20
BAB I: PENDAHULUAN Latar Belakang Penulisan makalah ini dilator belakangi oleh tugas individual dari dosen yang perlu diselesaikan dengan permasalahan yang dibahas mengenai Perkembangan Penduduk Indonesia. Tujuan Penulisan Meningkatkan ilmu pengetahuan Demografi serta meningkatkan rasa ingin tahu terhadap masalah kependudukan yang telah berkembang dengan cepat di Indonesia. Rumusan Permasalahan Sejarah Transmigrasi Perkembangan Transmigrasi Di Indonesia Permasalahan Tidak Meratanya Penyebaran Penduduk Di Indonesia (Terutama di Pulau Jawa) Kebijakan Kependudukan di Indonesia BAB II: PEMBAHASAN Definisi Transmigrasi Transmigrasi (Latin: trans - seberang, migrare - pindah) adalah suatu program yang dibuat oleh pemerintah Indonesia untuk memindahkan penduduk dari suatu daerah yang padat penduduk (kota) ke daerah lain (desa) di dalam wilayah Indonesia. Penduduk yang melakukan transmigrasi disebut transmigran. 1

Makalah oji

Embed Size (px)

DESCRIPTION

makalah org imut

Citation preview

Page 1: Makalah oji

BAB I: PENDAHULUAN

Latar BelakangPenulisan makalah ini dilator belakangi oleh tugas individual dari dosen yang perlu diselesaikan dengan permasalahan yang dibahas mengenai Perkembangan Penduduk Indonesia.

Tujuan PenulisanMeningkatkan ilmu pengetahuan Demografi serta meningkatkan rasa ingin tahu terhadap masalah kependudukan yang telah berkembang dengan cepat di Indonesia.

Rumusan Permasalahan Sejarah Transmigrasi Perkembangan Transmigrasi Di Indonesia Permasalahan Tidak Meratanya Penyebaran Penduduk Di Indonesia (Terutama di Pulau

Jawa) Kebijakan Kependudukan di Indonesia

BAB II: PEMBAHASAN

Definisi TransmigrasiTransmigrasi (Latin: trans - seberang, migrare - pindah) adalah suatu program yang

dibuat oleh pemerintah Indonesia untuk memindahkan penduduk dari suatu daerah yang padat penduduk (kota) ke daerah lain (desa) di dalam wilayah Indonesia. Penduduk yang melakukan transmigrasi disebut transmigran.

Transmigrasi merupakan salah satu bentuk mobilitas spasial atau migrasi penduduk horizontal atas inisiatif pemerintah yang khas Indonesia, dan telah menjadi program yang sudah diimplementasikan sejak lama. Tidak ada satu pun negara lain yang menerapkan program transmigrasi. Pengertian yang lebih spesifik, transmigrasi adalah kebijakan pemerintah Indonesia untuk memindahkan penduduk dari pulau Jawa yang berpenduduk padat ke wilayah lain yang berpenduduk jarang di luar Pulau Jawa. Namun demikian, pengertian transmigrasi telah berkembang menjadi beberapa varian, saat ini misalnya, ada istilah transmigrasi lokal yaitu pemindahan penduduk di dalam suatu pulau baik di pulau Jawa sendiri maupun di luar pulau Jawa. Transmigrasi juga telah dilaksanakan dari pulau di

1

Page 2: Makalah oji

luar Jawa yang berpenduduk padat seperti pulau Lombok dan Bali ke pulau-pulau lainnya.

Jenis-jenis TransmigrasiDalam pelaksanaannya, transmigrasi digolongkan atas berbagai jenis, yaitu:

a. Transmigrasi family atau keluarga, diadakan tahun 1950. Keluarga transmigran didatangkan dari daerah asal.

b. Transmigrasi umum, dimulai pada tahun 1952. Mereka ditempatkan didaerah yang telah ditentukan oleh pemerintah.

c. Transmigrasi S.O.B. (Staat Van Oorlog En Beleg), untuk para bekas tahanan S.O.B. tahun 1953.

d. Transmigrasi Nelayan.e. Transmigrasi DBS (Dengan Biaya Sendiri), diadakan pada tahun 1954 yang

kemudian berubah menjadi transmigrasi spontan atau transmigrasi swakarya.f. Transmigrasi BRN (Biro Rekonstruksi Nasional) atau Transmigrasi Veteran.g. Transmigrasi Kooperatif, yakni transmigrannya adalah anggota organisasi-

organisasi koperasi.h. Transmigrasi Keahlian.

Sejarah TransmigrasiDalam perjalanan sejarah transmigrasi di Indonesia yang sudah

mencapai satu abad, sejak mulai dilaksanakan pada jaman pemerintahan kolonial Belanda tahun 1905 hingga saat ini, telah melalui berbagai masa pemerintahan dan kekuasaan yang berbeda. Walaupun secara demografis pengertian umum dari transmigrasi ini tetap sama dari masa ke masa, yaitu memindahkan penduduk dari wilayah yang padat ke wilayah yang kurang atau jarang penduduknya, tetapi dalam pelaksanaanya didasarkan pada latar belakang, tujuan, dan kebijakan yang berbeda-beda, baik yang tertulis secara resmi maupun terselubung. Periodisasi pelaksanaan transmigrasi selama satu abad terakhir, dapat dibagi menjadi tiga periode, yaitu (1) jaman pemerintahan kolonial Belanda, 1905-1941, (2) masa pendudukan tentara Jepang, 1942-1945, dan (3) periode setelah kemerdekaan Indonesia, 1945-2005. Deskripsi dalam tulisan ini membagi lagi jaman pemerintahan kolonial Belanda menjadi tahap percobaan kolonisasi antara tahun 1905-1911, periode Lampongsche volksbanks pada kurun waktu tahun 1911-1929, serta jaman depresi ekonomi dunia antara tahun 1930-1941. Sedangkan setelah jaman kemerdekaan Indonesia, dibagi menjadi masa pemerintahan orde lama, masa pemerintahan orde baru, serta masa reformasi.

Jaman Pemerintah Kolonial Belanda Masa Percobaan Kolonisasi

Sejarah transmigrasi di Indonesia dimulai sejak dilaksanakannya kolonisasi oleh pemerintah kolonial Belanda tahun 1905.4 Kebijakan kolonisasi penduduk dari pulau Jawa ke luar Jawa dilatarbelakangi oleh: 1) Melaksanakan salah satu program politik etis, yaitu emigrasi untuk

mengurangi jumlah penduduk pulau Jawa dan memperbaiki taraf kehidupan yang masih rendah.

2) Pemilikan tanah yang makin sempit di pulau Jawa akibat pertambahan penduduk yang cepat telah menyebabkan taraf hidup masyarakat di pulau Jawa semakin menurun.

3) Adanya kebutuhan pemerintah kolonial Belanda dan perusahaan swasta akan tenaga kerja di daerah-daerah perkebunan dan pertambangan di luar pulau Jawa.

Politik etis yang mulai diterapkan pada tahun 1900 bertujuan mensejahterakan masyarakat petani yang telah dieksploitasi selama dilaksanakannya culture stelsel (sistem tanam paksa).

Sebab sistem tanam paksa tersebut secara empirik telah menyebabkan orang-orang pribumi semakin menderita. Dari sisi ekonomi,

2

Page 3: Makalah oji

telah menyebabkan pula berubahnya sistem perekonomian tradisional ke arah pola perekonomian baru (dualisme ekonomi), dan bertambah miskinnya penduduk terutama masyarakat petani.

Kondisi seperti itu telah menggugah kaum etisi Belanda seperti C. Th. van Deventer mengkritisi kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam sebuah tulisan “A Debt of Honor” dan merekomendasikan agar pemerintah Belanda memberi bantuan untuk mensejahterakan penduduk di daerah jajahannya yang telah banyak memberikan keuntungan melalui system tanam paksa. Selanjutnya, sebagai rasa tanggung jawab moral pemerintah Belanda, di Indonesia diterapkan politik etis sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pribumi yang mencakup program: (1) emigrasi, (2) irigasi, dan (3) edukasi.

Dalam kaitannya dengan emigrasi, pemerintah kolonial Belanda mengadakan redistribusi penduduk dari pulau Jawa ke luar Jawa, mengingat kondisi pulau Jawa yang semakin padat penduduknya. Ada beberapa pemikiran mengapa penduduk terkonsentrasi di pulau Jawa. Menurut pemikiran Mohr seorang ahli geologi dan tanah berkebangsaan Belanda, kepadatan penduduk di pulau Jawa disebabkan keadaan tanah yang subur serta iklim yang menguntungkan bagi pertanian.

Sementara dalam pandangan Fisher, ahli geografi berkebangsaan Inggris, adanya ketimpangan distribusi penduduk antara pulau Jawa dan luar Jawa disebabkan oleh kebijakan pemerintah Belanda yang Jawa sentris, sehingga pembangunan pusat-pusat pertumbuhan seperti pendidikan, perdagangan, dan pemerintahan, juga prasarana pembangunan seperti transportasi, komunikasi, dan irigasi lebih terkonsentrasi di pulau Jawa. Pemerintah kolonial Belanda, pada pelaksanaan kolonisasi yang pertama tahun 1905, telah memindahkan 155 keluarga dari keresidenan Kedu Jawa Tengah menuju daerah kolonisasi Gedongtataan di Lampung. Lembaga yang mengurus kolonisasi adalah komisi inter departemen yaitu Centraal Commissie voor Emmigratie en Kolonisatie van Inheemsen. Kontrolir H. G. Heyting sebagai inisiator, memiliki pemikiran yang cukup maju. Agar penduduk yang dipindahkan betah tinggal di daerah baru, dilakukan upaya mengkondisikan daerah tujuan (Sumatera) seperti suasana di pulau Jawa.

Pada tahap awal kolonisasi, setiap kepala keluarga peserta memperoleh premi sebesar 20 gulden, dibebaskan dari biaya transportasi yang nilainya sama dengan 50 gulden per keluarga, serta mendapat sumbangan biaya hidup sebsar 0,4 gulden per hari selama masa penyiapan tanah. Jumlah biaya langsung diperkirakan sekitar 300 gulden per keluarga yang mencakup premi, biaya transportasi, biaya makan 150 gulden, biaya bangunan rumah 65 gulden, pembeliatan alat-alat 13,5 gulden, ditambah 0,7 hektar tanah sawah dan 0,3 hektar tegalan serta 11 pekarangan.

Penduduk yang berhasil dipindahkan pada periode percobaan kolonisasi 1905-1911 adalah sekitar 4.800 orang.12 Rata-rata biaya yang dikeluarkan untuk setiap peserta kolonisasi pada masa ini sekitar 750 gulden per keluarga. Jumlah yang besar tersebut termasuk anggaran untuk membuat fasilitas kolonisasi seperti pembuatan saluran irigasi, penyiapan lahan dan pemukiman, serta biaya administrasi.

Pada pelaksanaan kolonisasi periode percobaan ini, pemerintah kolonial Belanda boleh dibilang kurang serius menanganinya, yang disebabkan masalah internal mereka sendiri. Ada pro-kontra berkaitan dengan pelaksanaan kolonisasi, akibat masih adanya perbedaan pendapat mengenai kepadatan penduduk pulau Jawa. Mereka yang pro berpendapat penduduk pulau Jawa sudah padat, sementara yang kontra belum melihat adanya kondisi yang mendesak untuk memindahkan penduduk dari pulau Jawa ke luar Jawa.

3

Page 4: Makalah oji

Periode Lampongsche Volksbanks Catatan akurat mengenai berapa banyak jumlah penduduk yang dipindahkan pada periode ini masih perlu dicari. Data yang berasal dari beberapa dokumen antara lain memperlihatkan antara tahun 1912-1922 jumlah penduduk yang diberangkatkan ke daerah kolonisasi sebanyak 16.838 orang.13 Kemudian pada tahun 1922 dibuka lagi pemukiman kolonisasi baru yang lebih besar yang diberi nama Wonosobo di dekat Kota Agung Lampung Selatan serta pemukiman kolonisasi dekat Sukadana di Lampung Tengah. Pemukiman yang lebih kecil dibuka di Sumatera Selatan, Bengkulu, Kalimantan, dan Sulawesi.

Data yang lain menunjukkan sampai akhir tahun 1921 jumlah penduduk asal Jawa di desa-desa kolonisasi Gedongtataan telah mencapai jumlah 19.572 orang. Ada juga yang menulis, antara tahun 1905-1929 jumlah orang Jawa yang dipindahkan ke luar Jawa sudah mencapai angka 24.300 orang.

Dengan demikian jika dihitung berdasarkan jumlah orang yang diberangkatkan antara tahun 1905-1911 sebanyak 4.800 orang, berarti antara tahun 1911-1929 pemerintah colonial Belanda telah memindahkan penduduk melalui program kolonisasi sekitar 19.500 orang.

Pada periode ini dukungan dana yang dikucurkan untuk peserta kolonisasi mengalami perubahan dari periode sebelumnya. Uang premi yang tadinya berjumlah 20 gulden per keluarga naik menjadi 22,5 gulden, biaya transportasi masih ditanggung oleh pemerintah yang pada periode sebelumnya diperkirakan sebesar 50 gulden. Akan tetapi, biaya-biaya lain tidak diberikan lagi, namun disediakan fasilitas untuk memperoleh pinjaman uang sebesar 200 gulden dengan bunga 9 persen per tahun. Guna mendukung pelaksanaan kredit kolonisasi, pemerintah mendirikan Lampongsche Volksbank pada bulan Maret 1911. Pinjaman yang diberikan hanya boleh digunakan untuk membeli ternak, alat-alat pertanian, serta bahan-bahan untuk membangun rumah. Namun kekuatan lembaga keuangan tersebut tidak bertahan lama, tahun 1926 masalah perkreditan telah berakumulasi, dan pada tahun 1928 bank mengalami kebangkrutan.

Kebangkrutan ini disebabkan oleh kredit macet, karena peserta kolonisasi tidak dapat mengelola penggunaan uang pinjaman. Uang yang seharusnya digunakan untuk membeli alat-alat pertanian serta mengelola usahatani atau kegiatan-kegiatan produktif, ternyata dipakai untuk membeli barang atau kebutuhan konsumtif. Banyak juga yang menggunakan uang tersebut untuk keperluan selamatan yang kental dengan adat Jawa. Penggunaan uang seperti itu pada gilirannya menyulitkan mereka untuk membayar angsuran kredit ke bank. Di sisi lain terjadi pula kesalahan di pihak pengelola bank yang korup, dan kondisi seperti ini mempercepat kebangkrutan bank tersebut.

Pada periode Lampongsche volksbank, pelaksanaan kolonisasi belum dapat dikatakan berhasil, penyebabnya adalah perencanaan yang kurang matang dan implementasi yang banyak menyimpang.

Masalah tempat pemukiman, pengairan, dan yang lainnya tidak direncanakan secara matang, sehingga menyebabkan kerugian secara finansial. Kesehatan pemukim baru pun menjadi terabaikan, berdampak pada tingkat mortalitas penduduk di pemukiman kolonisasi menjadi tinggi.

Walaupun pemerintah kolonial Belanda memiliki konsep, bahwa daerah tujuan kolonisasi harus memiliki suasana sosial budaya dan sistem pertanian yang hampir sama dengan daerah asal. Namun faktanya daerah yang telah dipersiapkan

4

Page 5: Makalah oji

tersebut tidak memenuhi kriteria. Sistem irigasi yang dibuat tidak memadai, demikian juga prasarana transportasi, sehingga banyak pemukim baru yang tidak betah, dan kembali ke Jawa.

Dalam perekrutan calon peserta kolonisasi, pemerintah memberi instruksi kepada lurah-lurah yang diberi target untuk mengirimkan sejumlah orang ke daerah kolonisasi. Sistem seleksi yang diatur oleh lurah menjadikan mereka mudah mengatur untuk menyingkirkan orang-orang tidak disukai karena dianggap saingan atau lawan politik lurah. Cara rekruitmen demikian menyebabkan orang tidak siap untuk memulai kehidupan di daerah tujuan kolonisasi.

Seirama dengan pencanangan kolonisasi, perkebunan-perkebunan di Sumatera Timur mengalami kemajuan. Hal ini berdampak pada pelaksanaan kolonisasi, karena ada persaingan antara calo tenaga kerja dengan petugas kolonisasi yang diberi target untuk mencari orang sebagai peserta kolonisasi. Isu yang dikembangkan oleh calo tenaga kerja adalah hal-hal negatif tentang kolonisasi, agar penduduk Jawa lebih tertarik untuk menjadi kuli kontrak di perkebunan Sumatera. Pada akhirnya orang-orang di pulau Jawa sendiri lebih tertarik menjadi kuli kontrak ketimbang ikut kolonisasi, sebab dianggap lebih menguntungkan secara ekonomi.

Ada dugaan pemerintah kolonial Belanda menjadi tidak terlalu serius menangani kolonisasi, setelah melihat fenomena banyaknya orang Jawa yang tertarik untuk menjadi kuli kontrak pada perkebunan-perkebunan di Sumatera Timur. Sebab pemerintah kolonial Belanda sendiri, dalam melaksanakan kolonisasi ini memiliki tujuan yang terselubung yaitu untuk mendukung penyediaan tenaga kerja murah bagi perkebunan-perkebunan tanaman eksport dalam rangka mendukung perkembangan ekonominya. Artinya program kolonisasi ini dianggap menjadi tidak penting, manakala

sudah banyak penduduk Jawa yang tertarik untuk menjadi kuli kontrak di Sumatera.

Jaman Depresi Ekonomi Dunia Terjadinya arus migrasi penduduk yang deras dari pulau Jawa untuk menjadi kuli kontrak di Sumatera berlangsung menjelang terjadinya depresi ekonomi dunia. Himpitan kesulitan hidup di Jawa telah mendorong mereka secara mandiri dan sukarela bermigrasi ke Sumatera. Hal ini, pada akhirnya menyebabkan pemerintah kolonial Belanda mengubah kebijakan kolonisasi. Pada masa peralihan antara tahun 1927-1930 pemerintah hanya menyediakan biaya transportasi untuk mereka yang mengikuti program kolonisasi.

Depresi ekonomi yang terus berlanjut telah berpengaruh terhadap perekonomian pemerintah kolonial Belanda. Permintaan tenaga kerja dari perkebunan-perkebunan di Sumatera menjadi kurang, bahkan sebagian mengurangi tenaga kerjanya, sehingga banyak kuli kontrak yang kembali ke pulau Jawa. Pemerintah Belanda mulai merasa perlu mengintensifkan kembali kolonisasi. Pada periode ini ada penekanan untuk mengkaitkan kegiatan kolonisasi dengan upaya membangun basis penyediaan pangan khususnya beras untuk pulau Jawa.

Pengaruh depresi ekonomi dalam memperlancar kolonisasi cukup signifikan. Koloniasi juga dapat terus belanjut hanya dengan sedikit bantuan finasial dari pemerintah. Mereka yang tertarik pindah hanya diberikan pinjaman uang 22-25 gulden setiap keluarga untuk biaya transportasi, pembelian alat-alat pertanian, yang harus dikembalikan dalam jangka waktu 2-3 tahun. Di tempat yang baru pemerintah hanya memberikan lahan secara gratis untuk diolah.

Sejak tahun 1930 terjadi arus perpindahan penduduk dari pulau Jawa ke luar Jawa melalui kolonisasi secara besar-besaran. Pemerintah pun memperketat persyaratan untuk mengikuti kolonisasi yaitu:

5

Page 6: Makalah oji

1) Peserta harus benar-benar petani, sebab jika bukan dapat menyebabkan ketidakberhasilan di lokasi kolonisasi.

2) Fisik harus kuat agar bisa bekerja keras.3) Harus muda untuk menurunkan fertilitas di pulau Jawa.4) Sudah berkeluarga untuk menjamin ketertiban di lokasi baru.5) Tidak memiliki anak kecil dan banyak anak karena akan menjadi beban6) Bukan bekas kuli kontrak karena dianggap sebagai propokator yang akan

menimbulkan keresahan di pemukiman baru.

7) Harus waspada terhadap “perkawinan koloniasai” sebagai sumber keributan.8) Jika wanita tidak sedang hamil karena diperlukan tenaganya pada tahun-

tahun pertama bermukim di tempat baru.9) Jika bujangan harus menikah terlebih dahulu di Jawa karena dikhawatirkan

mengganggu istri orang lain10) Peraturan tersebut tidak berlaku jika seluruh masyarakat desa ikut

kolonisasi.

Sejalan dengan kesulitan ekonomi yang dialami oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai dampak depresi ekonomi dunia, sementara minat masyarakat Jawa untuk ikut kolonisasi cukup tinggi, pemerintah akhirnya merubah pola kolonisasi untuk menekan biaya dengan sistem bawon. Pemukim kolonisasi terdahulu diharapkan memakai tenaga kerja pemukim baru dengan prinsip tolong-menolong dan gotong-royong. Pemekaran daerah kolonisasi baru dibuat tidak jauh dari kolonisasi lama.Penempatan pemukim baru dilakukan pada bulan Februari-Maret saat menjelang musim panen padi di pemukiman lama, sehingga mereka bisa ikut bawon. Bagian hasil bawon pemukim baru di Lampung dibuat lebih besar dengan perbandingan 1:7 atau 1:5, artinya buruh mendapatkan satu bagian setiap tujuh atau lima bagian pemilik. Pada saat itu sistem bawon di pulau Jawa umumnya menggunakan perbandingan 1:10.

Peserta kolonisasi mandiri pada periode ini boleh dikatakan lebih berhasil dibandingkan dengan peserta sebelumnya, walaupun masih ada beberapa yang kembali ke pulau Jawa. Kondisi demikian, memberikan daya tarik pada masyarakat Jawa untuk ikut kolonisasi. Akhirnya dikembangkan daerah kolonisasi baru di Palembang, Bengkulu, Jambi, Sumatera Utara, Sulawesi, dan Kalimantan.

Depresi ekonomi dunia selain dirasakan oleh pemerintah pada waktu itu, juga sangat menyulitkan banyak penduduk di pulau Jawa. Kesempatan kerja di Jawa dirasakan semakin sulit untuk diperoleh, himpitan untuk memenuhi kebutuhan hidup semakin mencekam. Sehingga ketika mendengar cerita mengenai keberhasilan orang-orang di seberang yaitu di daerah kolonisasi, mereka tertarik untuk mengikutinya. Harapan memperoleh lahan pertanian yang luas, menjadi motivasi utama mereka untuk mengubah nasib. Rupanya kesulitan hidup di pulau Jawa telah berpengaruh besar terhadap derasnya migrasi penduduk dari pulau Jawa ke luar Jawa melalui kolonisasi. Walaupun sebetulnya, system bawon sebagai kebijakan kolonisasi pada periode

ini dirasakan memberatkan. Misalnya keluarga yang telah satu tahun bermukim di daerah kolonisasi harus bersedia menampung pemukim baru. Di daerah irigasi tiap keluarga baru harus ditanggung oleh tiga keluarga lama, sementara di daerah tegalan satu keluarga baru ditanggung oleh empat keluarga lama.

Walaupun pada pelaksanaan kolonisasi periode ini jumlah penduduk yang dipindahkan dari pulau Jawa ke daerah kolonisasi cukup banyak dibandingkan dengan periode sebelumnya.

Namun kalau dilihat dari aspek pengendalian penduduk pulau Jawa belum bisa disebut berhasil. Pendapat ahli kependudukan Belanda pada saat itu, jika ingin mengendalikan penduduk Jawa, penduduk yang dipindahlan harus mencapai 80.000 keluarga per tahun.

6

Page 7: Makalah oji

Pemerintah colonial Belanda sampai menjelang akhir masa kekuasaannya, hanya mampu memindahkan penduduk pulau Jawa kurang dari seperlima dari target yang diharapkan per tahunnya. Data lain menunjukkan antara tahun 1905-1941 penduduk yang berhasil dipindahkan hanya berjumlah 189.938 orang. Akan tetapi jika dilihat dari aspek peningkatan kesejahteraan peserta kolonisasi, mereka mungkin dapat disebut lebih baik tingkat kehidupannya dibandingkan pada saat berada di daerah asalnya.

Transmigrasi Masa Pendudukan Jepang Sejak tahun 1942 susunan pemerintahan di Lampung mengalami Perubahan dengan perginya pejabat-pejabat colonial Belanda dari Binnenlands Bestuur. Ketika tentara Jepang masuk ke Indonesia, kegiatan transmigrasi tetap dilaksanakan. Akan tetapi karena sibuk dengan peperangan, rupanya penguasa Jepang tidak sempat melakukan pengadministrasian kegiatan transmigrasi seperti halnya pada jaman pemerintah kolonial Belanda, sehingga sangat sedikit dokumentasi mengenai transmigrasi yang bisa ditemukan. Diperkirakan selama kekuasaan Jepang, penduduk pulau Jawa yang berhasil dipindahkan ke luar Jawa melalui transmigrasi sekitar 2.000 orang.

Tidak hanya di bidang transmigrasi, kondisi kependudukan yang parah dimulai ketika tentara Jepang mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan Belanda. Pada periode ini kondisi perekonomian di Indonesia sangat buruk. Beberapa komoditi seperti tekstil, alat-alat pertanian, bahan pangan menghilang dari pasaran. Terjadi pula mobilisasi tenaga kerja (romusha)

untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan dan proyek-proyek pertahanan Jepang, baik di dalam maupun di luar negeri.

Transmigrasi Setelah Kemerdekaan Masa Orde Lama Ketika baru merdeka dari penjajahan Jepang, di Indonesia masih terjadi gejolak politik, sehingga permasalahan kepadatan penduduk masih terabaikan. Baru tahun 1948 pemerintah Republik Indonesia membentuk panitia untuk mempelajari program serta pelaksanaan transmigrasi yang diketuai oleh A. H. D. Tambunan. Walaupun telah terbentuk kepanitiaan, keputusan yang menyangkut masalah transmigrasi baru diambil pada tahun 1950.

Bulan Desember 1950 merupakan awal mula pemberangkatan transmigran di jaman kemerdekaan ke Sumatera Selatan. Pelaksananya ditangani oleh Jawatan Transmigrasi yang berada di bawah Kementrian Sosial. Baru tahun 1960 Jawatan Transmigrasi menjadi departemen yang digabung dengan urusan perkoperasian dengan nama Depertemen Transmigrasi dan Koperasi.

Pada masa ini, selain tujuan demografis, tujuan lainnya tidak jelas. Namun Presiden Soekarno sendiri tidak fokus pada kelebihan penduduk Jawa, tetapi hanya melihat adanya ketimpangan kepadatan penduduk pulau Jawa dan luar Jawa. Akan tetapi di kemudian hari yaitu seperti tercantum pada Undang-undang No. 20/1960 jelas terbaca, bahwa tujuan transmigrasi adalah untuk meningkatkan keamanan, kemakmuran, dan kesejahteraan rakyat, serta mempererat rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Target pemindahan penduduk pada jaman orde lama dinilai sangat ambisius dan tidak realistis, dimana sasaran “Rencana 35 Tahun Tambunan” adalah mengurangi penduduk pulau Jawa agar mencapai angka 31 juta jiwa pada tahun 1987 dari jumlah penduduk sebanyak 54 juta jiwa pada tahun 1952.30 Pada kenyataannya antara tahun 1950-1959 pemerintah hanya berhasil memindahkan transmigran sebanyak 227.360 orang.

Revisi target transmigran sebenarnya telah dilakukan dengan yang lebih realistis. Selama lima tahun, antara tahun 1956-1960 direncanakan pemindahan

7

Page 8: Makalah oji

penduduk Jawa sebanyak 2 juta orang, atau rata-rata 400 ribu orang per tahun. Pada rencana delapan tahun selanjutnya, yaitu antara

tahun 1961-1968, Jawatan Transmigrasi menurunkan lagi tergetnya menjadi 1,56 juta orang, atau rata-rata 195 ribu orang per tahun. Pada periode rencana delapan tahun, muncul kebijakan Transmigrasi Gaya Baru pada musyawarah nasional gerakan transmigrasi yang diselenggarakan pada bulan Desember 1964. Konsepnya memindahkan kelebihan fertilitas total yang diperkirakan mencapai angka 1,5 juta orang per tahun. Pada kebijakan ini, muncul pula ide untuk melaksanakan transmigrasi swakarya, artinya transmigran baru ditampung oleh transmigran lama seperti yang pernah dilakukan pada jaman Belanda dengan sistem bawon, kemudian membuka hutan, membangun rumah, dan membuat jalan sendiri, sehingga tanggungan pemerintah tidak terlampau besar.

Minat penduduk pulau Jawa untuk ikut transmigrasi pada periode ini cukup tinggi. Bahkan mereka mau berangkat ke daerah transmigran atas biaya sendiri tanpa bantuan pemerintah. Di tempat tujuan mereka cukup melapor untuk memperoleh sebidang lahan dan bantuan material lainnya.

Pada jaman orde lama, ada pengkategorian transmigrasi, sehingga dikenal istilah transmigrasi umum, transmigrasi keluarga, transmigrasi biaya sendiri, dan transmigrasi spontan. Dalam sistem transmigrasi umum segala keperluan transmigran, sejak pendaftaran sampai di lokasi menjadi tanggungan pemerintah. Pemerintah juga menanggung biaya hidup selama delapan bulan pertama, bibit tanaman, serta alat-alat pertanian.

Transmigrasi keluarga merupakan merupakan sistem transmigrasi beruntun, artinya jika ada keluarga transmigran ingin mengajak keluarganya yang masih tinggal di pulau Jawa untuk tinggal di daerah transmigrasi, maka transmigran lama harus menanggung biaya hidup dan perumahan transmigran baru. Sistem ini tidak jalan, karena terlalu memberatkan peserta transmigrasi, sehingga tidak dilaksanakan lagi sejak 1959.

Transmigrasi biaya sendiri, mengharuskan calon transmigran mendaftar di tempat asal, kemudian berangkat ke lokasi dengan ongkos sendiri, setelah sampai di lokasi mereka mendapatkan lahan dan subsidi seperti transmigran umum. Sedangkan transmigrasi spontan selain menanggung sendiri ongkos ke lokasi, mereka pun harus mengurus sendiri keberangkatannya. Di tempat tujuan baru mereka lapor untuk mendapatkan lahan di daerah yang telah ditentukan. Masa Orde Baru Pada jaman orde baru, tujuan utama transmigrasi tidak semata-mata memindahkan penduduk dari pulau Jawa ke luar Jawa, namun ada penekanan pada tujuan memproduksi beras dalam kaitan pencapaian swasembada pangan. Pembukaan daerah transmigrasi diperluas ke wilayah Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi, bahkan sampai ke Papua.

Tahun 1965-1969, belum ditentukan target jumlah transmigran Yang harus dipindahkan. Bahkan terkesan belum begitu perhatian terhadap progran transmigrasi. Daerah transmigran seperti Lampung, Jambi, Sumatera Selatan yang pada awalnya banyak sekali menerima transmigran, pada periode ini hanya menerima sekitar 52 persen dari total transmigran yang diberangkatkan. Jumlah yang dikirim ke Sulawesi sekitar 25 persen, sisanya ke pulau-pulau lain seperti Kalimantan dan Papua. Jika pada masa orde lama dikenal empat kategori transmigrasi, pada periode ini hanya dikenal dua kategori yaitu transmigrasi umum dan transmigrasi spontan. Pada transmigrasi spontan pemerintah hanya mengorganisir perjalanan dari daerah asal ke tempat tujuan, ongkos-ongkos semua ditanggung peserta.

8

Page 9: Makalah oji

Sementara transmigrasi spontan, semua ongkos ditanggung pemerintah, dan di lokasi memperoleh lahan seluas dua hektar, rumah, dan alat-alat pertanian, serta biaya selama 12 bulan pertama untuk di daerah tegalan, dan 8 bulan pertama di daerah pesawahan menjadi tanggungan pemerintah. Jumlah seluruh transmigran yang berhasil dipindahkan pada periode ini sebanyak 182.414 orang atau sekitar 52.421 keluarga.

Masih pada jaman orde baru, tepatnya tahun 1974 ketika Gunung Merapi meletus, ada kejadian seluruh warga desa diikutsertakan dalam program transmigrasi, di lokasi baru mereka menempati daerah yang sama. Dari kejadian inilah kemudian muncul istilah transmigrasi bedol desa. Pada periode rencana pembangunan lima tahun (repelita) ke-2 antara tahun 1974-1979, konsep transmigrasi diintegrasikan ke dalam pembangunan nasional.

Dalam kerangka pembangunan nasional tersebut, transmigrasi diharapapkan dapat meningkatkan ketahanan nasional, baik di bidang ekonomi, sosial, maupun budaya, serta meningkatkan produksi pangan dan komoditi eksport. Produksi pertanian diharapkan dapat mendukung sektor industri sebagai cita-cita pembangunan. Selain itu mulai tercetus pemikiran untuk mengembangkan daerah tujuan semenarikmungkin, sehingga akan banyak

penduduk yang tertarik untuk pindah dari pulau Jawa dengan biaya mandiri tanpa tergantung pada pemerintah.

Target transmigrasi pada repelita ke-2 adalah memberangkatkan 50 ribu keluarga atau 250 ribu orang per tahun, atau jika dihitung selama selama lima tahun, transmigran yang harus diberangkatan sebanyak 1,25 juta orang. Target yang tidak realistis tersebut pada tahun 1976 dikurangi menjadi 108 ribu keluarga selama lima tahun, sedangkan realisasinya pemerintah hanya mampu memberangkatkan sebanyak 204 ribu orang atau sekitar 16 persen dari target yang dicanangkan. Masa selanjutnya, pada repelita ke-3 (1979-1983) ada penekanan yang lebih mendalam terhadap kepentingan pertahanan dan keamanan. Pelaksanaan transmigrasi spontan lebih didorong lagi dengan mengembangkan kegiatan ekonomi di luar pulau Jawa guna menarik minat calon transmigran. Target pemindahan transmigran sebanyak 250 ribu keluarga dapat dicapai, bahkan terlampaui sebanyak dua kali lipat.

Mengingat keberhasilan pada repelita ke-3, maka pada repelita ke-4 target transmigran ditingkatkan lagi menjadi 750 ribu keluarga atau 3,75 juta orang. Pada akhir bulan Oktober 1985 telah berhasil diberangkatkan sebanyak 350.606 keluarga atau 1.163.771 orang. Pada periode ini diintroduksi konsep tentang pelestarian lingkungan, sehingga transmigrasi juga diberi misi agar bisa memulihkan sumber daya alam yang sudah tereksploitasi dan memelihara lingkungan hidup.

Masa Reformasi Jumlah penduduk yang berhasil dipindahkan dalam program transmigrasi, terus meningkat dari tahun ke tahun. Walaupun demikian tetap tidak bisa mengejar bertambahnya jumlah penduduk di pulau Jawa. Sebab fertilitas di pulau Jawa jauh melebihi angka penduduk yang dapat dipindahkan ke luar pulau Jawa. Dengan demikian, jika dilihat dari aspek demografis yang dikaitkan dengan pengurangan penduduk di pulau Jawa, program transmigrasi ini tidak mencapai sasarannya. Diakui pula oleh Departemen Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan, bahwa pelaksanaan transmigrasi yang telah dilaksanakan hingga jaman orde baru belum memberikan pengaruh yang merata, baik ditinjau dari sisi mikro yaitu tingkat perkembangan UPT/Desa, maupun makro yaitu pada percepatan pertumbuhan wilayah. Pembangunan transmigrasi pun belum berhasil menjadi pendorong pembangunan, karena belum dapat memberikan kontribusi yang optimal dalam pembangunan wilayah.

9

Page 10: Makalah oji

Mengingat kondisi seperti di atas, perlu dicari paradigma baru dalam pembangunan transmigrasi. Paradigma baru yang sudah jauh berbeda dengan paradigma lama, terjadi dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 5/1997. Pelaksanaan transmigrasi tidak lagi difokuskan pada pemecahan masalah persebaran penduduk, yang selama 90 tahun terakhir memang tidak berhasil dipecahkan, namun bergeser pada pengembangan ekonomi dan pembangunan daerah. Dalam Undang-undang tersebut dinyatakan, bahwa tujuan transmigrasi adalah: 1) Untuk meingkatkan kesejahteraan transmigran dan masyarakat sekitar.2) Meningkatkan pemerataan pembangunan daerah.3) Memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Melalui tujuannya itu diharapkan rakyat Indonesia yang berada di luar the circular flow of income dalam sistem ekonomi nasional bisa lebih cepat mencapai tingkat kesejahteraannya. Terjadinya ketimpangan akibat strategi industrialisasi yang terlalu bertumpu di pulau Jawa yang telah menyebabkan ketimpangan antar daerah dapat dikurangi. Gejala disintegrasi dan separatis memerlukan strategi dan kebijakan yang tepat termasuk dari pihak Departemen Transmigrasi dan PPH.

Penyempurnaan pelaksanaan transmigrasi yang diperlukan antara lain, agar transmigrasi diupayakan secara merata di wilayah tanah air, dan pemukiman transmigran tidak merupakan enclave serta memiliki keterkaitan fungsional dengan kawasan di sekitarnya. Berbagai kelompok etnis harus berbaur dalam kebhinekaan, penduduk setempat juga harus mendapat perhatian yang sama, dengan tujuan untuk meredam potensi konflik antara pendatang dan penduduk asli.

Dengan diberlakukannya otonomi daerah, maka pemerintah daerah akan memiliki tanggung jawab dan wewenang yang lebih besar dalam prosespenyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerahnya masing-masing. Sehingga, pembangunan transmigrasi harus diletakan pada kerangka pembangunan daerah yang selanjutnya harus dapat dijabarkan dalam program-program transmigrasi.

Berdasarkan pada penjelasan di atas visi transmigrasi ke depan adalah “mewujudkan komunitas baru yang merupakan hasil integrasi harmonis antara penduduk setempat dan masyarakat pendatang, yang sejahtera serta dapat tumbuh dan berkembang secara mandiri dan berkelanjutan”. Adapun misinya adalah “engisi pembangunan di daerah sesuai dengan kebutuhan

masyarakat setempat dan pendatang, serta sesuai dengan rencana pembangunan daerah dan rencana pembangunan nasional”.

Misi di atas dilakukan melalui konsep pengembangan wilayah dan pengembangan masyarakat, antara lain dengan upaya peningkatan pembangunan daerah dalam rangka mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi yang ada, dan mewujudkan agropolitan baru sebagi pusat pertumbuhan ekonomi. Selain itu, dilakukan pendekatan kultural dengan memperhatikan sistem nilai dan perilaku serta adat-istiadat masyarakat setempat, sehingga pembangunan transmigrasi tidak lagi bersifat eksklusif dalam kehidupan siklis, melainkan melalui berbagai teknik pembauran.

Konsep manajemen pembangunan transmigrasi yang dijalankan antara lain, pembangunan transmigrasi yang reformis tidak lagi menekankan pada target pemindahan transmigran, melainkan pada pencapaian pertumbuhan kesejahteraan transmigran yang dikaitkan dengan kemampuan daya beli dari transmigran yang paling miskin dengan ukuran keberhasilan minimal transmigran terhadap kebutuhan dasarnya. Selain itu, menjadikan transmigrasi sebagai suatu kebutuhan yang diminta oleh masyarakat setempat, dunia usaha, dan pemerintah daerah.

10

Page 11: Makalah oji

Perkembangan Transmigrasi Di IndonesiaPerkembangan selanjutnya dari program taransmigrasi adalah ketika diperkenalkannya program transmigrasi “Pola Sitiung” oleh Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Koperasi (Depnakertranskop) pada Pelita II. Pola ini berawal dari adanya transmigrasi “besol desa” dari daerah Wonogiri Jawa Tengah (meliputi 41 desa) ke empat desa baru di Kabupaten Sawahlunto-Sijunjung Sumatera Barat, yaitu Sitiung, Tiumang, Sialanggaung, dan Kotosalak. Penduduk dari 41 desa di Wonogiri tersebut dipindahkan karena desa tempat tinggal mereka terkena proyek bendungan Gajah Mungkur. Jumlah transmigran tersebut adalah 65.517 jiwa atau lebih kurang 2.000 KK. Hal yang dinilai lebih dalam pola ini adalah adanya koordinasi yang lebih baik antar instansi terkait dalam pelaksanaannya.

Misalnya pembabatan hutan, membangun prasarana jalan, jembatan, dan irigasi dilaksanakan oleh Departemen Pekerjaan Umum, urusan pemerintahan desa oleh Departemen Dalam Negeri, pengkaplingan tanah hingga pembuatan sertifikat dilakukan oleh Jawatan Agraria, pendirian Puskesmas dan tenaganya oleh Departemen Kesehatan, sekolah dan gurunya oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Dalam pelaksanaan Pola Sitiung, transmigran tidak perlu membangun rumah dulu, karena rumah sudah disipkan oleh Depnakertranskop. Begitu berhasilnya pola ini, Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Koperasi, Prof. Soebroto bermaksud memperluas pola ini ke-14 provinsi lainnya di Indonesia. Akan tetapi, ternyata untuk menerapkan pola ini ke propvinsi lain kendalanya cukup banyak, antara lain kesiapan lokasi transmigrasi, dan koordinasi yang kurang berjalan dengan baik.

Pola Inti Rakyat Perkebunan (PIR Bun) mulai diperkenalkan pada Pelita III di lokasi-lokasi transmigrasi. Pola ini cukup berhasil menarik minat penduduk pedesaan di Pulau Jawa untuk ikut serta dalam program tarnasmigrasi ini. Melihat minat masyarakat yang cukup tinggi ini, pada Pelita IV Departemen Transmigrasi kemudian lebih banyak mendorong pelaksanaan transmigrasi spontan yang dibiayai sendiri oleh penduduk.

Orientasi program transmigrasi kemudian mengalami perubahan dari orientasi kuantitas ke orientasi kualitas pada Pelita V. Pemerintah juga mendorong agar masyarakat tergerak untuk melakukan transmigrasi swakarsa. Pada masa ini perhatian untuk mengembangkan daerah tujuan transmigrasi agar dapat menarik transmigran dari Jawa mulai dibangun. Hutan Tanaman Industri-Transmigrasi (HTI-Trans) mulai diperkenalkan yang merupakan kerjasama antra swasta pemegang Hak Penguasahan Hutan (HPH) dengan transmigran sebagai pemasok tenaga kerja. Selain memperkenalkan HTI-Trans, Departemen Transmigrasi juga mendorong terbentuknya pusat-pusat industrialisasi di luar Jawa, seperti agribisnis kelapa sawit atau tambak udang inti rakyat transmigrasi.

Provinsi-provinsi yang dijadikan daerah pemukiman transmigrasi dewasa ini adalah Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimanatan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Papua. Di daerah-daerah tersebut, pengaruh demografi cukup terasa oleh karena di masa lampau jumlah penduduk setempat relatif masih sedikit. Di samping itu perekonomian daerah tujuan kemungkinan juga

11

Page 12: Makalah oji

terpengaruh dengan adanya pertambahan tenaga kerja dan pembukaan tanah-tanah pertanian baru.

Dalam kurun waktu 60 tahun (1930-1990), distribusi penduduk di Indonesia sedikit banyaknya juga dipengaruhi oleh pelaksanaan transmigrasi, walaupun tidak begitu besar. Pulau Jawa dan Madura yang pada tahun 1930 dihuni oleh 68,9% penduduk Indonesia, pada tahun 1990 “hanya” 59,9% dari keseluruhan penduduk. Meskipun demikian, karena angka pertumbuhan penduduk yang tinggi, kenaikan jumlah penduduk di Pulau Jawa jauh lebih besar dibandingkan yang bermigrasi kederah lain.

Distribusi Penduduk Menurut Sensus Penduduk Tahun 1930Dan Sensus Penduduk Tahun 1990

Penduduk1930 1990 Kenaikan/Perubahan

Jumlah (Juta) % Jumlah (Juta) % Jumlah (Juta) %Jawa + Madura 41,7 68,9 107,5 59,9 65,8 8,8

Sumatera 8,2 13,5 36,4 20,2 28,2 6,8Kalimantan 2,2 3,6 9,2 5,2 6,9 1,6

Sulawesi 4,2 6,9 12,5 7,0 8,3 0,1Pulau Lain 4,2 7,3 13,6 7,7 9,2 0,3

Jumlah 60,7 100 179,2 100 119,4 0

Sumber: Badan Pusat Statistik

Pada tahun 1996 terjadi sedkit perubahan. Proporsi penduduk Pulau Jawa berkurang menjadi 58,9 %, sedangkan pulau-pulau lainnya mengalami peningkatan, meskipun tidak terlalu besar.

Perbandingan Kepadatan Penduduk Antarpulau pada Tahun 1996PULAU

JUMLAH PENDUDUK (Juta) %

Luas Kepadatan Per Pulau(KM2) %

Jawa 114,773 58,9 132,186 6,9 868Sumatera 40,831 20,9 473,481 24,7 86

Kalimantan 10,470 5,4 539,460 28,1 19Sulawesi 13,372 7,1 189,216 9,8 73Irian Jaya 1,943 6,7 162,993 8,5 80

Pulau Lainnya 13,006 6,7 162,993 8,5 80Indonesia 194,775 100 1,919,317 100 101

Permasalahan Tidak meratanya penyebaran penduduk di Indonesia terutama di pulau Jawa.

Semasa pemerintahan Jepang di Indonesia usaha transmigrasi tetap dijalankan dengan memindahkan hampir 2 ribu keluarga dari Jawa ke luar Jawa. Kemudian transmigrasi ini berhenti akiat perang kemerdekaan dan baru tahun 1950 oleh pemerintah Indonesia dilakukan usaha transmigrasi pertama dengan memindahkan 77 jiwa dari Jawa ke Lampung. Tekanan usaha transmigrasi setelah kemerdekaan dari 1950-1969 atau sebelum Repelita terutama pada aspek demografis, yaitu mengurangi penduduk pulau Jawa. Kemudian sejak Repelita sampai sekarang tekanan tidak lagi pada aspek demografis, tetapi lebih luas karena meliputi aspek-aspek ketenagakerjaan , pembangunan daerah, dan sebagainya.

Jumlah transmigran yang berhasil ditempatkan dari tahun 1905Sampai dengan tahun 1975/76

Tahun Jumlah transmigran Tahun Jumlah Transmigran1905 620 1921 3.7981906 2.200 1922 5.4501907 28 1928 1.6931908 564 1929 2141909 1.059 1930 1801912 142 1931 750

12

Page 13: Makalah oji

1913 317 1932 7.0001914 249 1934 1.3751915 1.478 1935 13.3241916 107 1936 12.5001917 307 1937 19.0101918 1.073 1938 33.1311919 3.507 1939 42.3231920 5.010 1940 50.8601941 49.904 1962 22.1931943 8.819 1963 32.1311950 .77 1964 15.2221951 2.951 1965 52.3251952 17.605 1966 4.6501953 40.009 1967 4.7751954 29.738 1968 10.4901955 21.389 1969/70 17.8481956 25.519 1970/71 19.9851957 20.045 1971/72 18.8701958 20.063 1972/73 51.9201959 46.096 1973/74 73.7031959 22.078 1974/75 46.600

19.600 1975/76 35.232Sumber: Direktorat Jenderal Transmigrasi, Realisasi Penempatan Transmigrsai Dari Kolonisasi (1905) sampai Pelita I (1969/70 s/d 1973/74), Dit. Jen. Transmigrasi, Dep. Nakertranskop, Jakarta, tanpa tahun.M. Amral Syamsu, dari kolonisasi ke Transmigrasi 1905-1955, Djambatan, Djakarta, 1960Laporan: Pelaksanaan Pemindahan Transmigrasi , Direktorat Pemindahan

Transmigrasi, Dit. Jen. Transmigrasi, Dep. Nakertranskop, Jakarta

Setelah Repelita 1 pada tahun 1969-1973 telah berhasil ditempatkan sebanyak 25.537 Kepala Keluarga (KK) atau 127.689 jiwa, sedangkan pada periode terseut penduduk pulau Jawa bertambah 6.502.000. Berarti dalam repelita 1 hanya dapat dipindahkan seesar 1,96% dari pertambahan di Jawa.

Dalam tahun 1974 sampai dengan 1979 semula target transmigrasi yang ditentukan pemerintah adalah 250 ribu KK, yaitu rata-rata per tahun antara 30-70 KK tetapi ternyata pada tahapan pertama target terealisasi 11.000 KK dan ini pun jangka waktunya tertuunda 7 bulan. Target tahun 1975/1976 pun diturunkan menjadi 8.000 KK dan dicapai pada tahun 1977. Berarti baik target Maupun waktu pelaksanaan tidak tepat. Pada Repelita III (1980-1983) direncanakan dapat mencapai sasaran yang dipindahkan 500.000 KK. Jadi tiap tahunnya direncanakan 100.000 KK yang dipindahkan, tetapi untuk tahun pertamaRepelita III direncanakan 50.000 KK. Transmigrasi yang sudah terealisasi dapat dipindahkan pada tahun pertama (1979/80) baru mencapai 100 KK.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam permasalahan Transmigrasi:1. Penyiapan tanah / pemukiman harus disiapkan dengan baik sebelum transmigran

tiba.2. Selektivitas dalam pemberangkatan transmigran supaya lebih baik.3. Penyiapan prasarana sejak ditempat asal maupun di tempat tujuan.4. Koordinasi yang baik antara pihak yang mengelola transmigrasi.

Dasar hukum penyelenggaraan Transmigrasi:1. Undang-undang No. 3 Tahun1972 tanggal 28 Juli 1972 tentang ketentuan-ketentuan

pokok transmigrasi.2. Peraturan pemerintah No. 42 Tahun 1973 tanggal 28 November 1973, tentang

penyelenggaraan Transmigrasi.3. Garis-garis Besar Haluan Negara, TAP MPR No. IV/19784. Keputusan Presiden No. 1 Tahun 1973, tanggal 4 Januari 1973, tentang penetapan

Pulau-pulau Jawa, Madura, Bali dan Lombok sebagai daerah asal Transmigrasi.5. Keputusan Presiden No. 2 Tahun 1973 tanggal 4 Januari 1973 tentang penetapan

beberapa provinsi sebagai daerah transmigrasi (Jambi, Bengkulu, Lampung, Sumatera Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara).

6. Keputusan Presiden No. 12 Tahun 1974 tanggal 11 Maret 1974, tentang penetapan Provinsi Kalimantan Barat sebagai daerah Transmigrasi.

7. Keputusan Presiden No. 29 tahun 1975 tanggal 12 Juli 1975, tentang penetapan Provinsi Riau dan Provinsi Sumatera Barat sebagai daerah Transmigrasi.

13

Page 14: Makalah oji

8. Keputusan Presiden No. 1 tahun 1978 tanggal 21 Februari 1978, tentang kesempatan bagi penduduk setempat berpindah ke dalam Proyek Transmigrasi.

9. Keputusan Presiden No. 7 Tahun 1978 tanggal 28 April 1978, tentang penetapan Proins-provinsi Daerah Istimewa Aceh, Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Maluku, dan Irian Jaya sebagai daerah Transmigrasi.

10. Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1978 tanggal 31 Agustus 1978 tentang Badan Koordinasi Penyelenggaraan Transmigrasi.

Tujuan: Sesuai dengan undang-undang No. 3 tahun 1972 mencakup:1. Peningkatan taraf hidup2. Pembangunan Daerah3. Keseimbangan penduduk4. Pembangunan yang merata diseluruh Indonesia5. Pemanfaatan sumber-sumber alam dan tenaga manusia6. Kesatuan dan persatuan bangsa7. Memperkuat Hamkamnas

Dalam penyelenggaraan ini maka pendekatan dilakukan secara demografi, manpower, prosperity, security, development, dan socio political. Untuk mewujudkan tujuan tersebut pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah dan badan swasta serta partisipasi masyarakat.

Kebijaksanaan Kependudukan Di IndonesiaKebijaksanaan yang menyangkut distribusi penduduk sudah diikuti sejak permulaan

abad ini oleh pemerintah Hindia Belanda. Kolonisasi kebeberapa daerah luar Jawa dengan memindahkan penduduk dari Jawa adalah usaha reditribusi penduduk. Usaha itu merupakan kebijakasanaan kependudukan. Sekalipun hasilnya tidaklah besar, tetapi pemerintah hindia belanda telah memulai program itu dan setelah mengalami berbagai hambatan, menjelang Perang Dunia II kolonisasi itu menjadi cukup penting.

Pemerintah Indonesia Merdeka meneruskan program pemindahan penduduk itu dengan Transmigrasi. Konsep transmigrasi yang dicetuskan pada permulaan kemerdekaan Indonesia merupakan kebijaksanaan kependudukan yang secara sadar hendak mengurangi penduduk Jawa dengan cara memindahkannya ke kuar Jawa. Dalam apa yang dikenal sebagai rencana Tambunan, direncanakan transmigrasi besar-besaran, bukan hanya mengurangi pertumbuhan di pulau Jawa secara absolut. Jawa diperkirakan hanya mampu menampung 30 juta penduduk dan selebihnya harus di transmigrasi.

Kebijaksanaan kependudukan itu dijalankan sampai pemerintahan orde baru mmeberikan orientasi yang luas mulai tahun 1972. Undang-undang No. 3 Tahun 1972 memberikan tujuan yang luas pada transmigrasi dimana pertimbangan demografis hanya merupakan satu dari 7 sasaran yang terdiri atas:1. Peningkatan tarf hidup2. Pembangunan daerah3. Keseimbangan penyebaran penduduk

4. Pembangunan yang merata diseluruh Indonesia5. Kesatuan dan persatuan bangsa6. Mmeperkuat pertahanan dan keamanan nasional

Kebijaksanaan transmigrasi ini mencakup segi-segi politik, ekonomi, social budaya dan pertahanan keamanan disamping kebijaksanaan redistribusi penduduk. Kebijaksanaan ini merupakan kebijakan sektoral dan regional. Disamping itu transmigrasi diarahkan kepada transmigrasi swakarsa yang akan mengurangi beban pemrintah dan mendorong penduduk berinisiatif untuk pindah dalam rangka pembangunan daerah asal maupun daerah tujuan transmigrasi. Di dunia ini tidak ada negara lain yang mempunyai kebijaksaan redistribusi penduduk lebih luas daripada Indonesia. Malaysia dan Filipina mempunyai program pemukiman penduduk (Settlement) yang terbatas dan lebih bersifat kegiatan pembangunan ekonomi. Proyek Felda (Federal Land Development Authority) di Malaysia merupakan usaha meningkatkan produksi karet dan kelapa sawit untuk ekspor dengan mendatangkan petani-petani yang terpilih. Filipina mempunyai program pembukaan daerah Mindanau yang rung lingkupnya terbatas.

Kebijaksanaan kependudukan telah dirumuskan dalam GBHN, kebijaksanaan ini merupakan bagian dari kebijakasanaan kependudukan yang meliputi:1. Bidang-bidang pengendalian kelahiran2. Penurunan tingkat kematian terutama kematian anak-anak3. Perpanjangan harapan hidup4. Penyebaran penduduk yng lebih serasi dan seimbang

14

Page 15: Makalah oji

5. Pola urbanisasi yang lebih berimbang dan merata6. Perkembangan dan penyebaran angkatan kerja.

Kebijaksanaan kependudukan terutama di Indonesia adalah kebijakasanaan Keluarga Berencana. Kebijaksanaan ini sudah dikenal luas oleh semua petugas KB dan masyarakat luas.

Pertama-tama program KB, sesuai dengan deklarasi PBB mengenai kependudukan dimana Presiden Suharto ikut menandatangani, merupakan titik balik yang sangat penting di Indonesia. Program KB telah dapat mengubah pandangan dalam masyarakat yang pronatalis, yang melihat penduduk dari segi kuantitas saja, menjadi pandangan anti-natalis, yang menekankan pada kesejahteraan masing-masing keluarga dengan membatasi kelahiran. Kebijaksanaan pemerintah yang menjadi commitment pimpinan tertinggi untuk melaksanakan program KB merupakan salah satu produk Orde Baru yang paling penting dengan jangkauan yang jauh.

Kedua ialah kenyataan bahwa dukungan masyarakat yang cukup besar dan tentangan dari golongan manapun secara prinsipil tidak ada terhadap program KB.

Ketiga, Indonesia dapat membuktikan bahwa KB dapat dilaksanakan di daerah pedesaan secara efektif. Ini berbeda dengan pola penyebaran KB yang biasanyamulai dari kota ke pedesaan, sehingga prosesnya lambat, dinegara-negara yang telah maju.

Penerimaan masyarakat terhadap teknologi KB di daerah pedesaan kita merupakan kesempatan (Point of Entry) yang penting untuk proses pembangunan sector-sektor yang lain . Hal ini mungkin karena tidak langsung diikuti pendekatan teknis tetapi melalui penerangan dan motivasi terlebih dahulu. Kegagalan banyak program KB di negara-negara lain adalah karena dimulai pada aspek teknis medis, yaitu pengadaan klinik-klinik KB, yang meskipun merupakan bagian yang menentukan, tetapi merupakan bagian akhir dari suatu rantai yang dimulai dari pengetahuan tentang KB, sikap untuk menerimanya dan baru kemudian praktik KB dengan bantuan klinik.

Keempat, untuk menjadikan KB sebagai suatu lembaga atau pranata social, maka KB diusahakan untuk menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat dalam bentuk Norma Keluarga Kecil yang Bahagia dan Sejahtera (NKKBS). Ini merupakan pendekatan yang menyentuh perikehidupan keluarga secara nyata.

Kelima, usaha untuk melaksanakan kegiatan Beyond Family Planning. Konsep ini sebenarnya merupakan usaha untuk mempertemukan 3 pandangan yaitu:1. Pandangan yang menyatakan bahwa penurunan fertilitas hanya dapat dicapai

melalui pembangunan ekonomi. Apabila ekonomi terbangun, fertilitas akan menurun dengan sendirinya.

2. Pandangan bahwa perubahan nilai-nilai dalam masyarakat yang mengurangi peranan anak dalam kehidupan keluarga dan sebagai jaminan hari tua maupun tenaga bantuan untuk keluarga. Kalau pandangan ini berubah, keinginan untuk punya banyak anak berkurang, fertilitas akan menurun dengan sendirinya.

3. Pandangan bahwa dengan program KB yang dikelola dengan baik, fertilitas dapat diturunkan

Negara-negara yang berhasil menurunkan fertilitas dengan cepat adalah Korea, Taiwan, Hongkong, dan Singapura. Negara-negara itu melaksanakan program KB tetapi bersamaan dengan itu dilakukan pembangunan ekonomi dan social yang saling menunjang. Program KB berjalan seiring dengan peningkatan kesejahteraan keluarga baik yang bersumber pada pembangunan ekonomi maupun social. Indonesia melalui program kependudukannya mengarah pada penggunaan ketiga pandangan sebagai satu kesatuan.

15

Page 16: Makalah oji

BAB III: PENUTUP

KesimpulanDalam hal transmigrasi masih perlu untuk mencari pendekatan yang lebih mantap.

Cara berpikir yang inovatif dan lebih efisien perlu dikembangkan sehingga sasaran kuantitatif (500.000 KK) dalam Pelita III dapat dicapai. Sesuai dengan UU No. 3 Tahun 1972, Transmigrasi Swakarsa harus lebih didorong untuk memulai proses migrasi berantai. Hanya dengan migrasi berantai, dimana mereka yang sudah pindah dan berhasil akan menarik saudara, teman atau tetangganya menempuh hidup baru di daerah transmigrasi, transmigrasi besar-besaran pun dapat terlaksana.

16