Upload
heru-joe
View
260
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
11
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat modern yang serba kompleks sebagai produk kemajuan
teknologi, mekanisasi, industrialisasi dan urbanisasi memunculkan banyak
masalah sosial. Usaha adaptasi atau penyesuaian diri terhadap masyarakat modern
sangat kompleks itu menjadi tidak mudah. Kesulitan mengadakan adaptasi
menyebabkan banyak kebimbangan, kebingungan, kecemasan dan konflik, baik
konflik eksternal yang terbuka, maupun yang internal dalam batin sendiri yang
tersembunyi dan tertutup sifatnya. Sebagai dampaknya orang lalu
mengembangkan pola tingkah-laku menyimpang dari norma-norma umum,
dengan jalan berbuat semau sendiri demi keuntungan sendiri dan kepentingan
pribadi, kemudian mengganggu dan merugikan pihak lain.
Dalam perkembangan masyarakat seperti ini, pengaruh budaya di luar
sistem masyarakat sangat mempengaruhi perilaku anggota masyarakat itu sendiri,
terutama anak-anak, lingkungan, khususnya lingkungan sosial, mempunyai
peranan yang sangat besar terhadap pembentukan perilaku anak-anak, termasuk
perilaku jahat yang dilakukan oleh anak-anak.
Beberapa waktu terakhir ini, banyak terjadi kejahatan atau perilaku jahat di
masyarakat. Dari berbagai mass media, baik elektronik maupun cetak, kita selalu
mendengar dan mengetahui adanya kejahatan atau perilaku jahat yang dilakukan
oleh anggota masyarakat. Pelaku kejahatan atau pelaku perilaku jahat di
masyarakat tidak hanya dilakukan oleh anggota masyarakat yang sudah dewasa,
tetapi juga dilakukan oleh anggota masyarakat yang masih anak-anak atau yang
biasa kita sebut sebagai kejahatan anak atau perilaku jahat anak.
Fakta menunjukkan bahwa semua tipe kejahatan anak itu semakin
bertambah jumlahnya dengan semakin lajunya perkembangan industrialisasi dan
urbanisasi. Kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak pada intinya merupakan
produk dari kondisi masyarakatnya dengan segala pergolakan sosial yang ada di
dalamnya. Kejahatan anak ini disebut sebagai salah satu penyakit masyarakat atau
11
penyakit sosial. Penyakit sosial atau penyakit masyarakat adalah segala bentuk
tingkah laku yang di anggap tidak sesuai, melanggar norma-norma umum, adat-
istiadat, hukum formal , atau tidak bisa diintegrasikan dalam pola tingkah laku
umum.
Kejahatan dalam segala usia termasuk remaja dan anak-anak dalam
dasawarsa lalu, belum menjadi masalah yang terlalu serius untuk dipikirkan, baik
oleh pemerintah, ahli kriminologi , penegak hukum, praktisi sosial maupun
masyarakat umumnya.
Perilaku jahat anak-anak dan remaja merupakan gejala sakit (patologis)
secara sosial pada anak-anak yang disebabkan oleh salah satu bentuk pengabaian
sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah-laku yang
menyimpang. Pengaruh sosial dan kultural memainkan peranan yang besar dalam
pembentukan atau pengkondisian tingkah-laku kriminal anak-anak dan remaja.
Perilaku anak-anak dan remaja ini menunjukkan tanda-tanda kurang atau tidak
adanya konformitas terhadap norma-norma sosial.
Anak-anak dan remaja yang melakukan kejahatan itu pada umumnya
kurang memiliki kontrol-diri, atau justru menyalahgunakan kontrol-diri tersebut,
dan suka menegakkan standar tingkah-laku sendiri, di samping meremehkan
keberadaan orang lain. Kejahatan yang mereka lakukan itu pada umumnya disertai
unsur-unsur mental dengan motif-motif subyektif, yaitu untuk mencapai satu
objek tertentu dengan disertai kekerasan. Pada umumnya anak-anak dan remaja
tersebut sangat egoistis, dan suka sekali menyalahgunakan dan melebih-lebihkan
harga dirinya.
Adapun motif yang mendorong mereka melakukan tindak kejahatan itu
antara lain adalah :
1. Untuk memuaskan kecenderungan keserakahan.
2. Meningkatkan agresivitas dan dorongan seksual.
3. Salah-asuh dan salah-didik orang tua, sehingga anak tersebut menjadi
manja dan lemah mentalnya.
4. Hasrat untuk berkumpul dengan kawan senasib dan sebaya, dan kesukaan
untuk meniru-niru.
11
5. Kecenderungan pembawaan yang patologis atau abnormal.
6. Konflik batin sendiri, dan kemudian menggunakan mekanisme pelarian
diri serta pembelaan diri yang irrasional.
Pakar kriminologi Van S. Lambroso dengan teori Lambroso, yang
menyebutkan sebab-sebab kejahatan seorang hanya dapat ditemukan dalam
bentuk-bentuk fisik dan psikis serta ciri, sifat dari tubuh seseorang. Sebab-sebab
kejahatan menjadi faktor utama dalam proses terbentuknya tindak pidana baik
secara langsung maupun tidak langsung.
Untuk mencari faktor yang lebih esensial dari bentuk tindak pidana/
kejahatan yang dilakukan secara sempurna kedudukan ini dapat diartikan dengan
faktor kejahatan yang timbul secara ekstern (faktor luar) maupun intern (faktor
dalam) dari pelaku tindak pidana kejahatan seseorang. Secara implisit berbagai
faktor dapat dijadikan sebagai sistem untuk merumuskan kejahatan pada
umumnya ataupun kejahatan anak pada khususnya. Berbeda dengan seseorang
anak atau pun dalam melakukan kejahatan, tampak bahwa faktor-faktor apapun
yang di dapat pada diri anak dan remaja yang jelas semuanya tidak terstruktur
maupun disikapi terlebih dahulu.
Masyarakat yang baik di masa yang akan mendatang bergantung dan
diawali pada perilaku anak-anak dan remaja sekarang sebagai generasi penerus.
Anak-anak atau pun remaja yang baik dalam berperilaku sangat menunjang
terbentuknya sistem sosial masyarakat. Oleh karena itu permasalahan perilaku
jahat anak-anak dan remaja perlu segera mendapat ekstra perhatian demi
terbentuknya sistem sosial masyarakat yang baik.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada uraian latar belakang, maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan sebagai berikut :
1. Jenis-jenis kriminalitas yang dilakukan anak-anak, remaja, maupun dewasa
2. Faktor-faktor yang menyebabkan perilaku kriminalitas
3. Dampak dari kriminalitas
4. Solusi dari kriminaliatas
11
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Kriminalitas
Kriminalitas atau tindak kriminal segala sesuatu yang melanggar hukum
atau sebuah tindak kejahatan. Pelaku kriminalitas disebut seorang kriminal.
Biasanya yang dianggap kriminal adalah seorang pencuri, pembunuh, perampok,
atau teroris. Walaupun begitu kategori terakhir, teroris, agak berbeda dari kriminal
karena melakukan tindak kejahatannya berdasarkan motif politik atau paham.
Arti hukum menurut Immanuel Kant sendiri yaitu : “noch suchen die
yuristen eine definition zu ihrem begriffe von recht”.
Selama kesalahan seorang kriminal belum ditetapkan oleh seorang hakim,
maka orang ini disebut seorang terdakwa. Sebab ini merupakan asas dasar sebuah
negara hukum: seseorang tetap tidak bersalah sebelum kesalahannya terbukti.
Pelaku tindak kriminal yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan dan harus
menjalani hukuman disebut sebagai terpidana atau narapidana.
Dalam mendefinisikan kejahatan, ada beberapa pandangan mengenai
perbuatan apakah yang dapat dikatakan sebagai kejahatan :
Secara kriminologi yang berbasis sosiologis kejahatan merupakan suatu pola
tingkah laku yang merugikan masyarakat (dengan kata lain terdapat korban)
dan suatu pola tingkah laku yang mendapatkan reaksi sosial dari masyarakat.
Reaksi sosial tersebut dapat berupa reaksi formal, reaksi informal, dan reaksi
non-formal.
Secara yuridis, kejahatan berarti segala suatu tindakan atau tingkah laku
manusia yang melanggar undang-undang atau ketentuan yang berlaku dan
diakui dapat dipidana secara legal,dan diatur dalam hukum pidana.
Dari segi kriminologi,setiap tindakan Dari segi kriminologi setiap tindakan
atau perbuatan tertentu yang tindakan disetujui oleh masyarakat diartikan
sebagai kejahatan. Ini berarti setiap kejahatan tidak harus dirumuskan terlebih
dahulu dalam suatu peraturan hukum pidana. Jadi setiap perbuatan yang anti
11
sosial,merugikan serta menjengkelkan masyarakat,secara kriminologi dapat
dikatakan sebagai kejahatan.
Arti kejahatan dilihat dengan kaca mata hukum, mungkin adalah yang paling
mudah dirumuskan secara tegas dan konvensional. Menurut hokum kejahatan
adalah perbuatan manusia yang melanggar atau bertentangan dengan apa
yang ditentukan dalam kaidah hokum; tegasnya perbuatan yang melanggar
larangan yang ditetapkan dalam kaidah hokum,dan tidak memenuhi atau
melawan perintah-perintah yang telah ditetapakan dalam kaidah hokum yang
berlaku dalam masyarakat bersangkutan bertempat tinggal.
Relatifnya kejahatan bergantung pada ruang,waktu,dan siapa yang
menamakan sesuatu itu kejahatan. “Misdad is benoming”, kata Hoefnagels; yang
berarti tingkah laku didefenisikan sebagai jahat oleh manusia-manusia yang tidak
mengkualifikasikan diri sebagai penjahat. (J.E. Sahetapy, Kapita Selekta
Kriminologi,Alumni, Bandung, 1979,hlm.67.). Dalam konteks itu dapat dilakukan
bahwa kejahatan adalah suatu konsepsi yang bersifat abstrak. Abstrak dalam arti
ia tidak dapat diraba dan tidak dapat dilihat,kecuali akibatnya saja.
B. Pengertian Penjahat dan Jenis-jenisnya
Orang yang bagaimana yang dimaksudkan sebagai seorang penjahat? Di
dalam pikiran umum,perkataan “penjahat” berarti mereka yang dimusuhi
masyarakat. Di dalam arti inilah Trade menyatakan bahwa para penjahat adalah
sampah masyarakat.
Berdasarkan tradisi hokum (peradilan) yang demokratis bahkan eorang
yang mengaku telah melakukan suatu kejahatan ataupun tidak dipandang sebagai
seorang penjahat sampai kejahatannya dibuktikan menurut proses peradilan yang
telah ditetapkan. Maka sesuai dengan itu, seorang penjaga penjara tidak akan
dapat dibenarkan menurut hokum kalau menerima sesorang yang tidak pernah
resmi dinyatakan bersalah dan dihukum,dan para pejabat Negara tidak akan dapat
secara benar-benar menghilangkan hak-hak sipil kepada orang-orang yang tidak
pernah dinyatakan bersalah mengenai suatu kejahatan. Begitu pula halnya,para
ahli kriminologi tidak dapat secara benar-benar dapat dipertanggung jawabkan
menetapkan sebagai penjahat kepada orang-orang yang bertingkah laku secara
11
antisocial,tetapi tidak melanggar suatu undang-undang pidana.(Ibid,hal 34,35).
Di Indonesia secara tegas tidak dijumpai orang yang disebut penjahat;
dalam peruses peradilan pidana,kita hanya mengenal secara resmi istilah-istilah
tersangka,tertuduh,terdakwa dan terhukum atau terpidana. Sedangkan kata-kata
seperti penjahat,bandit,bajingan hanya dalam kata sehari-hari yang tidak mendasar
pada ketentuan hokum.
Adapun tipe atau jenis-jenis menurut penggolongan para ahlinya adalah
sebagai berikut ;
1. Penjahat dari kecendrungan(bukan karena bakat).
2. Penjahat karena kelemahan(karena kelemahan jiwa sehingga sulit
menghindarkan diri untuk tidak berbuat).
3. Penjahat karena hawa nafsu yang berlebihan ; dan putus asa ; penjahat
terdorong oleh harga diri atau keyakinan.
Adapun Pembagian menurut Seelig :
1. Penjahat karena segan bekerja.
2. Penjahat terhadap harta benda karena lemah kekuatan bathin untuk
menekan godaan.
3. Penjahat karena nafsu menyarang.
4. Penjahat karena tidak dapat menahan nafsu seks.
5. Penjahat karena mengalami krisis kehidupan.
6. Penjahat terdorong oleh pikirannya yang masih primitive.
7. Penjahat terdorong oleh keyakinannya.
8. Penjahat karena kurang disiplin kemasyarakatan.
9. Penjahat campuran ( gabungan dari sifat-sifat yang terdapat pada butir 1
s/d 8 ).
C. Teori-Teori Terkait Kriminalitas
Terdapat kesulitan untuk menjelaskan kriminalitas anak-anak maupun
remaja dari perspektif teoritis secara ketat, oleh karena itu lebih cenderung untuk
melihat kriminalitas anak-anak maupun remaja sebagai bentuk perilaku
menyimpang (deviant behavior) di masyarakat. Jika melihat dari sisi
11
penyimpangan (deviant), maka setidaknya terdapat tiga teori utama yang dapat
menjelaskan fenomena ini yaitu: struktural fungsional terutama anomie dari
Durkheim dan Merton, interaksi simbolik terutama asosiasi diferensiasi dari
Sutherland, danpower-confl ict terutama dari Young dan Foucault.
(a) Struktural Fungsional
Struktural fungsional melihat penyimpangan terjadi pembentukan normal
dan nilai-nilai yang dipaksakan oleh institusi dalam masyarakat. Penyimpangan
dalam hal ini tidak lah terjadi secara alamiah namun terjadi ketika pemaksaan atas
seperangkat aturan main tidak sepenuhnya diterima oleh orang atau sekelompok
orang, dengan demikian penyimpangan secara sederhana dapat dikatakan sebagai
ketidaknormalan secara aturan, nilai, atau hukum. Salah satu teori utama yang
dapat menjelaskan mengenai penyimpangan ini adalah teori anomie dari
Durkheim dan dari Merton.
Durkheim secara tegas mencoba meyakinkan bahwa terdapat hubungan
terbalik antara integrasi sosial dan penaturan sosial dengan angka bunuh diri.
Sekurangnya terdapat dua dimensi dari ikatan sosial (social bond), yakni integrasi
sosial dan aturan sosial (social regulation) yang masing-masing independen, atau
dalam3 istilah lain, besaran integrasi tidak menentukan besaran pengaturan,
demikian pula sebaliknya, namun keduanya mempengaruhi ikatan sosial. Integrasi
sosial dapat diterjemahkan sebagai keikutsertaan seseorang dalam kelompok dan
institusi di mana aturan sosial merupakan pengikat kesetiaan terhadap norma dan
nilai-nilai dalam masyarakat. Mereka yang sangat terintegrasi masuk dalam
kategori ‘altruism’, dan yang sangat tidak terinterasi dalam kategori ‘egoism’.
Demikian pula mereka yang sangat taat aturan masuk dalam kategori ‘fatalism’
dan mereka yang sangat tidak taat masuk dalam kategori ‘anomie’.
Teori anomie dari Durkheim dikembangkan oleh Merton sebagai bentuk
alienasi diri dari masyarakat di mana diri tersebut membenturkan diri dengan
norma-norma dan kepentingan yang ada di masyarakat. Dalam menjelaskan hal
ini, Merton memfokuskan pada dua variabel, yakni tujuan (goals) dan ‘legitimate
means’ ketimbang integrasi sosial dan pengaturan sosial. Dua dimensi ini
11
menentukan derajat adaptasi masyarakat sesuai dengan tujuan-tujuan kultural (apa
yang diinginkan oleh masyarakat mengenai kehidupan ideal) dan cara-cara yang
dapat diterima di mana seorang individual dapat menuju tujuan-tujuan kultural.
Merton sendiri membagi derajat adaptasi dengan lima kombinasi, yakni
‘conformity’, ‘innovation’, ‘ritualism’, ‘retreatism’, dan ‘rebellion’.
(b) Interaksi Simbolik
Dalam pandangan interaksi simbolik, penyimpangan datang dari individu
yang mempelajari perilaku meyimpang dari orang lain.Dalam hal ini, individu
tersebut dapat mempelajari langsung dari penyimpang lainnya atau membenarkan
perilakunya berdasarkan tindakan penyimpangan yang dilakukan oleh orang lain.
Sutherland mengemukakan mengenai teori ‘differential association’, di mana
Sutherland menyatakan bahwa seorang pelaku kriminal mempelajari tindakan
tersebut dan perilaku menyimpang dari pihak lain, bukan berasal dari dirinya
sendiri. Dalam istilah lain, seorang tidak lah menjadi kriminal secara alami.
Tindakan mempelajari tindakan kriminal sama dengan berbagai tindakan
atau perilaku lain yang dipelajari seseorang dari orang lain. Sutherland
mengemukakan beberapa point utama dari teorinya, seperti ide bahwa belajar
datang dari adanya interaksi antara individu dan kelompok dengan menggunakan
komunikasi simbol-simbol dan gagasan. Ketika simbol dan gagasan mengenai
penyimpangan lebih disukai, maka individu tersebut cenderung untuk melakukan
tindakan penyimpangan tersebut. Dengan demikian, tindakan kriminal,
sebagaimana perilaku lainnya, dipelajari oleh individu, dan tindakan ini dilakukan
karena dianggap lebih menyenangkan ketimbang perilaku lainnya
(c) Power-Conflict
Satu hal yang harus diperjelas, meskipun teori ini didasarkan atas
pandangan Marx, namun Marx sendiri tidak pernah menulis tentang perilaku
menyimpang. Teori ini melihat adanya manifestasi power dalam suatu institusi
yang menyebabkan terjadinya penyimpangan, di mana institusi tersebut memiliki
11
kemampuan untuk mengubah norma, status, kesejahteraan dan lain sebagainya
yang kemudian berkonflik dengan individu. Meskipun Marx secara5
pribadi tidak menulis mengenai perilaku menyimpang, namun Marx menulis
mengenai alienasi. Young (wikipedia t.t.b) secara khusus menyatakan bahwa
dunia modern dapat dikatakan sangat toleran terhadap perbedaan namun sangat
takut terhadap konflik sosial, meskipun demikian, dunia modern tidak
menginginkan adanya penyimpang di antara mereka.
Kriminalitas Remaja: teori yang relevan
Melihat tiga teori yang ada, maka penulis cenderung untuk memilih teori
struktural-fungsional, terutama yang berasal dari Merton sebagai teori yang dapat
menjelaskan mengenai kenakalan remaja. Secara khusus Merton memang
membahas mengenai deviant yang merupakan bentuk lanjut dari adanya
disintegrasi seorang individu dalam masayarakat.
Bagi Merton, munculnya tindakan menyimpang yang dilakukan oleh individu
adalah ketidakmampuan individu tersebut untuk bertindak sesuai dengan nilai
normatif yang ada di masyarakat. Secara umum dapat dikatakan bahwa perilaku
menyimpang adalah bentuk anomie dalam masyarakat. Anomie terjadi dalam
masyarakat ketika ada keterputusan antara hubungan norma kultural dan tujuan
dengan kapasitas terstruktur secara sosial dari anggota kelompok untuk bertindak
sesuai dengan norma kultural (lihat Ritzer dan Goodman 2007).Secara umum
Merton menghubungkan antara kultur, struktur dan anomie. Kultur
didefinikasikan sebagai seperangkan nilai normatif yang terorganisir yang
menentukan perilaku bersama anggota masyarakat. Dalam hal ini, kultur menjadi
buku panduan yang digunakan oleh semua anggota masyarakat untuk berperilaku.
Struktur didefinisikan sebagai seperangkat hubungan sosial yang
terorganisir yang melibatkan seluruh anggota masyarakat untuk terlibat di
dalamnya. Sedangkan anomie didefinisikan sebagai sebuah keterputusan
hubungan antara struktur dan kultur yang terjadi jika ada suatu keretakan atau
terputusnya hubungan antara norma kultural dan tujuan-tujuan dengan kapasitas
yang terstruktur secara sosial dari anggota dalam kelompok masyarakat untuk
bertindak sesuai dengan nilai kultural tersebut (Merton, 1968: 216).
11
Perilaku menyimpang dalam hal ini dilihat sebagai ketidakmampuan
seorang individu untuk bertindak sesuai dengan norma, tujuan dan cara-cara yang
diperbolehkan dalam masyarakat. Dalam hal ini, integrasi yang dilakukan oleh
individu tersebut tidak lah bersifat menyeluruh. Tentu saja hal ini tidak berarti
bahwa setiap orang dapat berintegrasi sepenuhnya. Dapat dikatakan bahwa tidak
ada masyarakat yang terintegrasi secara penuh, di mana Merton melihat bahwa
integrasi yang terjadi di masyarakat tidak lah sama baik secara kualitas maupun
kuantitas (Maliki 2003). Dalam analisa fungsionalnya, Merton melihat bahwa
motif-motif dalam integrasi tidak selalu membawa motif yang diinginkan
(intended motif), namun juga motif-motif yang tidak diinginkan (unintended
motif). Adanya fungsi manifes dan laten dalam integrasi berarti bahwa integrasi
menyebabkan adanya pihak yang mengalami disintegrasi, atau dalam bahasa yang
lebih kasar, integrasi justru memiliki pengaruh besar atas terjadinya disintegrasi.
Pandangan ini tentu saja membawa konsekuensi yang lebih besar: anomie
yang terjadi di masyarakat, yang berujung dengan7 terjadinya penyimpangan,
adalah ‘efek samping’ atau motif yang tidak diinginkan (unintended motif) dari
integrasi dalam masyarakat. Merton membedakan antara fungsi dan disfungsi.
Bagi Merton, fungsi adalah seluruh konsekuensi yang terlihat dan berguna bagi
adaptasi atau pengaturan dari sistem yang telah ada,sedangkan disfungsi
merupakan konsekuensi yang terlihat yang mengurangi adaptasi atau pengaturan
dalam satu sistem (Merton, 1968:105). Selain membedakan antara fungsi dan
disfungsi, Merton juga membedakan antara fungsi manifes dan fungsi laten.
Fungsi manifest didefinisikan sebagai seluruh konsekuensi obkektif yang
berpengaruh pada pengaturan atau adaptasi dari suatu sistem yang diinginkan dan
diakui oleh seluruh bagian sistem itu, sedangkan fungsi manifest adalah
kebalikannya, yakni konsekuensi objektif yang berpengaruh pada penaturan dan
adaptasi dari satu sistem yang tidak diinginkan dan tidak akui (Merton, 1968:105)
Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa perilaku menyimpang yang
terjadi di kalangan remaja merupakan adanya konflik antara norma-norma yang
berlaku di masyarakat dengan cara-cara dan tujuan-tujuan yang dilakukan oleh
11
individu. Oleh karena itu, Merton membagi keadaan ini dalam lima kategori,
yaitu:
1. ‘Conformity’ atau individu yang terintegrasi penuh dalam masyarakat baik
yang tujuan dan cara-caranya ‘benar dalam masyarakat’
2. ‘Innovation’ atau individu yang tujuannya benar, namun cara- cara yang
dipergunakannya tidak sesuai dengan yang diinginkan dalam masyarakat.
3. ‘Ritualism’ atau individu yang salah secara tujuan namun cara-cara yang
dipergunakannya dapat dibenarkan.
4. ‘Retreatism’ atau individu yang salah secara tujuan dan salah berdasarkan
cara-cara yang dipergunakan.
5. ‘Rebellion’ atau individu yang meniadakan tujuan-tujuan dan cara-cara yang
diterima dengan menciptakan sistem baru yang menerima tujuan-tujuan dan
cara-cara baru.
Dalam hal ini Merton memberikan contoh yang sangat baik dalam melihat
perilaku menyimpang dalam masyarakat berupa tindak kriminal. Karena
dibesarkan dalam lingkungan Amerika, Merton dipengaruhi oleh keadaan
lingkungan sekitarnya. Menurut Merton, Amerika memberikan setiap warganya
‘the American Dream’, di mana Amerika memberikan kebebasan setiap warganya
untuk memperoleh kesempatan dan kesejahteraan, di mana hal ini menjadi
motivasi kultural setiap orang Amerika, yakni untuk mewujudkan cita-citanya.
Merton melihat adanya kesenjangan antara apa yang diinginkan dan
diharapkan oleh masyarakat atas anggotanya dengan apa yang sesungguhnya
dicapai oleh warga masyarakat. Jika struktur sosial ternyata tidak seimbang dalam
memberikan kesempatan bagi setiap warga masyarakat dan mencegah sebagian
besar dari mereka untuk mencapai mimpi mereka, maka sebagian dari mereka
akan mengambil langkah yang tidak sesuai dengan cara yang diinginkan, yakni
dengan melakukan tindakan kriminal untuk mewujudkan ‘mimpi’ tersebut (lihat
Merton 1968). Merton mencontohkan beberapa tindakan yang mungkin diambil
oleh mereka, terutama dengan menjadi subkultur penyimpang, seperti pengguna
obat-obatan, anggota gang, atau pemabuk berat. Tentu saja kasus yang
dicontohkan oleh Merton pun dapat
11
D. Faktor Penyebab Terjadinya Kriminalitas
Ada beberapa faktor penyebab terjadinya kejahatan/pelanggaran yang
dilakukan oleh anak/ABG, diantaranya adalah faktor keluarga, faktor lingkungan
dan faktor ekonomi. Dari ketiga faktor tersebut, bisa ketiganya sekaligus menjadi
faktor penyebab atau hanya salah satunya saja.
Pertama, faktor keluarga. Faktor ini dapat terjadi karena beberapa hal,
seperti ketidakharmonisan dalam keluarga. Hal ini bisa membentuk anak kearah
negatif, karena keluarga memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam mengarahkan
perilaku, pergaulan dan kepatuhan norma si anak. Ketidakharmonisan bisa terjadi
karena perceraian orang tua, orang tua yang super sibuk dengan pekerjaannya,
orang tua yang berlaku diskriminatif terhadap anak, minimnya penghargaan
kepada anak dan dan lain-lain. Kesemua hal tersebut membuat anak merasa
sendiri dalam mengatasi masalahnya di sekolah dan lingkungannya, tidak ada
tauladan yang patut dicontoh dirumah, minimnya perhatian, selalu dalam posisi
dipersalahkan, bahkan anak merasa diperlakukan tidak adil dalam keluarga.
Faktor ketidakharmonisan keluarga yang memicu anak mudah melanggar
norma sebagaimana saya ungkapkan di atas, menurut kaca mata sosiologis
mungkin hal yang wajar dan sejalan dengan hukum sebab akibat. Namun
demikian lain halnya apabila yang memicu justru orang tua atau yang dituakan
oleh si anak. Artinya pelanggaran norma tersebut justru dilegalkan oleh orang tua
atau lebih berbahaya lagi kondisinya apabila pelanggaran norma tersebut
didukung, dikondisikan dan dikoordinir oleh orang tua sendiri.
Kedua, faktor lingkungan. Setelah keluarga, tempat anak bersosialisasi
adalah lingkungan sekolah dan lingkungan tempat bermainnya. Mau tidak mau,
lingkungan merupakan institusi pendidikan kedua setelah keluarga, sehingga
kontrol di sekolah dan siapa teman bermain anak juga mempengaruhi
kecenderungan kenakalan anak yang mengarah pada perbuatan melanggar hukum.
Tidak semua anak dengan keluarga tidak harmonis memiliki kecenderungan
melakukan pelanggaran hukum, karena ada juga kasus dimana anak sebagai
pelaku ternyata memiliki keluarga yang harmonis. Hal ini dikarenakan begitu
kuatnya faktor lingkungan bermainnya yang negatif.
11
Anak dengan latarbelakang ketidakharmonisan keluarga, tentu akan lebih
berpotensi untuk mencari sendiri lingkungan diluar keluarga yang bisa menerima
apa adanya. Apabila lingkungan tersebut positif tentu akan menyelesaikan
masalah si anak dan membawanya kearah yang positif juga. Sebaliknya, jika
lingkungan negatif yang didapat, inilah yang justru akan menjerumuskan si anak
pada hal-hal yang negatif, termasuk mulai melakukan pelanggaran hukum seperti
mencuri, mencopet, bahkan menggunakan dan mengedarkan narkoba.
Aktivitas kelompok atau biasa dikenal ”gang” sepertinya perlu mendapat
perhatian lebih dari orang tua, guru dan tokoh masyarakat, baik itu yang tumbuh
di sekolah maupun di lingkungan masyarakat. Sebuah komunitas gang biasanya
dipandang negatif. Bahayanya, komunitas ini memiliki tingkat solidaritas yang
tinggi, karena si anak ingin tetap diakui eksistensinya dalam gang tersebut, karena
dikeluarga maupun disekolah si anak merasa tidak diakui keberadaannya.
Akibatnya, penilaian mengenai apakah perbuatan gang itu salah atau benar tidak
lagi masalah, yang penting si anak memiliki tempat dimana ia diterima apa
adanya.
Ketiga, faktor ekonomi. Alasan tuntutan ekonomi merupakan alasan
klasik yang sudah menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya kejahatan sejak
perkembangan awal ilmu kriminologi (ilmu yang mempelajari kejahatan). Mulai
dari kebutuhan keluarga, sekolah sampai dengan ingin menambah uang jajan
sering menjadi alasan ketika anak melakukan pelanggaran hukum.
Ketiga faktor di atas, hanyalah sebagian dari pemicu anak melakukan
pelanggaran hukum. Perlu perhatian yang serius oleh tiga institusi pendidikan
anak, yaitu keluarga, sekolah dan lingkungan. Orang tua harus memberikan
perhatian ekstra terhadap anak, baik itu pendidikannya maupun teman
bermainnya. Pihak sekolah juga harus melakukan pengawasan yang maksimal,
meskipun keberadaan anak disekolah tidak lama, minimal dapat mencegah
berkembangbiaknya ”geng-geng” yang nakal disekolah dan menghindari
terjadinya perkelahian antar siswa dan tawuran antar sekolah. Terakhir, sosial
kontrol dari tokoh masyarakat dan tokoh agama, serta peran pemerintah dan
11
swasta untuk memberikan ruang bermain bagi anak dilingkungannya, sehingga
anak tidak bermain dijalan dan membentuk komunitas yang negatif.
BAB III
PENUTUP
11
A. Kesimpulan
Kekerasan yang marak terjadi di kalangan pelajar khususnya untuk pelajar
sekolah menengah tak lepas dari peranan orang tua, guru, serta keadaan
lingkungan sekitar yang mendukung terjadinya kekerasan atau tindakan-tindakan
menyimpang yang banyak terjadi di dalam dunia pendidikan.
Banyak faktor yang dapat menimbulkan terjadinya kekerasan tersebut,
antara lain seperti; kesenjangan sosial, perbedaan stasus sosial pelajar sering kali
menjadi pemicu utama terjadinya tindakan kekerasan tersebut, mereka sulit untuk
menahan emosi apabila mereka dihina atau diejek status sosialnya, kemudian
peranan orang tua yang kurang sering kali membuat anak merasa dirinya bebas
dan menyepelekan orang, sehingga mereka merasa bebas untuk melakukan
tindakan-tindakan yang mereka inginkan tanpa memikirkan sebab dan akibat dari
tindakan atau perbuatan tersebut, lingkungan tempat tinggal merupakan tempat
mereka bersosialisasi dan membentuk kepribadian mereka. Perilaku, sikap dan
tindakan yang terbentuk merupakan cerminan atau contoh yang sering mereka
lihat di sekitarnya.
Oleh karena itu peranan orang tua dan lingkungan sekitar harus
memberikan contoh-contoh yang baik sebagai kepribadian yang terbentuk akan
baik pula.
B. Saran
a) Kita sebagai generasi muda harus memupuk nilai-nilai dan norma-norma
kepribadian Indonesia.
b) Kita juga harus dapat memilah lingkungan mana yang tidak sehat dan
lingkungan mana yang sehat buat kita.
c) Penanaman nilai-nilai agama juga sangat penting penting untuk
menghindari tindakan-tindakan yang sangat mungkin kita lakukan.
DAFTAR PUSTAKA
11
http//www.google.com
bullying makin panas. Edisi xxxv Juli 2008. Majalah Gadis.