Upload
iisaisahnurhasanah
View
136
Download
5
Embed Size (px)
DESCRIPTION
pemikiran eksistensialisme
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Jean-Paul Sartre adalah seorang pengarang novel, pengarang drama dan
skenario film, kritikus sastra, filsuf, dan pemikir politik yang besar pada abad ke-
20. Dia adalah bapak eksistensialisme Prancis yang menyampaikan pemikirannya
melalui karya-karya sastranya. Sastre percaya bahwa eksistensi manusia
ditentukan oleh manusia itu sendiri, dengan kata lain manusia adalah tidak lain
apa yang ia lakukan sehingga mereka tidak dapat menyalahkan siapapun atas
peristiwa yang terjadi pada dirinya.
Sartre lahir di Paris, 21 Juni 1905. Ayahnya adalah seorang perwira
angkatan laut Prancis beragama Katolik, sedangkan ibunya (Anne-Marie
Schweitzer) adalah seorang guru bahasa dan sastra Jerman di daerah Alsace yang
beragama Protestan. Sejak kecil, Sartre terkenal sebagai anak yang fisiknya sangat
lemah dan sangat sensitif. Namun demikian, guru-guru Sartre mengenalnya
sebagai seorang siswa yang sangat cerdas dan sangat berhasrat untuk belajar.
Sejak tahun 1931, Sartre mengajar sebagai guru filsafat di beberapa lycée,
berturut-turut di Le Havre, Laon, dan Paris. Pada waktu itu, ia mulai berkenalan
dengan fenomenologi Husserl dan tahun 1933-1934 ia mendapat kesempatan
untuk mempelajari lebih dalam aliran filsafat ini di sebuah “Lembaga Prancis” di
Berlin. Baginya, filsafat ini merupakan suatu sarana untuk mengungkapkan
realitas dan pengalaman yang konkret. Bidang pertama Sartre mulai menerapkan
pemikiran fenomenologis adalah psikologi, khususnya masalah fantasi dan emosi.
Ia menulis buku-buku kecil berjudul L’imagination (1936), Esquisse d’une théorie
des emotions (1939), dan L’imaginaire (1940). Dalam periode yang sama, Sartre
memulai karirnya sebagai sastrawan. Salah satu karya sastra yang penting adalah
novel pertamanya yang berjudul La Nausée (1938). Saat Perang Dunia II, Sartre
menerbitkan sebuah karya filsafat besar berjudul L’être et le néant, essai
d’ontologie phénoménologique (1943). Dengan buku ini, Sartre menjadi filsuf
ternama dan segera dianggap sebagai salah seorang pemimpin gerakan filosofis
yang disebut eksistensialisme. Kemudian, Sartre pun menjadi semakin populer
setelah buku kecil berjudul L’existentialisme est un humanisme (1946) keluar.
Tahun 1960 juga merupakan tahun yang penting dalam karir filsafat Sartre karena
di tahun tersebut, ia kembali menerbitkan sebuah karya filosofis besar dengan
judul Critique de la raison dialectique.
Melalui karya-karya sastranya itulah Sartre menyampaikan pemikirannya
mengenai eksistensialisme. Pada makalah ini, akan dijelaskan beberapa poin-poin
penting pemikiran Sartre mengenai eksistensialisme manusia.
BAB II
EKSISTENSIALISME SARTRE
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai pemikiran Sartre melalui tiga
subbab yang berasal dari kutipan khas Sartre yang masing-masing memiliki
maksud untuk menerangkan pemikiran Sartre mengenai keberadaan, kesadaraan,
kebebasan dan subjektivitas manusia.
II. 1. L'existence précède l'essence
Eksistensi mendahului esensi itu sebuah proses dari manusia dilahirkan
terlebih dahulu, menemukan jati dirinya, dan kemudian dapat mendefinisikan
dirinya. Eksistensialisme ateistik jika Tuhan tidak ada maka paling tidak, ada
sesuatu yang eksistensinya muncul mendahului esensinya—sesuatu yang muncul
sebelum dapat didefinisikan. Ini yang disebut manusia. Apa maksudnya eksistensi
mendahului esensi? Maksudnya adalah, manusia ada (dilahirkan), menemukan jati
dirinya, dan setelah itu ia baru bisa mendefinisikan dirinya. Jika (sebagai
eksistensialis) seorang manusia menganggap dirinya tidak terdefinisikan, hal itu
diawali oleh ketiadaan dirinya. Manusia adalah manusia, bukan karena dirinya
yang ia pahami, tetapi karena ia adalah apa yang ia kehendaki. Manusia adalah
apa yang ia bentuk untuk dirinya sendiri. Itulah konsep pertama eksistensialisme.
Jika ada Tuhan, ia menjadi subjek superior karena saat Tuhan menciptakan
manusia, Ia tahu persis apa yang Ia ciptakan. Jadi, konsep manusia menurut citra
Tuhan dapat disejajarkan dengan konsep coupe-papier (cutter) dalam bidang
industri.
Pada dasarnya, manusia tidak dapat diungkapkan dengan konsep-konsep,
karena ia serba unik, eksistensinya mendahului esensinya. Akan tetapi, Sartre
memiliki konsep mengenai hakekat sesuatu berdasarkan pemikirannya, yaitu être-
en-soi (ada dalam dirinya) dan être-pour-soi (ada-untuk-dirinya). Perbedaan dari
hakekat ini menjadi sangat berbeda karena Sartre menyatakan bahwa "ada" yang
sebenarnya adalah être-en-soi yaitu ada dengan cara seperti benda-benda material
seperti batu, kayu, dll. Benda-benda ini tidak memilliki kesadaran seperti
manusia. Pada manusia ditemukan être-pour-soi, kesadaran. Dimana manusia
dapat berinteraksi atas asas kesadarannya, serta memenuhi hasratnya untuk
menjadi dirinya dimana hal tersebut sia-sia saja.
Être-en-soi yaitu arti mutlak dari "ada". Hal ini dikarenakan ia sama
identik dengan dirinya sendiri. Realisasi dari hakekat ini adalah benda mati yang
tidak memiliki arti atau nilai. Esensinya telah ditentukan dari sebelum dia ada.
Contohnya adalah sebelum kursi dibuat, kursi tersebut telah ditentukan fungsinya,
yaitu sebagai tempat duduk. Hal ini menunjukkan bahwa esensinya mendahului
eksistensinya. Ia juga tidak memiliki kesadaran apalagi kebebasan untuk mengisi
esensinya sendiri. Ia tidak bersifat aktif maupun pasif. Ketika dilihat, dia hanyalah
seonggok benda saja yang tidak mampu melakukan aksi dan reaksi apapun.
Karena kepadatannya, ketiadaan tidak dapat memasukinya. Yang ada hanyalah
dirinya sendiri.
Être-pour-soi adalah ada yang berkesadaran, terwujud dalam manusia.
Manusia dapat menjadi subjek, dapat berhubungan dan hanya melalui dia
hubungan antar sesuatu itu terjadi. Ia juga memiliki kesadaran tentang sesuatu di
luar dirinya dan sadar bahwa dirinya ada. Maka, ketika ia menyadari bahwa
dirinya ada, dia akan terbagi menjadi dua "Aku sadar akan diriku" adalah contoh
pemecahan satu aku menjadi dua aku (aku yang menjadi subjek dan aku pada
diriku yang menjadi objek). Dalam hal ini, aku yang tadinya satu menjadi dua,
karena subjek berbeda dengan objek. Kesadaran membuat retak semua yang
tadinya utuh.
Menurut Sartre, dalam kesadaran ada yang ditiadakan, kesadaran
meniadakan kepadatan, kesatuan, dan sebagainya, yang mengakibatkan timbulnya
celah dan jarak. Ini berarti untuk sadar, kita harus membelah diri menjadi dua,
memisahkan diri dari dirinya sendiri. Antara être-en-soi dan être-pour-soi hanya
mungkin ada kekosongan, karena kekosongan itulah inti dari kesadaran.
Sebenarnya manusia ingin bersatu dengan dirinya sendiri. Namun dengan
adanya kesadaran untuk bersatu dengan dirinya, manusia telah membagi dirinya
sendiri yang utuh. Selain itu, kesadaran akan menimbulkan kekosongan. Padahal
di lain sisi, untuk menjadi dirinya yang utuh, manusia harus meniadakan
kekosongan tersebut yang ada karena ditimbulkan oleh kesadaran. Itu berarti
bahwa semua yang dilakukannya akan menjadi sia-sia, karena tidak mungkin ia
melakukan sesuatu tanpa kesadaran. Jadi, proses itu tidak pernah selesai, manusia
selalu meniadakan dirinya dan berusaha untuk menjadi dia yang lain. Inilah yang
dimaksud dengan bereksistensi adalah sebuah kutukan, hukuman, dan
keterpaksaan.
II. 2. L'homme est condamné à être libre
Menurut Sartre, manusia memiliki kebebasan mutlak. Kebebasan tersebut
berpijak pada kesadaran manusia atas eksistensinya. Kebebasan itu adalah
kebebasan untuk menentukan pilihan-pilihan di dalam hidupnya karena pada
hakekatnya manusia selalu berada dalam posisi memilih. Bahkan, ketika manusia
memutuskan untuk tidak memilih pun, hal tersebut merupakan sebuah pilihan.
Manusia adalah kebebasan itu sendiri karena manusia selalu berhadapan
dengan kemungkinan untuk menyatakan tidak sehingga esensi manusia tidak
pernah bisa ditentukan. Manusia tidak dapat didefinisikan karena ia berasal dari
ketiadaan. Manusia bebas karena mereka tidak pernah berhenti untuk menjadi diri
mereka sendiri. Semua nilai dan makna ada dalam diri manusia sendiri.
Kebebasan menentukan pilihan menjadikan manusia harus bertanggung
jawab terhadap hal-hal yang menjadi pilihannya. Tanggung jawab mutlak yang
diemban manusia merupakan konsekuensi wajar dari kebebasan manusia. Selain
itu, manusia harus bertanggung jawab atas apapun pilihannya karena pilihan
tersebut juga membawa pengaruh untuk orang lain dan lingkungan. Hal tersebut
dapat menimbulkan kecemasan di dalam dirinya. Kecemasan berbeda dengan
ketakutan. Kecemasan lebih kepada kesadaran bahwa masa depan saya seluruhnya
bergantung pada diri saya, sedangkan ketakutan lebih kepada di luar diri saya
(objek).
Untuk dapat menyembunyikan kecemasannya dan melarikan diri dari
kebebasannya, manusia tentu saja harus mengetahui baik-baik apa yang
disembunyikan dan dijauhkan. Melarikan diri dari kebebasan dan menjauhkan diri
dari kecemasan serentak juga berarti adanya kesadaran (akan) kebebasan,
kecemasan, dan pelarian. Dengan demikian, manusia mengakui kebebasannya dan
serentak juga menyangkal kebebasan itu. Sikap tidak otentik ini disebut la
mauvaise foi (bad faith) oleh Sartre, penyangkalan terhadap kebebasan yang
diberikan kepada manusia. Dalam sikap ini, terlihat jelas kemungkinan bagi
manusia untuk mengakui dan menyangkal apa yang dihayatinya. Dengan kata
lain, dalam sikap ini, manusia menipu dirinya. Hal itu terjadi, misalnya, jika
seseorang mengatakan “Sifat saya begitu, apa boleh buat.”
Terdapat kefaktaan dalam kebebasan mutlak yang dimiliki manusia.
Kebebasan itu memiliki konteks. Kefaktaan adalah suatu fakta atau kenyataan
yang tidak dapat dihindari oleh manusia, yaitu tempat tinggal, masa lalu,
lingkungan sekitar, sesama manusia dan kematian. Kefaktaan tidak menentukan
seseorang, melainkan memberi dasar bagi seseorang untuk menentukan dirinya.
Kefaktaan bukanlah suatu rintangan untuk kebebasan jika dipandang sebagai
suatu hal yang wajar, sebagai konsekuensi dari kebebasan.
Kebebasan mutlak dengan kebebasan memilih pilihan menghadirkan
tanggung jawab yang mutlak pula. Manusia harus bertanggung jawab atas segala
pilihan yang dia buat karena hal itu pasti berpengaruh pada manusia lain.
Tanggung jawab mutlak menimbulkan kecemasan pada diri manusia. Selain itu,
pilihan-pilihan manusia tidak akan pernah berhenti karena manusia akan selalu
mencari esensinya. Hal itulah yang mendasari paham Sartre bahwa manusia itu
dikutuk untuk bebas.
II. 3. L’enfer c’est les autres
Dalam eksistensialisme, manusia adalah subjek. Ia memiliki kebebasan
dan bisa membentuk dirinya sendiri, tetapi harus bertanggung jawab atas apa yang
ia pilih atau lakukan. Sementara itu, benda atau objek tidak sadar tidak memiliki
kebebasan, tidak membentuk dirinya sendiri (karena benda sudah memiliki esensi
sebelum diciptakan) dan tidak memiliki tanggung jawab atas apa yang
dilakukannya. Subjektivitas manusia bersifat orisinil dan sentral yang berkaitan
dengan eksistensi mendahului esensi. Oleh karena itu, kebebasan yang dimiliki
manusia menjadikannya berbeda dengan benda dan kebebasan secara mutlak
hanya dimiliki oleh manusia.
Setiap pilihan yang diambil manusia selalu memiliki pengaruh terhadap
manusia lainnya karena pilihan tersebut dianggap sebagai pilihan terbaik dari
pilihan-pilihan yang ada. Manusia ingin agar manusia yang lain juga mengikuti
mengambil pilihannya. Manusia hanyalah menjadi manusia dalam hubungannya
dengan manusia lainnya. Manusia selalu ingin menampilkan citra yang sama atau
bahkan lebih baik dari manusia lainnya karena adanya objektivitas.
Sebagai seorang manusia yang bebas, manusia harus dapat
menghargai kebebasan orang lain. Ketersinggungan kebebasan tiap-tiap
individu menimbulkan adanya objektifikasi pada eksistensi. Sartre melihat
hubungan manusia sebagai sebuah konflik karena setiap perjumpaan selalu
terjadi dialektika subjek-objek. Kunci utama terletak pada tatapan mata yang
mengobservasi. Pada suatu saat saya menjadi subjek dan orang yang saya
lihat menjadi objek, atau saya menjadi objek dari orang lain yang melihat
saya. Objektivitas tersebutlah yang menjadikan munculnya kata bahwa orang
lain adalah neraka.
BAB III
PENUTUP
(rangkumin kak ;p ambil aja inti tiap2 paragraf trus yang penting Sartre itu
eksistensialismenya humanis karena selalu berpengaruh pada manusia lain dan
tidak egois)
Eksistensialisme Sartre adalah eksistensialisme humanis. Ia menyatakan bahwa
eksistensialisme adalah ajaran yang menghargai kehidupan manusia dan
mengajarkan bahwa setiap kebenaran dan tindakan mengandung keterlibatan
lingkungan dan subjektivitas manusia.
INI BELUM GUE MASUKIN
ENAKNYA DIMANA?! HEHE, SOALNYA WAK GAK TAUK
Eksistensialisme merupakan Pertama-tama, eksistensialisme telah dicela sebagai
suatu ajakan kepada orang-orang untuk berdiam di dalam keputusasaan. Karena
setiap cara untuk mencapai sebuah solusi tertutup maka seseorang harus
mengamati setiap tindakan adalah tidak mungkin
Radikalisme: tidak akan ada yang berubah jika Tuhan tidak ada; manusia
tetap akan menemukan norma-norma kehidupan yang sama. Namun sebaliknya,
eksistensialis menganggap bahwa ketiadaan Tuhan tersebut memalukan karena
nilai-nilai surgawi yang dapat dimengerti akan hilang sesuai dengan ketiadaan
Tuhan.