Upload
amphathenri
View
49
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
TUGAS KELOMPOKKULTUR JARINGAN
KULTUR KALUS
OLEH:
KELOMPOK III
PARAMITHA SARI H411 12 2
JUM EKA RAHAYU H411 12 287
NUR SEHANG H411 12 288
JURUSAN BIOLOGIFAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HASANUDDINMAKASSAR
2015
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kultur Kalus
Kalus adalah suatu kumpulan sel amorphous (tidak berbentuk atau belum
terdiferensiasi) yang terjadi dari sel – sel jaringan yang membelah diri secara terus
menerus secara in vitro atau di dalam tabung dan tidak terorganisasi sehingga
memberikan penampilan sebagai massa sel yang bentuknya tidak teratur. Kalus
dapat diperoleh dari bagian tanaman seperti akar, batang, dan daun.Kultur kalus
merupakan pemeliharaan bagian kecil tanaman dalam lingkungan buatan yang steril
dan kondisi yang terkontrol. Penelitian pembentukan kalus pada jaringan terluka
pertama kali dilakukan oleh Sinnott pada tahun 1960. Pembentukan kalus pada
jaringan luka dipacu oleh zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin endogen (Dodds
& Roberts, 1983). Secara in vivo, kalus pada umumnya terbentuk pada bekas –
bekas luka akibat serangan infeksi mikro organisme seperti
Agrobacteriumtumefaciens, gigitan atau tusukan serangga dan nematoda. Kalus
juga dapat terbentuk sebagai akibat stress (George & Sherrington, 1984). Kalus
yang diakibatkan oleh hasil dari infeksi bakteri Agrobacterium tumefaciens disebut
tumor. Kalus telah berhasil diinduksi dari bermacam-macam eksplan, yang perlu
mendapat perhatian pada pemilihan eksplan adalah, harus mengandung sel-sel yang
aktif membelah. Semua bagian tanaman yang masih muda (kecambah) sangat
responsip untuk induksi kalus. Bagian-bagian tanaman seperti embrio muda,
hipokotil, kotiledon, koleoptil, umbi akar wortel yang mengandung kambium dan
batang muda merupakan bagian yang mudah untuk dediferensiasi menghasilkan
kalus. Eksplan terbaik untuk induksi kalus adalah jaringan dari bagian-bagian semai
(seedling) yang dikecambahkan secara in vitro. Jaringan yang mengandung
parenkim tidak hijau, seperti parenkim empulur, mempunyai respon yang lebih baik
dibandingkan dengan sel-sel daun yang mengandung kloroplas. Ukuran eksplan
juga penting untuk diperhatikan, idealnya ukuran eksplan yang dikehendaki adalah
yang kecil tetapi tetap mempunyai kemampuan yang tinggi untuk membelah, hal ini
dimaksudkan agar diperoleh sel-sel yang relatip homogeny (Elisa, 2012).
Inisiasi pembentukan kalus merupakan salah satu langkah penting yang
menentukan keberhasilan teknik kultur in vitro. Kalus merupakan massa sel yang
tidak terorganisir, pada mulanya sebagai respon terhadap pelapukan (wounding).
Pembelahan selnya menjadi tidak terkendali, sel-selnya mengalami proliferasi yaitu
membelah terus menerus dengan sangat cepat, hal ini dimungkinkan karena sel-sel
tumbuhan yang secara alamiahnya bersifat autotrof dikondisikan menjadi heterotrof
oleh adanya nutrisi yang cukup komplek dan zat pengatur tumbuh didalam medium
kultur. Selain dari luka bekas irisan, kalus juga dapat berasal dari pembelahan sel-
sel kambium yang terus membelah dan berpoliferasi (Luqman, 2012).
Kalus dapat diperbanyak secara tidak terbatas dengan cara memindahkan
sebagian kecil kalus kedalam medium baru (sub kultur). Kalus dengan sel-selnya
yang bersifat meristematik, dapat didispersikan didalam medium cair sehingga
dapat diperoleh kultur suspensi sel. Teknik kultur jaringan melalui kultur kalus
merupakan salah satu metode untuk budidaya tanaman untuk mendapatkan
metabolit sekunder dalam waktu yang relatif singkat (Luqman, 2012).
Gambar 1. Kurva pertumbuhan kalus (Dodds & Roberts, 1982)Sumber : elisa.ugm.ac.id
Proses diferensiasi in situ adalah reversible, hal ini ditunjukkan pada
kultur in vitro . Eksplan yang berupa sel, jaringan dan organ tanaman pada
hakekatnya telah mengalami proses diferensiasi. Dengan menanam bagian-bagian
tanaman tersebut diatas medium kultur secara aseptis, terjadilah proses
dediferensiasi, yaitu terbentuknya sel-sel parenkimatis yang tidak terdiferensiasi
(kalus). Sel-sel tanaman menunjukkan kemampuan yang luar biasa untuk
meregenerasikan dirinya menjadi tanaman utuh dari sel-sel yang tidak
terdiferensiasi tersebut, prosesnya disebut rediferensiasi, yaitu keadaan menjadi
berdiferensiasi kembali untuk membentuk akar, tunas dan embrioid yang
kemudian membentuk plantlet (Elisa, 2012).
Pembentukan struktur yang terorganisir pada kalus dimulai dengan
pembentukan kelompok-kelompok sel yang rapat (meristemoid) dari sel-sel
meristematik yang dicirikan dengan ukuran kecil, penuh plasma dan inti
menyolok. Meristemoid diharapkan mampu membentuk primordia tunas maupun
akar
Berdasarkan kebutuhan akan zat pengatur tumbuh untuk membentuk kalus,
jaringan tanaman digolongkan dalam 4 kelompok (Heddy S., 1986) :
1. Jaringan tanaman yang membutuhkan hanya auksin selain gula dan garam-
garam mineral untuk dapat membentuk kalus seperti umbi artichoke.
2. Jaringan yang memerlukan auksin dan sitokinin selain gula dan garam-garam
mineral.
3. Jaringan yang tidak perlu auksin dan sitokinin, hanya gula dan garam-garam
mineral seperti jaringan kambium.
4. Jaringan yang membentuk hanya sitokinin, gula dan garam-garam mineral
seperti parenkim dan xylem akar turnip.
Pada umumnya kemampuan pembentukkan kalus dari jaringan tergantung
juga dari (Heddy S., 1986) :
a. Umur fisiologi dari jaringan waktu diisolasi.
b. Musim pada waktu bahan tanaman diisolasi.
c. Bagian tanaman yang dipakai.
d. Jenis tanaman.
B. Fase-Fase Pertumbuhan Pada Kalus
Agar kalus dapat dijaga pertumbuhannya dan dapat diperbanyak secara
berkesinambungan, maka perlu dipindahkan secara teratur pada media baru dalam
jangka waktu terentu (subkultur). Apabila kalus disubkultur pada media agar yang
dilakukan secara regular, maka akan menunjukkan fase pertumbuhan kurva S
(sigmoid). Fase pertumbuhan kalus terbagi menjadi lima fase, yaitu (Luqman,
2012) :
1. Fase lag, dimana sel-sel mulai membelah.
2. Fase eksponensial, dimana laju pembelahan sel berada pada puncaknya.
3. Fase linear, dimana pembelahan sel mengalami perlambatan tetapi laju
ekspansi sel meningkat.
4. Fase deselerasi, dimana laju pembelahan dan pemanjangan sel menurun.
5. Fase stationer, dimana jumlah dan ukuran sel tetap.
Kecepatan perubahan-perubahan dalam kromosom ini, tergantung juga
dari macam media yang digunakan, serta jenis tanamannya. Ketidakstabilan
kromosom ini menyulitkan aplikasi kultur kalus untuk perbanyakan maupun
untuk produksi bahan-bahan/persenyawaan sekunder. Sebaliknya ketidak-stabilan
tersebut dapat dipergunakan dalam seleksi dan pemuliaan invitro, untuk
memperoleh sifat-sifat baru yang menguntungkan seperti resistensi terhadap
penyakit, hilangnya morfologi yang memang tidak diinginkan seperti duri atau
warna pada bunga.
C. Contoh Kultur Kalus
Prosedur untuk mempelajari teknik dasar induksi kalus dicontohkan pada
umbi akar wortel, tahapannya adalah sebagai berikut (Rahardjo P.C., 1989):
Bahan dan alat:
1. Umbi akar wortel yang segar dan sehat
2. Medium MS padat dengan zat pengatur tumbuh 2,4-D 1 mg/l, lihat cara
pembuatan medium pada Pokok Bahasan IV
3. Petridish steril dengan kertas saring
4. Alkohol70%
5. Akuades steril
6. Detergent
7. Clorox, Sunclin
8. Sikatgigi
9. Skalpel, pisau, pinset
10. Erlenmeyer 250 ml, beker glass 250 ml
11. Sprayer
Cara Kerja :
1. Persiapan eksplan
Umbi akar wortel dicuci bersih dengan cara disikat permukaannya dengan
menggunakan sikat gigi dan detergent. Umbi kemudian dipotong melintang pada
bagian tengah setebal kira-kira 1 cm. Masukkan segera 5-8 potong umbi kedalam
beker glass, kemudian segera dibawa kedalam Laminar air flow.
2. Sterilisasi eksplan
Bersihkan permukaan meja kerja dengan menyemprotkan alcohol 70% dan
melapnya dengan kertas tissue. Sterilisasi eksplan dilakukan dengan Clorox
10%. Masukkan potongan-potongan umbi kedalam beker glass steril,
tuangkan 100 ml clorox kedalam beker glass yang berisi potongan eksplan,
biarkan kira-kira 10 menit, sesekali beker glass digoyang-goyang.
Dengan pipet steril, pindahkan potongan-potongan eksplan dari larutan Clorox
kedalam beker glass kosong yang steril. Bilaslah eksplan dengan akuades
steril dua kali masing-masing selama 10 menit.
3. Pemotongan eksplan
Pindahkan potongan umbi kedalam petridish yang berisi kertas saring steril,
dengan menggunakan skalpel yang tajam, potongan umbi ditipiskan
ukurannya menjadi setebal kira-kira 0,5 cm
Buatlah potongan umbi menjadi kubus dengan ukuran kira-kira 0,5 x 0,5 cm
4. Penanaman dan inkubasi
Dengan pinset steril, masukkan 3 potong eksplan untuk tiap botol kultur
yang berisi medium MS + 2,4-D 1 mg/l
Botol kultur yang telah berisi eksplan segera ditutup, bed label yang
menunjukkan : jenis tanaman, medium yang digunakan dan tanggal
penanaman
Bawa segera keruang incubator, inkubasi dilakukan pada suhu 25°C
ditempat terang.
Gambar 2. Contoh Kultur Kalus pada Umbi Akar WortelSumber : elisa.ugm.ac.id
Adapun contoh lain dari kultur kalus diambil dari sebuah jurnal penelitian
yang berjudul Upaya Induksi Kalus Embriogenik Dari Potongan Daun Ramin
sebagai berikut (Yelnititis dan Tajuddin E. Komar, 2010).
Ramin (Gonystylus bancanus (Miq) Kurz.) merupakan salah satu dari
beberapa jenis pohon yang penting dan mempunyai nilai ekonomi tinggi. Jenis ini
merupakan salah satu jenis pohon penghasil kayu yang paling banyak
dieksploitasi dan paling diminati untuk diperdagangkan dari 10 jenis yang ada di
Indonesia. Eksploitasi kayu ramin yang berlebihan tanpa memperhitungkan
kelestariannya menyebabkan jenis ini semakin sulit ditemukan sehingga jenis ini
terancam kepunahan. Menurut CITES (Convention on International Trade in
Endangerred Species of Wild Fauna dan Flora) jenis ramin dimasukkan ke dalam
appendix III dan meningkat menjadi appendix II pada tahun 2004.
Bahan Dan Metode
1. Bahan dan Alat
Bagian tanaman yang digunakan sebagai eksplan adalah daun yang
masihmuda dari anakan yang berasal dari Palembang, Sumatera Selatan. Media
yang digunakan adalah media dasar Murashige dan Skoog (MS) atau
modifikasinya yang diperkaya dengan sukrosa dan agar. Sebagai perlakuan
diberikan penambahan zat pengatur tumbuh 2,4-D dan thidiazuron serta biotin.
Alat yang digunakan terdiri dari alat-alat gelas dan alat dissecting. Alat-
alat gelas terdiri dari botol kultur, gelas ukur, beckerglass dan petridish serta alat
dissecting seperti pinset dan pisau dan lain-lain. Selain itu juga digunakan alat
pemotong lainnya yaitu pisau atau gunting tanaman untuk pengambilan bahan
tanaman.
Metodologi Penelitian
Daun dicuci sampai bersih dengan menggunakan detergen cair dan larutan
fungisida. Daun yang sudah bersih disterilisasi di dalam laminar air flow dengan
menggunakan alkohol, HgCl2 dan bayclin dan terakhir dibilas dengan aquades
steril. Kemudian daun dipotong-potong dengan ukuran 1 x 1 cm, lalu ditanam di
dalam perlakuan media yang sudah disiapkan. Penelitian dilakukan dalam 3 tahap
kegiatan yaitu :
1. induksi dan perbanyakan kalus
2. induksi kalus friabel
3. induksi kalus embriogenik
Hasil Dan Pembahasan
Perbanyakan tanaman melalui embriogenesis somatik merupakan
pembentukan, pertumbuhan dan perkembangan embrio dari sel-sel soma atau dari
sel tubuh tanaman (Ammirato, 1983). Blanc et al., (1999) menyatakan bahwa
embryogenesis somatik adalah cara yang menguntungkan untuk propagasi
vegetatif massal dari spesies yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Selanjutnya
Litz dan Gray (1995) menyatakan bahwa embrioid dapat dihasilkan dari satu sel
sehingga produksi bibit jauh lebih banyak dibanding penggunaan teknik yang lain.
1. Induksi dan perbanyakan kalus.
a. Induksi kalus
Tahap awal dari penelitian ini adalah induksi kalus. Induksi kalus diawali
dengan penebalan eksplan pada bagian potongan dan di daerah yang mengalami
pelukaan. Penebalan tersebut merupakan interaksi eksplan dengan media tumbuh,
zat pengatur tumbuh dan lingkungan tumbuh sehingga eksplan bertambah besar.
Menurut Meagher dan Green (2002) ukuran eksplan bertambah menjadi empat
kali lebih besar setelah dikulturkan selama 2 minggu pada tanaman saw palmetto.
Induksi kalus dipengaruhi oleh konsentrasi 2,4-D yang digunakan. Semakin tinggi
konsentrasi 2,4-D yang digunakan induksi kalus semakin cepat terjadi. Walaupun
demikian tidak semua eksplan yang dikulturkan dapat membentuk kalus. Pada
perlakuan 2,4-D dengan konsentrasi yang lebih rendah eksplan hanya
memperlihatkan penebalan dan tidak berkembang menjadi kalus walaupun
dikulturkan dalam jangka waktu yang lama. Menurut Gunawan (1987) konsentrasi
zat pengatur tumbuh yang berbeda memberikan respon yang berbeda terhadap
induksi kalus.
Gambar 3 Potongan daun (A) dan kalus (B dan C)
A
C
B
b. Perbanyakan kalus
Kalus kompak yang diperoleh pada tahap induksi dijadikan sebagai
eksplan pada tahap induksi kalus friabel. Jumlah kalus yang dihasilkan pada tahap
induksi masih terbatas karena tidak semua bagian eksplan membentuk kalus maka
dilakukan tahap perbanyakan kalus. Selain untuk perbanyakan, tahapan ini juga
bertujuan untuk mendapatkan kalus friabel dan noduler yang diharapkan
berkembang menjadi kalus embriogenik. Kalus friabel dapat dihasilkan melalui
subkultur berulang pada perlakuan yang sama maupun perlakuan berbeda.
Gambar 4. Hasil Perbanyakan Kalus
c. Induksi kalus friable
Kalus dengan visual terbaik yang dihasilkan dari tahapan sebelumnya
digunakan sebagai eksplan. Kalus friabel dapat dihasilkan secara langsung
A B
C
maupun melalui subkultur berulang pada perlakuan yang sama atau perlakuan
berbeda.
Gambar 5. Kalus friabel dari perlakuan berbeda
e. Induksi kalus embriogenik
Eksplan yang digunakan pada tahap ini adalah kalus friabel yang
dihasilkan dari tahap sebelumnya. Kalus embriogenik umumnya dapat diinduksi
dengan menggunakan zat pengatur tumbuh auksin seperti 2,4-D (Litz, et al.,
1998); Penggunaan kalus friabel sebagai eksplan pada tahap induksi kalus
embriogenik menunjukkan bahwa eksplan kalus tidak mengalami pertumbuhan
lanjutan atau perkembangan tetapi pada bagian permukaan muncul kalus baru
dengan struktur yang sangat friabel, sementara kalus yang terdapat pada bagian
BA
CD
bawah mengalami perubahan warna menjadi kecoklatan sampai coklat dan mati.
Kalus yang baru muncul berwarna putih sampai putih kekuningan.
A B
DC
E F
Gambar 6. Pertumbuhan kalus friable
Kesimpulan :
Kalus dapat diinduksi dari perlakuan 2,4-D 5.0 mg/l. Kalus yang
dihasilkan berstruktur kompak dan berwarna hijau. Perlakuan terbaik untuk
induksi kalus friabel adalah 2,4-D + thidiazuron 1.5 mg/l + biotin 2.0 mgl. Dari
perlakuan 2,4-D 7.0 mg/l dikombinasikan dengan biotin 1.5 mg/l dihasilkan kalus
yang sangat friabel dan berwarna putih kekuningan. Sampai batas waktu
penelitian berakhir kalus embriogenik belum dapat dihasilkan karena waktu
penelitian terbatas selama 4 bulan.
D. Manfaat Kultur Kalus
Kultur kalus bermanfaat untuk mempelajari beberapa aspek dalam
metabolisme tumbuhan dan diferensiasinya, antara lain (Rahardjo P.C., 1989) :
1. Mempelajari aspek nutrisi tanaman.
2. Dalam beberapa hal, perlu fase pertumbuhan kalus sebelum regenerasi via
somatic embryogenesis atau organogenesis. Embrio aseksual atau embrio
somatik (somatic embryo) adalah embrio yang terbentuk bukan dari penyatuan
sel-sel gamet jantan dan betina atau dengan kata lain embrio yang terbentuk
dari jaringan vegetatif/somatik. Embrio ini dapat terbentuk dari jaringan
tanaman yang dikulturkan tanpa melalui proses yang dikenal dengan nama
G
somatic embryogenesis. Jika proses ini terbentuk langsung pada eksplan tanpa
melalui proses pembentukan kalus terlebih dahulu, maka prosesnya disebut
somatic embryogenesis langsung (direct somatic embryogenesis).
3. Untuk menghasilkan varian somaklonal (genetic atau epigenetic).
4. Sebagai bahan awal kultur protoplast dan kultur suspensi.
5. Untuk produksi metabolit sekunder dan regulasinya.
6. Transformasi genetik menggunakan teknik biolistik.
7. Digunakan untuk seleksi in-vitro.
DAFTAR PUSTAKA
Ammirato, PV. 1983. Embryogenesis. In Evans, DA; WR. Sharp; PV. Ammirato and Y. Yamada (eds.). Hand book of plant cell culture (1). Techniques for propagation and breeding. Mc Millan, New York. pp 82 – 90.
Elisa, 2012. Kultur Kalus Dan Suspensi Sel, http://www.elisa.ugm.ac.id., diakses pada tanggal 30 September 2015, pukul 06.00 WITA.
Heddy, S., 1986, Hormon Tumbuhan, Rajawali Press, Jakarta.
Litz, R.E and D.J. Gray. (1995). Somatic embryogenesis for agriculture improvement. World Jour. Microbiol. And Biotech 11 : 416 – 425.
Luqman, 2012. Makalah Kultur Kalus, http://luqmanmaniabgt.blogspot.co.id/2012/10/makalah-kultur-kalus.html., diakses pada tanggal 30 September 2015, pukul 07.30 WITA.
Meagher, M.G and J. Green. 2002. Somatic embryogenesis and plant regeneration from immature embryos of saw palmetto, an important landscape and medicinal plant. Plant Cell Tissue and Organ Culture 66 : 253– 256.
Rahardjo P.C., 1989, Kultur Jaringan. Teknik Perbanyakan Tanaman Secara Modern, Penebar Swadaya, Jakarta.
Yelnititis dan Tajuddin E. Komar, 2010. Upaya Induksi Kalus Embriogenik Dari Potongan Daun Ramin, Pusat Penelitian Dan Pengembangan Hutan Dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan, Bogor, Hal.1-20.