13
BAB I PENDAHULUAN Jean-Paul Sartre adalah seorang pengarang novel, pengarang drama dan skenario film, kritikus sastra, filsuf, dan pemikir politik yang besar pada abad ke-20. Dia adalah bapak eksistensialisme Prancis yang menyampaikan pemikirannya melalui karya-karya sastranya. Sastre percaya bahwa eksistensi manusia ditentukan oleh manusia itu sendiri, dengan kata lain manusia adalah tidak lain apa yang ia lakukan sehingga mereka tidak dapat menyalahkan siapapun atas peristiwa yang terjadi pada dirinya. Sartre lahir di Paris, 21 Juni 1905. Ayahnya adalah seorang perwira angkatan laut Prancis beragama Katolik, sedangkan ibunya (Anne-Marie Schweitzer) adalah seorang guru bahasa dan sastra Jerman di daerah Alsace yang beragama Protestan. Sejak kecil, Sartre terkenal sebagai anak yang fisiknya sangat lemah dan sangat sensitif. Namun demikian, guru-guru Sartre mengenalnya sebagai seorang siswa yang sangat cerdas dan sangat berhasrat untuk belajar. Sejak tahun 1931, Sartre mengajar sebagai guru filsafat di beberapa lycée, berturut-turut di Le Havre, Laon, dan Paris. Pada waktu itu, ia mulai berkenalan dengan fenomenologi Husserl dan tahun 1933-1934 ia

Makalah Sartre

Embed Size (px)

DESCRIPTION

pemikiran eksistensialisme

Citation preview

Page 1: Makalah Sartre

BAB I

PENDAHULUAN

Jean-Paul Sartre adalah seorang pengarang novel, pengarang drama dan

skenario film, kritikus sastra, filsuf, dan pemikir politik yang besar pada abad ke-

20. Dia adalah bapak eksistensialisme Prancis yang menyampaikan pemikirannya

melalui karya-karya sastranya. Sastre percaya bahwa eksistensi manusia

ditentukan oleh manusia itu sendiri, dengan kata lain manusia adalah tidak lain

apa yang ia lakukan sehingga mereka tidak dapat menyalahkan siapapun atas

peristiwa yang terjadi pada dirinya.

Sartre lahir di Paris, 21 Juni 1905. Ayahnya adalah seorang perwira

angkatan laut Prancis beragama Katolik, sedangkan ibunya (Anne-Marie

Schweitzer) adalah seorang guru bahasa dan sastra Jerman di daerah Alsace yang

beragama Protestan. Sejak kecil, Sartre terkenal sebagai anak yang fisiknya sangat

lemah dan sangat sensitif. Namun demikian, guru-guru Sartre mengenalnya

sebagai seorang siswa yang sangat cerdas dan sangat berhasrat untuk belajar.

Sejak tahun 1931, Sartre mengajar sebagai guru filsafat di beberapa lycée,

berturut-turut di Le Havre, Laon, dan Paris. Pada waktu itu, ia mulai berkenalan

dengan fenomenologi Husserl dan tahun 1933-1934 ia mendapat kesempatan

untuk mempelajari lebih dalam aliran filsafat ini di sebuah “Lembaga Prancis” di

Berlin. Baginya, filsafat ini merupakan suatu sarana untuk mengungkapkan

realitas dan pengalaman yang konkret. Bidang pertama Sartre mulai menerapkan

pemikiran fenomenologis adalah psikologi, khususnya masalah fantasi dan emosi.

Ia menulis buku-buku kecil berjudul L’imagination (1936), Esquisse d’une théorie

des emotions (1939), dan L’imaginaire (1940). Dalam periode yang sama, Sartre

memulai karirnya sebagai sastrawan. Salah satu karya sastra yang penting adalah

novel pertamanya yang berjudul La Nausée (1938). Saat Perang Dunia II, Sartre

menerbitkan sebuah karya filsafat besar berjudul L’être et le néant, essai

d’ontologie phénoménologique (1943). Dengan buku ini, Sartre menjadi filsuf

ternama dan segera dianggap sebagai salah seorang pemimpin gerakan filosofis

yang disebut eksistensialisme. Kemudian, Sartre pun menjadi semakin populer

Page 2: Makalah Sartre

setelah buku kecil berjudul L’existentialisme est un humanisme (1946) keluar.

Tahun 1960 juga merupakan tahun yang penting dalam karir filsafat Sartre karena

di tahun tersebut, ia kembali menerbitkan sebuah karya filosofis besar dengan

judul Critique de la raison dialectique.

Melalui karya-karya sastranya itulah Sartre menyampaikan pemikirannya

mengenai eksistensialisme. Pada makalah ini, akan dijelaskan beberapa poin-poin

penting pemikiran Sartre mengenai eksistensialisme manusia.

Page 3: Makalah Sartre

BAB II

EKSISTENSIALISME SARTRE

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai pemikiran Sartre melalui tiga

subbab yang berasal dari kutipan khas Sartre yang masing-masing memiliki

maksud untuk menerangkan pemikiran Sartre mengenai keberadaan, kesadaraan,

kebebasan dan subjektivitas manusia.

II. 1. L'existence précède l'essence

Eksistensi mendahului esensi itu sebuah proses dari manusia dilahirkan

terlebih dahulu, menemukan jati dirinya, dan kemudian dapat mendefinisikan

dirinya. Eksistensialisme ateistik jika Tuhan tidak ada maka paling tidak, ada

sesuatu yang eksistensinya muncul mendahului esensinya—sesuatu yang muncul

sebelum dapat didefinisikan. Ini yang disebut manusia. Apa maksudnya eksistensi

mendahului esensi? Maksudnya adalah, manusia ada (dilahirkan), menemukan jati

dirinya, dan setelah itu ia baru bisa mendefinisikan dirinya. Jika (sebagai

eksistensialis) seorang manusia menganggap dirinya tidak terdefinisikan, hal itu

diawali oleh ketiadaan dirinya. Manusia adalah manusia, bukan karena dirinya

yang ia pahami, tetapi karena ia adalah apa yang ia kehendaki. Manusia adalah

apa yang ia bentuk untuk dirinya sendiri. Itulah konsep pertama eksistensialisme.

Jika ada Tuhan, ia menjadi subjek superior karena saat Tuhan menciptakan

manusia, Ia tahu persis apa yang Ia ciptakan. Jadi, konsep manusia menurut citra

Tuhan dapat disejajarkan dengan konsep coupe-papier (cutter) dalam bidang

industri.

Pada dasarnya, manusia tidak dapat diungkapkan dengan konsep-konsep,

karena ia serba unik, eksistensinya mendahului esensinya. Akan tetapi, Sartre

memiliki konsep mengenai hakekat sesuatu berdasarkan pemikirannya, yaitu être-

en-soi (ada dalam dirinya) dan être-pour-soi (ada-untuk-dirinya). Perbedaan dari

hakekat ini menjadi sangat berbeda karena Sartre menyatakan bahwa "ada" yang

sebenarnya adalah être-en-soi yaitu ada dengan cara seperti benda-benda material

Page 4: Makalah Sartre

seperti batu, kayu, dll. Benda-benda ini tidak memilliki kesadaran seperti

manusia. Pada manusia ditemukan être-pour-soi, kesadaran. Dimana manusia

dapat berinteraksi atas asas kesadarannya, serta memenuhi hasratnya untuk

menjadi dirinya dimana hal tersebut sia-sia saja.

Être-en-soi yaitu arti mutlak dari "ada". Hal ini dikarenakan ia sama

identik dengan dirinya sendiri. Realisasi dari hakekat ini adalah benda mati yang

tidak memiliki arti atau nilai. Esensinya telah ditentukan dari sebelum dia ada.

Contohnya adalah sebelum kursi dibuat, kursi tersebut telah ditentukan fungsinya,

yaitu sebagai tempat duduk. Hal ini menunjukkan bahwa esensinya mendahului

eksistensinya. Ia juga tidak memiliki kesadaran apalagi kebebasan untuk mengisi

esensinya sendiri. Ia tidak bersifat aktif maupun pasif. Ketika dilihat, dia hanyalah

seonggok benda saja yang tidak mampu melakukan aksi dan reaksi apapun.

Karena kepadatannya, ketiadaan tidak dapat memasukinya. Yang ada hanyalah

dirinya sendiri.

Être-pour-soi adalah ada yang berkesadaran, terwujud dalam manusia.

Manusia dapat menjadi subjek, dapat berhubungan dan hanya melalui dia

hubungan antar sesuatu itu terjadi. Ia juga memiliki kesadaran tentang sesuatu di

luar dirinya dan sadar bahwa dirinya ada. Maka, ketika ia menyadari bahwa

dirinya ada, dia akan terbagi menjadi dua "Aku sadar akan diriku" adalah contoh

pemecahan satu aku menjadi dua aku (aku yang menjadi subjek dan aku pada

diriku yang menjadi objek). Dalam hal ini, aku yang tadinya satu menjadi dua,

karena subjek berbeda dengan objek. Kesadaran membuat retak semua yang

tadinya utuh.

Menurut Sartre, dalam kesadaran ada yang ditiadakan, kesadaran

meniadakan kepadatan, kesatuan, dan sebagainya, yang mengakibatkan timbulnya

celah dan jarak. Ini berarti untuk sadar, kita harus membelah diri menjadi dua,

memisahkan diri dari dirinya sendiri. Antara être-en-soi dan être-pour-soi hanya

mungkin ada kekosongan, karena kekosongan itulah inti dari kesadaran.

Sebenarnya manusia ingin bersatu dengan dirinya sendiri. Namun dengan

adanya kesadaran untuk bersatu dengan dirinya, manusia telah membagi dirinya

sendiri yang utuh. Selain itu, kesadaran akan menimbulkan kekosongan. Padahal

Page 5: Makalah Sartre

di lain sisi, untuk menjadi dirinya yang utuh, manusia harus meniadakan

kekosongan tersebut yang ada karena ditimbulkan oleh kesadaran. Itu berarti

bahwa semua yang dilakukannya akan menjadi sia-sia, karena tidak mungkin ia

melakukan sesuatu tanpa kesadaran. Jadi, proses itu tidak pernah selesai, manusia

selalu meniadakan dirinya dan berusaha untuk menjadi dia yang lain. Inilah yang

dimaksud dengan bereksistensi adalah sebuah kutukan, hukuman, dan

keterpaksaan.

II. 2. L'homme est condamné à être libre

Menurut Sartre, manusia memiliki kebebasan mutlak. Kebebasan tersebut

berpijak pada kesadaran manusia atas eksistensinya. Kebebasan itu adalah

kebebasan untuk menentukan pilihan-pilihan di dalam hidupnya karena pada

hakekatnya manusia selalu berada dalam posisi memilih. Bahkan, ketika manusia

memutuskan untuk tidak memilih pun, hal tersebut merupakan sebuah pilihan.

Manusia adalah kebebasan itu sendiri karena manusia selalu berhadapan

dengan kemungkinan untuk menyatakan tidak sehingga esensi manusia tidak

pernah bisa ditentukan. Manusia tidak dapat didefinisikan karena ia berasal dari

ketiadaan. Manusia bebas karena mereka tidak pernah berhenti untuk menjadi diri

mereka sendiri. Semua nilai dan makna ada dalam diri manusia sendiri.

Kebebasan menentukan pilihan menjadikan manusia harus bertanggung

jawab terhadap hal-hal yang menjadi pilihannya. Tanggung jawab mutlak yang

diemban manusia merupakan konsekuensi wajar dari kebebasan manusia. Selain

itu, manusia harus bertanggung jawab atas apapun pilihannya karena pilihan

tersebut juga membawa pengaruh untuk orang lain dan lingkungan. Hal tersebut

dapat menimbulkan kecemasan di dalam dirinya. Kecemasan berbeda dengan

ketakutan. Kecemasan lebih kepada kesadaran bahwa masa depan saya seluruhnya

bergantung pada diri saya, sedangkan ketakutan lebih kepada di luar diri saya

(objek).

Untuk dapat menyembunyikan kecemasannya dan melarikan diri dari

kebebasannya, manusia tentu saja harus mengetahui baik-baik apa yang

Page 6: Makalah Sartre

disembunyikan dan dijauhkan. Melarikan diri dari kebebasan dan menjauhkan diri

dari kecemasan serentak juga berarti adanya kesadaran (akan) kebebasan,

kecemasan, dan pelarian. Dengan demikian, manusia mengakui kebebasannya dan

serentak juga menyangkal kebebasan itu. Sikap tidak otentik ini disebut la

mauvaise foi (bad faith) oleh Sartre, penyangkalan terhadap kebebasan yang

diberikan kepada manusia. Dalam sikap ini, terlihat jelas kemungkinan bagi

manusia untuk mengakui dan menyangkal apa yang dihayatinya. Dengan kata

lain, dalam sikap ini, manusia menipu dirinya. Hal itu terjadi, misalnya, jika

seseorang mengatakan “Sifat saya begitu, apa boleh buat.”

Terdapat kefaktaan dalam kebebasan mutlak yang dimiliki manusia.

Kebebasan itu memiliki konteks. Kefaktaan adalah suatu fakta atau kenyataan

yang tidak dapat dihindari oleh manusia, yaitu tempat tinggal, masa lalu,

lingkungan sekitar, sesama manusia dan kematian. Kefaktaan tidak menentukan

seseorang, melainkan memberi dasar bagi seseorang untuk menentukan dirinya.

Kefaktaan bukanlah suatu rintangan untuk kebebasan jika dipandang sebagai

suatu hal yang wajar, sebagai konsekuensi dari kebebasan.

Kebebasan mutlak dengan kebebasan memilih pilihan menghadirkan

tanggung jawab yang mutlak pula. Manusia harus bertanggung jawab atas segala

pilihan yang dia buat karena hal itu pasti berpengaruh pada manusia lain.

Tanggung jawab mutlak menimbulkan kecemasan pada diri manusia. Selain itu,

pilihan-pilihan manusia tidak akan pernah berhenti karena manusia akan selalu

mencari esensinya. Hal itulah yang mendasari paham Sartre bahwa manusia itu

dikutuk untuk bebas.

II. 3. L’enfer c’est les autres

Dalam eksistensialisme, manusia adalah subjek. Ia memiliki kebebasan

dan bisa membentuk dirinya sendiri, tetapi harus bertanggung jawab atas apa yang

ia pilih atau lakukan. Sementara itu, benda atau objek tidak sadar tidak memiliki

kebebasan, tidak membentuk dirinya sendiri (karena benda sudah memiliki esensi

sebelum diciptakan) dan tidak memiliki tanggung jawab atas apa yang

Page 7: Makalah Sartre

dilakukannya. Subjektivitas manusia bersifat orisinil dan sentral yang berkaitan

dengan eksistensi mendahului esensi. Oleh karena itu, kebebasan yang dimiliki

manusia menjadikannya berbeda dengan benda dan kebebasan secara mutlak

hanya dimiliki oleh manusia.

Setiap pilihan yang diambil manusia selalu memiliki pengaruh terhadap

manusia lainnya karena pilihan tersebut dianggap sebagai pilihan terbaik dari

pilihan-pilihan yang ada. Manusia ingin agar manusia yang lain juga mengikuti

mengambil pilihannya. Manusia hanyalah menjadi manusia dalam hubungannya

dengan manusia lainnya. Manusia selalu ingin menampilkan citra yang sama atau

bahkan lebih baik dari manusia lainnya karena adanya objektivitas.

Sebagai seorang manusia yang bebas, manusia harus dapat

menghargai kebebasan orang lain. Ketersinggungan kebebasan tiap-tiap

individu menimbulkan adanya objektifikasi pada eksistensi. Sartre melihat

hubungan manusia sebagai sebuah konflik karena setiap perjumpaan selalu

terjadi dialektika subjek-objek. Kunci utama terletak pada tatapan mata yang

mengobservasi. Pada suatu saat saya menjadi subjek dan orang yang saya

lihat menjadi objek, atau saya menjadi objek dari orang lain yang melihat

saya. Objektivitas tersebutlah yang menjadikan munculnya kata bahwa orang

lain adalah neraka.

Page 8: Makalah Sartre

BAB III

PENUTUP

(rangkumin kak ;p ambil aja inti tiap2 paragraf trus yang penting Sartre itu

eksistensialismenya humanis karena selalu berpengaruh pada manusia lain dan

tidak egois)

Eksistensialisme Sartre adalah eksistensialisme humanis. Ia menyatakan bahwa

eksistensialisme adalah ajaran yang menghargai kehidupan manusia dan

mengajarkan bahwa setiap kebenaran dan tindakan mengandung keterlibatan

lingkungan dan subjektivitas manusia.

Page 9: Makalah Sartre

INI BELUM GUE MASUKIN

ENAKNYA DIMANA?! HEHE, SOALNYA WAK GAK TAUK

Eksistensialisme merupakan Pertama-tama, eksistensialisme telah dicela sebagai

suatu ajakan kepada orang-orang untuk berdiam di dalam keputusasaan. Karena

setiap cara untuk mencapai sebuah solusi tertutup maka seseorang harus

mengamati setiap tindakan adalah tidak mungkin

Radikalisme: tidak akan ada yang berubah jika Tuhan tidak ada; manusia

tetap akan menemukan norma-norma kehidupan yang sama. Namun sebaliknya,

eksistensialis menganggap bahwa ketiadaan Tuhan tersebut memalukan karena

nilai-nilai surgawi yang dapat dimengerti akan hilang sesuai dengan ketiadaan

Tuhan.