16
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------- PENYELESAIAN PERSELISIHAN HASIL PEMILUKADA KEPALA DAERAH OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI 1 Dr. H. M. Arsyad Sanusi, S.H., M.H. 2 I. Kewenangan Konstitusional MK dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana ditentukan oleh Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) juncto Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, diberi kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, salah satunya untuk memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum (Pemilu). Pada awalnya, MK hanya menyesaikan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) calon anggota DPR, DPD, dan DPD serta Presiden dan Wakil Presiden, sedangkan keberatan berkenaan dengan 1 ? Disampaikan dalam , 8 November 2010 di Makasar. 2 ? Hakim Mahkamah Konstitusi.

MAKALAH PEMILUKADA

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: MAKALAH PEMILUKADA

MAHKAMAH KONSTITUSIREPUBLIK INDONESIA

---------

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HASIL PEMILUKADA KEPALA

DAERAH OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI1

Dr. H. M. Arsyad Sanusi, S.H., M.H. 2

I. Kewenangan Konstitusional MK dalam Perselisihan Hasil

Pemilihan Umum

Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai salah satu pelaku

kekuasaan kehakiman sebagaimana ditentukan oleh Pasal 24C ayat

(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

(UUD 1945) dan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) juncto Pasal 29 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman, diberi kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final, salah satunya untuk

memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum (Pemilu). Pada

awalnya, MK hanya menyesaikan Perselisihan Hasil Pemilihan

Umum (PHPU) calon anggota DPR, DPD, dan DPD serta Presiden dan

Wakil Presiden, sedangkan keberatan berkenaan dengan hasil

Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

(Pemilukada) diajukan ke Mahkamah Agung (MA)

Dalam perkembangannya, pembuat undang-undang

sebagaimana termuat dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum

memasukkan Pemilukada dalam rezim Pemilu dan selanjutnya atas

1 ? Disampaikan dalam , 8 November 2010 di Makasar.2 ? Hakim Mahkamah Konstitusi.

Page 2: MAKALAH PEMILUKADA

kuasa undang-undang yakni Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan untuk

menyelesaikan perselisihan hasil Pemilukada dialihkan kepada MK.

Pengalihan ini secara efektif berlaku sejak 1 November 2010 yakni

setelah dilakukannya serah terima secara resmi pengalihan

wewenang mengadili Pemilukada dari MA ke MK pada tanggal 29

Oktober 2008.

Berdasarkan uraian di atas, maka kewenangan

konstitusional MK untuk menyelesaikan PHPU meliputi:

1) PHPU Calon Anggota DPR, DPD, dan DPRD;

2) PHPU Presiden dan Wakil Presiden;

3) PHPU Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

II. Penyelesaian PHPU Pemilukada

Untuk memperlancar pelaksanaan kewenangan MK dalam

PHPU Pemilukada, MK telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah

Konstitusi (PMK) Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara

dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (PMK

15/2008). PMK ini merupakan produk hukum MK yang berfungsi

sebagai pedoman beracara dan mengisi kekosongan hukum yang

belum diatur dalam peraturan perundang-undangan. Acuan awal

penyusunan PMK 15/2008 di antaranya adalah UU 32/2004 juncto

UU 12/2008 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) terutama

materi yang berkaitan dengan Pemilukada dan hukum acara PHPU

dalam Pasal 74 sampai dengan Pasal 79 UU MK.

PMK 15/2008 menentukan tenggat waktu penyelesaian PHPU

Kepala Daerah paling lambat 15 hari kerja, sedangkan permohonan

PHPU Kepala Daerah harus sudah diajukan ke MK paling lambat 3

(tiga) hari kerja setelah ditetapkan hasil penghitungan suara

Pemilukada di daerah yang bersangkutan. Permohonan yang

diajukan setelah melewati tenggang waktu tidak dapat diregistrasi.

Selain itu, ditentukan mengenai pihak dan objek dalam PHPU Kepala

2

Page 3: MAKALAH PEMILUKADA

Daerah. Para pihak yang mempunyai kepentingan langsung dalam

perselisihan hasil Pemilukada ini adalah Pasangan Calon sebagai

Pemohon dan KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota sebagai

Termohon. Pasangan Calon selain Pemohon dapat juga menjadi

Pihak Terkait dalam perselisihan hasil Pemilukada. Adapun sebagai

objek PHPU Kepala Daerah adalah hasil penghitungan suara yang

ditetapkan oleh Termohon yang memengaruhi penentuan Pasangan

Calon yang dapat mengikuti putaran kedua Pemilukada atau

terpilihnya Pasangan Calon sebagai kepala daerah dan wakil kepala

daerah.

Dilihat dari tenggat waktu pengajuan permohonan dan

penyelesaiannya oleh MK serta para pihak dan objek dalam PHPU

Kepala Daerah, maka mempunyai kesamaan dengan PHPU Presiden

dan Wakil Presiden. Oleh karena itu, PMK PHPU Presiden dan Wakil

Presiden juga dijadikan acuan dalam penyusunan PMK 15/2008.

Pengaturan lain yang ditentukan dalam PMK 15/2008 yakni

dikenalkannya pemeriksaan melalui persidangan jarak jauh (video

conference). Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa MK merupakan

lembaga peradilan yang berkedudukan di Ibukota Negara, Jakarta,

sehingga para pencari keadilan (justice seeker) yang berada di

daerah dapat mengakses keadilan (acces to justice) tanpa perlu

datang ke Jakarta yang nota bene membutuhkan biaya yang tidak

sedikit. Dikaitkan dengan PHPU Kepala Daerah, maka pemanfaatan

video conference merupakan salah satu ikhtiar MK untuk

mewujudkan peradilan PHPU Kepala Daerah yang cepat (speedy

trial) dan sederhana sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 PMK

15/2008.

Berkaitan dengan amar putusan PHPU Kepala Daerah, PMK

15/2008 menentukan ada 3 (tiga) jenis, yakni permohonan tidak

dapat diterima, permohonan dikabulkan, dan permohonan ditolak.

Permohonan tidak dapat diterima apabila permohonan tidak

memenuhi syarat antara lain; tidak mempunyai kepentingan

3

Page 4: MAKALAH PEMILUKADA

langsung dalam PHPU atau tidak memiliki legal standing yaitu bukan

sebagai pasangan calon (vide Pasal 3 PMK 15/2008), bukan objek

perselisihan berupa hasil penghitungan suara yang ditetapkan

KPU/KIP Provinsi atau KPU/KIP Kabupaten yang mempengaruhi

keikutsertaan dalam putaran kedua atau keterpilihan sebagai

kepala daerah dan wakil kepala daerah (error in objecto) ataupun

bukan merupakan kewenangan MK (vide Pasal 4 PMK 15/2008),

telah melewati tenggat waktu yang ditentukan yakni 3 (tiga) hari

kerja setelah penetapan hasil penghitungan suara (vide Pasal 5 PMK

15/2008), dan tidak memenuhi syarat formil sebuah permohonan

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 PMK 15/2008. Adapun

permohonan dikabulkan apabila beralasan, dan sebaliknya

permohonan ditolak apabila tidak beralasan.

Di samping ketiga jenis putusan di atas, PMK 15/2008

mengenalkan adanya putusan sela yang terkait dengan

penghitungan suara ulang untuk kepentingan pemeriksaan. Dalam

perkembangannya, putusan MK dalam PHPU Kepala Daerah tidak

terbatas pada hal-hal di atas, namum terdapat juga putusan sela

yang terkait dengan pemungutan suara ulang baik sebagai putusan

sela maupun putusan akhir. Bahkan perkembangan selanjutnya

menunjukkan adanya praktik putusan yang terkait dengan

pendiskualifikasian salah satu pasangan calon. Adanya terobosan

hukum oleh MK dalam putusan-putusan tersebut karena memang

UUD 1945 tidak secara eksplisit mengatur mengenai pengertian dan

ruang lingkup PHPU.

III. Ruang Lingkup PHPU Kepala Daerah

Perselisihan tentang hasil pemilihan umum sebagaimana

ditentukan oleh Pasal 24C UUD 1945 adalah menjadi salah satu

kewenangan MK untuk menyelesaikannya. Ketentuan tersebut tidak

secara eksplisit menjelaskan mengenai pengertian dan ruang

lingkupnya. Oleh karena itu, pembentuk undang-undang kemudian

mengaturnya sebagaimana termuat dalam UU MK, Undang-Undang

4

Page 5: MAKALAH PEMILUKADA

Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD,

dan DPRD, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang

Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, dan UU Pemda.

Berkaitan dengan Pemilukada, pengertian dan ruang

lingkupnya dapat diketemukan dalam Pasal 106 UU Pemda. Dari

ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa:

a. Perselisihan hasil Pemilu Kepala Daerah adalah perselisihan

antara pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah

sebagai Peserta Pemilukada dan KPU provinsi dan/atau KPU

kabupaten/kota sebagai penyelenggara Pemilu;

b. Perselisihan tersebut berkaitan dengan penetapan penghitungan

suara hasil Pemilukada yang ditetapkan oleh KPU provinsi atau

KPU kabupaten/kota yang mempengaruhi penentuan calon untuk

masuk ke putaran kedua Pemilukada atau terpilihnya pasangan

calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Dari uraian di atas, undang-undang nampaknya membatasi

masalah PHPU Kepala Daerah hanya pada persoalan perselisihan

secara kuantitatif, yakni angka-angka hasil perolehan suara Peserta

Pemilu yang ditetapkan oleh KPU. Dengan demikian tidak termasuk

di dalamnya proses yang mempengaruhi hasil perolehan suara,

seperti berbagai pelanggaran administratif dan pelanggaran pidana

yang ternyata dari pengalaman empiris tampaknya tidak tertangani

secara efektif oleh institusi yang berwenang. MK hanya diminta

mengkoreksi kalkulasi suara secara teknis matematis yang telah

dilakukan oleh KPU dan jajarannya sebagai penyelenggara Pemilu

dengan mengabaikan berbagai pelanggaran dalam proses Pemilu

(electoral process). Oleh karena itu, apabila MK terpaku pada bunyi

undang-undang an sich maka MK turut menyebabkan ketiadaan

penyelesaian sengketa dalam proses dan tahapan-tahap

Pemilukada, padahal hal tersebut sangat berpengaruh secara

mendasar pada hasil akhir. Dalam kerangka itulah MK sebagai

peradian konstitusi yang diberi mandat sebagai pengawal konstitusi

5

Page 6: MAKALAH PEMILUKADA

dengan didasarkan pada prinsip-prinsip dan spirit yang terkandung

dalam UUD 1945, menilai bobot pelanggaran dan penyimpangan

yang terjadi dalam keseluruhan tahapan proses Pemilukada dan

kaitanya dengan perolehan hasil suara bagi para pasangan calon.

IV. Penghitungan dan Pemungutan Suara Ulang Pemilukada

Jawa Timur3

Putusan sela dalam Pemilukada Jawa Timur selain membuat

terobosan dengan mempermasalahkan dan mengadili setiap

pelanggaran yang berakibat pada hasil penghitungan suara, juga

dikenalkannya putusan sela yang tidak hanya terkait dengan

penghitungan suara ulang namun juga pemungutan suara ulang.

Selain itu, adanya ukuran secara kualitas bobot pelanggaran

Pemilukada sebagai penilaian MK yakni dilakukan secara sistematis,

tersruktur, dan masif yang mempengaruhi hasil Pemilukada.

Terobosan hukum ini dilakukan dengan didasarkan bahwa fungsi MK

sebagai peradilan konstitusi sehingga tidak boleh membiarkan

keadilan prosedural (procedural justice) memasung dan

mengesampingkan keadilan substantif (substantive justice) jika

secara nyata dan faktual terjadi pelanggaran terhadap konstitusi.

MK tidak akan terbelenggu dan terpasung dengan apa yang

ditetapkan dalam teks undang-undang dalam menggali sedalam-

dalamnya nilai keadilan substantif.

Pelanggaran dikatakan bersifat sistematis karena

direncanakan dan dilakukan dengan matang melalui langkah-

langkah tertentu, seperti adanya kontrak politik untuk

memenangkan pasangan calon tertentu. Pelanggaran itu juga

bersifat tersruktur, yakni dilakukan oleh aparat pemerintah,

penyelenggara pemilu, dan pasangan calon secara hierarkis dan

berjenjang. Selain itu, pelanggaran bersifat massif, artinya

pelanggaran tersebut dilakukan dalam skala yang besar. Ketiga

pelanggaran tersebut dinilai secara kumulatif sehingga

3 Perkara Nomor 41/PHPU.D-V1/2008 tanggal 2 Desember 2008

6

Page 7: MAKALAH PEMILUKADA

mempengaruhi perolehan suara pasangan calon. Penilaian terhadap

pelanggaran-pelanggaran ini dapat dikatakan sebagai penilaian

yang bersifat kualitatif. Penilaian ini dilakukan disebabkan banyak

hal-hal yang seharusnya selesai sebelum diajukan ke MK, misalnya

pelanggaran administrasi dan pidana Pemilu, ternyata dalam

persidangan terungkap bahwa hal-hal tersebut belum terselesaikan

secara tuntas oleh institusi yang berwenang, oleh karenanya MK

tidak dapat membiarkan pelanggaran-pelanggaran itu terjadi

sehingga terdapat pihak-pihak yang diuntungkan. Bagi MK

sebagaimana prinsip yang telah diterima secara universal bahwa

“tidak seorang pun boleh diuntungkan oleh penyimpangan dan

pelanggaran yang dilakukannya sendiri dan tidak seorang pun boleh

dirugikan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh

orang lain” (nullus/nemo commodum capere potest de injuria sua

propria). Adapun yang diamatkan oleh undang-undang kepada MK

adalah hanya terhadap permasalahan yang bersifat kuantitatif,

yakni menyangkut murni kesalahan penghitungan suara oleh KPU.

Terhadap permasalahan ini, MK menyatakan mengabulkan atau

menolak permohonan dengan menetapkan perolehan suara yang

benar.

Berkaitan dengan putusan sela yang tidak hanya berarti

penghitungan ulang, MK menyatakan dalam pertimbangan

hukumnya bahwa jika hanya terpaku dan terpasung pada bunyi

undang-undang sehingga hanya menghitung ulang suara, maka

tidak ada manfaatnya dan tidak terwujud keadilan. Hal ini

disebabkan pelanggaran terjadi sebelum pemungutan suara.

Demikian juga halnya apabila MK tidak memperhitungkan suara

salah satu pasangan calon atau memberikan suara di daerah-daerah

tertentu kepada salah satu pasangan calon maka samal saja dengan

tidak menghargai suara rakyat yang nota nebe sebagai pemegang

kedaulatan rakyat dan terjadi ketidakadilan terhadap salah satu

pasangan calon. Pendiskualifikasian terhadap pasangan calon yang

melakukan pelanggaran juga tidak dipilih dengan alasan menciderai

7

Page 8: MAKALAH PEMILUKADA

hak-hak demokrasi pemilih pasangan tersebut yang mempunyai

itikad baik memilih pasangan calon tersebut. Berdasarkan hal

tersebut MK memilih opsi untuk melakukan penghitungan dan

pemungutan suara ulang dibeberapa daerah dengan didasarkan

pada tingkat intensitas dan bobot pelanggaran yang terjadi di

wilayah pemilihan tersebut, yakni untuk Kabupaten Bangkalan dan

Kabupaten Sampang diperintahkan untuk dilakukan pemungutan

ulang, sedangkan untuk Kabupaten Pamekasan diperintahkan untuk

dilakukan penghitungan suara ulang.

Putusan sela dalam Pemilukada Jawa Timur menjadi

yurisprudensi bagi penanganan PHPU di daerah lainnya sehingga

pada dasarnya terdapat kesamaan dasar pertimbangan hukum MK

menjatuhkan putusan sela untuk melaksanakan pemungutan ulang

dan/atau penghitungan ulang di beberapa daerah. Pertimbangan

tersebut yakni terjadinya pelanggaran selama proses Pemilukada

yang bersifat sistematis, tersruktur, dan masif yang mempengaruhi

sendi-sendi Pemilukada yang langsung, umum, bebas, dan rahasia

serta jujur dan adil sehingga mempengaruhi hasil Pemilukada.

Berbeda halnya dengan putusan-putusan Pemilukada sebelum Jawa

Timur yang pada umumnya didasarkan pada asumsi-asumsi dan

tanpa memberikan bukti hukum secara konkret, signifikan, dan sah

menurut hukum. Kalaupun ada pelanggaran maka tidaklah

signifikan dan lebih banyak bersifat personal.

Dasar konstitusional MK dalam dalam mengadili sengketa

Pemilukada yang tidak hanya membedah permohonan dengan

melihat hasil perolehan suara an sich, melainkan MK juga meneliti

secara mendalam adanya pelanggaran yang bersifat terstruktur,

sistematis, dan masif yang memengaruhi hasil perolehan suara

yakni Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Di dalam ketentuan tersebut

jelas dinyatakan bahwa MK mengadili dan memutus “hasil

pemilihan umum” dan bukan sekadar “hasil penghitungan

suara pemilihan umum” saja. MK sebagai lembaga peradilan

8

Page 9: MAKALAH PEMILUKADA

menjadi lebih tepat jika mengadili “hasil pemilihan umum” dan

bukan sebagai peradilan angka hasil penghitungan suara,

melainkan sebagai peradilan yang mengadili masalah-masalah yang

juga terjadi dalam proses-proses pelaksanaan Pemilu dan

Pemilukada.

V. Pembatalan dan Pendiskualifikasian Pasangan Calon

Pemilukada Bengkulu Selatan4

Dalam perkara sengketa Pemilukada, MK juga pernah

memutus menyatakan batal demi hukum (void ab initio), yakni

dalam Pemilukada Bengkulu Selatan periode 2008-2013. Selain itu,

MK memerintahkan untuk dilaksanakannya pemungutan suara

ulang, tanpa mengikutsertakan salah satu pasangan calon

(Pasangan Calon Nomor Urut 7, H. Dirwan Mahmud dan H.

Hartawan, SH). MK berpendapat bahwa Pemilukada Bengkulu

Selatan sejak awal telah cacat yuridis dan telah melanggar asas-

asas pemilu khusunya jujur yang dilakukan bukan hanya oleh

penyelenggara Pemilu tetapi juga oleh salah satu pasangan calon.

Pelanggaran tersebut yakni Pasangan Calon Nomor Urut 7

khususnya H. Dirwan Mahmud, telah secara sengaja dan dengan

niat menyembunyikan perbuatan pidana yang pernah dilakukannya.

Hal ini jelas melanggar asas-asas Pemilu yang termaktub dalam Pasal

22E ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 56 ayat (1) UU Pemda.

Meskipun secara legal formil MK tidak berwenang menetapkan

peserta Pemilukada, yang note bene merupakan ranah

penyelenggaran Pemilu in casu KPU, sebagaimana ditentukan oleh

undang-undang, namun MK sebagai pengawal konstitusi jika

dihadapkan pada pilihan undang-undang dan konstitusi, maka MK

harus memilih konstitusi dan mengesampingkan norma undang-

undang. Dalam hal kelalaian yang terjadi tidak dapat ditolerir

(intolerable condition), maka MK berwenang meluruskan keadaan

sehingga Pemilukada dapat berjalan serasi sesuai dengan

4 Perkara Nomor 57/PHPU.D-VII/2008 tanggal 8 Januari 2009.

9

Page 10: MAKALAH PEMILUKADA

keseluruhan asas-asas demokrasi yang termaktub dalam konstitusi.

Dalam putusan ini, MK juga menegaskan lagi bahwa MK tidak dapat

dipasung hanya oleh bunyi undang-undang an sich melainkan juga

harus menggali rasa keadilan dengan berpedoman pada makna

substantif undang-undang itu sendiri. Oleh karena itu agar tercipta

keadilan maka harus dilakukan pemungutan ulang untuk seluruh

Kabupaten Bengkulu Selatan dengan mendiskualifikasi Pasangan

Calon Nomor Urut 7, karena salah satunya, H. Dirwan Mahmud, S.H.,

telah mengakibatkan Pemiluakada Bengkulu Selatan cacat yuridis,

yakni tidak memenuhi syarat formil sebagai peserta Pemilukada.

Berdasarkan uraian terhadap perkara ini maka pelanggaran

tentang persyaratan menjadi calon yang bersifat prinsip dan dapat

diukur, seperti seperti syarat tidak pernah dijatuhi pidana penjara

dapat dijadikan dasar untuk membatalkan hasil Pemilu atau

Pemilukada dan pendiskualifikasian peserta yang tidak memenuhi

syarat sejak awal. Syarat pencalonan dukungan minimal baik yang

berasal dari partai politik ataupun calon perseorangan juga dapat

juga dapat dijadikan alasan pembatalan dan/atau

pendiskualifikasian namun sampai sekarang dari sengketa

Pemiluakda di berbagai daerah yang diajukan ke MK, belum ada

yang dapat dibuktikan secara hukum di hadapan persidangan MK.

VI. Pendiskualifikasian dan Penetapan Pemenang

Pemilukada Kotawaringin Barat5

Pelanggaran-pelanggaran secara kualitatif yang sering

diajukan ke MK yakni terjadinya tindak pidana Pemilu, seperti

halnya yang diajukan dalam sengketa Pemilukada Kabupaten

Kotawaringin Barat yang mempermasalahkan adanya money politic,

intimidasi, dan penganiayaan. Pada dasarnya jenis-jenis

pelanggaran tersebut ditangani oleh instansi yang fungsi dan

wewenangnya telah ditentukan oleh undang-undang. Namun, MK

5 Perkara Nomor 57/PHPU.D-VII/2008 tanggal 8 Januari 2009.

10

Page 11: MAKALAH PEMILUKADA

yang berfungsi sebagai pengawal konstitusi telah memaknai dan

memberikan penafsiran yang luas demi tegaknya keadilan, yakni

tidak hanya mengadili perkara Pemilukada sebatas pada hasil

penghitungan suara akan tetapi juga telah memasuki proses

peradilan dengan memutus fakta hukum yang nyata-nyata

menciderai hak asasi manusia dan demokrasi. MK tidak dapat

membiarkan terjadinya pelanggaran atas prinsip Pemilu yang Luber

dan Jurdil sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi.

Dalam menjatuhkan putusan terhadap sengketa Pemilukada

Kotawaringin Barat, MK mendasarkan bahwa telah terjadi adanya

pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan Pasangan Calon Nomor

Urut 1 secara massive yang sangat berpengaruh terhadap

perolehan suara pasangan calon. Pelanggaran-pelanggaran tersebut

berupa money politic disertai intimidasi, tekanan atau ancaman

yang dilakukan sebelum berlangsungnya pemungutan suara.

Pelanggaran-pelanggaran tersebut juga dilakukan secara sistematis

dan terstruktur, yakni dengan melakukan persiapan pendanaan

secara tidak wajar untuk membayar relawan, melakukan rekrutmen

warga sebagai relawan yang dipersiapkan dengan organisasi yang

tersusun dari tingkatan paling atas Pasangan Calon Nomor Urut 1,

Tim Kampanye sampai dengan relawan di tingkat RT. Oleh karena

itu, dengan mendasarkan pada tingkat pelanggaran yang dilakukan

oleh Pasangan Calon Nomor Urut 1 yang merupakan pelanggaran

serius di seluruh wilayah Kabupaten Kotawaringin Barat, maka

pasangan tersebut perlu diskualifikasi sebagai Pasangan Calon

Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Kotawaringin Barat Tahun 2010.

Permasalahan hukum akan muncul jika hanya membatalkan

Pemilukada, sementara peserta Pemilukada hanya 2 pasangan

calon dan salah satunya secara hukum tidak diperbolehkan

mengikuti pemungutan suara ulang apabila dilaksanakan sebagai

konsekuensi adanya pembatalan Pemiliukada. Atas dasar itu dan

dengan memaknai dan memberikan penafsiran yang luas atas Pasal

11

Page 12: MAKALAH PEMILUKADA

77 ayat (3) UU 24/2003 juncto Pasal 13 ayat (3) huruf b PMK

15/2008, maka MK menyatakan berwenang menetapkan pemenang

dalam Pemilukada Kotawaringin Barat.

VII. Penutup

Salah satu kewenangan konstitusional MK adalah memutus

perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Dalam

perkembangannya, atas kuasa undang-undang, MK diberi

kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan hasil Pemilukada.

Untuk mendukung kelancaran penyelesaian perselisihan Pemilukada

yang oleh undang-undang diberi tenggat waktu 14 hari kerja, MK

mengeluarkan PMK 15/2008 sebagai salah satu pedoman beracara.

Kewenangan MK dalam Pemilukada sebagaimana terlihat

dalam putusan-putusannya tidak hanya sebatas membedah

permohonan dengan melihat hasil perolehan suara an sich

sebagaimana ditentukan dalam undang-undang, melainkan juga

meneliti secara mendalam adanya pelanggaran yang bersifat

terstruktur, sistematis,dan masif yang mempengaruhi perolehan

suara. Apabila diketemukan pelanggaran-pelanggaran yang

mengandung ketiga sifat tersebut secara kumulatif, baik

pelanggaran administrasi maupun pidana, maka MK sebagai

pengawal konstistui tidak akan membiarkannya karena

pelanggaran-pelanggaran tersebut sama dengan pelanggaran

terhadap konstitusi yang mengamanatkan prinsip-prinsip

Pemilukada yang Luber dan Jurdil. Oleh karena itu, dalam

menjatuhkan putusannya, MK tidak saja dihadapkan untuk

mengabulkan atau menolak penghitungan yang benar menurut

Pemohon, tetapi juga dapat memerintahkan untuk dilakukan

penghitungan suara ulang atau pemungutan suara ulang.

Penghitungan atau pemungutan suara ulang baik melalui putusan

sela maupun putusan akhir dapat diperintahkan untuk dilaksanakan

pada seluruh wilayah atau sebagian wilayah tergantung dari fakta

hukum yang terungkap dalam proses pembuktian di persidangan.

12

Page 13: MAKALAH PEMILUKADA

Bahkan dalam perkembangannya, MK telah mendiskualifikasi

pasangan calon dan menetapkan pemenang Pemilukada.

***

13