturan API RP 2A-WSD 2000,
tetapi dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa
semua isi peraturan pembebanan yang ada di
dalamnya hanya bisa digunakan jika type
gelombang yang terjadi pada lingkungan perairan
tersebut merupakan type gelombang unbreaking
wave dan jika lingkungan perairan yang akan
dianalisa memiliki type gelombang yang bukan
unbreaking wave atau gelombang tersebut
memiliki type breaking wave, maka tidak boleh
menggunakan peraturan API RP 2A-WSD 2000.
Lingkungan perairan yang ditinjau memiliki type
gelombang unbreaking wave jika kedalaman laut
lebih besar daripada 1,5 kali tinggi gelombang
yang terjadi. Data tinggi dan periode gelombang
hasil pengukuran di lapangan pada lingkungan
perairan tempat prototype SFT ini akan dibangun
adalah sebagai berikut :
Tabel Data tinggi dan periode gelombang
stationary perairan tempat prototype struktur
SFT dibangun
Tinggi gelombang maksimum (Hsta) 1,2 m
Periode gelombang maksimum (Tsta) 3,58 s
Sumber : Lab. Struktur Jurusan Teknik Sipil FTSP
ITS
Data bathymetri yang didapat untuk
melakukan studi ini hanya berupa profil melintang
laut dengan ukuran ketinggian lautnya. Data
tersebut sudah bisa dijadikan acuan untuk
menentukan letak tunnel SFT dari kedalaman laut
di lingkungan tersebut. Profil melintang laut
tempat SFT akan dibangun adalah sebagai berikut :
Sumber : Lab. Struktur Jurusan Teknik Sipil FTSP
ITS
Gambar Profil melintang laut tempat prototype
struktur SFT dibangun dengan ukuran
kedalamannya
Dari gambar di atas diketahui bahwa kedalaman
laut tempat struktur prototype SFT dibangun
adalah 20 m, sehingga penentuan tipe gelombang
dapat ditentukan sebagai berikut :
( unbreaking wave )
Dari hasil perhitungan di atas dapat diketahui juga
bahwa tipe gelombang yang terjadi di lingkungan
perairan tempat SFT dibangun adalah tipe
gelombang unbreaking wave sehingga peraturan
pembebanan dan teori gelombang pada API RP
2A-WSD 2000 dapat digunakan dalam studi SFT
ini.
18
4.2 Penentuan Teori Gelombang
Penentuan teori gelombang yang akan
digunakan pada analisa sruktur prototype SFT
tergantung dari data lingkungan perairan tempat
prototype SFT tersebut dibangun, dimana untuk
menentukan teori gelombang tersebut harus sesuai
dengan persyaratan pada tabel 2.3.1-3 API RP 2A-
WSD 2000. Tabel tersebut dapat dilihat pada Bab
II Gambar 2.20. Gambar untuk menentukan teori
gelombang yang akan digunakan tersebut adalah
berupa grafik hubungan antara H/gT2 dan d/gT2.
Perhitungan untuk menentukan teori gelombang
yang akan digunakan dalam analisa struktur SFT
nantinya adalah sebagai berikut :
Hasi perhitungan dari parameter untuk
penentuan teori gelombang yang digunakan di atas
akan diplot garfik penentuan gelomabang API
WSD 2000 dan diketahui bahwa teori gelombang
yang digunakan adalah Stokes Orde 5 atau Stokes
Wave Theory. Teori gelombang tersebut banyak
digunakan dalam perhitungan gelombang dengan
amplitudo kecil tetapi berhingga. Teori tersebut
juga bisa valid untuk digunakan jika rasio
kedalaman h/L lebih besar dari 1/10.
4.3 Tekanan Hidrostatis dan Profil Arus
Tekanan hidrostatis yang terjadi pada
struktur lepas pantai akan dipengaruhi oleh tinggi
gelombang dan pasang surut air laut karena
tekanan hidrostatis tersebut juga bisa bertambah
jika kedalamannya juga bertambah. Pada studi ini
tidak ada data pasang surut sehingga diasumsikan
jika pasang surut yang terjadi pada lingkunga
perairan tempat struktur prototype SFT adalah 1
(satu) meter. Besarnya tekanan hidrostatis yang
akan terjadi pada struktur di lingkungan tempat
prototype SFT dibangun akan dihitung sesuai
peraturan API RP 2A-WSD 2000 pasal 3.2.5.
Rumus perhitungan tekanan hidrostatis tersebut
dapat dilihat pada Persamaan 4 dan Persamaan 5
Bab II.
Perhitungan tekanan hidrostatis pada
struktur SFT akan dimulai dengan menghitung
panjang gelombang yang terjadi dengan
menggunakan bantuan finite element software SAP
2000 v.14.2.2 sebagai berikut :
Penentuan karakteristik gelombang pada
software SAP 2000 v.14.2.2
Karakteristik gelombang yang akan
dimasukkan ke dalam perhitungan software SAP
2000 tergantung dari teori gelombang yang akan
digunakan, dimana seperti pada hasil perhitungan
sebelumnya teori gelombang yang digunakan
adalah Stokes Wave Theory. Data lain yang
dimasukkan adalah tinggi gelombang, periode
gelombang, kedalaman air laut, faktor kinematik
gelombang dimana digunakan angka rata-rata 0,9
jika diasumsikan struktur terpengaruh oleh badai di
daerah tropis karena nilai faktor kinematik
gelombang untuk daerah tersebut adalah 0,85-0,95,
dan tinggi pasang dari seabed yaitu 21 m atau 1 m
dari datum
Data gelombang yang dimasukkan ke dalam
perhitungan software SAP 2000 perlu ditambahkan
dengan data profil arus yang terjadi di lingkungan
perairan tempat struktur prototype SFT akan
dibangun karena gaya gelombang diasumsikan
terjadi bersamaan dengan gaya arus. Data
kecepatan arus yang didapatkan adalah 1,2 m/s
pada kedalaman 15 m dari seabed dan tidak
diketahui kecepatan arus tersebut disebabkan oleh
angin atau pasang surut karena pengukurannya
langsung dilakukan di lapangan. Jadi, dari data
kecepatan arus tersebut akan dihitung berapa
kecepatan arus jika disebabkan oleh angin dan
berapa kecepatan arus jika disebabkan oleh pasang
surut. Hasil dari kedua kecepatan arus tersebut
nantinya akan dibandingkan yang mana yang
paling besar. Hasil kecepatan maksimum yang
didapatkan nantinya akan dimasukkan ke dalam
software SAP 2000 sebagai profil arus. Perbedaan
kecepatan arus akibat angin dan kecepatan arus
akibat pasang surut dapat dilihat pada gambar di
bawah ini :
Sumber : Offshore Structure Analysis and Design,
1999
Gambar Perbedaan kecepatan angin akibat
angin dan akibat pasang surut
19
Perhitungan kecepatan arus akibat angin
akan menggunakan Persamaan 24 pada Bab II.
Hasil perhitungan kecepatan arus akibat angin
adalah sebagai berikut :
Tabel Hasil analisa kecepatan arus akibat angin
h(m) y (m) Vcow (m/s) Vcw (m/s)
21 0 1.2 0.00
21 2 1.2 0.11
21 4 1.2 0.23
21 6 1.2 0.34
21 8 1.2 0.46
21 10 1.2 0.57
21 12 1.2 0.69
21 14 1.2 0.80
21 15 1.2 0.86
21 16 1.2 0.91
21 18 1.2 1.03
21 20 1.2 1.14
21 21 1.2 1.20
Keterangan tabel :
h = Kedalaman laut dihitung pada saat pasang
y = Tinggi air laut dari seabed
VC0W = Kecepatan arus di permukaan laut
VCW = Kecepatan arus menurut kedalamannya dari
seabed
Setelah didapatkan kecepatan arus akibat angin
menurut kedalamannya, akan dihitung juga
kecepatan arus akibat pasang surut air laut sesuai
Persamaan 23. Perhitungan tersebut adalah
sebagai berikut :
Tabel Hasil analisa kecepatan arus akibat
pasang surut
h(m) y (m) VcoT (m/s) VcT (m/s)
21 0 1.2 0.00
21 2 1.2 0.86
21 4 1.2 0.95
21 6 1.2 1.00
21 8 1.2 1.05
21 10 1.2 1.08
21 12 1.2 1.11
21 14 1.2 1.13
21 15 1.2 1.14
21 16 1.2 1.15
21 18 1.2 1.17
21 20 1.2 1.19
21 21 1.2 1.20
Keterangan tabel :
h = Kedalaman laut dihitung pada saat pasang
y = Tinggi air laut dari seabed
Vc0T = Kecepatan arus di permukaan laut
VcT = Kecepatan arus menurut kedalamannya dari
seabed
Profil arus yang dimasukkan ke dalam tabel
current profile pada software SAP 2000 hanya
dibolehkan satu tabel. Oleh karena itu, data-data
hasil perhitungan kecepatan arus akibat angin dan
pasang surut akan dijumlahkan. Hal ini disebabkan
karena pada studi ini akan memperhitungkan
keadaan lingkungan berada pada kondisi yang
kritis dimana arus akibat pasang surut dan angin
terjadi secara bersamaan.
Hasil perhitungan kecepatan arus
maksimum yang terjadi tiap kedalaman dari seabed
adalah sebagai berikut :
Tabel Hasil analisa kecepatan arus maksimum
tiap kedalaman dari seabed
y (m) Vcurrent (m/s)
0 0.000
2 0.972
4 1.175
6 1.346
8 1.503
10 1.651
12 1.794
14 1.932
15 2.001
16 2.069
18 2.202
20 2.335
21 2.400
Hasil analisa pada tabel di atas digunakan
untuk menentukan profil arus yang terjadi pada
lingkungan perairan tempat struktur prototype SFT
dibangun. Hasil analisa tersebut dimasukkan ke
dalam tabel data current profile pada software SAP
2000. Pada API RP 2A-WSD 2000 terdapat
penggunaan blockage factor atau faktor hambatan
yang mengurangi kecepatan arus, dengan kata lain
kehadiran struktur mengakibatkan arus menyebar
dan sebagian tidak melalui struktur atau hanya
mengelilingi struktur. Pada studi ini akan
digunakan blockage factor sebesar 1. Profil arus
yang dimasukkan ke dalam input data software
SAP 2000 adalah sebagai berikut :
20
Gambar Input data profil arus pada software
SAP 2000
Tabel dari software SAP 2000 di atas
menunjukkan bahwa vertikal from datum adalah
jarak dari permukaan laut ke seabed atau dasar
laut. Pengisian tabel pada software SAP 2000
dilakukan dengan cara demikian agar konsep teori
gaya gelombang yang terjadi pada suatu bangunan
lepas pantai terpenuhi yaitu semakin mendekati
permukaan laut akan semakin besar dibandingkan
dengan gaya gelombang yang terjadi pada daerah
seabed atau dasar laut.
Gambar Konsep teori gaya gelombang dan arus
pada struktur SFT
Setelah data gelombang dan profil arus
dimasukkan ke dalam input software SAP 2000,
akan dilihat hasil perhitungan panjang gelombang
yang terjadi sesuai dengan stokes wave theory.
Hasil perhitungan panjang gelombang tersebut
dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
Gambar Hasil analisa kondisi lingkungan
perairan tempat SFT akan dibangun pada
software SAP 2000
Dari hasil analisa SAP 2000 diketahui
bahwa panjang gelombang (L) adalah 34,9373 m.
Angka gelombang (k) dapat dihitung dengan
memasukkan panjang gelombang (L) ke dalam
persamaan sebagai berikut :
Teori gelombang yang telah digunakan juga akan
dikontrol apakah sudah benar atau belum agar
analisa gelombang yang akan dihitung bisa sesuai
dengan peraturan API RP 2A-WSD 2000 dengan
menggunakan Tapp karena sebelumnya hanya
menggunakan periode gelombang hasil pencatatan
di lapangan (T). Kontrol penggunaan teori tersebut
adalah sebagai berikut :
Setelah itu akan dicek juga apakah teori
stokes sudah valid untuk digunakan. Pengecekan
tersebut adalah sebagai berikut :
Jadi, penentuan teori gelombang dalam analisa
sebelumnya sudah benar karena hasil perhitungan
di atas menunjukkan bahwa grafik penentuan teori
gelombang juga menunjukkan stokes wave theory
atau stokes orde 5.
Hasil perhitungan angka gelombang (k) yang
juga telah dihitung sebelumnya akan digunakan
untuk menentukan besarnya tekanan hidrostatis
sesuai dengan kedalaman (z), dimana tinggi
permukaan laut (d) dari seabed yang digunakan
yaitu 20 m. Tinggi gelombang yang digunakan
pada perhitungan tekanan hidrostatis ini juga akan
menggunakan tinggi gelombang maksimum yang
akan dihitung sebagai berikut :
Hasil perhitungan tekanan hidrostatis pada
lingkungan perairan struktur prototype SFT adalah
sebagai berikut :
21
Tabel Hasil perhitungan tekanan hidrostatis
menurut kedalamannya
Dari tabel perhitungan di atas dapat
diketahui bahwa besarnya tekanan hidrostatis yang
bekerja pada struktur SFT tergantung dari
kedalaman laut, dimana jika struktur SFT
diletakkan semakin dalam maka struktur akan
mendapatkan tekanan hidrostatis yang lebih besar
daripada jika struktur diletakkan di daerah yang
lebih dangkal. Prototype struktur SFT pada studi
ini akan diletakkan sedalam 5 m dari permukaan
laut. Pada tabel di atas, angka yang berwarna
merah adalah tekanan hidrostatis yang akan
bekerja pada prototype struktur SFT tersebut.
Tekanan hidrostatis tersebut akan bekerja pada
seluruh permukaan badan tunnel dan kabel SFT
walaupun tekanan hidrostatis yang bekerja pada
kabel tidak akan terlalu berpengaruh pada kabel
SFT tersebut.
Gambar Tekanan hidrostatis pada struktur
SFT
4.4 Profil Gelombang
Gaya gelombang yang terjadi pada salah
satu bagian struktur juga tergantung dari luas
penampang dari salah satu bagian struktur tersebut.
Besarnya kecepatan dan percepatan gelombang
pada berbagai arah akan dihitung sesuai
Persamaan 19, Persamaan 20, Persamaan 21
dan Persamaan 22. Setelah memasukkan data
gelombang dan profil arus pada software SAP
2000 yang juga telah dilakukan sebelumnya,
software tersebut secara otomatis akan menghitung
besarnya kecepatan dan percepatan gelombang
dalam arah vertikal dan horizontal. Gaya
gelombang dan arus yang akan bekerja pada
struktur akan diasumsikan terjadi pada arah 0O atau
pada arah sumbu X karena pada arah tersebut
kondisi kritis akan terjadi pada struktur SFT jika
beban lateral bekerja. Tampilan hasil analisa data
gelombang pada software SAP 2000 dapat dilihat
pada gambar di bawah ini :
Gambar Analisa data gelombang pada software
SAP 2000
Gaya gelombang dan arus yang telah
dihitung oleh software SAP 2000 hanya akan
bekerja pada frame properties model struktur SFT
atau hanya bekerja pada kabel/tendon SFT
sehingga gaya gelombang dan arus tersebut tidak
akan bekerja pada badan tunnel yang merupakan
shell properties. Gaya gelombang tidak ada pada
tabel profil gelombang software SAP 2000 di atas
karena besarnya gaya gelombang tersebut
tergantung dari diameter kabel tendon SFT.
Software SAP 2000 secara otomatis akan
menghitung besarnya gaya gelombang yang akan
terjadi nanti pada kabel tendon SFT setelah semua
define property dan assign load telah dilakukan.
Sedangkan besarnya gaya gelombang dan arus
yang terjadi pada badan tunnel akan dihitung
dengan cara manual. Bentuk penampang tunnel
yang akan digunakan pada studi ini adalah sebagai
berikut :
Gambar Penampang badan tunnel SFT yang
akan digunakan pada studi konfigurasi kabel
Persamaan untuk menghitung gaya
gelombang dan arus bisa menggunakan persamaan
Morrison jika perbandingan antara diameter
struktur dengan panjang gelombang lebih kecil
atau sama dengan 0,1 0,2 (TU Delft Open Course,
2005 sedangkan jika perbandingan tersebut lebih
besar dari nilai 0,1 0,2, maka teori difraksi harus
digunakan dalam analisa perhitungan beban
lingkungan untuk gelombang dan arus. BPPT dan
z k(d-z) cosh [k(d-z)] cosh kd Hw (m) Hz (m) γ (N/m3) ρ(N/m2)
0 3.595 18.222 34.642 2.232 0.587 10050 5899.543
2 3.236 12.729 34.642 2.232 2.410 10050 24221.291
4 2.876 8.900 34.642 2.232 4.287 10050 43081.440
5 2.696 7.446 34.642 2.232 5.240 10050 52660.679
6 2.517 6.233 34.642 2.232 6.201 10050 62318.018
8 2.157 4.380 34.642 2.232 8.141 10050 81818.227
10 1.798 3.100 34.642 2.232 10.100 10050 101503.712
11 1.618 2.620 34.642 2.232 11.084 10050 111398.276
12 1.438 2.225 34.642 2.232 12.072 10050 121320.322
14 1.079 1.640 34.642 2.232 14.053 10050 141231.033
16 0.719 1.270 34.642 2.232 16.041 10050 161211.118
18 0.360 1.065 34.642 2.232 18.034 10050 181244.911
20 0.000 1.000 34.642 2.232 20.032 10050 201323.763
22
ITS telah menentukan ukuran diameter dalam
tunnel yang digunakan adalah 5 m sedangkan
diameter luar tunnel yang akan digunakan adalah
5,9 m setelah dilakukan cara trial and error untuk
mendapatkan dinding tunnel yang aman, sehingga :
Jadi, persamaan Morrison untuk menghitung gaya
gelombang dan arus yang bekerja pada badan
tunnel dapat digunakan dengan mengabaikan teori
difraksi. Perhitungan gaya gelombang dan arus
akan diasumsikan terjadi bersamaan dan dengan
arah yang sama untuk mendapatkan beban
lingkungan akibat gelombang dan arus yang paling
maksimum. Tinggi gelombang yang akan
digunakan dalam perhitungan adalah tinggi
gelombang maksimum yang juga telah digunakan
dalam perhitungan tekanan hidrostatis.
Tinggi gelombang maksimum yang telah
dihitung sebelumnya yaitu sebesar 2,232 m
merupakan hasil pembesaran tinggi gelombang
signifikan hasil pencatatan di lapangan
menggunakan nilai faktor 1,86. Gaya gelombang
dan gaya arus yang bekerja pada badan tunnel SFT
akan dihitung selama periode gelombang terjadi
yaitu 3,58 s sepanjang 34,9373 m jarak horizontal
yang juga merupakan panjang gelombang. Hasil
perhitungan gaya gelombang dan arus yang terjadi
pada badan tunnel SFT akan ditampilkan pada
tabel-tabel sebagai berikut :
BAB V
PRELIMINARY DESAIN STRUKTUR
SFT
5.1 Umum Studi tentang SFT (Submerge Floating
Tunnel) yang dilakukan di Indonesia khususnya di
ITS ( Institut Teknologi Sepuluh Nopember )
dilakukan secara berkelompok. Khusus pada Studi
Konfigurasi Kabel SFT ini akan digunakan
penampang badan tunnel berbentuk lingkaran
dengan material beton sebagai sample desain
dalam menentukan konfigurasi kabel yang
nantinya akan menahan badan tunnel pada saat
beban luar dan gaya apung bekerja pada badan
tunnel tersebut. Desain Struktural tunnel SFT yang
akan dibuat harus sesuai dengan persyaratan rasio
antara berat total tunnel SFT yang ada di dalam air
dengan gaya apung yang bekerja pada badan
tunnel.
Pada studi mengenai SFT ini, tunnel yang
akan didesain hanya merupakan prototype yang
perencanaannya hanya diperuntukkan bagi
kendaraan ringan biasa atau kendaraan penumpang
karena SFT di Kepulauan Seribu dibangun untuk
meninjau kelayakan pembangunan SFT di
Indonesia.
5.2 Desain Diameter dan Profil Memanjang
Tunnel SFT
Desain tebal diameter tunnel pada struktur
SFT akan disesuaikan dengan lebar kendaraan
ringan/kendaraan penumpang biasa yang
direncanakan sebagai beban lalu-lintas pada SFT
ini yaitu 2,1 m dan tinggi bebas yang cukup untuk
kendaraan ringan yaitu minimum 1,3 m. Gambar
dan ukuran kendaraan ringan yang dijadikan acuan
untuk menentukan dimensi lebar penampang
tunnel terdapat pada gambar di bawah ini:
Sumber : RUU Tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan. Status Final 2005 (pasal 12)
Gambar Dimensi Kendaraan Penumpang
Dari dimensi kendaraan di atas,
direncanakan diameter dalam (d) penampang
tunnel yang cukup untuk dilewati oleh kendaraan
tersebut yaitu 5 m, dimana ukuran ini juga sama
dengan yang diinginkan BPPT. Diameter dalam
tersebut sudah cukup untuk dilewati oleh
kendaraan ringan karena diasumsikan tunnel hanya
untuk 2 (dua) lajur. Gambar penampang tunnel
protoype SFT yang akan digunakan sebagai sample
dalam menganalisa konfigurasi kabel adalah
sebagai berikut :
Gambar Dimensi bagian luar tunnel prototype
SFT
Bentuk memanjang dari prototype tunnel
SFT akan dibuat sedemikian rupa agar memiliki
kemiringan atau kelandaian yang layak untuk
kondisi jalan umum yaitu sekitar 5%-11%.
Kelandaian jalan yang akan dibuat pada SFT ini
adalah kelandaian maksimum agar dalam
23
pelaksanaannya struktur SFT tidak memerlukan
penggalian tanah yang berlebihan untuk mencapai
kemiringan yang lebih rendah karena dapat
mempengaruhi bangunan disekitarnya. Kemiringan
atau kelandaian yang direncanakan harus dapat
memungkinkan SFT bisa menghubungkan pulau
yang berjarak 150 m. Secara detail, batasan
kelandaian maksimum menurut Bina Marga’90
dan AASHTO’90 ditunjukkan pada tabel di bawah
ini :
Tabel Batasan kelandaian maksimum menurut
AASHTO’90 dan Bina Marga’90
Kecepatan
Rencana
(km/j)
Jalan Arteri Luar Kota (AASHTO’90)
Jalan Luar Kota
(Bina Marga)
Datar
Perbukitan
Pegununga
n
Kelandaian Maks
Standar (%)
Kelandaian Maks Mutlak
(%)
40 7 11
50 6 10
64 5 6 8
60 5 9
80 4 5 7 4 8
96 3 4 6
113 3 4 5
Sumbe Sumber : Modul Kuliah Geometrik Jalan Raya
dan Rel Jurusan Teknik Sipil ITS
Dari tabel di atas digunakan kelandaian
maksimum mutlak untuk kecepatan rencana 40
km/jam. Gambar bentuk memanjang dari prototype
badan tunnel SFT yang akan dibuat terdapat pada
gambar di bawah ini :
Gambar Bentuk memanjang tunnel prototype
SFT
5.3 Desain Struktural Tunnel SFT
Bagian-bagian struktural tunnel akan
berpengaruh pada berat tunnel itu sendiri sehingga
dalam menentukan bagian-bagian struktural tunnel
harus mempertimbangkan rasio antara gaya apung
dengan berat total tunnel yaitu sekitar 1,2-1,3.
Untuk menentukan tebal badan tunnel agar berat
sendiri badan tunnel tersebut nantinya akan sesuai
dengan rasio yang telah ditentukan akan digunakan
Persamaan 1, Persamaan 2 dan Persamaan 3
pada Bab II.
Dalam menentukan bagian struktural tunnel,
nilai rasio yang akan digunakan adalah sekitar 1,3
jika kondisi tunnel belum dibebani oleh beban
kendaraan atau beban hidup lalu-lintas sedangkan
nilai rasio sekitar 1,2 digunakan jika kondisi tunnel
telah dibebani oleh beban hidup lalu-lintas.
Berat sendiri badan tunnel (W) yang akan
dihitung nantinya akan ditambahkan dengan
beban-beban fasilitas lainnya yang berada di dalam
tunnel seperti beban plat kendaraan, balok baja
pemikul plat kendaraan dan lain-lain. Seperti
dengan yang dijelaskan pada bab II, beban-beban
tersebut akan dibatasi sampai sebesar 30% dari
berat sendiri badan tunnel sehingga akan dilakukan
cara trial and error untuk mendapatkan berat
seluruh bagian struktural dari tunnel SFT yang
akan dibuat.
Panjang keseluruhan badan tunnel SFT yang
telah direncanakan adalah 177,14 m sedangkan
panjang badan tunnel yang berada di dalam laut
adalah 130,75 m. Jadi, total gaya apung (U) yang
terjadi pada badan tunnel SFT akan dihitung
sebagai berikut :
Gaya apung yang telah dihitung di atas tidak
boleh lebih kecil daripada berat total tunnel SFT
agar gaya apung tersebut dapat membantu struktur
SFT dalam menahan beban mati dan beban hidup
yang bekerja di dalam tunnel. Cara trial and error
akan digunakan untuk mendapatkan dimensi
bagian-bagian struktural yang cocok, kuat, dan
aman tapi tetap memiliki berat yang sesuai dengan
rasio berat tunnel yang diinginkan.
Setelah melakukan cara trial and error,
didapatkan bagian-bagian struktural dari tunnel
SFT sebagai berikut :
5.3.1 Plat Kendaraan
Plat lantai kendaraan yang akan digunakan
pada tunnel SFT adalah plat lantai beton bertulang
yang sering digunakan pada jembatan
konvensional. Plat lantai kendaraan ini memiliki
lebar 4,5 m dan akan ditahan oleh balok profil baja
pada posisi memanjang dengan jarak antara balok
baja sebesar 1,25 m serta balok profil baja pada
posisi melintang dengan jarak antar balok
melintang 3 m, jadi dalam menentukan tebal plat
lantai kendaraan yang ada di dalam tunnel sama
dengan menentukan tebal plat lantai kendaraan
pada jembatan konvensional. Penentuan tebal plat
lantai kendaraan pada tunnel adalah sebagai
berikut :
24
Dimana :
b1 = jarak balok profil baja pemikul plat lantai
kendaraan (m)
d’ = tebal plat lantai kendaraan (mm)
Dengan memasukkan nilai b1 yang merupakan
jarak antara balok profil baja memanjang yaitu
sebesar 1,25 m, maka tebal plat lantai kendaraan
(d’) adalah sebagai berikut :
Jadi, didapatkan nilai d’ sebesar 200 mm.
Digunakan tebal plat lantai kendaraan sebesar 200
mm karena tebal tersebut juga sudah sesuai dengan
persyaratan yang mengharuskan tebal plat lantai
kendaraan lebih besar atau sama dengan 200 mm.
5.3.2 Balok Memanjang
Pada studi ini akan direncanakan balok baja
pada posisi memanjang dengan profil WF (Wide
Flange) 250 x 175 x 7 x 11 (BJ 41) dengan data
profil sebagai berikut :
Tabel
Data profil baja WF untuk balok posisi
memanjang Direncanakan balok baja profil WF
250x175x7x11
A 56.24 cm2 Sx 502.0 cm3
w 44.10 kg/m Sy 113.0 cm3
Zx 535.00 cm3 ix 10.4 cm
Zy 171.00 cm3 iy 4.18 cm
Ix 6,120.00 cm4 r 16 mm
Iy 984.00 cm4 h 190 mm
fy 250 MPa fu 410 MPa
tw 7 mm tf 11 mm
d 244 mm bf 175 mm
Pembebanan akibat beban mati serta perhitungan
momen dan gaya geser maksimum yang bekerja
pada balok memanjang dapat dilihat pada tabel
berikut :
Tabel
Perhitungan beban mati, momen maksimum,
dan gaya geser maksimum pada balok
memanjang
Aspal 1.7875 kN/m
Plat Beton 7.8 kN/m
Berat Sendiri Balok 0.4851 kN/m
Berat Bekisting 0.875 kN/m
Berat Total (qdead) 10.948 kN/m
Mmax(momen akibat beban mati) 12.31605 kN.m
Vmax(gaya geser akibat beban mati) 16.4214 kN
Hasil perhitungan pembebanan, perhitungan
momen dan gaya geser maksimum akibat beban
hidup pada balok memanjang dapat dilihat pada
tabel berikut :
Tabel Perhitungan beban, momen dan gaya
geser maksimum pada balok memanjang akibat
beban hidup
Beban Hidup Beban Hidup Merata (UDL)
8.00 kN/m2 L<30 m (BMS 2.3.3.1)
qUDL 20.00 kN/m
Beban Hidup (KEL) 44 kN/m
(BMS 2.3.3.1)
P(KEL) 71.5 kN
Mmax(momen akibat beban hidup UDL+KEL) 76.125 kN.m
Vmax(gaya geser akibat beban hidup UDL+KEL) 101.500 kN
Kontrol lendutan akibat beban hidup dan
beban mati pada profil balok memanjang yang
telah dipilih adalah sebagai berikut:
Tabel Kontrol Lendutan pada balok
memanjang
Kontrol Lendutan
∆ beban mati 0.07 cm
∆ beban hidup 0.24 cm
∆ total 0.31 cm
∆ ijin 0.60 cm
kontrol lendutan ok !!!
Profil balok memanjang yang telah dipilih
akan dikontrol kekuatan lenturnya. Kontrol kuat
lentur balok memanjang adalah sebagai berikut :
25
Tabel Kontrol lentur pada balok memanjang
Kontrol Lentur
M livemax 76.125 kNm
M deadmax 12.31605 kNm
Mu 88.441 kNm
Mn 133.75 kNm
ǿMn 120.375 kNm
kontrol ok !!!
Setelah mengontrol kuat lentur profil balok
memanjang, akan dikontrol lagi kekuatan
gesernya. Kontrol kuat geser balok memanjang
adalah sebagai berikut :
Tabel Kontrol geser pada balok memanjang
Kontrol Geser
V livemax 101.500 kN
V deadmax 16.421 kN
Vu 117.921 kN
Vn 19950 kg
199.5 kN
ǿVn 179.55 kN
kontrol ok !!!
Jadi, profil balok memanjang WF 250 x 175
x 7 x 11 sudah aman digunakan pada struktur SFT.
5.3.3 Balok Melintang
Pada studi ini akan direncanakan balok baja
pada posisi melintang dengan profil WF (Wide
Flange) 450 x 300 x 10 x 15 (BJ 41) dengan data
profil sebagai berikut :
Tabel Data profil baja WF untuk balok posisi
melintang Direncanakan balok baja profil WF 450x300x10x15
A 135.00 cm2 Sx 2,160.00 cm3
w 106.00 kg/m Sy 488.00 cm3
Zx 2,287.00 cm3 ix 18.60 cm
Zy 681.00 cm3 iy 7.04 cm
Ix 46,800.00 cm4 r 24.00 mm
Iy 6,690.00 cm4 h 356.00 mm
fy 250 MPa fu 410.00 MPa
tw 10 mm tf 15 mm
d 434 mm bf 299 mm
Pembebanan akibat beban mati sebelum
komposit serta perhitungan momen dan gaya geser
maksimum yang bekerja pada balok melintang
dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel Perhitungan beban mati sebelum
komposit, momen dan gaya geser maksimum
pada balok melintang Beban Mati Sebelum Komposit
Balok memanjang 1.164 kN/m
Plat Beton 18.720 kN/m
Balok melintang 1.166 kN/m
Berat Bekisting 2.100 kN/m
Berat Total (qdead) 23.150 kN/m
Mmax(momen akibat beban mati) 54.258 kN.m
Vmax(gaya geser akibat beban mati) 50.121 kN
Sedangkan pembebanan akibat beban mati
setelah komposit serta perhitungan momen dan
gaya geser maksimum yang bekerja pada balok
melintang dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel Perhitungan beban mati setelah
komposit, momen dan gaya geser maksimum
pada balok melintang Beban Mati Sesudah Komposit
Aspal 4.29 kN/m
Berat Total (qdead) 4.290 kN/m
Mmax(momen akibat beban mati) 10.055 kN.m
Vmax(gaya geser akibat beban mati) 9.288 kN
Pembebanan akibat beban hidup serta
perhitungan momen dan gaya geser maksimum
yang bekerja pada balok melintang dapat dilihat
pada tabel berikut :
Tabel Perhitungan beban hidup, momen dan
gaya geser maksimum pada balok melintang
Beban Hidup Merata (UDL) 9.355 kN/m2
L>30 m (BMS 2.3.3.1)
qUDL 56.129 kN/m
Beban Hidup (KEL) 44 kN/m
(BMS 2.3.3.1)
qKEL 114.4 kN/m
Mmax(momen akibat beban hidup UDL+KEL) 399.673 kN.m
Vmax(gaya geser akibat beban hidup UDL+KEL) 369.204 kN
Kontrol lendutan akibat beban hidup dan beban
mati pada profil balok melintang yang telah dipilih
adalah sebagai berikut :
26
Tabel Kontrol Lendutan pada balok melintang Kontrol Lendutan
∆ beban mati 0.10 cm
∆ beban hidup 0.40 cm
∆ total 0.50 cm
∆ ijin 0.87 cm
kontrol lendutan ok !!!
Profil balok melintang yang telah dipilih akan
dikontrol kekuatan lenturnya. Kontrol kuat lentur
balok melintang adalah sebagai berikut :
Tabel Kontrol lentur pada balok melintang Kontrol Lentur
M livemax 399.67 kNm
M deadmax 64.31 kNm
Mu 463.98 kNm
Mn 571.75 kNm
ǿMn 514.575 kNm
kontrol ok !!!
Setelah mengontrol kuat lentur profil balok
melintang, akan dikontrol lagi kekuatan gesernya.
Kontrol kuat geser balok melintang adalah sebagai
berikut :
Tabel Kontrol geser pada balok melintang Kontrol Geser
V livemax 369.204 kN
V deadmax 59.409 kN
Vu 428.614 kN
Vn 53400 kg
534 kN
ǿVn 480.6 kN
kontrol ok !!!
Jadi, profil balok melintang WF 450 x 300 x
10 x 15 sudah aman digunakan pada struktur SFT.
5.3.4 Tebal Badan Tunnel
Badan tunnel yang akan digunakan nanti
harus kuat menahan beban dinamis gelombang dan
arus serta beban statis dari tekanan air laut.
Software SAP 2000 hanya bisa menganalisa secara
dinamis beban gelombang jika beban tersebut
bekerja pada struktur frame sehingga software
tersebut tidak bisa menganalisa beban dinamis
gelombang jika beban tersebut bekerja pada
struktur shell seperti tunnel SFT sehingga beban
hydrodinamik yang bekerja pada dinding tunnel
akan dimasukkan secara manual pada software
tersebut.
Cara trial and error juga digunakan dalam
menentukan tebal dinding tunnel agar tebalnya
mencapai rasio yang telah ditentukan. Hasil dari
penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa tebal
dinding tunnel SFT yang prototypenya akan
dibangun di Kepulauan Seribu ini minimum harus
diambil sebesar 0,40 m tapi dengan tebal sebesar
itu kondisi dinding tunnel masih tergolong
berbahaya karena tegangan retak yang terjadi pada
tengah bentang masih terlalu besar, sehingga
dalam studi ini yang menggunakan software SAP
2000 dalam analisa strukturnya akan digunakan
tebal dinding tunnel sebesar 0,45 m atau 45 cm.
Beberapa detail potongan gambar struktural tunnel
SFT dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
Gambar Potongan gambar struktural tunnel
SFT
5.4 Kontrol Rasio Total Berat Tunnel Dengan
Gaya Apung
Kontrol total berat tunnel dengan gaya
apung harus dilakukan agar persyaratan rasio
perbandingan gaya apung yang bekerja pada tunnel
dan berat sendiri tunnel dapat terpenuhi ketika
tuunel sudah dibebani oleh beban hidup lalu-lintas
yaitu sekitar 1,2 dan pada saat tunnel belum
dibebani beban hidup lalu-lintas. Sebelum
dilakukan kontrol terhadap rasio, akan dihitung
terlebih dahulu seluruh beban yang akan bekerja
pada tunnel sebagai berikut :
Tabel hasil perhitungan berat sendiri tunnel
dan fasilitas-fasilitasnya
Rasio berat total SFT dengan gaya apung yang
bekerja akan dihitung pada kondisi struktur SFT
sebelum dan setelah dibebani oleh beban hidup
lalu-lintas. Beban hidup lalu-lintas tersebut hanya
F a s ilita s S F T J um la h
B a lo k m e m a nja ng 0.44 kN/m m 4 230.643
B a lo k m e linta ng 1.06 kN/m m 44 200.043
P la t ke nda ra a n 3471.41 kN m 1 3471.413
B e ra t t unne l 24165.27 kN m 1 24165.27
B e ba n UD L 22.13 kN/m m 1 2893.5
B e ba n KEL 57.2 kN/m m 1 321.986
kN
4.3 kN
To tal 31282.852
130.75 kN
130.75 kN
130.75 kN
B e ra t S e ndiri P a nja ng B e ra t To ta l
130.75 kN
4.3 kN
27
akibat beban hidup UDL (Uniformly Distributed
Load) dan KEL (Knife Edge Load) karena
prototype SFT yang direncanakan hanya untuk
aktivitas lalu-lintas ringan. Jadi, beban hidup
akibat truk tidak dimasukkan. Rasio tersebut
adalah sebagai berikut :
Tabel hasil perhitungan berat sendiri tunnel
dan fasilitas-fasilitasnya
Total Buoyancy 36800.405 kN
ratio ( no traffic loads ) 1.3
ratio ( with traffic loads ) 1.2
Jadi berat sendiri tunnel SFT dan semua beban-
beban yang berada di dalamnya telah memenuhi
rasio yang telah ditentukan.
5.5 Desain Kabel Tunnel SFT
Kabel yang akan didesain harus memiliki
letak yang tepat agar lendutan yang terjadi akibat
beban yang bekerja pada tunnel SFT memenuhi
lendutan ijin. Hal ini menyebabkan bentang
perletakan kabel harus di desain dengan tepat agar
lendutan yang terjadi akibat gaya gelombang, arus
dan gaya apung tidak melebihi lendutan ijin.
Bentang perletakan kabel juga tidak boleh terlalu
pendek karena dapat menyebabkan biaya yang
dikeluarkan untuk pemasangan dan pemakaian
kabel terlalu besar. Selain itu, kabel yang akan
digunakan harus memiliki kuat tarik dan kuat putus
yang sesuai dengan beban-beban yang bekerja
pada bagian badan tunnel yang berada di dalam
laut karena kabel hanya akan dipasang pada bagian
badan tunnel tersebut.
5.5.a. Desain Letak Kabel dan Posisi SFT
Dalam menentukan desain kabel SFT harus
ditinjau terlebih dahulu letak dari kabel-kabel yang
akan menahan badan tunnel saat gaya apung, gaya
gelombang dan gaya arus bekerja pada badan
tunnel tersebut. Letak kabel nantinya akan
berpengaruh pada besarnya lendutan yang terjadi
akibat gaya atau beban yang bekerja pada tunnel
SFT. Letak kabel tersebut nantinya dapat dilihat
pada bentuk memanjang dari tunnel SFT yang
telah dibuat.
Peninjauan letak kabel tersebut bertujuan
agar badan tunnel yang berada pada air tidak
mengalami lendutan yang terlalu besar akibat dari
gaya-gaya yang terjadi. Pada studi tentang tunnel
SFT ini direncanakan letak kabel itu berada setiap
30 m pada bagian tunnel yang lurus yang berada di
dalam air. Untuk lebih jelasnya letak kabel tersebut
dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
Gambar Skema bentuk memanjang tunnel SFT
dan letak kabel transversalnya pada contour
Pada gambar di atas, bagian permukaan
tunnel SFT yang terdekat dengan permukaan laut
terletak pada jarak 5 m sedangkan bagian yang
terdekat dengan seabed terletak pada jarak 9,1 m.
Pulau yang dihubungkan oleh SFT berjarak 150 m
sedangkan bagian yang masuk ke dalam
permukaan laut panjangnya 130,75 m. Jarak
permukan tunnel yang sebesar 5 m masih dapat
dilalui oleh beberapa kapal. Beberapa spesifikasi
kapal yang dapat melalui bangunan SFT ini adalah
sebagai berikut :
Tabel Beberapa Spesifikasi Kapal
Sumber : OCDI Chapter II
Penentuan lendutan ijin akibat gaya-gaya
yang terjadi pada tunnel akan dilakukan dengan
mengasumsikan bahwa gaya apung serta gaya
gelombang dan arus yang terjadi pada tunnel
adalah beban terbagi rata persegi. Gaya gelombang
dan arus yang akan digunakan dalam menentukan
tegangan ijin adalah gaya gelombang dan arus
maksimum yang telah dihitung sebelumnya pada
Bab IV. Pertama-tama akan dihitung lendutan ijin
28
(∆i) akibat gaya apung yang terjadi pada tunnel
SFT sesuai Persamaan 28 pada Bab II. Skema
gaya apung yang terjadi pada tunnel dapat dilihat
pada gambar di bawah ini :
Gambar Skema gaya apung yang terjadi pada
potongan badan tunnel lurus setiap perletakan
kabel 30 m
Lendutan ijin (∆i) pada tunnel dihitung sebagai
berikut:
Jadi besarnya lendutan ijin (∆i) pada tunnel
SFT pada tiap perletakan kabel dengan bentang 30
m adalah sebesar 0,0833 m atau 83,3 mm. Setelah
mengetahui besarnya lendutan ijin yang terjadi
pada tunnel akibat gaya apung, akan dihitung lagi
besarnya lendutan ke atas yang terjadi pada tunnel
akibat gaya apung tersebut. Sebelum mengitung
lendutan yang terjadi akan dihitung terlebih dahulu
beberapa parameter-parameter yang mempengaruhi
lendutan yang terjadi.
Nilai dari modulus elastisitas material beton
(Ec) yang akan digunakan sebagai tunnel SFT
adalah sebagai berikut :
dimana karakteristik mutu beton
yang digunakan adalah sebesar 45 MPa (f’c = 45
MPa) dengan rasio air semen maksimum sebesar
0,40 dan mutu tersebut sudah memenuhi
persyaratan mutu beton yang telah dijelaskan pada
Bab II. Untuk plat lantai kendaraan digunakan
mutu beton yang juga sama dengan dinding beton
pada tunnel SFT
Nilai dari momen inersia (I) badan tunnel yang
telah direncanakan adalah sebagai berikut :
Gaya apung yang bekerja pada tunnel adalah
sebagai berikut :
Karena gaya apung pada tunnel diasumsikan
sebagai beban terbagi rata, jadi besarnya lendutan
yang terjadi akibat gaya apung (∆b) pada badan
tunnel yang lurus adalah sebagai berikut :
Dari hasil perhitungan lendutan yang terjadi
pada tunnel akibat gaya apung (∆b) di atas
diketahui bahwa besarnya lendutan ke atas yang
terjadi pada tunnel setiap bentang 30 m atau setiap
perletakan kabel 30 m adalah sebesar 1,635 mm
jauh lebih kecil daripada lendutan ijin yang telah
dihitung yaitu sebesar 80,3 mm sehingga jarak
bentang 30 m untuk perletakan kabel dapat
dikatakan aman pada saat gaya apung bekerja pada
tunnel. Skema lendutan ke atas yang terjadi pada
tunnel akibat gaya apung dapat dilihat pada gambar
di bawah ini :
Gambar Skema lendutan yang terjadi pada
potongan badan tunnel akibat gaya apung
setiap perletakan kabel 30 m
Bagian tunnel miring yang panjangnya
35,375 m dan masih berada di dalam laut juga akan
terpengaruh gaya apung. Skema lendutan badan
tunnel miring yang berada di dalam laut akibat
gaya apung dapat dilihat pada gambar di bawah
ini:
Gambar Skema lendutan yang terjadi pada
potongan badan tunnel miring akibat gaya
apung
Besarnya lendutan ijin pada badan tunnel
miring akibat gaya apung dihitung sebagai berikut
:
29
Besarnya gaya apung yang terjadi pada badan
tunnel yang miring adalah sebagai berikut :
Jadi, lendutan yang terjadi pada badan tunnel yang
miring adalah sebagai berikut :
Dari perhitungan di atas diketahui besarnya
lendutan yang terjadi pada badan tunnel miring
akibat gaya apung adalah 3,143 mm sehingga
dapat disimpulkan bahwa lendutan yang terjadi
masih aman karena masih jauh lebih kecil daripada
lendutan ijin yang telah dihitung yaitu sebesar
98,26 mm.
Lendutan ke bawah akibat beban di dalam
tunnel dan berat sendiri tunnel juga bisa dikatakan
aman karena gaya apung yang terjadi pada tunnel
lebih besar 20 30% daripada beban-beban yang
bekerja di dalam tunnel dan berat sendiri dari
tunnel sehingga lendutan ke bawah akibat berat
sendiri tunnel dan beban-beban yang bekerja di
dalamnya tidak perlu diperhitungkan jika lendutan
akibat gaya apung saja sudah aman. Selain
lendutan ke bawah, tunnel juga akan mengalami
lendutan ke samping akibat gaya gelombang dan
arus. Skema lendutan yang terjadi pada potongan
badan tunnel akibat gaya gelombang dan arus
setiap perletakan 30 m dapat dilihat pada gambar
di bawah ini :
Gambar Skema lendutan yang terjadi pada
potongan badan tunnel akibat gaya gelombang
dan arus setiap perletakan kabel 30 m
Beban gelombang dan arus maksimum yang
akan bekerja pada tunnel dalam penentuan
lendutan ijin ini akan dikalikan safety factor 2
(dua) karena kabel tendon yang direncanakan
didesain sesuai kategori A API RP 2T 1997. Besar
dari beban terbagi rata akibat gaya gelombang dan
arus maksimum yang terjadi pada badan tunnel
(qw/c) adalah sebagai berikut :
Setelah diketahui besarnya beban terbagi
rata akibat gaya gelombang dan arus yang terjadi
pada badan tunnel (qw/c), akan dihitung besarnya
lendutan yang terjadi pada badan tunnel yang lurus
akibat gaya gelombang dan arus tersebut. Besarnya
lendutan yang terjadi akibat gaya gelombang dan
arus pada badan tunnel (∆w/c) yang lurus dihitung
sebagai berikut :
Besarnya lendutan yang terjadi pada badan
tunnel yang lurus akibat gaya gelombang dan arus
(∆w/c) adalah 1,020 mm masih jauh lebih kecil
daripada lendutan ijin yaitu 83,3 mm sehingga
dapat disimpulkan bahwa lendutan yang terjadi
akibat gaya gelombang dan arus yang bekerja pada
setiap badan tunnel lurus dengan bentang 30 m
yang merupakan bentang perletakan kabel masih
aman. Sedangkan besarnya lendutan akibat gaya
gelombang dan arus pada badan tunnel yang
miring adalah sebagai berikut :
Jadi, lendutan yang terjadi pada badan tunnel yang
miring akibat gaya gelombang dan arus adalah
2,812 mm masih jauh lebih kecil dibandingkan
dengan lendutan ijin pada badan tunnel miring
yaitu 98,26 mm sehingga lendutan yang terjadi
pada badan tunnel miring akibat gaya gelombang
dan arus masih aman.
Dari hasil analisa di atas dapat disimpulkan
bahwa perletakan kabel setiap 30 m jarak
horizontal tunnel SFT masih memenuhi syarat
keamanan sehingga dapat digunakan dalam analisa
selanjutnya.
30
5.5.b. Desain Kabel Strand/Tendon
Desain kabel strand/tendon dan diameter
selongsong yang akan menahan badan tunnel
akibat beban-beban luar yang bekerja pada badan
tunnel harus memperhatikan kualifikasi tipe kabel
strand/tendon dan tipe selongsong yang akan
digunakan. Dalam konstruksi prototype SFT yang
direncanakan di Kepulauan Seribu kabel
strand/tendon yang akan digunakan adalah berupa
kabel strand/tendon baja yang biasa digunakan
pada konstruksi beton prategang sehingga pada
studi konfigurasi kabel SFT ini direncanakan
menggunakan kabel strand/tendon prategang juga.
Type kabel/tendon yang akan digunakan
adalah type kabel strand “uncoated seven wire
stress relieved strand” 270 ASTM-A 416. Type
kabel strand tersebut dapat dilihat pada tabel di
bawah ini :
Tabel Tipe kabel strand yang akan digunakan
untuk menahan badan tunnel pada studi
struktur SFT
Sumber : VSL Tecnical Data Characteristics
Applications
Jenis dan karakteristik lain dari kabel strand
tersebut adalah sebagai berikut : Sistem kawat untaian (strand) ganda VSL
Diameter nominal 0,6 inch ≈ 15,24 mm
Luas penampang nominal = 140 mm2
Modulus elastisitas = 1,9 x 106 kg/cm2
Tegangan putus (fpu) = 18600 kg/cm2 = 1860 MPa
Kuat leleh (fpy) sebesar 1676 MPa
Mutu baja dari kabel strand di atas telah
memenuhi persyaratan material baja struktural
yang digunakan pada bangunan lepas pantai seperti
yang dijelaskan pada Bab II dimana strand
menggunakan baja dengan kuat putus minimum
sebesar 58 ksi. Setelah ditentukan jenis dan
karakteristik kabel strand yang akan digunakan,
akan ditentukan juga berapa jumlah strand dan
diameter selongsong yang akan digunakan dalam
menahan badan tunnel SFT.
Gaya yang akan digunakan dalam
menentukan jumlah kabel strand dan diameter
selongsong adalah gaya terbesar yang bekerja pada
badan tunnel yang dapat menyebabkan kabel
strand/tendon prategang mengalami tegangan tarik
yang maksimum. Dari perhitungan sebelumnya
gaya terbesar yang bekerja pada badan tunnel
adalah gaya arus dan gaya gelombang yang telah
dikalikan safety factor sehingga gaya tersebut yang
akan digunakan untuk menentukan diameter
selongsong dan jumlah kabel strand yang
dibutuhkan.
Beban gelombang dan arus yang telah
dihitung sebelumnya masih dalam bentuk beban
terbagi rata. Beban tersebut akan diubah menjadi
beban terpusat pada masing-masing perletakan
kabel (30 m) atau akan diasumsikan jika gaya
tersebut adalah gaya prategang untuk menentukan
luas tulangan prategang yang dibutuhkan.
Besarnya beban akibat gaya gelombang dan arus
terpusat (Fw/c) dihitung sebagai berikut :
Menurut data tendon VSL, besarnya tegangan tarik
maksimum (fpe) yang diizinkan terjadi pada 1 (satu)
kabel strand adalah sebesar 70 % dari kuat
putusnya yaitu 1302 MPa, sedangkan menurut API
RP 2T 1997 tegangan tarik ijin maksimum pada
komponen tendon baja struktural bangunan lepas
pantai adalah sebagai berikut :
Tegangan ijin yang akan digunakan adalah
tegangan ijin yang paling kecil sehingga luas
tulangan prategang (Aps) dalam daerah tarik
dihitung sebagai berikut :
Sehingga jumlah kabel strand (n) yang digunakan
adalah sebagai berikut :
strand prategang
Jadi, tendon yang digunakan terdiri dari 58
kabel strand dalam 4 tendon dengan masing-
masing tendon terdapat 15 kabel strand. Dari data
tabel tendon VSL diketahui bahwa tendon yang
digunakan adalah tendon unit 0,6” 6-15. SFT yang
didesain ini menggunakan 4 (empat) tendon karena
31
konfigurasi kabel yang telah dibuat menggunakan
4 (empat) tendon. Luas tendon prategang yang
digunakan adalah 3,26 inch2 dengan diameter
2,037 inch atau 5,2 cm.
Tipe selongsong yang akan digunakan pada
SFT ini adalah selongsong tipe Duct PT-PlusTM
System/ Polypropylene Plastic Duct yang memiliki
bahan anti korosi. Detail tipe selongsong tersebut
dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
Sumber : VSL US Technical Data and Dimension
Strand and Tendon Properties
Gambar Detail selongsong yang akan
digunakan untuk melapisi tendon pada studi
struktur SFT (Duct PT-PlusTM
System/
Polypropylene Plastic Duct)
Detail properties selongsong yang memuat
15 kabel strand atau melapisi tendon unit 0,6” 6-15
dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel Data dimensi selongsong yang akan
digunakan pada studi struktur SFT
Sumber : VSL Tecnical Data Characteristics
Applications
Tabel di atas menjelaskan secara lebih
sederhana tipe selongsong yang akan digunakan
sesuai dengan jumlah kabel strand atau tipe tendon
yang direncanakan yaitu tendon unit 0,6” (6-15).
Jadi selongsong yang digunakan adalah selongsong
yang berdiameter dalam 90 mm serta dengan
diameter luar 97 mm.
Kabel yang akan digunakan nantinya akan
dipasang dengan sistem mooring menggunakan
kabel strand tendon prategang, oleh karena itu
pada sistem tersebut kabel menggunakan angkur.
Tipe angkur yang akan digunakan harus sesuai
atau cocok dengan tipe tendon yang telah
direncanakan. Angkur yang akan digunakan juga
direncanakan menggunakan angkur VSL type E
Stressing Anchorage. Tipe angkur tersebut dapat
dilihat pada gambar di bawah ini :
Sumber : VSL Tecnical Data Characteristics Applications
Gambar Type angkur yang akan digunakan
pada studi struktur SFT ini
Data tipe angkur pada gambar di atas dapat dilihat
pada tabel di bawah ini :
Tabel Data type angkur (type E Stressing
Anchorage) yang akan digunakan pada studi
struktur SFT
Sumber : VSL Tecnical Data Characteristics
Applications
Angkur yang akan digunakan adalah angkur
yang menggunakan tendon yang sama dengan yang
direncanakan yaitu angkur yang menggunakan
tendon unit 0,6” 6-15. Menurut data dari VSL jika
selongsong yang digunakan Duct PT-PlusTM
System menggunakan trumpets yang pendek, maka
sambungannya harus menggunakan PT-PLUS®
32
coupling. Penyambung tendon dan angkur tersebut
dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
Sumber : VSL Tecnical Data Characteristics
Applications
Gambar Type coupler yang akan digunakan
pada sebagai penyambung angkur dan tendon
BAB VI
ANALISA STRUKTUR SFT
6.1 Umum
Analisa struktur SFT akan dilakukan dengan
menggunakan bantuan finite element software
yaitu SAP 2000 V.14.2.2 yang sebelumnya telah
diverifikasi terlebih dahulu. Analisa struktur ini
akan diawali dengan memodelkan bentuk 3D (tiga
dimensi) struktur SFT pada drafting software yaitu
Autocad untuk kemudahan dalam pemodelannya.
Software Autocad yang akan digunakan adalah
Autocad 2009. Setelah pemodelan struktur SFT
pada software Autocad selesai, gambar 3D struktur
SFT tersebut akan dimasukkan ke dalam software
SAP 2000 dengan cara import gambar untuk
dianalisa. Terdapat bagian dari badan tunnel SFT
yang berada di dalam tanah, tapi pada studi ini
bagian tersebut tidak akan dibahas. Bagian yang
dianalisa hanya bagian yang mendapat pengaruh
lingkungan perairan.
6.2 Pemodelan Struktur SFT
Pemodelan struktur SFT pada Autocad akan
dilakukan dengan menyesuaikan modeling struktur
SFT yang akan dibuat dan property struktur setelah
import gambar Autocad dilakukan pada SAP 2000.
Oleh karena itu, perlu ketelitian dalam
memodelkan struktur pada Autocad sebelum
gambar ditransfer ke SAP 2000.
Struktur pada Autocad dilakukan dengan
cara memodelkan struktur kabel tendon dan balok
baja sebagai line pada gambar Autocad sedangkan
struktur plat kendaraan, sabuk baja dan dinding
tunnel beton dimodelkan sebagai 3D face. Hal ini
dilakukan karena SAP 2000 akan mendefinisikan
secara otomatis gambar line dan 3D face pada
Autocad sebagai struktur frame dan shell sesuai
dengan bentuk struktur SFT yang diinginkan.
Bentuk tunnel dan konfigurasi kabel SFT
yang akan dibuat pada Autocad akan disesuaikan
dengan desain struktur. Hasil gambar Autocad 3D
struktur SFT dengan konfigurasi-konfigurasi kabel
tersebut adalah sebagai berikut :
Gambar Model Struktur SFT Pada Autocad 3D
Untuk Konfigurasi Kabel Type 1
Gambar Model Struktur SFT Pada Autocad 3D
Untuk Konfigurasi Kabel Type 2
Gambar Model Struktur SFT Pada Autocad 3D
Untuk Konfigurasi Kabel Type 3
Gambar Model Struktur SFT Pada Autocad 3D
Untuk Konfigurasi Kabel Type 4
Hasil dari pemodelan Autocad 3D struktur
SFT di atas akan digunakan untuk memodelkan
struktur SFT pada SAP 2000 agar struktur SFT
tersebut bisa dianalisis seperti yang telah diuraikan
sebelumnya. Perletakan ujung bentang dan kabel
tendon pada struktur SFT dalam studi ini akan
diasumsikan sebagai sendi-sendi. Hasil pemodelan
struktur SFT pada SAP 2000 adalah sebagai
berikut :
Gambar Model Struktur SFT Pada SAP 2000
Untuk Konfigurasi Kabel Type 1
Gambar Model Struktur SFT Pada SAP 2000
Untuk Konfigurasi Kabel Type 2
33
Gambar Model Struktur SFT Pada SAP 2000
Untuk Konfigurasi Kabel Type 3
Gambar Model Struktur SFT Pada SAP 2000
Untuk Konfigurasi Kabel Type 4
Define section properties dari pemodelan struktur
SFT pada SAP 2000 di atas dapat dilihat pada tabel
berikut :
Tabel Define Section Properties SFT
Kabel Tendon Frame (Release)
Dinding tunnel Shell
Sabuk baja Shell
Plat kendaraan Shell
Balok baja Frame
Kabel tendon pada struktur SFT akan dimodelkan
sebagai frame tetapi pemodelan tersebut akan
disesuaikan dengan kelakuan kabel tendon pada
suatu struktur yang hanya akan menerima gaya
tarik dan tekan saja. Oleh karena itu, khusus pada
frame kabel tendon akan dilakukan pemodelan
assign releases. Pemodelan seperti ini juga sangat
umum dilakukan pada struktur bracing bangunan
baja, dengan kata lain fungsi kabel tendon pada
struktur SFT hampir sama dengan bracing pada
struktur baja dimana perbedaannya adalah kabel
tendon pada SFT ikut membantu struktur untuk
menahan gaya vertikal sedangkan bracing hanya
membantu struktur ketika menerima gaya lateral
saja. Selain itu, material pada kabel tendon akan
disesuaikan dengan material kabel tendon yang
akan digunakan seperti pada Bab V. Definisi
properties material pada SAP 2000 adalah sebagai
berikut :
Tabel Define Material Properties SFT Kabel Tendon Tendon
Dinding tunnel Concrete
Sabuk baja Steel
Plat kendaraan Concrete
Balok baja Steel
6.3 Pembebanan Struktur SFT pada Finite
Element Software
Setelah pemodelan struktur SFT pada SAP
2000 selesai dilakukan, akan dilanjutkan dengan
pembebanan. Beban mati dan beban
gelombang/arus yang terjadi pada struktur secara
otomatis akan langsung dihitung oleh software
SAP 2000 akan tetapi,software tersebut tidak dapat
menghitung beban gelombang secara otomatis
yang terjadi pada shell. Dengan demikian, input
beban gelombang dan arus secara manual akan
dilakukan pada SAP 2000.
Beban gelombang dan arus yang telah dihitung
sebelumnya pada Bab IV akan dipilih yang paling
maksimum untuk pembebanan gelombang manual
ini. Sebelum melakukan input, struktur SFT akan
dibagi menjadi beberapa grup berdasarkan
jaraknya dari sumbu global Z atau berdasarkan
posisinya di dalam laut. Beban gelombang manual
yang akan dimasukkan pada struktur SFT adalah
sebagai berikut :
Sedangkan hasil pembagian grup pada badan
tunnel SFT sesuai dengan posisinya di kedalaman
laut atau sesuai koordinat sumbu global Z adalah
sebagai berikut :
Gambar Hasil Pembagian Grup Sesuai
Koordinat Sumbu Global Z Pada Badan Tunnel
SFT Yang Akan Dianalisa
Hasil input beban gelombang dan arus secara
manual pada SAP 2000 dapat dilihat pada gambar
berikut ini :
Gambar Hasil Input Beban Gelombang dan
Arus
Group Posisi koordinat z (m) Jarak (m)
Group 1 ((-2.27)-(-4.45)) -2,18 40,096 kN/m2 20,048
Group 2 ((-4.45)-(-6)) -1,55 39,908 kN/m2 19,954
Group 3 ((-6)-(-7.04)) -1,04 46,305 kN/m2 23,152
Group 4 ((-7.04)-(-8.03)) -0,99 41,384 kN/m2 20,692
Group 5 ((-8.03)-(-9)) -0,97 36,265 kN/m2 18,132
Group 6 ((-9)-(-10)) -1 30,346 kN/m2 15,173
Group 7 ((-10)-(-10.9)) -0,9 28,725 kN/m2 14,362
kN/m2
kN/m2
kN/m2
kN/m2
Tabel 6.3 Input Wave+Current Area Loads Manual SAP 2000
F w/c 50% F w/c
kN/m2
kN/m2
kN/m2
34
Beban gelombang dan arus yang dimasukkan
secara manual pada bagian dinding
tunneldiasumsikan bekerja searah dengan beban
gelombang otomatis yaitu 0O atau pada arah sumbu
global X. Beban-beban lain yang akan dimasukkan
secara manual pada SAP 2000 adalah beban
tekanan hidrostatis, buoyancy, beban hidup lalu-
lintas dan beban mati tambahan.
Beban akibat tekanan hidrostatis akan dimasukkan
ke dalam SAP 2000 dengan cara yang sama ketika
memasukkan beban gelombang dan arus yaitu
sesuai dengan posisi segmen badan tunnel terhadap
koordinat sumbu Z. Beban hidrostatis yang akan
dimasukkan adalah sebagai berikut :
Tabel Input Tekanan Hidrostatis Sebagai Area
Loads-Surface Pressure Secara Manual Pada
SAP 2000 Group Pressure
Group 1 52660.679 N/m2
Group 2 62318.018 N/m2
Group 3 72040.735 N/m2
Group 4 81818.227 N/m2
Group 5 91641.666 N/m2
Group 6 101503.71 N/m2
Group 7 111398.28 N/m2
Hasil input tekanan hidrostatis pada SAP 2000
adalah sebagai berikut :
Gambar Hasil Input Tekanan Hidrostatis
Secara Manual Pada SAP 2000 Pada Potongan
Badan Tunnel
Setelah beban gelombang dan tekanan hidrostatis
dimasukkan ke dalam SAP 2000 selesai, beban
lainnya yang bekerja pada badan tunnel juga akan
dimasukkan. Besarnya beban buoyancy yang
dimasukkan ke dalam SAP 2000 adalah 47,704
kN/m2. Beban ini dimasukkan sebagai area
uniform loads pada arah sumbu global Z. Nilai ini
didapatkan dari membagi total gaya buoyancy yang
telah dihitung sebelumnya dengan panjang badan
tunnel dalam air dan diameter luar badan tunnel.
Hasil input gaya buoyancy pada SAP 2000 adalah
sebagai berikut :
Gambar Hasil Input Beban Buoyancy Secara
Manual Pada SAP 2000 Pada Potongan Badan
Tunnel
Beban yang bekerja pada plat kendaraan adalah
beban hidup lalu-lintas dan beban aspal. Besarnya
beban lalu-lintas yang bekerja pada plat kendaraan
adalah sebagai berikut :
Tabel Beban Hidup Lalu-Lintas Yang Bekerja
Pada Plat Kendaraan
Beban Hidup Lalu-lintas
KEL 57,2 kN/m
UDL 4,677 kN/m2
Beban hidup lalu-lintas UDL dan beban mati
tambahan nantinya akan dimasukkan sebagai area
uniform loads to frame sedangkan beban KEL
akan dimasukkan sebagai frame line loads dimana
posisi beban ini akan diletakkan pada tengah
bentang SFT. Besarnya beban mati tambahan yang
akan dimasukkan sebagai area uniform loads to
framepada plat kendaraan adalah sebagai berikut :
Tabel Beban Mati Tambahan Yang Bekerja
Pada Plat Kendaraan
Beban Mati Tambahan
Aspal 1.1 kN/m2
Hasil input beban hidup lalu-lintas pada SAP
2000 adalah sebagai berikut :
Gambar Hasil Input Beban Hidup Lalu-Lintas
UDL dan KEL secara manual pada SAP 2000
Pada Potongan Badan Tunnel
Sedangkan hasil input beban mati tambahan pada
SAP 2000 adalah sebagai berikut :
Gambar Hasil Input Beban Mati Tambahan
(aspal) Secara Manual Pada SAP 2000 Pada
Potongan Badan Tunnel
35
Setelah selesai memasukkan semua beban yang
bekerja pada struktur, dapat dilihat posisi struktur
SFT saat berada di dalam lingkungan perairan
yaitu sebagai berikut :
Gambar Kondisi Lingkungan Struktur SFT
Hasil Pemodelan SAP 2000 Pada Posisi Sumbu
Global X-Z
Gambar Kondisi Lingkungan Struktur SFT
Hasil Pemodelan SAP 2000 Pada Posisi Sumbu
Globa Y-Z
6.4 Analisa Struktur SFT Untuk 3 Posisi Kabel
Hasil analisa struktur pada studi ini adalah
lendutan maksimum yang terjadi pada struktur
SFT, tegangan/gaya maksimum yang terjadi pada
dinding beton tunnel SFT dan tegangan maksimum
yang terjadi pada kabel tendon SFT. Kombinasi
beban yang digunakan dalam analisa struktur SFT
sebagai berikut :
Tabel Kombinasi Beban Analisa SAP 2000
Combo 1 Combo 2
1D+1L+1H+1B+1W 1D+1H+1B+1W
Keterangan :
D = Dead Load
L = Live Load
H = Hydrostatic Pressure
B = Buoyancy Load
W = Wave Load
Kombinasi pembebanan yang digunakan tidak
menggunakan faktor pembebanan karena yang
akan dikontrol menggunakan pembebanan di atas
adalah stabilitas dari strukur SFT.
Load case yang digunakan pada analisa
struktur SFT adalah sebagai berikut :
Tabel Load case Analisa Struktur Pada SAP 2000
Load Case Name Load Case Type
Modal Modal
Dead Load Linear static
Live Load Linear static
Hydrostatic Pressure Linear static
Buoyancy Load Linear static
Wave API RP 2A Linear Multi-step static
Wave Manual Linear static
Sedangkan hasil dari analisa struktur SFT akan
diuraikan sebagai berikut :
6.4.1 Analisa Lendutan (Displacement)
Lendutan/displacement yang terjadi pada struktur
SFT akan dibahas untuk setiap konfigurasi kabel
sebagai berikut :
a. Analisa Displacement Konfigurasi Kabel
Type 1
Analisa displacement struktur SFT untuk
konfigurasi kabel Type 1 dengan 3 posisi
kabel tendon adalah sebagai berikut :
b. Analisa Displacement Konfigurasi Kabel
Type 2
Analisa displacement struktur SFT untuk
konfigurasi kabel Type 2 dengan 3 posisi
kabel tendon adalah sebagai berikut :
c. Analisa Displacement Konfigurasi Kabel
Type 3
Analisa displacement struktur SFT untuk
konfigurasi kabel Type 3 dengan 3 posisi
kabel tendon adalah sebagai berikut :
Load Combination U1 max (mm) U2 max (mm) U3 max (mm)
1D+1L+1H+1B+1W 173.304 13.759 103.289
1D+1H+1B+1W 173.304 14.362 115.126
U 1 max
U 2 max
U 3 max
Keterangan :
Lendutan maksimum arah sumbu X
Lendutan maksimum arah sumbu Y
Lendutan maksimum arah sumbu Z
Tabel 6.9 Displacement Konfigurasi Type 1 (3 Posisi Kabel)
Load Combination U1 max (mm) U2 max (mm) U3 max (mm)
1D+1L+1H+1B+1W 303.374 19.588 66.951
1D+1H+1B+1W 303.374 19.793 74.429
U 1 max
U 2 max
U 3 max
Keterangan :
Lendutan maksimum arah sumbu X
Lendutan maksimum arah sumbu Y
Lendutan maksimum arah sumbu Z
Tabel 6.10 Displacement Konfigurasi Type 2 (3 Posisi Kabel)
36
d. Analisa Displacement Konfigurasi Kabel
Type 4
Analisa displacement struktur SFT untuk
konfigurasi kabel Type 4 dengan 3 posisi
kabel tendon adalah sebagai berikut :
6.4.2 Analisa Tegangan Dinding Beton Tunnel
SFT
Tegangan/stress maksimum yang terjadi
pada tunnel dinding beton struktur SFT akan
dibahas untuk setiap konfigurasi kabel.
Output maksimum shell stress pada setiap
konfigurasi adalah sebagai berikut :
Tabel Tegangan Tarik Maksimum Pada Badan
Tunnel Akibat Kombinasi Beban I (3 Posisi
Kabel)
Tabel Tegangan Tarik Maksimum Pada Badan
Tunnel Akibat Kombinasi Beban II (3 Posisi
Kabel)
6.4.3 Analisa Gaya dan Tegangan Kabel
Tendon SFT
Hasil analisa gaya dan tegangan kabel
tendon SFT adalah sebagai berikut :
Tabel Hasil Analisa Gaya Axial Kabel Tendon
SFT (3 Posisi Kabel)
Dari hasil analisa tegangan tarik maksimum
pada dinding tunnel SFT, dapat diketahui bahwa
tegangan maksimum yang terjadi berada pada
daerah perletakan bentang. Hal ini menyebabkan
kerusakan atau kegagalan struktur yang paling
cepat dan paling parah akan terjadi pada daerah
tersebut jika beban bekerja pada tunnel SFT. Selain
itu, dari tabel hasil analisa tegangan pada dinding
tunnel dapat diketahui juga bahwa tegangan tunnel
akan cenderung lebih besar jika struktur SFT
dalam keadaan kosong atau tidak sedang dilalui
oleh kendaraan.
Pada kabel tendon SFT diketahui bahwa gaya
maksimum terjadi pada kondisi SFT tanpa dilalui
oleh beban hidup/beban kendaraan. Perilaku kabel
juga hampir sama dengan dinding dimana kondisi
kritis akan terjadi bila struktur SFT tidak sedang
dilalui oleh beban hidup.
6.5 Analisa Struktur SFT Untuk 4 Posisi Kabel
Pada studi ini, struktur SFT akan dicoba
alternatif jika ditopang oleh 4 posisi kabel. Hal ini
dilakukan karena dengan 3 posisi kabel struktur
SFT masih memiliki tegangan yang besar pada
dinding betonnya dan juga pada kabel tendonnya
gaya axial yang terjadi masih jauh melebihi
minimum breaking load spesifikasi kabel yang
digunakan yaitu 879 kips. Pada analisa alternatif
ini, kombinasi beban yang digunakan tetap sama
dengan 3 posisi kabel.
Gambar Struktur SFT Dengan 4 Posisi Kabel
Gambar Pemodelan Salah Satu Struktur SFT
Dengan 4 Posisi Kabel Pada SAP 2000
(Konfigurasi I)
U1 max (mm) U2 max (mm) U3 max (mm)
169.323 12.958 89.789
169.324 13.493 100.226
U 2 max Lendutan maksimum arah sumbu Y
U 3 max Lendutan maksimum arah sumbu Z
Tabel 6.11 Displacement Konfigurasi Type 3 (3 Posisi Kabel)
Load Combination
1D+1L+1H+1B+1W
1D+1H+1B+1W
Keterangan :
U 1 max Lendutan maksimum arah sumbu X
Load Combination U1 max (mm) U2 max (mm)
1D+1L+1H+1B+1W 341.549 21.344
1D+1H+1B+1W 341.549 21.541
U 1 max
U 2 max
U 3 max Lendutan maksimum arah sumbu Z
Tabel 6.12 Displacement Konfigurasi Type 4 (3 Posisi Kabel)
U3 max (mm)
70.833
78.108
Keterangan :
Lendutan maksimum arah sumbu X
Lendutan maksimum arah sumbu Y
s11 top s22 top s12 top s11 bot s22 bot s12 bot s11 top s22 top s12 top s11 bot s22 bot s12 bot
MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa
s11 top s22 top s12 top s11 bot s22 bot s12 bot s11 top s22 top s12 top s11 bot s22 bot s12 bot
MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa
4.9272.455 13.356 12.749 4.607 16.866 8.384
3.959
Type 3 Type 4
Max Stresses Max Stresses
7.462 12.458 4.292 9.597 15.255
2.685 12.421 6.323 2.565 15.238 8.038
1D+1L+1H+1B+1W
7.584 9.716 2.62 9.907 10.238
Max. Shell Tension Stress at SFT Structure With Different Type of Cable Configuration
Under Load Combination I (3 Position of Cable Configuration)
Load Combination
Type 1 Type 2
Max Stresses Max Stresses
s11 top s22 top s12 top s11 bot s22 bot s12 bot s11 top s22 top s12 top s11 bot s22 bot s12 bot
MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa
s11 top s22 top s12 top s11 bot s22 bot s12 bot s11 top s22 top s12 top s11 bot s22 bot s12 bot
MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa
4.8342.516 13.306 11.55 4.44 17.026 20.842
3.866
Type 3 Type 4
Max Stresses Max Stresses
7.443 9.92 4.535 9.691 15.513
2.891 12.368 11.405 3.756 15.4 17.235
1D+1H+1B+1W
7.556 8.461 2.472 10.06 6.899
Max. Shell Tension Stress SFT Structure With Different Type of Cable Configuration
Under Load Combination II (3 Position of Cable Configuration)
Load Combination
Type 1 Type 2
Max Stresses Max Stresses
Pmax (kips) Pmin (kips) Pmax (kips) Pmin (kips) Pmax (kips) Pmin (kips) Pmax (kips) Pmin (kips)
Comb 1 1101 -361.1 1293.1 -639.3 1151.6 -376 1354.6 -723.7
Comb 2 1145.1 -317.1 1332.6 -599.9 1197.9 -329.7 1392.7 -685.7
Axial Load at Cable Tendon of SFT (3 Position of Cable Configuration)
Load CombinationType 1 Type 2 Type 3 Type 4
37
6.5.1 Analisa Lendutan (Displacement)
Lendutan/displacement yang terjadi pada
struktur SFT akan dibahas untuk setiap
konfigurasi kabel sebagai berikut :
a. Analisa Displacement Konfigurasi Kabel
Type 1
Analisa displacement struktur SFT untuk
konfigurasi kabel Type 1 dengan 4 posisi kabel
tendon adalah sebagai berikut :
Tabel Displacement Konfigurasi Type 1 (4 Posisi
Kabel)
b. Analisa Displacement Konfigurasi Kabel
Type 2
Analisa displacement struktur SFT untuk
konfigurasi kabel Type 2 dengan 4 posisi kabel
tendon adalah sebagai berikut :
Tabel Displacement Konfigurasi Type 2 (4 Posisi
Kabel)
c. Analisa Displacement Konfigurasi Kabel
Type 3
Analisa displacement struktur SFT untuk
konfigurasi kabel Type 3 dengan 4 posisi kabel
tendon adalah sebagai berikut :
Tabel Displacement Konfigurasi Type 3 (4 Posisi
Kabel)
d. Analisa Displacement Konfigurasi Kabel
Type 4
Analisa displacement struktur SFT untuk
konfigurasi kabel Type 4 dengan 4 posisi kabel
tendon adalah sebagai berikut :
Tabel Displacement Konfigurasi Type 4 (4 Posisi
Kabel)
6.5.2 Analisa Tegangan Dinding Beton Tunnel
SFT
Tegangan/stress maksimum yang terjadi
pada tunnel dinding beton struktur SFT jika
ditopang oleh 4 kabel tendon adalah sebagai
berikut :
Tabel Tegangan Tarik Maksimum Pada Badan
Tunnel Akibat Kombinasi Beban I (4 Posisi
Kabel)
Tabel Tegangan Tarik Maksimum Pada Badan
Tunnel Akibat Kombinasi Beban II (4 Posisi
Kabel)
6.5.3 Analisa Gaya dan Tegangan Kabel Tendon
SFT
Hasil analisa gaya dan tegangan kabel
tendon SFT adalah sebagai berikut :
Tabel Hasil Analisa Gaya Axial Kabel Tendon
SFT (4 Posisi Kabel)
Dari hasil analisa untuk struktur SFT jika
ditopang oleh 4 posisi kabel tendon, gaya dan
tegangan yang bekerja lebih kecil tapi masih
memiliki perilaku yang sama dengan struktur SFT
yang ditopang oleh 3 posisi kabel tendon. Gaya
Kombinasi Beban U1 max (mm) U2 max (mm) U3 max (mm)
1D+1L+1H+1B+1W 129.846 9.836 76.257
1D+1H+1B+1W 129.846 10.195 85.14
U 1 max
U 2 max
U 3 max
Keterangan :
Lendutan maksimum arah sumbu X
Lendutan maksimum arah sumbu Y
Lendutan maksimum arah sumbu Z
Kombinasi Beban U1 max (mm) U2 max (mm) U3 max (mm)
1D+1L+1H+1B+1W 245.53 15.577 48.025
1D+1H+1B+1W 245.53 15.719 53.508
U 1 max
U 2 max
U 3 max
Lendutan maksimum arah sumbu Y
Lendutan maksimum arah sumbu Z
Keterangan :
Lendutan maksimum arah sumbu X
Kombinasi Beban U1 max (mm) U2 max (mm) U3 max (mm)
1D+1L+1H+1B+1W 125.891 9.317 65.249
1D+1H+1B+1W 125.891 9.62 73.035
U 1 max
U 2 max
U 3 max
Keterangan :
Lendutan maksimum arah sumbu X
Lendutan maksimum arah sumbu Y
Lendutan maksimum arah sumbu Z
Kombinasi Beban U1 max (mm) U2 max (mm) U3 max (mm)
1D+1L+1H+1B+1W 285.904 17.428 53.214
1D+1H+1B+1W 285.904 17.568 58.519
U 1 max
U 2 max
U 3 max
Keterangan :
Lendutan maksimum arah sumbu X
Lendutan maksimum arah sumbu Y
Lendutan maksimum arah sumbu Z
s11 top s22 top s12 top s11 bot s22 bot s12 bot s11 top s22 top s12 top s11 bot s22 bot s12 bot
MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa
s11 top s22 top s12 top s11 bot s22 bot s12 bot s11 top s22 top s12 top s11 bot s22 bot s12 bot
MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa
11.54 11.47 4.395 14.39 14.86 4.756.182 10.18 3.526 7.914 9.975 2.123
12.245 3.679
Type 3 Type 4
Max Stresses Max Stresses
8.743 2.303 10.519 11.402 3.639 12.771
Load Combination
Type 1 Type 2
Max Stresses Max Stresses
1D+1L+1H+1B+1W
6.303 9.667 2.384 8.175
Max. Shell Tension Stress SFT Structure With Different Type of Cable Configuration
Under Load Combination I (4 Position of Cable Configuration)
s11 top s22 top s12 top s11 bot s22 bot s12 bot s11 top s22 top s12 top s11 bot s22 bot s12 bot
MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa
s11 top s22 top s12 top s11 bot s22 bot s12 bot s11 top s22 top s12 top s11 bot s22 bot s12 bot
MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa MPa
11.455 10.288 4.229 14.542 15.385 4.6586.185 7.717 3.725 7.988 10.669 2.149
12.643 3.587
Type 3 Type 4
Max Stresses Max Stresses
5.81 2.476 10.493 10.216 3.474 12.841
Load Combination
Type 1 Type 2
Max Stresses Max Stresses
1D+1H+1B+1W
6.299 7.832 2.232 8.31
Max. Shell Tension Stress SFT Structure With Different Type of Cable Configuration
Under Load Combination II (4 Position of Cable Configuration)
Pmax (kips) Pmin (kips) Pmax (kips) Pmin (kips) Pmax (kips) Pmin (kips) Pmax (kips) Pmin (kips)
1D+1L+1H+1B+1W 772.8 -254.1 956.1 -513.6 807.1 -268.8 1017.3 -591.2
1D+1H+1B+1W 803.6 -223.7 982.8 -487.3 839.1 -237.2 1043.1 -565.9
Axial Load at Cable Tendon of SFT (4 Position of Cable Configuration)
Load Combination
Type 1 Type 2 Type 3 Type 4
38
dan tegangan maksimum yang diijinkan pada
struktur SFT ini adalah sebagai berikut :
Tabel Gaya dan Tegangan Ijin Pada Struktur
SFT (Tendon Menggunakan 15 Kabel Strand)
Dari hasil analisa diketahui bahwa jumlah posisi
kabel yang paling efektif pada struktur SFT ini
adalah dengan menggunakan 4 posisi kabel tendon.
Konfigurasiyang paling efektif adalah konfigurasi
kabel type 1 dan 3, oleh karena itu studi akan
dilanjutkan dengan mengontrol kedua type
konfigurasi tersebut untuk menentukan konfigurasi
kabel yang paling efektif.
Tabel Hasil Analisa Gaya dan Tegangan
Maksimum 4 konfigurasi Kabel Type 1
Tabel Hasil Analisa Gaya dan Tegangan
Maksimum 4 konfigurasi Kabel Type 3
Tabel di atas menunjukkan bahwa gaya axial kabel
tendon masih memenuhi minimum breaking load
dari spesifikasi kabel yang digunakan tapi masih
melebihi batas tegangan kabel sesuai peraturan
API RP 2T .Tegangan dinding masih melebihi
tegangan maksimum retak dari beton yaitu 4,696
MPa. Tegangan retak dari struktur SFT ini masih
dapat ditoleransi karena berada pada tepi struktur
SFT yang dekat dengan darat sehingga dalam
melakukan perkuatan atau perbaikan bisa lebih
mudah daripada jika berada di tengah bentang.
Sedangkan lendutan yang terjadi pada struktur SFT
masih memenuhi lendutan ijin yaitu 363 mm.
6.6 Analisa Dinamis Struktur SFT
Analisa dinamis struktur dilakukan untuk
mengetahui bagaimana perilaku/respon dari
struktur SFT ketika menerima beban dinamis
gelombang atau gaya vortex. Gaya vortex adalah
gaya akibat gelombang air yang menyebabkan efek
dinamis terjadi pada struktur. Apabila suatu benda
(bola) terkena aliran yang uniform dan gaya luar
diabaikan maka aliran streamlinenya akan simetris
terhadap diameter bolanya yang searah alirannya.
Pada titik stagnasi (stagnation point) A maka
kecepatannya adalah nol. Apabila kecepatan aliran
meningkat maka lapisan batas (boundary layer)
menjadi semakin tipis pada A dan dibelakang
benda akan semakin tebal. Pada lapisan batas
dibelakang benda akan bergerak kearah
berlawanan dan membentuk ulekan (eddies) yang
akhirnya disebut dengan vortex.
Gambar Vortex Shedding
Frekuensi natural dan periode dari struktur SFT
akan dikontrol dengan besarnya frekuensi akibat
vortex. Besarnya frekuensi akibat vortex adalah
sebagai berikut :
Dimana :
St = Strouhal Number
V = Kecepatan arus/gelombang (m/s)
St = Diameter struktur (m)
Perhitungan frekuensi natural dan periode dari
struktur SFT akan dilakukan menggunakan SAP
2000 untuk semua pemodelan. Hasil analisa
frekuensi natural struktur SFT pada SAP 2000
adalah sebagai berikut :
Tegangan Maksimum Ijin Dinding
Beton SFT 4.696 Mpa
1. Minimum Breaking Load
Spesifikasi Kabel Tendon untuk 15
kabel strand 879 kips
2. Allowable Maximum Net Section
Stress Kabel Tendon (API RP 2T) 1116 Mpa
3. Allowable Maximum Local
Bending Stress Kabel Tendon (API
RP 2T) 1674 Mpa
Lendutan Struktur SFT 363 mm
Gaya Axial Maksimum Kabel Tendon SFT :
Tegangan Maksimum Yang
Terjadi Pada Dinding SFT 9.667 Mpa
1. Maximum Axial Load
Spesifikasi Kabel Tendon 803.6 kips
2. Maximum Net Section Stress 1684 Mpa
3. Maximum Local Bending
Stress 264.301 Mpa
Lendutan Struktur SFT 129.85 mm
Gaya Maksimum Kabel Tendon SFT :
Tegangan Maksimum Dinding
SFT 10.669 Mpa
1. Maximum Axial Load
Spesifikasi Kabel Tendon 839.1 kips
2. Maximum Net Section Stress 1758 Mpa
3. Maximum Local Bending
Stress 225.15 Mpa
Lendutan Struktur SFT 125.9 mm
Gaya Maksimum Kabel Tendon SFT :
39
Tabel Hasil Analisa Frekuensi Natural dan
Periode struktur SFT (4 Posisi Kabel)
Dari hasil analisa frekuensi akibat vortex diketahui
bahwa besarnya frekuensi vortex tersebut masih
lebih kecil dibandingkan dengan frekuensi natural
dari struktur SFT untuk semua pemodelan. Hal ini
menyebabkan struktur SFT yang telah dimodelkan
tidak mengalami resonansi akibat gaya gelombang
dan arus.
6.7 Studi Desain Perencanaan Kabel dan
Penampang Beton SFT
Desain perencanaan SFT studi ini akan
menggunakan sling (steel wire rope) sebagai kabel
walaupun analisa sebelumnya adalah
menggunakan tendon sebagai kabel. Penggunaan
tendon memang biasanya sering digunakan pada
floating structure seperti TLP, tapi pada model
struktur seperti SFT sulit menggunakan model
tendon karena sistem sambungan yang berbeda
antara tendon dan sling. Tendon pada TLP
disambungkan dengan menggunakan column hull
pada platformnya sedangan SFT tidak
menggunakan column hull tapi menggunakan plat
baja (sabuk baja). Sistem sambungan yang sulit
menyebabkan desain kabel lebih baik jika
menggunakan sling yang biasanya digunakan
untuk pengangkutan alat berat pada pelaksanaan
konstruksi. Desain perencanaan SFT ini akan tetap
menggunakan material beton pada penampangnya
seperti yang telah dilakukan sebelumnya.
6.7.1 Desain Perencanaan SFT Dengan Sling
Sebagai Kabel
Hasil analisa yang telah didapatkan
sebelumnya bahwa type konfigurasi kabel terbaik
adalah type 1, oleh karena itu desain perencanaan
ini hanya akan menggunakan type konfigurasi
kabel tersebut. Spesifikasi sling yang akan
digunakan adalah sebagai berikut :
Tabel Data Spesifi kasi Steel Wire Ropes (Sling)
Blue Strand 6 x 36 WS IWRC Class
Sumber : Brosur Spesifikasi Produk PT Wahana
Gemilang Abadi
Sling yang digunakan memiliki modulus elastisitas
minimum 14.000.000 psi atau 96.526,61 Mpa (1
MPa = 145,04 psi) dengan tegangan putus
minimum 909,245 MPa sedangkan spesifikasi
sling shacle yang akan digunakan adalah sebagai
berikut :
Tabel Data Spesifikasi Sling Shacle
Sumber : Brosur Spesifikasi Produk PT Wahana
Gemilang Abadi
Dari data spesifikasi sling digunakan sling dengan
diameter 52 mm sedangkan sling shacle yang akan
digunakan tergantung dari hasil analisa. Jumlah
kabel pada desain ini akan ditambah menggunakan
6 (enam) sling untuk setiap posisi perletakan sabuk
baja di setiap sisi kiri dan kanan dengan panjang
sabuk baja adalah 1 (meter). Jarak antar posisi titik
perletakan sling pada sabuk baja dibuat 25 cm.
Pemodelan software analisa struktur SAP 2000
untuk desain perencanaan SFT dengan
menggunakan sling sebagai kabel adalah sebagai
berikut :
Period (sec)
Frequency
(Hz) Period (sec)
Frequency
(Hz)
Period
(sec)
Frequency
(Hz)
Period
(sec)
Frequency
(Hz)
1 0.527 1.896 0.725 1.378 0.523 1.912 0.776 1.288
2 0.473 2.116 0.389 2.572 0.443 2.258 0.395 2.533
3 0.354 2.825 0.372 2.688 0.348 2.873 0.366 2.732
4 0.349 2.868 0.309 3.236 0.342 2.923 0.306 3.269
5 0.224 4.466 0.219 4.558 0.221 4.516 0.22 4.54
6 0.213 4.704 0.214 4.681 0.213 4.705 0.213 4.7
7 0.169 5.913 0.169 5.925 0.174 5.755 0.168 5.953
8 0.15 6.663 0.148 6.753 0.15 6.684 0.148 6.76
9 0.139 7.189 0.14 7.125 0.139 7.19 0.14 7.118
10 0.127 7.85 0.127 7.866 0.127 7.853 0.127 7.868
11 0.12 8.332 0.12 8.346 0.12 8.335 0.12 8.347
12 0.115 8.709 0.115 8.708 0.115 8.706 0.115 8.708
Natural Frequency and Period of SFT (4 Position of Cable Configuration)
Mode
Type 1 Type 2 Type 3 Type 4
40
Gambar Pemodelan 3D Desain Struktur SFT
Pada SAP 2000 Untuk Perencanaan
Analisa terhadap gaya kabel sling akan
dibuat dalam 2 (dua) kondisi yang berbeda dimana
kondisi 1 (satu) adalah kondisi dimana kabel
sling bekerja secara bersama-sama pada kedua
sisi, namun pada sisi sebelah dimodelkan sebagai
kabel agar pada sisi tersebut kabel sling tidak
mengalami gaya tekan ataupun ikut menahan
badan SFT pada arah berlawanan dan kondisi 2
(dua) adalah kondisi dimana kabel sling hanya
bekerja pada satu sisi saja.
Gambar Pemodelan Analisa Struktur SFT Pada
SAP 2000 Untuk Perencanaan Dalam Kondisi 1
Gambar Pemodelan Analisa Struktur SFT Pada
SAP 2000 Untuk Perencanaan Dalam Kondisi 2
Rekapitulasi hasil analisa SAP 2000
terhadap gaya-gaya maksimum yang bekerja pada
kabel sling SFT adalah sebagai berikut :
Tabel Gaya Axial Maksimum Yang Bekerja
Pada Sling Kondisi 1
Load Combination Pmax
(ton)
Min.Breaking
Load (ton) Ket SF
1D+1L+1H+1B+1W 183.99 193 OK 1.05
1D+1H+1B+1W 184.08 193 OK 1.05
Tabel Gaya Axial Maksimum Yang Bekerja
Pada Sling Kondisi 2
Load Combination Pmax
(ton)
Min.Breaking
Load (ton) Ket SF
1D+1L+1H+1B+1W 146.21 193 OK 1.32
1D+1H+1B+1W 147.57 193 OK 1.31
Dari hasil analisa gaya maksimum yang terjadi
pada kabel sling didapatkan bahwa diameter sling
yang digunakan telah memenuhi syarat kuat putus
minimum spesifikasi sling sedangkan spesifikasi
sling shacle yang akan digunakan pada struktur
SFT adalah sling shacle A085895 dengan kuat
putus minimum 150 ton (SF 5 : 1). Hasil analisa
juga membuktikan bahwa pemodelan akhir
konfigurasi kabel sling yang telah dibuat tidak
mengakibatkan kabel sling struktur SFT tersebut
mengalami kegagalan meskipun pada kondisi yang
paling kritis.
SAP 2000 memodelkan kabel dengan
regangan yang sangat besar serta memberikan gaya
pretension kepada kabel dalam pemodelannya,
oleh karena itu gaya kabel yang dihasilkan pada
analisa kondisi 1 lebih besar daripada kondisi 2.
Walaupun demikian, hasil analisa pada kondisi 2
dimana kondisi tersebut merupakan kondisi yang
paling kritis bisa menjadi acuan untuk memastikan
konfigurasi kabel yang telah dibuat sudah aman
untuk digunakan.
Gambar Posisi Sling Desain Struktur SFT Yang
Mengalami Gaya Axial Maksimum
Sesuai dengan pemodelan untuk analisa
struktur pada SAP 2000, desain struktur SFT untuk
perencanaan akan dibuat seperti pada gambar
berikut :
Gambar Potongan Melintang Desain Kabel SFT
41
Gambar Potongan Memanjang Desain Kabel
SFT
6.7.2 Analisa Tegangan Pada Penampang Beton
SFT
Dimensi dan spesifikasi material penampang
SFT yang digunakan pada studi perencanaan ini
sama dengan yang digunakan untuk studi untuk
menentukan konfigurasi kabel. Tegangan dan
lendutan yang terjadi pada penampang beton SFT
akan dikontrol terhadap tegangan retaknya sesuai
SNI 2847-2002. Hasil analisa terhadap tegangan
maksimum yang terjadi pada dinding SFT adalah
sebagai berikut :
Tabel Tegangan Tarik Maksimum Dinding
Beton SFT Yang Direncanakan
Tabel Tegangan Tekan Maksimum Dinding
Beton SFT Yang Direncanakan
Hasil analisa terhadap tegangan dinding tunnel
menunjukkan bahwa dinding SFT masih melebihi
tegangan retak. Tegangan yang terjadi pada
pemodelan perencanaan ini masih lebih baik jika
dibandingkan dengan tegangan yang terjadi pada
pemodelan untuk studi perbandingan yang telah
dilakukan sebelumnya. Tegangan yang terjadi
masih belum bisa dijadikan acuan dalam
perencanaan karena tegangan tersebut terjadi
ketika dinding beton belum dipasang tulangan.
Gambar Letak Tegangan Maksimum Dinding
Beton Desain Kabel SFT
6.7.3 Analisa Penampang Beton SFT Terhadap
Gaya Prestress
Analisa penampang beton tunnel SFT tidak
hanya dilakukan terhadap beban lingkungan, tapi
juga dilakukan terhadap gaya prestress. Gaya
prestress dengan sistem postension diberikan pada
badan atau penampang SFT untuk
menyambungkan segmen-segmen penampang
beton sebagai kesatuan struktur SFT karena jika
menggunakan penampang beton pelaksanaan
pembuatan prototype SFT akan menggunakan
beton precast. Analisa penampang beton ini
dilakukan dengan menghitung gaya-gaya momen
maksimum yang terjadi pada dinding plat beton
SFT. Rekapitulasi gaya-gaya momen maksimum
pada penampang SFT hasil analisa SAP 2000
adalah sebagai berikut :
Tabel Gaya Momen Hasil Analisa SAP 2000
Untuk Desain Badan Tunnel SFT
Loading Condition Mmax
Nmm
Transfer (Dead Load Only) 320.501,75
Service 1.125.702,58
Spesifikasi material tendon prestress yang
akan digunakan dalam desain penampang beton ini
adalah sebagai berikut :
Tabel Data Properties Tendon Untuk Badan
Tunnel SFT
Sumber : VSL Design Properties
s11 top s22 top s12 top s11 bot s22 bot s12 bot MPa
MPa MPa MPa MPa MPa MPa
s11 top s22 top s12 top s11 bot s22 bot s12 bot
MPa MPa MPa MPa MPa MPa
4.434 5.723 2.142
1D+1H+1B+1W
3.49 9.395 1.815 4.362 8.823 2.08
Load Combination Max Stresses Allowable stress
1D+1L+1H+1B+1W
4.7
3.487 6.36 1.69
s11 top s22 top s12 top s11 bot s22 bot s12 bot MPa
MPa MPa MPa MPa MPa MPa
s11 top s22 top s12 top s11 bot s22 bot s12 bot
MPa MPa MPa MPa MPa MPa
-3.46
1D+1H+1B+1W
-9.45 -12.63 -5.76 -11.35 -11.07 -3.38
Load Combination Max Stresses Allowable stress
1D+1L+1H+1B+1W
45
-9.42 -14.11 -5.57 -11.3 -12.01
42
Pada penampang SFT direncanakan jumlah
tendon yang digunakan adalah 32 tendon dengan
perincian 16 angker mati dan 16 angker hidup,
sehingga dengan menggunakan data spesifikasi
kabel tendon, maka kekuatan 32 tendon dengan
asumsi penarikan 80% adalah sebagai berikut :
Fo = 0.8 x Aps x fpu
= 0,8 x 32 x 19 x 100,1 mm2 x 1860 MPa
= 90.560.870,5 N
Luas penampang beton adalah sebagai berikut :
Ac = 0,25 x π x ((D2)2 (D1)
2)
= 0,25 x π x ((5900 mm 2 (5000 mm)2)
= 7.700.850 mm2
Dari hasil perhitungan di atas tegangan yang
terjadi pada badan tunnel SFT saat transfer gaya
prategang adalah sebagai berikut :
; dimana f’ci = 0,8
f’c
Sedangkan hasil perhitungan tegangan yang terjadi
pada badan tunnel SFT saat beban bekerja (service
load) adalah sebagai berikut :
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa gaya
prestress dengan menggunakan 32 kabel tendon
yang diberikan pada penampang beton SFT tidak
mengakibatkan tegangan yang terjadi melebihi
tegangan ijin serta dengan adanya efek gaya
prestress tersebut pada dinding beton
mengakibatkan tegangan tarik pada penampang
bisa dihilangkan.
Pada penampang SFT yang didesain akan
dipasang tulangan non-prategang minimum dengan
spesifikasi sebagai berikut :
- Mutu baja (fy) = 400 MPa
- Tulangan lentur (ulir) = Diameter 22 mm
Luas tulangan non-prategang minimum
dihitung sesuai SNI 2847-2002 pasal 20.9.2
sebagai berikut :
Dari hasil perhitungan di atas akan dipasang
tulangan 82 D22 dan tulangan dipasang secara
rangkap pada dinding beton SFT.
Gambar Desain Perencanaan Penampang Beton
SFT
6.7.4 Pemodelan Sistem Sambungan Struktur
SFT
Sistem sambungan pada SFT yang dimodelkan
pada studi ini adalah sistem sambungan kabel pada
badan tunnel dan sistem sambungan kabel pada
seabed. Bentuk struktur SFT yang beda dengan
floating structure seperti biasanya membuat sistem
sambungan pada SFT perlu dimodelkan secara
khusus. Elemen kabel dan dinding SFT akan
disambungkan oleh sabuk baja yang akan dipasang
sesuai dengan jarak perletakan kabel, sedangkan
sambungan antara elemen kabel dengan seabed
akan disambungankan menggunakan pilecap beton
(foundation template). Pemilihan tipe plat baja
tergantung dari hasil analisa tegangan yang
bekerja. Hasil analisa tegangan yang bekerja pada
plat baja adalah sebagai berikut :
Tabel Tegangan Yang Bekerja Pada Sabuk
Baja
Gambar Letak Tegangan Maksimum Pada
Sabuk Baja Struktur SFT Yang Direncanakan
S11Top S22Top S12Top S11Bot S22Bot S12Bot
N/mm2 N/mm2 N/mm2 N/mm2 N/mm2 N/mm2
138.863 108.528 54.177 168.522 226.242 45.742
43
Data properties material plat baja yang akan
digunakan pada sabuk baja SFT adalah sebagai
berikut :
Tabel Data Properties Material Plat Baja
Sumber : Steel Plate Properties PT Gunung
Raja Paksi
Dari tabel di atas direncanakan sabuk baja
menggunakan plat baja high tensile plate
specification EN 10025 Grade S 355 J2G3 dengan
tegangan leleh minimum 335 MPa dan tegangan
putus minimum 490 MPa.
Gambar Potongan Arah Melintang Desain
Perletakan Kabel SFT Pada Dinding Beton
Gambar Potongan Arah Memanjang Desain
Perletakan Kabel SFT Pada Dinding Beton
Pilecap beton sebagai perletakan kabel pada
seabed didesain agar mampu menahan gaya tarik
pada kabel dengan mengandalkan berat sendirinya.
Data tanah pada perencanaan SFT ini belum ada,
sehingga model perletakan kabel hanya akan
didesain bentuknya saja. Material beton yang akan
digunakakan sebagai Pilecap sama dengan yang
digunakan pada dinding beton penampang SFT.
Pemodelan sistem perletakan kabel pada seabed
adalah sebagai berikut :
Gambar Potongan Melintang Desain
Perletakan Kabel SFT Pada Seabed
Gambar Potongan Memenjang Desain
Perletakan Kabel SFT Pada Seabed
6.7.5 Analisa Gaya Vortex Terhadap Desain
Struktur SFT
Desain rencana struktur SFT akan
dikontrol terhadap gaya vortex yang bekerja akibat
adanya gaya gelombang dan arus. Gaya vortex ini
merupakan efek dinamis akibat gaya gelombang
dan arus laut yang dapat menyebabkan struktur
mengalami getaran atau dapat menyebabkan
terjadinya resonansi pada suatu struktur. Frekuensi
akibat gaya vortex yang bekerja telah dihitung
sebelumnya dimana hasilnya adalah sebesar 0,132
Hz. Frekuensi akibat gaya vortex harus lebih kecil
dibandingkan dengan frekuensi natural dari
struktur SFT yang direncanakan agar struktur SFT
yang direncanakan tersebut tidak mengalami
resonansi atau getaran ketika gaya gelombang dan
arus bekerja. Hasil analisa terhadap frekuensi
natural struktur SFT yang direncanakan adalah
sebagai berikut :
44
Tabel Analisa Frekuensi Natural Desain
SFT
Hasil analisa frekuensi yang terjadi akibat gaya
vortex menunjukkan bahwa struktur SFT tidak
mengalami resonansi ketika gelombang dan arus
bekerja karena frekuensi natural dari struktur SFT
yang direncanakan masih lebih besar dibandingkan
dengan frekuensi akibat gaya vortex yaitu sebesar
0,132 Hz.
6.7.6 Analisa Displacement Desain Struktur SFT
Displacement yang terjadi pada struktur SFT yang
direncanakan adalah sebagai berikut :
Tabel Analisa Displacement Desain
Struktur SFT
U1 U2 U3
mm mm mm
51.93 4.53 34.02
Hasil analisa displacement menunjukkan bahwa
displacement yang terjadi pada desain struktur SFT
untuk perencanaan jauh lebih kecil dibandingkan
dengan displacement yang terjadi pada struktur
SFT yang dimodelkan pada studi pemilihan
konfigurasi kabel. Hal ini membuktikan bahwa
struktur SFT hasil pemodelan yang dilakukan
untuk studi perencanaan struktur memiliki perilaku
yang jauh lebih baik daripada sebelumnya. Bentuk
displacement dari struktur SFT yang direncanakan
dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar Displacement Maksimum Arah
Sumbu Z Desain Struktur SFT
Gambar Displacement Maksimum Arah Sumbu
X Desain Struktur SFT
Gambar Displacement Maksimum Arah Sumbu
Y Desain Struktur SFT
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil pada studi untuk
mendapatkan konfigurasi kabel yang paling efektif
pada struktur SFT dan juga setelah dilakukan
analisa perencanaan lebih lanjut adalah sebagai
berikut :
Kondisi perairan di lingkungan tempat prototype
SFT akan dibangun memiliki karakteristik
gelombang laut yang memiliki amplitudo kecil
tetapi berhingga dimana dengan kondisi ini teori
perhitungan gelombang bisa menggunakan Teori
Stokes Orde 5.
SFT adalah struktur yang dibuat untuk
menggantikan jembatan konvensional, oleh karena
itu pembebanan lalu-lintas yang dilakukan pada
struktur ini sama dengan jembatan konvensional
tapi pada struktur SFT yang dianalisa pada studi ini
tidak memperhitungkan kondisi struktur akibat
beban truck atau kendaraan berat.
Beban gelombang otomatis pada SAP 2000 tidak
bisa membebani element shell secara otomatis,
oleh karena itu beban gelombang yang bekerja
pada element shell untuk pemodelan SFT pada
SAP 2000 dihitung dan dimasukkan secara
manual.
Perhitungan gelombang Teori Stokes Orde 5
memiliki metode perhitungan yang sangat rumit,
oleh karena itu pada perhitungan gelombang yang
bekerja pada element shell dihitung menggunakan
Teori Airy yang agak lebih sederhana. Walaupun
demikian, hasil analisa yang dilakukan
menggunakan contoh desain struktur yang
menyerupai jacket 4 kaki (struktur fix offshore
platform) menunjukkan bahwa Teori Stokes Orde
OutputCase StepType StepNum Period Frequency
Text Text Unitless Sec Hz
MODAL Mode 1 0.33 3.02
MODAL Mode 2 0.29 3.4
MODAL Mode 3 0.27 3.68
MODAL Mode 4 0.26 3.79
MODAL Mode 5 0.2 5.01
MODAL Mode 6 0.19 5.17
MODAL Mode 7 0.14 6.91
MODAL Mode 8 0.14 6.93
MODAL Mode 9 0.13 7.43
MODAL Mode 10 0.13 7.91
MODAL Mode 11 0.12 8.4
MODAL Mode 12 0.11 8.73
45
5 memiliki gaya yang lebih kecil dibandingkan
dengan Teori Airy sehingga studi analisa dan
desain struktur SFT yang telah dilakukan sudah
memenuhi dalam segi keamanan struktur dari
beban gelombang dan arus. Pemodelan struktur
jacket 4 kaki yang dilakukan untuk analisa
perbandingan ini adalah sebagai berikut :
Gambar Pemodelan Struktur Jacket 4 Kaki
Pada SAP 2000
Gambar Pemodelan 3D Struktur Jacket 4 Kaki
Pada SAP 2000
Analisa besarnya gaya yang bekerja didapat dari
joint reaction (reaksi perletakan) pada struktur
jacket platform akibat gaya gelombang saja dimana
perletakan pada struktur tersebut dimodelkan
sebagai jepit tanpa memperhitungkan kondisi tanah
atau tanpa memperhitungkan letak titik jepit.
Asumsi. Pemodelan struktur jacket 4 kaki pada
SAP 2000 tersebut diasumsikan menggunakan
profil sebagai berikut :
Dimensi kaki struktur ; OD = 47 in ; t = 1 in
Dimensi bracing horizontal ; OD = 15.67 in ; t = 1 in
Dimensi bracing diagonal ; OD = 23.5 in ; t = 1 in
Pemodelan gelombang dilakukan dengan cara yang
sama dengan pemodelan gelombang untuk analisa
SFT sehingga struktur jacket platform dianggap
berada pada lingkungan yang sama dengan struktur
SFT yang direncanakan.
Hasil analisa terhadap konfigurasi kabel
menunjukkan bahwa type konfigurasi kabel yang
paling efektif dalam menahan badan tunnel ketika
beban-beban lingkungan bekerja pada SFT adalah
konfigurasi kabel type 1 dimana model dari
konfigurasi tersebut adalah sebagai berikut :
Gambar Konfigurasi Paling Efektif Pada
Struktur SFT Hasil Studi
Hasil studi juga membuktikan bahwa gaya
prestress yang bekerja pada struktur SFT yang
menggunakan penampang beton dapat membantu
struktur untuk menahan beban yang bekerja. Hal
ini bertentangan dengan asumsi awal yang
menjelaskan bahwa gaya prestress yang diberikan
hanya berfungsi sebagai penyambung segmen-
segmen badan tunnel.
Penggunaan kabel pada struktur SFT lebih baik
jika menggunakan sling daripada tendon karena
pemasangan sling lebih mudah daripada tendon.
Pemasangan tendon umumnya dilakukan pada
floating structure dengan menggunaka column hull
tapi pada sistem seperti SFT tidak terdapat column
hull sehingga sulit dalam pemasangan.
Struktur SFT yang menggunakan penampang
dengan material beton masih rawan untuk
digunakan karena sifat beton yang getas
menjadikan struktur sangat sensitif terhadap beban
tumbukan dan gesekan yang bisa diakibatkan oleh
kendaraan.
Hasil studi analisa desain perencanaan struktur
SFT menghasilkan dimensi dan spesifikasi akhir
dari elemen struktur SFT sebagai berikut :
7.2 Saran
Saran yang dapat diambil pada studi untuk
menemukan konfigurasi kabel yang paling efektif
pada struktur SFT dan juga setelah melakukan
No Elemen Struktur Dimensi Spesifikasi Material Ket
1 Penampang SFT OD = 5.9 cm ; t = 45 cm Beton f'c = 45 MPa Badan Tunnel SFT
2 Foundation Template Lebar = 3 m ; Panjang = 6 m Beton f'c = 45 MPa Ketebalan belum ditentukan
Steel Wire Ropes Blue Strand 6 x 36 Class
Minimum Breaking Force 193 ton
4 Sling Shacle Diameter 23. 8 cm Minimum Breaking Force 150 ton (SF 5 : 1) -
5 Balok Memanjang WF 250x175x7x11 ; L = 1.25 m BJ 41 ; fy = 250 ; fu = 410 -
6 Balok Melintang WF 450x300x10x15 ; L = 3 m BJ 41 ; fy = 250 ; fu = 410 -
7 Sabuk Baja L = 1 m ; t = 60 mm High Tensile Plat S 355 J2G3 ; fy = 335 ; fu = 490 MPa -
Jumlah Strand = 20 VSL Uncoated 7 Wire Super Strand Tendon Prategang diletakkan
Diameter nominal 0.0127 m fpy = 1580000 kPa ; fpu = 1860000 kPa pada badan tunnel
Spiral Wire
JIS G 3532 SWM-B
Diameter 22 mm digunakan untuk
sambungan sling dan badan tunnel /
foundation template sedangkan
diameter 16 mm digunakan untuk
sambungan badan tunnel dengan
balok baja
Connection Plate Dipasang pada keliling diameter
JIS G 3101 dinding dan dilas untuk menambah
kekauan sambungan antar badan SFT
Digunakan sebagai tulangan geser9
fy = 235 MPa; fu = 400 MPat = 20 mm11
fy = 23.5 kN/cm2 ; fu = 38 kN/cm
2 Diameter 22 mm dan 16 mmAnchor Bolt10
Tendon Prategang8
Diameter 3 mm fy = 400 MPa ; fu = 260 MP
3 Kabel Diameter 5.2 cm Penahan Badan Tunnel SFT
46
analisa perencanaan lebih lanjut adalah sebagai
berikut :
Perlu analisa lebih detail terhadap
sambungan pada struktrur SFT yang telah
dimodelkan pada studi ini.
Perlunya data tanah pada desain struktrur
SFT untuk merencanakan detail foundation
template yang telah dimodelkan pada studi
ini.
Analisa struktur pada studi ini hanya
menggunakan finite element software yaitu
SAP 2000. Software tersebut hanya bisa
memodelkan beban gelombang dan arus
secara siklik statis (linear multiple statis)
dan juga hanya bisa memodelkan beban
gelombang dan arus bekerja pada elemen
frame sehingga diharapkan pada penelitian
selanjutnya jika menggunakan software
untuk perhitungan/analisa struktur SFT
ataupun struktur bangunan lepas pantai
lainnya yang memiliki elemen shell yang
dominan sebaiknya menggunakan software
CFD (computational fluid dynamic)
dimana software tersebut sudah dapat
memodelkan beban gelombang dan arus
secara dinamis baik pada elemen frame
maupun elemen shell.
Perlu dilakukan studi lebih lanjut
mengenai metode konstruksi yang tepat
untuk pelaksanaan pembangunan prototipe
struktur SFT ini.
Perlu analisa lebih lanjut terhadap material
beton yang akan digunakan jika struktur
SFT akan menggunakan material beton
sebagai penampangnya untuk
pembangunan prototype karena struktur
SFT yang berada dalam air laut harus
dipastikan kedap air dan mampu bertahan
dalam kondisi lingkungan yang
mengandung klorida dari garam.